Minpro Tata

194
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN LANSIA TENTANG OSTEOPOROSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CINTA KARYA, DESA AIR PUTIH ULU KECAMATAN PLAKAT TINGGI, KABUPATEN MUBA PROVINSIS SUMATERA SELATAN Mini Project Untuk memnuhi persyaratan menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia Oleh : dr. Maretha Winny Astria PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PUSKESMAS CINTA KARYA, KEC. PLAKAT TINGGI, KAB. MUBA PROVINSI SUMATERA SELATAN PERIODE 13 FEBRUARI-12 JUNI 2015

description

minipro

Transcript of Minpro Tata

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN LANSIA TENTANG OSTEOPOROSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CINTA KARYA, DESA AIR PUTIH ULU KECAMATAN PLAKAT TINGGI, KABUPATEN MUBA PROVINSIS SUMATERA SELATAN

Mini ProjectUntuk memnuhi persyaratan menyelesaikan

Program Internsip Dokter IndonesiaOleh :dr. Maretha Winny Astria

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS CINTA KARYA, KEC. PLAKAT TINGGI, KAB. MUBA PROVINSI SUMATERA SELATAN

PERIODE 13 FEBRUARI-12 JUNI 2015

HALAMAN PENGESAHANMini Proyek berjudul:

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN LANSIA TENTANG OSTEOPOROSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CINTA KARYA, DESA AIR PUTIH ULU KECAMATAN PLAKAT TINGGI, KABUPATEN MUBA PROVINSIS SUMATERA SELATANOleh:dr. Maretha Winny Astria

Telah dinilai dan dinyatakan diterima sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia

Cinta Karya, April 2015

Pendamping,

Dr. A.K. AnwarKATA PENGANTAR

Dengan segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberi kekuatan, ketabahan, kemudahan dalam berfikir untuk menyelesaikan Mini Project ini. Mini Project ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia.

Mini Project ini berjudul Gambaran Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Cinta Karya, Desa Air Putih Ulu Kec. Plakat Tinggi, Kab. Muba Prov. Sumatera Selatan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Mini Project ini masih mengalami banyak kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan, arahan, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, maka kesulitan maupun hambatan tersebut dapat teratasi. Untuk itu dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. A.K. Anwar selaku Kepala Puskesmas Cinta Karya sekaligus pembimbing wahana puskesmas Program Internsip Dokter Indonesia yang telah memberikan arahan dan bimbingannya.

2. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan laporan ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan

waktu yang dimiliki, masih banyak kekurangan dalam penulisan Mini Project ini. Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan. Penulis berharap Mini Project ini dapat bermanfaat.Cinta Karya, April 2015

DAFTAR ISIHalaman

HALAMAN JUDULi

LEMBAR PERSETUJUANiiLEMBAR PENGESAHANiiiSURAT PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIANiv

MOTTOv

PERSEMBAHANvi

KATA PENGANTARviiINTISARIix

ABSTRACTx

DAFTAR ISIxi

DAFTAR GAMBARxiiiDAFTAR TABELxiv

DAFTAR LAMPIRANxv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang1

B. Rumusan Masalah4

C. Tujuan Penelitian5

D. Manfaat Penelitian5

E. Keaslian Penelitian6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori9

1. Pengetahuan9

a. Definisi Pengetahuan9

b. Tingkat Pengetahuan9

c. Cara Memperoleh Pengetahuan11

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan12

e. Kriteria Tingkat Pengetahuan13

2. Lansia14

a. Pengertian Lansia14

xi

b. Proses Menua14

c. Perubahan Fisiologi Pada Lansia18

3. Osteoporosis25

a. Pengertian Osteoporosis25

b. Klasifikasi Osteoporosis26

c. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Osteoporosis28

d. Gambaran Klinis Osteoporosis33

e. Pencegahan Osteoporosis34

f. Perawatan Pada Osteoporosis40

g. Pemeriksaan Untuk Osteoporosis41

B. Kerangka Teori43

C. Kerangka Konsep44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian45

B. Lokasi dan Waktu Penelitian45

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling46

D. Variabel Penelitian47

E. Definisi Operasional48

F. Instrumen Penelitian48

G. Tehnik Pengolahan dan Analisa Data49

H. Jalannya Penelitian53

I. Etika Penelitian54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Profil Tempat Penelitian55

B. Hasil Penelitian56

C. Pembahasan62

D. Keterbatasan68

BAB V PENUTUP

A. Simpulan69

B. Saran69

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiiDAFTAR GAMBARHalaman

Gambar 2.1 Kerangka Teori43

Gambar 2.2 Kerangka Konsep44

Gambar 4.1 Diagram Pembagian Responden berdasarkan Umur57

Gambar 4.2 Diagram Pembagian Responden berdasarkan Jenis Kelamin57

Gambar 4.3 Diagram Pembagian Responden berdasarkan Pendidikan58

Gambar 4.4 Diagram Pembagian Responden berdasarkan Pengetahuan Lansia

tentang Osteoporosis59

xiiiDAFTAR TABELHalaman

Tabel 2.1 Kebutuhan Kalsium Sesuai Umur35

Tabel 2.2 Contoh makanan Berkalsium Tinggi35

Tabel 3.1 Definisi Operasional48

Tabel 3.2 Kisi-kisi Tentang Pengetahuan Osteoporosis49

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden56

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin57

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan58

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Osteoporosis 59

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan berdasarkan Umur60

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan berdasarkan Jenis

Kelamin60

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan berdasarkan

Pendidikan61

xiv

DAFTAR LAMPIRANLampiran 1. Jadwal Penelitian

Lampiran 2. Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 3. Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 4. Instrumen Penelitian

Lampiran 5. Data Penelitian

Lampiran 6. Analisa Data Penelitian

Lampiran 7. Ijin Penelitian

Lampiran 8. Surat Rekomendasi Pemberian Ijin

Lampiran 9. Lembar Konsultasi

xv

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangMenjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendegaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figure tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).

WHO dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam/luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Nugroho, 2008).

Salah satu masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian serius pada lanjut usia adalah osteoporosis. Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnnya massa tulang yang mengakibatkan menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga menyebabkan tulang mudah patah (Misnadiarly, 2013).

1

2 Penyakit osteoporosis di seluruh dunia dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) memperkirakan bahwa patah tulang pada panggual akibat osteoporosis akan menigkat tiga kali lipat, pada pertengahan abad yang akan datang. Dari 1,7 juta pada tahun 1990, akan menjadi 6,3 juta kasus pada tahun 2050 kelak. Data dari IOF (International Osteoporosis Federation), menyebutkan bahwa di seluruh dunia, satu dari tiga wanita atau satu dari delapan pria yang berusia diatas 50 tahun memiliki risiko mengalami patah tulang akibat osteoporosis dalam hidup mereka. Penderita osteoporosis di Eropa, Jepang dan Amerika adalah sebanyak 73 juta penduduk, sedangkan di China 84 juta penduduk, dan ada 200 juta penderita osteoporosis di seluruh dunia. Risiko kematian akibat patah tulang panggual sama dengan kanker payudara.

Osteoporosis adalah penyakit tulang yang paling umum. Walaupun tidak terasa sakit, tetap penting untuk memahami pengaruh osteoporosis terhadap kesehatan diri sendiri, keluarga, keuangan dan gaya hidup. Laporan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh U.S Surgeon General menyatakan bahwa pada tahun 2020, setengah dari seluruh penduduk Amerika diatas usia 50 tahun beresiko mengalami patah tulang sebagai akibat dari osteoporosis. Perkiraan saat ini mengindikasikan bahwa osteoporosis adalah masalah perawatan kesehatan yang mahal, yang menyebabkan penduduk Amerika menghabiskan $18 milyar per tahun (Alexander dan Knight, 2010).

Bertambahnya penuaan penduduk di Asia memberikan kekhawatiran munculnya masalah osteoporosis tahun 2050 mendatang. Hasil penelitian

3 menyimpulkan pada usia 35 tahun, satu dari tiga orang dikawasan Asia berisiko menderita osteoporosis. Bahkan pada rentang usia 25 tahun bisa sudah terkena penyakit tersebut. Filipina dan Indonesia menjadi Negara dengan catatan terburuk dalam hal kondisi kepadatan tulang. Perempuan Indonesia pada usia 25 sampai 65 tahun berisiko tertinggi terkena osteoporosis dibandingkan Negara Asia lainnya. Dampak finansial penyakit osteoporosis membutuhkan biaya pemulihan yang tidak sedikit. Sebagai data acuan, Health Technology Assessment (HTA) tahun 2005 mengungkapkan, di Indonesia pada tahun 2000 ditemukan kasus fraktur osteoporosis sebanyak 227,850 yang membutuhkan biaya pengobatan sebanyak 2,7 milyar dolar AS (Rp. 23,9 triliun) (Misnadiarly, 2013).

Hasil analisa data risiko osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah sampel 65.727 orang (22.799 laki-laki dan 42.928 perempuan) yang dilakuakan oleh Puslitbang Gizi Depkes RI dan sebuah perusahaan nutrisi pada 16 wilayah di Indonesia secara selected people (Sumatera Utara & NAD, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawaesi, Maluku dan Papua) dengan metode pemeriksaan DMT (Densitas Massa Tulang) menggunakan alat diagnostic clinical bone sonometer, menunjukkan angka prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) sebesar 41,7% dan prevalensi osteoporosis sebesar 10,3%. Ini berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki risiko untuk terkena osteoporosis, dimana 41,2% dari keseluruhan sampel

yang berusia kurang dari 55 tahun terdeteksi menderita osteopenia. Prevalensi osteopenia dan osteoporosis usia < 55 tahun pada pria cenderung lebih tinggi dibandingkan wanita, sedangkan >55 tahun peningkatan osteopenia pada wanita enam kali lebih besar dari pria dan peningkatan osteoporosis pada wanita dua kali lebih besar dari pria.Salah satu penyebab tingginya risiko osteoporosis di Indonesia adalah tingkat pengetahuan masyarakat mengenai cara pencegahan osteoporosis yang masih rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya konsumsi kalsium rata-rata masyarakat Indonesia yaitu sebesar 254 mg/hari (hanya seperempat dari standar Internasional, yaitu sebesar 1000-2000 mg/hari untuk orang dewasa) (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan data hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta pada tanggal 3 Januari 2014 terhadap 10 Lansia terdapat 6 lansia (60%) diantaranya mengatakan tidak mengerti tentang osteoporosis. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul Gambaran Tingkat Penget di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dibahas diatas,

maka dapat dirumuskan masalah sebagaigambaranberikut: tingkat pengetahuan lansia tentang osteoporosis di Panti Wredha Dharma

Bakti Surakarta ?

5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Mengetahuigambaran tingkat pengetahuan lansia tentang

osteoporosis di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan lansia tentang osteoporosis di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar dalam penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan osteoporosis.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Lansia

Memberikan informasi dan wawasan pengetahuan kepada lansia tentang osteoporosis.

b. Bagi Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

Agar dapat memberikan penyuluhan kesehatan pada lansia tentang osteoporosis terutama cara mempertahankan tulang dengan menghindari factor-faktor risiko sekunder osteoporosis, bekerja sama

6 dengan pihak lain untuk dapat menggerakkan pemeriksaan kepadatan tulang di panti,mengatur menu makanan tinggi kalsium, mengatur program kegiatan yang dapat menigkatkan dan mempertahankan kepadatan tulang.

c.Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi tentang pengetahuan osteoporosis dan dapat disajiakan sebagai bahan referensi untuk studi lebih lanjut bagi peneliti selanjutnya.

d. Bagi Institusi

Dapat memberikan tambahan informasi dan bahan referensi baru tentang osteoporosis.

e.Bagi Tenaga Kesehatan

Dapat dijadikan sebagai masukan untuk upaya peningkatan pendidikan kesehatan terhadap lansia.

E. Keaslian Penelitian

1. Karolina (2008) dengan judulPencegahanHubunga Osteoporosis yang dilakuakan Lansia

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan pengetahuan terhadap tindakan pencegahan yang dilakukan lansia di Kecamatan Medan Selayang. Metode Penelitian ini menggunakan analisa korelasi

menggunakan metode koefisien korelasi

7

yang telah dilakukan didapatkan bahwa mayoritas umur responden berada

diantara 60-70 tahun (77,3%). Berdasarkan jenis kelamin mayoritas

responden mayoritas responden berjenis kelamin perempuan (63,3%)

sedangkan berdasarkan pekerjaan mayoritas responden adalah ibu rumah

tangga /tidak bekerja 45,5%). Pendidikan responden mayoritas adalah

SD/sederajat (42,0%) dan mayoritas responden berasal dari suku jawa

(39,8%). Dari hasilanalisakoefisien korelas

nilai korelasi (p) 0,174 yang artinya korelasi sangat lemah, dengan nilai

signifiakan (p) 0,104 yangartinya hipotesisditolak atau tidak terdapat

hubunganyang signifikan antara pengetahuan danpencegahanosteoporosis yang dilakukan Lansia di Kecamatan Medan Selayang.

Perbedaan dari penelitian diatas dan yang akan dilakukan peneliti selanjutnya adalah penelitian diatas menggunakan jenis penelitian teknik korelasi sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Perbedaan yang lain adalah pada populasi, besarnya sampel yang diambil, lokasi penelitian, serta variabel penelitian

2. Angelina (2010) denagn danjudulSikapWanitaHubunga terhadap Osteoporosis di Desa Arapayung D. Jenis penelitiannya adalah

analitik dengan pendekatan Dusun II Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten

Serdang Bedagaipenelitianini bersifat.Desaindeskriptifanalitik dengan pendekatan cross sectional dengan besar sampel 100 orang dengan metode pengambilan sampel random sampling. Penelitian ini dilakukan

8 pada tanggal 6 Maret 2010 sampai 30 April 2010. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar berpengetahuan baik sebanyak 56 orang (70%) dan bersikap positif sebanyak 47 orang (58,8%) terhadap osteoporosis. Setelah dilakukan uji chi square disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap wanita terhadap osteoporosis dengan nilai p = 0,015. Dari penelitian ini diharapkan agar tenaga kesehatan lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam memberikan konseling dan meningkatkan pemahaman informasi tentang osteoporosis.Persamaan dari penelitian di atas dan yang akan dilakukan peneliti selanjutnya adalah sama-sama menggunakan jenis penelitian teknik deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional sedangkan hal yang membedakan adalah dalam hal metode pengambilan sampel, penelitian di atas menggunakan metode pengambilan sampel dengan random sampling sedangkan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling. Perbedaan yang lain adalah pada populasi, besarnya sampel yang diambil, lokasi penelitian, serta variabel penelitian.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Tinjauan Teori 1. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu,dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2011).

b. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2011) pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif ada 6 tingkatan yaitu:

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang pelajari atau rangsangan yang telah diterima.

910

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi kondisi riil (sebenarnya).

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemapuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitanya satu sama lain.

5) Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan jastifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang

11 ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

c.Cara Memperoleh Pengetahuan

Menurut Wawan dan Dewi (2011) cara memperoleh pengetahuan adalah sebagai berikut:

1) Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan

a) Cara coba salah (Trial and Error)

Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adannya peradaban. Cara coba salah ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan itu tidak berhasil maka dicoba. Kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan.

b) Cara kekuasaan atau otoritas

Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal atau informal, ahli agama, pemegang pemerintah, dan berbagai perinsip orang lain yang menerima mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris maupun penalaran sendiri.

12

c) Berdasarkan pengalaman pribadi

Pegalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang pernah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa lalu.

2) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan

Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih popular atau disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon (15611626), kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan penelitian ilmiah.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan

1) Faktor Internal

a) Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

13

b) Pekerjaan

Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya kehidupan keluarga (Nursalam, 2003).

c) Umur

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Nursalam, 2003).

2) Faktor Eksternal

a) Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.

b) Sosial Budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi (Wawan dan Dewi, 2011).

e.Kriteria Tingkat Pengetahuan

Menurut Arikunto (2006) dalam Wawan dan Dewi (2011) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:

1) Baik : Hasil presentase 76% - 100%

14

2) Cukup : Hasil presentase 56% - 75%

3) Kurang: Hasil presentase < 56%

2. Lansia

a. Pengertian Lansia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2, yang disebut dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita (Nugroho, 2008).

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU N0.13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).

b. Proses Menua

Proses menua merupakan proses yang terus-menerus/ berkelanjutan secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Misalnya, dengan terjadinya kehilangan jaringan pada

otot, susunan saraf, dan jaringan la sedikit. Kecepatan proses menua setiap individu pada organ tubuh

tidak akan sama. Adakalanya seseorang belum tergolong lanjut usia/masih muda, tetapi telah menunjukkan kekurangan yang mencolok (deskripansi). Ada pula orang telah tergolong lanjut usia,

15 penampilannya masih sehat, segar bugar, dan badan tegap (Nugroho, 2008).

Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring dengan proses menua tersebut tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau yang biasa disebut sebagai penyakit degeneratif (Maryam dkk, 2008).

Menurut Nugroho (2008) teori tentang proses menua antara

lain:

1) Teori Biologi

a) Teori genetik

Teori genetic clock. Teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses penuaan. Teori ini menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetik untuk setiap spesies tertentu.

Teori mutasi somatic. Menurut teori ini, penuaan terjadi karena adannya mutasi somatic akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi DNA atau RNA dan dalam proses translasi RNA protein/enzim. Kesalahan ini terjadi terus-menerus sehingga akhirnya akan

16 terjadi penurunan fungsi organ atau perubahan sel menjadi kanker atau penyakit.

b) Teori nongenetik

Teori penurunan system imun tubuh (auto-immune theory). Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition).Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory). Teori radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas dan di dalam tubuh karena adanya proses metabolisme atau proses pernapasan di dalam mitokondria.

Teori menua akibat metabolisme. Telah dibuktikan dalam berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur.

Teori rantai silang (cross link theory). Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein , karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua.

17 Teori fisisologis. Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri atas teori oksidasi stress, dan teori dipakai-aus (wear and tear theory). Di sini terjadi kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel tubuh lelah terpakai (regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan

internal) (Nugroho, 2008). 2) Teori Sosisologis

Teori sosiologis tentang proses menua yang dianut selama ini antara lain :

Teori interaksi sosial. Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuan bersosislisasi.

Pokok-pokok social exchange theory antara lain:

a) Masyarakat terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya masing-masing.

b) Dalam upaya tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan waktu.

c) Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seseorang aktor mengeluarkan biaya.

18 Teori aktivitas atau kegiatan. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut

serta dalam kegiatan sosial.

Teori kepribadian berlanjut (continuity theory). Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya.

Teori pembebasan/ penarikan diri (disengagement theory).Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya.

c.Perubahan Fisiologis pada Lansia

Menurut Nugroho (2008) perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia antara lain:

1) Sel

a) Jumlah sel menurun/ lebih sedikit.

b) Ukuran sel lebih besar.

c) Jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang.

d) Jumlah sel otak menurun.

e) Mekanisme perbaikan sel terganggu.

f) Otak menjadi atrofi, beratnya menjadi lebih dangkal.

g) Lekukan otak menjadi lebih dangkal dan melebar.

2) Sistem Persarafan

a) Menurun hubungan persarafan.

19

b) Berat otak menurun 10-20% (sel saraf setiap orang berkurang setiap harinya).

c) Respon dan waktu untuk bereaksi lambat, khususnya terhadap stress.

d) Saraf panca indra mengecil.

e) Penglihatan berkurang, pendengaran menghilang, saraf penciuman dan perasa mengecil, lebih sensitive terhadap perubahan suhu, dan rendahnya ketahanan terhadap dingin.

f) Kurang sensitiv terhadap sentuhan.

g) Defisit memori.

3) Sistem Pendengaran

a) Gangguan pendengaran. Hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.

b) Membran timpani menjadi atrofi.

c) Terjadi pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya keratin.

d) Fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan/ stress.

e) Tinitus (bising yang bersifat mendengung, bisa bernada tinggi atau rendah, bisa terus-menerus atau intermiten).

20

f) Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang atau berputar).

4) Sistem Penglihatan

a) Sfingter pupil timbul sklerosis dan respon terhadap sinar menghilang.

b) Kornea lebih berbentuk sferis (bola).

c) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, jelas menyebabkan Gangguan penglihatan.

d) Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat gelap.

e) Penurunan/ hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbyopia, seseorang sulit melihat yang dipengaruhi berkurangnya elastisitas lensa.

f) Lapang pandang menurun, luas pandangan berkurang.

g) Daya membedakan warna menurun, terutama warna biru atau hijau pada skala.

5) Sistem Kardiovaskuler

a) Katup jantung menebal dn menjadi kaku.

b) Elastisitas dinding aorta menurun.

c) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan kontraksi dan volume menurun.

d) Curah jantung menurun.

21

e) Kehilangan elastisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi berkurang, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing mendadak).

6) Sistem Pengaturan Suhu Tubuh

Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu. Kemunduran terjadi berbagai faktor yang mempengaruhinya. Yang sering ditemui antara lain:

a) Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis

35C ini akibat metabolisme yang

b) Pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa kedinginan dan dapat pula mengigil, pucat dan gelisah.

c) Keterbatasan refleks mengigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi penurunan aktivitas otot.

7) Sistem Pernafasan

a) Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.

b) Aktivitas silia menurun.

c) Paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapsan maksimum menurun dengan kedalaman bernapas menurun.

22

d) Ukuran alveoli melebar (membesar secara progresif) dan jumlah berkurang.

e) Berkurangnya elastisitas bronkus.

f) Kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernafasan menurun seiring pertamnbahan usia.

8) Sistem Pencernaan

a) Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan gigi dan gizi yang buruk.

b) Indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendir yang kronis, atrofi indra pengecap (80%), hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah, terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa asin, asam, dan pahit.

c) Esofagus melebar.

d) Rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam lambung menurun, motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun.

e) Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.

f) Fungsi absorpsi melemah (daya absorpsi terganggu, terutama karbohidrat).

g) Hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.

23

9) Sistem Reproduksi Wanita :

a) Vagina mengalami kontraktur dan mengecil.

b) Ovarium menciut, uterus mengalami atrofi.

c) Atrofi payudara.

d) Atrofi vulva.

e) Selaput lender vagina menurun, permukaan menjadi vulva,

sekresi berkurang , sifatnya menjadi alkali dan perubahan

warna.

Pria :

a) Testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur.

b) Dorongan seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun, asal kondisi kesehatannya baik.

10) Sistem Genitourinaria.

a) Ginjal

Mengecilnya nefron akibat atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% sehingga fungsi tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan mengonsentrasi urine menurun, berat jenis urine menurun, BUN (blood urea nitrogen) meningkat sampai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.

24

b) Vesika urinaria

Otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi buang air seni meningkat. Pada pria lanjut usia, vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga mengakibatkan retensi urine meningkat.

c) Prmbesaran prostat. Kurang lebih 75% dialami oleh pria usia diatas 65 tahun.

11) Sistem integument

a) Permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisik, (karena kehilangan proses kreatinisasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis).

b) Timbul bercak pigmentasi akibat proses melanogenesis yang tidak merata pada permukaan kulit sehingga tampak bintik-bintik atau noda coklat.

c) Mekanisme proteksi kulit menurun:

(1) Produksi serum menurun.

(2) Produksi vitamin D menurun.

(3) Pigmentasi kulit terganggu.

12) Sistem Muskuloskletal

a) Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh.

b) Gangguan tulang, yakni mudah mengalami demineralisasi.

25

c) Kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terutama vertebra, pergelangan, dan paha. Insiden ospeoporosis dan fraktur meningkat pada area tulang tersebut.

d) Kartilago yang meliputi permukaan sendi tulang penyangga rusak dan aus.

e) Kifosis.

f) Gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.

g) Gangguan gaya berjalan.

h) Kekakuan jaringan penghubung.

i) Diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya berkurang).

j) Persendian membesar dan menjadi kaku.

k) Tendon mengerut dan mengalami sclerosis.

l) Atrofi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi termor (perubahan pada otot cukup rumit dan sulit dipahami.

3. Osteoporosis

a. Pengertian Osteoporosis Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang adanya perubahan mikroarsitektur (bentuk mikro/terhalus) jaringan tulang yang mengakibatkan menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga

26 menyebabkan tulang mudah patah. Osteoporosis dijuluki sebagai silent epidemic diseases, karena menyerang secara diam-diam, tanpa adanya tanda-tanda khusus, sampai pasien mengalami patah tulang (Misnadiarly, 2013).

Osteoporosis adalah penyakit dimana tulang menjadi kurang padat, kehilangan kekuatannya, dan kemungkinan besar patah (fraktur). Beberapa orang menyamakan tulang penderita osteoporosis

seperti keju swiss. Kata osteopor osteo, yang berarti tulang, dan porosis, yang berarti berlubang

(Alexander dan Knight, 2010).

Penyakit osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga tulang mudah patah. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis (Javier, 2010).

b. Klasifikasi Osteoporosis

Menurut pembagiannya osteoporosis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Osteoporosis primer

Osteoporosis primer, adalah osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit (proses alamiah). Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya massa tulang dan/atau

27 disamping

terhentinya produksi hormon (khusus wanita) bertambahnya usia.

Osteoporosis primer terdiri dari: a) Osteoporosis primer tipe I

Sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopause (setelah menopause), yang terjadi pada wanita pascamenopause (berusia 50- 65 tahun), fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang belakang), tulang iga, atau tulang radius.

b) Osteoporosis primer tipe II

Sering disebut dengan istilah osteoporois senil, yang terjadi pada usia lanjut, biasanya berusia 70 tahun, pria dan wanita punya kemungkinan sama terserang, fraktur/patah biasanya pada tulang paha. Selain fraktur, gejala yang perlu diwaspadai adalah kifosis dorsalis (kifosis: kelainan bentuk punggung yang melengkung/ bongkok) betambah. Makin pendek dan nyeri tulang berkepanjangan.

2) Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai penyakit tulang chronic rheumatoid(rematik menahun/ kronis), artritis (asam urat/ artritis gout), TBC spondilitis (TBC tulang) dll, pengobatan steroid untuk jangka waktu yang lama, astronot tanpa gaya berat, paralisis otot

28 (kelemahn/ kelumpuhan otot), tidak bergerak untuk periode yang lama, hipertiroid, dll (Misnadiarly, 2013).

c. Faktor- faktor yang mempengaruhi osteoporosis.

1) Usia

Massa tulang berkurang seiring penuaan Anda. Maka ketika bertambah tua, Anda kemungkinan besar mengalami osteoporosis. Walaupun dapat terjadi pada wanita dan pria lanjut usia. National Osteoporosis Foundation melaporkan bahwa 75% dari semua kasus osteoporosis di diagnosis pada wanita kulit putih di sekitar usis 50 tahun. Seiring pria bertambah tua mereka bisa terkena osteoporosis, dan kemungkinan besar terjadi pada pria lanjut usia (Alexander dan Knight, 2010).

2) Jenis kelamin

Kaum wanita lebih besar kemungkinannya untuk mengalami osteoporosis. Masa tulang wanita lebih sedikit serta mengalami kehilangan massa tulang lebih cepat karena perubahan-perubahan yang terjadi sehubungan dengan menopause.

3) Struktur tulang dan berat badan

Wanita yang bertulang kecil dan kurus beresiko lebih tinggi untuk mendapatkan osteoporosis; demikian pula pria ceking dan kurus lebih beresiko dibanding mereka yang berbadan kekar dan tegap.

29

4) Menurunnya hormon seks

Sepertiga sampai separuh kaum wanita akan mengalami osteoporosis setelah menopause. Menopause dini atau histerektomi meningkatkan resiko osteoporosis. Selain itu, wanita yang mengalami henti haid karena berbagai kondisi seperti anoreksia (rendahnya nafsu makan), bulimia (kerusakan otot usus besar, hingga penghancuran makanan kurang sempurna), atau olahraga eksesif seperti pada atlet wanita yang sedang mengikuti pemusatan latihan, juga mempunyai resiko lebih beasar untuk menderita osteoporosis.

Kaum pria yang mengalami penurunan kadar hormon testosteron juga akan mengalami berkurangnya massa tulang. Setiap gangguan fungsi hormon reproduksi dengan sebab apapun akan mengakibatkan osteoporosis (Misnadiarly, 2013).

5) Pengobatan

Beberapa pengobatan menyebabkan meningkatnya keropos tulang maupun berkurangnya pembentukaan tulang. Beberapa pengobatan yang memperbesar resiko terhadap osteoporosis antara lain: antikonvulsan, hormon tiroid, kortosteroid, litium methotreksate, hormon yang mengeluarkan gonadotropin (gonadotropin-releasing hormone/GnRH), kolesteramin, heparin, wafarin, dan antacid yang mengandung alumunium (Alexander dan Knight, 2010).

30

6) Gaya hidup

Baik pria maupun wanita akan berkurang kemungkinannya menderita osteoporosis jika mengkonsumsi makanan yang cukup mengandung kalsium (kalk), melakukan olahraga weight bearing, berhenti merokok, dan menghentikan minum alkohol. Penelitian membuktikan bahwa alkohol dan tembakau meracuni tulang baik pada pria maupun wanita, menurunkan kadar hormon seks dan menurunkan aktivitas sel pembentuk tulang.

Faktor resiko yang disebabkan oleh gaya hidup:

a) Kurang latihan fisik

Yaitu latihan beban yang memberi tekanan pada kerangka tubuh, dapat merangsang pembentukan tulang baru.

b) Pecandu minuman keras

Minum minuman keras berlebihan dalam waktu lama bisa mengakibatkan berkurangnya kepadatan tulang baik pada pria maupun wanita, terlebih lagi bila konsumsi nutrisi buruk, dan resiko bertambah pada wanita pascamenopause yang mengakibatkan kepadatan tulang semakin kurang serta cenderung terkena penyakit lever, mengakibatkan penyerapan vitamin D terggangu yang mengakibatkan tulang lemah dan sampai tidak normal.

31

c) Pecandu kopi

Kopi dapat menyebabkan berkurangnya kadar kalsium dalam tulang, sehingga jika meminum kopi secara berlebihan mengakibatkan pengeroposan tulang (osteoporosis).

d) Kekurangan protein

Kekurangan protein dan vitamin D dalam waktu yang lama pada anak akan berakibat buruk pada proses pembentukan tulang, serta memperlambat datangnya masa pubertas dan memicu timbulnya osteoporosis lebih cepat.

e) Kekurangan asupan kalsium karena memakan makanan yang mengandung unsur kalsium rendah, terutama pada wanita pascamenopause, mempercepat timbulnya osteoporosis. Kalsium amat penting bagi pembentukan tulang.

f) Kekurangan paparan sinar matahari pagi hari yang mengandung vitamin D.

Kebutuahan akan kalsium harus dengan kecukupan vitamin D, karena tanpa vitamin D, kalsium tidak bisa diserap usus.

g) Pil KB

Hasil penelitian menunjukkan kalau wanita yang mengkonsumsi pil KB memiliki tulang yang lebih kuat dibandingkan dengan yang tidak makan pil KB.

Kontrasepsi oral mengandung estrogen dan progesteron, dan estrogen amat penting untuk mencegah osteoporosis.

32

h) Diet protein tinggi

Terlalu banyak memakan protein hewani dapat mengakibatkan peningkatan keasaman dalam usus, sehingga absorpsi kalsium mengurang. Disamping itu juga jika terlalu banyak makan makanan berserat, kalsium akan terserap ikut terbuang.

7) Keturunan

Kerentanan terhadap fraktur (patah tulang) ternyata dipengaruhi keturunan (genetika). Wanita muda yang ibunya pernah fraktur tulang punggung akan mempunyai massa tulang lebih rendah.

Berikut beberapa keadaan yang meningkatkan resiko terkena osteoporosis.

a) Menopause

Menopause merupakan faktor paling signifikan sehubungan dengan resiko terhadap osteoporosis. Hilangnya estrogen saat menopause adalah alasan yang paling umum wanita terkena osteoporosis. Penurunan estrogen menyebabkan keropos tulang secara cepat. Hanya 5% dari wanita pasca menopause terkena osteoporosis yang disebabkan faktor selain kehilangan estrogen (Alexander dan Knight, 2010).

b) Setelah umur 30 sampai 40 tahun.

Karena setelah umur ini, pembentukan tulang lebih sedikit ketimbang hilangnya sel tulang.

33

c) Merokok

Nikotin dalam rokok menimbulkan masalah pada pembentukan tulang dengan cara menganggu peran penting estrogen dan testosteron dalam perkembangan tulang (Alexander dan Knight, 2010).

d) Penyakit tertentu

Beberapa penyakit yang meningkatkan resiko osteoporosis: artritis reumatoid, bronkitis kronis dan emfisema, hipertiroidisme, malnutrisi, penyakit hati kronis dan penyakit-penyakit usus.

e) Asupan kalsium atau vitamin D rendah

Jika makanan mengandung kalsium selama bertahun-tahun, pada masa pertumbuhan, resiko untuk mengalami osteoporosis juga meningkat. Kurangnya kalsium menyebabkan kurangnya pembentukan tulang. Vitamin D dibutuhkan untuk membantu penyerapan kalsium dan menghantarkan ke tulang

(Misnadiarly, 2013).

d. Gambaran Klinis Osteoporosis

Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah:

1) Nyeri tulang

Nyeri terutama terasa pada tulang belakang yang intensitas serangannya meningkat pada malam hari.

34

2) Deformitas tulang

Dapat terjadi fraktur fraktur traumatik pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular yang dapat menyebabkan medula spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis.

Gambaran klinis sebelum terjadi patah tulang: Klien (terutama wanita tua) biasanya datang dengan nyeri tulang terutama tulang belakang bungkuk dan sudah menopause. Gambaran klinis sesudah terjadi patah tulang: Klien biasanya datang dengan keluhan tiba-tiba punggung terasa sangat sakit (nyeri punggung akut), sakit pada pangkal paha, atau bengkak pada pergelangan tangan setelah jatuh. Dengan pemeriksaan radiologi, dapat dilihat gambaran patah tulang pada tempat-tempat tersebut (Muttaqim, 2008).

Gejala umum yang terlihat pada orang lanjut usia adalah posisi tubuh yang membungkuk karena tulang belakang tidak mampu menopang berat badan orang tersebut (Linden dkk, 2008).

e. Pencegahan Osteoporosis

Ada dua bentuk pencegahan osteoporosis yang pertama adalah menghindari osteoporosis dan yang kedua adalah pencegahan terhadap timbulnya keparahan sesudah osteoporosis mulai berkembang. Namun kedua bentuk pencegahan osteoporois tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena bentuk pencegahan yang digunakan untuk menghindari osteoporosis juga berguna untuk mencegah keparahan

35

sesudahosteoporosis terjadi. Beberapa bentuk pencegahan

osteoporosis yaitu:

1) Konsumsi Kalsium

Kalsium merupakan komponen yang tetap harus ada. Para

ahli menganjurkan asupan 1000-5000 mg kalsium sehari untuk

mereka yang osteoporosis dan patah tulang. Ini dapat diperoleh

dari menu sehari-hari, bila tidak cukup baru ditambah suplemen

kalsium. Berikut disajikan dosis kalsium yang diperlukan oleh

tubuh menurut kelompok umur:

Tabel 2.1. Kebutuhan kalsium sesuai umur

UsiaKebutuhan Kalsium

Kurang dari 1 tahun210 270 mg

1 tahun - 3 tahun500 mg

4 tahun 8 tahun800 mg

9 tahun 18 tahun1300 mg

19 tahun 50 tahun1000 mg

Lebih dari 50 tahun1200 mg

Sumber : Misnadiarly (2013)

Tabel 2.2. Contoh makanan berkalsium tinggi

Contoh menu sarapan pagiKandungan kalsium

1 gelas susu228 mg kalsium

2 potong roti36 mg kalsium

2 telur90 mg kalsium

1 jeruk15 mg kaslium

Jumlah asupan kalsium369 mg kalsium

Untuk makan siang dan malam, bisa dipilih makanan yang

mengandung kalsium tinggi di bawah ini:

36

Tabel 2.3. Kandungan kalsium

Kandungan kalsium per 100 mg bahan makanan

IkanTeri kering1200 mg

Rebon769 mg

Teri segar500 mg

Sarden354 mg

Mackerel309 mg

SayuranDaun Pepaya353 mg

Daun talas302 mg

Bayam267 mg

Pak choi, sawi, caisin220 mg

Brokoli110 mg

Kacang-Kacang panjang347 mg

kacangan dan

Susu kedelai (1 gelas)250 mg

Hasil

Tempe129 mg

Olahannya

Kacang hijau kering125 mg

Tahu124 mg

Kacang merah kering53 mg

Sumber : Daftar Konsumsi Bahan Makanan, Direktorat Gizi, Depkes RI (Misnadiarly, 2013)

2) Vitamin D

Salah satu fungsi vitamin D adalah membantu penyerapan

kalsium dari usus. Sebagian penderita osteoporosis mempunyai

kadar vitamin D yang rendah ditubuhnya sehingga absorbsi

kalsium dari usus juga kurang. Vitamin D dibentuk didalam tubuh

dengan paparan sinar matahari atau didapatkan langsung dari

makanan. Prosesnya yaitu, ketika sinar ultraviolet dari matahari

disaring oleh kulit kita, sinar itu lalu mengubah kolestrol yang

terdapat pada tubuh kita menjadi vitamin D selanjutnya otak dan

tubuh memberikan sinyal kepada kolestrol dalam darah untuk

keluar menuju kekulit sehingga kadar kolestrol dalam darah dapat

dikontrol dengan baik. Lima menit berjemur dibawah sinar

37 matahari pagi kita akan mendapatkan 400 unit vitamin D pada tubuh kita. Dengan bertambahnya vitamin D yang diserap dari sinar matahari, maka meningkat pula penyerapan kalsium di tubuh kita. Hal inilah yang dapat membentuk dan memperbaiki tulang kita.

Dosis harian vitamin D adalah 400 IU. Dosis ini dapat ditingkatkan hingga 800 IU, terutama jika Anda tidak cukup mendapat vitamin D dari makanan atau kurang terpapar sinar matahari.

3) Olahraga

Olahraga weight bearing sangat baik pengaruhnya untuk merangsang pembentukan tulang baru. Mulailah dengan intensistas ringan kemudian ditingkatkan hingga 30 sampai 40 menit per sesi beberapa kali dalam seminggu.

Beberapa manfaat olahraga:

a) Memelihara tulang. Otot yang kuat membuat tulang semakin kuat dan padat.

b) Memperbaiki bentuk tubuh. Otot punggung yang terlatih membantu menjaga tubuh agar tetap tegap dan mencegah bungkuk.

38

4) Kebiasaan Merusak Tulang

Hilangkan juga kebiasaan yang dapat membuat pertumbuhan tulang terganggu atau membuat struktur tulang menjadi rusak. Kebiasaan buruk yang dismaksud adalah:

a) Membungkukkan badan yang dapat menyebabkan saraf yang melewati tulang belakang terjepit sehingga menimbulkan sakit pinggang.

b) Memakai sepatu hak tinggi untuk waktu yang lama. Saat menggunakannya, terjadi perenggangan pada jaringan lunak sekitar sendi mata kaki sehingga dapat merusak struktur jaringan lunak ini.

c) Membawa tas berat. Ini dapat memperparah kondisi tulang apakah kita memiliki kelainan pada tulang.

d) Membunyikan jari. Bunyi terjadi akibat gesekan jaringan lunak di sekitar jari. Proses yang terjadi berulang-ulang ini akan mengakibatkan gangguan di jaringan lunak tersebut

(Misnadiarly, 2013). 5) Mencegah secara alamiMenurut Azza (2011) cara-cara mencegah secara alami penyakit osteoporosis antara lain:

a) Bawang Bombai

Bawang bombai mengandung kalsium yang cukup diperhitungkan. Kalsium sangat diperlukan untuk mencegah

39 osteoporosis. Dalam penelitian yang dilakukan di Bern Swiss terungkap bahwa bawang bombai cukup potensial untuk mencegah osteoporosis. Efek tersebut lebih baik dibandingkan dengan obat yang direkomendasikan dokter sebagai obat untuk penderita osteoporosis. Kandungan diallsulfida dalam bawang bombai mampu mengaktifkan osteoblast untuk menyaingi osteodast yang mengurai tulang hingga kerapatannya berkurang.

b) Brokoli

Brokoli sebagai sumber kalsium yang baik. Dalam volume yang sama dengan kalsium pada satu gelas susu.

c) Nangka Muda

Nangka muda mengandung berbagai macam mineral. Mineral yang dominan berguna berupa kalsium dan fosfor. Kedua unsur makro tersebut termasuk dalam kategori baik dengan jumlah seimbang.

Bagi para manula khususnya wanita pascamenopause kebutuhan kalsium harian mereka meningkat karena daya absorbsi kalsium semakin berkurang. Di sisi lain tulang membutuhkan asupan kalsium yang mencukupi untuk menghindari kerapuhan tulang.

40

f.Perawatan Osteoporosis

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh lansia yang menderita osteoporosis adalah:

1) Sikap Tubuh

Sikap tubuh menjadi fokus perhatian utama pada penderita osteoporosis terutama didaerah punggung (tulang belakang). Dalam kondisi yang wajar tulang belakang menanggung beban yang cukup berat sehingga bisa dibayangkan bila terjadi kerapuhan pada tulang tersebut. Sebaiknya saat kita berdiri tegak, badan jangan membungkuk, bahu jangan turun, perut jangan kedepan, karena hal tersebut memberi beban yang berlebihan pada tulang belakang. Saat kita merapikan tempat tidur, menyiangi tanaman di kebun, dan lain-lain usahakan jangan membungkuk tapi berlutut.

2) Hindari risiko jatuh

Sekitar 35% kasus patah tulang pada penderita osteoporosis karena patah tulang berawal dari kecelakaan didalam rumah oleh berbagai sebab, seperti kondisi lantai yang licin dan basah, penerangan yang buruk, alas kaki yang kurang memadai, serta permukaan jalan di rumah ataupun disekitarnya yang tidak rata. Oleh karena itu jika memungkinkan lakukanlah modifikasi rumah tinggal sehingga lingkungan tempat tinggal menjadi aman dan nyaman.

41 Diantaranya hindarilah penempatan alat-alat rumah tangga yang malang-melintang sehingga membuat kaki tersanndung. Berilah penerangan lampu yang cukup agar dapat melihat dengan baik. Berilah pegangan yang kuat di kedua sisi anak tnagga. Hindarilah lantai licin dan basah (Misnadiarly, 2013).

g. Pemeriksaan Untuk Osteoporosis

Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk mendeteksi Osteoporosis antara lain:

1) Bone Desitometery

Bone densitometer atau juga disebut Dual Energy X-ray absorptiometry (DEXA). Mesin ini memungkinkan pengukuran kepadatan tulang belakang,tulang paha dan pergelangan tangan , serta komposisi tubuh lateral (lemak). Pandangan lateral tulang belakang juga dapat diperoleh untuk deteksi fraktur. Bone Desitometer secara ilmiah terbukti sebagai metode terbaik untuk pengukuran kepadatan tulang. Jika kepadatan tulang berkurang lebih dari 2,5 standart deviasi maka didiagnosis sebagai osteoporosis.

Berdasarkan kriteria kelompok kerja WHO, diagnosis osteoporosis ditegakkan dengan kriteria berikut:

a) Normal, bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas massa tulang orang dewasa muda (T-score)

42

b) Osteopenia, bila densitas massa tulang -1 SD dan -2,5 SD T-score atau kurang.

c) Osteoporosis berat, yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur/patah tulang.

2) Laboratorium

Pemeriksaan untuk mengetahui turnover atau tulang-tulang tua dengan tulang muda. Jika pergantian tidak

seimbang, dimana tulang tua yang diabsorbsi/di musnahkan lebih banyak jumlahnya daripada tulang muda yang dibentuk, berarti menderita osteoporosis.

3) Radiografi

Cara pemeriksaan dengan alat radiografi, akan tetapi dengan alat ini osteoporosis baru bias dideteksi bila kehilangan masa tulang >30%.

43

B. Kerangka Teori

Faktor-faktor yangOsteoporosis

mempengaruhi

pengetahuan:1.Pengertian osteoporosis

2.Klasifikasi osteoporosis

a. Faktor Internal3.Faktor-faktor yang

1.Pendidikanmempengaruhi

2.Pekerjaanosteoporosis

3.Umur4.Gambaran klinis

b. Faktor Eksternalosteoporosis

1. Faktori lingkungan5. Pencegahan osteoporosis

2.Sosial Budaya

Lansia

Tingkat

Pengetahuan :

1. Baik

2. Cukup

3. Kurang

Keterangan:

yang diteliti

yang tidak diteliti

Gambar 2.1. Kerangka Teori

Sumber : Notoatmodjo (2011), Misnadiarly (2013), Javier (2010), Alexander dan Karla (2010),Wawan dan Dewi M. (2011), Nugroho (2001), Maryam dkk (2008)

44

C. Kerangka Konsep PenelitianTingkat Pengetahuan

Pengetahuan lansia tentang1.Baik

osteoporosis2.Cukup

3.Kurang

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

BAB IIIMETODLOGI PENELITIANA. Desain PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian non eksperimen. Menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif. Penelitian ini dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi, pengolahan atau analisa data, membuat kesimpulan dan laporan (Setiadi, 2007).

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2012).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni 2014. 45

46

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari dari obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakeristik/sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu (Sugiyono, 2009).

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta sebanyak 97 lansia, 31 laki-laki dan 66 perempuan.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2007).

a.Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1) Lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

2) Dapat berkomunikasi dengan baik.

3) Bersedia menjadi responden.

4) Lansia yang dapat beraktifitas secara mandiri.

5) Lansia yang kooperatif.

47

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Hidayat, 2007). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

1) Tidak bersedia menjadi responden.

2) Sedang sakit keras atau gangguan jiwa.

3) Responden yang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap.

3. Teknik Pengambilan Sampel (Sampling)

Pengambilansampel pada penelitian ini dilakukan secara

nonprobability sampling dengan purposivetekniksampling yaitu suat teknik pengambilan sampel dari populasi yang dilakukan tidak

berdasarkan strata, kelompok, atau acak, tetapi berdasarkan pertimbangan/ tujuan tertentu. Teknik ini dilakukan atas pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri (Saryono, 2011).

D. Variabel PenelitianVariabel adalah karakteristik yang diamati yang mempunyai variasi nilai dan merupakan operasionalisasi dari suatu konsep agar dapat diteliti secara empiris atau ditentukan tingkatannya (Setiadi, 2007). Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan lansia tentang osteoporosis di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

48

E. Definisi OperasionalDefinisi operasional adalah sesuatu yang membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel diamati atau diteliti serta bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran-pengukuran yang bersangkutan atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat ukur (Notoatmodjo, 2012). Adapun definisi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1. Definisi Operasional

VariabelDefinisiParameter danAlatSkala

OperasionalKategoriUkurUkur

TingkatKemampuan lansiaTingkatKuisionerOrdinal

Pengetahuanuntuk mengetahuipengetahuan

Lansiaosteoporosis,dibagi menjadi 3

tentangklasifikasi, faktor-kategori yaitu:

Osteoporosisfaktor yang1.Baik: Hasil 76

mempengaruhi-100%

osteoporosis,2.Cukup : Hasil

Gambaran klinis56% -75%

osteoporosis, dan3.Kurang : Hasil

pencegahan< 56%

osteoporosis

F. Instrumen PenelitianInstrumen penelitian adalah alat-alat yang dapat digunakan untuk

pengumpulan data. Pembuatannya mengacu pada variabel penelitian, definisi

operasional dan skala pengukuran data yang dipilih. Sebelum melakukan pengumpulan data, perlu dilihat alat ukur pengumpulan data agar dapat memperkuat hasil penelitian. Alat ukur pengumpulan data tersebut antara lain dapat berupa kuisioner/angket, observasi, wawancara, atau gabungan data ketiganya (Hidayat, 2007).

49 Adapun instrumen penelitian yang digunakan adalah berupa kuisioner yang berisi tentang identitas responden yaitu nama (inisial), umur, pendidikan

terahir, jenis kelamin dan dilanjutkan dengan pertanyaan tentang penyakit penyakit osteoporosis. Kuesioner penelitian terdiri dari 20 pertanyaan yang terdiri dari item favorable (positif) pernyataan benar dan unfavorable (negatif) dengan 20 pertanyaan. Cara pengisian kuesioner yaitu dengan memberi tanda

centang() pada lembar jawaban yang su

Tabel 3.2. Kisi-kisi Tentang Pengetahuan Osteoporosis

VariabelIndikatorNomor item Nomor item nonJumlah

favourablefavourablesoal

Tingkat1.Pengertian1, 2, 3-3

Pengetahuan2.Klasifikasi4, 75, 6, 85

lansia tentang3.Faktor-faktor yang1311, 12, 145

osteoporosismempengaruhi15

4.Gambaran9, 10-2

Klinis

5.Pencegahan19, 2016, 17, 185

osteoporosis

Jumlah101020

G. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

1. Teknik Pengolahan Data Metode ini menggunakan jenis daftar pertanyaan kuesioner untuk observasi, yang merupakan langkah awal dalam mendapatkan data penelitian maka tahap selanjutnya adalah analisa data. Pengumpulan data dan analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik deskriptif yaitu menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2011).

50 Data yang diperoleh dari hasil kuesioner berupa jawaban dari responden diubah menjadi data kuantitatif berupa skor nilai. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dilakukan pengolahan. Menurut Notoatmodjo (2010) langkah-langkah dalam pengolahan data adalah

sebagai berikut :

a.Editing (Penyuntingan Data)

Hasil wawancara atau angket yang diperoleh atau dikumpulkan melalui kuesioner perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Kalau ternyata masih ada data atau informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin dilakukan wawancara ulang, maka kuesioner tersebut dikeluarkan.

b. Lembaran Kode (Coding sheet)

Lembaran atau kartu kode adalah instrumen berupa kolom-kolom untuk merekam data secara manual. Lembaran atau kartu kode berisi nomor responden dan nomor-nomor pertanyaan.

c.Memasukkan Data (Data Entry)

Data Entry adalah mengisi kolom atau kotak-kotak lembar kode atau kartu kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.

d. Tabulasi

Dilakukan untuk memasukkan data hasil penelitian ke dalam tabel survey berdasarkan kriteria yang telah di inginkan oleh peneliti. Setelah data diolah kemudian data tersebut dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui gambaran pengetahuan lansia tentang osteoporosis di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta. Hasil dari analisa data

x 100 %

51 tersebut disajikan dalam bentuk narasi dan tabel distribusi atau proporsi.

2. Analisis Data

Analisis Univariate (Analisis Deskriptif) adalah bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariate tergantung dari jenis datanya. Untuk data numerik digunakan nilai mean, median, modus dan standar deviasi. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Data frekuensi adalah penyusunan data ke dalam kelas-kelas titik dimana setiap individu/item hanya termasuk ke dalam 1 kelas tertentu saja. Distribusi frekuensi disusun bila jumlah data yang akan disajikan cukup banyak, sehingga kalau disajikan dalam tabel biasa menjadi tidak efisien dan kurang komunikatif (Sugiyono, 2011). Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

fP =

N

Keterangan :

P = Persentase

f = Frekuensi data

N = Jumlah sample yang diolah

Tahap-tahap analisa data menurut Sugiyono (2013), sebagai berikut: a. Mean

Mean merupakan tehnik penjelasan kelompok yang didasarkan atas nilai rata-rata dari kelompok tersebut. Rata-rata (mean) ini dapat

52 dengan menjumlahkan data seluruh individu dalam kelompok itu, kemudian dibagi dengan jumlah individu yang ada pada kelompok tersebut.

Rumus:

xi

Me:

n Keterangan:

Me : mean (rata-rata)

: epsilon (baca jumlah) xi : nilai ke I sampai ke-n

n : jumlah individu

b. Modus

Modus merupakan teknik penjelasan kelompok yang didasarkan atas nilai yang populer (yang sedang menjadi mode) atau nilai yang sering muncul dalam kelompok tertentu.

Untuk menentukan pengetahuan lansia tentang penyakit osteoporosis berdasarkan kemampuan dalam menjawab kuesioner, dilakukan penilaian hasil jawaban kuesioner. Skor untuk masing-

masing jawaban Benar danmendapatjawabanskorSa1 mendapat skor 0. Hasil jawaban responden kemudian dihitung tingkat

presentasenya dengan cara menbandingkan jumlah jawaban responden dengan jumlah nilai maksimal yang dapat dicapai secara keseluruhan, menurut Arikunto (2006) dalam Wawan dan Dewi (2011) dengan kategori sebagai berikut :

53

1) Baik: hasil presentase 76%- 100%

2) Cukup: hasil presentase 56%- 75%

3) Kurang: hasil presentase < 56%

H. Jalannya Penelitian

Pengumpulan data dilakukan di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta dengan prosedur sebagai berikut :

1. Tahap persiapan

a. Mengajukan judul

b. Membuat proposal dan revisi proposal

c. Peneliti setelah mendapatkan persetujuan dari pembimbing I dan II akan mengajukan ujian proposal penelitian di STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta.

d. Ujian proposal

e. Peneliti merevisi semua masukan dan arahan dari para penguji

2. Tahap Pelaksanaan

a. Pengurusan perijinan

b. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari institusi kepada Kepala Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

c. Mengobservasi banyaknya lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta

d. Membagikan kuesioner

e. Peneliti mengecek kembali kelengkapan data

f. Melakukan pengolahan data

g. Seminar penelitian

54

h. Revisi penelitian

i. Pengumpulan penelitian

I. Etika Penelitian

1. Informed Concent Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed concent diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed concent adalah agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Apabila reponden bersedia maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak pasien (Hidayat, 2007).

2. Anonymity (Tanpa Nama)

Masalah etika merupakan masalah yang memberikan jaminan penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajukan (Hidayat, 2007).

3. Kerahasiaan (Confidentiality)Merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitia, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset (Hidayat, 2007).

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Profil Tempat PenelitianPenelitian ini dilakukan di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta dengan 24 lansia sebagai data responden yang terkait dengan subyek yang diteliti yaitu mengenai gambaran tingkat pengetahuan lansia tentang

osteoporosis di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta.

Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta merupakan salah satu tempat binaan dari dinas sosial kota Surakarta yang berperan sebagai tempat penampunagn bagi lansia yang berusia 60 tahun ke atas. Panti jompo ini berdiri pada tahun 1977 sampai sekarang. Periode tahun 2014 dipimpin oleh Kepala Panti Drs.Suryanto. Panti Wredha Dharma Bakti ini beralamat di Jalan Rajiman, Laweyan, Surakarta. Di dalam panti terdapat 7 kelompok kamar untuk lansia. Kelompok 1, 2, 7 untuk lansia yang sehat. Kelompok 3, 4, 6, untuk lansia yang sehat dan sebagian untuk kamar bagi lansia yang sakit. Kelompok 5 adalah ruang isolasi bagi lansia yang tidak dapat beraktivitas lagi. Dengan 2-6 warga tiap kamar. Terdiri dari 8 PNS, 1 honorer dan 4 tenaga panti Wredha yang setiap harinya dengan sabar melayani puluhan lansia yang

ada di panti.

Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta memiliki batas wilayah, yaitu:

1.Sebelah utara: Perumahan warga

2.Sebelah barat: Pom bensin

55

56

3.Sebelah selatan: Jalan raya

4.Sebelah timur: Dinas social

B. Hasil PenelitianSetelah dilakukan pengambilan data penelitian mengenai gambaran tingkat pengetahuan lansia tentang osteoporosis di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta pada tanggal 15 sampai dengan 19 Juni 2014 dengan sampel 24 lansia.

1. Karakteristik responden a. Umur

Di bawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi responden

berdasarkan karakteristik umur.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden

UmurFrekuensiProsentase (%)

61 70 tahun1041,7

71 80 tahun1250

81 90 tahun28,3

Total24100,0

Tabel 4.1 memperlihatkan distribusi responden berdasarkan umur. Ada 10 lansia (41,7%) yang berumur 61 70 tahun. Ada 12 lansia (50%) yang berumur 71 80 tahun. Ada 2 lansia (8,3%) yang berumur 81 90 tahun. Dari distribusi tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden adalah lansia berumur 71 80 tahun. Pembagian responden tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebagai berikut :

57

Karakteristik RespondenBerdasarkan Umur8.30% 61-70 tahun41.70% 71-80 tahun50%81-90 tahun

Gambar 4.1. Diagram Pembagian Responden berdasarkan Umur b. Jenis Kelamin

Di bawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi responden

berdasarkan karakteristik jenis kelamin responden.

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin.

Jenis KelaminFrekuensiProsentase (%)

Perempuan1562,5

Laki-laki937,5

Total24100,0

Tabel 4.2 memperlihatkandistribusiresponden berdasarkan

jenis kelamin. Ada 9 lansia (37,5%) yang berjenis kelamin laki-laki.

Ada 15 lansia (62,5 %) yang berjenis kelamin perempuan. Dari

distribusi tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden adalah

lansia berjenis kelamin perempuan. Pembagian responden tersebut

dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebagai berikut :

Karakteristik RespondenBerdasarkan Jenis Kelamin

37,5%Perempuan

62,5%laki-laki

Gambar 4.2. Diagram Pembagian Responden berdasarkan Jenis Kelamin

58

c.Pendidikan

Di bawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi responden

berdasarkan karakteristik pendidikan.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan

PendidikanFrekuensiProsentase (%)

Tidak Sekolah833,3

SD1250

SMP416,7

Total24100,0

Tabel 4.3 memperlihatkan distribusiresponden berdasarkan

pendidikan. Lansia yang tidak sekolah sebanyak 8 lansia (33,3%).

Lansia yang berpendidikan SD ada sebanyak 12 lansia (50%). Dan

lansia yang berpendidikan SMP ada sebanyak 4 lansia (16,7%). Dari

distribusi tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden adalah

lansia lulusan SD. Pembagian responden tersebut dapat digambarkan

dalam bentuk diagram sebagai berikut.

Karakteristik Responden BerdasarkanPendidikan

16,7%

33,3%Tidak sekolah

SD

50%SMP

Gambar 4.3. Diagram Pembagian Responden berdasarkan Pendidikan59

2. Pengetahuan Tentang Osteoporosis

Tabel di bawah memperlihatkan distribusi responden berdasarkan

pengetahuan lansia tentang osteoporosis.

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Osteoporosis

PengetahuanFrekuensiProsentase (%)

Baik14,2

Cukup1875

Kurang520,8

Total24100,0

Lansia yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 1 lansia (4,2%).

Lansia yang memiliki pengetahuan sedang sebanyak 18 lansia (75%). Dan

lansia yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 5 lansia (20,8%). Dari

distribusi tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden adalah lansia

yang memiliki pengetahuan cukup tentang osteoporosis. Pembagian responden tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebagai berikut.

Pengetahuan TentangOsteoporosis4,2%

20,8% Baik Cukup75% KurangGambar 4.4. Diagram Pembagian Responden berdasarkan

Pengetahuan Lansia tentang Osteoporosis

60

3. Pengetahuan Responden Berdasarkan Umur

Berikut adalah distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden

berdasarkan umur.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan berdasarkan Umur

UmurBaikCukupKurangTotal

f%f%f%f%

61-70 th-0,088022010100,0

71-80 th18,3975216,712100,0

81-90 th-0,01501502100,0

Total14,21875520,824100,0

Tabel 4.5 memperlihatkan distribusi frekuensi pengetahuan lansia

tentang osteoporosis berdasarkan umur. Dari 10 lansia yang berumur 61

70 tahun, ada 8 lansia (80%) yang memiliki pengetahuan cukup, 2 lansia

(20%) yang memiliki pengetahuan kurang. Dari 12 lansia yang berumur 71

80 tahun, ada 1 lansia (8,3%) yang memiliki pengetahuan baik, 9 lansia

(75%) yang memiliki pengetahuan cukup, dan 2 lansia (16,7%) yang

memiliki pengetahuan kurang. Dan dari 2 lansia yang berumur 81 90

tahun, ada 1 lansia (50%) yang memiliki pengetahuan cukup, dan 1 lansia

(50%) yang memiliki pengetahuan kurang.

4. Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Berikut adalah distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden

berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis KelaminBaikCukupKurangTotal

f%f%f%f%

Perempuan16,71173,332015100,0

Laki-laki-0,0777,8222,29100,0

Total14,21875520,824100,0

61

Tabel 4.6 memperlihatkan distribusi frekuensi pengetahuan lansia

tentang osteoporosis berdasarkan jenis kelamin. Dari 15 lansia yang

berjeniskelamin perempuan, ada 1 lansia (6,7%) yang memiliki

pengetahuan baik, 11 lansia (73,3%) yang memiliki pengetahuan cukup

dan 3 lansia (20%) yang memiliki pengetahuan kurang. Dan dari 9 lansia

yang berjenis kelamin laki-laki, ada 7 lansia (77,8%) yang memiliki

pengetahuan cukup, dan 2 lansia (22,2%) yang memiliki pengetahuan

kurang.

5. Pengetahuan Responden Berdasarkan Pendidikan

Berikut adalah distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden

berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 4.7 DistribusiFrekuensiTingkatPengetahuanberdasarkan

Pendidikan

PendidikanBaikCukupKurangTotal

f%f%f%f%

Tidak sekolah-0,0562,5337,58100,0

SD-0,01083,3216,712100,0

SMP125375-0,04100,0

Total14,21875520,824100,0

Tabel 4.7 memperlihatkan distribusi frekuensi pengetahuan lansia

tentang osteoporosis berdasarkan tingkat pendidikan. Dari 8 lansia yang

tidak sekolah, ada 5 lansia (62,5%) yang memiliki pengetahuan cukup, dan

3 lansia (37,5%) yang memiliki pengetahuan kurang. Dari 12 lansia yang

berpendidikan SD, ada 10 lansia (83,3%) yang memiliki pengetahuan

cukup dan 2 lansia (16,7%) yang memiliki pengetahuan kurang. Dan dari 4

62

lansia yang berpendidikan SMP, ada 1 lansia (25%) yang memiliki

pengetahuan baik, dan 3 lansia (75%) memiliki pengetahuan cukup.

C. Pembahasan

1. Karakteristik Lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta a.Karakteristik Umur Responden

Setelah dilakukan penelitian pada responden sejumlah 24 orang lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta berdasarkan hasil distribusi frekuensi menunjukkan bahwa lansia yang berumur 61 70 tahun sebanyak 10 orang (41,7%), lansia yang berumur 71 80 tahun sebanyak 12 orang (50%). Dan lansia yang berumur 81 90 tahun sebanyak 2 orang (8,3%). Dari data tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden adalah lansia berumur 71 80 tahun sebanyak 12 orang (50%). Hal itu dipengaruhi kemampuan dan kesangguapan lansia untuk menjadi responden penelitian. Lansia yang sudah berusia diatas 80 tahun dari hasil pengamatan peneliti lebih banyak mengalami kemunduran dalam hal memori dan pengetahuan.

Menurut Nugroho (2008) bahwa pada sistem sensori, manusia mengalami puncak pada usia 40 tahun lebih, selanjutnya mulai mengalami penurunan.

b. Jenis Kelamin Responden

Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin responden menunjukkan hasil bahwa lansia yang berjenis kelamin laki-laki

63 sebanyak 9 orang (37,5%), dan lansia yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 15 orang (62,5 %). Dari distribusi tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden adalah lansia berjenis kelamin perempuan sebanyak 15 orang (62,5 %).Data BPS 2009 mengenai jumlah penduduk lansia di Indonesia menunjukkan jumlah lansia laki-laki sebanyak 9.290.782 jiwa dan lansia perempuan sebanyak 11.256.759 jiwa. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta sesuai dengan jumlah penduduk lansia di Indonesia.

c.Pendidikan Responden

Pendidikan merupakan karakteristik yang tinggi rendahnya dicapai dengan upaya tertentu dan secara umum diukur berdasarkan jenjang pendidikan informal yang telah ditempuh. Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan responden menunjukkan bahwa lansia yang tidak sekolah sebanyak 8 lansia (33,3%). Lansia yang berpendidikan SD ada sebanyak 12 lansia (50%). Dan lansia yang berpendidikan SMP ada sebanyak 4 lansia (16,7%). Dari distribusi tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar responden adalah lansia yang berpendidikan SD yaitu sebanyak 12 lansia (50%). Banyaknya responden yang berpendidikan sekolah dasar adalah kemampuan responden pada saat usia sekolah hanya mampu menyelesaikan sekolah hanya sampai pada jenjang pendidikan dasar. Rendahnya tingkat pendidikan tentunya berkaitan dengan kondisi lansia di masa

64 sekolah. Usia 70 tahun dapat di artikan bahwa usia sekolah responden sekitar pada tahun 1940-1950 an. Pada masa tersebut Negara Indonesia berada pada masa sulit. Sehingga kemampuan masyarakat dan Negara untuk memberikan fasilitas pendidikan juga masih rendah.2. Tingkat pengetahuan lansia tentang osteoporosis di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta

Hasil keseluruhan dari penelitian ini menunjukkan bahwa lansia yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 1 lansia (4,2%). Lansia yang memiliki pengetahuan cukup sebanyak 18 lansia (75%). Dan lansia yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 5 lansia (20,8%). Sedangkan hasil dari penelitian berdasarkan tingkat pengetahuan lansia sesuai dengan karakteristik yang diteliti yang meliputi umur, jenis kelamin dan pendidikan yaitu:

a.Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Umur Responden

Ketiga karakterisrik tersebut dapat berpengaruh terhadap pengetahuan lansia tentang osteoporosis baik secara langsung maupun tidak langsung. Umur merupakan karakteristik responden yang terkait dengan pengalaman dan kedewasaan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dari 10 lansia yang berumur 61 70 tahun, ada 8 lansia (80%) yang memiliki pengetahuan cukup, 2 lansia (20%) yang memiliki pengetahuan kurang. Dari 12 lansia yang berumur 71 80 tahun, ada 1 lansia (8,3%) yang memiliki pengetahuan baik, 9 lansia (75%) yang memiliki pengetahuan cukup, dan 2 lansia (16,7%) yang

65 memiliki pengetahuan kurang. Dan dari 2 lansia yang berumur 81 90 tahun, ada 1 lansia (50%) yang memiliki pengetahuan cukup, dan 1 lansia (50%) yang memiliki pengetahuan kurang. Semakin bertambah umur seseorang semakin baik tingkat pengetahuannya. Meskipun begitu pada umur tertentu peningkatan pengetahuan tersebut berhenti dan kemudian menurun. Secara umum umur berpengaruh positif terhadap pengetahuan.Menurut Wawan dan Dewi (2010) bahwa usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.

b. Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin Responden Distribusi frekuensi pengetahuan lansia tentang osteoporosis

berdasarkan jenis kelamin responden menunjukkan hasil bahwa dari 15 lansia yang berjenis kelamin perempuan, ada 1 lansia (6,7%) yang memiliki pengetahuan baik, 11 lansia (73,3%) yang memiliki pengetahuan cukup dan 3 lansia (20%) yang memiliki pengetahuan kurang. Dan dari 9 lansia yang berjenis kelamin laki-laki, ada 7 lansia (77,8%) yang memiliki pengetahuan cukup, dan 2 lansia (22,2%) yang memiliki pengetahuan kurang. Hal itu dapat diartikan bahwa tingkat pengetahuan dari responden menunjukkan tingkat pengetahuan responden laki-laki lebih tinggi daripada tingkat pengetahuan responden perempuan.

66 Menurut Witelson dalam Paisak (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa otak perempuan secara keseluruhan lebih kecil daripada otak laki-laki. Pada perempuan, sel-sel lobus parietal dan hipokampus lebih cepat menghilang ketika mereka menjadi tua. Pada saat-saat seperti itu perempuan akan banyak kehilangan memori dan

kemampuan mengenal ruang.

c.Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Pendidikan Responden

Menurut Notoatmodjo (2010) pendidikan adalah salah satu dari faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Dari distribusi frekuensi pengetahuan lansia tentang osteoporosis berdasarkan pendidikan responden menunjukkan hasil bahwa dari 8 lansia yang tidak sekolah, ada 5 lansia (20,8%) yang memiliki pengetahuan cukup, dan 3 lansia (12,5%) yang memiliki pengetahuan kurang. Dari 12 lansia yang berpendidikan SD, ada 10 lansia (41,7%) yang memiliki pengetahuan cukup dan 2 lansia (8,3%) yang memiliki pengetahuan kurang. Dari 4 lansia yang berpendidikan SMP, ada 1 lansia (4,2%) yang memiliki pengetahuan baik, dan 3 lansia (12,5%) memiliki pengetahuan cukup. Hal itu berarti semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tingkat pengetahuan seseorang.

Pendidikan merupakan media untuk menambah wawasan dan kemampuan penyerapan pengetahuan. Secara umum pendidikan berbanding lurus dengan pengetahuan. Menurut Notoatmodjo (2010)

67 pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.d. Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Osteoporosis.

Dari pembahasan tingkat pengetahuan lansia berdasarkan karakteristik yang diteliti yang meliputi umur, jenis kelamin dan pendidikan diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup tentang osteoporosis. Hal itu dapat diartikan bahwa para lansia cukup memahami mengenai penyakit osteoporosis, hanya saja masih ada sedikit kekurangan. Beberapa kekurangan pengetahuan ini umumnya dikarenakan karena faktor-faktor perbedaan pengalaman pengetahuan dari lansia itu sendiri dan selain itu dikarenakan pertanyaan dari kuisioner yang berbobot medis dan pertanyaan yang bersifat negatif/unfavourabel sehingga sebagian dari lansia kurang memahami pertanyaan yang dimaksud. Bagaimanapun dengan pengetahuan yang dimiliki tersebut para lansia diharapkan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan kesehatan lansia itu sendiri.

Pada akhirnya pengetahuan itu juga akan berujung pada perilaku yang diharapkan. Lansia dengan pengetahuan yang baik maka

68 perilaku untuk menjaga kesehatan dalam kehidupan sehari-hari juga akan baik. Notoatmodjo (2010) mengemukakan bahwa sebelum mengadopsi perilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, di mana proses yang pertama harus terjadi adalah awareness (kesadaran) yaitu orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). Hal ini berarti bahwa pengetahuan sebagai faktor predisposisi merupakan pemicu awal terbentuknya perilaku kesehatan tersebut.D. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam proses penelitian ini yaitu : 1. Dalam penelitian ini ada kelemahan dalam menyusun alat (kuesioner) yang menggunakan jawaban tertutup sehingga responden tidak dapat menguraikan jawaban selain jawaban yang tersedia.

2. Dalam penelitian ini hanya untuk mengetahui tingkat pengetahuan lansia tentang osteoporosis tanpa adanya tindak lanjut terhadap hasil penelitian yang diperoleh.

3. Dalam penelitian ini untuk menentukan lansia yang terkena osteoporosis hanya berdasarkan pada hasil pemeriksaan di balai pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter di panti, seharusnya dilakukan pemeriksaan BMD (bone mass density) sebelumnya.

BAB VPENUTUPA. SimpulanBerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada lansia di Panti

Wredha Dharma Bhakti Surakarta dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1. Karakteristik responden berdasarkan umur menunjukkan sebagian besar lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta berumur 71-80 tahun sebanyak (50%).

2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan sebagian besar lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta berjenis kelamin perempuan sebanyak (62,5%) .

3. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan sebagian besar lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta berpendidikan SD sebanyak (50%).

4. Sebagian besar lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta memiliki tingkat pengetahuan yang cukup tentang osteoporosis sebanyak (75%).

B. Saran

Berikut adalah beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan

penelitian yang telah dilaksanakan.

69

70

1. Bagi Responden

Bagi para lansia disarankan terus meningkatkan pengetahuan dan tingkat kesehatan dengan berbagai upaya baik secara aktif dengan mengikuti kegiatan pemeriksaan kesehatan atau secara pasif dengan mengikuti penyuluhan-penyuluhan yang rutin di laksanakan di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan baik melalui wadah instansi kesehatan atau secara pribadi disarankan untuk terus menggalakkan upaya-upaya sosialisasi informasi kesehatan khususnya mengenai osteoporosis pada lansia guna meningkatkan tingkat pengetahuan dan kualitas perilaku kesehatan masyarakat dan lansia pada khususnya.

3. Bagi Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta

Agar dapat memberikan penyuluhan kesehatan pada lansia tentang osteoporosis terutama cara mempertahankan tulang dengan menghindari faktor-faktor risiko sekunder osteoporosis, bekerja sama dengan pihak lain untuk dapat menggerakkan pemeriksaan kepadatan tulang di panti, mengatur menu makanan tinggi kalsium, mengatur program kegiatan yang dapat meningkatkan dan mempertahankan kepadatan tulang.

4. Untuk Penelitian Selanjutnya

Penelitian sejenis dapat dilakukan dengan melihat sudut pandang lain atau memperluas cakupan materi misalnya mengenai hubungan

71 faktor-faktor dengan pengetahuan atau pengaruh pengetahuan terhadap perilaku kesehatan.5. Bagi Institusi

Bagi institusi diharapkan bisa menambah koleksi referensi dan diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dan bacaan di perpustakaan.

DAFTAR PUSTAKAAlexander Ivy M. Knight dan Karla A Knight. 2010. Osteoporosis dan Osteopenia. Jakarta: PT Indeks

Angelina. 2010. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Wnita terhadap Osteoporosis di Desa Arapayung Dusun II Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai. diambil dari http://www.respository.usu.acid/Abstract/pdf diakses tanggal 10 Januari 2014.

Azza, Sauqina. 2011. Mencegah dan Mengobati Penyakit. Jakarta: Klik Publishing.

Depkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta. diambil dari http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMKNo.114.pdf diakses tanggal 4 Januari 2014

Hidayat, Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika

Javier. 2010. Kupas Tuntas Osteoporosis. Jakarta: Kedokteran

Karolina. 2009. Hubungan Pengetahuan dan Pencegahan Osteoporosis yang Dilakukan Lansia di Kecamatan Medan Selayang. diambil dari respository.usu.acid./bitstream/cover/pdf diakses tanggal 10 Januari 2014.

Maryam, dkk . 2008. Mengenal lanjut Usia dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika

Misnadiarly. 2013. Osteoporosis. Jakarta: Akademia Permata

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC

Notoatmodjo, S. 2011. Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta : EGC

Nursalam. 2003. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Paisak. 2004. Perbedaan Intelegensi Perempuan dan Laki-laki. http://hatibku. wordpress.com, diakses tanggal 15 Juni 2014.

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Saryono. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Wawan dan Dewi. 2010. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Yoyakarta: Nuha Medika