Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

21
Mewujudkan Sistem Perpajakan yang Adil di Indonesia Fajar Adhi Partomo IXB/11 DIV Akuntansi Reguler, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Tangerang Selatan email: [email protected] , Tema: Kebijakan Penerimaan Abstrak Di dalam struktur APBN, Penerimaan Pajak saat ini masih menjadi primadona pada sektor penerimaan. Salah satu fungsi dari pajak tersebut adalah sebagai fungsi “budgetair” yakni digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam rangka pembangunan negara. Walaupun penerimaan pajak menduduki peran yang sangat penting dan keberadaannya dapat dipaksakan, sistem perpajakan harus dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip yang relevan. Salah satu prinsip tersebut adalah prinsip keadilan (equity). Pajak diharapkan dapat menjadi sebuah alat distribusi pendapatan yang lebih “fair” dan mampu mengurangi kesenjangan sosial yang timbul di masyarakat. Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan yang harus dihadapi pemerintah dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil. Kata Kunci – penerimaan pajak, prinsip keadilan 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di dalam APBN 2014, pemerintah ditargetkan untuk dapat mengumpulkan penerimaan negara senilai Rp 1.667,1 triliun di mana penerimaan pajak sendiri ditargetkan sebesar Rp 1.110,2 triliun atau sekitar 66,67% dari total penerimaan negara. Hal tersebut membuktikan bahwa penerimaan pajak masih menjadi tulang punggung bagi penerimaan negara. Gambar berikut akan memberikan penjelasan mengenai komposisi penerimaan negara pada APBN 2014. Adam Smith dalam bukunya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” menyebutkan bahwa ada beberapa asas pemungutan pajak yang lazim disebut dengan “The Four Cannons Maxims Taxation”. Kebijakan perpajakan harus berlandaskan pada keempat prinsip yang disebutkan oleh Adam Smith. Keempat prinsip tersebut adalah 1) prinsip keadilan/equity, 2) prinsip

description

SKP

Transcript of Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

Page 1: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

Mewujudkan Sistem Perpajakan yang Adil di Indonesia

Fajar Adhi PartomoIXB/11 DIV Akuntansi Reguler, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Tangerang Selatan

email: [email protected], Tema: Kebijakan Penerimaan

Abstrak – Di dalam struktur APBN, Penerimaan Pajak saat ini masih menjadi primadona pada sektor

penerimaan. Salah satu fungsi dari pajak tersebut adalah sebagai fungsi “budgetair” yakni

digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam rangka pembangunan negara.

Walaupun penerimaan pajak menduduki peran yang sangat penting dan keberadaannya dapat

dipaksakan, sistem perpajakan harus dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip yang relevan. Salah satu

prinsip tersebut adalah prinsip keadilan (equity). Pajak diharapkan dapat menjadi sebuah alat

distribusi pendapatan yang lebih “fair” dan mampu mengurangi kesenjangan sosial yang timbul di

masyarakat. Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan yang harus dihadapi

pemerintah dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil.

Kata Kunci – penerimaan pajak, prinsip keadilan

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang MasalahDi dalam APBN 2014, pemerintah ditargetkan untuk dapat mengumpulkan penerimaan

negara senilai Rp 1.667,1 triliun di mana penerimaan pajak sendiri ditargetkan sebesar Rp 1.110,2 triliun atau sekitar 66,67% dari total penerimaan negara. Hal tersebut membuktikan bahwa penerimaan pajak masih menjadi tulang punggung bagi penerimaan negara. Gambar berikut akan memberikan penjelasan mengenai komposisi penerimaan negara pada APBN 2014.

Adam Smith dalam bukunya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” menyebutkan bahwa ada beberapa asas pemungutan pajak yang lazim disebut dengan “The Four Cannons Maxims Taxation”. Kebijakan perpajakan harus berlandaskan pada keempat prinsip yang disebutkan oleh Adam Smith. Keempat prinsip tersebut adalah 1) prinsip keadilan/equity, 2) prinsip kepastian/certainty, 3) prinsip kenyamanan (convenience), dan 4) prinsip ekonomi/economy.

Untuk dapat menerapkan sistem perpajakan yang adil, pemerintah harus mendefiniskan terlebih dahulu, konsep pajak yang adil itu seperti apa. Keadilan yang diterima oleh kelompok masyarakat tertentu, belum berarti adil bagi kelompok masyarakat yang lain. Bahkan terkadang konsep keadilan merupakan sesuatu yang harus dikorbankan (trade-off) semata-mata hanya untuk mencapai target penerimaan sesuai dengan APBN yang telah ditetapkan.

Prinsip keadilan di sini dilakukan dalam rangka distribusi pendapatan yang lebih “fair” di mana individu yang memiliki penghasilan lebih besar (obyek pajak yang lebih besar pula) daripada individu yang lain diharuskan membayar pajak yang lebih besar. Distribusi pendapatan tersebut dilaksanakan melalui metode APBN dan dimanfaatkan untuk membiayai kepentingan-kepentingan publik seperti belanja pegawai, belanja barang, dan belanja infrastruktur/modal.

Page 2: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

Penerapan sistem perpajakan yang adil merupakan kondisi ideal yang diinginkan bagi pemerintah sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial yang ada di dalam masyarakat. Namun demikian, masih terdapat kendala-kendala yang harus dihadapi untuk mewujudkan sistem perpajakan yang adil. Pemerintah harus mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dirasa dapat diterapkan untuk melewati tantangan-tantangan ke depan dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai bagaimana seharusnya penerapan sistem perpajakan yang adil di Indonesia.

1.2. Latar Belakang MasalahMaksud dari penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai kriteria-kriteria

suatu sistem perpajakan dikatakan telah memenuhi prinsip keadilan (equity). Gambaran tersebut meliputi definisi adil, kriteria yang harus dipenuhi, kendala-kendala yang dihadapi, dan alternatif kebijakan sebagai solusi dari permasalahan yang ada.

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai pembelajaran bagi praktik perpajakan yang baik di Indonesia pada umumnya, dan sebagai motivasi penulis untuk senantiasa ikut serta berupaya mewujudkan sistem perpajakan yang adil di Indonesia.

1.3. Perumusan MasalahBerikut adalah beberapa permasalahan yang akan dibahas.

1. Bagaimana praktik sistem perpajakan yang ada sekarang di Indonesia?2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam penerapan sistem perpajakan yang adil di

Indonesia?3. Bagaimana alternatif solusi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi

permasalahan yang ada dalam rangka mewujudkan sistem perpajakan yang adil?

2. LANDASAN TEORI

2.1. Definisi Keadilan PerpajakanTidak terdapat literatur yang menyebutkan definisi secara pasti mengenai keadilan

perpajakan. Berikut adalah definisi keadilan perpajakan (tax fairness) yang dikutip dari Investopedia.

“A tax platform based on ideal that aims to create a system of taxation that is fair, clear, and equivalent for all taxpayers. Overall, tax fairness looks to limit the amount of tax legislation and rules that benefit one segment of the tax-paying population over another.”

Penjelasan di atas berarti bahwa keadilan perpajakan dibentuk dari platform perpajakan yang ideal yang bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, jelas, dan ekuivalen/setara terhadap seluruh pembayar pajak. Keadilan perpajakan terlihat seperti membatasi jumlah peraturan perpajakan yang menguntungkan salah satu segmen dari populasi pembayar pajak di atas pembayar pajak yang lain.

2.2. Prinsip Keadilan dalam PajakDi dalam bukunya yang berjudul “Introduction to Tax Policy Design and Development”,

Richard M. Bird dan Eric M. Zolt juga mengemukakan peran perpajakan dalam rangka mewujudkan prinsip keadilan. Keadilan tersebut diwujudkan dengan tidak adanya kesenjangan sosial di antara masyarakat.

“National governments do not need taxes to secure funds because they can simply print the money required to fund operations. The tax system can be viewed as a mechanism to take money away from the private sector in as efficient, equitable, and a administratively inexpensive way as possible.”

Page 3: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

Sunarsip dkk. dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Keuangan Publik” menyebutkan bahwa prinsip keadilan adalah prinsip yang menekankan bahwa beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan relatif masyarakat. Jumlah nominal pajak yang dibayarkan oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah harus lebih kecil dari golongan masyarakat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, sistem perpajakan diharapkan dapat menjadi sebuah alat distribusi pendapatan secara lebih “fair”.

Namun demikian, keadilan pajak bagi satu orang belum tentu dirasa adil bagi yang lain. Oleh karena itu, dalam pembahasan lebih lanjut, Sunarsip dkk. menghubungkan prinsip keadilan dengan kemampuan masyarakat untuk membayar (ability to pay) sehingga keadilan di dalam pajak dibedakan ke dalam dua bentuk berikut.a) Keadilan Horizontal - keadilan perpajakan akan terwujud di mana orang-orang yang

mempunyai kemampuan yang sama harus membayar dengan jumlah yang sama. Dengan kata lain, pengenaan pajak terhadap seseorang harus lebih rendah dari kemampuannya membayar. Sebagai contohnya adalah pajak yang dikenakan terhadap penjual pakaian di pasar harus lebih rendah daripada hasil penjualan yang didapat.

b) Keadilan Vertikal - keadilan perpajakan akan terwujud di mana orang-orang yang mempunyai kemampuan yang lebih besar harus membayar pajak dengan jumlah yang lebih besar pula. Orang akan dikenakan pajak secara proporsional mengikuti kemampuan membayarnya.

Di dalam jurnal yang berjudul “The Influence of Tax Fairness and Communication on Voluntary Compliance: Trust as an Intervening Variable” disebutkan gambaran keadilan pajak dari perspektif yang lain. Pada dasarnya, keadilan perpajakan terbagi menjadi dua, keadilan distributif dan keadilan prosedural. Keadilan distributif berkaitan dengan hasil pertukaran sumber daya atau bagaimana pajak dibayar dan digunakan, sedangkan keadilan prosedural berkaitan dengan bagaimana sistem perpajakan bekerja dan kontribusi dari badan lembaga perpajakan.

Dari ketiga sumber di atas, secara singkat prinsip keadilan dalam perpajakan memiliki pengertian yang berbeda. Adil bisa berarti pengenaan pajak seseorang tidak boleh melebihi dari penghasilan yang didapatnya. Orang yang memiliki penghasilan yang sama, maka jumlah pajaknya pun juga harus sama (keadilan horizontal). Di lain pihak, adil bisa berarti bahwa pengenaan pajak disesuaikan dengan proporsi penghasilan yang didapat oleh setiap orang. Orang berpenghasilan besar seharusnya dikenakan pajak yang lebih besar pula daripada orang lain yang berpenghasilan lebih rendah. Selain itu, konsep adil juga dapat dilihat dari bagaimana pajak tersebut dibayar dan digunakan dalam anggaran serta bagaimana sistem perpajakan dan kontribusi lembaga perpajakan dalam mengumpulkan penerimaan pajak.

2.3. Tri Dharma PerpajakanKonsep “Tri Dharma Perpajakan” ini masih berkaitan erat dengan penerapan keadilan di

dalam sistem perpajakan. Di dalam konsep ini disebutkan bahwa terdapat tiga cara bertindak dalam perpajakan. Pemungutan pajak yang sebaik-baiknya adalah pemungutan pajak yang:a) meliputi segenap subyek-subyek pajak yang seharusnya,b) meliputi obyek pajak yang semestinya, dan c) tepat pada waktunya.

Tri Dharma Perpajakan ini dahulu dipergunakan sebagai pegangan dalam cara pemungutan pajak yakni pada saat Indonesia masih menganut Sistem Penetapan atau Sistem Kohir. Tri Dharma di sini pada hakikatnya sejalan dengan asas umum dalam pemungutan

Page 4: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

pajak yaitu prinsip keadilan horizontal, prinsip kesederhanaan, dan kemudahan dalam pemungutan pajak (www.pajak.go.id).

Dari sumber yang lain disebutkan bahwa, Tri Dharma Perpajakan juga berarti sebagai berikut.a) Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek

perpajakan. (sifatnya universal atau nondiskriminatif).b) Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu

bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada Undang-Undang terlebih dahulu.c) Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya,

yakni pada saat orang memiliki uang (asas convenience dan efisiensi).

3. PEMBAHASAN MASALAH

3.1. Sistem Perpajakan yang AdaBerikut beberapa beberapa kebijakan perpajakan yang menurut penulis telah

mencerminkan prinsip keadilan perpajakan di Indonesia.3.1.1. Reformasi Perpajakan

Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan. Reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Tentu saja dengan memperhatikan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan (equality), kesederhanaan (simplicity), dan keadilan (fairness), sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro. Adapun langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi :1. Langkah-langkah pembaruan kebijakan (tax policy reform); melalui Perubahan UU

PPh, Perubahan UU PPN dan PPnBM, Perubahan UU PBB, Perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih dititik-beratkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

2. Langkah-langkah pembaruan administrasi perpajakan (tax administrative reform); meliputi:a) penyempurnaan peraturan pelaksanaan undang-undang perpajakan;b) pembentukan dan perluasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) khusus Wajib Pajak

(WP) Besar (Large Taxpayer Office, LTO), diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi, pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan fungsi, dan implementasi dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance;

c) pembangunan KPP khusus WP menengah, dan KPP khusus WP kecil di Kanwil VI Direktorat Jenderal Pajak;

d) pengembangan basis data, pembayaran pajak dan penyampaian SPT secara online;

e) perbaikan manajemen pemeriksaan pajak; sertaf) peningkatan efektivitas penerapan kode etik di jajaran Direktorat Jenderal Pajak

dan Komisi Ombudsman Nasional.

Reformasi perpajakan pertama, tahun 1983, pembaharuan pajak telah dilakukan sejak tanggal 1 Januari 1984 dengan diundangkannya :

Page 5: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), berlaku sejak 1 Januari 1984;

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh 1984), berlaku sejak 1 Januari 1984;

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN 1984), direncanakan dibelakukan tahun 1984 namun baru diberlakukan mulai 1 April 1985;

4. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi (UU PBB) dan Bangunan, diberlakukan mulai tahun 1995; dan

5. Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (UU BM), diberlakukan mulai tahun 1995.

Reformasi undang-undang perpajakan tersebut benar-benar mengganti perpajakan warisan Belanda seperti Pajak Perseroan 1944. Adapun perubahan yang telah dilakukan adalah:1. UU KUP telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994 (perubahan pertama), UU No.

16 Tahun 2000 (perubahan kedua) dan UU No. 28 Tahun 2007 (perubahan ketiga).2. UU PPh 1984 telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1991 (perubahan pertama), UU

No. 10 Tahun 1994 (perubahan kedua), UU No. 17 Tahun 2000 (perubahan ketiga) dan UU No. 36 Tahun 2008 (perubahan keempat).

3. UU PPN dan PPn BM 1984 telah diubah dengan UU No. 11 tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 18 tahun 2000 (perubahan kedua) dan UU No. 42 Tahun 2009 (perubahan ketiga).

4. UU PBB telah diubah dengan UU No. 12 tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 20 tahun 2000 (perubahan kedua) dan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 (perubahan terakhir)

3.1.2. Tarif PajakTarif pajak berlaku berbeda-beda sesuai dengan jenis pajak yang dimaksud.

Berikut penulis sajikan beberapa perubahan tarif pajak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka mewujudkan keadilan, baik keadilan vertikal maupun horizontal.1) PPh

Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 36 Tahun 2008 adalah: 1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Penurunan tarif PPh ini untuk

mengimbangi tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30%

dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.

b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa

Page 6: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

c. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.

d. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.

e. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.

f. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.

2. Pembebasan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang telah mempunyai NPWP fiskal sejak 2009 serta penghapusan pemungutan fiskal luar negeri pada tahun 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

3. Peningkatan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.

4. Penerapan tarif pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWPa. Pengenaan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang

menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 21.

Page 7: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

b. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 23.

c. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 22

5. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto. a. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan

infrastruktur sosialb. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan

yang dilakukan di Indonesia.c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya

wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

6. Pengecualian dari objek PPh a. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang

bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.

b. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.

c. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak

7. Penegasan surplus Bank Indonesia sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

9. Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP OP) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.

10. Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%. UU PPh nomor 36 tahun 2008 berlaku efektif per 1 Januari 2009, dimana tarif PPh Badan menggunakan tarif tunggal 28% untuk tahun pajak 2009 (Pasal 17 ayat 1 huruf b) dan berubah menjadi 25% untuk tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat (2a)).

Page 8: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

11. Sesuai Pasal 31E ayat (1) menyatakan bahwa : Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

2) PPN dan PPn BMKetentuan sebelumnya, sesuai UU NO. 18/2000 tentang PPN dan PPnBM,

menyebutkan perubahan tarif PPN cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan menteri. Namun kewenangan tersebut dicabut pada UU PPN dan PPn BM yang baru disahkan DPR.

Ketentuan sebelumnya, sesuai UU NO. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan tarif PPN cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan menteri sedangkan untuk ketentuan yang baru, dalam pasal 8 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, penetapan kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah dengan tarif PPnBM paling rendah 10% dan maksimal 200%, wajib melalui Peraturan Pemerintah. sedangkan untuk tarif PPN diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, tarif PPN yang ditetapkan 10% dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. UU No. 42 Tahun 2009 secara resmi berlaku sejak 1 April 2010.

3) Pajak Bumi dan BangunanTarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk Perdesaan dan Perkotaan diturunkan

dari 0,5 persen terhadap nilai jual obyek pajak menjadi paling tinggi 0,3 persen dari NJOP. Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB. Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013.

Selain mengubah besaran tarifnya, UU ini juga menetapkan aturan baru tentang Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Sebelumnya, NJKP ditetapkan 20-100 persen dari NJOP yang sudah dikurangi NJOPTKP, kini aturan tersebut tidak dipergunakan lagi

3.1.3. Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) PPh OPUntuk mengurangi dampak perkembangan ekonomi dan moneter serta harga

kebutuhan pokok yang semakin meningkat yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, dilakukan penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang PPh, memberi wewenang Menteri Keuangan untuk menetapkan penyesuaian besarnya PTKP setelah dikonsultasikan dengan DPR.

Setelah berkonsultasi dengan DPR, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya PTKP yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2013. Penyesuaian PTKP ini memperbarui besaran PTKP menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang telah berlaku mulai 1 Januari 2009.

Besarnya PTKP disesuaikan menjadi sebagai berikut.

Page 9: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

KeteranganPTKP per Tahun (Rp)

Lama Baru

Diri Wajib Pajak Orang Pribadi 15.840.000,00 24.300.000,00

Tambahan untu WP yang kawin 1.320.000,00 2.025.000,00

Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami

15.840.000,00 24.300.000,00

Tambahan untuk setiap tanggunga (maksimal 3 orang) 1.320.000,00 2.025.000,00

Penyesuaian besarnya PTKP diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang akan berdampak pada peningkatan produk domestik bruto nasional, baik melalui konsumsi maupun peningkatan tabungan. Selain itu, kenaikan ini menjadi salah satu strategi makroekonomi pemerintah untuk menekan tingkat inflasi yang terus merangkak naik dan untuk memberikan stimulus konsumsi domestik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. meningkatnya konsumsi dalam negeri, dengan adanya kenaikan batas PTKP, maka

daya beli masyarakat akan naik, karena biasanya uang penghasilan yang didapat dialokasikan atau dipotong untuk membayar pajak, sekarang bisa mengalokasikan nya untuk dikonsumsi atau dibelanjakan.

meningkatnya tabungan atau saving masyarakat, uang yang sebelumnya digunakan untuk membayar Pajak Penghasilan bisa ditabung, apabila tidak dibelanjakan, dengan adanya peningkatan tabungan dari masyarakat maka akan menjadi keuntungan bagi perbankan untuk dapat memutarkan kembali uang tersebut, dalam bentuk pinjaman kredit usaha mikro, pembiayaan ciclan kredit properti dan lain sebagainya, sehingga bisa menggerakkan roda perekonomian bangsa.

memberikan perlindungan dan keringanan kepada masyarakat berpenghasilan rendah seperti buruh yang memperoleh penghasilan dibawah Rp 2 juta, agar tidak merasa terbebani lagi dengan harus membayar pajak.

3.1.4. Sensus Pajak NasionalSecara sederhana, yang dimaksud dengan Sensus Pajak Nasional adalah kegiatan

pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak dengan mendatangi subjek pajak (orang pribadi atau badan) di seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. SPN dilaksanakan dengan tujuan untuk:a) Perluasan basis pajakb) Peningkatan penerimaan pajakc) Peningkatan jumlah penerimaan SPT Tahunan PPhd) Pemutakhiran data WP

Beberapa kegiatan utama yang dilakukan pada saat melaksanakan Sensus Pajak Nasional adalah 1) pendataan pemilikan NPWP, 2) konsultasi perpajakan, 3) sosialisasi hak dan kewajiban Wajib Pajak, serta 4) pengawasan kepatuhan kewajiban Wajib Pajak. Oleh karena itu diharapkan masyarakat dapat mendukung program SPN ini, dengan berpartisipasi menyampaikan data dan informasi melalui pengisian Formulir Isian

Page 10: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

Sensus (FIS). Setiap orang pribadi dan badan usaha yang disensus wajib memberikan keterangan yang benar.

Mengapa Sensus Pajak Nasional perlu dilakukan? Pertimbangan utama dari pelaksanaan sensus adalah untuk menghimpun informasi yang lebih komprehensif dengan menitikberatkan pada aspek sosialisasi, edukasi dan pelayanan. Petugas pajak berkewajiban untuk mengingatkan kewajiban perpajakan saja, sementara mekanisme pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan termasuk sanksinya telah diatur dalam Undang-Undang Perpajakan.

Tujuan dari Sensus Pajak Nasional adalah untuk menjaring seluruh potensi perpajakan dalam rangka Tri Dharma Perpajakan yaitu seluruh Wajib Pajak terdaftar, seluruh objek pajak dipajaki, dan pelaksanaan kewajiban perpajakan tepat waktu dan tepat jumlah. Pemenuhan Tri Dharma Perpajakan inilah merupakan salah satu unsur keadilan yang diusahakan untuk dapat diwujudkan.

3.2. Kendala Penerapan Sistem Perpajakan yang AdilDari beberapa kebijakan yang telah dilakukan di bidang perpajakan, perwujudan

keadilan dalam sistem perpajakan masih mendapatkan beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut misalnya adalah sebagai berikut.3.2.1. Kurang adanya Political Will

Perwujudan keadilan dalam sistem perpajakan merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dalam menerapkan sila kelima dalam Pancasila (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) sekaligus penerapan Tri Dharma Perpajakan. Namun demikian, seringkali pajak dipandang sebagai sebuah “alat” untuk memperoleh penerimaan yang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan sisi keadilan.

Dalam kasus-kasus tertentu, keinginan yang kuat dari para pimpinan untuk melakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib-Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan pembuat kebijakan menjadi sedikit “tumpul”. Amanat peraturan perpajakan mengharuskan pembayaran pajak yang lebih disesuaikan dengan penghasilan Wajib Pajak yang sebenarnya. Akan tetapi dikarenakan political will yang belum begitu kuat, potensi penerimaan pajak menjadi berkurang karena tidak dilakukannya pemeriksaan pajak misalnya.

3.2.2. Keterbatasan Sumber Daya ManusiaPerbandingan antara jumlah petugas pajak dengan jumlah Wajib Pajak di

Indonesia menginjak angka perbandingan yang mencolok jauh. Jumlah Wajib Pajak sampai dengan saat ini berkisar di angka 24.000.000 Wajib Pajak, sedangkan untuk petugas pajaknya masih berkisar pada angka 30.000. Bisa dibayangkan bahwa rasio fiskus dengan Wajib Pajak adalah 1 : 800 (0.125%). Dari 30.000 petugas pajak, hanya sekitar 3.000 orang yang bertugas sebagai pemeriksa.

Kurangnya sumber daya manusia sebagai petugas pajak menyebabkan proses pengawasan, pemeriksaan, dan administrasi pajak menjadi kurang maksimal. Penggalian potensi dan pengawasan kewajiban perpajakan yang dilakukan terhadap pembayaran dan pelaporan pajak Wajib Pajak harus dipilih mana yang merupakan prioritas untuk meningkatkan penerimaan negara, belum ke arah keadilan pajak sepenuhnya. Dalam artian potensi penerimaan perpajakan masih diprioritaskan pada 100 pembayar pajak terbesar untuk masing-masing kantor pajak, misalnya.

Page 11: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

3.2.3. Kurangnya Akses terhadap Data PerbankanKurangnya akses terhadap data perbankan dirasakan oleh Ditjen Pajak, Fuad

Rahmany, sebagai permasalahan yang serius. Indonesia masih menjadi negara yang belum berani membuka akses perbankan Wajib Pajaknya. Rekening bank data Wajib Pajak selama ini hanya dapat diakses apabila terjadi pemeriksaan pajak, dalam artian perlu menunggu adanya status Lebih Bayar pada SPT PPh yang dilaporkan oleh Wajib Pajak bersangkutan. Menurut Fuad Rahmany, seharusnya data perbankan dapat menjadi dasar pemeriksaan, bukan sebaliknya pemeriksaan dulu baru pembukaan data rekening (sumber: http://www.pajak.go.id/node/9376?lang=en)

Pemberian akses terhadap data perbankan, selain dapat mewujudkan keadilan perpajakan, sekaligus dapat meningkatkan tax ratio di Indonesia. Harapannya adalah, dengan mendapatkan akses yang cukup, tax ratio Indonesia dapat ditingkatkan mendekati angka 16 s/d 17%.

3.2.4. Pengawasan Law EnforcementDengan dilakukannya reformasi birokrasi perpajakan, bukan berarti jalan menuju

keadilan perpajakan akan menjadi lancar tanpa hambatan. Penegakan keadilan seharusnya juga memiliki sistem pengawasan yang konsisten dan tegas. Sistem dan peraturan yang sudah memadai, tidak akan berjalan efektif apabila tidak terdapat sistem pengawasan yang siap sedia setiap waktu.

Faktor sumber daya manusia yang terbatas, tidak dipungkiri mempengaruhi adanya skala prioritas dalam penegakan aturan perpajakan. Selama hal tersebut mampu meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan dengan biaya yang seefisien mungkin, maka kebijakan tersebut akan dilakukan. Hal tersebut mencerminkan bahwa terkadang pertimbangan pencapaian target penerimaan lebih didahulukan daripada perwujudan keadilan perpajakan. Pemenuhan pajak oleh Wajib Pajak badan cenderung lebih diawasi daripada Wajib Pajak Orang Pribadi. Dalam hal ini, diperlukan adanya otoritas atau bagian pengawasan dari penegakan aturan perpajakan itu sendiri.

3.2.5. Adanya Moral HazardPenulis berkeyakinan bahwa, bagaimanapun bagusnya sistem perpajakan yang

dirancang, apabila pihak-pihak yang berkepentingan dalam perpajakan masih terdapat gangguan berupa moral hazard maka keadilan perpajakan tetap tidak akan terwujud. Gangguan tersebut dapat berupa godaan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ditawarkan oleh Wajib Pajak ataupun kenakalan oknum pajak tertentu yang sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan terhadap pemeriksaan Wajib Pajak.

Kurangnya pengawasan terhadap law enforcement juga ikut berpengaruh terhadap adanya gangguan moral hazard tersebut. Tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya terjadi dari adanya niat, tetapi karena juga adanya kesempatan. Hal tersebut terbukti, setelah dijalankannya reformasi perpajakan, masih terdapat beberapa oknum pajak yang tertangkap dan terbukti bersalah di pengadilan terkait dengan kasus korupsi.

3.3. Alternatif SolusiDari pembahasan permasalahan di atas, berikut adalah beberapa alternatif solusi yang

dapat dilakukan.3.3.1. Penyamaan visi dan misi para pemegang kekuasaan dalam rangka perwujudan

sistem perpajakan yang adil

Page 12: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

Diperlukan kesepakatan bersama antar pemimpin yang menjadi pemegang kekuasaan negara, yakni Presiden dan kabinet di dalamnya untuk menyadari bahwa keadilan perpajakan merupakan tujuan utama yang ingin dicapai oleh sistem pajaknya.

Setelah disepakati bersama, diharapkan keadilan perpajakan akan menjadi prioritas utama dan petugas pajak akan senantiasa memfokuskan segala daya upayanya untuk menegakkan keadilan perpajakan didukung dengan dasar hukum yang kuat tentunya.

3.3.2. Menambah jumlah pegawai pajak, terutama bagi pemeriksa dan account representative

Penambahan petugas pajak memang menjadi solusi instan dalam jangka pendek dan diharapkan dengan penegakan hukum dan pengawasan yang tegas akan semakin menguatkan tujuan keadilan perpajakan dalam jangka panjang. Dengan tambahan sekitar 60.000 petugas pajak yang telah diusulkan oleh Ditjen Pajak perlu dipertimbangkan. Diharapkan dengan adanya tambahan petugas pajak, pengawasan dan pemeriksaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat menjadi lebih fokus.

3.3.3. Perlunya dasar hukum atas akses perbankanDengan adanya political will, diharapkan timbul kesepakatan dengan badan

legislatif untuk membuat suatu rancangan Undang-Undang yang memberikan hak kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam hal pembukaan rekening Wajib Pajak untuk kepentingan pajak.

3.3.4. Pemberian kewenangan yang lebih kepada Direktorat Jenderal PajakPemberian kewenangan yang lebih kepada DJP ditujukan untuk memberikan

kebebasan dalam bidang anggaran, regulasi, dan kebijakan terkait dengan sumber daya manusia dan kinerja yang akan dilakukan. Menurut penelitian Taliercio (2000), pemberian otonomi dimaksudkan untuk menjadikan otoritas perpajakan lebih kompeten, efisien, dan adil. Selain itu, kebijakan ini dapat menjadikan organisasi lebih independen sehingga dapat mengurangi tekanan politik terhadap otoritas pajak itu sendiri. Terkait dengan hal ini, OECD membuat kajian yang didalamnya terdapat sembilan jenis kewenangan yang dimiliki oleh otoritas perpajakan di berbagai negara yaitu: membuat peraturan, memberikan pembebasan sanksi/bunga, mendesain struktur organisasi, mengalokasikan anggaran, pengalokasian pegawai, menetapkan tingkat pelayanan, mengusulkan kriteria pegawai, merekrut dan memberhentikan pegawai, dan menegosiasikan tingkat gaji pegawai.

Berdasarkan kajian tersebut, Direktorat Jenderal Pajak belum mempunyai kewenangan terkait mendesain struktur organisasi, mengalokasikan anggaran, merekrut dan memberhentikan pegawai, dan menegosiasikan tingkat gaji pegawai.

3.3.5. Perbaikan sistem informasi dan basis dataData perpajakan yang valid dan up-to-date akan memberikan gambaran mengenai

pemenuhan kewajiban perpajakan yang valid pula dan dapat menjadi dasar yang dapat dipercaya bagi produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak, misalnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Perbaikan sistem informasi tersebut harus

Page 13: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

dilakukan dengan metode bottom-up, dengan melihat kondisi di lapangan bagaimana kekurangan yang masih terdapat dalam sistem informasi masing-masing satuan kerja.

Penyatuan data perpajakan di satu tempat, seperti data profil Wajib Pajak, penggalian potensi, pembayaran pajak, pelaporan pajak, tunggakan pajak, dan data perbankan merupakan idaman yang diharapkan akan segera terwujud. Data tersebut tentunya harus terintegrasi dengan data yang tersedia pada instansi-instansi terkait, misalnya data kendaraan bermotor yang dimiliki (POLRI), data izin industri (Kemenperin), data persebaran tambang dan kontrak kontraktor kerja sama/KKKS (Kementerian ESDM) dan data izin kerja (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).

4. KESIMPULAN

Perwujudan sistem perpajakan yang adil, baik secara vertikal maupun horizontal, telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui berbagai cara. Beberapa cara yang telah dilakukan adalah dengan melakukan reformasi perpajakan, perbaikan tarif pajak, penyesuaian penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk PPh OP, dan pelaksanaan sensus perpajakan. Beberapa kebijakan tersebut telah memberikan secercah harapan untuk dapat menegakkan keadilan perpajakan yang tertuang dalam Tri Dharma Perpajakan, yakni meliputi seluruh subyek pajak yang seharusnya, obyek pajak yang semestinya, dan tepat pada waktunya.

Namun demikian masih terdapat kendala dalam penerapan keadilan perpajakan, seperti kurang adanya political will dari pimpinan, keterbatasan sumber daya manusia, kurangnya akses terhadap data perbankan, kurangnya law enforcement, dan adanya moral hazard. Atas kendala-kendala di atas, penulis memberikan alternatif solusi yang dapat dilakukan yakni melakukan kesepakatan atas visi dan misi para pemegang kekuasaan dalam rangka perwujudan sistem perpajakan yang adil, menambah jumlah pegawai pajak, menerbitkan dasar hukum atas akses perbankan, memberikan kewenangan yang lebih kepada Direktorat Jenderal Pajak, dan melakukan perbaikan sistem informasi dan basis data. Diharapkan dengan dilakukannya alternatif solusi di atas dapat mendukung terwujudnya sistem perpajakan yang adil di Indonesia.

Page 14: Mewujudkan Sistem Perpajakan Yang Adil Di Indonesia

DAFTAR REFERENSI

Dasar-Dasar Keuangan Publik. Sunarsip, dkk.LPKPAP BPPK.Jakarta.

http://www.antaranews.com/berita/413632/ditjen-pajak-harapkan-tambahan-60000-pegawai-baru

http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/11/19/membangun-perpajakan-yang-adil-610986.html

http://hukum.kompasiana.com/2013/07/06/pajak-rokok-pajak-daerah-dan-four-maxim-adam-smith-574602.html

http://www.investopedia.com/terms/t/tax_fairness.asp

http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Advertorial%20APBN%202014_061213.pdf

http://www.pajak.go.id/content/article/kewenangan-otoritas-pajak-untuk-meningkatkan-tax-ratio

http://www.pajak.go.id/content/sutan-bhatoegana-pajak-harus-adil-dan-berkeadilan

http://www.pajak.go.id/node/9376?lang=en

http://pajak98.wordpress.com/2009/03/30/setoran-pajak-minim-karena-kurang-fiskus/

Introduction to Tax Policy Design and Development. Bird, Richard M. & Zolt, Eric M. April 2003

Paper Kelompok 7 Kelas IX B Akuntansi Reguler: Kebijakan Penerimaan