Model Pembelajaran

25

Click here to load reader

Transcript of Model Pembelajaran

Page 1: Model Pembelajaran

1. Model pembelajaran picture and picture

Model pembelajaran picture and picture merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya memperlajari materi saja, namun siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan huungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok. Sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar kelompok selama kegiatan. Lingkungan belajar untuk pembelajaran kooperatif dicirikan oleh proses demokrasi dan peran aktif siswa dalam menentukan apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Guru merupakan suatu struktur tingkat tinggi dalam pembentukan kelompok dan mendefinisikan semua prosedur, namum siswa diberi kebebasan dalam mengendalikan dari waktu ke waktu di dalam kelompoknya. Jika pelajaran pembelajaran kooperatif ingin menjadi sukses, materi pelajaran yang lengkap harus tersedia di ruangan guru atau di perpustakaan atau dipusat media. Keberhasilan juga menghendaki syarat dari menjauhkan kesalahan tradisional, yaitu secara ketat mengelola tingkah laku siswa dalam kerja kelompok.

Model pembelajaran picture and picture  ini dapat digunakan dalam berbagai mata pelajaran dan tentunya dengan kemasan dan kreatifitas guru. Sejak di populerkan sekitar tahun 2002, model pembelajaran ini mulai menyebar di kalangan guru di Indonesia. Dengan menggunakan model pembelajaran tertentu maka pembelajaran menjadi menyenangkan. Selama ini hanya guru sebagai actor di depan kelas, dan seolah-olah guru-lah sebagai satu-satunya sumber belajar.

Pembelajaran modern memiliki ciri Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan. Model apapun yang digunakan selalu menekankan aktifnya peserta didik dalam setiap proses pembelajaran. Inovatif setiap pembelajaran harus memberikan sesuatu yang baru, berbeda dan selalu menarik minat peserta didik. Dan Kreatif, setiap pembelajaran harus menimbulkan minat kepada peserta didik untuk menghasilkan sesuatu atau dapat menyelesaikan suatu masalah dengan menggunakan metoda, teknik atau cara yang dikuasai oleh siswa itu sendiri yang diperoleh dari proses pembelajaran.

Setiap model pembelajaran harus dipersiapkan dengan baik agar proses pembelajaran dapat berlangsung efektif, tanpa persiapan yang matang pembelajaran apapun akan membuat siswa menjadi jenuh. Model belajar dan pembelajaran juga harus berganti-ganti dalam beberapa pertemuan agar belajar mengajar tidak monoton dalam kelas.

Model Pembelajaran picture and picture, mengandalkan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran. Gambar-gambar ini menjadi factor utama dalam proses pembelajaran ini. Sehingga sebelum proses pembelajaran guru sudah menyiapkan gambar yang akan ditampilkan baik dalam bentuk kartu atau dalam bentuk carta dalam ukuran besar. Atau jika di sekolah sudah menggunakan ICT (information comunication technology) dapat menggunakan Power Point atau software yang lain.

Langkah-langkah dalam penggunaan model picture and picture

1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapaiPada langkah ini guru diharapkan dapat menyampaikan apakah yang menjadi kompetensi dsar mata pelajaran yang

bersangkutan. Dengan demikian mahasiswa dapat mengukur sampai sejauh mana yang harus dikuasainya. Di samping itu guru juga harus menyampaikan indicator-indikator ketercapaian kompetensi dasar. Sehingga sampai dimana KKM yang telah ditettapkan daoat dicapai oleh peserta didik.

2. Menyajikan materi sebagai pengantarPenyajian materi sebagai pengantar sesuatu yang penting, dari sini guru memberikan momentum pemulaan

pembelajaran. Kesuksesan dalam proses pembelajaran dapat dimulai dari si ni. Karena guru dapat memberikan motivasi yang menarik perhatian siswa yang se;lama ini belum siap. Dengan motivasi dan teknik yang baik dalam pemberian materi akan menarik minat siswa untuk belajar lebih jauh tentang materi yang dipelajari.

3.         Guru menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan Materi

Dalam proses penyajian materi, guru mengajar siswa ikut terlibat aktif dalam proses pembelajaran dengan mengamati setiap gambar yang ditunjukkan oleh guru atau oleh temannya.

4.       Guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.

Di langkah ini guru harus dapat melakukan motivasi, karena penunjukkan secara langsung kadang kurang efektif dan membuat siswa merasa terhukum. Salah satu cara adalah dengan undian, sehingga siswa merasa memang harus menjalankan tugas yang diberikan.gambar-gambar yang sudah ada diminta oleh siswa untuk diurutkan, dibuat atau dimodifikasi.

5.         Guru menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebutSetelah itu ajaklah siswa untuk menemukan rumus, tinggi, jalan cerita, atau tuntutan KD dengan indicator yang

akan dicapai. Usahakan diskusi berlangsung dengan tertib dan terkendali, ingat ini adalah diskusi bukan debat, jadi guru harus mampu mengendalikan situasi yang terjadi sebagai moderator utyamanya.

6. Dari alasan dari urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai

Dalam proses diskusi dan pembacaan gambar ini guru harus memberikan penekanan-penekanan pada hal ini dicapai dengan meminta siswa lain untuk mengulangi, menuliskan atau bentuk lain dengan tujuan siswa mwngetahui bahwa hal tersebut penting dalam pencapaian KD dan indicator yang telah ditetapkan.

1. Kesimpulan/rangkumanKesimpulan dan rangkuman dilakukan dengan siswa. Guru membantu dalam proses membuat kesimpulan.

Page 2: Model Pembelajaran

Keunggulan model pembelajaran picture and picture

1. Memudahkan siswa untuk memahami yang dimaksudkan oleh guru ketika menyampaikan materi pembelajaran.

2. Siswa cepat tanggap atas materi yang disampiakan karena diiringi dengan gambar- gambar

3. Siswa dapat membaca satu persatu sesuai dengan petunjuk yang ada pada gambar – gambar yang diberikan.4. Siswa lebih konsentrasi serta mengasyikkan bagi mereka atas tugas yang diberikan guru karena berkaitan dengan permainan mereka sehari – hari yakni main gambar – gambar 5. Adanya saling berkompetensi antar kelompok dalam menyusun gambar yang telah dipersiapkan oleh guru sehingga seuasana kelas terasa hidup.

6.         Siswa lebih kuat mengingat konsep-konsep atau bacaan yang ada pada gambar. 7.         Menarik bagi siswa dikarenakan melalui audio visual dalam bentuk gambar – gambar.

Selain itu model pembelajaran ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya. Adapun kelebihan dari model ini adalah :

         Guru dengan metode inovatif ini akan dapat dengan mudah mengetahui kemampuan masing-masing siswa.         Melatih berpikir logis dan sistematis siswa         Dengan model ini dapat mendorong siswa untuk aktif dalam pembelajaran         Guru hanya sebagai pendamping dalam proses belajar Sedangkan kekurangan dari model pembelajaran ini adalah :

       Memakan banyak waktu.         Banyak siswa yang pasif kalau tidak di panggil namanya oleh pengajar         Harus mempersiapkan banyak alat dan bahan yang berhubungan dengan materi yang akan diajarkan dengan model tersebut        Membutuhkan biaya yang tidak sedikit         Guru dituntuk untuk lebih terampil dalam menyajikan gambar sehingga mendorong

motivasi siswa untuk belajar aktif         Kesuksesan model pembelajaran ini di ukur dari kelengkapan materi pelajaran dan dipusat media yang digunakan dalam pembelajaran.

2. Model pembelajaran Sains Teknologi dan Masyarakat

Sains Teknologi Masyarakat (STM) yang diterjemahkan dari akronim bahasa Inggris STS (“Science Technology Society”) adalah sebuah gerakan pembaharuan dalam pendidikan sains. Pembaharuan ini mula-mula terjadi di Inggris dan Amerika, sekarang sudah merebak ke negara-negara lain. Pendekatan STM dalam pendidikan sains diyakini oleh pakar-pakar di Amerika sebagai pendekatan yang tepat, sebab pendekatan ini berusaha untuk menjembatani materi di dalam kelas dengan situasi dunia nyata di luar kelas yang menyangkut perkembangan teknologi dan situasi sosial kemasyarakatan. Hal ini menggambarkan bahwa pendekatan STM dijalankan untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi masa depannya. Pendekatan ini menuntut agar peserta didik diikutsertakan dalam penentuan tujuan, perencanaan, pelaksanaan, cara mendapatkan informasi, dan evaluasi pembelajaran. Adapun yang digunakan sebagai penata (organizer) dalam pendekatan STM adalah isu-isu dalam masyarakat yang ada kaitannya dengan Sains dan Teknologi.

National Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1) memandang STM sebagai the teaching and learning of science in the context of human experience. STM dipandang sebagai proses pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks pengalaman manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk meningkatakan kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan sehari-hari.

Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN STATE (2006:1) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach which reflects the widespread realization that in order to meet the increasingdemands of a technical society, education must integrate across disciplines. Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan STM haruslah diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan berbagai disiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yang terjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalam pengembangan pembelajaran di era sekarang ini.

Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006: 1), bahwa STM merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a understand the many ways that scinence and technology shape culture, values, and institution, and how such factors shape science and technology. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa STM merupakan sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi.

   Tujuan Pendekatan STM

Page 3: Model Pembelajaran

Berdasarkan pengertian STM sebagaimana diungkapkan di bagian sebelumnya, maka dapat diungkapkan bahwa yang menjadi tujuan pendekatan STM ini secara umum sebagaimana diungkapkan oleh Rusmansyah (2001: 3) adalah agar para peserta didik mempunyai bekal pengetahuan yang cukup sehingga ia mampu mengambil keputusan penting tentang masalah-masalah dalam masyarakat dan sekaligus dapat mengambil tindakan sehubungan dengan keputusan yang diambilnya.

STM dikembangkan dengan tujuan agar :1) peserta didik mampu menghubungkan realitas sosial dengan topik pembelajaran di dalam kelas,2) peserta didik mampu menggunakan berbagai jalan/ perspektif untuk mensikapi berbagai

isu/ situasi yang berkembang di masyarakat berdasarkan pandangan ilmiah, dan3) peserta didik mampu menjadikan dirinya sebagai warga masyarakat yang memiliki

tanggungjwab sosial.

    Hubungan STM dengan Hakekat Pendidikan Sains

Pada hakekatnya sains memiliki dua dimensi yaitu sains sebagai proses dan sains sebagai produk. Sains sebagai suatu proses, merupakan rangkaian kegiatan ilmiah atau hasil-hasil observasi terhadap fenomena alam untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah (scientific knowladge) atau keterampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan sains sebagai produk merupakan kumpulan pengetahuan yang meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, teori-teori, generalisasi, dan hukum-hukum.

Sains sebagai proses dan sains sebagai produk bukanlah merupakan dua dimensi yang terpisah, namun merupakan dua dimensi yang terjalin erat sebagai suatu kesatuan. Proses sains akan menghasilkan pengetahuan atau produk sains yang baru, dan pengetahuan sebagai produk sains akan memunculkan pertanyaan baru untuk diteliti melalui proses sains, sehingga dihasilkan pengetahuan (produk sain) yang lebih baru lagi. Dari hal itu dapat dilihat bahwa sains selalu berkembang dari waktu ke waktu.

Pendidikan Sains merupakan salah satu aspek pendidikan dengan menggunakan sains sebagai alatnya untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya dan pendidikan sains pada khususnya. Salah satu sasaran yang dapat dicapai melalui pendidikan sains adalah “pengertian sains” itu sendiri (Amien, dalam Sadia, 2009). Tujuan utama pendidikan sains adalah mengembangkan individu-individu yang literasi sains. Literasi sains meliputi pengetahuan tentang usaha ilmiah, hukum-hukum dan teori ilmiah, serta keterampilan inkuiri. Hal yang paling esensial dalam membentuk manusia yang literasi sains adalah memiliki pengetahuan yang fundamental tentang sains. Individu yang literasi sains memiliki kemampuan untuk menggunakan aspek-aspek fundamental Sains dalam memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam pengambilan keputusan bagi kepentingan umum maupun personal. Esensi sains adalah kegunaannya sebagai alat dalam penemuan pengetahuan dengan jalan observasi, eksperimen, dan pemecahan masalah.

Dalam pendidikan Sains, baik itu sains sebagai proses dan sains sebagai produk harusnya mendapat penekanan yang seimbang. Selama ini tampak bahwa pengajaran Sains di sekolah memberi tekanan yang jauh lebih besar terhadap “Sains sebagai produk”, dari pada “Sains sebagai proses”. Pendidikan Sains pada hakekatnya dapat digunakan untuk membekali subjek didik dengan pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga dapat digunakan untuk menanamkan sikap dan nilai. Jadi pendidikan Sains dapat digunakan sebagai wahana klarifikasi nilai, yang selama ini kurang mendapat perhatian dari para guru Sains.

 Implementasi pendekatan Sains, Teknologi dan Masyarakat dalam Pembelajaran Biologi

Menurut Poedjiadi (2005), pelaksanaan pendekatan STM dapat dilakukan melalui tiga macam strategi, yaitu: Strategi pertama, menyusun topik- topik tertentu yang menyangkut konsep-konsep yang ingin ditanamkan pada peserta didik. Pada strategi ini, di awal pembelajaran (topik baru) guru memperkenalkan atau menunjukkan kepada peserta didik adanya isu atau masalah di lingkungan anak atau menunjukkan aplikasi sains atau suatu produk teknologi yang ada di lingkungan mereka. Masalah atau isu yang ada di lingkungan masyarakat dapat pula diusahakan agar ditemukan oleh anak sendiri setelah guru membimbing dengan cara-cara tertentu. Melalui kegiatan eksperimen atau diskusi kelompok yang dirancang oleh guru, akhirnya dibangun atau dikonstruksi pengetahuan pada anak. Dalam hal ini, pengetahuan yang berbentuk konsep-konsep.

Strategi kedua, menyajikan suatu topik yang relevan dengan konsep-konsep tertentu yang termasuk dalam standar kompetensi atau kompetensi dasar. Pada saat membahas konsep-konsep tertentu, suatu topik relevan yang telah dirancang sesuai strategi pertama dapat diterapkan dalam pembelajaran. Dengan demikian program STM merupakan suplemen dari kurikulum.

Strategi ketiga, mengajak anak untuk berpikir dan menemukan aplikasi konsep sains dalam industri atau produk teknologi yang ada di masyarakat di sela-sela kegiatan belajar berlangsung. Contoh-contoh adanya aplikasi konsep sains, isu atau masalah, sebaiknya diperkenalkan pada awal pokok bahasan tertentu untuk meningkatkan motivasi peserta didik mempelajari konsep-konsep selanjutnya, atau mengarahkan perhatian peserta didik kepada materi yang akan dibahas sebagai apersepsi.

Untuk mengimplementasikan pendekatan STM dalam pembelajaran, Dass (1999) dalam Raja (2009) mengemukakan empat langkah kegiatan kelas yang secara komprehensif merupakan upaya mengembangkan pemahaman murid dan pelaksanaan

Page 4: Model Pembelajaran

suatu proyek STM yang berhubungan preservice  guru. Keempat langkah pembelajaran tersebut adalah fase invitasi atau undangan atau inisiasi, eksplorasi, mengusulkan penjelasan dan solusi, dan mengambil tindakan.

Fase Invitasi

Pada Preservice teachers (PSTs)atahap ini, guru melakukan brainstorming dan menghasilkan beberapa kemungkinan topik untuk penyelidikan. Topik dapat bersifat global atau lokal, tetapi harus merupakan minat siswa dan memberikan wilayah yang cukup untuk penyelidikan bagi siswa. Menurut Aisyah (2007), Apersepsi dalam kehidupan juga dapat dilakukan, yaitu mengaitkan peristiwa yang telah diketahui siswa dengan materi yang akan dibahas. Dengan demikian, tampak adanya kesinambungan pengetahuan, karena diawali dengan hal-hal yang telah diketahui siswa sebelumnya dan ditekankan pada keadaan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Eksplorasi

Pada tahap ini, guru dan siswa mengidentifikasi daerah kritis penyelidikan. Data-data dan informasi dapat dikumpulkan melalui pertanyaan-pertanyaan atau wawancara, kemudian menganalisis informasi tersebut. Data dan informasi dapat pula diperoleh melalui telekomunikasi, perpustakaan dan sumber-sumber dokumen publik lainnya. Dari sumber-sumber informasi, siswa dapat mengembangkan penyelidikan berbasis ilmu pengetahuan untuk menyelidiki isu-isu yang berkaitan dengan masalah ini. Pemahaman tentang hujan asam, misalnya, dilakukan dalam laboratorium untuk menyelidiki sifat-sifat asam dan basa. Penyelidikan ini memberikan pemahaman dasar untuk pengembangan, pengujian hipotesis, dan mengusulkan tindakan (Dass, 1999 dalam Raja, 2009).

Menurut Aisyah (2007), tahap kedua ini merupakan proses pembentukan konsep yang dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan dan metode. Misalnya pendekatan keterampilan proses, pendekatan sejarah, pendekatan kecakapan hidup, metode demonstrasi, eksperimen di labolatorium, diskusi kelompok, bermain peran dan lain-lain. Pada akhir tahap kedua, diharapkan melalui konstruksi dan rekonstruksi siswa menemukan konsep-konsep yang benar atau konsep-konsep para ilmuan. Selanjutnya berbekal pemahaman konsep yang benar siswa melanjutkan analisis isu atau masalah yang disebut aplikasi konsep dalam kehidupan.

Fase Mengusulkan Penjelasan dan Solusi

Pada tahap ini, siswa mengatur dan mensintesis informasi yang mereka telah kembangkan sebelumnya dalam penyelidikan. Proses ini termasuk komunikasi lebih lanjut dengan para ahli di lapangan, pengembangan lebih lanjut, memperbaiki, dan menguji hipotesis mereka, dan kemudian mengembangkan penjelasan tentatif dan proposal untuk solusi dan tindakan. Hasil tersebut kemudian dilaporkan dan disajikan kepada rekan-rekan kelas untuk menggambarkan temuan, posisi yang diambil, dan tindakan yang diusulkan (Dass, 1999 dalam Raja, 2009).

Menurut Aisyah (2007), apabila selama proses pembentukan konsep dalam tahap ini tidak tampak ada miskonsepsi yang terjadi pada siswa, demikian pula setelah akhir analisis isu dan penyelesaian masalah, guru tetap harus melakukan pemantapan konsep melalui penekanan pada konsep-konsep kunci yang penting diketahui dalam bahan kajian tertentu. Hal ini dilakukan karena konsep-konsep kunci yang ditekankan pada akhir pembelajaran akan memiliki retensi lebih lama dibandingkan dengan kalau tidak dimantapkan atau ditekankan oleh guru pada akhir pembelajaran.

Fase Mengambil Tindakan

Berdasarkan temuan yang dilaporkan dalam fase ketiga (mengajukan penjelasan dan solusi), siswa menerapkan temuan-temuan mereka dalam beberapa bentuk aksi sosial. Jika tindakan ini melibatkan masyarakat sebagai pelaksana, misalnya membersihkan daerah berbahaya anak dapat menghubungi pejabat publik yang dapat mendukung pikiran dan temuan mereka. Anak menyajikan informasi ini kepada rekan-rekan kelas mereka. Proposal ini akan dimasukkan sebagai tindakan follow up (Dass, 1999 dalam Raja, 2009).

Untuk mengungkap penguasaan pengetahuan sains dan teknologi anak selama pembelajaran, dapat dilakukan melalui suatu evaluasi. Evaluasi merupakan suatu pengukuran atau penilaian terhadap sesuatu prestasi atau hasil yang telah dicapai. Mengingat penguasaan sains dan teknologi dalam hal ini merupakan penguasaan sains dan teknologi yang berkaitan dengan aspek masyarakat, maka kriteria pengembangan evaluasinya dapat mengacu kepada pengembangan evaluasi dalam unit STM.

Page 5: Model Pembelajaran

Menurut Varella (1992) dalam Widyatiningtyas (2009), evaluasi dalam STM meliputi ruang lingkup aspek:

1. Pemahaman konsep sains dalam pengalaman kehidupan sehari-hari.2. Penerapan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sains untuk masalah-masalah teknologi sehari-hari.3. Pemahaman prinsip-prinsip sains dan teknologi yang terlibat dalam alat-alat teknologi yang dimamfaatkan

masyarakat.4. Penggunaan proses-proses ilmiah dalam pemecahan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.5. Pembuatan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kesehatan, nutrisi, atau hal-hal lain yang didasarkan

pada konsep-konsep ilmiah.

Menurut Yagger (1994), penilaian terhadap proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan STM dapat dilakukan dengan menggunakan lima domain, yaitu:

1. Konsep, yang meliputi penguasaan konsep dasar, fakta dan generalisasi.2. Proses, penggunaan proses ilmiah dalam menemukan konsep atau penyelidikan.3. Aplikasi, penggunaan konsep dan proses dalam situasi yang baru atau dalam kehidupan.4. Kreativitas, pengembangan kuantitas dan kualitas pertanyaan, penjelasan, dan tes untuk mevalidasi penjelasan

secara personal.5. Sikap, mengembangkan perasaan positif dalam sains, belajar sains, guru sains dan karir sains.

Problematika Pendekatan Sains, Teknologi dan Masyarakat dalam Pembelajaran

Mitchener & Anderson (1989) dalam Raja (2009), melaporkan hasil penelitian tentang perspektif guru dalam penyusunan dan pelaksanaan sebuah pembelajaran dengan pendekatan STM bahwa guru memiliki hambatan dalam penerapan pendekatan ini dan menunjukkan kekhawatiran berupa ketidaknyamanan dengan pengelompokan, ,ketidakpastian tentang evaluasi, , andfrustrasi tentang populasi siswa, dan kebingungan peran guru. Hasil-hasil temuan tersebut akan berguna dalam menyelenggarakan program pengembangan guru.

Kekhawatiran terhadap konten dapat terjadi karena persentasi waktu yang rendah bagi peran guru dalam transfer pengetahuan kepada anak. Guru lebih banyak berperan dalam mengarahkan pengetahuan anak pada upaya penemuan masalah dan konseptualisasi berdasarkan disiplin ilmu. Penanaman konsep lebih banyak dilakukan pada momen-momen tertentu secara tepat, sehingga memiliki tingkat retensi yang lebih lama.

Bagi sekolah dengan populasi siswa yang tinggi dalam kelas, dapat menjadi masalah tersendiri bagi guru. Jika kelompok yang dibentuk dalam kelas banyak, guru akan kewalahan dalam  pendampingan kelompok dan pembimbingan kajian masalah. Sedangkan ketika kelompok dikurangi (populasi dalam kelompok tinggi) konsekuensinya dapat terjadi peran yang tidak efektif bagi anak. Sehingga penggunaan pendekatan STM, harus dirancang untuk melibatkan pihak lain dalam proses pembelajaran.

Kompleksitas masalah dan sumber informasi yang dapat terlibat dalam pembelajaran STM, harus dapat disikapi secara profesional oleh guru. Ketepatan masalah yang dipilih oleh siswa untuk dikaji sangat ditentukan oleh peran guru dalam mengekspose fakta-fakta. Penentuan prosedur analisis dan sumber data yang akurat, memerlukan bimbingan dan arahan dari guru. Demikian pula, dalam hal kajian data dan konseptualisasinya dibutuhkan peran guru dalam memberikan klarifikasi dan penguatan atas hasil-hasil kerja dari tiap kelompok.

Kompleksitas masalah dan sumber informasi juga berimplikasi pada beragamnya fokus anak dalam mengkaji konsep pengetahuan. Konsekuensinya, dibutuhkan kecermatan dalam menyusun alat evaluasi terutama pada domain penguasaan konsep. Penggunaan alat penilaian yang variatif, dapat meningkatkan akurasi data yang dibutuhkan dalam mengevaluasi perkembangan anak.

Aisyah (2007), mengemukakan empat hambatan pembelajaran dengan pendekatan STM, yaitu waktu, biaya, kompetensi guru, dan komunikasi dengan stakeholder (orang tua, masyarakat, dan birokrat). Waktu merupakan faktor penting untuk menentukan materi-materi apa yang akan diajarkan pada siswa. Pelaksanaan seluruh fase pembelajaran pada konten tertentu, kadang-kadang membutuhkan waktu yang panjang sehingga memerlukan analisa yang baik untuk memilih dan mengalokasikan waktu untuk implementasinya. Siswa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan data dari nara sumber secara mendetail. Oleh karena itu, siswa harus kerjasama dengan baik antar anggota kelompok agar data yang diperoleh dapat maksimal. Beberapa sekolah memilih waktu di sore hari atau jalur ekstrakurikuler untuk penerapan STM agar tidak terganggu dengan aktivitas belajar yang lain. Bahkan, gelar kasus (show case) yang dilanjutkan dengan refleksi diri, biasanya dilaksanakan pada akhir semester (Aisyah, 2007).

Biaya merupakan faktor yang penting dalam implementasi STM. Biaya dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan STM dari mulai identifikasi masalah, sampai pelaksanaan gelar kasus (show case).

Page 6: Model Pembelajaran

Umumnya, pihak sekolah belum mengalokasikan biaya untuk kegiatan pembelajaran STM. Oleh karena itu, pihak sekolah khusunya hendaknya memberi dorongan moril maupun materil untuk terselenggaranya penerapan STM ini. Dalam hal dorongan materil, dapat dirintis pembiayaan penerapan metode ini secara swadaya (Aisyah, 2007).

Kompetensi guru sangat penting dalam pembelajaran STM, terutama dalam penguasaan materi inti, problem solving dan hubungan interpersonal. Umumnya guru belum memiliki pengetahuan yang baik tentang pendekatan STM sehingga penerapan pendekatan ini masih sangat jarang ditemukan. Selain itu, paradigma guru dalam menginterpretasikan dan mengembangkan kurikulum, masih berbasis konten sehingga guru merasa dituntut untuk menyampaikan materi tepat pada waktunya dan lupa berinovasi dalam pembelajaran (Aisyah, 2007).

Kerja sama antara sekolah dengan lembaga-lembaga terkait diperlukan pada saat siswa merencanakan untuk mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi rumah sakit daerah, observasi pada pabrik produk bahan makanan dan sebagainya. Untuk kelancaran kegiatan, anak perlu dibekali surat pengantar dari sekolah, atau sekolah melakukan pemrosesan izin ke lembaga yang terkait sebelum kegiatan dilaksanakan. Selain itu, komunikasi dengan orang tua perlu diintensifkan. Orang tua perlu diberi pemahaman sehingga seluruh aktivitas anak yang menyita waktu dapat dimaklumi atau mendapat support dari orang tua (Aisyah, 2007).

Menurut Aisyah (2007), hambatan lain dalam penerapan pendekatan ini adalah siswa belum terbiasa untuk berpikir kritis dan belajar mengambil pengalaman di lapangan, sehingga dibutuhkan kesabaran dan ketekunan guru untuk mengarahkan dan membimbing siswa dalam pembelajaran. Untuk menerapkan pendekatan ini, peranan guru dimulai dari perencanaan pengajaran, pengelola pengajaran, penilai hasil belajar, motivator dan pembimbing. Pendekatan STM menuntut kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian yang baik.

Kesimpulan

1. Model Pembelajaran picture n picture mengandalkan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran.2. Pendekatan STM pada hakekatnya dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara kemajuan iptek,

membanjirnya informasi ilmiah dalam dunia pendidikan, dan nilai-nilai iptek itu sendiri dalam kehidupan siswa sehari-hari sebagai anggota masyarakat.

3. Implementasi pendekatan STM, dapat dilakukan melalui empat fase yaitu invitasi, eksplorasi, mengusulkan penjelasan dan solusi, dan mengambil tindakan.

4. Problematika dalam penerapan pendekatan dapat berupa concerns over conkekhawatiran konten, discomfort with grouping,ketidaknyamanan dengan pengelompokan, uncertainties about evaluation,ketidakpastian tentang evaluasi, frustrations about student population, andfrustrasi tentang populasi siswa, dan confusion over the teacher’s role.kebingungan peran guru, waktu, biaya, kompetensi guru, dan komunikasi dengan stakeholder.

Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).

Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.

Model pembelajaran Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).

Page 7: Model Pembelajaran

Jigsaw didesain untuk meningkakan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain, siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan tetapi merka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain.

Mendorong siswa aktif menemukan sendiri pengetahuan melalui keterampilan proses

BKeutungan bagi siswa yang menggunakan model pembelajaran Jigsaw, yaitu :erada dalam tugas

Mendorong partisipasi

Mendenganrkan dengan aktif

Direct Instruction atau directive instruction, dibahasaIndonesiakan menjadi pembelajaran langsung, digunakan oleh para peneliti untuk merujuk pada pola-pola pembelajaran di mana guru banyak menjelaskan konsep atau keterampilan kepada sejumlah kelompok siswa dan menguji keterampilan siswa melalui latihan-latihan di bawah bimbingan dan arahan guru.

Doy Killen (1998:2), direct instruction merujuk pada berbagai teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan pengetahuan dari guru kepada murid secara langsung, misalnya melalui ceramah, demonstrasi, dan tanya jawab) yang melibatkan seluruh kelas.

Sintakkk

Menginformasikan tujuan pembelajaran dan orientasi pelajaran kepada siswa.

2. Mereviu pengetahuan dan keterampilan prasyarat.

3. Menyampaikan materi pelajaran.

4. Melaksanakan bimbingan, dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan untuk menilai tingkat pemahaman siswa dan mengoreksi kesalahan konsep.

5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih.

6. Menilai kinerja siswa dan memberikan umpan balik.

7. Memberikan latihan mandiri.

Kelebihan direct intruction

Guru mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang diterima oleh siswa sehingga dapat mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dicapai oleh siswa.

Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas yang besar maupun kecil.

Dapat digunakan untuk menekankan poin-poin penting atau kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat diungkapkan.

Dapat menjadi cara untuk menyampaikan informasi yang banyak dalam waktu yang relatif singkat yang dapat diakses secara setara oleh seluruh siswa.

Page 8: Model Pembelajaran

Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan keterampilan-keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi rendah

Kekurangn

Dalam model pembelajaran langsung, sulit untuk mengatasi perbedaan dalam hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman, gaya belajar, atau ketertarikan siswa.

Karena siswa hanya memiliki sedikit kesempatan untuk terlibat secara aktif, sulit bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan interpersonal mereka.

Jika materi yang disampaikan bersifat kompleks, rinci, atau abstrak, model pembelajaran langsung mungkin tidak dapat memberi siswa kesempatan yang cukup untuk memproses dan memahami informasi yang disampaikan.

Jika terlalu sering digunakan, model pembelajaran langsung akan membuat siswa percaya bahwa guru akan memberitahu mereka semua yang perlu mereka ketahui. Hal ini akan menghilangkan rasa tanggung jawab mengenai pembelajaran mereka sendiri.

Beberapa hal (seperti psikomotorik) tidak dapat diajarkan melalui model pembelajaran langsung

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

ISI

II.1 Number Head Together (NHT)

Tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu:1. Hasil belajar akademik stuktural:

Bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.2. Pengakuan adanya keragaman:

Bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang.3. Pengembangan keterampilan social:

Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa.

Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep Kagen dalam Ibrahim (2000: 29), dengan tiga langkah yaitu :a)      Pembentukan kelompok;b)      Diskusi masalah;c)      Tukar jawaban antar kelompok

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif NHT1. PendahuluanFase 1: Persiapana) Guru menjelaskan tentang pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).b) Guru menyampaikan tujuan pembelajaranc) Guru melakukan apersepsid) Guru memberikan motivasi pada siswa2. Kegiatan IntiFase 2: Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT).Tahap pertama:1) Penomoran

Guru membagi siswa dalam kelompok beranggotakan 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5.

2) Guru menjelaskan secara singkat tentang materi.3) Siswa bergabung dengan tim atau anggotanya yang telah ditentukan.

Tahap kedua:Mengajukan pertanyaan:Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya.

Tahap ketiga:Berpikir bersama:Siswa berfikir bersama menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu.

Page 9: Model Pembelajaran

Tahap keempat:1) Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas. Dalam memanggil suatu nomor guru secara acak menyebut nomor dari 1 sampai x (x adalah banyaknya kelompok dalam kelas siswa). Anak yang terpilih dari tahap 4 dalam kelompok x adalah anak yang diharapkan menjawab.2) Guru mengamati hasil yang diperoleh oleh masing-masing kelompok yang berhasil baik, dan memberikan semangat bagi kelompok yang belum berhasil dengan baik (jika ada).

4. PenutupFase 3: Evaluasi1) Dengan bimbingan guru siswa membuat rangkuman.2) Siswa diberi PR dari buku paket atau buku panduan lain.3) Guru memberikan evaluasi atau latihan soal mandiri.

Variasi dalam NHT:a. Setelah seorang siswa menjawab, guru dapat meminta kelompok lain apakah setuju atau tidak setuju dengan jempol ke

atas atau ke bawah.b. Untuk masalah dengan jawaban lebih dari satu, guru dapat meminta siswa dari setiap kelompok-kelompok yang berbeda

untuk masing-masing memberi sebagian jawaban.c. Seluruh siswa dapat memberi jawaban secara serentak.d. Seluruh siswa yang menanggapi dapat menulis jawabannya di papan tulis atau di kertas pada saat yang sama.e. Guru dapat meminta siswa lain menambahkan jawaban bila jawaban yang diberikan belum lengkap.

II.2 Model Pembelajaran Concept Attainment

Ada dua hal penting dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran concept attainment, yaitu: (1) menentukan tingkat pencapaian konsep (2) analisis konsep.

1. Menentukan Tingkat Pencapaian Konsep

Tingkat pencapaian konsep (concept attainment) yang diharapkan dari siswa sangat tergantung pada kompleksitas dari konsep, dan tingkat perkembangan kognitif siswa. Ada siswa yang belajar konsep pada tingkat konkret rendah atau tingkat identitas, ada pula siswa yang mampu mencapai konsep pada tingkat klasifikatori atau tingkat formal.

Telah dipahami bahwa tingkat-tingkat perkembangan kognitif Piaget dapat membimbing guru untuk menentukan tingkat-tingkat pencapaian konsep yang diharapkan. Sebagian besar dari konsep-konsep yang dipelajari selama tingkat perkembangan pra-operasional merupakan konsep-konsep pada tingkat konkret dan identitas. Selama tingkat operasional konkret, dapat diharapkan tingkat pencapaian klasifikatori. Sedangkan tingkat pencapaian konsep formal dapat diharapkan apabila pengajaran yang tepat diberikan pada siswa yang telah mencapai perkembangan operasional formal. Tingkat-tingkat pencapaian konsep yang diharapkan tercermin pada tujuan pembelajaran yang dirumuskan sebelum proses belajar-mengajar dimulai.

2. Analisis Konsep

Analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk membantu guru dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran concept attainment. Untuk melakukan analisis konsep guru hendaknya memperhatikan beberapa hal antara lain:(1) Nama konsep.(2) Attribute-attribute kriteria dan attribute-attribute variabel dari konsep.(3) Definisi konsep.(4) Contoh-contoh dan noncontoh dari konsep. (5) Hubungan konsep dengan konsep-konsep lain.

Page 10: Model Pembelajaran

Model pembelajaran concept attainment dilakukan melalui fase-fase yang dikemas dalam bentuk sintaks. Adapun sintaksnya dibagi ke dalam tiga fase, yakni Presentasi Data dan Identifikasi Data; menguji pencapaian dari suatu konsep; dan analisis berpikir strategi.

Fase I: Presentasi Data dan Identifikasi Data

Langkah-langkah kegiatan mengajar sebagai berikut:1. Guru mempresentasikan contoh-contoh yang sudah diberi nama (berlabel),2. Guru meminta tafsiran siswa3. Guru meminta siswa untuk mendefinisikan

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:1. Siswa membandingkan contoh-contoh positif dan contoh-contoh negatif.2. Siswa mengajukan hasil tafsirannya.3. Siswa membangkitkan dan menguji hipothesis.4. Siswa menyatakan suatu definisi menurut atribut essensinya.

Fase II: Menguji Pencapaian dari suatu Konsep

Langkah-langkah kegiatan mengajar sebagai berikut:1. Guru meminta siswa untuk mengidentifikasi contoh-contoh tambahan yang tidak bernama.2. Guru menkonfirmasikan hipothesis, nama-nama konsep, dan menyatakan kembali definisi

menurut atribut essensinya.3. Guru meminta contoh-contoh lain.

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:1. Siswa memberi contoh-contoh.2. Siswa memberi nama konsep.3. Siswa mencari contoh lainnya.

Fase III: Analisis Startegi Berpikir

Langkah-langkah kegiatan mengajar sebagai berikut:1. Guru bertanya mengapa dan bagaimana.2. Guru membimbing diskusi.

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:1. Siswa menguraikan pemikirannya.2. Siswa mendiskusikan peran hipothesis dan atributnya.3. Siswa mendiskusikan berbagai pemikirannya.

Sintaks:

Pada Fase I:

Guru mempresentasikan data kepada siswa. Setiap unit data contoh dan non-contoh setiap konsep dipisahkan. Unit-unit dipresentasikan dengan cara berpasangan. Data dapat berupa peristiwa, masyarakat, objek, ceritera, gambar atau unit lain yang dapat dibedakan. Pembelajar (siswa) diberi informasi bahwa semua contoh positif biasanya memiliki satu ide. Tugas siswa adalah mengembangkan suatu hipothesis tentang hakekat konsep. Contoh-contoh dipaparkan dan disusun serta diberi nama dengan kata “yes” atau “no”. Siswa bertanya untuk membandingkan dan menjastifikasi atribut tentang perbedaan contoh-contoh.

Akhirnya, siswa ditanya tentang nama konsep-konsepnya dan menyataka aturan yang telah dibuatnya atau mendefinisikan konsepnya menurut attribute essensialnya. (hipothesisnya tidak perlu dikonfirmasikan hingga fase berikutnya; siswa mungkin tidak mengetahui nama-nama beberapa konsep, tetapi nama-nama dapat diberitahukan apabila konsepnya sudah dikonfirmasikan).

Page 11: Model Pembelajaran

Pada Fase II:

Siswa menguji pencapaian tentangn konsepnya, pertama dengan cara mengidentifikasi secara benar contoh-contoh tambahan yang belum diberi nama dan kemudian membangkitkan contoh-contohnya sendiri. Setelah itu, guru (dan siswa) mengkonfirmasikan keaslian hipothesisnya, merevisi pilihan konsep atau attribute yang dibutuhkannya.

Pada Fase III:

Siswa mulai menganalisis strategi konsep-konsep yang telah tercapai. Siswa disarankan mengkonstruksi konsepnya. Siswa dapat menjelaskan pola-polanya, apakah siswa berfokus pada atribut atau konsep, apakah mereka melakukan satu kali atau beberapa kali, dan apa yang terjadi apabila hipothesisnya tidak terkonfirmasi. Mereka melakukan suatu perubahan strategi? Secara bertahap, mereka dapat membandingkan keefektifan dari perbedaan strateginya.

Sistem SosialSebelum guru melakukan proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran

concept attainment, guru memilih konsep, menyeleksi dan mengorganisir materi ajar ke dalam contoh positif dan contoh negatif, serta merangkaikan contoh-contoh. Umumnya materi pelajaran, terutama buku-buku teks tidak didesain untuk pembelajaran konsep.

Guru dalam pengajaran model pembelajaran concept attainment harus terlebih dahulu mempersiapkan contoh-contoh, mengekstrak ide-ide dan material dari buku-buku teks dan sumber lainnya, dan mendesain material dan ide-ide itu ke attribute yang jelas, dan bahkan membuat contoh-contoh positif dan negatif dari suatu konsep. Apabila guru menggunakan model pembelajaran concept attainment, aktivitas guru adalah merekam hipothesis siswa. Guru juga memberikan bantuan contoh-contoh tambahan. Ada tiga hal penting yang dilakukan oleh seorang guru dalam melakukan aktivitas concept attainment, yaitu melakukan perekaman, memberikan isyarat, dan menghadirkan data tambahan. Langkah awal dalam melakukan model pembelajaran concept attainment adalah membantu siswa memberikan contoh konsep yang sudah terstruktur dengan benar. Dalam model pembelajaran concept attainment, prosedur pembelajaran kooperatif dapat juga digunakan.

Prinsip-Prinsip Pengelolaan ReaksiSelama pembelajaran berlangsung, guru mendukung hipothesis siswa, dengan

memberikan penekanan, apapun bentuk hipothesis siswa itu, dan menciptakan dialog yang kondusif untuk menguji hipothesis siswa, walaupun hipothesis siswa tersebut berlawanan dengan hipothesis siswa lainnya. Pada fase akhir dari model pembelajaran concept attainment ini, guru musti mampu merubah perhatian siswa terhadap analisis konsep dan strategi berpikirnya, kemudian guru kembali menjadi sangat mendukung hipothesis siswa. Akhirnya, guru musti mampu mendorong analisis siswa.

Sesungguhnya, prinsip-prinsip pengelolaan dari model pembelajaran concept attainment ini sebagai berikut:1. Memberikan dukungan hipothesis yang diajukan siswa melalui diskusi terlebih dahulu.2. Memberikan bantuan kepada siswa dalam mempertimbangkan keputusan hipothesisnya.3. Memusatkan perhatian siswa kepada contoh-contoh yang khusus.4. Memberikan bantuan kepada siswa dalam menilai strategi berpikirnya.

Sistem PendukungPelajaran concept attainment membutuhkan presentasi kepada siswa tentang exemplar positif

dan negatif. Dalam hal ini menekankan kepada siswa, bahwa pekerjaan siswa dalam pengajaran concept attainment adalah bukan pada penemuan konsep-konsep baru, tetapi bagaimana mencapai konsep yang telah dipilih guru. Oleh karena itu, sumber data dibutuhkan untuk diketahui terlebih dahulu dan attribute-nya dapat dilihat. Apabila siswa dipresentasikan dengan contoh-contoh, maka siswa tersebut menguraikan karakteristik dari contoh-contoh itu (atribut), dan kemudian menyimpan di dalam otaknya.

BAB IIIKESIMPULAN

1. Salah satu metode pembelajaran kooperatif adalah Numbered Head Together (NHT).Number Head Together adalah suatu Model pembelajaran yang lebih mengedepankan kepada aktivitas siswa

Page 12: Model Pembelajaran

dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas (Rahayu, 2006).

2. Model NHT adalah bagian dari model pembelajaran kooperatif struktural, yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa.

3. Menurut Kagan (2007) model pembelajaran NHT ini secara tidak langsung melatih siswa untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan penuh perhitungan, sehingga siswa lebih produktif dalam pembelajaran. Sintaks NHT dijelaskan sebagai berikut:a. Penomoranb. Pengajuan Pertanyaanc. Berpikir Bersamad. Pemberian Jawaban

4. Model NHT memiliki kelebihan diantaranya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, mampu memperdalam pemahaman siswa, menyenangkan siswa dalam belajar, mengembangkan sikap positif siswa, mengembangkan sikap kepemimpinan siswa, mengembangkan rasa ingin tahu siswa, meningkatkan rasa percaya diri siswa, mengembangkan rasa saling memiliki, serta mengembangkan keterampilan.

5. Model pembelajaran concept attainment didesain untuk menganalisis konsep, mengembangkan konsep, pengajaran konsep dan untuk menolong siswa menjadi lebih efektif dalam mempelajari konsep-konsep. Model pembelajaran concept attainment merupakan metode yang efisien untuk mempresentasikan informasi yang telah terorganisir dari suatu topik yang luas menjadi topik yang lebih mudah dipahami untuk setiap stadium perkembangan konsep. Model pembelajaran concept attainment ini dapat memberikan suatu cara menyampaikan konsep dan mengklarifikasi konsep-konsep serta melatih siswa menjadi lebih efektif pada pengembangan konsep.

6. Tiga faktor penting yang perlu diketahui dalam concept attainment, yaitu: a. kita akan mengkonstruk latihan-latihan pencapaian konsep bahwa kita dapat belajar

bagaimana siswa berpikir. b. siswa tidak hanya dapat menggambarkan bagaimana mereka memperoleh konsep,

tetapi mereka dapat lebih efisien untuk mengubah strategi dan pembelajaran mereka dengan menggunakan sesuatu yang baru.

c. mengubah cara kita memberikan informasi dan memodifikasi sedikit model, kita dapat mempengaruhi bagaimana siswa akan memproses informasi (Joyce: 2000).

Problem Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang penting dari materi pelajaran

Problem Based Learning is a learning model that uses real-world problems as a context for students to learn about critical thinking and problem solving skills and to gain important knowledge and concepts of the subject matter

Mengorientasikan siswa pada masalah,

Mengorganisasikan siswa untuk belajar,

Membimbing penyelidikan individu atau kelompok,

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta menganalisis

Mengevaluasi proses pemecahan masalah

Orient students to the problem,

Organize students to learn,

Guide the investigation of individuals or groups,

Develop and present the results of the work and analyze

Evaluating the problem solving process

Menurut Nurhadi dan Senduk dalam Fitriyanti, 2009 model pembelajaran PBL memiliki tujuan:

Untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah; kerjasama yang dilakukan dalam PBL mendorong munculnya berbagai keterampilan sosial dalam berpikir,

Pemodelan peran orang dewasa; siswa dikondisikan sebagai orang dewasa untuk berpikir dan bekerja dalam memecahkan masalah yang melibatkan siswa dalam pembelajaran nyata,

Membentuk pebelajar yang otonom dan mandiri. Selain itu model pembelajaran PBL juga meningkatkan kemampuan siswa untuk menjawab pertanyaan secara terbuka dengan banyak alternatif jawaban benar dan

Page 13: Model Pembelajaran

pada akhirnya mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis berupa peningkatan dari pemahaman ke aplikasi, sintesis, analisis, dan menjadikannya sebagai pebelajar mandiri

According Nurhadi and Senduk in Fitriyanti, 2009 PBL learning model has a purpose:To enhance critical thinking skills and problem-solving skills; cooperation conducted in PBL encourages the emergence of various social skills in thinking,

Modeling the role of adults as an adult student conditioned to think and work in solving problems that involve students in real learning,

Establishing an autonomous and independent learners. In addition, the PBL learning model also enhance students' ability to answer questions openly with many alternative correct answers and in turn can improve critical thinking skills by increasing the understanding of the application, synthesis, analysis, and make it as independent learners

Merumuskan masalah yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan dipecahkan.

Menganalisis masalah yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.

Merumuskan hipotesis yaitu langkah siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Mengumpulkan data yaitu langkah siswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

Pengujian hipotesis yaitu langkah siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan

Merumuskan alternatif pemecahan masalah yaitu langkah siswa menggambarkan alternatif yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.

Formulate the problem of students step to determine the problem to be solved.

Analysing the problem namely step students to critically review the issue from various viewpoints.

Formulate the hypothesis that measures students formulate various possible solutions in accordance with the knowledge he had.

Collecting data that students find and describe the steps necessary information for solving problems.

Testing the hypothesis that students take a step or formulate conclusions in accordance with the acceptance and rejection of the hypothesis proposed

Formulate alternative solutions to problems that students describe alternative measures that can be done as defined by the results of hypothesis testing and formulation of conclusions.

Siswa akan merasa malas untuk mencoba jika tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari dapat dipecahkan.

Keberhasilan penerapan model pembelajaran PBL membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.

Tanpa pemahaman pada siswa mengapa mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari maka siswa tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.

membangun pemahaman mereka sendiri. Siswa melakukan langkah kegiatan belajar aktif dan menerapkan keterampilan berpikir kritis yang dipadukan dengan metode ilmiah.

meningkatkan pengembangan keterampilan berpikir kritis melalui kegiatan belajar seperti pada bidang sains.

membangkitkan rasa ingin tahu siswa untuk meningkatkan semangat bereksplorasi sehingga siswa belajar secara aktif.

Melatih Siswa untuk Melatih keberanian

Melatih Siswa dapat berinteraksi dengan Baik terhadap sesama

Tahap Tingkah Laku Guru

Tahap 1

Observasi untuk menemukan masalah

Guru menyajikan kejadian-kejadian atau fenomena yang memungkinkan siswa menemukan masalah

Page 14: Model Pembelajaran

Tahap 2

Merumuskan masalah

Guru membimbing siswa merumuskan masalah penelitian berdasarkan kejadian dan fenomena yang disajikannya

Tahap 3 Mengajukan hipotesis

Guru membimbing siswa untuk mengajukan hipotesis terhadap masalah yang telah dirumuskannya

Tahap 4

Merencanakan pemecahan masalah (melalui

eksperimen atau cara lain)

Guru membimbing siswa untuk merencanakan pemecahan masalh, membantu menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan dan menyusun prosedur kerja yang tepat

Tahap 5

Melaksanakan eksperimen (atau cara pemecahan masalh yang lain)

Selama siswa bekerja, guru membimbing dan memfasilitasi

Tahap 6

Melakukan pengamatan dan pengumpulan data

Guru membantu siswa melakukan pengamatan tentang hal-hal yang penting dan membantu mengumpilkan dan mengorganisasi data

Tahap 7

Analisis data

Guru membantu siswa menganalisis data supaya menemukan suatu konsep

Tahap 8

Penarikan kesimpulan dan penemuan

Guru membimbing siswa mengambil kesimpulan berdasarkan data dan menemukan sendiri konsep yang ingin ditanamkan.

Inkuiri terbimbing siswa memperoleh

Petunjuk petunjuk seperlunya yang berupa

pertanyaan yang bersifat membimbing.

Pendekatan ini dapat diperlakukan pada siswa

yang belum pengalaman dalam inkuiri.

siswa melakukan sendiri sebagai seorang

ilmuan. Siswa melakukan penelitian sendiri,

eksperimen dan kesimpulan tentang hasil

percobaan juga diperoleh sendiri.

siswa diberi motivasi untuk memecahkan

masalah yang bisa dilakukan dalam

kelompok/perorangan.

melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing

masing terdiri atas empat orang untuk

Page 15: Model Pembelajaran

memecahkan masalah yang diberikan. Masing

– masing anggota memegangperanan yang

berbeda, yaitu sebagai koordinator tim,

penasihat teknis, pencatat data, evaluator

proses

• Siswa lebih difokuskan pada pemberian kejelasan tentang suatu tata aturan attar nilai – nilai pada suatu proses pembelajaran

• Siswa Lebih mudah memahami Materi belajar

• menciptakan situasi mampu memacu keberhasilan individu melalui kelompoknya.

• Siswa Dapat mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yaitu hubungan kerja dan tugas.

• siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut

• Siswa dapat Berkomunikasi dan Berinteraksi degan baik antar Kelompok

• Melatih siswa untuk berkerja sama dan bertanggung jawab

Fase

Fase Perilaku Guru

Fase 1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siwa

Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase 2

Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan

demonstrasi atau lewat bahan bacaan. Guru

memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara

Individu sehingga akan diperoleh nilai awal

kemampuan siswa.

Fase 3

Mengorganisasi siswa ke dalam kelompok

Kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap agar melakukan transisi secara efisien.

Fase 4

Membimbing kelompok belajar dan bekerja

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka

mengerjakan tugas mereka. Memberikan tugas kepada kelompok berkaitan

dengan materi yang telah diberikan, mendiskusikannya secara bersama

sama, saling membantu antaranggota lain, serta membahas jawaban tugas

yang diberikan guru.

Fase 5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Page 16: Model Pembelajaran

Evaluasi

Fase 6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Aspekkk

Aspek Tipe STAD

Tujuan Kognitif Informasi akademik sederhana

Tujuan Sosial Kerja kelompok dan kerja sama

Struktur tim Kelompok heterogen dengan 4-5 anggota

Pemilihan topic pelajaran Biasanya guru

Tugas utama Siswa dapat menggunakan lembar kegiatan dan saling membantu untuk menutaskan materi belajarnya

Penilaian Tes mingguan

Pengakuan Lembar pengetahuan dan publikasi lain

eams Games-Tournaments (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards. Dalam TGT, para siswa dikelompokkan dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang heterogen. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran (Slavi, 2008). Secara umum, pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki prosedur belajar yang terdiri atas siklus regular dari aktivitas pembelajaran kooperatif. Games Tournament dimasukkan sebagai tahapan review setelah setelah siswa bekerja dalam tim (sama dengan TPS).

Dalam TGT siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan game ini bersama tiga orang pada “meja-turnamen”, di mana ketiga peserta dalam satu meja turnamen ini adalah para siswa yang memiliki rekor nilai IPA terakhir yang sama. Sebuah prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup adil. Peraih rekor tertinggi dalam tiap meja turnamen akan mendapatkan 60 poin untuk timnya, tanpa menghiraukan dari meja mana ia mendapatkannya. Ini berarti bahwa mereka yang berprestasi rendah (bermain dengan yang berprestasi rendah juga) dan yang berprestasi tinggi (bermain dengan yang berprestasi tinggi) kedua-duanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Tim dengan tingkat kinerja tertinggi mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan tim lainnya.

TGT memiliki dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain, tetapi sewaktu siswa sedang bermain dalam game temannya tidak boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual.

Permainan TGT berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap-tiap siswa akan mengambil sebuah kartu dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang sesuai dengan angka yang tertera. Turnamen ini

Page 17: Model Pembelajaran

memungkinkan bagi siswa untuk menyumbangkan skor-skor maksimal buat kelompoknya. Turnamen ini juga dapat digunakan sebagai review materi pelajaran.

Dalam Implementasinya secara teknis Slavin (2008) mengemukakan empat langkah utama dalam pembelajaran dengan teknik TGT yang merupakan siklus regular dari aktivitas pembelajaran, sebagai berikut:

Step 1: Pengajaran, pada tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran. Step 2: Belajar Tim, para siswa mengerjakan lembar kegiatan dalam tim mereka untuk menguasai materi. Step 3: Turnamen, para siswa memainkan game akademik dalam kemampuan yang homogen, dengan meja

turnamen tiga peserta (kompetisi dengan tiga peserta). Step 4: Rekognisi Tim, skor tim dihitung berdasarkan skor turnamen anggota tim, dan tim tersebut akan

direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sedangkan Pelaksanaan games dalam bentuk turnamen dilakukan dengan prosedur, sebagai berikut:

1. Guru menentukan nomor urut siswa dan menempatkan siswa pada meja turnamen (3 orang , kemampuan setara). Setiap meja terdapat 1 lembar permainan, 1 lbr jawaban, 1 kotak kartu nomor, 1 lbr skor permainan.

2. Siswa mencabut kartu untuk menentukan pembaca I (nomor tertinggi) dan yang lain menjadi penantang I dan II.3. Pembaca I menggocok kartu dan mengambil kartu yang teratas.4. Pembaca I membaca soal sesuai nomor pada kartu dan mencoba menjawabnya. Jika jawaban salah, tidak ada

sanksi dan kartu dikembalikan. Jika benar kartu disimpan sebagai bukti skor.5. Jika penantang I dan II memiliki jawaban berbeda, mereka dapat mengajukan jawaban secara bergantian.6. Jika jawaban penantang salah, dia dikenakan denda mengembalikan kartu jawaban yang benar (jika ada).7. Selanjutnya siswa berganti posisi (sesuai urutan) dengan prosedur yang sama.8. Setelah selesai, siswa menghitung kartu dan skor mereka dan diakumulasi dengan semua tim.9. Penghargaan sertifikat, Tim Super untuk kriteria atas, Tim Sangat Baik (kriteria tengah), Tim Baik (kriteria

bawah)10. Untuk melanjutkan turnamen, guru dapat melakukan pergeseran tempat siswa berdasarkan prestasi pada meja

turnamen.

Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran TGT

Riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran telah banyak dilakukan oleh pakar pembelajaran maupun oleh para guru di sekolah. Dari tinjuan psikologis, terdapat dasar teoritis yang kuat untuk memprediksi bahwa metode-metode pembelajaran kooperatif yang menggunakan tujuan kelompok dan tanggung jawab individual akan meningkatkan pencapaian prestasi siswa. Dua teori utama yang mendukung pembelajaran kooperatif adalah teori motivasi dan teori kognitif.

Menurut Slavin (2008), perspektif motivasional pada pembelajaran kooperatif terutama memfokuskan pada penghargaan atau struktur tujuan di mana para siswa bekerja. Deutsch (1949) dalam Slavin (2008) mengidentifikasikan tiga struktur tujuan dalam pembelajaran kooperatif,  yaitu:

1. kooperatif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu memberi konstribusi pada pencapaian tujuan anggota yang lain.

2. kompetitif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya.3. individualistik, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu tidak memiliki konsenkuensi apa pun bagi

pencapaian tujuan anggota lainnya.

Dari pespektif motivasional, struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi di mana satu-satunya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka sukses. Oleh karena itu, mereka harus membantu teman satu timnya untuk melakukan apa pun agar kelompok berhasil dan mendorong anggota satu timnya untuk melakukan usaha maksimal.

Sedangkan dari perspektif teori kognitif, Slavin (2008) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif menekankan pada pengaruh dari kerja sama terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. Asumsi dasar dari teori pembangunan kognitif adalah bahwa interaksi di antara para siswa berkaitan dengan tugas-tugas yang sesuai mengingkatkan penguasaan mereka terhadap konsep kritik. Pengelompokan siswa yang heterogen mendorong interaksi yang kritis dan saling mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan atau kognitif. Penelitian psikologi kognitif menemukan bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi dari materi. Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materinya kepada orang lain.

Page 18: Model Pembelajaran

Namun demikian, tidak ada satupun model pembelajaran yang cocok untuk semua materi, situasi dan anak. Setiap model pembelajaran memiliki karakteristik yang menjadi penekanan dalam proses implementasinya dan sangat mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran. Secara psikologis, lingkungan belajar yang diciptakan guru dapat direspon beragama oleh siswa sesuai dengan modalitas mereka. Dalam hal ini, pembelajaran kooperatif dengan teknik TGT, memiliki keunggulan dan kelemahan dalam implementasinya terutama dalam hal pencapaian hasil belajar dan efek psikologis bagi siswa.

Slavin (2008), melaporkan beberapa laporan hasil riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap pencapaian belajar siswa yang secara inplisit mengemukakan keunggulan dan kelemahan pembelajaran TGT, sebagai berikut:

Para siswa di dalam kelas-kelas yang menggunakan TGT memperoleh teman yang secara signifikan lebih banyak dari kelompok rasial mereka dari pada siswa yang ada dalam kelas tradisional.

Meningkatkan perasaan/persepsi siswa bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung dari kinerja dan bukannya pada keberuntungan.

TGT meningkatkan harga diri sosial pada siswa tetapi tidak untuk rasa harga diri akademik mereka. TGT meningkatkan kekooperatifan terhadap yang lain (kerja sama verbal dan nonberbal, kompetisi yang lebih

sedikit) Keterlibatan siswa lebih tinggi dalam belajar bersama, tetapi menggunakan waktu yang lebih banyak. TGT meningkatkan kehadiran siswa di sekolah pada remaja-remaja dengan gangguan emosional, lebih sedikit

yang menerima skors atau perlakuan lain.

Sebuah catatan yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran TGT adalah bahwa nilai kelompok tidaklah mencerminkan nilai individual siswa. Dengan demikian, guru harus merancang alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar siswa secara individual.

Model pembelajaran TAI ini merupakan pembelajaran secara kelompok dimana terdapat seorang siswa yang lebih mampu, berperan sebagai asisten yang bertugas membantu secara individual siswa lain yang kurang mampu dalam satu kelompok.

Dalam hal ini peran pendidik hanya sebagai fasilitator dan mediator dalam proses belajar mengajarDikemukakan oleh Robert E. Slavin . Model TAI dirancang sebagai model pembelajaran yang mengkombinasikan pembelajaran individu dengan pembelajaran kooperatif. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Sintak

Berikan bahan ajar berupa modul Buat kelompok heterogen dan Siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling

berbagi sehingga terjadi diskusi Penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif. 8 komponen dalam pembelajaran TAI Placement Test Teams Teaching Group Team Study Student Creative Team Scores and Team Recognition Fact Test Whole-Class Units

Langkah2• Guru memberikan tugas kepada siswa secara individual • Guru memberikan kuis secara individual • Guru membentuk beberapa kelompok. • Hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. • Guru memfasilitasi siswa • Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual

Guru memberi penghargaan pada kelompoHasil belajar siswa yang diharapkan dari model TAI

• Membantu siswa yang lemah belajar • Meningkatkan motivasi belajar pada diri siswa • Meningkatkan hasil belajar • Meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar dan diskusi