Model pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan...
Transcript of Model pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan...
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan
milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk
memanfaatkan sumber daya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya
melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihak-
pihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki
kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam sering berbenturan sehingga
menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumber daya merasa memiliki hak yang
sama dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Sifat pemanfaatan sumber daya
yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumber daya,
khususnya antar kelompok nelayan (Christy 1987).
Pembangunan perikanan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
pada hakekatnya dilaksanakan dalam rangka mendayagunakan sumber daya
perikanan secara menyeluruh, terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab
dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, sehingga diharapkan mampu
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Kedudukan dan
nilai sumber daya perikanan sangat strategis dalam menjaga kelangsungan hidup
sebagian besar penduduk di sekitar pantai.
Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumber daya milik
bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi
pemegangnya, yaitu: (1) Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumber
daya yang memiliki batas-batas fisik yang jelas; (2) Hak memanfaatkan, adalah
hak untuk memanfaatkan sumber daya dengan cara-cara dan teknik produksi
sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku; (3) Hak mengatur, adalah
hak untuk mengatur pemanfaatan sumber daya serta meningkatkan kualitas dan
kuantitas sumber daya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan
serta perbaikan lingkungan; (4) Hak ekslusif, adalah hak untuk menentukan siapa
yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan
kepada orang lain; dan (5) Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual dan
menyewakan ke empat hak tadi kepada orang lain.
2
Eksploitasi perikanan di perairan Kalsel dilakukan oleh nelayan dalam
daerah maupun antar daerah (nelayan dari Sulsel, Sulbar, Jatim, Jateng, Kalteng
dan Kaltim). Perikanan tangkap di Kalsel merupakan kegiatan usaha perikanan
yang mempunyai nilai ekonomis penting. Eksploitasi sumber daya ikan oleh
armada perikanan tangkap laut di Kalsel dilakukan di perairan Selat Makasar,
Laut Jawa, Selat Laut dan Selat Sebuku, Teluk Pamanukan, Tanjung Tatan, Pulau
Sambar Gelap, Sekapung, dan sekitar pesisir Pagatan. Wilayah tersebut
merupakan basis migrasi musiman nelayan. Jika musim ikan tiba, penduduk
pendatang yang melakukan migrasi musiman di Desa Kerayaan Kotabaru bahkan
melebihi jumlah penduduk setempat, sedangkan di Desa Swarangan ditemukan
lebih kurang 200 orang dan di Desa Muara Asam-asam mencapai 1000 orang
yang tidak terdata sebagai penduduk setempat. Nelayan andon yang dominan
berasal dari suku Bugis dan sebagian berasal dari Jawa, Bali dan Kaltim.
Sesuatu hal yang pasti adalah adanya interaksi antar dua kelompok yang berbeda
dalam kehidupan bersama.
Imbas dari interaksi antar nelayan tersebut tidak sedikit mengakibatkan
konflik di antara nelayan. Konflik sosial masyarakat pesisir di Kalsel merupakan
suatu kenyataan yang sepertinya tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Cukup banyak fakta kekerasan fisik akibat dari konflik yang telah terjadi.
Kejadian-kejadian dimasa lalu yang mempunyai kaitan atau berkontribusi
terhadap terjadinya konflik nelayan. Konflik dapat terwujud dalam bentuk
ketidaksukaan, ketidaksepakatan, ketidaksetujuan, perseteruan, persaingan,
permusuhan, kontak fisik dan bahkan perang terbuka.
Priscoli (2002) menyatakan bahwa konflik sumber daya alam dapat
disebabkan oleh miskinnya komunikasi, adanya perbedaan persepsi, pertarungan
ego, perbedaan personalitas, perbedaan pandangan tentang baik dan buruk
(konflik nilai), perbedaan kepentingan dan faktor struktural. Konflik perikanan
tangkap sangat bervariasi antar wilayah dan antar waktu. Bennett dan Neiland
(2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya
melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang
mempengaruhi timbulnya konflik adalah aktor, ketersediaan sumber daya dan
lingkungan.
3
Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumber
daya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait dengan
masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh
nelayan (not enough fish). Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan
tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan
sumber daya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh
prinsip hunting di mana nelayan harus selalu memburu ikan berada, suatu
persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada
tempat dan waktu yang sama (Budiono 2005).
Berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan
tangkap di Indonesia di antaranya adalah konflik yang timbul karena pemahaman
yang keliru mengenai batas-batas perairan setelah diberlakukannya undang-
undang otonomi daerah, perebutan daerah penangkapan, perbedaan kualitas dan
kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan, pelanggaran batas wilayah
perairan, serta pelanggaran hak ulayat lokal. Satria (2004) menandaskan bahwa
kaitan antara otonomi daerah dengan konflik nelayan cukup kuat opini yang
berkembang bahwa otonomi daerah yang diawali dengan diberlakukannya UU
32/2004 berkorelasi positif dengan meningkatnya konflik nelayan. Dalam opini
tersebut dijelaskan bahwa konflik nelayan terjadi karena otonomi daerah
membuka ruang bagi nelayan untuk mengkavling wilayahnya, dan nelayanpun
punya hak untuk mengusir nelayan lain (exclusion right). Opini ini hampir selalu
diiringi dengan teori lainnya bahwa laut adalah milik negara (state property)
sehingga siapapun boleh menangkap ikan di mana saja. Dalam hal ini otonomi
daerah (otda) hanya akan merusak ciri laut yang bersifat open acces tersebut, serta
mengganggu konsep keutuhan bangsa. Fenomena ini semestinya memunculkan
pertanyaan baru: kalau desentralisasi kelautan dianggap hanya menimbulkan
konflik nelayan, apakah dengan re-sentralisasi kelautan konflik nelayan akan
berhenti dengan sendirinya. Namun diakui bahwa konflik sosial nelayan
dimanapun selalu dapat terjadi baik sebelum maupun setelah diberlakukannya
undang-undang otonomi daerah.
4
Di Indonesia, konflik kenelayanan sudah lama terjadi dan nampaknya
semakin meningkat pada akhir-akhir ini. Pada tahun 1970 telah terjadi konflik
besar-besaran antara nelayan “tradisional” dengan nelayan pengguna pukat
harimau (trawl). Konflik ini telah menelan banyak korban jiwa dan juga harta
(alat tangkap dan perahu). Karena seriusnya konflik tersebut akhirnya pemerintah
mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan trawl pada tahun 1980. Pada
tahun 70-an terjadi pula konflik yang melibatkan nelayan skala kecil dengan purse
seine. Konflik tersebut dikenal sebagai “malapetaka muncar” (malamun) yang
berlangsung hingga tahun 80-an. Pada tahun 90-an konflik bergeser tidak hanya
melibatkan nelayan skala kecil dan nelayan purse seine, tetapi juga antar nelayan
skala kecil/tradisional.
Di daerah Lampung, Bangka-Belitung dan NTB terjadi conflicting claim
dalam hubungan antara teknologi, wilayah tangkap dan jenis resources tertentu.
Conflicting claim ini terjadi, pada satu sisi karena adanya asosiasi-asosiasi khusus
yang dikembangkan masyarakat. Beroperasinya teknologi tidak hanya melanggar
hak-hak khusus mereka tetapi juga mengancam keberadaan sumber daya ikan.
Transborder fishing terjadi di wilayah Kaltim (fishing in) oleh nelayan asing dan
NTT (fishing out) di wilayah AFZ, sedangkan di daerah perairan yang terkait
dengan suatu perbatasan yakni Selat Malaka, perairan Laut Cina Selatan dan
perbatasan lainnya menunjukkan penangkapan pelintas batas merupakan salah
satu masalah yang lahir di perairan-perairan tersebut. Dengan demikian, dalam
konteks konflik, kondisi geografis perairan membuka kemungkinan terjadinya
konflik antar nelayan dari Negara berbeda (Indarwasih et al. 2007).
Konflik pada dunia perikanan di Indonesia merupakan gejala umum, oleh
karenanya cukup tersedia sumber referensi sebagai informasi awal untuk
memahami atau melakukan pengkajian mengenai konflik perikanan. Penelitian
kebijakan pada umumnya menggunakan karateristik dari prosedur kebijakan yang
memiliki hubungan yang bersifat hirarkis, atau menggunakan beberapa metode.
Alat untuk mengubah informasi dilakukan dengan cara otoritatif. Menurut Dunn
(2003) dalam cara otoritatif, pernyataan kebijakan didasarkan atas dasar asumsi
tentang status yang dicapai oleh pembuat informasi, sebagaimana kesaksian para
5
pakar ilmiah atau pengamat politik dapat digunakan sebagai bagian dari suatu
argumentasi untuk menerima suatu rekomendasi kebijakan.
Lebih lanjut Dunn (2003) memberikan gambaran mengenai berberapa
bidang analisis kebijakan yaitu (1) Operasionisme berganda; penggunaan berbagai
ukuran secara bersama-sama untuk konstrak dan variable kebijakan. Contoh dari
operasionisme berganda adalah penggunaan secara serempak perbandingan
berpasangan dan skala pilihan paksa dan penyusunan skala atribut berganda (2)
Penelitian multimetode; penggunaan berbagai metode secara bersama-sama untuk
mengamati proses dan hasil kebijakan misalnya penggunaan secara bersama-sama
catatan-catatan organisasi, angket lewat pos dan wawancara etnografis,
meningkatkan plausibilitas klaim pengetahuan (3) Sintesis analisis berganda; juga
dikenal sebagai sintesis penelitian, review penelitian yang integratif, melawan
kecendrungan analisis tunggal yang otoritatif dengan menekankan sifat-sifat
kolektif dari pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (4) Analisis multivariat;
memasukan banyak variabel dalam model kebijakan, contohnya pada analisis path
atau analisis studi kasus berdasarkan pada banyak sumber kejadian,
meningkatkan plausabilitas klaim kebijakan dengan secara sistematis menguji dan
mengeluarkan atau memadukan, jika mungkin pengaruh variabel-variabel bukan
kebijakan pada hasil kebijakan (5) Analisis pelaku berganda; investigasi kerangka
kerja interatif dan perspektif banyak pelaku penentu kebijakan. Memusatkan
perhatian pada individu-individu atau kelompok-kelompok yang berpartisipasi
dalam formulasi dan implementasi kebijakan (6) Analisis perspektif berganda;
disertakannya berbagai perspektif etis, politis, organisasional, ekonomis, sosial,
kultural, psikologis, teknologis dalam analisis kebijakan meningkatkan
plausabilitas dengan triagulasi antar berbagai representasi masalah dan solusi (7)
Komunikasi multimedia; pengguna banyak media berkomunikasi, oleh analis
sangat penting untuk meyakinkan bahwa pengetahuan (yang dikaji) relevan
dengan kebijakan, sehingga digunakan oleh para prnentu kebijakan dan penerima
dampak yang diinginkan. Media komunikasi tunggal yang sering digunakan oleh
para analis dari kebanyakan disiplin ilmiah adalah arikel ilmiah dan buku.
Hampir tidak mungkin untuk melakukan semua pedoman di atas dalam satu
analisis atau studi, mengingat adanya keterbatasan waktu dan sumber keuangan.
6
Selain itu kebanyakan kesalahan yang dapat dicegah dalam analisis kebijakan
berasal dari perpektif analisis yang sempit, karena analis yang dilakukan bersifat
menyederhanakan dan memangkas masalah agar supaya dapat berhasil walaupun
ada, bagian-bagian penting dari konteks yang relevan terabaikan atau dilihat
secara berlebihan. Analisis tersebut masih bersifat parsial sehingga belum
menggambarkan bangunan teori yang membentuk model, berbeda dengan analisis
SEM (Structural Equation Modeling) yang merupakan analisis bangunan teori
sehingga dapat memberikan keluaran berupa model yang disebut dengan model
persamaan struktural yang tidak ditemukan pada metode lain. Selain itu SEM
memberikan representasi yang objektif terhadap hasil analisis.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang menggunakan cara statitistik
berupa analisis kuantitatif (Structural Equation Modeling) merupakan kebaruan
dalam penelitian ini. Dalam cara statistik, pernyataan kebijakan didasarkan pada
argumen yang diperoleh dari sampel. Melalui teknik purposive terhadap 200
orang informan yang representasi dari suatu populasi. Melalui SEM dapat
memecahkan masalah yang rumit, memiliki keunggulan metodologis
dibandingkan dengan lainnya. SEM bukan metode baru tetapi merupakan sintesis
kreatif dari beragam riset dan praktis yang biasa dipakai oleh kalangan komunitas
ilmu kebijakan.
Salah satu karakteritik SEM adalah dapat dikonfirmasi menjadi suatu
model melalui data empirik sehingga mencakup variabel-variabel yang penting
dan tepat bagi pengelolaan konflik perikanan tangkap. Wijanto (2007)
menandaskan bahwa SEM mampu mengakses hubungan dan menguji suatu seri
hubungan yg terdiri dari suatu model berskala besar, mempunyai kemampuan
menggabungkan variabel yang tidak terlihat (laten) ke dalam analisis un observed
atau konsep yang abstrak. Keunggulan lainya adalah kemampuannya
mengakomodasikan multiple interrelated dependence relationship ke dalam satu
model saja. Penyampaian tentang ide konsep dasar bersifat sangat efektif, dan
sarana komunikasi dilakukan melalui diagram lintasan.
7
1.2. Rumusan Masalah
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Kalimantan Selatan pada
khususnya masih mengalami kelambanan yang disertai beberapa realitas kendala
di antaranya adalah berkembangnya konflik perikanan tangkap yang bersifat
destruktif dan dapat menghambat pembangunan perikanan. Terdapat beberapa
kasus konflik perikanan tangkap mulai dari pengkaplingan laut, berebut jalur
tangkapan sampai pada tindakan anarkis seperti pembakaran kapal nelayan, aksi
masa dan penyerbuan kantor DPR karena beroperasinya nelayan purse seine
menggunakan lampu dengan kekuatan tinggi, tindakan sweeping terhadap nelayan
pencari teripang dan adanya kegiatan illegal fishing dengan menggunakan bom.
Konflik tersebut berakibat pada kerugian harta benda. Berdasarkan beberapa
kasus konflik yang terjadi, belum nampak adaya upaya untuk memahami akar
permasalahan konflik tersebut apalagi upaya pengelolaannya. Dalam hal ini
diperlukan upaya yang sistematis untuk memahami dan melakukan pengelolaan
dengan membuat suatu model pengelolaan konflik
Upaya untuk memahami akar permasalahan konflik yang terjadi di perairan
Kalimantan Selatan memerlukan tahapan-tahapan yang perlu dilakukan yang
ditetapkan secara ilmiah. Beberapa pertanyaan penelitian yang harus di jawab
yaitu; (1) bagaimana tipologi konflik yang terjadi; (2) apa teknik resolusi konflik
yang digunakan; (3) bagaimana proses resolusi konflik dilakukan; (4) apakah
kesepakatan yang dihasilkan sudah menyentuh akar masalah; (5) apakah upaya
penyelesaian sudah mengikutsertakan segenap komponen stakeholder. Dengan
diketahuinya akar permasalahan tersebut merupakan awal yang baik untuk
dijadikan landasan untuk membuat model pengelolaan konflik dan
mengembangkan peran kelembagaan pengelolaan konflik.
Rumuskan indikator penyebab konflik diperoleh dengan cara melakukan
mengidentifikasi konflik yang terjadi, di mana konflik tersebut terjadi, kronologi
peristiwa dan aktor-aktor atau kelompok yang terlibat. Rumusan terhadap
indikator teknik resolusi konflik dilakukan dengan identifikasi upaya-upaya yang
dilakukan untuk menyelesaikan konflik, siapa yang dilibatkan, cara apa yang
dilakukan dan bagaimana hasilnya serta menelusuri peran kelembagaan sosial
8
masyarakat nelayan. Dengan demikian rumusan model struktural dan pengukuran
dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat dilakukan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
(1) Memetakan permasalahan konflik perikanan tangkap
(2) Mengembangkan konsep peran kelembagaan pengelolaan konflik
perikanan tangkap
(3) Membuat model pengelolaan konflik perikanan tangkap.
1.4 Manfaat Penelitian
(1) Bahan pertimbangan atau rekomendasi kepada pemerintah dalam
perumusan kebijakan dalam rangka mengelola konflik perikanan tangkap.
(2) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada nelayan
untuk meningkatkan keterampilan penyelesaian konflik melalui proses
resolusi yang tepat.
(3) Penelitian ini akan memperkaya pengetahuan dan teori tentang tipe konflik
dan pendekatan yang dapat diaplikasikan dalam mengelola perikanan
tangkap berbasis resolusi konflik.
1.5 Kerangka Pemikiran
Konflik perikanan tangkap bersifat sangat kompleks, oleh karena itu
diperlukan identifikasi menyeluruh yang merupakan input dari penelitian yang
terangkum kedalam identifikasi permasalahan konflik perikanan tangkap. Akar
permasalahan penting untuk diketahui agar penyelesaian terhadap kesepakatan
diharapkan benar-benar dapat meyelesaikan masalah. Identifikasi awal yang
dilakukan secara sistematis merupakan landasan yang kuat dalam menjalankan
proses penyelesaian konflik.
Konflik sumber daya alam terjadi karena adanya perbedaan pendapat dan
perseteruan mengenai posisi, kepentingan dan kebutuhan terhadap pemanfaatan
sumber daya alam. Sumber konflik ini seringkali timbul karena adanya perbedaan
pemanfaatan sumber daya atau perbedaan dalam cara pengelolaannya. Perbedaan
9
pendapat juga terjadi ketika masing-masing memiliki kepentingan yang saling
tidak mendukung, atau ketika prioritas dari beberapa kelompok pengguna tidak
terwakili dalam kebijakan dan program yang ada. Perbedaan tersebut
tergambarkan dalam analogi bawang bombay, sedangkan motivasi dari masing-
masing pihak yang berkonflik terlihat pada segitiga S-P-K (Sikap Perilaku
Konteks). Untuk lebih memahami konflik secara lebih jelas perlu dilakukan
pemetaan konflik yang menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan
pihak-pihak beserta masalahnya dan pihak lainnya yang terlibat dalam konflik
yang bersangkutan.
Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan
penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahuinya tipologi konflik maka
penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Memahami tipologi
dimaksudkan untuk bisa menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili
karekteristik suatu konflik (Obserchall 1973).
Bennett and Neiland (2000) menyatakan bahwa metode resolusi konflik
umumnya bersifat spesifik, walaupun dikenal berbagai metode untuk
menyelesaikan konflik, tetapi tidak seluruh metode sesuai untuk dipakai. Resolusi
konflik dapat ditempuh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu melalui
pengadilan (litigasi) atau pendekatan alternatif yang lebih dikenal sebagai
alternative dispute resolution (ADR).
Untuk dapat melakukan proses resolusi konflik yang efektif tentu saja
memerlukan wadah kelembagaan, melalui suatu forum dapat ditentukan teknik
resolusi yang tepat, sehingga mekanisme penyelesaian konflik dapat mencapai
kesepakatan yang disetujui oleh segenap stakeholder yang terkait sesuai dengan
akar masalahnya. Dengan demikian implikasinya dapat diterapkan dalam
pengelolaan konflik perikanan tangkap baik yang ada di perairan Kalsel ataupun
di lokasi lain.
Resolusi konflik adalah upaya untuk menyelesaikan konflik yang muncul
dari kalangan masyarakat. Resolusi konflik diharapkan dapat memberikan
dampak positif terhadap partisipasi nelayan dalam pengelolaan sumber daya
perikanan. Hal ini disebabkan karena tidak semua konflik selalu berdampak
10
negatif. Konflik yang berdampak positif dibutuhkan dalam tahap perkembangan
ke arah yang lebih baik.
Pendekatan yang baik dalam mewujudkan pengelolaan perikanan tangkap
yang bertanggung jawab adalah dengan mengajak pihak-pihak yang
berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama
terhadap konflik. Selain itu dengan terbangunnya partisipasi dapat mewujudkan
akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan. Kerangka pemikiran penelitian
ini diilustrasikan pada Gambar 1.
1.6 Ruang Lingkup dan Kebaruan
Ruang lingkup dan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
(1) Lingkup penelitian mencakup kegiatan perikanan tangkap di wilayah perairan
Kalimantan Selatan, bidang kajian ilmu kelautan dan perikanan dengan tema
pengelolaan konfik yang merupakan integrasi aspek perikanan tangkap,
sumber daya, aktor, kelembagaan dan kebijakan.
(2) Kebaruan dalam pengembangan model pengelolaan konflik secara kuantitatif
didasarkan pada analisis Structural Equation Modeling dan mengembangan
peran kelembagaan pengelolaan konflik.
KONFLIK DALAM
PEMANFAATAN SDI
- Wilayah konflik
- Identifikasi konflik
- Eskalasi konflik
IDENTIFIKASI KONFLIK
PERMASALAHAN
KONFLIK
PROSES PENYELESAIAN
KONFLIK
TIPOLOGI KONFLIK
- Jurisdiksi
- Mekanisme
pengelolaan
- Alokasi internal
- Alokasi eksternal
(Charles 1992)
KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN
KONFLIK
Pemerintah
Non pemerintah
Kapital sosial
OUTCOME
Pengelolaan PT yang
bertanggung jawab
- Partisipasi Masyarakat,
- Keberlanjutan SDPT,
- Menjamin keadilan
TEKNIK
PENYELESAIAN
KONFLIK
Negosiasi, Fasilitasi,
Mediasi, Litigasi
(Priscoli 2002)
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
SUMBER KONFLIK
Masalah hubungan, Data,
Masalah structural, Nilai
(Gorre 1999)
- Analogi bawang
bombay
- Segitiga S-P-K
(Fisher et al. 2000)
11
KESEPAKATAN
antara para pihak
yang berkonflik
1 Ekonomi
2 Aktor
3 Oposisi
4 Isu
5 Nelayan
6 Kompetisi
7 Tokoh
8 Stok
9 Interest
10 Peraturan
11 Budaya
FAKTOR PENYEBAB
KONFLIK
OUTPUT
- Permanent Conflict
Solution