Metabolisme Besi

download Metabolisme Besi

of 29

Transcript of Metabolisme Besi

  • 7

    TINJAUAN PUSTAKA

    Status, Kecukupan serta Masalah Gizi Pekerja Wanita Usia Subur (WUS)

    Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi,

    penyerapan dan penggunaan makanan. Untuk memperoleh status gizi yang baik,

    seseorang memerlukan makanan yang seimbang yaitu yang mengandung zat gizi:

    karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air dalam jumlah yang cukup.

    Keenam macam zat gizi tersebut diperlukan manusia dalam jumlah yang berbeda-

    beda tergantung tahap atau masa perkembangan hidupnya. Kekurangan atau

    kelebihan salah satu atau lebih zat gizi tersebut jika berlangsung lama akan

    menimbulkan masalah gizi atau malnutrition (Almatsir 2002). Pada Tabel 1 dapat

    dilihat angka kecukupan berbagai macam zat gizi untuk wanita di Indonesia.

    Tabel 1 Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk wanita per orang per hari

    Deskripsi 16-8 tahun 19-29 tahun 30-49 tahun

    Berat badan (kg) 50 52 55

    Tinggi badan (cm) 150 156 156

    Energi (Kal) 2 200 1 900 1 800

    Protein(g) 55 50 50

    Vitamin A (g) 600 500 500 Vitamin D (IU) 5 200 200

    Vitamin E (mg) 15 15 15

    Vitamin C (mg) 75 75 75

    Thiamin (mg) 1.1 1.0 0.9

    Riboflavin (mg) 1.0 1.1 1.1

    Niasin (mg) 14 14 14

    Vitamin B-6 (mg) 1.2 1.3 1.3

    Vitamin B-12 (g) 2.4 2.4 2.4 Asam Folat (g) 400 400 400 Vitamin K (g) 55 55 55 Kalsium (mg) 1 000 800 800

    Fosfor (mg) 240 240 270

    Magnesium (mg) 1 000 600 600

    Fluor (mg) 2.5 2.5 2.7

    Besi (mg) 26 26 26

    Mangan (mg) 1.6 1.8 1.8

    Seng (mg) 14 9.3 9.8

    Selenium (g) 30 30 30 Yodium (g) 150 150 150

    Sumber: LIPI (2004)

  • 8

    Sebagaimana negara yang sedang berkembang, hingga kini Indonesia masih

    mengalami berbagai masalah gizi, khususnya gizi kurang yang terutama dialami

    oleh keluarga miskin. Secara khusus, terdapat empat masalah gizi utama yang

    masih dihadapi Indonesia yaitu gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia

    gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan kurang energi dan protein (KEP).

    Masalah gizi yang banyak ditemui pada kelompok WUS 18-45 tahun adalah AGB

    (Atmarita 2005).

    Pertumbuhan WUS masih dipengaruhi oleh perubahan hormonal, kognitif,

    serta emosi. Pada masanya ini WUS memerlukan makanan dengan zat-zat gizi

    yang optimal agar pembentukan butir darah merahnya cukup. Bila konsumsi

    makanan tidak mencukupi, sehingga gizi yang dibutuhkan pun kurang, maka

    status gizinya akan terganggu. Hal ini berpengaruh pula pada menurunnya

    kebugaran tubuhnya apalagi jika sebagai pekerja, energi yang harus

    dikeluarkannya cukup banyak (Almatsier 2002).

    Menurut PKK Depkes RI (2004), para pekerja WUS selama ini kebanyakan

    lebih tergiur pada makanan yang sedang ngetren, yang sebagian besar tidak

    mengacu pada pola makan yang mencukupi asupan zat gizi optimal Selain itu,

    rendahnya upah yang diterimanya sering menjadi alasan mengapa untuk makan

    siangnya para pekerja wanita tersebut hanya membeli makanan kecil/jajanan yang

    tidak akan mampu memenuhi kebutuhan gizi mereka. Kondisi ini yang membuat

    mereka sulit memenuhi kebutuhan zat-zat gizi mikro, terutama zat besi sehingga

    mengakibatkan AGB.

    Besi dan Interaksinya dengan Zat Gizi Mikro yang Lain

    Zat gizi mikro dibutuhkan dan terdapat dalam jumlah yang sangat kecil di

    dalam tubuh namun memiliki peranan yang penting untuk kehidupan. Di antara

    keenam macam zat gizi, beberapa mineral dan semua jenis vitamin digolongkan

    ke dalam zat gizi mikro. Termasuk ke dalam golongan mineral mikro tubuh yang

    telah ditetapkan angka kecukupannya di Indonesia adalah besi (Fe), seng (Zn),

    selenium (Se), yodium (I), Fluor (F) dan mangan (Mn).

    Besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam

    tubuh manusia dan hewan. Besi merupakan elemen kunci dalam metabolisme

    hampir semua organisme hidup. Pada manusia, besi merupakan komponen

  • 9

    penting dari ratusan protein dan enzim. Dalam bentuk padat, besi sebagai metal

    atau senyawa besi. Dalam larutan, besi ada dalam bentuk ferro dan bentuk ferri.

    Besi dalam bentuk senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai

    pembawa oksigen dalam darah. Sekitar 85% besi dalam tubuh ada dalam

    senyawa dengan protein dan sekitar 5% ada dalam protein otot juga ada dalam sel.

    Semua senyawa itu sangat vital untuk pernafasan sel dimana oksigen dan karbon

    dioksida bertukar. Sisanya digunakan dalam enzim. Besi dapat disimpan

    sementara dalam suatu bentuk larut protein plasma atau bentuk tak larut dalam

    hati (IOM 2001-FNB; Gibson 2005).

    Selain pada Hb, besi juga ditemukan pada mioglobin, hemosiderin, feritin

    serta sejumlah protein dan enzim (misalnya, enzim sitokrom e oksidasi). Kadar

    total besi dalam senyawa-senyawa tersebut sekitar 15-40 persen. Mioglobin juga

    berfungsi untuk mengangkut oksigen. Oksigen pada mioglobin juga terikat pada

    Fe++

    . Oksigen yang telah diangkut Hb dari paru-paru ke jaringan tubuh akan

    diberikan ke mioglobin. Mioglobin akan memberikan oksigen tersebut ke organel

    sel yang mengkonsumsi oksigen yaitu mitokondria. Oksigen pada mitokondria

    digunakan untuk proses oksidasi sehingga dihasilkan energi.

    Fungsi dan Metabolisme Besi

    Besi mempunyai fungsi penting seperti sebagai alat angkut oksigen, sebagai

    alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi

    enzim di dalam jaringan tubuh. Fungsi besi dalam senyawa besi sebagai

    hemoglobin, myoglobin, enzim diperlukan dalam fungsi metabolisme. Besi

    mengangkut dan menyimpan oksigen, mengangkut elektron mitokondria dan

    sintesis DNA. Total besi tubuh pada manusia adalah sekitar 3.8 g, pada wanita

    kurang lebih 2.3 gram (Vijayaraghavan 2009), adapun menurut Almatsier (2002)

    besi tubuh pada manusia dewasa mencapai 3-5 gram. Sebesar 60 sampai 80

    persen besi dalam tubuh manusia terdapat pada Hb. Dalam tubuh, senyawa besi

    dikelompokkan menjadi dua yaitu (a) senyawa fungsional (esensial) dan

    berhubungan dengan fungsi enzimatik atau metabolik seperti hemoglobin (Hb),

    mioglobin, non heme enzim, transferin dan (b) senyawa besi yang berhubungan

    dengan transportasi dan penyimpanan. Alur perjalanan besi dalam tubuh dapat

    dilihat pada Gambar 1.

  • 10

    Gambar 1 Skema perjalanan Fe di dalam tubuh

    (Whitney & Rolfes 1999)

    Dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dalam

    hati, limpa dan sumsum tulang. Simpanan besi ada di hati, sumsum tulang yaitu

    sebagai feritin dan hemosiderin. Simpanan zat besi sebagai feritin dan

    hemosiderin sebanyak 30%, sumsum tulang belakang 30% dan selebihnya di

    dalam limfa dan otot. Dari simpanan besi tersebut hingga 50 mg sehari dapat

    dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan Hb (IOM-FNB 2001;

    Almatsier, 2002).

    Feritin bersirkulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam

    tubuh. Pengukuran feritin didalam serum merupakan indikator penting untuk

    menilai status besi. Jumlah besi dalam tubuh bervariasi dari 0-1000 mg dimana

    Kelebihan disimpan

    sebagai feritin Sebagian

    hilang melalui sel

    usus halus yang

    dibuang Fe dalam alat transport

    transferin reseptor

    Sel mukosa usus halus: Fe pindah ke alat

    transport transferin reseptor

    Fe diangkut Transferin

    mukosa

    Fe dalam saluran cerna

    Hati & limfa mengeluarkan Fe dari sel darah merah dan

    mengikatkan ke transferin

    Sumsum tulang mengikatkan Fe ke Hb

    sel darah merah

    Darah mengangkut Fe

    sebagai Hb sel darah merah

    Fe dibawa darah oleh

    transferin

    Kelebihan disimpan sebagai feritin &

    hemosiderrin

    Sebagian hilang melalui

    darah

    Sebagian hilang dalam

    keringat, kulit, urin

    Menyimpan kelebihan

    sebagai metalotionin

  • 11

    jumlah pada wanita lebih rendah dari pria. Pada pria dewasa simpanan besi

    berkisar 500-1000 mg, sedangkan pada wanita dewasa lebih rendah dan jarang

    melebihi 500 mg. Banyak wanita di negara sedang berkembang tidak mempunyai

    cadangan besi karena ketersediaan biologis rendah dan sumber besi heme dalam

    makanan terbatas (O Brien et.al, 1999). Total besi pada manusia sangat

    bervariasi dengan berat badan, jenis kelamin, jumlah kompartemen simpanan besi

    dan konsentrasi Hb. Hemoglobin merupakan senyawa protein heme yang

    mengandung Fe ++

    . Hemoglobin adalah senyawa yang paling banyak dan sangat

    mudah disampel dari protein-protein heme; diperkirakan berisi lebih dari 65%

    besi tubuh. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen melalui aliran darah dari

    paru-paru ke jaringan tubuh yang lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah

    mengandung 15 gram Hb. Jumlah tersebut dapat mengangkut 0,03 gram oksigen

    (Gibson 2005).

    Metabolisme besi termasuk unik karena kecilnya pertukaran besi dengan

    lingkungan setiap harinya. Hal ini tergambar dari hanya 1 mg yang harus diserap

    tubuh untuk mempertahankan keseimbangan besi karena ekskresi. Rangkaian

    metabolisme besi di dalam tubuh terdiri dari lima tahap yaitu penyerapan,

    transportasi, pemanfaatan/pengawetan, penyimpanan dan ekskresi. Pada Gambar

    2 dapat dilihat skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa.

    Penyerapan besi dalam tubuh terjadi di bagian atas duodenum dengan

    bantuan alat angkut protein khusus. Dalam bahan makanan besi terdapat dalam

    bentuk besi-hem (seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan

    hewani) dan besi-nonheme (dalam makanan nabati). Absorpsi besi hem dapat

    mencapai 25%, sedangkan besi-nonhem (ion besi) hanya 5%. Agar dapat

    diabsorpsi besi nonhem harus berada dalam bentuk terlarut. Di dalam lambung

    besi nonhem diionisasi oleh asam lambung, direduksi menjadi ferro dan

    dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula dan asam amino yang

    mengandung sulfur. Pada suasana pH hingga 7 di dalam duodenum, sebagian

    besar besi dalam bentuk ferri akan mengendap, kecuali dalam keadaan terlarut

    seperti di atas. Besi fero larut pada pH 7 sehingga dapat diserap. Taraf

    penyerapan besi diatur oleh mukosa saluran cerna yang ditentukan oleh kebutuhan

  • 12

    Gambar 2 Skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa

    (Krause & Mahan 2004)

    tubuh. Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai

    alat angkut protein yang berbolak-balik membawa besi ke permukaan sel usus

    halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga saluran cerna

    untuk mengangkut besi lain. Di dalam sel mukosa besi dapat mengikat apoferitin

    dan membentuk feritin sebagai simpanan besi sementara dalam sel. Di dalam sel

    mukosa apoferitin dan feritin bergabung masuk melewati membran basoteral

    secara difusi dan siap untuk diabsorpsi melalui transpor aktif.

    Penyebaran (transpor) besi dari sel mukosa ke sel-sel tubuh berlangsung

    lebih lambat dibandingkan penerimaannya pada saluran cerna, bergantung pada

    simpanan besi dalam tubuh dan kandungan besi dalam makanan. Laju transpor

    besi diatur oleh jumlah dan tingkat kejenuhan transferin. Besi dilepaskan dari

    feritin dalam bentuk ferro masuk ke plasma darah, sedangkan apoferitin yang

    DESQUAMASI

    SEL-SEL

  • 13

    terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel

    mukosa. Setelah masuk kedalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi

    menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu

    transferin. Plasma darah selain menerima besi yang berasal dari penyerapan

    makanan, juga menerima besi dari simpanan, pemecahan hemoglobin dan sel-sel

    yang telah mati. Plasma juga harus mengirim besi ke sumsum tulang untuk

    pembentukan hemoglobin, ke sel endothelial untuk disimpan, dan ke semua sel

    untuk fungsi enzim yang mengandung besi. Jumlah besi yang setiap hari yang

    diganti (turnover) sebanyak 20-25 mg per hari, di mana hanya sekitar 1 mg yang

    berasal dari makanan.

    Banyaknya besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin

    umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik,

    dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali.

    Besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan

    hemosiderin di dalam sel parenkhim hepatic, sel retikuloendotelial sumsum

    tulang, hati dan limfa.

    Ekskresi dari besi sebanyak 0,5-1,0 mg per hari, dikeluarkan bersama-sama

    urin, keringat dan fases. Dapat pula besi dalam hemoglobin keluar dari tubuh

    melalui perdarahan, menstruasi dan saluran urin. Sisanya dibawa ke bagian tubuh

    lain yang membutuhkan, sedangkan kelebihan besi yang dapat mencapai 200

    hingga 1.500 mg disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati

    (30%), sumsum tulang belakang (30%) dan selebihnya di dalam limpa dan otot.

    Simpanan besi dapat mencapai 50 mg per hari yang dapat dimobilisasi untuk

    keperluan tubuh seperti membuat hemoglobin (Krause & Mahan 2004)

    Kebutuhan, Angka Kecukupan dan Sumber Besi

    Faktor yang mempengaruhi kebutuhan besi adalah keasaman lambung dan

    bioavailabilitas termasuk pemacu dan penghambat penyerapan besi nonheme.

    Menurunnya keasaman lambung karena berbagai sebab, misalnya konsumsi

    antasida berlebihan, dapat menghambat penyerapan besi. Vitamin C dan asam

    organik lain merupakan pemacu penyerapan besi nonheme. Adapun fitat,

    polyfenol, protein nabati dan kalsium merupakan penghambat penyerapan besi

    nonheme (IOM-FNB 2001).

  • 14

    Angka kecukupan besi pada kelompok wanita di atas 18 tahun adalah 26

    mg/hari yang didasarkan pada tingkat penyerapan 10% dan estimated average

    requirement (EAR) = 14.6. Estimated average requirement (EAR) adalah

    rata-rata level intik zat gizi harian yang diduga memenuhi kebutuhan zat gizi

    dari setengah populasi sehat pada kelompok umur dan jenis kelamin tertentu.

    Untuk wanita menopause, karena tidak ada lagi kehilangan besi akibat

    menstruasi sehingga kecukupan besi adalah 12 mg/hari. Pada wanita hamil,

    kebutuhan besi selama masa kehamilan sangat tinggi, FAO/WHO/UNU (2001)

    menganjurkan agar wanita hamil, khususnya trimester 2 dan 3, mendapatkan

    tambahan (pil) besi dengan dosis 100 mg/hari. Selama masa kehamilan (280 hari)

    terjadi kehilangan besi basal 250 mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan

    kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin (termasuk simpanan) 500 mg

    atau total sekitar 1.1 gram. Adapun bagi wanita yang sedang menyusui,

    kecukupan besi selama masa menyusui memperhitungkan kehilangan besi akibat

    menstruasi serta kebutuhan untuk mempertahankan kualitas besi ASI. Jika

    kecukupan besi pada keadaan normal (tidak hamil) adalah 26 mg/hari. Ekskresi

    besi melalui ASI sekitar 0.25 mg/hari atau dibutuhkan sekitar 2.5 mg/hari jika

    tingkat penyerapan 10%. Oleh sebab itu, kecukupan besinya adalah 32 mg/hari

    (Kartono & Soekatri 2004).

    Makanan sumber besi antara lain daging, jeroan, ikan dan unggas yang

    mengandung tinggi besi heme. Adapun sumber besi non-heme adalah dari nabati

    kedele, kacangan, sayuran daun hijau dan rumput laut. Besi dari sumber nabati

    (non-heme) bioavailabilitasnya lebih rendah dibanding heme yang terdapat dalam

    besi dari sumber hewani (Almatsier 2002; Gibson 2005).

    Besi yang berasal dari sumber hewani (heme) dapat diserap (30%) lebih

    baik dibanding yang berasal dari sumber nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam

    dan daging) sendiri mengandung non heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi

    heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain besinya mudah diserap (23%)

    dibanding besi dari non heme (2-20%), heme juga membantu penyerapan non

    heme. Adanya asam fitat, asam oksalat dan serat berpengaruh negatif terhadap

    penyerapan besi. Adapun vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi.

    Perhitungan perkiraan penyerapan besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan

  • 15

    yaitu penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan

    penyerapan besi rendah (5%). Menu makanan yang porsi sumber hewaninya

    besar, penyerapan besinya menjadi maksimal dan sebaliknya (Gibson 2005; IOM-

    FNB 2001).

    Interaksi Besi dengan Zat Gizi Mikro Lainnya

    Penyerapan mineral dalam usus halus dipengaruhi oleh beberapa faktor

    salah satunya adalah adanya interaksi dengan zat gizi lain. Interaksi ini dapat

    dalam bentuk interaksi sinergistik (saling bekerjasama/menguntungkan),

    antagonistik (mengurangi kerja yang lain) maupun kombinasi keduanya. Interaksi

    zat besi antagonistik terlihat antara zat besi dengan mineral seng dan antara zat

    besi dengan kalsium. Pada pemberian suplemen besi dosis tinggi bersamaan

    dengan seng, zat besi akan menghambat penyerapan seng. Menurut OBrien et al.

    (1999), jika rasio antara besi dan seng lebih dari 2:1 akan mengakibatkan

    gangguan penyerapan pada unsur yang lebih sedikit. Besi dan seng saling

    berkompetensi pada saat transportasi karena keduanya sama-sama diangkut oleh

    transferin. Menurut Almatsier (2002), sintesis hem akan terganggu bila terjadi

    kekurangan seng, hal ini dikarenakan seng merupakan ko-faktor dari asam amino

    levulinik dehidrase (ALA Dehidrase). Salah satu peranan seng dalam tubuh

    adalah meningkatkan kekebalan, oleh karenanya kekurangan seng akan dapat

    meningkatkan infeksi yang pada akhirnya mengganggu metabolisme besi.

    Interaksi zat besi dengan tembaga (Cu) dan interaksi zat besi dengan vitamin

    A adalah contoh interaksi sinergistik di mana status tembaga yang cukup

    diperlukan untuk zat besi ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah.

    Vitamin A bersama dengan asam folat, vitamin B12, riboflavin dan vitamin B6

    diperlukan untuk produksi sel darah merah secara normal. Vitamin A bersama

    vitamin C dan riboflavin juga dapat mencegah anemia dengan cara

    meningkatkan penyerapan besi dari usus atau dengan membantu mobilisasi besi

    dari simpanan tubuh (Fishman, Christian & West 2000).

    Efek pemberian vitamin A sangat menguntungkan dalam peningkatan status

    besi pada penderita defisiensi anemia defisiensi zat besi. Review beberapa studi

    yang dilakukan MIP (2000) dalam Briawan (2008) menunjukkan bahwa

    penambahan vitamin A yang cukup dapat membantu pemeliharaan besi di dalam

  • 16

    plasma dan jaringan sehingga akhirnya membantu peningkatan pembentukan sel

    darah merah. Ekayanti (2005) dalam penelitian membuktikan bahwa penambahan

    vitamin A (betakaroten 10.000 IU) pada suplemen besi folat (ferro fumarat 250

    mg dan asam folat 0,5 mg) dapat meningkatkan hemoglobin pekerja WUS anemik

    sebesar 1,311,23 g/dl. Angka peningkatan ini lebih tinggi dibandingkan jika

    tidak ditambahkan vitamin A yakni sebesar hanya 0,531,09 g/dl. Hasil penelitian

    ini mirip pula dengan penelitian Ahmed et al. (2001) di Bangladesh.

    Besi berinteraksi sinergis dengan vitamin B kompleks. Vitamin B12 dan

    asam folat diperlukan pula dalam pembentukan sel darah merah, sehingga

    kekurangan kedua vitamin tersebut juga dapat mengakibatkan anemia akibat

    penurunan produksi darah merah (anemia megaloblastik). Selama ini asam folat

    selalu ditambahkan pada suplemen besi untuk wanita hamil, namun penambahan

    vitamin B12 ke dalam suplemen besi masih jarang dilakukan. Vitamin B2

    (riboflavin) berperanan dalam proses penyerapan, mobilisasi simpanan besi dan

    eritropoiesis. Kekurangan riboflavin dalam jangka waktu lama dapat

    menyebabkan anemia normositik normokromik. Piridoksin merupakan kofaktor

    enzim untuk sintesis heme, sehingga defisiensi vitamin ini dapat menyebabkan

    anemia sideroblastik. Adapun thiamin, niasin dan asam pantotenat berperanan

    penting pada beberapa enzim yang secara tidak langsung berhubungan dengan

    meatabolisme besi dan eritropoiesis. Pada Gambar 3 dapat dilihat peranan

    vitamin pada metabolisme zat besi.

    Interaksi zat besi juga dapat terjadi dengan Mangan (Mn) dan Kobal (Co),

    yang mana penyerapan mangan yang banyak akan meningkatkan resiko defisiensi

    zat besi, sedangkan interaksi kekurangan kobalamin dengan zat besi dapat

    menyebabkan anemia pernisiosa. Zat besi juga dapat berinteraksi dengan beberapa

    logam berbahaya seperti aluminium (Al), timah (Pb) dan cadmium (Cd)

    (Crichton, 2001).

  • 17

    Gambar 3 Peranan vitamin dalam metabolisme zat besi

    (Hughes-Jones & Wickramasinghe 1996 dalam Fishman et al. 2000)

    Penentuan Status Gizi dan Status Besi

    Status gizi seseorang dapat dinilai melalui berbagai metode, antara lain,

    pemeriksanaan fisik (klinis), pemeriksaan biokimiawi (laboratoris), antropometri,

    studi konsumsi pangan dan studi faktor-faktor ekologi. Pemeriksanaan klinis

    dilakukan dengan cara mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat

    gangguan kesehatan dan penyakit gizi, sedangkan pemeriksaan laboratoris

    Kehilangan Darah

    (haid, pendararahan)

    Retikulosit

    Eritroblast

    Pro-

    Eritroblast

    Stem sel

    Sumsum Tulang

    Eritropoesis:

    Vitamin A

    Asam Folat

    Vitamin B12

    Riboflavin

    Vitamin B6

    Fungsi Antioksidan:

    Vitamin E

    VitaminC

    Mobilisasi besi:

    Vitamin A

    Vitamin C

    Riboflavin

    Eritrosit darah

    Simpanan Besi

    (Feritin, hemosiderin)

    (dalam hati, darah)

    Transferin Darah

    Sel Retikulo

    endothelial

    (Hati, Limpa)

    Penyerapan di

    usus:

    Vitamin A

    Vitamin C

    Riboflavin

    Jaringan Periferal

    (contoh: otot, plasenta)

    Kehilangan besi di feses

    Mukosa

    Usus

    Asupan besi

  • 18

    dilakukan untuk mendektesi defisiensi zat gizi marjinal (batas antara kurang dan

    cukup), terutama bila data riwayat makanan tidak lengkap dan tidak tersedia.

    Kedua pemeriksaan di atas memerlukan tenaga ahli yaitu paramedis dan teknisi

    laboratorium. Penilaian status gizi yang paling sering dilakukan karena cukup

    mudah dan praktis adalah antropometri menggunakan indeks masa tubuh (IMT)

    dan studi konsumsi pangan menggunakan metode mengingat kembali (recall) dan

    kuesioner frekuensi makan (food frequency questionnaires).

    Indek masa tubuh (IMT) atau Body Mask Indeks (BMI) merupakan ukuran

    antropometri yang baik digunakan pada orang dewasa yang memberikan

    gambaran mengenai asupan gizi seseorang pada masa lampau. Ukuran

    antropometri lainnya adalah rasio lingkar pinggang-pinggul (RPP) yang

    menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul, dan lingkar

    lengan atas (LILA) yang menggambarkan simpanan lemak di dalam tubuh. IMT

    dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

    di mana

    IMT = indeks massa tubuh dalam kg/m2

    BB = Berat Badan dalam kg, dan

    TB = Tinggi Badan dalam m

    Status gizi menurut IMT untuk orang dewasa dapat dikategorikan sebagai

    berikut: kurus (25 kg/m

    2).

    Adapun rasio lingkar pinggang-pinggul yang ideal adalah 0,8 untuk wanita

    dewasa dan 0,9 untuk pria dewasa. Ukuran LILA menggunakan cut-off point

    23,5 untuk mendeteksi adanya kekurangan energi kronis (KEK) (Gibson, 2005).

    Sesuai dengan rekomendasi INACG (2003), untuk mengkaji status besi

    dalam suatu populasi selama ini umumnya menggunakan biomarker yang

    memungkinkan secara rutin dilakukan di lapangan yaitu hemoglobin atau

    hematokrit darah. Hal ini juga sesuai dengan WHO (2008) yang menyatakan

    bahwa konsentrasi hemoglobin adalah indikator anemia yang paling handal di

    tingkat populasi. Pengukuran konsentrasi hemoglobin secara relatif mudah dan

    murah dilakukan, dan pengukuran ini paling sering digunakan sebagai satu

    2TB

    BBIMT

  • 19

    indikator kekurangan zat besi. Selain itu, hematokrit juga salah satu biomarker

    yang pada umumnya dilakukan dalam pengkajian klinis dan sering digunakan

    dalam survai anemia karena kesederhanaan dan kemudahan dalam penyediaan

    peralatan yang diperlukan.

    Sementara itu WHO (2005) menyatakan bahwa serum ferritin (SF) adalah

    indikator terbaik untuk mengukur respon suatu intervensi yang bertujuan untuk

    mengatasi kekurangan zat besi, sehingga harus diukur bersamaan dengan

    konsentrasi hemoglobin dalam evaluasi program. Namun demikian pengukuran

    feritin cenderung tinggi pada sampel yang mengalami infeksi sehingga tidak

    menggambarkan simpanan besi tubuh secara tepat. Adapun pengukuran serum

    transferin reseptor (STfR) lebih sesuai digunakan pada yang mengalami infeksi

    karena kurang begitu terpengaruh oleh kondisi infeksi. Menurut WHO (2007),

    pengukuran SF dikombinasikan dengan STfR memberikan pendekatan terbaik

    untuk mengukur status zat besi populasi. Pada umumnya konsentrasi STfR tidak

    naik dalam respon terhadap peradangan sehingga bila dikombinasikan dengan

    konsentrasi serum feritin memungkinkan untuk membedakan antara defisiensi

    besi dan peradangan. Keuntungan lainnya adalah jumlah zat besi dalam tubuh

    dapat dihitung dari rasio STfR dan SF yang diperkirakan dengan menggunakan

    formula Cook et al. (2003) yaitu:

    Fe = -[log(STfR:SF)-2.8229] / 0.1207

    di mana: Fe = jumlah zat besi di dalam tubuh dalam mg/kg berat badan

    Log = logaritma 10

    STfR = serum transferin reseptor dalam mg/lx103

    SF = serum feritin dalam ug/l

    Penelitian pada 409 wanita berusia 20 sampai dengan 45 tahun di Amerika, rataan

    simpanan besi tubuhnya sebesar 4.874.14 mg/kg. Namun demikian analisis

    distribusinya menunjukkan bahwa terdapat dua populasi, 93% memiliki rataan

    simpanan besi tubuh sebesar 5.53.35 mg/kg, sedangkan sisanya 7% mengalami

    kekurangan besi dalam jaringan sebesar -3.873.23 mg/kg.

    Ukuran tingkat bawah (cuttoff) hemoglobin dan hematokrit untuk

    mendeteksi anemia pada suatu wanita usia subur yang tidak sedang hamil adalah

    120 g/l dan 36% (WHO 2001, BPPK Depkes 2008). Berdasarkan konsentrasi SF,

  • 20

    ukuran relatif simpanan besi dalam tubuh termasuk kurang jika < 15 ug/l dan

    kelebihan (beresiko berat) jika > 150 ug/l. Namun pada yang mengalami infeksi

    ambang batas yang ditetapkan lebih tinggi yakni < 30 ug/l (WHO 2007). Salah

    satu cara untuk mengetahui ada tidaknya infeksi dalam tubuh dapat dilakukan

    dengan pemeriksaan laju endap darah (LED). Laju Endap Darah (LED) atau

    Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin

    untuk darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah diukur dengan

    memasukkan darah ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel

    darah merah yang mengendap maka makin tinggi Laju Endap Darah (LED)-nya.

    Tinggi rendahnya nilai pada Laju LED dipengaruhi oleh keadaan tubuh, terutama

    selama ada peradangan. Standar normal LED adalah 10 ml/jam pada 1 jam

    pertama dan 20 ml/jam pada 1 jam berikutnya atau setelah 2 jam. Seseorang yang

    anemia biasanya memiliki nilai LED yang tinggi.

    Untuk standar konsentrasi STfR, hingga kini belum ada yang baku karena

    tergantung kepada prosedur yang digunakan. Prosedur pengukuran STfR dalam

    penelitian ini mengacu kepada Erhardt (2004) yang mengemukakan bahwa nilai

    cut-off STfR yang dapat digunakan berdasarkan penelitiannya adalah 8.3 mg/l.

    Kebugaran Fisik

    Definisi dan Komponen Kebugaran Fisik

    Kebugaran fisik atau jasmani didefinisikan sebagai kemampuan tubuh

    seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan

    kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati

    waktu senggang serta untuk keperluan mendadak. Kebugaran fisik dalam bahasa

    Inggris adalah physical fitness. Physic artinya kondisi fisik sementara fitness

    artinya kecocokan, keserasian serta secara lebih jauh lagi kemampuan tubuh kita

    untuk beradaptasi, menjaga keseimbangan proses faali dan biokimiawi tubuh

    dalam keadaan stres berat termasuk kerja fisik. Kebugaran fisik dapat dibagi

    menjadi 3 kategori, yaitu kebugaran fisik yang statis (static), dinamis (dynamice)

    dan keterampilan motorik (motor skills). Kebugaran fisik statis artinya

    ketidakadaan atau keadaan terbebas dari kecacatan atau penyakit. Kebugaran fisik

    dinamis atau fungsional artinya kemampuan untuk melakukan pekerjaan fisik

    yang berat. Adapun kebugaran fisik keterampilan motorik adalah kemampuan

  • 21

    untuk melakukan gerakan koordinasi yang kompleks. Selain pengkategorian di

    atas, kebugaran fisik meliputi komponen-komponen seperti daya tahan jantung-

    paru, kekuatan otot, daya tahan otot, kelenturan, berat badan seimbang, daya ledak

    otot, kecepatan, kelincahan, koordinasi, dan keseimbangan (Marley 1982; Sharky

    1991). Adapun Quinn (2008) sebagaimana banyak pakar lainnya menetapkan

    bahwa komponen kebugaran fisik yang diperlukan untuk menunjang kegiatan

    sehari-hari adalah daya tahan jantung-paru, daya tahan otot, kekuatan otot,

    kelenturan dan komposisi tubuh.

    Daya tahan jantung-paru (cardiovascular endurance) merupakan

    kemampuan untuk melakukan aktivitas yang sedang secara terus menerus dalam

    jangka waktu tertentu. Hal ini merefleksikan seberapa baik jantung dan paru-paru

    bekerjasama untuk menyuplai oksigen ke tubuh seseorang selama melakukan

    kegiatan atau latihan. Daya tahan jantung-paru juga disebut kebugaran aerobik

    (aerobic fitness).

    Daya tahan otot (muscular endurance) adalah kemampuan untuk bertahan

    pada satu posisi tertentu pada satu periode waktu atau pada satu pergerakan yang

    berulang-ulang. Kekuatan otot (muscular strength) adalah kemampuan untuk

    menggunakan kekuatan maksimum otot sekali, seperti mengangkat beban paling

    berat yang bisa diangkat. Kekuatan otot seseorang dapat pada satu area tubuhnya

    saja, misalnya lengan tangan, sementara area lainnya seperti kakinya lemah.

    Kelenturan (fleksibility) adalah kemampuan untuk menggerakkan satu sendi

    dengan suatu gerakan menekuk, meregang dan memuntir. Kelenturan yang baik

    akan memberikan keleluasaan gerak tubuh tanpa mengalami cedera.

    Komposisi tubuh (body composition) adalah proporsi lemak dalam tubuh

    dibandingkan dengan tulang dan otot, ini tidak ada hubungannya dengan berat

    badan atau penampilan seseorang. Komposisi tubuh juga digambarkan sebagai

    berat badan tanpa lemak dan berat lemak. Berat badan tanpa lemak terdiri dari

    massa otot (40-50%) tulang (16-18%) dan organ tubuh (29-39%). Lemak badan

    yang berlebihan akan mengurangi komponen kebugaran lain, mengurangi kinerja,

    menganggu penampilan, dan akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan secara

    umum. Berat lemak (body fat-BF) dinyatakan dalam persentase berat lemak

    badan terhadap berat badan total (%LB). Ketidakmampuan tubuh dalam

  • 22

    melakukan aktivitas sering dikaitkan dengan berat (penimbunan) lemak (Marley

    1982; Quinn 2008).

    Pengukuran Kebugaran Fisik

    Kebugaran fisik sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan

    sehari-hari para pekerja. Akan tetapi nilai kebugaran fisik tiap-tiap orang

    berbeda-beda sesuai dengan tugas atau profesi masing-masing. Kebugaran fisik

    dapat diukur secara kuantitatif dengan beberapa metode. Memperhatikan

    komponen kebugaran fisik, maka telah dikembangkan pula beberapa jenis

    pengukuran untuk mengetahui daya tahan jantung-paru, kekuatan, daya tahan dan

    kelenturan otot dan sebagainya. Kriteria kebugaran fisik berdasarkan daya tahan

    jantung-paru (cardiorespiratory endurance) paling sering dilakukan di lapangan

    dan paling baik dinilai dengan mengukur VO2 maksimal (VO2Maks). VO2Maks

    merupakan satu ukuran seberapa bugar (fit) seseorang, dengan menyatakan

    volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga satuannya adalah

    ml/kg/menit (Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008.).

    Performa seorang pekerja sebagaimana juga seorang atlet berhubungan

    langsung dengan jumlah oksigen yang disuplai ke otot. Suplai oksigen ditentukan

    oleh seberapa sering jantung berdenyut, volume darah yang ditransportasikan oleh

    tiap denyutan dan jumlah oksigen di dalam darah tersebut. Juga tergantung kepada

    seberapa baik jaringan atau otot mengekstrak oksigen. Volume gerakan biasanya

    diukur dalam ml per denyut. Output jantung merupakan produk dari volume

    gerakan dan kecepatan jantung dan diukur dalam ml per menit. Hasilnya

    dikalikan dengan perbedaan konsentrasi oksigen maka didapatkan liter O2 yang

    diproses per menit. Jika melakukan pengukuran ini ketika seseorang bekerja pada

    kecepatan jantung maksimumnya, maka didapat VO2maks. Dengan bertambahnya

    usia akan semakin rendah nilai VO2maks-nya. Berdasarkan usia, puncak nilai

    VO2maks adalah pada usia 18-20 tahun (Quinn 2008).

    Berdasarkan kondisi dengan memperhatikan jenis kelamin dan usia, maka

    kriteria kebugaran fisik seseorang berdasarkan nilai VO2maks untuk wanita usia

    20-29 tahun adalah sebagai berikut: bila kurang atau sama dengan 28 ml/kg/menit

    maka derajat kebugarannya sangat kurang, antara 28 dan 34 kurang, antara 35 dan

  • 23

    43 sedang, antara 44 dan 48 baik dan bila lebih dari 48 adalah baik sekali

    (RHSFNS 2008).

    Kebugaran fisik seseorang yang beraktivitas aktif selain dapat ditentukan

    melalui pengukuran kapasitas aerobik, juga melalui pengukuran komposisi tubuh,

    serta test pemeriksaan beberapa parameter biomarker antara lain kadar

    hemoglobin, serum feritin serta tekanan darah dan denyut jantung dalam keadaan

    istirahat (Golding 1989; Sharkey 1991). Menurut Culpepper and Francis (1987),

    uji kapasitas aerobik adalah salah satu cara yang paling valid dalam menilai

    kebugaran fisik. Kapasitas aerobik terbesar adalah tingkat di mana tubuh dapat

    mengkonsumsi oksigen dan paling efisien mewakili integrasi dari berbagai proses

    fisiologis yang menyusun sistem transportasi oksigen. Namun demikian,

    pengukuran langsung dari kapasitas aerobik memerlukan peralatan laboratorium

    yang canggih, dan menimbulkan ketidaknyamanan subjek.

    Untuk memperkirakan kapasitas aerobik seseorang, uji yang paling banyak

    digunakan selama ini adalah step test (uji naik turun bangku) karena korelasinya

    terhadap VO2maks cukup tinggi dengan peralatan yang mudah dan praktis

    dioperasikan baik untuk di dalam maupun di luar ruangan. Peralatan yang

    diperlukan pada uji ini adalah bangku dengan ketinggian bervariasi antara 15-50

    cm atau 6-20 inch, stopwach dan pengukur denyut jantung. Protokol Uji bangku

    Harvard (Harvard step test-HST) merupakan salah satu uji bangku tertua yang

    dikembangkan oleh Harvard Fatigue Laboratory (Brouha, Graybiel, and Heath

    1943). Beberapa protokol uji bangku yang muncul berikutnya banyak yang

    merupakan pengembangan dari HST, seperti Astrand-Ryhming (A-R) step test

    (Astrand 1960).

    Pengujian kebugaran fisik dengan Astrand-Ryhming (A-R) step test (Astrand

    1960), memiliki beberapa keuntungan antara lain adalah: membutuhkan peralatan

    dan biaya minimal, memerlukan waktu sebentar sehingga memungkinkan untuk

    dikelola dengan lebih baik. Alat yang diperlukan bangku setinggi 33 cm (13 inci)

    untuk wanita dan 40 cm (16 inci) untuk pria, stopwatch dan metronome. Peserta

    diminta untuk naik-turun bangku selama 5 menit dengan frekuensi 22.5 kali per

    menit (dijaga stabil dengan mengikuti irama yang disetel dari metronome diset

    pada 90 ketuk/menit). Pada akhir menit ke lima, peserta diminta untuk tetap

  • 24

    berdiri dan denyut jantungnya segera dicek selama 15 detik sejak 15 detik

    pemulihan. Pengukuran denyut jantung dilakukan secara palpasi pada leher

    (carotid artery).

    Selain HST dan A-Rstep test, uji naik turun bangku lain yang cukup sering

    digunakan sebagai acuan adalah Queens College Step Test QCST serta the

    National Young Men's Christian Association (YMCA) three minutes step test.

    Kedua protokol tersebut juga merupakan modifikasi dari protokol uji naik turun

    Bangku Harvard (Harvard Step Test) yang telah banyak diuji validitas dan

    reabilitasnya antara lain oleh McArdle et al. (1972), Culpepper and Francis

    (1987), dan Lee et al. (2008).

    Setiap protokol di atas bergantung pada pengamatan bahwa ada hubungan

    linear antara denyut jantung dan tingkat kerja. Seseorang yang bugar (fit) akan

    memiliki respons denyut jantung lebih rendah pada suatu tingkat kerja, dan akan

    menunjukkan suatu perubahan dalam detak jantung yang rendah dengan adanya

    perubahan tingkat pekerjaan. Seseorang yang memiliki kapasitas aerobik tinggi

    akan memiliki denyut jantung pasca kerja (pemulihan) yang lebih rendah, karena

    denyut jantung mereka tidak naik terlalu tinggi pada saat melakukan pekerjaan

    fisik.

    Anemia dan Suplementasi Zat Gizi Mikro pada Wanita Usia Subur

    Anemia dan Kekurangan Zat Besi

    Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidakcukupnya massa sel darah

    merah yang beredar di dalam tubuh. Adapun dalam kesehatan masyarakat anemia

    didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang rendah, yakni berada di bawah

    ambang batas menurut umur dan jenis kelamin. Ambang batas hemoglobin untuk

    wanita dewasa sebesar 120 g/l; sedangkan untuk wanita hamil 110 g/l. Penyebab

    anemia yang paling banyak ditemui adalah akibat kekurangan zat besi. Penyebab

    anemia lainnya adalah adanya infeksi yang akut maupun kronis yang

    menyebabkan peradangan, kekurangan zat gizi mikro lain terutama asam folat,

    vitamin B12 dan vitamin A, serta sifat-sifat genetis yang diwariskan seperti

    talasemia (WHO 2007).

    Kekurangan zat besi adalah suatu keadaan di mana jumlah zat besi di dalam

    tubuh tidak cukup untuk mempertahankan fungsi fisiologis normal jaringan

  • 25

    seperti darah, otak, dan otot. Kekurangan zat besi dapat terjadi tanpa anemia jika

    berlangsung belum cukup lama atau jika belum cukup parah yang menyebabkan

    konsentrasi hemoglobin berada di bawah ambang batas. Faktor-faktor yang

    menyebabkan kekurangan zat besi dalam tubuh adalah rendahnya asupan zat besi

    dan ketersediaan biologi zat besi dalam makanan, adanya faktor penghambat zat

    besi dan rendahnya makanan atau zat yang memperlancar penyerapan zat besi.

    Kekurangan zat besi yang menyebabkan anemia gizi besi (AGB) ditandai

    dengan kulit pucat, lemah/letih, dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen.

    Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan

    menurunkan kognitif. Selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh.

    Kekurangan zat besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi kehabisan

    besi simpanan cadangan. Simpanan besi berkurang terlihat dari penurunan feritin

    dalam plasma hingga 12-15 g/l. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan

    penyerapan besi yang terlihat dari pengangkutan total iron binding capacity

    (TIBC). Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional pada tubuh. Tahap

    ke dua terlihat perubahan dengan habisnya simpanan besi dan menurunnya

    transferin jenuh hingga kurang dari 16% dan meningkatnya protoporfirin

    (prekursor heme). Pada tahap ini hemoglobin di dalam darah masih berada pada

    95% nilai normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga

    menyebabkan menurunnya kemampuan belajar karena malas, cepat lelah, letih,

    lesu, pusing, menurunnya nafsu makan, karena terjadi gangguan produksi

    hemoglobin (defisiensi besi tanpa anemia). Tahap ke tiga terjadi anemia

    defisiensi besi, di sini kadar Hb total menurun hingga di bawah nilai normal.

    Anemia defisiensi berat ditandai oleh sel darah merah yang mengecil

    (mikrositosis) dan nilai Hb rendah (hipokromia) (Almatsier 2002).

    Pemeriksaan hitung sel darah dapat digunakan sebagai tes skrining untuk

    memeriksa kemungkinan adanya anemia dan tipenya. Konsentrasi hemoglobin

    mencerminkan pengaruh gabungan dari mekanisme yang mengontrol ukuran

    massa sel darah merah dan volume plasma. Sel darah merah beredar dalam

    darah selama sekitar 90-120 hari dan satu persen di antaranya diganti setiap hari.

    Pada manusia normal massa sel darah merah dikontrol oleh laju produksi sel

    darah merah, sebab kehilangan sel darah merah karena penuaan relatif tetap.

  • 26

    Sel-sel yang beredar di dalam aliran darah dibagi menjadi tiga jenis: sel darah

    putih (leukosit), sel darah merah (eritrosit), dan platelet (trombosit). Tinggi

    rendahnya hasil penghitungan mungkin menunjukkan adanya berbagai bentuk

    kelainan, penyakit atau status kesehatan seseorang. Standar normal leukosit

    adalah 410 x 103/ul, eritrosit 4.25.4 x 106/ul sedangkan trombosit adalah

    150400 x 103/ul (WHO, 2007).

    Sel darah merah meliputi mean corpuscular volume (MCV), mean

    corpuscular hemoglobin (MCH) dan mean corpuscular hemoglobin concentration

    (MCHC). Mean corpuscular volume (MCV) adalah ukuran atau volume rata-rata

    eritrosit dengan standar normal sebesar 81-90 fl. Jika eritrosit lebih besar dari

    biasanya (makrositik) MCV meningkat, misalnya pada anemia karena kekurangan

    vitamin B12. Sebaliknya MCV menurun jika eritrosit lebih kecil dari biasanya

    (mikrositik) seperti pada anemia karena kekurangan zat besi. Mean corpuscular

    hemoglobin (MCH) adalah jumlah rata-rata hemoglobin dalam eritrosit, dengan

    standar normal sebesar 26.0-30.6 pg. Eritrosit yang lebih besar (makrositik)

    cenderung memiliki MCH yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada eritrosit yang lebih

    kecil (mikrositik) akan memiliki nilai MCH yang lebih rendah. Mean

    corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) adalah perhitungan rata-rata

    konsentrasi hemoglobin di dalam eritrosit, standar normalnya 32.0-33.9 g/l.

    Kadar MCHC menurun (hipokromia) ditemukan pada kondisi di mana

    hemoglobin abnormal diencerkan di dalam eritrosit, seperti pada anemia dan

    kekurangan zat besi dalam talasemia (WHO 2007). Adapun jenis anemia

    menurut BPPK Depkes (2008) sesuai bentuk dan warna (morfologi) sel darah

    merah untuk wanita adalah anemia mikrositik (MCV 108 fl), anemia hipokromik

    (MCHC 36 %), serta kombinasi dari jenis-jenis di atas. Anemia mikrositik-

    hipokromik, biasanya karena kekurangan zat besi, penyakit kronis tingkat lanjut,

    atau keracunan timbal. Anemia normositik- normokromik biasanya karena

    penyakit kronis fase awal atau perdarahan akut. Anemia makrositik biasanya

    karena kekurangan vitamin B12.

  • 27

    Kekurangan zat besi dan anemia dapat mengurangi kapasitas kerja serta

    menurunkan produktivitas seseorang bahkan populasi secara keseluruhan. Secara

    nasional hal ini akan menjadi serius karena dapat menyebabkan terganggunya

    ekonomi serta terganggunya pembangunan nasional. Anemia gizi besi (AGB)

    dapat menurunkan kapasitas kerja fisik seseorang melalui menurunnya

    ketersediaan oksigen bagi jaringan. Selain itu AGB juga mengakibatkan turunnya

    kekebalan dan fungsi kognitif pada penderitanya (WHO 2001).

    Kekurangan zat besi dapat mempengaruhi aktivitas fisik melalui terutama

    dua jalur. Pertama, sebagai akibat turunnya kadar hemoglobin dalam darah,maka

    jumlah maksimum oksigen yang dapat digunakan oleh tubuh (kapasitas aerobik)

    juga menurun. Ke dua, sebagai akibat berkurang atau habisnya simpanan zat besi,

    maka jumlah oksigen yang tersedia untuk otot pun berkurang, sehingga

    mengurangi daya tahan dan jantung menjadi bekerja lebih keras untuk dapat

    menghasilkan sejumlah aktivitas yang sama. Penelitian baik pada binatang

    maupun manusia telah mendemonstrasikan adanya satu hubungan sebab akibat

    antara kekurangan zat besi dengan menurunnya kapasitas aerobik maksimum

    (VO2maks). Beberapa penelitian membuktikan bahwa AGB berhubungan dengan

    berkurangnya daya tahan pada tingkat kerja yang di bawah maksimal (Haas &

    Brownlie 2001).

    Prevalensi Anemia pada WUS di Indonesia

    Anemia merupakan masalah gizi yang relatif sukar ditanggulangi. Masalah

    ini cukup luas terjadi di masyarakat, melanda sejumlah besar anak-anak dan

    wanita di negara-negara yang sedang berkembang, serta menjadi satu-satunya zat

    gizi yang angka kekurangannya juga masih nyata dijumpai pula di negara-negara

    industri. Lebih dari 30% penduduk di dunia ini menderita anemia yang sebagian

    besar diakibatkan oleh kekurangan zat besi, serta di beberapa daerah diperburuk

    oleh adanya penyakit infeksi. Pada umumnya, penduduk miskin dan

    berpendidikan rendah merupakan golongan yang paling rawan terkena

    kekurangan zat besi dan mereka itu pula yang akan paling merasakan penurunan

    itu (WHO 2008).

    Menurut Usfar et al. (2009), prevalensi defisiensi besi di seluruh dunia

    adalah 30%, di mana di negara-negara yang sedang berkembang adalah 40-50%,

  • 28

    sedangkan di negara maju 10%. Konsekuensi utama kekurangan zat besi adalah

    meningkatkan risiko kelahiran prematur, meningkatkan frekuensi kematian ibu

    dan bayi baru lahir, penurunan perkembangan psikomotorik, serta penurunan

    kapasitas kerja dan produktivitas. Penyebab utama kekurangan zat besi adalah

    rendahnya asupan besi, rendahnya bioavailabilitas asupan besi, kenaikan

    kebutuhan besi, dan kecacingan serta adanya infeksi Helicobacter pylori (Hp).

    Kelompok penduduk yang beresiko mengalami defisiensi besi adalah bayi dan

    anak-anak, remaja putri, wanita usia subur, dan wanita hamil.

    Hasil pemetaan yang tidak lengkap pada tahun 1999 dan 2000 menyingkap

    secara keseluruhan bahwa prevalensi anemia pada balita masih cukup tinggi yakni

    berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%. Kisaran angka

    yang cukup tinggi ini masih tetap bertahan hingga tahun 2007 sebagaimana

    terlihat pada Tabel 2 (Almatsir & Fallah 2004; BPPK Depkes RI 2008).

    Tabel 2 Perkembangan prevalensi anemia pada WUS di beberapa provinsi di

    Indonesia

    Provinsi Tahun

    1999 a)

    2000a)

    2007b)

    Sumbar 29.2 34.0 29.8

    Lampung Na 24.1 25.9

    Sulsel Na 27.8 19.7

    Jatim 28.7 26.5 15.6

    Jabar 28.9 26.5 13.4

    Jateng 23.4 25.8 22.8

    Jakarta 42.5 33.3 27.6 a)

    Atmarita dan Fallah (2004); b)

    BPPK Depkes RI (2008); Na, data tidak tersedia

    Penelitian tentang prevalensi anemia di Indonesia selama ini masih lebih

    banyak dilakukan pada kelompok wanita yang sedang hamil atau menyusui serta

    bayi dan balita. Adapun penelitian pada kelompok pekerja WUS masih jarang

    dilakukan dan kalau pun ada lebih banyak dilakukan di daerah Jawa dan Bali.

    Beberapa studi yang telah lama dilakukan oleh Husaini et al. (1981) di Jawa Barat

    Suharjo (1986) di Jawa Barat, Scholz et al. (1997) di Jakarta dan Untoro et al.

    (1998) di Kudus Jawa Tengah mendapatkan prevalensi anemia pada pekerja

    wanita berkisar antara 35.5%-50%. Adapun studi Husaini et al. (1999)

    melaporkan bahwa hasil studinya di Tangerang tahun 1999 menunjukkan

    prevalensi anemia pada pekerja wanita mencapai 69%.

  • 29

    Studi yang dilakukan oleh Mulyawati (2003) menemukan bahwa dari 72

    pekerja wanita di sebuah perusahaan plywood di Jakarta ditemukan 56 orang

    (77.77%) menderita anemia, di mana 54 responden di antaranya tergolong usia

    reproduksi berkisar antara 19 sampai dengan 35 tahun (rataan 23 tahun).

    Prevalensi anemia pada wanita lebih besar dibandingkan dengan pria yang

    dikarenakan pada usia reproduksi sesuai dengan kodratnya, wanita harus

    mengalami haid setiap bulannya. Darah yang keluar pada waktu haid

    menyebabkan kehilangan zat besi 1.3 mg per hari. Ditinjau dari faktor resikonya,

    maka yang berpendidikan rendah mempunyai resiko menderita anemia 2.05 kali

    dibandingkan dengan yang berpendidikan sedang dan tinggi. Adapun Depkes RI

    (2004), menyatakan bahwa sekitar 50% dari 25 juta pekerja wanita di Indonesia

    menderita anemia gizi atau kekurangan zat besi.

    Data dari Direktorat Bina Gizi Masyarakat pada tahun 1997 menunjukkan

    prevalensi anemia pada pekerja wanita usia produktif yang berpenghasilan rendah

    berkisar antara 30-40%. Menurut WHO (2001), prevalensi anemia antara

    20.0-39.9% sudah tergolong sebagai masalah kesehatan masyarakat pada kategori

    sedang. Secara umum prevalensi AGB di kalangan pekerja wanita Indonesia

    masih tinggi. Menurut laporan WHO (2008), prevalensi AGB di Indonesia pada

    wanita usia subur yang tidak hamil tahun 2006 mencapai 33% atau kategori

    sedang. Pada wanita yang hamil dan anak-anak ditemukan lebih tinggi lagi yakni

    44.5% dan 44.3% atau kategori berat. Adapun berdasarkan hasil Riset Dasar

    Kesehatan (Riskesdas) 2007 oleh BPPK Depkes RI (2008) diketahui bahwa

    prevalensi anemia tahun 2007 pada wanita 19.7%, khusus pada wanita dewasa

    14.8%, wanita hamil 24.5% dan anak balita 27.7%. WHO (2008) menyarankan

    bahwa untuk menurunkan prevalensi kekurangan zat besi pada bayi dan wanita

    hamil maka seharusnya wanita sudah disuplementasi sebelum hamil.

    Suplementasi Besi pada WUS

    Supplementasi besi untuk wanita hamil di Indonesia sudah dimulai pada

    1974 dengan cakupan 60% selama 90 hari berturut-turut. Adapun suplementasi

    besi pada bayi dan anak-anak melalui sirup yang diperkaya dengan zat besi

    dimulai di desa-desa yang kurang berkembang di kawasan timur Indonesia pada

    tahun 1996. Hal yang mendasari ini disinyalir bayi dan anak-anak tidak dapat

  • 30

    memenuhi kecukupan besi melalui diet saja, kecuali jika mengkonsumsi makanan

    yang difortifikasi dengan zat besi. Selain itu sejak tahun 1996, pabrik-pabrik di

    Indonesia sudah diharuskan memberikan suplemen zat besi kepada pekerja wanita

    sekali per minggu, 16 minggu per tahun secara mandiri, guna meningkatkan

    kesejahteraan dan produktivitas pekerja wanita (Kodyat et al. 1998). Namun

    demikian menurut Atmarita dan Fallah (2004), intervensi anemia secara nasional

    masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya

    pun masih sulit dipantau. Studi Husaini et al. (1999) melaporkan bahwa di

    kalangan tenaga kerja, pekerja yang menderita anemia dari hasil penelitian

    produktivitasnya 20% lebih rendah dari pada pekerja yang sehat. Hasil penelitian

    yang lain menjelaskan bahwa peningkatan status gizi besi dapat meningkatkan

    produktivitas pekerja.

    Sudah lama INACG (2003) menyarankan agar para WUS yang sedang tidak

    hamil juga diberi suplemen berisis 60 mg besi elemental yang disertai dengan 400

    g folat sebagai usaha preventif untuk mencegah anemia dan kesulitan melahirkan

    pada selama dia nanti hamil. Adapun UNICEF/WHO/UNU (1999), menyarankan

    untuk memperbaiki status gizi WUS dengan suplementasi berbagai mineral mikro

    yaitu 15 macam vitamin dan mineral, tidak cukup hanya dengan suplementasi zat

    besi saja. Kedua suplemen tersebut sama seperti yang diberikan kepada wanita

    hamil. Perbedaannya hanya pada dosis pemberiannya, jika pada wanita hamil

    adalah dianjurkan minum setiap hari atau sekurang-kurangnya 90 hari pada saat

    hamil; sedangkan pada yang tidak hamil dianjurkan sekali seminggu dan setiap

    hari pada selama menstruasi. Pada Tabel 3 dapat dilihat komposisi kedua

    suplemen tersebut.

    Adanya hubungan linear antara kekurangan zat besi dan kapasitas kerja pada

    pekerja di sektor pertanian banyak dilaporkan pada penelitian-penelitian yang

    sudah cukup lama yakni dilakukan sebelum tahun 2000. Studi di China oleh Li et

    al. (1994) yang dilakukan di pabrik katun menemukan bahwa diantara 447 orang

    pekerja wanita terdapat 83 pekerja wanita yang tidak sedang hamil (usia 1944

    tahun) terdiagnosa kekurangan zat gizi besi. Bahkan 10 orang diantaranya

    mengalami anemia gizi besi (AGB) dengan kadar hemoglobin yang kurang dari

    100 g/dl. Kepada 40 orang wanita tersebut kemudian diberi perlakuan dengan

  • 31

    Tabel 3 Komposisi suplemen yang dianjurkan dibandingkan dengan angka

    kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk WUS di Indonesia

    Jenis zat gizi mikro Suplemen* AKG WUS

    **

    IFA MMN 19-29 tahun 30-49 tahun

    Vitamin A (g) 800 500 500 Vitamin D (IU) 200 200 200 Vitamin E (mg) 10 15 15 Vitamin C (mg) 70 75 75 Thiamin (mg) 1.4 1.0 0.9 Riboflavin (mg) 1.4 1.1 1.1 Niasin (mg) 18 14 14 Vitamin B-6 (mg) 1.9 1.3 1.3 Vitamin B-12 (g) 2.6 2.4 2.4 Asam Folat (g) 400 400 400 400 Besi (mg) 60 30 26 26

    Seng (mg) 15 9.3 9.8 Copper (mg) 2 2*** 2*** Selenium (g) 65 30 30 Yodium (g) 150 150 150 *

    MMN, multiple micronutrients (UNICEF/WHO/UNU 1999); IFA, iron and folate acid-besi dan

    asam folat (INACG 2003). **

    LIPI (2004) ***

    NRC (1989)

    memberikan suplemen tablet ferro sulfat yang berisi 60 mg Fe per hari dan 40

    orang lainnya diberi plasebo, sedangkan tiga lainnya tidak bersedia disertakan

    dalam penelitian. Setelah pemberian suplemen Fe selama 12 minggu, maka pada

    grup perlakuan memiliki kadar hemoglobin (Hb) dan serum feritin (SF) yang

    meningkat (p

  • 32

    (Edgerton et al. 1981; Gardner et al, 1977), dan Philipina (Popkin 1978) serta di

    negara-negara lain. Dari hasil studi-studi tersebut dapat disimpulkan bahwa

    kapasitas kerja pada pekerja yang anemia dapat kembali normal bahkan

    meningkat dengan adanya suplementasi besi serta produktivitas kerja dan upah

    kerjanya meningkat 10-30% dibandingkan dengan sebelum menerima

    suplementasi.

    Beberapa penelitian tentang pengaruh suplementasi zat besi pada wanita

    tidak hamil yang dilakukan di Indonesia setelah tahun 2000 dilakukan antara lain

    oleh Mulyawati (2003), Baharudin (2004), Dillon (2005), Ekayanti (2005) dan

    Briawan (2008). Adapun di negara lain pernah dilakukan antara lain di

    Bangladesh (Ahmed et al. 2005) dan di Amerika (Kolb & Beard 2007). Pada

    studi Mulyawati (2003) di sebuah perusahaan Plywood yang berlokasi di Jakarta,

    dilaporkan bahwa dari 72 pekerja wanita 56 orang (77.77%) diantaranya

    ditemukan menderita anemia. Setelah dilakukan perlakuan yakni dengan

    memberikan Tablet Tambah Darah/TTD (200 mg ferro sulfat dan 0.25 mg asam

    folat) dengan dan tanpa 100 mg vitamin C, 1 kapsul per minggu dan 1 kapsul

    selama 10 hari (waktu haid), dalam jangka waktu 16 minggu; maka prevalensi

    anemia menurun tinggal menjadi 8.95% (6 responden). Meskipun masih

    dinyatakan anemia, keenam responden tersebut telah mengalami kenaikan Hb dari

    rata-rata 8.5 g/dl menjadi 11.9 g/dl. Dengan intervensi selama 16 minggu telah

    berhasil meningkatkan kadar hemoglobin dan serum ferritin secara bermakna p<

    0.05 pada kelompok I (dengan vitamin C) dan kelompok II (tanpa vitamin C).

    Walaupun demikian, peningkatan kadar Hb, SF, dan indeks masa tubuh yang

    lebih tinggi pada kelompok perlakuan (I dan II) dibandingkan kelompok kontrol,

    secara statistik tidak bermakna.

    Mirip dengan studi Mulyawati di atas, Baharudin (2004) dalam studinya di

    Aceh juga memberikan suplementasi Pil Besi dan vitamin C pada mahasiswi yang

    anemik. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa dengan pemberian pil besi (60

    mg) saja sebanyak 2 (dua) kali seminggu selama 2 (dua) bulan dapat

    meningkatkan Hb secara nyata sebesar 1.72 g/dl. Adapun pemberian pil besi (60

    mg) ditambah dengan vitamin C (50 mg) sebanyak 2 (dua) kali seminggu selama

    2 (dua) bulan memberi pengaruh secara nyata (p=0.000) terhadap peningkatan

  • 33

    kadar Hb yang lebih tinggi (naik sebesar 3.28 g/dl) dan peningkatan kebugaran

    fisik mahasiswi dengan menggunakan tes Ergocycle Sepeda Monar.

    Ekayanti (2005) dalam penelitiannya memberikan suplementasi zat besi

    selama delapan minggu kepada 83 orang WUS (15-44 tahun) anemia yang bekerja

    di pabrik kerupuk, dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok P1 menerima zat besi-

    asam folat (250 mg Ferro Fumarat dan 0.5 mg asam folat) dibandingkan dengan

    kelompok P2 menerima besi-asam folat ditambah dengan vitamin A (betakaroten

    10.000 IU), dan kelompok P3 menerima besi-asam folat + kombinasi vitamin A,

    seng-tembaga (betakaroten 10.000 IU, seng 15 mg, dan tembaga 1.5 mg). Hasil

    penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan kadar Hemoglobin dan hematokrit

    antarkelompok berbeda nyata. Peningkatan hemoglobin yang tertinggi dialami

    oleh kelompok P3 (1.760.93 g/dl), diikuti oleh P2 (1.311.23 g/dl) dan P1

    (0.531.09 g/dl), demikian pula peningkatan hematokrit yang tertinggi pada

    kelompok P3 (4.292.14%) diikuti P2 dan terendah P1 (1.853.45%). Adapun

    peningkatan serum ferritin paling tinggi juga dialami oleh P3 (6.3321.24 ng/l),

    ini nyata lebih tinggi (p=0.045) dibandingkan dengan P2 (1.4114.28 ng/l),

    sedangkan pada P1 tidak terjadi peningkatan serum ferritin yang nyata. Dari hasil

    penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyertaan pemberian kombinasi vitamin

    A, seng dan tembaga dalam suplementasi besi dapat membantu meningkatkan

    keberhasilan suplementasi besi.

    Studi pemberian zat besi dan vitamin (multivitamin) yang lebih baru,

    dilakukan pada remaja lanjut oleh Briawan (2008). Dalam penelitian ini 224

    remaja berusia 17-20 tahun yang merupakan mahasiswi tingkat satu dibagi

    menjadi tiga kelompok perlakuan secara acak. Kelompok tersebut adalah

    kelompok kontrol yang diberi plasebo, kelompok B-F yang diberi besi 60 mg dan

    folat 250 g, serta kelompok B-MV yang diberi besi 60 mg, folat 800 g, vitamin

    A 4200 g, vitamin C 500 mg, dan vitamin B12 16.8g. Hasil studi tersebut

    menunjukkan bahwa pemberian plasebo, besi dengan folat dan besi dengan

    multivitamin dapat meningkatkan kadar Hb berturut-turut sebesar 8.3 g/l; 11.2 g/l

    dan 10.5 g/l. Namun demikian, perbedaan peningkatan Hb antara ketiga

    kelompok tersebut tidak nyata (p>0,05). Suplementasi kedua kapsul tersebut

    berhasil meningkatkan serum ferritin lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan

  • 34

    peningkatan SF pada kelompok kontrol 1.1 ug/l; B-F 4.2 ug/l; dan B-MV 11.0

    ug/l. Adapun efek suplementasi terhadap serum transferin reseptor (STfR) adalah

    kelompok B-MV berhasil menurunkan STfR lebih besar dibandingkan dengan

    kelompok B-F dan kontrol. Perubahan STfR berturut-turut pada kontrol, B-F dan

    B-MV adalah 0.5 mg/l; 1.3 mg/l dan -3.8 mg/l. Perubahan STfR antar ketiga

    kelompok tersebut significan (p

  • 35

    memiliki status gizi yang baik. Menurut Briawan (2008), sasaran program

    perbaikan gizi pada wanita yang tidak hamil ini dianggap strategis dalam upaya

    memutus simpul siklus masalah gizi (inter generation malnutrition problem) agar

    tidak meluas ke generasi selanjutnya.