Menyoal Visibilitas Hilal
-
Upload
tamer-cardcaptor-gemblung -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
Transcript of Menyoal Visibilitas Hilal
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
1/14
MENYOAL VISIBI LI TAS HI LAL SEBAGAI KRITERIA
PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH
Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Agama Watansoppeng
Pendahuluan
Hampir dapat dipastikan untuk mengawali puasa Ramadlan 1434 H. nanti ummat
Islam Indonesia akan berbeda lagi, hal ini disebabkan karena ketinggian dan posisi hilal pada
tanggal 29 Syaban 1434 H. bertepatan dengan tanggal 08 Juli 2013 di seluruh wilayah
Indonesia dari Sabang sampai Meroke tidak ada yang mencapai 2 diatas ufuk saat matahari
terbenam (ghurub). Untuk kota Surabaya misalnya ghurub pada tanggal 08 Juli 2013 tersebut
ketinggian hilal haqiqi hanya 003945 diatas ufuk, Jakarta 004313, Pelabuhan Ratu:
004749, Yogyakarta: 004351, Sabang: 000819 ; Kota-kota bagian timur Indonesia:
Meraoke: -000801, Menado: -002338, Ujung Pandan: 000951, Mataram: 002727,
wal hasil hampir sebagian besar wilayah Indonesia masih minus, utamanya wilayah timur
Indonesia. Pada posisi tersebut Muhammadiyah yang kukuh dengan kriteria wujudul hilal
akan memulai puasanya pada hari Selasa Wage tanggal 9 Juli 2013, dan Pemerintah cq.
Kementrian Agama yang cendering pada kriteria imkanur rukyah akan menetapkan awal
puasa hari Rabu Kliwon, tanggal 10 Juli 2013.Perbedaan memulai maupun mengakhiri puasa bagi ummat Islam Indonesia bukanlah
terjadi sekali dua kali, tetapi telah berkali-kali dan telah berjalan puluhan tahun silam. Secara
berturut-turut penetapan 1 Syawwal 1332 H dan 1433 H yang lalu terjadi perbedaan antara
Pemerintah c.q. Kementrian Agama yang diikuti oleh sejumlah besar ormas-ormas Islam
disatu pihak dengan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dipihak lain. Dan
insyaallah untuk berhari raya tahun 1435 yang akan datang nantipun akan berbeda juga,
sehingga tidak salah bila orang mengatakan bahwa perbedaan ini dikatakan perbedaan yang
klasik tetapi uptodate.
Upaya Penyatuan Kalender
Gagasan penyatuan kalender Islam telah bertahun-tahun diupayakan, tetapi hasilnya
dead lock, seakan-akan mempersatukan ummat Islam yang dinyatakan oleh Allah sebagai
ummatan wakhidah itu sulit duwujudkan walaupun untuk hal yang sederhana. Bagai
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
2/14
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
3/14
keshahihannya itulah madzhabku. Kaidah Syafii tersebut secara paradigmatic telah
menggerakkan dunia intelektual Islam utamanya fuqohanya. Sehingga mereka (fuqoha)
berkutat dalam tradisi tekstual. Kebenaran hukum agama hanya bisa ditentukan sejauh
mana kesesuaiannya dengan bunyi literal (teks) hadits, karena itu hadist shahih senantiasa
dipegang teguh secara tekstual, tanpa memperhatikan latar belakang sejarah (sosio historis)
yang meliputinya atau konteksnya.
Paradigma Syafii tersebut telah sekian lama mendominasi dan menjadi world-view
jalan pikiran ummat Islam dalam wacana hukum Islam, yang kemudian dalam tataran
methodology (ushul fiqih), lahirlah kaidah ushuliyah al-ibrotu bi umumil lafdzi la bikhususi
sababi, yang dijadikan pegangan adalah bunyi tekstualnya buka latar belakang yang
melingkupinya.
Selain argumen pemikiran tersebut diatas ummat Islam juga berargumen dengan Al-
Quran surat Al-Qolamwa maa yanthiqu anil hawa in huwa illa wahyu yuhaa; Muhammad
tidak mengatakan atas dasar hawa-nafsunya, tetapi semua yang dikatakan adalah semata-
mata wahyu Allah.
Tidak bisa dibantah, bahwa hadits-hadits tentang ruyat adalah shahih, Imam Bukhari
dalam Shahihnya setidak-tidaknya memuat 3 buah hadist; Dari riwayat Abdullah bin Umar 2
buah hadits, dari Abu Hurairah 1 buah hadits. Imam Muslim dalam Shahehnya juga
meriwayatkan hadits yang sama, sedangkan dalam Musnad Ahmad terdapat sebuah hadits
riwayat Ibnu Abbas R.A. Hadits-hadits tersebut sangat masyhur dikalangan ummat Islam.
Boleh dikatakan semua ummat Islam yang terpelajar mengetahui hadits shuumu liruyatihi
wa afthiruu liruyatih.. (al-hadits), karena hadits ini senantiasa diceramahkan dimasjid-
masjid saat menyambut bulan ramadlan tiba.
Perintah berpuasa ramadlan sebagai mana Allah firmankan dalam Q.S. Al-Baqarah
183 dan 185 tersebut, maksudnya adalah perintah berpuasa selama bulan ramadlan dari
tanggal 1 sampai berakhir, yaitu tanggal 29 atau tanggal 30, yang menjadi persoalan adalah,
kapankan tanggal 1 Ramadlan dan atau 1 Syawwal itu ?
Menentukan pergantian bulan qomariyahadalah domain ilmu pengetahuan bukan
domain kerasulan. Penetuan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawal statusnya tidak ada
bedanya dengan menentukan tanggal 1 Muharram, 1 Safar, 1 Rabiulawal dan bulan-bulan
qomariyah lainnya. Karena bukan domain kerasulan, maka untuk menentukan itu manusia
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
4/14
tidak memerlukan wahyu Tuhan, karenanya tidak diperlukan dalil dari agama baik Al-Qur-an
atau Hadits.
Keberadaan hadits Shuumu liruyatihi waafthiruu liruyatihi., itu tidak harus jadi
kriteria untuk menetukan pergantian bulan atau tanggal 1 Ramadlan atau 1 Syawwal dengan
alasan. Karena itu hadits tersebut substansinya hanya merupakan reaksi kemanusiaan
(basyariyah) nabi terhadap laporan sahabat yang melaporkan kepadanya bahwa ia telah
melihat hilal, sehingga kemudian beliau member petunjuk (irsyaad), yang kalau
diterjemahkan secara bebas : kalau kalian sudah dapat melihat hilal, berarti bulan Syaban
sudah habis dan sekarang kita sudah masuk tanggal 1 Ramadlan, maka berpuasalah, nanti
juga begitu, kalau kalian sudah dapat melihat hilal berarti bulan Ramadlan telah berakhir dan
kita masuk tanggal 1 Syawwal, maka berbukalah. Sehingga hadits shuumuu liruyatih..
tersebut, tidak tepat jika hanya dipahami secara tekstual yang kemudian melahirkan
pemahaman puasa ramadlan harus dilakukan kalau sudah melihat hilal, kalau tidak melihal
jangan puasa.
Memahami sebuah hadits dengan memperhatikan konteks adalah perlu sekali, agar
tidak terjebak dalam pemahaman yang tidak tepat. Contohnya adalah hadist-hadits berikut:
- idzaa ataa ahadukum al-ghoita fa laa yastiqbil al-qiblah wa laa tuwalliiha dhahrahu,
walaakin syarriquuhu au gharribuuhu:
Artinya : Jika kalian buang air, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya,
tetapi menghadaplah kalian ke barat atau ketimur.
Dalam hadits tersebut Nabi memerintahkan kalau buang air menghadaplah kebarat
atau ke timur, menjadi tidak tepat kalau dipahami secara tekstual, sebab bagi orang-orang
yang berada di Indonesia menghadap kebarat justru menghadap kearah kiblat. Memamahami
secara benar makna hadits tersebut harus mempertimbangkan konteksnya, yaitu itu karena
Rasulullah saat itu berada di Madinah, kiblat berada diselatan kota Madinah, sehingga nabi
perintahkan supaya menghadap ke barat atau timur agar tidak menghadap kiblat atau
membelakanginya, contoh lain adalah hadits :
- Al- aimmatu min quraisyinArtinya : Kepemimpinan itu harus dipegang oleh suku Quraisy. Keberadaan hadis tersebut
harus dipahami dengan mempertimbangkan konteksnya, yaitu karena suku Quraisy saat itu
adalah suku yang besar, terkenal lebih maju, lebih cakap dan lebih berpengaruh diantara
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
5/14
suku-suku yang ada di Zazirah arab, maka untuk kebaikan kiranya bijaksana jika yang
memimpin mereka adalah dari suku Quraisy. Hadits tersebut kiranya telah tidak relevan lagi
jika tetap kita jadikan acuan saat ini.
Latar Belakang Budaya Masyarakat Arab
Jauh sebelum nabi Muhammad diutus, masyarakat arab sudah mempunyai kebiasaan-
kebiasaan dalam menentukan pergantian bulan qomariyah (lunar system) yang jumlahnya 12
itu. Masyarakat arab adalah masyarakat yang sangat sederhana, sangat berbeda dengan
masyarakat disekitarnya misalnya Mesopotomia (Mesir) yang sejak 3000 tahun sebelum
masehi mereka sudah jauh lebih maju bahkan mereka sudah dapat membuat piramida; Persia
dan Rumawi adalah Negara superpower ang jauh lebih maju dari dunia arab. Karena
kesederhanaannya itu sehingga terkenal dengan ummat yang ummiy, mereka belum
menemukan teknologi apapun, roda saja mereka belum mengenal, padahal roda itu suatu
penemuan yang amat membantu kehidupan manusia. Dengan roda system transportasi
manusia lebih efektif dan effesien, sehingga alat transportasi masyarakat arab satu-satunya
adalah hewan, kuda, unta, bighal/keledai, khimar. Mereka tidak mengenal gerobak, pedati,
dokar. Kesederhanaan masyarakat arab dijelaskan oleh Al-Qur-an, sehingga Al-Qur-anpun
menggunakan bahasa yang sederhana dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Pola hidup
mereka juga sederhana, semua permasalahan hidupnya senantiasa ditanyakan kepada nabi,
sehingga dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat didahului dengan kata-kata Yas aluunaka anil
ahillah, yasalunnaka anil makhiid, yasaluunaka anir ruuh, yaalunaka anil anfaal, dll.
Disaat mereka bertanya kepada Nabi kapan harus memulai puasa (imsak) dan kapan
harus berbuka (ifthar), Allahpun menerangkan dengan bahasa yang amat-amat sederhana
sebagaimana disebut dalam Surat Al-Baqoroh ayat 187: kuluu wasyrabuu hatta
yatabayyana lakumul haithul abyadu minal haitil aswadi minal fajar artinya : Makan dan
minumlah kalian sampai kamu dapat membedakan benang putih dengan benang merah pada
waktu fajar. Untuk melaksanakan ketentuan ini terdapat riwayat bahwa para sahabat saat
menjelang tidur, mereka menyiapkan dua benang berwarna hitam dan putih, saat dia bangun
tidur malam karena belum ada lampu listrik, belum ada jam dinding, belum ada radio, belum
ada televisi belum ada hand phon untuk bertanya kepada sahabat yang lain, maka yang ia
lakukan adalah upaya membedakan warna benang yang telah disiapkannya itu, mana yang
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
6/14
hitam dan mana yang putih, Jika mereka sudah bisa membedakan maka dia imsak. Itulah
keadaan sahabat saat itu, sehingga gejala alam merupakan pedoman mereka.
Nabi sendiri tidak mengerti ilmu hisab, hadits Ibn Abbas meriwayatkan kunna
ummatun ummiyatun laa naktubu wa laa nahsibu, wasy-syahru ha kadza wa ha kadza.
(H.S.R. Al-Buhari, Muslim. Abu Dawud dan Nasai dari Ibnu Abbas). Keawaman dan
keummiyan nabi dalam hal ini tidak menurunkan derajad beliau sebagai Rasulullah. Dalam
sebuah riwayat, saat terjadi gerhana nabi tidak pernah menyinggung sama sekali sebab-sebab
ilmiyahnya, nabi hanya menjelaskan itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah, kerjakan shalat,
berbanyak-banyaklah beristighfar dan bershodaqoh, itulah tugas Rasul. Dari riwayat-riwayat
yang ada jelas bahwa Nabi dan para Sahabat belum menggunakan/mengenal ilmu hisab dan
bisa dipastikan bahwa Nabi dan para Sahabat tidak tahu fenomena Ijtima sebagaimana
yang diketahui ilmuwan sekarang.
Keterjagaan Rasulullah Dari Kesalahan
Kemasuman Rasulullah S.A.W. (Al-Ishmah) tidak dalam semua aspek
perbuatannya, tetapi terbatas dalam hal-hal menyampaikan Al-Qur-an yang diwahyukan
kepadanya dalam susunan kata dan maknanya sekaligus, persis sebagaimana beliau
menerimanya dari Allah dalam bentuk kata dan ujaran dan beliau terjaga dalam tugasnya
dalam menyampaikan risalah kepada manusia. Dan Rasulullah terjaga (tidak terjerumus) ke
dalam tindakan haram dan tidak melampaui batas-batas yang ditentukan Allah. Hal ini sesuai
dengan firman Allah :
Artinya : Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia,
sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
(Q.S. Al-Maidah 67);
Oleh karena itu ketaan kepada Nabi Muhammad S.A.W. adalah dalam dataran Ar-Risalah
atau fungsinya sebagai seorang rasul atau pembawa risalah, tidak dalam dataran dan
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
7/14
kapasitas beliau sebagai manusia. Dalam Al-Qur-an athiu Allaha wa athiiu ar-rasuula.
Maka dalam masalah-masalah teknis duniawi nabi tidak memiliki sifat ishmah atau nabi
tidak makshumn sehingga Nabi sering bertanya, meminta saran, pendapat dan bahkan
bermusyawarah kepada sahabat-sahabatnya. Bahkan Nabi sering menyerahkan urusan-urusan
itu kepada ummatnya, contoh:
1. Hadits nabi kepada petani kurma di Madinah, supaya mereka mengawinkan bunga jantandan bunga betina, ternyata hasilnya tidak lebih bagus dari yang biasa dilakukan oleh
petani Madinah tersebut, sehingga para petani mempertanyakan perintah Nabi tersebut.
Maka Nabipun bersabda Inkaana min umuri dinikum fa ilayya, in kana min umuri
dunyakum faantu alamu biumuri dunyaakum;
2. Hadits-hadits nabi tentang menyusun pertahanan Negara dan siasat dalam peperangan,setelah ditanyakan kepada beliau apakah ini wahyu atau pendapat Nabi? Nabi
menjelaskan itu sekedar pendapat. Sahabat yang ahli strategi peperangan melakukan
koreksi, maka Nabipun mengikuti pendapat sahabat yang dirasa lebih strategis dan
masuk akal;
3. Hadits nabi dalam memeriksa, mengadili dan memutus terhadap 2 (dua) orang yangsedang bersengketa dihadapannya. Setelah putusan itu dijatuhkan, nabipun kemudian
menyatakan Innama ana basyarun mitslukum. , dst; Sesungguhnya aku adalah
manusia biasa seperti kalian dst
4. Hadits nabi,tentang peristiwa desas-desus bahwa sebagian sahabat-sahabat di Madinah (yang punya anak perempuan) sangat berkeinginan agar sahabat Ali bin Abi Thalib mau
mengawini putrinya (berpoligami) padahal beliau adalah suami Fathimah binti
Muhammad S.A.W.; Mendengar berita ini, nabi berkeberatan dan beliau bersabda
Fathimah adalah darah dagingku barang siapa yang menyakitinya sama halnya
menyakitiku !; Pernyataan nabi ini dalam perspektifushul fiqih tidak dapat dijadi dasar
hokum bahwa nabi tidak menyetujui poligami, karena sikap demikian adalah
Jibilliyah sifat dari seorang manusia. Keberatan nabi itu bukan cerminan dari sikap
nabi sebagai Rasulullah, tetapi sikap nabi sebagai seorang bapak yang tidak tega melihat
anaknya dimadu.
5. Hadits nabi tentang, bahwa nabi bersedih dan bahkan juga menangisi putranya bernamaIbrahim yang meningal dunia, menangisnya Rasulullah tidaklah harus diteladani pula.
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
8/14
6. Dan lan-lain hadits yang tidak mungkin disebutkan dalam pembahasan ini.Dari hadits-hadits tersebut kita dapat mengambil kesimpulan, tidak semua hadits
harus kita pahami dan kita pedomani secara tekstual, tetapi mempertimbangkan latar
belakang sejarah hadits itu diinstruksikan oleh Nabi adalah sangat membantu memberikan
makna dan kesimpulan hukum yang lebih tepat.
Implementasi Hadis Rukyah Di Masa Rasulullah dan Khulafaur-Rasyidin
Dalam hal-hal penting berkaitan dengan agama, biasanya Nabi membentuk ekspidisi
guna mengurus/menjalankan sesuatu perintahnya, penentuan 1 Ramadlan dan 1 Syawal
adalah amat penting, karena menyangkut pelaksanaan ibadah, tetapi tidak ada riwayat bahwa
Nabi membentuk devisi agar sahabat memantau hilal (merukyat). Setelah Rasulullah wafat
kepemimpinan ummat Islam dilanjutkan oleh khulafaur-rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali bin Abi Thalib juga tidak terdapat riwayat bahwa mereka menugaskan sahabat untuk
melakukan rukyatul hilal sebagaimana yang dilakukan orang-orang sekarang ini. Padahal jika
kita perhatikan, masalah hilal telah menjadi perbincangan dan mungkin perdebatan ummat
Islam saat al-Qur-an itu diturunkan. Hal tersebut dapat kita lihat redaksi ayat 189 surat Al-
Baqoroh ;
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah ; Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadah) hajji
Para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan gemar menjaga dan
melaksanakan perintah Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan
beliau. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang teks-teks sunnah dan amat peka
terhadap apa yang dimaksud Rasulullah kemudian mereka akan bergegas melaksanakan
perintah itu. Meraka adalah orang-orang yang menyaksikan dari hari ke hari bersama
Rasulullah meskipun sunah-sunah tersebut saat itu tidak ditulis (terkodifikasi). Tetapi tidak
ada sebuah riwayatpun bahwa para sahabat menindak lanjuti perintah ruyat itu seperti yang
dilakukan orang sekarang. Ini menunjukkan bahwa perintah nabi tersebut difahami oleh para
sahabat hanya berfungsi irsyad (petunjuk), sekaligus mengindikasikan bahwa menetukan
pergantian bulan tersebut diserahkan kepada manusia dan kebiasaan-kebiasaan mereka bukan
tugas kerasulan. Puasanya memang taabbudi tetapi penetuan tanggal 1 Ramadlan dan
tanggal 1 Syawal adalah taaqquli.
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
9/14
Karena itulah tidak salah jika ada sementara orang berpendapat bahwa merukyat hilal
itu tidak ada sandaran perintahnya dari sunnah nabi dan khulafaur-rasyidin. Tetapi kalau jika
itu dilakukan justru akan memicu terjadinya perpecahan, maka sebaiknya kita tinggalkan.
Yakinlah dengan kebenaran hisab sebagaimana ummat Islam telah meyakini kebenaran
Jadwal Imsakiyah sebagai salah satu produk hisab.
Selama ummat Islam dalam menentukan pergantian bulan qomariyah untuk bulan
Ramadlan dan Syawal dianggap sebagai masalah taabbudi sehingga harus berpegang pada
hadist-hadits tentang ruyah, maka selama itu pula akan terjebak pada perbedaan, karena
akan tetap terikat menggunakan kriteria ketinggian hilal sebagai tafsir kata ruyah; yang
harus diartikan imkanur rukyah, ketinggiannya semula disyaratkan 8 derajat, kemudian
turun 6 derajat, kemudian turun 4 derajat, sekarang populer cukup 2 derajat, karena
ketinggian 2 derajat juga susah ditemukan, maka kemudian naik lagi menjadi 3,5 derajat dan
seterusnya dan seterusnya.
Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Kebenara Agama
Dalam kulliyah Al-Islam sering dinyatakan bahwa kebenaran agama berbeda dengan
kebenaran ilmu pengetahuan. Kebanaran agama bersifat mutlak sedangkan kebenaran ilmu
pengetahuan adalah bersifat nisbi, sehingga kebenaran ilmu pengetahuan terus berproses.
Kebenaran pergantian bulan ditandai dengan terlihatnya hilal adalah kebenaran ilmiyah,
bukan kebenaran agama. Oleh karena itu dapat berubah asal disertai dengan bukti-bukti yang
logis dan ilmiyah. Jika kita beranggapan bahwa menentukan tanggal 1 Ramadlan dengan
dapatnya melihat hilal itu adalah kebenaran agama yang tidak perlu berproses, maka kita
tinggalkan saja hisab. Hal tersebut akan bertentangan dengan fakta ilmu pengetahuan bahwa
perjalan bulan dan matahari dapat dikethui oleh manusia secara pasti, sehingga ilmu hisab
tersebut disebut ilmu pasti.
Mencari tahu kapan terjadinya pergantian bulan qomariyah adalah mencari kebenaran
ilmiyah bukan kebenaran agama walaupun kebenaran ilmiyah tersebut kemudian digunakan
sebagai pelaksanaan ibadah karena ibadah tersebut berkaitan dengan waktu. Kebenaran
ilmiyah bisa diterima jika dilengkapi dasar-dasar dan alasan yang logis sehinga dapat
diterima oleh orang sebanyak-banyaknya. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak memerlukan
dalil agama (Al-Qur-an atau Hadits). Kebanaran yang logis sehingga diterima oleh banyak
orang tingkatnya menjadi sangat tinggi sehingga seluruh manusia bisa menerima sehingga
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
10/14
mencapai apa yang disebut kesepakatan ilmiyah. Inipun sebenarnya dilihat dari kacamatan
filsafat masih kebenaran relative. Contoh :
1. 4 x 4 = 16 (enam belas) adalah kebenaran logis (ilmiyah) yang telah lama tidak berubahdan telah menjadi kesepakatan, karena belum ada dalil lebih logis yang mampu merubah
kesepakatan tersebut;
2. Lingkaran itu besarnya 360 dianggap logis dan kesepakatan ilmiyah;3. Dalam segitiga jumlah sudutnya adalah 180 dan dalam segitiga sama sisi ketiga sudutnya
sama besar, adalah kebenaran ilmiyah dan disepakati;
4. Garis meredian 0 yang menjadi batas hari menurut solar sestem adalah meridian yanglalui kota Grenwicg, adalah kesepakatan ;
5. Menurut ilmu hisab matahari beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur, yangkemudian kembali pada posisnya semula selama 1 (satu) tahun, adalah kesepakatan
ilmiyah, bulanpun demikian beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur, mengitari
bumi, kemudian selama 29 hari lebih sedikit, matahari dan bulan sama-sama dalam garis
ekleptika langit yang diistilahkan Ijtima, itu adalah kesepakatan ilmiyah;
Hal-hal sebagai tersebut diatas oleh ilmu pengetahuan dianggap benar dan disepakati
kebenarannya. Kebenarannya ilmiyah tidak memerlukan dalil agama (wahyu) dan suatu saat
dapat saja berubah dianggap salah jika ditemukan alasan yang lebih logis bahwa hal tersebut
tidak sesuai lagi dengan kebenaran.
Kiranya argument tersebut membuka pikiran kita bahwa masalah ilmu pengetahuan
yang paling diperlukan adalah kesepakatan, kesepakatan itu akan tercapai jika orang lain
bersedia menerima. Orang lain tentu saja tidak dengan tiba-tiba bisa menerima tetapi harus
disertai dengan alasan-alasan yang logis. Menurut hemat saya Ijtima sebagai batas awal dan
akhir bulan qomariyah memenuhi alasan-alasan logis itu.
Fenomena Ijtima (Conjungtion).
Ijtima (konjungsi) terjadi dalam satu kali sebulan dan itu pasti serta pada saat yang
sama di seluruh dunia, jikalau terdapat perbedaan karena perbedaan sistem, maka hal tersebut
tidak berpengaruh banyak karena dalam hitungan menit saja, bahkan jika menggunakan hisab
haqiqi bit-tahqiq (kontemporer) seperti Jhon Meus, Nautical Almanac, Ephimeris Sistem,
New Com, maka perbedaan-perbedaan itu hanya dalam hitungan detik, sehingga tidak ada
pengaruh yang signifikan. Ijtima memiliki criteria-criteria yang unik dan lebih
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
11/14
mempersempit lokasi/daerah kritis batas tanggal. Ibarat orang membuat lyn/garis lapangan
tennes, semakin tipis garis/lyn tersebut kita buat, semakin sedikit bola jatuh di garis tersebut.
Sebaliknya semakin lebar garis/lyn yang kita buat, semakin banyak bolah yang jatuh digaris
itu, dampaknya akan lebih banyak menimbulkan perbedaan dan bahkan kekecewaan pemain.
Sebagaimana telah disepakati bahwa pergantian hari berdasarkan lunar system
(qomariyah) adalah waktughurub (maghrib). Misalkan berdasarkan hisab, ijtima tanggal 29
Syaban terjadi pada jam 17.43.12 WIB, sedangkanghurub (maghrib) untuk kota Surabaya
juga pada jam 17.43.12 WIB (sama persis dengan detiknya), maka hanya kota Surabaya
serta dearah lain yang maghribnya sama persisis jam menit dan detiknya (jam 17.43.12
WIB) adalah daerah kritis batas tanggal, adapun kota lain yang hasil hisabnya maghrib jam
17.42.45 WIB (bedanya tidak sampai 1 menit) sudah tidak termasuk batas tanggal,
sehingga kota Sidoarjo, kota Gersik, kota Bangil, Pasuruan, Probolinggo bisa ditentukan
masih bulan yang lama atau sudah masuk bulan baru, karena berdasarkan perhitungan hisab
ghurubnya (maghribnya) kota-kota tersebut sudah berbeda walaupun dalam hitungan detik
(subhanallah). Itulah kelebihan bila kita menggunakan paradigma ijtima sebagai batas awal
dan akhir bulan qomariyah.
Era sekarang ini adalah era digital, seharus kita ummat Islam percaya kepada hasil
hisab. Karena dengan perbedaan hitungan detikpun kita telah mempunyai landasan pemutus.
Misalkan waktu maghrib disuatu tempat adalah jam 17.50.30, maka orang yang dengan
sengaja berbuka jam 17.50.00 adalah batal puasanya karena secara hukum belum masuk
waktu maghrib walaupun hanya setengah menit.
Ilmu hisab kini telah merambah dunia dan bukan ilmu yang sulit, manusia telah dapat
menyusun kalender yang dipercayai, tetapi tetap saja setiap tanggal 1 Ramadlan dan 1
Syawal senantiasa menjadi pergunjingan seakan-akan tidak lagi percaya dengan kalender
yang telah dibuat. Hal tersebut karena kita berpegang pada paradigma yang parsial, untuk
tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal itu adalah ibadah (taabbudi) harus berpegang pada nash,
Sedangkan untuk penentuan 1 Muharram, 1 Safar, 1 Dzulqodah adalah dunmiawi
(taaqquli). Puasanya adalah ibadah untuk menentukan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawwal
bukan ibadah.
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
12/14
Selama kita memakai ruyat, atau menggabungkan dua cara hisab dan ruyat untuk
menetukan jatuhnya tanggal 1 Ramadlan atau 1 Syawwal maka pada saat-saat ketinggian
hilal kritis akan senantiasa memunculkan perbedaan.
Kalau boleh mengandai-andai, seandainya saat Rasulullah masih hidup dan pada saat
itu sudah ada yang tahu ilmu hisab, maka Nabi akan mempedomani Ijtima sebagai
datangnya bulan baru bukan lagi atas dasar melihat hilal.
Tanggalkan hadits itu, untuk menentukan itu sama sekali tidak memerlukan dalil
agama, yang berhak menentukan pergantian bulan qomariyah itu telah diserahkan oleh Nabi
kepada kita. Untuk urusan duniawi dengan terus terang Nabi Muhammad mengaku ketak-
cakapan dirinya. Nabi bersabda, antum alamu minni bi umuri duniyakum [engkau lebih
tahu tentang urusan duniawi kalian].
Kesimpulan:
1. Menentukan awal bulan qomariyah adalah masalah taaqquli yang merupakan domainilmu pengetahuan, karenanya tidak harus berpegang pada dalil agama (Al-Qur-an atau
Hadits); yang nabi telah serahkan urusan itu kepada manusia sebagaimana sabdanya
antum alamu bi umuri dunyakum;
2. Hadis nabi perintah puasa jika sudah melihat hilal, adalah reaksi basyariyah(kemanusiaan) karena masyarakat pada saat itu memahami pergantian bulan qomariyah
ditandai dengan adanya gejala alam melihat hilal. Hal itu bukan kebenaran agama yang
bersifat muthlak tetapi kebenaran ilmiyah yang perlu terus dievaluasi. Karena itu
terlihatnya hilal bukan satu-satunya cara penentuan masuknya bulan baru.
3. Methode hisab yang telah berjalan selama ini secara ilmiyah dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya dan telah dipercayaai sebagai penentuan waktu (Jadwal
Imsakiyah). Maka semestinya kita ummat Islam juga menerima penetapan pergantian
bulan atas dasar hisab;
4. Para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan serius menindak lanjuti perintahnabi, tetapi mereka tidak membentuk kelompok-kelompok untuk ruyat, hal ini dapat
diartikan bahwa perintah nabi tersebut hanya irsyad.
5. Gerakan merukyat hilal tidak ada landasan perintahnya dari sunnah, tidak efektif dancenderung tabdzir (pemborosan) karena sudah ada hisab yang lebih bisa dipertanggung
jawabkan secara ilmiyah.
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
13/14
-
7/28/2019 Menyoal Visibilitas Hilal
14/14
sunnah atau Jaringan Islam Liberal (JIL) atau mungkin bisa saja dicap sebagai organisasi
kafir (takfir);
Wallahu alam bi shawaab.