Metode Bayani Dalam Islam

31
METODE BAYANI DALAM EPISTIMOLOGI Oleh : M u z a d i NIM : 24121410-2 (Mahasiswa Program Pasca Sarjana IAIN Ar Raniry Banda Aceh) A. Pendahuluan Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. 1 Pengetahuan adalah semua yang diketahui. 2 Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. 3 1 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas ?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 243 2 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 4-6. 3 P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 6-7 1

Transcript of Metode Bayani Dalam Islam

METODE BAYANI DALAM EPISTIMOLOGI

Oleh :

M u z a d iNIM : 24121410-2

(Mahasiswa Program Pasca Sarjana IAIN Ar Raniry Banda Aceh)

A. Pendahuluan

Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori

ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang

berarti pengetahuan.1 Pengetahuan adalah semua yang diketahui.2 Epistemologi

menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan

metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan

permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.3

Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia

menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya.

Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain.4

Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya

dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Pandangan dunia

1 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 243

2 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 4-6.

3 P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 6-7

4 Nirwan Syafrin, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004, hal. 43. 

1

manusia akan terpengaruh bahkan dibentuk oleh konsepsinya tentang

epistemologi.5 Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu

keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas. Sehingga

diharapkan epistemologi Islami akan lahir dan memberi jawab atas kegelisahan

umat dewasa ini.6 Sehubungan dengan masalah tersebut maka di sini akan dibahas

tentang epistemologi Islam yang digagas oleh Muhammad Abid al-Jabiri, seorang

cendekiawan muslim yang kini banyak dirujuk oleh cendekiawan muslim

Indonesia.

B. Epistemologi Bayani

1.  Pengertian Bayani

Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri

berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan

sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya

dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan

dengan visi dari metode bayani.7

Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti (1)

sebagai aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi

wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal

peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada

masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang

menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara 5 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?,... hal. 261. 

6 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?,... hal. 261. 

7 Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 60

2

langsung artinya memahiami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung

mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti

memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan

penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas

menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.

2.      Perkembangan Bayani

Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup

makna-makna yang mengandung persoalan ushul/pokok dan yang

berkembang hingga ke furu’ atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i

membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak

butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan

Tuhan dalam al Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya, 2) Bayan yang

beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 3)

Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah,

4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al

Qur’an, 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang

tidak terdapat dalam al Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan

tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al

Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.8

Al-Jahizh (868 M) mengkritik konsep Syafi’i di atas. Menurutnya, apa

yang dilakukan Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum

8 A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 182

3

pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas

pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya inilah yang terpenting dari

proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bayan adalah syarat

syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan aturan

penafsiran wacana. Jahizh menetapkan lima syarat bagi bayani yaitu : 1)

kefasihan ucapan, 2) seleksi huruf dan lafat, 3) adanya keterbukaan makna, 4)

adanya kesesuaian antara kata dan makna, 5) adanya kekuatan kalimat untuk

memaksa lawan kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta

kesalahan konsepnya sendiri.

Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar

penjelas atas kata kata sulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi

sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks, Membuat kesimpulan

atasnya, Kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman

tersebut kepada pendengar bahkan sebagai alat untuk memenangkan

perdebatan. Akan tetapi, Apa yang ditetapkan jahiz pada masa berikutnya

dianggap kurang tetap dan sistematis. Menurut Ibnu Wahab, Bayani bukan

diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk

membangun konsep ashul furu’ caranya dengan menggunakan paduan pola

yang dipakai ulama fikih dan kalam.

Paduan antara metode fikih yang eksplanatoris dan theology yang

dialektik dalam rangka membangun epistemology bayani baru ini sangat

penting, Karena menurutnya apa yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci

tetapi mencakup 4 hal yaitu : 1) Wujud materi yang mengandung aksiden dan

subtansi, 2) Rahasia hati yang member keputusan bahwa sesuatu itu benar-

4

salah dan subhat, saat terjadi proses perenungan, 3) Teks suci dan ucapan

yang mengandung banyak dimensi, 4) Teks-teks yang merupakan representasi

pemikiran dan konsep. Dari 4 macam obyek ini Ibnu Wahab menawarkan 4

macam bayani yaitu: 1) Bayan Al itibar, 2) Bayan Al itiqod, 3) Bayan Al

ibaroh, 4) Bayan Al-kitab.

Pada periode terakhir , muncul alsyatibi ( 1388 M ) menurutnya ,

sampai sejauh itu bayan belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti

(qoth’i) tapi baru derajat dugaan ( dhzon) sehingga tidak bisa di pertanggung

jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani yaitu istinbat dan

qiyas hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Oleh karena

itu Al-Syatibi menawarkan 3 teori yaitu : 1) Al-istintaj, 2) Al-isthiqro’, 3) Al-

maqosid asyari’.

3.      Metode Bayani

Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh

dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah

bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip

utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan

memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang

telah ada kepastian hukumnya dalam teks, Karena adanya kesamaan illah.

Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: 1) Adanya al-

Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, 2)

al-far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash,3) hukum al-ashl

5

yakni ketetapn hukum yang diberikan oleh ashl, 4) illah yakni keadaan

tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum Ashl .9

Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari qurmah. Arak

dari perasan kurma disebut far (cabang ) karena tidak ada ketentuan

hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khomr. Khamr adalah

ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks (nash) Dan hukumnya haram,

alasanya (illah) Karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena

ada persamaan antara arak dan khamr , yakni sama sama memabukkan.

Menurut jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan

dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali , dimana

far mempunyai persaolan hokum yang kuat di banding ashl , 2) qiyas fi makna an

nash dimana ashl dan far mempunyai derajat hokum yang sama, qiyas al-kahfi

dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan

mujtahid. Menurut Abd al jabar, seorang pemikir teologi muktazilah, metode

qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga

bisa dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik

( ghoib).10

C. SELAYANG PANDANG SEPUTAR ”BAYANI”

9 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992), hal. 146-147; Bandingkan dengan A. Khudori Sholeh, Wacana Baru…,   hlm. 188-189.

10 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992), hal. 146-147; Bandingkan dengan A. Khudori Sholeh, Wacana Baru…,   hal. 188-189.

6

Berbicara tentang klasifikasi epistemologi keilmuan,

terdapat beberapa istilah yang berbeda- beda. Di dalam kajian

epistemologi Barat terdapat, paling tidak, tiga aliran pemikiran,

yaitu empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Di dalam

pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa

didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan

pengalaman pribadi. Sedangkan dalam pemikiran Islam juga

dikenal tiga aliran, yang dalam hal ini merupakan pembagian

yang ditawarkan oleh Abed al- Jabiri, intelektual Muslim yang

berasal dari Maroko. Ketiga epistemologi itu

adalah bayani,burhani dan irfani. Ketiga tema besar ini dibahas

secara panjang lebar di dalam bukunya bunyah al aql al

‘arabi.Sebagaimana telah disebutkan di dalam pendahuluan

bahwa makalah sederhana ini akan mencoba

mengenalkan bayanisebagai sebuah epistemologi keilmuan di

dalam Islam.11

Bayani (explanatory) secara etimologis mempunyai

pengertian penjelasan, pernyataan, dan atau ketetapan.

Sedangkan secara terminologis bayani adalah metode pemikiran

11 Ainurrofiq, ”Menawarkan Epistemologi Jama’i Sebagai Epistemologi

Ushulul Fiqh” dalam Ainuurofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma

Ushulul Fiqh Kontemporer, hlm. 36-37. Lihat juga Khudhari Sholeh,

”Epitemologi Bayani” dalam  http://khudarisholeh.blogspot.com dikutip dari al-

Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm.

35.

7

khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara

langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya

memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung

mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung

berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga

perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti

akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya,

tetapi tetap harus bersandar pada teks.12

Senada dengan hal ini, sebagaimana dikutip oleh M. Zuhri,

dosen filsafat UIN Sunan Kalijaga, bahwa Amin Abdullah

menggambarkan bagaimana besarnya dimensi teks di bumi Arab

klasik sebagai hadrah al nash. Posisi teks sangat menentukan

peradaban Arab-Islam dan juga disisi lain pemosisian teks seperti

itu pula dapat membawa pada titik terendah dari peradaban.13

Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa sumber

pengetahuan  bayani adalah teks (nash), yang dalam hal ini

adalah Al Quran dan Hadis (walaupun pada kajian selanjutnya

tidak hanya terbatas pada Quran dan Hadis). Kerena itu

epistemologi bayani menaruh perhatian yang besar dan teliti

dalam proses transmisi teks (nash) dari satu generasi ke

12 Khudhari Sholeh, ”Epitemologi Bayani”

dalam http://khudarisholeh.blogspot.com, lihat juga ”Model-Model

Epistemologi Islam” dalam http://khudarisholeh.blogspot.com, diakses tanggal

15 Maret 2009.

13 M. Zuhri, ”Dari Al Jabiri Tentang Nalar Etika Islam”, Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman, Vol 8, No. 1, Januari 2008, hlm. 56.

8

generasi selanjutnya. Karena benar dan salahnya proses

transmisi menentukan kebenaran dan kesalahan sebuah ilmu

yang dikutip atau diambil dari teks tersebut. Bilamana proses

transmisi dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya, maka

teks tersebut dapat digunakan sebagai dasar ilmu. Akan tetapi

sebaliknya, jika kevalidan proses transmisi tidak dapat

dipertanggungjawabkan, maka teks tersebut tidak dapat

dijadikan dasar ilmu. Sehingga tidak heran mengapa pada masa

kodifikasi (tadwin), khususnya penulisan hadis, para ulama

sangat teliti dan ketat dalam menyeleksi teks-teks, terutama

hadis-hadis Nabi agar dapat diterima sebagai teks yang valid.

Dalam ranah epitemologi bayani ini lebih mengedepankan

pemahaman wahyu atau nash secara tekstual. Sehingga

bagaimana teks itu berbunyi, maka begitulah kesimpulannya.

Dalam ha ini wahyu atau nash menguasai akal atau rasio.

D. MEMBACA KONSTRUK EPISTEMOLOGI ”BAYANI”

Berdasarkan hal yang di atas, bahwa bayani berkaitan

dengan teks, maka persoalan pokoknya adalah sekitar lafadz-

makna dan ushul-furu’. Misalnya, apakah suatu teks dimaknai

sesuai konteksnya atau makna aslinya, bagaimana

menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak disinggung

9

dalam teks suci, dan bagaimana memaknai istilah-istilah khusus

dalam al-asma al-syar’iyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat.

Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks,

metode bayani menempuh dua jalan.14 Pertama, berpegang pada

redaksi (lafadz) teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab,

seperti nahwu dan sharaf. Kedua, berpegang pada makna teks

dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai

sarana analisa.

Pada jalan yang kedua, penggunaan logika dilakukan

dengan empat macam cara. Pertama, berpegang pada tujuan

pokok (al-maqashid al-dharuriyah) yang mencakup lima

kepentingan utama, yakni menjaga keselamatan agama (al din),

jiwa (al nafs), akal (al ’aql), keturunan (al nasb) dan harta (al

mal). Caranya dengan menggunakan induksi tematis (al-istiqra’

al-ma’wi) dan disitulah tempat penalaran rasional.

Kedua, berpegang pada illah teks. Untuk menemukan dan

mengetahui adanya illah suatu teks ini digunakan sebuah sarana

yang memerlukan penalaran yang disebut ‘jalan illah’ (masalik

al-illah) yang terdiri atas tiga hal, (1) illat yang telah ditetapkan

oleh nash, seperti illah tentang kewajiban mengambil 20% harta

rampasan untuk fakir miskin agar harta tersebut tidak beredar

dikalangan orang kaya saja (QS. Al Hasyr, 7). (2) illah yang telah

14 Khudhari Sholeh, ”Model-Model Epistemologi Islam” dalam  http://khudarisholeh.blogspot.com, diakses tanggal 15 Maret 2009.

10

disepakati oleh para mujtahid, misalnya illah menguasai harta

anak yang masih kecil adalah karena kecilnya. (3) Al-sibr wa al-

taqsim (trial), dengan cara merangkum sifat-sifat baik untuk

dijadikan illah pada asal (nash), kemudian illah itu dikembalikan

kepada sifat-sifat tersebut agar bisa dikatakan bahwa illah itu

bersifat begitu atau begini. Cara kedua ini lebih lanjut

memunculkan metode qiyas (analogi) dan istihsan, yakni beralih

dari sesuatu yang jelas kepada sesuatu yang masih samar,

karena karena adanya alasan yang kuat untuk pengalihan itu.

Ketiga, berpegang pada tujuan sekunder teks. Tujuan

sekunder adalah tujuan yang mendukung terlaksananya tujuan

pokok. Misalnya, tujuan pokok adalah memberikan pemahaman

materi kuliah pada mahasiswa, tujuan sekunder memberikan

tugas. Adanya tugas akan mendukung pemahaman kuliah yang

diberikan. Sarana yang digunakan untuk menemukan tujuan

sekunder teks adalah istidlal, yakni mencari dalil dari luar teks;

berbeda dengan istimbat yang berarti mencari dalil pada teks.

Keempat, berpegang pada diamnya Syari` (Allah dan

Rasul). Ini untuk masalah-masalah yang sama sekali tidak ada

ketetapannya dalam teks dan tidak bisa dilkukan dengan cara

qiyas. Caranya dengan kembali pada hukum pokok (asal) yang

telah diketahui. Misalnya, hukum asal muamalah adalah boleh

(al-ashl fi al-mu`amalah al-ibahah), maka jual beli lewat internet

11

yang tidak ada ketentuannya berarti boleh, tinggal bagaimana

mengemasnya agar tidak dilarang. Metode ini melahirkan

teori istishab, yakni menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang

berlaku sebelumnya selama tidak ditemui dasar/dalil yang

menunjukkan perubahannya.

Untuk disiplin ilmu yang dapat masuk dalam kajian

epistemologi bayani diantaranya adalah filologi, ilmu hukum

(fikih), ulumal-Quran (interpretasi, hermeneutika, dan eksegesis),

teologi dialektis (kalam), dan teori sastra nonfilosofis. Sebagai

tambahan informasi, bahwa kerangka bayani ini sangat menarik

bagi para ahli kalam karena beberapa alasan.15

Pertama, epistemologi ini tidak bersifat saling melengkapi

adakan tetapi lebih bayan bersifat dialogis dan lebih-lebih

polemis. Kecenderungan untuk tidak saling melengkapi dan

polemis mengakibatkan sering terjadinya klaim kebenaran

sepihak. Kedua, meskipun terdapat ahli kalam yang

mengedepankan akal, akan tetapi pada titik tertentu masih

memanfaatkan atau bahkan memanipulasi wahyu dengan

memberikan interpretasi sebaliknya dari interpretasi pihak lain

atau pihak lawan. ini bukan dimaksudkan untuk melepaskan akal

darinya, akan tetapi lebih sebagai counter terhadap

15 Ainurrofiq, ”Menawarkan Epistemologi Jama’i Sebagai Epistemologi

Ushulul Fiqh” dalam Ainuurofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma

Ushulul Fiqh Kontemporer, hlm. 41.

12

lawannya. Ketiga, ahli kalam lebih suka menggunakan analisis

yang bersifat retoris sebagai upaya untuk memberikan

keseimbangan (balance) atau bahkan mengalahkan pihak lain.

Kritik-krtik yang disampaikan tidak ditujukan sebagai perbaikan,

akan tetapi untuk menunjukkan adanya hegemoni salah satu

pihak terhadap pihak yan lain. Dan keempat, sebagai upaya

untuk membela diri baik karena jauhnya jarak, tingkat

pemahaman, atau referensi yang digunakan.

Berikut ini beberapa hal yang terkait dengan

epistemologi bayani, baik sumber, penekatan, metode dan lain-

lain:16

Sumber dan Pendekatan

-          Sumber epistemologi bayani adalah nash (teks).

-          Pendekatan epistemologi bayani adalah lughawiyah.

Prinsip Bayani

-          infisal (diskontinu) atau atomistik.

-           tajwiz (tidak ada hukum kausalitas).

-          muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks).

Kerangka dan Proses Berpikir

-          Kerangka berpikir cenderung deduktif, yaitu berpangkal

dari teks.

16 Muqowwim, “Rumpun Bayani dalam Islam” dalam http://muqowim.blogspot.com, diakses pada tanggal 15 Maret 2009.

13

-          Dalam keilmuan fikih menggunakan qiyas

al-’illah sementara dalam disiplin kalam menggunakan qiyas

al-dalalah.

-          Selain itu, corak berpikir bayani cenderung

mengeluarkan makna yang bertolak dari lafadz, baik yang

bersifat‘am, khas, mushtarak, haqiqah, majaz,

muhkam, mufassar, zahir, khafi, musykil, mujmal,

dan mutasyabih.

Metode pengembangan corak berpikir ini adalah dengan

cara  ijtihadiyah dan qiyas. Yang termasuk proses berpikir

ijtihadiyah  adalah  istinbatiyah, istintajiyah,

dan istidlaliyah, sementara yang dimaksud qiyas adalah

qiyas al-ghayb ‘ala al-ghayb.

Fungsi Akal

-          Akal berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa

nafsu.

-          Akal cenderung menjalankan fungsi justifikatif, repetitif,

dan taqlidi.

1. Otoritas ada pada teks, sehingga hasil pemikiran apa pun

tidak boleh bertentangan dengan teks. Karena itu, dalam

penalaran ini jenis argumen yang dibuat lebih bersifat

14

dialektik (jadaliyah) dan al-’uqul al-mutanasifah, sehingga

cenderung defensif, apologetik, polemik, dan dogmatik.

2. Yang dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran ilmu model

bayani adalah adanya keserupaan atau kedekatan antara

teks atau nash dengan realitas.

Untuk lebih jelas dan mudah dipahami, berikut ini telah

penulis sertakan tabel yang membedakan antara trilogi kerangka

berpikir di dalam Islam, mulai dari sumber, metode, pendekatan,

tema sentral, validitas kebenaran, dab pendukung. Berikut

sketsa tabelnya:

Perbandingan Epistemologi dalam Islam 17

Bayani Irfani Burhani

SumberTeks Keagamaan/ Nash

Ilham/ Intuisi Rasio

MetodeIstinbat dan Istidlal

Kasyf

(experience)

Tahlili (analitik)

dan Diskursus

Pendekatan Linguistik/ Dilâlat al-

Psikho-Gnostik Logika

17 Khudari Sholeh, ”Model-Model Epistemologi Islam”

dalam http://khudarisholeh.blogspot.com, diakses tanggal 15 Maret 2009.

15

Lughawiyah

Tema Sentral

Ashl – Furu`

Kata – Makna

Zahir – Batin

Wilayah –

Nubuwah

Essensi –

Aksistensi

Bahasa –

Logika

Validitas Kebenaran

Koresponedensi

Intersubjektif

Koherensi

Konsistensi

PendukungKaum Teolog, ahli Fiqh dan ahli Bahasa

Kaum Sufi Para Filosof

IV. KRITIK TERHADAP EPISTEMOLOGI BAYANI

“Peradaban Islam adalah peradaban teks” demikian

ungkapan Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir asal Mesir yang pernah

dikritik ”habis-habisan” dengan statmentnya bahwa ”Al Quran

sebagai produk budaya”. Pernyataan Abu Zayd ini memang

sebuah realitas yang sulit untuk dibantah. Hal ini dapat dilihat

dari produk pemikiran Islam dari abad ke abad yang tiada henti

16

terus merujuk pada teks. Tidak sedikit dari para ulama dahulu

dan masih berjalan hingga sekarang yang ’seakan-akan’

menganggap bahwa kebenaran adalah dengan hanya merujuk

teks (Al Quran). Kitab-kitab fiqih, dapat dikatakan sebagai bentuk

penjabaran dari peradaban teks tersebut. Banyak sekali para

ulama Muslim yang mensakralkan kitab-kitab fiqh tersebut. Di

lain sisi, peradaban Barat sering disebut peradaban konsep.

Peradaban yang penuh dengan kematangan metode dan

pendekatan. Berbeda dengan Islam, meksipun peradaban Islam

juga berasas pada konsep, tapi -lagi-lagi- merujuk teks. Artinya,

peradaban Islam selalu memosisikan teks sebagai poros utama.

Teks adalah segala-galanya dan menjadi tempat pijakan yang

utama

Dengan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa

sebenarnya teks tak bisa dilepaskan dari gerak peradaban umat

Islam. Namun persoalannya adalah teks yang diartikan secara

literal. Maksudnya, teks yang (sesungguhnya) merupakan produk

sejarah –dan oleh karena itu ia adalah profan- dalam prakteknya

dipandang bertuah, sakral, dan melampaui sejarah. Maka

terjadilah kesenjangan antara teks dan realitas kemanusiaan.

Kesenjangan itu bisa berbentuk ketidaktahuan akan modernitas,

sehingga menimbulkan rasa terasing, sikap anti Barat, serta

upaya menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam yang dianggap

17

“murni”: sebagaimana yang dikandung teks Al-Quran dan

Sunnah. Upaya menggapai yang “murni” ini, memunculkan

gerakan pemurnian (puritanisasi) atas hal-hal yang dianggap

bukan asli Islam.18

Sebagaimana digambarkan oleh Amin Abdullah bahwa posisi teks

menjadi amat menentukan dalam proses menuju keemasaan

peradaban Arab-Islam. Namun pada saat yang sama, peran dan

pemosisian teks itu pula yang mendorong peradaban Arab-Islam

berada pada titik terendahnya. Peran dan posisi teks menjadi

amat dominan dalam struktur nalar Arab-Islam oleh karena

topangan sosial-politik yang amat kuat.

Tanpa harus meninggalkan teks, seharusnya kita dapat

menggunakan tawaran metodologi  dari beberapa intelektual

Muslim untuk mempertahankan eksistensi keberagamaan kita

saat ini. Sementara itu, persoalan besar akan selalu mengikuti

kelompok yang melakukan gerakan ”pemurnian” (puritan),

utamanya ketika mereka meniscayakan ketundukan atas Al-

Qur’an dalam bentuknya yang tekstual. Ketika teks diposisikan

sebagai barang transenden, tidak terpengaruh hiruk-pikuk soal

kemanusiaan, maka ia akan mati. Teks, oleh mereka diposisikan

monointerpretatif: Ditafsirkan sekali untuk berlaku selamanya.

18 Hilay Basya, ”Quran Tak Turun Diruang Hampa”

dalam http://islamlib.com, diakses pada tanggal 15 Maret 2009.

18

Makna yang dikandung teks, bagi mereka identik dan permanen

dengan teks. Padahal teks adalah produk budaya. Al-Qur’an

sebagai firman Allah yang direkam dalam bentuk teks, diproduksi

oleh sebab dan peristiwa yang biasa dikenal sebagai asbab al

nuzul.19

Terdapat beberapa kelemahan di dalam

epistemologi bayani ini, dantaranya adalah; pertama, ketika

berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh

komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain,

biasanya, corak berpikir ini cenderung bersifat dogmatik,

defensif, apologetis, dan polemis dengan semboyan kurang lebih

“right or wrong is my country.” Kedua, hal ini terjadi karena

fungsi akal hanya untuk mengukuhkan dan membenarkan

otoritas teks. Padahal, dalam realitasnya, seringkali terjadi ada

jurang antara yang terdapat dalam teks dengan pelaksanaannya,

sebab akan sangat bergantung pada kualitas pemikiran,

pengalaman dan lingkungan sosial tempat teks tersebut

dipahami dan ditafsirkan.

Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa

karena bayani hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi

terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial,

sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah

19 Ini merupakan hasil catatan yang dirangkum dari mata kuliah

Hermeneutika dan Ulumul Quran.

19

dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya,

pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi

pemikiranbayani kurang bisa merespon dan mengimbangi

perkembangan peradaban dunia. Wallahu a’lam bi al shawab.

V. KESIMPULAN

Dari penjabaran diatas jelaslah bahwa

epistemologi bayani adalah kerangka berfikir yang cenderung

menggunakan teks sebagai poros utama. Teks adalah nomor

satu dan yang lainnya adalah penguat, termasuk akal. Sehingga

tidak heran bila disebut sebagai tekstual-epistemologi. Otoritas

tekslah yang bekerja dan manusia ”dipaksa” tunduk pada teks

yang bisu.

Sebagaimana sudah disebutkan diatas bahwa karena bayani

hanya mendasarkan segalanya pada teks, maka ia tidak atau

kurang mampu untuk dinamis mengikuti sejarah dan sosial

masyarakat yang terus berkembang dari waktu ke waktu dengan

sangat cepat. Hal ini terbukti dengan masih banyak pemikiran

intelektual Muslim yang didominasi oleh epistemologi ini yang

tidak mampu mengimbangi perkembangan peradaban dunia.

20

Terakhir, saran konstruktif teman-teman sangat berarti bagi

penulis, karena untuk perbaikan makalah ini menjadi lebih baik

dan sempurna. Dan sekali lagi ucapan terimakasih saya kepada

Bapak Dosen dan teman-teman atas segala bantuannya. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, alih bahasa, Burhan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003Hadi, P. Hardono,  Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), Yogyakarta: Kanisius, 1994

Al-Jabiri, Muhammad Abed,  Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991

Al Jabiri, Muhammad Abed, Post Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000

Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid,  Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). Dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. 

21

Adonis. Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam. Terj. Khairon Nahdiyyin. Yogyakarta: LkiS, 2007.

Ainuurofiq (ed,). Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushulul Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Ar-ruzz Press, 2002.

Al Jabiri, Muhammad Abed. Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius. Terj. Iman Khoiri. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Basya, Hilaly. ”Quran Tak Turun Diruang Hampa” dalam http://islamlib.com.

Hakim, Lexi Zulkarnaen. ”Al Jabiri dan Kritik Nalar Arab” dalam http://kommabogor.wordpress.com.Mu’allim, Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2001.

Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Nicholson, Reynold A. Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman, Jakarta: Rajawali, 1987

Sholeh, Khudari. ”Model-Model Epistemologi Islam” dalam http://khudarisholeh. blogspot.com.

_________________. ”Epistemologi Bayani” dalam http://khudarisholeh. blogspot.com.

Syafrin, Nirwan, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004

Soleh, A. Khudori,  M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003

Tafsir, Ahmad,  Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006

22

Zuhri, Muhammad. ”Dari Al Jabiri Tentang Nalar Etika Islam”, Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman, Vol 8, No. 1, Januari 2008.

23