METODOLOGI HUKUM MUHAMMAD SHAHRUR: Tafsir Ḥadd Pencurian ...
Transcript of METODOLOGI HUKUM MUHAMMAD SHAHRUR: Tafsir Ḥadd Pencurian ...
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam 218
Vol. 1, No. 2, Desember 2016
E-ISSN: 2502-6593
METODOLOGI HUKUM MUHAMMAD SHAHRUR:
Tafsir Ḥadd Pencurian dalam QS. Al-Mā’idah (5): 38
Nursyamsudin
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon
Email: [email protected]
Abstract
Apakah QS. Al-Maidah ayat 38 benar-benar mengharuskan hukuman potong tangan bagi
pelaku pencurian? Dalam merespon masalah ini, Muhmammad Shahrur menawarkan sebuah
konsepsi tentang hukuman pelaku tindak pidana pencurian dengan menerapkan konsep batas
maksimal. Bagi Shahrur, pemotongan tangan baru bisa dilakukan ketika seorang pencuri
sudah melakukanya secara berulang kali dan tanpa adanya penyesalan. Sharur mengenalkan
suatu teori yang kemudian dikenal dengan naẓariyyah al-ḥudūd (Theory of Limit) yaitu teori
batas. Sejalan dengan teori ini, tidak diperkenenkan menjatuhkan hukuman lebih berat dari
potong tangan namun sangat dimungkinkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan.
Kata Kunci: Muhammad Shahrur, hermeneutik, teori batas, potong tangan
Abstract
Does QS. Al-Maidah verse 38 actually require the punishment of hand amputation for theft
perpetrators? In response to this problem, Muhmammad Shahrur offers a conception of
criminal punishment of theft by implementing the concept of a limit. For Shahrur, amputation
of limbs can only be done when a thief already do it repeatedly and without remorse. Sharur
district introduced a theory that became known as naẓariyyah al-ḥudūd (Theory of Limit),
namely the theory of limits. In line with this theory, not diperkenenkan heavier sentence than
cutting off hands, but it is possible to impose a lighter sentence.
Keywords: Muhammad Shahrur, hermeneutic, theory of limit, hand amputation
Nursyamsudin 219
Pendahuluan
Secara fenomenologis, Islam adalah
apa saja yang dikatakan orang Islam tentang
itu sebagaimana adanya dan ajaran Islam
adalah apa saja yang dipercaya oleh orang
Islam sebagai yang seharusnya.1 Asumsi
yang demikian ini sangat beralasan
mengingat beberapa hal berikut: Pertama,
dari segi tematik produk pemikiran hukum
Islam memiliki karakteristik yang dinamis.
Kedua, dinamisasi pemikiran hukum Islam
secara historis terus berlangsung hingga saat
ini, meskipun dalam banyak normatifitas
hukum Islam selalu merujuk pada teks-teks
otoritatif Qur`an dan hadits. Ketiga, untuk
menemukan teori-teori hukum Islam yang
telah dikembangkan oleh para sarjana
terdahulu dan melakukan reaktualisasi
pemikiran hukum Islam dengan pendekatan
keilmuan kontemporer.
Ketiga konfigurasi pemikiran diatas
terwujud secara sistematis dan merupakan
sebuah keniscayaan dalam sebuah konteks
keilmuan. Konteks yang terjadi pada abad
kesepuluh ini merupakan masa dimana
pintu ijtihad sudah tertutup, namun masih
terdapat banyak ulama kontemporer
menuntut akan dibukanya kembali pintu
ijtihad itu.2
Berkenaan dengan ini, dinamisasi
pemikiran hukum Islam tidak hanya
diperlihatkan oleh tokoh-tokoh agama pada
masa lampau melainkan juga para pemikir
masa kini yang terus memperlihatkan
perkembanganya yang kemudian
melahirkan teori-teori baru dengan
pendekatan kontemporer seperti
hermeneutik dan filologi.
Hal ini dapat dibuktikan pada
beberapa produk ijtihad yang telah terukir
pada lembaran karya ulama-ulama
kontemporer seperti Muhammad Shahrur.
Mengingat waktu yang terus melahirkan
teori hukum Islam baru, yang mana
1Abdullahi Ahmad An-Na‟im, dkk.,
Dekonstruksi Syariah (II) Kritik Konsep, Penjelasan
Lain, cet. 2 (Yogyakarta: LKiS, 2009), 27. 2Abdullahi Ahmad An-Na‟im, Dekonstruksi
Syariah, cet. 2 (Yogyakarta: LKiS, 2004), 46.
bersamaan pula dengan lahirnya para
pemikir baru dikalangan umat Islam yang
difokuskan pada kajian hukum Islam.
Dalam konteks inilah ketokohan
Muhammad Shahrur dalam menafsirkan Qs.
al-Maidah (5): 38. Oleh karena itulah tema
tentang ḥadd pencurian dapat dijadikan
objek kajian lebih lanjut dengan
mendasarkan konsep ijtihad dan metodologi
Muhammad Shahrur. Secara normatif, ḥadd
pencurian menemukan konteksnya dalam al-
Qur‟an:
ارقة فاقطعوا أيدي هما جزاء با كسبا نكال من ارق والس والس اللو واللو عزيز حكيم
Artinya: “Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”3
Ayat diatas menyatakan dengan
tegas konsekuensi hukuman bagi pelaku
pencurian baik laki-laki maupun perempuan.
Muhammad Shahrur menghendaki elaborasi
yang berbeda dalam memahami konteks
hukuman bagi pelaku pencurian.
Biografi Muhammad Shahrur Muhammad Shahrur lahir di
Sālihiyyah Damaskus, Syiria. Ia adalah anak
kelima dari seorang anak tukang celup yang
memutuskan untuk mengirimkanya bukan
pada pondokan (Kuttāb) atau sekolah
keagamaan (madrasah) melainkan ke
sekolah dasar dan menengah di al-Midan
yang terletak dipinggiran kota sebelah
selatan Damaskus yang berada diluar batas
dinding kota tua. pada tanggal 11 April 1938
dan ada juga yang mengatakan beliau
dilahirkan pada 11 Maret.4 Nama aslinya
ialah Muhammad Shahrur Deyb nama Deyb
disandingkan atas dasar ayahnya yang
bernama Deyb Ibn Deyb Shahrur dan ibunya bernama Siddiqah binti Salih Filyun.
3Qs. al-Māidah (5): 38.
4Jasmani, Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat, Vol. 4, No. 2 (Desember, 2007), 149.
220 Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
Muhammad Shahrur menikah dengan
seorang wanita yang bernama Azizah dan
dikaruniai lima orang anak yaitu: Thāriq, al-
Lais, Basul, Masun dan Rima.
Mengenai pembacaan kembali al-
Qur`an dan Sunnah, Muhammad Shahrur
sangat kental akan pemanfaatan akan ilmu-
ilmu alam, khususnya matematika dan
fisika. Maka, sebagai konsekuensi keilmuan
yang dihasilkan dari kajianya merupkan
sumbangan yang unik, khususnya bagi
penafsiran kembali al-Qur`an dan Sunnah
dan dalam konteks yang lebih luas untuk
membangun hukum sebagai sebuah sistem
yang komprehensif. Memulai pendidikan
dasar dan menengahnya di tanah
kelahiranya sendiri yakni lembaga
pendidikan „Abd al-Rahmān al-Kawākibi.
Muhammad Shahrur mendapatkan ijazah
sekolah menengahnya pada tahun 1957 dan
setahun kemudian beliau mendapatkan
beasiswa dari pemerintah Damaskus untuk
pergi ke Moskow tepatnya pada bulan Maret
tahun 1958 untuk belajar teknik sipil (al-
Handasah al-Madāniyah).5
Muhammad Shahrur menempuh
pendidikan tingginya selama lima tahun dan
mendapatkan gelar Diploma pada jurusan
teknik sipil pada tahun 1964 dan pada tahun
1965 Muhammad Shahrur mengabdikan
dirinya untuk menjadi dosen tetap di
Fakultas Teknik. Beliau dalam waktu
singkat membuktikan kepandaianya
sehingga beliau diutus untuk melanjutkan
pendidikan di Ireland National University
(al-Jam‟ah al-Qoumiyah al-Irlandiyah),
Irlandia. Pendidikan ini beliau tempuh untuk
mendpatkan gelar Magister dan Doktoral
dalam bidang yang sama dengan spesialis
Mekanika Pertahanan dan Fondasi
(Mekanika Turbat wa al-Mansya‟at al-
Ardiyyah) hingga sekarang. Disamping
mengajar ia juga melakukan penelitian
bersama dengan koleganya yang akhirmnya
beliau mendidirkan perpustakaan al-Dar al-
Intisyarat al-Handasiyyah. Selain itu juga
5Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin.
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), 19.
Muhammad Shahrur menekuni ilmu filsafat
dan ilmu bahasa (al-Fiqh al-Lughah).6
Pada tahun yang sama dan bersama
beberapa rekanya di Fakultas Teknik, beliau
memebuka Biro Konsultasi Teknik. Prestasi
dan kreatifitas Muhammad Shahrur semakin
menambah kepercayaan Universitas
terhadapnya dan hali tersebut terbukti ketika
ia mendapat kesempatan menjadi tenaga ahli
di Saudi Arabia pada al-Saud Consult tahun
1982-1983. Pada tahun 1995 juga pernah
diundang untuk menjadi peserta kehormatan
dan terlibat dalam debat publik mengenai
pemikiran keislaman di Libanon dan
Maroko.
Adapun karya-karya yang menjadi
andalan Muhammad Shahrur dalam bidang
hukum Islam ialah:
1. Al-Kitāb wa al-Qur`an: Qirā`ah
Mu‟āshirah
2. Dirāsāh Islāmiyah Mu‟āshirah fi al-
Daulah wa al-Mujtama‟
3. Al-Islām wa al-Imān: Mandzūmat al-
Qiyam
4. Nahwa al-Ushūl al-Jadīdah li al-Fiqh al-
Islāmy: Fiqh al-Mar‟ah7
Bagi Muhammad Shahrur, seperti
yang tergambar dalam sebuah karyanya
yaitu Nahw UShūl Jadīdah li al-Fiqh al-
Islāmī yang mana merupakan karyanya yang
keempat dari berbagai rangkaian karya-
karyanya adalah dalam rangka
memproyeksikan pemahaman baru terhadap
ayat-ayat al-Tanzīl al-Hākīm.
Karya yang kedua dari Muhammad
Shahrur adalah Al-Kitāb wa al-Qur`an:
Qirā`ah Mu‟āshirah yang mana didalam
kitab ini membahas tentang prinsip dan
dasar hukum Islam, yang merupakan hasil
dari pemahamanya dari apa yang disebutnya
dengan ayat-ayat muhkamāt, konsep
Sunnah, ijma‟ dan qiyās.
Muhammad Shahrur memaparkan
keempat konsep tersebut dengan
pemahaman baru. Misalnya terma
muhkāmāt tidak lagi dipahami sebagai ayat-
6Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam, 20. 7Muhammad Syahrur, Nahwa al-Ushūl al-
Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmy: Fiqh al-Mar‟ah, 14.
Nursyamsudin 221
ayat yang mengandung arti yang cukup
jelas, sehingga tidak memerlukan penalaran
yang panjang untuk memahaminya,
melainkan ayat-ayat yang membicarakan
dan berkaitan erat dengan sulūk insāni
(prilaku manusia).8
Karya berikutnya yaitu Dirāsāh
Islāmiyah Mu‟āshirah fi al-Daulah wa al-
Mujtama‟. Dalam buku ini Muhammad
Shahrur secara spesifik menguraikan dan
membahas tema-tema sosial politik yang
berkaitan erat dengan permasalahan
masyarakat (al-Mujtama‟) dengan negara
(al-Daulah) tetapi tetap pada tawaran
metodologisnya dalam memahami al-Qur`an
sebagaimana tertuang pada kitab Al-Kitāb
wa al-Qur`an: Qirā`ah Mu‟āshirah. Secara
tegas dan konsisten, Muhammad Shahrur
membangun konsep keluarga, masyarakat,
negara dan tindakan kesewenang-wenangan
(al-Istibdad) prespektif al-Qur`an. Karya
berikutnya juga yaitu Al-Islām wa al-Imān:
Mandzūmat al-Qiyam yang berisi tentang
kajian tentang konsep-konsep klasik
mengenai tukun Islam dan rukun iman.
Bidang teknik sipil sebagai latar
belakang pendidikan yang digelutinya juga
menuai berbagai karya yaitu diantaranya:
1. Handasah al-Asasiyyah
2. Handasah al-Turabiyah
3. The Devine Text and Pluralism in
Moeslem Socities
4. Islam in The 1995 Beijing World
Conference on Women9
Pandangan Terhadap al-Qur`an dan
Sunnah Muhammad Shahrur yang
memandang bahwa al-Quran sudah jelas dan
terarah dengan sendirinya tanpa
memerlukan Sunnah didalamnya. Penerapan
hukum syariat Islam untuk umat Nabi
Muhammad berbeda dengan hukum syariat
8Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terj.
Sahiron Syamsuddin. (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2007), 14. 9http://www.lakpesdam.org/ acrobat/
edisi31/risetredaksi3.pdf. (diunduh pada tanggal 26
Februari 2014 pukul 11:24)
Islam pada masa sebelumnya. Syariat Nabi
Muhammad berlaku sampai hari kiamat
namun syariat Islam sebelum Nabi
Muhammad hanya sebatas masanya saja.
Menanggapi masalah sumber kedua
dalam syariat Islam yaitu hadits, pandangan
Muhammad Shahrur menyatakan bahwa
adanya hadits-hadits Nabi bukanlah sebagai
sebuah landasan pokok yang mengharusakn
umat Islam tunduk dan patuh terhadap
hadits. Hadits hanyalah sebuah metodologi
dalam menyatakan sebuah hukum yang
terjadi hanya pada saat nabi masih hidup.10
Maksudnya bahwa hadits dicetuskan atas
dasar adanya sebuah permasalahan yang
timbul dan disesuaikan dengan melihat pada
teks al-Qur`an dan disertai ijtihad pula. Hal
ini juga seperti halnya dengan gejala hukum
yang terjadi pada saat sekarang yang sangat
memungkinkan mensinergikan pesan al-
Qur`an dengan ijtihad ilmiah modern.
Ajaran Islam yang ada saat ini
sebenarnya sudah lama telah dipraktekan
oleh Nabi Muhammad dalam kehidupan
sehari-harinya, kehidupan Nabi tersebutlah
yang menjadi sumber dalil para ulama
tradisional. Hal tersebut tidaklah berlebihan
dikarenakan keadaan soial kemasyarakatan
pada saat itu sesuai dengan apa yang telah
dipraktikan oleh Nabi. Namun saat ini
ajaran tersebut tidaklah koheren apabila
diterapkan pada zaman sekarang.11
Hal
demikian tidaklah berlebihan melihat latar
belakang pemikiran Muhammad Shahrur
dalam Islam yang sangat sarat dengan
metode hermeneutik.
Sunnah dalam pandangan
Muhammad Shahrur hanya mewakili sebuah
model metodologi hukum. Sunnah berbeda
dengan al-Qur`an namun Sunnah sama
dengan al-Qur`an. Sunnah tidak
menyediakan kasus-kasus konkrit dan
spesifik tetapi lebih kepada menyediakan
sebuah metodologi (manhāj) untuk
membangun sebuah sistem hukum.
10
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Hukum Islam, 14. 11
Muhammad Shahrur, Al-Qur`an, Morality
and Critical Reason The Essential Muhammad
Shahrur, cet. 1 (Leiden: Clearance Center, 2009), 71.
222 Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
Walaupun demikian Muhammad Shahrur
bukan tidak memepercayai adanya Nabi
Muhmmad sebagai seorang Nabi terahir,
beliau tetap iman terhadap Nabi dan
Rasulullah sebagai suatu perintah Allah.12
Menurut pandangan ulama bahwa
pemahaman al-Qur`an adalah berdasarkan
riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para
sahabat. Sedangkan Muhammad Shahrur
memandang bahwa hanya prespektif ilmiah
yang mempunyai signifikansi dan
kompetensi dalam mengawal pesan al-
Qur`an secara utuh bahwa nilai yang
sesungguhnya hanya terletak pada teks al-
Qur`an itu sendiri. Pada prespektif ini, bisa
didapatkan sebuah justifikasi ilmiah atas
desakan Nabi untuk mengkodifikasikan
wahyu dan pada saat yang bersamaan pula
melarang untuk mengkodifikasi terhadap
perkataan pribadinya.
Menurut Muhammad Shahrur
Sunnah tidaklah mungkin menghakimi al-
Qur`an baik untuk memetuskan atau
menghapus sebuah hukum, karena Sunnah
lebih membutuhkan al-Qur`an dbukan
Qur`an membutuhkan Sunnah. akan sangat
berlebihan apabila dalam menafsirkan al-
Quran namun melupakan nalar dan logika,
karena tidaklah mungkin sebuah cabang
menghukumi yang pokok. Argumentasi
Muhammad Shahrur tentang hal ini adalah
bahwa al-Qur`an sudah terang dan jelas
terhadap segala sesuatunya.
Sebagai dampak dari argument
Muhammad Shahrur tentang anggapan
bahwa tidak perlunya Sunnah untuk
dijadikan sebuah dalil untuk mengawal
eksisitensi al-Qur`an. Sunnah hanya sebagai
metodologi dalam memecahkan sebuah
masalah hukum yang terjadi dimasyarakat.
Berangkat dari hal ini maka Muhammad
Shahrur mengemukakan konsekuensi ḥadd
potong tangan bagi pencuri hanya bisa
dilakukan apabila sudah dilakukan secara
berkali-kali, karena hukuman potong tangan
adalah sebuah hal yang kejam. Adanya
hukuman ini bagi pelaku yang melakukan
12
Muhammad Shahrur, Al-Islām wa Al-Īmān
Mandhūm Al-Qiyam, cet. 1 (Damaskus: Al-Ahālī,
1996), 56.
tindak pidana dalam Islam adalah sebuah
penyiksaan semata.13
Pendekatan Terhadap Metode Literal
dan Hermeneutik Metode hermeneutik yang menandai
ketokohan Muhammad Shahrur untuk
melakukan usaha dalam bidang ilmu
penafsiran tersebut sejalan dalam
memaksimalkan teks otoritatif al-Qur`an
agar menjadi sebuah manifestasi dalil
hukum yang menyeluruh dan dapat
dipedomani oleh setiap umat muslim.
Metode hermeneutik yang digunakan
oleh Muhammad Shahrur dengan
pendekatan linguistik sangat terfokus pada
redaksi teks dengan pemaknaan
kontemporer. Kajian lingusitik ini mengarah
kepada penggunaan bahasa yang mana teks
bahasa tidak tumbuh dalam satu masa
melainkan berkembang dalam kurun waktu
yang berkesinambungan.
Metode hermeneutik ini berimbas
kepada penggunaan sunnah hanya sebatas
metodologi bukan merupakan sumber
rujukan. Istilah hermeneutik sendiri bukan
berasal dari disiplin ilmu keislaman, namun
berasal dari dunia barat dalam diskursusnya
terhadap Bibel. Perkembangan rasionalisme
yang bersamaan dengan lahirnya filologi
klasik pada abad kedelapan belas
mempunyai pengaruh besar terhadap
hermeneutika Bibel.14
Pada masa tersebut muncul metode
kritik historis dalam teologi interpretasi
Bibel yang mana bahwa metode interpretasi
yang diaplikasikan terhadap Bibel juga
dapat diaplikasikan pada buku-buku yang
lain. Usaha ini tidaklah lain untuk membuat
Bibel dapat relevan dengan pikiran rasional
manusia pada masa sekarang.15
13
Muhammad Shahrur, Dirāsāt Al-Islāmī
Mu‟āshirah Al-Daulah wa Al-Mujtam‟, cet. 1,
(Damaskus: Al-Ahālī, t.t.), 34. 14
Richard Palmer, Hermeneutika Teori Baru
Mengenal Interpretasi, terj. Musnar Hery dan
Damanhuri Muhammaed, cet. 2, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), 41. 15
Richard Palmer, Hermeneutika Teori
Baru, 43.
Nursyamsudin 223
Eksegesis al-Qur`an dengan metode
hermeneutik akan menghasilkan sebuah
interpretasi radikal dalam memahami sebuah
teks al-Qur`an dikarenakan sifat yang
dimiliki oleh hermeneutik itu sendiri yang
sangat memaksimalkan otoritas logika.
Penggunaan metode ini, oleh Muhammad
Shahrur diterapkan dalam kajian penfasiran
al-Qur`an sehingga kesan hukum yang
ditimbulkan akan sangat berbeda dengan
apa yang telah dilakukan oleh para sarjana
terdahulu. Aspek kontekstualitas yang
diangkat oleh Muhammad Shahrur dalam
menginterpretasi teks al-Qur`an telah
menjadikan al-Qur`an bukan lagi merupakan
sebuah teks suci yang turun sebagai sebuah
pedoman bagi umat Islam.
Secara prototipe pernyataan tentang
otoritas sebuah teks al-Qur`an sangat
dipengaruhi oleh pembacaan para
mufassirnya dalam rangka menciptakan
sebuah dalil hukum. Pandangan para sarjana
terdahulu ini terhadap teks al-Qur`an lebih
bersifat genostik (teologis) hal ini sangat
berbeda dengan para ulama kontemporer
yang menghendaki pelucutan secara
menyeluruh. Secara praktis teks bermain
dari balik dzat, dalam arti bahwa teks
memerlukan kita sebagaimana kita
memerlukanya sekaligus teks menunutun
kita dimana kita sendiri berasumsi bahwa
kitalah yang melahirkanya.
Tujuan dari adanya Islam adalah
sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia
bukan hanya kepada orang yang paham
Islam secara mendalam, namun bagi mereka
juga yang baru mengenal agama Islam.
Hakikat dari pada agama Islam sendiri
apabila disuatu tempat sudah aman dan
sejahtera, maka pada hakikatnya agama
Islam sudah ditegakan pada tempat tersebut.
Seperti yang tersebut didalam maqāshid al-
syarī‟ah bahwa menjaga jiwa adalah hal
yang sangat diutamakan dalam Islam.16
Berdasarkan hal tersebut seharusnya
para ulama tidak hanya memperhatikan apa
yang terlihat sebagai sebuah teks yang telah
16
Muhammad Shahrur, Dirāsāt Al-Islāmī
Mu‟āshirah Tajfi fi Manābi‟ Al-Irhāb, cet. 1,
(Damaskus: Al-Ahālī, 2008), 361.
diciptakan oleh pengarang, melainkan harus
melihat apa yang tidak diungkapkan oleh
pengarang teks dengan cara
mempertanyakan dan menganalisis
strukturnya.17
Istinbāṭ Hukum Muhammad Shahrur Muhammad Shahrur dalam usahanya
melakukan pendekatan terhadap sebuah
hukum yang tertulis didalam al-Qur`an
sangat kental dengan aroma kebahasaan.
Adapun pendekatan yang dilakukan oleh
Muhammad Shahrur dalam mengkonstruksi
pemikiran keislamanya adalah
menggunakan pendekatan hermeneutik
dengan penekanan pada aspek filologi.
Muhammad Shahrur menyebutnya dengan
al-manhaj al-tarīkh al-„ilm fi dirasat al-
lughawiyyah yaitu metode historis ilmiah
studi bahasa. Pendekatan ini sebenarnya
merupakan penggabungan dari premis-
premis yang menjadi teori linguistiknya Ibn
Jinni dan al-Jurjanji yang kemudian dari
sinilah Muhammad Shahrur mendapatkan
sebuah batasan kaidah-kaidah dalam metode
linguistiknya yang memiliki prinsip sebagai
berikut:
1. Penolakan terhadap konsep sinonimitas
antar kosa kata dalam bahasa Arab.
Hal ini disampaikan bekenaan dengan
penolakan terhadap istilah al-Qur`an dan
al-Kitab bahwa kedua istilah itu adalah
bukan terikat dalam satu makna
melainkan dua istilah yang berbeda.
2. Penggunaan bahasa harus dikaitkan
dengan hal-hal yang bersifat universal
kekiniaan.
Uraian ini mengingat bahwa bahasa
dalam pandangan Muhammad Shahrur
adalah bersifat dinamis dan diperlukan
adanya studi tata bahasa yang diletakan
dalam kerangka sinkronik diakronik.
3. Bahasa merupakan fenomena sosiologi.
Maksudnya adalah dimana konstruksi
bahasa sangat dipengaruhi oleh konteks
dimana bahasa tersebut disampaikan
kepada objeknya.
17
Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur`an,
(Yogyakarta: LKis, 2005), 14.
224 Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
Pendekatan linguistik Muhammad
Shahrur hanya digunakan untuk membangun
suatu landasan teori dalam rangka
menafsirkan ulang pada tema-tema yang
terdapat didalam al-Qur`an. Bila dicermati
alur pemikiran Muhammad Shahrur adalah
senada dengan model pemikiran
Muhammad Abduh dengan konsep
demitologisasi teks yang membahas tentang
elaborasi ulang teks-teks al-Qur`an dengan
cara yang moderat dan Mahmud
Muhammad Thaha dalam karyanya al-
Risālah al-Tsāniyah li al-Islām yaitu konsep
pesan kedua Islam, yang mana Thaha
mengemukakan pengenalan pesan kedua
Islam yang sesuai dengan abad kedua puluh
yang dibangun atas penafsiranya sendiri
terhadap al-Qur`an.
Muhammad Shahrur dalam metode
istinbath hukum yang dilakukan oleh adalah
hanya al-Qur`an saja. Menurut
pandanganya, konteks terpenting bagi
penafsiran al-Qur`an adalah konteks politik
dan intelektual yang menjadi ruang lingkup
umat dan satu-satunya batasan penafsiranya
terdapat pada teks al-Qur`an itu sendiri.18
Teks ilahi yang independen secara
mutlak menentukan aturan penafsiranya
yang hanya didasarkan pada struktur
linguistik. Bahasa al-Qur`an adalah bahasa
Arab yang memberikan sebuah wewenang
berdasarkan sejarah bukan atas dasar latar
belakang budaya. Muhammad Shahrur
dalam menafsirkan al-Quran menggunakan
komparasi linguistik dan teori-teori ilmiah.
Maka, menurut pandangan Muhammad
Shahrur bahwa satu-satunya sumber hukum
yang inheren adalah hanya dengan al-
Qur`an saja, karena pada kenyataanya
hakikat dari ajaran Islam adalah
kesejahteraan dan sebagai rahmat bagi
seluruh alam semesta.
Menanggapi masalah sumber kedua
dalam syariat Islam yaitu hadits. Pandangan
Muhammad Shahrur menyatakan bahwa
adanya hadits-hadits Nabi bukanlah sebagai
sebuah landasan pokok yang mengharusakn
18
Nasr Abu Zayd dalam pengantar buku
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Al-Qur`an Kontemporer, 11.
umat Islam tunduk dan patuh terhadap
hadits. Hadits hanyalah sebuah metodologi
dalam menyatakan sebuah hukum yang
terjadi hanya pada saat nabi masih hidup.19
Maksudnya bahwa hadits dicetuskan atas
dasar adanya sebuah permasalahan yang
timbul dan disesuaikan dengan melihat pada
teks al-Qur`an dan disertai ijtihad pula. Hal
ini juga seperti halnya dengan gejala hukum
yang terjadi pada saat sekarang yang sangat
memungkinkan mensinergikan pesan al-
Qur`an dengan ijtihad ilmiah modern.
Sunnah dalam pandangan
Muhammad Shahrur hanya mewakili sebuah
model metodologi hukum. Sunnah berbeda
dengan al-Qur`an namun Sunnah sama
dengan al-Qur`an. Sunnah tidak
menyediakan kasus-kasus konkrit dan
spesifik tetapi lebih kepada menyediakan
sebuah metodologi (manhāj) untuk
membangun sebuah sistem hukum.
Menurut pandangan ulama bahwa
pemahaman al-Qur`an adalah berdasarkan
riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para
sahabat. Sedangkan Muhammad Shahrur
memandang bahwa hanya prespektif ilmiah
yang mempunyai signifikansi dan
kompetensi dalam mengawal pesan al-
Qur`an secara utuh bahwa nilai yang
sesungguhnya hanya terletak pada teks al-
Qur`an itu sendiri. Pada prespektif ini, bisa
didapatkan sebuah justifikasi ilmiah atas
desakan Nabi untuk mengkodifikasikan
wahyu dan pada saat yang bersamaan pula
melarang untuk mengkodifikasi terhadap
perkataan pribadinya.20
Menurut Muhammad Shahrur
Sunnah tidaklah mungkin menghakimi al-
Qur`an baik untuk memetuskan atau
menghapus sebuah hukum, karena Sunnah
lebih membutuhkan al-Qur`an dan bukan
Qur`an membutuhkan Sunnah. kan sangat
berlebihan apabila dalam menafsirkan al-
Quran namun melupakan nalar dan logika,
19
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Hukum Islam, 14. 20
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Al-Qur`an, 276.
Nursyamsudin 225
karena tidaklah mungkin sebuah cabang
menghukumi yang pokok.21
Argumentasi Muhammad Shahrur
tentang hal ini adalah bahwa al-Qur`an
sudah terang dan jelas terhadap segala
sesuatu sesuai dengan apa yang tersebut
didalam firman Allah Swt.:
م وأتمت عليكم نعمت ورضيت لكم الي وم أكملت لكم دينك سلم دينا 22ال
Artinya: “pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-
ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu.”
Pendapat yang selanjutnya ialah
perihal ijmā‟ dan qiyās. Menurut
Muhammad Shahrur ijmā‟ yang benar
adalah kesepakatan masyarakat yang
dilakukan secara demokratis tanpa keluar
dari koridor-koridor yang telah ditentukan
oleh al-Qur`an baik berupa larangan,
perintah dan pembolehan.23
Sedangkan qiyās adalah sebuah
analogi yang didasarkan atas bukti-bukti
material dan pembuktian ilmiah yang
diajukan oleh para ahli hukum alam,
sosiologi, statistik dan ekonomi.
Penerapan Teori Limit terhadap ḥadd
Pencurian dalam Qs. al-Maidah (5): 38 Muhmammad Shahrur menawarkan
sebuah konsepsi mengenai sebuah
metodologi pendekatan dalam
mengelaborasi teks-teks al-Qur`an. Telah
tercatat bahwa Muhammad Shahrur
mempergunakan al-Qur`an dan Sunnah
hanya sebagai sebuah metodologi.24
Muhammad Shahrur mengemukakan
dua istilah yang menjadi tendensi pijakan
dalam mengemukakan teori batasnya yaitu
21
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, 297. 22
Qs. Al-Māidah (5): 3. 23
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, 282. 24
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Al-Qur`an, 14.
hanifiyyah dan istqomah. Istilah hanafiyah
yang diartikan sebagai garis dimana hukum
harus sesuai dengan keadaan masyarakat
yang ada dan istilah istoqomah sebagai
suatu aturan Allah yang tidak bisa diganggu
gugat.25
Teori ini secara umum
menggabungkan metode hermeneutik
dengan pendekatan linguistik untuk
memahami bagaimana seorang muslim
mendapatkan petunjuk secara menyeluruh.
Muhammad Shahrur memakai hermeneutik
sebagai sebuah metode penafsiran bukan
menjadi objek kajian.
Hermeneutik dipandang sebagai
sebuah eksplorasi karakter filosofis dan
syarat yang dibutuhkan bagi semua
pemahaman. Hermeneutik juga diartikan
sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang
merefleksikan bagaimana sebuah kata ataua
peristiwa dan kultur masa lalu dapat
dimengerti dan secara eksensial menjadi
bermakna dalam situasi sekarang ini.
Hermeneutik dalam kerangka penfsiran
mencakup aturan-aturan metodologi yang
diaplikasikan dalam penfsiran epistemolog
pemahaman.26
Muhammad Shahrur menemukan
teori limit atau teori batas ini ketika
menyampaikan kuliahnya dalam bidang
teknik sipil, sepeti yang dikemukakan
olehnya dalam bukunya Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Al-Qur`an Kontemporer.
Beliau menerangkan bahwa:
Suatu hari sebuah ide muncul dalam
kepala saya ketika saya
menyampaikan mata kuliah teknik
pada jurusan Teknik Sipil tentang
bagaimana cara membuat jalan
padat. Kami sedang melakukan apa
yang dinamakan dengan uji
keamanan, yang kami gunakan
sebagai contoh dan cara menguji
tanah yang digunakan untuk mengisi
tanggul. Pada ujian itu kami
mengeluarkan dan menambahkan
tanah. Kami mendapatkan sumbu X
25
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Al-Qur`an, 18. 26
Marzuki Wahid, Studi Al-Qur`an
Kontemporer Prespektif Islam dan Barat, 133-134.
226 Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
dan sumbu Y dalam sebuah bentuk
hiperbola. Kemudian kami
menemukan sebuah masalah dan
menggambar sebuah kurva dan
meletakan garis diatasnya. Garis ini
adalah garis maksimum yang
kemudian timbul sebuah ide dalam
pikiran saya tentang batasan Tuhan
(hududullah) dan sampai ke rumah
saya membuka al-Qur`an dan
mendapatkan lima cara
menyuguhkan batas. Saya
menemukan lima kasus yang dapat
menampung ide tentang batas hukum
Allah.27
Jika digambarkan dalam sebuah
skema ilmu matematika, bahwa dapat
digambarkan yaitu sebagai berikut:
Pada skema diatas menunjukan batas
maksimum atau ḥadd al-a‟lā yang
menunjukan bahwa sumbu z berada pada
titik maksimum. Sumbu z ini direfleksikan
dengan hukuman potong tangan bagi pelaku
tindakan pencurian yang terdapat pada Qs.
al-Māidah (5): 38 sebagai sebuah batas
tertinggi yang mana hukuman tersebut tidak
akan lebih berat daripada potong tangan.
Pada wilayah inilah istilah istiqomah dalam
aturan Allah tidak bisa dirubah lagi. Istilah
hanafiyyah yang terdapat pada wilayah
ijtihad sebagai suatu tindakan relatif yang
bisa dilakukan oleh para ahli hukum untuk
menjatuhkan hukuman selain dari hukuman
potong tangan.
27
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Al-Qur`an Kontemporer, 17.
Hukuman potong tangan sebagai
sebuah preseden yang dicetuskan oleh Imam
Syāfi‟i sebagai sebuah imbas dari ijtihadnya,
dikarenakan ada campur tangan Sunnah
didalamnya. Sunnah dalam pandangan
Muhammad Shahrur hanya mewakili sebuah
model metodologi hukum. Sunnah berbeda
dengan al-Qur`an namun Sunnah sama
dengan al-Qur`an. Sunnah tidak
menyediakan kasus-kasus konkrit dan
spesifik tetapi lebih kepada menyediakan
sebuah metodologi (manhāj) untuk
membangun sebuah sistem hukum.28
Bagian-bagian Sunnah yang demikian
adalah kondusif untuk menciptakan sebuah
metodologi teori batas sebagai sebuah
metode yang sangat relevan.
Teori batas yang ditawarkan oleh
Muhammad Shahrur adalah memuat
penolakan terhadap sumber-sumber hukum
lain yang menindas dan keluar dari norma
kemanusiaan. Beliau menjelaskan bahwa
qiyās sebagai sesuatu yang menindas
dengan asumsi bahwa peristiwa yang terjadi
antara abad ketujuh dengan abad kedua
puluh akan sangat berbeda dilihat segi
kultural, sosial, ekonomi dan dari berbagai
segi manapun. Sebagi gantinya beliau
menawarkan teori batas ini guna menjawab
tantangann zaman sekarang.
Muhammad Shahrur juga mampu
mematahkan konsep ijmā‟ yang berlebihan
karena epistemologinya secara definitif
tidak menghasilkan sebuah kepastian dan
memandang bahwa ijmā‟ yang dilakukan
oleh ulama tradisional adalah bersifat wahm
atau dugaan yang tidak mengikat kaum
muslim pada zaman modern. Hal dmikian
dikarenakan bahwa hukum akan terus
berubah sepanjang zaman dan bergerak
diantara batas-batas murni al-Qur`an.29
Muhammad Shahrur juga
mengingatkan bahwa, hadis Nabi bukanlah
wahyu. Hanya berfungsi sebagai
pertimbangan untuk menetapkan hukum
dalam kontek ruang dan waktu tertentu
28
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Hukum Islam, 14. 29
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Hukum Islam, 14-15
Hukum Allah atau
istiqomah
x
z Batas Maksimum
atau ḥadd al-a’lā
Wilayah Ijtihad
atau
hanafiyyah y
Nursyamsudin 227
sebagai bentuk ijtihat Nabi dalam
mengaplikasikan al-tanzil menjadi aturan
kehidupan nyata.30
Tafsir Terhadap ḥadd Pencurian dalam
Qs. Al-Māidah (5): 38
Allah telah berfirman:
ارقة فاقطعوا أيدي هما جزاء با كسبا نكال من ارق والس والس اللو واللو عزيز حكيم
Artinya: “Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Muhammad Shahrur melakukan
pembacaan kedua terhadap ayat tentang
ḥadd pencurian yang terdapat pada ayat
diatas, kemudian sejalan dengan hal itu
maka akan tampak perbedaan yang cukup
signifikan dibandingkan dengan penafsiran
Imam Syāfi‟i.
Kata al-Sarīq yang bermakna
pencuri didapati berposisi sebagai ism al-
fā‟il (kata benda yang mempunyai arti
pelaku) dari kata kerja sariqa atau saraqa.
Isim fāil ini menunjukan makna terus
menerus dan lamanya waktu pelaku
melakukan suatu pekerjaan. Sebagian yang
dicontohkan oleh beliau adalah kata al-
Kātib yang berarti seorang penulis atau
sekertaris. Predikat penulis atau sekertaris
ini muncul karena seseorang tersebut
melakukanya secara terus menerus.31
Hal ini berarti menandakan bahwa
seorang yang mencuri sebanyak seperempat
dinarpun yang dikemukakan oleh Imam
Syāfi‟i tidak diperkenankan untuk dipotong
tanganya, apabila baru melakukanya sekali
saja. Mayoritas ulama juga menidakan
istilah hukum potong tangan baru berlaku
bagi pencuri apabila sudah melakukanya
30
http://pps.uinsuka.ac.id/index. (diunduh
pada tangga 02 Februari 2015 pukul 09:59) 31
Muhammad Shahrur, Naḥwa al-Uṣūl al-
Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmy: Fiqh al-Mar‟ah, 158.
berkali-kali. Hukuman potong tangan hanya
diberikan kepada seorang pencuri yang tidak
mau sadar dan bertaubat.32
Muhammad Shahrur menjelaskan
bahwa hukuman potong tangan bagi pencuri
adalah batas maksimal. Maksudnya adalah
bahwa tidak diperkenankan menjatuhkan
hukuman lebih berat dari potong tangan,
namun sangat dimungkinkan untuk
menjatuhkan hukuman yang lebih ringan.
Hal ini tentu akan sangat relevan jika
dikaitkan dengan eksistensi Islam sebagai
agama yang shālih dengan segala ruang dan
waktu.
Qurish Shihab dalam kitabnya
mengemukakan bahwa seorang yang baru
melakukan tindakan pencurian sekali atau
dua kali belum dikatakan sebagai seorang
pencuri. Oleh karena itu, seorang pencuri
tersebut belum atau tidak dikenai sanksi
seperti yang disebutkan oleh ayat diatas.
Seorang pencuri yang tertangkap dan telah
melakukan tindakan pencurian secara
berulang-ulang telah kehilangan harga
dirinya dan baru dikatakan sebagai
pencuri.33
Muhammad Shahrur menambahkan
bahwa didalam ayat ini juga ia memulai
pembahasan dari kata kerja qatha‟a, karena
disinilah letak masalahnya bahwa huruf qaf,
tha dan „ain adalah satu kata dasar yang
valid yang bermakna memisahkan dan
menjelaskan sesuatu dengan sesuatu yang
lain (ibānatu syain min syain).34
Susunan
kata qotha‟a al-shalata yang berarti
memutus atau membatalkan shalat, qatha‟a
al-nahra yang berarti menyebrangi sungai,
qatha‟a lisanahu yang berarti mendiamkan
seseorang dengan cara berbuat baik
kepadanya, qatha‟ahu bi al-hujjah artinya
membungkam seseorang dengan
argumentasi, aqtha‟ahu al-arda artinya
memberikan sebidang tanah kepada orang
32
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, 161. 33
Quraish Shihab, Tafsil al-Mishbāh, 91 34
Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin
Zakāriyah, Mu‟jam al-Maqāyīs fi al-Lughah, 893.
228 Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
lain dan lain sebagainya.35
Hal ini
menunjukan bahwa sebuah teks lafadz yang
tersirat tidak selalu menunjukan maknanya,
melainkan tergantung dari aspek yang
menjadi pendekatanya.
Ayat diatas menyebut dengan khusus
kata السارقة yang artinya “perempuan yang
mencuri.” Kata ini sengaja dipergunakan
untuk meluruskan kekeliruan masyarakat
jahiliyah yang enggan menjatuhkan
hukuman terhadap seorang perempuan yang
melakukan pencurian. Hal tersebut tidaklah
dikerenakan rasa kasihan kepada mereka,
namun karena mereka tidak pernah memberi
nilai kemanusiaan kepada seorang
perempuan. Masyarakat jahiliyah menyebut
perempuan sebagai ها سرقة نصرها بكاء وبر
yang artinya “Pembelaan terhadap
perempuan adalah tangis dan kebaktianya
adalah pencurian.”36
Pencurian yang
dimaksud pada kalimat tersebut adalah
seorang perempuan pada masa jahiliyah
sering mencuri harta milik suami dan orang
tuanya sendiri.
Muhammad Shahrur menambahkan
bahwa jika yang dikehendaki bagi siapa saja
yang baru melakukan pencurian dan tidak
disyaratkan terus menerus, tentunya Allah
akan menggunakan kalimat wa man yasriqu
yang artinya barang siapa yang mencuri.
Sebagai buktinya, beliau menyebutkan
sebuah firman Allah:
وما كان لمؤمن أن ي قتل مؤمنا إل خطأ ومن ق تل مؤمنا خطأ 37مسلمة إل أىلو ف تحرير رق بة مؤمنة ودية
Artinya: “dan tidak layak bagi
seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja). dan Barangsiapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta
35
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, 152. 36
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Pesan,
Kesan dan Keserasian al-Qur`an , (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), 92. 37
Qs. al-Nisā` (4): 92.
membayar diat38
yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu).”
دا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب ومن ي قتل مؤمنا مت عم39اللو عليو ولعنو وأعد لو عذابا عظيما
Artinya: “dan Barangsiapa yang
membunuh seorang mukmin dengan
sengaja Maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan
Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya sertsa menyediakan
azab yang besar baginya.”
Melihat contoh-contoh yang telah
dipaparkan diatas, bahwa dalam setiap
susunan yang telah dicontohkan oleh
Muhammad Shahrur bahwa semua contoh
tersebut diambil dari satu kata dasar yaitu
qatha‟a yang bisa mempunyai arti al-ibānah
(menjelaskan), al-batr (memotong) dan al-
sarm (memisahkan). Istilah memetong atau
memutus juga, menurut beliau tidak selalu
menggunakan suatu benda tajam seperti
memotong buah atau memotong ranting
pohon. Banyak makna yang terkandung
didalam lafadz qatha‟a seperti qath‟u al-
tharīq yang artinya pejalan kaki, qath‟u al-
rahīm yang artinya memutus hubungan
keluarga dan lain sebagainya.40
Metode pemikiran yang dipakai oleh
Muhammad Shahrur dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`an ialah dengan metode
hermeneutik. Sebagai konsekuensi dari
implikasi teori ini terhadap ayat tentang
hukuman potong tangan adalah bahwa tidak
semua lafadz qatha‟a diartikan sebagai
manifestasi pemotongan secara fisik.
Penafsiran atas redaksi kalimat
yang artinya “maka potonglah فااقطعىا ايديهما
tangan keduanya” adalah bukan tangan
dalam arti fisik, melainkan arti majazi yakni
lumpuhkanlah kemampuanya. Makna
lumpuhkanlah kemampuanya disini adalah
38
Diat ialah pembayaran wajibatas sejumlah
harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu
jiwa atau anggota badan. Lihat Muhammad bin
Qāsim al-Ghizī al-Syāfi‟i, Fath al-Qarīb al-Mujīb,
(Surabaya: Dar al-Kitāb al-Islāmī, t. t.), 51. 39
Qs. al-Nisā` (4): 93. 40
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, 161.
Nursyamsudin 229
“penjarakan dia”. Seperti istilah اقطعىا لسانه
yang artinya “potong lidahnya”. Namun
makna yang sebenarnya dikehendaki adalah
“jangan biarkan dia mengomel atau
mengecam dengan jalan memberinya
uang.” 41
Muhammad Shahrur menegaskan
keterkaitan antara makna satu lafadz yang
lain didalam al-Qur`an bahwa pemotongan
tangan hanya dilakukan sebagai batas
maksimal bagi pencuri. Maksudnya adalah
bahwa seseorang yang mencuri tidak akan
lebih berat hukumanya dari sekedar
pemotongan tangan saja. Beliau juga
mengatakan bahawa dengan beragam makna
yang terkandung dalam lafadz qatha‟a, para
sarjana klasik cenderung berpura-pura tidak
mengetahui akan hal tersebut dan selalu
berpegang teguh pada prinsip pemotongan
tangan secara fisik.
Muhammad Shahrur mengambil
sebuah contoh lafadz aydiyahuma pada,
yang mana pada lafadz tersebut lebih
bersifat plural dan tidak bisa diartikan
dengan satu pemahaman saja yaitu tangan
secara fisik. Seperti firman Allah:
ا ي بايعون اللو يد اللو ف وق أيديهم فمن نكث إن الذين ي بايعونك إنا ي نكث على ن فسو 42فإن
Artinya: “bahwasanya orang-orang
yang berjanji setia kepada kamu
Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada
Allah tangan Allah di atas tangan mereka”
Uraian ayat al-Qur`an diatas
menyatakan bahwa kata al-Yad berarti
tangan, yang mana kata tersebut diartikan
kekuasaan, kemenangan dan pertolongan
yang mengandung arti penjagaan. Kata ini
juga bisa berarti pemimpin (al-Imam),
kemampuan (al-Qudrah) dan kemantapan
(al-Tamakkun). Namun dalil tersebut bukan
berarti Allah sama dengan makhluknya yang
mana mempunyai tangan layaknya tangan
manusia. Inilah yang menjadi wacana
pemikiran pasca tradisional dewasa ini dan
41
Quraish Shihab, Tafsil al-Mishbāh, 94-95. 42
Qs. al-Fath (48): 10.
menajdi perbincangan di dunia Islam.43
Persoalan makna ayat aydiyahumā secara
rasionalitas memang cukup beralasan,
mengingat peran tangan secara umum
mempunyai banyak arti dan makna.
Oleh karena itu, kehendak Allah
dalam Qs. al-Māidah (5): 38 atas hukuman
potong tangan bagi seorang pencuri adalah
apabila seorang pencuri tersebut telah
melakukanya secara berulang-ulang. Maka
dengan demikian menurut Muhammad
Shahrur bahwa tidak ada pemotongan
tangan bagi seseorang yang melakukan
pencurian untuk kali pertama.
Para ahli literalis atau ulama
teradisional memaksakan pemahaman
tangan secara fisik, ini didasarkan oleh
pemahaman hukuman orang yang
melakukan peperangan dan perusakan di
muka bumi. Redaksi qath‟u al-yad tidak
diartikan sebagai pemotongan tangan yang
sebenarnya namun dengan melarang tangan
beraktifitas dengan dipenjara bisa serupa
maknanya dengan memotong tangan.
Adanya pemotongan tangan sebagai
alternatif terahir bagi pencuri yang tidak
mau sadar dan bertobat. Seperti hukuman
pembakaran dikalangan bangsa Arab dengan
melakukan pembakaran terhadap pelaku
tindak pencurian ketika terapi-terapi yang
lain tidak lagi mampu.44
Kata nakāl dalam bahasa Arab
berasal dari kata nakala yang mempunya
arti melarang. Kemudian dari kata ini juga
muncul makna lain yaitu mengikat, redaksi
lafadz nakkala bihi tankīla wa nakālan
artinya seseorang yang terhalang untuk
melakukan perbuatan yang biasa
dilakukan.45
Muhammad Shahrur dalam
pemikiranya telah melakukan dekonstruksi
besar-besaran atas sebagian teks al-Qur`an
yang dianggapnya sudah tidak lagi relevan
dengan zaman sekarang. Dekonstruksi yang
43
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer..., 161. 44
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, 160. 45
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, 156.
230 Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
dilakukan oleh Muhammad Shahrur adalah
sebagai upaya untuk menemukan kesesuaian
pesan ilahi terhadap apa yang terjadi
sekarang ini dalam berbagai sisi kehidupan
bermasyarakat dengan tanpa mengurangi
esensi dari al-Qur`an itu sendiri.
Menurut pandangan Muhammad
Shahrur bahwa konteks terpenting bagi
penafsiran al-Qur`an adalah konteks politik
dan kemampuan intelektual dari mufassir itu
sendiri. Al-Qur`an sengaja diturunkan oleh
Allah dalam bentuk yang umum agar setiap
manusia yang mempunyai kemampuan
dapat menafsirkanya sesuai denga keadaan
dan kebutuhan saat itu. Hal ini dikarenakan
para ahli fiqh dan para mufassir telah
berhenti pada tingkat kaidah nahwu saja
dalam memahami ayat al-Qur`an.46
Kontekstualitas dalam menafsirkan
al-Qur`an adalah sebuah keinscayaan bagi
setiap kondisi yang memungkinkan adanya
hal itu. Muhammad Shahrur menggunakan
analisis linguistik yang ia dapatkan dari
studi teknik sipilnya dalam menafsirkan al-
Qur`an yang cenderung terhadap
pendekekatan logika matematika. Batas-
batas yang ditawarkan oleh Muhammad
Shahrur dalam bidang hukum bertujuan
untuk menjadikan masyarakat bebas namun
diwajibkan untuk mengembangkan dan
mengadaptasi hukum mereka sesuai dengan
keadaan sosial politiknya.47
Sehingga titik
berat dari hasil pendekatanya dalam
menafsirkan makna ayat-ayat al-Qur`an
cenderung lebih muda
Penutup Muhammad Shahrur menyampaikan
terkait dengan hukuman potong tangan bagi
pelaku pencurian yang terdapat pada Qs. al-
Māidah (5): 38 bahwa hal tersebut memang
benar dilakukan, namun tidak serta merta
langsung dikenakan hukuman potong
tangan. Beliau mempertimbangkan aspek
kemaslahatan yang menjadi keinginan
46
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, 256. 47
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika, 18.
semua umat manusia dalam menjalani
kehidupan.
Muhammad Shahrur menyatakan
bahwa pemotongan tangan baru bisa
dilakukan ketika seorang pencuri tersebut
sudah melakukanya secara berulang kali dan
tanpa adanya penyesalan.
Faidah al-Qur`an yang menjadi
rahmat bagi seluruh alam menjadi salah satu
alasan Muhammad Shahrur dalam
menanggapi masalah ini. Jika pemotongan
tangan ini tetap dilakukan tanpa melihat
aspek sosioligis maka hal ini
mengasumsikan bahwa hukum Islam telah
mengalami kekerdilan dan masyarakat akan
merasa takut terhadap Islam.
Daftar Pustaka
al-Syāfi‟ī, Muhammad bin Qāsim al-Ghizī,
Fath al-Qarīb al-Mujīb, Surabaya:
Dar al-Kitāb al-Islāmī, t. t.
an-Na‟im, Abdullahi Ahmad, Dekonstruksi
Syariah, cet. 2, Yogyakarta: LKiS,
2004
an-Na‟im, Abdullahi Ahmad, dkk.,
Dekonstruksi Syariah (II) Kritik
Konsep, Penjelasan Lain, cet. 2,
Yogyakarta: LKiS, 2009
Departemen Agama: Al Qur‟an dan
Terjemahannya, 2011.
Harb, Ali, Kritik Nalar Al-Qur`an,
Yogyakarta: LKis, 2005
http://pps.uinsuka.ac.id/index. (diunduh
pada tangga 02 Februari 2015 pukul
09:59)
http://www.lakpesdam.org/acrobat/edisi31/ri
setredaksi3.pdf. (diunduh pada
tanggal 26 Februari 2014 pukul
11:24)
Jasmani, Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat, no. 2, vol. 4, Desember,
2007
Nasr Abu Zayd dalam pengantar buku
Muhammad Syahrur, Prinsip dan
Dasar Hermeneutika Al-Qur`an
Kontemporer
Palmer, Richard, Hermeneutika Teori Baru
Mengenal Interpretasi, terj. Musnar
Hery dan Damanhuri Muhammaed,
Nursyamsudin 231
cet. 2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005
Shahrur, Muhammad, Al-Islām wa Al-Īmān
Mandhūm Al-Qiyam, cet. 1,
Damaskus: Al-Ahālī, 1996
Shahrur, Muhammad, Al-Qur`an, Morality
and Critical Reason The Essential
Muhammad Shahrur, cet. 1, Leiden:
Clearance Center, 2009
Shahrur, Muhammad, Dirāsāt Al-Islāmī
Mu‟āshirah Al-Daulah wa Al-
Mujtam‟, cet. 1, Damaskus: Al-
Ahālī, t.t
Shahrur, Muhammad, Dirāsāt Al-Islāmī
Mu‟āshirah Tajfi fi Manābi‟ Al-
Irhāb, cet. 1, Damaskus: Al-Ahālī,
2008
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, terj. Sahiron
Syamsuddin. Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2010
Shahrur, Muhammad, Nahwa al-Ushūl al-
Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmy: Fiqh al-
Mar‟ah, Damaskus: al-Ahali, 200
Shahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Hukum Islam
Kontemporer, terj. Sahiron
Syamsuddin.Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2007
Shihab, Quraish, Tafsir al-Mishbah (Pesan,
Kesan dan Keserasian al-Qur`an ,
Jakarta: Lentera Hati, 2007
Wahid, Marzuki, Studi Al-Qur`an
Kontemporer Prespektif Islam dan
Barat, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2005
Zakāriyah, Abī al-Husain Ahmad bin Fāris
bin, Mu‟jam al-Maqāyīs fi al-
Lughah, Bairut: Dar al-Fikr, 1994