MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN …eprints.uns.ac.id/6153/1/131480608201001491.pdf · 6. dalam...

90
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) DAN THINK PAIR SHARE (TPS) DITINJAU DARI MOTIVASI BERPRESTASI DAN GAYA BELAJAR SISWA (Studi Kasus Pembelajaran IPA pada Materi Sistem Pencernaan Kelas VIII Semester 1 SMP N 1 Juwiring Tahun Ajaran 2009/2010) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Sains Minat Utama Pendidikan Biologi Oleh : Ika Rahmawati S830908017 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN …eprints.uns.ac.id/6153/1/131480608201001491.pdf · 6. dalam...

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN NUMBERED HEADS

TOGETHER (NHT) DAN THINK PAIR SHARE (TPS) DITINJAU DARI MOTIVASI BERPRESTASI DAN GAYA BELAJAR SISWA

(Studi Kasus Pembelajaran IPA pada Materi Sistem Pencernaan Kelas VIII Semester 1

SMP N 1 Juwiring Tahun Ajaran 2009/2010)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Mencapai Derajat Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Sains

Minat Utama Pendidikan Biologi

Oleh :

Ika Rahmawati

S830908017

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam upaya menyiapkan generasi yang siap menghadapi tantangan jaman, maka

sudah saatnya disusun pembelajaran yang dapat mengaktifkan minat serta melatih

berpikir bagi siswa. Salah satu cara berpikir yang harus dikembangkan adalah cara

berpikir kooperatif. Karena pada cara berpikir ini, pikiran seseorang dipusatkan pada

keputusannya terhadap sesuatu yang harus dipercayai atau yang harus dilakukan. Apalagi

pada jaman informasi ini diperlukan kepandaian untuk menganalisis masalah yang terjadi

disekitarnya dan dapat menerima pendapat orang lain. Hal ini dapat dicapai salah satunya

melalui model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran ini dapat digunakan untuk

semua jenjang pendidikan di berbagai bidang ilmu.

Pada SMP N 1 Juwiring, ada beberapa permasalahan yang diketemukan para guru

pada saat proses pembelajaran berlangsung yang menyebabkan nilai prestasi.

Permasalahan- permasalahan tersebut adalah: tingkat kemampuan siswa dalam

menganalisis masalah masih rendah, masih kurangnya kemampuan berinteraksi antar

siswa pada saat proses pembelajaran, minat belajar dan rasa ingin tahu siswa rendah.

Dalam proses pembelajaran guru sulit melibatkan siswa secara aktif dikarenakan metode

atau pendekatan dan media pembelajaran yang digunakan guru kurang bervariasi

sehingga proses pembelajarannya kurang memuaskan. Selain itu kebanyakan siswa di

SMP N 1 Juwiring menganggap mata pelajaran IPA sulit untuk dimengerti, dipahami dan

dihafal. Masalah-masalah tersebut dapat diatasi salah satunya melalui penerapan model

pembelajaran kooperatif.

Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan model

pembelajaran yang saat ini banyak digunakan dalam mewujudkan kegiatan belajar

mengajar yang berpusat pada siswa (student centre). Dan terutama untuk mengatasi

masalah–masalah yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa seperti: siswa yang

kurang memiliki kemampuan sosial, siswa yang tidak dapat bekerja sama dengan siswa

lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada siswa lain.

Matthew (2006: 277) mengungkapkan bahwa ”Cooperative learning techniques

allow instructors to more effectively structure and implement group work in their

classrooms”. Yaitu dengan teknik pembelajaran kooperatif terjadi kerja kelompok yang

lebih efektif dan terstruktur di dalam kelas. Pembelajaran kooperatif akan menghasilkan

interaksi yang terstruktur antar anggota kelompok dan terjadi kerja kelompok yang lebih

efektif dalam suatu kelas.

Pembelajaran IPA menuntut adanya peran aktif siswa, karena IPA berdasarkan

proses ilmiah yang didasarkan pada cara berfikir logis berdasarkan faktor–faktor yang

mendukung. Dan cara berfikir kooperatif untuk memecahkan permasalahan–

permasalahan dalam pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam pembelajaran

IPA perlu penerapan model pembelajaran kooperatif. Adapun beberapa model

pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan antara lain Jigsaw, STAD, TGT,

Numbered Heads Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS).

Materi-materi yang ada dalam pembelajaran IPA di SMP kelas VIII antara lain

pertumbuhan dan perkembangan, sistem gerak, sistem respirasi, sistem pencernaan,

sistem peredaran darah, dan sistem ekskresi. Semua materi bisa menerapkan model

pembelajaran kooperatif, tetapi akan memilih salah satu materi saja. Materi yang dipilih

adalah sistem pencernaan karena materi sistem pencernaan juga dianggap penting karena

dengan siswa mempelajarinya siswa akan memahami dan mengetahui perjalanan

makanan dalam tubuh mereka. Siswa juga menjadi mengerti proses–proses yang diterima

makanan selama didalam tubuh. Selain itu materi ini dianggap paling sukar, karena

banyak melibatkan organ–organ di dalam tubuh manusia sehingga siswa merasa kesulitan

dalam memahami nama-nama latin dari organ-organ tersebut. Nama-nama latin tersebut

mungkin akan lebih mudah diterima oleh siswa dengan cara saling bertukar pendapat dan

saling memberi masukan maka dipilih model pembelajaran kooperatif Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS).

NHT adalah suatu metode pengelompokan siswa, setiap siswa dalam kelompok

diberi nomor lalu guru memberikan tugas untuk dikerjakan masing–masing kelompok

dan kemudian guru memanggil salah satu nomor untuk melaporkan hasil kerja sama

mereka (Anita Lie, 2005: 60). Dalam metode ini siswa diharapkan dapat bekerja sama

dengan anggota kelompok lainnya. Serta diharapkan semua siswa memiliki kesiapan

untuk menerangkan hasil diskusi dan menjawab pertanyaan–pertanyaan dari guru karena

semua siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk ditunjuk. Sehingga semua siswa

akan memahami materi serta mempersiapkan diri agar bisa menerangkan hasil diskusi

dan menjawab pertanyaan–pertanyaan dari guru. Dengan metode ini diharapkan dapat

menumbuhkan jiwa tanggung jawab dalam diri setiap siswa khususnya sebagai anggota

kelompok.

Think Pair Share (TPS) menurut Anita Lie (2005: 57) merupakan teknik yang

memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain.

Dengan TPS diharapkan akan terjadi aktivitas dan interaksi antara siswa yang pandai

dengan siswa yang kurang pandai dalam kelas, sehingga dapat saling membantu dalam

memecahkan masalah serta dalam menguasai materi pelajaran.

Selain model pembelajaran yang digunakan juga terdapat beberapa faktor internal

siswa yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran. Faktor–faktor antara lain

minat belajar siswa, kemampuan awal siswa, kreativitas siswa, motivasi belajar siswa,

motivasi berprestasi siswa dan gaya belajar siswa. Dalam pembelajaran IPA melalui

model pembelajaran kooperatif khususnya pada materi sistem pencernaan perlu

memperhatikan motivasi berprestasi dan gaya belajar siswa. Hal ini dikarenakan motivasi

berprestasi dan gaya belajar siswa dapat mempengaruhi dalam keberhasilan proses

pembelajaran.

Menurut Sardiman.A.M (2001: 73) motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan

daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin

kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar

sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar dapat tercapai. Dengan kata lain

motivasi yang sudah ada dalam diri siswa dapat menimbulkan kegiatan untuk melakukan

kegiatan belajar sehingga dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. Sedangkan motivasi

berprestasi merupakan suatu dorongan yang sudah ada dalam diri siswa untuk

mendapatkan prestasi yang lebih baik dari sebelumnya. Motivasi berprestasi antara siswa

satu dengan siswa yang lain berbeda–beda ada yang memiliki motivasi berprestasi

tinggi, dan motivasi berprestasi yang rendah.

Gaya belajar siswa juga perlu diperhatikan karena gaya belajar siswa berbeda–

beda. Seperti yang dikemukakan Mel Silbermen dalam Active Learning (2001: 6) bahwa

gaya belajar itu ada tiga yaitu visual, auditory, dan kinesthetik. Gaya belajar visual

berpusat pada indera mata atau dengan kata lain dengan cara melihat. Untuk gaya belajar

auditory berpusat pada indera telinga yaitu dengan mendengar. Sedang untuk gaya

belajar kinesthetik adalah mengedepankan aktivitas biasanya dengan mencatat.

Untuk mengetahui bahwa proses pembelajaran dapat berlangsung dan sejauh

mana siswa berhasil menguasai materi pembelajaran maka diperlukan alat ukur

keberhasilan siswa dalam pembelajaran yaitu tes prestasi belajar. Tes prestasi belajar

merupakan salah satu alat pengukuran dibidang pendidikan yang sangat penting artinya

sebagai sumber informasi guna mengambil keputusan. Prestasi belajar yang diukur

meliputi tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada beberapa masalah yang dapat

diidentifikasi, yaitu sebagai berikut:

1. tingkat kemampuan siswa dalam menganalisis masalah masih rendah;

2. masih kurangnya kemampuan berinteraksi antar siswa pada saat proses pembelajaran;

3. pembelajaran yang masih didominasi guru dan pasifnya siswa dalam menerima

pelajaran;

4. kesulitan guru untuk mengaktifkan siswa pada saat proses pembelajaran;

5. siswa menganggap mata pelajaran IPA sulit untuk dimengerti, dipahami dan dihafal;

6. dalam pembelajaran IPA model pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan antara

lain Jigsaw, STAD, TGT, Numbered Heads Together (NHT) dan Think Pair Share

(TPS);

7. dalam pembelajaran IPA di SMP kelas VIII terdapat beberapa materi antara lain

pertumbuhan dan perkembangan, sistem gerak, sistem respirasi, sistem pencernaan,

sistem peredaran darah, dan sistem ekskresi.

8. faktor internal siswa yang berpengaruh terhadap prestasi belajar antara lain minat

belajar, kemampuan awal, kreativitas, motivasi belajar, motivasi berprestasi dan gaya

belajar.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka agar penelitian ini

dapat lebih terarah dan mencapai sasaran yang diinginkan, penulis melakukan

pembatasan masalah pada:

1. model pembelajaran kooperatif yang digunakan adalah Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS);

2. materi pelajaran IPA yang digunakan adalah sistem pencernaan;

3. faktor internal siswa yang diteliti adalah motivasi berprestasi dan gaya belajar;

4. prestasi belajar siswa dalam penelitian ini dibatasi prestasi belajar kognitif;

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan

masalah yang dilakukan maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. apakah terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif dengan

Numbered Heads Together (NHT) Think Pair Share (TPS) terhadap prestasi

belajar IPA?

2. apakah terdapat pengaruh motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi belajar

IPA?

3. apakah terdapat pengaruh gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA?

4. apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan motivasi berprestasi siswa

terhadap prestasi belajar IPA?

5. apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan gaya belajar siswa terhadap

prestasi belajar IPA?

6. apakah terdapat interaksi antara motivasi berprestasi siswa dengan gaya belajar

siswa terhadap prestasi belajar IPA?

7. apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan motivasi berprestasi siswa

dan gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif dengan Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) terhadap prestasi belajar IPA;

2. pengaruh motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi belajar IPA;

3. pengaruh gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA;

4. interaksi antara model pembelajaran kooperatif Numbered Heads Together (NHT)

dan Think Pair Share (TPS) dengan motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi

belajar IPA;

5. interaksi antara model pembelajaran kooperatif Numbered Heads Together (NHT)

dan Think Pair Share (TPS) dengan gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar

IPA;

6. interaksi antara motivasi berprestasi siswa dengan gaya belajar siswa terhadap

prestasi belajar IPA;

7. interaksi antara model pembelajaran kooperatif Numbered Heads Together (NHT)

dan Think Pair Share (TPS) dengan motivasi berprestasi siswa dan gaya belajar

siswa terhadap prestasi belajar IPA.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. manfaat teoritis:

a. untuk mengetahui perbedaan model pembelajaran kooperatif dengan

Numbered Heads Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan

meninjau motivasi berprestasi siswa dan gaya belajar siswa;

b. untuk menambah dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dalam

mendukung teori–teori yang telah ada sehubungan dengan masalah

yang diteliti.

2. manfaat praktis:

a. masukan kepada guru agar lebih mencermati dalam menentukan model

pembelajaran sehingga dapat mencapai tujuan dengan baik;

b. memberikan masukan pemilihan model pembelajaran yang diharapkan

lebih memberikan efektifitas pembelajaran;

c. hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi peneliti

lain untuk melakukan pengembangan penelitian yang sejenis.

BAB II

KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Belajar dan Pembelajaran

Belajar merupakan komponen yang paling vital dalam setiap usaha

penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan, sehingga tanpa proses belajar

sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Belajar merupakan tindakan dan perilaku

siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, belajar hanya dialami oleh siswa sendiri (Syaiful

Sagala, 2003: 13). Dalam masalah belajar, Gagne memberikan dua definisi: a. belajar

adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan,

kebiasaan, dan tingkah laku; b. ”belajar adalah pengetahuan atau keterampilan yang

diperoleh dari instruksi (Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 22).

“Pembelajaran adalah proses membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan

maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan.

Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak

guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid”

(Syaiful Sagala, 2003: 61).

Menurut Hilgard dan Bower dalam Jogiyanto (2006: 12) ”pembelajaran dapat

didefinisikan sebagai suatu proses yang kegiatannya berasal atau berubah lewat reaksi

dari suatu situasi yang dihadapi dengan keadaan bahwa karakteristik dan perubahan

aktivitas tersebut tidak dapat dijelaskan dengan dasar kecenderungan-kecenderungan

reaksi asli, kematangan atau perubahan-perubahan sementara dari organisme”. Dunkin

dan Biddle dalam Syaiful Sagala (2003: 63) menyatakan bahwa proses pembelajaran atau

pengajaran kelas (classrom teaching) berada pada empat variabel interaksi yaitu: variabel 10

pertanda (presage variable) berupa pendidik, variabel konteks (context variable), berupa

peserta didik, sekolah dan masyarakat, variabel proses (proses variable), berupa interaksi

peserta didik dengan pendidik dan, variabel produk (product variable) berupa

perkembangan peserta didik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Pembelajaran yang baik mempunyai sasaran–sasaran yang seharusnya berfokus

pada hal–hal sebagai berikut: a. meningkatkan kualitas berfikir (qualities of mind) yaitu

berfikir dengan efisien, kontruktif, mampu melakukan judmen (judgment) dan kearifan

(wisdom); b. meningkatkan attitude of mind, yaitu menekankan pada keingintahuan

(curiosity), aspirasi-aspirasi dan penemuan–penemuan. Pembelajaran juga merupakan

suatu kegiatan “seni” untuk mendorong orang untuk menemukan sesuatu (discovery

process); c. meningkatkan kualitas personal (qualities of person) yaitu karakter

(character), sensitivitas (sensitivity), intregitas (intregrity), tanggung jawab

(responbility); d. meningkatkan kemampuan untuk menerapkan konsep–konsep dan

pengetahuan–pengetahuan di situasi spesifik (Jogiyanto, 2006: 20).

Belajar merupakan suatu tindakan dalam dunia pendidikan yang hanya dialami

oleh siswa, sedangkan pembelajaran merupakan komunikasi dua arah yaitu antara guru

sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik. Pembelajaran terjadi ketika seseorang

berubah secara alami atau karena menjadi dewasa yang dapat terjadi dengan sendirinya

atau bukan karena perubahannya sementara saja tetapi lebih karena reaksi dari sesuatu

yang dihadapi.

Pada proses pembelajaran perlu didukung oleh beberapa teori belajar. Ada

beberapa macam teori belajar, diantaranya adalah:

a. Teori Belajar Piaget

Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan

kognitif yang dilalui siswa. Dalam hal ini Piaget membaginya dalam empat tahap yaitu:

(1) sensori motor (usia 0-2 tahun), selama periode ini anak mengatur alam dengan indera-

inderanya (sensori) dan dengan tindakan-tindakan; (2) pra-operasional (usia 2-7 tahun),

pada tahap ini anak belum mampu melakukan operasi matematik seperti menambah,

mengurangi dan lain sebagainya; (3) operasional kongkrit (usia 7-11 tahun), tahap ini

merupakan tahap permulaan anak mulai berfikir secara rasional akan tetapi belum dapat

berurusan dengan materi-materi abstrak; (4) operasional formal (usia 11-dewasa), anak

pada periode ini tidak perlu berfikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-

peristiwa konkret dan sudah mempunyai kemampuan berfikir abstrak (Slavin, 1994: 34).

Model pembelajaran kooperatif NHT dan TPS dapat digunakan karena para siswa

sudah dapat berfikir abstrak. Siswa SMP kelas VIII menurut teori ini termasuk kelompok

tahap operasional formal. Tahap operasional formal merupakan tahap final

perkembangan kognitif. Dalam tahap operasional formal (11-dewasa), anak telah

mengembangkan kemampuan terlibat dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan

situasi-situasi hipotesis dan memonitor jalan fikirannya sendiri

b. Teori belajar Vygotsky

Sumbangan paling penting dari teori Vygotsky adalah penekanan pada

sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi

pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi

mental yang lebih tinggi terserap kedalam individu tersebut. Vygotsky lebih jauh yakin

bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar mengenai tugas-tugas itu

masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas tersebut berada dalam

“zone of proximal development yang merupakan perkembangan sedikit diatas tingkat

perkembangan seseorang saaat ini” (Slavin, 1994: 49). Ide penting yang diturunkan

dalam teori Vygotsky adalah scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar

bantuan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian anak

tersebut mengambil alih tanggungjawab yang semakin besar, setelah ia dapat

melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan,

menguraikan masalah kedalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh,

ataupun yang lain yang memungkinkan siswa tumbuh mandiri, (Slavin, 1994: 49)

Pada model pembelajaran kooperatif siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-

tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang

efektif di dalam masing-masing zone of proximal development mereka. Pada model

pembelajaran kooperatif juga mengggunakan tipe pembelajaran scaffolding yaitu lewat

petunjuk, sehingga siswa semakin lama semakin bertangungjawab terhadap

pembelajarannya sendiri.

c. Teori Pemrosesan Informasi Robert Gagne

Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi untuk kemudian diolah

sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil pembelajaran. Dalam pemrosesan

informasi terjadi antara kondisi internal dan eksternal”. Kondisi internal adalah keadaan

di dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil pembelajaran dan proses

kognitif yang terjadi dalam individu selama proses belajar berlangsung. Sedangkan

kondisi eksternal adalah berbagai rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi

individu dalam proses pembelajaran. Interaksi antara kondisi internal dan eksternal akan

menghasilkan hasil pembelajaran (Mohammad Surya, 2003: 60).

Kaitan antara teori belajar Gagne dengan penelitian ini adalah teori belajar Gagne

menitikberatkan pada pemprosesan informasi, sehingga terjadinya interaksi dengan

lingkungan. Model pembelajaran kooperatif dengan NHT dan TPS dapat mengarahkan

siswa untuk mendapatkan konsep pada materi sistem pencernaan makanan, yang dapat

menumbuhkan kemampuan verbal, percakapan intelektual dan kemampuan kognitif

siswa. Proses-proses pada model pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk

mengungkapkan pendapat, memberikan alternatif solusi yang mengedepankan aspek

kognitif.

2. Pembelajaran kooperatif

Pembelajaran kooperatif menurut Nurhadi (2004: 112) adalah “pembelajaran yang

secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang berkesinambungan untuk

menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan

permusuhan, sebagai latihan hidup dalam bermasyarakat”. Hsiu-chuan Chen (2006: 201)

menyatakan bahwa ”pembelajaran kooperatif (CL) memfasilitasi pembelajaran kedua

bahasa asing pada peserta didik” (CL facilitates the learning of second/foreign language

learners). Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan

cooperative learning telah berhasil membantu siswa dalam pembelajaran bahasa asing

dan pendekatan ini merupakan pendekatan instruksional yang efektif (CL is an effective

instructional approach).

Effandi Zakaria & Zanaton Iksan (2007: 35) menyatakan bahwa pembelajaran

kooperatif merupakan pembelajaran yang sangat efektif, ini bisa dilihat ketika para siswa

sedang berdiskusi untuk membicarakan suatu masalah semua anggota kelompok aktif

mengemukakan dan membahas ide-ide. Dari pembelajaran kooperatif ini juga terlihat

suatu pengerjaan secara kelompok untuk melengkapi tes akademik. (Cooperative

learning is grounded in the belief that learning is most effective when students are

actively involved in sharing ideas and work cooperatively to complete academic tasks).

Menurut Syaiful Sagala (2003: 88) pembelajaran kooperatif adalah salah satu

bentuk pengajaran/pembelajaran yang didasarkan pada pohon konstruktivisme. Dalam

teori konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan sendiri dan memecahkan informasi

baru dengan aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi

dalam pandangan teori konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan

dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Landasan

berpikir konstruktivisme lebih menekankan pada hasil pembelajaran.

Abdurahman & Bintoro dalam Nurhadi (2004: 112-113) menyatakan ada

beberapa elemen yang saling terkait dalam pembelajaran kooperatif. Elemen–elemen

tersebut adalah: a. saling ketergantungan positif, dalam pembelajaran kooperatif guru

menciptakan suasana yang mendorong siswa agar siswa merasa saling membutuhkan.

Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling

ketergantungan positif. Saling ketergantungan dapat dicapai melalui: saling

ketergantungan mencapai tujuan, saling ketergantungan menyelesaikan tugas, saling

ketergantungan bahan atau sumber, saling ketergantungan peran, dan saling

ketergantungan hadiah; b. interaksi tatap muka, ini akan memaksa siswa saling tatap

muka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog. Dialog tidak hanya dilakukan

oleh guru. Interaksi semacam itu sangat penting karena siswa merasa lebih mudah belajar

dari sesamanya; c. akuntabilitas individual, pembelajaran kooperatif menampilkan

wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditujukan untuk mengetahui penguasaan

siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual

selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota kelompok

mengetahui anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan yang dapat memberikan

bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas rata–rata hasil belajar semua anggotanya, karena

tiap anggota kelompok harus memberikan sumbangan demi kemajuan kelompok.

Penilaian kelompok yang didasarkan atas rata–rata penguasaan semua anggota kelompok

secara individual ini yang dimaksud dengan akuntabilitas individual; d. keterampilan

menjalin hubungan antar pribadi. Keterampilan sosial ini seperti tenggang rasa, sikap

sopan terhadap teman, mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak

mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam

menjalin hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) tidak hanya diasumsikan

tetapi secara sengaja diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi

akan memperoleh teguran dari guru juga dari sesama siswa.

Pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh

siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam

pembelajaran kooperatif ada empat elemen penting yang saling terkait yaitu saling

ketergantungan positif, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual dan keterampilan

menjalin hubungan antar probadi.

3. Numbered Heads Together (NHT)

Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-

ide dan mempertimbangkan jawaban paling tepat. Selain itu, teknik ini juga mendorong

siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka. Teknik ini bisa digunakan

dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik (Anita Lie, 2005:

59).

Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kagan (1993) dengan melibatkan para

siswa dalam melihat kembali bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek

atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Sebagai pengganti

pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat langkah

sebagai berikut: a. langkah pertama–penomeran (numbering): guru membagi para siswa

menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan tiga hingga lima orang dan

memberi mereka nomor sehingga tiap siswa dalam tim memiliki nomor yang berbeda. b.

langkah kedua-pengajuan pertanyaan (questioning): guru mengajukan pertanyaan pada

siswa. Pertanyaan dapat bervariasi, dari yang bersifat spesifik hingga bersifat umum. c.

langkah ketiga–berpikir bersama (head together): para siswa berpikir bersama untuk

menggambarkan dan menyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban tersebut. d.

langkah keempat–pemberian jawaban (answering): guru menyebut satu nomor dan para

siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan

jawaban untuk seluruh kelas (Nurhadi, 2004: 121).

Numbered Heads Together (NHT) merupakan salah satu model pembelajaran

kooperatif yang menggunakan teknik penomoran. Dalam pembelajarannya menggunakan

beberapa langkah yaitu penomoran, pengajuan pertanyaan, kegiatan berpikir bersama

atau berdiskusi, selanjutnya pemberian jawaban oleh siswa sesuai dengan nomor yang

dipanggil oleh guru. Dan proses akhir dalam pembelajaran adalah pembahasan hasil

diskusi oleh guru bersama-sama dengan siswa.

4. Think-Pair-Share (TPS)

Teknik ini biasa disebut teknik belajar mengajar berpikir–berpasangan–berempat.

Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan

orang lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa. Dengan

metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya

untuk seluruh kelas, teknik berpikir–berpasangan–berempat ini memberi kesempatan

sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan

menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain. Teknik ini bisa digunakan dalam

semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik (Anita Lie, 2005: l7).

Nik Azlina (2008: 12) menyatakan bahwa think–pair–share merupakan teknik

komunikasi berkolaborasi dalam suatu kelas virtual, kolaborasi ini dapat diaplikasikan

antara siswa dengan guru dan pada saat proses pembelajaran. Teknik ini meliputi tiga

tahapan yang pertama adalah”think” yaitu berpikir sendiri atau secara individual

selanjutnya “pair” yaitu berpikir berpasangan dan yang terakhir “share” membicarakan

hasil pemikirannya dengan seluruh anggota dalam kelas”. (Think-pair-share technique

used for collaborative communication in virtual classroom, where it can be applied

among students during the teaching and learning process. ‘think’ individually, discuss

with a ‘pair’, then ‘share’ the ideas with the rest of class).

Metode ini dikembangkan oleh Frank Lyman dan kawan–kawan dari Universitas

Maryland yang mampu mengubah asumsi bahwa metode resitasi dan diskusi perlu

diselenggarakan dalam setting kelompok kelas secara keseluruhan. Metode think–pair–

share memberi waktu kepada para siswa untuk berpikir dan merespons serta saling

membantu siswa lain. Sebagai contoh, seorang guru baru saja menyelesaikan sajian

pendek atau para siswa telah selesai membaca tugas. Selanjutnya, guru meminta para

siswa untuk menyadari secara lebih serius mengenai sesuatu yang telah dijelaskan oleh

guru atau yang telah dibaca. Guru lebih memilih metode think–pair–share dari pada

metode tanya jawab untuk kelompok keseluruhan (whole–group question and answer).

Lyman dan kawan–kawan menggunakan langkah–langkah sebagai berikut: a. langkah

pertama–berpikir (thingking): guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berkaitan

dengan pelajaran dan siswa diberi waktu satu menit untuk berpikir sendiri mengenai

jawaban atau isu tersebut; b. langkah kedua-berpasangan (pairing): selanjutnya guru

meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan sesuatu yang telah dipikirkan.

Interaksi selama periode ini dapat menghasilkan jawaban bersama jika pertanyaan telah

diajukan atau penyampaian ide bersama jika isu khusus telah diidentifikasi. Biasanya

guru mengijinkan tidak lebih dari empat atau lima menit untuk berpasangan. c. langkah

ketiga–berbagi (sharing): pada langkah akhir ini guru meminta pasangan–pasangan

tersebut untuk berbagi atau bekerja sama dengan warga kelas secara keseluruhan

mengenai sesuatu yang telah mereka bicarakan. Langkah ini akan efektif jika guru

berkeliling kelas dari pasangan yang satu kepasangan yang lain, sehingga seperempat

atau separo dari pasangan–pasangan tersebut memperoleh kesempatan untuk melapor

(Nurhadi, 2004: 120).

Think-pair-share (TPS) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif

yang menggunakan teknik berpikir berpasangan. Dalam pembelajarannya menggunakan

beberapa langkah yaitu berpikir sendiri, berpasangan, selanjutnya berbagi hasil diskusi

dengan seluruh siswa. Proses akhir dalam pembelajaran ini adalah pembahasan hasil

diskusi oleh guru bersama-sama dengan seluruh siswa.

5. Motivasi Berprestasi

Motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari,

mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam

mencapai tujuan sehingga semakin besar motivasinya akan semakin besar kesuksesan

belajarnya. Seorang yang besar motivasinya akan giat berusaha, tampak gigih tidak mau

menyerah, giat membaca buku–buku untuk meningkatkan prestasinya untuk

memecahkan masalahnya. Sebaliknya mereka yang motivasinya lemah, tampak acuh tak

acuh, mudah putus asa, perhatiaannya tidak tertuju pada pelajaran, suka mengganggu

kelas, sering meninggalkan pelajaran akibatnya banyak mengalami kesulitan belajar (Abu

Ahmadi & Widodo Supriyono, 2004: 83).

Frederick J. McDonald menyatakan bahwa motivasi merupakan perubahan tenaga

di dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi–reaksi mencapai

tujuan. Menurut Morgan, motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan

aspek–aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut ialah: keadaan yang mendorong tingkah

laku atau motivating states, tingkah laku yang didorong oleh keadaan tersebut atau

motivated behavior, dan tujuan dari tingkah laku tersebut atau goals or ends of such

behavior (Wasty Soemanto, 2004: 2006).

Motivasi yang dimiliki siswa itu bermacam–macam, diantaranya motivasi

berprestasi. Motivasi berprestasi menurut Suyadi (2008: 46) merupakan ”suatu

sikap yang membangun siswa untuk berbuat, menentukan arah dan menerima semangat

untuk meraih prestasi belajar”. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa motivasi

berprestasi merupakan dorongan atau sikap yang membangun siswa untuk berbuat,

menentukan arah dan menerima semangat dalam meraih prestasi belajar yang lebih baik

dari sebelumnya.

Seperti yang dikemukakan oleh Sardiman (2001: 83) bahwa motivasi memiliki

beberapa berfungsi yaitu: a. mendorong manusia berbuat, dengan kata lain motivasi

sebagai motor penggerak yang melepaskan energi, b. menentukan arah perbuatan,

maksudnya adalah untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, c. menyeleksi perbuatan,

maksudnya adalah untuk menentukan perbuatan–perbuatan yang harus dikerjakan yang

serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan yang tidak bermanfaat.

Menurut Robinson dalam Suyadi (2008: 45), ada empat indikator yang dapat

digunakan dalam pengukuran motivasi berprestasi. Keempat indikator tersebut yaitu: a.

harapan untuk sukses, b. bekerja keras, c. kekhawatiran akan gagal, d. keinginan untuk

memperoleh nilai yang tinggi. Penjabaran keempat indikator adalah dalam bentuk

instrumen dengan menggunakan alternative jawaban berupa skala sikap. Skala ini

disusun dalam bentuk pertanyaan dan diikuti oleh lima respon yang menunjukkan

tingkatan selalu, sering, kadang–kadang, jarang, dan tidak pernah.

Motivasi berprestasi siswa merupakan dorongan atau sikap yang membangun

siswa untuk berbuat, menentukan arah dan menerima semangat dalam meraih prestasi

belajar yang lebih baik dari sebelumnya. Motivasi berprestasi dalam penelitian ini ada

dua yaitu motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah.

6. Gaya Belajar

Menurut Bobbi Deporter & Mike Hernacki dalam Theresia Heni Ambaristi (2008:

26-27) gaya belajar merupakan kombinasi dari seseorang menyerap, dan mengatur serta

mengolah informasi. Modalitas belajar seseorang dibedakan menjadi tiga yaitu: visual,

auditory dan kinestetik. Orang visual belajar melalui sesuatu yang mereka lihat, orang

auditory melakukannya melalui sesuatu yang mereka dengar dan orang kinestetik belajar

lewat gerak dan sentuhan. Walaupun masing-masing orang menggunakan ketiga

modalitas belajar ini, kebanyakan orang lebih cenderung pada salah satu dari ketiganya.

Lena M. Ballone & Charlene M. Czerniak (2001: 3,4) menyatakan learning style

is defined as the manner in which students of all ages are affected by sociological needs,

immediate environment, physical characteristics, emotionality and sosiologis

psychological inclinations artinya gaya belajar didefinisikan sebagai cara belajar siswa

dari segala usia yang dipengaruhi oleh kebutuhan, segala lingkungan, karakteristik fisik,

emosionalitas dan kecenderungan psikologis. Modalities refer to the sensory channel by

which we receive and give messages artinya modalitas pada saluran sensorik yang

menerima dan memberi pesan dalam diri seseorang. The visual, auditory, and kinesthetic

modalities are recognized as significant sensory channels for education artinya visual,

auditory, dan kinestetik modalitas diakui sebagai saluran sensorik yang signifikan untuk

pendidikan. Dari pernyataan–pernyataan diatas didapat bahwa gaya belajar adalah cara

belajar siswa dipengaruhi oleh kebutuhan, segera lingkungan, karakteristik fisik,

emosionalitas dan kecenderungan psikologis. Gaya belajar siswa dalam pendidikan

dibedakan menjadi tiga macam yaitu visual, auditory, dan kinestetik.

Ciri–ciri perilaku gaya belajar menurut Kasinem (2008: 20-21) adalah: a. untuk

visual yaitu mementingkan penampilan baik dalam hal berpakaian maupun presentasi,

merupakan pengeja yang baik, mudah mengingat sesuatu yang dilihat dari pada yang

didengar (mengingat dengan asosiasi visual), biasanya tidak terganggu dengan keributan,

pembaca cepat dan tekun, lebih suka membaca dari pada dibacakan, membutuhkan

pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental

merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek, lebih suka seni dari pada musik, dan lain

– lain; b. untuk auditory yaitu berbicara kepada diri sendiri saat bekerja, mudah

terganggu oleh keributan, menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan dibuku

ketika membaca, senang membaca dengan keras, merasa kesulitan untuk menulis tetapi

hebat dalam bercerita, pembicara yang fasih lebih suka musik dari pada seni, belajar

dengan mendengarkan, mengingat sesuatu yang didiskusikan dari pada yang dilihat, suka

berbicara, suka berdiskusi, lebih suka gurauan lisan dari pada komik, dan lain – lain; c.

untuk kinestetik yaitu berbicara dengan perlahan, menanggapi perhatian fisik, menyentuh

orang untuk mendapatkan perhatian mereka, berdiri dekat ketika berbicara dengan orang,

selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak, menghafal dengan berjalan dan

melihat, menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca, banyak menggunakan

isyarat tubuh, tidak dapat duduk diam dalam waktu yang lama, menyukai permainan yang

menyibukkan, kemungkinan tulisannya jelek, dan lain-lain.

Murat Peker & Seref Mirasyedioglu (2008: 22) menyatakan student learning

styles can help us understand students’ difficulties in perceiving and processing

mathematical concepts. Maksudnya, dengan mempelajari gaya belajar siswa guru dapat

mengetahui perbedaan–perbedaan para siswa dalam mempresepsi dan memproses

konsep-konsep matematika. Hal ini berarti dengan mempelajari gaya belajar para siswa

seorang guru akan lebih terbantu dalam proses pembelajaran dengan kata lain gaya

belajar siswa berpengaruh terhadap proses pembelajaran dan selanjutnya akan

berpengaruh terhadap prestasi belajar.

Gaya belajar merupakan kombinasi dari seseorang menyerap, dan mengatur serta

mengolah informasi. Gaya belajar siswa dibedakan menjadi tiga yaitu: visual, auditory

dan kinestetik. Gaya belajar visual identik dengan indera penglihatan atau dengan cara

melihat pada saat proses pembelajaran. Gaya belajar auditory identik dengan indera

pendengaran atau dengan cara mendengarkan pada saat proses pembelajaran. Sedangkan

gaya belajar kinestetik merupakan gabungan dari melihat dan mendengarkan yang

kemudian mengekspresikannya dengan suatu aktifitas dan biasanya dengan mencatat.

7. Prestasi Belajar

Prestasi adalah hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan suatu

pekerjaan atau aktivitas tertentu. Sedangkan prestasi belajar merupakan hasil suatu usaha,

kemampuan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal dibidang pendidikan.

Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004: 138) menyatakan bahwa prestasi belajar

yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor mempengaruhinya baik

dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Pengenalan

terhadap faktor–faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam

rangka membantu murid dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik–baiknya.

Ridwan (2008) juga menyatakan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi faktor

intern dan ekstern siswa itu sendiri. Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam

diri individu itu sendiri, adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu

kecedersan/intelegensi, bakat, minat, gaya belajar dan motivasi. Motivasi dalam hal ini

ada dua yaitu motivasi untuk belajar dan motivasi untuk berprestasi. Sedangkan faktor

ekstern adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang sifatnya di

luar diri siswa. Faktor–faktor tersebut yaitu beberapa pengalaman-pengalaman, keadaan

keluarga, lingkungan sekitarnya dan lain sebagainya. Pengaruh lingkungan ini pada

umumnya bersifat positif dan tidak memberikan paksaan kepada individu. Faktor ekstern

yang dapat mempengaruhi belajar adalah keadaan keluarga, keadaan sekolah dan

lingkungan masyarakat.

Syaiful Sagala (2003: 12) menyatakan bahwa untuk menangkap isi dan pesan

belajar maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah

diantaranya adalah ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif yaitu kemampuan

yang berkenaan dengan pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintetis dan

evaluasi. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-

reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi,

penilaian, atau penentuan sikap, organisasi dan pembentukan hidup. Sedangkan

psikomotorik yaitu kemampuan yang mengutamakan ketrampilan jasmani terdiri dari

persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian

pola gerakan dan kreatifitas.

Prestasi belajar merupakan hasil suatu usaha, kemampuan, dan sikap seseorang

dalam menyelesaikan suatu hal di bidang pendidikan. Dalam pengukuran prestasi belajar

ada tiga ranah yang diukur yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam penelitian ini

ranah yang diukur hanya ranah kognitif dan hanya sampai kemampuan analisis, untuk

kemampuan sintesis dan evaluasi. Hal ini dikarenakan model pembelajaran kooperatif

yang dipergunakan yaitu NHT dan TPS hanya berdiskusi tanpa adanya praktek langsung

dalam proses pembelajaran.

6. Hakekat IPA

IPA adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang alam sekitar beserta isinya. Hal

ini berarti IPA mempelajari semua benda yang ada di alam, peristiwa, dan gejala-gejala

yang muncul di alam. Ilmu dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan yang bersifat

objektif. Jadi dari sisi istilah IPA adalah suatu pengetahuan yang bersifat objektif tentang

alam sekitar beserta isinya.

Hakekat IPA ada tiga yaitu IPA sebagai proses, produk, dan pengembangan sikap.

Proses IPA adalah langkah yang dilakukan untuk memperoleh produk IPA. Proses IPA

ada dua macam yaitu proses empirik dan proses analitik. Proses empirik suatu proses IPA

yang melibatkan panca indera. Yang termasuk proses empirik adalah observasi,

pengukuran, dan klasifikasi (Anonim, 2008).

Untuk memperjelas pengetahuan tentang hakekat IPA perlu dikemukakan

istilah-istilah fakta, konsep, prinsip, dan teori. Fakta dalam IPA adalah pernyataan-

pernyataan tentang benda-benda yang benar-benar ada atau peristiwa yang betul-betul

terjadi dan sudah dikonfirmasi secara objektif, Contohnya air membeku pada suhu 00C.

Konsep IPA adalah suatu ide yang mempersatukan fakta-fakta. Konsep merupakan

penggabungan antara fakta-fakta yang ada hubungannya satu sama lain. Contoh: semua

zat tersusun atas partikel-partikel.

Prinsip IPA adalah generalisasi tentang hubungan antara konsep-konsp IPA.

Contohnya: udara yang dipanaskan memuai adalah prinsip menghubungkan konsep

udara, panas, pemuaian. Artinya udara akan memuai jika udara tersebut dipanaskan.

Teori ilmiah merupakan karangka yang lebih luas dari fakta-fakta, konsep-konsep dan

prinsip-prinsip yang saling berhubungan. Teori bisa juga dikatakan sebagai model, atau

gambar yang dibuat oleh ilmuan untuk menjelaskan gejala alam. Contoh, teori

meteorologi membantu para ilmuan untuk memahami proses terjadinya kabut dan awan

terbentuk (Anonim, 2009).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan suatu ilmu

yang mempelajari alam seiisinya beserta peristiwa dan gejala-gejala yang ada di alam.

Hakekat IPA terdiri dari tiga hal yaitu proses, produk dan pengembangan sikap. Dalam

proses pengembangan pengetahuan hakekat IPA ditunjang oleh fakta, konsep, prinsip

dan teori ilmiah.

7. Sistem Pencernaan

Secara umum, proses pencernaan dibedakan menjadi 3 cara, yaitu: pencernaan

mekanis, bertujuan untuk mengubah bentuk makanan menjadi kecil (halus agar mudah

ditelan dan dicerna lebih lanjut. Pencernaan kimiawi, dilakukan dengan bantuan enzim

pencernaan untuk menguraikan makanan mejadi bentuk yang lebih halus sehingga mudah

diserap oleh sel-sel tubuh. Pencernaan biologis, dilakukan dengan bantuan organisme lain

untuk menguraikan dan membusukkan makanan. Kelenjar pencernaan meliputi kelenjar

ludah (glandula salivaris), hati (hepar), kelenjar dinding lambung, dan pankreas. Sistem

pencernaan makanan terdiri dari saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Sistem

pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ, antara lain adalah:

Gambar 2.1 Sistem Pencernaan pada manusia

a. Mulut

Di dalam mulut terdapat gigi, lidah, dan kelenjar pencernaan yaitu kelenjar air liur.

Jadi, di dalam mulut terjadi pencernaan secara mekanis dan kimiawi. Berdasarkan bentuk

dan fungsinya, gigi manusia dibedakan menjadi: gigi seri (insivus) bentuk seperti pahat,

untuk memotong-motong atau menggigit makanan. Gigi taring (kaninus), bentuk runcing,

untuk merobek dan mengoyak makanan. Gigi geraham muka (premolar) dan geraham

belakang (molar), bentuk rata pada permukaan, akar gigi bercabang, untuk menggilas

atau menghaluskan makanan. Bagian-bagian yang terdapat pada struktur gigi yaitu: a.

email, merupakan lapisan keras sebagai pelindung gigi; b. dentin, bagian gigi yang

berupa tulang yang tersusun dari kalsium karbonat; c. rongga gigi (pulpa gigi), berisi

pembuluh darah dan sel saraf; d. semen, sebagai pelekat gigi dengan tulang rahang; e.

gusi, sebagai penutup dan pelindung gigi; f. pembuluh darah dan sel saraf, pengantar sari

makanan ke gigi; g. saraf sebagai indra perasa. Gigi anak-anak berjumlah 20 buah,

sedangkan orang dewasa berjumlah 32 buah. Lidah menghasilkan ludah atau saliva

sebanyak 2,5 liter per hari. Fungsi lidah, yaitu: sebagai pengecap, sebagai alat pemindah

makanan, sebagai alat bantu menelan makanan.

Kelenjar ludah menghasilkan air ludah atau air liur. Air ludah berupa cairan yang

pekat dan licin karena mengandung lendir (musin) dan enzim ptyalin. Enzim ptyalin atau

amylase berfungsi mengubah zat tepung atau amilum menjadi zat gula sederhana

(maltosa dan glukosa). Air ludah mempunyai peran penting sebagai berikut:

mempermudah penelanan dan pencernaan makanan, melindungi selaput mulut dari panas,

dingin dan basa. Kelenjar ludah terdiri dari tiga kelenjar yaitu: kelenjar parotis yang

terletak di bawah telinga, kelenjar submandibularis yang terletak di bawah rahang bawah,

kelenjar sublingualis yang terletak di bawah lidah. Kelenjar submandibularis dan

sublingualis menghasilkan air dan lender yang disebut seromucus. Kedua kelenjar

tersebut bermuara ditepi lidah.

b. Kerongkongan (Esophagus)

Sebagai penghubung mulut dengan lambung. Di dalam kerongkongan terdapat

faring (tekak) dan epiglotis (katup pangkal tenggorok). Bagian ujung tenggorok terdapat

pintu masuk lambung yang terbentuk cincin otot yang disebut otot lingkar kardiak.

Kerongkongan dapat melakukan gerakan melebar dan menyempit, bergelombang, dan

meremas–remas untuk mendorong makanan masuk kelambung. Gerak demikian disebut

sebagai gerak peristaltik.

c. Lambung (Ventrikulus)

Lambung manusia terbentuk seperti huruf J atau L terbalik. Kapasitas lambung

orang dewasa sekitar 1 liter. Jumlah cairan lambung yang dihasilkan mencapai 2–3 liter

perhari. Pengeluaran getah lambung ini dipengaruhi oleh adanya makanan yang masuk

atau rangsangan yang berhubungan dengan makanan (bau, bentuk, imajinasi, dan lain–

lain). Lambung merupakan kantong besar yang terletak dibawah rusuk terakhir sebelah

kiri.

Lambung terdiri atas tiga bagian yaitu kardia (bagian atas, daerah pintu masuk

makanan dari kerongkongan), fundus (bagian tengah, bentuknya membulat), pilorus

(bagian bawah, daerah yang berhubungan dengan usus dua belas jari). Pada lambung

bagian atas terdapat otot sfingter kardia dan pada bagian bawah terdapat otot sfingter

pylorus. Sfingter kardia terbuka jika ada makanan mendekati lambung dan akan menutup

kembali untuk mencegah makanan tidak kembali ke kerongkongan dan mulut. Sfingter

pylorus berfungsi untuk mengatur makanan agar ke luar dari lambung dan masuk ke usus

dua belas jari (duodenum). Makanan di dalam lambung akan bertahanlebih kurang lima

jam.

Lambung berfungsi menyimpan makanan selama waktu tertentu (sekitar 2–5

jam), mengaduk makanan (dengan gerakan peristaltik), dan memecah makanan dengan

bantuan enzim–enzim. Dinding lambung terdiri atas empet lapisan. Pada lapisan itu

terdapat kelenjar–kelenjar yang menghasilkan getah lambung. Getah lambung

menghasilkan HCL, rennin, pepsinogen, dan lipase.

1) Asam klorida (HCL), berfungsi sebagai desinfektan yaitu untuk membunuh kuman–

kuman yang masuk bersama makanan atau menjadikan kuman tidak berbahaya.

Selain itu, asam klorida juga berfungsi mengasamkan makanan dan membantu

pembentukan protein.

2) Renin, merupakan enzim yang berfungsi mengendapkan kasein (protein susu) dari air

susu. Kasein akan diubah oleh pepsin menjadi pepton. Renin hanya dihasilkan oleh

lambung mamalia.

3) Pepsinogen, dalam lingkungan basa pepsinogen akan diubah menjadi enzim yang

aktif yaitu pepsin. Pepsin berfungsi mencerna protein menjadi zat yang molekulnya

lebih kecil dan mudah larut yang disebut peptone.

4) Lipase, berfungsi mencerna lemak. Di lambung lipase terdapat dalam jumlah kecil.

Setelah makanan dicerna dalam lambung sampai menjadi cair atau berupa larutan,

sedikit demi sedikit makanan masuk ke dalam duodenum atau usus dua belas jari.

d. Usus Halus (Intestinum)

Panjang usus halus sekitar 6 meter, terdiri atas tiga bagian yaitu: duodenum,

jejunum dan ileum. Duodenum (usus dua belas jari), panjang 1/3 meter. Merupakan

muara kantung empedu dan pancreas. Fungsi duodenum untuk mencerna makanan secara

kimiawi dengan bantuan getah pankreas dan getah empedu. Jejenum (usus kosong),

panjangnya 1,5 sampai 1,75 meter. Merupakan pencerna terakhir sebelum terjadi

penyerapan (absorpsi) sari makanan. Getah jejunum menghasilkan enzim erepsin, lipase,

dan enterokinase. Ileum (usus penyerapan), panjangnya 1,75 sampai 4,35 meter.

Berfungsi untuk menyerap sari makanan yang dikerjakan oleh jonjot–jonjot usus.

e. Usus Besar (Colon)

Usus besar sebagai kelanjutan dari usus halus, dengan panjang sekitar 1,8 meter,

berdinding tebal, dan berdiameter dua kali lebih lebar dari usus halus. Bagian–bagian

usus besar terdiri atas: 1) bagian naik terdapat kantong buntu dibawah pertemuan usus

halus dan usus besar. Bagian ini memiliki umbai cacing (apendiks). Infeksi apendiks

disebut apendisitis; 2) bagian mendatar atau melintang; 3) bagian menurun; 4) muara

pelepasan terdiri atas dubur dan kanal anus.

Fungsi utama usus besar adalah menyerap air dan garam–garam mineral sehingga

sisa–sisa makanan yang bersifat cair untuk selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk tinja

(feses). Caecum merupakan pembatas antara ileum dengan colon. Pada kolon terjadi

gerakan mencampurkan isi colon dan gerakan mendorong. Didalam colon banyak

terdapat bakteri, sedangkan dalam usus hanya sedikit (karena adanya asam klorida atau

HCL). Fungsi bakteri usus adalah sebagai berikut: membusukkan sisa makanan untuk

kemudian dikeluarkan, membentuk vitamin A dan B komplek. Bagian terakhir usus besar

adalah rectum yang bermuara di anus.

f. Anus

Anus merupakan lubang pada ujung saluran pencernaan. Dari lubang ini

dikeluarkan sisa–sisa makanan yang tidak dicerna, yaitu feses. Pada anus terdapat dua

macam otot yaitu: otot sphincterani interenus (otot yang tidak dipengaruhi kehendak),

dan otot sphincterani eksternus (otot yang dipengaruhi kehendak). Proses pengeluaran

feses disebut defekasi. Setelah rectum terangkat karena terisi penuh, timbul keinginan

untuk defekasi. Dengan kontraksi otot sphincterani eksternus, defekasi dapat ditahan

tetapi dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Kelenjar pencernaan berperan dalam pencernaan makanan secara kimia. Kelenjar

pencernaan tersebut adalah hati dan pankreas.

a. Hepar (hati)

Hati merupakan kelenjar terpenting dalam tubuh. Hati menghasilkan cairan

empedu yang ditampung dalam kantong empedu. Empedu menghasilkan garam kholat,

kolesterol, dan NaHCO3 (Natrium Bikarbonat). Garam kholat mempunyai fungsi sebagai

berikut: menurunkan tekanan permukaan butir–butir lemak sehingga dapat diemulsikan

pada pencernaan selanjutnya, mengaktifkan lipase pankreas, bersenyawa dengan asam

lemak membentuk senyawa yang mudah larut dalam air sehingga mudah diserap.

Natrium Bikarbonat (NaHCO3) berfungsi mengatur keasaman empedu. Dengan

adanya garam tersebut keasaman (pH) empedu menjadi 7,1–8,5. selain menghasilkan

cairan empedu, hati juga berfungsi mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen untuk

disimpan serta mengubah kelebihan asam amino menjadi urea untuk dikeluarkan dari

tubuh. Secara umum fungsi hati atau hepar sebagai berikut: menghasilkan empedu,

sebagai tempat penyimpanan karbohidrat mineral dan vitamin, membentuk protein,

metabolisme karbohidrat lemak dan protein.

b. Pankreas

Pankreas adalah suatu jenis kelenjar yang menghasilkan berbagai enzim. Getah

pankreas bersifat alkalis. Bersama dengan getah usus dan empedu, getah pankreas dapat

menetralisasi asam klorida dari lambung sehingga mempunyai pH 6,0–7,0. getah

pankreas mengandung berbagai enzim yaitu: protease (tripsin, kimotripsin, dan

karboksipeptidase), lipase, amilase, serta nuclease.

Tripsin dan kimotripsin mengubah protein menjadi polipeptida rantai pendek.

Karboksipeptidase mengubah polipeptida rantai pendek menjadi asam amino. Lipase

berfungsi mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Amylase berfungsi

mengubah pati (amilum) menjadi glukosa dan maltosa. Nuclease (DNA acea dan RNA

acea) berfungsi mengubah asam nuklead menjadi nukleotida–nukleotida komponennya.

Makanan terbagi atas dua kelompok besar berdasarkan nutrisi yang dikandungnya,

yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien terdiri atas karbohidrat, protein dan

lemak, sedangkan mikronutrien terdiri atas garam mineral dan vitamin. Tubuh juga

membutuhkan air dan serat untuk menjaga keseimbanganya. Makronutrien terdiri atas:

karbohidrat sebagai makanan pokok, antara lain tepung, biji-bijian, gula, sagu, dan

selulosa. Kelebihan karbohidrat dalam tubuh akan disimpan dalam organ hati dan otot.

Protein merupakan molekul rumit yang berukuran besar dan tersusun dari unit-unit kecil

yang disebut asam amino. Tumbuhan dapat membuat asam amino sendiri, tetapi hewan

dan manusia tidak. Mereka mendapatkannya dari makanan yang dimakan. Protein terbagi

dua, yaitu protein hewani dan protein nabati. Kekurangan protein dapat mengakibatkan

busung lapar. Busung lapar ditandai dengan pembengkakan tubuh dan membucitnya

perut. Lemak, makanan yang banyak mengandung lemak antara lain daging, telur,

minyak, susu, kedelai, ikan , mentega, kemiri, dan avokad. Lemak berfungsi sebagai

sumber energi dan pelarut vitamin. Kelebihan lemak akan disimpan dijaringan bawah

kulit.

Mikronutrien terdiri atas: garam mineral berfungsi sebagai pengetur tekanan

osmosis cairan tubuh. Pada umumnya garam mineral larut dalam air. Garam mineral yang

dibutuhkan tubuh terbagi menjadi dua, yaitu makroelemen dan miklroelemen.

Makroelemen seperti natrium (Na), magnesium (Mg), fosfor (P), kalium (K), klor (Cl), dan

belerang (S). Mikroelemen dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit, contohnya klorium

(Kr), fluor(F), iodium(I), brom(Br), mangan(Mn), kobalt (Co), besi (Fe), tembaga (Cu),

dan molybdenum (Mo). Jika tubuh kekurangan salah satu unsure tersebut maka dapat

menyebabkan penyakit gondok yang kekurangan iodium (I). Vitamin terbagi menjadi dua,

yaitu vitamin yang larut dalam air (vitamin B dan C) dan vitamin yang larut dalam lemak

(vitamin A, D,. E, dan K). Vitamin yang larut dalam air tidak dapat disimpan lama dalam

tubuh. Kekurangan vitamin (avitaminosis) dapat mengakibatkan fungsi tubuh menjadi

tidak normal. Serat adalah bagian dari makanan yang berasal dari tumbuhan yang tidak

dapat dicerna oleh tubuh. Buah, sayur, gandum, dan beras banyak mengandung serat. Serat

menyerap air di dalam tubuh dan membantu mengumpulkan dan melakukan kotoran yang

padat di dalam perut dan kemudian kotoran dapat dengan mudah dikeluarkan melalui anus.

Air merupakan pelarut dan pengatur keseimbangan cairan dalam tubuh. Air juga berfungsi

sebagai pengatur asam basa dalam sistem pencernaan.

Banyak faktor penyebab gangguan pada sistem pencernaan, antara lain pola

makan yang salah, infeksi bakteri, atau karena adanya kelainan pada alat pencernaan

makanan. Beberapa gangguan tersebut antara lain sebagai berikut:

a. karies, terjadi dalam rongga mulut pada gigi yang tidak dirawat. Karies terjadi karena

adanya penumpukan sisa makanan pada gigi yang difermentasikan oleh bakteri

sehingga menyebabkan lubang pada gigi;

b. sariawan, diawali dengan timbulnya luka kecil dalam rongga mulut. Jika tidak segera

disembuhkan, sariawan dapat mengganggu pencernaan makanan dimulut.

Pencegahannya dilakukan dengan mengonsumsi vitamin C dalam jumlah cukup;

c. apendisitis, biasa dikenal dengan penyakit usus buntu yaitu peradangan pada bagian

apendiks (umbai cacing) karena infeksi bakteri;

d. diare, disebabkan oleh protozoa atau bakteri. Yang menyebabkan gangguan

penyerapan air diusus besar. Infeksi bakteri (misalnya bakteri penyebab disentri) atau

masuknya racun dapat merangsang colon untuk melakukan gerak peristaltik dengan

cepat. Hal ini membuat makanan lewat dengan cepat. Akibatnya, hanya sedikit air

yang diserap sehingga feses menjadi encer;

e. enteritis, adalah peradangan pada usus halus atau usus besar karena infeksi bakteri;

f. konstipasi atau sembelit, gejala konstipasi atau sembelit ialah sulit buang air besar.

Konstipasi disebabkan oleh sisa makanan melewati colon dengan lambat, sehingga

banyak air yang diserap dinding colon. Akibatnya, feses menjadi kering dan keras.

Untuk menghindarinya, kalian harus banyak makan sayuran dan buah, karena

makanan tersebut banyak mengandung serat;

g. ulkus (tukak lambung), apabila perut kosong asam lambung dapat mencerna dinding

perut sehingga menyebabkan tukak lambung. Untuk menguranginya, penderita

hendaknya mengatur waktu makannya secara teratur. Penyakit ini disebabkan oleh

peradangan pada dinding lambung akibat produksi asam lambung (HCL) lebih

banyak dari yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk atau karena

infeksi oleh bakteri Heliobacter pyloris;

h. parotitis (gondong), adalah peradangan pada kelenjar parotis karena infeksi virus;

i. kanker lambung, disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan

sering mengonsumsi makanan awetan;

j. kolitis (radang usus besar), gejala penyakit kolitis berupa diare, kram perut, konstipasi

atau pendarahan dan luka pada usus;

k. penyakit kuning, disebabkan oleh terbentuknya batu empedu yang menyumbat aliran

cairan empedu. Penyumbatan ini menyebabkan cairan empedu tidak dapat mengalir

ke usus halus. Akibatnya, ketika kantong empedu berkontraksi, penderita penyakit ini

akan merasakan nyeri, terutama setelah makan makanan berlemak. Zat warna empedu

ini terakumulasi di kulit sehingga tampak kekuningan.

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Stephanus Legiyo (2009) menyimpulkan bahwa

model pembelajaran kooperatif TPS memberikan rataan pretasi belajar yang lebih tinggi

dibandingkan NHT. Persamaannya dengan penelitian ini sama-sama membandingkan

model pembelajaran kooperatif TPS dan NHT. Perbedaannya pada penelitian Stephanus

Legiyo meninjau sikap sosial siswa sedangkan pada penelitian ini meninjau motivasi

berprestasi dan gaya belajar siswa.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fatchur Rohman (2008) model

pembelajaran kooperatif GI dan TPS berpengaruh terhadap prestasi belajar.

Persamaannya dengan penelitian ini terletak pada model pembelajaran kooperatif TPS.

Perbedaannya terletak pada penggunaan model pembelajaran GI dan meninjau aktifitas

belajar siswa.

Theresia Heni Ambaristi (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan antara gaya belajar dengan prestai belajar siswa baik

pada pembelajaran menggunakan animasi maupun portofolio. Persamaannya dengan

penelitian ini terletak pada gaya belajar sebagai variabel moderator. Perbedaannya

terletak pada pembelajaran meggunakan animasi dan portofolio serta meninjau motivasi

siswa.

Tulus Junanto (2008) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa prestasi belajar

mahasiswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif STAD lebih baik dari pada

TPS baik pada aspek kognitif maupun afektif. Persamaannya dengan penelitian ini

terletak pada model pembelajaran kooperatif TPS. Perbedaannya terletak pada

penggunaan model pembelajaran kooperatif STAD dan meninjau sikap ilmiah siswa.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparjono Eko Ifiyanto (2007)

menyimpulkan bahwa prestasi belajar siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

dan yang memiliki motivasi berprestasi rendah memiliki perbedaan yang signifikan.

Persamaannya dengan penelitian ini terletak pada varibai moderator yang diambil yaitu

motivasi berprestasi siswa. Perbedaannya terletak pada penggunaan model Direct

Intruction menggunakan peta konsep dan LKS serta meninjau kreatifitas belajar siswa.

Pada penelitian ini peneliti membandingkan pembelajaran IPA dengan model

pemnbelajaran kooperatif NHT dan TPS ditinjau dari motivasi berprestasi dan gaya

belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA materi system pencernaan pada siswa kelas

VIII semester 1 SMP Negeri 1 Juwiring tahun ajaran 2009/2010.

C. Kerangka Berpikir

Salah satu cara berpikir yang harus dikembangkan untuk menghadapi tuntutan

jaman adalah cara berpikir kooperatif. Pada jaman informasi ini, diperlukan kepandaian

untuk mengatasi masalah yang terjadi disekitarnya dan dapat menerima pendapat orang

lain. Salah satu upaya untuk mengahadapi masalah-masalah di atas adalah

mempersiapkan generasi muda yaitu para pelajar (siswa-siswa) dengan menumbuhkan

cara berpikir kooperatif dalam diri setiap siswa.

Pada SMP N 1 Juwiring, ada beberapa permasalahan yang diketemukan para guru

pada saat proses pembelajaran berlangsung. Permasalahan- permasalahan tersebut adalah

masih kurangnya cara berpikir kooperatif dalam diri setiap siswa sehingga pembelajaran

masih didominasi guru karena guru kesulitan untuk mengaktifkan siswa pada saat proses

pembelajaran. Kebanyakan siswa di SMP N 1 Juwiring menganggap mata pelajaran IPA

sulit untuk dimengerti, dipahami dan dihafal, hal ini menyebabkan nilai prestasi belajar

IPA siswa kurang memuaskan. Diduga salah satu model pembelajaran yang dapat

mengatasi masalah tersebut adalah model pembelajaran kooperatif..

1. Peranan model pembelajaran kooperatif terhadap prestasi belajar IPA.

Diduga model pembelajaran kooperatif dapat berpengaruh terhadap prestasi

belajar siswa. Model pembelajaran kooperatif merupakan rangkaian kegiatan belajar yang

dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Sedangkan prestasi belajar merupakan hasil suatu usaha, kemampuan, dan

sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal dibidang pendidikan. Model

pembelajaran kooperatif yang mendekati konsep sistem pencernaan adalah penggunaan

NHT dan TPS.

NHT (Numbered Heads Together) adalah suatu model pengelompokan siswa,

setiap siswa dalam kelompok diberi nomor lalu guru memberikan tugas untuk dikerjakan

masing–masing kelompok dan kemudian guru memanggil salah satu nomor untuk

melaporkan hasil kerja sama mereka. Sedangkan TPS (Think-Pair-Share) adalah suatu

teknik yang memberi kesempatan lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan

menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain. Teknik ini meliputi tiga tahapan yang

pertama adalah”think” yaitu berpikir sendiri atau secara individual selanjutnya “pair”

yaitu berpikir berpasangan dan yang terakhir “share” membicarakan hasil pemikirannya

dengan seluruh anggota dalam kelas. Diduga terdapat pengaruh penerapan model

pembelajaran kooperatif dengan Numbered Heads Together (NHT) dan Think Pair Share

(TPS) sehingga prestasi belajar IPA dapat meningkat.

2. Peranan motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi belajar IPA.

Selain model pembelajaran yang digunakan juga terdapat beberapa faktor yang

diperhatikan dalam proses pembelajaran. Salah satu faktor tersebut adalah motivasi

berprestasi siswa. Motivasi berprestasi siwa merupakan dorongan atau sikap yang

membangun siswa untuk berbuat, menentukan arah dan menerima semangat dalam

meraih prestasi belajar yang lebih baik dari sebelumnya. Motivasi berprestasi siswa

dikategorikan menjadi dua yaitu tinggi dan rendah. Siswa yang memiliki motivasi

berprestasi tinggi akan lebih aktif proses kegiatan proses pembelajaran atau memiliki

keingginan tinggi untuk berprestasi. Sehingga diduga siswa yang memiliki motivasi

berprestasi tinggi akan menghasilkan prestasi belajar IPA yang lebih tinggi dibandingkan

siswa yang memiliki motivasi berprestasi siswa rendah.

3. Peranan gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA.

Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran adalah gaya

belajar siswa. Gaya belajar merupakan kombinasi dari seseorang menyerap, dan

mengatur serta mengolah informasi. Gaya belajar siswa dibedakan menjadi tiga yaitu:

visual, auditory, dan kinestetik. Gaya belajar visual identik dengan indera penglihatan

atau dengan cara melihat. Gaya belajar auditory identik dengan indera pendengaran atau

dengan cara mendengarkan. Sedangkan gaya belajar kinestetik merupakan gabungan dari

melihat dan mendengarkan yang kemudian mengekspresikannya dengan suatu aktifitas

dan biasanya dengan mencatat. Diduga gaya belajar dapat berpengaruh terhadap prestasi

belajar IPA, siswa dengan gaya belajar kinestetik prestasi belajarnya dapat lebih baik

karena merupakan gabungan dari gaya belajar visual dan auditory.

4. Interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi.

Pembelajaran IPA menuntut adanya peran aktif siswa, karena IPA berdasarkan

proses ilmiah yang didasarkan pada cara berfikir logis. Dan cara berfikir kooperatif untuk

memecahkan permasalahan–permasalahan dalam pembelajaran. Penerapan model

pembelajaran kooperatif dengan Numbered Heads Together (NHT) dan Think Pair Share

(TPS) sesuai dengan pembelajaran IPA. Dalam pembelajaran kooperatif dengan NHT

dan TPS mengutamakan peran aktif siswa dalam kegiatan belajar. Motivasi berprestasi

siswa diduga dapat mempengaruhi siswa untuk aktif dalam setiap kegiatan belajar.

Dengan demikian dapat diduga siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi pada

penerapan model pembelajaran kooperatif dengan NHT dan TPS menghasilkan prestasi

belajar lebih baik dari pada siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah.

5. Interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan gaya belajar siswa.

Penerapan model pembelajaran kooperatif dengan NHT dan TPS mengutamakan

peran aktif siswa dalam setiap kegiatan belajar. Dalam setiap kegiatan dapat dilihat gaya

belajar siswa yang berbeda-beda antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Ada

yang bergaya belajar visual, auditory atau kinestetik. Gaya belajar kinestetik merupakan

gabungan dari gaya belajar visual dan auditory. Sesuai dengan gaya belajar yang

dimiliki, masing-masing siswa akan berprestasi. Dengan demikian dapat diduga pada

penerapan model pembelajaran kooperatif baik dengan NHT maupun TPS siswa yang

bergaya belajar kinestetik akan menghasilkan prestasi belajar lebih baik dibandingkan

siswa yang bergaya belajar visual dan auditory.

6. Interaksi antara motivasi berprestasi dengan gaya belajar siswa.

Motivasi berprestasi dengan gaya belajar siswa terdapat interaksi, karena siswa

yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan aktif dalam setiap kegiatan dengan

gaya belajar yang dimiliki. Dengan demikian siswa yang mempunyai motivasi berprestasi

tinggi akan berprestasi dengan gaya belajar yang dimiliki yaitu visual, auditory atau

kinestetik. Dapat diduga siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi dengan gya

belajar kinestetik akan menghasilkan prestasi belajar yang paling baik.

7. Interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi siswa dan

gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA.

Model pembelajaran kooperatif dapat mengaktifkan siswa dalam setiap kegiatan

belajar. Dengan siswa belajar bersama akan lebih bisa mengaktifkan atau bisa tanya-

tanya dengan siswa ain apabila memperoleh kesulitan sehingga dapat menghasilkan

prestasi belajar IPA yang lebih baik. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi prestasi

belajar siswa adalah motivasi berprestasi dan gaya belajar siswa. Siswa yang memiliki

motivasi berprestasi tinggi akan berprestasi sesuai dengan gaya belajar yang dimilikinya

dan diharapkan prestasinya meningkat. Dapat diduga pada penerapan model

pembelajaran kooperatif siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dan bergaya

belajar kinestetik akan menghasilkan prestasi belajar yang paling baik.

D. Perumusan Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif dengan Numbered

Heads Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) terhadap prestasi belajar IPA;

2. terdapat pengaruh motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi belajar IPA;

3. terdapat pengaruh gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA;

4. terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan motivasi berprestasi siswa

terhadap prestasi belajar IPA;

5. terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan gaya belajar siswa terhadap

prestasi belajar IPA;

6. terdapat interaksi antara motivasi berprestasi siswa dengan gaya belajar siswa

terhadap prestasi belajar IPA;

7. terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan motivasi berprestasi siswa

dan gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 1 Juwiring, dengan alamat Juwiring,

Karangdowo, Klaten. Waktu penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran

2009/2010. Perincian waktu pelaksanaan penelitian pada tabel 3.1

Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian

Tahun 2009 dan 2010 bulan ke - No Kegiatan

4 7 10 12 1 3 5 7

1. Tahap Persiapan

Penelitian

- Pengajuan judul

- Penyusunan proposal

- Seminar proposal

X X

2. Tahap Pelaksanaan

Penelitian

- Ujicoba instrumen

- Pengambilan data

X X

3. Tahap Analisa dan

Pengolahan Data

- Penyusunan Bab I-V

- Finalisasi Pelaporan

X X

4. Ujian Tesis X

5 Penjilidan X

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan dua perlakuan

43

dan desain faktorialnya 2 x 2 x 3. Penelitian ini melibatkan dua kelompok eksperimen

yaitu kelompok eksperimen pertama (kelas VIII F) dan kelompok eksperimen kedua

(kelas VIIIG). Kedua kelompok eksperimen ini diuji keseimbangannya (uji matching). Uji

ini dilakukan sebelum kedua kelompok, baik kelas VIII F maupun kelas VIIIG diberikan

perlakuan yang berbeda. Uji ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keseimbangan kedua

kelompok tersebut. Statistik uji yang digunakan adalah uji t, dengan keputusan H0 ditolak

jika t hitung > t tabel atau H0 diterima jika t hitung < t tabel. Daerah kritiknya Dk= {t çt > ta/2

atau t > -ta/2}, dan tingkat signifikansi (a) 0,05. Hasil pengujian didapat t hitung= 0,8021

dengan t tabel= 1,645 maka t hitung < t tabel. Dari hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan

bahwa kedua kelas eksperimen tersebut matching atau seimbang.

Perlakuan yang diberikan berbeda tetapi seimbang yaitu sama–sama merupakan

model pembelajaran kooperatif. Untuk kelompok eksperimen pertama (kelas VIIIF) diberi

perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif TPS sedangkan untuk kelompok

eksperimen kedua (kelas VIIIG) diberi perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif

NHT. Penelitian ini juga meninjau motivasi berprestasi siswa dan gaya belajar siswa.

Materi yang digunakan adalah materi sistem pencernaan. Hasil dari kedua kelompok

tersebut dikaji, dianalisis kemudian dibandingkan hingga didapatkan model-model

pembelajaran kooperatif yang berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP N 1 Juwiring

tahun pelajaran 2009/2010 yang berjumlah tujuh kelas. Ketujuh kelas tersebut adalah

VIII A, VIII B, VIII C, VIII D, VIII E, VIII F, VIII G.

2. Sampel dan Teknik Sampling

Langkah-langkah pengambilan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Penentuan kelas eksperimen

Memilih kelas secara acak (cluster random sampling) dari kelas VIII SMP N 1

Juwiring yang berjumlah tujuh kelas diambil dua kelas yaitu kelas VIII F dan kelas

VIIIG;

b. Penentuan penerapan model pembelajaran kooperatif

Memilih kelas secara acak yang akan mendapatkan perlakuan model

pembelajaran kooperatif NHT dan TPS. Kelas VIIIF mendapatkan perlakuan dengan

model pembelajaran kooperatif TPS sedangkan untuk kelas VIIIG mendapatkan

perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif NHT.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif.

a. Definisi operasional:

Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar

yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk

mencapai tujuan pembelajaran.

b. Skala pengukuran: nominal, yang terdiri dari NHT dan TPS

c. Indikator:

1) NHT : proses pembelajaran menggunakan teknik penomoran

2) TPS : proses pembelajaran menggunakan teknik berpikir- berpasangan

2. Variabel Moderator

Variabel moderator dalam penelitian ini ada dua yaitu motivasi berprestasi dan

gaya belajar siswa.

a. Motivasi berprestasi siswa

1) Definisi operasional:

Motivasi berprestasi siwa merupakan dorongan atau sikap yang

membangun siswa untuk berbuat, menentukan arah dan menerima

semangat dalam meraih prestasi belajar yang lebih baik dari sebelumnya.

2) Skala pengukuran: ordinal, yang terdiri dari tinggi dan rendah

3) Indikator: skor angket motivasi berprestasi siswa.

b. Gaya belajar siswa

1) Definisi operasional:

Gaya belajar merupakan kombinasi dari seseorang menyerap, dan

mengatur serta mengolah informasi. Gaya belajar siswa dibedakan

menjadi tiga yaitu: visual, auditory dan kinestetik.

2) Skala pengukuran: nominal, yang terdiri dari visual, auditory dan kinestetik

3) Indikator: skor angket gaya belajar siswa.

3. Variabel Terikat

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah prestasi belajar.

a. Definisi operasional:

Prestasi belajar merupakan hasil suatu usaha, kemampuan, dan sikap

seseorang dalam menyelesaikan suatu hal dibidang pendidikan.

b. Skala pengukuran: ordinal

c. Indikator: nilai prestasi belajar IPA siswa kelas VIIIF dan VIIIG

E. Desain Penelitian

Desain Faktorial

Tabel 3.2 Desain Faktorial

Model Pembelajaran Kooperatif (A)

NHT (A1) TPS (A2)

Motivasi Berprestasi Rendah (B1)

Motivasi

Berprestasi Motivasi Berprestasi

Tinggi (B2)

Gaya Belajar Auditory (C1)

Gaya Belajar Visual (C2)

Gaya belajar

Gaya Belajar Kinestetik (C3)

F. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini teknik pengambilan datanya dengan menggunakan dua metode

yaitu tes dan angket. Pengumpulan data dengan metode tes untuk pengumpulan data

prestasi belajar siswa, sedangkan metode angket untuk pengumpulan data motivasi

berprestasi dan data gaya belajar siswa.

G. Instrumen Penelitian

1. Instrumen pelaksanaan pembelajaran

Instrumen ini digunakan untuk proses pembelajaran, yang berupa Silabus dan

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Silabus adalah rencana pembelajaran pada

suatu kelompok mata pelajaran dengan tema tertentu mencakup standar kompetensi,

kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator pembelajaran, alokasi waktu dan

sumber belajar yang dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Silabus yang

digunakan pada standar kompetensi 1. memahami berbagai sistem dalam kehidupan

manusia, dengan kompetensi dasar 1.4 mendeskripsikan sistem pencernaan pada manusia

dan hubungannya dengan kesehatan.

RPP adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan manajemen

pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang ditetapkan dalam

standar isi yang dijabarkan dalam silabus.

2. Instrumen pengambilan data

Instrumen ini digunakan untuk pengambilan data prestasi belajar siswa yang

berupa instruman tes prestasi belajar IPA. Tes prestasi belajar berisi 30 soal pilihan

ganda. Pengambilan data motivasi berprestasi dan gaya belajar siswa melalui angket.

Pengumpulan data angket yang digunakan untuk mendapatkan informasi motivasi

berprestasi dan gaya belajar siswa sebelum mengikuti pembelajaran. Angket motivasi

berprestasi berisi 35 soal sedangkan angket gaya belajar berisi 30 soal yang terdiri dari 10

soal untuk visual, 10 soal untuk audio dan 10 soal untuk kinestetik.

H. Uji Coba Instrumen Pengambilan Data

Uji coba instrumen ini dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan

reliabilitas instrumen yang telah dibuat. Uji coba ini dilakukan pada salah satu kelas VIII

di MTs Ceper, dengan alasan siswa pada kelas ini memiliki karakteristik yang sama

dengan sampel yang akan diteliti. Selain untuk mengetahui tingkat validitas dan

reliabilitas instrumen, untuk instrument tes juga untuk mengetahui tingkat kesukaran dan

daya beda tes prestasi belajar.

1. Instrumen tes prestasi belajar

a. Uji validitas

Validitas berkenaan dengan ketetapan alat penilaian terhadap aspek

yang dinilai, sehingga betul-betul dapat menilai sesuatu yang seharusnya

dinilai. Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur sesuatu yang

hendak diukur. Validitas tes ini dicari melalui uji coba tes hitung korelasi

antara skor item dengan skor total. Pengukuran validitas soal prestasi belajar

menggunakan rumus korelasi product moment dengan angka kasar yaitu :

rxy = [ ][ ]2222 )()(

))((

YYnXXn

YXXYn

S-SS-S

SS-S

Dimana: r xy = koefisien korelasi antara item dengan skor total

N = jumlah subyek x = skor item nomor tertentu y = skor total

Hasil yang diperoleh dikonsultasikan ke tabel harga kritik r product

moment sehingga dapat diketahui valid tidaknya korelasi tersebut. Jika

r xy ñ r tabel maka soal tersebut valid (Suharsimi Arikunto, 2006: 72). Dari hasil

uji validitas instrumen tes prestasi belajar dengan jumlah soal 35 butir

diperoleh 30 butir soal valid dan 5 butir soal tidak valid. Untuk 30 butir soal

yang valid adalah no 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 21,

22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 dan 34. Sedangkan 5 butir soal yang

tidak valid adalah no 5, 13, 19, 25 dan 35.

b. Uji reliabilitas

Reliabilitas tes adalah ketetapan suatu tes apabila diujikan kepada

subyek yang sama. Tes dikatakan reliabel apabila tes tersebut dapat

memberikan hasil yang tetap, artinya apabila tes tersebut dikenakan pada

sejumlah subyek yang sama pada lain waktu, maka hasilnya tetap sama. Untuk

uji reliabilitas terdapat beberapa rumus yaitu KR-20, KR-21, splitblate (belah

dua) dan lain-lain. Reliabilitas tes prestasi diuji dengan rumus KR-20 karena

soal menghasilkan jawaban benar dan salah. Rumus KR-20 yaitu:

rii = þýü

îíì å-

- 2

2

)1( t

iit

S

qpSk

k

dimana : k : jumlah item dalam instrumen pi : proporsi banyaknya subyek yang menjawab pada item 1

qi : 1 - pi s2

t : varians total (Sugiyono, 1999: 278) Harga r 11 yang diperoleh disebut r hitung . Harga tersebut kemudian

dikonsultasikan dengan r tabel product moment, sehingga diketahui signifikan

tidaknya korelasi tersebut. Jika r hitung >r tabel maka korelasi tersebut signifikan

dan berarti soal reliabel. Hasil uji reliabilitas instrumen tes prestasi belajar

didapat r 11 atau rhitung = 0,958 dengan rtabel = 0,396, karena r hitung > r tabel berarti

instrumen tes prestasi belajar reliabel.

c. Uji derajat kesukaran soal

Untuk mendapatkan soal yang tidak terlalu sulit dan tidak terlalu

mudah, maka soal dalam penelitian ini dicari tingkat kesukaran. Uji ini hanya

untuk soal pada tes prestasi belajar. Besarnya tingkat kesukaran dapat dihitung

dengan rumus:

P=JSB

Dimana : P = tingkat kesukaran B = jumlah siswa yang menjawab soal dengan benar JS = jumlah subyek didik Dari hasil pengujian dengan rumus tersebut dikategorikan sebagai

berikut :

0,00 < P < 0,30 : soal terlalu sukar

0,30 < P < 0,70 : soal cukup (sedang)

0,70 < P < 1,00 : soal terlalu mudah

(Suharsimi Arikunto, 2006: 208)

Hasil uji derajat kesukaran semua soal dalam instrumen tes prestasi

masuk dalam kategori cukup atau sedang, dengan nilai P pada item soal no 1

sampai 35 antara 0,44 dan 0,68.

d. Uji daya pembeda soal

Analisis daya beda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan

antara siswa yang pandai dan siswa yang kurang pandai. Artinya apabila soal

diberikan kepada siswa yang pandai hasilnya akan menunjukkan prestasi yang

tinggi dan apabila soal diberikan kepada siswa yang kurang pandai maka

hasilnya akan rendah. Adapun rumus yang digunakan untuk mencari daya

beda (D) adalah:

D = B

B

A

A

J

B

J

B- = P A -P B

Dimana : D = daya pembeda soal

J A = banyaknya siswa kelompok atas J B = banyaknya siswa kelompok bawah B A = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar B B = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab

benar

P

A

=

A

A

J

B

proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar

P

= B

B

J

B proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab

benar. (Suharsimi Arikunto, 2006: 213-214)

Tabel 3.3 Angka Indeks Diskriminasi Item

Besarnya Angka Indek Diskriminasi

Item (D)

Klasifikasi Interpretasi

Kurang dari 0,20

Poor Butir item yang bersangkutan daya pembeda lemah sekali (jelek), dianggap tidak memiliki daya pembeda yang baik

0,20 – 0,40 Satisfactory Butir item yang bersangkutan telah memiliki daya pembeda yang cukup (sedang)

0,40 – 0,70 Good Butir item yang bersangkutan telah memilik daya pembeda yang baik

Dari hasil uji daya pembeda didapat 19 butir soal masuk kategori good

atau baik yaitu no 1, 2, 4, 6, 8, 9, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 21, 24, 26, 27, 30, 31 dan

34; 15 butir soal masuk kategori satisfactory atau sedang yaitu no 3, 5, 7, 10, 14,

15, 19, 20, 22, 23, 25, 28, 29, 32, dan 33; 1 butir soal yang masuk kategori poor

atau jelek yaitu soal no 35.

2. Instrumen motivasi berprestasi

a. Uji validitas

Validitas berkenaan dengan ketetapan alat penilaian terhadap aspek yang

dinilai, sehingga betul-betul dapat menilai sesuatu yang seharusnya dinilai.

Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur sesuatu yang hendak

diukur. Validitas tes ini dicari melalui uji coba test hitung korelasi antara skor

item dengan skor total. Pengukuran validitas instrumen ini menggunakan rumus

korelasi product moment dengan angka kasar yaitu :

rxy = [ ][ ]2222 )()(

))((

YYnXXn

YXXYn

S-SS-S

SS-S

0,70 – 1,00 Excelent Butir item yang bersangkutan telah memiliki daya pembeda yang baik sekali

Bertanda negatif

- Butir item yang bersangkutan daya pembedanya negatif (jelek sekali)

Dimana: r xy = koefisien korelasi antara item dengan skor total

N = jumlah subyek x = skor item nomor tertentu y = skor total

Hasil yang diperoleh dikonsultasikan ke tabel harga kritik r product

moment sehingga dapat diketahui valid tidaknya korelasi tersebut. Jika

r xy ñ r tabel maka soal tersebut valid (Suharsimi Arikunto, 2006: 72). Hasil uji

validitas instrumen motivasi berprestasi yang berupa angket dari 40 butir soal

terdapat 5 butir soal yang tidak valid yaitu soal no 11, 12, 13, 17 dan 30.

Sedangkan 35 soal yang valid dan yang akan digunakan adalah no 1, 2, 3, 4, 5,

6, 7, 8, 9, 10, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32,

33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, dan 40.

b. Uji reliabilitas

Reliabilitas angket motivasi berprestasi diuji dengan teknik alpha

cronbach karena dalam setiap butir soalnya menggunakan empat pilihan

jawaban dan teknik penskorannya menggunakan empat kategori. Serta tidak

ada jawaban yang benar dan jawaban yang salah.

rii = úû

ùêë

éSS

-úûù

êëé

- 2

2

11 t

bk

kaa

Dimana : k = jumlah item dalam instrumen

∑ab2 = jumlah varians total

∑at2 = jumlah varians item

Dengan :

at2 =

2

22 )(n

YYn S-S

ab2 =

2

22 )(n

XXn S-S

( Sugiyono, 1999: 282)

Harga r 11 yang diperoleh disebut r hitung . Harga tersebut kemudian

dikonsultasikan dengan r tabel product moment, sehingga diketahui signifikan

tidaknya korelasi tersebut. Jika r hitung >r tabel maka korelasi tersebut signifikan

dan berarti soal reliabel. Hasil uji reliabilitas didapat r 11 atau rhitung = 0,915

dengan rtabel = 0,396, karena r hitung > r tabel berarti instrumen angket motivasi

berprestasi reliabel.

3. Instrumen gaya belajar

a. Uji validitas

Pengukuran validitas instrumen gaya belajar menggunakan rumus

korelasi product moment. Hasil yang diperoleh dikonsultasikan ke tabel harga

kritik r product moment sehingga dapat diketahui valid tidaknya korelasi

tersebut. Jika r xy ñ r tabel maka soal tersebut valid (Suharsimi Arikunto, 2006:

72). Hasil uji validitas instrumen gaya belajar yang berupa angket semua soal

yang berjumlah 30 butir soal semua valid baik untuk auditory (10 soal); visual

(10 soal); kinestetik (10 soal), karena rxy atau rhitung setiap item soal > r tabel

(0,396).

b. Uji reliabilitas

Reliabilitas angket gaya belajar diuji dengan teknik alpha cronbach

karena dalam setiap butir soalnya menggunakan empat pilihan jawaban dan

teknik penskorannya menggunakan empat kategori. Serta tidak ada jawaban

yang benar dan jawaban yang salah.

Harga r 11 yang diperoleh disebut r hitung . Harga tersebut kemudian

dikonsultasikan dengan r tabel product moment, sehingga diketahui signifikan

tidaknya korelasi tersebut. Jika r hitung >r tabel maka korelasi tersebut signifikan

dan berarti soal reliabel. Hasil uji reliabilitas soal gaya belajar yang auditory

didapat r 11 atau rhitung = 0,684 dengan rtabel = 0,396, karena r hitung > r tabel berarti

instrumen reliabel. Hasil uji reliabilitas soal gaya belajar yang visual didapat

r 11 atau rhitung = 0,718 dengan rtabel = 0,396, karena r hitung > r tabel berarti

instrumen reliabel. Hasil uji reliabilitas soal gaya belajar yang kinestetik

didapat r 11 atau rhitung = 0,707 dengan rtabel = 0,396, karena r hitung > r tabel berarti

instrumen tes prestasi belajar reliabel.

I. Teknik Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, maka data tersebut akan dianalisis untuk menguji

kebenaran hipotesis dan juga memperoleh kesimpulan. Dalam penelitian ini digunakan

analisa variansi tiga jalan dengan sel tak sama. Sebelum melakukan analisa variansi

terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas.

1. Uji Prasyarat Analisis

a. Uji Normalitas

Sebelum data diolah untuk pengujian hipotesis, terlebih dahulu diuji sampel

berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Untuk keperluan ini digunakan

metode Lilliefors, dengan statistik uji sebagai berikut:

a. Hipotesis

H0 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

b. Statistik Uji

)()( ii ZSZFmaksL -=

dengan

F(Zi) = P(Z ≤ Zi)

Z ~ N(0,1)

S(Zi) = Proporsi cacah Z ≤ Zi terhadap seluruh Zi

s

XXZ i

i

-=

s = Simpangan baku

)1(

)( 22

-

-= åå

nn

XXNs

c. Daerah Kritik

Dk = {L / L > L n;a }

d. Keputusan Uji

H0 diterima jika LÎDk atau ditolak jika ÏDk

b. Uji Homogenitas

Uji ini bertujuan untuk mengetahui populasi penelitian mempunyai variansi yang

sama atau tidak. Metode yang digunakan adalah metode Bartlett dengan statistik uji.

a. Hipotesis

H0 : 222

21 ... ksss === (sampel berasal dari populasi homogen)

H1 : sekurang-kurangnya ada satu variansi yang tidak sama (sampel tidak homogen)

b. Statistik Uji

å-= )loglog(203.2 22

jj SfRKGfc

X

Dengan

X2 ~ X2 (k – 1)

k = Banyaknya populasi = banyaknya sampel f = Derajat kebebasan untuk RKG = N – k fj = Derajat kebebasan untuk Sj

2 = nj – 1 j = 1, 2, … k

N = Banyaknya seluruh nilai nj = Banyaknya nilai (ukuran) ke-j = ukuran sampel ke-j

÷÷ø

öççè

æ-

-+= å ffk

cj

11)1(3

11

( ) 2

22

)1(; jjj

jjj

j

i Snn

XXSS

f

SSRKG -=-== ååå

å

c. Daerah Kritik

Dk = { X2/X2 > X2 a ;k – 1}

d. Keputusan Uji

H0 ditolak jika X2 ÎDk atau diterima jika X2 ÏDk

2. Uji Hipotesis

a. Analisis Variansi Tiga Jalan Sel Tak Sama

Pemilihan teknik analisis dengan anava tiga jalan dengan sel tak sama karena data

yang dipakai tidak diketahui proporsi atau perbandingan jumlah antara masing-masing

kategori pada setiap variabelnya.

a. Tujuan

Analisis variansi tiga jalan sel tak sama ini bertujuan untuk menguji

signifikansi perbedaan efek baris, efek kolom dan kombinasi efek kolom terhadap

variabel terikat.

b. Model

Xijkl = µ + αi + βi + gk + αβij + αgik + βgjk + αβgijk

Dengan : Xjkl = Pengamatan ke-i di bawah faktor A (penerapan model pembelajaran

kooperatif), kategori i, faktor B (motivasi berprestasi siswa) kategori j, dan faktor C (gaya belajar siswa) kategori k.

i = 1,2,3, ..., p; p = cacah kategori A, j = 1,2,3, ..., q; q = cacah kategori B, k = 1,2,3, ..., r; r = cacah kategori C, 1 = 1,2,3, ..., n; n = cacah pengamatan setiap sel nijk = Cacah observasi pada sel abcijk µ = Rerata besar (pada populasi) α1 = Efek faktor ke A kategori ke-i βj = Efek faktor ke B kategori ke j gk = Efek faktor ke C kategori ke-k αβij = Interaksi faktor A dan faktor B αgik = Interaksi fakLor B dan faktor C βgjk = Iiitrraksi faktor A dan faktor C αβgijk = Interaksi fa'ctor A, faktor B, dan faktor C εijkl = Deviasi data amatan terhadap rataan populasinya (µij) yang berdistribusi

normal dengan rataan 0 dan variansi σij2

Tata Letak Data Tabel 3.4 Notasi dan Tata Letak Data

A B B1 B2

C C1 C2 C3 C1 C2 C3

A1 ABC111 ABC112 ABC113 ABC121 ABC122 ABC123

A2 ABC211 ABC212 ABC213 ABC221 ABC222 ABC223

c. Hipotesis

Pada analisis tiga jalan terdapat tujuh pasang hipotesis yang perumusannya adalah

sebagai berikut:

1) (H0)1 : αi = 0 untuk semua i (H1)1 : αi ≠ 0 untuk sekurang-kurangnya satu i

2) (H0)2 : βj = 0 untuk semua j (Hi)2 : βj ≠ 0 untuk sekurang-kurangnya satu j

3) (H1)3 : gk = 0 untuk semua k (H0)3 : gk ≠ 0 untuk sekurang-kurangnya satu k

4) (H0)12 : αβij = 0 untuk semua pasang (i, j) (H0)12 : αβij ≠ 0 untuk sekurang-kurangnya satu (i,j)

5) (H0)13 : αgik = 0 untuk semua pasang (i, k) (Hi)13 : αgik ≠ 0 untuk sekurang-sekurangnya satu (i, k)

6) (H0)23 : βgjk = 0 untuk semua pasang (j, k) (H1)23 : βgjk ≠ 0 untuk sekurang-kurangnya satu (j, k) .

7) (H0)123 : αβgijk = 0 untuk semua pasang (i,j,k) (H1)123 : αβgijk ≠ 0 untuk sekurang-kurangnya satu (i, j, k)

d. Statistik Untuk hipotesis 1 dengan FA = RKA/RKG

Untuk hipotesis 2 dengan FB = RKB/RKG

Untuk hipotesis 3 dengan FC = RKC/RKG

Untuk hipotesis 4 dengan FAB = RKAB/RKG

Untuk hipotesis 5 dengan FAC = RKAC/RKG

Untuk hipotesis 6 dengan FBC = RKBC/RKG

Untuk hipotesis 7 dengan FABC = RKABC/RKG

Dengan RKA = JKA/dKA RKB = JKB/dKB

RKC = JKC/DkC RKAB = JKAB/DkAB

RKAC = JKAC/dKAC RKBC = JKBC/dKBC

RKABC = JKABC/dKABC RKG = JKG/dKG

Dengan dKA = (p-1) dKB = (q-1)

dKC = (r-1) dKAB = (p-1) (q-1)

dKAC = (p-1) (r-1) dKBC = (q-1) (r-1)

dKABC = (p-1) (q-1) (r-1) dKG = N - pqr

Jumlah Kuadrat (JK) diperoleh dari : a. Komponen JK

(1) =pqrG2

(6) = åji

2y

r

AB

,

(2) = åijk

ijkSS (7) = åki

2ik

qAC

,

(3) = åi

2j

qr

A (8) = å

kj

2jk

p

BC

,

(4) = åj

2j

pr

B (9) = å

kji

2ijkABC

,,

(5) = åk

2k

pqC

b. JK dihitung dengan menggunakan simbol-simbol dari 1) yaitu:

JKa = n h {(3) - (1)} JKb = n h {(4) - (1)} JKc = n h {(5) - (1)} JKab = n h {(6) - (4) - (3) + (1)} JKac = n h {(7) - (5) - (3) + (1)} JKbc = n h {(8) - (5) - (4) + (1)} JKabc = n h {(9) - (8) - (7) - (6) - (1) + (5) + (4) + (3)} JKg = (2)

+ JKt = n h {(9) - (1)} + JKg

Dengan n h =

åijk ijkr

1pqr

e. Daerah Kritik Daerah kritik atau daerah penolakan untuk hipotesis nol masing-masing perlakuan sebagai berikut: Fa = { Fa | Fa > Fa , dka ; N-pqr } Fb = { Fb | Fb > Fa , dkb ; N-pqr } Fc = { Fc | Fc > Fa , dkc ; N-pqr } Fab = { Fab | Fab > Fa , dkab ; N-pqr } Fac = { Fac | Fac > Fa , dkac ; N-pqr } Fbc = { Fbc | Fbc > Fa , dkbc ; N-pqr } Fabc = { Fabc | Fabc > Fa , dkabc ; N-pqr } Dengan a adalah taraf signifikan.

f. Keputusan Uji H0 ditolak apabila harga statistik uji yang bersesuaian melebihi harga kritiknya.

Tabel 3.5 Rangkuman Analisis Variansi Tiga Jalan Sel Tak Sama

Rangkuman JK db RK Fobs Fa

A JKa dba RKa Fa F*

B JKb dbb RKb Fb F*

C JKc dbc RKc Fc F*

AB JKab dbab RKab Fab F*

AC JKac dbac RKac Fac F*

BC JKbc dbbc RKbc Fbc F*

ABC JKabc dbabc RKabc Fabc F*

Galat JKg dbg N-pqr - -

Total JKt N-1 - -

Keterangan: F* adalah nilai F yang diperoleh dari tabel.

b. Uji Lanjut Anava

Uji lanjut anava atau uji komparasi ganda dilakukan apabila terdapat Ho yang

ditolak. Uji lanjut yang dilakukan menggunakan metode Scheefe. Uji ini untuk

mengetahui perbedaan rerata setiap pasangan kolom dan pasangan sel. Dalam uji ini

digunakan metode Scheffe dengan langkah-langkah sebagai berikut:

b. Mengidentifikasi semua pasangan komparasi rataan dan merumuskan hipotesis yang

bersesuaian dengan komparasi tersebut.

c. Menentukan tingkat signifikansi a

d. Mencari nilai statistik uji F dan menentukan daerah kritik dengan menggunakan

formula berikut :

1) Uji Scheffe untuk komparasi rataan antar baris.

( )

úúû

ù

êêë

é+

-=-

..

2

....

11

ji

jiji

nnRKG

XXF

dengan

Fi.-j. = Nilai F pada pembandingan baris ke-i dan baris ke-j

.iX = Rataan pada baris ke-i

.jX = Rataan pada baris ke-j

RKG = Rataan kuadrat galat, yang diperoleh dari perhitungan analisis variansi

ni. = Ukuran sampel baris ke-i

nj. = Ukuran sampel baris ke-j

Dk = {F / F > (p – 1) Fa ;p-1, N-pq}

2) Uji Scheffe untuk komparasi rataan antar kolom.

( )

úúû

ù

êêë

é+

-=-

ji

jiji

nnRKG

XXF

..

2

....

11

dengan

F.i-.j = Nilai F pada pembandingan kolom ke-i dan kolom ke-j

iX . = Rataan pada kolom ke-i

jX . = Rataan pada kolom ke-j

RKG = Rataan kuadrat galat, yang diperoleh dari perhitungan analisis

variansi

n.i = Ukuran sampel kolom ke-i

n.j = Ukuran sampel kolom ke-j

Dk = {Fb / Fb > (q – 1) Fa ;q-1, N-pq}

3) Uji Scheffe untuk komparasi rataan antar sel pada kolom yang sama.

( )

úúû

ù

êêë

é+

-=-

ji

jiji

nnRKG

XXF

11

2

dengan

Fij-kj =Nilai F pada pembandingan baris ke-ij dan baris ke-kj

ijX = Rataan sel ke-ij

kjX = Rataan pada sel ke-kj

RKG = Rataan kuadrat galat, yang diperoleh dari perhitungan analisis

variansi

nij = Ukuran sampel sel ke-ij

nkj = Ukuran sampel sel ke-kj

Dk = {F / F > (pq-1)Fa ;pq-1,N-pq}

4) Uji Scheffe untuk komparasi rataan antar sel pada baris yang sama.

( )

úúû

ù

êêë

é+

-=-

ji

jiji

nnRKG

XXF

11

2

dengan

Fij-ik =Nilai F pada pembandingan baris ke-ij dan baris ke-kj

ijX = Rataan sel ke-ij

ikX = Rataan pada sel ke-ik

RKG =Rataan kuadrat galat, yang diperoleh dari perhitungan analisis variansi

nij = Ukuran sampel sel ke-ij

njk =Ukuran sampel sel ke-jk

Dk = {F / F > (pq-1)Fa ;pq-1,N-pq}

e. Menentukan keputusan uji untuk masing-masing komparsi ganda.

f. Menentukan kesimpulan dari keputusan uji yang ada.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab IV ini akan disajikan tentang hasil penelitian yang telah dilaksanakan di

SMP Negeri 1 Juwiring. Data diperoleh dari kelas VIIIG sebagai kelas eksperimen

pertama dengan model pembelajaran kooperatif NHT (Numbered Heads Together) dan

kelas VIIIF sebagai kelas eksperimen kedua dengan model pembelajaran kooperatif TPS

(Tink-Pair-share). Adapun hasil penelitian yang akan disajikan adalah deskripsi data,

pengujian syarat analisis, pengujian hipotesis dan pembahasan hasil penelitian.

A. Deskripsi Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini meliputi skor motivasi berprestasi, skor

gaya belajar, dan nilai prestasi belajar siswa pada materi sistem pencernaan. Skor

motivasi berprestasi dan skor gaya belajar diambil dari hasil tes motivasi berprestasi dan

tes gaya belajar sebelum proses pembelajaran. Data prestasi belajar ini terdiri dari

prestasi belajar kognitif, yang diambil dari hasil tes prestasi belajar IPA melalui model

pembelajaran kooperatif NHT dan TPS.

1. Motivasi Berprestasi

Tingkatan motivasi berprestasi siswa ada dua yaitu tinggi dan rendah. Siswa

memiliki motivasi berprestasi tinggi jika mempunyai skor tes diatas mean, sedangkan

siswa memiliki motivasi berprestasi rendah jika mempunyai skor di bawah atau sama

dengan mean. Mean yang digunakan adalah rata-rata skor tes motivasi berprestasi dari

seluruh sampel penelitian yaitu 96,50 dengan skor minimum 76 dan skor maksimum 118.

Distribusi data motivasi berprestasi yang diperoleh disajikan dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jumlah Siswa yang Memiliki Motivasi Berprestasi Tinggi dan Rendah

Kelas VIII G (NHT)

Kelas VIII F (TPS)

Motivasi berprestasi

Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) Tinggi 20 57.1 10 28.6 Rendah 15 42.9 25 71.4 Jumlah 35 100 35 100

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada kelas VIIIF dengan model pembelajaran

kooperatif TPS siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi mempunyai frekuensi

lebih sedikit dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah.

Sedangkan pada kelas VIIIG dengan model pembelajaran kooperatif NHT siswa yang

66

memiliki motivasi berprestasi tinggi mempunyai frekuensi lebih banyak dibandingkan

dengan siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah.

2. Gaya Belajar

Gaya belajar siswa diketahui dari skor terbanyak yang diperoleh, dengan kategori

sebagai berikut: a.auditory, jika skor total pernyataan aspek auditory lebih tinggi

dibandingkan skor total pernyataan aspek visual dan kinestetik; b. visual, jika skor total

pernyataan aspek visual lebih tinggi dibandingkan skor total pernyataan aspek auditory

dan kinestetik; c. kinestetik, jika skor total pernyataan aspek kinestetik lebih tinggi

dibandingkan skor total pernyataan aspek visual dan auditory. Distribusi data yang

diperoleh disajikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Jumlah Siswa yang Memiliki Gaya Belajar Auditory, Visual, dan Kinestetik

Kelas VIII G (NHT)

Kelas VIII F (TPS) Gaya belajar

Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) Auditory 9 25.7 10 28.6 Visual 16 45.7 15 42.8

Kinestetik 10 28.6 10 28.6 Jumlah 35 100 35 100

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada kelas VIIIG dengan model pembelajaran

kooperatif NHT siswa yang memiliki gaya belajar visual mempunyai frekuensi lebih

banyak dibandingkan dengan siswa yang memiliki gaya belajar auditory dan kinestetik.

Pada kelas ini frekuensi siswa yang memiliki gaya belajar auditory paling sedikit.

Sedangkan pada kelas VIIIF dengan model pembelajaran kooperatif TPS siswa yang

memiliki gaya belajar visual juga mempunyai frekuensi paling banyak dan siswa yang

memiliki gaya belajar auditory serta kinestetik mempunyai frekuensi sama.

3. Prestasi Belajar IPA

Prestasi belajar IPA siswa dibatasi pada aspek kognitif, dan data diperoleh dengan

memberikan tes yang sama kepada siswa baik yang menggunakan model pembelajaran

kooperatif NHT dan TPS. Data yang diperoleh disajikan pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Deskripsi Data Prestasi Belajar

Model pembelajaran kooperatif NHT TPS

Mean 84.06 77.66

StDev 8.30 8.05 Skor Minimum 66 60

Skor Maksimum 96 96 Distribusi data prestasi belajar IPA siswa dengan model pembelajaran kooperatif

NHT terlihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi Data Prestasi Belajar Kelas NHT (VIII G)

Interval Frekuensi Frekuensi Relatif (%)

66 – 71 2 5.7

72 – 77 8 22.9

78 – 83 5 14.3

84 – 89 7 20

90 – 95 9 25.7

96 – 101 4 11.4 Jumlah 35 100

Data distribusi frekuensi prestasi belajar kelas NHT disajikan histogram dari

masing-masing distribusi pada gambar 4.1.

0

2

4

6

8

10

Interval

Fre

kuen

si

66 - 71 72 - 77 78 - 83 84 - 89 90 - 95 96 - 101

Gambar 4.1 Histogram Prestasi Belajar Kelas NHT

Dari diagram di atas diperoleh informasi, prestasi belajar 35 siswa pada kelas

yang menggunakan model pembelajaran kooperatif NHT memiliki rata-rata 84,06 dengan

simpangan baku 8,30 dan nilai tertinggi 96 serta nilai terendah 66. Frekuensi tertinggi

pada kelas ini pada interval 90-95.

Distribusi data prestasi belajar IPA siswa dengan model pembelajaran kooperatif

TPS terlihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Distribusi Data Prestasi Belajar Kelas TPS (VIIIF)

Interval Frekuensi Frekuensi Relatif (%)

60 – 65 1 2.9 66 – 71 8 22.8 72 – 77 8 22.8 78 – 83 11 31.4 84 – 89 5 14.3 90 – 95 1 2.9

96 – 101 1 2.9 Jumlah 35 100

Data distribusi frekuensi prestasi belajar kelas TPS disajikan histogram dari

masing-masing distribusi pada gambar 4.2.

0

2

4

6

8

10

12

Interval

Fre

kuen

si

60 - 65 66 - 71 72 - 77 78 - 83 84 - 89 90 - 95 96 - 101

Gambar 4.2 Histogram Prestasi Belajar Kelas TPS

Dari diagram di atas diperoleh informasi, prestasi belajar 35 siswa pada kelas

yang menggunakan model pembelajaran kooperatif TPS nilai rata-rata 77,66 dengan

simpangan baku 8,05 nilai tertinggi 96 serta nilai terendah 60. Frekuensi tertinggi pada

kelas ini pada interval 78-83.

B. Uji Prasyarat Analisis

Analisis data yang akan digunakan adalah teknik analisis variansi tiga jalan

dengan sel tak sama. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar dapat menggunakan teknik

ini adalah data berdistribusi normal dan homogen.

1. Uji Normalitas

Teknik yang digunakan dalam uji normalitas menggunakan metode Lilliefors.

Tabel 4.6 menunjukkan rangkuman hasil uji normalitas prestasi belajar dalam penelitian.

Tabel 4.6 Rangkuman Uji Normalitas No Variabel L hitung L tabel Keputusan Kesimpulan

1 Prestasi belajar (NHT)

0.1339 0.1500 Ho ditolak Sampel berdistribusi normal

2 Prestasi belajar (TPS)

0.0998 0.1500 Ho ditolak Sampel berdistribusi normal

Uji normalitas yang dilakukan dengan menggunakan taraf signifikansi a= 0,05.

Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa L tabel > L hitung, sehingga dapat disimpulkan Ho ditolak.

Hal ini berarti bahwa data prestasi belajar dalam penelitian ini berdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui sampel berasal dari populasi

yang berdistribusi dari variansi yang homogen atau tidak. Teknik yang digunakan dalam

uji homogenitas dengan uji Bartlett. Dari hasil pengujian homogenitas prestasi belajar

didapat c2obs = 0,029 dengan c2 0,05;1 = 3,841. DK = {c2/c2>3,841}; c2obs = 0,029 Î

DK maka Ho diterima. Kesimpulannya data prestasi belajar dalam penelitian berasal dari

populasi yang homogen.

C. Pengujian Hipotesis

1. Analisis Variansi Tiga Jalan Isi Sel Tak Sama

Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian yang berupa skor motivasi

berprestasi, skor gaya belajar, dan nilai prestasi belajar dianalisis dengan analisis variansi

tiga jalan dengan sel tak sama. Dari hasil pengujian didapat:

Tabel 4.7 Rangkuman Hasil Uji Anava dengan taraf signifikansi 0,05 No Variabel F hitung F tabel Keputusan

1 2 3

Model pembelajaran kooperatif Motivasi berprestasi Gaya belajar

7,65 33,15 16,82

4,00 4,00 3,15

HOA ditolak HOB ditolak HOC ditolak

4 5 6 7

Model pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi Model pembelajaran kooperatif dengan gaya belajar Motivasi berprestasi dengan gaya belajar Model pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi dan gaya belajar

0,00 0,64 0,95 2,95

4,00 3,15 3,15 3,15

HOAB diterima HOAC diterima HOBC diterima HOABC diterima

Berdasarkan hasil pengujian dengan analisisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama

diatas dapat diartikan sebagaimana tertulis di bawah ini.

1. F model pembelajaran kooperatif atau FA = 7,65 > F0,05; 1,58 = 4,00, maka HOA (model

pembelajaran kooperatif tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA) ditolak. Hal

ini berarti bahwa model pembelajaran kooperatif berpengaruh terhadap prestasi

belajar IPA;

2. F motivasi berprestasi atau FB = 33,15 > F0,05; 1,58 = 4,00, maka HOB (motivasi

berprestasi tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA) ditolak. Hal ini berarti

bahwa motivasi berprestasi berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA;

3. F gaya belajar atau FC = 16,82 > F0,05; 2,58 = 3,15, maka HOC (gaya belajar

berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA) ditolak. Hal ini berarti bahwa motivasi

berprestasi berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA;

4. F interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi

terhadap prestasi belajar IPA atau FAB = 0,00 < F0,05; 1,58 = 4,00, maka HOAB (tidak

terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi

terhadap prestasi belajar IPA) diterima. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat interaksi

antara model pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi terhadap prestasi

belajar IPA;

5. F interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan gaya belajar terhadap

prestasi belajar IPA atau FAC = 0,64 < F0,05; 2,58 = 3,15, maka HOAC (tidak terdapat

interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan gaya belajar terhadap prestasi

belajar IPA) diterima. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat interaksi antara model

pembelajaran kooperatif dengan gaya belajar terhadap prestasi belajar IPA;

6. F interaksi antara motivasi berprestasi dengan gaya belajar terhadap prestasi belajar

IPA atau FBC = 0,95 < F0,05; 2,58 = 3,15, maka HOBC (tidak terdapat interaksi antara

motivasi berprestasi dengan gaya belajar terhadap prestasi belajar IPA) diterima. Hal

ini berarti bahwa tidak terdapat interaksi antara motivasi berprestasi dengan gaya

belajar terhadap prestasi belajar IPA;

7. F interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi dan

gaya belajar terhadap prestasi belajar IPA atau FABC = 2,95 < F0,05; 2,58 = 3,15, maka

HOABC (tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan

motivasi berprestasi dan gaya belajar terhadap prestasi belajar IPA) diterima. Hal ini

berarti bahwa tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan

motivasi berprestasi dan gaya belajar terhadap prestasi belajar IPA.

2. Uji Lanjut Anava

Dalam penelitian ini terdapat tiga H0 yang ditolak yaitu H0A, H0B dan H0C. Hasil

uji lanjut anava dengan metode Scheffe sebagaimana tertulis di bawah ini.

a. Uji lanjut anava untuk H0A

Tabel 4.8 Rangkuman Rata-Rata Nilai Prestasi Belajar Berdasarkan Model Pembelajaran Kooperatif

No Variabel Rata-rata 1 Model pembelajaran kooperatif NHT (A1) 84.06 2 Model pembelajaran kooperatif TPS (A2) 77.66

Hasil untuk H0A adalah Fi-j= 24,38 karena terletak pada DK yaitu > 3,92 maka H0

ditolak sehingga memiliki beda rerata signifikan. Karena rerata NHT (A1) > TPS (A2)

yaitu 84,06 > 77,66 maka NHT lebih baik dari TPS.

b. Uji lanjut anava untuk H0B

Tabel 4.9 Rangkuman Rata-Rata Nilai Prestasi Belajar Berdasarkan Motivasi Berprestasi No Variabel Rata-rata 1 Motivasi berprestasi rendah (B1) 76.33

2 Motivasi berprestasi tinggi (B2) 86.9

Hasil untuk H0B adalah Fi-j= 68,9 karena terletak pada DK yaitu > 3,92 maka H0

ditolak sehingga memiliki beda rerata signifikan. Karena rerata siswa yang motivasi

berprestasi tinggi (B2) > siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah (B1) yaitu 86,9

> 76,33 maka siswa yang motivasi berprestasi tinggi akan menghasilkan prestasi belajar

yang lebih baik dari pada siswa yang motivasi berprestasi tinggi.

c. Uji lanjut anava untuk H0C

Tabel 4.10 Rangkuman Rata-Rata Nilai Prestasi Belajar Berdasarkan Gaya Belajar No Variabel Rata-rata 1 Gaya belajar Auditory (C1) 76.99 a 2 Gaya belajar Visual (C2) 80.43 ab 3 Gaya belajar Kinestetik (C3) 87.10 c

Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Scheffe tingkat kepercayaan 95%.

Dari hasil uji lanjut anava atau komparasi ganda untuk H0C didapat F1-2 = 5,03, F1-3

= 34,43 dan F2-3 = 18,93 dengan daerah kritik DKi-j = {Fi-j êFi-j > 2 F0,05; 2,67 = 6.30}.

Maka H0 diterima karena F1-2 tidak terletak pada daerah kritik, dan H0 ditolak karena F2-3,

dan F1-3 terletak pada daerah kritik.

Dari hasil uji lanjut anava atau uji komparasi ganda di atas terlihat bahwa

komparasi F1-2, tidak memiliki beda rerata yang signifikan artinya gaya belajar auditory

dan visual tidak memiliki beda rerata yang signifikan atau tidak berbeda nyata.

Sedangkan komparasi F1-3, dan F2-3 memiliki beda rerata yang signifikan artinya antara

gaya belajar auditory dengan kinestetik memiliki beda rerata yang signifikan atau berbeda

nyata dan gaya belajar visual dengan kinestetik juga memiliki beda rerata yang signifikan

atau berbeda nyata. Dari rerata tiap gaya belajar dapat disimpulkan bahwa gaya belajar

kinestetik menghasilkan prestasi belajar lebih tinggi yaitu 87,10 dibandingkan dengan

gaya belajar auditory yaitu 76,99 dan visual yaitu 80,43.

D. Pembahasan Hasil Analisis

1. Hipotesis pertama

Hasil perhitungan statistik analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama

pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif NHT dan TPS diperoleh F

hitung 7,65 karena Fa = 7,65 > F0,05; 1,58 = 4,00 maka berarti bahwa model pembelajaran

kooperatif berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA. Dalam keberhasilan proses

pembelajaran siswa ditentukan oleh beberapa faktor yang diantaranya model

pembelajaran yang digunakan oleh guru. Dengan adanya variasi model pembelajaran

yang sedang berkembang, guru dapat memilih model pembelajaran yang tepat sesuai

karakteristik bahan pelajaran sehingga pembelajaran dapat bervariasi juga tidak

membosankan dan akhirnya prestasi belajar yang dihasilkan dapat memuaskan.

Pembelajaran IPA menuntut adanya peran aktif siswa, karena IPA berdasarkan

proses ilmiah yang didasarkan pada cara berfikir logis berdasarkan faktor–faktor yang

mendukung dan cara berfikir kooperatif untuk memecahkan permasalahan–permasalahan

dalam pembelajaran. Dari hasil penelitian didapat bahwa model pembelajaran kooperatif

berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA sehingga dalam pembelajaran IPA perlu

penerapan model pembelajaran kooperatif.

Menurut Effandi Zakaria & Zanaton Iksan (2006: 35) pembelajaran kooperatif

merupakan pembelajaran yang sangat efektif, ini bisa dilihat ketika para siswa sedang

berdiskusi untuk membicarakan suatu masalah semua anggota kelompok aktif

mengemukakan dan membahas ide-ide. Melalui model pembelajaran kooperatif siswa

dapat termotivasi untuk mengolah pengetahuan yang didapat sesuai dengan keterampilan

yang ada dalam dirinya. Pada model pembelajaran kooperatif, siswa mendapatkan

tambahan motivasi dari anggota kelompok yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Gagne yaitu ”belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam

pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku (Syaiful Bahri Djamarah, 2002:

22).

Model pembelajaran kooperatif yang digunakan adalah NHT dan TPS, karena

kedua model pembelajaran kooperatif ini mendekati konsep sistem pencernaan. Pada

model pembelajaran kooperatif dengan NHT lebih mengedepankan kepada aktifitas siswa

dalam mencari, mengolah dan melaporkan informasi dengan presentasi didepan kelas.

Model ini membuat semua anggota kelompok aktif karena penggunaan nomor yang

dibagikan pada setiap anggota kelompok untuk dipanggil berpresentasi di depan kelas.

Sehingga setiap anggota kelompok menyiapkan diri untuk memberikan informasi atau

hasil kerja kelompok didepan kelas. Hal ini membuat setiap siswa mampu menguasai

materi pelajaran.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa model pembelajaran kooperatif NHT lebih

efektif dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif TPS karena dengan NHT

siswa cenderung lebih aktif dan lebih terarah, selain itu siswa juga terdorong untuk

berpikir, bekerja sama dan menyiapkan diri untuk berpresentasi di depan kelas.

Sedangkan pada model pembelajaran TPS siswa yang pandai lebih aktif, sehingga yang

lebih menguasai materi siswa yang pandai. Hal ini diperkuat dengan hasil uji lanjut yang

menyatakan adanya beda rerata yang signifikan antara rerata NHT dan TPS. Rerata

prestasi belajar IPA dengan NHT lebih tinggi dari TPS yaitu NHT = 84,06 sedangkan

TPS = 76,33 maka NHT lebih baik dari pada TPS.

Berdasarkan uraian di atas pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif

pada materi sistem pencernaan ini, merupakan model pembelajaran yang baik digunakan

untuk melatih siswa dalam belajar memahami proses pencernaan dalam tubuh dan

melatih siswa mengembangkan cara berpikir kooperatif. Pembelajaran dengan model ini

merupakan suatu inovasi pembelajaran IPA agar proses pembelajaran tidak

membosankan dan dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar sehingga dapat

menghasilkan prestasi belajar yang memuaskan. Dengan model pembelajaran kooperatif

siswa melakukan sendiri setiap kegiatan pembelajaran sehingga siswa mendapatkan

pengalaman belajar yang sangat jarang didapatkan jika menggunakan model

pembelajaran konvensional.

Tetapi dalam penelitian ini, terdapat beberapa hal dalam yang menghambat proses

pembelajaran kooperatif baik NHT maupun TPS antara lain: a. siswa yang motivasinya

kurang lebih mengandalkan siswa yang pandai sehingga hasilnya kurang memuaskan; b.

siswa masih kurang mempunyai inisiatif untuk mendapatkan informasi untuk menunjang

proses kerja kelompok.

2. Hipotesis kedua

Berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama

diperoleh F hitung 33,15 oleh karena Fb = 33,15 > F0,05; 1,58 = 4,00, maka hal ini berarti

bahwa motivasi berprestasi berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA. Motivasi

berprestasi siwa merupakan dorongan atau sikap yang membangun siswa untuk berbuat,

menentukan arah dan menerima semangat dalam meraih prestasi belajar yang lebih baik

dari sebelumnya.

Dalam penelitian ini motivasi berprestasi siswa berpengaruh terhadap prestasi

belajar siswa. Dengan adanya motivasi berprestasi dalam diri setiap siswa maka akan ada

keinginan untuk berprestasi sehingga prestasi belajarnya akan memuaskan. Siswa yang

memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menghasilkan prestasi belajar IPA yang lebih

tinggi dibandingkan siswa yang memiliki motivasi berprestasi siswa rendah. Hal ini

diperkuat dengan hasil uji lanjut anava bahwa prestasi belajar antara siswa yang memiliki

motivasi berprestasi tinggi berbeda nyata dengan siswa yang memiliki motivasi

berprestasi rendah. Rerata prestasi belajar siswa yang memiliki motivasi berprestasi

tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah

yaitu 86,9 > 76,33 maka siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan

menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki

motivasi berprestasi rendah.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasi penelitian yang dilakukan oleh Prantya

(2008) dengan judul ”Kontribusi Fasilitas Belajar dan Motivasi Berprestasi Terhadap

Hasil Belajar Kimia pada Siswa SMA Negeri 1 Karangnongko Kabupaten Klaten”.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada pengaruh positif signifikan antara motivasi

berprestasi terhadap hasil belajar kimia. Hal ini berarti bahwa siswa yang memiliki

motivasi berprestasi tinggi akan menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dari pada

siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah.

3. Hipotesis ketiga

Berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama

diperoleh F hitung 16,82 oleh karena Fc = 16,82 > F0,05; 2,58 = 3,15, maka hal ini berarti

bahwa gaya belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA. Gaya belajar merupakan

kombinasi dari seseorang menyerap, dan mengatur serta mengolah informasi. Gaya

belajar siswa dibedakan menjadi tiga yaitu: visual, auditory dan kinestetik. Dari hasil

penelitian didapat bahwa gaya belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA.

Menurut Murat Peker & Seref Mirasyedioglu (2008) dalam penelitiannya yang

berjudul “Pre-Service Elementary School Teachers’ Learning Styles and Attitudes

towards Mathematics” gaya belajar siswa berpengaruh dalam proses pembelajaran.

Selain itu, Lena M. Ballone & Charlene M. Czerniak (2001) dalam penelitiannya yang

berjudul “Teachers' Beliefs About Accommodating Students' Learning Styles In Science”

Classes juga menyimpulkan bahwa gaya belajar siswa berpengaruh dalam pemilihan

strategi pembelajaran IPA. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan

guru memperhatikan gaya belajar setiap siswa pada saat proses pembelajaran IPA, dapat

berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA sehingga prestasi belajarnya dapat lebih baik.

Dari hasil uji lanjut anava didapat bahwa gaya belajar kinestetik berbeda nyata dengan

gaya belajar auditory dan visual. Dan antara gaya belajar auditory dan visual tidak

berbeda nyata. Dari rerata tiap gaya belajar dapat disimpulkan bahwa gaya belajar

kinestetik menghasilkan prestasi belajar lebih tinggi yaitu 87,10 dibandingkan dengan

gaya belajar auditory yaitu 76,99 dan visual yaitu 80,43.

Gaya belajar kinestetik merupakan gabungan dari gaya belajar auditory dan visual

yaitu siswa menangkap ucapan guru dengan mendengarkan dan menangkap gerak-gerik

guru dengan melihat kemudian mengekspresikan sesuatu yang didengar dan dilihat

dengan mencatat, seperti yang dikemukakan oleh Mel Silberman (2001: 6) bahwa gaya

belajar kinestetik adalah mengedepankan aktivitas biasanya dengan mencatat. Aktivitas

yang dilakukan siswa dengan gaya belajar kinestetik ini yang dapat membuat siswa

menjadi lebih cepat menangkap dan mengingat materi. Jadi siswa yang memiliki gaya

belajar kinestetik dapat menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan siswa

yang memiliki gaya belajar auditory dan visual.

4. Hipotesis keempat

Berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama

diperoleh F hitung 0,00 oleh karena Fab = 0,00 < F0,05; 1,58 = 4,00, maka hal ini berarti

bahwa tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan motivasi

berprestasi terhadap prestasi belajar IPA. Berdasarkan hipotesis pertama penggunaan

model pembelajaran kooperatif sesuai dengan pembelajaran IPA dan memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar, karena dalam prosesnya siswa

dilibatkan secara aktif dan guru hanya sebagai motivator dan fasilitator saja. Dengan

pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif diharapkan motivasi berprestasi siswa

yang berpengaruh dalam proses pembelajaran. Seperti yang terlihat pada hipotesis kedua

yaitu terdapat pengaruh yang signifikan antara motivasi berprestasi terhadap prestasi

belajar. Siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menghasilkan prestasi

belajar IPA yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang memiliki motivasi berprestasi

siswa rendah.

Dalam penelitian ini memang tidak terlihat interaksi secara langsung tetapi bukan

berarti tidak ada hubungan antara keduanya. Karena dengan adanya motivasi berprestasi

dalam diri siswa maka siswa tersebut akan mempunyai keinginan untuk berprestasi pada

setiap kegiatan dalam pembelajaran kooperatif. Seorang siswa yang memiliki motivasi

berprestasi tinggi maka siswa tersebut juga akan memiliki keinginan yang tinggi untuk

aktif pada setiap kegiatan dalam pembelajaran kooperatif. Seperti yang dikemukakan

oleh Robinson dalam Suyadi (2008: 46) bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu

sikap yang membangun siswa untuk berbuat, menentukan arah dan menerima semangat

dalam meraih prestasi. Jadi motivasi berprestasi siwa merupakan dorongan atau sikap

yang membangun siswa untuk berbuat, menentukan arah dan menerima semangat dalam

setiap kegiatan pembelajaran untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik dari

sebelumnya.

5. Hipotesis kelima

Berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama

diperoleh F hitung 0,64 oleh karena Fac = 0,64 < F0,05; 2,58 = 3,15, maka hal ini berarti

bahwa tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan gaya belajar

terhadap prestasi belajar IPA. Penerapan model pembelajaran kooperatif dengan NHT

dan TPS mengutamakan peran aktif siswa dalam setiap kegiatan belajar. Dalam setiap

kegiatan dapat dilihat gaya belajar siswa yang berbeda-beda antara siswa yang satu

dengan siswa yang lainnya. Ada yang bergaya belajar visual, auditory atau kinestetik.

Sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki, masing-masing siswa akan aktif dalam setiap

kegiatan belajar. Tidak terlihatnya interaksi secara langsung dalam penelitian ini bukan

berarti tidak ada hubungan antara model pembelajaran kooperatif dengan gaya belajar

terhadap prestasi belajar.

Menurut Murat Peker & Seref Mirasyedioglu (2008: 22) student learning styles

can help us understand students’ difficulties in perceiving and processing mathematical

concepts. Maksudnya, dengan mempelajari gaya belajar siswa guru dapat mengetahui

perbedaan–perbedaan para siswa dalam mempresepsi dan memproses konsep-konsep

matematika. Hal ini berarti dengan mempelajari gaya belajar para siswa seorang guru

akan lebih terbantu dalam proses pembelajaran kooperatif selanjutnya akan berpengaruh

terhadap prestasi belajar. Seperti yang terlihat pada hipotesis ketiga bahwa terdapat

pengaruh gaya belajar terhadap prestasi belajar, dengan gaya belajar yang dimiliki

masing-masing siswa akan aktif dalam setiap kegiatan dalam pembelajaran kooperatif

sehingga akan tercapai prestasi belajar yang memuaskan.

6. Hipotesis keenam

Berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama

diperoleh F hitung 0,95 oleh karena Fbc = 0,95 < F0,05; 2,58 = 3,15, maka hal ini berarti

bahwa tidak terdapat interaksi antara motivasi berprestasi dengan gaya belajar terhadap

prestasi belajar IPA. Dalam penelitian ini memang tidak terlihat interaksi secara langsung

antara motivasi berprestasi dengan gaya belajar terhadap prestasi belajar, tetapi bukan

berarti tidak terdapat hubungan antara keduanya.

Menurut Abu Ahmadi & Widodo Supriyono (2004: 83) seseorang yang besar

motivasinya akan giat berusaha, tampak gigih tidak mau menyerah, giat membaca buku–

buku untuk memecahkan masalahnya dan untuk meningkatkan prestasinya. Sebaliknya

mereka yang motivasinya lemah, tampak acuh tak acuh, mudah putus asa, perhatiaannya

tidak tertuju pada pelajaran, suka mengganggu kelas, sering meninggalkan pelajaran

akibatnya banyak mengalami kesulitan belajar.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya motivasi

berprestasi dalam diri siswa maka siswa tersebut akan berusaha keras untuk

mendapatkan prestasi yang memuaskan. Usaha-usaha yang dilakukan siswa tersebut

sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki oleh masing-masing siswa, yaitu sesuai dengan

gaya belajar visual, auditory maupun kinestetik.

7. Hipotesis ketujuh

Berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama

diperoleh F hitung 2,95 oleh karena Fabc = 2,95 < F0,05; 2,58 = 3,15, maka hal ini berarti

bahwa tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif dengan motivasi

berprestasi dan gaya belajar terhadap prestasi belajar IPA. Dalam penelitian ini memang

tidak terlihat interaksi secara langsung antara model pembelajaran kooperatif dengan

motivasi berprestasi dan gaya belajar terhadap prestasi belajar, tetapi bukan berarti tidak

terdapat hubungan antara ketiganya.

Seperti yang dikemukakan oleh Ridwan (2008) bahwa prestasi belajar siswa

dipengaruhi faktor intern dan ekstern siswa itu sendiri. Faktor intern adalah faktor yang

timbul dari dalam diri individu itu sendiri, adapun yang dapat digolongkan ke dalam

faktor intern yaitu kecedersan atau intelegensi, bakat, minat, gaya belajar dan motivasi.

Motivasi dalam hal ini ada dua yaitu motivasi untuk belajar dan motivasi untuk

berprestasi. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

prestasi belajar yang sifatnya di luar diri siswa diantaranya model pembelajaran.

Berdasarkan hipotesis yang pertama, kedua, dan ketiga yaitu model pembelajaran

kooperatif, motivasi berprestasi dan gaya belajar siswa memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap prestasi belajar. Tetapi dalam penelitian ini tidak terdapat interaksi

antara model pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi berprestasi dan gaya

belajar terhadap prestasi belajar IPA. Banyak faktor yang mempengaruhi proses

pencapaian prestasi belajar baik dari faktor ekstern maupun intern siswa, selain faktor

model pembelajaran kooperatif, motivasi berprestasi dan gaya belajar siswa yang

digunakan dalam penelitian ini, serta banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini

sehingga peneliti tidak dapat mengontrol faktor-faktor tersebut di luar kegiatan belajar

mengajar.

E. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian yang telah dilakukan, peneliti telah berusaha semaksimal

mungkin, akan tetapi peneliti menyadari sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh

mungkin tidak sesuai dengan harapan. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain

pelaksanaan penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali pertemuan dengan alokasi

waktu empat jam pelajaran sebenarnya dirasakan sangat kurang, sehingga ada

kemungkinan pengaruh perlakuan belum tampak jelas.

Pembelajaran dengan model kooperatif NHT dan TPS jarang dilakukan dalam

proses pembelajaran di SMP Negeri 1 Juwiring, sehingga proses belajar mengajar yang

terjadi kurang berjalan secara maksimal. Instrumen penelitian yang digunakan untuk

pengambilan berupa tes motivasi berprestasi, tes gaya belajar dan tes prestasi belajar,

semuanya belum merupakan instrumen standar. Karena instrumen tersebut disusun dan

dikembangkan oleh penulis. Selain itu, instrumen hanya diuji caba satu kali yaitu di MTs

Ceper sehingga masih memerlukan uji coba dan analisis yang lebih banyak sehingga

instrumen benar-benar standar.

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1

Juwiring tahun pelajaran 2009/2010. Sampel yang digunakan terlalu kecil karena hanya

dua kelas untuk dua model pembelajaran kooperatif yang berbeda. Selain itu siswa belum

terbiasa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif sehingga pada pertemuan

pertama proses pembelajaran berjalan kurang lancar.

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dengan memperhatikan latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian teori,

hipotesis sampai pengujian hipotesis, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

pembelajaran pada materi sistem pencernaan yang menggunakan model pembelajaran

kooperatif NHT dan TPS dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Dari hasil penelitian

dapat ditarik kesimpulan sebagaimana tertulis di bawah ini.

1. Dalam penelitian ini model pembelajaran kooperatif berpengaruh terhadap prestasi

belajar IPA. Pembelajaran IPA pada materi sistem pencernaan melalui model

pembelajaran kooperatif NHT lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran

kooperatif TPS karena dengan NHT siswa cenderung lebih aktif dan lebih terarah.

Selain itu siswa juga terdorong untuk berpikir, bekerja sama dan mempersiapkan diri

untuk presentasi di depan kelas sehingga setiap siswa mampu menguasai materi.

Sedangkan pada model pembelajaran kooperatif TPS siswa yang pandai lebih aktif,

sehingga yang lebih menguasai materi siswa yang pandai;

2. Dalam penelitian ini motivasi berprestasi siswa berpengaruh terhadap prestasi belajar

IPA. Dengan adanya motivasi berprestasi dalam diri setiap siswa maka akan ada

keinginan untuk berprestasi sehingga prestasi belajarnya akan memuaskan. Siswa

yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menghasilkan

prestasi belajar IPA yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang memiliki motivasi

berprestasi siswa rendah; 87

3. Dalam penelitian ini terdapat pengaruh gaya belajar terhadap prestasi belajar IPA.

Dengan guru memperhatikan gaya belajar setiap siswa pada saat proses pembelajaran

IPA, dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar IPA sehingga prestasi belajarnya

dapat lebih baik. Pada pembelajaran IPA materi sistem pencernaan siswa yang

memiliki gaya belajar kinestetik dapat menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik

dibandingkan siswa yang memiliki gaya belajar auditory dan visual;

4. Dalam penelitian ini tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif

yang digunakan dengan motivasi berprestasi siswa. Tidak terlihatnya interaksi secara

langsung bukan berarti tidak ada hubungan antara keduanya. Karena dengan adanya

motivasi berprestasi pada diri siswa maka siswa tersebut akan mempunyai keinginan

untuk berprestasi dalam setiap kegiatan dalam pembelajaran kooperatif;

5. Dalam penelitian ini tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif

dengan gaya belajar terhadap prestasi belajar IPA, tetapi gaya belajar berpengaruh

terhadap model pembelajaran kooperatif dan prestasi belajar. Dengan mempelajari

gaya belajar para siswa seorang guru akan lebih terbantu dalam proses pembelajaran

kooperatif selanjutnya akan berpengaruh terhadap prestasi belajar;

6. Dalam penelitian ini tidak terdapat interaksi antara motivasi berprestasi dengan gaya

belajar terhadap prestasi belajar IPA, tetapi bukan berarti tidak terdapat hubungan

antara keduanya. Dengan adanya motivasi berprestasi dalam diri siswa maka siswa

tersebut akan berusaha keras untuk mendapatkan prestasi yang memuaskan. Usaha-

usaha yang dilakukan siswa tersebut sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki oleh

masing-masing siswa, yaitu dengan gaya belajar auditory, visual maupun kinestetik;

7. Dalam penelitian ini tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif

dengan motivasi berprestasi dan gaya belajar terhadap prestasi belajar IPA, memang

tidak terlihat interaksi secara langsung tetapi bukan berarti tidak terdapat hubungan

antara ketiganya. Tidak terdapatnya interaksi disebabkan karena masih banyaknya

faktor-faktor lain yang mempengaruhi pencapaian prestasi belajar baik faktor intern

maupun ekstern.

B. Implikasi

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh, implikasi disajikan di

bawah ini.

1. Implikasi teoritis:

Implikasi teoritis dari hasil penelitian ini adalah:

a. pembelajaran IPA pada materi sistem pencernaan sebaiknya menggunakan model

pembelajaran kooperatif NHT, karena efektif dan dapat menghasilkan prestasi

belajar yang memuaskan;

b. motivasi berprestasi yang ada dalam diri setiap siswa mempengaruhi prestasi

belajar dalam menggunakan model pembelajaran kooperatif, karena model

pembelajaran ini melibatkan keaktifan dan kerja sama antar siswa. Motivasi

berprestasi yang ada dalam diri siswa mempengaruhi siswa untuk aktif dalam

sestiap kegiatan dalam pembelajaran, sehingga perlu diperhatikan;

c. gaya belajar kinestetik menghasilkan prestasi belajar paling baik dalam

menggunakan model pembelajaran kooperatif, karena gaya belajar kinestetik

merupakan gabungan dari gaya belajar visual dan auditory.

2. Implikasi praktis:

Secara praktis penggunaan pembelajaran model pembelajaran NHT dan TPS

dapat digunakan pada materi sistem pencernaan. Pembelajaran model pembelajaran

kooperatif dapat dilaksanakan dengan baik jika waktu yang tersedia lebih banyak.

C. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi hasil penelitian, maka dapat dikemukakan

saran sebagaimana tertulis di bawah ini.

1. Kepada guru:

a. penggunaan model pembelajaran kooperatif NHT, hendaknya dilakukan dengan

persiapan sebaik-baiknya antara lain menyiapkan silabus, RPP, dan pertanyaan-

pertanyaan yang digunakan dalam model pembelajaran ini agar proses

pembelajaran dapat berjalan lancar sesuai rencana dan mendapatkan prestasi belajar

yang maksimal;

b. menuntun siswa yang bergaya belajar auditory dan visual dapat berubah menjadi

kinestetik membuat stimulan-stimulan atau cara-cara dalam proses pembelajaran

yang mengarah ke gaya belajar kinestetik.

2. Kepada peneliti:

a. hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian yang sejenis

dengan materi yang berbeda. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan menambah

variabel lainnya seperti minat siswa, kemampuan berpikir kooperatif, sikap ilmiah

dan kreatifitas siswa;

b. prestasi belajar ranah afektif dan psikomotorik perlu diteliti ketika penelitian yang

dilakukan melibatkan variabel atribut yang lebih kompleks.

3 Kepada lembaga pendidikan:

Lembaga penyelenggara pendidikan agar lebih memperhatikan fasilitas

pembelajaran ilmu pengetahuan alam disekolah. Dengan sarana prasarana yang cukup

maka pembelajaran ilmu pengetahuan alam disekolah akan berjalan lebih baik, lancar

dan akan menghasilkan prestasi belajar yang memuaskan.

4. Kepada siswa:

a. setiap siswa perlu meningkatkan keaktifan dan kerjasama dalam proses

pembelajaran sehingga dapat terbentuk cara berpikir kooperatif dalam setiap diri

siswa;

b. siswa yang bergaya belajar auditory dan visual sebaiknya berupaya untuk

merubah gaya belajarnya menjadi kinestetik karena gaya belajar kinestetik dapat

menghasilkan prestasi belajar yang paling baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi & Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta Anonim. 2009. Hakekat IPA. http://nurma.staff.uns.ac.id. Anonim. 2008. Inisiasi Pengembangan Pembelajaran IPA.

http://budimeeong.files.wordpress.com.

Ching-Chun Shih & Julia Gamon. 2001. “Relationships Among Student Motivativation, Attiyude, Learning Styles, And Achievement”. Journal of Agricultural Education, 42 (4): 12-20.

Effandi Zakaria and Zanaton Iksan. 2007. “Promoting Cooperative Learning in Science

and Mathematics Education: A Malaysian Perspective”. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3(1), 35-39.

Fatchur Rochman. 2008. Pembelajaran Biologi Tipe GI dan TPS Ditinjau dari

Aktivitas Belajar Siswa SMP. Surakarta: UNS Hsiu-chuan Chen. 2006. “Cooperative Learning on Second Foreign Language Education:

Theory and Practice”. Lecturer, Department of Applied Foreign Languages, Kang-Ning Junior College of Medical Care and Management, 199-216.

Jogiyanto. 2006. Filosofi, Pendekatan, dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus.

Yogyakarta: ANDI Kasinem. 2008. Pembelajaran Quantum dengan Metode Simulasi dan Diskusi

ditinjau dari Gaya Belajar Siswa. Surakarta: UNS Lena M. Ballone & Charlene M. Czerniak. 2001. “Teachers' Beliefs About

Accommodating Students' Learning Styles In Science Classes”. Electronic Journal of Science Education, 6 (2): 1-41.

Lie, Anita . 2005. Cooperatif Learning: Mempraktikkan Cooperatif Learning di

Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : Grasindo Martinis Yamin. 2005. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gaung

Persada Press Matthew. T. A . 2006. ”Language Learning Theories and Cooperative Learning

Techniques in the EFL Classroom’. Doshisha Studies in Language and Culture, 9 (2): 277 – 301.

Mel Silberman. 2001. Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta:

Yappendis

Mohamad Surya. 2003. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Jakarta : CV Mahaputra Adi Jaya.

Murat Peker & Seref Mirasyedioglu. 2008. “Pre-Service Elementary School Teachers’

Learning Styles and Attitudes towards Mathematics”. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 4(1): 21-2.

Nik Azlina. 2008. “Collaborative Teaching Environment System Using Think-Pair-Share

Technique”. Faculty of Computer Science and Information Technology University of Malaya Kuala Lumpur: 11-229.

Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan jawaban). Jakarta : Grasindo Prantya. 2008. Kontribusi Fasilitas Belajar dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil

Belajar Kimia pada Siswa SMA Negeri 1 Karangnongko Kabupaten Klaten. Surakarta: Pascasarjana UMS

Ridwan. 2008. Ketercapaian Prestasi Belajar . ridwan.wordpress.com Sardiman. A.M. 2001. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada Slavin. 1994. Cooperative Learning. Boston Stephanus Legiyo. 2009. Model Kooperatif TPS dan NHT Pada Pembelajaran Fisika

Ditinjau dari Sikap Sosial Siswa. Surakarta: UNS Sugiyono. 1999. Statistika untuk Penelitian. Bandung : CV. Alfabeta Suharsimi Arikunto. 2006. Dasar–Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta:

Bumi Aksara Suparjo Eko Ifiyanto. 2007. Pembelajaran Kimia Dengan Model Direct Intruction

Menggunakan Peta Konsep dan LKS Ditinjau dari Motivasi Berprestasi dan Kreativitas Siswa. Surakarta: UNS

Suyadi. 2008. Pengaruh Pembelajaran Penemuan Fisika Pada Kinematika Gerak

Lurus Melalui Metode Eksperimen dan Demonstrasi terhadap Prestasi Belajar Ditinjau dari Motivasi Berprestasi. Surakarta: UNS

Syaiful Bahri Djamarah. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta Syaiful Sagala. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfa Beta Theresia Heni Ambaristi. 2008. Pembelajaran Biologi Menggunakan Animasi dan

Portofolio ditinjau dari Motivasi dan Gaya Belajar Siswa. Surakarta: UNS

Tulus Junanto. 2008. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan TPS

Terhadap Prestasi Belajar Ditinjau dari Sikap Ilmiah. Surakarta: UNS

Wasty Soemanto. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta