MITRAL STENOSIS.doc
-
Upload
lisa-yulismi-zamyurlyn -
Category
Documents
-
view
141 -
download
9
Transcript of MITRAL STENOSIS.doc
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENDAHULUAN
Stenosis mitral diketahui paling sering disebabkan oleh penyakit lantung
reumatik yang menggambarkan tingkal sosial ekonomi yang rendah. Oleh karena
itu di negara maju seperti Amerika, penyakit ini sudah jarang ditemukan,
walaupun ada kecenderungan meningkat karena meningkatnya jumlah imigran
dengan kasus infeksi streptokokus yang resisten. Sedangkan di Indonesia kasus
stenosis mitral ini masih banyak ditemukan.
2.2 DEFINISI
Merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium
kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan
struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan
pengisian ventrikel kiri pada saat diastole.
Dengan perkembangan di bidang ekokardiografi diagnosis stenosis mitral,
derajat berat ringannya dan efek terhadap hipertensi pulmonal sudah dapat
diambil alili, yang sebelumya hanya dapat dilakukan dengan prosedur
invasif kateterisasi.
2.3 ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang
progresif dari demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain walaupun
jarang dapat juga stenosis mitral kongenital. Deformitas parasut mitral, vcgctasi
systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis sistemik, deposit amiloid. akibat
obat fenfluramin/phentermin, rhematoid arthritis (RA), serta kalsifikasi annulus
maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratit
Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi aliran darah ke
ventrikel kiri seperti Cor triarium, miksoma atrium serta trombus sehingga
menyerupai stenosis mitral.
Pasien dengan penyakit jantung katup ini 60% dengan riwayat demam
reumatik, sisanya menyangkal. Selain daripada itu 50% pasien dengan
karditis reumatik akut tidak berlanjut sebagai penyakit jantung katup
secara klinik (Rahimtoola}. Pada kasus kami di klinik (data tidak
dipublikasi) juga terlihat beberapa kasus demam reumatik akut yang tidak
berlanjut menjadi penyakit jantung katup, walaupun ada di antaranya
memberi manifestasi chorea. Kemungkinan hal ini disebabkan karena
pengenalan dini dan terapi antibiotik yang adekuat.
2.4 PATOLOGI
Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan
(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup.
Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup. Kalsifikasi,
fusikomisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dan proses tersebut.
Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang normal,
mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan ('fish mouth')
atau lubang kancing (button hole).
Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer,
sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder.
Pada endokarditis reumatika, daun katup dan khorda akan mengalami sikatrik dan
kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda sehingga menimbulkan
penarikan daun katup menjadi bentuk funnel shaped.
Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya lebih sering pada
perempuan dibanding pria serta lebih sering pada keadaan gagal ginjal kronik.
Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis (periode laten)
biasanya memakan waktu bertahun-tahun (10-20 tahun).
2.5 PATOFISIOLOGI
Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2. Bila
area orifisium katup ini berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif
atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang
normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang
hingga menjadi 1 cm2. Pada tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri
sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardiac output yang normal.
Gradien transmitral merupakan hall mark stenosis mitral selain luasnya area
katup mitral, gradien dapat terjadi akibat aliran besar melalui katup normal, atau
aliran normal melalui katup sempit. Sebagai akibatnya kenaikan tekanan atrium
kiri akan diteruskan ke v. pulmonalis dan seterusnya mengakibatkan kongesti paru
serta keluhan sesak (exertional dyspnea).
Derajat berat ringannya stenosis mitral, selain berdasarkan gradien
transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan
antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening snap.
Berdasarkan luasnya area katup mitral derajat stenosis mitral sebagai berikut:
1. Minimal : bila area >2.5 cm2
2. Ringan : bila area 1.4-2.5 cm2
3. Sedang : bila area 1-1.4 cm2
4. Berat : bila area < 1.0 cm2
5. Reaktif : bila area < 1.0 em2
Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area katup
mitral menurun sampai seperdua normal (<2-2.5 cm2). Hubungan antara gradien
dan luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat pada
tabel 1 di bawah ini
Derajat Stenosis A2-OS interval Area Gradien
Ringan > 110 msec > 1.5cm2 < 5mmHg
Sedang 80-110 msec >1 dan <1.5 cm2 5-10mmHg
Berat < 80 msec <1 cm2 >10 mmHg
A2-OS :Waktu antara penutupan katup aorta dan pembukaan katup mitral
Kalau kita lihat fungsi lama waktu pengisian dan besarnya pengisian,
gejala/simtom akan muncul bila waktu pengisian menjadi pendek dan aliran
transmitral besar, sehingga terjadi kenaikan tekanan atrium kiri walaupun area
belum terlalu sempit (>1.5 cm2). Pada stenosis mitral ringan simtom yang muncul
biasanya dicetuskan oleh faktor yang meningkatkan kecepatan aliran atau curah
jantung, atau menurunkan periode pengisian diastol, yang akan meningkatkan
tekanan atrium kiri secara dramatis. Beberapa keadaan antara lain: (1) latihan, (2)
stres emosi, (3) infeksi, (4) kehamilan, dan (5) fibrilasi atrium dengan respons
ventrikel cepat.
Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan
meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral <1 cm2 yang
berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
stenosis mitral, dengan patofisiologi yang komplek. Pada awalnya kenaikan
tekanan atau hipertensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan
atrium kiri. Demikian pula terjadi perubahan pada vaskular paru berupa
vasokonstriksi akibat bahan neurohumoral seperti endotelin, atau perubahan
anatomik yaitu remodel akibat hipertrofi tunika media dan penebalan intima
(reactive hypertension). Kenaikan resistensi arteriolar paru ini sebenarnya
merupakan mekanisme adaptif untuk melindungi paru dari kongesti. Dengan
meningkatnya hipertensi pulmonal ini akan menyebabkan kenaikan tekanan dan
volume akhir diastol, regurgitasi trikuspid dan pulmonal sekunder, dan seterusnya
sebagai gagal jantung kanan dan kongesti sistemik.
2.6 PERJALANAN PENYAKIT
Stenosis mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu dan penyakit
seumur hidup. Merupakan penyakit a disease of plateaus yang pada mulanya
hanya ditemui tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun waktu (10-
20 tahun) akan diikuti dengan keluhan, fibrilasi atrium dan akhirnya keluhan
disabilitas. Apabila timbul fibrilasi atrium prognosisnya kurang baik (25% angka
harapan hidup 10 tahun) dibanding pada kelompok irama sinus (46% angka
harapan hidup 10 th). Risiko terjadinya emboli aiterial secara bermakna
meningkat pada fibrilasi atrium
2.7 MANIFESTASI KLINIS
Kebanyakan pasien dengan stenosis mitral bebas keluhan, dan biasanya
keluhan utama berupa sesak napas, dapat juga fatigue. Pada stenosis mitral yang
bermakna dapat mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari, paroksismal
nokturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang tegas. Hal ini akan dicetuskan
oleh berbagai keadaan meningkatnya aliran darah melalui mitral atau menurunnya
waktu pengisian diastol, termasuk latihan, emosi, infeksi respirasi, demam,
aktivitas seksual, kehamilan serta fibrilasi atrium dengan respons ventrikel cepat.
Fatig juga merupakan keluhan umum pada stenosis mitral. Keluhan fatig akibat
rendahnya curah jantung pada aktifitas dan edem.i perifer.
Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sering
terjadi pada stenosis mitral yaitu 30-40%. Kejadian ini sering terjadi pada umur
yang lebih lanjut atau distensi atrium yang menyolok akan merubah sifat
elektrofisiologi dari atrium kiri. Hal ini tidak berhubungan dengan derajat
stenosis. Fibrilasi atrium yang tidak dikontrol akan menimbulkan keluhan sesak
atau kongesti y;ing lebih berat, karena hilangnya peran kontraksi atrium dalam
pengisian ventrikel (1/4 dari isi sekuncup) serta memendeknya waktu pengisian
diastol. Dan seterusnya akan menimbulkan gradien transmitral dan kenaikan
tekanan atrium kiri.
Kadang-kadang pasien mengeluh terjadi hemoptisis yang menurut Wood
dapat terjadi karena: (1) apopleksi pulmonal akibat rupturnya vena bronkial yang
melebar, (2) sputum dengan bercak darah pada saat serangan paroksismal
nokturnal dispnea, (3) sputum seperti karat (pink frothy) oleh karena edema paru
yang jelas, (4) infark paru, (5) bronkitis kronis oleh karena edema mukosa
bronkus. Di luar negeri keluhan hemoptisis sudah jarang diketemukan dan
biasanya merupakan stadium akhir, sedangkan di Indonesia sering ditemukan dan
didiagnosa secara keliru sebagai tuberkulosis paru pada awalnya. Nyeri dada
dapat terjadi pada sebagian kecil pasien dan tidak dapat dibedakan dengan angina
pektoris. Diyakini hal ini disebabkan oleh karena hipertrofi ventrikel kanan dan
jarang bersamaan dengan aterosklerosis koroner.
Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral, seperti
tromboemboli, infektif endokarditis atau simtom karena kompresi akibat besarnya
atrium kiri seperti disfagia dan suaru serak.
Emboli sistemik terjadi pada 10%-20% pasien dengan stenosis mitral
dengan distribusi 75% serebral, 33% perifer .Jan 6%) viseral. Risiko embolisasi
tergantung umur dan ada tidaknya flbrilasi atrium, 80% kejadian emboli terjadi
pada fibrilasi atrium. Sepertiga dari kejadian emboli terjadi dalam 3 bulan dari
fibrilasi atrium, scdangkan 2/3 tcrjadi dalam 1 tahun. Jika embolisasi lerjadi pada
pasien dengan irama sinus, harus dipertimbangkan suatu endokarditis iniektif.
Kejadian emboli tampaknya tidak tergantung dengan berat ringannya stenosis,
curah janlung, ukuran atrium kiri serta ada tidaknya gagal jantung. Oleh karena itu
kejadian emboli dapat berupa manifestasi awal stenosis mitral. Pada kejadian
emboli angka rekuren dapat sampai 15-40 kejadian dalam 100 pasien/ bulan.
Dapat juga terjadi trombus masif dalam atrium kiri 'pedunculated ball-valve
thrombus' yang dapat memperberat keluhan obstruksi bahkan dapat terjadi
kematian mendadak.
2.8 DIAGNOSIS
Pemeriksaan Fisis
Temuan klasik pada stenosis mitral adalah 'opening snap’ dan bising diastol
kasar ('diastolic rumble') pada daerah mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin
sulit bahkan tidak ditemukan rumbel diastol dengan nada rendah, apalagi bila
tidak dilakukan dengan hati-hati.
Walaupun demikian pada kasus-kasus ringan harus dicurigai stenosis mitral ini
bila teraba dan terdengar SI yang keras. SI mengeras oleh karena pengisian yang
lama membuat tekanan ventrikel kiri meningkat dan menutup katup sebelum
katup itu kembali ke posisinya. Di apeks rumbel diastolik ini dapat diraba sebagai
thrill.
Dengan lain perkataan katup mitral ditutup dengan tekanan yang keras secara
mendadak, Pada keadaan di mana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka
penutupan katup mitral tidak menimbulkan bunyi SI yang keras. Demikian pula
bila terdengar bunyi P2 yang mengeras sebagai petuniuk hipertensi pulmonal,
harus dicurigai adanya bising diastol pada mitral.
Beberapa usaha harus dilakukan untuk mendengar bising diastol antara lain
posisi lateral dekubitus, gerakan-gerakan atau latihan ringan, menahan napas dan
menggunakan bell dengan meletakkan pada dinding dada tanpa tekanan keras
Derajat dan bising diastol tidak menggambarkan beratnya stenosis tetapi waktu
atau lamanya bising dapat menggambarkan derajat stenosis. Pada stenosis ringan
bising halus dan pendek, sedangkan pada yang berat holodiastol dan aksentuasi
presistolik. Waktu dari A2-OS juga dapat menggambarkan berat ringannya
stenosis, bila pendek stenosis lebih berat.
Bising diastol pada stenosis mitral dapat menjadi halus oleh karena obesitas,
PPOM. edema paru, atau status curah jantung yang rendah. Beberapa keadaan
yang dapat menimbulkan bising diastol antara lain aliran besar meialui trikuspid
seperti pada ASD, atau aliran besar melalui mitral seperti pada VSD, atau
regurgitasi mitral. Pada AR juga dapat terjadi bising diastol pada daerah mitral
akibat tertutupnya katup mitral anterior oleh aliran balik dari aorta (murmur
Austin-Flint). Bising diastol pada MR atau AR akan menurun intensitasnya bila
diberikan amil nitrit karena menurunnya after load dan berkurangnya derajat
regurgitasi.
Pemeriksaan Foto Toraks
Gambaran klasik dari foto toraks adalah pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonialis (terdapat hubungan yang bermakna antara besarnya
ukuran pembuluh darah dan resistensi vaskular pulmonal). Edema intertisial
berupa garis Kerley terdapat pada 30% pasien dengan tekanan atrium kiri <20
mmHg, pada 70% bila tekanan atrium kiri >20 mmHg. Temuan lain dapat berupa
garis Kerley A serta kalsifikasi pada daerah katup mitral.
Ekokardiografi Doppler
Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik untuk
diagnosis stenosis mitral. Sebelum era ekokardiografikardiografi, kateterisasi
jantung merupakan suatu keharusan dalam diagnosis.
Dengan ekokardiografik dapat dilakukan evaluasi struktur dari katup, pliabilitas
dan daun katup, ukuran dari area katup dengan planimetri ('mitral valve area'),
struktur dari aparatus subvalvular. juga dapat diteiilukan Inngsi ventrikel.
Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien dari mitral, serta
ukuran dari area mitral dengan cara mcngukur 'pressure half time' terutama bila
struktur katup sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran dengan
planimeiri tidak dimungkinkan. Selain dari pada itu dapat diketahui juga adanya
regurgitasi mitral yang sering menyertai stenosis mitral.
Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan eko doppler ditentukan
antara lain oleh gradien transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan
pulmonal.
Selain itu dapat juga ditentukan perubahan hemodinamik pada latihan atau
pemberian beban dengan dobutamin, sehingga dapat ditentukan derajat stenosis
pada kelompok pasien yang tidak mcnunjukkan beratnya stenosis pada saat
istirahat.
Ekokardiografi Transesofageal
Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan tranduser
endoskop, sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas, terutama untuk
struktur katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Ekokardiografi transesofagus
lebih sensitif dalam deteksi trombus pada atrium kiri atau teiutama sekali apendiks
atrium kiri.
Selama ini eko transesofageal bukan merupakan prosedur rutin pada stenosis
mitral, namun ada prosedur valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan
sebaiknya dilakukan.
Kateterisasi
Seperti disebutkan di atas dulu kateterisasi merupakan standar baku untuk
diagnosis dan menentukan berat ringan stenosis mitral. Walaupun demikian pada
keadaan tertentu masih dikerjakan setelah suatu prosedur eko yang lengkap. Saat
ini kateterisasi dipergunakan secara primer untuk suatu prosedur pengobatan
intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan balon.
2.9 PENATALAKSANAAN
Pendekatan Klinis Pasien dengan Stenosis Mitral
Pada setiap pasien stenosis mitral anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap
harus dilakukan. Prosedur penunjang EKG, foto toraks, ekokardiografi seperti
yang telah disebutkan diatas harus dilakukan secara lengkap.
Pada kelompok pasien stenosis mitral yang asimtomatik, tindakan lanjutan
sangat tergantung dengan hasil pemeriksaan eko. Sebagai contoh pasien aktif
asimtomatik dengan area >1,5 cm2, gradien <5 mmHg, maka tidak perlu
dilakukan evaluasi lanjutan, selain pencegahan terhadap kemungkinan
endokarditis. Lain halnya bila pasien tersebut dengan area mitral <l.5 cm2.
Pendekatan Medis
Stenosis mitral merupakan kelainan mekanik, oleh karena itu obat bersifat
suportif atau simtomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau pencegahan
terhadap infeksi.
Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan penisilin, eritromisin,
sulfa, sefalosporin untuk demam reumatik atau pencegahan ekdokarditis sering
dipakai. Obat-obat inotropik negatit seperti β-blocker atau Ca-blocker, dapat
memberi manfaat pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan pada
saat frekuensi jantung meningkat seperti pada latihan. Retriksi garam atau
pemberian diuretik secara intermiten bermanfaat jika terdapat bukti adanya
kongesti vaskular paru.
Pada stenosis mitral dengan irama sinus, digitalis tidak bermanfaat, kecuali
terdapat disfungsi ventrikel baik kiri atau kanan. Latihan fisik tidak dianjurkan,
kecuali ringan hanya untuk menjaga kebugaran, karena latihan akan
meningkatkan frekuensi jantung dan memperpendek fase diastole dan seterusnya
akan meningkatkan gradient transmitral.
Fibrilasi Atrium. Prevalensi 30-40%, akan muncul akibat hemodinamik
yang bermakna karena hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel
serta frekuensi ventrikel yang cepat.
Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan indikasi, dapat dikombinasikan
dengan penyekat beta atau antagonis kalsium. Penyekat beta atau anti aritmia juga
dapat dipakai untuk mengontrol frekuensi jantung. atau pada keadaan tertentu
untuk mencegah terjadinya fibrilasi atrial paroksismal. Bila perlu pada keadaan
tertentu di mana terdapat gangguan hemodinamik dapat dilakukan kardioversi
elektrik, dengan pemberian heparin intravenous sebelum pada saat ataupun
sesudahnya.
Pencegahan Embolisasi Sistemik. Antikoagulan warfarin sebaiknya
dipakai pada stenosis mitral dengan fibrilasi atrium atau irama sinus dengan
kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah fenomena tromboemboli.
Valvotomi Mitral Perkutan dengan Balon. Pertama kali diperkenalkan
oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 ditermia sebagai prosedur
klinik. Mulanya dilakukan dengan dua balon, tetapi akhir-akhir ini dengan
perkembangan dalam teknik pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup
memuaskan dengan prosedur 1 balon.
Intervensi Bedah, Reparasi atau Ganti Katup. Akhir-akhir ini
komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena adanya mesin jantung-paru.
Dengan cara ini katup terlihat dengan jelas, pemisahan komisura, atau korda, otot
papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga
dapat ditentukan tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau penggantian
katup mitral dengan protesa. Perlu diingat bahwa sedapat mungkin diupayakan
operasi bersifat reparasi oleh karena dengan protesa akan timbul risiko
antikoagulasi, trombosis pada katup, infeksi endokarditis, malfungsi protesa serta
kejadian trombo emboli.