meningodiskusi
-
Upload
ria-r-sukur -
Category
Documents
-
view
224 -
download
9
description
Transcript of meningodiskusi
A. Definisi
Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan serebrospinal
(CSS) disertai radang pada pia dan araknoid, ruang subaraknoid, jaringan
superfisial otak dan medulla spinalis. Meningoensefalitis adalah meningitis yang
disertai dengan peradangan parenkim otak. Pada dasarnya jarang sekali terdapat
meningitis/ensefalitis yang murni. Kebanyakan dalam bentuk meningoensefalitis.
Pada pasien ini ditemukan tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk yang
merupakan tanda klinis bahwa selaput otak mengalami iritasi; disertai tanda
radang yaitu demam. Selain itu, terjadi pula penurunan kesadaran, sakit kepala
dan kejang yang secara umum berasal dari proses di otak sehingga tidak hanya
selaput otak saja yang terlibat tapi juga parenkim otak. Dengan demikian,
berdasarkan definisi, kasus ini dapat dikatakan memenuhi kriteria
meningoensefalitis.
B. Faktor resiko
Untuk terjadinya suatu meningoencephalitis tidak mudah karena terdapat
sistem pertahanan diotak berupa sawar darah otak tapi ada keadaan, kelainan atau
penyakit yang memudahkan terjadinya meningoencephalitis antara lain:
a. Infeksi sistemik maupun lokal (septikemia, otitis media supurativa kronik,
demam tifoid, tuberkulosis paru).
b. Trauma dan tindakan tertentu (fraktur basis kranii, pungsi/anestesi lumbal,
operasi/tindakan bedah saraf)
c. Pemakaian bahan-bahan yang menghambat pembentukan antibodi (antibody
response)
d. Kelainan yang berhubungan dengan immunosuppression, misalnya
alkoholisme, agamaglobulinemia, diabetes mellitus dan lain-lain.
Berdasarkan keadaan yang memudahkan terjadinya meningoencephalitis pada
kasus ini adalah akibat infeksi lokal yaitu otitis media supurativa kronik yang
mengalami komplikasi intrakranial.
1
C. Patofisiologi
OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan
kronis dari telinga tengah, membrane timpani tidak intak (perforasi) dan
ditemukan secret (otorea), purulen yang hilang timbul, secret mungkin encer atau
kental, bening atau nanah yang berlangsung lebih dari 2 bulan. Gejala klinis
OMSK yaitu:
a. Telinga berair atau otore
b. Gangguan pendengaran
Biasanya dijumpai tuli kon duktif namun dapat pula bersifat campuran.
c. Nyeri telinga (Otalgia)
Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus.
d. Vertigo
Definisi OMSK ini sesuai dengan anamnesis pada kasus ini yaitu pasien
mengeluh keluar cairan dari telinga kanan berwarna kuning cair sedikit kental
yang berbau busuk dan terasa nyeri sejak 1 minggu SMRS disertai bengkak
belakang telinga dan terasa nyeri. Riwayat otore ini sudah dialami berulang sejak
16 tahun yang lalu dan tidak pernah berobat ke dokter, pasien minum amoksilin
dan tetrasiklin yang dibeli diwarung dan pada pemeriksaan fisik terdapat
gangguan pendengaran yang sesuai dengan pemeriksaan fisik yaitu pada tes Tes
Rinne: -/+, tes weber: Lateralisasi ke kanan, tes swabach: Memendek,
kesimpulan tuli konduktif. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien
didiagnosis OMSK.
Penyebab OMSK tersering adalah infeksi bakteri terutama bakteri
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Pseudomonas aeroginosa,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Proteus vulgaris,
Salmonella, Mycobacterium, Aspergillus dan Candida. Karena penyebab
terbanyak OMSK adalah bakteri maka pada kasus ini pasien didiagnosis
meningoencephalitis suspek bacterial.
2
Beberapa penulis mengemukakan klasifikasi komplikasi otitis media yang
berlainan, namun memiliki dasar yang tetap sama. Shambough (2003) membagi
komplikasi otitis media sebagai berikut:
1. Komplikasi Intratemporal
a. Mastoiditis
b. Paresis nervus fasialis
c. Labirinitis
d. Petrositis
2. Komplikasi Ekstratemporal
a. Abses subperiosteal
3. Komplikasi Intrakranial
a. Meningitis
b. Abses otak
c. Tromboflebitis
d. Hidrosefalus otikus
e. Empiema Subdural
f. Abses subdura/ekstradura
Komplikasi OMSK terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah
yang normal dilewati sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di
sekitarnya. Pertahanan pertama adalah mukosa kavum timpani, bila sawar ini runtuh
maka struktur lunak disekitarnya akan terkena. Runtuhnya periostium akan
menyebabkan abses periosteal. Apabila infeksi mengarah kedalam, jika ke tulang
temporal akan menyebabkan N. facialis atau labirinitis sehingga pada pemeriksaan
fisik ditemukan parese N. facialis yaitu pada M. orbicularis oris mengalami deviasi ke
kanan. Jika kearah cranial maka akan menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis
sinus lateralis, meningitis dan abses otak.
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan
granulasi akan terbentuk. Pada OMSK penyebaran terjadi melalui erosi tulang. Cara
3
penyebaran lainnya adalah toksin masuk melalui jalan yang sudah ada, misalnya
melalui fenestra rotundum, meatus akustikus internus, duktus perilimfatik, dan duktus
endolimfatik.
Pada kasus ini, dari keempat komplikasi intratemporal, komplikasi mastoiditis
dan paresis nervus fasialis yang terjadi pada kasus ini.
1. Mastoiditis
Merupakan perluasan infeksi telinga tengah ke dalam pneumatic system selulae
mastoid melalui antrum mastoid. Pengobatan harus secepat dan seefektif
mungkin untuk menghindari komplikasi. Gejala klinis OMSK yang dicurigai
mastoiditis antara lain otore purulen kental dalam jumlah banyak dan bau, tak
menunjukkan perbaikan setelah pengobatan antibiotika selama dua minggu, nyeri
belakang telinga. Pada pemeriksaan fisik mungkin akan ditemukan granulasi di
dinding superoposterior kanalis auditorius eksterna, perforasi membran timpani,
abses/fistel retroaurikula. Pada kasus ini pasien didiagnosis mastoiditis
berdasarkan anamnesis yaitu pasien mengeluh keluar sekret (otore) purulen yang
kental sedikit cair banyak dan berbau busuk serta pasien sudah sering
menggunakan antibiotik namun tidak ada perbaikan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan nyeri tekan mastoid dan abses retroaurikuler yaitu odema
retroauriculer disertai hiperemis dan saat dilakukan insisi keluar pus serta pada
pemeriksaan CT-Scan tampak liang telinga dalam dan aircell mastoid kanan
terselubung yang memberi kesan adanya mastoiditis. Sehingga pada kasus ini
pasien didiagnosis mastoiditis dan abses mastoid.
2. Paresis nervus fasialis
Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis
pada otitis media akut. Pada otitis media kronis, kerusakan terjadi oleh erosi
tulang oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi
kedalam kanalis fasialis tersebut. Pada kasus ini terjadi paresis nervus fasialis
yang diketahui saat dilakukan pemeriksaan fisik tampak sulcus nasolabialis
kanan lebih dangkal dan mulut mencong ke kanan.
4
Dari 6 komplikasi intracranial, pada kasus ini terjadi abses ekstradura dan
meningoencephalitis. Cara penyebaran OMSK ke intracranial melalui:
a. Melalui tulang yang sudah erosi akibat resorbsi oleh kolesteatom.
b. Penyebaran tromboflebitis melalui vena-vena kecil dan kanal Haversian, menuju
dura yang dapat menyebar ke serebelum melalui sinus lateral dan ke lobus
temporal melalui sinus petrosus superior.
c. Melalui jalan anatomi yang normal dari oval window atau round window,
akuaduktus vestibular dan di antara sutura tulang temporal.
d. Melalui defek akibat pembedahan pada kavum timpani
1. Meningoencephalitis
Berdasarkan patomekanisme tersebut meningoencephalitis pada kasus ini terjadi
akibat OMSK komplikasi intracranial, melalui jalan masuknya ke intracranial
yaitu melalui tulang yang sudah erosi akibat resorbsi oleh kolesteatom. Maupun
penyebaran tromboflebitis melalui vena-vena kecil dan kanal Haversian, menuju
dura yang dapat menyebar ke serebelum melalui sinus lateral dan ke lobus
temporal melalui sinus petrosus superior. Dengan cara tersebut bakteri dapat
masuk ke intracranial. Bakteria bisa menyebar ke meningens secara langsung, dari
telinga bagian tengah. Kapsul polisakharida bakteri, lipopolisakharida, dan lapisan
luar protein berperanan untuk invasi dan virulensi kuman. Bakteri dalam SSP akan
mengaktifkan sel lain seperti mikroglia, yang dapat mensekresi IL-1 dan TNF
alpha sebagai antigen dan dalam jalur imunogenik ke limfosit yang akan
merangsang netrofil untuk melepaskan protease dan mediator toksin yang
selanjutnya akan meningkatkan proses inflamasi pada sawar darah otak, sehingga
memudahkan lebih banyak bakteri dan netrofil yang berada pada sirkulasi untuk
masuk ke cairan serebrospinalis. Akhirnya respon inflamasi ini akan mengganggu
sawar darah otak, menyebabkan vasogenik edema, hidrosefalus dan infark serebral
sedangkan mekanisme bagaimana bakteri dapat menembus sawar darah otak
sampai saat ini belum jelas. Adanya komponen dinding sel bakteri yang dilepaskan
5
kedalam cairan serebrospinal merangsang produksi dari sitokine inflamasi seperti
Interleukin 1 dan 6, prostaglandin dan TNF. Proses inflamasi inilah yang
menyebabkan pasien mengalami penurunan kesadaran, mengakibatkan gangguan
potensial membrane neuron yang bermanifestasi kejang serta sakit kepala yang
terjadi karena peningkatan TIK akibat odema cerebri. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan kaku kuduk akibat iritasi pada meningens. Sehingga pasien didiagnosis
meningoencephalitis.
2. Abses epidural
Stadium awal abses otak berupa ensefalitis, yang menimbulkan edema otak dan
peningkatan tekanan intrakranial, menyebabkan gejala mual, nyeri kepala dan
muntah, somnolen dan rasa bingung kadang-kadang disertai delusi dan halusinasi.
Bila penyakit bertambah berat dapat terjadi stupor dan koma. Edema papil mulai
timbul 10-14 hari setelah onset. Pada kasus progresif dapat terjadi herniasi tentoria
atau herniasi tonsil serebelum ditandai dengan dilatasi pupil dan akhirnya paralisis
pernafasan. Kapsul mulai terbentuk dalam 10-14 hari. Kapsul fibrosis terbentuk
dalam 5-6 minggu. Pembentukan kapsul tersebut diikuti menurunnya gejala karena
berkurangnya ensefalitis dan edema di sekitar abses. Berdasarkan patogenesisnya,
gejala dan tanda klinis dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu :
a. Stadium inisial, demam tidak terlalu tinggi, rasa mengantuk, kehilangan
konsentrasi, kehilangan nafsu makan, nyeri kepala serta malaise, kadang-
kadang mual dan muntah non proyektil.
b. Stadium laten, secara klinis tidak jelas karena gejala berkurang, terdapat
malaise, kurang nafsu makan dan nyeri kepala yang hilang timbul.
c. Stadium manifestasi: kejang fokal atau afasia pada abses lobus temporal, pada
abses serebelum terjadi ataksia atau tremor. Nyeri kepala hebat disertai mual
dan muntah proyektil dianggap khas untuk penyakit intrakranial.
d. Stadium akhir berupa kesadaran menurun dari sopor sampai koma dan akhirnya
meninggal, karena ruptur abses ke dalam sistem ventrikel dan rongga
subarachnoid.
6
Pada kasus ini pasien mengalami abses epidural yang diketahui saat pemeriksaan
CT-Scan yaitu tampak lesi hipodens (5HU) bentuk biconvex pada region
temporoparietal kanan, mendesak dan menyempitkan ventrikel lateralis kanan,
menyebabkan midline shift ke kiri sejauh 1 cm dengan kesan abses epidural
dengan tanda-tanda odema otak ditambah dengan keluhan pasien yaitu sakit
kepala, kejang fokal serta muntah proyektil yang merupakan gejala abses epidural
pada stadium manifestasi. Atas dasar anamnesis dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis abses epidural.
D. Pemeriksaan penunjang
1. Lumbal punksi
Untuk mendiagnosis suatu meningoencephalitis perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa lumbal punksi untuk membedakan suatu infeksi bakteri,
virus atau jamur.
Tabel 1. Perbedaan hasil lumbal punksi pada infeksi bakteri, jamur, virus dan bakteri
Tekanan
(normal 5-15
cmH2O)
Jumlah sel
Glukosa
Protein
Mikroorganisme
Asam laktat
Bakteri Virus Jamur
Meningkat
1000-10.000/ml
PMN
Menurun
>45 mg/dl
Ada
>35 mg/dl
Normal/sedikit
meningkat
<500/ml
MN
Normal
Sedikit meningkat
Tidak didapatkan
<35 mg/dl
7
Gold standar untuk suatu meningoencephalitis adalah lumbal punksi, karena
pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan lumbal punksi maka diagnosis
hanya berdasarkan temuan klinis.
2. Radiografi
a. Foto rontgen
Diagnosis meningoencephalitis tidak dapat ditegakan dengan foto rontgen,
karena pada kasus ini terjadi mastoiditis maka foto rontgen dapat
dilakukan, pada foto rontgen mastoiditis akan tampak gambaran opacity
dengan pembentukan pus, hilangnya selulae mastoid, kolesteatoma, dan
kadang-kadang gambaran abses. Namun pada kasus ini tidak dilakukan
foto rontgen karena sudah dilakukan CT-Scan.
b. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan dengan kontras sangat penting untuk menegakkan
diagnosis abses otak; akan tampak sebagai daerah hipodens dikelilingi
oleh lingkaran yang disebut tanda cincin atau ring sign. Diagnosis pasti
ditegakkan jika ditemukan pus dari tempat abses dengan craniektomi
maupun trepanasi. Untuk mendiagnosis pasti suatu abses otak atau abses
epidural yaitu jika ditemukan pus dari tempat abses, Namun dalam kasus
ini tidak dilakukan craniektomi maupun trepanasi dan juga tidak dilakukan
CT-Scan kepala dengan kontras maka pasien didiagnosis suspek abses
epidural.
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningoencephalitis yaitu penatalaksanaan konservatif dan
operatif.
1. Konservatif
a. Antibiotik
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur
darah dan lumbal punksi guna pemberian antibiotika disesuaikan dengan
8
kuman penyebab. Berikut ini pilihan antibiotika atas dasar umur:
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada
pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri
penyebab serta perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan
respons gejala klinis kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan
akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF akan
menjadi negatif. Beberapa dosis obat antibiotika berdasarkan identifikasi
kuman.
Tabel 2. Beberapa pilihan antibiotika berdasarkan umur dan kuman penyebab
Usia Bakteri penyebab Antibiotik
0-4 minggu
4-12 minggu
3 bulan - 7 tahun
Streptococcus grup B
atau D, E. Coli, L.
momocytogenes, S.
pneumonia
Streptococcus grup B
atau D, E. Coli, L.
momocytogenes, S.
pneumonia, H.
Influenza.
H.Influenzae,
N.meningitides,
S.pneumonia
Ampicilin + cefotaxim
Ampicilin + aminoglycoside
Acyclovir jika herpes simplex
encephalitis
Ampicillin + Cefotaxim/ Cefritriaxone
Chloramfenicol + Gentamycin +
Vancomycin + Dexamethason.
Cefotaxim/ ceftriaxone +Vancomycin
pada S. pneumoniae, resistant
Cephalosporin: Chloramfenicol +
Vancomycin + deksamethason
9
7-50 tahun
>50 tahun
S. pneumoniae
N. meningitides
L.monocytogenes
S. pneumoniae, H.
Influenzae, Species
listeria, P. aeruginosa,
N. meningitides
Cefotaxime/ ceftriaxone + Ampicilin
Chloramfenicol + Trimethoprim/
Sulfamethoxazole
Bila prevalensi S.pneumonia resisten
cephalosporin > 2% diberikan:
Cefotaxim/ ceftriaxone + Vancomycin
Chloramfenicol/ Clindamycin/
Meropenem
Cefotaxim/ ceftriaxone + Ampicillin
Bila prevalensi S. pneumonia resistant
cephalosporin > 2% diberikan:
Cefotaxime/ ceftriaxone +
Vancomycin Ceftazidime.
Tabel 3. Beberapa dosis obat antibiotika berdasarkan kuman
Antibiotik Kuman penyebab Dosis
Penicillin G
Kloramfenicol
H. Influenza,
Pneumococcus,
Staphilococcus non PNC,
Staphylococcus PNC
S. pneumoniae, H.
Influenzae
Dewasa : 20 million unit/ 6 jam (IV)
Anak-anak: 300.000 unit/ kg/ day
(IV) dibagi 3- 4 dosis.
Dewasa : 4 gram/ hari (IV) dibagi 4
dosis
Anak: 100 mg/ kg/ hari (IV) dalam 4
10
Ampicilin
Ciprofloxacin
Cefotaxim
Ceftriaxon
Ceftazidin
Vancomycine
S. Pneumonia, H. Influenzae
P. aeruginosa
Streptococcus,
stafilococcus,
Haemofilus dan
Enterobakteri
H. Influenzae,
N.meningitides,
S.pneumonia
P. aeruginosa
Staphylococcus epidermidis
P. aeruginosa,
dosis
Dewasa : 200 mg/kgBB/ hari (IV)
dalam 4 dosis
Anak-anak: 200 mg/kgBB/ hari
400 mg/hari
Dewasa : 12 gr/ hari (IV)
Neonatus < 1 minggu: 50 mg/kgBB/
12 jam (IV).
Neonatus 1-4 mg: 50 mg/kg/ 8 jam
(IV)
Bayi dan ank-anak: 50-100 mg/kg
setiap 6 atau 8 jam
(IV/IM)
Dewasa: 4 gram/ hari (IV)
Anak: 75 mg/ kg (IV) dibagi 2-3
dosis
6 gram / hari (IV)
Dewasa :2 gr/ hari (IV) selama 21
hari
Anak: 20-40 mg/kg/hari dibagi 2
dosis
6 gram/ hari (IV)
11
Meropenem N. meningitides.
Pemberian antibiotik harus berdasarkan hasil kultur namun pada kasus ini
tidak dilakukan kultur darah maupun LCS maka terapi berdasarkan terapi
empiris, karena penyebab meningoencephalitis pada kasus ini suspek
bacterial maka pemberian antibiotik broad spectrum yang menjadi pilihan.
Pada kasus ini antibiotik yang didapat pasien yaitu meropenem 3x1
gram/IV/hari dan sesuai dengan table 3 yaitu meropenem efektif terhadap
P.aeruginosa yang juga merupakan salah satu kuman penyebab OMSK
selain itu meropenem juga antibiotik broad spectrum jadi meskipun
penyebabnya bukan P.aeruginosa, meropenem ini tetap efektif.
b. Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat
menurunkan penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat
pengkapsulan abses, oleh karena itu penggunaaan secara rutin tidak
dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan
untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang
mengancam dan menimbulkan deficit neurologik fokal. Pada kasus ini
pasien mendapat kortikosteroid yaitu metilprednisolon 3x125 mg/IV/hari
selama 5 hari.
2. Pembedahan
Penanganan fokal infeksi dengan tindakan operatif mastoidektomi.
Pendekatan mastoidektomi harus dapat menjamin eradikasi seluruh jaringan
patologik di mastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi radikal. Tujuan
operasi ini adalah untuk memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang
mungkin digunakan oleh invasi bakteri. Selain itu juga dapat dilakukan
tindakan thrombectomi, jugular vein ligation, perisinual dan cerebellar abcess
drainage yang diikuti antibiotika broad spectrum dan obat-obatan yang
12
mengurangi edema otak yang tentunya akan memberikan outcome yang baik
pada penderita komplikasi intrakranial dari otitis media. Pada kasus ini pasien
tidak dilakukan pembedahan karena keterbatasan fasilitas.
Diskusi
13
1. Definisi
Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan serebrospinal
(CSS) disertai radang pada pia dan araknoid, ruang subaraknoid, jaringan
superfisial otak dan medulla spinalis. Meningoensefalitis adalah meningitis
bakterialis yang disertai dengan peradangan parenkim otak. Pada dasarnya jarang
sekali terdapat meningitis/ensefalitis yang murni. Kebanyakan dalam bentuk
meningoensefalitis.
Pada pasien ini ditemukan tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk yang
merupakan tanda klinis bahwa selaput otak mengalami iritasi; disertai tanda
radang yaitu demam. Selain itu, terjadi pula penurunan kesadaran, sakit kepala dan
kejang yang secara umum berasal dari proses di otak sehingga tidak hanya selaput
otak saja yang terlibat melainkan parenkim otak juga. Dengan demikian,
berdasarkan definisi, kasus ini dapat dikatakan memenuhi kriteria
meningoensefalitis.
2. Faktor resiko
Untuk terjadinya suatu meningoencephalitis tidak mudah karena terdapat
sistem pertahanan diotak berupa sawar darah otak tapi ada keadaan, kelainan atau
penyakit yang memudahkan terjadinya meningoencephalitis antara lain:
a. Infeksi sistemik maupun lokal (septikemia, otitis media supurativa kronik,
demam tifoid, tuberkulosis paru).
b. Trauma dan tindakan tertentu (fraktur basis kranii, pungsi/anestesi lumbal,
operasi/tindakan bedah saraf)
c. Penyakit darah, penyakit hati
d. Pemakaian bahan-bahan yang menghambat pembentukan antibodi (antibody
response)
e. Kelainan yang berhubungan dengan immunosuppression, misalnya
alkoholisme, agamaglobulinemia, diabetes mellitus dan lain-lain.
f. Gangguan/kelaianan obstetrik dan ginekologik.
14
Berdasarkan keadaan yang memudahkan terjadinya meningoencephalitis pada
kasus ini adalah akibat infeksi lokal yaitu otitis media supurativa kronik yang
mengalami komplikasi intracranial.
3. Patofisiologi
OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan
kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membrane timpani tidak intak (perforasi)
dan ditemukan secret (otorea), purulen yang hilang timbul, secret mungkin encer atau
kental, bening atau nanah yang berlangsung lebih dari 2 bulan.
Gejala klinis OMSK yaitu:
a. Telinga berair atau otore
Otore yaitu sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan.
Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk
yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi
membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Pada
OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Pada OMSK tipe
ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena
rusaknya lapisan mukosa secara luas.
e. Gangguan pendengaran
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya
ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada
OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat.
f. Nyeri Telinga (Otalgia)
Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri
dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan
abses otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK.
g. Vertigo
15
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat
erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani
yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.
Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Definisi OMSK ini sesuai dengan anamnesis yaitu pasien mengeluh keluar
cairan dari telinga kanan berwarna kuning cair sedikit kental yang berbau busuk dan
terasa nyeri sejak 1 minggu SMRS disertai bengkak belakang telinga dan terasa nyeri.
Riwayat otore ini sudah dialami berulang sejak 16 tahun yang lalu dan tidak pernah
berobat ke dokter, pasien minum amoksilin dan tetrasiklin yang dibeli diwarung dan
pada pemeriksaan fisik terdapat gangguan pendengaran yang sesuai dengan
pemeriksaan fisik yaitu pada tes Tes Rinne : -/+, tes weber: Lateralisasi ke kanan,
tes swabach: Memendek, kesimpulan tuli konduktif. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik pasien didiagnosis OMSK.
Penyebab OMSK tersering adalah infeksi bakteri terutama bakteri
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Pseudomonas aeroginosa,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Proteus vulgaris, Salmonella,
Mycobacterium, Aspergillus dan Candida.
Komplikasi OMSK terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah
yang normal dilewati sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di
sekitarnya. Pertahanan pertama adalah mukosa kavum timpani, bila sawar ini runtuh
maka struktur lunak disekitarnya akan terkena. Runtuhnya periostium akan
menyebabkan abses periosteal. Apabila infeksi mengarah kedalam, jika ke tulang
temporal akan menyebabkan N. facialis atau labirinitis sehingga pada pemeriksaan
fisik ditemukan parese N. facialis yaitu pada M. orbicularis oris mengalami deviasi ke
16
kanan. Jika kearah cranial maka akan menyebabkan abses ekstradural, abses
epidural, tromboflebitis sinus lateralis, meningoencephalitis dan abses otak.
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi
akan terbentuk. Pada OMSK penyebaran terjadi melalui erosi tulang. Cara
penyebaran lainnya adalah toksin masuk melalui jalan yang sudah ada, misalnya
melalui fenestra rotundum, meatus akustikus internus, duktus perilimfatik, dan duktus
endolimfatik.Cara penyebaran OMSK ke intracranial melalui:
a. Melalui tulang yang sudah erosi akibat resorbsi oleh kolesteatom.
b. Penyebaran tromboflebitis melalui vena-vena kecil dan kanal Haversian, menuju
dura yang dapat menyebar ke serebelum melalui sinus lateral dan ke lobus
temporal melalui sinus petrosus superior.
c. Melalui jalan anatomi yang normal dari oval window atau round window,
akuaduktus vestibular dan di antara sutura tulang temporal.
d. Melalui defek tulang akibat trauma, iatrogenik. atau tindakan bedah atau erosi oleh
tumor.
e. Melalui defek akibat pembedahan pada kavum timpani
Berdasarkan patomekanisme tersebut meningoencephalitis pada kasus ini
terjadi akibat OMSK komplikasi intracranial, yaitu melalui jalan masuknya ke
intracranial yaitu melalui tulang yang sudah erosi akibat resorbsi oleh kolesteatom.
Maupun penyebaran tromboflebitis melalui vena-vena kecil dan kanal Haversian,
menuju dura yang dapat menyebar ke serebelum melalui sinus lateral dan ke lobus
temporal melalui sinus petrosus superior. Dengan cara tersebut bakteri dapat masuk
ke intracranial. Bakteria bisa menyebar ke meningens secara langsung, dari bagian
parameningeal seperti sinus-sinus paranasal dan telinga bagian tengah. Kapsul
polisakharida bakteri, lipopolisakharida, dan lapisan luar protein berperanan untuk
invasi dan virulensi kuman. Bakteri dalam SSP akan mengaktifkan sel lain seperti
mikroglia, yang dapat mensekresi IL-1 dan TNF [tumor necrosis factor] alpha yang
akan dipertahankan sebagai antigen dan dalam jalur imunogenik ke limfosit. Reaksi
imun intra SSP ini memicu sebuah sirkulus sejak perangsangan netrofil untuk
17
melepaskan protease dan mediator toksin lain seperti radikal bebas O2, yang
selanjutnya akan meningkatkan jejas inflamasi pada sawar darah otak, sehingga
memudahkan lebih banyak bakteri dan netrofil yang berada pada sirkulasi untuk
masuk ke cairan serebrospinalis. Akhirnya respon inflamasi yang timbul pada
meningitis bacterial akan mengganggu Sawar Darah Otak [Blood Brain Barier],
menyebabkan vasogenik edema, hidrosefalus dan infark serebral. Sedangkan
mekanisme bagaimana bakteri dapat menembus sawar darah otak sampai saat ini
belum jelas. Adanya komponen dinding sel bakteri yang dilepaskan kedalam cairan
serebrospinal merangsang produksi dari sitokine inflamasi seperti Interleukin 1 dan 6,
prostaglandin dan TNF. Semua faktor inilah yang barangkali menginduksi terjadinya
inflamasi dan kerusakan sawar darah otak.
Karena penyebab terbanyak OMSK adalah bakteri maka pada kasus ini pasien
didiagnosis meningoencephalitis suspek bacterial. dan selain menyebabkan
meningoencephalitis, komplikasi OMSK juga dapat menyebabkan mastoiditis, abses
mastoid, abses epidural sehingga pasien. Untuk mastoiditis dan abses epidural
didiagnosis berdasarkan pemeriksaan CT-Scan yaitu tampak lesi hipodens (5HU)
bentuk biconvex pada region temporoparietal kanan, mendesak dan menyempitkan
ventrikel lateralis kanan, menyebabkan midline shift ke kiri sejauh 1 cm, dengan
kesan: Abses epidural dengan tanda-tanda odema otak disertai ke sinistra + herniasi
subfalcial dan mastoiditis bilateral.
Abses epidural merupakan proses desak ruang ditambah gejala infeksi.
Stadium awal abses otak berupa ensefalitis, yang menimbulkan edema otak dan
peningkatan tekanan intrakranial, menyebabkan gejala mual, nyeri kepala dan
muntah, somnolen dan rasa bingung kadang-kadang disertai delusi dan halusinasi.
Bila penyakit bertambah berat dapat terjadi stupor dan koma. Edema papil mulai
timbul 10-14 hari setelah onset. Pada kasus progresif dapat terjadi herniasi tentoria
atau herniasi tonsil serebelum ditandai dengan fiksasi dan dilatasi pupil dan akhirnya
paralisis pernafasan. Kapsul mulai terbentuk dalam 10-14 hari. Kapsul fibrosis
terbentuk dalam 5-6 minggu. Pembentukan kapsul tersebut diikuti menurunnya gejala
18
karena berkurangnya ensefalitis dan edema di sekitar abses. Kekambuhan terjadi jika
abses berkapsul pecah dan menyebabkan abses satelit; hal tersebut masih dapat terjadi
walaupun telah terbentuk dinding abses fibrosis yang kuat.6 Sekitar 5-10% abses otak
dapat kambuh. Berdasarkan patogenesisnya, gejala dan tanda klinis dapat dibagi
menjadi empat stadia yaitu :
e. Stadium inisial, demam tidak terlalu tinggi, rasa mengantuk, kehilangan
konsentrasi, kehilangan nafsu makan, nyeri kepala serta malaise, kadang-kadang
mual dan muntah non proyektil.
f. Stadium laten, secara klinis tidak jelas karena gejala berkurang, terdapat malaise,
kurang nafsu makan dan nyeri kepala yang hilang timbul.
g. Stadium manifes : kejang fokal atau afasia pada abses lobus temporal, pada abses
serebelum terjadi ataksia atau tremor. Nyeri kepala hebat disertai mual dan muntah
proyektil dianggap khas untuk penyakit intrakranial.
h. Stadium akhir berupa kesadaran menurun dari sopor sampai koma dan akhirnya
meninggal, karena ruptur abses ke dalam sistem ventrikel dan rongga
subarachnoid.
Pemeriksaan CT scan dengan kontras sangat penting untuk menegakkan
diagnosis abses otak; akan tampak sebagai daerah hipodens dikelilingi oleh lingkaran
yang disebut tanda cincin atau ring sign. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan
pus dari tempat abses dengan craniektomi maupun trepanasi.
Untuk mendiagnosis pasti suatu abses otak atau abses epidural yaitu jika
ditemukan pus dari tempat abses, namun dalam kasus ini tidak dilakukan craniektomi
maupun trepanasi dan juga tidak dilakukan CT-Scan kepala dengan kontras maka
pasien didiagnosis suspek abses epidural. Sedangkan abses mastoid, ditegakan
berdasarkan anamnesis, pasien mengeluh bengkak dibelakang telinga dan pada
pemeriksaan fisik ditemukan odema dan hiperemis pada retroaurikuler serta saat
diincisi keluar banyak pus.
Penatalaksanaan meningoencephalitis yaitu penatalaksanaan konservatif dan
operatif.
19
a. Konservatif
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah
dan lumbal punksi guna pemberian antibiotika disesuaikan dengan kuman
penyebab. Berikut ini pilihan antibiotika atas dasar umur: Pemilihan antimikrobial
pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan antibiotika yang dapat
menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta perubahan dari sumber dasar
infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan akan menjadi
lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil kultur
CSF akan menjadi negatif. Beberapa dosis obat antibiotika berdasarkan
identifikasi kuman
Usia Bakteri penyebab Antibiotik
0-4 minggu
4-12 minggu
3 bulan - 7 tahun
Streptococcus grup B
atau D, E. Coli, L.
momocytogenes, S.
pneumonia
Streptococcus grup B
atau D, E. Coli, L.
momocytogenes, S.
pneumonia, H.
Influenza.
H.Influenzae,
N.meningitides,
Ampicilin + cefotaxim
Ampicilin + aminoglycoside
Acyclovir jika herpes simplex
encephalitis
Ampicillin + Cefotaxim/ Cefritriaxone
Chloramfenicol + Gentamycin +
Vancomycin + Dexamethason.
Cefotaxim/ ceftriaxone +Vancomycin
pada S. pneumoniae, resistant
20
7-50 tahun
>50 tahun
S.pneumonia
S. pneumoniae
N. meningitides
L.monocytogenes
S. pneumoniae, H.
Influenzae, Species
listeria, P. aeruginosa,
N. meningitides
Cephalosporin: Chloramfenicol +
Vancomycin + deksamethason
Cefotaxime/ ceftriaxone + Ampicilin
Chloramfenicol + Trimethoprim/
Sulfamethoxazole
Bila prevalensi S.pneumonia resisten
cephalosporin > 2% diberikan:
Cefotaxim/ ceftriaxone + Vancomycin
Chloramfenicol/ Clindamycin/
Meropenem
Cefotaxim/ ceftriaxone + Ampicillin
Bila prevalensi S. pneumonia resistant
cephalosporin > 2% diberikan:
Cefotaxime/ ceftriaxone +
Vancomycin Ceftazidime.
Antibiotik Kuman penyebab Dosis
Penicillin G H. Influenza,
Pneumococcus,
Staphilococcus non PNC,
Staphylococcus PNC
Dewasa : 20 million unit/ 6 jam (IV)
Anak-anak: 300.000 unit/ kg/ day
(IV) dibagi 3- 4 dosis.
21
Kloramfenicol
Ampicilin
Ciprofloxacin
Cefotaxim
Ceftriaxon
Ceftazidin
Vancomycine
S. pneumoniae, H.
Influenzae
S. Pneumonia, H. Influenzae
P. aeruginosa
Streptococcus,
stafilococcus,
Haemofilus dan
Enterobakteri
H. Influenzae,
N.meningitides,
S.pneumonia
P. aeruginosa
Staphylococcus epidermidis
Dewasa : 4 gram/ hari (IV) dibagi 4
dosis
Anak: 100 mg/ kg/ hari (IV) dalam 4
dosis
Dewasa : 200 mg/kgBB/ hari (IV)
dalam 4 dosis
Anak-anak: 200 mg/kgBB/ hari
400 mg/hari
Dewasa : 12 gr/ hari (IV)
Neonatus < 1 minggu: 50 mg/kgBB/
12 jam (IV).
Neonatus 1-4 mg: 50 mg/kg/ 8 jam
(IV)
Bayi dan ank-anak: 50-100 mg/kg
setiap 6 atau 8 jam
(IV/IM)
Dewasa: 4 gram/ hari (IV)
Anak: 75 mg/ kg (IV) dibagi 2-3
dosis
6 gram / hari (IV)
Dewasa :2 gr/ hari (IV) selama 21
hari
22
Meropenem P. aeruginosa,
N. meningitides.
Anak: 20-40 mg/kg/hari dibagi 2
dosis
6 gram/ hari (IV)
Pemberian antibiotik harus berdasarkan hasil kultur namun pada kasus ini
tidak dilakukan kultur darah maupun LCS maka terapi berdasarkan terapi empiris,
karena penyebab meningoencephalitis pada kasus ini yaitu merupakan komplikasi
OMSK intracranial maka terapi.
Pemberian kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri, mengurangi
tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan penetrasi
antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses, oleh karena
itu penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid
sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada
herniasi yang mengancam dan menimbulkan deficit neurologik fokal.
Lebel et al (1988) melakukan penelitian pada 200 bayi dan anak yang menderita
meningitis bacterial karena H. influenzae dan mendapat terapi deksamethason 0,15
mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4 hari, 20 menit sebelum pemberian antibiotika.
Ternyata pada pemeriksaan 24 jam kemudian didapatkan penurunan tekanan CSF,
peningkatan kadar glukosa CSF dan penurunan kadar protein CSF.
Yang mengesankan dari penelitian ini bahwa gejala sisa berupa gangguan
pendengaran pada kelompok yang mendapatkan deksamethason adalah lebih rendah
dibandingkan kontrol. Tunkel dan Scheld (1995) menganjurkan pemberian
deksamethason hanya pada penderita dengan resiko tinggi, atau pada penderita
dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan intrakranial tinggi.
Hal ini mengingat efek samping penggunaan deksamethason yang cukup banyak
seperti perdarahan traktus gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler sehingga
23
menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam
CSF.
1. Pembedahan
Penanganan fokal infeksi dengan tindakan operatif mastoidektomi.
Pendekatan mastoidektomi harus dapat menjamin eradikasi seluruh jaringan
patologik di mastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi radikal. Tujuan
operasi ini adalah untuk memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang
mungkin digunakan oleh invasi bakteri. Selain itu juga dapat dilakukan
tindakan thrombectomi, jugular vein ligation, perisinual dan cerebellar abcess
drainage yang diikuti antibiotika broad spectrum dan obat-obatan yang
mengurangi edema otak yang tentunya akan memberikan outcome yang baik
pada penderita komplikasi intrakranial dari otitis media.
24
namun untuk mendiagnosis suatu meningoencephalitis perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa lumbal punksi untuk membedakan suatu
infeksi bakteri, virus atau jamur.
Tekanan
(normal 5-15
cmH2O)
Jumlah sel
Glukosa
Protein
Mikroorganisme
Asam laktat
Bakteri Virus Jamur
Meningkat
1000-10.000/ml
PMN
Menurun
>45 mg/dl
Ada
>35 mg/dl
Normal/sedikit
meningkat
<500/ml
MN
Normal
Sedikit meningkat
Tidak didapatkan
<35 mg/dl
Gold standar untuk suatu meningoencephalitis adalah lumbal punksi, karena pada
kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan lumbal punksi maka diagnosis hanya
berdasarkan temuan klinis.
25