MENJAMA SALAT DALAM KONDISI...

96
MENJAMASALAT DALAM KONDISI MACET (Analisis Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta Tahun 2015) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) OLEH: RATNA PUSPITASARI NIM: 1111043100030 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB DAN FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M

Transcript of MENJAMA SALAT DALAM KONDISI...

Page 1: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

MENJAMA′ SALAT DALAM KONDISI MACET

(Analisis Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta Tahun 2015)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH:

RATNA PUSPITASARI

NIM: 1111043100030

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB DAN FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2016 M

Page 2: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya
Page 3: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya
Page 4: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya
Page 5: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

v

ABSTRAK

Ratna Puspitasari, NIM: 1111043100030 MENJAMAʹ SALAT DALAM

KONDISI MACET (Analisis Hasil Mudzakarah MUI DKI Tahun 2015) Program

Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab

Fikih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 1437 H/ 2016 M.

Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena bahwa

menjama′ salat yang dilakukan dalam keadaan macet adalah suatu hal yang asing

di dengar dalam masyarakat kita. Dalam hal ini penulis mengangkat hasil analisis

dalil yang dijadikan dalil pada program Mudzakarah MUI DKI yang membahas

tentang menjama′ salat dalam kondisi macet.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa menjama′ salat dalam keadaan

macet ada beberapa pandangan. Ada yang memperbolehkan dan adapula yang

melarang. Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing yang kuat

yang merujuk kepada hadits Nabi dan al-Qur’an. Namun dalam hal ini sebagai

penulis, dituntut untuk jeli dalam menganalisis dan mengambil sebuah

kesimpulan. Adapun alasan yang membolehkan menjamaʹ salat dalam keadaan

macet yaitu tidak dijadikan sebagai kebiasaan dikarenakan lebih diutamakan tepat

waktu sebagaimana alasan yang digunakan ulama untuk tidak memperbolehkan

menjamaʹ salat dalam keadaan macet.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan teknik analisis

data kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah sumber bahan primer,

sekunder dengan menggunakan metode pengumpulan data penelitian kepustakaan.

Kata Kunci : Menjamaʹ Salat, Hasil Mudzakarah MUI DKI, Dalil

Hukum

Pembimbing : Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc.,MA.

Daftar Pustaka : Tahun 1973 s.d Tahun 2015.

Page 6: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

vi

بسم اهلل الر حمن الر حيم

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT, senantiasa

memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Selanjutnya

salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi dan Rasul kita

Muhammad SAW, dan segenap keluarganya, sahabat-sahabat nya serta ummat

nya sepanjang zaman.

Berkat dan rahmat hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan karya ilmiah dan judul “MENJAMA′ SALAT DALAM

KONDISI MACET ANALISIS HASIL MUDZAKARAH MUI DKI

JAKARTATAHUN 2015” dengan baik.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan dan

hambatan untuk mencapai data dari referensi. Namun berkat kesungguhan hati

dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi.

Untuk ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Fahmi Ahmadi,M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dan

Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

vii

3. Prof. Dr.H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA. selaku pembimbing

skripsi yang telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Khamami Zada, MA dan Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag, yang telah

menjadikan bagian dari Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dalam

masa jabatan sebelum Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum periode

baru.

5. Para Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa

kuliah, semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah Swt.

6. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik

dikala penulis mengumpulkan data dan materi skripsi.

7. Kepada keluarga tercinta terutama ibu dan ayah penulis, serta kakakku yang

selalu memberikan dukungan kepada penulis ini sehingga penulis bisa

menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada sahabat, serta teman-teman yang seperjuangan mahasiswa PMH

(Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan 2011, khususnya Resti, Dian Rana,

Milah, U Zainullah, Qoharuddin, Mia, Indah, Sasa serta teman-teman yang lain

yang selalu memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada

penulis. Terima kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam

suka dan duka. Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan

pernah terlupakan.

Page 8: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

viii

9. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak

bisa sebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah

kita.

Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat

khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin.

Jakarta: 16 Juni 2016 M

11 Ramadhan 1437 H

Ratna Puspitasari

Page 9: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

ix

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .... ......................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv

ABSTRAK ........................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6

D. Tinjauan Kajian Terdahulu........................................................... 7

E. Metode Penelitian ......................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan ................................................................... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT JAMAʹ

A. Pengertian Salat ........................................................................... 14

B. Pengertian Salat Jamaʹ .................................................................. 15

C. Dasar Hukum Salat Jama′ ............................................................ 16

D. Waktu-waktu diperbolehkannya Salat Jama′ ............................... 18

E. Sebab-sebab diperbolehkannya Salat Jama′ ................................ 20

BAB III : TINJAUAN TERHADAP MUDZAKARAH MUI DKI JAKARTA

A. Sejarah Singkat MUI DKI Jakarta ............................................... 41

B. Metode Istinbat Hukum MUI DKI Jakarta Dalam Mudzakarah .. 49

Page 10: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

x

C. Mudzakarah .................................................................................. 55

1. Pengertian Mudzakarah .......................................................... 55

2. Kedudukan Hasil Mudzakarah di Lembaga MUI DKI

Jakarta .................................................................................... 56

BAB IV : ANALISIS DALIL HUKUM HASIL MUDZAKARAH MUI DKI

JAKARTA MENGENAI MENJAMA′ SALAT DALAM

KONDISI MACET

A. Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang Hukum Menjamaʹ

Salat dalam Kondis Macet............................................................ 58

B. Analisis Dalil Hukum yang digunakan MUI DKI Jakarta dalam

Hasil Mudzakarahnya tentang Menjama′ Salat dalam Kondisi

Macet.... ........................................................................................ 65

C. Pandangan Ulama terhadap Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta

Tentang Menjamaʹ Salat Dalam Kondisi Macet .......................... 73

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................... 80

B. Saran-saran ................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 82

LAMPIRAN ......................................................................................................... 86

Page 11: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman yang modern seperti sekarang ini, bukan hanya ilmu

pengetahuan dan teknologi yang berkembang, namun seiring berjalannya waktu,

banyak pula permasalahan-permasalahan yang berkembang dari segala bidang

dalam kehidupan, baik dari bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, termasuk juga

bidang ibadah. Kehidupan yang semakin menyibukkan sebagian orang dalam

urusan duniawinya, terkadang membuat sebagian orang tersebut kehilangan waktu

senggangnya untuk beribadah kepada sang pencipta, khususnya ibadah salat lima

waktu.

Kehidupan semacam ini sudah terlihat langsung dibeberapa tempat,

khususnya di kota-kota besar. Sebagai contohnya kota Jakarta, kota yang padat

penduduknya, kota yang menjadi pusat pemerintahan Indonesia, belum lagi

sebagai pusat ekonomi yang sering didatangi orang dari daerah lain. Di Jakarta,

kemacetan adalah hal yang sudah biasa dihadapi oleh penduduknya atau

penduduk daerah sekitarnya. Terkadang, walaupun jarak yang harus ditempuh

sebenarnya tidak terlalu jauh, namun karena kemacetan jarak tersebut harus

ditempuh dengan waktu yang lama. Dengan demikian, adanya kemacetan menjadi

salah satu faktor penyebab berkurangnya waktu salat, bahkan bisa menjadikan

mereka yang bekerja, salat tidak pada waktunya. Tentunya hal ini menjadi

permasalahan yang berkembang dalam bidang ibadah.

Page 12: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

2

Dari semua pendapat ulama, hukum mengerjakan salat lima waktu adalah

fardhu ‘ain, hal ini bersumber dari al-Quran, sunah, dan ijma1. Maka demikian

salat lima waktu harus selalu dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan apapun

alasannya, kecuali bagi orang yang telah meninggal dunia. Dan meninggalkan

salat adalah perkara dosa sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Sya’rawi

dalam kitabnya.2

Namun, agama Islam adalah agama yang memberikan kemudahan pada

penganutnya, sehingga ketika seseorang berada dalam keadaan yang membuatnya

sulit beribadah, maka Islam memberikan jalan keluar berupa keringanan.

Dalam bidang ibadah salat, ada beberapa keringanan yang dikhususkan

bagi mereka yang mendapat kesulitan ketika hendak melakukan salat lima waktu,

tetapi agama telah menentukan keadaan yang seperti apa yang bisa menjadikan

seseorang mendapatkan keringanan tersebut. Salah satu keadaan yang

diperbolehkan agama untuk mendapatkan keringanan dalam melaksanakan salat

adalah karena adanya hujan yang lebat, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan

dalam kitab kifayatul akhyar, kitab fikih mazhab Syafi’i terdapat keterangan

tentang menjama′ salat ketika hujan yaitu “Dan bagi orang yang berada di rumah

diperbolehkan melakukan jama′ antara dua salat lantaran ada hujan, dan jama′ itu

dilakukan pada waktu yang pertama.3

1Ibnu Rusydi, Bidāyah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-

Islamiyah, t.th), Juz. 1, h.89. 2Muhammad Muttawally al-Sya’rawi, Tafsir Āyāt al-Ahkām, (Cairo: al-Maktabah al-

Taufiqqiyah,tt), Jilid. 1, h. 103. 3Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni al-Damasqi al-Syafi’i, Kifayatul

Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Juz. 1, (Damaskus: Darul Khair, 1994 H), h. 37.

Page 13: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

3

Selain hujan, ada keadaan yang bisa menyulitkan orang untuk melakukan

salat yaitu musafir yang sedang berada di perjalanan. Mereka dalam kondisinya

seperti itu diberikan keringanan berupa diperbolehkannya untuk melakukan salat

jama′ atau melakukan salat qashar.

Salat jama′ yaitu salat yang digabungkan antara Zuhur dan Ashar dengan

cara dimajukan ke waktu Zuhur (takdîm) atau menggabungkan antara kedua salat

itu dengan cara diakhirkan ke waktu Ashar (takhîr). Salat lainnya yang bisa

dijama′ adalah Maghrib dan Isya4. Sedangkan salat qasar adalah meringkas,

menarik salat Zuhur ke salat Ashar atau sebaliknya, yaitu melakukan salat Ashar

pada waktu Zuhur atau sebaliknya namun dengan jumlah rakaat yang berbeda,

yaitu dua rakaat. Salat lain yang bisa diqashar adalah salat Isya5.

Dalam melaksanakan salat jama′ atau qashar, tidak semua perjalanan

diperbolehkan. Ulama fikih telah menerangkan berapa jumlah jarak tempuh

perjalanan bagi musafir yang diberikan keringanan untuk melaksanakan salat

dalam perjalanan atau salat safar. Kitab-kitab hadits dan fikih telah menjelaskan

jarak tempuh perjalanan yang menyebabkan seseorang bisa disebut musafir.6 Dan

para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

4Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996),Cet. 1, h. 205. 5Abdurrahman al-Jazîri, al-Fiqhu „alā al-Madzāhib al-„Arba´ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah,h. 206. 6Muhammad ibn Isma’il abu Abdullah al-Bukhary al-ju’fi, Shahih Bukhari, Cet. 1,

(Madinah: Maktabah al-Dar, 1405 H), h. 142.

Page 14: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

4

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas timbulah permasalahan.

Kemacetan yang terjadi di kota-kota besar telah membuat perjalanan yang jarak

tempuhnya dekat menghabiskan waktu tempuh yang lama, dengan demikian

apakah kondisi seperti ini dapat dijadikan alasan yang syar’i untuk mendapatkan

keringanan? apakah boleh menjama′ atau mengqasar salat karena kemacetan

semacam ini?

Pembahasan tentang salat jama′ dalam kitab fiqh hanya untuk orang-orang

yang sedang musafir dan sedang dalam kondisi hujan, meskipun begitu ada

batasan-batasannya. Namun apakah kondisi macet bisa dimasukan kedalam

kategori musafir dan dikaitkan dengan kondisi hujan? Disinilah umat Islam perlu

teliti dan cermat juga hati-hati dalam mengambil hukum.

Sebelumnya permasalahan ini telah ditanyakan kepada Majlis Ulama

Indonesia (MUI) DKI Jakarta melalui program mudzkarahnya. Dengan beberapa

alasan, secara umum MUI DKI Jakarta memperbolehkan jama′ salat dengan

sengaja, salah satu alasan yang diperbolehkannya karena dalam kondisi macet.

Namun dari hasil mudzakarah tersebut tidak tergambar penjelasan yang jelas dari

dalil-dalil yang dipaparkan. Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian terkait masalah yang telah diterangkan di atas, apalagi masalah ini

dalam ruang lingkup ibadah yang sebenarnya kaku dalam menerima

pembaharuan. Penulis akan berusaha memberikan penjelasan terhadap

permasalahan ini dalam bentuk karya ilmiah yaitu berupa skripsi yang berjudul

“MENJAMA′ SALAT DALAM KONDISI MACET (Analisis Hasil

Mudzakarah MUI DKI Jakarta Tahun 2015)”

Page 15: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

5

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di

atas, agar permasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis

membatasinya hanya sekitar mengenai fikih ibadah yaitu menjamaʹ salat dalam

kondisi macet dikhususkan dalam pembahasan dalil-dalil yang digunakan MUI

DKI Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada pembatasan masalah di atas dan dalam rangka

mempermudah penulis dalam menganalisa permasalahan, penulis merumuskan

masalah pada skripsi ini sebagai berikut:

1) Bagaimanakah dalil yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta

dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet?

2) Bagaimanakah penjelasan ulama yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI

DKI Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet?

Page 16: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini, ada tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, dan

tujuan yang dimaksud adalah:

1.) Untuk mengetahui dalil yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI

Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet.

2.) Untuk mengetahui penjelasan ulama yang terdapat dalam hasil Mudzakarah

MUI DKI Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi

macet.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Manfaat Teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan bahan

masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam

khususnya fikih ibadah mengenai menjamaʹ salat dalam kondisi macet.

b. Manfaat Praktis:

1. Bagi Akademis, hasil penelitian ini merupakan informasi cukup penting

dalam bidang ibadah ketika melakukan jama′ salat dalam kondisi macet.

2. Bagi Masyarakat Umum, penulisan ini juga bermanfaat bagi masyarakat

umum, yaitu pengetahuan mengenai salat jama′ dalam kondisi macet,

yang mana kondisi tersebut sudah sering dialami oleh masyarakat umum.

Page 17: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

7

3. Bagi Pemerintah, dapat menjadi masukan bagi pemerintah agar dapat

mengatasi permasalah kemacetan sehingga dapat memudahkan orang

Islam dalam melaksanakan salat lima waktu sesuai waktu normalnya.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Penulis melakukan tinjauan terhadap kajian-kajian terdahulu, diantaranya

adalah skripsi yang berjudul “Hukum Menjama′ Salat Tanpa Sebab” (perspektif

Sunni-Syi‟i) yang ditulis oleh Dede Sadeli, Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2009. Dalam skripsi

ini Dede Sadeli mengungkapkan perbandingan hukum menjama′ salat menurut

madzhab sunni dan syi’i. Skripsi tersebut dijelaskan bahwa Menurut pendapat

Syi’ah salat jama dapat dilakukan tanpa harus ada sebab seperti wuquf di Arafah,

mabit di Muzdalifah, adanya hujan lebat, bepergian, dan sakit. Artinya bahwa

hukum menjama′ salat tanpa sebab dibolehkan dikalangan Syi’ah. Sedangkan

Bagi Mazhab Sunni menjama′ salat tanpa sebab tidak dibolehkan, karena salat

jama hanya diperbolehkan ketika adanya sebab-sebab tertentu, seperti yang telah

disebutkan mazhab Syi’ah.

Penelitian selanjutnya yaitu, “Konsep Ibnu Sabil dan Musafir Perspektif

Hukum Islam”(Studi Tentang Praktek Salat Qasar Anak Indekos) yang ditulis

oleh Ahmad Fauzi Ridwan,Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2013. Skipsi ini Ahmad Fauzi Ridwan

mengungkapkan tentang konsep ibnu sabil dan musafir serta implikasinya

terhadap pelaksanaan hukum salat qashar bagi anak indekos menurut imam

Page 18: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

8

mazhab yang empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah). Skripsi

tersebut disebutkan bahwa seorang yang indekos harus memenuhi syarat agar bisa

dikatakan ibnu sabil dan musafir, diantaranya yaitu: Menurut Mazhab Hanafiyah

berpendapat bahwa bagi seseorang yang sedang melakukan perjalanan dengan

jarak tempuh mencapai 3 hari 3 malam (96 km), baik perjalanannya untuk ibadah

atau maksiat, maka ia wajib untuk mengqasar salatnya. Menurut Mazhab

Malikiyah berpendapat bahwa untuk seseorang yang melakukan perjalanan

dengan jarak tempuh mencapai 4 barid (48 mil atau 77,232 KM), Dan kategori

perjalanannya bukan untuk maksiat, maka hukum mengqashar salat baginya

adalah sunnah muakkad. Akan tetapi hukum tersebut menjadi terhapus jika berniat

untuk tinggal selama 4 ditempat tujuannya dan setelah 4 hari tersebut berlalu ia

wajib menyempurnakan salatnya. Mazhab Syafi’iyah berpendapat seorang

disunnahkan untuk mengqashar salat dengan ketentuan sesorang tersebut sedang

dalam proses perjalanan yang jarak tempuhnya mencapai 2 Marhalah (48 mil atau

77,232 KM), dengan tujuan perjalannya bukan untuk maksiat. Mazhab Hanabilah

yaitu dengan syarat dan ketentuan bahwa ia sedang melakukan perjalanan dan

jarak tempuhnya mencapai 4 barid dan tujuan perjalannya untuk ibadah bukan

maksiat.

Dari skripsi yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa

skripsi yang ditulis ini berbeda dengan skripsi di atas. Jika skripsi pertama fokus

pembahasanya mengenai perbandingan hukum menjama′ salat menurut madzhab

Sunni dan Syi’i. Kemudian skripsi kedua fokus pembahasannya mengenai

konsep ibnu sabil dan musafir serta implikasinya terhadap pelaksanaan hukum

Page 19: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

9

salat qashar bagi anak indekos menurut imam mazhab yang empat (Hanafiyah,

Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah). Dalam penelitian ini penulis

memfokuskan permasalahan tentang hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet.

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam menyusun penulisan ini,

penulis akan menggunakan metode:

1. Pendekatan Masalah dan Jenis Penelitian

Dari segi metode penelitian hukum, dengan melihat objek dari penelitian

ini tertuju pada penelitian suatu putusan, maka kajian ini termasuk pada penelitian

hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, yang dimaksud

dengan penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan

meneliti bahan studi pustaka atau data sekunder belaka.7

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis yang

dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif analisis yang

dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif analisis yaitu metode

yang menggunakan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian yang menggunakan pendekatan

kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis dan lisan dari orang perilaku yang diteliti.8

7Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan,

(Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 14. 8Sudarman Damin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), Cet. 1, h.

51.

Page 20: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

10

Dalam hal ini juga penulis menggunakan metode wawancara untuk

mengumpulkan data dan informasi dari informan.

2. Sumber dan Jenis Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder.

Data Primer dalam penelitian inia dalah hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta

tentang menjama′ salat dalam kondisi macet, al-Qur’an al-Karim, kitab-kitab

hadits, seperti: Sahih Muslim karya Imam Muslim al-Naisaburi, Sahih al-Bukhari,

karya al-Bukhari dan kitab-kitab fikih ibadah, dan lain-lain. Dan hasil wawancara

para ulama Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang menjama′ salat dalam kondisi

macet.

Data sekunder dalam penelitian ini adalah berbagai dokumen yang

berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yang didapat dari buku-buku,

artikel ilmiah, berita-berita di media masa, dan lainnya.9

a. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data penulis menggunakan teknik Penelitian

kepustakaan (library research), yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan

literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan menghimpun

seluruh data proses ulama Mudzakarah MUI DKI Jakarta terhadap penetapan hasil

Mudzakarahnya Tahun 2015, tentang jama′ salat dalam kondisi macet. Dan

wawancara langsung dengan para ulama MUI DKI Jakarta.

9J. Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997), h.

112-116.

Page 21: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

11

b. Metode Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk

yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah dipahami dan

diinformasikan kepada orang lain.10

Dalam menganalisis data yang telah

dihimpun, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, dengan memaparkan/

menginterprestasikan data-data yang diperoleh kemudian menginterprestasikan,

dan dilakukan analisa terhadap Dalil Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang

Jama′ Salat Dalam Kondisi Macet dengan hasil yang diperoleh penulis baik dari

literatur-literatur atau dari dokumen-dokumen lainnya yang membahas tentang

hukum menjama′ salat menurut hokum Islam.

c. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dilakukan dalam buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2012.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusunan skripsi ini, penulis membaginya kepada

lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

10

Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.

224.

Page 22: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

12

tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Dengan berangkat dari pendahuluan kita sudah mengetahui garis besar

penelitian bab pertama ini adalah sebagai pengantar. Adapun isi

penelitian seluruh tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian

seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.

BABII TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT JAMA′

Bab II meliputi pengertian salat jama′, dasar hukum salat jama′, waktu-

waktu diperbolehkannya salat jama′, dan sebab-sebab diperbolehkannya

salat jama′,

BABIII TINJAUAN TERHADAP MUDZAKARAH MUI DKI JAKARTA

Dalam Bab III ini diuraikan penjelasan mengenai sejarah singkat MUI

DKI Jakarta, Metode istinbat hukum MUI DKI Jakarta dalam

Mudzakarahnya, Pengertian Mudzakarah, dan mengenai kedudukan

Mudzakarah dalam lembaga MUI DKI Jakarta.

BAB IV DALIL HUKUM HASIL MUDZAKARAH MUI DKI JAKARTA

MENGENAI MENJAMA′ SALAT DALAM KONDISI MACET

Dalam Bab IV inidijelaskananalisispenulismengenaiHasil Mudzakarah

MUI DKI Jakarta tentang hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet,

dalil-dalil yang digunakan dalam penetapkan hukum membolehkan

menjama′salat dalam kondisi macet berdasarkan hasil Mudzakarah MUI

DKI Jakarta, dan pandangan ulama terhadap Mudzakarah MUI DKI

Jakarta tentang menjamaʹ salat dalam kondisi macet.

Page 23: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

13

BAB V PENUTUP

Dalam Bab V ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dan

menyampaikan beberapa saran yang berhubungan dengan kajian

penulisan.

Page 24: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

14

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT JAMAʹ

A. Pengertian Salat

Salat berasal dari kata صالة -يصلى -صلى yang berarti berdoa dan

mendirikan sembahyang.1 Sedangkan menurut istilah salat adalah ibadat yang

tersusun dari beberapa perkataan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan

takbir dan disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang

ditentukan.2

Sedangkan pengertian salat menurut istilahpara ahli fikih adalah:

3أقوال وأفعال مفتتحة بالتكرب حمتتمة بالتسلم يتعبد هبا بشرائط خمصوصة.

Artinya:“Perkataan (bacaan-bacaan) dan perbuatan (gerakan-gerakan) yang

dimulai dengan takbiratul ihram, diakhiri dengan salam dengan syarat-

syarat yang tertentu”.

Pengertian ini mencakup semua salat yang diawali dengan takbiratul ihram

dan di akhiri dengan salam.4

1Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), Edisi ke. 2, h. 792. 2Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 64.

3Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Salat, (Jakarta: Bulan Bintang,

1983), h. 62. 4Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 9.

Page 25: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

15

B. Pengertian Salat Jamaʹ

Jamaʹ secara bahasa berasal dari kata جمعا –يجمع -جمع yang berarti

mengumpulkan atau menghimpun.5 Sedangkan menurut istilah salat jamaʹ ialah

mengumpulkan atau melaksanakan dua salat yang dikerjakan pada satu waktu,

atau mengumpulkan dua salat dalam satu waktu secara berketerusan.6

Misalnya: antara salat Zuhur dengan Asar dikerjakan pada waktu Zuhur

saja atau dikerjakan pada waktu asar saja.Salat jamaʹ ini dibedakan menjadi dua

macam yaitu jamaʹ takdîm dan jamaʹ takhîr. Yang dimaksud dengan jamaʹ takdîm

yaitu mengumpulkan dua salat yang dikerjakan sekaligus di waktu salat yang awal.

Seperti mengumpulkan salat Zuhur dan Asar yang dikerjakan di waktu Zuhur atau

mengumpulkan salat Maghrib dan Isya di waktu Maghrib.7

Sedangkan jamaʹ takhîr yaitu mengumpulkan dua salat yang dikerjakan

sekaligus di waktu salat yang terakhir. Seperti mengumpulkan salat Zuhur dan

Asar yang dikerjakan di waktu Asar atau mengumpulkan salat Maghrib dan Isya

yang dikerjakan di waktu Isya.8

Salat yang boleh dijamaʹ hanyalah yang waktunya berdekatan dan

ditentukan, yaitu salat Zuhur dengan Asar dan salat Maghrib dengan Isya. Jadi

salat yang boleh dijamaʹ adalah semua salat fardhu kecuali salat Subuh, salat

Subuh harus dilakukan pada waktunya. Itu sudah menjadi kesepakatan ulama

tidak boleh menggabungkan dua salat lainnya seperti salat malam digabungkan

5Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), Edisi ke. 2, h. 208. 6Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet. 2, h. 35.

7Alimin Koto el-Majid, TuntunanSafar, (Jakarta: Sahara Publishers,

2006), h. 218 8Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 205.

Page 26: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

16

dengan salat siang, dan salat siang digabungkan dengan salat malam. Salat Zuhur

dan salat Asar adalah salat siang, sedangkan salat Maghrib dan Isya adalah salat

malam.9 Demikian dari itu maka tidak boleh menggabungkan dua salat lainnya,

misalnya salat Subuh dengan Zuhur, dan salat Asar dengan Maghrib, atau salat

Isya dengan salat Subuh.

C. Dasar Hukum Salat Jamaʹ

Para ulama semuanya sepakat bahwa menjamaʹ dua salat itu disyariatkan

dalam agama Islam.Khususnya salat Zuhur dijamaʹ dengan salat Asar dan salat

Maghrib dijamaʹ dengan salat Isya. Dasar disyariatkanya salat jamaʹ ini memang

tidak disebutkan secara khusus di dalam al-Qur‟an. Namun di dalam hadis-hadis

penulis menemukan banyak sekali keterangan tentang hadis jamaʹ salat ini. Salah

satunya yaitu jamaʹ salat yang dilakukan oleh Rasulullah Sallallāhū „Alaihi

Wasallam ketika melaksanakan haji wada‟ di Tahun kesepuluh hijriyah,

sebagaimana disebutkan di dalam hadis Jabir ra berkata:10

أتى بطن الوادي فخطب الناس مث فرسول اهلل صلى اهلل عليو وسلمعن جابر قال )رواه .مث أقامفصلى الظهر مث أقام فصلى العصر ومل يصل بينهما شيئان أذ

11مسلم(

9Ali Raghib, Ahkam al-Shalah, Penerjemah Abdillah al-Fakih dan Mu‟tashim, Ahkamus

Shalah dilengkapi dengan Hukum-Hukum Seputar Puasa, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 199. 10

Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat, (Jakarta: CU Publishing, 2010), h.

289. 11

Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Afaq, t.th), Juz.

4, h. 39.

Page 27: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

17

Artinya:“Lalu beliau SAW mendatangi wadi dan bekhutbah di depan manusia,

kemudian Bilal beradzan, kemudian iqamah dan salat Zuhur, kemudian

iqamah dan salat Asar, dan tidak salat sunnah diantara keduanya.” (HR.

Muslim).

Menurut riwayat al-Bukhari, dari Ibnu Abbas ra. dia berkata:

يجمع رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلمكان : لاق ضي اهلل عنهمااس ر عن ابن عب)رواه .ءاعشالرب و غامل جيمع بنيو ذا كان على ظهرإظهروالعصر لة ابني صال 12البخارى(

Artinya:“Dari Dan dari Ibnu Abbas radhiyallāhu „anhu berkata: Bahwa

Rasulullah SAW menggabungkan antara salat Zuhur dan Asar apabila

ada dalam perjalanan, dan menggabungkan antara Maghrib dan

Isya.”(HR.Al-Bukhori).

Dan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bazzar berkata:

رسول اهلل صلى اهلل عليو ن اعن انس عن ابن عمر رضي اهلل عنهما قال: كر مث صاىل وقت الع هرظخر الأالشمس -هراظمتيل – غن تزيأذا رحل قبل إوسلم

13(راز ب)رواه ال .ن يرحتل صلى الظهرمث ركبأن زاغت قبل إنزل جيمعبينهما ف

Artinya:”Dari Anas, dari Ibnu Umar Radiyallāhu „Anhumā berkata; Bahwasanya

apabila Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wassalam, berangkat (untuk

bepergian) sebelum tergelincir matahari (sebelum masuk waktu Zuhur),

maka Baginda melewatkan salat Zuhur ke dalam waktu Asar, kemudian

singgah di suatu tempat dan melakukan jamaʹ kedua salat itu. Jika

tergelincir matahari (masuk waktu Zuhur) sebelum berangkat, maka

dilakukan salat Zuhur dan kemudian berangkat. (HR. al-Bazzar).

12

al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987), Jilid. 2,

h. 57. 13

Abu Bakar al-Bazzar, Musnad al-Bazar, (Madinah: Maktabah al-Ulum, 2009), Juz. 13,

h. 26.

Page 28: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

18

Dalam hal ini, maka tidak dijumpai sebuah riwayatpun dari Nabi

Sallallāhū „Alaihi Wasallam yang menjelaskan bahwa beliau pernah menjamaʹ

salat selain salat diatas, yaitu selain salat Zuhur dengan salat Asar dan salat

Maghrib dengan salat Isya.14

D. Waktu-Waktu diperbolehkanya Salat Jamaʹ

Seorang musafir yang sudah memenuhi syarat diperbolehkannya salat

qashar juga diperkenankan menjamaʹ salat (mengumpulkan salatnya).15

Yang

diperbolehkan dalam salat jamaʹ itu hanya salat fardhu empat waktu. Yaitu Zuhur,

Asar, Magrib dan Isya. Jika dilihat dari segi waktu kapan boleh dikerjakan salat

jamaʹ ini dibagi menjadi dua yaitu antara lain:16

1. Jamaʹ Takdîm, yaitu jika kedua salat yang dilakukan dengan jamaʹ dikerjakan

pada waktu yang pertama, misalnya salat Zuhur dan Asar dikerjakan di waktu

Zuhur atau diantara salat Magrib dan salat Isya dikerjakan di waktu Magrib.

Salat jamaʹ takdîm mempunyai syarat yang harus dipenuhi, antara lain:17

a. Tertib, yaitu memulai terlebih dahulu dengan salat yang tiba

waktunya.Apabila ia berada di waktu Zuhur dan ia berkehendak untuk

mengerjakannya bersama salat Asar pada waktu Zuhur itu, maka ia

berkewajiban memulai dengan salat Zuhur.

14

Ali Raghib, Ahkam al-Shalah, Penerjemah Abdillah al-Fakih dan Mu‟tashim, Ahkamus

Shalah dilengkapi dengan Hukum-Hukum Seputar Puasa, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 200. 15

Hasan, Tafsir Ibadah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), h. 69. 16

Abdul Fatah dan Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h.

75. 17

Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 210.

Page 29: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

19

b. Niat menjamaʹ dalam salat yang pertama. Disyaratkan bahwa niat itu berada

pada salat pertama, meskipun bersamaan dengan salamdarinya. Jadi tidak

cukup niat itu sebelum takbir dan setelah salam.

c. Berturut-turut antara dua macam salat. Yaitu sekiranya tidak dipisah antara

keduanya dengan sesuatu perbuatan yang cukup untuk mengerjakan salat

dua rakaat yang ringan.

d. Masih berlangsungnya bepergian sampai ia memulai dalam salat kedua

dengan takbiratual-ihram, meski bepergian selesai setelah itu

dipertengahannya. Adapun apabila bepergianya telah selesai sebelum

memulai salat yang kedua, maka menjamaʹ tidak sah. Sebab telah hilang

penyebabnya.

e. Waktu salat yang pertama masih tetap secara yakin sampai

terselenggarakanya salat yang kedua.

f. Salat yang pertama diduga telah sah. Apabila salat yang pertama adalah

salat jum‟at dilakukan ditempat salat jumat yang secara terbilang bukan

karena memang diperlukan sedangkan keadaan diragukan mana yang dahulu

dan mana yang bersamaan, maka tidak sah menjama salat Asar bersamanya

secara jamaʹ Takdîm.18

2. Jamaʹ Takhîr, adalah jika kedua salat yang dilakukan dengan jamaʹ dikerjakan

pada waktu yang kedua. Yaitu dikerjakan diwaktu Asar atau Magrib, seperti

halnya jamaʹ takdîm, dalam salat jamaʹ takhîr juga mempunyai syarat-syarat

yang harus dipenuhi:

18

Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 211.

Page 30: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

20

a. Niat mengakhirkan pada waktu salat yang pertama selama waktunya masih

tersisa mencukupi untuk salat secara sempurna atau qashar. Namun apabila

ia tidak berniat mengakhirkan atau meniatkannya, dan sisa waktu tidak

mencukupi untuk menunaikan salat maka ia melakukan kemaksiatan dan

salatnya menjadi salat qada, jika ia tidak bisa menunaikan satu rakaat dalam

waktunya. Jika memperoleh satu rakaat hukumnya salat adaʹ namun

hukumnya haram.

b. Bepergian masih berlangsung sampai dua salat selesai dengan sempurna.

Apabila musafir menjadi orang yang mukim sebelum itu maka yang

diniatkan untuk diakhirkan menjadi salat qada. 19

E. Sebab-Sebab diperbolehkannya Salat Jamaʹ

Bagi seseorang dibolehkan menjamaʹ (menggabungkan) salat Zuhur

dengan Asar dan Magrib dengan Isya, secara takdîm maupun takhîr. Sedang salat

Subuh tetap harus dikerjakan pada waktunya. Demikian itu jika didapatkan salah

satu keadaan apabila:20

1. Berada di Arafah dan Muzdalifah.

Para Ulama sepakat bahwa menjamaʹ takdīm antara salat Zuhur dengan

salat Asar ketika di Arafah dan menjamaʹ takhir antara salat Maghrib dengan

19

Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 212. 20

al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap dkk, (Jakarta:

Cakrawala Publishing, 2011), Cet. 3, h. 508.

Page 31: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

21

Isya di Muzdalifah adalah sunah,21

yang didasarkan kepada perbuatan

Rasulullah Sallallāhū „Alaihi Wasallam bersabda:

صلى رسول اهلل صلى لو غريه ماإ: والذى ال عن ابن مسعود رضي اهلل عنو قالصالتني مجع بني الظهر والعصر بعرفة ال إيف وقتها ال إة قط اهلل عليو وسلم صال

22)رواه الرتمذى(وبني املغرب والعشاء مبزدلفة.

Artinya:“Dari Ibnu Mas‟ud Radiyallāhu „Anhumā berkata: Aku bersumpah

yang tiada Tuhan selain Allah bahwa Rasulullah Sallallāhu „Alaihi

Wassalam tiada mendirikan salat selain dikerjakan pada waktunya,

kecuali dua jenis salat, yaitu: menjamaʹ salat Zuhur dan Asar ketika di

Arafah dan salat Maghrib dan Isyā ketika di Muzdalifah. (HR. al-Tirmizi).

Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara para Ulama para Imam

bahwa jamaʹ antara Zuhur dan Asar sebagai jamaʹ takdîm dalam waktu Zuhur

di Arafah dan diantara magrib dan Isya sebagai jamaʹ takhîr dalam waktu Isya

di Muzdalifah adalah sunnah bagi orang beribadah haji.23

dan Ulama

Hanafiyah melarang menjamaʹ salatnya dalam satu waktu antara dua salat

selain dari dua tempat dan kondisi yaitu:24

a. Menjamaʹ salat Zuhur dan Asar pada waktu Zuhur secara takdîm, dengan

empat macam syarat yaitu:

1) Menjamaʹ salat tersebut pada waktu di Arafah ketika melaksanaan ibadah

haji.

21

IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th), Juz. 1, h.

170. 22

Abu Īsa al-Tirmidzī, al-Jāmī‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, (Beirut: DarIhyā al-Turāts

al-Arabi, t.th.), Juz. 4, h. 232. 23

Mahmoud Saltout, Alial-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1996), h. 66. 24

Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 213.

Page 32: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

22

2) Seseorang yang menjamaʹ salatnya itu sedang ihram dalam haji.

3) Menjamaʹ salat tersebut dibelakang atau bermakmum kepada imam kaum

Muslimin.

4) Salat Zuhur yang dilakukan adalah sah, apabila salat Zuhur jelas telah batal

maka wajib diulang.

b. Menjamaʹ salat maghrib dan Isya di waktu Isya secara takhir dengan memenuhi

syarat yaitu, menjamaʹ salat itu di Muzdalifah dan ketika berihrām haji.25

2. Dalam Bepergian atau Safar

Seseorang yang dalam keadaan bepergian boleh menjamaʹ salatnya, baik

dengan jamaʹ takdîm maupun dengan jamaʹ takhîr. Para fuqaha (Maliki,

Syafi‟i, Hanbali) yang membolehkan salat jamaʹ sependapat, bahwa musafir

dibolehkan menjamaʹ salatnya, baik dengan jamaʹ takdîm maupun dengan

jamaʹ takhîr.26

Berdasarkan hadis dari Mu‟adz yang diriwayatkan oleh Abu

Dawud dan Tirmidzi menerangkan:

زاغت ذاإتبوك نيب صلى اهلل عليو وسلم كان يف غزوةإن العن معاذ قال: الشمس غن تزيأا ارحتل قبل إذالعصر و يرحتل مجع بني الظهر و ن أالشمس قبل

حتل ر ن يأقبل ن غابت الشمس أرب مثل غامل لعصرويفلهر حىت ينزل ظالخر أل نز ي حىت بخر املغر أب الشمس يتغ نأن ارحتل قبل أو ءالعشاغرب و مجع بني امل

25

Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 213. 26

Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Wakaf

Baitussalam Billy Moon, 2013), Jilid. 1, h. 372.

Page 33: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

23

حسن(. ل ىذا حديثاا. )رواه ابوداود والرتمذى وقنزل فجمع بينهم للعشاء مث 27بوداود والرتمذى()رواه أ

Artinya:“Dari Mu‟adz berkata;” Bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam

sewaktu perang tabuk, selalu menjamaʹ salat Zuhur dengan Asar bila

berangkatnya itu sebelum matahari tergelincir, maka salat Zuhur

diundurkan beliau, dan dirangkapnya sekali dengan Asar. Begitu pula

dengan salat Maghrib, yaitu kalau beliau berangkat sesudah matahari

terbenam dijamaʹ nya Maghrib dengan Isya. Tetapi kalau berangkatnya

itu sebelum matahari terbenam diundurkannyalah Maghrib itu sampai

Isya dan jamaʹnya dengan salat Isya. (diriwayatkan oleh Abu Daud serta

Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadis ini adalah hadis hasan)”.

Dalam hal bepergian ini ada syarat yang harus ada dalam perjalanan

menurut Ulama fikih antara lain:28

a. Niat Safar

Yang dimaksud dengan niat safar yaitu seseorang memang sengaja untuk

melakukan perjalanan. Sebagaimana layaknya orang yang akan melakukan

perjalanan jauh. Bepergian secara mutlak, baik bepergian dalam jarak boleh

mengqasar salat ataupun tidak, akan tetapi disyaratkan hendaknya bepergian

yang tidak diharamkan dan tidak dimakruhkan. Misalnya: para pemburu yang

mengikuti atau mengejar hewan buruannya hingga menempuh jarak yang

cukup jauh, bila memang tidak berniat melakukan safar sejak awal maka

safarnya itu dianggap bukan safar yang boleh dijamaʹ.29

27

Abu Īsa al-Tirmidzī, al-Jāmī‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 2, h.

438. 28

Muhammad Anis Sumaji, 125 Masalah Salat, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka

Mandiri, 2008), h. 168. 29

Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat, h. 289.

Page 34: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

24

b. Memenuh Jarak Minimal dibolehkannya Safar

Imam Malik, Syafi‟i, Ahmad dan ulama lain berpendapat bahwa jarak

bolehnya salat qashar adalah empat burud, yaitu jarak perjalanan tidak cepat

dan tidak lambat selama sehari semalam.30

Ketentuan ini berdasarkan pada

hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallāhu „anhu

keduanya bahwa:

وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: )رواه . عسفانىلة إالصالة ىف أدىن من أربعة برد من مك اال تقصرو

31(يهقيالب

Artinya:“Dan dari Ibnu Abbas radhiyallāhu „anhu, berkata; Rasulullah

Sallallāhu Alaihi Wassalama bersabda: „janganlah kamu mengqashar

salat pada jarak kurang dari empat burud, (misalnya) dari Mekah ke

Usfan”.(HR. al-Baihaqi).

Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar Radiyallāhu anhu, keduanya melakukan

salat dua rakaat serta berbuka jarak empat burud dan lebih dari itu. Karena,

pada jarak tersebut sering muncul kesulitan perjalanan, sedang jarak kurang

dari itu tidak terlalu banyak.32

ثمانية لن رسول اهلل عليو وسلم كان يقتصر يف اإعمر رضي اهلل عنو قال عن 33عشر ميال )رواه مسلم(

30

IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 167. 31

al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubro, (Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994), Juz. 3, h. 137. 32

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2010), Jilid. 2, h. 428. 33

Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Afaq, t.th), Juz.

2, h. 145.

Page 35: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

25

Artinya:“Dari Umar Radiyallāhu anhu, bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi

Wassalama mengqasar salat dalam jarak tempuh sekitar delapanbelas

mil”. (HR. Muslim).

Banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai batasan jarak

diperbolehkannya mengqashar salat dan menjamaʹnya. Dalam masalah ini Abu

Bakar Ibnu Mundzir menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat.34

Akan tetapi

pendapat yang kuat pada dasarnya tidak ada batasan jarak yang pasti. Kecuali

yang disebut safar dalam bahasa arab. Nabi tidak akan lupa menjelaskan hal

tersebut apabila ada kepastian jarak, dan para sahabatpun tidak akan lupa

menanyakan hal itu kepada Nabi Sallallāhū „Alaihi Wasallam.

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjamaʹ salat dilihat

dari segi batas minimal jarak perjalanan.

Pendapat Pertama: Menurut Imam Malik, Imam Asy-Syafi‟i, Imam

Ahmad bin Hanbal dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud (16

farsakh). Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama

dengan 3 mil, 1 mil itu 3500 hasta, sama dengan 89 km untuk detailnya yaitu

88,704 km.35

Pendapat Kedua: Abu Hanifah mengatakan jarak diperbolehkannya

menjamaʹ salat yaitu minimal perjalanan 3 hari. Maka angka itu kalau kita

konversikan di masa sekarang berjarak kurang lebih 133 - 135 km.36

Dasar dari pengguna masa waktu tiga hari ini adalah hadis Nabi Sallallāhu

„Alaihi Wasallam, dimana dalam beberapa hadis beliau selalu menyebutkan

34

al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap

dkk,h. 500. 35

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, h. 428. 36

Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat, h. 32 .

Page 36: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

26

perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadis tentang

mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seseorang boleh mengusap sepatu

selama perjalanan tiga hari.37

وماملقيم كمال ي حنا أنيمسمر ول اهلل صلى اهلل عليو وسلم يأعن علي كان رس 38()رواه ابن أىب شيبة .ايهالثة أيام وليفرثالاسوامل ةوليل

Artinya:“Dari Ali;Bahwa Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam“seorang

yang bermukim boleh mengusap sepatunya sehari dan semalam penuh,

sementara musafir tiga hari tiga malam.(HR. Ibn Abi Syaibah).

Demikian juga ketika Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam

menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang

menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama tiga hari.

هللامرأة تؤمن بل اللالحياعن عبداهلل بن عمر عن النىب صلى اهلل عليو وسلم ق 39)رواه مسلم( م.ها حمر ع ومال يل إل ثالسرية ثمفر ار أن تسخآلا اليومو

Artinya:“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam

bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dari hari

akhir bepergian sejauh tiga malam kecuali bersama mahram”. (HR.

Muslim).

Pendapat Ketiga: sedangkan Zahiri mengatakan tidak ada batasan minimal.

Yaitu berapapun jaraknya yang penting sudah masuk kriteria safar atau

perjalanan.40

Seorang musafir dapat mengambil rukhsah salat dengan mengqashar dan

menjamaʹ jika telah memenuhi jarak tertentu.

37

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, h. 427. 38

Ibnu Abi Syaibah, al-Musonnaf, (Riyad: Maktabah al-Rusydi,

1409), Jilid. 1,h. 162. 39

Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, Jilid. 4, h. 424. 40

IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 168.

Page 37: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

27

كان نسأفقال نس بن م الك عن قصر الصال ة أسألت ق العن حيي بن يزيد و فراسخ يصل أميال أمسرية ثال ثة ذا خرجإالنىب صل ى اهلل عليو وسلم

41(يقهبوداود والبيأو محدأوه مسلم و )را .نيركعت

Artinya:”Dari Yahya bin Yazid berkata saya bertanya kepada Anas bin Malik

perihal mengqasar salat. Lalu Anas bin Malik berkata: Rasulullah

Sallallâhu „Alaihi Wasallam melaksanakan salat dua rakaat

(mengqasar salat) kalau sudah keluar sejauh tiga mil atau tiga

farsakh”. (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan al-Baihaqi).

وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: 42)رواه البيهقي( ال تقصروالصالة ىف أقل من أربعة برد من مكة إىل عسفان.

Artinya:”Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Sallallâhu „Alaihi Wasallam

bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqasar

salat kurang dari empat burdin, dari Mekkah ke Usfan.

Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:”Qashar shalat dalam

jarak perjalanan sehari semalam”.

Dari Ibnu Umar Radiyallâhu „anhu, dan Ibnu Abbas Radiyallâhu „anhu

mengqasar salat dan buka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu

16 farsakh. Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar salat

yaitu 4 burd yaitu 16 farsakh. Karena, pada jarak tersebut sering muncul

kesulitan perjalanan.43

Begitulah yang dijelaskan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.

Sedangkan hadis Ibnu Syaibah menunjukan bahwa qasar salat adalah

41

Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, Juz. 1, h. 481. 42

al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubro, (Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994), Juz. 3, h. 137. 43

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, h. 428.

Page 38: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

28

perjalanan sehari semalam. Ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan

unta normal. Setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16

farsakh, angka ini kalau kita konversikan di masa sekarang setara dengan jarak

88, 656 km. Ada juga yang menghitung menjadi 88,705 km.44

Pendapat inilah

yang diyakini mayoritas ulama seperti Imam Malik, Imam al-Syafi‟i dan Imam

Ahmad serta pengikut ketiga Imam tersebut.45

c. Keluar dari kota tempat tinggalnya.

Mengqashar salat dalam keadaan safar itu sudah boleh dilakukan meski

belum mencapai jarak yang telah ditetapkan. Asalkan sejak awal niatnya

memang akan menempuh jarak sejauh itu.

Salat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari kota

atau wilayah tempat tinggal, tetapi belum boleh dilakukan ketika masih

dirumahnya.46

Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam tidak mulai mengqasar salatnya

kecuali setelah beliau meninggalkan Madinah.

رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم هر معظعن أنس بن مالك قال: صليت ال 47)رواه مسلم(يفة ركعتني.لصل يت معو العصر بذي احلباملدينة أربعا و

Artnya:“Dari Anas bin Malik berkata,”Aku salat Zuhur bersama Rasulullah

Sallallāhu „Alaihi Wasallam di Madinah 4 rakaat, dan salat Ashar

bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR. Muslim)”.

44

Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan Bab 3 tentang Salat, h. 78. 45

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, h. 428. 46

al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap dkk,h. 502. Dalam

bukunya Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, menerangkan bahwa menurut Imam Malik orang yang

hendak bepergian tidak boleh mengqashar salatnya sebelum meninggalkan daerahnya (kampung

halamanya). 47

Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, Juz. 2, h. 144.

Page 39: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

29

Para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah batas waktu musafir boleh

mengqasar salat. Diantara pendapat yang terkenal yaitu:48

Menurut Maliki dan Syafi‟i yaitu, apabila musafir sudah niat tinggal di

suatu tempat selama 4 hari, setelah itu maka ia harus menyempurnakan

salatnya.

Dalam hal ini mereka memperkuat pendapatnya dengan hadis:

49)البيهقي(.ورتمىف عالسال م أقام مبكة ثال ثا يقصر ة و نو عليو الصالإ

Artinya:“Sesungguhnya Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam tinggal di Mekah 3

hari dan beliau mengqasar salat dalam melakukan umrah”.(HR. al-

Baihaqi).

Menurut Imam Ahmad dan Abu Daud, apabila musafir sudah berniat

tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari, maka ia harus menyempurnakan

salatnya.

Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Daud mengatakan apabila seorang

musafir berniat tinggal selama lebih dari empat hari, maka ia bukan sebagai

musafir.50

Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam menetap selama tiga hari berada

di Mekah untuk beribadah haji dengan mengqasar salat selama 4 hari.

Sedangkan Abu Hanifah dan Abu Sufyan berpendapat, apabila musafir

sudah berniat tinggal di suatu tempat selama 15 hari, maka ia harus

menyempurnakan salatnya. Mereka menguatkan dengan ini berdasarkan hadis:

48

Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Wakaf

Baitussalam Billy Moon, 2013), h. 384-385. 49

al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubro, Juz. 2, h. 504. 50

IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 169.

Page 40: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

30

عن ابن عباس رضياهلل عنهما قال: غزوت مع النيب صلى اهلل عليو وسلم عام 51بو داود()رواه أ. كة سمسة عشر يقصر الصالةالفتح فأقام مب

Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhu berkata: Aku berperang bersama

Rasulullah pada saat penaklukan kota Makkah, maka beliau bermukim di

Makkah selama 15 hari beliau meringkas salat. (HR. Abu Dawud).

قام النيب صلى اهلل عليو وسلم تسعة عشر ابن عباس رضي اهلل عنهما قال: أعن )وىف راوية: يصلى ركعتني( فنحن إذا سافرنا تسعة عشر قصرا و إن زدنا يقصر

52)رواه البخارى( .متمناأ

Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhhu, dia berkata:” Nabi Sallallahu

„Alaihi Wasallam (ketika pergi ke Makkah) mengqashar salat selama

19 hari (di dalam riwayat lain): salat 2 rakaat), sehingga ketika kami

bepergian selama 19 hari, maka kami selalu mengqashar salat, dan

ketika waktunya melebihi dari waktu tersebut, maka kami

menyempurnakannya (HR.al-Bukhari).

Sebab terjadinya perbedaan pendapat ini adalah karena batas

kemusafiran dan kebolehan qasar tidak dijelaskan oleh syara‟ sedangkan

mengqiyaskan dengan batasan dalam masalah lain, dinilai para fuqaha tidak

mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu para fuqaha tidak memperkuat

pendapatnya dengan riwayat dari Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam, bahwa

beliau mengqasar salat dinilainya sebagai musafir.

Menurut Ibnu Rusyd, bahwa yang benar adalah memilih satu di antara dua

metode, yaitu:53

51

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (T.tp: Dar al-Fikr, tth), Juz. I, h.

392. 52

al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987), Jilid. 1,

h. 367. 53

Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 170.

Page 41: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

31

1) Menetapkan waktu maksimal (berdasarkan riwayat Nabi Sallallāhu „Alaihi

Wasallam yang dibolehkan mengqashar salat. Pertimbangananya karena pada

prinsipnya salat harus dilaksanakan dengan sempurna (tidak diqashar).

2) Yang diambil adalah waktu yang paling sedikit, yaitu yang sudah disepakati

para fuqaha. Kalau Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam tinggal melebihi waktu

tersebut dan mengqasar salatnya, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan:

a) Nabi mengqasar salat menunjukan pada waktu tersebut memang musafir

dibolehkan mengqasar salat.

b) Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam tinggal di tempat itu dalam waktu selama

itu, karena keadaan menghendaki Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam harus

tinggal di tempat itu selama itu dan menghendaki Nabi Sallallāhu „Alaihi

Wasallam harus mengqashar salatnya.

d. Safar yang dilakukan Bukan Safar Maksiat.

Salat qashar dapat dilakukan dengan syarat perjalanan ituyang sejak awal

memang diniatkan untuk hal-hal yang mubah, bukan perjalanan maksiat.

Sedangkan safar yang sejak awalnya sudah diniatkan untuk hal-hal yang haram

dan tidak diridhoi Allah SWT, tidak diberikan keringanan untuk mengqashar

salat. Karena, perjalanan merupakan sebab adanya keringanan dan tidak dapat

dibebani oleh maksiat.54

Syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama kecuali

mazhab Hanafi yang mengatakan apapun tujuan safar, baik perjalanan ibadah,

perjalanan mubah maupun perjalanan maksiat, semua membolehkan qashar.55

54

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, h. 430. 55

Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 168.

Page 42: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

32

Mazhab Imam Syafi‟i dan Hanbali sepakat, bahwa perjalanan yang

terlarang atau maksiat, tidak membolehkan untuk mengqashar salat, kalau

salatnya itu diqashar, maka salat tersebut tidak sah.56

Mazhab Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa mengqashar

salat tidak disyaratkan perjalanan yang mubah. Bahkan menurut mazhab Imam

Abu Hanifah wajib menqashar salatnya atas setiap orang yang melakukan

perjalanan (musafir), walaupun perjalananya termasuk yang terlarang atau

diharamkan. Menurut Imam Malik, salatnya sah walaupun dilakukan bersama

perbuatan dosa.57

Dengan terpenuhinya syarat-syarat inilah menjadi diperbolehkannya

menjamaʹ dan mengqasar salat.

3. Dalam Keadaan Hujan

Dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan al-Bukhari

menerangkan bahwa:

ن النىب صلى اهلل عليو وسلم مجع بني املغرب والعشاء يف ليلة إعن ابن عباس 58)رواه البخاري( .مطرة

Artinya:”Dari Ibn Abbas, Bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam menjamaʹ

antara salat Maghrib dengan salat Isya pada suatu malam turun hujan

lebat.”(HR. Al-Bukhari).

56

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, h. 433. 57

Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul

Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 191. 58

al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid. 1, h. 143.

Page 43: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

33

Dalam hal ini dikalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat. Yaitu,

ulama Syafi‟iyah mengatakan, yang dibolehkan hanyalah jamaʹ takdîm baik salat

Zuhur dengan salat Asar maupun salat Maghrib dengan salat Isya. Dengan syarat

hujan turun ketika membaca takbiratul ikhram pada salat yang pertama hingga

selesai dan hujan masih berlangsung ketika hendak memulai salat yang kedua.59

Ulama Malikiyah berpendapat, yang dibolehkan hanya jamaʹ takdîm antara

salat Maghrib dengan salat Isya di Masjid disebabkan hujan yang telah akan turun

dan terdapat banyak lumpur di tengah jalan disertai dengan gelapnya malam.

Sedangkan ulama Hanabilah mengatakan dalam keadaan hujan boleh menjamaʹ

takdîm atau takhîr antara Maghrib dan Isya yang diselenggarakan dengan jamaʹ ah

di Masjid.60

Keringanan ini hanya diberikan secara khusus kepada orang yang salat

berjamaʹ ah di Masjid dan letak rumahnya jauh, hingga dengan turunnya hujan

dan sebagainya menjadi penghalang bagi dirinya untuk datang ke Masjid.

Sedangkan orang yang tinggal di lingkungan masjid, dan orang yang salat

berjamaʹ ah di dalam rumah, harus datang ke Masjid dengan menggunakan

payung untuk melindungi dirinya dari hujan atau rumahnya berdekatan dengan

masjid, dia tidak dibolehkan menjamaʹ salat. 61

59

al-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerjemah Khairul Amru Harahap dkk, Fiqh

Sunnah, h. 511. 60

Malikul Adil, Ilmu Fiqh 1, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN

di Pusat, 1982), h. 182 61

al-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap dkk, Fiqh

Sunnah, h. 512.

Page 44: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

34

4. Dalam Keadaan Sakit

Dalam hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Muslim

menerangkan bahwa:

اهلل صلى اهلل عليو وسلم بني رسول مععن ابن عباس رضي اهلل عنهما قاجلال مطر قيل البن عباس واملغرب والعشاء باملدينة يف غري خوف و العصر وهر ظال

62)رواه مسلم( .متوأرج راد ال حيأراد بذ لك؟ قال أماذا

Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhu berkata: RasulullahSallallāhu

„Alaihi Wasallam pernah melakukan salat Zuhur dan Asar dengan dijamaʹ

, dan salat Maghrib dan Isya dengan dijamaʹ di Madinah, bukan karena

takut dan bukan karena hujan. Lalu orang menanyakan kepada Ibnu

Abbas: kenapa nabi berbuat itu? Katanya:” Maksudnya ialah agar beliau

tidak menyukarkan umatnya.” (HR. Muslim).

Para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah menjamaʹ salat karena

keadaan sakit yaitu:

Menurut Imam Malik, al-Qadli Husain, al-Khaththabi, al-Mutawalli, dan

al-Ru‟yani seseorang dibolehkan menjamaʹ salat karena keadaan sakit ini

berdasarkan hadis Ibnu Abbas. Mereka memberi pengertian hadis diatas

kepada kebolehan menjamaʹ salat karena sakit atau hal lain yang sejenis.

Disamping itu mereka juga beralasan, bahwa kesukaran karena sakit lebih berat

dari pada kesukaran karena hujan.63

Mazhab Hambali membolehkan menjamaʹ takdîm atau takhîrdalam

berbagai macam halangan sampai orang yang sedang dalam ketakutan pun

62

Muslim al-Nīsāburī, Sahih Muslim,Juz. 2, h. 152. 63

Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, h.

375.

Page 45: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

35

dapat melakukan jamaʹ . Mereka membolehkan jamaʹ bagi seorang Ibu yang

menyusui anaknya, jika merasa sulit mencuci pakaian setiap kali ketika mau

salat.Juga istihadhah (keluar darah penyakit), ini merupakan salah satu alasan

dibolehkannya menjamaʹ salat, karena istihadhah termasuk jenis penyakit.64

Menurut Imam Asy-Syafi‟i tidak dibolehkan menjamaʹ salat karena

keadaan sakit. Asy-Syafi‟i berpendapat demikian karena memahami

masyaqqah khusus untuk safar. Dalam hal ini Imam Haramain menganggap

ulama telah ijmaʹ tidak membolehkan jamaʹ lantaran sakit, demikian juga

halnya Imam Turmudzi.65

Namun anggapan ijmaʹ dari kedua beliau itu adalah tidak benar. Sebab

segolongan dari sahabat kita (Imam Syafi‟i) dan lain-lainnya ada yang

berpendapat bahwa melakukan jamaʹ lantaran sakit itu diperbolehkan. Dalam

kitab “Syarah Shahih Muslim” oleh al-Nawawi diterangkan bahwa al-Qadli

Husain, al-Khaththabi, al-Mutawal dan al-Ru‟yani dari golongan Syafi‟iyah

dan Ahmad bin Hanbal memberi pengertian hadis tersebut kepada kebolehan

menjamaʹ salat karena sakit atau hal lain yang sejenis. Ibnu Abbas sendiri telah

melakukan jamaʹ lantaran sakit, kemudian ada seorang dari Bani Tamim yang

ingkar kepada beliau, lalu beliau berkata kepadanya “Apakah kau akan

mengajari saya tentang sunnah?” lalu Ibnu Abbas menyebut-nyebut bahwa

Rasulullah SAW. telah melakukannya. Berkata Ibnu Syaqiq, “Saya ragu-ragu

tentang apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Abbas, karenanya lalu saya

64

al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap

dkk, h. 512. 65

Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni al-Damasqi al-Syafi‟i, Kifayatul

Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, (Damaskus: Dar al-Khair, 1994 H), Juz. 1, h. 37.

Page 46: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

36

mendatangi sahabat Abu Hurairah menanyakan tentang hal tersebut, dan

ternyata Abu Hurairah membenarkan ucapan Ibnu Abbas”. Dalam kitab shahih

Muslim ini terdapat riwayat bahwa Nabi saw. telah melakukan salat jamaʹ di

Kota Madinah tanpa adanya kekhawatiran-khawatiran dan bukan lantaran ada

hujan.66

Dan dalam kitab Mukhtasornya Imam Murzani Imam Asna‟i

berpendapat bahwa yang dipilih oleh Imam Nawawi tersebut telah ditegaskan

oleh Imam Syafi‟i pendapat inipun menjadi kuat bila ditinjau dari segi logika.

Yakni, kalau sakit itu membolehkan seseorang tidak berpuasa sebagaimana

halnya bepergian, maka untuk melakukan jamaʹ lebih diperbolehkan lantaran

karena sakit.67

Imam Nawawi juga berkata, dari segi dalil, pendapat ini kuat.” Dalam al-

Mughni disebutkan bahwa sakit yang membolehkan jamaʹ adalah jika setiap

kali dia melaksanakan salat pada waktunya masing-masing, niscaya akan

menyebabkan kesulitan dan kelemahan pada tubuh.68

Disamping itu mereka juga beralasan bahwa kesukaran karena sakit lebih

berat dari pada kesukaran karena hujan.69

Sakit seperti sakit perut atau lainnya

maka dibolehkan melakukan jamaʹ shuury70

dan hal ini bagi orang sakit tidak

dimakruhkan. Sedangkan bagi orang yang sehat hal ini dimakruhkan.

واملغرب والعشاء باملدينة يف غري خوف وال مطر قيل البن عباس العصر هروظصلى اهلل عليو وسلم بني ال عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قاجلمع رسول اهلل66

)رواه مسلم( .متوأرج راد ال حيأراد بذ لك؟ قال أماذا Dalam kitabnya Muslim al-Nīsāburī, Sahih Muslim,Juz. 2, h. 152.

67Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni ad-Damasqi Asy Syafi‟i, Kifayatul

Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, (Damaskus: Dar al-Khair, 1994 H), Juz. 1, h. 38. 68

al-Mughni, lihat juga al-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerjemah Khairul Amru

Harahap dkk, Fiqh Sunnah, h. 512. 69

Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, h.

375. 70

Jamaʹ ‟ shuury yaitu seseorang melakukan salat fardhu yang lebih awal pada akhir

waktunya dan salat fardhu kedua pada awal waktunya.

Page 47: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

37

Kemudian seseorang yang takut bila ia pingsan, pusing atau demam ketika

masuk waktu salat yang kedua yaitu asar atau isya maka ia boleh memajukan

salat yang kedua itu pada waktu salat pertama. Ini boleh menurut pendapat

yang lebih kuat. Jadi kesimpulannya yaitu bagi orang yang sakit bila itu hal

yang lebih meringankan untuknya dan karena bila ia akan takut kehilangan

kesadarannya maka dibolehkan menjamaʹ salatnya. Adapun waktu

pelaksanaannya itu pada waktu salat yang pertama.71

5. Ada Suatu keperluan atau Hajat

Segolongan ulama menyatakan bahwa diperbolehkan melakukan jamaʹ di

rumah lantaran adanya hajat (suatu keperluan) yaitu bagi orang yang tidak

melakukannya sebagai kebiasaan.72

Menurut Ibnu Sirin, beberapa fuqaha dari golongan Malikiyah, al-Qaffal,

dan al-Syasyi dari golongan Syafi‟iyah dibolehkan menjamaʹ salat karena ada

suatu keperluan, asal tidak dijadikan suatu kebiasaan.73

Hadis Ibnu Abbas

bahwa Nabi saw. salat di Madinah delapan rakaat dan tujuh rakaat, yaitu Zuhur

dan Asar, Maghrib dan Isya. Pendapat ini juga diperkuat oleh pernyataan Ibnu

Abbas pada waktu beliau menyebutkan bahwa Rasulullah Sallallāhū „Alaihi

Wasallam:

71

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, h. 452. 72

al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap

dkk, h. 513. 73

Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, h.

376.

Page 48: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

38

بني عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال مجع رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلمدينة يف غري خوف وال مطر قيل البن عباس هر والعصر واملغرب والعشاء باملظال

74)رواه مسلم( .متوأرج ال حيأن راد أراد بذلك؟ قال أماذا

Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhu berkata: RasulullahSallallāhu

„Alaihi Wasallam pernah melakukan salat Zuhur dan Asar dengan dijamaʹ

, dan salat Maghrib dan Isya dengan dijamaʹ di Madinah, bukan karena

takut dan bukan karena hujan. Lalu orang menanyakan kepada Ibnu

Abbas: kenapa nabi berbuat itu? Katanya:” Maksudnya ialah agar beliau

tidak menyukarkan umatnya.” (HR. Muslim).

Mereka berpendapat demikian berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas di atas

dan perkataan Ibnu Abbas ketika ditanya tentang maksud hadits tersebut, lalu

ia menjawab bahwa Nabi bermaksud supaya tidak menyukarkan umatnya.

Maksud menghindari kesukaran tidak sesuai kalau yang dimaksud hajatnya

jamaʹ dalam kelihatan saja, sedang masing-masing salat berada dalam

waktunya sendiri, karena mengatur yang demikian itu termasuk sukar.75

Ulama Hambaliah memperluas keringanan dalam menjamaʹ salat, dengan

sebab ibu-ibu yang sedang menyusui karena sulitnya membersihkan najis

setiap kali ingin salat. Wanita-wanita yang sedang istihadhoh, Keadaan ini

seperti orang yang sedang sakit.

Ibnu Taimiyyah berkata,” Mazhab yang paling luas dalam memberi

keringanan menjamaʹ salat adalah Mazhab Imam Ahmad, bahwa dia

membolehkan menjamaʹ bagi orang yang sedang sibuk bekerja. Dan bahkan

membolehkan menjamaʹbagi tukang masak, pembuat roti, dan orang-orang

74

Muslim al-Nīsāburī, Sahih Muslim, Juz. 2, h. 150. 75

Mahmoud Saltout, Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1996), h. 73.

Page 49: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

39

yang mengkhawatirkan hartanya akan rusak.76

Seperti juga halnya dalam

kegiatan seminar atau loka karya.77

Mazhab Hambali membolehkan orang yang sibuk untuk menjamaʹ salat,

ataupun orang yang memiliki udzur dan membolehkan untuk meninggalkan

salat jumat dan jamaʹ ah, seperti takut bahwa dirinya, kehormatannya ataupun

sesuatu yang dapat membahayakan pekerjaan yang ia butuhkan bila

meninggalkan salat jamaʹ . Ini khusus untuk para pekerja, petani ladang yang

mengurus irigasi pada saat gilirannya. Akan tetapi meninggalkan jamaʹ salat itu

lebih utama.78

Menjamaʹ takdīm antara Zuhur dan Asar. Dan menjamaʹ takhir antara

Magrib dan Isya di Muzdalifah adalah disunahkan, akan tetapi juga

disyariatkan dalam hal-hal dibolehkannya menjamaʹ salat selain dikedua waktu

diatas diharuskan bersetatus sebagai musafir, yang diperbolehkan mengqasar

salat atau orang sakit yang akan kepayahan apabila ia meninggalkan salat

secara jamaʹ atau seperti seorang wanita yang sedang istihadhoh. Dan orang-

orang yang tidak dapat mengetahui kapan waktu salat dengan pasti, maka

dengan itu orang tersebut harus melakukan jamaʹ seperti orang yang buta.

Dan jika melakukannya menurut yang terbaik untuknya, baik itu takdîm

maupun takhîr maka itu lebih baik. Semua udzur diatas dapat menyebabkan

dibolehkanya jamaʹ takdîm atau takhîr.79

76

al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap

dkk, h. 512. 77

Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, h. 116. 78

al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap

dkk, h. 512. 79

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, h. 457.

Page 50: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

40

Dengan demikian sebab-sebab yang telah dituliskan oleh para ulama maka

keringanan yang dianugerahkan dan diberikan oleh Allah Subhānahū Wata‟ālā

kepada umat Islam dalam melaksanakan ibadahnya. Oleh karena itu terimalah

keringanan (rukhshah) yang telah diberikan Allah kepada kita, diwaktu kita

merasa keberatan dalam melaksanakan ibadahnya. Allah Subhānahū

Wata‟ālām suka dan senang kepada orang yang mau menerima keringanan

yang telah diberikan kepadanya, sebagaimana ia suka kepada orang yang tidak

keberatan menerima yang semestinya kepadanya.

Page 51: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

41

BAB III

TINJAUAN TERHADAP MUDZAKARAH MUI DKI JAKARTA

A. Sejarah Singkat MUI DKI Jakarta

MUI berdiri atas dilatarbelakanginya adanya kesadaran kolektif Umat

Islam bahwa Negara Indonesia memerlukan suatu landasan kokoh bagi

pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh karena itu, keberadaan

organisasi para ulama,zuama, dan cendikiawan muslim ini merupakan

konsekuensi logis dan prasyarat bagi berkembangnya hubungan harmonis antara

berbagai potensi untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia untuk menjawab

setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi oleh

masyarakat.

Kelahiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta lahir pada

tanggal 13 Februari 1975 (1 Shafar 1395 H), ini merupakan sejarah yang unik,

karena ia lahir 5 bulan lebih awal dari pada MUI Pusat. Sementara MUI Pusat

lahir pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tangal 26 juli 1975.1

MUI Provinsi DKI Jakarta meskipun lahir mendahului organisasi

induknya, masih berhubungan secara organisatoris dan historis dengan MUI

Pusat. Bahkan, dalam kancah pergerakan umat Islam di Indonesia, legitimasi

sejarah tetap saja dialamatkan kepada MUI Pusat.

1Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran

Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarna, (Jakarta: INIS, 1993), h.

56.

Page 52: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

42

Pada bulan Oktober 1962 MUI Pusat pernah berdiri atas instruksi

pemerintah pusat. Pada saat itu, MUI turut ambil bagian dalam pembangunan ala

Demokrasi Terpimpin. Pada saat Soekarno turun dari kursi kepresidenannya, MUI

Pusat justru tidak berfungsi. Sebaliknya, MUI di daerah-daerah yang Islamnya

terkenal kuat, misalnya Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan,

kegiatannya justru semakin meningkat. Karenanya, pada saat itu mekanisme

organisasi MUI tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya.2

MUI muncul hampir bersamaan dengan dua kondisi politik yang paradoks

di era Orde Baru. Di satu sisi, kegagalan perjuangan merehabilitasi Masyumi,

akibat kekhawatiran Orde Baru terhadap kelompok politik Islam. Di sisi lain,

kebutuhan Orde Baru untuk mendapatkan dukungan politik dari kalangan Islam

untuk mensukseskan pembangunan ala Orde Baru. Di pihak umat Islam,

kekecewaan politik atas kegagalan Masyumi, membuat mereka mendirikan wadah

perjuangan baru dalam bentuk lain.

Pada tanggal 9 Mei 1967, Muhammad Natsir bersama-sama dengan bekas

pemimpin Masyumi lainnya, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

(DDII). Walaupun tanpa dukungan pemerintah, DDII memperoleh sambutan

hangat di berbagai daerah. Terlebih lagi, ia mendapat dukungan dari Rabithah al-

2A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI

Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota

Jakarta Yang Heterogen, (Provinsi DKI Jakarta: Program Majelis Ulama Indonesia, 2014-2015),

h. 1.

Page 53: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

43

Islami Karachi, dimana Natsir menjadi wakil ketua organisasi Islam internasional

itu3

Tanggal 8 September 1969, berdirinya Pusat Dakwah Islam Indonesia

(PDII) yang dibentuk Menteri Agama dengan SK No. 108/1969. karena atas

suksesnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ini memunculkan inspirasi

PDII. Lembaga yang diketuai KH. Moh. Ilyas, kemudian H. Sudirman, ketua

Letnan Jenderal Sudirman, Badan ini merupakan badan setengah resmi di mana

tokoh-tokohnya berasal dari pemerintah, organisasi Islam serta ilmuwan.

Dibentuk atas dasar keputusan suatu seminar da‟wah bulan Juni 1969 di Fakultas

Ushuludin IAIN Jakarta.4Karena PDII berdiri didukung pemerintah dan diasuh

tokoh-tokoh Masyumi. Kondisi semacam ini melahirkan kesan, pendirian PDII

untuk menyaingi DDII.

Tanggal 30 September s/d 4 Oktober 1970 di Jakarta atas keberhasilannya

menyelenggarakan Musyawarah Alim Ulama seluruh IndonesiaSalah satu karya

besar PDII, Dalam musyawarahnya yang bertemakan “Mewujudkan Kesatuan

Amaliyah Sosial Umat Islam dalam Masyarakat, dan Partisipasi Alim Ulama

dalam Pembangunan Nasional” itu, para peserta mengajukan usul untuk

mendirikan “lembaga fatwa”. Mereka mengusulkan agar lembaga fatwa itu terdiri

dari alim ulama dan cendikiawan muslim terpilih, yang memiliki pengetahuan

luas, sehingga fatwanya memiliki otoritas agama yang mengikat. Diharapkan,

3A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI

Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota

Jakarta Yang Heterogen, h. 2. 4Lilih Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:

Rajawali Pers, 1983), h. 135.

Page 54: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

44

pemerintah dapat menyokong lembaga fatwa itu, sehingga fatwa-fatwa yang

diterbitkan dapat lebih mengikat di masyarakat.

Hanya saja, para peserta musyawarah mengkhawatirkan keberadaan

lembaga fatwa tersebut menjadi tidak independen ; menjadi alat pemerintah untuk

mendikte ulama. Menyikapi kekhawatiran ini, Menteri Agama menegaskan,

lembaga fatwa itu sebenarnya merupakan refleksi peran ulama dan sama sekali

bukan dimaksudkan untuk mendikte ulama.5

Sebelum pendirian MUI, telah muncul beberapa kali pertemuan yang

melibatkan para ulama dan tokoh Islam. Pertemuan tersebut untuk mendiskusikan

gagasan akan pentingnya suatu majelis ulama yang menjalankan fungsi ijtihad

kolektif dan memberikan masukan dan nasehat keagamaan kepada pemerintah dan

masyarakat. Pada tanggal 30 September hingga 4 Oktober 1970 Pusat Dakwah

Islam menyelenggarakan sebuah konferensi. Konferensi tersebut digagas untuk

membentuk sebuah majelis ulama yang berfungsi memberikan fatwa.

Salah satu gagasan muncul dari sebuah makalah yang dipresentasikan oleh

Ibrahim Hosen yang mengutip keputusan Majma al-Buhuts al-Islamiyyah (Cairo,

1964) tentang pentingnya melakukan ijtihad kolektif. Buya Hamka, yang juga

menjadi penyaji makalah saat itu, dengan keras menolak gagasan tersebut,

terutama mengenai pelibatan sarjana sekuler dalam ijtihad kolektif. Akhirnya,

sebagai gantinya landasan itu, Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden

Soeharto agar memilih seorang mufti yang akan memberikan nasehat kepada

pemerintah dan umat Islam Indonesia. Karena muncul kontroversi, maka tidak ada

5A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI

Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota

Jakarta Yang Heterogen, h. 3.

Page 55: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

45

keputusan membentuk sebuah majelis. Singkatnya, konferensi tersebut hanya

merekomendasikan bahwa Pusat Dakwah Islam akan melihat kembali

kemungkinan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Selama empat tahun

berikutnya, rekomendasi ini tidak diperhatikan lagi.6

Namun saran tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974 ketika

Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) kembali mengadakan lokakarya nasional

bagi juru dakwah muslim Indonesia. Dari pertemuan itu disepakati bahwa

pembentukan majelis ulama harus diprakasai ditingkat daerah. Dan hal ini

mendapat dukungan dari presiden Soeharto bertepatan tanggal 24 Mei 1975

mengemukakan alasan bahwa pemerintah menginginkan kaum muslimin bersatu

dan adanya kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat

diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama. Sehingga pada tahun 1975 majelis-majelis

daerah telah terbentuk hampir seluruh daerah dari 26 provinsi di Indonesia.7

Akhirnya pada masa orde baru desakan untuk membentuk semacam majelis ulama

nasional nampak begitu jelas. Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah dengan

diwakili Departemen Agama mengumumkan penunjukan sebuah panitia persiapan

pembentukan majelis ulama tingkat nasional. Panitia itu terdiri dari Jenderal

(Purn) H.Sudirman,selaku ketua dan tiga orang ulama selaku penasehat, yaitu: Dr.

Hamka, K.H. Abdullah Syafi‟i dan K.H. Syukri Ghazali. Tepat pada tanggal 21-

27 Juli 1975/12-18 Rajab 1395, dilangsungkan Muktamar Nasional Ulama. Para

6A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI

Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota

Jakarta yang Heterogen, h. 4-5. 7Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran

Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarna, h. 54-55.

Page 56: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

46

peserta terdiri dari wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para

wakil pengurus pusat sepuluh organisasi Islam yang ada di Indonesia, sejumlah

ulama bebas (yang tidak mewakili organisasi tertentu) dan empat orang wakil

rohaniawan Islam ABRI. Dan pada akhir Muktamar, tanggal 26 Juli 1975 tersebut

sebuah deklarasi yang ditandatangani oleh 53 peserta, yang mengumumkan

terbentuknya MUI sebagai ketua pertama adalah seorang penulis Dr.Hamka.8

Setelah Undang-Undang No. 35 Tahun 1985 dan No. 8 Tahun 1985

disahkan, Undang-Undang ini telah memperkokoh kedudukan MUI di atas semua

kelompok dan golongan Islam yang ada. Ulama yang tergabung dalam MUI

memiliki citra baru, sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan moral terhadap

semua kekuatan politik dalam mengawal dan memelihara kelurusan aqidah umat.

Mayoritas fatwa dan nasihat MUI pun diterima PPP, Golkar, dan PDI.

Dalam latar kesejarahan MUI disebutkan, setelah lokakarya mubaligh

seluruh Indonesia tanggal 26 s/d 29 Nopember 1974 yang diadakan Pusat Dakwah

Islam Indonesia (PDII), disepakati: Majelis Ulama atau lembaga semacamnya

diperlukan untuk memelihara kelanggengan partisipasi umat Islam dalam

pembangunan.

Untuk melaksanakan konsensus itu, Menteri Dalam Negeri

menginstruksikan agar daerah-daerah yang belum membentuk Majelis Ulama

segera membentuknya. Targetnya, pada bulan Mei 1975, di seluruh daerah tingkat

8Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran

Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarna, h. 56.

Page 57: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

47

kabupaten maupun provinsi se-Indonesia berdiri Majelis Ulama, termaksud MUI

Provinsi DKI Jakarta.9

Periode pertama (1975-1980) kepemimpinan MUI DKI Jakarta Ketua

Umum dijabat KH. Abdullah Syafi‟i dengan Sekretaris Umum H. Ghazali

Syahlan.Periode kedua (1880-1985), Abdullah Syafi‟i dipilih kembali menjadi

Ketua Umum MUI DKI Jakarta demikian pula Sekretaris Umumnya. Periode

ketiga (1985-1990), Ketua Umum dijabat KH. Achmad Mursyidi dengan

Sekretaris Umum H. Ghazali Syahlan. Periode keempat (1990-1995) Syafi‟i

Hadzami dipilih kembali sebagai Ketua Umum untuk dua periode, dengan

Sekretaris Umum Drs. H. Ibrahim AR. Periode kelima (1995-2000) dengan

Sekretaris Umum H. Cholid Fadlulloh, SH. Pada periode keenam (2000-2005),

Kyai Mursyidi berkantor kembali di H. Awaluddin II, Jakarta untuk memimpin

MUI DKI Jakarta periode 2000-2005 dibantu Sekretaris Umum Drs. H.Zainuddin.

Kyai Mursyidi terpilih lewat Musyawarah Daerah pada tahun 1999. Pada tanggal

9 April 2003, KH. Mursyidi wafat dan posisinya digantikan KH. Ahmad Syatibi

(2003). Tetapi belum sampai satu tahun menjabat sebagai Ketua Umum MUI,

beliau juga wafat dan jabatan Ketua Umum diteruskan oleh KH. Mansyuri Syahid

sampai diselenggarakannya MUSDA VI MUIDKI Jakarta tahun 2005. Akhirnya

9A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk, Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI

Jakarta Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota

Jakarta yang Heterogen, h. 8.

Page 58: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

48

dalam MUSDA ini, KH. Munzir Tamam, MA ditetapkan sebagai Ketua Umum

MUI DKI Jakarta periode 2005-2010.10

Selanjutnya, pada periode kedelapan (2010-2015) KH. Munzir Tamam,

MA terpilih kembali sebagai Ketua Umum untuk memimpin MUI DKI Jakarta

didampingi Dr. Samsul Maarif, MA sebagai Sekretaris Umum. Namun, di tengah

jalan sebagaimana diberitakan Info Ulama edisi 1 ada perselisihan internal di

kepengurusan MUI DKI Jakarta yang lama yang membuat MUI Pusat turun

tangan untuk menyelesaikannya. MUI Pusat sendiri sudah melakukan mediasi

terhadap pihak-pihak yang berkonflik di internal kepengurusan MUI DKI Jakarta

tersebut. Namun, karena upaya mediasi mengalami jalan buntu, MUI Pusat

kemudian mengganti kepengurusan MUI DKI Jakarta yang lama dengan yang

baru melalui mekanisme Musyawarah Daerah (Musda) yang dipercepat. Musda

MUI Provinsi DKI Jakarta yang dipercepat tersebut diselenggarakan hanya satu

hari pada hari Rabu, 2 September 2013 di Gedung MUI Pusat Jl. Proklamasi,

Menteng Jakarta Pusat. Dari Musda yang dipercepat tersebut, Tim Formatur

menetapkan Kepengurusan MUI DKI Jakarta Masa Khidmat 2013-2018 dengan

K.H. A. Syarifuddin Abdul Ghani, MA sebagai Ketua Umum dan K.H. Zulfa

Mustofa MY sebagai Sekretaris Umum-nya.11

Adapun Susunan Organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) di wilayah

Provinsi DKI Jakarta meliputi:

10

A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk, Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI

Jakarta Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota

Jakarta yang Heterogen, h. 9. 11

A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI

Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota

Jakarta Yang Heterogen, h. 10.

Page 59: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

49

1. MUI Pusat, berkedudukan di Ibukota Negara. Berdiri pada tanggal 17 Rajab

1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M.

2. MUI Provinsi DKI Jakarta, berkedudukan di Ibukota Provinsi DKI Jakarta.

Berdiri pada tanggal 1 Shafar 1395 H bertepatan dengan tanggal 13 Februari

1975 M.

3. MUI Kotamadya/Kabupaten, berkedudukan di Ibukota Kotamadya/Kabupaten

yang terdiri dari:

MUI Kota Administrasi Jakarta Pusat

MUI Kota Administrasi Jakarta Utara

MUI Kota Administrasi Jakarta Barat

MUI Kota Administrasi Jakarta Selatan

MUI Kota Administrasi Jakarta Timur

MUI Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

MUI Kecamatan, terdapat 44 Kecamatan dalam wilayah Privinsi DKI

Jakarta.12

Demikianlah peristiwa atau sejarah singkat menjelang terbentuknya

Majelis Ulama DKI Jakarta oleh pemerintah.

B. Metode Istinbat Hukum MUI DKI Jakarta dalam Mudzakarah

Pengertian Istinbat menurut bahasa adalah mengeluarkan (mengambil) air

dari mata air. Sedangkan menurut istilah adalah mengeluarkan makna-makna dari

12

MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1992, (Jakarta:

MUI DKI Jakarta, 1992), hal 5.

Page 60: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

50

nash (yang terkandung dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan atau

potensi naluriah).

Tujuan penetapan hukum tersebut di atas supaya hukum syara‟ yang belum

ditegaskan oleh nash al-Qur‟an dan al-Hadis dapat diketahui dengan melalui

ijtihad atau mencurahkan kemampuan untuk hukum syara‟.13

Di Indonesia, lembaga fatwa MUI merupakan lembaga independen yang

terdiri dari para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten dan

memiliki otoritas yang memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah.

Untuk itu, lembaga ini dengan seluruh anggotanya selalu berpegang pada dasar-

dasar yang sudah baku dan menjadi aturan yang dijadikan pedoman penetapan

fatwa.

Program acara Mudzakarah ini merupakan salah satu hasil dari bagian

penetapan fatwa. Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur

tertentu yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan

dasar yang menjadi landasan hukum dalam penetapan fatwa. Penetapan fatwa

yang tidak mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu

bentuk tahakkum (membuat-buat hukum) dan menyalahi esensi fatwa yang

merupakan penjelasan hukum syara‟ terhadap suatu masalah, yang harus

ditetapkan berdasarkan dalil-dalil keagamaan.

Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara‟ yang

dapat dijadikan dasar penetapan fatwa menjadi dua kelompok, yakni: dalil-dalil

13

Kamal Muhtar, Ushul Fiqh Jilid II, (Yogyakarta: Dana Bhakti

Wakaf, 1995), h. 5.

Page 61: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

51

hukum yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan dasar penetapan fatwa

dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa.

Para ulama juga telah menjelaskan apa saja dalil-dalil hukum yang

disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa yaitu al-Qur‟an, al-Sunnah,

Ijmaʹ, dan Qiyas. Sebagaimana para ulama juga telah menyebutkan dalil-dalil

hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa, yakni: al-

Istihsan, al-Istishhab, Maslahah al-Mursalah, Sadd al-Zari‟ah, Mazhab

Shahabah, dan sebagainya.14

Dasar yang menjadi justifikasi para ulama dalam menetapkan klasifikasi

pertama yang menyatakan bahwa al-Qur‟an, al-Sunnah, Ijmaʹ, dan Qiyas

merupakan dalil-dalil hukum yang disepakati untuk menjadi dasar penetapan

fatwa adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa (4): 59

أيها ا أطيعىا ٱلذين ي ءامنى سىل وأطيعىا ٱلل ر وأولي ٱلر مأ تمأ في ٱلأ زعأ فئن تن منكمأ

وه إلى ء فرد شيأ سىل و ٱلل منىن ب ٱلر إن كنتمأ تؤأ م و ٱلل يىأ خ ٱلأ س ر ٱلأ ر وأحأ لك خيأ ن ذ

ويل ٩٥ تأأArtinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kalian berlainan

pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur‟an)

dan Rasul (as-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya”.

Disamping ayat tersebut diatas, para ulama yang mempunyai pendapat

bahwa al-Qur‟an, Sunnah, Ijmaʹ dan Qiyas merupakan dasar penetapan fatwa para

ulama, juga mendasarkan pendapatnya pada hadis Mu‟adz bin Jabal ketika diutus

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

14

Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising,

2008), h. 55.

Page 62: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

52

ال: أقضي إذا عرض لك قضاء؟ ققال لو الرسول: كيف تقضى يا معاذفلم جتد ل: فإناهلل؟ قال: فبسنة اهلل قاب بكتاب اهلل. قال: فإن مل جتد يف كتا

فضرب رسول اهلل صلى اهلل -جتهادأي ال أقصر ىف اإل -هد برأيب ؟ قال: أجتى ملا يرضرسول اهلل رسول هلل الذي وفقوقال احلمد ٬عليو وسلم على صدره

15.ورسولو اهللArtinya:“Rasulullah SAW bertanya kepada Mu‟adz: “Bagaimana engkau

menghukumi sesuatu jika dihadapkan pada persoalan hukum wahai

Mu‟adz?”. Mu‟adz menjawab:” saya menghukuminya berdasarkan kitab

Allah”. “Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan (hukum) di dalam

kitab Allah?”, tanya Rasulullah. Mu‟adz menjawab:“Berdasarkan sunnah

Rasulullah”.Jika tidak mendapatkannya?”, lanjut Rasulullah, “Saya

berijtihad dengan akalku”. Kemudian Rasulullah memukul pundak

Mu‟adz sambil mengucapkan: ”segala puji bagi Allah yang telah memberi

taufik kepada delegasi Rasulullah atas ridha Allah dan Rasulnya”.

(Ahmad bin Hambal Abu „Abdullah al-Syaibani).

Meskipun demikian, para ulama memberikan catatan bahwa al-Qur‟an, al-

Sunnah, Ijmaʹ dipandang sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dalam

menetapkan hukum syari‟ah, sehingga tidak membutuhkan sumber hukum lainya

dalam menetapkan suatu fatwa. Sedangkan qiyas tidak demikian, karena dalam

menetapkan hukum dengan menggunakan qiyas tetap membutuhkan landasan

hukum yang ada dalam al-Qur‟an, sunnah, dan Ijmaʹ, serta memerlukan adanya

„illat yang ada pada hukum asal.16

Dengan demikian dalil qiyas sifatnya tidak

independen dengan dalil yang bersifat naqli, terikat dengan ashl yang terdapat

dalam nash al-Qur‟an dan sunnah.

15

Ahmad bin Hambal Abu„Abdullah al-Syaibani, Musnad bin Hambal, (Kairo:

Muassashah Qurtubah, t.th), Juz. 5, h. 242. 16

Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 57.

Page 63: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

53

Untuk melakukan tugas ijtihadnya, MUI mempunyai tata cara dalam

penetapan fatwa yang tertuang dalam prosedur penetapan fatwa pada 1986, yang

pada tahun 1997, diganti menjadi “Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa Majelis

Ulama Indonesia”, dan kemudian disempurnakan dengan judul “Pedoman dan

Prosedur Penetapan Fatwa MUI” Tahun 2001”. Lalu pedoman ini disempurnakan

kembali pada forum Ijtimaʹ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia I pada tahun 2003.

Secara operasional, dalam pedoman penetapan fatwa MUI disebutkan ada

beberapa hal yang menjadi dasar dan metode penetapan fatwa MUI, yaitu dalam

Bab II tentang dasar umum dan sifat Fatwa disebutkan bahwa:17

1) Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur‟an, sunnah (hadits), Ijmaʹ, dan Qiyas,

serta dalil lain yang mu‟tabar.

2) Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga fatwa

yang dinamakan Komisi Fatwa.

3) Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.

Kemudian dalam bab III disebutkan tentang Metode penetapan Fatwa

yaitu sebagai berikut:18

1) Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para Imam

Mazhab dan ulama yang mu‟tabar tentang masalahnya.

2) Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan sebagaimana

adanya.

3) Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka:

17

Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta:

Sekretariat MUI, 2010), h. 5. 18

Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta:

Sekretariat MUI, 2010), h. 8.

Page 64: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

54

a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara

pendapat ulama-ulama mazhab melalui metode al-jam‟u wa al-Taufiq; dan

b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa

didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah dengan

menggunakan kitab-kitab Ushul Fiqh Muqaran.

4) Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan

mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama‟i (kolektif).

5) Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (al-

maslahah al-mursalah) dan maqasid al-syari‟ah.

Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta

memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang,

komisi menetapkan fatwa. Setiap keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan setelah

ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa

(SKF).19

Didalam Surat Keputusan Fatwa (SKF), harus dicantumkan dasar-dasar

pengambilan hukum disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber

pengambilanya. Setiap (SKF) Surat Keputusan Fatwa sedapat mungkin disertai

dengan tindak lanjut dan rekomendasi atau jalan konsekuensi dari SKF

tersebut.

Majelis Ulama Indonesia, secara hierarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama

Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia

Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa

mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut

19

Fuad Thohari,Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da‟i, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia

Provinsi DKI Jakarta, 2012), h. 104.

Page 65: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

55

permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan masalah-masalah

keagamaan yang terjadi di daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah

tersebut bisa menasional.20

Meskipun ada hierarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa

yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa

yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa

berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya namun ketika keputusan

MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka

kedua pihak bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan

tersebut tidak membingungkan umat Islam.21

C. Mudzakarah

1. Pengertian Mudzakarah

Mudzakarah berasal dari kata bahasa arab, yaitu dari“dzaakara-

yudzaakiru-mudzaakaratan”, yang berasal dari wazan “fa‟ala-yufaa‟ilu-

mufaa‟alatan”, yaitu kata kerja yang dilakukan bukan oleh perorangan tapi

secara interaksi. Yang dalam hal ini mudzakarah memiliki arti saling

mengingatkan, yaitu semacam buah dari nasihat.22

Arti lain yang senada

dengan itu ditulis oleh Muhammad Yunus yaitu mengingatkan, belajar bersama

20

Muaz, “Metode Penetapan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta”, Artikel diakses pada 08

Maret 2016 dari http://www.Muidkijakarta.or.id/2014/12/23/Metode-Penetapan-Fatwa-MUI-

Provinsi-DKI-Jakarta.html. 21

M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,

(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 134. 22

Syaikh Abdullah shoefie, “Rambu-Rambu dalam Musyawarah dan mudzakarah”,

Artikel diakses pada 08 Maret 2016, dari http://www.al-ulama.net/2009/03/18/rambu-

rambudalammusyawarahdanmudzakarah.html.

Page 66: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

56

tanpa guru.23

Metode mudzakarah adalah suatu cara yang digunakan dalam

proses belajar mengajar dengan menggunakan kekuatan hafalan atau saling

mengingatkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Kedudukan Hasil Mudzakarah di Lembaga MUI DKI Jakarta

Sebagaimana yang telah ditulis oleh media yang tertera dalam website

MUI DKI Jakarta pada 15 Desember 2015, Program Mudzakarah MUI adalah

sebuah program baru yang diselenggarakan oleh MUI DKI Jakarta yang

memiliki tujuan untuk membicarakan program strategis mengenai

keummmatan, mudzakarah ini bukan hanya dihadiri oleh pengurus MUI

namun, oleh semua Kiyai dan Ulama di DKI Jakarta.

Kiyai Syarifuddin Abdul Ghani, selaku ketua MUI DKI Jakarta

mencontohkan salah satu pembahasan yang dibahas dalam program

Mudzakarah ini adalah membahas persoalan men-jamaʹ salat bagi yang

terjebak kemacetan. Ia mencontohkan dalam kondisi macet di Jakarta sering

kali membuat kalangan pekerja di Jakarta kehilangan waktu maghrib.

Sementara itu AM Fatwa, ketua Dewan Penasehat MUI DKI Jakarta

mengatakan bahwa MUI Harus berada di posisi strategis dan dirasakan oleh

masyarakat dan ummat di DKI Jakarta.24

23

Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 1973), h. 134. 24

Nanda,“ Mudzakarah Ulama Program Baru MUI DKI Jakarta yang Strategis”, Berita

diakses pada 08 Maret 2016 dari http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/12/mudzakarah-ulama-

program-baru-mui-dki-yang-strategis/.html.

Page 67: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

58

BAB IV

ANALISIS DALIL HUKUM HASIL MUDZAKARAH MUI DKI

JAKARTA MENGENAI MENJAMAʹ SALAT DALAM KONDISI MACET

A. Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta Tentang Hukum Menjamaʹ Salat

dalam Kondisi Macet

Menghidupkan tradisi keilmuan yang mengupas isu-isu kekinian dengan

rujukan teks-teks Islam klasik sejatinya bukan perkara mudah. Terlebih bila

ikhtiar itu dilakukan oleh para ulama dan umara serta berlangsung di Ibukota

Jakarta pada Sabtu 11 April 2015 lalu mewujudkan hal tersebut.1

Sebagaimana yang dilaporkan dalam website MUI DKI Jakarta, MUI DKI

Jakarta mengadakan acara Mudzakarah ulama yang dilaksanakan pada 11 April

2015 di tempat kediaman ketua MUI DKI Jakarta yaitu di Basmol, Kembangan

Utara. Acara ini tampak begitu dinamis dan menggugah, pasalnya para peserta

mudzakarah yang terbagi menjadi dua komisi yang menunjukkan keseriusan

dalam membedah dua perkara yang menjadi tema penting dalam mudzakarah hari

itu. Yaitu pembahasan tentang alokasi dana bazis yang diberikan kepada non-

muslim yang faqir lagi miskin dan juga membahas tentang salat jamaʹ dalam

kondisi macet. Komisi yang fokus dalam pembahasan menjamaʹ salat dalam

kondisi macet dipimpin oleh K.H. Mishbahul Munir berlangsung dengan khidmat.

Para peserta sepakat ihwal kebolehan menjamaʹ salat dalam kondisi macet. Hanya

1Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret 2016 dari:

http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-jakarta.html.

Page 68: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

59

saja perlu diatur lebih lanjut metode istidlal yang dipakai dan kaifiyat (tata cara)

pelaksanaannya.2

Diantara isi pembahasan dalam mudzakarah tentang Hukum menjamaʹ

salat ketika macet dengan jarak dekat adalah terdapat beberapa pertanyaan yang

diajukan pada majelis mudzakarah, yaitu menanyakan pendapat majelis

mudzakarah tentang orang yang mendapat kesulitan di dalam perjalanan jarak

dekat di tengah kemacetan yang parah terutama bagi penduduk Jakarta dan

sekitarnya, diantara pertanyaannya adalah:

ما سكان محة الشديدة ال سيز بتلى يف سفره مع قرب ادلسافة بالماقولكم فيمن ان رسول امارواه مسلم من "اعلى لو مجع الصالة اعتمادجاكرتا وحواليها ىل جيوز

ادلدينة من غري سفر وال مرض "فهذا اهلل صلى اهلل عليو وسلم مجع الصالة يف سئلة، فإن قلتم احلديث إن كان صحيحا، ىل يصلح لالحتجاج دلثل ىذه ادل

3خروج من سبيل؟ يلإبعدم اجلواز فهل Apa pendapat majelis Mudzakarah tentang orang yang mendapat kesulitan

didalam perjalanan jarak dekat di tengah kemacetan yang parah terutama bagi

penduduk Jakarta dan sekitarnya.

1. Apakah boleh orang tersebut menjama‟ salat dengan sengaja, berdasarkan

hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “bahwasanya Rasulullah SAW

menjama‟ salat di Madinah tidak dalam perjalanan dan tidak dalam keadaan

sakit.”

2Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret 2016 dari:

http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-jakarta.html. 3Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret 2016 dari:

http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-jakarta.html.

Page 69: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

60

2. Apakah sekalipun hadits ini shahih patut untuk dijadikan dalil dalam masalah

ini?

3. Jika majelis mudzakarah berpendapat tidak boleh, maka apakah ada jalan

keluar bagi masalah ini?

Hasil dari pembahasan Mudzakarah adalah:

1. Hadits yang tertulispadasoal no. 1 lengkapnya adalah sebagai berikut:

حدثنا حيي بن حيي قال قرأت على مالك عن أيب الزبري عن سعيد بن جبري: صلى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم الظهر والعصر عن ابن عباس قال

4مجيعا وادلغرب والعشاء مجيعا يف غري خوف وال سفر )رواه مسلم(Artinya:“Diceritakan dari Yahya bin Yahya, (dia) berkata telah saya bacakan

kepada Malik dari Abi Zubair dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia

berkata: Rasulullah SAW. menjama salat zuhur dan asar, serta maghrib

dan isya tidak dalam keadaan takut dan bepergian. (HR. Muslim).

وحدثنا أمحد بن يونس وعون بن سالم مجيعا عن زىري قال ابن يونس حدثنا ابن عباس قال: صلى رسول اهلل زىري حدسنا أبو الزبري عن سعيد بن جبري عن

صلى اهلل عليو وسلم الظهر والعصر مجيعا بادلدينة يف غري خوف وال سفر. قال فقال سألت ابن عباس كما سألتين فقال أبو الزبري فسألت سعيدا مل فعل ذلك؟

5أراد أن ال حيرج أحدا من أمتو )رواه مسلم(Artinya:“Diceritakan dari Ahmad bin Yunus dan „Aun bin Salam, keduanya

dari Zuhair. Berkata Ibn Yunus diceritakan dari Zuhair diceritakan dari

Abu Zubair dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah

SAW. menjama salat zuhur dan asar, tidak dalam keadaan takut (khawf)

dan bepergian. Abu Zubair berkata: maka aku menanyakan kepada Said

mengapa Rasulullah melaksanakan hal tersebut? Ia Saidmenjawab, aku

telah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana pertanyaanmu, dan ia

4Muslim al-Naisabūrī, Shahih Muslim, Juz. 2, h. 151.

5Muslim al-Naisabūrī, Shahih Muslim, Juz. 2, h. 151.

Page 70: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

61

menjawab Rasulullah tidak ingin menyulitkan seorangpun dari

umatnya”.(HR. Muslim).

Pada hadits tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa maksud Rasulullah

melakukan itu agar tidak menyulitkan/ membebani ummatnya.

Para Ulama menyikapi hadis tersebut berbeda dalam menafsirkan/

mentakwilkan kalimat )أن ال حيرج أحدا من أمتو(.

Berdasarkan hadis tersebut, tim mudzakarah memilih pendapat boleh

menjamaʹ salat dalam kondisi macet, karena ada hajat, tapi dengan catatan

tidak dijadikan kebiasaan dan juga tidak direncanakan. Dengan kata lain, bagi yang sudah terbiasa dalam kondisi macet maka

tetap tidak boleh melakukan jamaʹ. Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda:

ني عن ابن عباس، قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم : "من مجع بالصالتني من غري عذر فقد أتى بابا من أبواب الكبائر" )رواه احلاكم يف

6ادلستدراك(

Artinya:“ Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Barang

siapa yang menjamaʹ dua salat tanpa adanya udzur/sebab maka ia telah

mendatangi salah satu pintu dari pintu-pintu dosa besar.

2. Dengan jawaban No.1 maka pertanyaan nomor 2 sudah terjawab, yakni hadis

tersebut dapat dijadikan sebagai dalil diperbolehkan jamaʹ dalam keadaan

macet, dengan catatan-catatan yang telah dijelaskan.

6Al-Hakim al-Naisabūrī, al-Mustadrok, (Bairut: Dar al-Ma‟rifah, t.th),

Juz. 1, h. 275.

Page 71: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

62

Hasil mudzakarah tersebut tidak diuraikan dengan panjang lebar, namun

disarikan dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas

dalam kitab Shahih Muslim.

Diantara sumber-sumber hukum yang dijadikan referensi pengambilan

hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet tim mudzakarah MUI DKI Jakarta

melampirkan beberapa referensi salah satu diantaranya:

1) Q.S. Al-Hajj ayat 78:

يه وما جعل عليكم في /22 :78 ) )احلج ٨٧ مه حرج ٱلدArtinya:“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali kali tidak menjadikan untuk

kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj 78).7

Quraish Shihab dalam tafsir al Misbahnya, menjelaskan bahwa maksud

ayat di atas ialah, Allah swt tidak membebani kalian dengan sesuatu yang tidak

mampu kalian lakukan, melainkan Allah swt pasti menjadikan jalan keluar dan

keringanan didalamnya.8

2) Kaidah fiqhiyyah yang berbunyi :

ادلشقة جتلب التيسري

Artinya:“kesulitan (masyaqqah) dapat mendatangkan kemudahan”.9

7Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung:

Diponegoro, 1995), hal. 523. 8M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),

hal. 134. 9Abd al-Kafi al-Subkiy, al-Asybah wa al-Nadza‟ir, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah,

1991), Cet. 1, h. 48.

Page 72: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

63

3) Shahih Muslim bisy-Syarh al-Nawawi:

و منهم من قال: ىو حممول على اجلمع بعذر ادلرض أو حنوه دما ىو يف معناه من األعذار، وىذا قول أمحد بن حنبل والقاضي حسني من أصحابنا، واختاره اخلطايب وادلتويل والروياين من أصحابنا، وىو ادلختار يف تأويلو لظاىر احلديث

يب ىريرة، وألن ادلشقة فيو أشد من ادلطر، وذىب ولفعل إبن عباس وموافقة أمجاعة من األئمة إىل جواز اجلمع يف احلضر للحاجة دلن ال يتخذه عادة، وىو

والشا قول إبن سريين وأشهب من أصحاب مالك، وحكاه اخلطايب عن القفال والشافعي عن أيب إسحاق ادلروزي عن مجاعة من شي الكبري من اصحاب

واختاره ابن ادلنذر ويؤيده ظاىر قول إبن عباس : أراد أال أصحاب احلديث، 10حيرج أمتو، فلم يعللو مبرض وال غريه و اهلل أعلم.

Artinya:“Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa memungkinkan

untuk menjamaʹ salat dengan sebab udzur, sakit atau udzur-udzur lainya,

ini adalah pendapat Ahmad bin Hambal dan Qodi Husain dari golongan

Syafi‟i dan dipilih oleh al-Khaththabiy dan Muttawali dan al-Ruyani dari

golongan Syafi‟i. Pendapat ini dipilih berdasarkan ta‟wil dari tekstual

hadis dan apa yang dilakukan Ibnu Abbas yang sesuai dengan Abu

Hurairah, karena masyaqqah dalam hal ini lebih parah dari pada hujan.

Segolongan Imam berpendapat diperbolehkan menjamaʹ salat di rumah

karena suatu kebutuhan dan tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Ini

adalah pendapat Ibnu Sīrīn dan Asyhab dari golongan Maliki, dan

dicerikatan oleh al-Khatabi dari al-Qofal dan Al-Syasyi, al-Kabir dari

golongan Syafi‟i dari Abu Ishak al-Marwazi dari segolongan ahli hadis.

Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Mundzir dan ia menguatkannya dengan

tekstual pendapat Ibnu Abbas.” Rasulullah tidak ingin menyulitkan

umatnya. Maka beliau tidak membuat sulit dengan keadaan sakit atau

yang lainya. Sesungguhnya Allah adalah dzat yang lebih mengetahui”.

(HR. Muslim)”

10

Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1415 H),

Juz. 3, h. 236.

Page 73: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

64

4) Bughyatul Murtasyidin:

القصري اختاره البندينيجي، وظاىر )فائدة (: لنا قول جبواز اجلمع يف السفر احلديث جوازه ولو فيحضر كما يف شرح مسلم، وحكى اخلطايب عن أيب إسحاق جوازه ىف احلضر للحاجة، وإن مل يكنخوف وال مطر وال مرض، وبو قال ابن

11قالئد. ـادلنذراىArtinya:“Faidah: Dalam kalangan Syafi‟iyyah terdapat pendapat yang

memperbolehkan menjamaʹ salat dalam perjalanan jarak dekat. Pendapat

ini dipilih olehal-Bindanijiy. Zhahir hadis (terkait) memperbolehkannya

menjamaʹ salat meskipun dalam keadaan mukim (tidak saat bepergian)

sebagaimana yang dijelaskan dalam syarah Muslim. Sedangkan al-

Khaththabiy menceritakan dari Abi Ishaq bahwa beliau memperbolehan

menjamaʹ salat bagi mukim (tidak saat bepergian) atau hadhar jika ada

desakan kebutuhan (lil hājah), meski tidak ada ketakutan (khawf), hujan,

ataupun sakit. Pendapat ini (juga) yang dikemukakan oleh Ibnu al-

Mundzir.

5) Raudhatuttalibin

قلت القول جبواز اجلمع بادلرض ظاىر خمتار فقد ثبت يف صحيح مسلم أن النيب ايب صلى اهلل عليو وسلم مجع بادلدينة من غري خوف وال مطر وقد حكى اخلط

ق ادلروزي جواز اجلمع يف احلضر اشي عن أيب إسحعن القفال الكبري الشابو قال ابن ادلنذر من أصحابنا و ري اشرتاط اخلوف وادلطر وادلرض و للحاجة من غ

12اهلل أعلم.Artinya:“Pendapat yang memperbolehkan jama salat karena sakit telah

dipilih dengan jelas. Telah ditetapkan dalam shahih Muslim bahwa

Rasulullah SAW. menjamaʹ salat di Madinah tidak dalam keadaan perang

ataupun hujan. Al-Khaththabiy menceritakan dari al-Qofal, al-Kabir, Al-

Syasyi dari Abu Ishak al-Mawardzi tentang kebolehan menjamaʹ salat

dalam keadaan mukim untuk suatu kebutuhan tanpa syarat dalam

keadaan takut (khawf) ,hujan atupun sakit. Ini adalah pendapat Ibnu

11

Abdurrahman bin Muhammad Ba‟alawi, Bugyatul Mustarsyidin, (Dar al-Fikr: tp, t.th),

Juz. 1, h. 160. 12

Al-Nawawi, Raudhlatuttalibin, (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1405

H), Juz. 1, h. 401.

Page 74: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

65

Mundzir. Dari golongan Syafi‟i. Sesungguhnya Allah adalah dzat yang

lebih mengetahui”.

6) Al-Majmu‟:

جلمع يف احلضر بال خوف وال سفر وال سفر وال مرض: )فرع( يف مذاىبهم يف امذىبنا ومذىب أيب حنيفة ومالك وأمحد واجلمهور أنو ال جيوز وحكى ابن ادلنذر

13عن طائفة جوازه بال سبب قال وجوزه ابن سريين حلاجة أو م مل يتخذه عادة.Artinya:“Mazhab kami (Syafi‟i) dan Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur

tidak diperbolehkan. Ibnu Mundzir mencerikatan dari suatu golongan,

diperbolehkan tanpa sebab. Ibnu Sīrīn memperbolehkan karena suatu

kebutuhan dan tidak menjadikanya kebiasaan”.

B. Analisis Dalil Hukum yang digunakan MUI DKI Jakarta dalam Hasil

Mudzakarahnya Tentang Menjamaʹ Salat dalam Kondisi Macet

Berdasarkan hasil mudzakarahnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI

Jakarta menyimpulkan bahwa menjamaʹ salat dalam kondisi macet hukumnya

diperbolehkan, dengan syarat tidak disengaja dan tidak dijadikan sebagai

kebiasaan. Tentunya kesimpulan ini didasarkan atas dalil-dalil yang digunakan

oleh MUI DKI Jakarta. Dalil-dalil tersebut diambil dari al-Qur‟an, hadis, dan

qa‟idah fiqhiyah.

1. Dalil al-Qur‟an

Dalam hal menjamaʹ salat MUI DKI Jakarta menggunakan salah satu

ayat dari surat al-Hajj yaitu ayat 78 sebagai berikut:

يه وما جعل عليكم في ٨٧مه حرج ٱلد

13

Al-Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhadzab, (Dar al-fikr: tt.p, tth),

Juz. 4, h. 384.

Page 75: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

66

Artinya:“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali kali tidak menjadikan untuk

kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj 78).

Dari ayat ini Imam al-Qurtubhi menjelaskan bahwa ayat ini dapat

masuk ke dalam berbagai bidang hukum, dan ayat inipun termasuk sesuatu

yang Allah Subhānahū Wata‟ālā berikan kepada umat ini secara khusus.14

Dengan demikian hukum tentang pensyariatan menjamaʹsalat dapat dimasukan

ke dalam ayat ini.

Berkaitan dengan dibolehkannya menjamaʹ salat sangat tergantung

kepada kondisi tertentu yang membolehkan seseorang untuk menjamaʹ

salatnya, kata حرج dalam ayat ini diartikan kesempitan. MUI DKI Jakarta

menggunakan ayat ini sebagai dalil, karena seseorang yang sedang terjebak

kemacetan di jalan dianggap sedang mengalami kesempitan. Kesempitan

dalam kemacetan yang dimaksud di sini adalah keadaan ketika seseorang

terjebak di tengah kemacetan parah dan tidak memiliki kesempatan untuk

keluar dari keadaan tersebut hingga waktu salat pada saat itu habis. Kehabisan

waktu salat dalam kemacetan hingga akhirnya tidak dapat menunaikan salat

tepat waktu, inilah kesempitan yang dimaksud. Maka dengan kesempitan yang

semacam ini, MUI DKI Jakarta menggunakan ayat ini untuk membolehkan

menjamaʹ salat.

14

Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Penerjemah Ahmad Khotib, (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008), Cet. 1, h. 254-255.

Page 76: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

67

1. Dalil Hadis

Ada beberapa hadis yang digunakan oleh MUI DKI Jakarta dalam

membolehkan menjamaʹ salat karena macet. Pertama, hadis dari Ibnu Abbas

yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:

وحدثنا أمحد بن يونس وعون بن سالم مجيعا عن زىري قال ابن يونس حدثنا ابن عباس قال: صلى رسول اهلل زىري حدسنا أبو الزبري عن سعيد بن جبري عن

هر والعصر مجيعا بادلدينة يف غري خوف وال سفر. قال صلى اهلل عليو وسلم الظأبو الزبري فسألت سعيدا مل فعل ذلك؟ فقال سألت ابن عباس كما سألتين فقال

15أراد أن ال حيرج أحدا من أمتو )رواه مسلم(Artinya:“Diceritakan dari Ahmad bin Yunus dan „Aun bin Salam, keduanya

dari Zuhair. Berkata Ibn Yunus diceritakan dari Zuhair diceritakan dari

Abu Zubayr dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah

SAW. menjamaʹ salat Zuhur dan Asar, tidak dalam keadaan takut (khawf)

dan (alasan) perjalanan. Abu al-Zubayr RA berkata: Aku menanyakan

kepada Sa‟id mengapa Rasulullah melaksanakan hal tersebut? Ia

Saidmenjawab, aku telah bertanya kepada Ibnu „Abbas sebagaimana

pertanyaanmu, dan ia menjawab Rasulullah tidak ingin menyulitkan

seorangpun dari umatnya”.(HR. Muslim).

Hadis ini bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud

dan al-Tirmidzi yang menyatakan bahwa kebolehan menjamaʹ salat itu hanya

ketika bepergian.

زاغت ذاإتبوك نيب صلى اهلل عليو وسلم كان يف غزوةإن العن معاذ قال: الشمس غن تزيأقبل ا ارحتلإذالعصر و ن يرحتل مجع بني الظهر و أالشمس قبل

حتل ر ن يأقبل ن غابت الشمس أرب مثل غادل لعصرويفلهر حىت ينزل ظالخر أل نز ي خر ادلغرب حىتأب الشمس ن تغيأن ارحتل قبل أو ءمجع بني ادلغرب والعشا

15

Muslim al-Naisabūrī, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Afaq, t.th),

Juz. 2, h. 151.

Page 77: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

68

ل ىذا حديث حسن(.اا. )رواه ابوداود والرتمذى وقللعشاء مث نزل فجمع بينهم 16بوداود والرتمذى()رواه أ

Artinya:“Dari Mu‟adz berkata;” Bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam

sewaktu perang tabuk, selalu menjamaʹ salat Zuhur dengan Asar bila

berangkatnya itu sebelum matahari tergelincir, maka salat Zuhur

diundurkan beliau, dan dirangkapnya sekali dengan Asar. Begitu pula

dengan salat Maghrib, yaitu kalau beliau berangkat sesudah matahari

terbenam dijamaʹ nya Maghrib dengan Isya. Tetapi kalau berangkatnya

itu sebelum matahari terbenam diundurkannyalah Maghrib itu sampai

Isya dan jamaʹnya dengan salat Isya. (diriwayatkan oleh Abu Daud serta

al-Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadis ini adalah hadis hasan)”.

Dari pemaparan kedua hadis di atas terungkap bahwa secara tekstual

matan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim bertentangan dengan hadis yang

diriwayatkan oleh Abu Daud danal-Tirmidzi, akan tetapi secara kontekstual

hadis ini tidak bertentangan. Hadis yang membolehkan menjamaʹ salat hanya

saat bepergian saja merupakan sebuah kemudahan yang diberikan kepada

umatnya agar umatnya tidak merasa kesulitan dalam menjalankan salat ketika

bepergian. Sedangkan hadis yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Sallallāhu

„Alaihi Wasallam menjamaʹ salat tidak sedang dalam safar dan tidak dalam

keadaan takut merupakan sebuah isyarat bahwa suatu saat hambanya dapat

merasakan kesulitan untuk melaksanakan salat dengan alasan lain, yaitu alasan

selain dalam keadaan safar dan ketakutan. Keadaan tersebut sudah terjadi

dimasa sekarang, contohnya seseorang yang terjebak dalam kemacetan. Ia

tidak memenuhi syarat-syarat safar dan juga tidak dalam keadaan takut, akan

tetapi ia tidak dapat menjalankan salat karena tidak dapat keluar dari

kemacetan tersebut dan pada saat inilah ia merasakan kesulitan untuk

16

Al-Tirmidzī, al-Jamī‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 2, h. 438.

Page 78: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

69

menjalankan salat, dapat difahami bahwa salah satu maksud hadis tersebut

adalah untuk hambanya yang mengalami keadaan seperti ini.

Selain itu, kedua hadis tersebut dimaksudkan Nabi agar umat Islam tidak

terbebani. Keduanya memberikan kemudahan dalam perihal menjamaʹ salat

baik dalam keadaan safar ataupun tidak, dengan artian bahwa ada alasan lain

yang membuat umat Islam sulit dalam mengerjakan salat. Meskipun demikian,

kemudahan ini tidak untuk dijadikan suatu kebiasaan. Karena tetap saja bahwa

pengerjaan setiap salat memiliki waktunya masing-masing. Bila tidak ada

alasan yang menyulitkan, maka umat Islam harus tetap melaksanakan salat

tepat pada waktunya. Berdasarkan hadis tersebut, maka sudah tepat jika tim

Mudzakarah MUI DKI Jakarta memilih pendapat boleh melakukan menjamaʹ

salat dalam kondisi macet, karena ada hajat, tapi dengan catatan tidak dijadikan

kebiasaaan dan juga tidak direncanakan. Dengan kata lain, bagi yang sudah

terbiasa dalam kondisi macet maka tetap tidak boleh melakukan jamaʹ.

Pada dasarnya hukum syari‟ah bukanlah untuk mempersulit umat Islam,

tapi justru didasarkan pada kenyamanan, keringanan dan untuk menghilangkan

kesulitan dari masyarakat. Syari‟ah telah memperhatikan keadaan khusus

dimana suatu penderitaan/kesulitan harus diatasi dalam rangka menyediakan

kemudahan bagi umat Islam yang dalam kesulitan.17

Salah satu yang menjadi dasar MUI DKI Jakarta dalam hasil

mudzakarahnya terkait masalah menjamaʹ salat dalam kondisi macet adalah

berdasarkan kaidah fikhiyah sebagai berikut:

17

Muhammad Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor:

Ulil Albab Institute, 2010), h. 75.

Page 79: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

70

ادلشقة جتلب التيسري Artinya:“kesulitan menghendaki kemudahan”.

Kaidah ini merupakan dasar paling penting dari sumber syari‟ah.

Mayoritas dispensasi syari‟ah didasari oleh kaidah ini.18

Al-Masyaqqah berasal dari kata يشقق -شقق menurut arti bahasa (etimologi)

adalah al-ta‟ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.19

Sedangkan al-taisir berasal dari kata ر -يسر يبس secara bahasa berarti

kemudahan atau kelenturan.20

Adapun makna terminologi kaidah tersebut adalah “hukum yang

praktiknya menyulitkan mukallaf pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan,

maka syariat meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah

kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan”.21

Dalam ilmu fikih, kesukaran yang membawa kepada kemudahan itu

setidaknya ada tujuh macam yaitu: sebab safar, (bepergian), sebab keadaan

sakit, sebab keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan

hidupnya, Lupa (al-Nisyan), ketidaktahuan (al-Jahl), kesukaran yang umum

terjadi (Umum al-balwa), dan kekurang mampuan bertindak hukum (al-

Naqshu).22

18

Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya, 2004), h. 77. 19

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 1973), h. 201. 20

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 509. 21

Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif

Fiqh, h. 84. 22

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), Cet. 1, h. 56-

57.

Page 80: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

71

Dalam kaidah ini ada beberapa bentuk dispensasi syar‟i yang diterapkan

pada persoalan-persoalan fikih diantaranya yaitu: dispensasi dengan cara

mendahulukan (rukhshatu taqdim) adalah dispensasi dengan cara

mendahulukan tanggungan yang bukan pada waktunya. Seperti memajukan

salat Asar diwaktu Zuhur atau salat Isya diwaktu Maghrib ketika melakukan

jamaʹ takdîm antara salat Zuhur dan Asar atau Maghrib dan Isya karena dalam

perjalanan. Dan dispensasi dengan cara mengakhirkan (rukhshatu ta‟khir)

adalah dispensasi dengan cara mengakhirkan kewajiban dari waktunya, seperti

mengakhirkan kewajiban dari waktunya, seperti mengakhirkan pelaksanan

salat Zuhur diwaktu Asar atau Salat Maghrib diwaktu Isya ketika dalam

perjalanan (safar).23

Semua itu menandakan kemurahan yang diberikan Allah dalam

melaksanakan salat bagi orang yang benar-benar tidak mampu melakukan salat

pada waktunya. Tetapi bagi orang yang sanggup melaksanakan salat tepat pada

waktu yang ditentukan diharuskan melakukan pada waktunya. Karena dalam

mengerjakan masing-masing salat wajib lima waktu telah ditentukan waktu

pelaksanaannya. Tidak boleh diubah-ubah dan memiliki batas awal dan batas

akhir. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. An-Nisa (4): 103

لوة إن وقوتا ٱلمؤمىيه على كاوت ٱلص با م (4/101النساء/( ٣٠١كتArtinya:“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya

atas orang-orang yang beriman”.

23

Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif

Fiqh, h. 103.

Page 81: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

72

Tetapi supaya tidak membuat susah umat Nabi Muhammad SAW. terdapat

salah satu rukshah/keringanan yang Allah berikan kepada umat Muslim adalah

adanya diperbolehkan menjamaʹ salatnya dalam dua waktu dikerjakan dalam

satu waktu dengan berbagai alasan diantaranya:

1. Berada di Arafah dan Muzdalifah.

2. Dalam bepergian atau safar.

3. Dalam keadaan hujan.

4. Dalam keadaan sakit.

5. Ada suatu keperluan atau hajat.24

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mendapatkan beberapa kesimpulan

mengenai bagaimana hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet sebagaimana

yang tercantum dalam hasil mudzakarah MUI DKI Jakarta dengan

menganalisis dalil-dalil yang dikemukakan oleh para anggota mudzakarah dan

dihimpun menjadi satu kesimpulan yaitu lembaran mudzakarah MUI DKI

Jakarta.

Dalam hal ini para ulama yang menghadiri mudzakarah MUI DKI Jakarta

menyimpulkan bahwa menjamaʹ salat dalam kondisi macet diperbolehkan

dengan catatan tidak dijadikan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Namun

jika seorang mukallaf masih memiliki waktu luang untuk melaksanakan salat

pada waktunya, maka lakukanlah salat sesuai dengan waktu yang sudah

ditentukan menurut Al-Qur‟an dan al-Hadis.

24

al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap

dkk,h. 508.

Page 82: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

73

C. Pandangan Ulama terhadap Mudzakarah MUI DKI Jakarta Tentang

Menjamaʹ Salat dalam Kondisi Macet

Pembahasan tentang hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet di MUI

DKI Jakarta tidak terlepas dari berbagai pandangan ulama-ulama MUI DKI

Jakarta. Hal ini mendorong penulis untuk menggali ilmu dan informasi dari

beberapa ulama MUI DKI Jakarta yang menghasilkan beberapa kesimpulan.

Penulis telah mewawancarai K.H. Syarifuddin Abdul Ghani selaku ketua MUI

DKI Jakarta dan Dr. Fuad Tohari, MA, selaku sekretaris MUI DKI Jakarta. Dalam

hal ini penulis akan memaparkan pertanyaan beserta jawaban hasil wawancara

bersama kedua Ulama tersebut.

1. Pandangan KH. Syarifuddin Abdul Ghani (Ketua MUI DKI Jakarta)

Penulis melakukan wawancara kepada K.H. Syarifudin Abdul Ghani pada

30 Desember 2015 di kediamannya yang terletak di Kp. Basmol Jakarta Barat.

Pada hari itu penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan

hasil mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang menjamaʹ salat dalam kondisi

macet.

Penulis mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan tentang hasil

mudzakarah tentang menjamaʹ salat dalam kondisi macet.

Beliau berpendapat bahwa :

“...macet tidak disebutkan sebagai penyebab dibolehkan jamaʹ. Sehingga

sekalipun orang terjebak macet karena itu tidak dibolehkan jamaʹ, Sedangkan

hadis Muslim atau Tirmidzi Anabi SAW menjamaʹ antara Zuhur dan Asar,

Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena musafir, bukan karena hujan,

bukan karena takut, Imam Tirmidzi mengatakan hadis ini tidak bisa

diamalkan. Dan tidak ada yang mengamalkan itu. Menjamaʹ di Kota tidak

Page 83: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

74

dalam keadaan musafir, tidak hujan, dan tidak takut dan tidak karena khauf.

Sekalipun orang Syiah melakukan itu, orang Syiah salatnya ada tiga waktu

saja Maghrib dan Isya dijamaʹ, Zuhur dan Asarpun dijamaʹ. Mayoritas ulama

mengatakan tidak boleh dijamaʹ. Karena ketika Nabi menjelaskan tentang

waktu salat setelah Nabi kembali dari perjalanan relijinya ke langit, itu yang

menunjukan waktunya limit-limit. Musafir boleh dijamaʹ memang ada

ketentuan sendiri.....”

Menanggapi hal tersebut, penulis mengajukan pertanyaan apakah lantas

macet tidak bisa diqiyaskan seperti keadaan musafir? Lalu beliau juga

menjawab:

“...Qiyas itu harus ada „illat jami‟ah. „Illat jamiah itu bisa dipakai kalau ada

maslahahnya, orang mengatakan macet itu sama dengan musafir „illatnya

karena sama-sama masyaqqah, ketika kita baca ushul fiqh masyaqqah itu

tidak bisa dijadikan sebagai masalah „illat, karena „illat itu harus pasti.

Sedangkan masyaqqah itu tidak man‟ut (tidak pasti) sehingga sebagian orang

mengatakan itu masyaqqah sebagian tidak, masyaqqah ini tidak bisa dijadikan

sebagai „illat untuk mengqiyas macet dengan musafir. Kalau begitu salat

ketika macet tidak bisa diqiyas ke musafir. Karena masalah „illatnya tidak

kena. Dalam kitab Jam‟ul jawami‟25

umpamanya masyaqqah (kesulitan) itu

tidak bisa dijadikan sebagai masāliku al-ʹillat karena apa, karena ʹillat itu

harus pasti. Masalah „illat jamiah baena safar. karena tidak bisa diqiyas maka

dalam keadaan macet harus kembali ke hukum asal yaitu salat pada

waktunya. Contohnya adalah gara-gara macet kita tidak bisa melakukan salat

pada waktu nya maka kita harus Qadha‟. Ada ulama (Ibnu Sirrin)

mengatakan boleh menjama sekalipun tidak dalam keadaan musafir tapi

jangan djadikan sebagai sebuah kebiasaan. Artinya biasanya sedang macet

tapi dalam kondisi tertentu yaitu macet total dan tidak bisa salat pada

waktunya Ibnu Sirrin dalam hal ini boleh dijamaʹ asal tidak \dijadikan sebagai

sebuah kebiasaan. Tapi kalau memang orang yang kerja setiap hari, dan biasa

dalam kondisi macet, maka dia tidak boleh menjamaʹ karena itu dijadikan

sebagai sebuah kebiasaan.

25

Abdul Wahhab bin Ali as-Subki, Jam‟ul Jawāmi Fii Ushūl Fiqh, (Beirut: Dār al-Kutub

al-Ilmiyah, 1424), Juz. II, h. 82. Lihat juga Darul Azka dkk. Jam‟u al-Jawāmi Kajian dan

Penjelasan dua Ushul, Lirboyo: Santri Salaf Press, 2014), Cet. I, h. 198. Hukum Ashli (hukum

kasus asal) adalah hukum yang telah ditetapkan terhadap kasus asal, baik berdasarkan al-qur‟an,

al-hadis maupun ijma‟. Salah satu syarat hukum ashal yaitu: hukum ashl tetap tidak berdasarkan

qiyas, atu versi lain juga ijma‟. karena jika tetap berdasarkan qiyas, maka apabila „illatnya satu,

qiyas kedua tidak menjadi berfungsi, karena sudah ducukupkan dengan qiyas far‟u pada ashal

yang pertama. Dan jika „illatnya berbeda, maka qiyas tidak sah dilakukan, karena antara far‟u dan

ashl tidak ada titik temu dalam aspek „illat hukumnya.

Page 84: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

75

Dalam kondisi tertentu seperti: riasan perempuan kalau menjadi penganten

dandan dan itu biasanya salatnya dijamaʹ. Boleh tidak perempuan menjama

salat?

Salat jamaʹ dalam kondisi macet diperbolehkan. Alasannya karena kalau

kita merujuk dari perkataan Ibnu Sirrin, mazhab al-Zhahiri dan beberapa

fukaha dari golongan Malikiyah, al-Qaffal, dan al-Syasyi dari golongan

Syafi‟iyah bahwa boleh menjamaʹ salatnya, karena tidak bisa dijadikan

kebiasaan. Tidak mungkin kan jadi pengantin setiap hari. Apalagi sebagai

dokter bedah, membedah penyakit mulai jam 11 siang dan tidak bisa selesai

sampai menjelang maghrib dalam hal ini boleh menjamaʹ.

Dengan demikian dalam masalah macet menurut kiyai Syarifudin Abdul

Ghani kalau tidak bisa dijadikan kebiasaan itu boleh jamaʹ, asal tidak

dijadikan sebagai sebuah kebiasaan karena dalam kondisi tertentu seperti: di

Tol tidak menemukan Rest Area, atau tidak ada Mushala atau Masjid,

bagaimana kita mencari masjid di tol dan macet total. dan dalam kondisi ini

maka boleh menjama salatnya. Sekalipun dekat dan tida mungkin dalam

waktunya maka boleh menjamaʹ salat. Bukan karena musafi, hujan, dan khauf

asal tidak bisa dijadikan kebiasaan. Tidak ada ulama membolehkan kecuali

Ibnu Sirrin.26

2. Pandangan Dr. Fuad Tohari, MA (Staff MUI DKI Jakarta)

Penulis melakukan wawancara kepada Dr. Fuad Tohari, MA selaku

Sekretaris MUI DKI Jakarta pada tanggal 22 April 2016 di Kampus I UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta karena beliau merupakan Dosen Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada hari itu penulis mengajukan

juga beberapa pertanyaan yang sama dengan yang diajukan kepada Ketua MUI

26

Hasil wawancara Pribadi dengan K.H. Syarifuddin Abdul Ghani, (Ketua MUI DKI

Jakarta) Pada 30 Desember 2015 di Kediamannya yang terletak di kp. Basmol Jakarta Barat.

Page 85: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

76

DKI Jakarta berkaitan dengan hasil mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang salat

jama dalam kondisi macet.

Beliau mengatakan bahwa:

“Pertama menjamaʹ salat (menggabung dua waktu salat pada satu waktu), pada

waktu awal yaitu jamaʹ ta‟dim dan dilakukan pada waktu yang keduan yaitu

jamaʹ ta‟khir itu boleh dilakukan jika ada sebab. Sebab untuk menjamaʹ yang

situasinya normal yaitu: 1. Karena bepergian 2. Karena sakit 3. Karena cuaca

yang tidak normal, misalnya hujan lebat, salju, atau 4. Karena ibadah haji

(linusuk). Itu yang dulu dirumuskan para ulama fikih setelah melihat apa yang

dilakukanakan oleh nabi/ yang dipraktekan nabi. Jadi nabi menjamaʹ salat

karena alasan tersebut. jamaʹ salat yang karena sebab-sebab tersebut, itu

gunanya untuk menghilangakan masyaqqah, masyaqah itu sesuatu yang

menyulitkan/memberatkan, masyaqqah itulah yang menjadi „illat (alasan)

kenapa kita boleh pindah dari melakukan kewajiban yang sifatnya azimah

pindah mengambil rukhsah (keringanan).

Dari sebab-sebab boleh menjamaʹ salat tadi ada alasan tambahan,

misalnya: karena penyebabnya bepergian minimal jarak yang ditempuh adalah

ada yang mengatakan minimal itu jaraknya 16 farsakh, 1 farsakh=3 mil,

dengan demikian 16x3= 48 mil. 1 mil= kurang lebih 12.000 telapak kaki,

kalau diukur dengan jalan kaki itu kalau diukur 2 hari. Dengan demikian

masyafatul qashri (masafah untuk bisa menjamaʹ qashar kalau diukur dengan

kilo, jaraknya 94,5 km. Mayoritas ulama fikih minimal jarak yang bisa yang

menjadi sebab boleh menjama ʹ salat 120 km. Kalau orang itu menjamaʹ salat

karena hujan lebat, itu sebetulnya berlaku bagi orang yang memang biasa

melakukan salat jamaah, kalau orang tersebut tidak pernah melakukan salat

jamaah tidak berhak mengambil rukhsah tersebut, dan tempatnya ini di Masjid.

Kemudian karena sebab ibadah haji, nabi mempraktekan kalau posisinya

setelah wukuf di Arafah kemudian mabid di Muzdalifah maghrib dan Isya, nabi

memilih menjamaʹ takhir. Jadi salat magrib dan Isya di Muzdalifah dengan

jamaʹ takhir. Kalau pada waktu mabid di Mina, nabi memilih jamaʹ takdim.

Bagaimana jika yang menjadi „illat (alasan) menjamaʹ itu kemudian

ditempatkan menjadi sebab , dia melakukan menjamaʹ salat karena macet

misalnya, mayoritas ulama termasuk apa yang diputuskan dalam mu‟tamar NU

tidak membolehkan menjamaʹ salat karena macet.

Cara mengatasinya bagaimana dalam keadaan seperti ini, yaitu dengan

cara apabila seseorang mengetahui salat itu waktunya sudah masuk dia salat

sekedar lil hurmah al waqt (sekedar menghormati waktu) salat sudah tiba.

Kemudian nanti setelah sampai ditujuan, karena salat ini tidak bisa dilakukan

secara normal, misalnya: posisinya dalam kendaraan dalam kondisi macet

apabila dia posisinya tidak mempunyai wudhu dalam kondisi hadas, yaitu niat,

takbiratul ihram semampunya ruku sampai salam, dan nanti kalau sampai

tujuan baru di ulang („ada) yaitu dengan salat secara sempurna. Tetapi kalau

Page 86: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

77

posisinya dalam keadaan wudhu, Imam Hanafi membolehkan dia melakukan

salat dalam keadaan dalam kendaraan itu, dan apakah salatnya dilakukan

sendiri-sendiri dalam artian (ada‟an) pas waktu salat Maghrib dia salat

maghrib, nanti kalau pas masih dikendaraan waktu isya dia salat isya, atau

langsung dijamaʹ didepan. jamaʹ takdim magrib isya dilakuan pada waktu

maghrib, atau jamaʹ takhir Maghrib dan Isya digabung dilakukan pada waktu

Isya. Yang baik itu shahibul waktu itu dilakukan terlebih dahulu Isya dulu baru

Maghrib.

Umumnya ulama tidak membolehkan menjamaʹ salat sebabnya karena

macet. Karena macet itu selama ini kategorinya tidak termasuk sebab tapi itu

yang jadi selama ini dalam kitab-kitab fikih memang tidak menjadi alasan

untuk menjamaʹ salat, hanya saja memang ada ulama yang mengatakan seperti

yang terdapat dalam kitab bughyah almurtasyidin boleh menjamaʹ salat karena

macet. Tapi yang baik kalau itu dikerjakan sebaiknya jangan dijadikan sebagai

kebiasaan, itu situasinya karena darurat saja. Ini menurut kaul minoritas.

Kemudian ada juga ulama yang membolehkan menjamaʹ salat tanpa

adanya sebab apa karena hujan, sakit, bepergian dan ketika wukuf di Arafah

boleh menjamaʹ salat tanpa sebab. Termasuk karena sedang ngajar boleh

menjamaʹ, karena jadi pengantin baru boleh menjamaʹ salat. Bahkan Imam al-

Tirmidzi itu dalam kitabnya semua hadis itu bisa diamalkan kecuali dua hal

yaitu: 1. Imam al-Tirmidzi mengatakan menjamaʹ salat tanpa sebab, dan kalau

ada orang mabuk ditangkap dicambuk 40 kali mabok lagi, itu semestinya harus

dicambuk 80 kali. Kata Imam al-Tirmidzi bunuh saja orang itu.

Dua kaul inilah yang menyebabkan bukunya Imam al-Tirmidzi yang

mestinya seandainya tidak ada dua fatwa ini, urutannya ketiga setelah Imam

Bukhori, Imam muslim, al-Tirmidzi. Gara-gara ada dua fatwa ini posisi

kitabnya turun ke empat, ketiganya ditempati sunan Abi Dawud. Jadi

masalahnya karena itu. Dengan demikian pendapat yang hati-hati macet itu

tetap tidak bisa menjadi alasan untuk menjamaʹ salat apalagi mengqashar salat.

menjamaʹ saja mayoritas ulama tidak membolehkan apalagi dengan

mengqashar salat. Kalaupun ada yang membolehkan itu menjamaʹ saja jangan

dengan mengqashar. Misalnya yang dikatakan dalam kitab bughyatul

murtasyidin.27

27

Abdurrahman bin Muhammad Ba‟alawi, Bugyatul Mustarsyidin, Juz. 1, h.

160.“Faidah: Dalam kalangan Syafi‟iyyah terdapat pendapat yang memperbolehkan menjamaʹ

salat dalam perjalanan jarak dekat. Pendapat ini dipilih oleh al-Bindanijiy. Zhahir hadis (terkait)

memperbolehkannya menjamaʹ salat meskipun dalam keadaan mukim (tidak saat bepergian)

sebagaimana yang dijelaskan dalam syarah Muslim. Sedangkan al-Khaththabiy menceritakan dari

Abi Ishaq bahwa beliau memperbolehan menjamaʹ salat bagi mukim (tidak saat bepergian) atau

hadhar jika ada desakan kebutuhan (lil hājah), meski tidak ada ketakutan (khawf), hujan, ataupun

sakit. Pendapat ini (juga) yang dikemukakan oleh Ibnu al-Mundzir”.

Page 87: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

78

Menurut saya tidak membolehkan menjamaʹ salat dalam kondisi macet,

misalnya posisinya macet di jalan tol masuk pada waktu mahgrib baik dalam

keadaan suci atau tidak ya salatnya dikerjakan dengan salat lil hurmah al waqt

(sekedar menghormati waktu) niat salat, kemudian niat takbiratul ikhram,

membaca fatihah dan seterusnya (sesuai rukun-rukun salat) semampunya. Dan

nanti kalau sudah sampai lokasi yang dituju dan memungkinkan salat dengan

secara normal salat yang tadi dikerjakan diulang lagi namanya i„ada, kalau

waktunya berada diluar dibatas yang ditentukan namanya ada‟ atau diqadha.

Tetapi kalau seseorang sudah sampai tujuan dan waktu maghrib masih ada

berarti tidak masalah, dan langsung saja melakukan salat. Akan tetapi jika

nyampai lokasi waktunya sudah lewat maka seseorang tersebut mengqadha‟

salatnya.

Jadi yang dilihat bukan semata-mata macetnya tetapi bagaimana hukum

melakukan salat diatas kendaraan itu, kalau menurut ulama Syafi‟iyah tidak

sah karena pertama, kiblatnya sulit untuk bisa dalam posisi menghadap kiblat,

kedua, tidak bisa ruku dan sujud dengan sempurna, dan mazhab lain yaitu

Imam Hanafi asal dia punya wudlu boleh. Dan Syafi‟iyah ini agak ketat yang

boleh meninggalkan menghadap kiblat itu hanya ada dua salat yaitu 1. Salat

sunah 2. Salat karena peperangan yang berkecambuk, dari selain dua salat

tersebut karena tidak sempurna jadi salatnya lil hurmah al waqt (sekedar

menghormati waktu) salat sih salat tapi nanti diulang.”28

Dengan demikian dalam masalah menjamaʹ salat dalam kondisi macet

menurut Fuad Tohari tidak diperbolehkan, lebih baik salatnya dikerjakan seperti

biasanya dengan salat lil hurmah al waqt (sekedar menghormati waktu) yaitu

niat salat, kemudian niat takbiratul ikhram, membaca fatihah dan seterusnya

(sesuai rukun-rukun salat) semampunya. Dan ketika seseorang sudah sampai

lokasi yang dituju dan memungkinkan salat dengan secara normal salat tersebut

dikerjakan dan diulang lagi salatnya yaitu namanya i„ada. Sedangkan kalau

waktunya berada di luar dibatas yang ditentukan namanya ada‟ atau

diqadha‟salatnya.

Namun yang menjadi catatat penting dalam tulisan ini, penulis menggaris

bawahi hadis dari riwayat Imam al-Tirmidzi bahwa menjamaʹ salat dalam

28

Hasil wawancara Pribadi dengan Dr. Fuad Tohari, MA. ( Sekretaris MUI DKI Jakarta)

Pada 22 April 2016 di Kampus I UIN Jakarta.

Page 88: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

79

kondisi dia tidak mengalami udzur syar‟i sangat-sangat tidak dibolehkan,

dengan alasan bahwa menjamaʹ salat tanpa sebab berarti seseorang telah

mendatangi pintu-pintu dari dosa besar. Dalam hal ini penulis juga mengambil

kesimpulan, bahwa seorang mukallaf boleh melaksanakan salat jamaʹ dalam

kondisi macet dengan alasan hadis pertama dari riwayat Ibnu Abbas ra. namun

tidak dijadikan kebiasaan menurut riwayat Ibnu Sirrin atas dasar bahwa

Rasulullah SAW. memberikan keringanan kepada umatnya, namun dalam hal

ini catatat terpenting adalah jika seorang mukallaf menjamaʹ salat tanpa sebab

apapun yaitu seperti di Arafah dan Muzdalifah, dalam keadaan bepergian atau

safar, keadaan hujan, keadaan sakit, ada suatu keperluan hajat, juga dalam hal

ini mengalami kondisi macet setiap harinya yang menyebabkan seorang

mukallaf tidak mampu melaksanakan salat tepat pada waktunya, maka seorang

mukallaf tersebut telah mendatangi pintu-pintu dosa besar. Dengan kata lain

seorang mukallaf tidak diperbolehkan menjamaʹ salat dengan tanpa udzur

syar‟i atau alasan yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW. dan ijmaʹ para

ulama.

Page 89: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

80

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian dan kajian terhadap hadis yang dijadikan dalil oleh tim

Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang menjamaʹ salat dalam kondisi

macetadalah:

1. Dalil yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta dalam

menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet yaitu bolehnya

menjamaʹ salat dalam kondisi macet disesuaikan dengan dalil al-Qur’an dari

surat al-Hajj ayat 78 bahwasanya Allah SWT. tidak memberikan kesusahan

melainkan memberikan kemudahan bagi mukallaf-mukallaf yang tidak

mampu untuk melaksanakan salat tepat waktu. Dengan catatan tidak

dijadikan kebiasaan dan hal ini diperkuat oleh Ibnu Sirin, ulama Madzhab

azh-zhahiri, dan beberapa fuqaha dari golongan Malikiyah, al-Qaffal, dan

al-Syasyi dari golongan Syafi’iyah yang memperbolehkannya.

2. Penjelasan ulama yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta

dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet ialah ada

yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan disebabkan alasan

dalil yang digunakan berbeda. Namun dalam menjamaʹ salat dalam kondisi

macet harus selalu memperhatikan aspek kemaslahatan untuk para mukallaf,

agar tidak terjadi peremehan pada rukhshah/ keringanan di dalam salat.

Page 90: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

81

B. Saran

1. Kepada seluruh umat Islam hendaklah beriman dan bertaqwa kepada Allah

swt. Dengan menggunakan al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup.

2. Bagi umat Islam yang menggunakan hadis hendaklah tidak sembarangan

hadis, melainkan harus diketahui dengan jelas derajat kualitas hadisnya,

dalam hal ini hadis yang berkualitas shahih yang dapat dijadikan sebagai

hujjah. Dan dalam menentukan sebuah hukum hendaklah untuk berhati-hati

karena akan berakibat fatal, hendaklah meneliti hingga ke akarnya sampai

ditemukan dalil yang kuat sehingga menghasilkan hukum yang relevan dan

kuat pula.

3. Bagi seorang mukallaf yang biasa dalam kondisi macet ketika pulang kerja

dan dari aktivitasnya, sebaiknya mengerjakan salat fardhu terlebih dahulu

pada waktunya dan jangan mengundur-ngundur waktu salat.

4. Bagi para cendekia yang meneliti hadis guna memahami makna hadis,

hendaklah di dukung dengan ilmu lain, seperti, bahasa, sejarah, sosial, agar

lebih luas dalam memahaminya.

5. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari dengan sepenuh hati belum

sampai pada batas maksimal, dan merupakan suatu kehormatan jika ada

yang melanjutkan atau melakukan kajian ulang guna mencapai

kesempurnaan secara akademik.

Page 91: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

82

DAFTAR PUSTAKA

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet. 1. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

Abbas, Ahmad Sudirman. Qawa’id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif Fiqh. Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya, 2004.

AbiSyaibah, Ibnu. al-Musonnaf, Jilid. 1.Riyad: Maktabah al-Rusydi, 1409.

Abdul Ghani, A. Syarifuddin, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI

Provinsi DKI Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa

dalam Dinamika Masyarakat Ibukota Jakarta Yang Heterogen. Provinsi

DKI Jakarta: Program Majelis Ulama Indonesia, 2014-2015.

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz. 1. T.tp: Dar al-Fikr, tth.

Amin, Ma‟ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam.Jakarta: Paramuda Advertising,

2008.

Adil, Malikul. Ilmu Fiqh 1. Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/

IAIN di Pusat, 1982.

Ba‟alawi, Abdurrahman bin Muhammad. Bugyatul Mustarsyidin, Juz. 1. Dar al-

Fikr: tp, t.th.

Al-Baihaqi. al-Sunan al-Qubro,Juz. 2. Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994.

Al-Baihaqi. al-Sunan al-Qubro,Juz. 3. Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994.

Al-Bazzar, Abu Bakar. Musnad al-Bazar, Juz. 13. Madinah: Maktabah al-

Ulum,2009.

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid. 1. Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987.

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid. 2. Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987.

Damin, Sudarman. Menjadi Peneliti Kualitatif, Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia,

2002.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Bandung:

Diponegoro, 1995.

Fatah, Abdul dan Ahmadi. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.

Hasan, Tafsir Ibadah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008.

Husnan, Djaelan. Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, Jilid. 1. Jakarta:

Yayasan Wakaf Baitussalam Billy Moon, 2013.

J. Moelang. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997.

Page 92: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

83

Al-Jazīrī, abd al-Rahmān. al-Fiqh ‘alā Madzāhib al-‘Arba’ah, Penerjemah

Chatibul Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, Cet. 1, Jakarta:

Darul Ulum Press, 1996.

Al-Ju‟fi, Muhammad ibn Isma‟il abu Abdullah al-Bukhary. Shahih Bukhari, Cet.

1. Madinah: Maktabah al-Dar, 1405 H.

El-Majid, Alimin Koto. Tuntunan Safar. Jakarta: Sahara Publishers, 2006.

Mansoori, Muhammad. Kaidah-Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis.

Bogor: Ulil Albab Institute, 2010.

Mudzhar. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang

Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso

Soekarna. Jakarta: INIS, 1993.

Mudzhar, M. Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan

Liberasi,Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

Muhtar, Kamal.Ushul Fiqh Jilid II. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1992,

Jakarta: MUI DKI Jakarta, 1992.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Edisi ke. 2.

Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Al-Naisabūrī, al-Hakim.al-Mustadrok, Juz. 1. Bairut: Dar al-Ma‟rifah, t.th.

Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz. 4. Dar al-fikr: tt.p, tth.

Al-Nawawi, Raudhlatuttalibin,Juz. 1. Bairut: al-Maktab al-Islami, 1405 H.

Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz. 3. Kairo: Dar al-Hadis, 1415 H.

Al-Nīsāburī, Muslim. Shahih Muslim, Juz. 1. Bairut: Dar al-Afaq, t.th.

Al-Nīsāburī, Muslim. Shahih Muslim, Juz. 2. Bairut: Dar al-Afaq, t.th.

Al-Nīsāburī, Muslim. Shahih Muslim, Juz. 4. Bairut: Dar al-Afaq, t.th.

Noer, Lilih Deliar. Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1983.

Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI.

Jakarta: Sekretariat MUI, 2010.

Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir al-Qurthubi, Penerjemah Ahmad Khotib, Cet.

1. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Page 93: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

84

Raghib, Ali. Ahkam al-Shalah, Penerjemah Abdillah al-Fakih dan Mu‟tashim,

Ahkamus Shalah dilengkapi dengan Hukum-Hukum Seputar Puasa.

Bogor: al-Azhar Press, 2009.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru, 1989.

Rusydi, Ibnu. Bidāyah al-Mujtahid, Juz. 1.Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.

Sabiq, al-Sayyid. Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap dkk, Cet. 3.

Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011.

Saltout, Mahmoud dan Ali al-Sayis. Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih.

Jakarta: BulanBintang, 1996.

Sarwat, Ahmad. Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat. Jakarta: CU Publishing,

2010.

Al-Shiddieqy, Hasbi. Pedoman Salat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah.Jakarta: LenteraHati, 2002.

Soekanto, Soerjono dan Sri, Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Al-Subkiy, Abd al-Kafi. al-Asybah wa al-Nadza’ir, Cet. 1. Beirut: Dar al-kutub

al-Ilmiyah, 1991.

Al-Subki, Abdul Wahhab bin Ali. Jam’ul Jawāmi Fii Ushūl Fiqh, Juz. 2. Beirut:

Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1424. Lihat juga Darul Azka dkk. Jam’u al-

Jawāmi Kajian dan Penjelasan dua Ushul, Cet. 1. Lirboyo: Santri Salaf

Press, 2014.

Sugiono. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta, 2004.

Sumaji, Muhammad Anis. 125 Masalah Salat. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka

Mandiri, 2008.

Al-Syafi‟i, Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni ad-Damasqi,

Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Juz. 1. Damaskus: Darul

Khair, 1994 H.

Al-Syaibani, Ahmad bin Hambal Abu „Abdullah. Musnad bin Hambal, Juz. 5.

Kairo: Muassashah Qurtubah, t.th.

Al-Sya‟rawi, Muhammad Muttawally Tafsir Āyāt al-Ahkām, Jilid. 1. Cairo: al-

Maktabah al-Taufiqqiyah, t.th.

Syarifudin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh, Cet. 2. Jakarta: Prenada Media, 2005.

Page 94: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

85

Thohari, Fuad. Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’i. Jakarta: Majelis Ulama

Indonesia Provinsi DKI Jakarta, 2012.

Al-Tirmidzī, Abu Īsa. al-Jāmī’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 2. Beirut: Dar

Ihyā al-Turāts al-Arabi, t.th.

Al-Tirmidzī, Abu Īsa. al-Jāmī’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 4. Beirut: Dar

Ihyā al-Turāts al-Arabi, t.th.

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-

Kattani, dkk, Jilid. 2. Jakarta: Gema Insani, 2010.

Yunus, Muhammad. Kamus Arab Indonesia. Jakarta:Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 1973.

wawancara Pribadi dengan K.H. Syarifuddin Abdul Ghani. Jakarta Barat: 30

Desember 2015.

Wawancara Pribadi dengan Dr. FuadTohari, MA. Jakarta: 22 April 2016.

Muaz, “MetodePenetapan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta”, Artikel diakses pada

08 Maret 2016 dari http://www.Muidkijakarta.or.id/2014/12/23/Metode-

Penetapan-Fatwa-MUI-Provinsi-DKI-Jakarta.html.

Nanda, “Mudzakarah Ulama Program Baru MUI DKI Jakarta yang Strategis”,

Berita diakses pada 08 Maret 2016 dari

http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/12/mudzakarah-ulama-program-

baru-mui-dki-yang-strategis/.html.

Syaikh Abdullah shoefie, “Rambu-Rambu dalam Musyawarah dan mudzakarah”,

Artikel diakses pada 08 Maret 2016, dari http://www.al-

ulama.net/2009/03/18/rambu-

rambudalammusyawarahdanmudzakarah.html.

Page 95: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

86

Page 96: MENJAMA SALAT DALAM KONDISI MACETrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42466/1/RATNA... · Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing ... menyelesaikan karya

87