MILITARY ROLES IN FIJI

22
HUBUNGAN SIPIL DAN MILITER DALAM PERPOLITIKAN FIJI: 1987-2006 ditujukan untuk memenuhi ujian akhir semester mata kuliah: Militer dan Politik Dosen Pengampu: Prof. Dr. Jahja A. Muhaimin Sukmawani Bela Pertiwi, MA. Disusun Oleh: Nius Pranantha 13/345257/SP/25527 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

description

edl

Transcript of MILITARY ROLES IN FIJI

Page 1: MILITARY ROLES IN FIJI

HUBUNGAN SIPIL DAN MILITER DALAM PERPOLITIKAN FIJI: 1987-2006

ditujukan untuk memenuhi ujian akhir semester mata kuliah: Militer dan Politik

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Jahja A. Muhaimin

Sukmawani Bela Pertiwi, MA.

Disusun Oleh:

Nius Pranantha 13/345257/SP/25527

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015

Page 2: MILITARY ROLES IN FIJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang................................................................................................................ 1-2

1.2. Rumusan Masalah........................................................................................................... 2

1.3. Landasan Konseptual...................................................................................................... 2

1.4. Argumentasi Utama........................................................................................................ 3

BAB II: PEMBAHASAN

2.1. Dinamika Kemelut Perpolitikan Fiji.......................................................................... 4-6

2.2. Relasi Sipil-Militer dalam Politik Fiji....................................................................... 6-9

2.3. Keberhasilan Kudeta Militer Fiji................................................................................ 9

BAB III: KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................... 11-

12

Page 3: MILITARY ROLES IN FIJI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam upaya menciptakan stabilitas politik yang sempurna di sebuah negara,

sepatutnya terjalin kerjasama yang baik antara aktor pemerintah dan non-pemerintah.

Namun sayangnya, kekompakan yang diharapkan tercipta antar kedua pihak, dalam

beberapa kesempatan justru menghasilkan buah pahit. Cukup banyak fenomena yang

menggambarkan bagaimana kemudian terjadi perpecahan akibat perbedaan kepentingan

aktor-aktor, yang akhirnya menyebabkan politik di negara terkait terjerat huru-hara

besar. Demikian adanya yang terjadi di Fiji. Nihilnya kesamaan nilai yang dijunjung

antara pihak pemerintah dan non-pemerintah, serta didukung oleh faktor-faktor internal

lainnya, menyebabkan negara ini terjebak dalam krisis politik yang berkesinambungan.

Terhitung semenjak tahun 1987 hingga 2006, terjadi setidaknya empat kali kudeta

terhadap pemimpin negara yang telah dipilih secara demokratis – tiga diantaranya

dilakukan oleh militer.

Kudeta militer pertama terjadi pada 14 Mei 1987, yang ditengarai terjadi akibat

sentimentil etnisitas oleh etnis Fiji akibat dominansi peran etnis pendatang, yakni Indo-

Fiji. Namun kemudian, timbul kekecewaan militer atas kinerja Jendral Sir Penaia

Ganilau yang ia angkat sebagai kepala pemerintahan pasca kudeta Mei 1987. Akhirnya,

kudeta militer pun kembali dilancarkan pada 25 September 1987. Selang tiga belas

tahun setelahnya, kudeta juga kembali terjadi pada Mei 2000 di bawah pimpinan

George Speight yang merupakan seorang nasionalis Fiji beretnis campuran.1 Hal ini

diakibatkan oleh gelombang protes akibat disparitas ekonomi antara etnis Fiji dan etnis

pendatang. Alhasil, Perdana Menteri Mahendra Chaudhry yang beretniskan Indo-Fiji

yang telah dipilih melalui pemilihan demokratis harus turun dari jabatannya.

Speight juga di saat bersamaan mengambil tindakan sewenang-wenang berupa

pemecatan terhadap perdana menteri dan presiden menjabat. Guna menstabilisasi

politik negara, militer di bawah pimpinan Frank Bainimarama kemudian turun tangan

dengan memenjarakan Speight serta melantik seorang bankir beretniskan Fiji asli

bernama Laisenia Qarase sebagai perdana menteri. Tetapi ternyata, kinerja Qarase tidak

memenuhi ekspektasi militer, sehingga pada 5 Desember 2006, kudeta militer kembali

terjadi dengan melahirkan Banimara sebagai penguasa pemerintahan tunggal di Fiji.

1 B. V. Lal, Islands of Turmoil: Elections and Politics in Fiji, ANU E Press, Canberra, 2006, p. 185

Page 4: MILITARY ROLES IN FIJI

Untuk membahas lebih lanjut mengenai isu dinamika sipil-militer di Fiji, dalam

risalah ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai kilas umum militer Fiji dan

kronologis peristiwa kudeta terhitung semenjak tahun 1987 hingga 2006. Penulis juga

akan memaparkan bagaimana kemudian para militer bertindak dan mengambil

keputusan pasca diturunkannya pemimpin menjabat. Selanjutnya, penulis akan

menganalisa menggunakan beberapa landasan konseptual guna memahami lebih dalam

bagaimana dinamika hubungan sipil-militer ini di Fiji berjalan hingga kudeta militer

yang terjadi menunjukkan sebuah pola keteraturan.

1.2 Rumusan Masalah

Pemaparan-pemaparan di atas mengantarkan penulis pada sebuah pertanyaan,

“Bagaimana relasi antara sipil-militer di Fiji hingga kudeta militer sering kali

terjadi?”

1.3 Landasan Konseptual

1.3.1 Profesionalisme Militer

Konsep profesionalisme sendiri, jikalau ditelaah secara seksama, dapat dimaknai

sebagai sebuah paham dimana seorang individu atau instansi tertentu, melakukan

sesuatu yang menjadi tugasnya, dan tidak mengintervensi hal lain di luar dari tugas atau

fungsi yang ia miliki. Dalam kaitannya dengan militer, profesionalisme mengacu

kepada tindakan militer untuk mau fokus bergerak hanya di bidang yang diamanahkan

– yakni keamanan dan pertahanan. Dengan menggunakan konsep profesionalisme

militer dalam mengaji fenomena instabilitas politik di Fiji, diharapkan nantinya dapat

ditemui jawaban atas rumusan masalah yang telah tertulis di atas. Proses analisis akan

dilakukan berdasar pada definisi profesionalisme militer yang diusung oleh Samuel P.

Huntington. Beranjak dari pemahaman beliau, keprofesionalitasan tersebut dapat

tercapai ketika militer mau untuk tetap fokus mengurus masalah keamanan dan

pertahanan, dan tidak melakukan intervensi pada bidang politik. Huntington selanjutnya

menjabarkan tiga aspek yang perlu dijadikan fokus dalam militer yang profesional,

yaitu: keahlian (expertise), tanggung jawab sosial (social responsibility), lembaga

(corporateness).2 Ketiga aspek tersebut kemudian dikenal dengan istilah the military

mind yang menjadi dasar bagi hubungan militer dengan negara.

2 S.P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil Military Relations, Belknap Press, New York, 1957, pp. 11-18.

Page 5: MILITARY ROLES IN FIJI

1.3.2 Intervensi Militer

Keterlibatan militer Fiji dalam bidang politik penulis rasa juga dapat dipahami

melalui pengkajian menggunakan konsep intervensi militer sebagai kerangka berpikir

dalam menganalisis. Mengacu pada asumsi Samuel P. Huntington, intervensi militer

dalam politik disebabkan oleh ketiadaan institusi politik yang efektif dalam

memediasasi, mengatasi, ataupun mengendalikan tindakan-tindakan kelompok politik.3

Asumsi tersebut diperoleh melalui kenyataan bahwa dalam sebuah sistem politik, akan

selalu terdapat tuntutan dari berbagai macam pihak, yang mana tidak semua tuntutan

yang ada dapat direalisasikan. Akibat keterbatasan kekuatan dalam memenuhi

kebutuhan tersebutlah, dibutuhkan sebuah lembaga yang mampu menjembatani atau

menghubungkan setiap tindakan kekuatan politik yang ada, menyaring tuntutan-

tuntutan yang masuk guna selanjutnya dapat ditentukan tuntutan mana yang akan

diangkat menjadi isu politik dan mana yang tidak, serta untuk melunakkan tuntutan-

tuntutan yang dinilai ekstrim agar nantinya semua potensi kemunculan pemberontakan

oleh kelompok tertentu dapat diredam.

1.3 Argumentasi Utama

Terjadinya kudeta beberapa kali oleh militer terhadap pemerintahan yang menjabat

di Fiji membuktikan bahwa tidak adanya kontrol sipil yang berarti atas militer.

Keputusan militer untuk mengintervensi politik negaranya, semata-mata dilakukan

untuk kepentingan rakyat, bukan entitasnya sendiri. Hal ini terjadi akibat kenihilan

institusi politik yang bekerja secara efektif dalam menengahi permasalahan yang ada di

Fiji. Permasalahan yang terjadi berlarut-larut ini yang kemudian memaksa militer untuk

mengintervensi – akibat adanya social responsibility yang merupayak satu dari tiga

military mind.

BAB II

ISI

2. 1 Dinamika Kemelut Perpolitikan Fiji

3 S. P. Huntington, Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven, 1968, p.196.

Page 6: MILITARY ROLES IN FIJI

Pasca memperoleh kemerdekaannya dari koloni Inggris, Fiji harus menghadapi

banyak konflik internal terutama permasalahan seputar politik berbasis etnis antara

penduduk asli Fiji dengan Indo-Fiji (India). Tingginya intensitas konflik yang terjadi di

Fiji membuat kehidupan politik dan demokrasi negara ini menjadi sangat lemah. Hal ini

diperparah dengan adanya intervensi politik yang dilakukan pihak militer dalam bidang

pemerintahan.

Campur tangan oleh pihak militer ini menyebabkan pemerintahan sipil di Fiji

mengalami kudeta hingga beberapa kali. 14 Mei 1987 merupakan kudeta pertama yang

dilakukan oleh junta militer Fiji. Kudeta ini berjalan di bawah pimpinan Letnan

Kolonel Sitiveni Rabuka dengan melakukan penyerangan terhadap gedung parlemen

yang saat itu berada di bawah kekuasaan Timochi Bavadra. Kudeta ini disebabkan oleh

sentimentil etnisitas dimana mereka beranggapan bahwa pemerintah terlalu didominasi

oleh Indo-Fiji.4

Pasca dilaksanakannya coup d’etat, Letnan Kolonel Sitiveni Rabuka yang

merupakan anggota dari Fijian Political Party (Soqosoqo Vakavuleva ni Taukei)

menyerahkan kekuasaan atas pemerintahan kepada Gubernur Jendral Sir Penaia

Ganilau dengan harapan mampu mengakomodir kepentingan etnis yang ada di Fiji.5

Namun sayangnya, kekuasaan Ganilau hanya bisa bertahan beberapa bulan saja, sebab

pada tanggal 25 September 1987, Rabuka kembali melakukan kudeta akibat

ketidakpuasannya terhadap kinerja Ganilau. Pemerintahan sementara kemudian

dibentuk pada 5 Desember 1987 dengan melantik Kamisese Mara sebagai perdana

menteri. Rabuka pun kemudian mendeklarasikan Fiji sebagai sebuah negara republik.6

Menjelang 1990, Fiji mengalami kesulitan ekonomi yang disebabkan atas konstitusi

baru yang ia terapkan. Konstitusi tersebut menyebabkan terjadinya emigrasi besar-

besaran karena isinya secara tidak langsung telah memaksa sekitar 12.000 etnis Indo-

Fiji meninggalkan Fiji.7 Dalam konstitusi tersebut dikatakan bahwa kursi legislatif

4 S. Shinaga, “Fiji, Negeri Langganan Kudeta”, detikNews (daring), 5 Desember 2006, <http://news.detik.com/read/2006/12/05/164353/716478/10/fiji-negeri-langganan-kudeta>, diakses 10 Juni 2015.5 S. Sherlock, “Constitutional and Political Change in Fiji”, Parliament of Australia (online), 11 November 1997, <http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/pubs/rp/RP9798/98RP07>, diakses 10 Juni 2015.6 N. Dieter, Kamus Dunia Ketiga, Grasindo, Jakarta, 1994, p. 186.7 U.S. Department of State, “Fiji (10/07)”, U.S. Department of State (online), <http://www.state.gov/outofdate/bgn/fiji/94973.htm>, diakses 11 Juni 2015.

Page 7: MILITARY ROLES IN FIJI

disediakan lebih banyak bagi etnis asli Fiji dan konstitusi ini juga memberi jaminan

bagi etnis asli Fiji untuk berkuasa penuh atas Fiji.

Permasalahan terkait dengan etnis kesukuan ini kemudian menjadi ciri khas sendiri

dalam memaknai perpolitikan Fiji. Isu terkait kepemilikan tanah yang menjadi bahan

permasalahan pertikaian antar etnis ini semakin mengantarkan Fiji ke dalam posisi

genting. Hal ini semakin terlihat ketika etnis Indo-Fiji melakukan perpanjangan sewa

tanah selama 10 tahun pada tahun 1995/1996. Terjadi perbedaan tuntutan di antara

kedua kubu, dimana etnis Indo-Fiji meminta adanya perbaharuan sewa hingga 30 tahun

sedangkan etnis Fiji asli merasa hal ini berpotensi pada penguasaan etnis Indo-Fiji akan

tanah.8 Setelah polemik yang berlangsung cukup panjang, akhirnya konstitusi yang ada

ditinjau ulang pada Juli 1997, yang akhirnya menyetujui akan adanya kesetaraan hak

antara etnis Indo-Fiji dan Fiji asli. Akibat keberadaan konstitusi yang baru inilah,

dilaksanakan pemilihan umum pada Mei 1999 yang melahirkan koalisi Partai Indo-Fiji

di bawah pimpinan Mahendra Chaundry sebagai pemenang. Ia selanjutnya terpilih

menjadi perdana menteri Fiji pertama yang beretniskan Indo-Fiji.

Kudeta pun kembali terjadi pada bulan Mei tahun 2000 dibawah pimpinan George

Speight yang merupakan seorang nasionalis Fiji beretnis campuran antara Fiji dan

Eropa.9 Speight kemudian bergabung dengan sejumlah penduduk bersenjata ilegal

untuk secara bersama-sama menentang dominansi rakyat India di Kepulauan Fiji. Ia

dan kawanannya berpendapat bahwa kehadiran etnis Indo-Fiji yang merupakan

peranakan dari India hanya bisa merenggut hak pribumi. Mereka melancarkan aksinya

dengan menyandera Perdana Menteri Mahendra Chaudhry bersama anggota parlemen

lainnya. Speight kemudian memperjuangkan keinginannya untuk dibuatkan sebuah

konstitusi yang berisi perihal pengosongan hak politik atas etnis Indo-Fiji. Ia juga

memecat perdana menteri dan presiden secara sepihak dan kemudian mengambil

sumpah atas dirinya sebagai perdana menteri dan mengangkat Jope Seniloli sebagai

presiden. Speight selanjutnya ditahan dan dipenjarakan di Pulau Nukulau oleh Frank

Bainimarama yang saat itu merupakan pemimpin militer di Fiji.

Demokrasi pun kemudian berusaha dipulihkan oleh kaum militer di penghujung

tahun dengan melantik seorang bankir beretniskan Fiji asli bernama Laisenia Qarase

sebagai perdana menteri. Qarase dituntut untuk mampu mengatasi krisis yang ada serta

rekonsiliasi hubungan diplomatik dengan negara lain yang kurang begitu baik. Di

8 N. Dieter, p.189.9 B. V. Lal, p. 185.

Page 8: MILITARY ROLES IN FIJI

bawah pemerintahan Qarase lah pengaplikasian demokrasi di Fiji mulai terlihat.

Agustus 2005 beliau mendeklarasikan undang-undang tentang perdamaian, toleransi

dan persatuan, yang diarahkan pada para pendukung kudeta. Hal ini tentu berimplikasi

pada kemunculan kritik, komentar, dan ancaman yang ia terima terutama dari pihak

militer.

Tuduhan atas tindakan korupsi serta kecaman atas pemerintahan yang terlalu lunak

dalam menuntaskan perkara kudeta tahun 2000 dilontarkan oleh Bainimarama terhadap

pemerintahan Qarase sebagai upaya menurunkan kekuasaannya.10 Akhirnya, penolakan

kembali berujung pada aksi coup d’etat pada 5 Desember 2006. Banimarama

kemudian hadir sebagai penguasa tunggal Fiji dengan secara sepihak membentuk

kabinet sementara, serta mengangkat Josefa Iloilo sebagai presiden dan Jona

Senilagakali sebagai perdana menteri. Namun pada akhirnya, Jona Senilagakali hanya

memiliki periode jabatan yang singkat, 5 Desember 2006 – 4 Januari 200711, karena

Iloilo secara resmi mengangkat Bainimarama sebagai perdana menteri baru Fiji.

Jalannya pemerintahan di bawah Presiden Iloilo tak urung membawa perubahan positif

di Fiji. Bahkan posisi konstitusional dihapuskan dan kebebasan pers semakin dikekang

di negeri itu.

2. 2 Relasi Sipil-Militer dalam Politik Fiji

Hubungan antara sipil dan militer memang merupakan satu dari sekian atribut

perilaku suatu negara.12 Pembahasan antar kedua aktor ini tidak saja dilakukan dengan

memeriksa interaksi keduanya, tetapi meneliti lebih dalam ke peran militer dalam

bingkai politik – dan dimana militer bisa berpartisipasi dalam bingkai tersebut.

Mengingat militer dapat bertindak sebagai aktor penekan atau yang bersifat coercive

dalam ketatanegaraan, dan juga memiliki struktur organisasi yang lebih baik daripada

sipil, sudah selayaknya kemudian bagi militer untuk dijadikan surbordinasi kontrol

sipil.13 Dalam kaitannya dengan peranan militer di Fiji, dapat dipahami bahwa aksi 10 Admin, “Kudeta Militer Melanda Fiji”, Suara Merdeka-Internasional (daring), 6 Desember 2006, <http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/06/int01.htm>, diakses 10 Juni 2015.11 J. Fraenkel, the 2006 Military Takeover in Fiji: A Coup to End All Coups?, ANU E Press, Canberra, 2009, p. 157.12 N. Yamaguchi, dan D. A. Welch, “Soldiers, Civilians, and Scholars : Making Sense Of The Relationship Between Civil-Military Relations and Foreign Policy”, ASIAN Perspective, vol. 29, no.1, 2005, p.213.13 A. H. Tam, ”Coercion and Governance in China: Analyzing Civil-Military Relations In The Post Deng Era Using Multiah Alagappa’s Analytical Framework”, Lieutenant US Navy, Thesis US NPS, MA in National Security Affairs, 2006, p.19.

Page 9: MILITARY ROLES IN FIJI

militer kerapkali berjalan di luar kontrol sipil. Tindakan kudeta yang sering terjadi telah

menjadi bukti nyata bahwa militer di Fiji tidak lagi berada pada posisi subordinan

terhadap kontrol sipil.

Melalui asumsi Samuel P. Huntington yang berpandangan bahwa terjadinya

intervensi militer ialah tak lain akibat kenihilan institusi politik yang efektif, dapat

kemudian dipahami bahwa hal tersebutlah yang sekiranya terjadi di Fiji. Dalam

menganalisis bagaimana kemudian institusi politik berjalan di Fiji – terkait dengan

keefektivitasannya, penelusuran akan dilakukan pada tiga bentuk cerminan institusi

politik utama, yakni: partai politik, parlemen, dan juga kabinet.

Sebagai salah satu perwujudan dari institusi politik, partai politik merupakan salah

satu indikator dalam melihat bagaimana institusi politik yang ada bekerja di Fiji. Di

negara yang etnisitas masyarakatnya banyak, besar tendensi terciptanya institusi politik

yang bias terhadap satu identitas etnis tertentu saja.14 Hal tersebut tercermin dalam

partai politik Fiji. Walaupun secara teoritis partai politik yang terdapat di negara ini

mengakui diri sebagai partai politik multi-etnis, tapi pada praktiknya, mayoritas partai

politik secara keanggotaan didominasi oleh satu kelompok etnis tertentu. Dampak dari

hal ini dapat dilihat dari para wakil rakyat yang duduk di kursi pemerintahan, biasanya

berasal dari satu etnisitas yang sama. Hal ini diperparah pula dengan kebiasaan

masyarakat Fiji dalam pemilihan umum yang cenderung memilih berdasar pada

etnisitas, sehingga perebutan kekuasaan yang terjadi dalam pemilihan umum Fiji terjadi

bukan didasari pada perbedaan ideologis, namun perbedaan etnis kesukuan.

Selain melalui partai politik, cerminan institusi politik dapat pula dilihat melalui

parlemen yang ada di Fiji. Sebagaimana parlemen di negara lain, parlemen di Fiji juga

beranggotakan perwakilan dari partai politik yang sudah memenangkan suara dalam

memperebutkan bangku pemerintahan. Tak heran, hal ini memicu adanya perasaan

was-was dari masing-masing kubu etnis, sebab parlemen berhak untuk menciptakan

hukum sesuai dengan konstitusi. Sehingga terjadi kekhawatiran terutama dari etnis Fiji

dalam menyikapi keberadaan etnis Indo-Fiji (India) yang berhasil memenangkan

pemilu kala itu. Keberhasilan etnis India menduduki kursi pemerintahan ini

dikhawatirkan akan semakin menyulitkan etnis Fiji asli dalam mengakses hak mereka,

14 B. Reilly, Constitutional Engineering and the Alternative Vote in Fiji, National Centre for Development studies, Canberra, 1997, p.209.

Page 10: MILITARY ROLES IN FIJI

terutama terkait dengan isu kepemilikan tanah yang sempat membuat suasana panas di

tahun 1995/1996. Tak heran, hal ini berujung pada terjadinya kudeta seperti yang

berlangsung pada Mei 2000. Sebagaimana disebutkan, kudeta di bawah pimpinan

George Speight ini berusaha menolak dominansi rakyat India di Kepulauan Fiji sebab

keberadaan mereka hanya bisa merenggut hak pribumi.15 Tuntutan ini secara garis besar

menekankan pada pengosongan hak politik etnis Indo-Fiji. Lantas, terjadi pemboikotan

parlemen dengan menyandera Perdana Menteri Mahendra Chaudry dan anggota

parlemen lainnya. Hal terkait etnisitas ini juga pada kelanjutannya menjadi gambaran

akan bobroknya institusi politik yang ada di Fiji.

Dari segi kabinet sendiri, terlihat adanya ketidaksempurnaan mekanisme kerja.

Sistem kabinet Fiji yang mengikuti gaya Barat yang menempatkan presiden sebagai

kuasa eksekutif ini, pada implementasinya justru melenceng. Kekuasaan eksekutif

justru berada di tangan menteri kabinet, sedangkan kepresidenan dipegang oleh perdana

menteri. Dalam peraturannya, disebutkan bahwa presidenlah yang berhak membentuk

menteri kabinet dimana setiap partai politik yang menduduki delapan bangku dalam 71

anggota parlemen harus diberikan posisi dalam kabinet.16

Pelencengan juga terlihat pada penolakan Chaundry untuk memberikan kursi

kementerian kepada Fijian Political Party (Soqosoqo Vakavuleva ni Taukei) di tahun

1999. Begitupula selanjutnya di tahun 2001 hingga 2004, dimana Perdana Menteri

Laisenia Qarase menyatakan penolakan atas masuknya Fiji Labour Party ke dalam

kabinet. Berdasar pada pemaparan di atas pula, dapat ditarik pemahaman general bahwa

sistem kabinet di Fiji cenderung menunjukkan adanya kontestasi politik akibat terdapat

perebutan kekuasaan antar etnis.

Pemaparan akan polemik yang dihadapi oleh institusi politik yang ada di Fiji telah

berhasil mencerminkan ketidakstabilan sosial yang dihadapi negara ini. Institusi politik

yang ada dinilai tidak memiliki kapasitas yang memadai dalam mengakomodasi konflik

yang terjadi antar etnis di Fiji. Ketidakcakapan institusi politik ini setidaknya tercermin

melalui gelombang protes dan tindak kudeta yang dilakukan sipil terhadap

15 B. V. Lal, p. 185.16 W. Narsey, “Banimarama’s coup and claim of desire for ethnic equality: Separating facts from fiction”, Fiji coupfourpointfive (online), 26 Maret 2012, <http://www.coup5.com/2012/03/bainimaramas-coup-and-claim-of-desire.html>, diakses 08 Juni 2015.

Page 11: MILITARY ROLES IN FIJI

pemerintahan menjabat akibat kekecewaan mereka terkait dengan isu pembagian akses

dan kursi kekuasaan. Institusi politik Fiji telah gagal dalam membina relasi dengan

pemegang kekuatan politik yang ada, juga gagal dalam upaya penyaringan tuntutan

yang masuk, hingga peredaman tensi akan tuntutan berhaluan ekstrim. Maka dari,

sesuai dengan asumsi yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, militer kemudian

memilih untuk turun tangan menyelesaikan konflik yang ada.

Singkat cerita, keterlibatan militer dalam bidang politik ini disebutkan dilakukan

semata-mata untuk upaya stabilisasi perpolitikan domestik yang mulai mengalami

kekacauan akibat konflik etnis yang ada. Pihak militer yang sangat menjunjung tinggi

nilai nasionalisme tentu tidak menginginkan adanya imperialisme model baru oleh

kaum imigran terhadap tanah kelahirannya. Maka dari itu kalangan militer Fiji memilih

untuk masuk ke ranah politik membenahi sistem yang mulai kacau akibat institusi

politik tidak lagi bisa diharapkan. Namun jikalau kita berkaca pada konsep

profesionalisme militer, hal ini tentu menyalahi kodrat kalangan militer.

Jikalau ditilik sedikit jauh ke belakang, sebenarnya militer Fiji dinilai sudah

menunjukkan bahwa mereka cukup expertise dalam bidangnya. Hal ini dibuktikan jauh

sebelum tahun 1987 dan bahkan pasca 1987 (kudeta pertama), dimana militer bertindak

layaknya seorang teknisi yang bertugas dalam manajemen kekerasan. Dalam setiap

tindakan kudeta yang ia lakukan, militer tidak terlihat menggunakan tindak koersif

yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa militer Fiji masih menjunjung aspek

expertise-nya sebagai pawang kekerasan. Militer Fiji sendiri juga dirasa masih

menjunjung tinggi aspek social responsibility. Terlepas dari tindakan kudeta yang ia

lakukan, motif yang dimaksudkan untuk menjaga dan mengamankan hak etnis Fiji asli

sudah menunjukkan adanya bentuk tanggung jawab dan jiwa nasionalisme yang ia

miliki terhadap tanah airnya. Hal ini juga tergambar melalui salah satu tindak kudeta,

yakni pada tahun 1987 akibat kekecewaan militer atas kepemimpinan Timochi Bavadra

yang cenderung memarginalkan hak etnis Fiji asli. Hanya saja, militer Fiji dirasa belum

memenuhi aspek corporateness mengingat ia tidak menunjukkan mereka adalah

organisasi birokrasi yang berbeda dengan perangkat sipil pemerintahan negara. Hal ini

dapat dilihat melalui tindakan kudeta yang ia lakukan selama tiga kali (dalam kurun

waktu kurang dari 20 tahun) terhadap pemerintahan menjabat akibat ketidakpuasan

militer atas kinerja pemerintah yang ada.

Page 12: MILITARY ROLES IN FIJI

2. 3 Keberhasilan Kudeta Militer Fiji

Tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita selanjutnya dalam upaya memahami

bagaimana kemudian kudeta-kudeta militer yang terjadi di Fiji seolah langgeng

sehingga terus berhasil dalam pelaksanaannya. Dalam mencermati hal tersebut,

jawaban dapat ditelusuri melalui tiga faktor utama keberhasilan tindak campur tangan

militer, yakni: keterlibatan aktif perwira menengah yang menduduki posisi strategis,

anggota kompolotan yang jumlahnya cukup memadai untuk menghalau perlawanan,

serta arus koordinasi yang sistematik selagi melancarkan kudeta.17

Dalam kasus kudeta militer dapat kita cermati bahwa ada campur tangan aktif dari

perwira angkatan bersenjata yakni panglima angkatan bersenjata Fiji, Frank

Bainimarama. Selain itu, strategi ataupun taktik yang digunakan dalam melumpuhkan

lawan juga sangat cerdik. Pada kasus kudeta 2006 misalnya, blokade dilakukan di

sekeliling ibukota pada malam hari dengan mengerahkan lima truk berisikan tentara

yang dipersenjatai secara lengkap. Sementara itu, sehari sebelumnya tentara mengambil

persenjataan yang dimiliki polisi dengan dalih keamanan dan keselamatan, padahal

sebenarnya ialah usaha peredaman potensi pemberontakan. Selain itupula, tindak

kudeta dapat dengan mulus dilakukan akibat tidak adanya usaha perlawanan berarti dari

kubu sipil maupun militer itu sendiri.

BAB III

PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

17 E. A. Nordlinger, Militer dalam Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, p. 152.

Page 13: MILITARY ROLES IN FIJI

Kudeta yang dilakukan oleh militer Fiji beberapa kali terhadap pemerintah yang

menjabat telah berhasil menjadi bukti nyata atas ketidakprofesionalitasannya. Namun

demikian, keputusan militer untuk masuk ke ranah politik tidak semata-mata dilakukan

demi kepentingannya, tetapi untuk kepentingan etnis Fiji yang mereka anggap

termarginalkan haknya akibat sistem yang ada. Tindakan kudeta dan juga intervensi

politik ini juga sekaligus menjadi bukti kebobrokan dari institusi politik yang ada.

Ketidakmapanan institusi politik dalam menyelesaikan permasalahan domestiklah

yang menjadi justifikasi militer untuk campur tangan. Perwujudan dari institusi politik

di Fiji sendiri dapat dilihat melalui keberadaan partai politik, parlemen, ataupun kabinet

yang cenderung bersifat konfliktual akibat keberadaan isu ketidaksetaraan hak dan

distribusi kekuasaan antar etnis di Fiji yang mewarnai pergerakannya.

Pada kelanjutannya, tindakan kudeta ini akan terus berpotensi terjadi jikalau

pemerintahan sipil terpilih tidak segera berbenah memperbaiki sistem yang ada dan

mengembalikan militer pada nilai-nilai profesionalismenya. Jika tidak, potensi

terjadinya kudeta militer akan sangat besar terjadi tatkala militer merasa tidak puas

terhadap kinerja pemerintah yang menjabat. Supremasi sipil yang masih belum terlihat

jelas perlu ditilik ulang pengimplementasiannya dan harus semakin gencar ditegakkan

guna membendung pengaruh ataupun kekuatan militer untuk bisa kembali masuk ke

sektor politik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Dieter, N., Kamus Dunia Ketiga, Grasindo, Jakarta, 1994.

Page 14: MILITARY ROLES IN FIJI

Fraenkel, J., the 2006 Military Takeover in Fiji: A Coup to End All Coups?, ANU E Press,

Canberra, 2009.

Huntington, S. P., Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven,

1968.

Huntington, S.P. , The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil Military

Relations, Belknap Press, New York, 1957.

Lal, B. V., Islands of Turmoil: Elections and Politics in Fiji, ANU E Press, Canberra, 2006.

Nordlinger, E. A., Militer dalam Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 1994

Reilly, B., Constitutional Engineering and the Alternative Vote in Fiji, National Centre for

Development studies, Canberra, 1997.

Tam, A. H., ”Coercion and Governance in China: Analyzing Civil-Military Relations In The

Post Deng Era Using Multiah Alagappa’s Analytical Framework”, Lieutenant US

Navy, Thesis US NPS, MA in National Security Affairs, 2006.

Yamaguchi, N., dan Welch, D. A., “Soldiers, Civilians, and Scholars : Making Sense Of The

Relationship Between Civil-Military Relations and Foreign Policy”, ASIAN

Perspective, vol. 29, no.1, 2005.

Artikel Online

Admin, “Kudeta Militer Melanda Fiji”, Suara Merdeka-Internasional (daring), 6 Desember

2006, <http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/06/int01.htm>, diakses 10

Juni 2015.

Narsey, W., “Banimarama’s coup and claim of desire for ethnic equality: Separating facts

from fiction”, Fiji coupfourpointfive (online), 26 Maret 2012,

<http://www.coup5.com/2012/03/bainimaramas-coup-and-claim-of-desire.html>,

diakses 08 Juni 2015.

Sherlock, S.,“Constitutional and Political Change in Fiji”, Parliament of Australia (online),

11 November 1997,

<http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/

Parliamentary_Library/pubs/rp/RP9798/98RP07>, diakses 10 Juni 2015.

Shinaga, S., “Fiji, Negeri Langganan Kudeta”, detikNews (daring), 5 Desember 2006,

<http://news.detik.com/read/2006/12/05/164353/716478/10/fiji-negeri-

langganan-kudeta>, diakses 10 Juni 2015.

Page 15: MILITARY ROLES IN FIJI

U.S. Department of State, “Fiji (10/07)”, U.S. Department of State (online),

<http://www.state.gov/outofdate/bgn/fiji/94973.htm>, diakses 11 Juni 2015.