Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi...

112
Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi Roland Barthes Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) Oleh: Husni Mubarak NIM: 101033121744 Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1427 M./2007 M.

Transcript of Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi...

Page 1: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi Roland Barthes

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh: Husni Mubarak NIM: 101033121744

Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1427 M./2007 M.

Page 2: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi Roland Barthes

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh:

Husni Mubarak NIM: 101033121744

Di Bawah Bimbingan

Dr. Fariz Pari, M.Fils. NIP: 150262447

Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1427 H./ 2007 M.

Page 3: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi

Roland Barthes telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 04

Juni 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Filsafat Islam Program Strata I (SI) pada jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 4 Juni 2007

Sidang Munaqasah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Hj. Hermawati, M.A. Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag. NIP. 150227408 NIP. 150254185

Anggota,

Penguji I Penguji II

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Ida Rosyidah, M.A. NIP. 150262447 NIP. 150243267

Pembimbing,

Dr. Fariz Pari, M.Fils. NIP. 150254627

Page 4: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan yang telah menciptakan Akal Budi manusia, dan

memerintahkan agar mempergunakannya. Karya ini hasilnya. Bentuk karya ini

memang kecil dan tipis, tapi di balik kelahirannya, menyimpan sejarah. Sejarah yang,

bagi penulis, begitu berharga hingga dapat berkenalan dengan pemikiran Roland

Barthes yang sudah bersemayam di peristirahatan di Prancis sana. Karya ini tentu

bukan karya monumental. Tapi penulis berharap karya ini bisa menjadi titik inspirasi

pemikiran kemanusiaan secara keseluruhan di masa mendatang. Sebagai karya akhir

perkuliahan di UIN Jakarta, karya ini akan menjadi langkah awal perjalanan studi

penulis di masa yang akan datang.

Karya ini tidak mungkin lahir jika tanpa dukungan banyak pihak selama

penulis menempuh studi di UIN Jakarta ini. Penulis pertama-tama ingin mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor (lama dan baru) UIN bersama

seluruh jajaran pelaksana kampus UIN Jakarta yang telah memberi kesempatan bagi

penulis menempuh perkuliahan di sini. Tanpa itu, penulis tidak yakin dapat mengenal

tradisi filsafat khususnya, dan tradisi Islam secara keseluruhan. Akibatnya, karya ini

pun tidak mungkin lahir.

Saya haturkan terima kasih juga atas kebaikan Dekan Ushuluddin dan Filsafat

yang lama, Prof. Dr. Amsal Bachtiar, maupun yang baru Dr. M. Amin Nurdin, beserta

jajarannya yang telah membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan

di UIN Jakarta. Tak lupa juga kepada Ketua Jurusan, Drs. Agus Darmaji, M.Fils, dan

Sekretaris Jurusan pak Drs. Ramlan A. Gani M.Ag., yang tak pernah mengeluh,

Page 5: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

setidaknya itu yang penulis mendengar, dalam membantu kelancaran administrasi

akademik penulis.

Pembimbing penulis, Dr. Fariz Pari, yang telah membimbing dalam

pengerjaan karya ini. Penulis haturkan terima kasih yang setinggi-tingginya. Ia sudah

sebagaimana pembimbing seharusnya, keras jika bangunan teori masih lemah, tapi

disertai ketulusan. Penulis rasakan itu. Meskipun penulis sadar Ia hanya satu bagian

dari poliseminya makna “Roland Barthes” di hadapan kita. Juga penulis tidak lupa

kepada seluruh dosen Ushuluddin yang juga telah turut ambil bagian terpenting dalam

memperkanalkan penulis pada dunia pemikiran.

Tempat lain yang juga menjadi sejarah penting karya ini adalah FORMACI

(Forum Mahasiswa Ciputat). Di tempat itu, penulis merasakan atmosfir penjelajahan

pemikiran yang sesungguhnya. Ridwan MT (“alumni” FORMACI yang tak pernah

lelah menjadi “google” berjalan, penulis berhutang atas kebaikannya, Allah saja yang

membalasmu Wan), Thowiq AB, Salbiah, A. Zaim Rafiqi, Agus Khatibul Umam,

Sulaiman Cimong Jaya, Zezen ZM (semoga tercapai cita-citamu ke Harvard), Iqbal,

Seif (yang tengah studi di Australia), Hafni, Nanang Sunandar, Mamad Ja’far,

Herman Heizer, nengnya Herman, Apriadi beserta keluarga, Linda, Tati Castia, Adri

(sang Imam besar FORMACI), Akib, Lilis, Saidiman, Indri, Ayi Tairi, Didi, Arif, Puji

(Alfan juga), Mahmuddin, Sahal jr, Khaerul, Reza, Agus Bre (kele!), Tiyar, Evi

Rahmawati, Testriono, Ia Nurseha, de’ Gyn, Acun, Hanif, Sholeh tingggi, soleh stf,

Kusnandar (partisipasi Anda sangat besar untuk skripsi ini), Mustafa, Daraj (kawan di

Wisma Sakinah) dan kalian semua yang tak disebut namanya karena (mungkin) lupa.

Kalian semua penguasa mitos masa depan Indonesia, terima kasih.

Page 6: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Kewan-kawan Aqidah Filsafat angkatan manapun yang pernah penulis kenal,

terima kasih. Khususnya angkatan 2001, kalian lucu-lucu. Semoga perkawanan kita

abadi.

Kedua orang tuaku, Bapak Deden, Mah Nena, terimakasih atas semua kasih

sayangnya. Semangat studi penulis berasal dari mereka. A Anas bersama keluarga,

Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima kasih atas dukungan kalian. Tidak

lupa juga Mang Asep Ahmad Mujahid dan keluarga yang telah membantu penulis

selama kuliah lahir-batin. Semoga Allah membalas kalian dengan balasan yang

setimpal.

Terakhir, teman “istimewaku”, yang selalu menemani penulis dalam detik. Ide

brilian muncul dari hati yang tenang. Ketenangan telah penulis dapatkan untuk karya

ini darinya. Terima kasih.

Kepada sobat ataupun kawan yang tidak sempat disebut, penulis ucapkan

terima kasih. Semoga Tuhan membalas jasa kalian. Kini karya ini telah hadir.

Ciputat, 22 Mei 2007

Husni Mubarak

Page 7: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..……

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...…….

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………….

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah………………………………….……

C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………

D. Kajian Pustaka………………………………………………………….…...

E. Metodologi Penelitian………………………………………………………

F. Sistematika Penulisan…………………………………………………….…

BAB II BIOGRAFI ROLAND BARTHES…………………………………………….

A. Riwayat Hidup……………………………………………………….…….

B. Genealogi Intelektual dan Karya-karyanya…………………………..…....

BAB III MITOS DALAM PENDEKATAN TEORITIS……………………..…..

A. Mengurai Teori Mitos dalam Sejarah…………………………………..….

1. Periode Klasik………………………………….……….………..…

2. Periode Pencerahan: Mencari Asal Usul…………….………….…..

3. Periode Kontemporer: Psikoanalisis dan Strukturalisme...............….

B. Semiologi: Upaya Membangun Teori……………………………………..

1. Pengaruh Saussure……………………………………….……

i

iv

1

1

7

9

9

11

13

15

15

24

37

37

39

40

43

48

48

Page 8: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

2. Langue/Parole………………………………….………….……....

3. Tanda (sign), Penanda (signifier) dan Petanda (Signfied)……….

4. Pemaknaan (Signification)………………….…………………...…

C. Mitos: as a Semiological System………………………………….…….…

D. Mitos: Kritik Ideologi………………………………………….……….…...

BAB IV MITOLOGISASI BAHASA AGAMA DARI KACA MATA

SEMIOLOGI ROLAND BARTHES……..…………………………..….

A. Bahasa Agama sebagai Sistem Semiologi……………………………..……

B. Sistem Mitis dalam Bahasa Agama……………………………………..…..

C. Ideologi dalam Sistem Mitis Bahasa Agama.................................................

BAB V PENUTUP……………………………………………………………………

A. Kesimpulan……………………………………………………………….…

B. Saran-saran………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...…

54

56

58

60

71

76

76

83

89

98

98

101

103

Page 9: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kenapa agama mencerahkan sekaligus melahirkan kekerasan? Secara

normatif, semua agama mengajarkan kasih sayang, perdamaian, keselamatan dan

ajaran kebaikan lainnya. Tidak bisa dilupakan bahwa dalam sejarah umat manusia,

Islam pernah melahirkan peradaban yang luar biasa. Begitu juga, etika Protestan,

menurut Max Weber (1864-1920), telah membangkitkan kemajuan ekonomi para

penganutnya1. Begitu juga dengan kenyataan-kenyataan lainnya yang membuktikan

bahwa agama memberi inspirasi kemajuan peradaban.

Di sisi lain, agama juga sekaligus inspirasi kekerasan. Dalam sejarahnya,

penyebaran agama selalu mengalami peperangan. Sejarah yang tidak mungkin

terlupakan sepanjang zaman adalah perang salib (agama). Belakangan juga muncul

kekerasan di sejumlah negara Muslim karena ada kelompok yang “menghina” Nabi

Muhammad melalui karikatur. Serangan WTC di Amerika enam tahun lalu, salah satu

alasannya, agama. Di negara kita, masih segar dalam ingatan, Ahmadiyah diserang

dan ditutup, Lia Eden diteror, warga Syi’ah di Madura tidak bisa tenang beribadah

karena diganggu oleh warga NU.

Beberapa studi mengatakan bahwa lahirnya kekerasan dalam agama lebih

karena faktor eksternal2. Di dalam agama secara internal diyakini tidak ada ajaran

kekerasan. Kondisi sosial budaya atau ekonomi politiklah yang menyebabkan agama

1 Max Weber, Essays in Sociology, Trans. H. Gerth and C. Wright (New York: A Galaxy Book, 1985), h. 314-322

2 Wawancara Syafi’i Maarif dalam Buletin Islam & Good Governance, edisi kesebelas, (PPIM, UIN Jakarta, 2006), h. 5

Page 10: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

menjelma menjadi sumber lahirnya kekerasan dalam agama. Misalnya, perang di

Ambon menurut beberapa sumber lebih karena perebutan lahan pertambangan

beberapa elit.

Di lain pihak, justru penyebab kekerasan memang doktrin keagamaan

mengajarkan kekerasan3. Mengalirkan darah musuh tidak apa untuk kebangkitan

ajaran Tuhan. Kenyataan bahwa Nabi Muhammad pernah berperang dengan kaum

“kafir” Quraisy menjadi inspirasi untuk melegitimasi perang mempertahankan

Yarussalem dalam perang Salib, cukup menjadi bukti.

Padahal temuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, diprediksi Comte

(1798-1857), sosiolog asal Prancis, sebagai akhir dari fase agama dan metafisika

untuk menyongsong masyarakat positivistik. Yakni, suatu masyarakat yang dapat

menjalankan kehidupannya sendiri dengan langkah yang terukur, efektif, efisien dan

terprediksi. Agama tidak lagi penting karena pada masyarakat positivistik semua

masalah umat manusia dapat dijawab secara empiris dan sistematis. Tidak lagi

diperlukan argumen teologis untuk menghadapinya4.

Prediksi Comte ini tidak terbukti. Justru wacana dan gerakan keagamaan

semakin kuat. Di zaman media informasi begitu deras dan capaian ilmu pengetahuan

mencapai titik kulminasi, agama justru mewarnai perjalanan sejarah peradaban bumi.

Terorisme, upaya menerjemahkan agama dengan jalan kekerasan dalam konteks

global, mendapat dukungan sangat kuat dari teknologi. Pertukaran informasi yang

semakin sesak, di dalamnya agama selalu hadir. Tidak jarang kita temui saat ini

pemuka agama “berdakwah” melalui teknologi. Oleh karenanya, agama bisa tersebar

sampai ke seluruh pelosok; entah ajaran kebaikan ataupun ajaran kekerasan tersebar

luas menyapa para penganutnya.

3 Tim PPIM, Mengukur Pengaruh Islam dalam Kekerasan Keagamaan, dalam buletin Islam & Good Governance edisi keduabelas, (PPIM, UIN Jakarta, 2006), h.3

4Doyle P. Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern I, (Jakarta,: Gramedia, 1994) h. 82

Page 11: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Pertukaran gagasan keagaman dalam design teknologi informasi yang semakin

canggih, selalu menggunakan sistem tanda. Sistem tanda inilah yang memungkinkan

komunikasi. Karenanya, hubungan antar tanda melahirkan sistem yang

memungkinkan pertukaran gagasan antar manusia. Sistem itu menjelma menjadi

struktur tanda atau bahasa. Bahasa juga berarti sistem nilai yang melingkupi seluruh

tindak gerak manusia5. Tradisi, budaya, adat, cara berfikir dan sebagainya termuat

dalam bahasa. Sementara, bahasa sebagai alat komunikasi kita sebut, meminjam

istilah Saussure, speech (selanjutnya kita sebut wicara atau ujaran).

Dalam hal ini, bahasa berperan sangat penting. Bahasa adalah satu-satunya

entitas di mana ajaran-ajaran agama dikomunikasikan. Tanpanya, agama tidak akan

ada. Bahkan dunia sekalipun nihil tanpanya. Melalui bahasa, agama hadir di tengah-

tengah, bahkan di jantung kehidupan umat manusia. Tidak kita pungkiri juga bahwa

dalam bahasa, agama diperebutkan demi kekuasaan. Karenanya, agama dapat

direduksi pada bahasa. Eksistensi agama terletak pada bahasanya.

Bahasa agama yang hadir di tengah-tengah kita, baik dalam bentuk jargon atau

pun hasil dari pemikiran mendalam, selalu diyakini kebenarannya. Diyakini pula

bahwa bahasa yang digunakan untuk pengetahuan agama memiliki referensi objektif.

Misalnya mengenai Tuhan. Ketika kitab suci berbicara Tuhan, berarti Tuhan ada

secara objektif “di sana”. Bahkan aturan yang dibuat berdasarkan bahasa agama

benar-benar disabdakan Tuhan. Tidak ada yang membantah hal ini6.

Meski demikian, bahasa agama tetap saja tidak memiliki referensi indrawi.

Karena panca indra manusia, dan bahkan rasio sekali pun terbatas ketika berbicara

5 Roland Barthes, Element of Semiology, (New York: Hill & Wang, 1973) p.14 6 Memang dalam sejarah ada kelompok atheis yang menentang habis-habisan keberadaan

Tuhan. Termasuk ajarannya. Misalnya, F. Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan jargon “Tuhan telah mati dan kita adalah pembunuhnya”. Akan tetapi justru dengan menolak Tuhan, dan bergelut terus menerus dengan persoalan metafisika, berarati sedang berpegang pada sistem metafisika tertentu: tidak ada Tuhan, dan dipegang secara teguh. Bukankah itu “Tuhan” dalam bentuk lain? Lih. Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKIS, 1996), h. 43

Page 12: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

tentang metafisika (termasuk juga tentang Tuhan). Indra dan rasio manusia hanya

dapat bersentuhan dengan fenomena (benda sebagaimana tampakannya), tidak dengan

nomena (benda pada dirinya)7. Apa yang selama ini dirumuskan sebagai pengetahuan,

didasarkan pada fenomena, atau apa yang tampak, tidak bersentuhan dengan benda

pada dirinya (thing in its self). Begitupun dengan metafisika, dalam hal ini Tuhan,

yang kita lihat bukan Tuhan pada dirinya. Melainkan dari fenomena alam lah manusia

bisa menyimpulkan adanya Tuhan. Hanya iman yang menjamin objektivitas informasi

dalam agama8.

Bahasa agama dalam bentuk wahyu dan interpretasi atas wahyu, selanjutnya

dipandang sebagai ajaran universal. Kategori universal bahasa agama berarti apa yang

diajarkan dalam teks suci berlaku bagi seluruh umat manusia. Ajaran abadi yang tak

tergerus oleh ruang dan waktu. Pada saat kitab suci itu turun barangkali memang

ajaran kitab suci tersebut sifatnya partikular. Karena ia hadir untuk menjawab

persoalan-persoalan yang dihadapi saat itu. Akan tetapi, ketika zaman sudah berubah,

dengan persoalan yang berubah pula, ajaran dari kitab suci tersebut menjadi normatif.

Artinya, apa yang terjadi secara historis pada saat turunnya kitab suci, dengan

kategori universalnya, menjadi hilang. Bahasa agama yang digunakan pada periode

berikutnya sudah menjadi prinsip umum yang universal.

Lain agama, lain mitos. Meskipun sama dengan agama ketika bicara tentang

yang sakral serta soal ketiadaan referensi objektif akan yang sakral tersebut, mitos

adalah barang haram. Ia selalu dihindari keberadaannya. Karena mitos adalah cerita

yang sudah pasti bohong. Memercayainya sama dengan bertindak konyol. Mitos

selalu dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan sebagai yang

7 Dua istilah yang diambil dari filsuf modern asal Jerman, Immanuel Kant. Lebih jauh lih. F.

Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 141 8 Dalam al-Quran dikatakan bahwa nabi Musa perrnah bercakap-cakap dengan Tuhan. Akan

tetapi tidak sedikit yang mengartikan itu sebagai proses percakapan batin atau ruhani.

Page 13: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

benar, maka mitos sebagai yang salah. Karenanya, sebisa mungkin kita

menghindarinya, dan beralih pada ilmu pengetahuan karena pasti benar, empirik dan

terukur.

Roland Barthes (1915-1980), pemikir Prancis yang ikut andil dalam

perdebatan teori mitos dengan pendekatan semiologi Saussurean, dengan lantang

menyerukan agar kita tidak perlu menghindari mitos. Mitos menurutnya bukan seperti

dipandang orang awam, cerita “bohong” sekaligus ditakuti. Juga bukan seperti

kalangan positivis yang menganggap itu sebagai tahayul yang harus dibuktikan secara

empiris, jika ingin dianggap sebagai kebenaran. Bagi Barthes, mitos adalah “a type of

speech”9, satu model berujar. Ia hadir dalam keseharian kita. Bukan hanya dari kisah-

kisah nenek moyang saja, melainkan hadir lewat televisi, radio, koran, film, musik,

majalah makanan, kendaraan dan sebagainya. Setiap kita, entah orang awam atau

ilmuan selalu bersentuhan dengan mitos. Karena mitos ada dalam sistem bahasa.

Sementara setiap kita juga hanya dapat berujar melalui sistem bahasa tersebut. Sistem

bahasa dibangun atas pertukaran tanda secara terus menerus.

Mitos yang diidentifikasi oleh Barthes ini adalah mitos dalam pendekatan

bahasa struktural10. Mitos dilihat dari unsur terkecil dalam struktur bahasa: penanda

(signifier) dan petanda (signified). Anggur sebagai “minuman yang memabukan”

adalah bahasa objektif. Karena penandanya anggur dan tinandanya “minuman yang

memabukan”. Akan tetapi, ketika penandanya anggur dan tinandanya sudah dirubah

menjadi “minuman kelas atas yang menyehatkan” telah terjadi peningkatan makna.

Inilah yang disebut dengan mitos.

9 Roland Barthes, Mythologies (London : Paladin Book, 1976) p.34 10 Pendekatan ini digunakan tidaka lepas dari pengaruh strukturalisme yang digagas oleh

Ferdinand de Saussure. Istilah kunci dalam bukunyaThe Element of Semiology, Barthes tidak pernah keluar dari istilah-istilah kunci Saussure. Misalnya soal langue dan Parole. Atau soal signifier (citra akustik bahasa) dan signified (konsep) sebagai pembentuk sign (tanda atau bahasa). Lih.. Barthes, Element of Semiology, p.35

Page 14: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Setiap hari, mitos dalam pengertian tersebut diinternalisasi ke dalam ingatan

kita. Penjejalan mitos ini terutama melalui media. Media tanpa henti menjejalkan

mitos-mitos berupa iklan, feshion, style, dan lain sebagainya. Kita tidak bisa

menghindarinya. Setiap detik media massa, terutama media elektronik, menampilkan

image, kesan-kesan, kata-kata, gambar-gambar yang kemudian membentuk makna-

makna. Kita tidak menyadari perubahan makna sedemikian cepatnya dan menganggap

hasil perubahan itu sebagai makna natural atau makna asali. Contohnya, televisi setiap

hari, bahkan mungkin setiap jam, menyuguhkan iklan pasta gigi, mereknya

“Pepsodent”. Karena setiap jam kita melihat iklan itu, tanpa kita sadar Pepsodent itu

kemudian kita anggap bermakna “pasta gigi” itu sendiri. “Pasta gigi” kini menjadi

makna natural bagi “Pepsodent”.

Jika demikian, apakah bahasa dalam agama luput dari mitologisasi? Roland

Barthes tidak membahas soal ini. Akan tetapi, menurut penulis, meskipun Roland

Barthes tidak membicarakannya, bahasa dalam agama memiliki struktur bahasa yang

serupa dengan bahasa lain, yakni tanda (sign) yang juga terdiri dari penanda

(signifier) dan petanda (signifed). Pemitosan pada ajaran agama sangat mungkin

terjadi pada level bahasanya. Bahkan ajaran agama sekalipun barangkali adalah

bentukan mitologisasi pada zamannya. Karena wahyu, atau informasi dari Tuhan,

sebagai sumber bahasa agama, senantiasa menggunakan bahasa metafor. Artinya

makna dalam setiap kalimat merupakan bentukan dari makna dasar.

Misalnya, nama “al-Quran” untuk kitab suci umat Islam. “Al-Quran” sebagai

penanda, maka tinandanya adalah “bacaan”. Kini tinandanya adalah “kitab suci”.

Peralihan kesan ini berarti mitologisasi. Bahkan kalau kata “al-Quran” keluar dari

mulut teman kita, kesan yang muncul bukan “bacaan biasa” melainkan “kitab suci

yang tidak boleh menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci, tidak boleh

Page 15: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

menginjaknya, membakarnya dan sebagainya”. Makna pada tingkat kedua sudah

sedemikian naturalnya, sehingga kita menganggapnya demikian.

Barthes juga mengatakan bahwa mitos sebagai sistem bahasa selalu sudah

mengandung ideologi. Konsep pada sistem mitis merupakan ide-ide atau gagasan

kelompok tertentu yang menyelewengkan sistem bahasa dalam sisem mitis tadi demi

kepentingan kode yang ada dalam kelompok tersebut. Artinya, gagasan tidak

berangkat dari ruang kosong. Ia muncul karena ada persoalan yang mesti diatasi

olehnya. Akan tetapi, untuk mendapat legitimasi mesti menggunakan sistem bahasa

yang ada. Mitos yang sudah sedemikian mapan menjelma menjadi ideologi.

Jika dalam bahasa agama terjadi semacam mitologisasi, berarti di dalamnya

sudah melekat ideologi. Oleh kerenanya, bahasa agama sangat mungkin didiami oleh

ideologi apapun yang ada di dunia ini. Termasuk ideologi yang mengusung jalan

kekerasan dalam cara beragama. Di sanalah kekerasan agama mendapat legitimasi.

Apakah demikian? Bagaimana menjelaskan secara teknis mitologisasi bahasa agama

berlangsung? Bagaimana ideologi merasuk kedalam sistem mitis bahasa agama?

Persolan inilah yang kemudian menginspitrasi penulis untuk menelusuri persoalan

tersebut secara kebahasaan melalui kaca mata Barthesian.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mitologisasi berarti proses pembentukan dari bahasa objektif atau denotatif ke

bahasa konotatif sehingga menghasilkan sistem penandaan baru yang kemudian

disebut sebagai mitos. Mitologisasi ini berlaku untuk bahasa apapun, selagi itu bahasa

manusia. Tidak untuk bahasa lain, misalnya bahasa binatang atau tumbuh-tumbuhan.

Bahasa Agama berarti bahasa apapun yang berkaitan dengan Tuhan dan kitab suci;

Page 16: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

bisa berupa tafsir atasnya atau pembicaraan sehari-hari yang terkait dengan Tuhan dan

kitab suci.

Analisa Kritis berarti telisik atas objek kajian secara kritis. Kritis berarti

mengungkap secara jelas jika memang dalam objek kajian terdapat krisis. Kritis di

sini jangan diartikan sebagai sikap nyeleneh. Mengungkap krisis dalam objek kajian

didasari keinginan merekonstruksi kajian agama dari sisi bahasa sekuat mungkin.

Kata dari dalam judul di atas tidak lain memaksudkan bahwa analisa kristis tersebut

dilihat dari kacamata metodologi tertentu, dalam hal ini semiologi Roland Barthes.

Semiologi adalah salah satu ilmu yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure.

Dikatakan sebagai ilmu karena objek kajiannya, yakni bahasa diperlakukan sebagai

sesuatu yang objektif. Bahasa dapat dikuliti dan dibedah karena di tangan Saussure

bahasa adalah struktur yang terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified),

atau dalam istilah Barthes, bentuk (form) dan konsep (concept). Semiologi ini

diadopsi Barthes seraya mengembangkan kedua unsur bahasa ini menjadi makna awal

(denotatif) dan makna tingkat II (konotatif).

Roland Barthes, seperti akan kita lihat kemudian adalah filsuf Prancis yang

secara khusus menulis tentang mitos modern dalam bukunya Mythologies. Karya-

karyanya sangat berpengaruh terutama bagi sarjana yang ingin meneliti dan

mengkritisi budaya massa.

Beberapa masalah yang ingin dijelaskan dalan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

• Bagaimana bahasa agama menjadi mitos?

• Jika dalam sistem mistis sudah menjadi ideologi, bagaimana ideologi tersebut

bekerja dalam bahasa agama?

Page 17: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

C. Tujuan Pembahasan

Harapan penulis, ada tiga tujuan yang hendak dicapai karya yang berada di

tangan Anda ini. Pertama, pembaca sadar akan status bahasa agama dan mitos di

tengah masyarakat dewasa ini. Di sini pembaca diajak menyelami kedalaman makna

yang terkandung dalam bahasa agama dan mitos. Sehingga apa yang kita yakini

sebagai bahasa agama dan mitos mendapat pendasaran yang kuat.

Kedua, paparan yang clear mengenai bahasa agama dan mitos dapat

menumbuhkan konsepsi baru. Melaluinya, kita bisa lebih adil menghadapi keduanya

sebagai fakta sosial, yang mau tidak mau hadir di tengah-tengah kita.

Ketiga, akhirnya pemahaman baru dari karya ini tentang mitologisasi bahasa

agama dapat menumbuhkan pandangan moral yang jelas. Karena dalam bahasa

agama, baik-buruk dipertaruhkan. Pengertian yang buram tentangnya akan melahirkan

sistem nilai yang buram pula. Begitu juga sebaliknya.

D. Kajian Pustaka

Dalam penelusuran penulis, Komarudin Hidayat, seorang professor Filsafat di

UIN Jakarta yang kini menjabat sebagai Rektor, telah menulis buku yang berjudul

Memahami Bahasa Agama dan Menafsir Kehendak Tuhan. Dalam dua bukunya

bahasa agama mendapat perhatian khusus. Akan tetapi, bahasa agama didekati dengan

menggunakan pendekatan filsafat bahasa Wittgenstein (1889-1951). Ini berbeda

dengan apa yang akan saya bahas dalam skripsi ini. Karena Komaruddin

menggunakan pendekatan Wittgensteinian, dengan begitu pembahasannya kemudian

terfokus pada bagaimana bahasa beroperasi dalam language game tertentu;

bagaimana wahyu ditafsir dalam bahasa agama beroperasi dalam budaya tertentu.

Bahasa agama hanya dibahas pada level tata bahasa, tidak pada struktur.

Page 18: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Konsekuensinya, membincang bahasa agama berarti mencari manfaat pragmatis dari

bahasa agama yang ada. Sementara skripsi yang ada di hadapan Anda lebih terfokus

pada bahasa agama dalam analisa semiologi. Analisa ini ingin mengurai bahasa pada

struktur dengan analisa semiologi yang dikembangkan oleh Roland Barthes, yang

dalam buku Komaruddin tidak masuk, bahkan tidak ada dalam daftar indeks. Ini

berarti Roland Barthes tidak pernah dikutip sekalipun dalam buku itu.

Begitu juga dengan K. Bertens dalam bukunya, Panorama Filsafat Modern

memuat satu bab mengenai bahasa religious (agama). Akan tetapi, di sana ditulis

dalam rangka memaparkan perkembangan filsafat analitik dalam melihat bahasa

agama. Di dalamnya tidak menyinggung perbandingan bahasa agama ini dengan

mitos. Hanya memaparkan bahasa agama berdasarkan periode dalam perkembangan

filsafat analitik di Inggris dan sekitarnya. Meski demikian, dua buku di atas sangat

membantu dalam menelusuri kajian skripsi ini.

Kemudian pada tahun 1998, Rony Subayu, mahasiswa Tafsir Hadits

menyelesaikan S1 dengan judul “al-Quran sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitis

Roland Barthes sebagai Metode Tafsir”. Hanya saja dalam tulisannya, analisa

Barthesia digunakan untuk menafsir al-Quran. Dalam tulisan tersebut saya masih

melihat inkonsistensi. Misalnya, ketika dikatakan bahwa tafsir mitis ini hanya berlaku

untuk ayat-ayat mu’amalah, tidak untuk ayat-ayat ‘ubudiyyah. Padahal bukankah

ayat-ayat ‘ubudiyyah juga tidak lepas dari bahasa?

Kemudian, analisa mitis Barthesian bukan untuk mencari makna objektif di

balik bahasa tersebut seperti yang dikira Bunyamin, layaknya konsep elan vital Fazlur

Rahman. Justru Barthes ingin memperlihatkan, menurut penulis, bahwa mitos akan

senantiasa berjalin berkelindan dalam setiap bahasa. Nah, dalam bahasa agama, soal

‘ubudiyyah sekalipun proses mitologisasi ini mungkin terjadi. Kalau sudah terjadi

Page 19: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

mitologisasi, tidak untuk dicari makna sesungguhnya, melainkan mencipta makna.

Skripsi ini lebih menekankan pada penciptaan makna (mitos) baru yang dilandasi oleh

nilai-nilai kemanusiaan.

Mengapa Barthes? Karena melalui kajian semiologinya, ia berhasil

mengungkap makna baru dalam melihat mitos. Sementara itu, bahasa agama juga

mempergunakan bahasa manusia yang dapat terbaca melalui analisa semiologi yang

dibangunnya. Jadi, penulis tertarik untuk menganalisa secara kritis mitologisasi

bahasa agama dari perspektif Barthesian. Dengan asumsi: jangan-jangan apa yang kita

yakini—dalam hal ini agama—selama ini tidak berbeda dari mitos. Apakah itu karena

konsep mitos yang kita yakini selama ini juga kurang tepat rumusannya? Ataukah

sebaliknya? Inilah signifikansi tulisan ini dibanding tulisan lain yang pernah ada.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah kajian tokoh, yaitu kajian yang objek kajiannya adalah

salah satu tokoh semiologi yang bernama Roland Barthes. Sebagai kajian tokoh, studi

ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriftif-analitis, yaitu

penulis menggambarkan permasalahan dengan didasari pada data-data yang besumber

pada buku, baik data primer maupun data sekunder. Kemudian menganalisisnya

secara proporsional. Digunakannya pendekatan kualitatif ini merupakan upaya untuk

memperkaya perolehan data guna dapat lebih mempertajam analisa.11

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan datanya dengan menggali informasi sebanyak-

banyaknya tentang mitos dari sumber primer. Adapun sumber primer skripsi ini

11 Robert Bogdan and Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods, (New York: Jhon Wiley & Son, 1975), h. 4; lihat juga, Masri Singarimbun dan Soffian Efendi, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. I, h. 9

Page 20: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

adalah dua buku Rolad Barthes: Elements of Semiology dan Mythologies. Dua buku

ini sangat penting melihat konsep dasar semiologi yang dibangun Barthes, sekaligus

juga konsepnya tentang mitos. Adapun buku lain seperti, The Pleasure of the Text dan

Image, Music and Text, akan melengkapi dua buku sebelumnya.

Selain data primer, skripsi ini juga akan mencari data pendukung bagi data

primer tadi. Dalam hal ini mengumpulkan gagasan yang terkait atau komentar

terhadap pemikiran Roland Barthes. Data ini akan diperoleh dari misalnya Jurnal

Filsafat, majalah yang banyak bermain dengan iklan, koran, dan lain sebagainya.

Kemudian juga saya akan menambahkan data yang bisa mendukung, yakni data

survei yang pernah dilakukan Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengenai

Radikalisme Agama.

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada Lampiran 2:

Teknik Penulisan Makalah dan Skripsi dalam buku Pedoman Akademik yang

diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin dan filsafat UIN Jakarta Press, tahun 2006-

2007.12

F. Sistematika Penulisan

Mengacu kepada metode penelitian di atas, pembahasan skripsi ini terdiri dari

empat bab dan masing-masing bab terdiri dari sub-bab. Adapun secara sistematis bab-

bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi

seputar signifikansi studi ini. Di dalamnya, terdiri dari latar belakang masalah,

12 Tim Penyusun UIN Jakarta, Pedoman Akademik (Jakarta: FUF UIN Jakarta Press 2006-

2007), cet. II, h. 87-105.

Page 21: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan, kajian pustaka, metodologi penelitian

dan sistematika penulisan.

Bab kedua mengungkap biografi dan perjalana intelektual Roland Barthes

hingga gagasan-gagasannya diakui dan dikenal publik hingga kini. Tentu saja, Barthes

tidak berdiri di ruang kosong. Artinya, ada pemikir yang memengaruhinya dalam

menentukan sikap pikirnya. Sehingga kita tahu kenapa rumusan semiologinya

demikian? Juga kenapa konsep mitosnya dimengerti dalam kerangka yang sama

sekali baru?

Bab ketiga akan dibahas bagaimana Roland Barthes memahami mitos dalam

kerangka semiologi. Namun, sebelumnya akan diperlihatkan sejenak teori-teori mitos

yang sudah sejak zaman Yunani kuno ada. Hal ini penting untuk melihat di mana

letak signifikansi dan menariknya gagasan Barthes. Kemudian kita juga akan melihat

bagaimana kritik Barthes terhadap para pendahulunya dalam membicarakan mitos.

Bab keempat merupakan inti persoalan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu

membincang bahasa agama dengan pendekatan semiologi. Sehingga diharapkan

terbongkar hakikat bahasa yang dipegang oleh setiap agamawan. Apakah mitologisasi

memang batul-betul telah, tengah dan akan terus berlangsung? Jika demikian adanya,

apakah bahasa agama adalah mitos. Bab inilah inti dari seluruh penelitian ini.

Akhirnya, penelitian (skripsi) ini ditutup dengan bab kelima yang berisi

kesimpulan dan saran-saran. Hal ini penting untuk menjelaskan sekaligus menjawab

beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah.

Page 22: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

BAB II

BIOGRAFI ROLAND BARTHES

C. Riwayat Hidup

Dalam sejarah pemikiran, khususnya kajian budaya (culture studies), Roland

Barthes adalah salah seorang intelektual terpenting. Sumbangan pemikirannya

mengenai budaya massa sangat besar. Analisa budaya yang dikembangkan Barthes,

utamanya teori mitos, menjadi kunci mengkaji kebudayaan lebih luas. Dengan

gayanya yang ngepop, Barthes berhasil merumuskan teori mitos yang bisa menelisik

budaya yang sudah seolah terlihat natural atau alamiah. Meskipun, Barthes sendiri

mengatakan bahwa teks adalah ruang multidimensi yang di dalamnya tidak ada yang

orisinal, saling berbenturan dan melebur13. Barthes pun menyadari bahwa karyanya

adalah bagian dari peleburan ini.

Roland Barthes lahir di Charboug pada tanggl 12 November 191514. Ia terlahir

dari pasangan Louis Barthes, seorang perwira angkatan laut, dan Henriette Barthes,

seorang Protestan yang taat15. Dalam sejarah hidupnya, ia tidak pernah mengenal

langsung sang ayah. Belum lagi usianya setahun, Barthes sudah ditinggalkan ayahnya

ke medan pertampuran di laut Utara, dan meninggal di sana. Sepeninggal ayahnya,

13 Roland Barthes, Image, Music, Text, (Glasgow: Fontona, 1977) h. 146 14 David Herman, Roland Barthes, dalam Hans Berens and Joseph Natoli, Postmodernism:

The Key Figure, (Massachusetts: Blackwell, 2002), h. 38 15 Jonathan Culler, Seri Pengantar Singkat: Barthes (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) cet.

I, h. 16

Page 23: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Barthes hijrah bersama ibu, bibi dan neneknya ke Bayonne. Di sana, Barthes

mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari keluarganya, dan menghabiskan

masa kanak-kanak sebelum diajak ibunya tinggal di Paris. Selama di Bayonne,

Barthes mendapat pelajaran musik dari bibinya. Di sanalah ia pertama kalinya

bersentuhan dengan budaya.16

Pada usia ke 9, Barthes dibawa ibunya ke Paris. Di Paris, ia tumbuh dewasa.

Pendidikan formal ia tempuh di Lycée Montaigne (1924-30) dan Lycée louis-le-grand

(1930-34). Ia mengaku bahwa saat itu ia merasakan sangat bahagia karena kasih

sayang ibunya yang melimpah, meskipun dalam kondisi kesepian (tanpa ayah asli)

dan ekonomi yang minim. Tahun 1927, ibunya melahirkan adik tirinya, Michel

Salzado17. Sejak itu nenek Barthes mengehetikan bantuan finansial karena Salzado

adalah anak yang tidak mendapat restu keluarga. Ibunya kemudian bekerja sebagai

tukang jilid buku untuk menghidupi keluarga.

Barthes adalah seorang aktivis tulen. Di usianya yang ke-19, ia sudah terlibat

dengan kelompok DRAF, sebuah organisasi politik anti-fasisme Jerman. Dalam

organisasi itu ia mendapatkan pelajaran berharga tentang bagaimana kejamnya fasis

Jerman. Jiwa aktivisnya berlanjut pada saat Barthes terbebas dari wajib militer karena

ia mengidap penyakit TBC, ia berpastisipasi kembali dalam protes melawan fasisme.

Keterlibatan ini tidak lepas dari semangat yang kuat dalam diri Barthes untuk

16 Roland Barthes, www.Semiotict.com 17 Roland Barthes, www.mediamatic.com

Page 24: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

menentang kekejaman fasis Jerman. Setahun sebelumnya, ia membuat tulisan

pertamanya tentang Plato18.

Pendidikan sarjananya, ia tempuh di Sorbonne. Ia mendapatkan gelar sarjana

di bidang sastra klasik tahun 1939. Semasa kuliah, sekitar tahun 1937, ia sudah

menjadi pemandu bahasa asing di Hungaria. Setahun kemudian ia melakukan

penjelajahan ke Yunani bersama grup teater yang didirikannya, Théâtre Antiqua.

Perjalanan ini sangat mendukung studi sastra klasik yang sedang ditempuhnya.

Setelah menyelesaikan kesarjanaannya di bidang sastra klasik, Barthes

kemudian mengajar di Lycée in Biarritz selama setahun (1939-1940). Tahun

berikutnya ia menjadi asisten dan pengajar di Lycée Voltaire dan Lycée Carnot, Paris.

Mengajar di sana juga hanya setahun. Bersamaan dengan mengajar di Paris ini,

Barthes mendapat gelar kesarjanaan lagi dalam studi Tragedi Yunani. Bulan oktober

1941, Barthes harus bergulat dengan penyakit tubercolosis19. Penyakit inilah yang

senantiasa “menemani” perjalanan karier akademisnya. Tahun berikutnya, ia

mendapatkan perawatan intensif di Sanatorium des Ẻtudiants, Saint Hilaire-du-

Touvet, Isére. Pergulatan yang cukup melelahkan bagi seorang Barthes.

Setelah dinyatakan bebas dari penyakitnya, kemudian Barthes menyelesaikan

studinya dalam bidang grammer dan philology di usianya yang ke-28. Akan tetapi,

pernyataan bahwa ia bebas dari tuberculosis tidak berlangsung lama. Persinggahan

18 David Herman, Roland Barthes, h. 38 19 Roland Barthes, The Grain of the Voice, Interview 1962-1980, trans. By Linda Coverdale,

New York: Hill and Wang, 1985. h. 368

Page 25: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

keduanya di Sanatorium cukup lama, sekitar 3 tahun. Selama di balai pengobatan itu,

Barthes sempat mempelajari ilmu pra-medis (the madical preliminary examination),

yang konsentrasinya psikiatri. Diduga banyak kalangan bahwa di sanalah ia

berkenalan dengan pemikiran Freud secara intensif. Selama itu pula ia sangat

berhasrat untuk melahap seluruh karya J. P. Sartre dan Karl Marx. Sehingga pada

gilirannya, Barthes menjadi sangat Sartrean dan Marxian. Meskipun, ia tidak mau

berlama-lama dan terjebak dalam kubangan dua pemikir itu. Akhirnya, tahap

penyembuhan pun ia jalani di Leysin, klinik Alexandre, Sanatorium Universitaire

Suisse.

Setelah benar-benar dinyatakan sembuh, Barthes kemudian menerima tawaran

sebagai asisten pustakawan di Institute of Bucharest. Berkat ketekunannya, ia

kemudian menjadi pengajar di institut tersebut dan menjadi professor di sana. Tidak

saja itu, Barthes juga menjadi Reader20 di University of Bucharest21. Selain itu juga

dia menjadi dosen di Universitas Alexandria, Mesir (1949-50). Di sana ia sempat

resmi menjadi warga negara Mesir. Keberadaannya di Mesir itu merupakan momen

penting bagi Barthes. Untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan ilmu linguistik

modern dari salah seorang professor di sana, A.J. Greimas. Ini adalah momen penting

sebagai intelektual yang di kemudian hari sangat berpengaruh dalam jagat pemikiran

20 Reader adalah setingkat di atas lecture di kampus-kampus Inggris dan setingkat di bawah

professor. Lih. Microsoft Encarta Dictionory tools. 21 Roland Barthes, The Grain of the Voice, h. 368

Page 26: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

budaya. Di sana pula, ia menjadi kontributor untuk jurnal Combat, jurnal terkemuka

sayap kiri (left-wing) di Paris.

Sepulangnya ke Paris, tepatnya pada tahun 1950, Bartes menjadi direktur pada

Générale des Affaires Culturelles, organisasi pemerintah yang berkonsentrasi dalam

bidang pengajaran bahasa Prancis di luar negeri. Jabatan ini ia emban hingga dua

tahun berikutnya. Setelah itu, ia kemudian terlibat dengan Center National de la

Recherche Scientifique (1952-1954). Di sana, Barthes sibuk melakukan penelitian

dalam bidang leksikologi, terutama mengenai kosakata dalam perdebatan sosial di

awal abad 19. Barthes juga sempat menjadi penasehat sastra di sebuah penerbitan

buku Ẻditions de l’Arche selama setahun22.

Rentang 1955-59, Barthes bergabung kembali dengan Center National de la

Recherche Scientifique untuk melakukan penelitian dalam bidang sosiologi. Selama

keterlibatannya pada lembaga penelitian tersebut, Barthes memublikasikan buku

pertamanya Writing Degree Zero (1953). Buku ini merupakan kumpulan artikel yang

semula ditulis untuk jurnal Combat. Buku lain yang dipublikasi Barthes setahuan

kemudian adalah Michelet par lui-meme (1954). Buku ini juga masih seputar

pemikiran awal Barthes dalam bidang sastra. Saat-saat itu, ia pernah mendirikan

kolompok studi tentang kebudayaan kontemporer yang kemudian melahirkan karya

paling cemerlang dalam sejarah karier intelektualnya, Mythologies (1957).

22 Ibid, h, 368

Page 27: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Mengantongi kesarjanaan di bidang sosiologi, Barthes kemudian bekerja

sebagi direktur di Ẻcole Pratique des Hautes Ẻtudes (1960). Saat itu ia mengepalai

bagian VI, yakni bidang ilmu sisiologi-ekonomi. Dua tahun berikutnya, 1962, ia

dipercaya menangani bidang sosiologi tanda, simbol dan representasi (sosiology of

signs, symbols and representations). Jabatannya ini kelak manghasilkan karya yang

sangat mendalam mengenai budaya, lebih khusus kritik sastra. Di tahun 1963, Barthes

menerbitkan karya yang cukup cemerlang dan kontroversial, Sur Racine.

Pada tahun berikutnya, Barthes yang dikenal sebagai penulis produktif

menerbitkan kumpulan esai yang ditulisnya selama menjabat direktur sosiologi-tanda

dengan judul Critical Essays (1964). Pada tahun yang sama, Barthes juga

menerbitkan buku Elements of Semiology. Ini adalah karya Barthes yang

mengukuhkannya sebagai ahli linguistik. Di dalamnya tidak hanya mengungkapkan

dengan gaya tulisan yang jernih, melainkan juga mengembangkan teori bahasa para

pendahulunya.

Jabatan dalam bidang sosiologi tanda, ia emban hingga tahun 1967. Di tahun

ini, Barthes kemudian mengajar di Universitas Johns Hopkins di Beltimore. Dalam

kesibukannya ini, ia tetap menulis sejumlah esai dalam bidang mode. The Fashion

System (1967) adalah karya penting Barthes yang membicarakan mode dalam analisa

struktural. Karya ini juga sangat penting dalam perjalanan karier intelektual Barthes

sebagai budayawan. Karya ini menjadi sumber pemikiran yang diperhitungkan dalam

Page 28: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

analisa mode. Bukan hanya bagian dari concern pribadi, kota Paris, sebagai kota

mode dunia, juga sangat mendukung kajiannya ini.

Momen penting lainnya adalah manakala Barthes melamar menjadi professor

di Collége da France23. Ia diterima di sana sebagai professor di bidang semiologi

sastra. Posisinya ini menjadi penting karena di sanalah ia bisa menegaskan peran

semiologi sebagai pendekatan ilmiah, ilmu yang sejak tahun 50-an telah ditekuninya.

Di samping itu, Collége da France adalah kampus paling bergengsi di Prancis, tempat

para intelektual besar dalam ilmu sosial. Sebut saja Paul Valery, Merleau-Ponty,

Althusser, Michel Foucault, dan lain-lain. Meskipun sebelumnya pemikiran Barthes

selalu menjadi pusat perhatian intelektual di Prancis, posisi professornya semakin

menegaskan bahwa gagasan yang diusung Barthes terbukti orisinal dan patut

diapresiasi. Hingga kini Barthes memang menjadi ikon intelektual modis dalam

berbagai bidang yang berkaitan dengan budaya. Mulai dari sastra, kajian media, film,

fotografi, fesyen, dan lain-lain.

Proses menjadi professor di Collége da France merupakan sebagai momen

paling membanggakan sekaligus mengharukan dalam kehidupan Barthes. Saat itu,

banyak kalangan meragukan bahwa Barthes bisa menjadi Professor di Collége da

France. Pasalnya, Barthes adalah intelektaul yang dikenal sebagai intelektual yang

fashionable, modis. Ia tidak pernah menulis buku setebal Derrida, atau Foucault. Di

23 Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), h. 2

Page 29: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

samping itu, Barthes juga tidak menulis tema yang serius seperti mereka. Ia lebih

banyak memusatkan perhatian pada budaya pop, mode misalnya.

Di tengah keraguan banyak pihak atas jabatan yang akan ia emban, ia berhasil

memperlihatkan kepada banyak kalangan di Prancis, barangkali juga dunia, bahwa

apa yang menjadi minatnya selama ini adalah problem akademis. Di samping itu,

mungkin juga ini memperlihatkan keseriusan perguruan tinggi di Eropa, bahwa

professor tidak diukur dari tebal-tidaknya buku yang dihasilkan, melainkan dari

orisinalitas pemikiran.

Adalah Michel Foucault, filsuf sekaligus teman lama Barthes yang paling

dilematis. Peran Foucault bagi “lamaran” Barthes adalah orang yang akan

mewawancarai dan memberikan penilaian apakah ia layak atau tidak menjadi

professor di sana. Di sisi lain, seluruh intelektual di Prancis tahu bahwa antara

Foucault dan Barthes terlibat perseteruan intlektual yang serius. Sejak perkanalannya

di tahun 50-an, kemudian hubungan mereka berubah menjadi perang dingin.

Akhirnya, Foucault meminta seorang teman mendampingi—karena ia tidak cukup

berani dengan situasi ini. Sepuluh menit kemudian “pengawal” Foucault itu keluar

karena dia sudah merasa berani berhadapan dengan Barthes.

Hasilnya, Foucault memuluskan lamaran Barthes dan membawa dia untuk

pidato di hadapan dewan professor dengan judul Leçon. Barthes bukan seorang yang

kacang lupa akan kulitnya, dalam pidato tersebut, ia meyebut Foucault sebagai “dia

Page 30: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

yang dengan baik hati telah berusaha memperkenalkan kursi ini dan orang yang

mendudukinya kepada dewan profesor”24. Sebuah silaturhmi intelektual yang sangat

mengharukan yang kemudian dimuat dalam koran paling bergengsi Le Monde25.

1978 adalah tahun yang berat dalam hidup Barthes. Ibu yang paling

dicintainya meninggal dunia. Di awal disebutkan bahwa dengan susah payah ibunya

membesarkan Barthes. Kasih sayang yang teramat besar sehingga Barthes amat

terpukul atas kepergian ibunya ini. Salah satu foto ibunya menjadi inspirasi untuk

refleksi fotografi dalam bukunya Camera Lucida (1980).

Akhirnya, takdir itu menghampiri. Siang itu, 25 Februari 1980, lepas dari

pertemuan di Collége da France, Barthes tertabrak truk. Ia sempat dibawa ke RS. Di

sana ini berjuang melawan kematian selama sebulan. Akan tetapi, perjuangannya

harus berakhir sebulan berikutnya. Barthes meninggal tanggal 26 Maret 1980.

Sosoknya boleh meninggal, karya terus hidup. Sebentuk eksplikasi dari the death of

author. Karyanya hidup dalam jejeraing tanda, dan maknanya bertebaran di luar

kontrol sang author, pengarang.

D. Genealogi Intelektual dan Karya-karyanya

Dalam jejaring sejarah intelektual Eropa, barangkali juga dunia, Barthes

mengambil peran penting dalam menyumbangkan pikirannya untuk melihat gejala

24 Roland Barthes, Inaugural Lacture, College de France, 458 25 Ibid, h. 3

Page 31: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

masyarakat pos-industri dewasa ini. Sumbangannya terutama dalam mengkaji budaya

massa melalui analisa linguistik. Melalui pendekatan bahasa, Barthes ingin

memperlihatkan kepada kita bahwa kita perlu melihat budaya massa secara kritis.

Karena di balik budaya yang “diproduksi” secara massal melalui perantara bahasa,

tidak kosong ideologi, atau meminjam istilah Habermas, kepentingan tertentu26.

Barthes membuka kedok ideologi di balik budaya massa tersebut melalui tilikannya

atas struktur bahasa.

Melihat persoalan sosial dalam tilikan (struktur) bahasa kala itu merupakan

trend di hampir semua bidang ilmu kemanusiaan (humaniora). Kegandrungan ini

sering kali disebut sebagai linguistic turn (pembalikan ke arah bahasa). Bahasa

kemudian, meminjam istilah Michel Foucault, menjadi episteme27 dalam tradisi

pemikiran Barat (dan bahkan trend ini menular pula di kalangan intelektual “Timur”).

Sosiologi, antropologi, psikologi, sastra, dan lain-lain, gaduh dengan pendekatan ini.

Meskipun hampir semua intelektual menggunakan pendekatan bahasa untuk

menganalisa persoalan-persoalan sosial, Barthes bukan seorang yang terbawa arus

tanpa kekhasan tersendiri menghadapi arus deras linguistic turn tadi. Bukan hanya

cara penyampaiannya yang jernih, secara teoritis Barthes juga melakukan terobosan-

terobosan dalam merekonstruksi konsep dasar para pendahulunya.

26 F. Budi hardiman, Menuju Masyarakat Komunkatif, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h.63 27 Episteme adalah wacana yang lahir dari jejaring pengetahuan yang saling berhubungan.

Wacana ini pada suatu zaman tetentu tren di semua bidang kajian. Episteme terutama dapat dipakai untuk menunjukan sejarah yang diskontinuitas. Lih. Michel Focault, Archeology of Knowledge, (New York: Routledge, 2002), h. 212-2215

Page 32: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Sebagai intelektual yang berpengaruh, Barthes tidak berangkat dari ruang

kosong. Sebelumnya, telah hadir tokoh-tokoh intelektual besar yang cukup

berpengaruh terhadap pikiran-pikiran Barthes hingga dirinya mendapat pengakuan

internasional. Paling tidak, ada lima tokoh terkemuka yang cukup memengaruhi

pemikiran Barthes. Yaitu, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Ferdinand de Saussure dan

inspirator pos-strukturalisme (Sigmund Freud dan Nietzsche). Pertama, pengaruh

Jean-Paul Sartre (1905-1980), terutama muncul karena ketertarikan Barthes pada

dunia sastra. Katertarikannya ini terutama mencuat setelah membaca karya-karya

sastrawan Prancis ini. Selain sebagai pencipta seni, dalam hal ini penulis novel, Sartre

juga adalah filsuf dan sekaligus kritikus sastra. Sekitar tahun 1948, Sartre terlibat

dalam perdebatan panjang dengan para pengkritiknya. Kala itu, ia menerbitkan tulisan

dengan judul What is Literature?

Tulisan ini merupakan serangan balik dari Sartre terhadap para pengkritik atas

karyanya. Suatu perdebatan yang sangat sehat, di mana yang dipersoalkan bukan

hujatan atas pribadi pengarang, melainkan lebih pada problematisasi argumen.

Sehingga perdebatan mengarah pada proses penciptaan kreasi yang lebih segar.

Tulisan itu terdiri dari tiga bagian, What is Writing?, Why Write, dan For Whom Does

One Write?. Dengan mengekplorasi tiga bagian ini, Sartre hendak menunjukan

fenomenologi menulis, seni menulis tanpa prasangka.

Page 33: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Sartre membedakan dua hal yang terkait dengan sastra: bahasa (language) dan

gaya (style)28. Bahasa sebagai komponen penting karena melalui bahasa karya bisa

terwujud. Bila tidak punya kemampuan berbahasa dengan baik, karya tidak mungkin

lahir. Selain bahasa, menurut Sartre, gaya juga adalah hal yang sangat penting.

Kebebasan individu dalam berkreasi tertuang dari gaya. Pembedaan ini juga

merupakan kecaman yang cukup keras terhadap para praktisi dan kritikus sastra yang

kala itu menstabilkan bentuk sastra yang baik. Di sanalah individualitas diberangus.

Apa yang dilakukan Sartre, selain pembelaan atas karya-karyanya, juga

merupakan bentuk dari dominasi eksistensialisme dalam tradisi kritik sastra sejak

tahun 1940-an. Gagasan Sartre ini menjadi semacam “pedoman” dalam melihat

sebuah karya. Dalam suasana seperti itulah buku Writing Degree Zero (1953) lahir.

Buku ini adalah karya perdana Barthes, sebagai respon atas hangatnya perdebatan soal

tanggung jawab sastra kepada masyarakat. Buku ini, seperti diperlihatkan Sontag

sebagai revisi kecil atas buku What is Literature-nya Sartre.

Barthes menerima bahasa dan gaya Sartre. Menurut Barthes, bahasa dan gaya

adalah dua hal yang secara alamiah harus dimiliki seorang penulis. Dalam hal ini

Barthes menambahkan unsur ketiga, yaitu tulisan (writing). Tulisan, berbeda dengan

bahasa dan gaya, merupakan ungkapan kedirian sang penulis. Di sanalah penulis

peduli akan dirinya. Bukan gaya, melainkan tulisan itu sendiri. Ritme, nada, etos

suasana haru, kecewa dan sebagainya terlempar begitu saja. Tulisanlah bentuk paling

28 Jean-Poul Sartre, Literatur and Existensialism, (New York: Carol, 1994) h. 6

Page 34: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

mewakili kedirian seseorang. Di dalamnya seseorang bisa memanipulasi gaya

konvensional berdasarkan pada efek-efek hasrat. Tindakan menulis berarti tindakan

berkreasi dan unik bagi setiap orang. Di sinilah pengaruh eksistensialisme mengalir

dalam diri Barthes. Bagaimana menemukan eksistensi diri dengan menemukan

kebebasannya dalam menulis.29

Di sini kita bisa melihat pengaruh tradisi eksistensialisme dalam pikiran

Barthes. Meskipun kemudian dia tidak serta merta diklaim sebagai eksistensialis.

Karena buku ini lebih pada kritik sastra. Hanya saja, pengaruh tradisi itu kentara

ketika Barthes menyuguhkan gagasan writing sebagai capaian eksistensi manusia.

Setralitas keunikan individu dalam writing inilah yang membuka jalan Barthes

melakukan kritik terhadap sastra. Minat Barthes akan dunia sastra merupakan minat

dasar dalam dirinya. Kecintaannya terhadap sastra, yang dimulai dari buku ini,

membuat minatnya berkembang ke bidang-bidang lain. Kritik ideologi, teori sastra,

kritik budaya massa, fotografi, mode dan lain-lain.

Kedua, Karl Marx (1818-1883). Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa

selama di sanatorium, proses penyembuhan dari penyakit TBC, Barthes mempelajari

dengan seksama karya-karya Marx. Meskipun ia tidak membuat semacam komentar,

atau buku yang secara khusus atas pikiran-pikiran Marx, pengaruh Marx cukup kental

dalam karya-karya Barthes berikutnya. Pikiran-pikiran Marx “berjaya” pasca perang

dunia kedua di Eropa. Kecemerlangan Marx dalam menganalisa gejala sosial, tidak

29 Sunardi, Semiotika Negativa, h, 7

Page 35: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

saja berpengaruh terhadap praktisi politik untuk menjalankan pemerintahannya, tetapi

juga intelektual setelahnya. Barthes adalah salah satunya.

Minat atas sastra membuka jalan Barthes untuk mengembangkan minatnya

atas budaya secara umum. Di sinilah pikiran Marx terlihat. Kata pengantar edisi revisi

buku Mythologies misalnya, Barthes mengatakan bahwa bukunya itu dimaksudkan

sebagai kritik ideologi. Barthes dalam esainya Myth Today, secara eksplisit mengutip

Marx untuk menunjukan ideologi borjuis. Melalui semiologi, ia ingin membongkar

mistifikasi budaya borjuis-kecil (petit-bourgeois) menjadi budaya universal.

Kecenderungan Barthes terlibat dalam perdebatan soal kritik ideologi ini tidak

lepas dari pengaruh pikiran-pikiran Marx di Prancis kala itu. Para intelektual seperti

tersihir dengan gagasan Marx mengenai ideologi. Pendekatan yang diberikannya pun

sudah sedemikian berkembang. Selain Sartre, filsuf yang pernah menjadi bagian dari

kelompok komunis, orang yang juga mengantarkan gagasan Marx kepada Barthes,

adalah Louis Althusser. Barthes adalah salah satu mahasiswa Althusser. Dalam

perkembangannya, Barthes yang beda generasi dari Althusser memiliki minat yanag

sama: ideologi.

Marx memaknai ideologi sebagai gagasan yang mengelabui kesadaran

manusia, terutama kelas buruh (proletar). Marx melihat ketidak-adilan dalam sistem

sosial waktu itu. Output para buruh tidak sesuai dengan keringat yang telah

dikeluarkan untuk memproduksi barang (berkarya). Para pemilik modal (borjuis)

Page 36: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

adalah kelas yang telah mengeksploitasi keringat para buruh. Sebagai pemilik modal,

mereka memperlakukan buruh sebagai alat yang akan melipat gandakan modal. Selain

menguasai alat, para pemilik modal juga mengendalikan kesadaran proletar. Melalui

agama, budaya, negara, gagasan borjuis tersebar bahwa kondisi ini seolah-olah

berlangsung kodrati. Ideologi borjuis telah mengelabui keadaan yang sesungguhnya.

Para pewaris Marx telah mengembangkan gagasan ideologi. Althusser

misalnya, buat dia ideologi merupakan sebentuk panggilan akan kedirian

(interpellates individual as subject)30. Gramsci mengartikan ideologi sebagai

pandangan dunia. Tidak seperti intelektual lain, Barthes tidak berupaya mencari

definisi ideologi. Barthes lebih tertarik untuk menganalisa cara keberadaan ideologi

dalam suatu masyarakat dan cara ideologi itu dihasilkan dan dikonsumsi melalui

penelitian terhadap bahasa. Buku Mythologies adalah buku paling fundamental yang

menelisik ideologi di masyarakat melalui analisa semiologi.

Ketiga, Ferdinand de Saussure. Tokoh lain yang memengaruhi karier

intelektual Barthes adalah Saussure. Pengaruh Saussure dalam pemikiran Barthes

teramat kuat. Bahkan para komentator mengatakan bahwa Barthes adalah one of the

leaders of structuralist school31. Sebutan ini, Barthes sendiri tidak terlalu suka karena

menurut dia momen sebagai seorang strukturalis adalah salah satu momen dari

seluruh kariernya. Meski sebutan ini kurang disukai Barthes, tapi wajar saja sebutan

30 Louis Altusser, Ideology Interpellates Indivisuals as Subject dalam Paul Du Gay,ed.

Identity: a Reader, (London: Sage Publication, 2000) h.31 31 Sunardi, Semiotika Negativa, h, 17

Page 37: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

itu melekat pada dirinya. Pasalnya, ia menulis beberapa buku yang sistematis—sistem

yang ia ambil dari pendekata semiologi atau strukturalisme—pada fase itu.

Ketertarikan Barthes terhadap pikiran-pikiran Saussure bisa dibaca pertama-

tama bukan ketertarikan pribadi. Hingga tahun 70-an, strukturalisme yang merupakan

output semiologi Saussurean menyelimuti aura intelektual Perancis. Barthes menjadi

bagian yang terlelap dalam dekapan selimut semiologi Saussurean. Hampir semua

pemikiran yang hidup dalam rentang antara tahun 50-70an terpengaruh oleh semiologi

ciptaan Saussure. Semiologi Saussurean pada perkembangannya menggoyahkan

makna fenomenologis yang dikembangkan Sastre kala itu. Setelah terlibat dalam

diskusi semiologi secara serius, mempelajari semiologi ternyata kemudian menjadi

sebuah ketertarikan pribadi. Barthes begitu kagum melihat kemungkinan

pengembangkan teoritis yang dijanjikan semiotika untuk mengatasi persoalan

hubungan antara bahasa, budaya dan ideologi.

Barthes kemudian menyebut momen ini sebagai moment of science atau

moment of scientificity. Sejak Saussure sendiri sebenarnya kajian semiologi ingin

dijadikan sebagai pendekatan ilmiah. Yakni, dengan mnempatkan bahasa sebagai

objek yang dapat dikaji dan dianalisa secara objektif. Bahasa menjadi objektif karena

ia lepas dari manusia, mengatasinya. Bahasa adalah semesta tanda yang terstruktur

sedemikian rupa sehingga semiologi bisa memperlakukannya sebagai entitas yang

objektif. Barthes juga demikian. Bagi dia, ini adalah momen untuk memeriksa

Page 38: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

seluruh kemungkinan klaim semiologi dalam mengkaji kebudayan ummat manusia

sebagai pendekatan ilmiah. Penelusuran Barthes atas semiologi bukan hanya sebatas

memperkenalkan pemikiran Saussure (bapak semiologi), penerus, dan penafasirnya,

melainkan juga membuka ruang imajinsi intelektual dalam sejarah dunia modern.

Semiologi menjadi salah satu pendekatan ilmiah di antara pendekatan ilmu

kemanusiaan yang sudah ada: sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya.

Melalui semiologi, kajian budaya dapat diteliti secara sistematis, terperinci dan

objektif.

Buku Elements of Semiology (1964) adalah bentuk konkrit dari momen ini.

Buku ini lahir untuk kepentingan ia mengajar semiologi di Ẻcole Pratique des Hautes

Ẻtudes. Buku ini semacam textbook semiologi Saussurean karena ditulis secara padat,

sistematis, programatis, dan penuh informasi teoritis. Di dalamnya mengulas istilah-

istilah semiologi Saussure dan perkembangannya oleh para penerus Saussure. Selain

ulasan, juga mengembangkan kemungkinan tanda pada level yang melampaui sistem

linguistik: sistem mitologi. Tidak heran bila Gottdiener menyebut Elements sebagai

buku paling berpengaruh dalam bidang semiologi sejak perang dunia II32. Penilaian

ini tidak berlebihan karena di dalamnya memang menyajikan overview ringkas namun

menyeluruh tentang semiologi dan prospoknya bagi pngembangan sebuah pendekatan

semiologi dalam kajian budaya modern.

32 Ibid, h, 22

Page 39: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Pengaruh Saussure dan upaya scientificity sebenarnya sudah terlihat dari buku

sebelumnya, Mythologies (1957). Buku ini bagi karier Barthes adalah the founding

text bagi kajian budaya media dengan pendekatan semiologi. Pikiran-pikiran Saussure

sudah terlihat jelas pada Myth Today, bagian kedua buku tersebut. Bagian ini

semacam teoritisasi analisa tentang mitos dari perspektif semiologi Saussurean. Buku

inilah yng akan menjadi landasan tulisan ini. Melalui Mythologies, buku yang lahir

sebagai kritik ideologi, kita akan melihat bagaimana mitos beroperasi dalam budaya

kontemporer. Lebih spesifik lagi, cara teori Barthes tentang mitos akan membawa

penulis pada imajinasi intelektual dalam menganalisa mitologisasi bahasa agama.

Keempat, sepuluh tahun terkahir karier intelektual Barthes mengalami

peralihan dari analisa struktural ke analisa tekstual. Jika momen sebelumnya analisa

Barthes lebih terpusat ingin mengungkap struktur tanda di balik bahasa dan budaya

modern, momen selanjutnya lebih ingin menemukan daya nikmat dari (pembacaan)

teks (pleasure of the text). Fase ini tentu saja tidak lepas dari aura intelektual Perancis

saat ini yang ingin segera lepas dari selimut Saussurean yang terlampau hangat.

Foucault, Derrida, Lacan dan juga Barthes termasuk di dalamnya. Situasi ini

merupakan satu bagian dari rangkaian sejarah panjang peradaban Barat modern. Para

pemikir yang disebut sebagai ponggawa postrukturalis terinspirasi terutama dari dua

tokoh besar yang mengubah pola pikir modernisme menuju posmodernisme, dari

strukturalisme ke pos-strukturalisme. Mereka adalah Nietzsche dan Sigmund Freud.

Page 40: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Melalui Nietzsche, sebagaimana para filsuf pos-strukturalisme lainnya,

Barthes terinspirasi soal sikap agnostik terhadap konsep. Nietzsche dengan segala

upayanya berupaya mengeluarkan manusia dari jerat metafisika yang dianggap

sebagai fondasi kebenaran, yang tidak lebih dari sekedar ilusi. Yang tersisa hanyalah

kehendak untuk berkuasa, bukan rasionalitas33. Tidak ada konsep yang mapan.

Semuanya dalam keadaan khaos, terus berubah tanpa konsep yang pasti. Hal inilah,

pada saat peralihan menuju analisis teks, Barthes memaklumatkan bahwa tidak ada

konsep (signified) tunggal yang ajek dalam proses pemaknaan. Bentuk (form) pada

bahasa selalu menyediakan beragam makna (polisemi).

Freud juga adalah tokoh penting yang merubah cara berpikir masyarakat

Barat. Gagasan Freud tentang alam bawah sadar sebagai hal yang dominan dalam

bertindak menjadi inspirasi bagi pemikir abad dua puluh untuk tak percaya pada

rasionalitas sebagai landasan mencapai kebenaran. Karena yang menggerakan

sepenuhnya kehidupan manusia adalah alam bawah sadar, dalam hal ini seks atau

hasrat. Melalui perantara Lacan, Barthes berkenalan dengan gagasan Freud tentang

ketaksadaran (unconciousness) sebagai pemicu kehidupan. Di sinilah sumber inspirasi

Barthes mengganti epistemologi menjadi pleasure dalam menganalisa teks. Analisis

teks bukan lagi mencari keajekan struktur yang dapat diungkap secara sistematis,

melainkan bagaimana teks tersebut menggairahkan saya (pembaca). Membaca bukan

untuk mencari melainkan menunda makna, bukan mencari struktur melainkan

33 Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKIS, 2006) cet. IV, h, 54

Page 41: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

menstrukturasi, bukan untuk mengonsumsi melainkan untuk memproduksi teks. Teks

kemudian harus menjadi bisa membawa alam bawah sadar pembaca merumuskan teks

baru atas pembacaannya itu.

Seluruh rangkaian momen karir intelektual Barthes sama sekali tidak bisa

menunjukan identitas apa yang pantas untuknya. Seorang strukturaliskah? Pos-

strukturaliskah? Budayawankah? Kritikus Sastrakah? Yang jelas, seluruh perjalanan

hidup Barthes tidak bisa dirumuskan dalam satu kesimpulan utuh. Penggalan setiap

momen selalu merupakan kesinambungan dari proyeksi sebelumnya. Identita Barthes

sangat banyak, sebanyak minat dan karya yang dilahirkannya.

Seperti kita tahu bahwa dalam sejarah intelektual Barthes tidak ada satu buku

utuh yang dia tulis secara sistematis, lengkap dan tuntas, kecuali serpihan-serpihan

artikel yang dibukukan. Meskipun begitu, karya-karyanya menjadi rujukan dan

textbook bagi penikmat dan pemerhati kebudayaan. Meskipun begitu, originalitas

dalam menganalisis budaya massa lebih luas melalui semiologi telah

mengantarkannya menjadi seorang pemikir cemerlang dan menjadi rujukan utama

dalam kajian budaya kontemporer.

Berikut adalah karya-karya Roland Barthes yang telah dipublikasi sebelum

dan sesudah meninggal.

1) L’Adventure Semiologique (Seuil, 1985). The Semiotic Challenge, terjemahan

Richard Howard (Hill and Wang, 1988).

Page 42: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

2) La Chambre Ckire: no sur la Photographie (Gallimard and Suil, 1980).

Camera Lucida: Reflection on photography, terjemahan Richar Howard

(hilland Wang, 1981).

3) Critique et verite (Seuil,1966). Critisism and Truth, terjemahan Katrine

Kueneman (University of Minnesota Press, 1987).

4) La Degré Zéro de l’écriture (Seuil, 1953), terjemahan Annete Lovrs dan

Collin Smith (Hill and Wang, 1980).

5) Ẻléments de Sémiologie (Seuil, 1964), Elements of Semiology, terjemahan

Annate Lovers dan Collin Smith (Jonathan Cape Ltd, 1967).

6) L’Empire des Signes (Skira, 1970), Empire of Signs, terjemahan Richard

Howard (Hill and Wang, 1972).

7) Fragment d’un discours amoureux (Seuil, 1977), A Lover’s Discourse”

Fragments, terjmahan Ricahd Howard (Hill and Wang, 1978).

8) Le Grain de la Voic: Entretiens 1962-1980 (Seuil, 1981), The Grain of the

Voice: Interviews 1962-1980, terjemahan Linda Converdale (Hill dan Wang,

1985).

9) Image-Music-Text, esai yang diseleksi dan diterjemahka oleh Stephen Heath

(Hill and Wang, 1977).

10) Incidents (Seuil, 1987). Incidents, terjemahan Richard Howard (Univrsity of

California Press, 1992).

Page 43: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

11) Lécon: Lécon Inaugurale de la Chaire de Semiologie Litteraire du Collége da

France, Pronencee le 7 janvier 1977 (Seuil, 1978). Inaugural Lecture,

terjemahan Richar Howard, dalam A Barthes Reader, Ed. Susan Sontag (Hill

and Wang, 1982).

12) Michlet par lui meme (Seuil,1954). Michelet, terjemahan Richar Howard

(Black Well, 1987).

13) Mythologies (1957). Mythologies, terjemahan Annate Lover’s (Hill and Wang,

1973).

14) New Critical Essays, terjemahan Richar Howard (Hill and Wang, 1986).

15) L’Obvie et l’Obtus (Seuil, 1982). The Rasponsibility of Forms, terjemahan

Richar Howard (Hill and Wang, 1975).

Page 44: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

BAB III

PEMIKIRAN ROLAND BARTHES TENTANG MITOS

E. Teori Mitos dalam Sejarah

Untuk sampai pada mitos model apa yang diteliti oleh Barthes, terlebih dahulu

penulis uraikan teori-teori mitos sebelumnya. Barthes terlibat dalam perdebatan

seputar mitos ketika teori mitos sudah dirumuskan dan diperdebatkan dua puluh abad

lebih. Sejak zaman Yunani kuno, teori mitos sudah mendapat perhatian di kalangan

intelektual. Fakta ini bukan sedang menilai betapa sumbangan Barthes hanya

sejumput dari sejarah panjang teorisasi mitos, melainkan menunjukan bahwa

ketertarikan orang untuk memahami mitos sudah sejak lama ada. Ini berarti

keberadaan mitos dalam perjalanan sejarah ummat manusia tidak pernah absen. Mitos

di setiap zaman selalu mewarnai bagaimana realitas dipahami. Karenanya, perlu

ditekankan di sini bahwa kepustakaan mengenai mitos teramat beragam dan sulit

untuk dievaluasi. Akan tetapi, di sini kita akan melihat teori-teori mitos dalam

sejarahnya untuk kemudian melihat di mana posisi Barthes dalam khazanah

perjalanan teori mitos hingga kini.

Secara kebahasaan, mitos berasal dari bahasa Yunani yaitu, muthos. Dalam

bahasa Inggris padanan katanya adalah word (bahasa Indonsia: kata) atau speech (B.I.

wicara atau ujaran). Kata muthos dibedakan dari logos. Anehnya, logos juga

sebenarnya memiliki padanan kata dalam bahasa Inggris word. Menurut Kees W,

Bello, dalam artikelnya Myth: on Overview, keduanya dibedakan berdasarkan cita

rasa, word bagi logos berupa kata yang akan menimbulkan diskusi, berarti sebuah

Page 45: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

argumen. Sementara pada muthos atau myth, word dimengerti sebagai kata untuk

menceritakan Tuhan atau manusia superhero34.

Pada perkembangannya, pengertian mitos di atas dipahami oleh masyarakat

umum dalam bahasa sehari-hari sebagai cerita fiktif, ilusi, angan-angan atau,

pendeknya, kepercayaan yang tidak berlandaskan pada kenyataan, bukan sebagai

upaya sungguh-sungguh manusia dalam menggumuli dunia. Kecuali para pemikir

yang intens mendalami teoi-teori mitos, pada umumnya, termasuk di dalamnya para

akademisi, pengusaha, orang awam, dan lain-lain, menerima definisi di atas. Padahal

definisi ini sangat menyesatkan. Untuk penelitian akademis, dan tentunya bisa juga

“mengingatkan” masyarakat luas, bahwa jika mitos dianggap sinonim dengan ilusi

hanya akan membuat tugas meneliti mitos menjadi kabur karena akan sulit

menentukan mana kepercayaan berdasarkan ilusi dan bukan. Percaya berarti sudah

mengandaikan begitu saja keberadaan objek yang dipercayai. Ditambah dengan

kenyataan bahwa tugas peneliti adalah memastikan jenis kepercayaan, mempelajari

struktur logisnya, dan menjelaskan apa sebab orang mempercayainya sebagai benar.

Sejak zaman Plato tepatnya, mitos-mitos zaman purba klasik dijadikan bahan

penelitian. Akan tetapi, baru pada abad 19 karya-karya ahli etnografi yang pertama

memperluas kajian sampai mencakup mitos-mitos yang hidup di kalangan bangsa

primitif. Perkambangan ini memungkinkan banyak bidang kajian yang menjadikan

analisa mitos menjadi bagian dari bidang mereka. Kaum positivisme membincangkan

jenis kepercayaan masa lalu ini masuk dalam daftar kajian mereka. Namun, harus

diakui bahwa kajian mitos dalam positivisme lebih sebagai kajian pinggiran di mana

mitos menjadi model dari kepercayaan yang tidak benar. Begitu juga aliran lain

34 Keen W. Bolle, Myth: an Overview, dalam Encyclopedy of Religion, jil. 10, ed. Mircea

Eliade, h. 261

Page 46: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

menganggap mitos bagian dari kajian psikoanalisa, Sigmund Freud35 (1856-1939) dan

Carl Jung36 (1875-1961) misalnya; Cassirer37 (1874-1945) memberi bentuk simbolik

yang penting kepada mitos; Levi-Strauss38 (1908), telah menggunakan mitos sebagai

alat untuk meguji dan menjelaskan kepercayaan masyarakat primitif dengan

pendekatan structural anthropology.

1. Periode Klasik

Pada tahap paling awal, sekitar 6 abad sebelum masehi, spekulasi mitologi

lebih pada keraguan atas cerita akan dewa-dewa. Mereka inilah yang mengaggap

bahwa mitos tentang dewa tidak lebih dari sekedar khayalan atau, lebih jauh lagi,

sebagai rekayasa penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Demokritos

misalnya, mengatakan bahwa dewa-dewa diciptakan tidak lebih dari sekedar untuk

menjelaskan fenomena alam yang menakutkan atau tidak normal. Begitu juga dengan

kalangan Epikuris yang mengatakan bahwa pengertian dewa-dewa muncul dari

gambaran dalam mimpi dan visi mereka39.

35 Freud adalah psikolog asal Austria yang menggagas pendekatan baru dalam psikologi:

psikoanalisa. Melalui psikoanalisa, ia memusatkan perhatian bukan pada kesadaran, melainkan pada alam bawah sadar. Alam bawah sadarlah yang sebenarnya menggerakan kejiwaan manusia. Gagasannya ini juga membalik tradisi filsafat Cartesian soal kesadaran. Meskipun ia tidak membicarakan mitos, tidak sedikit para pengikut Freud berusaha menjelaskan mitos dengan psikoanalisa. Pengaruhnya sangat luas dalam ilmu sosial secara luas, juga dalam teori mitos. Misalnya, psikoanalisa dikembangkan dalam tradisi poststrukturalisme oleh J. Lacan, dan juga Barthes. lebih lanjut lih. Henry Tudor, Mitos dan Ideologi Politik, Terj. Hasan Basari (Jakarta: Sangkala Pulsar, 1984), h.35-37

36 Carl Jung adalah murid langsung Freud. Ia mengembangkan alam bawah sadar, bukan hanya individual melainkan kolektif. Pada sisi inilah Jung menjelaskan mitos. Ibid, h.40

37 Ernest Cassirer adalah filsuf Jerman yang memimpin tradisi neo-Kantian. Bisa dikatakan bahwa dia adalah penerus Kant dalam memandang pengetahuan. Melalui cara berpikir Kantian, ia merumuskan mitos sebagai pengetahuan khas masyarakat primitif. Lih. Ernest Cassirer, dalam Microsoft ® Encarta ® 2006.

38 Levi-Strauss adalah antropolog Prancis yang sangat terpengaruh oleh Saussure. Ia mendekati mitos primitif dari struktur bahasanya. Makna mitos akan dapat ditangkap jika struktur bahasanya sudah dirumuskan. Dalam teori mitos, Levi-Strauss sudah menjelajahi hampir kesemua benua. Dia menemukan bahwa ada hubungan kekerabatan mitos antar benua dalam struktur bahasanya. Lih. Levi-Strauss, Struktural Anthropology, (New York: Penguin Book, 1963), h. 31-50

39 Henry Tudor, Mitos dan Ideologi Politik, h. 7

Page 47: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Keraguan mereka sebenarnya tidak menyentuh langsung mengenai mitos itu

sendiri. Meskipun demikian, keraguan mereka telah membuka jalan bagi teori mitos

yang muncul di zaman itu. Ada dua teori besar yang dihasilkan dari spekulasi

sebelumnya tentang mitos40. Pertama alegoris. Teori ini menyebutkan bahwa mitos

harus dibaca sebagai alegori (kiasan) yang menyembunyikan suatu ajaran moral atau

filosofis tertentu. Menurut teori ini, di balik mitos terdapat keluhuran yang jika

disampaikan tanpa metafor akan jatuh pada orang salah, dan ini berarti keluhuran

makna akan luntur. Tugas kita adalah mengungkap kebenaran atau ajaran moral

tertentu yang tersembunyi di baliknya.

Kedua Euhemerus. Menurut teori ini, makna harfiah mitos tentu bukan makna

yang sebenarnya. Tapi, bagi mereka, mitos sebenarnya lahir dari sejarah tertentu. Jika

mitos seringkali tidak masuk akal karena dalam penuturannya terjadi distorsi-distorsi,

ditambah lagi dengan ada kecenderungan orang di masa lalu mengagungkan tokoh-

tokoh dan membesar-besarkan prestasinya. Mitos terbentuk dalam sejarah. Karena

pada awalnya ada kejadian yang sebenarnya. Jadi, Euhemerus juga layaknya alegoris

menyimpan kebenaran di balik mitos. Akan tetapi kebenaran itu hanya dapat ditemui

melalui penelusuran sejarah.

2. Periode Pencerahan

Periode awal pencerahan, gagasan mengenai mitos tidak ada yang melebihi

batasan yang telah ditetapkan oleh aliran Euhemerus. Kalaupun ada, gagasan mereka

tidak diterima secara luas. Sebut saja gagasan Bernard De Fontenella (1657-1757),

yang berpendapat bahwa mitos merupakan upaya rasional orang primitif untuk

menjelaskan dunia. Giambattista Vico (1668-1744), kritikus sastra Itali terkemuka

40 Lih. Bolle, Myth: an Overview, h. 268

Page 48: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

pada masa pencerahan, mengemukakan bahwa orang-orang zaman dulu adalah para

penyair yang berbicara dalam bahasa puisi, dan mitos adalah apa yang tersisa dari

bahasa mereka. Kedua gagasan ini terpinggirkan oleh kecenderungan orang

memelihara aliran Euhemerisme41.

Teori yang mendapat dukungan luas pada masa pencerahan dalam membaca

mitos adalah ilmu linguistik (filologi), ilmu bahasa yang dijadikan kajian eksak yang

berkembang abad sembilan belas. Teori ini dipelopori oleh Max Muller42. Muller

adalah filolog yang berusaha memahami perbandingan agama dengan penelusuran

asal usul etimologis. Muller berpendapat bahwa bahasa asli orang Arya miskin akan

istilah-istilah abstrak tapi kaya akan istilah konkrit. Jadi ketika berhadapan dengan

fenomena-fenomena abstrak, mereka cenderung menggunakan bahasa puitis. Mitos

baginya adalah bentuk ujaran lama sehingga terasa puitis dan terkadang tidak bisa

dimengerti di zaman berikutnya.

Keberatan atas teori ini adalah bahwa di kalangan filolog sendiri terjadi

perbedaan pendapat dalam analisa etimologi dalam penyebutan nama-nama mitis. Ini

berarti tidak bisa dipastikan makna etimologi mana yang paling asali? Kritikus

pendapat Muller ini dilancarkan oleh Andrew Lang (1844-1912). Menurut Lang,

mitos adalah kisah yang diciptakan oleh orang-orang primitif yang bertujuan

memberikan penjelasan. Kisah ini penting dibuat untuk menjawab rasa ingin tahu.

Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa pendapat seperti ini telah dikemukakan

oleh Fontenelle bahwa mitos tercipta sebagai ilmu pengetahua orang primitif.

Bedanya, Fontenelle ini cenderung mengangap sama pola masyarakat primitif dengan

masyarakat modern. Bagi Lang, mitos merupakan produk dari mentalitas khas

masyarakat primitif yang kekenak-kanakan. Keadaan intelektual ini ditandai dengan

41 Henry Tuder, Mitos dan Ideologi Politik, h. 12 42 Ibid, h,18

Page 49: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

mentalitas yang kabur terhadap apapun yang dihadapi pada tingkat hidup, emosi, dan

akal budi yang sama43.

Terakhir, tradisi positivisme. Positivisme menegaskan agar pengetahuan

hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Aliran ini bisa dibilang kelanjutan dari

empirisme pencerahan. Positivisme meradikalkan gagasan empirisme. Jika kalangan

empiris masih menerima adanya pengalaman subjektif. Sementara itu, positivisme

menolak sama sekali. Di sini jelas mereka menolak metafisika. The thing in itself

yang dirumuskan Immanuel Kant tidak bisa menjadi objek bagi penelitian ilmiah.

Filsafat kini harus mengarahkan pada data-data faktual semata.

Positivisme digagas oleh Auguste Comte (1798-1857). Dalam pemikirannya,

periode pengetahuan dibagi ke dalam tiga tahap. Pertama teologi. Tahap ini manusia

mengandalkan pengetahuan pada sesuatu yang supranatural. Periode ditandai oleh

sub-periode: masa paling primitif atau kekanak-kanakan, yaitu tahap animisme.

Manusia menganggap objek-objek fisik bernyawa. Kemudian masa “remaja”,

kepercayaan politeisme, kekuatan alam diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa.

Kemudian paling akhir dari periode teologi ini adalah monoteisme. Sebuah pemusatan

kekuasaan di “tangan” kekuatan yang adimanusiawi.

Tahap kedua adalah tahap metafisik. Tahap ini bisa dikatakan sebagai tahap

selanjutnya dalam melihat kekuatan-kekuatan adimanusiawi tadi sebagai abstraksi-

abstraksi metafisik. Misalnya, konsep “cause”, “ether” dan seterusnya. Tahap ini

mengalihkan dari kekuasaan adimanusiawi menjadi abstraksi alam sebagai

keseluruhan. Keberadaan Allah dan dewa-dewa sudah tidak perlu lagi; yang tertinggal

hanya entitas-entitas abstrak yang metafisik.

43 Ibid, h, 21

Page 50: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Kemudian tahap berikutnya adalah tahap positivis. Tahapan di mana

pengetahuan mencapai puncaknya. Tahap ini tidak lagi mencari sebab-sebab kejadian

di luar fakta-fakta teramati. Pikiran hanya memusatkan pada fakta yang sebenarnya

bekerja menurut hukum umum. Ilmu pengetahuan pada masa ini bukan saja ilmu

tentang yang real, melainkan juga ilmu yang pasti dan berguna. 44

Dengan demikian jelas apa pandangan kaum positivis terhadap mitos. Mitos

adalah pikiran-pikiran zaman manusia yang masih kekanak-kanakan. Mitos hanyalah

bualan belaka. cerita dalam mitos hanya sebatas kepercayaan zaman primitif, yang

saat ini sudah tidak berguna lagi. Meskipun mitos berisi sejarah, kalangan positivis

menganggap bahwa pengetahuan yang didapat bukan berasal dari fakta-fakta yang

dapat diamati. Demikian juga, jika ada mitos sejarah seperti cerita kerajaan Prabu

Siliwangi di Jawa Barat, alih alih memercayai maknannya, malah menelusuri jejak

sejarahnya secara arkeologis hingga menemukan cerita yang tepat secara ilmiah,

berangkat dari artefak-artefak yang secara faktual bisa menunjukan kebenaran

historisnya.

3. Periode Kontemporer: Psikoanalisa dan Strukturalisme.

Periode ini pembahasan mitos sudah terpilah-pilah seiring dengan spesifikasi

ilmu pengetahuan. Periode ini paling tidak ada dua pendekatan yang menonjol. Kita

mulai dengan pendekatan psikologi. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa mitos

merupakan fenomena psikis. Penafsiran-penafsiran ini umumnya diilhami oleh karya-

karya Sigmund Freud (1856-1939) dan Carl Jung (1875-1961)45. Sementara

metodologi khusus dalam psikologi diinspirasi oleh tafsir mimpinya Freud.

44 F. Budi hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, h.205-206 45 Ibid, h. 38

Page 51: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Mimpi, menurut Freud, ditimbulkan oleh angan-angan dan tujuannya

menampilkan angan-angan tersebut seolah sudah terpenuhi supaya orang dapat

melanjutkan tidurnya tanpa gangguan. Angan-angan tersebut, lanjut Freud, bersumber

dari hasrat seks masa kanak-kanak. Misalnya, pada anak laki-laki tertanam hasrat seks

pada ibunya dan ingin melenyapkan ayahnya. Namun, keinginan ini berhadapan

dengan tata nilai dan sopan santun sehingga dilenyapkan dan dibuang dari ingatan.

Akan tetapi tidak hilang sama sekali, hasrat tersebut mengendap di bawah sadar

manusia, dan tetap di sana untuk mengganggu orang dewasa tidur.

Freud sendiri tidak memperluas teorinya ke wilayah mitos. Ia hanya mencoba

mengamati bahwa simbol-simbol mitos banyak kemiripan dengan simbol-simbol

dalam mimpi. Misalnya, terutama tema seksual masa kanak-kanak. Tema ini dipakai

untuk melihat mitos terkenal tentang kisah Oedipus. Freud juga menegaskan bahwa

mitos, seperti halnya mimpi, merupakan produk fantasi.46

Salah satu murid Freud yang cukup berpengaruh, Carl Jung memperluas

pengertian bawah sadar. Tidak seperti Freud yang menegaskan bahwa tipikal bawah

sadar besifat pribadi dan isinya selalu berasal dari pengalaman sadar individu itu

sendiri, Jung mebedakan antara lapisan luar bawah sadar dan lapisan dalam. Lapisan

luar inilah yang bersifat pribadi. Sementara, lapisan bawah sadar terdalam disebut

dengan bawah sadar kolektif. Istilah kolektif dipilih lebih karena sifatnya yang

universal. Dengan kata lain, ia identik pada semua orang, dan karenanya merupakan

suatu lapisan bawah sadar bersama yang bersifat supra-personal dan terdapat pada diri

setiap orang. Alam bawah sadar kolektif ini juga disebut dengan arkhetip-arkhetip.47

Melalui pembedaan ini, Jung menjelaskan bahwa mitos merupakan

representasi simbolik dari bawah sadar kolektif manusia. Ungkapan-ungkapan mitis

46 Henry Tuder, Mitos dan Ideologi Politik, h.35 47 Ibid, h.40

Page 52: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

harus dibaca sebagai suatu bayangan-cermin atau simbol dari dirinya. Karena semua

mitos dari alam, menurut Jung, merupakan ungkapan simbolik dari drama batin yang

tidak disadari dari psike yang menjadi terbuka bagi kesadaran manusia melalui

proyeksi. Artinya, manusia memroyeksikan dirinya kepada dunia apa yang

sebenarnya terjadi jauh di dalam bawah sadarnya sendiri. Proses ini sangat menonjol

di kalangan bangsa primitif. Misalnya, bangsa primitif tidak cukup atas

penglihatannya atas matahari terbit dan terbenam; peristiwa lahiriah ini pada saat

yang bersamaan merupakan peristiwa psikis; dalam lintasan matahari tergambar nasib

suatu dewa atau seorang pahlawan yang pada tingkatan paling akhir tidak ada di

mana-mana kecuali dalam dirinya sendiri.

Jelaslah bahwa teori mitos yang hendak dibangun dengan pendekatan

pskiologi ini hendak menyamakan antara apa yang terjadi pada mimpi juga berlaku

pada mitos. Ini jelas bermasalah karena mitos dengan mimpi sama sekali berbeda. Di

sinilah letak beberapa keberatan jika teori psikoanalisa diterapkan untuk mitos. mitos

sama sekali berbeda dengan mimpi. Karena, Freud sendiri mengatakan bahwa tujuan

mimpi bukan untuk mengomunikasikan sesuatu, melainkan untuk tidak dimengerti.

Sementara, mitos merupakan ungkapan publik bukan pribadi. Mitos juga salah satu

cara paling ampuh agar mereka dapat dimengerti.

Ide Jung tentang kesadaran kolektif juga tidak bisa menjelaskan mitos pada

dirinya. Karena seandainya kita sudah dapat menjelaskan hakikat ide-ide bawah sadar

kolektif, mitos hanya salah satu efek saja. Selain itu, gagasan alam bawah sadar

kolektif merupakan kelanjutan dari teori idealisme. Sementara, hipotesis Roh

supraindividual sebagai “aktor” utama perilaku suatu peradaban tidak bisa dibuktikan

kebenarannya. Bahwa telah terjadi penyebaran mitos adalah hal yang menarik. Akan

Page 53: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

tetapi hal itu tidak membuktikan keberadaan alam bawah sadar kolektif. Kesimpulan

model ini tidak lebih dari menebak-nebak dengan menggunakan akal.

Kemudian, teori yang belakangan ini mendapat perhatian banyak kalangan

adalah strukturalisme. Teori yang memusatkan perhatian pada struktur bahasa ini,

menjadi alternatif dalam memecah persoalan-persoalan kemanusiaan kontemporer.

Karena, bahasa, sebagaimana diyakini kalangan strukturalis, adalah struktur dasar

yang memungkinkan manusia berujar dan bertindak. Demikian juga dengan

perdebatan mitos. Teori strukturalisme digunakan untuk mendekati mitos pertama kali

dirintis oleh Levi-Strauss (1908- ), antropolog yang getol jalan-jalan ke berbagai

belahan dunia dalam rangka menganalisa mitos-mitos antrologis. Teori ini, seperti

telah diperlihatkan di muka, dikembangkan atas pemikiran pendirinya, Ferdinand de

Saussure.

Menurut Levi-Strauss, studi-studi mitos sebelumnya menghadapi kesulitan-

kesulitan seperti beberapa kesulitan yang dihadapi oleh ahli linguistik pra-ilmiah (pra-

Saussure). Teori-teori mitos selama ini memegang asumsi bahwa di mana terdapat

simbol-simbol dan motif-motif yang sama tentu memiliki makna yang sama pula. Hal

ini sama dengan kesalahan para linguist sebelum Saussure yang berasumsi bahwa ada

hubungan alamiah anatara bunyi-bunyi dengan ide-ide yang ditunjukan oleh bunyi

itu. Menurut Levi-Strauss, mitos harus diperlakukan seperti bahasa. Yang perlu dicari

adalah struktur keseluruhan dari mitos bukan makna dari masing-masing simbolik

karena makna mitos hanya mungkin jika menggabungkan seluruh bagian-bagainnya.48

Untuk mengidentifikasi unsur-unsur pada mitos, kita harus menguraikan

ceritanya menjadi kalimat-kalimat pendek. Misalnya, mitos tentang Oedipus. Kita

bagi menjadi, “Cadmos membunuh naga”, “Oedipus membunuh Sphing”, “Oedipus

48 Levi-Strauss, Stuctural Anthropology, (New York: Pinguin Books, 1963), h.209

Page 54: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

mengawini ibunya” dan sebagainya. Kemudian unsur-unsur ini dipilih berdasarkan

kalimat-kalimat yang memiliki kesamaan-kesamaan menjadi berkas-berkas yang

terpisah. Menurut Levi-Strauss kesamaan dalam berkas itulah yang merupakan satuan

konstituen di dalam mitos. Biasanya, dalam satuan-satuan itu terdapat unsur-unsur

yang saling berlawanan. Oleh karenannya kita dapat mengelompokkannya dalam

satuan oposisi biner, seperti, hidup/mati, laki-laki/wanita, mentah/dimasak, dan lain-

lain. Kemudian oposisi biner ini dapat dikelompokan lagi ke dalam skema konseptual.

Bisa jadi, skema itu menyangkut soal-soal kosmologis, sosiologis atau ekonomis.

Akhirnya, skema konseptual itu dan hubungannya satu sama lain dinyatakan sebagai

diagram yang menurut Levi-Strauss menjadi struktur global dari mitos yang

dianalisa.49

Si pembuat mitos dengan sendirinya sedang ingin menyampaikan suatu pesan

kepada khalayak pendengar. Akan tetapi pesan itu tidak disadari baik oleh pembuat

cerita maupun oleh pendengarnya. Di sinilah analisa struktur memperlihatkan bahwa

apa yang diupayakannya bukan untuk menunjukan bagaimana manusia berpikir di

dalam mitos mereka, melainkan bagaimana mitos itu berpikir dalam sruktur bahasa

manusia, dan tidak mereka sadari.

Oleh karena mitos beroperasi di bawah tingkat kesadaran, maka mitos harus

sering diulang-ulang dan dalam bentuk yang berbeda-beda agar maknannya dapat

disampaikan. Inilah kenapa suatu mitos seringkali muncul dalam banyak versi.

Analisa struktural juga menggiring pada kesimpulan bahwa tidak ada versi mitos yang

paling benar dan paling sah. Karena tujuannya adalah mengumpulkan, menganalisa,

dan membandingkan semua versi yang ada sehingga kita dapat menemukan dokrin

yang tersembunyi di dalamnya.

49 Ibid, h.214

Page 55: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

F. Semiologi: Upaya Membangun Teori

1. Pengaruh Saussure

Pendekatan strukruralisme yang dipraktekkan Levi-Strauss untuk menganalisa

mitos menjadi inspirasi intelektual bagi Barthes untuk membaca mitos kontemporer

yang bersemayam di dalam budaya massa. Levi-Strauss, sebagai seorang antropolog,

tentu ia melibatkan dirinya dalam perdebatan menjelaskan mitos-mitos primitif. Jadi,

ia tidak berkepentingan atas, dan bahkan tidak memerhatikan terhadap, mitos-mitos

yang dihasilkan oleh “mesin-mesin” teknologi kontemporer. Kemudian, Levi-Strauss

juga dalam membaca mitos primitif, dalam kerangka bahasa. Tanda yang diamati

masih berbentuk cerita yang sifatnya bahasa simbolik. Hubungan antar tanda bahasa

menjadi pusat perhatian Levi-Strauss agar dapat menemukan makna pada mitos.

Sementara itu, Barthes memandang mitos sebagai salah satu tipe berujar (a

type of speech). Speech, seperti akan dibahas lebih lanjut dalam konsep semiologi,

bagi Barthes, tidak terbatas dalam bentuk oral saja, melainkan juga gambar, film, seni,

olahraga, pertunjukan, dan lain-lain. Mitos akan menyentuh kita melalui media yang

tersedia. Apapun, bagi Barthes, di dunia ini bisa jadi mitos, asalkan ia dapat

terbahasakan. Oleh karenan itu, mitos merupakan salah satu bidang yang dikaji

melalui semiologi. ditambah bahwa bahasa struktur bahasa hanyalah model bagi tanda

selain bahasa.50

Strukturalisme yang digagas oleh seorang pakar linguistik asal Swiss,

Ferdinand de Saussure menandai lahirnya ilmu linguistik modern. Karya Saussure,

Cours de Linguistique Général, menjadi “kitab suci” ilmu baru ini. Meskipun

demikian, “kitab suci” itu tak tahan kritik dan siap dikembangkan para penerusnya.

50 Roland Barthes, Mythologies (New York: Hill & Wang, 1972) h.109

Page 56: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Buku itu sebenarnya, kumpulan ia mengajar, karena mamuat banyak gagasan baru

dalam ilmu bahasa, beberapa muridnya berinisiatif menerbitkannya. Jadilah ia “kitab

suci” linguistik modern hingga kini.

Melalui buku tersebut, Saussure ingin menjadikan bahasa sebagai objek kajian

ilmiah. Pada masanya, para ahli bahasa tidak bisa melampaui pendekatan historis.

Pendekatan historis, hanya terfokus pada bagaimana melihat bahasa lebih pada asal

usulnya. Pendekatan ini membuat ilmu bahasa sangat bergantung dari data-data

sejarah yang spesifik. Saussure membayangkan adanya suatu disiplin ilmu yang stabil

untuk mempelajari bahasa sehingga dapat melampaui pendekatan lama.

Saussure terinspirasi oleh gagasan Durkheim (1858-1917) mengenai fakta

sosial. Masyarakat, menurut Durkheim, dapat diteliti sebagai fakta sosial yang

objektif. Fenomena ini terpisah dari kehendak manusia dan memengaruhinya dalam

perilaku sosial. Ini adalah kesadaran kolektif yang disebutnya sebagai fakta sosial.51

Saussure membayangkan kesadaran kolektif ini dalam bahasa. Bahasa menjadi

fenomena objektif yang bisa ditelanjangi strukturya terlepas dari konteks dan

peristiwa yang membentuknya. Melalui sruktur, individu dan masyarakat

mengembangkan bahasa dalam bentuknya yang spesifik. Kesadaran kolektif

masyarakat tadi terejawantahkan dalam strukturnya. Karena itulah Saussure disebut

sebagai bapak strukturalisme, di mana sruktur menjadi pusat penelitiannya.

Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa untuk mendekati bahasa dari

strukturnya, Saussure membedakan antara langue (bahasa) dan parole (wicara).

Parole adalah seluruh ujaran manusia bedasarkan pilihan-pilihan individu, termasuk

di dalamnya bentuk pengungkapan secara spesifik. Artinya, parole ini muncul dari

penggunaan bahasa yang dilakukan secara individual dilakukan oleh masing-masing

51 Doyle Poul Johnson, Teori Sosiologi Modern I, h. 74

Page 57: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

orang atau kelompok. Masing-masing lingkungan memilik parole berbeda-beda.

Perhatian Saussure dalam merumuskan ilmu bahasa yang ilmiah justru tertuju pada

langue. Langue merupakan kebiasaan pasif si penutur bahasa yang memungkinkan

kita saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dapat dipahami bersama.

Jadi langue ini adalah abstraksi dari keseluruhan akivitas berbahasa manusia. Langue

sepenuhnya produk alam bawah sadar manusia, dan inilah yang disebut sebagai

kesadaran kolektif. 52

Saussure sadar bahwa ilmu bahasa tidak mungkin meneliti parole saja karena

terlalu banyak dan spesifik. Oleh karena itu, ia lebih terfokus pada langue. Bagi

Saussure, linguistik bisa didekati melalui jalan diakronis juga sinkronis. Para ahli

bahasa sebelumnya, hanya berhenti mendekati bahasa dengan metode diakronis, yaitu

meneliti bahasa berdasarkan perkembangannya dalam urutan waktu. Jadi

penelitiannya dilakukan dengan mengamati institusi yang meresponnya dalam kurun

waktu tertentu. Bahasa juga bisa dilihat melalu cara sinkronis, yaitu kita dapat

memperlajari perubahan bunyi dan sistem fonologis di antara berbagai sistem langue,

meskipun dalam rentang waktu yang berjauhan. Karena itu, tidak heran jika bahasa,

sekalipun abstrak, sangatlah majemuk. Kemajemukan ini memperlihatkan adanya

kekerabatan yang secara implisit terdapat di dalam struktur bahasa.

Lalu di mana letak tanda dalam strukturalisme Saussure? Seperti sudah

disinggung bahwa bahasa yang diperbincangkan Saussure terletak pada langue.

Karena langue adalah hasil konvensi anggotanya, konvensi tersebut dihasilkan

berdasarkan sistem pemaknaan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa sistem

pemaknaan, tidak mungkin saling memahami. Sistem pemaknaan itulah yang disebut

dengan tanda. Menurut Sussure, langue adalah semesta tanda yang masing-masing

52 Harimurti K, Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913), Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme, dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univrsity Press, 1996), h. 5

Page 58: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

bersifat arbitrer. Sifat arbitrer yang melekat pada tanda bukan berarti kita boleh

seenaknya mengasosiasikan bunyi tertentu untuk konsep tertentu. Karena asosiasi

antara bunyi dan konsep yang membentuk tanda terjadi atas konvensi masyarakat.

Sehingga kita tidak tahu latar belakang mengapa bunyi “batu” diasosiasikan pada

konsep batu bukan air. Akan tetapi, sifat arbitrer ini juga menegaskan bahwa tidak

ada hubungan alamiah antara bunyi dengan konsep yang ditunjuknya. Itu semua hasil

konvensi anggota masyarakat di ranah bawah sadar manusia.53

Saussure memandang tanda terdiri atas dua komponen: (1) citra akustik yang

disebut penanda (signifier) dan (2) konsep atau citraan mental yang disebut petanda

(signified). Penanda adalah kesan citraan bunyi yang dapat dibunyikan dari mulut

penutur, sementara petanda adalah konsep yang hanya dapat dirasakan secara mental

dalam pikiran penutur. Hubungan keduanya saling menentukan. Citra akustik akan

terasa sebagai igauan belaka jika di dalamnya tidak ada konsep yang hendak ditunjuk.

Begitu juga konsep tidak akan muncul tanpa penyampaian dalam bentuk bunyi atau

citra akustik. Korespondensi terus menerus di atantara keduanya diperlukan untuk

menjalin komunikasi para penuturnya. Akan tetapi, cara mereka berhubungan

berbeda-beda, bergantung pada konvensi di masyarakat. Tanda tidak pernah lepas dari

konteks pembentukannya.54

Bahasa dalam pandangan Saussure bukan isi, melainkan bentuk. Pandangan

ini kemudian dikembangkan oleh Levi-Strauss sebagai relasi. Bahasa merupakan

jalinan relasi tanda yang sangat rumit. Relasi ini menjadi jembatan pembentukan

makna yang silih berganti disampaikan di antara penutur. Hanya saja, relasi ini hanya

mungkin bila tanda memiliki penandaan (signification). Penandaan inilah yang

menghubungkan, asosiasi antara bunyi dan konsep secara referensial. Misalnya, kata

53 Henry Tudor, Mitos dan Ideologi Politik, h. 53 54 Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1996), h. 65

Page 59: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

gunting mengandung penandaan atas konsep alat memotong benda. Hubungan antara

kata gunting dengan alat memotong benda akan gugur manakala kata gunting diganti

oleh kata ganteng atau gintung.

Tanda-tanda di dalam bahasa bukanlah sitem yang homogen. Hubungan antar

satu tanda dengan tanda lainnya memiliki mekanisme hubungan tersendiri. Hubungan

tersebut disebut dengan diferensi atau perbedaan. Diferensi ini akan memperjelas apa

yang akan ditandakan oleh penutur. Misalnya, “gunting” menjadi jelas maknanya

karena berbeda dengan “genting”. Diferensi ini sangat penting dalam pemikiran

Saussure. Tanpa diferensi, tanda-tanda dalam sistem langue tidak dapat diketahui.

Hubungan antara tanda juga dilihat melalui dua cara: sintagmatik dan

paradigmatik. sintagmatik adalah hubungan yang bersifat linier pada tanda. Artinya,

hubungan antar tanda bergerak lurus dengan satuan waktu. Hubungan ini mengajak

kita memprediksikan apa yang akan terjadi dari hubungan tersebut. Dalam hubungan

ini, konsep sangat ditentukan oleh hubungan antara tanda dengan yang lainnya.

Misalnya, hubungan antara satu kata dengan kata lain dalam satu kalimat.

Sementara, hubungan paradigmatik merupakan hubungan unsur-unsur tanda

dalam satu kelas yang membentuk sistem. Tanda-tanda dalam hubungan ini identik

satu sama lain, meskipun masing-masing memiliki nilai atau valensi secara unik.

Misalnya, antara kata supermarket dalam hubungannya dengan pasar, mall. Atau kata

“ketupat” dalam hubungannya dengan “peci”, “sarung” untuk suasan idul fitri.

Hubungan tanda-tanda secara paradigmatik merupakan hubungan virtual.

Keberadaannya dalam keadaan in absentia, satu kelas namun tidak hadir. Hubungan

unsur ini terletak pada pikiran manusia.55

55 Lihat Fariz Pari, Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Metodologi dan

Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rahmat Garut, (Seri Disertasi: Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2005), h. 26

Page 60: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Melalui pemikiran Saussure tersebut, Barthes menjelajahi dengan tekun segala

kemungkinan dari linguistik modern (strukturalisme) untuk membangun teori

mitosnya kelak. Akan tetepi, sejak awal, ia meniatkan penjelajahannya itu ditapakinya

ke wilayah yang lebih luas, signification other than language.56 Apa yang digagas

oleh Saussure mengubah model berpikir dalam ilmu-ilmu sosial. Meski demikian,

bahasa tetap menjadi pijakan, atau barangkali juga model sistem penandaan di luar

bahasa. Cara pandang baru atas bahasa ini membuat Barthes terpesona dalam

penelitian-penelitiannya kelak, terutama sebagai kritik ideologi.

Dalam bukunya, Mythologies (1957), untuk kepentingan analisa terhadap

mitos-mitos yang dipublikasi di berbagai media, sebenarnya Barthes sudah membahas

semiologi. Karena mitos, kata Barthes, adalah bagian dari kajian semiologi. Beberapa

istilah kunci semiologi telah diurainya secara detail. Namun, penjelasannya masih

terbatas pada konsep yang sejauh menunjang analisanya atas mitos.

Baru pada tahun 1964, melalui bukunya Elements of Semiology, Barthes

memaparkan beberapa konsep kunci teori semiologinya. Tepatnya, buku itu lebih

berupa ulasan atas kemungkinan teori semiologi Saussure dan para penerus dengan

perkembangannya. Buku ini dipersiapkan sebagai bahan mata kuliah di mana dia

mengajar. Akan tetapi, ternyata buku ini juga menjadi momen bagi Barthes untuk

membangun teori untuk mendekati persoalan-persoalan kebudayaaan secara luas.

Pendek kata, kita akan melihat bagaimana mitos dalam pandangan Barthes dengan

memahami landasan teori yang dipakainya. Oleh karenannya, membahas konsep-

konsep kunci akan dibicarakan terlebih dahulu.

2. Langue/Parole

56 Roland barthes, Element of Semiology, (London: Jonathan cape, 1967), h. 95

Page 61: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Pertama-tama Barthes membahas soal pembedaan antara bahasa (langue) dan

wicara (parole). Sebagai seorang Saussurean, Barthes setuju akan dua istilah ini.

Bahasa (langue) adalah pranata sosial dan sistem nilai. Sebagai pranata sosial, bahasa

merupakan ciptaan masyarakat bersama dan bukan oleh individu. Bahasa ini harus

diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dan sifatnya otonom, memiliki aturannya

sendiri. Sebagai sistem nilai, bahasa memiliki unsur-unsur yang dapat dipertukarkan

dan dibandingkan. Sebagai pranata sosial dan sistem nilai, bahasa menjadi sesuatu

yang objektif, berada di luar dan memaksa manusia untuk berujar sesuai dengan

bahasa yang ada.

Sementara itu, wicara (parole) merupakan tindakan individu dalam memilih

dan mengaktualisasikan pilihannya dari bahasa yang tersedia. Melalaui bahasa,

memungkinkan individu mengungkapkan subjektivitasnya. Dengan bahasa

sebagaimana dijelaskan di atas, orang secara individu dapat memakainya sesuai

dengan kebutuhan pribadi. Bahasa sebagaimana dipakai ini disebut wicara yang

disipiakan oleh pilihan-pilihan pribadi.

Pembedaan dua kategori Saussurean ini disepakati oleh Barthes. Hanya saja,

melalui dua konsep ini Barthes mengembangkan keduanya ke arah non-verbal yang

lebih luas. Karena tidak ada lagi istilah yang lebih baik dari dua istilah ini, Barthes

tetap mempertahankannya untuk sistem tanda yang lebih luas tadi. Misalnya, dalam

perkembangan mode. Struktur antara bahasa dan wicara ini berlaku. Sederetan

rancangan busana yang tersedia dalam buku-buku mode dilihat sebagai bahasa,

berupa sistem mode yang sedang berkembang. Jatuhnya pilihan pada mode tertentu

merupakan wicara dalam struktur mode tersebut. Di samping itu, Barthes juga

mengidentifikasi pada sistem mobil, sistem makanan, sistem pakaian dan sebagainya

yang meruapakan bagian dari sistem tanda yang non-verbal. Perhatian Barthes sistem

Page 62: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

bahasa non-verbal karena keyakinannya bahwa semiologi bisa mempelajari other than

language.57

Bila sistem bahasa yang dihubungkan melalui sistem relasi antar langue,

wicara pun demikian. Selain pilihan yang disediakan bahasa beragam, wicara sendiri,

bagi Barthes, tidak terbatas dalam bentuk oral. Wicara juga bisa diaktualisasikan

melalui tulisan, gambar, foto, gestur tubuh, film, dan seterusnya. Sistem tanda yang

tersedia dalam bahasa tidak terbatas pada oral sebagai sistem pemaknaan. Akan tetapi,

tentu saja pilihan-pilihan beragam bentuk wicara ini tetap mengacu pada sistem

langue yang berlaku.

Dalam ilmu sosial kemanusiaan, pemisahan antara bahasa dan wicara ini

memiliki peran yang cukup signifikan. Yang agak mengherankan, seperti kita tahu,

Saussure terispirasi dari konsep “fakta sosial” dalam sosiologi yang digagas oleh

Durkheim. Justru pemisahan antara bahasa dan wicara ini tidak banyak mendapat

perhatian dalam bidang sosiologi. Jika di ranah sosiologi tidak mendapat perhatian,

pemisahan langue/parole ini diapresiasi oleh tradisi filsafat di Prancis waktu itu.

Misalnya, kata Barthes, pemisahan antara speaking speech dan spoken speech dari

Merleau-Ponty. Begitu juga dalam antropologi seperti yang dipraktekan oleh Levi-

Strauss.58 Ini membuktikan bahwa pemisahan antara bahasa dan wicara ini masih

dipertahankan Saussure sebagai konsep dalam perkembangan teori kemanusiaan

hingga kini. Termasuk Barthes dalam menganalisa sistem kebudayaan di luar bahasa:

mode, makanan, iklan, film dan lain sebagainya.

3. Tanda (Sign), Penanda (Signifier) dan Petanda (Signified)

57 Roland barthes, Element of Semiology,h.25-28 58 Ibid, h. 24

Page 63: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Di awal pembahasannya tentang tanda, Barthes sepakat dengan Saussure

bahwa penanda (signifier) dan petanda (signified) adalah komponen tanda.

Pembedaan ini sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu linguistik secara umum.

Sebelum Saussure, orang selalu terkecoh dengan menyamakan antara signifier

(penanda) dengan sign (tanda) karena di dalam imajinasi kita, keduanya ada

kemiripan. Sehingga konsep di dalam tanda dilewatkan begitu saja. Padahal trikotomi

ini merupakan aspek konstitutif: tanpa salah satunya tidak ada tanda, tidak bisa

membicarakannya, bahkan membayangkannya. Suara yang tidak ada konsep akan

terasa seperti igauan belaka, dan berarti bukan tanda.

Menurut Barthes, Saussure sengaja memilih istilah tanda (sign) sebagai ciri

dalam bahasa. Padahal sebelumnya sudah banyak sekali padanan istilah untuk sign

ini. Menurut Barthes, sign memeiliki kesamaan makna dengan beberapa istilah yang

sebelumnya telah digunakan oleh pemikir sebelumnya. Misalnya, signal, index, icon,

symbol, allegory. Pilihan Saussure jatuh pada sign dalam linguistik karena karena jika

menggunakan istilah simbol berakibat pada sifatnya yang “disengaja” (motivated).

Sementara sign merupakan kesatuan atau gabungan antara penanda dan petanda yang

sifatnya arbitrer (unmotivated).59

Pembahasan bagian tanda ini Barthes memperlihatkan konsep yang digunakan

pada sistem bahasa, kemudian dikembangan pada sistem tanda (semiologi). Seperti

dalam sistem bahasa, tanda semiologis terdiri dari signifier dan signified. Objek yang

dalam kehidupan sehari-hari sepertinya tidak masuk dalam sistem bahasa menjadi

bagian dari sistem tanda. Pakaian misalnya, awalnya hanya memiliki nilai fungsi,

untuk menutupi badan. Akan tetapi, dalam sistem tanda pakaian juga digunakan

sebagai tanda. Karena ternyata di zaman kita ini misalnya, pakaian tidak cukup satu

59 Ibid, h.38

Page 64: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

atau dua karena kebutuhannya bukan sekedar fungsi menutupi badan melainkan

makna darinya. Kemeja sebagai penanda dari pakaian “resmi”. Setiap momen ada

jenis pakaian yang sesuai dengan aturan sosial (sekali lagi tergantung konvensi yang

terus menerus berlangsung). Dengan kata lain, selain nilai fungsi, objek keseharian

juga terdapat penandaan (pemaknaan).

Untuk melengkapi istilah signifier dan signified dalam sistem languistik

Saussure, dan mengembangkan dalam sistem tandanya, Barthes mengadopsi gagasan

Hjelmslev bahwa signifier disejajarkan sengan plane of expression, signified

disetarakan dengan plane of content. Secara intrinsik, masing-masing masih

mengandung form dan substance. Jadi sebuah content dari form, juga bisa dari

substance. Pembedaan ini kemudian, seperti masih akan kita lihat memengaruhi

konsep konotasi dan metabahasa dalam pemikiran Barthes nanti.60

Perlu ditambahkan di sini bahwa tanda bermakna sejauh dilihat dalam dua

hubungan: paradigmatik dan sintagmatik. (1) Paradigmatik adalah hubungan eksternal

antar tanda yang sekelas atau satu sistem. Misalnya, pohon cemara yang dijadikan

iklan bulan Desember memiliki hubungan paradigmatik dengan lonceng, sinterklas,

kereta anjing dan seterusnya. Gambar-gambar ini adalah masuk dalam perlengkapan

menyambut natal. (2) Sintagmatik juga merupakan hubungan ekstrenal. Jika

paradigmatik ke atas, maka hubungan sintagmatik menyangkut hubungan sejajar.

Yakni, hubungan satu tanda dengan tanda lainnya, baik yang mendahului atau yang

berada di belakangnya. Misalnya, dalam satu kalimat, hubungan antara kata dengan

kata selanjutnya disebut hubungan sintagmatik.61

4. Pemaknaan (Signification)

60 Ibid, h. 39 61 Ibid, h. 62-72

Page 65: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Signification berasal dari bahasa latin, significatio. Secara etimologis artinya

hal menunjuk, hal menyatakan, pengungkapan, petunjuk. Dari beberapa arti ini, “hal

menunjuk” adalah arti yang paling dekat dengan konsep signification yang akan

dibahas oleh Barthes. Karena, arti ini berkaitan dengan peristiwa penandaan dari pada

tanda itu sendiri. Barthes menandasakan bahwa “signification dipahami sebagai

proses…sebuah tindakan memproduksi tanda”.62 Signification penting mendapat

perhatian karena pada saat kita berhadapan dengan tanda, kita sudah selalu dibayang-

bayangi oleh makna. Oleh karena itu signification di sini dilihat sebagai keseluruhan

sistem.

Dalam analisis semiologi, signification hanya digunakan untuk sistem tanda

tingkat kedua. Hal ini karena pada sistem inilah makna mencapai kita. Pada level ini

kita menggabungkan signifier dan signified sesuai dengan keadaan dan kondisi kita.

Artinya, pemaknaan pada level ini membutuhkan pengalaman atau subjektivitas kita

sebagai audiens. Di sini pula terjadi pertukaran tanda di antara anggota masyarakat,

yang kemudian menghasilkan langue.

Seperti sudah dikemukakan, Barthes mengadopsi formula yang digagas oleh

Hjelmslev soal expression dan content. Adopsi ini terutama karena, bagi Barthes,

formula Saussure hanya menarik digunakan untuk analisa linguistik, sementara untuk

kepentingan analisa semiotik atau non linguistik masih dirasa kurang. Sumbangan

Hjelmslev ini sangat berharga karena dengan formula baru ini Barthes bisa

merumuskan sistem ganda dalam semiologi. Sistem ganda ini kemudian disebut

konotasi dan metabahasa. Dalam rumusan sistem ganda pada tanda terdiri dari plane

of expression (E), plane of content (C), dan relation (R).

Rumusannya sebagai berikut:

62 Ibid, h. 48

Page 66: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Konotasi: 2 E R C 1 E R C Metabahasa: 2 E R C 1 E R C

Keterangan: E: Expression

R: Relation

C: Content

Konotasi adalah sistem tanda tingkat kedua, di mana yang menjadi plane of

expression-nya adalah sistem tanda tingkat pertama. Meskipun sistem tanda tingkat

pertama berupa rangakain tanda, pada saat berubah posisi menjadi konotator, ia hanya

memiliki signified tunggal. Karakter Signified dalam konotasi mesti umum, global dan

menyebar. Barthes menyebutnya ideologi. Ideologi di sini mengacu pada gagasan

Hjelmslev dimengerti sebagai bentuk (form) signified bagi konotatif, sementara

rhetoric menjadi bentuk (form) bagi konotator.63

Berbeda dengan konotasi yang pada sistem tanda tingkat pertama menjadi

plane of expression, di dalam metabahasa sistem tanda tingkat pertama itu kemudian

menjadi plane of content. Sebagai contoh senderhana, Barthes menyebut sejarah ilmu

sosial kemanusiaan telah menghasilkan metabahasa secara diakronik. Artinya, ilmu-

ilmu tersebut menghasilkan istilah baru dari signified (sistem tanda tingkat pertama

tentang sosial kemanusiaan) pada level metabahasa. Beribu buku teori sosiologi

merupakan metabahasa untuk membicarakan interaksi sosial.64

63 Ibid, h.90-91 64 Ibid, h. 92

Page 67: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

G. Mitos: as a Semiological System

Sedari awal perhatiannya pada budaya massa, Barthes sadar bahwa mitos yang

selama ini dibicarakan dan diperdebatkan para ilmuan sosial belum menyentuh mitos

yang beredar di zamannya. Mitos sekarang tidak lagi berasal dari cerita orang tua atau

buku-buku legenda, mereka tampil dan menyapa kita melalui media yang lebih luas:

film, foto, iklan, pakaian, makanan, dan seterusnya. Hal ini karena bahasa sebagai

kesadaran kolektif dalam masyarakat tertentu selain menyediakan makna sebenarnya

(denotatif), juga makna yang melenceng dari makna denotatifnya. Makna bukan

sebenarnya senantiasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kita

menyebut “singa” bagi laki-laki yang gagah berani. “Lelaki gagah berani” adalah

makna konotataif dari makna singa dalam sistem bahasa denotatif. Mitos adalah

bagian dari sistem tanda yang mengalami penyelewengan makna yang sudah kita

anggap sebagai sesuatu yang common sense dan natural. Dengan demikian, mitos

akan tersebar di mana dan kapan saja hingga hari ini.

Barthes mengamini kritik Levi-Strauss terhadap teori mitos sebelumnya,

bahwa mereka menganggap setiap simbol dalam mitos mesti memiliki makna yang

alamiah. Karena adalah bualan belaka ketika membicarakan mitos berangkat dari

substansinya. Di sini letak perbedaan dengan teori-teori sebelumnya. Teori alegoris,

misalnya, percaya bahwa di balik mitos terdapat ajaran moral yang agung (kebenaran

sejati) yang tertuang dalam bahasa alegoris. Begitu juga Euhemeris percaya bahwa di

balik sejarah menyimpan sejarah yang sebenarnya. Penyimpangan sejarahlah

penyebab kebenarannya terkubur. Teori idealis pun demikian, menganggap bahwa

sejarah adalah perjalanan Roh absolut yang terrepresentasi dalam perubahan-

perubahan pada ritual (mitos) keagamaan. Termasuk juga kalangan positivisme yang

Page 68: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

menganggap bahwa mitos tidak lebih dari bualan manusia primitif. Di dalamnya tidak

ada kebenaran. Mitos dipertentangkan kaum positivis dengan pengetahuan empiris,

atau saintisme.

Melalui pendekatan semiologi, Barthes menemukan bahwa menganalisis mitos

bukan soal ada kebenaran absolut atau tidak di baliknya. Juga bukan persoalan bahwa

mitos itu cerita bohong atau bukan. Mitos jusru selalu menghampiri kita dalam

keseharian kita. Karena mitos adalah sistem komunikasi manusia. Hanya saja, mitos

tidak ditentukan oleh objek komunikasi, melainkan dengan cara apa mitos itu sampai.

Itulah sebabnya mitos menurut Barthes adalah tipe wicara. Oleh karenanya, mitos

dalam konsepsi Barthes tidak ditentukan berdasarkan substansinya, tapi dari bentuk

penandaanya. Analisis mitos akan sampai pada makna, sebagaimana Levi-Strauss,

hanya jika memusatkan perhatian pada strukturnya. Bedanya Barthes dari Levi-

Strauss adalah Strauss percaya bahwa mitos-mitos kuno menjadi banyak versi karena

seringnya diulang-ulang kisah tersebut. Sementara itu, Barthes memandang “sejarah

manusialah yang mengubah realitas menjadi wicara, dan wicara itulah yang

menentukan hidup matinya bahasa mitis”.65

Sejarah yang dimaksud Barthes di sini bukan sebagaimana dipersepsi oleh

kaum idealis yang menganggap ada Roh Absolut yang menentukan perubahan-

perubahan itu. Kaum positivis yang menganggap bahwa mitos merupakan

penyimpangan dari sejarah yang sebenarnya. Sejarah yang dimaksud Barthes adalah

setiap zaman dan tempat memiliki kode-kode pemaknaan yang menentukan makna

apa yang akan muncul dari mitos. Perhatian atas sejarah sebenarnya bukan fokus

Barthes yang notabene seorang semiolog. Ia membicarakan sejarah dalam konteks

65 Roland Barthes, Mytholgies, trans. Jonathan Cope, (New Yok: Hilland Wang, 1972), h. 110

Page 69: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

menunjukkan bahwa perubahan bentuk tanda dalam mitos mengacu pada kode

masyarakat di mana mitos dipakai.

Pada bagian pendahuluan edisi revisi, Barthes memaklumkan bahwa teori

mitos dikembangkannya sebagai kritik ideologi budaya modern. Berikut saya kutip

pernyataannya:

“This book has a double theoretical framework: on the one hand, an ideological critique bearing on the language of so-called mass-culture; on the other, a first attampt to analyse semiologically the mechanics of this language”.66

Pernyataan ini dengan jelas menunjukan bahwa teori mitos yang digagas oleh

Barthes lebih sebagai kritik ideologi. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa

ketertarikan Barthes terhadap ideologi berbeda dari para pemikir sebelumnya. Ia tidak

tertarik untuk memperdebatkan hakikat ideologi. Yang ia persoalkan adalah

bagaimana ideologi berfungsi dan dipercayai secara kolektif oleh masyarakat tertentu.

Ideologi, menurut Barthes, tersebar memakai jasa mitos. Secara semiologi, mitos

adalah ilmu formal yang dianalisis secara sinkronis. Sebagai ideologi, mitos dipelajari

secara diakronis atau mengurai sejarah ide-ide dalam bentuk (atau historis sifatnya).67

Sebagaimana kita tahu sistem tanda terdiri dari signifier dan signified. Dua

unsur ini sangat menentukan makna terbangun dari suatu tanda. Sekema ini, selain

dalam sistem tanda bahasa Saussure, dapat juga kita temui dalam pemikiran Freud

tentang mimpi. Makna dari tingkah laku menjadi penanda, dan petandanya adalah

makna laten dalam bawah sadar, sebagai tandanya adalah mimpi dalam totalitasnya.

66 Artinya: “buku ini memiliki latar belakang teori ganda: di satu sisi, kritik ideologi atas

bahasa budaya massa; dan dari sisi lain, usaha pertama untuk menganalisis secara semiotik cara kerja bahasa budaya massa”. Ibid, h. 9

67 Ibid, h. 112

Page 70: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Begitupun dalam kritik sastra Sartre. Penandanya adalah krisis, penandanya wacana

dalam sastra dan yang menjadi tandanya adalah karya sebagai bentuk pemaknaan.68

Struktur ini juga kita temukan dalam mitos. Mitos adalah sistem tanda tingkat

kedua, unsur-unsur dalam mitos form (penanda), concept (petanda), dan signification

(tanda). Pembedaan ini memperlihatkan bahwa antara sistem tanda pertama dan kedua

ada kesamaan struktur. Meski demikian, ada beberapa perbedaan di antara keduanya.

Salah satunya, akan kita bahas lebih jauh nanti, adalah makna tingkat kedua memiliki

motif tertentu (motivated). Hal ini berbeda pada sistem bahasa, sistem tanda tingkat

pertama, yang unmotivated.

Dalam sistem mitos, penanda menempati dua posisi: penuh dan kosong.

Penanda sistem mitis di kala penuh ia disebut makna (meaning), dan di saat kosong,

Barthes menyebutnya, bentuk (form). Penempatan penanda mitos dalam dua posisi ini

sangat menentukan analisis mitos. Sebab penanda mitos diambil dari sistem tanda

bahasa yang sebelumnya memiliki makna penuh, kemudian mengalami penguapan

makna, yang tersisa hanyalah deretan huruf yang siap diisi oleh konsep sistem mitos.

Sementara itu, petandanya tidak mengalami ambigu semacam petanda, Barthes

menyebutnya konsep. Kemudian, sign pada sistem mitos disebut dengan pemaknaan

(signification) karena sistem mitos terbangun dari gabungan berbagai macam tanda.

Mitos, sebagai sistem tanda tingkat dua, berdiri di atas landasan sistem tanda

tingkat pertama (atau, selanjutnya kita akan menyebutnya sistem semiotik). Untuk

menghasilkan mitos, sistem semiotika mengambil seluruh tanda pada sistem bahasa

sebagai tanda global. Artinya, tidak perlu lagi diuraikan unsur-unsurnya, ia sudah

berupa makna pada tanda. Penanda sudah melebur dengan petanda menjadi tanda.

Misalnya, kata “bunga”. Bunga adalah bunga. Akan tetapi, jika bunga sudah

68 Ibid, h. 114

Page 71: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

menandai rasa cinta, maka bunga tersebut harus dilihat sebagai tanda yang sudah

penuh antara penanda, petanda sudah menyatu menjadi tanda.

Contoh mitos yang dikemukan Barthes adalah gambar serdadu kulit hitam

yang memberi hormat pada tricolor (bendera Prancis yang memiliki tiga warna) di

majalah Paris-Match. Sebagai sistem semiotika tingkat pertama, gambar tersebut

sebagai sign terdiri dari signifier (foto serdadu yang memberi hormat pada bendera

Perancis) dan signified (serdadu “sungguhan” yang memberi hormat pada bendera

Perancis). Foto ini bagi Barthes, orang yang memang lahir di Perancis, sudah kosong

akan makna denotatifnya. Gambar sedadu itu malah menunjukan kebesaran Perancis.

“Kebesaran Perancis” dihasilkan dari sistem semiotika yang berpijak pada sistem

tanda tingkat pertama. Rumusannya demikian: form (foto serdadu Negro yang

menghorat bendera Prancis), concept (kebesaran imperium Perancis) dan signification

(kebesaran Perancis yang tidak membeda-bedakan warna kulit). 69

Jadi, gambar tersebut menjadi mitos karena foto tersebut menunjukan makna

lain dari “kenyataan”. Sebelum Prancis sebagai penjajah warga kulit hitam, dengan

foto ini orang akan lupa seolah Prancis adalah negara yang menyayangi warganya,

tanpa membedakan warna kulit. Sikap lupa pembaca gambar ini karena dalam

prakteknya, penikmat mitos tidak peduli lagi terhadap biografi serdadudan sejarah

Prancis. Yang mereka sadari hanya “kenyataan” bahwa setiap warga Prancis setia

kepadanya siapapun dia dan warna apapun kulitnya. Oleh karenannya penjelasan alam

bawah sadar ala Freud sudah tidak berguna lagi untuk menjelaskan mitos karena yang

bekerja membentuk mitos adalah sruktur tanda.

Rumusan Barthes tantang sistem tanda tingkat dua, mitos, lebih sebagai

konotasi. Karena sistem tanda tingkat pertama menjadi penanda bagi mitos. Dengan

69 Ibid, h. 116

Page 72: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

demikian, mitos berupa konotasi ini sebenanya selalu kita temui. Misalnya, “kursi

kepresidenan” sebagai sistem tanda tingkat pertama jelas gambaran mentalnya adalah

kursi yang diduduki presiden. Akan tetapi kata itu sudak menjadi mitos secara

semiologis di hadapan kita. Kursi kepresidenan memiliki konotasi lain, dalam hal ini,

kekuasaan presiden. Mitos berupa konotasi selalu hadir di hadapan kita seolah

konotasi dalam bahasa adalah makna yang alamiah, atau common sense.

Dua contoh di atas memperlihatkan bahwa penanda mitos berada pada dua

posisi. Sebagai sistem semiotik secara total ia adalah makna. Serdadu negro

menghormat bendera Prancis, kursi (yang didududki) presiden. Tapi pada saat

menjadi bentuk (form) untuk mitos tanda tersebut berjarak dari maknanya. Yang

tersisa hanyalah tanda kosong yang siap menerima petanda (konsep) konotatif.

Biografi sedadu negro menguap, ia siap diisi oleh konsep tentang kebesaran kerajaan

Prancis yang dicintai seluruh rakyatnya. Begitu juga kursi sebagai kursi yang sudah

jelas maknannya, tetapi ia menjadi bentuk bagi mitos dan siap menunjukan makna

konotasi kekeuasaan.

Pembedaan posisi penanda mitos yang penuh kemudian kosong penting

karena konsep yang akan mengisi kekosongan makna pada bentuk berasal dari situasi

yang melingkupi pembaca (penikmat) mitos. “Konsep sama sekali tidak abstrak: ia

dipenuhi dengan berbagai situasi” demikian Barthes menegaskan.70jadi, pada saat

menjadi mitos sejarah atau situasi yang mengisi kekosongan itu adalah sejarah dari

konsep baru. Situasi yang melingkupi penikmat sangat menentukan suatu tanda

menjadi mitos atau tidak. Gambar sedadu negro di majalah Prancis bukan mitos jika

dilihat oleh seorang nelayan di Garut sana. Begitu juga jika dikatakan kursi

70 Ibid, h. 119

Page 73: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

kepresidenan ke warga di Arab sana, tidak ditemukan makna konotasinya. Mitos akan

terungkap melalui kode-kode yang ada pada masyarakat dimana mitos itu dikonsumsi.

Barthes menyebut ada empat karakter sistem mitis: deformasi, intensional,

statement of fact, motivasional. Ciri pertama sistem mitis adalah deformasi.

Hubungan deformasi ini berlangsung melalui distorsi makna oleh konsep. Deformasi

biasa terjadi karena penanda mitis memiliki dua aspek. Bersifat penuh, yakni makna

sistem semiotik, dan aspek yang bersifat kosong yakni bantuk. Biografi serdadu negro

itu maknannya didistorsi oleh kebesaran Prancis. Barangkali, dalam pelajaran sejarah

di Prancis sadar bahwa mereka pernah menjajah negara kulit hitam. Konsep mitis foto

serdadu yang menghormat bendera Prancis tersebut mendistorsi makna

kepenuhannya. Justru foto tersebut menyelewengkan makna atau sejarah Prancis

sebagai penjajah menjadi kerajaan yang mengakomodir setiap warganya. Sehingga

ketika di lain waktu dan tempat ditemukan gambaran serupa akan dianggap sebagai

common sense bahwa begitulah Prancis.

Jelaslah bahwa ada pembentukan citra lain (konotasi) melalui gambaran dalam

foto tersebut. Akan tetapi, distorsi ini bukan melenyapkan tanda, ia hanya

memiskinkan. Konsep tetap memerlukan tanda ini secara utuh. Foto serdadu sangat

jelas, tak ada yang disembunyikan. Konsep tidak dapat hadir kepada kita jika

penandanya hilang. Gambar itu harus tetap jelas sehingga distorsi menjadi mungkin.

Perlu ditambahkan juga bahwa distorsi konsep atas makna pada sistem mitis berbeda

dengan “salah” tafsir pada hermeneutik. Distorsi adalah salah satu karakter mitos

yang akan dialami oleh mitos apapun. Sengaja atau tidak. iklan akan melakukan

distorsi dengan sengaja sesuai dengan kode sosial calon pemakai produk yang

diiklankan. Tapi pada mitos yang sudah jadi common sense, distorsi terlihat sebagai

proses yang alamiah. Karena analisis struktur pada sistem bahasa tidak membahas

Page 74: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

mitos sebagai cerita bohong, melainkan sebagai struktur tanda yang khas sehingga ia

dipercaya oleh konsumennya.

Kedua, karakter berikutnya adalah bahwa mitos langsung menyapa penikmat.

Sifat mitos yang intensional ini diperlihatkan Barthes mengenai mitos Basque71.

Ketika Barthes berjalan-jalan ke Basque, ia melihat bangunan rumah yang khas.

Kemudian di lain waktu, ia berjalan di suatu daerah di Prancis yang konstruksi vila-

vila yang memiliki kesamaan dengan bangunan khas Basque. Saat itu saya (Barthes)

disapa oleh kekhasan Basque sehingga saya menandakan bahwa jenis arsitektural

itulah “esensi” Basque. Sehingga vila di Prancis itu, detail-detail lainya tidak lagi

diperhatikan. Di hadapannya, Basque menyapa setiap kali melihat vila di lain tempat

yang memiliki kemiripan. Seolah-oleh masyarakat sekitar vila mengatakan bahwa

inilah Basque yang sesungguhnya hadir di sini.72

Kemudian ciri ketiga, pesan—hasil distorsi tadi—yang sampai kepada kita

berpaling dan membuat penilaian generalitas. Konsep dalam mitos tidak lagi sekedar

konsep biasa yang partikular, melainkan sudah menjadi bukti konsep yang faktual.

Efeknya, konsep terlihat netral dan naif. Hal ini karena “mitos”, bagi Barthes, “adalah

wicara yang dicuri dan dikembalikan lagi. Hanya saja wicara yang dikembalikan tidak

sepadan dengan wicara yang dicuri. Ketika dicuri, ia tidak dikembalikan ke tempatnya

semula”.73 Konsep yang menyertai bentuk mitis mengeras dan mengklaim dirinya

universal. Penanda mitos (foto serdadu negro menghormat bendera Prancis) menjadi

semacam statement of fact, bahwa itulah kebesaran Prancis. Saya, penikmat mitos

tersebut, tidak memiliki kesempatan, dan barangkali tidak peduli lagi pada sejarah

Prancis yang pernah menjajah negara kulit hitam. Kini, melalui foto tersebut, Prancis

71 Basque adalah daerah di Spanyol yang memiliki rumah dengan arsitektur yang khas, yakni

kesatuan arsitektural. 72 Roland Barthes, Mythologies, h. 124 73 Ibid, h. 125

Page 75: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

memang menyayangi seluruh warganya, apapun latar belakangnya. Citra ini menjadi

universal bagi bentuk gambaran lain.

Ciri keempat mitos adalah sifatnya yang selalu motivasional. Inilah beda

antara sistem semiotik dengan sistem mitis. Di dalam sistem semiotik, hubungan

antara penanda dan petanda sifatnya arbitrer. Artinya, kita tidak tahu kenapa citra

akustik pohon menunjukkan konsep pohon. Sementara dalam sistem mitis hubungan

keduanya tidak pernah arbitrer. Selalu didorong oleh motivasi tertentu. Oleh

karenanya selalu mengandung analogi. Bahkan jika sederetan kata yang tidak jelas,

sehingga kita tidak dapat menemukan makna. Ia kosong makna. Situasi ini bisa

menjadi mitos bagi konsep “absurditas”. Terlebih yang semula mempunyai makna

penuh. Gambar serdadu Negro menghormat bendera Prancis setelah kosong makna

(didistorsi), gambar itu secara nyata bisa jadi analogi bagi kebesaran Prancis.

Motivasi ini ada yang direkayasa oleh kelompok tertentu (konspirasi) ada juga

yang tidak, yang disengaja misalnya iklan. Motivasi di dalamnya diciptakan secara

sengaja, direkayasa demi menampilkan citra tertentu pada produk yang

diiklankannya. Sementara itu, mitos yang tidak direkayasa tapi tetap mempunyai

motivasi analogis misalnya, ketika kita saat ini berbicara tentang kursi kepresidenan.

Kita tidak tahu, dan tidak peduli siapa yang pertama kali “menyelewengkan” makna

kursi menjadi kekuasaan. Meski tidak direkayasa hubungan konsep kekuasan dengan

bentuk kursi, tapi memiliki analogi antara keduanya. Untuk itu, Barthes menegaskan

bahwa “motivasi amatlah penting bagi sifat ganda mitos: mitos memainkan analogi

antara makna dan bentuk, tak ada satu pun mitos yang tidak memiliki bentuk yang

termotivasi”.74

74 Ibid, h. 126

Page 76: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Seorang analis mitos, karenanya, mesti sadar betul situasi masyarakat di mana

mitos berkembang. Konsep dalam mitos mesti mengambil forma yang berlaku di

masyarakat. Dengan demikian, kita mengerti definisi Barthes bahwa mitos adalah tipe

wicara (myth is a type of speech). Artinya, ujaran dalam mitos, sebagai sistem

komunikasi, mengacu kepada bahasa di mana mitos itu dipraktekkan. Sistem mitos

bukanlah rumusan matematis. Imajinasi forma untuk mitos selalu terkait dengan stok

tanda-tanda paradigmatik masyarakat tersebut.

Menurut Barthes, ada tiga posisi reader mitos. Pertama, pembuat mitos.

Pembuat adalah manakala membangun mitos berangkat dari konsep. Ia membiarkan

konsep itu mengisi bentuk yang sudah kosong makna. Atau misalnya, jika foto

serdadu dibaca sebagai contoh kebesaran Prancis. Ia mengembalikan makna literalnya

juga merupakan pembaca mitos sebagai podusen. Barthes menyebut jurnalis pada

posisi ini.

Kedua, semiolog, pengurai mitos. Peran ini dilakukan jika pembaca mitos

dapat menemukan distorsi di dalamnya. Ia mengenali konsep dan bentuk secara nyata.

Foto serdadu Negro menghormat bendera Prancis menjadi alibi bagi kebesaran

prancis. Ia bisa membedakan dengan jelas antara bentuk dan konsep yang ada dalam

strukltur mitos di hadapannya.

Ketiga, penikmat mitos. Posisi ini adalah pembaca yang membiarkan mitos

berfungsi melakukan distorsi makna sehingga kita merasakan kehadiran makna mitos.

Apa yang disampaikan mitos tentu saja sebagai kebenaran yang secara alamiah,

penanda menunjukan petandanya. Reader semacam ini tidak lagi sadar dan mau

memerhatikan latar belakang atau problematika antara penanda dan petandanya. Yang

ia sadari hanyalah pemaknaan tertentu yang ia yakini kebenarnnya sebagai universal.

Page 77: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Dari ketiga kemungkinan itu, Barthes menyebutkan bahwa dua pertama jenis

pembaca hanya akan menghancurkan mitos dan membangun mitos baru. Keduanya

sinis akan keberadaan mitos. Posisi tigalah mitos menjadi dinamis. Karena mitos

menjalankan fungsi strukturalnya. Ia dinikmati pembaca yang sesekali benar, dan di

lain waktu tidak realistik. Tapi, mereka menerima dan meyakininya. Oleh karena itu,

fokus analisis mitos mesti diarahkan pada mitos yang sudah begitu saja diterima dan

ada di masyarakat. Akan tetapi, bagaimanapun pilihan mana yang akan diambil

masyarakat, itu bukan urusan semiolog. Pilihan-pilihan tersebut akan sangat

bergantung pada situasi masing-masing subjek.

Akhirnya, mitos diartikan sebagai tipe berujar menunjukan bahwa mitos

merupakan cara masyarakat berkomunikasi. Karenanya tidak mungkin dihilangkan

sama sekali. Justru, semakin melawan, semakin ia menjadi makanan empuk mitos.

Misalnya, bahasa matematika. Ia adalah bahasa murni yang tidak mungkin mengalami

pemitosan. Ia melawan mitos. Justru, kemurnian matematika kemudian menjadi mitos

tersendiri bagi metematika. Begitu jug puisi. Puisi kontemporer75 adalah salah satu

bahasa yang berusaha melawan mitos. Mitos mengarah pada ultra-pemaknaan, atau

pergeseran makna semiologi tingkat pertama. Puisi berusaha mengembalikan makna

bukan pada makna kata, melainkan makna benda itu sendiri. Pada akhirnya berusaha

menemukan makna alamiahnya. Sampai pada suatu keyakinan bahwa puisi bisa

mengenai sesuatu dalam dirinya (the thing is itself). Kesemuanya ini pada akhirnya

menjadi penanda bagi mitos puisi kontemporer.

H. Mitos Sebagai Kritik Ideologi

Seperti sudah penulis kemukakan di muka bahwa salah satu tujuan Barthes

menulis buku Mythologies adalah kritik ideologi. Ideologi yang dimaksud Barthes

75 Barthes menyebutnya puisi modern karena puisi klasik murni mitos karena puisi klsik

menekankan ekstra petanda yang adalah regularitas. Lih. Ibid, h. 133

Page 78: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

adalah ide-ide yang melekat dalam skema bahasa. Karenanya, ideologi dikaji dalam

kerangka bahasa. Ideologi menyebar melalui sistem tanda tingkat kedua, yakni mitos.

Jadi, Ideologi dikonsumsi oleh masyarakat seiring dengan penyebaran mitos.

Barthes mengatakan bahwa mitos menjadi bagian dari semiologi karena ia

adalah ilmu formal, juga menjadi bagian dari ideologi karena ia adalah ilmu sejarah:

ia mengkaji ide-ide dalam bentuk (ideas-in-form).76 Pandangan Barthes ini sekaligus

menekankan bahwa mitos bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari konsumennya.

Konsep yang ada pada mitos dalam proses pemaknaannya tidaklah abstrak, melainkan

dipenuhi oleh situasi di mana mitos itu bekerja. Pada posisi itulah mitos dibaca

sebagai ideologi.

Aspek historis dalam mitos di sini berbeda dengan tradisi positivisme.

Positivisme memandang mitos sebagai cerita bohong. Adapaun kisah-kisah kuno, di

hadapan mereka bisa menjadi objek kajian. Mereka berusaha mencari bukti-bukti

arkeologis untuk mengkonstruksi cerita yang sesungguhnya. Misalnya, kisah Prabu

Kiansantang, apa yang beredar di masyarakat menurut kaum postivis adalah cerita

bohong karena tidak ada bukti. Mereka berusaha mencari bukti-bukti yang dapat

mengkonstruksi cerita yang “sesungguhnya”. Jika ternyata tidak ada bukti, maka

kisah tentang prabu Kiansantang dianggap bualan belaka. Tentu saja dengan standar

yang mereka miliki.

Sementara itu, aspek historis sistem mitis dalam pandangan Barthes adalah

bahwa pemaknaan mitos selalu berangkat dari situasi tertentu dan terjadi terus

menerus. Berarti sifatnya historis. Pemaknaan yang historis ini kemudian dianggap

(dipercaya) sebagai makna abadi dan natural. Dengan cara ini, ideologi melekat pada

76 Ibid, h.112

Page 79: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

benak (bahasa) masyarakat, sementara historisitas ideologi tersebut dilupakan atau

diendapkan.77

Citra pada sistem mitis yang akan mengalami naturalisasi berasal dari kode

budaya tertentu. Artinya, makna pada sistem tanda tingkat kedua, mengacu pada stok

stereotip kultur tertentu. Mitos yang bertahan secara historis—diulang-ulang dan

menjadi acuan dalam proses pemaknaan—akan mengisi kode-kode budaya pada

masyarakatnya. Pada situasi semacam inilah ideologi terbentuk pada masyarakat

tertentu. Petanda pada sistem mitis merupakan fragmen ideologi di mana penandanya

adalah konotator-konotataor78.

Oleh sebab itu, ideologi yang dianalisis Barthes kemudian memiliki kemiripan

dengan konsep hegemoni menurut Gramsci. Ideologi yang dianalisis oleh Barthes,

yakni ideologi borjuis79, telah menjadi sistem bahasa yang mendominsi masyarakat

Prancis. Ideologi borjuis bertahan sebagai mitos dan telah menjadi kode masyarakat

Prancis secara mental. Barthes mengakui bahwa borjuis telah mengalami perubahan

dalam bentuknya. Meskipun demikian, sebagai ide dalam bahasa, ideologi borjuis

melekat dan menjadi kode kultural dalam memaknai hidup. Bahkan kelompok “kiri”

sekalipun, pada level bahasanya, menggunakan istilah-istilah yang dihasilkan oleh

ideologi borjuis. Namun, ideologi ini melekat pada cara pandang masyarakat tanpa

nama, ia lebih bersifat mental.

Dalam buku Mythologies, Barthes memilih masyarakat Prancis sebagai objek

penelitiannya. Barhes menilai kebudayaan Perancis masih didominasi oleh ideologi

77 Ibid, h. 130 78 Barthes, Elements of Semiology, h. 91 79 Ideologi borjusi seperti diakui Barthes memang telah mengalami perubahan-perubahan.

Borjuis sebagai pemilik moda, memang masih ada dan bahkan terus menciptakan borjuis kecil. Sebagai fata politik memang borjuis telah hilang karena tidak ada partai yang mengatasnamakan borjuis. Terakhir, borjusi sebagai ideologi yang menyelimuti “tradisi” Eropa secara keseluruhan telah menyebar dan mendominasi peta penanadaan masyarakatnya. Secara mental ia sudah melekat dengan kehidupan masyarakat Eropa tanpa nama borjuis. Nama boleh banyak, bojuis, semi-borjuis,borjuis kecil, kapitalis, tapi cara pandang secara mental borjuis trrepresentasi secara menyeluruh. Lih. Barthes, Mythologies, h. 138

Page 80: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

borjuis80. Artikel-artikel di awal tulisan buku Mythologies merupakan hasil

pembacaan Barthes atas mitos di Prancis yang membawa ideologi borjuis melalui

berbagai media; film, iklan, koran, majalah, pertunjukan dan sebagaianya.

Ideologi borjuis menjalankan fungsinya dengan berbagai retorika yang telah

menjadi semacam perangkat pemaknaan masyarakat Prancis. Forma retorika borjuis,

tanpa menyebut nama mereka kelompok borjuis, kelas borjuis sudah mempersiapkan

masyarakat dengan perangkat pemaknaan kelas mereka.

Forma retorik borjuis ini pada akhirnya mengerucut pada dua hal: esensi dan

skala. Berdasarkan ideologi borjuis, kemanusiaan didekati sebagai esensi dan diukur

dengan skala. Skala yang dimaksud di sini adalah bahwa ukuran kemanusiaan berada

dalam kerangka ideologi borjuis. Esensi dan skala ini menjadi model landasan

berpikir masyarakat modern. Esensi dan skala yang ditimbulkannya kadangkala

mengeksklusi konsep yang lain (the other). Kecenderungan ini misalnya Barthes

perlihatkan pada esensi penulis wanita di Prancis. Meskipun mereka telah melahirkan

karya-karya yang banyak, mengenai jumlah anak yang dilahirkan mereka tetap

menjadi perhatian utama. Bahwa esensi perempuan pada hakikatnya melahirkan anak

merupakan bukti ideologi borjuis beroperasi dalam kehidupan masyarakat Prancis.

Esensialisme dalam retorika borjuis bukan sekitar apakah seseorang

melukiskan esensi dengan tepat atau tidak, benar atau salah, melainkan esensialisasi

pada dasarnya adalah membunuh sejarah. Sejarah yang menguap pada mitos benar-

benar membuat konsumennya tidak lagi peduli akan sejarah konsep yang

dinaturalisasi oleh masyarakat borjuis. Sekali lagi kalimat pasif ini bukan berarti

80 Barthes tidak memberi definisi secara khusus apa itu borjuis. Dilihat dari penjelasan-

penjelasan yang ia berikan, borjuis masih dalam kerangka marxian. Borjuis diperesepsi sebagai representasi kelas pemilik modal secara ekonomi. Tapi, tak diingkari pula bahwa telah muncul kelas borjuis kecil, yang dilahirkan oleh kapitalisme. Namun, kini borjuis bukan lagi sosok manusia, ia kini, sebagai ideologi, hanyalah mental. Ia hadir di keseharian masyarakat Prancis lewat media, tapi disadari dan tanpa bernama. Ibid, h. 138

Page 81: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

pembuatan mitos ini disadari. Analisis mitis Barthes tidak terfokus pada pembuat

mitos melainkan bagaimana mitos ini dikonsumsi. Dalam masyarakat Prancis kala itu,

media massa sudah merajai sebagai kepanjangan tangan kelompok borjuis dan

menjejalkan makna mitis pada masyarakatnya. Oleh karenannya, distorsi pada mitos

bisa jadi secara sadar bisa terjadi, bisa juga tidak. Yang jelas, ideologi berjuis sudah

melekat dalam wacana Prancis saat itu.

Dengan demikian sebenarnya hubungan antara budaya dan ideologi

merupakan hubungan yang politis. Artinya, ada tawar menawar ideologi pada ranah

budaya. Budaya dalam hal ini dimengerti sebagai konstruk sosial. Mitos dan ideologi

yang sudah dianggap sebagai common sense juga adalah konstruk, tapi konsumennya

tidak lagi memerhatikannya karena karakter mitos yang akan selalu dehistorisasi

konsep mitos. Apa yang diperebutkan adalah ideologi mana yang akan dominan.

Tentu sebenarnya banyak ideologi, tapi kenyataanya selalu ada ideologi yang

dominan. Mitos boleh banyak, tapi ideologi mesti ada yang dominan. Budaya yang

sesungguhnya tidak statis, dihentikan kesejarahannya menjadi ideologi tertentu.

Dalam masyarakat kapitalisme lanjut yang ditandai dengan ekonomi

konsumtif, tidak ada retorik yang paling tangguh kecuali dalam iklan. Barthes

menyebut sistem semiotik sebagaimana ditemukan dalam iklan disebut sebagai logo-

technique. Istilah ini mengacu pada memproduksi konsep atau logo secara sepihak,

sebagaimana dikehendaki oleh produsen. Di hadapan mitos, untuk kepentingan iklan,

apapun bisa menjadi mangsanya, yang pada akhirnya didistorsi sesuai dengan konsep

dan maksud pembuat iklan.

Mitos berfungsi menaturalisasi apa yang sebetulnya tidak natural. Yang

natural ini adalah konsep yang muncul dalam zaman dan tempat tertentu. lewat mitos,

konsep ini seolah alamiah. Itulah ideologi. Jadi, ideologi, membuat konsep menjadi

Page 82: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

seolah tidak terkait dengan kekuasaan. Padahal, melaluinya kekuasaan tengah

berlangsung, masuk pada level kesadaran kolektif masyarakat. Untuk menghadapi

mitos borjuis, bagi Barthes tidak bisa dilawan secara frontal, melainkan dengan

membuat mitos tandingan. Yakni dengan menjadikan ideologi borjuis sebagai tanda

tingkat pertama untuk membuat mitos tingkat dua di atasnya. Di sinilah pertarungan

dan perebutan makna terjadi dalam komunikasi sehari-hari.

Pandangan Barthes mengenai mitos ini secara teoritik menampilkan “metode”

mengupas mitos yang berlangsung di hadapan kita. Pandangannya tentang ideologi

borjuis merupakan contoh untuk mempraktekan mitos pada kasus masyarakat Prancis.

Ini artinya, persoalan kemanusiaan lainnya pun bisa menjadi objek kajian analisis

mitis Barthesian. Kemudian, distingsi pemikir sebelum Barthes antara mitos dengan

logos menajadi cair. Karena yang logos bisa menjadi mitos dengan mengendarai

sistem semiotika ganda. Mitos, bukan soal benar atau salahnya cerita di dalamnya,

melainkan soal struktur tanda yang mengabsolutkan makna tertentu melalui motif atau

ideologi tertentu.

Page 83: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

BAB IV

MITOLOGISASI BAHASA AGAMA

DARI KACA MATA SEMIOLOGI ROLAND BARTHES

A. Bahasa Agama sebagai Sistem Semiologi

Pada bab ini, penulis akan mencoba menerapkan analsis mitis Barthesian pada

bahasa agama. Bahasa agama, sebagaimana bahasa lain, merupakan mangsa paling

empuk bagi sistem mitis. Karena tanda pada bahasa agama menggunakan metafor

yang selalu polisemi. Tentu teori mitos yang akan dipakai di sini adalah mitos

Barthesian yang mengurainya melalui jalur analisis sinkronis81 (formal) sekaligus

diakronis (historical). Secara semiologis, bahasa agama dikupas dalam bentuk, dan

secara ideologis mengungkap ide-ide.

Sebelum kita mengurai lebih lanjut mitologisasi bahasa agama melalui kaca

mata semiologi Barthesian, ada baiknya kita tengok sejenak definisi umum bahasa

agama. Bahasa didefinisikan sebagai (1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang

dihasilkan oleh alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang

dipakai sebagai alat kemunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; (2)

perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suatu bangsa, daerah, negara,

dst)82. Definisi pertama akan digunakan karena ada kemiripan dengan gagasan

Saussure tentang langue yang adalah khazanah tanda. Tanda itu terdiri dari penanda

dan petanda, yang ditandai dengan sifatnya yang arbitrer dan konvensional.

81 Diakronis adalah pola penelitian bahasa berdasarkan urutan waktu, atau dalam sejarahnya.

Sementara sinkronis lebih pada struktur kebahasaanya, lepas dari sejarahnya. 82 Deparatemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa indonesia, (jakarta: bali

Pustaka, 1988) h, 66-67

Page 84: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Sementara religion (agama) berasal dari bahasa latin religio. Secara

kebahasaan religion ini berkaitan dengan ketaatan yang sungguh-sungguh akan

kewajiban ritual dan rasa takjub terhadap yang gaib. Intinya agama selalu

diasosiasikan dengan Tuhan.83 Namun, Tuhan tidak hanya sebagaimana dimengerti

oleh tiga agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam), melainkan segala macam

kepercayaan terhadap realitas yang tran-historis. Bila digabung keduanya, bahasa

agama, menurut definisi umum berarti sistem bahasa arbitrer yang dijadikan alat

komunikasi seputar hubungannya dengan realitas yang tran-historis, transenden.

Komaruddin Hidayat dalam bukunya, Memahami Bahasa Agama: Sebuah

Kajian Hermeneutika (1996) mendefinisikan bahasa agama sebagai bahasa yang

berkaitan dengan ungkapan tentang Tuhan, kalam Tuhan (kitab Suci) dan ritual

keagamaan. Pertama, ungkapan yang menggambarkan relitas metafisik. Oleh karena

bahasa manusia tidak mungkin mencapainya, untuk mengatasi ketakmungkinan itu,

ungkapan tentang Tuhan mengenai Tuhan harus diungkapkan dalam kerangka

analogis atau metafora. Bahasa manusia akan mampu mendekati pemahaman tentang

realitas metafisik, termasuk Tuhan, asalkan bahasa yang digunakannya berupa analog-

analog. Melalui analogi diharapkan kehadiran yang metafisik tersebut bisa dirasakan

sebagai yang transenden. Kedua, kalam Tuhan, dalam hal ini kitab suci. Dari awal

hingga akhir tulisan dan bacaan dalam kitab suci adalah firman Tuhan. Soal bahasa

manusia yang historis? Bahasanya boleh historis, maknanya universal. Di sini juga

agar kita bisa menghindari kesalahpahaman, harus dibaca juga sebagai metafor.

Terakhir, ritual. Bahasa agama tidak hanya terbatas pada bahasa oral, melainkan juga

83 Religion, Microsoft ® Encarta ® 2006

Page 85: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

bahasa tubuh dan isyarat. Dalam hal ini ritual dalam bentuk gerak tubuh atau isyarat

merupakan bahasa agama. Setiap agama bahasa isyarat ini akan dapat ditemukan.84

Hermeneutik yang diajukan oleh Komaruddin ini mengandaikan iman yang

begitu kuat, sehingga menafsir kehendak Tuhan selalu disertai beban iman. Beban

karena ada batas-batas yang jika dilampaui akan dicap sebagai tidak iman (kafir!).

Sebagai sikap atau hasil akhir dari penelitian, iman terhadap kitab suci verbal dan

maknanya dari Tuhan adalah pilihan. Tidak ada masalah. Akan tetapi, kalau menjadi

bagian dari metode, akan melahirkan makna eksklusif dan sinis terhadap pendekatan

lain yang memaknai dengan cara lain. Terlebih mengalihkan makna yang membuat

peneliti mengambil sikap tidak iman, sebagai pilihan. Lalu apa yang dimaksud dengan

“pemahaman yang benar”, atau objektif? Jika demikian, mungkinkah yang objektif

berdasar pada yang subjektif, atau iman? Meski demikian, definisinya tentang bahasa

agama bisa diterima.

K. Bertens melalui salah satu aritikelnya Masalah Bahasa Religius dalam

buku Panorama Filsafat Modern (2005) membicarakan bahasa religius (agama)

dalam perdebatan filsafat bahasa. Bahasa agama yang dipersoalkan oleh kalangan

tradisi filsafat bahasa adalah logis tidaknya bahasa religius. Jadi perdebatan yang

muncul bukan unsur teologis, seperti mempersoalkan eksistensi Allah dan seterusnya.

Yang mereka perdebatkan bahasa pemakaian bahasa teologis. Ini artinya, dalam

prakteknya, apakah bahasa teologis (agama) absah menurut filsafat analitik? Secara

umum filsafat analitik periode awal menganggap bahwa bahasa agama tidak

bermakna. Bukan berarti bahasa agama sebagai omong kosong (nonsensical),

melainkan bahasa agama tetap berguna untuk hidup pribadi si penutur. Ucapan

teologis tidak memiliki isi faktual, tidak dapat diverifikasi. Baru pada periode

84 Komaruddin hidayat, Menafsir Kehendak Tuhan, (jakarta: Teraju, 2003) h, 6

Page 86: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Wittgenstein II yang merumuskan teori language game85. Teori ini memungkinkan di

kalangan analitik bahasa teologis bermakna di dalam permainannya sendiri.86

Agama yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seluruh agama yang (pernah)

ada di jagat raya, baik agama langit atau bumi. Agama apapun di dunia ini memiliki

bahasa untuk mengomunikasikan gagasan-gagasannya. Dalam perngertian inilah

terma bahasa agama akan dibongkar sistem tandanya. Secara semiologis,

sebagaimana bahasa lainnya, merupakan bahasa agama yang memiliki struktur antara

langue dan parole. Setiap agama memiliki langue, berupa perangkat bahasa yang

memungkinkan pemeluknya bertutur dan beribadah. Sementara parole, sebagai

respon individual atau kelompok, berupa pemaknaan atau ritual akan melestarikan

keberadaan agama tersebut. Tanpa salah satunya, tidak ada agama. Seperti juga sudah

kita tahu bahwa langue adalah khazanah tanda. Jadi kita akan membahas bahasa

agama dari unit terkecilnya: tanda.

Tulisan ini merujuk pada objek materi yang sama dengan apa yang

dikemukakan oleh Komaruddin dan para filsuf analitik, yakni bahasa agama

(religius). Akan tetapi, cara mendekatinya berbeda. Cara pandang yang akan menjadi

kaca mata dalam mengupas bahasa agama di sini menggunakan semiologi Barthesian.

Seluruh tanda sebagai unit terkecilnya diurai melalui dikotomi sign antara signifier

dan signified. Kaca mata semiologi ini tidak mempersoalkan apakah kata memiliki

rujukan objektif atau tidak. Kata Tuhan misalnya, untuk memverifikasi adakah

rujukan objektif—dalam pengertian positivisme yang melulu indrawi—

keberadaannya, tidak akan dapat ditemukan, sebagaimana sulitnya—untuk tidak

85 Language game adalah teori yang dilahirkan oleh Wittgenstein untuk menjelaskan bahwa

masing-masing jenbis ungkapan dalam berbahasa akan bermakna sesuai dengan permainannya masing-masing. Bahasa resmi, atau dalam hal ini bahasa islmiah, memiliki aturan masinnya sendiri. sementara, bahasa lainnya, misalnya bahasa agama, juga memiliki aturan mainnya juga. Sehingga bahasa resmi tidak bisa menilai aturan main pada permainan bahasa lainnya. Lih. Bartens, Panorama Filsafat Moderen, (jakarta: Teraju, 2005), h,184

86 Ibid, h. 167-189

Page 87: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

mengatakan tidak mungkin—orang membuktikan ke-tidak-ada-an Tuhan. Analisis

semiologi, melalui penelusuran signifier, signified dan sign, kata Tuhan bisa

bermakna. Citra akustik “Tuhan” sebagai signifier, konsep mental Tuhan sebagai

khalik menjadi signified-nya, dan kemudian, kata “Tuhan” secara semiologi sudah

sempurna menandakan Tuhan yang bermakna.

Tulisan ini juga tidak membahas apakah kitab suci konstruk manusia (nabi)

atau benar-benar datang dari Tuhan. Dalam agama Islam misalnya, perdebatan ini

sudah mewarnai pemikiran teologi. Bahkan telah memakan korban jiwa yang cukup

banyak. Di sini yang akan dibicarakan adalah bahasa agama yang kini dikonsumsi.

Kitab suci di tangan penganut-penganutnya hari ini. Pemaknaan atas teks suci atau

keagamaan lainya tidak pernah abstrak, ia selalu dipenuhi situasi dan kondisi tertentu.

Kendatipun mengklaim dirinya memahami makna literalnya, tapi proses pemaknaan

tidak akan pernah lepas dari situasi masyarakat di mana bahasa agama itu dikonsumsi.

Letak perbedaan bahasa agama dengan bahasa lainnya: tanda yang tampil

adalah wacana keagamaan; dari ritual hingga hubungan sosial yang dilegitimasi oleh

wacana agama. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bercampur-baur

dengan bahasa (wacana) lainnya; malah berkelindan dalam rajutan relasi antar tanda

sehingga kemudian membentuk langue suatu masyarakat. Misalnya, budaya, politik,

ekonomi, dan sebagaianya. Jadi, dalam hal ini bahasa agama yang dibicarakan di sini,

sebagaimana telah dirumuskan Komaruddin di atas, terkait erat dengan ungkapan

tentang metafisik, kitab suci, dan ritual, baik vetikal maupun horizontal, pada ranah

politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain.

Page 88: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Secara mental, bahasa agama dapat dimengerti, meski tidak masuk akal87.

Karena ia terdiri dari penanda dan petanda yang menyatu dalam tanda. Jika bunyi

bahasa tidak memiliki konsep, ia hanya igauan belaka. Begitu juga dengan konsep

tanpa penanda, tidak akan pernah terungkap ke permukaan. Artinya, bahasa agama

bagian dari bahasa manusia yang dapat diurai secara semiologis. Misalnya, kejadian

Isra’ Mi’raj nabi Muhammad. Kejadian itu tidak masuk akal (pergi ke langit dalam

waktu semalam). Akan tetapi, disampaikan melalui bahasa, kejadian itu dapat dicerap

oleh mental pendengarnya.

Penanda (signifier) dalam bahasa agama juga tidak hanya terbatas pada bahasa

oral. Penanda juga bisa tampil dengan tulisan, gambar, foto, kaligrafi, patung, dan

seterusnya. Sebagai contoh, tulisan kaligrafi merupakan penanda bagi konsep atau

petanda tulisan indah tersebut. Begitu juga film yang memperlihatkan wacana agama.

Tanda pada dirinya, menurut Barthes, memang sudah polisemi. Terlebih tanda

keagamaan yang selalu menggunakan metafor sebagai tanda. Kekayaan makna ini

menjadi lahan subur juga buat tumbuh dan berkembangnya pertarungan perebutan

makna berdasarkan ideologi masing-masing. Akan tetapi kekayaan dua unsur ini baru

pada level sistem tanda tingkat pertama. Bahasa agama adalah sistem tanda yang

paling empuk menjadi mangsa mitos.

Begitu juga proses pemaknaan bahasa agama tidak lepas dari hubungan antar

tanda melalui paradigmatik dan sintagmatik. Hubungan paradigmatik adalah

hubungan dengan tanda di luar dirinya yang sekelas. Hubungan semacam ini terjadi

karena tanda yang kita ungkapkan memiliki padanannya secara virtua. Misalnya, kata

infaq, ada hubungan dengan tanda lain yang sekelas namun virtual atau absen,

87 Masuk akal di sini mengacu pada pandangan orang awam yang sudah didominasi oleh

logika positivisme. Masuk akal artinya, hal yang tidak dapat dicerap oleh akal positivisme, dianggap tidak mungkin bermakna. Sementara penelusuran bahasa, memungkinkan kebermaknaanapapun asalkan masih dalam sistem bahasa atau langue yang ada.

Page 89: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

shadaqah. Sintagmatik adalah hubungan yang bisa terjadi bila berkaitan dengan tanda

yang mendahului atau di belakangnya. Model ini memungkinkan pemaknaan dengan

menghubungkan kata infaq dengan kata lainnya dalam kalimat. Misalnya, “infaq

dapat mengurangi kemiskinan di indonesia”. Hubungan “infaq” dengan kata

“mengurangi”, “jumlah”, “kemiskinan”, dst., adalah hubungan sintagmatik.

Rumusannya:

Sintagmatik Infaq dapat mengurangi kemiskinan di Inonesia Zakat Paradigmatik Shadaqah Oleh karenanya, bahasa agama pada akhirnya tidak selalu netral. Ia berpihak

pada konsep di mana bahasa agama dipakai. Konsep ini adalah hasil abstraksi dalam

bahasa dalam sistem masayarakat tertentu. Hanya saja kita harus jeli dalam

menangkap konsep tersebut. Karena pertukaran konsep terjadi, terutama di zaman kita

sekarang begitu cepat dengan bantuan teknologi informasi yang canggih. Oleh sebab

itu, menangkap kode atau konsep bahasa agama yang sudah berubah mengandaikan

pengetahuan peneliti kode potensial dalam kelompok masyarakat tertentu. Di sanalah

mitos dan ideologi merasuki bahasa agama dan membuat ideologi sebagai esensi

abstrak.

Tanda dalam bahasa agama memang tidak pernah tunggal. Buktinya,

Muhammad Khalafullah, dalam bukunya al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah (2002),

mengatakan bahwa teks kitab suci berupa cerita masa lalu tidak bisa dipahami sebagai

sejarah karena al-Quran tidak pernah menunjukan waktu dan tempat secara terperinci.

Makna yang harus diambil dari kisah-kisah dalam al-Quran menurut Khalafullah

adalah teks-teks tersebut mengandung makna psikologis di mana cerita itu turun88.

88 M. Khalafullah, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah, terj. Juhairi Misrowi, (Jakarta: Paramadina,

2002), h. 15-16

Page 90: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Contoh ini hanya untuk menunjukan bahwa makna teks kitab suci agama tidak bisa

dibaca secara literal semata karena ia meruapakan tanda yang polisemi.

B. Sistem mitis dalam Bahasa Agama

Lalu bagaimana mitologisasi bahasa agama itu berlangsung secara semiologis?

Seperti sudah dibahas pada bab sebelumnya, sumbangan teoritis Barthes terhadap

semiologi yang telah dirintis oleh Saussure terdapat dalam dua hal: pertama, sistem

tanda bukan hanya dapat mengidentifikasi sistem bahasa saja, melainkan sistem tanda

lebih luas. Semiologi bisa meneliti sistem makanan di restoran, sistem tanda pada

pakaian, foto, film dan sebagainya89. Sumbangan kedua dari Barthes adalah

membelah sistem tanda menjadi bertingkat. Tingkat pertama dan tingkat kedua, di

mana tingkat kedua berpijak pada tanda tingkat pertama. Masing-masing memiliki

struktur tanda yang sama (terdiri dari penanda, petanda, dan tanda). Sistem konotasi

berpijak pada sistem denotatif.

Bahasa agama yang juga tidak bisa lepas dari logika formal semiologi, juga

sangat potensial menjadi mitos, memiliki makna konotasi. Terlebih, bahasa agama

memang selalu menggunakan metafor yang selalu polisemi. Pada makna yang

polisemi itu, mitos memastikan salah satu makna, menaturalkannya, dan mengubur

kemungkinan makna lain. Proses ini tentu ridak disadari dan tidak diperdulikan lagi

oleh penganutnya. Ia sudah berjalan sebagai common sense. Misalnya, suatu hari saya

melintas di daerah Kemang dan melihat kelompok berjubah putih konvoy motor dan

meneriakkan “Allahu Akbar”. Konotasi dalam pikiran saya adalah penyerangan.

Makna konotasi ini sudah menjadi common sense. Mitos model ini merupakan

semiologi konotatif.

89 Barthes, Element of Semiology, h. 26-29

Page 91: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Berbeda dari konotasi, mitos sebagai metabahasa menjadikan sistem bahasa

menjadi petanda (concept) yang siap dibubuhi penanda (form) baru. Sistem bahasa

yang dijadikan petandannya disebut dengan bahasa-objek (object-language). Bahasa

dibicarakan sebagai objek. Ribuan buku yang pernah ditulis pemikir atau ulama

tentang doktrin keagamaan adalah bentuk konkret metabahasa. Doktrin keagamaan

seputar hubungan manusia dengan Tuhan telah melahirkan beragam wacana.

Konsepnya berpijak pada sistem bahasa, dan melahirkan penanda-penanda yang

beragam.

Berbicara mitos bukan berarti sedang mengidentifikasi makna yang salah.

Misalnya, makna konotasi “teriakan Allahu Akbar”, makna yang melenceng dari

makna literalnya, menjadi “penyerangan”, bukan berarti makna itu salah karena sudah

menjadi mitos. Analisis mitis lepas dari justitifikasi benar-salah ala positivisme.

Semiologi hanya bertugas mengurai distorsi tersebut agar terlihat pemaknaan model

apa yang sedang berlangsung. Karena konsep yang mendistorsinya berangkat dari

situasi yang melingkupi konsumen mitos tersebut.

Seperti juga Barthes tegaskan bahwa makna konotasi ini ibarat pagar putar

yang tidak pernah berhenti. Jadi penelusurannya bukan pada makna objektif atau

bukan, malainkan pada bentuk, atau dengan cara apa makna muncul. Bahasa agama

yang sudah berjalan sejak keberadaannya hingga kini tentu sama seperti pagar putar

itu. Ia tidak akan berhenti melahirkan mitos-mitos baru. Ia hanya akan mati sebagai

mitos hanya jika tipe ujaran tersebut sudah tidak dipilih lagi.

Jika memandang bahwa makna konotasi sebagai cerita bohong yang sudah

tidak ada gunanya, berarti mengandung asumsi ada esensi yang “benar” di balik

makna suatau wacana keagamaan. Logika ini adalah logika positivisme. Cara

pandang semacam ini menurut Barthes, dan seluruh tradisi strukturalis, menganggap

Page 92: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

bahwa positivisme telah salah dalam memandang bahasa. Seolah dalam bahasa

terdapat makna objektif secara indrawi dan karenanya terverifikasi. Dalam tradisi

struktural, sekali lagi, bukan soal ada esensi objektif secara indrawi atau tidak,

melainkan melihatnya dalam struktur tandanya. Yaitu, pola struktur bahasa yang

memungkinkan esensialisasi dan mitologisasi. Dalam konteks itulah, positivisme

menjadi mitos tersendiri secara semiologis.

Dalam bahasa agama, sulit membedakan mana tanda tingkat pertama dan

mana tanda tingkat kedua. Jika kita kita imajinasikan, bahasa paling awal muncul

bahasa agama dalam masyarakat merupakan produk dari sistem mitis. Karena bahasa

yang digunakan untuk mengungkapkan apa yang diyakini sudah menggunakan prinsip

analogi. Prinsip analogi terpaksa dilakukan karena fenomena alam di luar jangkauan

pikiran manusia primitif. Misalnya masyarakat primitif untuk pertama kalinya

mengidentifikasi makhluk gaib dengan api. Api sebagai bahasa yang nampak, sudah

dicuri maknanya, diuapkan makna literalnya, dan siap diisi oleh konsep “makhluk

gaib” yang diyakini kehadirannya. Api, sebagai entitas yang membakar memiliki nilai

analogis dengan kekuatan supranatural. Sistem mitis yang dipercaya oleh masyarakat

primitif mengalami perkembangan seiring dengan sejarah. Sebagaimana Barthes

katakan bahwa “mitos-mitos kuno tidak ada yang abadi; sebab sejarah manusailah

yang mengubah realitas menjadi wicara, dan sejarah ini mengatur hidup matinya

bahasa mitis”.90

Berikut contoh bahasa agama yang sudah menjadi mitos dalam kerangka

Barthesian. Laskar Jihad, dalam websitenya, menampilkan galeri foto-foto kekejaman

orang Kristen di Maluku. Penempatan foto-foto kekejaman di website laskar jihad

adalah sistem mitis di mana foto-foto itu bukan sekedar tampilan tanpa distorsi

90 Barthes, Mythologies, h.110

Page 93: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

makna.91 Tampil sebagai galeri website laskar jihad, foto tersebut mengandung

konotasi ajakan berperang melawa Kristen. Foto-foto itu menegaskan peperangan

melawan kedzaliman Kristen sebagai jihad di jalan Allah. Maka wajar bila tidak

sedikit waktu itu, banyak yang mendaftar sebagai relawan untuk berperang ke

Ambon. Ini adalah contoh mitologisasi yang disengaja oleh pemuatnya. Tapi, para

konsumen wesite ini tidak lagi peduli kenapa dan siapa pembuat mitos ini. Yang

muncul dibenak adalah kedzaliman yang harus dilawan.

Skemanya demikian:

Contoh Mitos Makna Denotatif Makna Konotatif Foto kekejaman orang Kristen terhadap warga Muslim dalam website Laskar Jihad

Gambar orang Kristen melukai warga Muslim

Perang melawan orang Kristen adalah keharusan karena orang Kristen sangat kejam

Empat karakteristik mitos sebagaimana Barthes ungkapkan, deformasi,

intensional, statement of fact, dan motivasional, dapat kita lihat pada contoh mitos

keagamaan yang sudah penulis sebut tadi. Pertama, deformasi. Deformasi ini

mangandaikan bahwa penanda mitos berada pada dua posisi: penuh sebagai makna

(tanda tingak pertama secara general), dan kosong, pada bentuk (form). Deformasi

bekerja berkat distorsi makna menjadi bentuk oleh konsep. Foto kekejaman Kristen di

websitenya Laskar jihar, sebagai makna penuh ia adalah gambar bermakna

(kekejaman Krisen terhadap Islam). Ketika dipakai untuk mengisi galeri Laskar Jihad,

foto itu menjadi bentuk untuk konsep lain (jihad atau berperang melawan mereka

wajib hukumnya). Jika foto ini dilihat di luar website, maka foto ini akan dibaca

dengan beragam makna. Karena Laskar jihad memiliki konsep jihad (perang), maka

maknannya menjadi seperti apa yang diharapkan oleh pembuat.

91 www.laskarjihad.org/galleryphoto

Page 94: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Kedua, intensional. Foto ini bagi konsumennya yang muslim langsung

menyentuh sasaran, terlebih korbannya adalah orang muslim. Apa yang dikehendaki

oleh mitos terasa oleh konsumen muslim. Foto dalam website tersebut memaksa

pembaca untuk mengkategorikan Kristen sebagai kejam yang mendzalimi umat Islam.

Kemudian, mitos pada saat itu juga menjauh dari pembaca seolah menunjukkan

bahwa memang faktanya Kristen secara universal memang kejam. Foto itu enjadi

statement of fact yang tak terbantahkan lagi. Pembaca sudah tidak lagi peduli terhadap

kenapa foto itu dicetak, untuk tujuan apa peristiwa itu diabadikan. Kini foto melalaui

website itu telah menampilkan kekejaman Kristen di manapun. Oleh karea itu jihad

adalah tindakan yang wajib hukumnya.

Terakhir, motivasional. Tidak seperti bahasa biasa yang arbitrer, sistem mitis

mengandung motif. Pada foto ini motifnya jelas untuk mengajak jihad, foto itu sanagt

mewakili sebagai penanda kekejaman Kristen. Nilai analogis foto dengan kosep yang

disisipkan oleh pembuat website Laskar Jihad. Sementara, dalam mitos Muamar, dia

mana letak motivasinya? Dalam contoh mitos itu, motivasinya tidak disadari.

Pendengar begitu saja menganalogikan keindahan dengan meliak liuknya suara

Muamar saat membaca al-Quran. Barangkali jika Muammar melantunkannya di

hadapan non-muslim, konsep dalam mitosnya lain. Analisis itu lebih pada konsep

yang akan masuk mendiami bentuk pada mitos.

Keempat karakter tersebut akan senantiasa memenuhi sebuah mitos. Hanya

saja, dari pihak penikmat mitos, tantu saja, tidak akan disadari keempat karakter

tadi.keempat karakter ini dirinci olah Barthes hanya untuk dapat mengidentifikasi

status pada mitos tertentu.

Berikut skema keempat karakter tersebut:

Contoh Mitos Foto kekejaman orang Kristen terhadap warga Muslim dalam website Laskar Jihad

Page 95: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Deformasi makna penuh: gambar orang kristen melukai warga Muslim. Makna kosong: deretan gambar semata. Oleh Laskar Jihad makna penuhnya didistorsi oleh konsep perang (jihad) melawan Kristen.

Intensional Gambar ini secara intensional menyapa penganut muslim. Seolah gambar ini menunjukan bahwa saya (pembaca website Laskar Jihad) bagian dari kedzaliman Kristen.

Statement of Fact

Melalui gambar yang dipasang di website Laskar Jihad itu seolah menunjukan secara universal bahwa faktanya orang Kristen memang dzalim, memusuhi warga Muslim secara Universal.

motivasional Gambar itu ada kesamaan analogis dengan konsep jihad yang ditawarkan pemilik website tersebut.

Perlu juga disadari bahwa apa yang dibicarakan lewat sistem semiologi dalam

pembentukan mitos lebih menekankan pada kode dan bukan realitas yang ditunjuk

oleh sistem bahasa. Perhatian semiolog adalah kode-kode potensial dalam kelompok

msyarakat tertentu. Karena konsep datangnya dalam situasi tertentu. Dalam konteks

inilah bahwa sistem tanda yang sudah termitologisasi akan seolah masih menunjukan

realitas, padahal dia sudah selalu merupakan abstraksi dari realitas untuk melayani

konsep barunya yang adalah kode-kode. Bahasa agama, tentu saja, tidak dapat

memberikan bukti bahwa di dalamnya memiliki rujuan realitasnya atau tidak. Karena

sistem penandaannya lebih merupakan mata rantai sistem mitis yang tak berhenti.

Oleh karena itu, mitologisasi bahasa agama, sebagai sistem tanda tingkat

kedua secara formal (semiologis), dapat dimengerti kini. Tidak ada aspek dalam

bahasa agama yang bukan sistem tanda bertingkat. Selalu saja doktrin keagamaan

merupakan sistem ganda. Mitologisasi dalam bahasa agama terjadi di setiap zaman

secara terus menerus. Apa yang saat ini menjadi mitos, di lain waktu makna mitis itu

akan dicuri oleh konsep lain dan dijadikan mitos baru. Demikian seterusnya. Sampai

di sini kita baru mengurai mitos bahasa agama dari sisi bentuk (formal). Begitulah

bahasa agama secara teknis menjadi mitos bagi pemeluknya.

Page 96: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

C. Ideologi dalam Sistem Mitis Bahasa Agama

Menurut Barthes, mitos dapat didekati dengan dua pendekatan sekaligus:

semiologi (tanda) dan ideologi (ide). Analisis tanda (semiologis) sudah kita bahas,

kini akan melangkah pada pendekatan kedua, sisi ideologis dari sistem mitis bahasa

agama. Pendekatan semiologis, karena sifatnya sinkronis, dianalisa secara struktur

kebahasaannya. Sementara, analisa ideologis, justru sebaliknya. Ia akan sangat

bergantung pada kode pada masyarakat di mana mitos itu bergulir. Karena itu untuk

mengenali fragmen ideologi yang melekat padanya, mitos harus dilihat pada

masyarakat tertentu.

Barthes sendiri tidak mendefinisikan ideologi yang dimaksudkannya. Akan

tetapi, citra pada sistem mitis yang akan mengalami naturalisasi, berasal dari kode

budaya tertentu. Artinya, makna pada sistem tanda tingkat kedua, mengacu pada stok

stereotip budaya tertentu. Mitos yang bertahan secara historis—diulang-ulang dan

menjadi acuan dalam proses pemaknaan—akan mengisi kode-kode budaya pada

masyarakatnya. Pada posisi semacam inilah ideologi terbentuk pada masyarakat

tertentu. Petanda pada sistem mitis merupakan fragmen ideologi di mana penanda

adalah konotator-konotataornya92.

Ideologi yang diidentifikasi Barthes dalam kebudayaan di Prancis didominasi

oleh ideologi borjuis93. Ideologi borjuis merupakan citra yang secara mental telah

merasuki budaya massa Prancis melalui media. Ideologi ini menjadi acuan kultural

dalam pemaknaan fenomena sosial pada masyarakat Prancis kala itu. Sistem pakaian,

makanan, musik, dan lain sebagainya. Dengan demikian, ideologi diproduksi dan

diacu oleh masyarakatnya dalam struktur penanadaan.

92 Barthes, Elements of Semiology, h. 91 93 Barthes, Mythologies, h. 151

Page 97: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Dalam bahasa agama, ideologi yang menjadi acuan kultural dalam

pemakanaan akhir abad 20 ini lebih diwarnai oleh dua ideologi yang bersebrangan

secara tegas: fundamentalisme dan liberlisme. Oposisi dua ideologi ini selalu hadir di

setiap periode masyarakat di mana bahasa agama dikonsumsi. Hanya saja dalam

konteks bagaimana bahasa agama menghadapi modernitas, dua ideologi ini semakin

kentara karena mitos-mitos yang dipoduksi keduanya bersaing secara ketat untuk

menguasai kode kultural pada masyarakatnya.

Karen Amstrong dalam bukunya, Berperang Demi Tuhan, menunjukan bahwa

gejala kebangkitan agama di abad 20 ini ditandai oleh munculnya gerakan

fundamentalisme. Gerakan ini sebagai reaksi terhadap kebudayaan sekuler ilmiah

yang muncul pertama kali di Barat dan kemudian merambah kepenjuru dunia.

Fundamentalisme sebagai gerakan bukan wilayah kajian semiologi, tapi

fundamentalisme sebagai ideologi adalah sasaran kajian di sini. Gagasan besarnya

memaknai bahasa agama dari makna literalnya untuk mempertahankan sakralitas

yang hilang oleh modernitas.94 Di sisi lain, ideologi liberal. Ideologi ini juga sebagai

respon terhadap modernitas. Bedanya bila fundamentalisme mengaggap bahwa

modernitas akan mengancam keberadaan agama, kalangan liberal justru sebaliknya

mereka optimis atas kemajuan yang dibawa modernitas.95

Dua ideologi ini dianalisis bukan untuk mencari mana yang paling benar dan

apa hakikat dua ideologi ini, justru kedua ideologi ini selalu hadir dalam proses

pemaknaan keberagamaan. Karena Barthes menekankan bahwa pilihan membaca

mitos dengan cara apa, itu bukan wilayah kajian semiologi. Hal itu sangat tergantung

94 Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono, (Bandung: Serambi, 2001),

h.xii-xiv 95 Charles Kruzman ed., Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum dkk., (Jakarta: Paramadina,

2001), h.xxiii

Page 98: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

pada situasi subjek. Sebagai kode kultural, keduanya akan menghasilkan pemaknaan

yang berbeda.

Untuk memudahkan analisis, di sini akan dibatasi pada dua isu yang sudah

menjadi mitos di Indonesia. Diantaranya, soal penegakan Syariah Islam dan fatwa

MUI tentang liberalisme. Mitologisasi pada keduanya hanyalah model untuk

mitologisasi yang berangkat dari kode kultural tertentu. Jadi, bahasa agama lainnya

juga dapat dianalisis seperti ini. Dua isu ini akan dibantu oleh hasil survey LSI

(Lembaga Survey Indonesia) dan PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Mayarakat)

sejak tahun 2001 hingga 2006 untuk membuktikan mitos mana yang lebih dipilih oleh

masyarakat Indonesia. Hasil survey ini bisa membantu karena yang menjadi objek

penelitiannya adalah persepsi publik terhadap isu-isu tersebut. Bahasa sebagaimana

dirumuskan oleh Saussure sejauh dimengerti secara mental, dan persepsi adalah gerak

mental.

Pertama, isu Syariah Islam. Hasil survey yang dilakukan dua lembaga tadi

menyebutkan bahwa grafik persepsi publik muslim Indonesia terhadap dukungan

penegakan syariah Islam di Indonesia terus naik; tahun 2001 sekitar 21,4%, 2002

sekitar 70,6%, 2004 sekitar 75,5% dan terakhir tahun 2006 sekitar 82,8%.96 Tentu

angka-angka ini bukan wilayah analisis semiologi, tapi angka ini akan membantu

mengukur keberhasilan mitos berfungsi pada masyarakat. Angka ini menunjukan

bahwa kampanye isu syariah Islam oleh kelompok fundamentalis, seperti Hizbut

Tahrir (HT), FPI dan sejenisnya, berhasil dipersepsi positif mayoritas muslim

Indonesia. Keberhasilan kelompok tersebut menunjukan keberhasilam mitos yang

disebarkan menjalankan fungsinya sebagai konsep yang universal.

96 Radikalisme Islam dan Sikap Publik Indonesia, dari www.LSI.org

Page 99: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Istilah Syariah Islam bagi mayoritas Muslim di Indonesia menjadi mitos

karena ia kemudian menjadi konotator bagi kepatuhan terhadap Islam sebagai

institusi. Makna syariah secara literal semakin tak terlihat dan tidak disadari lagi. Ini

misalnya terlihat pada mayoritas muslim Indonesia menginginkan penegakan Syariah

Islam, akan tetapi soal pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri hanya

didukung tidak lebih dari dari 38% masyarakat muslim Indonesia. Ini menunjukana

bahwa Syariah Islam tidak lebih sebagai jargon kepatuhan, kata-kata magis, mitos

yang makna denotatifnya teruapkan oleh makna kultural. Model pemaknaan semacam

ini adalah fragmen dari ideologi fundamentalisme.

Kelompok liberal di lain pihak, juga telah menciptakan mitos lain yang

berpijak pada mitos fundamentalisme. Dalam hal ini mengembalikan makna literal

istilah Syariah Islam. Di kalangan liberal, kode-kode sosial untuk memaknai Syariah

Islam lebih didominasi oleh sikap positif terhadap ide-ide progressif modernitas.

Syariah Islam sebagai konotator di kalangan liberal berarti aturan Tuhan yang bisa

ditafsir dengan beragam makna. Meskipun, mitos yang berkembang dari kalangan

liberal ini hanya didukung oleh 2.5% Muslim Indonesia97. Di lingkungan yang sedikit

itu, mitos liberal berfungsi. Tidak jarang orang di kelompok ini yang mengandaikan

begitu saja gagasan seperti ini dan menaturalkannya. Awalnya, pemaknaan model

liberal ingin melepaskan dari pemitosan seperti pada kelompok fundamentalis. Akan

tetapi, justru perlawanannya itu menjadi “objek” bagi kealamiahan kalangan liberal.

Isu yang juga melahirkan pertarungan “sengit” dua ideologi tersebut di negeri

ini adalah fatwa MUI mengenai pelarangan paham liberalisme, pluralisme, dan

sekularisme. MUI didaulat oleh sebagian besar warga muslim Indonesia sebagai

lembaga agama Islam non-pemerintah yang berhak mengeluarkan fatwa atas perkara

97 Toleransi Sosial Masyarakat Indoensia, www.LSI.org

Page 100: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

yang tidak ada pada zaman Nabi dengan mempertimbangkan empat sumber: Quran,

Suhhan, Ijma’, dan Qiyas, sebagai landaan hukumnya. Mulai dari persoalan ibadah,

hubungan sosial, faham-faham dalam Islam, hingga problem hasil tamuan teknologi

dicarikan legitimsi agama melalui komisi fatwa.

Liberalisme, pluralisme dan sekularisme juga tidak luput dari persoalan yang

MUI mesti selesaikan karena menurut MUI keberadaan faham ini telah meresahkan

masyarakat. Oleh karenannya, faham-faham ini haram hukumnya diikuti oleh ummat

Islam. Fatwa MUI ini kemudian disusul dengan aksi “penyerangan” terhadap kantor

Jaringan Islam Liberal (JIL). Tentu hubungan ini bukan semata kausalitas, melainkan

respon pemaknaan sebagian warga muslim yang memercayai fatwa tersebut sebagai

kebenaran natural. JIL sebagai representasi ketiga faham yang diharamkan MUI

tersebut harus juga dihilangkan keberadaan organisasinya. Kasus ini hanya

memperlihatkan betapa efek ideologis dari mitos cukup efektif menggerakan individu

atau kelompok untuk berbuat atas apa yang diyakininya. Fatwa di tangan para

“penyerang” JIL telah menjadi ketentuan yang tak perlu dicermati lagi karena fatwa

tersebut lahir dari lembaga MUI secara otomatis universal.

Sekali lagi di sini tidak sedang menghukum apakah tindakan kaum

fundamentalis dalam memaknai fatwa ini dengan brutal, benar atau salah. Itu perkara

hukum. Analisis semiologi hanya akan mengurai bagaimana fatwa ini di benak

kelompok fundamentalis menjadi mitos, dan seiring dengan ideologinya. Sehingga

tindakan anarkis berlangsung pada masyarakat tertentu. Efek-efek sosial seperti

tindakan anarkistis tesebut dapat diidentifikasi pada berjalan tidaknya sistem mitis

pada konseumennya. Letak kekuatan mitos justru pada hegemoninya. Ia dimaknai

sedemikian rupa secara alamiah.

Definisi MUI patut dikutip di sini.

Page 101: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

“Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnaah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.”98

Dalam kerangka semiologi Barthesian, definisi ini sebagai sistem tanda tingkat

dua karena ia berpijak bahasa-objek tentang wacana tentang liberalisme, pluralisme

dan sekularisme yang berkembang. Akan tetapi ketika pertama kali mendefinisikan,

jelas di sana terjadi menetapkan definisi tertentu yang sesuai dengan kepentingannya.

Definisi yang dibuat oleh MUI adalah bagian dari metabahasa. Definisi ini salah satu

dari berbagai definisi dalam berbagai buku lainnya atas konsep yang sama

(liberalisme, plualisme dan sekularisme).

Musyawarah Nasional MUI ke tujuh tersebut sudah jelas hasilnya, liberalisme,

pluralisme dan sekularisme, haram. Sebagai sistem mitis kemudian fatwa ini

menyebar sebagaia wacana karena tuntutan organisasi. Fatwa ini lagi-lagi berhasil

menjalankan fungsinya sebagai mitos, memberi makna konotasi atas fatwa ini. Makna

konotasi dari fatwa ini adalah liberalisme, pluralisme, dan sekularisme ajaran syetan

yang harus dimusnahkan. Ideologi fundamentalisme memoles makna konotasi ini

denga konsep pemurnian ajaran agama dari paham-paham yang akan merusak Islam.

salah satu bukti keberhasilan fatwa ini menjadi mitos adalah penyerangan JIL dengan

argumentasi fatwa MUI.

Sementara itu, di kelompok liberal sendiri juga mengalami proses metabahasa

untuk liberalisme itu sendiri. Istilah liberalisme sebagai paham yang lahir di Barat,

digunakan untuk forma bagi gagasan kebebasan dalam Islam. Seperti halnya MUI,

kalangan Islam liberal juga menggunakan tafsir atas teks al-Qur’an untuk

98 www.MUI.org/fatwa/keputusanmunas

Page 102: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

melegitimasinya. Gagasan yang dikeluarkan oleh kalangan liberal juga bagi sebagian

kalangan menjadi mitos. Tidak sedikit pula kelompok liberal sebagai mitos.

Ideologi pada akhirnya tidak bisa dilihat dari satu segi, melainkan di sana

terdapat beragam kode yang dapat dibandingkan dan ditukarkan. Dengan

mengungkap ideologi yang melekat pada satu sistem mitos tidak dimengerti bahwa

kita sudah menemukan kebenaran. Akan tetapi, membuat kita sadar apa yang selama

ini dianggap common sense, ahistoris, diandaikan begitu saja, ternyata memiliki

konteks tertentu. Konsep yang sudah selalu historis menyadarkan kita bahwa konsep

apapun sebenarnya berangkat dari titik pijak dalam ruang tertentu.

Menurut Barthes, ada tiga kemungkinan reader mitos memperlakukannya:

pengurai, pembuat dan konsumen. Pengurai adalah tugas seorang mitolog. Yakni,

mereka yang mengurai sistem mitis secara semiologis hingga sistem tersebut dapat

diketahui forma dan konsepnya. Mengurai dengan cara seperti itu akan dapat dilihat

bagaimana mitos menjalakan fungsinya, yakni distorsi. Akhirnya, mitolog akan dapat

menemukan alibi makna dari mitos tersebut.

Kedua, pembuat mitos berarti dengan sadar dia mengetahui bahwa sistem

bahasa tertentu akan dijadikan sistem mitis. Atau pengurai di atas karena sudah dapat

mengetahui alibi makna, lalu ia memutuskan untuk mengembalikan makna ke konsep

denotatifnya, merupakan pembuat mitos. Barthes menyebut wartawan sebagai profesi

yang akan senantiasa membuat mitos karena mereka berhadapan dengan konsep yang

dia harus mencari forma yang menarik setelah didistorsi oleh makna yang dimaksud.

Sebagai pembuat, sistem bahasa dilihatnya sebagai simbol yang dapat mengisi konsep

yang diianginkan.

Ketiga adalah konsumen mitos. Mereka adalah reader mitos yang menikmati

mitos seraya merasakan kehadiran makna sebagai benar-benar dianggap demikian

Page 103: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

adanya. Misalnya, fatwa MUI tadi, bagi konsumen mitos, fatwa itu diaggap sebagai

sistem tanda yang memperlihatkan pertentangan liberalisme dengan Islam. Mereka

merasakan mitos sebagai kebenaran yang sudah mapan, tak berubah dan universal

bagi kemajuan umat Islam. Begitupun sebaliknya, penikmat mitos dari kalangan

liberalimse yang mengaggap bahwa liberalisme sebagai konsep yang mapan bagi

kemajuan ummat Islam.

Dari ketiga kemungkinan ini, memilih salah satunya bukan tugas semiolog. Itu

tergantung pada situasi di mana subjek memaknai. Hanya saja tugas semiolog harus

dalam posisi melihat mitos dari posisi ketiga agar mitos dapat terlihat bekerja

mendistori makna dan menjadi mapan sebagai konsep yang diperacaya universal dan

alamiah. Jika tidak, analisis mitis akan mandek karena diawali dengan sikap sinis dan

malah mengahncurkan bangunan mitos yang ada.

Mendengar bahwa alasan melakukan bom bunuh diri, dari pernyataan pelaku

sebelum meledakan bom, persoalan agama, membuktikan betapa efek mitos begitu

besar dalam memengaruhi pola pemaknaan dunia sang konsumen. Distorsi yang

terjadi di kelompok-kelompok radikal fundamentalisme agama ini selalu melahirkan

kekerasan. Karena dalam struktur yang dibangunnya, bahwa esensi agama adalah

satu. Yang lainnya tidak lebih dari lawan dari esensi tunggal tersebut. Kecenderungan

semacam inilah yang membuat orang rela melakukan kekerasan. Bukan hanya rela,

bahkan merasa sebagai bagian dari upaya pembebasan demi agama. Apa yang

dilakukan FPI terhadap warga Ahmadiyah di Bogor merupakan contoh konsumen

mitos di mana ideologi radikal berfungsi. Status ini sama dengan penyerangan

Amerika terhadap Afganistan belakangan ini. Bush menciptakan mitos terorisme yang

diarahkan terhadap Islam sebagai legitimasi penyerngannya. Serangan terhadap

Afganistan dilakukan deni membebaskan warganya dari ancaman terorisme.

Page 104: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Kita tidak pernah bisa melepaskan diri dari mitos. Karenanya tidak ada

gunanya melawan mitos. Perlawanan itu terwujud dalam mitos baru yang masing-

masing kita ciptakan. Untuk mengatahui ideologi macam apa dalam sebuah mitos,

kita perlu menjadi konsumen mitos. Akan tetapi pada saat yang bersamaan kita

mengurai strukturnya hingga kita menemukan alibi maknanya. Dengan demikian, kita

diharapkan bisa memperlihatkan krisis di dalamnya.

Page 105: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahasa agama dan mitos dilihat dari kaca mata semiologi Barthesian tidak

perlu dipertentangkan. Justru melalui analisa struktur tanda, mitos di tangan Barthes

sebagai sistem yang akan selalu hadir di dalam hiruk pikuk kesibukan kita sehari-hari.

Termasuk bahasa agama. Kisah masa lalu yang menceritakan kepahlawanan atau

tentang yang gaib adalah mitos. Akan tetapi, kisah tersebut memiliki status mitos

bukan karena isi kisahnya yang kuno dan tentang kepahlawanannya, melainkan

karakter sistem tanda yang membentuknya makna konotatif.

Mitos dalam pandangan Barthes lebih sebagai struktur bahasa ganda. Seraya

mengacu pada leluhurnya, para ahli linguistik modern Prancis, Barthes merumuskan

mitos dalam struktur. Dia membedakan antara struktur bahasa atau tingkat pertama,

dan struktur mitis atau tingkat dua. Sistem tanda tingkat dua berpijak pada sistem

bahasa tingkat pertama. strukturkeduanya sama, hanya saja karakternya yang berbeda.

Jika pada sistem bahasa, hubungn penanda dengan penanda arbitrer, maka dalam

sistem mitis justru memiliki motivasi tersendiri.

Sistem tanda tingkat kedua ini bisa ditempatkan sebagai metabahasa dan

konotasi. sebagai metabahasa, mitos berbentuk karena pembuat mitos menjadikan

bahasa sebagai objek yang sifatnya abstrak. Ini artinya yang dijadikan pijakan

pembentukan mitosnya adalah konsep. Mitos ditempatkan sebagai metabahasa dapat

kita saksikan pada perkembangan ilmu-ilmu sosial. Bahasa objeknya adalah fenomena

kemanusiaan sebagai konsep yang ingi dielsakan dan akhirnya mnemukan forma yang

Page 106: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

tepat untuknya. Sebaliknya dari metabahasa, konotasi menampatkan sistem bahasa

sebagai ptanda yang terdistorsi tadi. Sistem bahasa yang megalami penyimpangan

makna akan siap diisi oleh konsep. Konsep yang mengisinya akan senantiasa historis.

Artinya, ia berangkat dari situasi yang melahirkan konsep. Hubungan antara

metabahasa dan konotasi saling melengkapi. Metabahasa menyediakan dan

memungkinkan pembentukan mitoskarena selalu menjadikan bahasa sebagai objek.

Semantara konotasi membuat peneliti untuk tidak mnyerah pada common sense.

Mitos konotsai menjelma sebagai common sense. Para peneliti yang tidak puas

dengan commo sense itu dan melahirkan etabahsa baru. san begitu seterusnya.

Fungsi mitos menurut Barthes adalah distorsi sistem bahasa yang akan

dijadikan forma oleh konsep. Apa yang menjadi makna dasar, kemudian dirubah agar

secara simbolik bisa menjadi penanda bagi konsep yang diinginkan. Distorsi ini

sejalan dengan deformasi. Forma dalam sistem bahasa yang maknanya penuh,

dideformasi menjadi forma yang kosong dan siap diisi oleh konsep baru. Deformasi

ini juga terjadi seraya dengan masukny konsep yang sudah dalam situasi tertentu

dalam proses pemaknaannya. Mitos tidak menyembunyikan apa-apa, ia hanya

mendistorsi, begitu kata Barthes.

Begitu juga dengan agama yang menggunakan bahasa untuk

mengkomunikasikan pesan-pesannya kepada penganutnya, juga tidak lepas dari

mitologisasi. Sebagai bahasa, meskipun dalam agama membicarakan tentang yang

transenden dan suci, sistem komunikasi agama hanya dapat dimengerti penganutnya

jika memiliki struktur tanda yang secara arbitrer dan konvensional telah ada. Oleh

karena bahasa agama memilki struktur bahasa, maka ia juga menjadi mangsa mitos

sebagaimana bahasa lainnya.

Page 107: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Mitologisasi bahasa agama terjadi bertingkat-tingkat. Bahasa agama pada

dirinya lebih adalah sudah berupa sistem mitis. Bahasa agama selalu mengambil

istilah yang untuk pentingan konsep yang hedak disampaikannya terjadi distorsi.

Memapankan bahasa agama yang diterima oleh para nabi merupakan bentuk

mitologisasi yang berkarkter esensialis. Bukan soal esensinya seperti apa, melainkan

membunuh sejarah. Apa yang telah menjadi mitos, aspek sejarahnya kita lupakan.

Demikian juga bahasa agama yang mengisahkan tentang sejarah masa lalu,

kesejarahannya akan diabaikan karena kitab suci berkepentingan bukan sebagai buku

biografi tokoh masa lalu, melainkan menghadirkan konsep. Konsep yang dimaksud di

sini adalah gagasan yang ingi disampaikan pada saat kisah tersebut diceritakan.

Misalnya, kisah-kisah di dalam al-Qur’an tentang nabi Musa. Al-Qur’a tidak

berpretensi sebagai buku biogafi nabi Musa, melainkan, lewat cerita tersebut, ingin

menyampaikan gagasan keesaan Tuhan pada zaman nabi Muhammad.

Kemudian siste mitis dalam bahasa agama juga akan menjadi kendaraan untuk

ideologi tertentu untuk menyampaikan gagasan-gagaannya ke masyarakat banyak.

Lewat mitos yang selalu menaturalkan apa yang hitoris memungkinkan ideologi

menjadi seustu yang natural. Apa yang semula historis, karena ide tidak muncul

dalam ruang kosong, menjadi seolah melenggang di ruang kosong. Dengan demikian,

ideologi akan dapat membatalkan pembaca mitos sebagai konseumen. Kesadaran

akah historisitas konsep,ide ata gagasan menjadi kunci apakah kita akan terjebat pada

ideologi tertentu atau tidak. melah, kita jug akan bisa melepas mitos meski harus

menghidupkan mitos debngan mengembalikan ke makna dasar.

Kekerasan dalam agama tentu didukung oleh keyakinan yang kuat atas doktrin

yang dipelajarinya. Agama melalui semiologi Barthesian dilihat sebagai sistema tanda

yang terus menerus mengalami distorsi sesusi dengan zaman di mana agama tersebut

Page 108: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

menjadi wacana. Sebagai doktrin yang sudah mengalami distorsi dan mitologisasi,

bahasa agama sangat mungkin memengaruhi tindak tanduk. Terlebih legitimasi

mitisnya adalah konsep yang gaib (dalam hal ini Tuhan). Bahwa menyerang warga

muslim di India oleh penganut agama Sikh diyakini sebagai perang suci, membela

Tuhan. Di negara kita bom di Bali juga dilandasi oleh keyakinan bahwa itu adalah

jihad di jalan Allah. Jihad atau perang suci dinaturalkan dari historisitasnya dan juga

mengupkan historisitas konsepo yang dibawanya. Apa yang dikategorikan sebagai

musuh juga tidak dilihat sebagai historis. Dalam konteks inilah kekerasan dalam

agama bisa dimengerti. Bahwa selalain kodisi sosial, ekonomi, pilitik yang menandai

historisitas konsep, juga dari dalam doktrin keagamaan dengan beragam distorsi

dengan ideologi yang menyertainya memungkinkan bahasa agama melahirkan

kekerasan.

B. Saran-Saran

Gagasan Barthes tentu saja sekilas sangat menggoda. Apa yang digagasnya

mendapat perhatian dari punlik intelektual Perancis terutaa dalam kajian badaya

massa. Melalui tilikan semiologis yang diwarisi dari Saussure, Barthes berhasil

mengidentifikasi bahwa budaya massa tidak lepas dari mitos yang diproduksi oleh

media, alat canggih temuan masyarakat modern. Tentu saja di dalamnya bahasa

agama. Agama kini juga bagian dari peradaban yang di dalamnya terjadi relasi

penanadaan yang luar biasa cepat dan rumit. Maka tak heran bila bahasa agama bisa

diperlakukan sebagaimana Bartes memperlakukan budaya massa.

Bagi Anda yang tertarik mempelajari kajianini lebih serius apa yang diagagas

oleh Barthes tentu bukan satu-satunya pendekatan. Sebagai intelektual yang selalu

ingin lepas dri pendahulunya, Barthes merevisi gagasannya tentang sistem tanda dan

Page 109: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

mitos. Revisi ini bukan membatalkan tentunya, tapi melampaui. Apa yang dilihatnya

melalui semiologi belumlah cukup. Ia mengambangakn gagasannya dari tanda ke

teks. Memalui teori teksnya, Barthes merasa tidak puas dengan teoria penandaan yang

hanya mengurai makna. Menurtnya, sebuah teks tidak ckup hanya diurai, justru teks

haruis dapat menggairahkan pembaca hingga dapat mempoduksi teks baru.

Sekalipun demikian, apa yang sudah digagas Barthes masih televan dalam

menganalisa fenomena sosial kita saat ini. Media yang semakin canggih, membuat

kita buta dibuatnya. Media memproduksi tanda terus menerus. Akibatnya kita hidup

dalam lingkaran tanda yang maknannya tidak pernah jelas karena muncul sebagai

bentukan ideologi kapitalisme. Bagitupun dengan bahasa agama. Bahasa agama

enjadis emakin tak jelas mana yang benar-benar doktrin dalam arti denotatif dan mana

tanda yang diciptkan sengaja oleh media untuk kepentingannya. Bahwa selalu terjadi

distorsi dlam memaknai bahasa agama tak terelakan lagi. Paling tidak melalui gagasan

semiologi Barthesian ini kita dapat menjadi pembaca mitos yang ktiris. Menjadi

konseumen mitso sembari mengurai strukturnya. Sehingga kita dapat memperlihatkan

krisi ideologi di dalamnya. Dan kita tidak terjebat dalam esensialisme semu;

sepertinya esensi, padahal historis.

Page 110: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

DAFTAR PUSTAKA

A. Primer

Barthes, Roland. Camera Lucida, London: Flamingo, 1977.

Elements of Semiology, New York: Hill & Wang, 1973.

Image-Music-Text, London: Fontana Press, 1977.

______ Inaugurl Lacture, College de France, 458

Mitologies, London: Paladin Book, 1976.

S/Z, New York: Hill & Wang, 1974.

The Pleasur of the Text, London: Jonathan Cape, 1976.

______ The Grain of the Voice, Interview 1962-1980, trans. By Linda Coverdale, New York: Hill and Wang, 1985

B. Sekunder

Allen, Graham. Intertextuality, London and New York: Rourledge, 2000. Altusser, Louis, Ideology Interpellates Indivisuals as Subject dalam paul du gay,ed.

Identity: a Reader, London: Sage Publication, 2000. Amstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono, Bandung: Serambi,

2001. Bertens, K. Panorama Filsafat Modern, Bandung: Teraju, 1995. Bolle, Keen W., Myth: an Overview, dalam Encyclopedy of Religion, jil. 10, ed.

Mircea Eliade, NewYork: Pinguin Books, 1985. Bogdan, Robert and Steven J. Taylor. Introduction to Qualitative Research Methods,

New York: Jhon Wiley & Son, 1975. Budi Hardiman, Franki. Filsafat Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004. -----------, Menuju Masyarakat Komunkatif, Yogyakarta: Kanisius, 1996. Culler, Jonathan, Seri Pengantar Singkat: Barthes, Yogyakarta: Penerbit Jendela,

2003.

Page 111: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Deparatemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa indonesia, Jakarta: Bali Pustaka, 1988.

Focault, Michel, Archeology of Knowledge, New York: Routledge, 2002. Herman, David, Roland Barthes, dalam Hans Berens and Joseph Natoli,

Postmodernism: The Key Figure, Massachusetts: Blackwell, 2002. Hidayat, Komaruddin. Menafsir Kehendak Tuhan, Bandung: Teraju, 1999. K., Harimurti, Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913), Bapak Linguistik Modern

dan Pelopor Strukturalisme, dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta: Gadjah Mada Univrsity Press, 1996.

Kruzman, Charles ed., Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum dkk., Jakarta:

Paramadina, 2001. Khalafullah, Muhammad, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah, terj. Juhairi Misrowi,

Jakarta: Paramadina, 2002. Levi-Strauss, Cloude, Struktural Anthropology, New York: Penguin Book, 1963. Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2005. Microsoft® Encarta® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved. P. Jonshon, Doyle. Sosiologi Klasik dan Modern I, Jakarta: Gramedia, 1986. Pari, Fariz, Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Metodologi dan

Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rahmat Garut, Seri Disertasi: Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2005.

Piliang, Yasraf A. Hipersemiotika, Yogyakarta: Jalasutra, 2003. Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Putaka, 2000. Sartre, Jean-Poul, Literatur and Existensialism, New York: Carol, 1994. Saussure, Ferdinand de, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996. Singarimbun, Masri dan Soffian Efendi. Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES,

1995. Sunardi. Nietzsche, Yogyakarta: LKIS, 1996. -----------, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Buku Baik, 2004.

Page 112: Mitologisasi Bahasa Agama Analisis Kritis dari Semiologi ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8587/1/HUSNI... · Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima

Tim Penyusun UIN Jakarta. Pedoman Akademik, Jakarta: FUF UIN Jakarta Press, 2006/2007.

Tim PPIM, Mengukur Pengaruh Islam dalam Kekerasan Keagamaan, dalam buletin

Islam & Good Governance edisi keduabelas, PPIM, UIN Jakarta, 2006. Tudor, Henry, Mitos dan Ideologi Politik, Terj., Jakarta: Sangkala Pulsar, 1984. Wawancara Syafi’i Maarif dalam Buletin Islam & Good Governance, edisi kesebelas,

PPIM, UIN Jakarta, 2006. Weber, Max, Essays in Sociology, Trans. H. Gerth and C. Wright, New York: A

Galaxy Book, 1985. C. Website

www.laskarjihad.org/galleryphoto www.LSI.org www.MUI.org/fatwa/keputusanmunas