MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

86
dari redaksi KEBERSAMAAN ITU INDAH Tanpa terasa kita telah berada di awal tahun baru kembali. Tahun baru, semangat baru, tujuan baru, dan harapan baru. Kita bersyukur masih diberi waktu untuk melakukan refleksi atas semua yang telah kita lewati, bercermin pada berbagai hal dengan menarik hikmah dari setiap kejadian dan berupaya meningkatkan semua pencapaian yang ada di tahun 2006 lalu. Satu hal yang tetap harus tertanam di dalam diri kita, apapun yang terjadi jangan pernah meyalahkan apa yang telah terjadi kemarin. Sekarang adalah waktunya untuk saling berpegang asa mencapai impian bersama, harapan yang lebih baik untuk kita semua. Kebersamaan itu indah dalam kondisi apapun dan dalam situasi bagaimanapun. Kebersamaan itu indah pada saat kita saling mengejar cita untuk menjadi lebih baik lagi di tahun ini. Selamat Tahun Baru, ini adalah nomor pertama Majalah Kedokteran Nusantara di tahun 2007. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 ii

description

mkn vol 40

Transcript of MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Page 1: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

1

dari redaksi

KEBERSAMAAN ITU INDAH

Tanpa terasa kita telah berada di awal tahun baru kembali. Tahun baru, semangat baru, tujuan baru, dan harapan baru. Kita bersyukur masih diberi waktu untuk melakukan refleksi atas semua yang telah kita lewati, bercermin pada berbagai hal dengan menarik hikmah dari setiap kejadian dan berupaya meningkatkan semua pencapaian yang ada di tahun 2006 lalu.

Satu hal yang tetap harus tertanam di dalam diri kita, apapun yang terjadi jangan pernah meyalahkan apa yang telah terjadi kemarin. Sekarang adalah waktunya untuk saling berpegang asa mencapai impian bersama, harapan yang lebih baik untuk kita semua. Kebersamaan itu indah dalam kondisi apapun dan dalam situasi bagaimanapun. Kebersamaan itu indah pada saat kita saling mengejar cita untuk menjadi lebih baik lagi di tahun ini. Selamat Tahun Baru, ini adalah nomor pertama Majalah Kedokteran Nusantara di tahun 2007.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 ii

Page 2: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

2

Page 3: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

3

petunjuk untuk penulis Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original dan relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus, penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah, dan surat kepada redaksi. 1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun

terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang, masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular, atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar terapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Bandingkan Hasil teresbut dengan Hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya. Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil.

2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan kesehatan yang mutakhir.

3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.

4. Penyegar Ilmu Kedokteran: berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan perlu disebarluaskan.

5. Ceramah: tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu disebarluaskan.

6. Editorial: berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan.

Petunjuk Umum Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah. Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-review) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent). Penulisan Makalah Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis. Halaman Judul Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati sampai 4 orang. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah. Teks Makalah Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil (Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 iv

Page 4: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

4

Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf. Tabel Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah. Gambar Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto. Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254 mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda penunjuk bagian “atas” gambar. Tandai juga bagian “depan”. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah. Metode Statistik Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut. Ucapan Terimakasih Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan umum dari suatu institusi. Rujukan Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan sebagai rujukan dengan perkataan “in press”. Contoh: Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996. Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi. Makalah dikirimkan pada: Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara Jl. dr. Mansur No. 5 Medan 20155 Indonesia

v Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007

Page 5: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

5

DAFTAR ISI

Susunan Redaksi

i

Dari Redaksi

ii

Petunjuk untuk Penulis

iv

Daftar Isi

vi

KARANGAN ASLI

1. Clinical Symptoms and Electrolytes Description of Children with Malaria: An Outpatient Setting in Kabupaten Mandailing Natal Chairul Yoel

1

2. Perbedaan Konflik Peran Ganda Suami Ditinjau dari Motivasi Kerja Kebutuhan Ekonomi dan Aktualisasi Diri pada Istri Namora Lumongga Lubis dan Emy Syahfitriani

5

3. Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak Penderita Hipotiroid Kongenital Elvi Andriani Yusuf dan Zulkarnain

13

4. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP H. Adam Malik, Medan Farhat

21

5. Manfaat Berkumur dengan Larutan Ekstrak Siwak (Salvadora Persica) Endarti, Fauzia, dan Erly Zuliana

29

6. Changes of Ureum-Creatinin Level in Acute Stroke Patients Treated with Mannitol in Department of Neurology, Medical Faculty University of Sumatera Utara Haji Adam Malik Hospital Medan – Indonesia Dalton Silaban, Rusli Dhanu, dan Darulkutni Nasution

38

7. Pain Experiences and Pain Management in Postoperative Patients Dewi Elizadiani Suza

45

TINJAUAN PUSTAKA

8. Asam Urat dan Hiperuresemia Maimun Syukri

52

9. Kriteria Pembesaran Atrium Kiri Secara Elektrokardiografi Abdul Gani

57

10. Organizational Culture in Nursing: A Systematic Review Setiawan

62

LAPORAN KASUS

11. Ensefalitis pada Infeksi HIV Kiki Mohammad Iqbal, Kiking Ritarwan, dan Umar Zein

67

12. Benda Asing Kacang di Trakea Abdul Rahman Saragih dan Aliandri

74

Majalah Kedokteran NusantaraVolume 40 No. 1 Maret 2007 ISSN: 0216-325X

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 vi

Page 6: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

6

Page 7: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 1

Clinical Symptoms and Electrolytes Description of Children with Malaria: An Outpatient Setting in Kabupaten Mandailing Natal

Chairul Yoel

Department of Child Health, Medical School, University of Sumatera Utara/H. Adam Malik Hospital, Medan, Indonesia

Abstract: Malaria can manifest in children with a wide range of symptoms. Instead, young children exhibit fever, gastrointestinal symptoms such as diarrhea, irritability, and respiratory symptoms. Hyponatremia, hypokalemia, and hypercalcemia may be seen in these patients. We undertook a study of malaria cases of an out patient setting in Kabupaten Mandailing Natal, looking into their demographic, clinical profiles, and electrolytes measurements. Venous blood was collected from the study subjects three milliliter to assess electrolyte. Analysis for baseline s characteristics data, symptoms and electrolytes with descriptive statistics. The concentration of plasma electrolytes was in normal limit so that our study had suggested that is unnecessary to perform electrolyte concentration in outpatient children with malaria. Keywords: malaria, electrolytes, clinical symptoms of malaria Abstrak: Gejala malaria pada anak dapat timbul dengan berbagai gejala klinis. Pada anak keluhan yang sering adalah demam, gejala gastrointestinal seperti diare, iritabilitas, dan gangguan pernapasan. Hiponatremia, hipokalemia, dan hiperkalsemia dapat terjadi pada penderita malaria. Kami melakukan suatu studi pada kasus malaria pasien rawat jalan di Kabupaten Mandailing Natal untuk mengetahui data demografi, gambaran klinis, dan pemeriksaan elektrolit. Analisa data karakteristik dasar, gejala klinis, dan elektrolit menggunakan statistik deskriptif. Konsentrasi elektrolit plasma berada dalam batas normal,oleh karena itu hasil dari studi ini menyarankan bahwa tidak dibutuhkan pemeriksaan elektrolit pada penderita malaria yang rawat jalan. Kata kunci: malaria, elektrolit, gejala klinis malaria INTRODUCTION

Malaria remains a major health problem for children in tropical areas of the world. There are an estimated 300-500 million cases of malaria each year, with 1,5 to 2,7 million deaths annually (World Health Organization, 1997). The diagnosis of malaria is commonly considered in patients who live and are cared for in malaria endemic areas, although it is an unusual cause of illness in children returning from the tropics.1

Malaria can manifest in children with a wide range of symptoms. Clinical diagnosis is unreliable, and blood smears or alternative diagnostic tests must be performed. A majority of children do not present with

severe disease. Instead, young children exhibit fever, gastrointestinal symptoms such as diarrhea, irritability, and respiratory symptoms.1,2 Hyponatremia, hypokalemia, and hypercalcemia may be seen.3

Even if optimal treatment is available, mortality rates remain high once the patient develops severe disease. Prevention strategies and early diagnosis and treatment with effective antimalarial drugs in the public health sector are therefore equally important.4

We undertook a study of malaria cases of an out patient setting in Kabupaten Mandailing Natal, looking into their demographic, clinical profiles, and electrolyte measurements. A cross sectional study was

KARANGAN ASLI

Page 8: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 2

conducted on October 2004 in Panyabungan Jae and Siabu district, a malaria endemic area at Kabupaten Mandailing Natal. METHODS

A cross sectional study was conducted on October 2004 in Panyabungan Jae and Siabu district, a malaria endemic area at Kabupaten Mandailing Natal. All children aged less than 15 years who presented to the health center were screened for the study. A finger stick blood sample was taken from children. Children with positive Plasmodium falciparum were considered eligible for inclusion criteria. Exclusion criteria included refused to participate and hospitalized patient.

Venous blood was collected from the study subjects three ml to assess electrolytes. We also assessed body weight with MIC weighing-machine (sensitivity 0.5 kg) and body height also with MIC (sensitivity 0.5 cm). Nutritional status measured with

standardized anthropometry according to CDC NCHS-WHO 2000.6

Subjects were collected by consecutive sampling and we used SPSS for WINDOWS 10 (SPSS Inc, Chicago) for all statistical computations. Analysis for baseline characteristics data, symptoms and electrolytes with descriptive statistics. RESULT

Seventy seven children were assigned to the study based on positive blood smear. Thirty six point four percent of them were < 5 years of age and 59,1% were boys (Table 1).

Pallor was the commonest symptom (68,8%), followed by fever and headache (64,9%). In addition, shivering (55,8%) and nausea (54,2) also occur in some of the patiens (Table 2).

The concentration of plasma electrolytes are shown in Table 3. The mean (SD) concentrations of sodium, potassium, and chloride was in normal limit.

Table 1. Baseline characteristics

Karakteristik n (%) Age (year) < 5 5 - < 10 10 - < 15 Sex Boy Girl Nutritional Status Severe Malnutrition Moderate Malnutrition Mild Malnutrition Normal Overweight

16 (36.4) 15 (34.1) 13 (29.5)

26 (59.1) 18 (40.9)

1 (2.3) 4 (9.1)

9 (20.5) 24 (54.5) 6 (13.6)

Table2. Symptoms of malaria

Symptoms Number of cases Frequency % Fever 77 50 64,9 Headache 77 50 64,9 Shivering 77 43 55,8 Nausea 77 42 54,2 Epigastric pain 77 24 31,2 Vomits 77 29 37,7 Pallor 77 53 68,8 Diarrhea 77 20 26,0

Table 3. Electrolytes measurements

Electrolytes Mean (n=77)

SD

Sodium 138,3 3,2 Potassium 4,1 0,6 Chloride 108,2 3,3

Page 9: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Chairul Yoel Clinical Symptoms and Electrolytes Description…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 3

DISCUSSION Malaria is the major cause of mortality

and morbidity in the tropical and sub tropical regions in the world. An estimated 300-500 million persons suffer from malaria every year and more than 1 million die each year. 3 P. falciparum is the species most commonly associated with severe and complicated disease.2

Infections lead to growth faltering and malnutrition by causing anorexia, loss of nutrients, changes in metabolism, malabsorbtion, and changes in feeding practices. Conversely, protein-energy malnutrition and deficiency in micronutrients such as iron, vitamin A and zinc are known to adversely affect immunity.7

According to Shankar AH et al. (2000), several cross-sectional surveys also favor a synergistic relationship between malnutrition and malaria. Study in Malawi, Zambia, Papua New Guinea, Sudan, Tanzania, Chad and Zaire indicate greater risk for infection, malaria illness, or spleen enlargement among malnourished children.8 Most of children in our study had normal nutritional status as express by anthropometry at baseline.

Generalized constitutional symptoms include fever, chills, dizziness, backache, myalgia, malaise, and fatigue. Gastrointestinal symptoms (i.e. anorexia, nausea, vomiting, abdominal pain, and diarrhea) can be prominent, causing confusion with gastroenteritis. Young children and semi immune adults may present with only fever and headache. 2,5 Uncomplicated malaria usually presents as fever, headache, dizziness, and arthalgia. Gastrointestinal symptoms may predominate and include anorexia, nausea, vomiting, and abdominal discomfort or pain that may mimic appendicitis.9,10 In this study, pallor was the commonest symptom, followed by fever and headache, shivering and nausea, epigastric pain, vomits, pallor and diarrhea.

Fryatt RJ, et al (1989) suggested that the mild hyponatraemia sometimes seen in the acute stages of malaria is not related to inappropriate secretion of vasopressin, although this condition may be of importance in more severe cases of hyponatraemia.11

Maitland K, et al (2005), describe changes in potassium, calcium, magnesium, and phosphate levels in 56 Kenyan children (42

who survived and 14 who died) admitted to the hospital with clinical features of severe malaria (impaired consciousness or deep breathing) complicated by acidosis (base deficit, >8 mmol/L). At admission to the hospital, hyperkalemia may complicate cases of acidosis due to severe malaria and is associated with high, early mortality. After admission, mild asymptomatic deficiencies in magnesium and phosphate levels were common but were not associated with any deleterious effect.12 The concentrations of sodium, potassium, and chloride was in normal limit in this study.

The limitation of this study, we did not count the parasitemia from blood smear to differentiate the severity of malaria. Further studies are needed to determine the relation between the severity of malaria with electrolyte concentration in both hospitalized and outpatient.

To summarize, our study had suggested that is unnecessary to perform electrolyte concentration in outpatient children with malaria, beside that the limitation of cost and measurement availability are usually occur at developing countries. REFERENCES 1. Daily JP. Malaria. In: Gershon AA, Hotez

PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th edition. Philadelphia: Mosby, 2004.p.337-52.

2. Taylor TE, Strickland GT. Malaria. In: Strickland GT. Hunter’s tropical medicine and emerging infectious diseases. 8th edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 2000.p.614-43.

3. Regional guidelines on the management of severe falciparum malaria in level II hospitals. World Health Organization South East Asia – Asia Regional Office New Delhi, 2004.

4. Dondorp AM. Pathophysiology, clinical presentation and treatment of cerebral malaria. Neurology Asia 2005; 10:67-77.

5. Acremont VD, Landry P, Mueller I, Pecoud A, Genton B. Clinical and laboratory predictors of imported malaria in an outpatient setting: an aid to medical decision making in returning travelers with fever. Am J Trop Med Hyg 2002; 66 (5):481-6.

Page 10: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 4

6. Kuczmarski RJ, Ogden CL, Guo SS, et al. 2000 CDC growth chart for the United State: Methods and development. National Center for Health Statistics. Vital Health Stat 11 (246). 2002. Available from: URL: http//www.cdc.gov/growthcharts.

7. Verhoef H. Iron deficiency and malaria as determinants of anaemia in African children Ph. D. Thesis. Wageningen University, Wageningen, Netherlands, 2001.

8. Shankar AH. Nutritional modulation of malaria morbidity and mortality. J Infect Dis 2000; 182 (suppl1): S37-S53.

9. Bosenberg AT. Special problems in developing countries. In: Bissonnette B, Dalens BJ. Pediatric anesthesia principles and practice. New York: McGraw-Hill, 2002.p.1523.

10. Koh KH, Chew PH, Kiyu A. A retrospective study of malaria infections in an intensive care unit of a general hospital in Malaysia. Singapore Med J 2004; 45 (1):28-36.

11. Fryatt RJ, Teng JD, Harries AD, Moody AH, Hall AP, Forsling ML. Plasma and urine electrolyte concentrations and vasopressin levels in patients admitted to hospital for falciparum malaria. J Trop Georg Med 1989, 41 (1): 57-60.

12. Kathryn Maitland, et al. Perturbations in Electrolyte Levels in Kenyan Children with Severe Malaria Complicated by Acidosis. Clin Inf Dis 2005; 40: 9–16.

Page 11: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 5

Perbedaan Konflik Peran Ganda Suami Ditinjau dari Motivasi Kerja Kebutuhan Ekonomi dan Aktualisasi Diri pada Istri

Namora Lumongga Lubis dan Emy Syahfitriani

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

pemenuhan peran lain. Konflik peran ganda dapat dipengaruhi beberapa hal. Salah satunya adalah motivasi kerja istri. Motivasi kerja adalah kebutuhan yang mendorong perbuatan ke arah dan tujuan tertentu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Motivasi yang dimaksudkan dalam penelitian adalah motivasi yang dikemukakan oleh Wolfman, yakni motivasi kebutuhan ekonomi dan aktualisasi diri. Subjek yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi berbeda dengan subjek yang memiliki istri bekerja karena ingin aktualisasi diri. Penelitian ini melibatkan 100 orang tua laki-laki dari siswa SD An-Nizam sebagai subjek penelitian. Adapun kriteria subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah suami-istri yang bekerja di luar rumah, memiliki anak, memiliki penghasilan Rp. 1.500.000–3.000.000 per bulan. pengambilan sampel dilakukan dengan teknik nonprobability dengan metode purposive sampling. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan uji t-test. Alat ukur yang digunakan adalah skala konflik yang disusun sendiri oleh peneliti. Hasil analisa data menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat signifikan konflik peran ganda suami ditinjau dari motivasi; kerja kebutuhan ekonomi dan aktualisasi diri pada istri dengan nilai p = 0.001. Subjek yang memiliki istri bekerja karena ingin aktualisasi diri memperoleh mean yang lebih tinggi (x = 122.42) dari pada suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi (x = 111.18). Sementara itu hasil tambahan membuktikan ada perbedaan signifikan konflik peran ganda pada suami berdasarkan usia subjek, jumlah anak, dan usia anak termuda. implikasi dari hasil penelitian ini berguna bagi pasangan suami-istri, yakni diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan yang penting untuk lebih memahami masalah dan penyebab konflik yang terjadi pada pasangan suami-istri yang keduanya bekerja. Kata kunci: konflik peran ganda, motivasi kerja Abstract: The aim of this comparative quantitative research is to see the difference of husband’s interrole conflict between economic motive of working and self actualization motive of working on wives. Interrole conflict occurs when “role pressure associated with membership in one organization are in conflict with pressure stemming from membership I other groups”. Interrole conflict can be influenced by some factors. One of them is wife’s work motivation. Work courage and need to work. The motivation term used in this research was based on Wolfmaris economics need of motivation and self actualization. Respondents whose wives work for economic motive are different from those who work for self actualization motive. This research involved 100 fathers of students of An-Nizam elementary school. The respondents participated in this research were the ones who met the criteria: man and wife works outside the house, have a child/children, salary range between Rp1.500.000-3.000.000. The method used to select the respondent was the nonprobability purposive sampling. Data collected in this research was tested by using test method of analysis. Measuring instrument used is interrole conflict scale compiled by researcher. Data analysis of this research shows that there is a significant difference husband’s interrole conflict between based on economic motive of working and self-actualization motive of working on wives with value P = 4.001. Respondents whose wives work for self-actualization motive had

Page 12: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 6

higher mean score (x = 122.42) than those who work for economic motive (x = 111.18). additional finding of this research shows that there is a significant difference of interrole conflict based on respondents age, number of children, and youngest child’s age. The implication of this research can be used to understand the problems that cause the conflict in both working couples like husband and wife Keywords: interrole conflict, work of motivation PENDAHULUAN Latar Belakang

Pada saat ini jumlah wanita yang bekerja di dunia termasuk Indonesia meningkat pesat. Hal ini dikarenakan: a) kesempatan wanita untuk mengenyam pendidikan tinggi sebagaimana pria semakin besar, b) pelaksanaan kebijakan baru oleh pemerintah yang memberikan kesempatan yang besar untuk wanita agar berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi, dan c) melajunya perkembangan ekonomi dan industri yang meningkatkan perubahan agar wanita bekerja.

Saat ini kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dalam keluarga di mana suami istri bekerja ketegangan-ketegangan akan lebih sering muncul dibandingkan keluarga tradisional di mana hanya suami saja yang bekerja dan istri menjaga keluarga di rumah. Ketegangan-ketegangan umumnya berasal dari peran-peran yang sering menjadi tidak jelas serta adanya tuntutan peran dari lingkungan.2

Seorang wanita menikah yang memutuskan untuk bekerja, peran yang dipikulnya pasti semakin bertambah, yakni peran sebagai istri, ibu dan peran sebagai pekerja. Bagi seorang wanita yang bekerja sulit tentunya menjalankan dua peran yang bertentangan antara pekerjaan dan keluarga. Namun ketika istri bekerja peran suami juga bertambah dikarenakan adanya pembagian tugas dalam rumah tangga, tidak lagi hanya sebagai seorang pria yang mencari nafkah untuk keluarganya sesuai dengan harapan masyarakat, namun ia juga ikut dalam membantu urusan rumah tangga. Sehingga pada akhirnya peran-peran tersebut menjadi tidak jelas dan menimbulkan konflik.

Konflik peran ganda adalah konflik yang terjadi pada seseorang akibat dari dua atau lebih peran di mana pemenuhan salah satu peran dapat menghasilkan kesulitan bagi pemenuhan peran lain3. Konflik peran ganda

akan terjadi pada seseorang jika pekerjaan dan keluarga menuntut perhatian yang sama besar sehingga ia mengalami ketegangan dalam peran pekerjaan dan rumah tangga yang ia jalani.4

Wanita sering mengalami konflik antara pekerjaan dan rumah yang lebih tinggi dibandingkan pria, namun pria juga mengalami kesukaran dalam membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan. Pria lebih mengutamakan waktu mereka untuk bekerja dibandingkan untuk keluarga, mereka merasa kurang terlibat dalam urusan keluarga karena adanya harapan tradisional yang mengatakan bahwa pekerjaan adalah hal pertama untuk pria. Hal inilah yang menimbulkan konflik peran ganda pada pria. Bagi seorang pria waktu bekerja mereka akan berkurang jika mereka harus ikut terlibat dalam urusan keluarga, sehingga mereka merasa kurang bertanggung jawab pada pekerjaan mereka.5

Masalah yang timbul dari banyaknya peran yang dijalani berbeda pada setiap orang. Baik istri ataupun suami akan mengalami konflik terutama hal-hal yang berhubungan dengan pengasuhan anak. Bagi seorang suami menjaga anak adalah tugas seorang wanita, namun hal ini berbeda jika istri juga bekerja. Pada situasi saat ini, dimana wanita memiliki kemauan yang tinggi akan persamaan, asumsi di atas tidak akan terpenuhi sehingga konflik akan terjadi. Banyak wanita yang tidak tradisional pada masa kini mengharapkan laki-laki untuk ikut bertanggung jawab dilingkungan domestik dan pengasuhan anak.6 Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan konflik peran ganda pada suami.

Tinggi rendahnya konflik peran yang dialami seorang suami dalam keluarga nontradisional bergantung beberapa faktor salah satunya adalah motivasi atau alasan yang mendasari seorang istri bekerja.2 Pada dasarnya motivasi setiap orang untuk bekerja adalah

Page 13: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Namora Lumongga Lubis dkk. Perbedaan Konflik Peran Ganda Suami…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 7

untuk dapat memenuhi kebutuhan–kebutuhan dasarnya untuk kelangsungan hidup atau yang sering disebut oleh kebutuhan fisiologis. Jika kebutuhan ini telah terpenuhi barulah orang itu bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya seperti aktualisasi diri. Ada dua alasan yang merupakan motivasi wanita untuk bekerja adalah dikarenakan kebutuhan ekonomi dan keinginan aktualisasi diri.7

Faktor pertama yang mendorong wanita bekerja adalah kebutuhan ekonomi. Pendapatan tunggal tidak dapat lagi cukup untuk menghidupi sebuah keluarga di Indonesia. Banyak wanita Indonesia sekarang mengambil peran dalam usaha untuk menghidupi keluarga. Sejumlah besar keluarga Indonesia bergantung pada pendapatan yang didapatkan oleh para wanita. Kebanyakan wanita bekerja untuk menambah gaji suami mereka atau menopang keuangan keluarga mereka.8

Selain karena kebutuhan ekonomi, faktor kedua yang mendorong wanita untuk bekerja kebanyakan adalah untuk aktualisasi diri. Menurut Mason bekerja bagi kaum wanita lebih dari sekedar mencari uang. Menurutnya banyak sekali keuntungan dari bekerja selain mendapatkan tambahan keuangan, misalnya memiliki tempat yang dituju setiap hari, mengembangkan keterampilan, menjadi anggota dari komunitas tertentu, memiliki persahabatan dan menjadi pribadi.9 Meningkatnya wanita bekerja juga tidak lepas dari adanya kesempatan yang luas bagi wanita sekarang untuk mendapatkan pendidikan.9 Semakin tinggi pendidikan seorang wanita maka semakin besar keinginannya untuk memasuki dunia kerja dan menjadi wanita karir.6

Konflik peran ganda yang dialami suami akan lebih tinggi pada istri yang bekerja untuk kesuksesan dan pengembangan diri terlebih jika istri lebih sukses dan mendapatkan pendapatan lebih besar dibandingkan suami. Hal ini dikarenakan pada seorang istri yang bekerja untuk memiliki karir yang lebih baik akan lebih mementingkan karir dibandingkan keluarga.2 Beck menyatakan bahwa ada penurunan persentase pada wanita yang lebih peduli dengan keadaan rumah tangga dan keluarganya dibandingkan dengan karirnya dari 71% pada tahun 1971 menjadi 51% pada tahun 1976, dan tidak menutup kemungkinan semakin menurun pada saat ini. Keadaan ini

memaksa suami untuk ikut peduli terhadap urusan rumah tangga dan pengasuhan anak sehingga suami mengalami stres secara psikologis.2 Persaingan akan meningkat jika suami istri memiliki pekerjaan dan karir yang bagus sehingga menimbulkan konflik antara pasangan tersebut.2

O’Neil menambahkan berdasarkan asumsi gender yang dipercaya oleh pria selama ini dikatakan bahwa suami dapat menerima istrinya bekerja jika dikarenakan alasan kebutuhan ekonomi karena peran sebagai pencari nafkah dianggap sebagai suatu hal yang mutlak menjadi kekuasaan seorang suami. Ketika seorang suami merasa mampu menghidupi keluarganya maka suami tidak bisa menerima jika istrinya bekerja karena ingin mengembangkan potensi dalam dirinya.6

Berdasarkan pemaparan di atas tergambar bahwa motivasi kerja seorang istri mempengaruhi besar kecilnya konflik peran ganda yang dialami seorang suami. Jadi, terdapat perbedaan konflik peran ganda suami ditinjau dari motivasi kerja kebutuhan ekonomi dan aktualisasi diri pada istri.

METODE PENELITIAN

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Tergantung : Konflik Peran Ganda 2. Variabel Bebas : Motivasi Kerja istri:

a. Kebutuhan ekonomi

b. Aktualisasi diri Subyek Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 100 orang tua laki-laki dari murid SD An-Nizam. Karakteristik sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Suami yang memiliki istri bekerja b. Memiliki anak usia 1-12 tahun c. Usia subjek 18 – 60 tahun d. Penghasilan di atas Rp 1.500.000-

3.000.000 Teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah purposive sampling.

Page 14: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 8

Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan instrumen alat ukur self report berupa skala sikap. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan satu skala, yaitu: Skala Konflik Peran Ganda

Skala Konflik Peran Ganda akan diisi oleh suami yang memiliki istri bekerja, di mana item-item-nya disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori Greenhaus & Buttel yaitu time based, strain based, dan behavior based.4

Skala tersebut terdiri dari item yang favourable dan unfavourable, dengan skala Likert empat pilihan jawaban yakni Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju, Sangat Tidak Setuju. Penilaian skala untuk item favourable adalah nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju, nilai 3 untuk pilihan jawaban Setuju, nilai 2 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju, dan nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju. Penilaian skala untuk item unfavourable adalah nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju nilai 2 untuk pilihan jawaban Setuju, nilai 3 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju, dan nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak. Setuju. Hasil Uji Coba

Skala disebarkan pada 70 suami yang memiliki istri bekerja dan didapat item yang valid dari 73 item adalah 53 item dengan reliabilitas 0.946 dan nilai daya item bergerak dari 0.225 sampai dengan 0.678. Metode Analisa Data

Data dalam penelitian akan dianalisa dengan analisa statistik. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji t-test untuk melihat perbedaan konflik peran ganda ditinjau dari motivasi kerja kebutuhan ekonomi dan aktualisasi diri pada istri dengan bantuan aplikasi komputer SPSS versi 12 for windows. Sebelum dilakukan uji t-test, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yaitu: Uji normalitas sebaran dianalisis dengan menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov Test dan uji homogenitas pada penelitian ini, dianalisa dengan menggunakan Anova melalui Levene’s Test.

HASIL PENELITIAN UTAMA 1. Uji Asumsi 1.1 Uji Normalitas

Uji normalitas sebaran menggunakan Kolmogorov-Smirnov test menunjukkan sebaran normal. Data dikatakan terdistribusi normal jika harga p > 0.05. Diperoleh nilai z sebesar 1.133 dengan p = 0.154, oleh karena itu dapat dikatakan variabel konflik peran ganda terdistribusi normal.

1.2 Uji Homogenitas

Uji homogenitas menggunakan Levene’s test menunjukkan populasi dan sampel dalam penelitian adalah homogen. Hal ini ditunjukkan dari nilai probabilitas 0.242 di mana nilai ini berada di atas 0.05 yang berarti populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah homogen.

2. Uji Hipotesa

Terdapat perbedaan konflik peran ganda suami ditinjau dari motivasi kerja kebutuhan ekonomi dan aktualisasi diri pada istri yang sangat signifikan. Hasil uji analisis statistik dengan menggunakan t-test dan didapat p = 0.001 karena nilai p < 0.05 maka hipotesa mayor diterima.

HASIL TAMBAHAN 1. Ada perbedaan signifikan konflik peran

ganda suami ditinjau dari usia subjek. Hal ini dapat dilihat ditunjukkan dengan nilai Fhitung (3.681) > Ftabel (2.70) dengan p < 0.05 yaitu p = 0.15

2. Ada perbedaan signifikan konflik peran ganda suami ditinjau dari jumlah anak. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Fhitung (6.031) > Ftabel (2.46) dengan p < 0.05 yaitu p = 0.000

3. Ada perbedaan signifikan konflik peran ganda suami ditinjau dari usia anak termuda yang dimiliki. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Fhitung (3.639) > Ftabel (3.09) dengan p < 0.05 yaitu p = 0.30

4. Ada perbedaan signifikan konflik peran ganda suami ditinjau dari jumlah pendapatan subjek. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Fhitung (7.077) > Ftabel (3.94) dengan p < 0.05 yaitu p = 0.09

5. Ada perbedaan signifikan konflik Peran Ganda suami ditinjau dari jenis pekerjaan subjek. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Fhitung (2.225) > Ftabel (2.03) dengan p < 0.05 yaitu p = 0.32

Page 15: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Namora Lumongga Lubis dkk. Perbedaan Konflik Peran Ganda Suami…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 9

KESIMPULAN 1. Hipotesa dalam penelitian ini diterima

yaitu “ada perbedaan konflik peran ganda suami ditinjau dari motivasi kerja kebutuhan ekonomi dan aktualisasi diri pada istri.” Melalui analisa data penelitian dengan uji-t dengan l.o.s 0.05 dapat dilihat bahwa suami yang memiliki istri bekerja karena ingin aktualisasi diri memiliki mean skor yang lebih tinggi (122.42) dibandingkan dengan suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi (111.18), sehingga dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda pada suami yang memiliki istri bekerja karena ingin aktualisasi diri lebih tinggi dibandingkan suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi.

2. Terdapat perbedaan konflik peran ganda suami berdasarkan usia subjek. Melalui uji ANOVA dengan l.o.s 0.05 dapat dilihat bahwa suami yang berusia 29-34 tahun memiliki mean skor yang lebih tinggi (129.25) kemudian urutan kedua adalah suami yang berusia 35-40 tahun (118.26), lalu diikuti suami yang berusia 47-52 tahun dengan mean skor (118.25), dan yang terakhir adalah suami yang berusia 41-46 dengan mean skor (108.09). Perbedaan tersebut signifikan di mana nilai ρ < 0.05 yaitu ρ = 0.015. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda pada suami yang berusia 29-34 dan 35-40 tahun yang merupakan masa dewasa dini lebih tinggi dibandingkan suami yang berusia 41-46 dan 47-52 tahun yang merupakan masa dewasa madya.

3. Terdapat perbedaan konflik peran ganda suami berdasarkan jumlah anak yang dimiliki subjek. Melalui uji ANOVA dengan l.o.s 0.05 dapat dilihat bahwa suami yang memiliki anak berjumlah 5 memperoleh mean skor yang paling tinggi (139.80). Lalu diikuti berturut-turut suami yang memiliki anak berjumlah 4 (123.81), suami yang memiliki anak 3 (118.50), suami yang memiliki anak 2 (109.29), dan yang terakhir adalah suami yang hanya memiliki anak 1 (107.11). Perbedaan tersebut signifikan dimana nilai ρ < 0.05 yaitu ρ = 0.000. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik

peran ganda lebih tinggi pada suami yang memiliki anak banyak lebih tinggi dibandingkan suami yang memiliki anak yang lebih sedikit sehingga dapat dikatakan semakin banyak anak dalam keluarga maka konflik peran ganda semakin tinggi.

4. Terdapat perbedaan konflik peran ganda suami berdasarkan usia anak termuda yang dimiliki subjek. Melalui uji ANOVA dengan l.o.s 0.05 dapat dilihat bahwa suami yang memiliki anak dengan usia 1-4 tahun memiliki mean skor yang paling tinggi (120.88). Kemudian pada urutan kedua suami yang memiliki anak dengan usia 5-8 tahun memiliki mean skor (114.59). Dan yang terakhir adalah suami yang memiliki anak dengan usia 9-12 tahun dengan mean skor (108.71). Perbedaan signifikan karena ρ < 0.05 yaitu ρ=0.030. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda lebih tinggi pada suami yang memiliki anak dengan usia yang masih kecil (1-4 tahun) dibandingkan suami yang memiliki anak dengan usia yang lebih besar (9-12 tahun) sehingga dapat dikatakan bahwa semakin kecil usia anak maka semakin tinggi konflik peran ganda.

5. Terdapat Perbedaan konflik peran ganda suami berdasarkan jumlah pendapatan suami. Melalui uji Anova didapat bahwa suami yang memiliki pendapatan Rp. 2.000.000-3.000.000 memiliki mean yang tertinggi yaitu (120.89). Kemudian diikuti oleh suami yang memiliki pendapatan Rp.1.500.000-2.000.000 dengan mean (111.80). Perbedaan signifikan karena ρ < 0.05 yaitu ρ = 0.009. berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda lebih tinggi pada suami yang memiliki pendapatan lebih besar dibandingkan suami yang memiliki pendapatan kecil.

6. Terdapat perbedaan konflik peran ganda berdasarkan jenis pekerjaan suami. Melalui uji Anova didapat bahwa subjek yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai bank (132.80), lalu yang kedua adalah subjek yang bekerja sebagai dokter (124,57), kemudian yang ketiga adalah subjek yang bekerja sebagai pengusaha (123.28), yang keempat adalah subjek yang memiliki

Page 16: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 10

pekerjaan PNS (115.67), kelima adalah subjek yang memiliki pekerjaan sebagai konsultan (114.60), keenam adalah subjek yang bekerja sebagai pedagang kecil (113.43), ketujuh adalah subjek yang bekerja sebagai pegawai swasta (113.38), kedelapan adalah subjek yang memiliki pekerjaan sebagai guru (104.25) dan yang terakhir adalah subjek yang memiliki pekerjaan sebagai guru private (86.00). Perbedaan signifikan karena ρ < 0.05 yaitu ρ = 0.032. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan konflik peran ganda ditinjau dari jenis pekerjaan.

DISKUSI

Hasil penelitian pada sampel suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi dan suami yang memiliki istri bekerja karena ingin aktualisasi diri menunjukkan bahwa ada perbedaan pada konflik peran ganda yang mereka alami di mana konflik peran ganda lebih tinggi pada suami yang memiliki istri bekerja karena ingin aktualisasi diri dibandingkan suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi. Perbedaan konflik peran ganda pada suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi dan suami yang memiliki istri bekerja karena ingin aktualisasi diri dapat dilihat dari mean skor yang diperoleh masing-masing kelompok.

Dalam dual-earner family (suami istri bekerja) akan muncul kesulitan-kesulitan (konflik) dalam keluarga tersebut. Baik masalah dalam pekerjaan ataupun masalah keluarga. Konflik peran ganda yang dialami suami berbeda bagi setiap orang. Perbedaan ini dapat dikarenakan motivasi istri dalam bekerja. Ada dua hal yang memotivasi wanita untuk bekerja yaitu adanya kebutuhan ekonomi dan keinginan untuk aktualisasi diri.7 Konflik peran ganda akan lebih terjadi pada suami yang memiliki istri bekerja karena ingin mengaktualisasikan diri. Menurutnya konflik lebih terjadi dalam keluarga di mana istrinya memiliki kedudukan yang lebih tinggi.2 Ketegangan dalam konflik peran ganda yang dirasakan suami akan lebih tinggi jika istri lebih sukses dan memiliki pendapatan yang lebih besar dibandingkan suami. Wanita yang ingin mengembangkan karirnya tidak

lagi mendahulukan kepentingan rumah dibandingkan kepentingan pekerjaan.2

Dari perbandingan setiap aspek konflik peran ganda yaitu time based, strain based, behavior based, juga terlihat bahwa konflik peran ganda lebih besar dialami pada suami yang memiliki istri bekerja karena aktualisasi diri dibandingkan suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi. Dari aspek time based didapat bahwa mean skor konflik peran ganda suami yang memiliki istri bekerja karena aktualisasi diri adalah (41.02) sedangkan suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi adalah (36.72). Untuk strain based didapat bahwa mean skor konflik peran ganda suami yang memiliki istri bekerja karena aktualisasi diri adalah (40.46) sedangkan suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi adalah (36.76). Kemudian aspek behavior based didapat bahwa mean skor konflik peran ganda suami yang memiliki istri bekerja karena aktualisasi diri adalah (40.64) sedangkan suami yang memiliki istri bekerja karena kebutuhan ekonomi adalah (37.40).

Berdasarkan hasil tambahan, jika ditinjau dari usia subjek, terlihat ada perbedaan konflik peran ganda antara subjek yang usianya berada pada masa dewasa dini dengan subjek pada usia dewasa madya. Perbedaan bisa dilihat dari mean skor masing-masing usia subjek. Dari mean skor dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada usia dewasa dini lebih mengalami konflik peran ganda dibandingkan dengan usia dewasa madya.

Konflik peran ganda yang dialami suami yang memiliki istri bekerja umumnya terjadi pada masa dewasa awal karena pada masa ini setiap orang yang baru masuk pada tahap dewasa harus melakukan tugas perkembangan yang berkaitan dengan masalah keluarga dan pekerjaan.10 Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan sosial baru.

Pada masa dewasa dini bahaya yang paling umum dan bahkan serius mengancam perkawinan adalah spirit (dorongan) untuk bersaing antara orang muda yang berkembang untuk meraih sukses dalam karir. Wanita yang berharap dapat berhasil dalam kehidupan sosialnya lebih suka untuk bersaing dengan orang lain termasuk suaminya sendiri. Situasi persaingan ini mempersulit pasangan suami

Page 17: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Namora Lumongga Lubis dkk. Perbedaan Konflik Peran Ganda Suami…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 11

istri untuk menciptakan suasana yang hangat, hubungan yang mesra, yang pada dasarnya dibutuhkan dalam masa penyesuaian dengan pasangan suami istri. Situasi yang bersaing sering terjadi apabila istri memperoleh keberhasilan dari pekerjaan yang dianggap rendah dibanding keberhasilan suaminya. Karena banyak suami yang mengklaim keberhasilan istri dengan sikap yang sombong, cemburu dan iri hati. Hal ini dikatakan Erikson sebagai krisis kemesraan dan krisis isolasi.10

Selanjutnya data tambahan berdasarkan jumlah anak dan usia anak termuda yang dimiliki subjek juga merupakan faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda yang dialami suami yang memiliki istri bekerja. Terdapat perbedaan konflik peran ganda yang signifikan antara subjek yang memiliki anak banyak dengan subjek yang memiliki anak sedikit di mana subjek yang memiliki anak banyak lebih mengalami konflik dibandingkan subjek yang memiliki sedikit anak. Begitu juga dengan usia anak termuda yang dimiliki subjek. Ada perbedaan konflik peran ganda pada subjek yang memiliki anak yang usianya masih kecil (preschool) dengan subjek yang memiliki anak dengan usia yang lebih besar di mana subjek yang memiliki anak yang masih kecil lebih mengalami konflik dibandingkan subjek yang memiliki anak yang sudah besar. Ketegangan maksimum dialami oleh keluarga yang memiliki anak yang masih kecil dan kedua orang tuanya memiliki karir yang bagus dan penting. Jika keduanya memiliki kemajuan karir yang bagus, mau tidak mau mereka harus menunjukkan dedikasi pada pekerjaan mereka dan hal ini menyulitkan mereka dalam hal membesarkan seorang anak.2

Berdasarkan jumlah pendapatan juga terlihat adanya perbedaan konflik peran ganda suami, di mana dari mean terlihat bahwa suami yang memiliki pendapatan Rp.2.000.000-3.000.000 lebih mengalami konflik peran ganda dibandingkan suami yang memiliki pendapatan Rp.1.500.000-2.000.000. Berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat bahwa subjek yang memiliki pekerjaan pegawai bank lebih mengalami konflik dibandingkan pekerjaan lainnya. Kemudian berturut-turut diikuti subjek yang memiliki pekerjaan dokter, pengusaha, PNS, konsultan, pedagang kecil, guru, dan terakhir guru privat.

Menurut O’Neil ketika suami merasa mampu untuk membiayai kehidupan keluarganya ia tidak bisa menerima istrinya bekerja karena berdasarkan asumsi gender wilayah mencari nafkah adalah hak mutlak bagi pria kecuali jika suami tidak mampu membiayai keluarganya. Sehingga ketika istrinya bekerja tidak dikarenakan kebutuhan ekonomi melainkan karena aktualisasi diri maka suami merasa tidak dapat menerimanya sehingga timbul konflik dalam dirinya.6 SARAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka peneliti mengemukakan beberapa saran: 1. Penelitian selanjutnya sebaiknya meneliti

karakteristik sampel berdasarkan faktor-faktor lain seperti pekerjaan, jam kerja, fleksibilitas waktu kerja, latar belakang keluarga, yang dapat mempengaruhi konflik peran ganda.

2. Penelitian selanjutnya hendaknya memperhatikan proporsi sampel bila hendak membandingkan sampel agar kesimpulan yang diambil lebih tepat dan dapat digeneralisasikan.

3. Peneliti selanjutnya sebaiknya menambahkan tinjauan konflik peran ganda berdasarkan variabel-variabel lain yang berkaitan dengan konflik peran ganda seperti kepuasan pada pekerjaan, kepuasan pada pernikahan, kepribadian, suku, dikarenakan berkaitan dengan konflik peran ganda.

4. Penelitian selanjutnya dapat juga dilakukan dalam bentuk kualitatif agar dapat diketahui faktor-faktor apa yang lebih banyak menyebabkan rendahnya konflik peran ganda pada individu yang mengalami konflik peran ganda.

5. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan memberikan skala motivasi kerja untuk istri yang dibedakan dari suami.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hendytio, M. K., Moelyarto, V., Gaduh, A.B.,

& Feridhahusetiawan, T. (1999). Indonesia: A Gender Review of Globalization, Legislation, Policies and Institutional Framework. Manila; ILO Manila.

Page 18: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 12

2. Sekaran, U. (1986). Dual career family. Sanfransisco: John Wiley & Sons, Inc.

3. Katz, D., & Kahn, R. L., (1966). The social psychology of organization. New York: John Wiley and Sons, Inc.

4. Greenhaus. (1997). Work family conflict [On-line]. http://www.bcfwp.org/conference_ papers/greenhause.pdf. Diakses tanggal 3 November, 2005.

5. Bailey, S. J. (2002, September). Weaving together family and work. Montguide: Montana State University, B10-B11 http:// www.montana.edu/wwwpb/pubs/mt200211.html. Diakses tanggal 5 April, 2006.

6. Nauly, M. (2003). Fear of success wanita bekerja. Studi banding perempuan batak, minangkabau dan jawa. Yogyakarta: Arti.

7. Wolfman, B.S., (1992). Peran kaum wanita: Bagaimana menjadi cakap dan seimbang dalam aneka peran. Yogyakarta: Kanisius.

8. Djamal, C. (2000). Women in the informal sector, a ‘forgotten’ workforce. Dalam Oey-Gardiner, M., & Bianpoen, C. (Eds), Indonesian Women the Journey Continues, (pp.172-178). Canberra: Goanna Print.

9. Wikarta, L.S., (2005). Working women: Kiat jitu mengatasi permasalahan diri, keluarga, dan pekerjaan bagi wanita karir. Yogyakarta: Quills Book Publisher.

10. Hurlock, E. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.

Page 19: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 13

Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak Penderita Hipotiroid Kongenital

Elvi Andriani Yusuf dan Zulkarnain Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki gambaran mengenai masalah emosi dan perilaku pada anak yang menderita hipotiroid kongenital. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, pemberian tes Child Behavior Check List (CBCL/4-18) dan AAMD Adaptive Behavior Scale bagian II. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif dengan mengggunakan 3 orang subjek yang didiagnosa hipotiroid kongenital. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat gangguan pada masalah perilaku sosial, perhatian, perilaku agresif dan reaksi buruk terhadap frustrasi. Selanjutnya pada masing-masing subjek terdapat variasi masalah emosi dan perilaku lainnya. Hasil penelitian juga menemukan adanya perubahan perilaku sebelum dan sesudah pengobatan hipotiroid, yang awalnya pasif menjadi aktif dan lebih agresif. Kata kunci: hipotiroid kongenital, masalah emosi, dan perilaku Abstract: The aim of the study is to describe about emotional problem and behavior at children, which are suffering congenital hypothyroidism. The data collected by using observation, interview, Child Behavior Checklist test (CBCL/4-18) and AAMD Adaptive Behavior Scale part of II. This study using a qualitative approach and the subject were three children who are suffering congenital hypothyroidism. The result shows there were social behavioral problem disorder, attention, aggressive behavioral and bad reaction to frustration. Hereinafter, each subject has a variation of emotional problem and behavior. It’s also found that the existence of behavioral change before and after medical treatment of hypothyroidism, what is initially passive becomes active and more aggressive. Keywords: congenital hypothyroidism, emotional problem, and behavior PENDAHULUAN

Memiliki anak yang tumbuh dan berkembang secara normal merupakan idaman setiap orang tua, tetapi pada kenyataannya tidak jarang dijumpai anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan yang mengakibatkan alur tumbuh kembangnya tidak mengikuti alur perkembangan yang normal. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh bawaan (faktor biologis, nature), faktor lingkungan (nurture), maupun kombinasi di antara keduanya. Kedua faktor ini berinteraksi mempengaruhi aspek fisik dan psikologis anak.

Salah satu faktor biologis yang dapat menghambat tumbuh kembang anak adalah adanya abnormalitas fungsi tiroid. Abnormalitas tiroid dapat dibagi atas 2 bagian besar, yaitu hipertiroid dan hipotiroid.

Hipertiroid adalah tiroid hiperaktif (hipertiroidisme) yang terjadi karena produksi hormon tiroid yang berlebihan. Sedangkan fungsi tiroid yang kurang aktif, disebut sebagai hipotiroid yang terjadi bila kelenjar tiroid tidak atau kurang memproduksi hormon tiroid. Salah satu jenis hipotiroid adalah hipotiroid kongenital (congenital hypothyroidism), yaitu gangguan metabolisme yang disebabkan kurangnya hormon tiroid pada saat bayi berada dalam kandungan dan berlanjut setelah lahir.1

Divisi Tiroid pada The Magic Foundation for Children Growth menjelaskan bahwa hipotiroid kongenital adalah gangguan yang mempengaruhi anak sejak lahir (kongenital) disebabkan hilangnya fungsi tiroid akibat kegagalan perkembangan kelenjar tiroid. Kadangkala pada anak tidak terdapat kelenjar

Page 20: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 14

tiroid atau tiroid ektopik (di luar letak normal). Akibatnya kelenjar tiroid tidak menghasilkan thyroxine (T4) yang cukup yang dapat menyebabkan timbulnya abnormalitas perkembangan dan fungsi mental yang terhambat. Ada pun fungsi tiroid ini pada manusia sudah tampak sejak fetus berusia 12 minggu dalam kandungan.2

Dari segi medis, penyakit hipotiroid kongenital telah banyak diteliti dan dibahas namun dari sudut psikologi, bagaimana perkembangan emosi dan perilaku anak, hipotiroid kongenital belum banyak diulas dan masih menjadi pertanyaan.

Menurut Gilberg, insiden kejadian hipotiroid kongenital adalah 1 : 3000 - 4000 kelahiran. Hipotiroid kongenital dapat mengakibatkan mental retardasi dan menghambat perkembangan motorik, jika tidak diterapi pada bulan pertama kehidupan. Hal ini terkait dengan pentingnya hormon tiroid bagi perkembangan otak. Kekurangan hormon tiroid secara langsung berhubungan dengan fungsi intelektual, motorik dan perilaku.3

Dalam kaitannya dengan intelektual, Rovet & Erlich menyatakan identifikasi dini dan pengobatan awal pada bayi hipotiroid kongenital dapat mengurangi terjadinya mental retardasi dan secara signifikan meningkatkan fungsi intelektual. Akan tetapi gangguan ringan pada beberapa aspek kemampuan tertentu seperti bahasa, visuospasial, neuromotor, memori, perhatian, pendengaran dan kemampuan membedakan suara (auditory discrimination ability) masih terjadi. Gangguan ini ditentukan oleh tingkat gangguan, penyebab gangguan, usia, keparahan, lamanya terjadi gangguan, dan kekuatan dosis terapi.4

Di beberapa negara maju seperti Amerika, Jepang, Australia, dan Eropa, sejak tahun 1970, program skrining neonatal untuk hipotiroidisme telah dilaksanakan sehingga dapat mengurangi terjadinya mental retardasi pada anak. Intelegensi anak dapat normal jika pengobatan dimulai sejak dini sebelum anak berusia 3 bulan.3,4

Tidak semua anak hipotiroid kongenital mengalami mental retardasi. Intelegensi anak dapat berkembang normal jika pengobatan dimulai sejak dini sebelum anak berusia tiga bulan namun dapat menyebabkan mental

retardasi jika pengobatan dimulai sesudah enam bulan3,4,5. Mental retardasi didefinisikan sebagai fungsi intelektual di bawah rata-rata (IQ di bawah 70) yang disertai dengan keterbatasan dalam tingkah laku adaptif dalam kehidupan sehari-hari yang muncul sebelum usia 18 tahun.6 Adapun klasifikasi intelegensi dalam mental retardasi menurut Skala Binet yaitu: mild mental retardation dengan IQ 60-69, moderate mental retardation dengan IQ 50-59, severe mental retardation dengan IQ 40-49 dan profound mental retardation dengan IQ di bawah 407.

Namun sayangnya skrining neonatal untuk hipotiroid tersebut belum umum dilakukan di Indonesia.8,9 Deliana dalam penelitiannya pada 8 kasus anak penderita hipotiroid kongenital yang melakukan pemeriksaan intelegensi, menemukan 5 anak memiliki Intelligence Quotient (IQ) di bawah 69 (kategori mental retardasi), 2 anak dengan IQ antara 70-79 (borderline), dan 1 anak memiliki IQ antara 90-109 (rata-rata) 10.

Dalam kaitannya dengan emosi dan perilaku, Alloy, Riskind dan Manos menyatakan kondisi hormon mempengaruhi respon emosional individu. Hormon tiroid yang rendah dan berlangsung kronis dapat menyebabkan munculnya gejala kecemasan, mudah terganggu (irritability), gejala depresi, kelelahan (fatigue) dan sebagainya.11

Santrock menyatakan emosi seringkali disamaartikan dengan perasaan atau efek yang melibatkan gabungan antara keterbangkitan fisik (physical arousal) dan perilaku nyata (overt behavior).6 Watson dan Clark mengemukakan bahwa emosi memiliki tiga komponen sentral yaitu: ekspresi, perubahan fisiologis, dan diikuti oleh perasaan subjektif seperti takut, cemas, antusias atau lainnya. Dalam hal ini emosi mendorong orang untuk berperilaku dengan cara tertentu seperti gembira membuat orang merasa relaks, marah membuat orang mengancam atau menyerang dan seterusnya. Oleh karena emosi mendorong beberapa tindakan dan berperan sebagai mata rantai motivasi antara pengalaman dan perilaku.12

Ada berbagai teori tentang emosi, salah satu diantaranya adalah Cannon-Bard Theory yang menyatakan bahwa bagian otak yang disebut sebagai thalamus berperan sebagai

Page 21: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Elvi Andriani Yusuf dkk. Masalah Emosi dan Perilaku…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 15

kunci dalam emosi. Reaksi fisik muncul bersamaan dengan perasaan emosi. Teori ini kemudian disempurnakan oleh Papez yang menekankan peran hipotalamus dalam meningkatkan physical arousal sementara sistem limbik melibatkan pengalaman subjektif dari emosi. Dalam hal ini emosi mengarahkan individu untuk berperilaku tertentu. Sebagai contoh kesedihan membuat orang berperilaku menarik diri, kemarahan membuat orang mengancam, dan seterusnya.12

Kemampuan untuk mengontrol emosi berkembang sesuai dimensi perkembangan. Dalam melihat trend perkembangan regulasi emosi ini, perlu diperhatikan bahwa ada variasi individual yang luas dalam kemampuan anak meregulasi emosinya. Anak dan remaja yang memiliki masalah seringkali mengalami kesulitan dalam mengontrol emosinya.6

Rovet dan Erlich mengatakan masalah perilaku pada anak hipotiroid kongenital terdapat pada keluhan somatik, masalah atensi, kecemasan, dan depresi.4 Selain itu hipotiroid kongenital juga berhubungan dengan simtom depresif dan social withdrawal. Berdasarkan hasil penilaian guru, anak hipotiroid kongenital cenderung mengalami permasalahan belajar di sekolah, masalah motivasi, masalah perhatian dan lebih impulsif serta hiperaktif.3

Peneliti lainnya, Simons, Fuggle, Grant & Smith menyatakan pada anak hipotiroid kongenital terdapat hambatan emosional seperti masalah perilaku sosial, perilaku menyendiri (solitary behavior), perilaku tidak menyenangkan (miserable behavior), dan juga muncul masalah perilaku yang berkaitan dengan perhatian.5

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hipotiroid kongenital selain berpengaruh terhadap perkembangan intelektual, fisik dan motorik anak juga dapat menyebabkan timbulnya masalah emosi dan perilaku pada anak. Beberapa masalah emosi dan perilaku yang dialami anak penderita hipotiroid, yaitu: 1. Kecemasan yaitu rasa tegang, takut dan

khawatir akan sesuatu yang mengancam dirinya.

2. Mudah terganggu (irritability) yaitu perasaan mudah terganggu akan permasalahan kecil yang terjadi.

3. Depresi yaitu suasana hati yang diwarnai dengan perasaan tertekan, sedih dan tidak bahagia, kehilangan gairah serta kurang berharga.

4. Masalah perilaku sosial yaitu: perilaku yang kurang sesuai dengan tuntutan sosial dan kekurangmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

5. Fatique yaitu perasaan lelah yang berlebihan meskipun tidak melakukan aktivitas yang membutuhkan energi.

6. Social Withdrawal yaitu: perilaku menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosial.

7. Keluhan Somatis yaitu keluhan fisik seperti sering pusing, mual, muntah, kram/sakit perut, mudah lelah, bermasalah dengan kulit

8. Masalah atensi yaitu kekurangmampuan untuk memusatkan perhatian yang mencakup kurang konsentrasi, tidak dapat duduk tenang, terus menerus bergerak, gelisah, dan impulsif.

9. Perilaku solitary yaitu perilaku yang suka menyendiri.

10. Perilaku yang tidak menyenangkan yaitu perilaku yang menimbulkan rasa tidak senang dan terganggu pada orang lain. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan

untuk memperoleh gambaran masalah emosi dan perilaku pada anak penderita hipotiroid kongenital. BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian nantinya dideskripsikan untuk menjawab pertanyaan permasalahan yang diteliti. Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan holistik agar diperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti serta menampilkan kedalaman dan detail karena fokusnya pada penyelidikan mendalam pada sejumlah kasus kecil. Instrumen Penelitian

Selain menggunakan metode observasi dan wawancara, instrumen pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala yaitu: CBCL/4-18 dan AAMD Adaptive Behavior Scale bagian II.

Page 22: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 16

1. Child Behavior Check List (CBCL/4-18) Child behavior Check List atau CBCL/4-18 adalah alat yang diciptakan Achenbach untuk mengukur serta mengindentifikasi kompetensi (competence scales) dan masalah emosi serta perilaku anak (problem scales) dari sudut pandang orang tua.13 Penelitian ini menitikberatkan pada problem scales yang mengidentifikasi masalah emosi dan perilaku anak yang terdiri dari: - Internalizing yaitu masalah emosi dan

perilaku yang mengarah ke dalam, yang terdiri dari: withdrawn, somatic complain, dan anxious/depressed.

- Externalizing yaitu masalah emosi dan perilaku yang mengarah ke luar, yang terdiri dari delinquent behavior dan aggressive behavior

- Hal yang merupakan diantaranya, yaitu social problems, thought problems, dan attention problems.

2. AAMD Adaptive Behavior Scale bagian II AAMD-Adaptive Behavior Scale adalah rating tingkah laku bagi anak-anak yang mengalami mental retardasi, ketidakmampuan menyesuaikan diri secara emosional (emotionally disabled) dan hambatan dalam perkembangan (developmentally disabled). 14 Skala ini terdiri atas 2 bagian: a. Bagian I: disusun berdasarkan jalannya

perkembangan (developmental lines), dirancang untuk menilai kecakapan individu dalam 10 domain kegiatan sehari-hari.

b. Bagian II: dirancang untuk mengukur penyimpangan tingkah laku dalam hubungannya dengan kepribadian dan gangguan tingkah laku. Terdiri dari 14 domain tingkah laku yaitu tingkah laku yang merusak dan kekerasan, anti sosial, memberontak, tidak dapat dipercaya, menarik diri, tingkah laku stereotipis, dan sikap yang aneh, sikap yang tidak pantas dalam hubungan antar pribadi, kebiasaan bersuara yang tidak dapat diterima, kebiasaan eksentrik dan tidak dapat diterima, tingkah laku menyakiti diri sendiri, hiperaktif, penyimpangan seksual, kelainan psikologis dan penggunaan obat-obatan. Pada penelitian ini analisis tingkah laku lebih ditekankan pada AAMD Adaptive Behavior Scale Bagian II.

Subjek Penelitian Dengan fokus pada kedalaman dan proses,

penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus yang sedikit. Poerwandari menyebutkan bahwa tidak terdapat aturan yang pasti mengenai jumlah responden dalam studi kualitatif.15 Dalam penelitian ini jumlah subjek penelitian adalah tiga orang anak dengan diagnosa Hipotiroid Kongenital berdasarkan data medis. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan riwayat hipotiroid kongenital, selama masa kehamilan ketiga ibu dalam kondisi sehat, namun berbeda dalam hal penerimaan atas kehamilan. Ibu subjek pertama sehat tetapi stress, ibu subjek kedua sehat dan sangat menerima kehamilan, sementara ibu subjek ketiga sehat tetapi berusaha membuang kehamilan dan secara psikologis tidak siap menerima kelahiran. Selain itu subjek pertama memiliki riwayat keluarga hipotiroid kongenital sementara dua subjek lainnya tidak memiliki riwayat hipotiroid kongenital dalam keluarga.

Hipotiroid terdeteksi pada waktu yang berbeda pada ketiga subjek. Orang tua subjek pertama sudah mulai curiga ia berbeda dari anak lainnya sejak lahir disebabkan badannya yang kuning, lidah yang besar sehingga sulit minum dan badan yang menciut. Subjek juga belum mengalami proses berjalan dan berbicara sampai usia 1,3 tahun. Sedangkan orang tua subjek kedua sudah curiga akan kelainannya. Pada saat usia 9 bulan, leher dan kepalanya masih lemas serta belum ada perkembangan kemampuan fisik dan bahasa. Keadaan fisiknya juga menunjukkan gejala lidah tebal sehingga sulit minum dan ia sulit buang air besar dan baru dapat berjalan dan berbicara pada usia 7-8 tahun. Sementara itu orang tua subjek ketiga curiga tentang kelainan saat usia 1-2 tahun subjek belum bisa berbicara dan berjalan. Kondisi fisiknya menjadi perhatian orang lain karena bentuknya yang kerdil dan bengkak, lidah besar, kuning (pucat) dengan kepala yang membenjol. Perkembangan fisik subjek juga lambat, ia bisa berdiri dan merambat dipinggiran meja namun sampai usia 4 tahun 7 bulan belum bisa berjalan dan bicara.

Ketiga subjek memulai pengobatan dalam waktu yang berbeda yaitu subjek pertama pada usia 1 tahun 3 bulan, subjek kedua dan

Page 23: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Elvi Andriani Yusuf dkk. Masalah Emosi dan Perilaku…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 17

subjek ketiga pada usia 4 tahun 7 bulan. Subjek pertama langsung berobat medis, sedang subjek kedua dan subjek ketiga sampai usia tersebut masih berobat tradisional. Ada kepercayaan pada orang tua subjek kedua dan subjek ketiga bahwa anak mereka dimasuki mahluk halus sehingga harus dibawa ke orang tua (pintar) untuk ditimang, diurut atau diceploki telur wajahnya untuk menghilangkan mahluk halus. Ternyata hal ini tidak membawa hasil sehingga usia 4,7 tahun baru mulai pengobatan medis hipotiroid.

Pengobatan hipotiroid yang tidak dilakukan sejak dini berdampak bagi kemampuan intelektual. Subjek pertama tergolong mental retardasi ringan, subjek kedua tergolong mental retardasi berat dan subjek ketiga tergolong mental retardasi sedang.

Pada ketiga subjek juga terlihat bahwa ada perbedaan kondisi emosi dan perilaku sebelum dan sesudah pengobatan hipotiroid. Jika sebelum pengobatan ketiganya bersikap pasif, diam dan sulit mengekspresikan emosi maka sesudah berjalannya pengobatan perilaku mereka menjadi lebih agresif. Pada subjek pertama, ia menjadi sensitif dan mudah

terusik pada hal-hal kecil seperti jika orang berbicara dan melihat kearahnya maka ia merasa orang tersebut membicarakannya.

Masalah emosi dan perilaku yang ada pada ketiga subjek menunjukkan profil yang berbeda, subjek pertama cenderung memiliki masalah yang Internalizing sementara subjek kedua dan subjek ketiga cenderung Externalizing. Namun ada beberapa masalah emosi dan perilaku dialami oleh ketiga subjek yaitu masalah perilaku sosial, masalah atensi, agresif, dan reaksi buruk terhadap frustrasi. Masalah perilaku delinkuensi dialami oleh subjek kedua dan subjek ketiga; keluhan somatis hanya dialami oleh subjek pertama dan subjek ketiga; sedangkan perilaku yang tidak menyenangkan dialami subjek pertama (tertawa sendiri) dan subjek ketiga (memegang payudara orang lain). Untuk masalah perilaku mudah terganggu, menarik diri perilaku soliter hanya dialami oleh subjek pertama. Sementara untuk masalah kecemasan, depresi dan fatigue tidak ditemukan pada ketiga subjek dalam penelitian ini.

Tabel 1. Perbandingan keadaan umum antar-subjek

Keadaan Umum Subjek ke-1 Subjek ke-2 Subjek ke-3 Riwayat HK Diagnosa HK usia 1 tahun 3

bulan, ada riwayat keluarga HK

Diagnosa HK pada usia 4 tahun 7 bulan, tidak ada riwayat keluarga HK

Diagnosa HK usia 4 tahun 7 bulan, tidak ada riwayat HK

Fisik Sebelum pengobatan: tangisan serak, ling-kar kepala kecil, makroglosi, jalan 2.5 tahun kurang kokoh, bicara + 3 tahun -- belum jelas. Saat ini tubuh kurus, membungkuk, kepala menunduk.

Sebelum pengobatan lidah tebal, kulit kering, rambut jarang, bentuk tubuh pendek dan bengkak, berjalan 7.5 tahun, bicara 8 tahun tapi belum jelas. Saat ini postur tubuh sesuai dengan rata-rata Anak seusia, wajah tipikal

Sebelum pengobatan ubun-ubun kepala belum menutup, tubuh kerdil, lidah besar, perut buncit ber jalan dan 4 tahun 8 bulan, cadel. Saat ini postur tubuh kecil namun tampak cukup “normal”

Intelektual IQ 62 ( mild MR), sekolah SD Inpres

IQ 39 (severe MR), sekolah SD SLB

IQ 51 (moderate MR), tidak sekolah, mengaji

Page 24: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 18

Tabel 2. Perbandingan permasalahan emosi dan perilaku antar-subjek

Permasalahan emosi & perilaku

Subjek ke-I Subjek ke-2 Subjek ke-3

1. Kecemasan - - -

2. Mudah terganggu

Ada indikasi - -

3. Depresi - - -

4. Masalah Perilaku sosial

Ada indikasi Ada indikasi Ada indikasi

5. Fatique - - -

6. Menarik diri Ada indikasi - -

7.Keluhan Somatis Ada indikasi - Ada indikasi 8. Masalah atensi Ada indikasi Ada indikasi Ada indikasi

9. Perilaku soliter Ada indikasi - -

10. Perilaku tidak menyenangkan

Ada indikasi Ada indikasi -

Permasalahan emosi & perilaku lain

Subjek ke-1 Subjek ke-2 Subjek ke-3

1. Delinkuensi - Ada indikasi Ada indikasi

2. Agresif Ada indikasi Ada indikasi Ada indikasi

3. Menyakiti diri sendiri

- Ada indikasi -

4. Reaksi buruk terhadap frustrasi

Ada indikasi Ada indikasi Ada indikasi

DISKUSI

Ada beberapa hal yang didiskusikan dalam penelitian ini yaitu riwayat hipotiroid, kondisi fisik, intelektual, masalah emosi, dan perilaku anak hipotiroid kongenital dalam kaitannya dengan teori serta temuan adanya permasalahan emosi dan perilaku lain pada ketiga subjek penderita hipotiroid kongenital.

Dalam hal riwayat hipotiroid, ketiga subjek didiagnosa menderita hipotiroid dan mendapatkan pengobatan pada usia yang berbeda. Namun persamaannya adalah bahwa ketiganya mendapatkan pengobatan sesudah di atas usia 6 bulan sehingga berpengaruh terhadap kondisi kecerdasannya, yaitu mengalami mental retardasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan para ahli seperti La Franchi, Simon et.al dan Rovet & Erlich bahwa pengobatan yang dilakukan terhadap anak di atas usia 6 bulan dapat menyebabkan mental retardasi.3,5,4 Subjek pertama yang memulai pengobatan pada usia 1 tahun 3 bulan menderita mild mental retardation, subjek kedua yang memulai pengobatan pada usia 4 tahun 7 bulan

mengalami severe mental retardation, sedangkan subjek kedua yang memulai pengobatan pada usia yang sama dengan subjek ketiga mengalami moderate mental retardation. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Deliana terhadap pasien anak hipotiroid kongenital di Jakarta yang menemukan lebih banyak anak yang menderita mental retardasi dari pada berintelegensi rata-rata (5 dari 8 anak menderita mental retardasi atau + 60 %).10

Dalam kaitannya dengan masalah emosi dan perilaku terlihat bahwa subjek pertama yang mengalami mental retardasi ringan memiliki banyak persamaan masalah emosi dan perilaku seperti yang dikemukakan para ahli.11,4,3,5 Ia mengalami 7 dari 10 masalah emosi dan perilaku yaitu mudah terganggu (2), masalah perilaku sosial (4), Internalizing problem: menarik diri (6) dan keluhan somatis (7), juga masalah atensi (8), perilaku soliter (9) dan perilaku tidak menyenangkan (10). Hal ini berkaitan dengan penelitian yang mereka lakukan di negara maju yang sudah menerapkan skrining neonatal untuk

Page 25: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Elvi Andriani Yusuf dkk. Masalah Emosi dan Perilaku…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 19

hipotiroid sehingga subjek penelitian mereka umumnya adalah anak hipotiroid kongenital yang memiliki intelegensi sedikit di bawah normal sampai dengan normal yang lebih mirip dengan kondisi subjek pertama.

Selanjutnya terlihat ada perubahan perilaku anak sebelum dan setelah pengobatan hipotiroid berlangsung. Perilaku yang awalnya pasif, diam, dan sulit berekpresi sesudah diobati berubah menjadi aktif, mudah marah, agresif, dan harus diikuti keinginannya. Menurut Simons et.al bahwa meskipun dalam penelitian mereka tidak ditemukan adanya peningkatan perilaku agresif dan conduct problem.5 Namun dari penelitian yang dilakukan oleh Rovert & Erlich diketahui bahwa pengobatan hipotiroid dosis moderate hingga tinggi akan lebih meningkatkan resiko timbulnya permasalahan tersebut pada anak.4 Ketiga subjek pada penelitian ini mengalami permasalahan perilaku agresif selama menjalani pengobatan, yaitu mudah marah, dan cenderung menyerang secara fisik dalam melampiaskan kemarahannya. Pada subjek kedua dan subjek ketiga juga timbul kecenderungan perilaku delinkuen (conduct problem). Selain itu hal ini juga dapat berkaitan dengan tempramen anak. Menurut Tubman & Winkle, tempramen anak yang sulit seperti lack of control berhubungan dengan permasalahan perilaku eksternal seperti delinkuensi.6 Sedangkan menurut Jusiene dan Kucinskas hal ini berkaitan dengan perilaku orang tua yang cenderung selalu mengikuti keinginan (indulgent) anak yang sakit yang menyebabkan tidak adanya feedback terhadap perilaku yang benar yang menyebabkan anak kurang memiliki ketrampilan sosial.2

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan awal dimulainya terapi, ternyata pada masyarakat masih ada kepercayaan atau keyakinan bahwa penyakit itu disebabkan oleh mahluk halus. Oleh karena itu jalan ke luar yang diambil oleh kedua orang tua subjek adalah dengan “berobat kampung” bukan pengobatan medis. Menurut teori ekologi Brofenbrenner, pengaruh biologis dan psikologis pada perkembangan anak bergantung pada lima sistem lingkungan yang salah satu diantaranya adalah macrosystem yang mencakup lingkungan budaya di mana individu hidup.16,6 Budaya mengacu pada pola perilaku, kepercayaan yang ada pada lingkungan

tersebut dari generasi ke generasi. Dalam kaitannya dengan hipotiroid kongenital, konteks lingkungan macrosystem yang berisi kepercayaan bahwa penyakit disebabkan oleh mahluk halus atau kesalahan yang diperbuat mempengaruhi perilaku orang tua dalam mencari solusi penyakit. Orang tua membawa subjek berobat tradisional selama beberapa tahun, setelah tidak menunjukkan hasil yang diharapkan baru subjek dibawa berobat medis. Hal ini tentunya mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis subjek. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1. Pada anak penderita hipotiroid kongenital

terdapat beberapa masalah emosi dan perilaku yaitu masalah perilaku sosial, masalah atensi, perilaku agresif serta reaksi buruk terhadap frustrasi.

2. Terdapat perbedaan yang nyata dari kondisi emosi dan perilaku anak hipotiroid kongenital sebelum menjalani pengobatan dan sesudah menjalani proses pengobatan. Sebelum menjalani pengobatan subjek cenderung diam, pasif dan kurang mampu mengekspresikan emosinya tetapi sesudah pengobatan subjek menjadi aktif, mudah marah dan lebih agresif.

3. Terdapat masalah emosi dan perilaku yang bervariasi pada ketiga subjek.

SARAN

Beberapa saran berkaitan dengan penelitian ini, yaitu: 1. Melakukan screening test hipotiroid segera

setelah kelahiran bayi. Hal ini bermanfaat agar bayi dapat diterapi sejak dini, sebelum usia tiga bulan sehingga dapat mengurangi dampak buruk perkembangan anak.

2. Selama ini hanya pemeriksaan medis yang rutin dilakukan pada anak penderita hipotiroid kongenital, sedangkan dari hasil penelitian terlihat adanya efek psikologis masalah emosi dan perilaku pada anak penderita hipotiroid kongenital. Oleh sebab itu, disarankan agar dilakukan pemeriksaan dan penanganan psikologis secara berkala agar perkembangan psikologis anak dapat terpantau dan berkembang secara lebih maksimal.

Page 26: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 20

DAFTAR PUSTAKA 1. Semiardji, G., 2003. Penyakit Kelenjar

Tiroid. Gejala, diagnosis dan pengobatan. Balai Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

2. Jusiene, R & Kuncikas., 2004. Psychological Adjustment of Children with Congenital hypothyroidism and phenylketoburia as related to parental psychological adjustment. www.Medicina.kmu.lt/0407/ 0407-10e-pdf.

3. Gillberg, C., 1995. Clinical Child Neuropsychiatry. Cambriage University Press.

4. Rovet, J.P., & Erlich, R.M., 2000. Psychoeducational Outcome in Children with Early Treated Congenital Hypothyroidism. Pediatric. Vol. 105. Pp. 515-522.

5. Simon, F.W., Fuggle, P.W, & Grant, D.B., 1997. Educational Progress, Behavior, and Motor skills at 10 years in Early treated Congenital Hypothyroidism. Archives of disease in childhood. ADC on Line.

6. Santrock, J.W., 2002. A Topical Approach to Life Span Development. International Edition. Allyn & Bacon Inc.

7. American Psychiatric Assosiation, 2000. Diagnostic and statistical Manual of Mental Disorder-revised (5th ed.). Washington, DC: Author.

8. Siregar, C. D., 2001. Hipotiroidisme Bawaan. Dexa Media.

9. Pulungan, A., B., 2003. Hipotiroid Kongenital. Buletin IDAI. No. 31. Thn XXIII.

10. Deliana, M., 2003. Hipotiroidisme Kongenital di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1992-2002. Sari Pediatri. Vol.5, No.2 h.79-84.

11. Alloy, L.B., Riskind, J.H., Manaos, M.J., 1999. Abnormal Psychology. Thirteenth Edition. USA: Harcourt College Publisher

12. Wortman, C., Loftus, E., & Weaver, C., 1999. Psychology. Fifth Edition. Mc. Graw Hill College.

13. Achenbach, T.M., 1991. Manual for the Child Behavior Checklist/4-18 and 1991 profile. Department of Psychiatry University of Vermont.

14. Hadis, F.A., 1983. Penelitian Menggunakan AAMD Adaptive Behavior Scale di Indonesia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

15. Poerwandari, K., 2001. Pendekatan Kualitatif. LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

16. Mash, E.J, & Wolfe, D.A., 1999. Abnormal Child Psychology. Brooks/Cole Wadsworth. International Thompson Publishing Company.

Page 27: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 21

Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP H. Adam Malik, Medan

Farhat

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala, dan Leher Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik, Medan

adalah studi kasus cross sectional dan bersifat deskriptif. Pada penelitian ini dari 256 penderita yang didiagnosis dengan sinusitis maksila di poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan didapati jumlah penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas sebanyak 35 penderita dengan insiden didapat sebesar 13,67%. Perlu kecurigaan akan adanya penyakit sinusitis maksila yang berasal dari gigi rahang atas bila dijumpai penderita dengan keluhan utama hidung berbau, dari rontgen foto polos sinus maksila didapati sinusitis maksila pada satu sisi saja (unilateral) dengan gambaran perselubungan, dan terdapatnya fokal infeksi pada gigi molar pertama dan premolar kedua. Kata kunci: sinusitis, infeksi gigi, rontgen, fokal infeksi Abstract: Sinusitis is the disease with multifactorial etiology. One of them is dental infection. The aim of this study was to determine the role of upper dental infection in the incidence of maxillary sinusitis at RSUP H. Adam Malik Medan. It has never been reported before at our ENT Department about maxillary sinusitis that caused by upper dental infection. The study has been done by cross sectional case study with descriptive model. In this study 256 patients was diagnosed with maxillary sinusitis at ENT clinic, we found 35 patients of maxillary sinusitis with upper dental infection, and the incidence was 13,67%. We must aware of maxillary sinusitis caused by upper dental infection if we found the patient complaining of nasal fetor, unilateral maxillary sinusitis with opacity from sinus rontgen, and focal infection at the first upper molar and second upper premolar. Keywords: sinusitis, dental infection, rontgen, focal infection PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan penyakit dengan persentase yang signifikan di dalam populasi dan dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang.1 Sinusitis adalah penyakit yang multifaktorial dan telah menjadi penyakit nomor satu di Amerika, dan jutaan dolar dihabiskan untuk mengobatan penyakit ini.2

Penyebab sinusitis akut ialah (1) rinitis akut (2) infeksi faring, seperti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut (3) infeksi gigi rahang atas P1, P2 serta M1,M2,M3 (dentogen) (4) berenang dan menyelam (5) trauma, dapat menyebabkan perdarahan

mukosa sinus paranasal (6) barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa.3

Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas dan sering terlihat pada pemeriksaan radiologi oral dan fasial.4 Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis, seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus.5

Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248 pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan yang datang pada tahun 1996.6

Page 28: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 22

Di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan belum ada dilaporkan data mengenai sinusitis maksila yang disebabkan infeksi gigi rahang atas.

Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Kejadian sinusitis ini dipermudah oleh adanya faktor-faktor predisposisi baik lokal maupun sistemik, maka faktor-faktor tersebut perlu diteliti berapa besar pengaruhnya pada sinusitis maksila.

Dari keterangan di atas peneliti berkeinginan untuk mengetahui peran infeksi gigi rahang atas pada kejadian sinusitis maksila di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. METODE

Penelitian yang dilakukan ini adalah studi kasus cross sectional dan bersifat deskriptif dan dilakukan di Departemen Ilmu KesehatanTelinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan selama 12 bulan yaitu bulan Januari sampai dengan Desember 2004.

Sampel adalah semua penderita baru dengan sinusitis maksila yang datang berobat ke poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: Penderita berumur ≥ 20 tahun, bersedia untuk dilakukan pemeriksan THT, Radiologis serta Gigi dan Mulut, penderita

kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan adanya kelainan gigi sebagai sumber infeksi. Kriteri ekslusinya adalah: di luar ketentuan inklusi, wanita hamil dan drop out dari penelitian.

Penentuan jumlah sampel diperhitungkan dengan memperhatikan proporsi penderita sinusitis maksila tipe dentogen kurang lebih 10% kasus dan dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu dan biaya.

Setelah di anamnesis, dilakukan pemeriksaan rutin THT dan dilakukan rontgen foto sinus paranasal, penderita yang di diagnosis dengan sinusitis maksila dilakukan pemeriksaan gigi rahang atas, dengan cara dirujuk ke Poliklinik Gigi dan Mulut untuk melihat apakah ada atau tidak tanda-tanda kelainan gigi yang dapat menyebabkan suatu sinusitis maksila tipe dentogen. Semua data yang terkumpul diolah dan disusun dalam bentuk tabel. HASIL

Pada penelitian ini dari 256 penderita yang didiagnosis dengan sinusitis maksila yang berobat ke Poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan selama bulan Januari sampai dengan Desember 2004, didapatkan 35 penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas yang terdiri dari 9 laki-laki dan 26 perempuan yang memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam penelitian ini dengan hasil seperti pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin

Jenis Kelamin Kelompok Umur (Thn) Laki-laki % Perempuan %

Jumlah

Persen (%)

20 – 29 4 11,43 7 20,00 11 31,42 30 – 39 1 2,86 11 31,42 12 34,29 40 – 49 4 11,43 4 11,43 8 22,86 50 – 59 0 0,00 3 8,57 3 8,57

> 60 0 0,00 1 2,86 1 2,86 Total 9 25,72 26 74,28 35 100,00

Tabel 2. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan keluhan utama

Keluhan Utama Jumlah Persen (%) Hidung tumpat 3 8,57 Hidung berbau 22 62,85 Sakit daerah pipi/hidung 8 22,86 Hidung berair 2 5,72

Total 35 100,00

Page 29: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Farhat Peran Infeksi Gigi Rahang…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 23

Tabel 3. Distribusi rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan sisi yang terkena

Jenis Kelamin Sinusitis Maksila Laki-laki % Perempuan %

Jumlah Persen (%)

Bilateral 2 5,73 7 20,00 9 25,71 Kanan 4 11,43 12 34,28 16 45,71 Kiri 3 8,56 7 20,00 10 28,58 Total 9 25,72 26 74,28 35 100,00

Tabel 4. Distribusi gambaran rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

Gambaran Foto Polos Sinus Maksila Jumlah Persen (%) Penebalan mukosa 8 22,86 Perselubungan 21 60,00 Air - fluid level 6 17,14

Total 35 100,00 Tabel 5. Distribusi penyakit gigi pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

Nama penyakit Jumlah Persen ( % ) Abses Apikal 25 71,43 Gingivitis 7 20,00 Granuloma Periapikal 1 2,86 Periodontitis 12 34,29 Kista Dentigerous 1 2,86 Fistula Oroantral 3 8,57

Keterangan: satu penderita bisa didiagnosis dengan > 1 macam penyakit. Tabel 6. Distribusi jenis gigi yang terkena pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

Jenis gigi Kanan Kiri Jumlah Persen ( % ) Insisivus 1 0 0 0 0,00 Insisivus 2 0 0 0 0,00 Caninus 2 1 3 8,57 Premolar 1 6 1 7 20,00 Premolar 2 9 8 17 48,57 Molar 1 16 12 28 80,00 Molar 2 10 4 14 40,00 Molar 3 3 2 5 14,29

Keterangan: gigi yang terkena pada penderita bisa > 1 jenis gigi.

Dari Tabel 1 didapat bahwa persentase tertinggi penderita sinusitis maksila terdapat pada kelompok umur 30 - 39 tahun sebanyak 12 penderita (34,29%).

Dari Tabel 2 terlihat bahwa keluhan utama terbanyak pada penderita sinusisitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah hidung berbau sebanyak 22 penderita (62,85%) diikuti oleh keluhan sakit pada daerah pipi/hidung sebanyak 8 penderita (22,86%).

Dari Tabel 3 terlihat bahwa dari hasil rontgen foto polos sinus paranasal, didapati sinus maksila dengan infeksi gigi rahang atas

yang terbanyak terkena adalah sebelah sisi saja (unilateral).

Dari Tabel 4 terlihat bahwa gambaran rontgen foto polos sinus maksila yang paling banyak adalah perselubungan sebanyak 21 kasus (60%).

Dari Tabel 5 didapat bahwa penyakit gigi yang terbanyak pada penelitian ini adalah abses apikal sebanyak 25 penderita (71,43%).

Dari Tabel 6 terlihat bahwa jenis gigi yang terbanyak terkena pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah gigi molar pertama sebanyak 28 penderita

Page 30: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 24

(80%) dan diikuti oleh gigi premolar kedua sebanyak 17 penderita (48,57%). PEMBAHASAN

Umur penderita yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah di atas atau sama dengan 20 tahun. Pemilihan batas bawah umur ini berdasarkan pertimbangan bahwa pada usia 20 tahun atau diatasnya, sinus maksila sudah dianggap maksimal dan tidak berkembang lagi. Banyak peneliti memperhitungkan batas umur ini, misalnya pada penelitian Vogan et al (Pennsylvenia, 2000) mengambil sampel di atas umur 18 tahun. Sedangkan Soedarmi dan Islam (Semarang, 1999) dan penelitian Primartono dan Suprihati (Semarang, 2003) mengambil sampel di atas umur 17 tahun.7,8,9

Pertimbangan lainnya adalah berdasarkan pertumbuhan gigi-geligi dianggap telah tumbuh permanen setelah tumbuhnya gigi permanen molar ketiga. Proops (Inggris, 1997) menyatakan bahwa gigi telah tumbuh lengkap pada usia 18 - 21 tahun.10

Pada penelitian ini pemeriksaan radiologis dilakukan di Departemen/Instalasi Radiologi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan dibacakan oleh hanya satu orang Radiologist. Hal ini dilakukan untuk menghindari bias bila dilakukan oleh lebih dari satu orang pemeriksa. Pada penelitian-penelitian lain pun dilakukan hal seperti ini, misalnya yang dilakukan oleh Waspodo (1986) di Jakarta, pemeriksaan dan pembacaan hasil radiologis juga dibacakan oleh satu orang Radiologist.11

Hal yang sama juga dilakukan pada penelitian ini. Untuk pemeriksaan gigi, foto gigi, interpretasi foto dan penyakit gigi penderita dilakukan oleh satu orang dokter gigi di SMF Gigi dan Mulut RSUP H. Adam Malik Medan.

Dari penelitian yang dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan ini didapat insiden sebesar 13,67% (35/256).

Tampaknya hasil yang didapat oleh peneliti-peneliti sebelumnya tidak jauh berbeda dari yang didapat dari hasil penelitian ini. Seperti yang didapat oleh Groves et al (1985) di Inggris menyatakan sinusitis maksila adalah infeksi sinus yang terbanyak terjadi. Sumber dari infeksi dapat berasal dari nasal (90%) atau gigi (10%).12 Wald (1990) di Amerika mendapatkan insiden pada orang

dewasa antara 10 – 15% dari seluruh kasus sinusitis.13

Mangain Hasibuan (1992) dari Medan melaporkan sejak bulan Oktober 1991 sampai dengan bulan Maret 1992 dijumpai 25 penderita sinusitis maksila tipe dentogen (8,03%) dari 311 penderita sinusitis maksila yang datang berobat ke bagian THT RSU. Dr. Pirngadi Medan.14

Tetapi insiden ini berbeda dengan yang didapatkan Karma et al (1979) di Amerika yang menemukan sinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh gigi sebanyak 40,6% kasus.15 Lindah et al (1982) dari hasil penelitiannya pada penderita sinusitis juga mendapati hasil yang tinggi yaitu 47% dari sinusitis disebabkan oleh infeksi gigi.16 Menurut pendapat penulis, hal ini dimungkinkan oleh karena pada waktu itu pemakaian antibiotik belum begitu digunakan secara luas.

Dari data yang diperoleh pada Tabel 1 terlihat bahwa umur penderita yang terbanyak pada penderita sinusitis dengan infeksi gigi rahang atas di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan adalah 30 – 39 tahun sebanyak 12 penderita (34,29%).

Penelitian tentang gambaran sinusitis maksila dengan faktor predisposisi infeksi gigi rahang atas (dentogen) tidak banyak yang telah dilaporkan. Pada penelitiannya Mangain Hasibuan (Medan, 1992) mendapatkan dari 25 penderita sinusitis yang ditelitinya rata-rata umur yang terbanyak adalah 20 – 29 tahun (32%).14 Yoshiura et al (Jepang, 1993) dari 68 penderita sinusitis yang ditelitinya rata-rata umur yang terbanyak adalah 46 tahun.17 Soedarmi dan Islam (Semarang, 1999) mendapatkan umur terbanyak 30 – 40 tahun.8 Nishimura and Iizuka (Jepang, 2001) mendapatkan rata-rata umur yang terbanyak adalah 41,7 tahun.18 Suzanne et al (New York, 2001) dari sampel dengan umur antara 21 – 80 tahun mendapatkan rata-rata umur yang terbanyak adalah 32 tahun.19

Berdasarkan data di atas dapat terlihat bahwa sinusitis maksila lebih banyak menyerang pada orang dewasa muda. Perbedaan umur oleh masing-masing peneliti lebih didasari oleh pengelompokan umur yang berbeda-beda pada masing-masing peneliti.

Jumlah yang terbanyak pada penelitian di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan ini adalah perempuan sebanyak 26 penderita (74,28%) dan laki-laki sebanyak 9 penderita (25,72%).

Page 31: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Farhat Peran Infeksi Gigi Rahang…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 25

Peneliti-peneliti lain seperti Mangain Hasibuan (Medan, 1992) yang meneliti tentang gambaran sinusitis maksila dengan faktor predisposisi infeksi gigi rahang atas (dentogen) mendapatkan dari 25 penderita yang diperiksanya terdapat 13 perempuan (52%) dan 12 laki-laki (48%).14 Yoshiura et al (Jepang, 1993) mendapatkan dari 68 penderita yang diperiksanya terdapat 36 perempuan (52,95%) dan 32 laki-laki (47,05%).17 Soedarmi dan Islam (Semarang,1999) mendapatkan 19 perempuan (47,50%) dan 21 laki-laki (52,50%).8 Suzanne et al (New York, 2001%) mendapatkan 14 kasus yang terdiri dari 10 perempuan (71,4%) dan 4 laki-laki (28,6%).19 Pada penelitiannya Nishimura and Iizuka (Jepang, 2001) mendapatkan dari 15 penderita sinusitis maksila dengan faktor predisposisi infeksi gigi rahang atas (dentogen) terdapat 5 perempuan (33,33%) dan 10 laki-laki (66,67%).18 Primartono dan Suprihati (Semarang, 2003) mendapatkan 70 penderita sinusitis yang terdiri dari 32 perempuan (45,7%) dan 38 laki-laki (54,3%).9

Dari Tabel 2 didapatkan keluhan terbanyak pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah hidung berbau sebanyak 22 penderita (62,85%), diikuti oleh keluhan sakit daerah pipi/hidung sebanyak 8 penderita (22,86%), hidung tumpat/tersumbat sebanyak 3 penderita (8,57%), dan hidung berair sebanyak 2 penderita (5,72%).

Pada penelitiannya Mangain Hasibuan (Medan, 1992) seperti juga beberapa penulis sinusitis maksila dentogen lainnya mendapatkan gejala yang paling banyak adalah hidung berbau.14

Hal yang sama juga dikatakan oleh Higler (Minnesota, 1994) dan Soedarmi dan Islam (Semarang, 1999) yang mendapatkan gejala yang paling banyak adalah hidung berbau. 8, 20

Penyakit gigi seperti abses apikal atau periodontal dapat menimbulkan gambaran bakteriologik yang didominasi oleh gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogen pus yang terkumpul kental kadang kaseus pada yang kronik dan hal ini akan memperberat/mengganggu drainase; terlebih bila meatus medius tertutup oleh udem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, hipertropi konka dan lain-lain.8

Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa dari rontgen foto polos sinus maksila dengan infeksi gigi rahang atas didapati bahwa sinusitis maksila pada sisi sebelah kanan

sebanyak 16 penderita (45,71%), sisi sebelah kiri sebanyak 10 penderita (28,58%) dan yang mengenai kedua sisi kanan dan kiri (bilateral) sebanyak 9 penderita (25,71%).

Bila kita klasifikasikan hasil ini menjadi dua bagian yaitu bilateral dan unilateral terlihat hasil yang mengenai unilateral sebanyak 26 penderita (74,29%) dan yang mengenai bilateral hanya sebanyak 9 penderita (25,71%).

Mangain Hasibuan (Medan, 1992) dalam penelitiannya mendapatkan gambaran sinusitis yang unilateral sebanyak 17 penderita (68%) dan bilateral sebanyak 8 penderita (32%).14 Yoshiura et al (Jepang, 1993) mendapatkan gambaran sinusitis yang unilateral sebanyak 80% dan bilateral sebanyak 20%.17 Jiannetto and Pratt (Virginia, 1995) mendapatkan gambaran sinusitis yang unilateral sebanyak 82,14% dan bilateral sebanyak 17,86%.21 Keterlibatan antrum unilateral (satu sisi) seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi, maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif, yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.22

Dari Tabel 4 terlihat bahwa gambaran rontgen foto polos sinus maksila yang terbanyak adalah perselubungan yaitu sebanyak 21 penderita (60%) diikuti oleh penebalan mukosa pada 8 penderita (22,86%) dan air–fluid level sebanyak 6 penderita (17,14%).

Hal yang sama didapatkan oleh peneliti sinusitis maksila yang disebabkan oleh faktor gigi lainnya. Yoshiura et al (Jepang, 1993) dan Suzanne et al (New York,2001) menyatakan gambaran radiologis yang terbanyak didapat adalah perselubungan.17, 19

Dari Tabel 5 terlihat bahwa penyakit gigi yang terbanyak menyebabkan sinusitis maksila adalah abses apikal (71,43%), diikuti oleh periodontitis (34,29%), gingivitis (20%), fistula oroantral (8,57%), kista dentigerous (2,86%) dan granuloma periapikal (2,86%).

Karma et al (1979) di Amerika menemukan sinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh periodontitis marginal dan granuloma periapikal merupakan penyebab terbanyak dari infeksi gigi tersebut.15

Page 32: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 26

Mangain Hasibuan (1992) di Medan mendapatkan kelainan gigi yang terbanyak yang menyebabkan sinusitis adalah gangren radiks sebanyak 13 penderita (52%).14

Becker et al (1994) dari Bonn - Jerman menyatakan granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab sinusitis maksila yang berasal dari gigi.23

Abrahams and Glassberg (1996) di Amerika mendapati dari populasi yang diteliti dengan penyakit periodontal didapatkan 100 dari 168 penderita (60%) mempunyai penyakit sinusitis. Pada populasi kontrol hanya 49 dari 168 penderita (29%) yang mempunyai penyakit sinusitis.24

Dengan pemeriksaan THT & mulut yang teliti terhadap 111 penderita dengan suspek sinusitis maksila, Lindah et al (1982) hanya mendapatkan 62 penderita (56%) yang ditegakkan sebagai sinusitis maksila, dari jumlah itu 29 penderita (47%) berhubungan dengan infeksi gigi, dengan penyebab terbanyak periodontitis atau granuloma apikal.16

Nishimura dan Iizuka (Jepang, 2001) mendapatkan penyakit terbanyak penyebab sinusitis yang berasal dari gigi adalah marginal periodontitis sebanyak 11 penderita (73,33%) dan periodontitis apikal sebanyak 4 penderita (26,67%).18

Dari Tabel 6 berdasarkan lokasi gigi yang terbanyak menyebabkan sinusitis maksila adalah gigi molar pertama sebanyak 28 penderita (80%) dan diikuti oleh premolar kedua sebanyak 17 penderita (48,57%).

Mangain Hasibuan (1992) di Medan mendapatkan gigi yang terbanyak yang menyebabkan sinusitis adalah molar pertama sebanyak 15 penderita (42,9%), premolar kedua sebanyak 10 penderita (28,5%) dan premolar pertama sebanyak 8 penderita (22,9%).14

Hal ini juga didapati oleh Becker et al (1994) dari Bonn - Jerman yang juga menyatakan kedua gigi tersebut (molar pertama dan premolar kedua) sebagai penyebab terbanyak dari sinusitis maksila yang berasal dari gigi.23

Nishimura dan Iizuka (Jepang, 2001) mendapatkan penderita sinusitis maksila dentogen sebanyak 15 penderita yang disebabkan oleh gigi molar terdapat pada 12 penderita (80%) dan 3 penderita oleh karena gigi premolar (20%).18

Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran infeksi bakteri langsung dari akar gigi ke dalam sinus maksila dapat terjadi (Naclerio and Gungor, 2001).25

Sinusitis maksila dentogen adalah tumpukan nanah yang kental dan berbau yang berasal dari infeksi gigi atas insisivus kedua sampai dengan premolar kedua, seringkali dikeluhkan sampai berminggu-minggu/ berbulan-bulan tanpa komplikasi yang berarti.8

Dari hasil perhitungan resiko relatif yang dilakukan oleh Primartono dan Suprihati (Semarang, 2003) didapatkan bahwa infeksi gigi premolar atas mempunyai kemungkinan 12 kali lebih besar untuk terjadi sinusitis maksila kronik dibandingkan dengan yang tanpa infeksi gigi. 9 KESIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan ini didapat insiden sinusitis yang disebabkan oleh infeksi gigi rahang atas (dentogen) sebanyak 35 penderita (13,67%).

Umur penderita yang terbanyak pada penderita sinusitis yang disebabkan oleh infeksi gigi rahang atas (dentogen) adalah 30 – 39 tahun sebanyak 12 penderita (34,29%).

Jenis kelamin yang terbanyak pada penderita sinusitis yang disebabkan oleh infeksi gigi rahang atas (dentogen) adalah perempuan sebanyak 26 penderita (74,28%) dan laki-laki sebanyak 9 penderita (25,72%).

Keluhan utama terbanyak pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas (dentogen) adalah hidung berbau sebanyak 22 penderita (62,85%).

Dari rontgen foto polos sinus maksila dengan infeksi gigi rahang atas (dentogen) didapati yang terbanyak adalah sinusitis maksila pada satu sisi saja (unilateral) yaitu sebanyak 26 penderita (74,28%).

Gambaran rontgen foto polos sinus maksila dengan infeksi gigi rahang atas (dentogen) yang terbanyak adalah perselubungan yaitu sebanyak 21 penderita (60%).

Penyakit gigi yang terbanyak menyebabkan sinusitis maksila adalah abses apikal sebanyak 25 penderita (71,43%).

Page 33: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Farhat Peran Infeksi Gigi Rahang…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 27

Gigi yang terbanyak menyebabkan sinusitis maksila adalah gigi molar pertama sebanyak 28 penderita (80%) dan diikuti oleh premolar kedua sebanyak 17 penderita (48,57%).

SARAN

Perlu diperhatikan adanya faktor infeksi gigi rahang atas sebagai salah satu faktor predisposisi sinusitis maksila.

Perlu kecurigaan akan adanya penyakit sinusitis maksila yang berasal dari gigi rahang atas bila dijumpai penderita dengan keluhan utama hidung berbau, dari rontgen foto polos sinus maksila didapati sinusitis maksila pada satu sisi saja (unilateral) dengan gambaran perselubungan, dan terdapatnya fokal infeksi pada gigi molar pertama dan premolar kedua.

Untuk kesempurnaan penanganan sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas sebaiknya dilakukan pemeriksaan gigi dan rontgen gigi oleh dokter gigi. DAFTAR PUSTAKA 1. Sener B, Hascelik G, Onerci M, Tungkanat

F. Evaluation of the Microbiology of Chronic Sinusitis. J Laryngol Otol 1996; 110: 547-50.

2. Piccirillo JF, Thawley SE, Haiduk A, Kramper M, Wallace M, Hartman JM. Indications for Sinus Surgery: How Appropriate Are The Guidelines? Laryngoscope 1998; 108: 332-8.

3. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi Keempat. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2000; 121– 5.

4. Merry AJ. The Maxillary Antrum. In: Oral Maxillofacial Surgery. An Objective-Based Textbook. Churchill Livingstone. Edinburg 2001; 211-23.

5. Marks SC, Loechel WA. Anatomy of The Nose and Sinuses. In: Nasal and Sinus Surgery. WB Saunders Company. Philadelphia 2000; 3-30.

6. Dharmabakti US. Penatalaksanaan Baku Sinusitis. Dalam: Kumpulan Abstrak Kongres Nasional XIII. PERHATI KL. Bali 14-16 Oktober 2003; 57.

7. Vogan JC, Bolger WE, Keyes AS. Endoscopically Guided Sinonasal Cultures: A Direct Comparison with Maxillary Sinus Aspirate Cultures. Otolaryngol Head Neck Surg 2000; 122 (3): 370-3.

8. Soedarmi M, Islam S. Pola Kuman Sinusitis Maksilaris Odontogenik dan Efektivitas Pemakaian Antibiotika. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional XII. PERHATI KL. Semarang 28-30 Oktober 1999; 469-85.

9. Primartono, Suprihati. Hubungan Faktor - Faktor Predisposisi dengan Sinusitis Maksila Kronik. Dalam: Kumpulan Abstrak Kongres Nasional XIII. PERHATI KL. Bali 14-16 Oktober 2003; 219.

10. Proops DW. The Mouth and Related Faciomaxillary Structures. In: Scott-Brown’s Otolaryngology. Vol 1. Basic Sciences. Sixth Edition. Butterworth-Heinemann. Oxford 1997; 1/8/1-23.

11. Waspodo D. Radang Kronik Sinus Paranasal pada Penduduk Sekitar Jakarta (Jabotabek). Tinjauan Secara Klinis dan Radiologi. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional VIII PERHATI. Ujung Pandang 6 – 9 Juli 1986; 589-95.

12. Groves J, Gray RF, Downton D. Infection of the Individual Paranasal Sinuses. In: A Synopsis of Otolaryngology. Fourth Edition. John Wright & Sons Ltd. Bristol 1985; 203-15.

13. Wald ER. Rhinitis and Acute and Chronic Sinusitis. In: Pediactric Otolaryngology. Volume One. Second Edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia 1990; 729-44.

14. Mangain Hasibuan. Kekerapan Sinusitis Maksila Tipe Dentogen di Bagian THT FK USU/UPF RSU Dr. Pirngadi Medan. Tesis. Bagian THT FK USU Medan 1992.

15. Newburg J, Hengerer AS. Benign Diseases of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Text Book of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. Elsevier Science Publishing Co. Inc. New York 1989; 290-303.

16. Lindahl I, Melen I, Ekedahl C, Holm SE. Chronic Maxillary Sinusitis. Differential Diagnosis and Genesis. Acta Otolarygngol 1982; 93 (1-2): 147-50.

Page 34: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 28

17. Yoshiura K, et al. Analysis of maxillary sinusitis using computed tomography. Dentomaxillofacial Radiology 1993; 22 (2): 86-92.

18. Nishimura T, Iuzuka T. Diagnostic Value of SPECT Bone Scintigraphy for Odontogenic Maxillary Sinusitis. Clin Nucl Med 2001; 26 (6): 509-14.

19. Suzanne K, Galli D, Lebowitz R, Giacchi RJ, Glickman R, Jacobs J. Chronic Sinusitis Complicating Sinus Lift Surgery. Am J. Rhinol 2001; 15: 181-6.

20. Hilger PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta 1994; 240 – 60.

21. Jiannetto DF, Pratt MF. Correlation Between Preoperative Computed Tomography and Operative Findings in Functional Endoscopic Sinus Surgery. Laryngoscope 1995; 105: 924-7.

22. Pedersen GW. Sinusitis Maksilaris. Dalam: Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (Oral Surgery). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta 1996; 266-77.

23. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Clinical Aspects of Diseases of the Nose. In: Ear, Nose and Throat Diseases. A Pocket Reference. Thieme Medical Publisher, Inc. New York 1994; 224-7.

24. Abrahams JJ, Glassberg RM. Dental Disease: A Frequent Unrecognized Cause of Maxillary Sinus Abnormalities? AJR Am J Roentgenol 1999; 166 (5): 1219-23.

25. Naclerio RM, Gungor A. Etiologic Factors in Inflammatory Sinus Disease. In: Diseases of the Sinuses. Diagnosis and Management. B. C. Decker Inc. London 2001; 47-53.

Page 35: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 29

Manfaat Berkumur dengan Larutan Ekstrak Siwak (Salvadora Persica)

Endarti*, Fauzia*, dan Erly Zuliana** * Departemen Farmasi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta

** Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

th subyects. 30 th subjects in the study group have to raise with extract siwak twice daily and 10 th subjects in the control group have to brush the teeth with convensional tooth brush withouth tooth paste for eight days. The plaque index, plaque pH and saliva pH were measured in the 1st, 4 th and 8 th day. It is concluded that siwak as mouthrinse is not effective to reduce the plaque index, but can effective in increasing the plaque pH and saliva pH. Keywords: extract siwak, oral hygiene PENDAHULUAN

Siwak sudah digunakan berabad–abad tahun yang lalu pada masa kekaisaran Yunani dan Romawi. Kemudian berkembang siwak semakin dikenal di wilayah Timur Tengah dan Amerika Selatan.1,2,3.

Penyakit yang sering terjadi di rongga mulut adalah karies dan periodentitis. Sebagai penyebabnya adalah plak bakteri baik sebagai pencetus maupun faktor yang memperparah kondisi penyakit dirongga mulut. 1,2

Penggunaan obat kumur adalah salah satu cara yang dianggap cukup berhasil dalam menjaga kebersihan rongga mulut. 4.5

Larutan ekstrak siwak berbeda dengan obat kumur lain karena ekstrak siwak tidak mengandung bahan kimia dan tidak mengan dung alkohol.6

Salah satu indikator untuk melihat status higiene mulut adalah dengan melihat indeks plak. Semakin rendah indeks plak berarti semakin baik status higiene mulut individu yang bersangkutan.

Adanya kandungan minyak esensial di dalam batang siwak dapat merangsang aliran saliva. Dengan adanya aliran saliva yang cepat ini, penurunan pH plak dapat dihambat, karena di dalam saliva ditemukan adanya bufer utama yaitu bikarbonat yang merupakan pertahanan efektif terhadap produksi asam dari bakteri kariogenik.7

Siwak mempunyai efek bakterisida terhadap beberapa bakteri yang ada di dalam plak, termasuk di antaranya bakteri penghasil asam. Sehingga metabolisme makanan oleh bakteri tersebut tidak terjadi, yang mengakibatkan produk asam tidak terbentuk, sehingga pH plak tidak mengalami penurunan.7

Page 36: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 30

Bikarbonat adalah sistem bufer yang terpenting di dalam saliva. Konsentrasi bikarbonat dalam saliva berbanding lurus dengan kecepatan sekresi saliva yang artinya semakin tinggi konsentrasi bikarbonat, semakin tinggi kapasitas bufernya yang mengakibatkan semakin tinggi pula pH saliva.8 Siwak, seperti telah diungkapkan di atas, mengandung minyak esensial yang berfungsi meningkatkan aliran saliva. Peningkatan aliran saliva ini akan meningkatkan aktivitas bufer saliva sehingga pH saliva juga akan meningkat.8

Plak gigi adalah lapisan berwarna putih kekuningan yang melekat pada permukaan gigi di bagian bukal, lingual, dan interproksimal gigi.

Indeks Plak (modifikasi Spolsky 1996; Joelimar 1997) adalah jumlah deposit bakteri pada empat permukaan gigi yaitu bukal atau fasial, mesial, lingual atau palatal, dan distal semua gigi yang ada.

HIPOTESIS 1. Berkumur dengan larutan ekstrak siwak

dua kali sehari dapat menghambat pembentukan plak supragingival.

2. Berkumur dengan larutan ekstrak siwak dua kali sehari dapat menurunkan indeks plak.

3. Berkumur dengan larutan ekstrak siwak dua kali sehari dapat meningkatkan pH plak.

4. Berkumur dengan larutan ekstrak siwak dua kali sehari dapat meningkatkan pH saliva.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan 40 orang sukarelawan yang bersedia dijadikan obyek dalam penelitian dan mencari siwak untuk ekstrak siwak. Siwak didapat dari Jedah dalam satu ikatan berasal dari satu pohon. Dari 40 orang sukarelawan dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: a. Kelompok yang berkumur 2 kali sehari

dengan larutan ekstrak siwak setelah makan pagi dan sebelum tidur malam tanpa menyikat gigi.

b. Kelompok kontrol yang menyikat gigi dengan sikat gigi konvensional tanpa pasta gigi.

Kriteria inklusi: - Dewasa muda (18-28 tahun). - Keadaan umum baik. - Bersedia mengisi informed consent. - Bersedia untuk tidak menyikat gigi

dengan sikat gigi konvensional yang digunakan bersama pasta gigi selama waktu penelitian bagi kelompok perlakuan dan bersedia hanya menyikat gigi dengan sikat gigi konvensional tanpa pasta gigi.

- Gigi anterior rahang atas dan rahang bawah teratur atau berjejal derajat ringan.

Kriteria eksklusi: - Memiliki kelainan sistemik (diabetes

melitus, penyakit jantung, dll). - Memiliki kelainan periodontal. - Menggunakan protesa atau alat

ortodonti. - Memiliki kebiasaan merokok. - Sedang memakai obat kumur.

- Pengukuran pH Plak

Derajat keasaman plak yang didapat dengan cara melarutkan 0,5 mg plak dari masing-masing individu ke dalam 5 ml aquades kemudian diukur dengan menggunakan alat pH meter.

- Pengukuran pH Saliva

Derajat keasaman saliva yang didapat dengan cara mengumpulkan saliva istirahat dari masing-masing individu hingga + 5 ml, kemudian diukur dengan menggunakan alat pH meter. - Pengukuran Indeks Plak (modifikasi

Spolsky 1996; Joelimar 1997) Skor 0 : Tidak ada plak Skor 1 : Plak tidak terlihat mata tapi

terambil oleh probe pada saat sondasi

Skor 2 : Plak terlihat mata Skor 3 : Jumlah plak banyak

Kemudian skor tersebut dijumlahkan

menjadi indeks plak individu yang bersangkutan. Nilai setiap individu bervariasi antara (0-3) x 4 permukaan x 32 gigi atau 0-384.

Skor 0 – 128 = kriteria rendah Skor 129 – 256 = kriteria sedang Skor 257 – 384 = kriteria tinggi

Page 37: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Endarti dkk. Manfaat Berkumur dengan Larutan Ekstrak Siwak…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 31

- Pembuatan Larutan Ekstrak Siwak Batang-batang siwak yang masih segar

dipotong-potong hingga halus. Kemudian dibiarkan dalam ruangan dengan suhu kamar selama dua hari. Setelah itu, timbang siwak yang sudah dihaluskan tadi sebanyak 10 gram dan rendam dalam aqua deionisasi selama 48 jam dengan temperatur 4oC, pisahkan dengan sentrifugasi selama 10 menit, ambil cairan supernatannya dan saring kembali dengan saringan 0,45 μm/saringan Whatman. Lalu buat konsentrasi 50%, artinya larutan tersebut diencerkan 2 kali. Tambahkan bahan anti jamur atau pengawet karena pemakaian larutan lebih dari 7 hari. Pengawet yang digunakan adalah methyl paraben, dengan konsentrasi 0,1-0,2%.5

PENELITIAN 1. Peserta dalam penelitian diberi penjelasan

terlebih dahulu mengenai kegiatan atau tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya selama penelitian. Apabila menyetujuinya maka dapat mengisi lembar persetujuan (informed consent) untuk kemudian mendapat perlakuan.

2. Pada masa penelitian, kelompok perlakuan tidak diperkenankan untuk menyikat gigi dengan sikat gigi konvensional selama 8 hari. Penelitian dilakukan pada 40 orang dibagi menjadi dua kelompok: a. Kelompok perlakuan yang berkumur 2

kali sehari dengan larutan ekstrak siwak. b. Kelompok kontrol yang menyikat gigi

dengan sikat gigi konvensional tanpa pasta gigi.

Kepada kelompok yang berkumur dengan

larutan ekstrak siwak diberi penjelasan untuk berkumur 2 kali sehari setelah makan pagi dan sebelum tidur malam. Setiap kali berkumur dilakukan selama 30 detik sebanyak 10 ml. Mula-mula, masukkan obat kumur sebanyak 5 ml ke dalam mulut, lalu dengan tekanan kuat, arahkan ke seluruh permukaan dan lekuk gigi selama kurang lebih 15 detik. Dilanjutkan dengan 5 ml obat kumur sisanya dengan cara yang sama.

Pengambilan data dilakukan pada hari pertama penelitian sebelum mulai berkumur dengan larutan ekstrak siwak, hari keempat, dan hari kedelapan untuk melihat perkembangan

indeks plak supragingival, pH plak supragingival, dan pH saliva.

Plak sebanyak + 0,5 mg diambil dan dimasukkan ke tabung plastik dengan menggunakan instrumen plastis, segera ditutup dan disimpan di dalam termos dengan dry ice. Lalu saliva dikumpulkan + 5 ml ke dalam tabung reaksi dan ditutup dengan wrap plastic. Selanjutnya sampel ini disimpan dalam lemari es hingga saat pengukuran. Pengambilan Data

Plak yang diperoleh dari masing-masing individu diletakkan di atas tabung plastik dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik hingga sebanyak 0,5 mg. Plak tersebut dilarutkan ke dalam 5 ml aquades. Kemudian dilakukan pengukuran nilai pH plak dengan menggunakan alat pH meter.

Pengukuran pH saliva dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel saliva dari masing-masing individu sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi dengan menggunakan corong. Saliva yang sudah terkumpul kemudian diukur dengan menggunakan alat pH meter. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh berupa data interval. Dilakukan penghitungan apakah distribusi data tersebut normal atau tidak. Pada data dengan sebaran normal dilakukan uji T, sedang pada data dengan sebaran tidak normal dilakukan uji Wilcoxon untuk analisis inter kelompok dan uji U-Mann Whitney untuk analisis antar kelompok. Penghitungan statistik dilakukan dengan derajat kepercayaan 95% dan dengan program SPSS. Alat dan Bahan Penelitian Bahan : Larutan ekstrak siwak dari batang

S.persica Betadine, alkohol, aquadest, dryes, Gloves, masker, kapas, wrap, plastic, tissue.

Alat : Timbangan analitik, pH meter, Gelas takar, tabung plastik, tabung reaksi, corong, kaca, sonde, kaca mulut, instrumen plastik.

HASIL PENELITIAN

Diperoleh sebanyak 40 orang sukarelawan yang dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu 30 orang dalam kelompok berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari dan 10

Page 38: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 32

orang dalam kelompok kontrol yang menyikat gigi 2 kali sehari tanpa pasta.

Data klinis yang didapat penelitian adalah indeks plak, pH plak dan pH saliva yang diperiksa pada hari pertama, keempat dan

kedelapan. Perbedaan data-data yang didapat dari kedua kelompok dapat dilihat pada Gambar 1,2,3 dan Tabel 1,2,3,4,5,6.

Gambar 1. Perbedaan rerata indeks plak pada hari pemeriksaan ke-1, ke-4, ke-8 pada kedua kelompok Tabel 1. Perbedaan rerata dan simpang baku indeks plak kelompok I pada setiap saat pengukuran

Kelompok Hari ke Mean + SD (p) 1 75,43 + 31,77 I 4 126,37 + 47,97 0,000*

4 126,37 + 47,97 I 8 129,37 + 43,23 0,709

1 75,43 + 31,77 I 8 129,37 + 43,23 0,000*

Keterangan: Kelompok I Berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari * Berbeda bermakna (p < 0,05). Tabel 2. Perbedaan rerata dan simpang baku indeks plak kelompok II pada setiap saat pengukuran

Kelompok Hari ke Mean + SD (p) 1 58,6 + 35,85 II 4 58,3 + 34,23 0,976*

4 58,3 + 34,23 II 8 59,6 + 29,66 0,867

1 58,6 + 35,85 II 8 59,6 + 29,66 0,906

Keterangan: Kelompok II Kontrol.

Gambar 2. Perbedaan rerata indeks plak pada hari pemeriksaan ke-1, ke-4, ke-8 pada kedua kelompok

Page 39: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Endarti dkk. Manfaat Berkumur dengan Larutan Ekstrak Siwak…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 33

Tabel 3. Perbedaan rerata dan simpang baku indeks plak kelompok I pada setiap saat pengukuran

Kelompok Hari ke Mean + SD (p) 1 6,32 + 0,40 I 4 7,12 + 0,23 0,000*

4 7,12 + 0,23 I 8 6,90 + 0,38 0,001*

1 6,32 + 0,40 I 8 6,90 + 0,38 0,000*

Keterangan: Kelompok I Berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari * Berbeda bermakna (p < 0,05). Tabel 4. Perbedaan rerata dan simpang baku indeks plak kelompok II pada setiap saat pengukuran

Kelompok Hari ke Mean + SD (p) 1 7,04 + 0,38 II 4 7,16 + 0,40 0,758

4 7,16 + 0,40 II 8 6,86 + 0,29 0,539

1 7,04 + 0,38 II 8 6,86 + 0,29 0,610

Keterangan: Kelompok II Kontrol.

6.46.66.8

77.27.47.6

Rer

ata

pH

sal

iva

1 4 8

Hari pemeriksaan

Berkumur

Kontrol

Gambar 3. Perbedaan rerata pH saliva pada hari pemeriksaan ke-1, ke-4, ke-8 pada kedua kelompok Tabel 5. Perbedaan rerata dan simpang baku indeks plak kelompok I pada setiap saat pengukuran

Kelompok Hari ke Mean + SD (p) 1 6,83 + 0,44 I 4 7,47 + 0,24 0,002*

4 7,47 + 0,24 I 8 7,56 + 0,26 0,006*

1 6,83 + 0,44 I 8 7,56 + 0,26 0,000*

Keterangan: Kelompok I Berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari * Berbeda bermakna (p < 0,05) Tabel 6. Perbedaan rerata dan simpang baku indeks plak kelompok II pada setiap saat pengukuran

Kelompok Hari ke Mean + SD (p) 1 7,46 + 0,38 II 4 7,57 + 0,53 0,438

4 7,57 + 0,53 II 8 7,38 + 0,33 0,074

1 7,46 + 0,38 II 8 7,38 + 0,33 0,386

Keterangan: Kelompok II: Kontrol.

Page 40: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 34

Dari Gambar 1, dapat dilihat adanya perbedaan rerata indeks plak pada kelompok yang berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari lebih tinggi daripada kelompok kontrol, baik pada pemeriksaan hari ke-1, ke-4, ke-8. Dengan uji T dapatkan bahwa perubahan rata-rata indeks plak kelompok I antara pemeriksaan hari ke-1 dan ke-4 serta antara hari ke-1 dan ke-8 tidak bermakna (p < 0,005) (Tabel 1). Tetapi dalam kelompok II ditemukan perubahan tidak bermakna dari indeks plak antara hari-hari pemeriksaan (p > 0,005) (Tabel 2).

Dari Gambar 2 menunjukkan bahwa rata-rata pH plak pada hari ke-1 dan ke-4 kelompok I lebih rendah dibandingkan kelompok II. Pada hari ke-8 rata-rata pH plak kelompok I lebih tinggi dibandingkan kelompok II. Pada rata-rata indeks plak antara hari-hari pemeriksaan kelompok I dengan uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan yang bermakna (p < 0,005) (Tabel 3). Namun analisis uji T terhadap perubahan yang terjadi dalam kelompok II antara hari-hari pemeriksaan menunjukkan tidak berbeda bermakna (Tabel 4).

Dari Gambar 3 terlihat bahwa rata-rata pH saliva pada pemeriksaan hari ke-4 kelompok 1

lebih tinggi dari hari ke-1, namun keduanya masih lebih rendah dari pada kelompok II. Sedangkan rata-rata pH saliva kelompok II relatif sama pada setiap saat pemeriksaan. Hasil analisis uji T terhadap perbedaan rata-rata pH saliva kelompok I antara hari-hari pemeriksaan menunjukkkan perubahan yang bermakna (p < 0,005) (Tabel 5). Sedangkan uji T terhadap perbedaan rerata pH saliva kelompok II antara hari-hari pemeriksaan menunjukkan perubahan yang tidak bermakna (Tabel 6).

Analisis Statistik

Untuk mengetahui perbedaan indeks plak, pH plak dan pH saliva antara kedua kelompok, dilakukan uji T untuk data dengan sebaran normal, uji U-Mann Whitney untuk analisis antar kelompok dan uji Wilcoxon untuk analisis inter kelompok. Data indeks plak kedua kelompok pada hari pemeriksaan ke-4 dan ke-8 menunjukkan adanya perbedaan bermakna. Demikian pula mengenai data pH plak kedua kelompok pada hari pemeriksaan ke-1 serta data pH saliva kedua kelompok pada hari pemeriksaan ke-1.

Tabel 7. Analisis data indeks plak antara kelompok I dan kelompok II pada setiap saat pemeriksaan

Kelompok Hari ke- I II

(p)

1 75, 43 + 31,77 58,6 + 35,85 0,207 4 126,37 + 47,97 58,3 + 34,23 0,000* 8 129,37 + 43,23 59,6 + 29,66 0,000*

Keterangan: Kelompok I berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari Kelompok II kontrol * Berbeda bermakna (p < 0,05). Tabel 8. Analisis data pH plak antara kelompok I dan kelompok II pada setiap saat pemeriksaan

Kelompok Hari ke- I II (p)

1 6,32 + 0,40 7,04 + 0,38 0,001* 4 7,12 + 0,23 7,16 + 0,40 0,435 8 6,90 + 0,38 6,86 + 0,29 0,472

Keterangan: Kelompok I berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari Kelompok II kontrol * Berbeda bermakna (p < 0,05). Tabel 9. Analisis data pH saliva antara kelompok I dan kelompok II pada setiap saat pemeriksaan

Kelompok Hari ke- I II (p)

1 6,83 + 0,44 7,46 + 0,38 0,000 4 7,47 + 0,24 7,57 + 0,53 0,590 8 7,56 + 0,26 6,38 + 0,33 0,195

Keterangan: Kelompok I berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari Kelompok II: kontrol * Berbeda bermakna (p < 0,05).

Page 41: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Endarti dkk. Manfaat Berkumur dengan Larutan Ekstrak Siwak…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 35

PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, sukarelawan dibagi

menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang berkumur dengan larutan siwak 2 kali sehari sebanyak 30 orang dan kelompok kontrol yang menyikat gigi tanpa pasta sebanyak 10 orang. Selama tiga kali pemeriksaan, rata-rata indeks plak pada hari ke-1, ke-4, ke-8, kelompok yang berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari mengalami peningkatan. Secara statistik rata-rata indeks plak pada hari ke-1 dibandingkan hari ke-4 juga antara hari ke-1 dibandingkan dengan hari ke-8 menunjukkan peningkatan hari ke-8 juga menunjukkan peningkatan, namun tidak bermakna. Sedangkan pada kelompok yang menyikat gigi tanpa pasta, rata-rata indeks plak relatif sama. Pemeriksaan indeks plak pada hari ke-1, ke-4, dan ke-8 antara kelompok yang berkumur dengan larutan ekstrak siwak dibandingkan dengan kelompok kontrol juga menunjukkan adanya perbedaan. Namun pada uji statistik hanya rata-rata indeks plak pada pemeriksaan hari ke-4 dan ke-8 yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) antara kelompok yang berkumur dengan larutan ekstrak siwak dibandingkan kelompok kontrol.

Peran obat kumur sebagai kontrol plak hanya sebagai penunjang dari perlakuan mekanis. Pada penelitian ini, akumulasi plak pada kelompok yang berkumur dengan larutan ekstrak siwak mengalami peningkatan. Bahkan pada hari ke-4 sudah terlihat perbedaan bermakna antara hanya berkumur dengan larutan ekstrak siwak dengan mekanik penyikatan gigi dengan sikat gigi konvensional. Berarti pembersihan geligi dengan cara mekanik tetap diperlukan, dan tidak dapat digantikan dengan cara hanya berkumur. Hal ini berbeda dengan yang dituliskan oleh Almas mengenai penelitian yang dilakukan oleh Mostafa yang menyatakan bahwa penggunaan siwak sebagai obat kumur dapat mereduksi jumlah plak.9

Lampiran 1 memperlihatkan hasil pemeriksaan pH plak selama 8 hari pada kelompok berkumur dengan larutan ekstrak siwak 2 kali sehari. Uji statistik yang digunakan adalah uji non-parametrik Wilcoxon. Hasil yang didapat menunjukkan nilai rata-rata pH plak antara hari ke-1 dan hari ke-4 mengalami peningkatan yang bermakna. Hal yang sama

juga terjadi antara nilai rata-rata pH plak hari ke-1 dan hari ke-8. Sedangkan antara hari ke-4 dan hari ke-8, nilai rata-rata pH plak mengalami penurunan yang juga bermakna.

Keadaan rata-rata nilai pH plak pada hari pemeriksaan ke-1, ke-4, dan ke-8 pada kelompok berkumur dengan larutan ekstrak siwak dibandingkan dengan kelompok kontrol menunjukkkan perbedaan bermakna. Hasil uji U-Mann Whitney mengenai rata-rata pH plak antara kedua kelompok baik pada hari pemeriksaan ke-4, dan ke-8 tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna. Sedangkan uji T yang dilakukan pada hari ke-1, menunjukkan adanya perbedaan bermakna. Namun hal tersebut dapat diabaikan mengingat saat itu belum ada perlakuan apapun atau belum ada pengaruh siwak saat itu. Bahkan penemuan perbedaan bermakna ini menunjukkan keadaan dasar individu kedua kelompok sudah berbeda.

Dalam penelitian ini terbukti bahwa penggunaan larutan ekstrak siwak selama 4 hari sudah dapat menaikkan pH plak individu yang bersangkutan. Sedangkan penyikatan gigi cara konvensional tanpa pasta gigi tidak berpengaruh sama sekali terhadap pH plak (Gambar 2, Tabel 4).

Penurunan pH plak yang terjadi antara hari ke-4 dan ke-8, dipengaruhi banyak faktor. Antara lain, kepatuhan sukarelawan. Mengingat masa penelitian yang relatif cukup lama, yang mengharuskan sukarelawan untuk tidak menyikat gigi selama delapan hari, ada kemungkinan sukarelawan tidak meneruskan penggunaan obat kumur secara teratur dan dengan teknik yang benar.

Analisis statistik yang dilakukan pada pemeriksaan pH saliva hari ke-1, ke-4, ke-8, pada kelompok yang berkumur dengan larutan ekstrak siwak menunjukkan peningkatan yang bermakna. Uji statistik yang digunakan adalah uji T dan uji U-Mann Whitney.

Nilai rata-rata pH saliva kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok berkumur dengan larutan ekstrak siwak menunjukkan adanya perbedaan. Namun berdasarkan uji statistik, perbedaan pada hari ke-4 dan ke-8 tidak bermakna (p > 0,05). Sedangkan pada hari ke-1 memperlihatkan perbedaan yang bermakna. Seperti yang terjadi pada pH plak, kemaknaan ini dapat

Page 42: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 36

diabaikan karena sukarelawan belum menerima perlakuan apapun.

Perbedaan nilai pH plak dan pH saliva yang bermakna pada pemeriksaan hari ke-1, yaitu saat sukarelawan belum menerima perlakuan, dapat dihubungkan dengan macam makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Orang yang banyak mengkonsumsi karbohidrat olahan cenderung memiliki nilai pH plak dan pH saliva lebih rendah bila dibandingkan dengan yang banyak mengkonsumsi makanan berserat KESIMPULAN - Dari analisis data yang telah dilakukan,

dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat kumur larutan ekstrak siwak 2 kali sehari efektif dalam meningkatkan pH plak dan meningkatkan pH saliva namun tidak efektif dalam menurunkan indeks plak supragingival.

- Penggunaan obat kumur larutan ekstrak siwak harus digunakan bersama alat penyikat gigi untuk memberikan aksi mekanis. Karena, obat kumur hanya memiliki aksi kimiawi saja yang berfungsi sebagai pelengkap dalam usaha meningkatkan status higiene mulut.

SARAN 1. Memberikan pengarahan yang jelas

kepada peserta mengenai ketepatan menggunakan larutan obat kumur dan mengenai cara berkumur yang benar.

2. Peneliti disarankan untuk menyempurnakan teknik dan prosedur pengambilan data.

3. Diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai manfaat lain dari siwak.

4. Apabila saat pengambilan plak dan saliva tidak segera dilakukan pengukuran pH, sebaiknya sampel disimpan di dalam kulkas atau wadah berisi dry ice, agar tidak terjadi penurunan pH.

5. Dilakukan penelitian serupa pada dua kelompok berbeda dengan jumlah sukarelawan yang sama, namun setiap kelompok pada selang waktu berbeda menjadi kelompok kontranya, untuk mempertegas hasil penelitian ini, karena terlihat adanya basis yang berbeda sejak awal penelitian sebelum diberikan perlakuan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Almas K, Al-Sadhan RI. Miswak

(Chewing Stick): A Cultural and Scientific Heritage. Saudi Dent I 1999; 11: 80-7.

2. Almas K, Al-Sadhan RI. Miswak (Chewing Stick): A Cultural and Scientific Heritage. Saudi Dent I 1999; 11: 80-7.

3. Almas K. The Effect of Salvadora Persica Extract (Miswak) and Chlorhexidine Glucunateon Human Dentin. Available in http://www.thejcdp.com/issue011/almas/almas.pdf. Accepted on March, 5th 2004.

4. Haake SK. Periodontal Microbiology. Dalam: Carranza FA Jr, Newman MG, eds. Carranza’s Clinical Periodontology, 8th ed. Philadelphia: Saunders, 1996: 84-102

5. Darout IA. Miswak as an Alternative to the modern Toothbrush in Preventing Oral Diseases. Available in http://www.ssgrr.it/en/ssgr2003w/papers/102ceo.pdf. Accepted on February, 18th 2004.

6. El Rahman HF, Skaug N, Francis GW. In Vitro Antimicrobial Effects of Crude Miswak Extract on Oral Pathogens. Saudi Dent J 2002; 14: 26-32.

7. El Rahman HF, Skaug N, Francis GW. In Vitro Antimicrobial Effects of Crude Miswak Extract on Oral Pathogens. Saudi Dent J 2002; 14: 26-32.

8. Zaenab. Penapisan Kandungan Kimia dan Uji Antibakteri Siwak (Salvadora persica Linn). Terhadap Streptococcus mutans dan Bacteroides melaninogenicus. FMIPA ISTN. Jakarta, 2002.

9. Almas K. The Antimicrobial Effects of seven Different Types of Asian Chewing Sticks. Available in http://www.santetropicale.com/resume/49604.pdf. Accepted on April, 2nd 2004.

Page 43: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Endarti dkk. Manfaat Berkumur dengan Larutan Ekstrak Siwak…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 37

LAMPIRAN A Tabel 1. Tabel induk kelompok berkumur larutan ekstra siwak 2 kali sehari

Pemeriksaan hari ke-1 Pemeriksaan hari ke-4 Pemeriksaan hari ke-8 No. Umur PI I pH plak pH Saliva PI I pH plak pH Saliva PI I pH plak pH Saliva 1 21 56 5.99 6.91 189 7 7.24 113 6.99 7.67 2 21 125 6.27 6.99 87 6.98 7.58 75 6.76 7.79 3 19 53 5.84 7.32 126 7.14 7.65 95 6.92 7.37 4 21 78 6.12 6.58 140 7.05 7.45 145 6.71 7.22 5 21 66 6.7 6.4 152 7.07 7.56 175 7.27 7.69 6 20 98 6.1 6.45 121 7.16 7.25 132 6.6 8.16 7 23 76 5.84 7.26 100 7.07 7.39 103 6.71 7.69 8 20 128 6.4 5.93 191 7.1 7.36 204 6.73 7.82 9 20 79 6.64 7 129 7.02 7.77 97 6.74 7.91 10 20 85 6.1 7.16 147 7.09 7.69 181 6.95 7.82 11 22 171 6 7.05 232 7.18 7.58 193 6.69 7.4 12 21 79 6.02 6.76 199 7.11 7.31 107 7.7 7.47 13 20 41 6.71 5.97 110 6.98 7.43 104 6.92 7.62 14 20 80 6.15 6.64 106 6.86 7.67 208 6.56 7.38 15 20 51 6.03 6.94 92 7.06 7.54 91 6.79 7.78 16 21 93 5.87 6.22 75 7.15 7.62 163 6.61 7.75 17 20 97 6.07 6.55 250 7.25 7.67 200 6.84 7.42 18 20 90 6.21 6.58 88 6.8 7.21 57 7.02 7.26 19 20 66 5.89 7.09 121 7.09 7.79 102 6.91 7.81 20 20 98 6.14 5.95 126 6.95 7.21 175 5.83 7.58 21 22 58 6.04 6.96 154 7.11 8.06 158 6.73 7.58 22 20 94 6.08 7.62 124 7.31 7.23 68 6.86 7.5 23 23 79 6.47 6.62 115 6.9 7.68 125 6.71 7.75 24 21 48 6.25 6.67 98 7.41 7.79 159 6.96 7.83 25 28 66 6.99 7.06 83 8.11 6.69 120 8.03 7.12 26 24 88 7.18 7.36 153 6.95 7.31 147 6.36 7.25 27 22 29 6.93 7.29 92 7.06 7.34 103 7.12 7.31 28 21 32 6.87 7.21 59 7.31 7.29 93 7.19 7.33 29 21 28 6.85 7.14 60 7.24 7.32 89 7.26 7.19 30 22 31 7.01 7.24 72 7.16 7.28 99 7.23 7.3

LAMPIRAN B Tabel 1. Tabel induk kelompok kontrol

Pemeriksaan hari ke-1 Pemeriksaan hari ke-4 Pemeriksaan hari ke-8 No. Umur PI I pH plak pH Saliva PI I pH plak pH Saliva PI I pH plak pH Saliva 1 22 56 6.91 7.22 51 7.14 7.76 33 6.71 7.59 2 20 81 7.4 7.51 20 7.65 7.96 53 7.03 7.61 3 19 31 6.61 6.91 32 7.28 7.39 51 7.06 7.26 4 20 50 6.66 7.53 87 7.21 7.72 56 6.63 7.37 5 21 27 6.69 7.8 47 6.99 8.52 35 7.12 7.54 6 20 124 7.2 7.83 102 7.32 7.62 105 7.11 7.46 7 20 111 7.14 7.54 105 7.12 7.37 108 6.99 7.26 8 20 42 7.51 7.9 24 7.34 7.6 32 6.25 7.69 9 19 16 7.6 7.63 25 7.38 7.34 36 7.02 7.52 10 21 48 6.65 6.78 90 6.12 6.43 87 6.64 6.53

Page 44: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 38

Changes of Ureum-Creatinin Level in Acute Stroke Patients Treated with Mannitol in Department of Neurology, Medical Faculty University of

Sumatera Utara Haji Adam Malik Hospital Medan – Indonesia

Dalton Silaban, Rusli Dhanu, dan Darulkutni Nasution Department of Neurology, Medical School,

University of Sumatera Utara/H. Adam Malik Hospital, Medan, Indonesia

nd day, and on the 5th day after administration. Result: of 25 patients (16 males, 9 females); 9 patients had acute ischemic stroke and 16 had acute hemorrhage stroke. Increasing of serum ureum level 1,40 times was observed on the 2nd day (p< 0.05) and 2.01 times on the 5th day (p< 0.05) and serum creatinin level was increased 1.32 times on the 2nd day (p< 0.05) and 1.85 times on the 5th day (p < 0.05) compared with the value before administration. Conclusion: mannitol 20% administration for acute stroke patients with increased intracranial pressure showed increasing of serum ureum-creatinin level significantly (p<0.05). Keywords: ureum-creatinin, acute stroke, mannitol Abstrak: Latar belakang dan Tujuan: manitol digunakan secara luas untuk menurunkan tekanan intrakranial dan pengurangan efek desak ruang dari perdarahan intraserebral. Ada beberapa komplikasi dari penggunaan manitol berupa gangguan elektrolit dan cairan, edema kardiopulmoner. Manitol bisa juga menyebabkan gagal ginjal dalam dosis terapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan fungsi ginjal terhadap penggunaan manitol pada penderita stroke akut. Bahan dan cara: penelitian ini bersifat interventional dengan metode pengumpulan data secara prosfektif study terhadap seluruh penderita stroke akut dengan peninggian tekanan intrakranial di ruang rawat inap neurologi Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan periode 2 Januari – 30 April 2005. Diberikan manitol 20% selama 5 hari. Dilakukan pengukuran nilai ureum-kreatinin serum sebelum pemberian, pada hari ke-2, dan ke-5 sesudah pemberian manitol. Hasil: dari 25 penderita (16 pria, 9 wanita), 9 penderita dengan stroke iskemik akut dan 16 dengan stroke hemoragik akut. Selama pemberian manitol ditemukan peningkatan nilai ureum serum 1,40 kali pada hari ke-2 (p<0,05) dan 2,01 kali pada hari ke-5 (p<0,05). Nilai kreatinin serum meningkat 1,32 kali pada hari ke-2 (p<0,05) dan 1,85 kali pada hari ke-5 dibandingkan dengan nilai sebelum pemberian manitol. Kesimpulan: pemberian manitol 20% untuk penderita stroke akut dengan peninggian intrakranial menunjukkan peningkatan nilai ureum kreatinin serum secara signifikan (p<0,05). Kata kunci: ureum-kreatinin, stroke akut, manitol

Page 45: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Dalton Silaban dkk. Changes of Ureum-Creatinin Level …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 39

INTRODUCTION In Indonesia according to Family Health

Survey on 1995, stroke was one of the main cause of mortality and disability which has to be treated, immediately and accurately.1

Many factors influence the out come of stroke patients. One of them is complication in either acute phase or rehabilitation periods. Complication can be serious, causing death. Common cause of these in stroke patients, cerebral edema, heart disease, and pulmonary emboli dominate in the first week.2

The most lethal complication of stroke is brain edema after large ischemic and hemorrhagic stroke. In stroke units, brain edema, pulmonary embolism, and cardiac abnormalities are the mayor causes of early death.2,3

Intra cerebral hemorrhages, wide infarct with cerebral edema cause compression structures on brain, increase intracranial pressure and can cause herniation. For decrease this effect cerebral edema therapy should begin as soon as possible.3

Brain edema begins to develop in the brain tissues surrounding the hematoma within the first several hours after intracranial hemorrhage. A hematoma combined with brain edema causes compression of the surrounding brain structures and elevation of intracranial pressure.4

Mannitol is used worldwide to treat acute stroke patients, although its efficacy and safety have not been proven by randomized trials, thus mannitol usage in therapy still controversial. Clinical observation could not prove the beneficial effect of mannitol in ischemic or hemorrhage stroke in humans.5

Mannitol is widely used to decrease intracranial pressure and to alleviate the space occupying effect of the brain hematoma.6

Mannitol is reported to decrease cerebral edema, infarct size, and neurological deficit in several experimental models of ischemic stroke.7

Numerous studies confirm the nephrotoxic potential of mannitol especially in patients with renal insufficiency, and also in patients with craniocerebral trauma without previous kidney failure. Pathogenesis of mannitol induced renal failure is not established but may be associated with renal vasoconstriction produced by high concentration of mannitol.8

The most common complications of mannitol therapy are fluid and electrolyte imbalances, cardiopulmonary edema, rebound cerebral edema, and seldom hypersensitivity reaction.

Mannitol can also cause renal failure even in therapeutic doses.3,6,7,8

How ever the influence of osmotherapy on renal function in patients treated with mannitol due to increased intracranial pressure was not so far well decribed.9

T. Dziedzic et al in 2000, performed studied on 51 patients with intra cerebral hemorrhage primer, all of the patients was treated with mannitol 20% (0.25-0.5) mg/kg/every 4 hours and furosemide 10mg every 8 hours, mannitol was given for no longer than 5 days and analysis the influences ureum-creatinin serum concentration before mannitol administration compared with 2-nd days, 5-th days, and 14-th days.

The conclusion from that study was increased ureum – creatinin serum concentration after mannitol therapy on 2-nd days and 5-th days.9

The aim of this study was to determine the influence of mannitol therapy on renal function with evaluate changes of ureum-creatinine serum level after mannitol therapy in acute stroke patients. METHODS AND MATERIALS

This study was performed in neurology ward of RSUP H. Adam Malik Medan since January 2 nd 2005 to April 30th 2005, on all acute stroke patients with raised intracranial pressure who fullfiled the inclusion and exclusion criteria. The inclusion criteria is all the acute stroke patients who have been treated with mannitol and exclusion criteria is stroke patients who are contraindicated for mannitol such as renal failure, cardiac failure, dehydrated, diabetes mellitus, and acute stroke patients who administrated nefrotoxic drugs (include antibiotic)

The research was an intervention of data collecting through prospective study.

All the patients were checked up according to standardized protocol in Department of Neurology, Medical Faculty University of Sumatera Utara Haji Adam Malik Hospital, Medan Indonesia.

These check-ups consisted of complete urine-blood-feces test, glucose nuchter and 2 hours post prandial, lipid profile, ureum-

Page 46: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 40

creatinin. Uric acid, electrolyte, and liver function test, CT scan within 24 hours, thorax photo, electrocardiography, and fluid balance.

If Glomerular Filtration Rate (GFR) is less than 15 during a mannitol administration, the patients is disqualified from research.

GFR is gotten from (140-age)X weight/72Xserum creatinin. For Women cratinin clearance X 0.85.10, 11

Patients fulfilled inclusion criteria were given mannitol according to protocol in Department of Neurology, Medical Faculty University of Sumatera Utara Haji Adam Malik Hospital Medan Indonesi in doses 125 cc/6 hours/IV in 30 minutes. Serum ureum-creatinin is known before the administration, second and fifth day after administration of mannitol.

All hypertension patients were given ACE inhibitor Captopril.

Serum ureum-creatinin was measured using Automatic analysis Hitachi 902 machine.

Mannitol was mannitol 20% Otsuka,s production.

To asses the outcome, Barthel index and Glasgow Outcome Scale were used.

Statistical for Windows version 10.5 use to analyze the difference of mean of ureum-creatinin level between before administration and second and fifth day, we used Anova test since the variance were that same and Multiple Comparisons Post Hoc Tests. To analyze the influence of age toward changes of serum ureum-creatinin level Pearson Correlation test were used. To analyze the influence of sex toward changes of serum ureum-creatinin level T-test were used.

To analyze the out come after mannitol administration with Barthel index and Glasgow Outcome Scale Wilcoxon Signed Ranks Test were used. The level of significance was set at p<0.05.

Normal adult ureum level: 10-20 mg/dl or 3.6-7.1 mmol/L (SI units). Normal adult creatinin for woman: 0.5-11mg/dL or 44-94 (micro mol/L SI units), men 0.6-1.1 mg/dL.11

RESULTS

From 82 acute stroke patients (47 ischemic stroke, 35 hemorrhagic), we found that 25 patients were administered mannitol (9 ischemic stroke, 16 hemorrhagic stroke).

Table 1. Demographic and characteristics in 25 acute stroke patients after mannitol administration

Ischemic stroke Hemorrhage stroke n = 9 (36%) n=16 (64%) Sex - male 5(20%) 11(44%) - female 4(16%) 5 (20%) Age - < 45 year 3(12%) - 45-55 year 9(36%) 7(28%) - > 55 year BP* on admission 6(24%) - Normal 1(4%) 1(4%) - H*.mild 1(4%) 2(8%) - H. moderate 4(16%) 3(12%) - H. severe 1(4%) 4(16%) - H. very severe 2(8%) 6(24%) Hypertension - No 1(4%) 1(4%) - Yes 8(32%) 15(60%) Glasgow Coma Scale - 13-15 - 9-12 8(32%) 14(56) - ≤ 8 1(4%) 2(8%) Death - yes 1(4%) 8(32%) - no 7(28%) 9(36%) Cause of death - cerebral herniation 8(32%) - respiratory failure 1(4%) * BP=Blood pressure * H=hypertension

Page 47: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Dalton Silaban dkk. Changes of Ureum-Creatinin Level …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 41

Figure 1. Changes of ureum serum level in 25 acute stroke patients on day-0, day-2 and day-5

Figure 2. Changes of creatinin serum level in 25 stroke acut patients on day-0, day-2 and day-5

Most of the patients were male 16 (64%). Mean age of patients was 57,84 year (38–76), with the most age group 45-55 years 16 (64%). Patients with hypertension at admission were found 23 (92%) and most of them had hemorrhagic stroke 15 (60%). All patients who were admitted had loss of consciousness, 22 (88%) patients had Glasgow Coma Scale (GCS) score 9-11. Of 25 patients, 9 (36%) patients died and most of them, 8 (88%) had hemorrhagic stroke. Mostly, the cause of death were cerebral

herniation 8 (88%) and respiratory failure was 1 (12%) patients.

Mean serum ureum concentration was 33,5 ± 11,3 mg % before mannitol administration and increased to 46,8 ± 13,4 mg% on the second day and 67,6 ± 18,0 mg % on the fifth day after mannitol administration.

Mean score of serum creatin in was 0.90 ± 0.23 mg % before mannitol administration and increased to 1.19 ± 0.36 in second day and 1.67 ± 0,48 mg% in the fifth day after mannitol administration.

Page 48: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 42

After statistical analysis was done there was a significant elevation in serum ureum concentration before mannitol administration than on the second day (p < 0.05) and on the fifth day (p < 0.05) after mannitol administration. Serum ureum level elevated for 1,4 times on the second day (p < 0.05) and 2,01 times on the fifth day (p < 0.05) (Figure 1).

Statistical analysis showed a significant increased between creatinin concentration before and after administration mannitol in the second and in the fifth day (p < 0.05).

Serum creatinin level increased in to 1.32 times on the second day and 1.85 times on the fifth day (p < 0.05) compare with before mannitol administration (Figure 2)

There was any correlation between age and changes serum ureum-creatinin level on second day and fifth day after mannitol administration (p > 0.05).

There was no correlation between sex and changes of serum ureum-creatinin level on the

second and fifth day after mannitol administration (p>0.05).

Barthel index assessed on day-0 overall is 25 (100%) on 7-th day, 22 (88%) bad and 3 died (12%). Where as on 14-th day Barthel Index bad 13 (59%), moderate 3 (13%) and died was 6 (28%).

Glasgow Outcome Scale assessed on 14-th day was death 9 (36%), severe disability 13 (52%) and moderate disability 3 (12%).

There were no significant change in Barthel index Score and Glasgow Outcome Scale (p > 0.05).

Table 3 shows that GFR before mannitol administration to the patients were 5 at stadium1 9 (20%), 12 at stadium 2 (48%) and 8 were at stadium3 (32%) after administering mannitol on the second day, stadium 3 increased to 18 (72%) and on fifth day, at stadium 3 became 19 of them (76%) and infarct 3 patients were found of stadium 4.

Table 2. Barthel Index value and glasgow outcome scale in 25 acute stroke patients

day-0 day-7 day-14 n( %) n(%) n(%) Barthel index - bad 25(100) 22(88) 13(52) - moderate 3(12) - excellent Glasgow Outcome scale - death 9(36) - severe disability 13(52) - moderate disability 3(12) Table 3. Renal disease stadium according to GFR in 25 acute stroke patients Stadium 1* Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) Before treatment mannitol 5 (20) 12 (48) 8 (32) 2-nd day 4 (16) 3 (12) 18 (72) 5-th day 2 (8) 1(4) 19 (76) 3 (12) Abbrevation GFR= Glomelural filtration Rate Stadium 1= Renal impairment with normal GFR ≤ 90 Stadium 2 = mild impairment with GFR 60-90 Stadium 3 = moderate impairment GFR 30-59 Stadium 4 = severe impairment GFR 15-29 Stadium 5 = Renal failure GFR < 15 Abbrevation GFR = Glomelural filtration rate

Page 49: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Dalton Silaban dkk. Changes of Ureum-Creatinin Level …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 43

DISCUSSION There are two main categories in which

predisposition to renal damage is increased , firstly, patients with impaired renal perfusion pressure due to sodium depletion, diuretic therapy, low cardiac output or any other condition that tends to promote increased sodium reabsorption and secondly, patients with already impaired renal function, vascular disease, severe infection diabetes mellitus or liver disease.12

From this study, 25 patients (man 16, woman 9) aged 38-76 years (mean 57,4 ± 10.0 years) with acute stroke (9 ischemic stroke, 16 hemorrhagic stroke), this number differ from previous study by T. Dziedzic on 2000, where they found 51 patients (29 man, 22 woman) aged 28-86 years (mean 64,6 ± 12,7 years) with supratentorial intra cerebral hemorrhagic.9

The small sample in this study compared to other previous studies is one of the limitation of this study. In this study, samples were acute ischemic and hemorrhage patients, while in previous studies were only toward hemorrhage stroke. Overall will shows different response on mannitol administration as anti edema.

In this study there were 23 (92%) hypertension patients and the most were hemorrhage stroke patients 15 (60%). This is probably due to hidden changes in kidney, in this case patients have a tendency on having renal failure during therapy. J.A Withwort reported analysis toward 83 patients with accelerated hypertension, found underlying cause (usually renal) for hypertension.13

If operational definition of acute renal failure is Glomerular Filtration Rate (GFR) is < 15, no patient suffered from renal failure after mannitol administration on the fifth day. But tendency toward that was present, where 3 (12%) patients with severe GFR reduction (stadium 4) and 19 (76%) with moderate GFR reduction (stadium 3) see Table 4.

Although serum ureum-creatinin concentration increased during mannitol administration, during therapy no patients with oliguria or anuria was present.

T.Dziedzic et al found 76% of 51heorrhage stroke patients suffered from renal failure after mannitol 20% administration on the fifth day. Meanwhile, Dorman HR found 8 cases of acute renal failure induced by mannitol administration for more than 3.5 ± 1,5 days.9

During mannitol administration, serum ureum level increased 1,4 times on the second day (p< 0.05) and 2.01 times on the fifth day (p< 0.05). Serum creatinin level increased 1.32 times on the second day (p< 0.05) and 1.85 times on the fifth day (p< 0.05). These finding were similar to the finding by T. Dziedzic on 2000, where they found serum ureum level increase 1.5 times on the second day (p = 0.0001) and 2.3 times on the 5 fifth day (p = 0.00001) while serum creatinin level 1,2 times on the second day (p = 10-5) and 1.3 times on the fifth day (p = 10-5). It shows that mannitol administration during therapy caused increasing of serum ureum- creatinin level.

All patients were admitted with unconsciously. Twenty two (88%) had Glasgow Coma Scale of 9-12 and 2 (12%) had Glasgow Coma Scale <8. During mannitol therapy, 9 (36%) patients died. This is similar to previous study by T. Dziedzic that found 20 (39%) patients died from 51 patients who were given mannitol. Considering the high mortality with the most caused by cerebral herniation 8 (88%). We questioned whether mannitol was useful in decreasing intracranial pressure by reducing mid line shift.

A Glasgow Coma Scale score of less than 8, a wide pulse pressure, a large hemorrhage, and intra ventricular extension indicate poor prognosis.14

E.M. Manno et al did a study to investigated the effect of mannitol administration on cerebral edema after large infarct on cerebral hemisphere, from 7 patients it,s concluded that mannitol administration didn,t change midline tissue shift or neorological deficit worsening (effect of mannitol).15

We assessed the out come using Barthel index on the admission day, the seventh day and fourteenth day and Glasgow Outcome Scale on the seventh day and fourteenth day.

Barthel index score on the fourteenth days was still bad (0-65) on 13 (59%) patients and moderate (60-90) on 3 (13%), While Glasgow Outcome Scale on the fourteenth day was death 9 (36%), severe disability 13 (52%) and moderate disability 3 (13%).

This score is probably due to the early scoring of outcome for 2 weeks after onset. This score could be change if the scoring was done 3 months later.

Page 50: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 44

CONCLUSION 1. There is a significant change in serum

ureum-creatinin level after mannitol 20% administration.

2. There are no correlation between age , sex and serum ureum-creatinin level after mannitol administration.

3. There are no significant change in Barthel index Score and Glasgow Outcome Scale.

COMMENT 1. Mannitol administration to the acute stroke

patients should be carefully especially to the hypertension and diabetes mellitus patients

2. During mannitol administration we should check renal function as control.

3. We need further studies with a larger sample.

REFERENCES 1. Kelompok Studi Serebrovaskuler dan

Neurogeriatri Perdossi.1999. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia. Jakarta.

2. Caplan LR 2000.Caplan,s Stroke: A Clinical Approach.3rd ed. Boston: Butterwort-Heinemann; 2000.

3. Schwab S, Bertram M, Hacke W. Critical care of Cerebrovaskuler Disease. In: Fisher M. (Ed) Stroke Therapy.2nded. Boston: Butter worth-Heinemen; 2001.p.225-57.

4. Minematsu K, Yamaguchi T. Management of Intracerebral Hemorrhage Disease.In: Fisher M. (ed) Stroke Therapy.2nded. Boston: Butter worth-Heinemen; 2001.p.287-99.

5. Bereczki D, Lium, Fernandez G, Fekete I. Manniol Use in Acute Stroke Case Fatality at 30 Days and 1Year available from: http://www.stroke.ahajournals. org/cgi/content/abstract/34/7/1730.

6. Dziedzic T, Klimkowicz A, Slowik A, Szczudlik A. Changes of urea level In patients with Intracerebral hemorrages treated with mannitol.Available from http://www.archive.eurostroke.org/lisbon

7. Cochrane Report A systematic Review of Mannitol Therapy for Acute Ischemic Stroke and Cerebral Parenchymal Hemorrhage. Available from: http//www.stroke ahajournals.org/cgi/ reprint/31/11/2719

8. Sunaryo. Obat yang mempengaruhi metabolisme elektrolit dan konsentrasi air. dalam: Ganiswara G (ed) Farmakologi dan Terapi ed.ke-4.Jakarta: Balai Penerbit FK-UI ;1995.hal.380-99.

9. Dziedzic T, Szczudlik A, Klimkowkz A, Rog TM, Slowik A. Is mannitol safe for patients with intracerebral hemorrhages? renal Consideration. Avilable from http://www.sciens direct.com/science?

10. Sukanda, E. Nefrologi Klinik.edisi ke-2. Bandung: ITB Bandung; 1997.

11. Pagana KD. Mosby’s Diagnostic and Laboratory Test Reference. 2nd ed. Pennsylvania: Mosby; 1995.

12. Galley HF. Can Acute Renal Failure be Prevented? Available from:

http://www.rcsed.ac.uk/journal/vol45-1/4510008.htm

13. Whitworth JA. Progression of Renal Failure-The role of Hypertension.Ann Acad Med Singapore 2005; 34:8-15.

14. Gilroy J.2000.Basic Neurology.3rd ed.New York: Mc Graw Hill; 2000.

15. Manno E M, Adam RE, Derdyn CP, Power WJ, Diringer MN. The effects of mannitol on cerebral edema after large hemispheric cerebral infarct. Available from: http://www.neurology.org/cgi/ content/full/52/3/583.

Page 51: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 45

Pain Experiences and Pain Management in Postoperative Patients

Dewi Elizadiani Suza

Pediatric Department of Nursing Program, Medical School, University of Sumatera Utara

Abstract: Pain is a subjective experience that can be perceived directly only by the sufferer. It is a multidimensional phenomenon that can be described by pain location, intensity, quality, impact, and meaning. Acute pain following a surgical procedure is the combination of pain as a specific sensation due to a nociceptive response to tissue damage and pain as suffering. Uncontrolled pain in the postoperative period could have detrimental physiologic effects. It can slow the patients’ recovery from surgery. It can contribute to postsurgical morbidity. Depending on the operative site, pain can greatly impede return of normal pulmonary function. Splinting, inability to cough, and bronchospasm can promote atelectasis and postoperative pulmonary complication. Nurses should aware of this situation and careful nursing assessment is needed when they deliver nursing care to a patient with pain. And also assessment of pain in integral to the planning and implementation of nursing care to relieve pain. Pain also has impact on patients’ activities daily living such as moving, walk, eating, sleeping and relationship with others. Keywords: pain experince, pain management, postoperative Abstrak: Nyeri merupakan pengalaman subjektif yang dapat dirasakan oleh penderitanya. Nyeri merupakan fenomena multidimensi yang dapat diuraikan dengan lokasi, intensitas, kualitas, dampak dan arti nyeri. Nyeri akut setelah prosedur operasi merupakan kombinasi dari nyeri sebagai sensasi spesifik disebabkan respon nociceptive akibat kerusakan jaringan dan nyeri sebagai rasa sakit. Nyeri tak terkendali pada periode postoperasi dapat menimbulkan efek fisiologis yang merusak Ia akan memperlambat penyembuhan pasien dari pembedahan. Ia dapat berkontibusi pada morbiditas pasca bedah. Tergantung pada lokasi operasi, nyeri dapat menghalagi kembalinya fungsi normal paru-paru. Serpinahan, ketidakmampuan untuk batuk dan bronkospasme dapat menimbulkan atelektasis dan komplikasi paru-paru postoperasi. Perawat harus menyadari situasi seperti itu dan pengkajian yang cermat diperlukan saat mereka memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan nyeri. Dan pengkajian nyeri harus terintegrasi dalam perencanaan dan pelaksaanaan suhan keperawatan untuk mengurangi nyeri. Nyeri juga mempunyai dampak pada aktivitas sehari-hari pasien seperti pindah posisi, berjalan, makan, tidur dan hubungan dengan orang lain. Kata kunci: pengalaman nyeri, manajemen nyeri, postoperasi INTRODUCTION

Effective control of postoperative pain remains to be one of the most important and pressing issues in the field of surgery and with significant impact on our health care system, because of the following (1) most of the hundreds of millions of the people world who

undergo operations each year experience postoperative pain of varying intensity; (2) in too many patient, the pain is treated inadequately causing them needless suffering and many develop complication as an indirect consequence of the pain and; (3) analgesic modalities, if properly applied can prevent or

Page 52: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 46

at least minimize the needless suffering and complications.1 Uncontrolled pain triggers the impairment of pulmonary, cardiovascular, gastrointestinal, neuroendocrine, and immunological and can lead to suffering, anxiety, fear, and immobility.

The site of surgery has a profound effect upon the degree of postoperative pain a patient may suffer. Operations on the thorax and upper abdomen are more painful than operations on the lower abdomen, which, in turn, are more painful than peripheral operations on the limbs. However, any operations involving a body cavity, large joint surfaces or deep tissues should be regarded as painful. In particular, operations on the thorax or upper abdomen may produce widespread changes in pulmonary function, an increase in abdominal muscle tone and an associated decrease in diaphragmatic function. The result will be an inability to cough and clear secretions, which may lead to lung atelectasis (collapse of lung tissue) and pneumonia. Matters are made worse by postoperative bowel distension or tight dressings. 1,5

Knowing the effects of postoperative pain and assessing the patients’ condition in light of the effects enables us to obtain at least two extremely important types of information: (1) Clues that alert us to the existence and nature of patients’ postoperative pain, and (2) The potential or actual harm to the patient.5

Unrelieved acute postoperative pain has effect on activities of daily living in postoperative patient such as difficult to sleep, decreased of appetite, unsuitability emotional status and difficult to concentrate.9

Postoperative pain is commonly found in clinical settings. This phenomenon is interesting topic to be explored within nursing scope. By investigating this phenomenon will help the author to understand and apply this phenomenon to the patient who has undergone surgery. The aspect of postoperative pain author want to explore is pain experience including pain perception and pain expression.

Individuals who are no expressive communicate pain to others by simply pointing the area, whereas expressive people use both verbal and nonverbal behavior such as moaning, gesturing, and crying. Individuals who are very expressive about their pain usually are extroverts or members of

demonstrative cultures. Expressive style, however, can complicate pain assessment (e.g., pain intensity or pain relief).4

DEFINITION OF PAIN

Pain is a universal human experience. The International Association for the Study of Pain (IASP) defines pain as “an unpleasant feeling that is conveyed to the brain by sensory neurons and emotional experience associated with actual or potential injury to the body”. McCaffery stated the very popular definition of pain as “whatever the experiencing person says it is and existing whenever the person says it does.” 6 Shweder and Sullivan defines pain as a complex perceptual experience that can be affected by situational factors, and by psyhological processes including emotion, cognition and motivation, all of which are susceptible to cultural, ethnic and linguistic influences.8

TYPES OF PAIN

There are two general types of pain and they differ significantly. First, acute pain is caused by tissue damage and it diminishes as the tissue heals. Acute pain lasts for hours to days, and is often accompanied by physical signs such as rapid heartbeat, sweating, pallor, and inability to sleep. Examples of acute pain include pain from a broken arm or surgery. 1

Chronic pain, on the other hand, is pain that lasts or recurs for months or even years. Chronic pain does not often decrease of its own accord and after the first weeks or months, is not accompanied by physical signs. Thus a person with chronic pain does not have an increased heart rate, sweating, pallor; and he or she is able to sleep to some extent. 1

Pain can also be divided into two broad categories: nociceptive and neuropathic (non-nociceptive). These types of pain differ in their causes, symptoms, and responses to analgesics. Nociceptive or somatic pain results from direct stimulation of nociceptive, intact (uninjured) afferent nerve endings. Descriptors for this type of pain are usually "dull," "sharp," and/or "aching," or a combination of these, and the intensity of the pain varies from mild to severe. In general, somatic pain can be well controlled if the cause of the stimulation can be removed or otherwise treated (surgery, radiation therapy, chemotherapy, etc.), or

Page 53: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Dewi Elizadiani Suza Pain Experiences and Pain Management…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 47

somatic pain can be treated with analgesics. Response to analgesics is usually good. 7

Neuropathic pain, on the other hand, is caused by nervous system dysfunction rather than stimulation of intact afferent nerve endings. It is characterized by burning, shooting, and tingling pain. The most frequent causes of neuropathic pain in cancer patients are tumor or treatment-related nerve damage, acute herpes zoster (shingles), post-herpetic neuralgia, and phantom limb pain. Compared with nociceptive pain, neuropathic pain usually requires more complex pharmacotherapy. 9

THEORIES OF PAIN Specificity Theory

This theory is based on belief that specialized pathways for pain transmission existed in the periphery that acted as pain receptors. These nerves were believed to be capable of receiving painful stimuli and transmitting the impulses via highly specific nerve fibers. The sensation would then be transmitted through the spinal cord to would be interpreted in these higher areas and a response would occur. 6

The Gate Control Theory

Melzack and Wall (1965) first developed the Gate Control theory to explain the variation in perception of identical stimuli. They believe in the notion that there is a 'gate' in the spinal cord, which, under certain circumstances, allows nerve impulses resulting from pain stimulation, to pass through it and be interpreted by the brain as feeling pain. They suggest that when the gate is open, impulses can flow through easily and when closed none can pass through. Melzack and Wall also made the connection that the effects of psychological factors such as anxiety on pain perception can influence the degree of opening of the gate. Clinically, the closing of the gate forms the basis of pain relief. 1

It suggests that the transmission of pain impulses can be modulated by a gating mechanism all along the central nervous system and that impulses can flow in both

ascending and descending directions. In other words, the entire nervous system is involved in the perception of and response to pain.

Pattern Theory

The pattern theory actually includes several slightly different theories. All of these theories generally have in common the concept that patterning of the nerve impulses generated by receptors forms the basis of a code that provides the information that there is pain. It is widely accepted that the basis of sensory perception is provided by the temporal and spatial summation of nerve impulses, that is, the patterns associated with the length of time a stimulus lasts and the are it covers. One of the pattern theories stresses a reverberating circuit mechanism.5 Another pattern theory is a specialized input-controlling systems. The latter proposes that all fiber endings are alike, except for those that innervate hair cells. It ignores the evidence that indicates that nervous system pathways have specialized functions related to pain. 1

POSTOPERATIVE PAIN

Postoperative pain is the pain you experience as a result of surgery. The incidence, intensity, and duration of postoperative pain vary considerably from patient to patient, from operation to operation and from one hospital to another. The site of the surgery has a profound effect upon the degree of postoperative pain a patient may suffer. CAUSE OF POSTOPERATIVE PAIN

Surgical operations, like accidental injury or disease, produce local tissue damage with consequent release of alogenic substance and of a barrage of noxious stimuli, which are transducer by nociceptor in to impulses that are transmitted to the neuraxis by A delta and C fibers. Alogenic substance such as potassium and hydrogen ions, lactic acid, serotonin, bradykinin and prostaglandin's stimulate and sensitive nociceptors that persist after the operation.3

Page 54: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 48

Local tissue damage + direct nerve trauma

Spinal sensitization Release of mediators

(wind up) (substance p, bradikinin,

postagladins,histamin,serotonin)

Nociception

Stress response Acute pain Chronic pain

(endocrine/metabolic/psychic)

The Consequence of Surgery

ASSESSMENT OF POSTOPERATIVE PAIN

Accurate pain assessment is the basis of pain treatment and a continuo process encompassing multidimensional factors. To formulate a pain management plan of care, an assessment is crucial in identifying the pain syndrome or the cause of pain. A comprehensive assessment addresses each type of pain and including an assessment of pain intensity and its characteristic, a physical examination with pertinent neurological exam, particularly if neuropathic is suspected, a psychosocial and cultural assessment and appropriate diagnostic work up to determine the cause of pain. Attention should be paid to any discrepancies.6

Pain assessment should be performed at regular intervals. If there is a change in the pain, after analgesic administration and after any modifications in the pain management plan. Pain assessment should be individual and documented so that all multidisciplinary team members involve will have an understanding of the pain problem. Information about the patient’s pain can be obtained from multiple

sources: observation, interviews with the patient and significant other, reviews of medical data, and feedback from other health care providers.6

Location. Anatomical diagnosis is provided to illustrate the location of pain. Many patients' have more than painful site: indicate multiple sites with letters, e.g. A.B.C. The patient may draw the pain sites on the form or trace the locations on his/her body and your or family member can mark the figure on the assessment form. Intensity. The person experiencing pain is they only one capable of accurately rating its intensity. Two types of pain rating scale commonly used are verbal descriptor scale and numerical scales. a. Faces Rating Scale

This scale is administered visually and facial expressions to suggest various pain intensities. The faces rating scale is used primarily with young children but also

Page 55: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Dewi Elizadiani Suza Pain Experiences and Pain Management…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 49

maybe useful when treating adults who have difficulty using the numbers of a visual analog scale (VAS), a common pain assessment tool.

b. Flowsheets These worksheets are used to document progress toward achieving and maintaining pain management goals. Physicians use flowsheets to record time, pain ratings, and facts about analgesic administration and side effects. The information on a pain management flowsheets can be incorporated into other forms to avoid duplicate charting.

c. Graphic Rating Scale The graphic rating scale builds on the VAS by adding words or numbers between the extreme ends of the scale. If words are added, such as "no pain", "mild","moderate" and "severe", it is called a verbal graphic rating scale. If numbers are added, such as zero though 10, it becomes a numerical graphic rating scale.

d. Numerical Rating Scale This scale is administered verbally or visually from zero to ten and uses words and numbers along a vertical horizontal line. Zero equals no pain and ten equals the worst possible pain.

e. Simple Descriptor Scale This scale uses a list of words describing different levels of pain intensity. A simple and clinically useful example is "no pain", "mild", "moderate" and "severe pain".

f. Visual Analog Scale The Vas uses a horizontal 10-cm line with words at the extremes, such as "no pain" and "pain as bad as it could be ". The patient makes a mark along the line to represent pain intensity. A number is obtained by measuring the millimeters from the end to the point the patient has indicated.

Quality. In this section of the assessment form, patients are asked to describe the type of pain or what the pain feels like to them. They may use such as words, as throbbing, burning, stabbing, tender or heavy. Onset, duration, variation and rhythms. Many patients in pain have variations in their pain experiences over a 24-hour period. In planning care it is important to assess these fluctuations, to anticipate painful procedures

and to modify activities (when possible) to decrease discomfort. If pain is present 12 or more hours out of 24 around the block scheduling of analgesics may be necessary. MANAGEMENT OF POSTOPERATIVE PAIN

Objective of postoperative pain management is not only relief from pain but should be aiming at eliminating patient discomfort, initiating early recovery and avoiding, minimizing side effects of the specific therapy and controlling the cost effectiveness or their treatment.3

Although pain management techniques are many and varied, therapeutic approached can be classified as either pharmacologic or non-pharmacologic. Pharmacologic pain control involves the use at analgesics, as well as other medications that potentiate the analgesic effects or modify the patient's mood or pain perception. Non pharmacologic approaches include behavioral techniques, radiation, surgery, neurological and neurosurgical interventions, tradition nursing and psychosocial intervention, the latter measures attempting to promote comfort and evaluate the effectiveness of the therapy. Because of the complex nature of nature of postoperative related pain successful management usually involves a combination of techniques. PHARMACOLOGIC MANAGEMENT

An analgesic is pharmacologic substance that diminishes or eliminates pain without producing unconsciousness. An anaesthetic is a pharmacologic substance that, in addition to abolishing pain, generally causes loss of feeling and sensation. Many analgesics, depending on their mode of action and route on administration, act as anesthetics when given are large doses. There are many different types of anesthesia. General anesthesia usually accompanied by loss of consciousness and amnesia. Local anesthesia produces anesthesia in a restricted area of the body without loss of consciousness. Various factors are considered in selecting the most effective analgesic for a specific patient, these include the cause, quality, intensity, duration and distribution of the patient’s pain.

Page 56: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 50

NONPHARMACOLOGIC MANAGEMENT The incidence severity and duration of pain

and suffering during postoperative period can be decreased by cognitive-behavioral intervention consisting of information about the surgical procedure and expected sensations plus instructions regarding physical relaxation, distraction, guide imagery, hypnosis and body maneuvers designed to decrease discomfort during the postoperative period.6

a. Distraction

Distraction, which involves focusing the patient's attention on something other than the pain, may be the mechanism responsible for other effective cognitive techniques. Distraction is thought to reduce the perception of pain by stimulating the descending control system, resulting in fewer painful stimuli being transmitted to the brain. The effectiveness of distraction depend the patient's ability to receive and create sensory input other than pain. Distraction techniques may range from simple activities, such as watching TV or listening to music, to highly complex physical and mental exercise. Pain relief generally increases in direct proportion to the person's active participation, the number of sensory modalities used, and the person's interest in the stimuli. Therefore the stimulation of sight, sound and touch is likely to be more effective in reducing pain is the stimulation of a single sense.6

b. Relaxation

Simple relaxation techniques consist of abdominal breathing at a slow, rhythmic rate. The patient may close the eyes and breathe slowly and comfortably. A constant rhythm can be maintained by counting silently and slowly with each inhalation ("in, two, three") and exhalation ("out, two, three"). When teaching this technique, the nurse may count out loud with patient at first. Slow, rhythmic breathing may also be used as a distraction technique. Relaxation techniques, as well as other noninvasive pain relief measures, may require practice before the patient becomes skillful in using them. 5

c. Guided Imagery Guided imagery refers to the use of

devices to assist in relaxation and the image formation. The devices may be commercial audiotape of verbal suggestion, music or sounds of nature, pictures of objects or places. Aromas from scented oils or candles, or another person giving suggestion in a soft, pleasant voice. The guide to imagery and relaxation may be necessary only during the beginning stages of learning the technique or during a acute phase of an illness. With very little practice, a person can usually reach a relaxed state quickly and allow image to develop spontaneously. After reaching this point a device become unnecessary and may even be a distraction.2

The study by Sodergen using guided imagery found that the patient reported a reduction of symptom severity. These symptoms including acute and chronic pain, anxiety, nausea and vomiting, and depression. Manyandee et all compare 26 subject also used guided imagery before abdominal surgery with 25 control subjects who received background information about the hospital before surgery. They found that guided imagery subjects experienced less postoperative pain; were less distressed by the pain; and requested less analgesia than a control group.2

RECOMMENDATION

Based on the result of this literature, author would like giving recommendation as follows. 1. Knowing the under treatment and

consequence postoperative pain, nurses can do appropriate nursing intervention based on the systematic assessment of pain.

2. Relieve of pain, beside the medication, nurse can offer the pain another methods of pain relive such as distraction technique, massage, and relaxation and guided imagery.

3. Besides giving the treatment to relieve pain, nurses expected to give information include pathofisiology of pain, side effects of drug and complication postoperative pain if uncontrolled pain.

Page 57: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Dewi Elizadiani Suza Pain Experiences and Pain Management…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 51

REFERENCES 1. Bonica, J. J. The management of pain,

Philadephia: Lea & Febrizer. 1990; 28 – 94.

2. Gieldt, J. F. Guided Imagery: a psychoneuroimmunological intervention in holistic nursing practice. 1997; 15: 112–127.

3. Kurperberg, K. G. & Grubbs, L. Coronary artery bypass patients perceptions of acute postoperative pain. Clinical Nurse Specialist. 1997; 11: 116 – 122.

4. Martinelli, A. M. Pain and Ethicity. AORN Journal.1987; 46: 273 – 281.

5. McCaffery, M & Meinhart.. Pain: a Nursing Approach to Assessment and Analysis. Connecticut: Appleton-Century-Croft. 1988; 137– 155.

6. McCaffery, M. Nursing management of the patients with pain 3 rd ed. Philadelphia: JB Lippincott. 1981; 7.

7. Nierhaus, A. & Schulte, J. Postoperative pain management. Pain Reviews. 1997;4: 148 – 157.

8. Shweder, R. A. & Sullivan, M. A. Cultural psychology: Who need it? Annu Rev Psycho.1993; 44: 497 – 523.

9. Paice, J.A. Unraveling the mystery of pain. Pain. 1991; 18: 843 – 848.

Page 58: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 52

Asam Urat dan Hiperuresemia

Maimun Syukri Depatemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Unsyiah/BPK

RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

baik dari diet maupun dari asam nukleat endogen (asam deoksiribonukleat DNA). Sebagian besar asam urat dieksresi melalui ginjal dan hanya sebagian kecil dieksresi melalui saluran cerna. Asam urat akan mengalami supernaturasi atau kristalisasi dalam urine yang akan membentuk batu saluran kencing sehingga menghambat sistim dari fungsi ginjal. Hiperuresemia terjadi karena produksi berlebihan atau eksresi yang menurun. Serangan arthritis akut terjadi bila kristal asam urat dibebaskan di cairan sinovia yang diprovokasi oleh perubahan asam urat dalam serum. Kata kunci: asam urat, hiperuresemia, arthritis akut, sinovia Abstract: Uric acid is nitrogen compounds, produced catabolisme purine. Purine compounds produced diet and endogen nucleat (DNA). Most of uric acid excreted by kidney and a little by gut. Uric acid will supersaturation and cristalization process in urine and will formatted stone of urinary tract. Hyperurecemia due to over production or decreased excretion of uric acid. Acute arthritis due to the mobilization of uric acid in synovial liquid and that is provocated by fluctuated of uric acid serum. Keywords: uric acid, hyperurecemia, acute arthritis, synovial PENDAHULUAN

Telah menjadi perdebatan dalam beberapa tahun terakhir ini akan peran asam urat dalam penyakit ginjal dan kardio-vaskuler. Beberapa penelitian besar telah melaporkan pengaruh asam urat tinggi risiko penyakit kardio-vaskuler dan infark miokard. Hiperuresemia yang disebabkan oleh penyakit ginjal, sering dianggap sebagai pertanda dari gangguan fungsi ginjal daripada sebagian faktor risiko progresivitas penyakit ginjal.1-3

Pada tikus percobaan dilaporkan bahwa, hiperuresemia dapat menyebabkan penyakit vaskuler yaitu dengan cara terjadinya penebalan arteri preglomerulus akibat proliferasi dari sel otot polosnya. Dari penelitian tersebut dilaporkan juga bahwa allopurinol dapat menurunkan kadar asam urat dan memperbaiki fungsi ginjal dan perubahan histologik yang sangat bermakna. 4

ARTI PEMERIKSAAN DAN HUBUNGAN FISIOLOGIS

Asam urat adalah senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses katabolisme purin baik dari diet maupun dari asam nukleat endogen (asam deoksiribonukleat DNA ). Asam urat sebagian besar dieksresi melalui ginjal dan hanya sebagian kecil melalui saluran cerna. Ketika kadar asam urat meningkat, disebut hiperuresemia, penderita akan mengalami pirai (gout). Penyebab hiperuresemia karena produksi yang berlebihan atau ekresi yang menurun (seperti pada gagal ginjal). Produksi yang berlebihan didapatkan pada penderita dengan keganasan, terjadi turnover purin dan DNA sangat tinggi. Penyebab lain hiperuresemia adalah alkohol, leukemia, karsinoma metastatik, multiple myeloma, hiperlipoproteinemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, stress, keracunan timbal, dan dehidrasi akibat pemakaian diuretik.5

TINJAUAN PUSTAKA

Page 59: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Maimun Syukri Asam Urat dan Hiperuresemia

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 53

Peningkatan kadar asam urat dalam urine disebut urikosuria. Asam urat akan mengalami supersaturasi dan kristalisasi dalam urine yang akan menjadi batu saluran kencing (BSK) sehingga menghambat sistem dari fungsi ginjal. Eksresi asam urat dalam urine tergantung pada kadar asam urat dalam darah, filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus asam urat ke dalam urine. Asam urat kurang mengalami saturasi pada suasana urine yang asam. Ketika pH urine naik maka asam urat tidak mengalami kristalisasi dan tidak akan membentuk batu. 1,2,4-6 Jenis pemeriksaan: darah dan urine Nilai normal Darah

Dewasa: laki-laki: 4,0 – 8,5 mg/dl atau 0,24 - 0,52 mmol/L wanita: 2,7 – 7,3 mg/dl atau 0,16 – 0,43 mmol/L

Manula: sedikit lebih tinggi Anak-anak: 2,5 – 5,5 mg/dl atau 0,12 –

0,32 mmol/L Bayi: 2,62 mg/L

Urine 250–750 mg/24 jam atau 1,48–4,43 mmol/hari (SI units) Nilai kritis dalam darah: >12 mg/dl.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi:7

Stress, menyebabkan kadar asam urat dalam serum meningkat.

Kontras radiologi menyebabkan kadar asam urat dalam serum menurun dan kadar dalam urine meningkat.

Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar asam urat dalam serum: alkhol, asam askorbit, aspirin dosis rendah, kafein, cisplatin, diazoxide, diuretik, epinefrin, ethambutol, levodopa, metal-dopa, asam nikotinat, fenotiazin, dan theofilin.

Obat-obatan yang menurunkan kadar asam urat dalam serum: alopurinol, aspirin dosis tinggi, azathioprin, clofibrat, kortikosteroid, estrogen, infuse glucose, guafenisin, manitol, probenecid, dan warfarin.

Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar asam urat dalam urine: asam askorbit, calcitonin, citrate, dicumarol, estrogen, steroid, iodine, gliceril guaiacolat, fenolsulfonftalin, probenecid, salisilat, dan tetrasiklin kadaluarsa.5,7

Nilai abnormal 1. Kadar dalam serum meningkat

(hiperuresemia) Pirai (gout) Intake purin yang berlebihan Gangguan metabolisme purin pada

bayi (genetik) Karsinoma metastase Multiple myeloma Leukemia Khemoterapi karsinoma Rhabdomiolisis (olahraga/latihan yang

berat), luka baka, trauma, penurunan kesadaran pada epilepsy, infark miokard)

Penyakit ginjal kronik Asidosis (ketotik atau laktak) Hipotiroid Kehamilan dengan keracunan

(eklampsia) Hiperlipoproteinemia Alkohol Idiophatik

2. Kadar dalam darah menurun

Penyakit Wilson Sindroma Fnconi Keracunan Pb (timah) Ikterus karena atrofi hati

3. Kadar dalam urine meningkat (urikosuria)

Pirai (gout) Karsinoma metastase Multiple myeloma Leukemia Khemoterapai karsinoma Diet purin yang tinggi Intoksikasi timah

4. Kadar dalam urine menurun

Penyakit ginjal Eklampsia Alcoholism kronik Asidosis5

Page 60: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 54

Rasionalisasi Pemeriksaan Asam Urat Jenis Penyakit Kategori

1 Kategori

2 Kategori

3 Gagal ginjal kronik + Batu saluran kemih + +

(analisa batu)

Diabetes mellitus + Pirai + +

(kristal dari

sendi)

Keganasan + Infrak miokard akut + Stroke Iskemik +

Kategori 1: untuk diagnosis awal, dikerjakan

rutin pada setiap penderita Kategori 2: untuk konfirmasi, hanya atas

indikasi Kategori 3: untuk tes definitif, perlu

permintaan khusus.8 HIPERURESEMIA

Kadar asam urat serum yang tinggi disebut hiperuresemia. Manifestasi pada sendi disebut artritis pirai.

Pirai merupakan suatu penyakit metabolik yang pada keadaan lengkap, disertai gejala-gejala sebagai berikut: 1. Kadar asam urat serum yang meningkat 2. Serangan-serangan yang berkali-kali dari

arthritis akut yang khas, disertai dengan adanya kristal urat (monosodium) di dalam lekosit dari cairan sinovia.

3. Tophi (endapan asam urat), terutama di dalam dan disekitar sendi dari ekstremitas.

4. Kelainan ginjal mengenai jaringan interstitial dan di sekitar sendi dari ekstremitas.

5. Nefrolithiasis terdiri dari asam urat Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai tersendiri atau bersama. Angka kejadian pada wanita hanya setelah

menopause, jarang sekali sebelumnya (Pria: wanita: 20 : 1).

Serangan akut pirai terjadi bila kristal asam urat dibebaskan di cairan sinovia. Perubahan asam urat dalam serum (naik atau turun) dapat menjadi pencetus serangan akut. Maka dari itu serangan akut sering terjadi setelah pesta (minum alkohol, makanan yang berlebihan), operasi, minum obat-obatan yang menurunkan asam urat serum. 7

Gejala-gejala klinik hiperuresemia dibagi dalam 4 stadium:

Stadium I : Tidak ada gejala yang jelas Keluhan umum, sukar ber-konsentrasi Pada pemeriksaan darah ternyata asam urat tinggi.

Stadium II : Serangan-serangan arthritis pirai yang khas, arthritis yang akut dan hebat, 90% lokalisasi di jari empu (podagra), tetapi semua persendian dapat diserang, kadang-kadang lebih dari satu sendi yang diserang (migratory polyarthritis). Sendi tersebut menjadi bengkak dalam beberapa jam, menjadi panas, merah, sangat nyeri. Kemudian pembengkakan ini biasanya menjalar ke sekitar sendi dan lebih menyolok daripada artritis yang lain.

Kadang-kadang terjadi efusi di sendi-sendi besar.

Tanpa terapi keluhan dapat berkurang sendiri setelah 4 sampai 10 hari.

Pembengkakan dan nyeri berkurang, dan kulit mengupas sampai normal kembali.

Stadium III : Pada stadium ini di antara serangan-serangan artritis akut, hanya terdapat waktu yang pendek, yang disebut fase interkritis.

Stadium IV : Pada stadium ini penderita terus menderita artritis yang kronis dan tophi sekitar sendi, juga pada tulang rawan dari telinga. Akhirnya sendi-sendi dapat rusak, mengalami destruksi yang dapat menyebabkan cacat sendi.

Radiologis : - Pembengkakan jaringan lunak

dapat terjadi pada semua stadium.

- Pada stadium III – IV, didapatkan gambaran “punched out area”, dan gambaran destruksi meskipun tidak pathognomonis.7

Page 61: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Maimun Syukri Asam Urat dan Hiperuresemia

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 55

DIAGNOSIS

Diagnosis pasti dari artritis pirai ditentukan hanya dengan membuktikan adanya kristal asam urat dalam cairan sinovia/ bursa atau tophus.

Diagnosis pasti tidak dapat dibuat atas dasar kriteria klinik tanpa membuktikan adanya kristal urat.

Bila tak ada cairan, sinovia/bursa atau tophus sebagai bahan untuk diperiksa, maka diagnosis yang dibuat, adalah sementara dan dasar-dasar kriteria klinik ialah: 1. Serangan-serangan yang khas dari arthritis

yang hebat dan periodik dengan kesembuhan yang nyata diantara serangan.

2. Podagra 3. Tophi 4. Hiperurekemia 5. Hasil yang baik dengan pengobatan

colchicin.11 DIAGNOSA BANDING

Serangan akut sering sukar dibedakan dengan serangan akut pada: demam rematik, artritis rematoid, artritis karena sepsis, artritis traumatika.

Arthritis kronis pada penyakit pirai dapat menyerupai arthritis rematoid, maka pada penderita pria usia di atas 50 tahun dengan arthritis rematoid, asam urat serum perlu diperiksa.7

PROGNOSIS

Kelainan pada ginjal menentukan prognosis, biasanya penderita meninggal karena faal ginjal yang jelek. Bila tidak ada kelainan ginjal, prognosis baik.9,10 TERAPI

Pengobatan bukan semata-mata ditujukan untuk menurunkan asam urat serum, tetapi juga untuk keluhan dan gejala-gejala.

Untuk artritis yang akut dan sangat nyeri: - Istirahat - Colchicin

Dosis : - 0,5 mg/jam sampai serangan hilang atau sampai ada gejala-gejala intoksikasi colchicin, yaitu: diare, muntah-muntah dan lain-lain gejala traktus digestivus

- Dosis maksimal: 7 mg - Dosis pemeliharaan: 0,5-1

mg/hari

- Phenilbutason/Oxyphenbutason: √ Antiinflamasi/analgetik. √ Urikosurik. √ Khasiat cepat. √ Komplikasi: pemakaian jangka waktu

pendek tidak banyak. √ Dosis: 3-4 x 100 mg/hari, dosis

pemeliharaan: 2 x 100 mg. - Indometasin

√ Juga efektif, khasiat cepat. √ Dosis: 3-4 x 50 mg/hari untuk 4-5

hari. - Prednison

√ Indikasi: bila obat-obatan non steroid antiinflamasi gagal.

√ Dosis: permulaan 60 mg/hari, diturunkan berangsur-angsur sampai dengan dosis pemeliharaan 5-10 mg/ hari.

Pada fase interkritis (bebas serangan

artritis) harus dihindari faktor-faktor pencetus provokasi: a. Diit: rendah purin, rendah lemak, rendah

protein, tinggi karbohidrat, pantang alkohol, hindari infeksi, trauma dan operasi. Banyak minum; diuresis 2 liter/hari memperbesar eksresi asam urat

b. Mengurangi serangan Bila serangan 2-3 kali/tahun, dapat diberi profilaksin colchicin 1/2 – 1 mg/hari

c. Bila penderita termasuk kelompok produksi asam urat berlebihan (lebih dari 9 mg%) diberikan – allopurinol 1-3 x 100 mg/hari untuk mengurangi produksi. Bila pengeluaran asam urat kurang, diberikan obat-obat urikosurik: - Probenecid: 2-3 x 250 mg/hari - Phenylbutason: 3 x 100 mg/hari - Salisilate: 5 gr/hari.7

DAFTAR PUSTAKA 1. Kang DH, Nakagawa T, Feng L et al., A

Role for Uric Acid In The Progression Of Renal Disease, J. Am Soc Nephro, 2002; 13: 2888-2897.

2. Verdecchia P, Schillaci G, Reboldi GP et al. Relation Between Significance Of Serum Uric Acid And Risk of Cardiovascular Disease In Essential Hypertension. Hypertension. 2000; 36: 1072.

Page 62: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 56

3. Waring WS, Jebb DJ and Maxwell SRJ. Uric Acid as A Risk Factor Cardiovascular Disease. Q J Med. 2000: 93:707-713.

4. Mazzali M, Huges J, Kim YG et al. Elevated Uric Acid Increases Blood Pressur in the Rat by a Novel Crystal-Independent Mechanism. Hypertension 2001; 38: 1101.

5. Pagana KD. Mosby’s Diagnostic and Laboratory Test Reference 5th Ed. Mosby, Inc. St. Louis, 2001; 876-879.

6. Koka RM, Huang E and Lieske JC, Adhesion of Uric Acid Crystals to the Surface of Renal Epithelial Cells. Am J Physiol Renal Physiol. 2000; 278:F989-F998.

7. Wortmann RL.Gout and Other Disorders of Purine Metabolism. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Ed. Editors: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS and Kasper DL. McGraw Hill, New York. 2005, pp. 2079-2088.

8. Buku Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Secara Rasional (1993), RSUD Dr. Sutomo, Surabaya.

9. Coe FL, Favus MJ and Asplin JR. Nephrolithiasis. In: The Kidney. Vol 1,7th Ed. Editor; Brenner BM. WB Saunders, Philadelphia. 2004; pp 1215 – 1292.

10. Walbel RG. Tubulointerstitial Disease. In: Clinical Comprehensive Nephrology 2nd Ed. Editors: Johnson RJ and Feehally JF. Mosby, London. 2003. pp. 183 – 246.

11. Wang J.G., Staessen J.A., Fagard RH et al. Prognostic Significance of Serum Creatinin and Uric Acid in Older Chinese Patients with Isolated Hypertension. Hypertension. 2001; 37:1069.

Page 63: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 57

Kriteria Pembesaran Atrium Kiri Secara Elektrokardiografi

Abdul Gani Bagian SMF Penyakit Dalam, FK Unsyiah/

RSUD Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

akurat. Kadang-kadang kriteria sudah sensitif atau tidak spesifik. Walaupun kriteria lain kadang-kadang sangat spesifik atau sensitif. Tetapi ahli kardiologi setuju bahwa pengukuran pada dinding dan ketebalan dinding jantung dapat ditemukan lebih akurat dengan pengukuran ekokardiografi, selanjutnya ekokardiografi berkembang menjadi alat yang mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Kegagalan jantung yang sering ditemukan dan dilakukan pengkajian dengan elektrokardiografi menunjukkan pembesaran pada atrium kiri adalah mitral stenosis, regurgitasi mitral, aorta regurgitasi, stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Tetapi kadang-kadang pada pengukuran selanjutnya dengan ekokardiografi pada beberapa pasien sudah ditemukan pembesaran pada atrium kiri. Ada 6 kriteria pembesaran atrium kiri dengan elektrokardiografi yang sedang digunakan dalam klinik adalah:

1. Defleksi negatif gelombang P pada sandapan V1 > 0,04 detik. 2. Defleksi negatif amplitudo gelombang P pada sandapan V1 > 1 mm. 3. Durasi gelombang P total > 0,11 detik sandapan standar. 4. Durasi top hallow gelombang gelombang P pada sandapan 11 > 0,04 detik. 5. Perbandingan durasi gelombang P dengan segmen PR > 1,6 mm/detik. 6. Kedalaman durasi pada fase gelombang P V1 > 0,04 mm/detik.

Kata kunci: elektrokardiografi, ekokardiografi, atrium kiri Abstract: Electrocardiography examination with dilatation heart hollow and thick of heart wall must not accurate. Sometimes the criteria was not to sensitive or not to specific. Even though the other criteria sometimes very specific or sensitive. But the cardiologist agree that measures of the room and thick of heart wall could be get more accuracy with echocardiography measurement, cause of that echocardiography has developed become tools that have high diagnostic value. Heart failure that often met and when the examenation by eletrocardiography shows enlargement of left atrium is stenosis mitral, regurgitation mitral, regurgitation aortae, stenosis aorta, and systemic hypertension. But sometime on the next measurement with echocardiography. At some (patient) not found enlargement of left atrium. There an six criteria of enlargement left atrium with electrocardiography which is often used in clinic:

1. Negative deflection of P wave term in V1 > 0,04 seconds. 2. Negative deflection amplitudo of P wave term in V1> 1mm. 3. Wave duration of P total > 0,11 seconds in the standard lead. 4. Top hollow duration of P wave in lead 11 > 0,04 seconds. 5. Duration ratio of P wave with segment PR >1,6 msecond. 6. Depth of duration in term phase P wave in V1 > 0,04 mm/seconds.

Keywords: electrocardiography, left atrium, echocardiography PENDAHULUAN

Pada elektrokardiografi gelombang P merupakan sebuah gelombang kecil yang terekam sewaktu atrium mengadakan depolarisasi. Oleh karena massa otot atrium

adalah kecil maka amplitudo gelombang P yang normal tidak melebihi 2.5 mm dan durasinya tidak melebihi 0.11 detik. 1,.2 Adanya pembesaran atrium kiri secara elektrokardiografi ditunjukkan oleh bentuk gambaran P dan gelombang P

Page 64: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 58

yang abnormal. SA node terletak di atrium kanan maka atrium kanan akan memulai dan mengakhiri depolarisasi lebih dulu dari pada atrium kiri. Dengan demikian setengah bagian pertama (anterior) gelombang P mewakili depolarisasi (aktivitas) atrium kanan, sedangkan setengah bagian akhir (terminal) mewakili depolarisasi (aktivitas) atrium kiri. Aksis normal gelombang P pada bidang frontal adalah + 45 0 s.d. +60 0.3

Gelombang P yang normal mempunyai amplitudo < 2,5 mm dan durasi < 0,11 detik, bentuknya ke atas (upright ) pada lead V5 – V6 , lead I, dan II serta berbentuk bifasik pada lead V1. (Gambar 1a dan 1b) 4 Bagian positif gelombang P pada V1 adalah disebabkan oleh aktivitas atrium kanan dan bagian negatif disebabkan oleh aktivitas atrium kiri. Pada penderita dengan ukuran dan tekanan atrium kiri yang normal durasi dan amplitudo gelombang P positif atau negatif lebih tinggi atau lebih rendah yaitu – 0,01 ± 0,01 , sedang pada pembesaran atrium kiri gelombang P terminal lebih negatif yaitu – 0.08 ± 0,06.4,5

Gambar 1. Gelombang P normal pada lead II dan

V1 4

Pembesaran atrium kiri paling sering ditemukan pada mitral stenosis dan juga sering ditemukan pada mitral insufiensi, aorta stenosis, aorta insufiensi, dan sistemik.hipertensi.4 Pada mitral stenosis adanya peningkatan tekanan atrium kiri dan dilatasi atrium kiri dapat terlihat berupa P mitral yaitu gelombang P yang lebar dengan notch lead II dan prominen gelombang p terminal pada lead V1.1,4 1. Penilaian Pembesaran Atrium Kiri

Secara Elektrokardiografi Gambaran elektrokardiografi untuk

pembesaran atrium kiri pada V1 ditandai dengan defleksi negatif gelombang P terminal > 0,04 det (Gambar 2a)4,6 Atau gelombang P bagian terminal lebih dalam dengan amplitudo > 1mm (Gambar 2b).4 Pada sandapan standar

terutama lead II adanya pembesaran atrium kiri ditandai dengan memanjangnya durasi gelombang P yaitu > 0,11 detik (Gambar 2c)4,6. Bagian awal dan terminal gelombang P pada lead II ini terlihat terpisah sehingga berbentuk lelukan (notch) yang disebut dengan P mitral, pada pembesaran atrium kiri durasi puncak lekukan gelombang p adalah > 0,04 detik (Gambar2d)4,6

Gambar 2. Pembesaran atrium kiri 4,6

Di samping itu adanya pembesaran atrium kiri ditandai dengan memanjangnya Indek Macruz. Indek Macruz diperoleh dengan membagi durasi gelombang P dengan segmen PR, nilai normal adalah 1 – 1,6. Pada pembesaran atrium kiri Indek Macruz >1,6 (Gambar 3a) hal ini oleh karena durasi gelombang P meningkat , tetapi interval PR cenderung konstan sehingga segmen PR memendek akibatnya Indek Macruz menjadi >1,6.2,4,6 Selain itu adanya pembesaran atrium kiri juga dapat ditunjukkan oleh Indek Morris yaitu gambaran durasi X dalamnya fase terminal gelombang P pada V1 > - 0,04 mm det (Gambar 3b).5,6

Gambar 3. Pembesaran atrium kiri menurut Indek Macruz dan Morris 5,6

1 mmGel. P

Gel. p a. Lead 0.04 b. Lead 0.04

1

1

Gel. P

Gel. P

Gel. P

Gel. P

0.04 0.04

0.04 0.04

a. Lead b. Lead

d. Lead c. Lead II

1 mm

Gel. Gel.

a. Lead 0.04

b. Lead 0.04

Page 65: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Abdul Gani Kriteria Pembesaran Atrium Kiri...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 59

Manuswarmy dkk6 menyatakan sensitivitas dan spesitivitas masing – masing kriteria adalah berbeda – beda. Menurut penelitian ini korelasi yang terbaik dalam menunjukkan adanya pembesaran atrium kiri adalah dengan menghitung durasi defleksi negatif gelombang P terminal pada V1> 0,04 det dengan sensitifitas 83% dan spesiitifitas 80%, sedang amplitudo gelombang P terminal pada V1> 1mm mempunyai sensitifitas 60% dan spesitifitas 93%. 2. Pengukuran Ruang Atrium Kiri Secara

Ekokardiografi Secara ekokardiografi pengukuran atrium

kiri dapat dilakukan dengan mengukur dimensi atrium kiri secara M-Mode. Oleh karena pengukurannya adalah satu dimensi maka ada suatu keterbatasan, sedang pengukuran secara 2-D dapat melakukan pengukuran ruang atrium kiri dengan berbagai bidang tomografi, tetapi juga mempunyai keterbatasan oleh karena ada area tertentu dari atrium kiri yang sering tersembunyi seperti appendage sehingga luput dari pengukuran. Pengukuran secara M-Mode ekokardiografi yaitu dengan mengukur dimensi dinding anterior dan posterior atrium kiri telah dilakukan selama bertahun – tahun. Meskipun sebenarnya pengukuran dimensi ini tidak menunjukkan volume secara sempurna, tetapi secara klinis sangat bermanfaat dalam menentukan ukuran atrium kiri. Pengukuran ini adalah sederhana sehingga sangat banyak dipergunakan oleh para kardiologis.5,7

Pengukuran dimulai dengan ekokardiografi bidimensional (2-D ekokardiografi) yang secara kasar dapat diumpamakan seperti menyayat jantung. Secara 2-D ekokardiografi pengukuran dimensi atrium kiri dilakukan melalui sayatan (potongan) parasternal long-aksis. Pada potongan jenis ini letak transduser sejajar dengan panjang dari jantung.3. Dengan menggerakkan kursor setinggi katup aorta dapat memotong ruang ventrikel kanan, aorta, dan atrium kiri. Sehingga pada posisi ini secara M-Mode ekokardiografi dapat dilakukan pengukuran dimensi ventrikel kanan, aorta, dan atrium kiri.6,8 3. Penilaian Pembesaran Ruang Atrium

Kiri Secara Ekokardiografi Menurut American Society of

Echocardiography pengukuran dimensi atrium

kiri dilakukan pada fase akhir sistole ventrikel kiri oleh karena pada fase ini dimensi atrium kiri adalah dalam ukuran terbesar. Secara M-Mode ekokardiografi fase akhir sistole ditandai dengan gerakan ke depan (up ward) dinding posterior aorta. Pengukuran mulai pada daerah yang lekukan ke atas dinding aorta posterior sampai dinding atrium kiri posterior. Nilai normal dimensi atrium kiri pada orang dewasa menurut American Society of Echocardiography adalah 19 mm samapai 40 mm dengan rata - rata 29 mm. Sedang nilai normal dimensi atrium kiri bila dikoreksi dengan Body Surface Area (LAD/m2) adalah 12 mm sampai 22 mm dengan rata – rata 15 mm.8,9,10

Disebut pembesaran atrium kiri secara M-Mode Ekokardiografi bila dimensi atrium kiri > 40 mm, dimensi atrium kiri dikoreksi dengan Body Surface Area > 22 mm/m2 atau rasio atrium kiri dengan aorta adalah > 1,17.6 4. Penyaki t -Penyaki t yang Ser ing

Menimbulkan Pembesaran Atrium Kiri Josephson dkk menunjukkan bahwa adanya

pembesaran atrium kiri pada elektrokardiografi dapat disebabkan oleh dilatasi atrium kiri, penebalan dinding atrium kiri, peningkatan tekanan pada atrium kiri dan gangguan konduksi atrium kiri atau kombinasi dari kelainan – kelainan ini. 7

Menurut penelitian yang dilakukan Manuswarmy tahun 1984 pembesaran atrium kiri paling sering ditemukan pada mitral stenosis dan juga sering ditemukan pada mitral insufiensi, aorta insufisiensi, aorta stenosis, sistemik hipertensi dan kardiomiopati dilatasi.6

Pada mitral stenosis, terjadi gangguan pembukaan daun katup mitral saat diastole. Obstruksi pada aliran atrium kiri ini mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan dan hipertropi atrium kiri. Peningkatan tekanan atrium kiri yang kronis secara berangsur – angsur akan mengakibatkan dilatasi ruang atrium kiri. Pada umumnya dilatasi ruang atrium kiri sesuai dengan derajat keparahan dari pada mitral stenosis, meskipun ada juga penderita mitral stenosis yang berat yang hanya terjadi dilatasi yang ringan pada atrium kiri. Tetapi yang jelas penyakit mitral stenosis yang kronis tanpa pengobatan akan mengakibatkan dilatasi ruang atrium kiri yang hebat.11,12 Pada mitral stenosis ringan gambaran elektrokardiografi

Page 66: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 60

dapat normal, tetapi pada mitral stenosis yang sedang dan berat terjadi perubahan elektrokardiografi yaitu gelombang P negatif pada V1 sangat menonjol oleh karena disebabkan oleh peningkatan tekanan atrium kiri, hipertropi dan dilatasi atrium kiri.5,11,12

Pada mitral insufisiensi, daun katup mitral tidak dapat menutup dengan sempurna saat sistole, akibatnya darah mengalami regurgitasi ke dalam atrium kiri. Pada mitral insufisiensi yang akut hanya terjadi peningkatan tekanan atrium kiri, tetapi pada mitral insufisiensi yang kronis telah terjadi dilatasi ruang atrium kiri yang disebabkan volume yang berlebihan (volume over load) oleh karena darah regurgitan pada ruang atrium kiri selama fase sistolik. Besarnya dilatasi atrium kiri berhubungan dengan kronisitas dan derajat keparahan mitral insufisiensi. Pada mitral insufisiensi yang berat dan lama dapat terjadi dilatasi ruang atrium kiri yang masif disertai penurunan tekanan pada ruang atrium kiri.13 Gambaran elektrokardiografi umumnya tergantung pada derajat mitral insufiensi. Pada mitral insufisiensi ringan gambaran elektrokardiografi dapat normal, sedang pada mitral insufisiensi sedang dan berat gelombang P akan terlihat berlekuk dan lebar pada lead II atau adanya defleksi negatif yang menonjol pada V1.8,13

Pada aorta insufisiensi, daun katup aorta tidak dapat menutup dengan sempurna pada saat diastole sehingga sebagian darah masuk kembali ke ventrikel kiri, hal ini menimbulkan volume yang berlebihan pada ventrikel kiri. Pada aorta insufisiensi kronis terjadi dilatasi ventrikel kiri diikuti dengan kegagalan ventrikel kiri dan atrium kiri. Pada aorta insufisiensi akut belum terjadi dilatasi ventrikel kiri, tetapi oleh karena aliran darah yang meningkat dari aorta ke ventrikel kiri saat diastole maka tekanan akhir diastole ventrikel kiri akan naik bersama dengan kenaikan tekanan atrium kiri. Baik kegagalan atrium kiri maupun peningkatan tekanan pada atrium kiri akan menimbulkan perubahan bentuk gelombang P di lead II atau V1 pada elektrokardiografi.4,11

Pada aorta stenosis, daun katup aorta tidak dapat terbuka secara sempurna pada saat sistole. Keadaan ini mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kiri, yang lama – kelamaan diikuti dengan hipertropi ventrikel kiri sehingga terjadi gangguan relaksasi ventrikel kiri yang berlanjut dengan gangguan pengisian ventrikel kiri. Selanjutnya terjadi peningkatan tekanan

atrium kiri yang diikuti dengan kegagalan atrium kiri, hal ini akan menimbulkan perubahan bentuk gelombang P pada lead II atau V1 secara elektrokardiografi.11

Hipertensi sistemik merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh peningkatan tahanan perifer. Peningkatan tahanan perifer ini menyebabkan penambahan beban jantung (after load) sehingga terjadi hipertropi ventrikel kiri yang merupakan mekanisme kompensasi dalam rangka menjaga curah jantung supaya tetap normal. Hipertropi ventrikel kiri diikuti dengan gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri, selanjutnya terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang diikuti dengan dilatasi ruang atrium kiri. Sehingga secara elektrokardiografi dapat dilihat adanya perubahan bentuk pada gelombang P pada lead II atau V1. 4,7

Kardiomiopati dilatasi adalah suatu penyakit miokard baik primer maupun sekunder yang ditandai dengan dilatasi ruang – ruang jantung dan gagal jantung kongestif Fungsi pompa sistolik ventrikel kiri berkurang secara progresif sehingga volume akhir sistolik maupun diastolik sangat meningkat. Kegagalan tidak hanya pada ventrikel kiri tetapi juga pada atrium kiri yang ditandai dengan dilatasi ruang atrium kiri. Secara elektrokardiografi dapat ditemukan adanya perubahan bentuk gelombang P pada lead II atau lead V1.8,9,15 KESIMPULAN

Elektrokardiografi mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dalam menentukan adanya pembesaran atrium kiri. Ada 6 kriteria elektrokardiografi yang secara umum diterima dan digunakan secara klinis. Kriteria dilatasi atrium kiri dilakukan pada akhir sistolik dan pengukuran aorta dilakukan pada akhir diastolik Dan secara klinis dapat juga ditunjukkan manfaat pengukuran atrium kiri.

Alat elektrokardiografi mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terhadap adanya pembesaran atrium kiri dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 75%. DAFTAR PUSTAKA 1. Foster DB. Electrocardiographic Waveforms.

In: Twelve Lead Electrocardiography for ACLS Providers. W.B. Saunders Company. USA. 1996: 5-11.

Page 67: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Abdul Gani Kriteria Pembesaran Atrium Kiri...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 61

2. Klinge R. Elektrocardiography. In: Cardiology. Mc Graw-Hill International Ltd. England. 1999: 133-52.

3. Castellanos A, Kessler KM, Myerburg RJ. The Resting Electrocardiogram. In: Hurst’ The Heart. 8 th Ed. Mc Graw-Hill Inc. USA. 1994: 321-56.

4. Conover MB. Left Atrial Abnormality. In: Understanding Electrocardiography. 6 th Ed.Mosby Year Book Inc. USA. 1992: 393 – 4.

5. Dunn MI, Lipman BS. Left and Right Atrial Enlagement. In: Lipman Massie Clinical Electrocardiography. 8 th Ed. Year Book Medical Publishers. USA. 1993: 76-8.

6. Manuswamy K, Alpert MA, Martin RH. Sensitivity and Specificity of Commonly Used Electrocardiographic Criteria for Left Atrial Enlargement Determined by M-Mode Echocardiography. Am J Cardiol 1984; 53: 829-32.

7. Netter FH. Atrial Enlargement. In: The Ciba Collection of Medical Illustrations. 5th Ed. The Case-Hoyt Corporation. USA. 1981: 58-9.

8. Feigenbaum H. Echocardiographic Measurments and Normal Values. In: Echocardiogrphy. 5 th Ed. W,B. Lea and Febiger Publisher.. USA. 1994: 658 - 61.

9. Feigenbaum H. Echocardiography. In: Braunwald Heart Disease. 4 th (ed). W,B. Saunders Company. USA. 1992: 76-115.

10. Fasoli G, Melacini P, Scognamiglio R. Echocardiography. In: Cardiology. Mc Graw-Hill International Ltd. England, 1999: 115-31.

11. Julian DG, Cowan JC, Mc Lenachan JM. Disorders of Cardiac Valves. In: Cardiology. 7 th Ed. W.B. Sauders Company. London. 1998: 252-96.

12. Otto CM. Mitral Stenosis. In: Valvular Heart Disease. W.B. Saunders Company. USA. 1999: 218-39.

13. Otto CM. Mitral Regurgitation. In: Valvular Heart Disease. W.B. Saunders Company. USA. 1999: 296-322.

14. Scognamiglio R, Marin M, Palisi M. Aortic Insuffisiency. In: Cardiology. Mc Graw-Hill International Ltd. England. 1999: 469-75.

15. Richardson PJ, Chin DT. Dilated Cardiomyopathy. In: Cardiology. Mc Graw-Hill International Ltd. England. 1999: 581-96.

Page 68: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 62

Organizational Culture in Nursing: A Systematic Review

Setiawan Lecturer at Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

Doctoral Student, Faculty of Nursing, Prince of Songkla University, Thailand

literature by summarizing large bodies of evidence. By conducting systematic reviews, we can learn how to apply scientific strategies, in ways that limit bias, to the assembly, critical appraisal, and synthesis of all relevant studies that address a specific question. This systematic review is found to be useful in understanding a concept by careful reviews of several studies and assist to get the confident of the findings. This study reviewed 11 papers related to organizational culture. The results were grouped into 3 categories: domains of organizational culture, factors influencing organizational culture, and effects of organizational culture. Issues of organizational culture in health care setting, especially in nursing, are needed to be understood because it has effects on job satisfaction, job commitment, team functioning, and team action. Keywords: systematic review, organizational culture, nursing

Abstrak: Penelusuran sistematik sangat bermanfaat untuk mendapatkan kelengkapan literatur dengan membuat ringkasan dari serangkaian hasil penelitian. Dengan melakukan penelusuran sistematik, kita dapat belajar bagaimana menerapkan strategi ilmiah, dengan cara mengurangi bias, merangkai, melakukan penilaian secara kritis, dan melakukan sintesis terhadap semua penelitian yang relevan yang berupaya menjawab sebuah pertanyaan yang spesifik. Penelusuran sistematik sangat berguna dalam memahami sebuah konsep dengan cara penelusuran yang cermat dari beberapa penelitian dan membantu meningkatkan rasa percaya terhadap hasilnya. Penelitian ini menelusuri 11 makalah yang terkait dengan budaya organisasi. Hasilnya dikelompokkan ke dalam 3 kategori: ranah budaya organisasi, faktor-faktor yang mempengaruhi budaya organisasi, dan efek budaya organisasi. Isu-isu tentang budaya organisasi dalam bidang kesehatan, terutama dalam keperawatan, perlu dipahami karena budaya organisasi berpengaruh pada kepuasan kerja, komitmen terhadap pekerjaan, berfungsinya suatu tim, dan aksi suatu tim. Kata kunci: penelusuran sistematik, budaya organisasi, keperawatan INTRODUCTION

Within organization, people interact with each other in a variety ways. Patterns of interaction then are formed, and share of cultural knowledge occurs. This shared knowledge is used by organizational members to make sense of past experience and provide framework for interpreting situations and deciding present and future actions.

Culture is defined as the totality of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought.1 While organization is defined as a group of persons organized for a particular purpose.1 McNamara basically defined an

organization as a group of people intentionally organized to accomplish an overall, common goal or set of goals.2

An organizational culture is the ways of thinking, behaving, and believing that members have in common.3 Organizational culture refers to a pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems.4

Every organization has its distinct characters. People make organizations work,

Page 69: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Setiawan Organizational Culture in Nursing:…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 63

and the culture of the organization ties people together, giving them meaning and a set of principles and standards to live and work.

Basically, organizational culture is the personality of the organization. Culture is comprised of the assumptions, presuppositions, values, norms and tangible signs (artifacts) of organization members and their behaviors.5 Culture is one of those terms that's difficult to express distinctly, but everyone knows it when they sense it. The culture or personality of an organization, by its nature, places certain restrictions and boundaries around behavior.

Significance of the Organizational Culture

Several case studies demonstrated how health care organization can successfully foster organizational culture resulting in improved quality, efficiency, safety, and patients and staff satisfaction. Elements of culture should be reflected in human resources policies in form of hiring practices and performance expectations related to professional values. Health care organizations have a promising opportunity to foster organizational culture given the values taught and socialized in nursing, the prevalence of nurses in the health care work-force, and the central role that nurses play in care delivery.6

Within a health organization, culture are likely to found practices, beliefs, values and assumptions that tend by their very nature to strongly resist attempts to change them. In common with the human relations movement, organizational culture emphasizes the socially dynamic aspect of organizations. An infusion of the organization by values, and an associated resistance to change, are both important aspects of the study of organizational culture.

The organizational culture that is conceived as comprising shared key values and beliefs fulfils several important functions.7 1. It conveys a sense of identity for

organization members. 2. It facilitates commitment to something

larger than the self. 3. It enhances social systems stability. 4. It provides a sense-making device to guide

behaviors. Organizational culture also has impacts

on individual such as on employee morale, commitment, productivity, physical health,

and emotional well being.8 The culture of a work organization drives the behavior of its employees. Organizational culture can serves as cognitive map for members so they can understand what is valued in their organization and how to direct their behaviors accordingly.

The concept of culture is particularly important when attempting to manage organization-extensively change. Practitioners are coming to realize that, despite the best-laid plans, organizational change must include not only changing structures and processes, but also changing the organizational culture as well. Understanding the organizational culture is helpful in understand why change does not take place in an organization, or why a project fails. It will also be helpful to determine where to strive to make changes to the culture. Objectives of the Study

Objectives of this study are to present the available information about the organizational culture for development of an instrument to measure the culture of nursing organizations and for effectiveness of interventions designed to improve quality of nursing service. The study also provide a narrative summary of the domains of organizational culture, factors influencing organizational culture, and impact of organizational culture.

Method of the Study

Search sought to identify published studies and utilized a range of electronic databases using accepted search techniques, and included CINAHL, MEDLINE, Findarticles.com website, and Sciencedirect.com website range from 1980-2005. These are databases of literature emanating from a variety of disciplines including nursing, medicine, and general disciplines for the websites of findarticles and sciencedirect. The key words used were: organizational and culture.

To filter the articles being reviewed, selection criteria was used. The criteria to select material for inclusion in the review were as follows: studies of organizational culture; English language; publication in journal from 1980 up to 2005; and any qualitative or quantitative methods. Dissertation and published abstracts were excluded.

Page 70: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 64

Each paper selected for review was evaluated by the author by using constructed a matrix to record the following data for each reviewed paper: type of study, purpose of enquiry, method and participants, summary of findings, and summary for implication for practice.

Results of the Study

This study reviewed 11 papers which appeared to meet the inclusion criteria. Papers that were exclusively theoretical or methodological or not specific to organizational culture were excluded.

The research methods used by the studies cited in this review were: 9 quantitative studies (survey, evaluation approach, correlational study, and exploratory study), qualitative studies (ethnography study), and using both methods quantitative and qualitative.

The results of this study are presented in the following categories: 1. Domains of organizational culture. 2. Factors influencing organizational culture. 3. Effects of organizational culture. Domain of Organizational Culture

Domain of organizational culture has been described as forms of central category of core values and beliefs. Understanding values and beliefs is an important part of understanding a workplace culture. This review revealed that a study of the workplace culture of a special care nursery proposed 4 key categories of domain of organizational culture: teamwork, learning in practice, inevitability of change and family-centered care.9 In teamwork, there are values and beliefs of cooperation and harmony. In learning in practice category there are values and beliefs of partnership, questioning, and team focused. Enablers and new ideas are the values and beliefs under category of inevitability of change. Finally for family-centered care category, the values and beliefs are empowerment of families, continuity, and enabling environment. Delobbe, Haccoun and Vandenberghe identify five fundamental core dimension of organizational culture: recognition-support, commitment-solidarity, innovation-productivity, control, and continuous learning.10

Factors Influencing Organizational Culture Culture of an organization is influenced by

many factors. These factors could be from external and internal environment.11 Economic and political system, external regulation, and public attitudes are the external factors that can influence organizational culture. Whilst, the organizational arrangements of job design, reporting hierarchy, rewards system, and teams are internal environmental factors that can influence organizational culture.

Effects of Organizational Culture

Several studies addressed the effect of organizational culture on the organization. Strength of organizational culture predicted job satisfaction well and positively.12 The concepts of organizational core task and organizational culture could be useful as management tools to anticipate the consequences of organizational change.13 It is confirmed that organizational culture plays a mediation role between HR system and firm’s innovation outcome.14

There is a relationship between the degree to which individual believes in the values of the company and the individual’s amount of job satisfaction and job commitment.15 In medical setting, a study found that organizational culture model can show opportunities for better information exchange and open dialogue between groups in the organization.16 Organizational culture is also predictor of commitment of employee to the organization.17 In the study of influence of hospital culture, it is found that the culture is associated positively with the team functioning in term of team relation (interprofessional relations, physician support, organization, task orientation, and innovation) and team action (teamness, communication, effectiveness, and collaboration).18 CONCLUSION

A systematic review is a summary of the healthcare literature that uses explicit methods to perform a thorough literature search and critical appraisal <http://en.wikipedia.org/w/index.php? title=Critical_appraisal&action=edit> of individual studies to identify the valid and applicable evidence, and then uses appropriate techniques to combine these valid studies. Systematic review on organizational culture was

Page 71: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Setiawan Organizational Culture in Nursing:…

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 65

conducted in this study, which its purposes was to present the available information about the organization culture and to provide a narrative summary of the domain, factors influencing, and effects of organizational culture.

This systematic review of organizational culture revealed, from 11 research papers, the domain of organizational culture, factors influencing organizational culture, and the effects of organizational culture. Teamwork, learning in practice, inevitability of change, and family centered care, recognition-support, commitment-solidarity, innovation-productivity, control, and continuous learning are the identified domain of organizational culture found this study. There are two main factors influencing organizational culture that are external factor (such as economic and political system, external regulation and public attitudes) and internal factors (such as arrangement of job design, reporting hierarchy, reward system, and teams). This systematic review also found the effects of organizational on various aspects of organization such as on job satisfaction, job commitment, team functioning, and team action. REFERENCES 1. The American Heritage® Dictionary of

the English Language. (2000). Fourth Edition. Houghton Mifflin Company. Retrieved from <http://education. yahoo. com>/reference/dictionary/entry/culture.

2. McNamara, C, (1999). Basic Definition of Organization. Retrieved from <http:// www.managementhelp.org/org_thry/org_ defn.htm>.

3. Thomas, C., Ward, M., Chorba, C., & Kumiega, A. (1990). "Measuring and Interpreting Organizational Culture." Journal of Nursing Administration,17-24.

4. Schein, E.H. (1992). Organizational culture and leadership. Retrieved from <http://www.tnellen.com/ted/tc/schein.html>.

5. McShane, S.L. & Von Glinow, M.A. (2003). Organizational behavior: emerging realities for the workplace revolution. New York: McGraw-Hill.

6. Wooten, L. & Crane, P. Nurses as Implementers of Organizational Culture (2003). Nursing Economics Journal, 21: 275-279.

7. Smircich, L. (1983). Concepts of culture and organizational analysis. Administrative Science Quarterly, 28, 339-358.

8. Cameron, K.S. & Quinn, R.E. (1999). Diagnosing and changing organizational culture. Addison-Wesley, Reading, MA.

9. Wilson, V.J., McCormack, B.G., & Ives, G. (2004). Understanding the workplace culture of a special care nursery. Journal of Advanced Nursing, 50,1, 27-38.

10. Delobbe, N., Haccoun, R.R., & Vanderberghe, C. (2005). Measuring core dimensions of organizational culture: a review of research and development of a new instrument. Download from www.iag.ocl.ac.be/papers/wp53.pdf.

11. Yamaguchi, S. (2004). Nursing culture of an operating theatre in Italy. Nursing and Health Sciences, 6, 261-269.

12. Tzeng,H.M., Ketefian, S., & Redman, R.W. (2000). Relationship of nurses’ assessment of organizational culture, job satisfaction, and patient satisfaction with nursing care. International Journal of Nursing Studies, 39, 79-84.

13. Reiman, T., Oedeald, P, & Rollenhagen, C. (2005). Characteristics of organizational culture at the maintenance units of two Nordic nuclear power plants. Reliability Engineering and System Safety, 89, 331-345.

14. Lau, C.M. & Ngo, H.Y. (2004). The HR system, organizational culture, and product innovation. International Business Review, 13, 685-703.

15. Richie, M. (2000). Organizational culture: an examination of its effect on the internalization process and member performance. Southern Bussiness Review. Retrived from www.findarticles.com <http://www.findarticles.com>.

16. Smith, C.S., Francovich,C., & Gieselman, J. (2000). Pilot test of an organizational culture model in a medical setting. Health Care Manager, 19, 2, 68-77.

Page 72: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 66

17. Ingersoll, G.L., Kirsch, J.C., Merk, S.E, & Lightfood, J. (2000). Journal of Nursing Administration, 30, 1, 11-20.

18. Strasser, D.C., et al. (2002). The influence of hospital culture on rehabilitation team functioning in VA hospitals. Journal of Rehabilitation Research and Development, 39,1, 115-125.

Page 73: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 67

Ensefalitis pada Infeksi HIV

Kiki Mohammad Iqbal*, Kiking Ritarwan*, dan Umar Zein** * Departemen Neurologi, Fakultas Kedoteran, Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik, Medan

** Divisi Ilmu Penyakit Tropis Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik, Medan

Laboratory examination of HIV infection/AIDS are divided into: antibodi and antigen HIV examination, immunitas state examination and examination of opportunistic infection and neoplasm. Management HIV infection/AIDS included medication, nursing care/rehabilitation and education. Medication of patients with HIV infection/AIDS are aimed for HIV viral (antiretroviral drugs), opportunistic infections, secondary neoplasm, immunitas state, and for symptomatic and supportive.

LAPORAN KASUS

Page 74: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 68

Natural course of AIDS have not known certainly. Recurrent HIV infection and existence the other infections cause illness progressiveness. Keywords: Human Immunodeficiency Virus (HIV), Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), encephalitis PENDAHULUAN

Ensefalitis merupakan suatu proses peradangan/inflammasi pada jaringan otak.1 Ensefalitis pada infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan peradangan pada parenkim otak akibat komplikasi dari infeksi HIV, baik komplikasi primer oleh karena infeksi HIV itu sendiri ataupun komplikasi sekunder oleh karena keadaan immunodefisiensi (infeksi opportunistik). 2,3 AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) didefinisikan sebagai suatu sindrome atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi immun yang berat, dan merupakan manifestasi stadium akhir infeksi HIV.4

Pada bulan Desember 2002, WHO (World Health Organization) memperkirakan sebanyak 42 juta penduduk mengidap HIV. Pada tahun 2002 dijumpai 5 juta penduduk yang baru terinfeksi dengan HIV dan 3,1 juta penduduk yang meninggal akibat HIV. Tanpa adanya upaya pencegahan global yang lebih efektif, diperkirakan antara tahun 2002 dan 2010, 45 juta penduduk akan terinfeksi oleh HIV.5

Di Indonesia, kasus pertama HIV/AIDS ditemukan pada tahun 1987 di Bali. Akan tetapi penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995. Dalam Laporan Eksekutif Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang ancaman HIV/AIDS di Indonesia (2002), dinyatakan bahwa pada tahun 2002, jumlah orang yang rawan tertular HIV di Indonesia diperkirakan antara 13 juta sampai 20 juta orang. Sedangkan jumlah orang dengan HIV/AIDS diperkirakan antara 90.000-130.000 orang.6

Pada seluruh dunia, aktivitas heteroseksual merupakan cara penyebaran yang paling sering.7,8 Di Indonesia, sejak tahun 1999 infeksi HIV mulai terlihat pada para pengguna Narkotik suntikan (Injection Drug User/IUD). Pada tahun 1999 hanya 18% IDU yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, terinfeksi HIV. Tetapi pada tahun 2000 meningkat cepat menjadi 40% dan pada tahun 2001 menjadi 48%.6

HIV merupakan suatu virus ribonucleid acid (RNA) yang termasuk retrovirus (famili lentivirus).4,9 HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti HIV dan akan mengubah informasi genetika dari RNA virus menjadi deoxy-ribonucleid acid (DNA).4,7,9 HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah: sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans.4 Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus ke permukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel.7

HIV memasuki SSP pada saat kejadian infeksi primer dan dapat muncul secara tidak jelas, acute self-limited syndrome atau kelainan kronik. Hal ini disebabkan oleh HIV itu sendiri, infeksi opportunistik sekunder atau neoplasma, kelainan metabolik, riwayat medis atau gangguan nutrisi. Bagaimana HIV itu sendiri memasuki SSP masihlah tidak diketahui. Mekanisme yang memungkinkan mencakup transport intraseluler melewati blood-brain barrier dalam makrofag yang terinfeksi, penempatan virus bebas pada leptomeningens, atau virus bebas setelah replikasi dalam pleksus khoroideus atau epithelium vaskular.4

Infeksi HIV primer dapat bersifat asimptomatik, atau pada 50-70% penderita muncul dalam bentuk akut, self-limiting mononucleosis-like illness dengan demam, nyeri kepala, mialgia, malaise, lethargi, sakit tenggorokan, limfadenopati, dan bintik makulopapular. Infeksi akut ditandai dengan viremia, dijumpai angka replikasi virus yang tinggi, mudahnya isolasi virus dari limfosit darah perifer dan level serum antigen virus p24 yang tinggi. Diikuti limfositosis, khususnya limfosit CD8, dengan inversi perbandingan CD4/CD8.7

Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut: Infeksi virus (2-3 minggu) → sindrome retroviral akut (2-3 minggu) → gejala menghilang + serokonversi → infeksi kronis HIV asimptomatik (rata-rata 8

Page 75: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Kiki Mohammad Iqbal dkk. Ensefalitis pada Infeksi HIV

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 69

tahun, di negara berkembang lebih pendek) → infeksi HIV/AIDS simptomatik (rata-rata 1,3 tahun) → kematian.6

Gejala dan tanda neurologi terjadi pada 30-70% kasus infeksi HIV.10 Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat dikelompokkan menjadi: (a) Primer/ komplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIV yaitu apabila perubahan patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri, dan (b) Sekunder/komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari proses immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma. 2,3,5,8,9,10

Kelainan neurologi dapat muncul pada setiap stadium dari infeksi pertama dan terjadinya serokonversi pada AIDS.7 Sebagian besar kelainan neurologi terbatas pada stadium simptomatik dari infeksi HIV (AIDS dementia complex).8 Kelainan neurologi dapat muncul dalam waktu 10 minggu dari infeksi HIV.12 Pendapat lain menyatakan dalam waktu 6 minggu dari infeksi.8

Di samping pengaruh langsung kelainan neurologi pada infeksi HIV, bermacam kelainan opportunistik, baik fokal maupun non fokal, dapat muncul pada beberapa penderita.9

Kelainan neurologi yang timbul dari infeksi opportunistik akibat HIV bergantung pada lokalisasi neuroanatomi yang terlibat.11

Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibedakan atas beberapa kelompok, yaitu: Pemeriksaan antibodi (Ab) HIV (dengan cara Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA/EIA), Western Blot (WB), dan Immuno Fluorescent Antibody (IFA)). Pemeriksaan antigen (Ag) HIV (dengan cara pembiakan virus, antigen p24 dan Polymerase Chain Reaction (PCR)). Pemeriksaan status immunitas yaitu lab darah dan jumlah limfosit CD4, dan pemeriksaan terhadap infeksi opportunistik dan keganasan. 4,13

ELISA memiliki sensitifitas dan spesifisitas lebih dari 98%. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western Blot (WB).4,7,13 Pemeriksaan antigen p24 bermanfaat dalam deteksi dini infeksi HIV, monitoring aktivitas penyakit dan respons therapi.13 PCR merupakan metode yang sangat sensitif. Memiliki sensitivitas 97-100%. Manfaatnya adalah: deteksi infeksi awal dan laten (antibodi tidak terdeteksi), deteksi infeksi pada bayi atau anak yang

membawa antibodi IgG dari ibu dan konfirmasi EIA (+) dan WB indeterminate. 13

Infeksi opportunistik dan neoplasma pada SSP yang berhubungan dengan infeksi HIV, umumnya muncul jika dijumpai keadaan immunodefisiensi berat (jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm3). 8,12,14 Evaluasi untuk sindrome neurologik yang spesifik sebaiknya didahului dengan pemeriksaan fisik umum untuk menyingkirkan infeksi opportunistik atau neoplasma. Juga diperlukan pemeriksaan kultur darah untuk virus dan fungi.7

Pemeriksaan electroencephalography (EEG) dapat menunjukkan adanya lesi fokal bila scans bersifat nondiagnostik. Pemeriksaan CSS lebih berguna pada kasus infeksi sifilis dan fungal atau tuberkulosa. Virus jarang dikultur dari CSF. Amplifikasi PCR pada CSS dapat berguna dalam diagnosa infeksi CMV, toxoplasmosis atau PML.

Pemeriksaan computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) berguna dalam membedakan lesi fokal dari lesi otak diffus.7 Imaging memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosa PML.15 Biopsi otak dapat diperlukan untuk diagnosis.7

Diagnosa banding dari infeksi opportunistik dan neoplasma pada SSP yang berhubungan dengan infeksi HIV diantaranya yaitu: Ensefalitis Cytomegalovirus, Meningitis (Cryptococcus dan Tuberkulosa), Toxoplasmosis, Progressive multifocal leukoencephalo-pathy (PML), Limfoma SSP, AIDS Dementia Complex (ADC) (HIV Dementia). 3,7,8,12,15

Penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS

ditujukan terhadap: virus HIV (obat antiretroviral), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif. 4

Obat-obat antiretroviral dapat memperbaiki morbiditas pada HIV dan dapat memperpanjang survival.7 Sesuai perkembangan pada terapi HIV terdapat tiga kelas obat antiretroviral yang telah diakui penggunaannya yaitu: nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), dan protease inhibitors (PIs). 2,7 Agar tercapainya penggunaan obat secara potensial maka digunakan paling sedikit tiga jenis obat dari paling sedikit dua kelas obat antiretroviral.5,7,9 Secara khusus meliputi dua obat NRTIs dan lainnya satu NNRTIs atau PIs.7

Page 76: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 70

Pengobatan untuk infeksi opportunsitik dan kanker sekunder bergantung pada penyakit infeksi atau kanker apa yang ditimbulkan 3,7 Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit.4

Perjalanan alamiah penyakit AIDS belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa infeksi HIV yang berulang dan pemajanan terhadap infeksi-infeksi lain mengakibatkan progresifitas penyakit. Median survival pasein AIDS adalah 1-2 tahun untuk negara maju dan kurang dari 1 tahun untuk negara yang sedang berkembang. 4 LAPORAN KASUS

Seorang pria, 28 tahun, datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Dari autoanamnese didapati bahwa penurunan kesadaran dialami penderita sejak 4 hari sebelum masuk RSHAM, terjadi perlahan-lahan dan semakin memburuk. Riwayat demam (+) 1 bulan sebelum terjadinya penurunan kesadaran. Kejang (+) 4 hari sebelum masuk RSHAM, bersifat menghentak-hentak seluruh tubuh, frekuensi 1-3 kali per hari, dengan lama kejang 2-5 menit per kali. Riwayat nyeri kepala (+), hilang timbul. Riwayat muntah (+) 2-3 kali per hari dalam kurun waktu 1 bulan, muntah tidak memancar. Riwayat trauma kepala (-).

Riwayat pengguna narkoba (+) 10 tahun yang lalu (sejak SMA). Riwayat batuk berdahak (+) dan keringat malam (+) 4 bulan ini, disertai riwayat penurunan berat badan > 10 kg dalam 6 bulan terakhir. Sebelumnya (2 bulan sebelum ke RSHAM) penderita pernah berobat di salah satu RS Swasta di Medan dengan keluhan badan lemas, yang kemudian berobat jalan di poliklinik Penyakit Dalam RSHAM. RPT: Infeksi HIV, TB paru. RPO: OAT (INH, Rifampicin, Ethambutol) selama 4 bulan, obat antiretroviral selama 1 tahun.

Dari pemeriksaan fisik dijumpai sensorium somnolent, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 88 x/menit, pernafasan 28 x/menit dan temperatur febris. Dari pemeriksaan neurologis dijumpai sensorium somnolent, hiperrefleks pada kedua KPR/APR, refleks Babinski kiri dan kanan (+). Dari pemeriksaan Funduscopi tidak dijumpai kesan suatu papil oedem.

Dari pemeriksaan lab darah dijumpai leukopenia/limfopenia (leukosit 3,08 x 103/mm3, diftel 5/0/3/75/12/5), peningkatan SGOT (102 U/l) dan SGPT (162 U/l), dan foto thorax normal. Pada gambaran Head CT Scan tampak densitas white matter menurun pada daerah supratentorial, tampak dilatasi ventrikel lateralis, tidak tampak mass effect maupun midline shift, cortical sulci menyempit. Dijumpai kesan sesuai gambaran encephalitis dengan hydrocephalus ringan. Dari analisa cairan serebrospinalis (CSS) didapati warna jernih, jumlah sel 8/mm3, glukosa normal (68 mg/dl), peningkatan total protein (0,4 gr/dl), MN (98%) > PMN (2%), Nonne (-), dan Pandy (+). Tidak dijumpai kuman dari hasil kultur.

Dari hasil laboratorium sebelumnya didapati hasil test narkoba (-). Hasil analisa HIV: Immunodot (Entebe) (+), Determine (Abbot) (+), Elisa (Organon) Abs > 3,000 dengan Cut off 0,243. Dari hasil pemeriksaan Diagnostik Molekuler CD4 dan CD8 dijumpai Lymphocyte T helper sangat kurang (CD4 Abs 21 cell/μl) sedangkan Lymphocyte T superior normal (CD8 Abs: 411 cell/μl).

Berdasarkan hasil anamnese, gambaran klinis, hasil pemeriksaan lab darah, analisa cairan serebrospinalis, analisa HIV dan diagnostik molekuler CD4 dan CD8 serta dari hasil gambaran Head CT Scan ditegakkan diagnosa suatu Ensefalitis viral dengan infeksi HIV. Therapi yang diberikan yaitu perawatan koma, anti oedem serebri (Injeksi Dexametason) dan anti kejang (Injeksi Diazepam). Sebelumnya dari Internist (Divisi Penyakit Tropis Infeksi) telah diberikan Antibiotika dan obat anti tuberkulosa. Penderita sebelumnya sudah pernah mendapat pengobatan anti retroiviral selama 1 tahun tetapi berobat tidak teratur. Saat ini tidak diberikan lagi obat antiretroviral. DISKUSI

Pada kasus ini seorang pria berusia 28 tahun didiagnosa dengan Ensefalitis viral pada infeksi HIV berdasarkan hasil anamnese, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan lab darah dan analisa HIV, analisa cairan serebrospinalis (CSS) dan hasil pemeriksaan Head CT Scan.

Penderita ini sebelumnya telah dirawat oleh Internist dengan Diagnosa AIDS dengan TB paru tersangka, yang kemudian

Page 77: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Kiki Mohammad Iqbal dkk. Ensefalitis pada Infeksi HIV

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 71

dikonsulkan ke Neurologist karena terjadinya penurunan kesadaran dan adanya kejang. Adanya riwayat pengguna narkoba dan dari hasil pemeriksaan analisa HIV positif, maka penderita didiagnosa telah terinfeksi oleh kuman HIV sebelumnya. Dari hasil diagnostik molekuler CD4 dan CD8 didapati jumlah limfosit T helper (CD4) sangat kurang (21 cell/μl). Ini menunjukkan keadaan immunodefisiensi yang berat pada penderita.

Dari anamnese adanya riwayat penurunan kesadaran, demam, kejang dan nyeri kepala dapat mengarah ke suatu diagnosa ensefalitis. Pada Head CT Scan tampak densitas white matter menurun dan dilatasi ventrikel lateralis. Kesan sesuai gambaran encephalitis dengan hydrocephalus ringan (Gambar 1). Dari analisa CSS didapati warna jernih, jumlah sel 8/mm3, peningkatan total protein (0,4 gr/dl), glukosa normal (69 mg/dl), MN (98%) > PMN (2%), Nonne (-), dan Pandy (+). Hasil analisa CSS dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab

kuman pyogenik. Dari kepustakaan disebutkan juga bahwa penyebab ensefalitis terbanyak adalah virus. Berdasarkan hal ini dibuat diagnosa kasus ini adalah Ensefalitis viral.

Setelah dilakukan pemeriksaan Head CT Scan dan CSS serta adanya hasil analisa HIV dan jumlah CD4 sebelumnya, maka dibuatlah diagnosa banding penderita ini dengan HIV ensefalopati, progressive multifocal leukoencephalopathy (PML), meningitis serosa, toxoplasmosis dan limfoma SSP. Dimana diagnosa banding ini merupakan infeksi opportunistik yang lajim ditemukan pada infeksi HIV.

Pada kasus ini didiagnosa banding pertama dengan HIV ensefalopati berdasarkan gejala klinisnya yang predominan non fokal dan bersifat general. HIV ensefalopati sementara disingkirkan karena tidak dijumpainya riwayat gangguan kognitif dan tingkah laku. Dan dari gambaran CT Scan kasus ini tidak dijumpainya atrofi kortikal.

Gambar 1. Head CT Scan penderita ensefalitis pada infeksi HIV

Page 78: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 72

Diagnosa banding progressive multifocal leukoencephalopathy (PML) dibuat berdasarkan gambaran CT Scan kasus ini tampak area hipodens di subkortikal white matter tanpa adanya efek massa, yang gambaran ini juga mirip dengan PML. PML untuk sementara disingkirkan karena tidak adanya gambaran lesi dengan pinggiran luar berlekuk-lekuk (scallope) pada kasus ini.

Diagnosa banding meningitis serosa dibuat berdasarkan adanya riwayat TB paru pada penderita ini secara klinis dan dari hasil analisa CSS. Meningitis sementara disingkirkan karena secara klinis tidak dijumpainya tanda perangsangan meningeal pada kasus ini. Dan hasil CT biasanya normal pada meningitis. Sedangkan pada kasus ini terlihat gambaran hipodens di white matter.

Diagnosa banding toxoplasmosis dibuat karena gejala klinisnya kadang dapat berupa ensefalopati subakut, selain gejala fokal progresif kronik dan juga seizure. Toxoplasmosis disingkirkan pada kasus ini karena dari CT Scan tidak terlihat gambaran lesi intraparenkimal multiple. Diagnosa banding limfoma SSP sementara dapat disingkirkan pada kasus ini karena tidak dijumpainya lesi hipodens dan lesi single atau multiple yang sering berlokasi pada daerah periventrikular atau frontalis dari gambaran scanningnya.

Untuk diagnosa pasti selanjutnya pada penderita ini harus dilakukan pemeriksaan amplifikasi PCR pada CSS untuk mendeteksi DNA mikroorganisme penyebab.

KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang penderita dengan diagnosa Ensefalitis viral pada infeksi HIV yang ditegakkan berdasarkan hasil anamnese, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan lab darah dan analisa HIV, analisa CSS dan hasil pemeriksaan Head CT Scan. Cara penularan HIV pada kasus ini yaitu akibat pemakaian jarum tidak steril/ pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya pada pecandu narkotik suntuk.

Saran diperlukan pemeriksaan selanjutnya dengan tehnik PCR pada CSS untuk mendeteksi DNA mikroorganisme penyebab pada kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA 1. Johnson RT. Viral Infections of the Nervous

System. Proceedings of the 17th World Congress of Neurology; 2001 June 17-22; London. Indonesia: Bandung; 2002.

2. Clifford DB. Neurologic Diseases Associated with HIV-1 Infection. In: Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC, editors. Current Therapy in Neurologic Disease. 6th ed. St. Louis: Mosby; 2002. p. 130-4.

3. Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2000.

4. Merati TP. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Noer HMS, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. hal. 543-50.

5. Marra CM. Human Immunodeficiency Virus. In: Scheld WM, Whitley RJ, Marra CM, editors. Infections of the Central Nervous System. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004. p. 273-86.

6. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA. Jakartan; 2003.

7. Britton CB. Acquired Immunodeficiency Syndrome. In: Rowland LP, editor. Merritt’s Neurology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2000. p. 163-75.

8. McArthur J. AIDS 2000: Epidemiology and Therapy. American Academi of Neurology. 2000.

9. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurologi. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2001.

10. Octaviani, Jannis J. Manifestasi neurologi pada Infeksi HIV/AIDS. Neurona 2002; 19 (4): 33-6.

11. Marra CM. Infections of the Central Nervous System. In: Samuels MA, editor. Manual of Neurologic Therapeutics. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004. p. 521-41.

Page 79: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Kiki Mohammad Iqbal dkk. Ensefalitis pada Infeksi HIV

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 73

12. Colebunders R. HIV. In: Shakir RA, Newman PK, Poser CM, editors. Tropical Neurology. London: WB Saunders Company Ltd; 1996. p. 37-49.

13. Kurniati HD. Diagnosis Laboratorik Penyakit Infeksi SSP. Ciloto: Prodia; 1998.

14. Marra CM. Opportunistic Infections in AIDS. American Academy of Neurology. 2000.

15. Sze G, Lee SH. Infectious Diseases. In: Lee SH, Rao KCVG, Zimmerman RA, editors. Cranial MRI and CT. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 1999. p. 453-516.

Page 80: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 74

Benda Asing Kacang di Trakea

Abdul Rahman Saragih dan Aliandri Departemen/SMF THT-KL Fakultas Kedokteran,

Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan

Page 81: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 75

Page 82: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 76

Page 83: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 77

slap” dan “palpatory thud”. Suara wheezing seperti pada asma juga bisa ada dan lebih terdengar bila pasien membuka mulut.2

c. Benda asing di bronkus Kebanyakan benda asing memasuki bronkus kanan karena lebih lebar dan lebih segaris dengan lumen trakea. Benda asing dapat menyumbat secara total bronkus lobaris atau segmental dan mengakibatkan atelektasis atau obstruksi parsial yang berfungsi seperti katup satu arah dimana udara dapat masuk ke paru-paru tetapi tidak dapat keluar, sehingga menyebabkan emfisema obstruktif.

Obstruksi, erosi dan infeksi yang terjadi pada

fase ini akan menimbulkan manifestasi penyakit-penyakit paru yang merupakan komplikasi dari adanya benda asing di saluran nafas.2,3

Dari pemeriksaan kami menduga lokasi benda asing pada penderita ini di trakea. Dugaan ini diperkuat dengan adanya stridor inspiratoir dan ekspiratoir, disertai dengan riwayat tersedak kacang tanah. Tidak adanya

tanda auditory slap dan palpatory thud menurut pendapat kami karena kacang tanah adalah benda asing organik yang cepat menimbulkan reaksi peradangan dan edema lokal, serta bertambahnya ukuran benda asing itu sendiri karena menyerap cairan dari jaringan di sekitarnya sehingga benda asing tersebut terjepit di dalam lumen trakea. Hal ini didukung oleh temuan sewaktu dilakukan tindakan bronkoskopi dimana mukosa trakea di sekitar benda asing tersangkut tampak edema dan hiperemis; benda asing itu sendiri rapuh, mudah terpecah ketika diekstraksi walaupun tanpa penjepitan yang kuat. DIAGNOSIS

Diagnosa benda asing di saluran nafas ditegakkan berdasarkan atas anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, radiologis dan tindakan bronkoskopi.1,7-11,13

Anamnesis

Anamnesa yang teliti mengenai riwayat aspirasi dan gejala inisial sangat penting dalam diagnosis aspirasi benda asing. Kecurigaan adanya benda asing dan gejala inisial (choking) adalah dua hal yang signifikan berhubungan dengan kasus aspirasi benda asing. Pada anak-anak kadang-kadang episode inisial belum dapat diungkapkan dengan baik oleh anak itu sendiri dan tidak disaksikan oleh orang tua atau pengasuhnya sehingga gejalanya mirip dengan penyakit paru yang lain.1,7-10 Gejala yang sering ditemukan pada kasus aspirasi benda asing yang telah berlangsung lama antara lain batuk, sesak nafas, wheezing, demam dan stridor.8 Perlu ditanyakan juga telah berapa lama, bentuk, ukuran dan jenis benda asing untuk mengetahui simtomatologi dan perencanaan tindakan bronkoskopi.7,13

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang menyeluruh pada kasus aspirasi benda asing sangat diperlukan. Kegawatan nafas atau sianosis memerlukan penanganan yang segera. Pada jam-jam pertama setelah terjadinya aspirasi benda asing, tanda yang bisa ditemukan di dada penderita adalah akibat perubahan aliran udara di traktus trakeobronkial yang dapat dideteksi dengan stetoskop. Benda asing di saluran nafas akan menyebabkan suara nafas melemah atau timbul suara abnormal seperti wheezing pada satu sisi paru-paru.1,7,13,14

Page 84: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 78

Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis penderita aspirasi

benda asing harus dilakukan.7 Dianjurkan untuk membuat foto berikut: 1. Foto jaringan lunak leher PA dan lateral

posisi ekstensi Dapat memperlihatkan benda asing radio-opak dan kadang-kadang bahkan benda asing radiolusen pada laring dan trakea.

2. Foto torak PA dan lateral 3. Foto torak akhir inspirasi dan ekspirasi

Dapat memperlihatkan atelektasis dan emfisema obstruktif. Juga dapat terlihat bukti tidak langsung adanya benda asing radiolusen.

4. Fluoroskopi/videofluoroskopi Dilakukan pemeriksaan selama inspirasi dan ekspirasi pada kasus yang meragukan untuk melihat adanya obstruksi parsial paru.

5. Bronkogram Untuk memastikan adanya benda asing radiolusen atau untuk mengevaluasi bronkiektasis.2

Diagnosa benda asing di saluran nafas

dapat ditegakkan pada hampir 70% kasus. Harus diingat bahwa tidak terdapatnya kelainan radiologis tidak berarti adanya benda asing dapat disingkirkan. Foto torak cenderung memberikan gambaran normal pada 1/3 pasien yang didiagnosa sebagai aspirasi benda asing dalam 24 jam pertama kejadian.1,4,13

CT Scan berguna pada kasus yang tidak terdeteksi dengan foto sinar X, seperti benda asing kacang yang bersifat radiolusen. 4,7,13 Tetapi penulis lain mengatakan bahwa tidak ada indikasi yang jelas bagi pemeriksaan CT Scan pada penderita yang diduga teraspirasi benda asing.3

Bronkoskopi

Anamnesis dan pemeriksaan radiologis sering menunjukkan dugaan aspirasi benda asing, tetapi bukan diagnosa pasti. Pada keadaan ini harus dibuktikan adanya benda asing dengan bronkoskopi untuk diagnosis dan terapi.1,7,13 Bahkan Barrios et al menyarankan bronkoskopi harus dilakukan pada anak-anak dengan riwayat gejala inisial aspirasi benda asing (choking crisis).8

DIAGNOSIS BANDING Penyakit-penyakit di bawah ini dapat

menimbulkan gejala yang mirip dengan benda asing di traktus trakeobronkial: 1. Bronkitis 2. Pneumonia 3. Asma bronkial 4. Croup 5. Tumor7,8 PENATALAKSANAAN

Prinsip umum penatalaksanaan aspirasi benda asing adalah mengeluarkan benda asing tersebut dengan segera dalam kondisi yang paling aman dan trauma yang minimal.1,6,7 Situasi yang dianggap gawat darurat adalah: 1. Obstruksi jalan nafas akibat sumbatan

total benda asing di laring atau traktus trakeobronkial yang harus diatasi pada saat diagnosis aspirasi benda asing ditegakkan.

2. Aspirasi benda asing organik yang cenderung menyebabkan sumbatan traktus trakeobronkial dengan cepat karena bersifat higroskopis.1,7,13

Keterlambatan mengeluarkan benda asing

akan menambah kesulitan terutama pada anak. Bronkoskopi adalah suatu tindakan pemeriksaan bagian dalam trakeobronkial secara langsung yang dapat kita gunakan untuk diagnostik maupun terapi, seperti pada pengangkatan benda asing.2 Bronkoskopi harus dilakukan dalam waktu yang cepat dan tepat untuk mengurangi resiko komplikasi, tetapi tidak harus dilakukan dengan terburu-buru tanpa persiapan yang baik dan hati-hati.1,7,9

Persiapan

Persiapan yang adekuat untuk ekstraksi benda asing antara lain:

1. Pendekatan pada orang tua/keluarga, diantaranya untuk memberikan informasi mengenai resiko tindakan, kemungkinan trauma dan kegagalan ekstraksi.

2. Persiapan pasien: − Foto torak: PA saat inspirasi dan

ekspirasi, lateral − Puasa 6 jam sebelum tindakan − Pemberian cairan yang adekuat − Pemeriksaan laboratorium (darah

lengkap, skrining perdarahan/ pembekuan, elektrolit, gula darah, analisa urin)

Page 85: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Abdul Rahman Saragih dkk. Benda Asing Kacang di Trakea

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 79

3. Persiapan alat: harus tersedia bronkoskop dengan ukuran yang sesuai dengan umur penderita seperti tampak dalam tabel berikut:

Umur/Berat Badan

Penderita Diameter Bronkoskop

< 5 lb 3 mm 0 - 6 bulan 3,5 mm 6 bulan - 3 tahun 4 mm 3 - 12 tahun 5 mm > 12 tahun 6 mm

4. Penilaian duplikat benda asing untuk

menentukan pilihan cunam yang akan dipakai, apakah cunam dapat memegang dengan baik saat benda asing ditarik ke luar.

5. Analisis masalah: perlu dilakukan diskusi antara ahli THT, paru dan anestesi sebelum dilakukan tindakan ekstraksi mengenai kemungkinan resiko tindakan. Ekstraksi benda asing di traktus trakeobronkial merupakan problem mekanis yang memerlukan perencanaan yan baik.

6. Persiapan tim: kerjasama tim yang lengkap terdiri dari operator, ahli anestesi dan perawat yang berpengalaman sangat penting. Tindakan baru dilakukan bila persiapan

sudah lengkap dan anggota tim sudah siap. 6,9,13 Bronkoskopi dengan bronkoskop kaku

merupakan pilihan utama untuk mengeluarkan benda asing di traktus trakeobronkial terlebih-lebih pada anak-anak karena dapat mengontrol pernafasan selama tindakan. Keunggulan bronkoskop kaku diantaranya mempunyai variasi ukuran yang banyak, ujung/bibir skop dapat digunakan untuk melindungi mukosa dari benda asing yang tajam/runcing pada saat ekstraksi, dapat digunakan untuk merubah posisi dan melepaskan benda asing dari jaringan, dan dapat membantu cunam agar dapat memegang benda asing dengan baik.1,6,7,13

Bronkoskop fleksibel digunakan untuk kasus-kasus tertentu pada anak yang sudah besar atau orang dewasa di mana benda asing tersangkut jauh ke distal dan sulit dicapai dengan bronkoskop kaku, pasien dengan kesulitan ekstensi kepala, gangguan ventilasi mekanis, pasien dengan trauma atau fraktur rahang, leher atau kepala. Kerugian penggunaan bronkoskop fleksibel adalah

kesulitan mengontrol pernafasan secara adekuat, membutuhkan waktu yang lebih lama untuk ekstraksi dan terbatasnya jenis cunam yang sesuai dengan benda asing.6,11

Benda asing yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara bronkoskopi, seperti benda asing tajam, tidak rata dan tersangkut pada jaringan, dapat dilakukan servikotomi atau torakotomi.6

Penderita dirujuk ke RSUP H. Adam Malik dengan keluhan sesak nafas disertai batuk dengan riwayat tersedak kacang tanah sejak dua hari sebelumnya. Pada saat masuk RS sudah tampak tanda-tanda sumbatan jalan nafas, tekanan parsial dan saturasi oksigen menurun tetapi masih terkompensasi. Menurut literatur, bronkoskopi pada pasien ini harus dilakukan segera karena sangkaan yang masuk ke saluran nafas adalah benda asing organik.1,2 Tetapi tindakan tersebut baru dapat dilakukan pada hari ke-4 setelah disetujui oleh orang tua penderita melalui informed consent yang cukup. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat disebabkan oleh benda asing itu sendiri atau trauma tindakan bronkoskopi.1,7,13 Komplikasi akut akibat tersangkutnya benda asing antara lain sesak nafas, hipoksia, asfiksia sampai henti jantung. Gangguan ventilasi ditandai dengan adanya sianosis. Komplikasi kronis antara lain pneumonia, dapat berlanjut dengan pembentukan kavitas dan abses paru, bronkiektasis, fistel bronkopleura, pembentukan jaringan granulasi atau polip akibat inflamasi pada mukosa tempat tersangkutnya benda asing. Dapat juga terjadi pneumomediastinum, pneumotorak. Keterlambatan diagnosis aspirasi benda asing yang berlangsung lebih dari 3 hari akan menambah komplikasi seperti emfisema obstruktif, pergeseran mediastinum, pneumonia dan atelektasis.1,13

Komplikasi tindakan bronkoskopi antara lain aritmia jantung akibat hipoksia, retensi CO2 atau tekanan langsung selama manipulasi bronkus utama kiri. Komplikasi teknis yang paling mungkin terjadi pada operator yang kurang berpengalaman adalah benda asing masuk lebih jauh sampai ke perifer sehingga sulit dicapai oleh skop, laserasi mukosa, perforasi, atau benda asing masuk ke segmen yang tidak tersumbat pada saat dikeluarkan. Bisa juga terjadi edema laring dan reflek vagal. Komplikasi pasca bronkoskopi antara lain

Page 86: MKN Vol_ 40 No_ 1 Maret 2007

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007 80

demam, infiltrat paru dan pneumotorak, yang memerlukan bantuan ventilasi.1,6

Walaupun tindakan bronkoskopi tertunda pelaksanaannya, tetapi tidak terjadi komplikasi baik oleh benda asing itu sendiri, maupun karena tindakan yang dilakukan. Dalam literatur dikatakan pada anak-anak usia 2 tahun reaksi mukosa akibat benda asing organik mulai terjadi setelah 1-2 hari sehingga dapat terjadi mekanisme katup bebas (by-pass valve) atau katup satu arah (check valve). Selanjutnya dalam 1-2 minggu reaksi mukosa yang berlanjut mengakibatkan mekanisme di atas berubah menjadi katup tertutup (stop valve), udara residual dalam paru diabsorpsi, diikuti atelektasis dan pengumpulan cairan (drowned lung).1 Pada kasus ini tindakan bronkoskopi dilakukan pada hari ke-4 dan sebelum tindakan penderita telah mendapat antibiotika dan kortikosteroid, sehingga komplikasi dapat dicegah. DAFTAR PUSTAKA 1. Jackson C, Jackson CL.

Bronchoesophagology. Philadelphia: WB Saunders Co., 1964: 13-34.

2. Dhingra PL. Foreign Bodies of Air Passages. Dalam: Diseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed. New Delhi: Elsevier, 2004: 387–90.

3. Freiman MA, McMurray JS. Unique presentation of a bronchial foreign body in an asymptomatic child. Ann Otol Rhinol Laryngol 2001; 110: 495-7.

4. Walner DL, Donnelly LF, Ouanounou S, Cotton RT. Utility of Radiographs in the Evaluation of Pediatric Upper Airway Obstruction. Ann Otol Rhinol Laryngol 1999; 108: 378-83.

5. Weir N. Anatomy of the Larynx and Tracheobronchial Tree. Dalam: Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th ed. Vol.1. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1997: 1/12/18-25.

6. Lore JM, Medina JE. An Atlas of Head & Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier, 2005: 192-3.

7. Evans JNG. Foreign bodies in the larynx and trachea. Dalam: Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th ed. Vol.6. Oxford:

Butterworth-Heinemann, 1997: 6/25/1-10.

8. Mallick MS, Khan AR, Al-Bassam A. Late presentation of tracheobronchial foreign body aspiration in children. Trop Ped J 2005; 51: 145-8.

9. Fadl FA, Omer MIA. Tracheobronchial foreign bodies: a review of children admitted for bronchoscopy at King Fahd Specialist Hospital, Al Gassim, Saudi Arabia. Ann Trop Paed 1997; 17: 309-13.

10. Baharloo F, Veyckemans F, Francis C, Biettlot MP, Rodenstein DO. Tracheobronchial foreign bodies, Presentation and Management in Children and Adults. Chest 1999; 115: 1357-62.

11. Anwar A, Hadjat F, Hadiwikarta A. Pengangkatan patahan kanul logam dari bronkus dengan bronkoskop kabel serat optik pada penderita stenosis laring. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Konas XII PERHATI. Semarang: Badan Penerbit Undip, 1999: 354-60.

12. Kurnaedi GW, Purwanto B. Benda asing pada bronkus. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Konas XII PERHATI. Semarang: Badan Penerbit Undip, 1999: 426–33.

13. Yunisaf MH.. Benda asing saluran nafas dan saluran cerna. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Konas XII PERHATI. Semarang: Badan Penerbit Udip, 1999: 86-98.

14. Hilliard T, Sim R, Saunders M, Hewer SL, Henderson J. Delayed diagnosis of foreign body aspiration in children. Emerg Med J 2003; 20: 100-1.