Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan ...documents.worldbank.org/curated/en/... ·...
Transcript of Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan ...documents.worldbank.org/curated/en/... ·...
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur
Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012
Analisis K
euangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 M
eningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan K
euangan Daerah di G
erbang Indonesia Timur
Edisi Workshop
Laporan ini dicetak menggunakan kertas daur ulang
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
1
Analisis Keuangan Publik
Provinsi Sulawesi Selatan 2012
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik
dan Pengelolaan Keuangan Daerah
di Gerbang Indonesia Timur
ii
UCAPAN TERIMA KASIHUCAPAN TERIMA KASIHUCAPAN TERIMA KASIHUCAPAN TERIMA KASIH
Laporan ini disusun atas kerja sama antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, CIDA, AUSAid, dan Bank
Dunia. Terima kasih kepada tim peneliti yang dikepalai oleh A. Madjid Sallatu, beranggotakan Agussalim,
Darmawan Salman, St. Bulkis Oesman, Budimawan, Rahim Darma, Nursini, Sultan Suhab, A. Tawakkal,
Muhammad Yunus, dan Djunaidi M. Dachlan. Terima kasih pula kepada tim data P3KM yang
beranggotakan Sanusi Fattah, A. Amrullah, Abdullah Sanusi, A.Nixia Tenriawaru, dan A. Abdul Azis
Ishak. Pengelolaan penelitian oleh P3KM dikoordinasi oleh Djunaidi M. Dahlan, dibantu oleh Agussalim
sebagai sekretaris, dan Nursini yang membantu untuk administrasi. Tim Bank Dunia dipimpin oleh
Guntur Sutiyono dan Bastian Zaini, dibantu oleh Erryl Davy, Ihsan Haerudin, Indira Maulani Hapsari,
Chandra Sugarda, Andhika Maulana, dan A. M. Rezky Mulyadi. Terima kasih kepada Luna Vidya yang
telah mengkoordinasikan kegiatan komunikasi PEACH di Sulawesi Selatan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada anggota Project Management Committe (PMC) yang telah
aktif berpartisipasi memberi masukan selama proses pembuatan laporan, dinas-dinas dan pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang berkontribusi dalam pengumpulan data. Tim
menyampaikan terima kasih atas dukungan yang diberikan oleh Kepala BAPPEDA Provinsi Sulawesi
Selatan, Bapak Tan Malaka Guntur sebagai Ketua PMC. Terima kasih dan apresiasi kami berikan kepada
Kepala Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Muhammad Firda sebagai
Sekretaris PMC, dan Bapak.
Arahan pembuatan laporan ini diberikan oleh Gregorius D.V. Pattinasarany dan Amin Subekti. Terima
kasih kepada Cut Dian Rahmi Agustina, Ahmad Zaki Fahmi, serta rekan-rekan dari World Bank dan CIDA
atas saran dan masukannya. Terima kasih juga kami berikan kepada Sarah Sagitta Harmoun atas
dukungan logistiknya. Tak lupa apresiasi kami sampaikan untuk Caroline Tupamahu dan Yayasan BaKTI
yang memfasilitasi PEACH di Sulawesi Selatan.
iii
KATA PENGANTARKATA PENGANTARKATA PENGANTARKATA PENGANTAR
Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang memegang peranan penting di kawasan timur Indonesia. Ibu
Kotanya, Makassar sudah menjadi jantung perdagangan dan distribusi di kawasan ini secara turun
temurun. Sulawesi Selatan selama ini berperan sebagai salah satu lumbung pangan nasional dengan
produk utama seperti beras, jagung, dan kakao. Kini Provinsi Sulawesi Selatan bergerak maju dengan
produksi ternak sapi dan rumput lautnya. Dalam lima tahun terakhir, Sulawesi Selatan menikmati
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan nasional, yang didorong oleh
pertumbuhan pada sektor konstruksi, Jasa keuangan, dan Pengangkutan.
Walaupun memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kapasitas fiskal yang semakin besar, Provinsi
Sulawesi Selatan masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan, salah satunya adalah tantangan
kemiskinan. Selain itu, pendidikan dan kesehatan juga merupakan tantangan dalam upaya
meningkatkan angka Indeks Pembangunan Manusianya. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah di Sulawesi
Selatan perlu berupaya keras dalam mengoptimalkan potensinya tersebut. Pertumbuhan ekonomi akan
mendorong arus perpindahan sehingga investasi di sektor infrastruktur dan penyediaan layanan dasar
akan menjadi sangat penting.
Laporan ini merupakan sebuah upaya untuk membantu Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan
dalam meningkatkan kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, meningkatkan kualitas perencanaan dan
penganggaran, dan berkontribusi dalam kinerja pembangunannya. Laporan ini merupakan hasil
kerjasama yang erat antara Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, serta dukungan dari CIDA,
AusAID, dan Bank Dunia. BAPPEDA Provinsi Sulawesi Selatan berperan penting dalam memfasilitasi
seluruh proses pembuatan laporan ini.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi
Selatan. Kami juga berharap laporan ini dapat menjadi sumbangsih pengetahuan bgi pemerintah daerah
di provinsi lain, para pemangku kepentingan di pusat dan daerah, serta pemerhati keuangan dan
pembangunan daerah. Di masa yang akan datang, peran Provinsi Sulawesi Selatan akan menjadi
semakin penting, dan kami berharap laporan ini dapat berkontribusi kepada pengelolaan keuangan
daerah dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
DR. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, MSi, MH Stefan G. Koeberle
Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Kepala Perwakilan Bank Dunia Indonesia
iv
DAFTAR ISIDAFTAR ISIDAFTAR ISIDAFTAR ISI
Ucapan Terima Kasih ..................................................................................................................................................... ii
Kata Pengantar ............................................................................................................................................................. iii
Daftar Isi ....................................................................................................................................................................... iv
Daftar Gambar .............................................................................................................................................................. vi
Daftar Tabel .................................................................................................................................................................. ix
Daftar Kotak ................................................................................................................................................................... x
Daftar Istilah ................................................................................................................................................................. xi
Ringkasan Eksekutif ...................................................................................................................................................... 1
1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan .................................................................................................... 2
2. Pendapatan dan Belanja Daerah ...................................................................................................................... 2
3. Kinerja Sektor Strategis .................................................................................................................................... 3
4. Gender dan Isu Strategis Lainnya ..................................................................................................................... 5
5. Rekomendasi Pembangunan ............................................................................................................................ 5
Bab 1 Pendahuluan ................................................................................................................................................ 9
1.1 Perkembangan Daerah ............................................................................................................................... 10
1.2 Kondisi Perekonomian Daerah ................................................................................................................... 11
1.3 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan ................................................................................................... 16
1.4 Kondisi Pembangunan Manusia ................................................................................................................. 20
1.5 Arah Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah ..................................................................... 21
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah ............................................................... 23
2.1 Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah ........................................................................................... 24
2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ........................................... 27
2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) ................................................................................ 31
2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan Anggaran Daerah ..................................................................... 33
2.5 Pengukuran Kinerja dan Pengelolaan Keuangan Daerah .................................................................................. 35
2.6 Hasil Analisa Pengelolaan Keuangan Daerah .................................................................................................... 39
2.7 Kesimpulan dan Rekomendasi .......................................................................................................................... 41
Bab 3 Pendapatan Daerah ................................................................................................................................... 43
3.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan ................................................................................ 44
3.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ......................................................................................................................... 47
3.3. Dana Perimbangan ........................................................................................................................................... 49
3.4. Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah ............................................................................................................. 52
3.5. Pembiayaan Daerah ......................................................................................................................................... 52
3.6. Kesimpulan dan Rekomendasi ......................................................................................................................... 54
Bab 4 Belanja Daerah ........................................................................................................................................... 55
4.1. Gambaran Umum Belanja Daerah ................................................................................................................... 56
4.2. Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi ............................................................................................................... 58
4.3. Belanja Menurut Sektor ................................................................................................................................... 61
4.4. Hubungan Belanja dengan Gender .................................................................................................................. 64
4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi ......................................................................................................................... 67
Bab 5 Analisis Sektor Strategis ............................................................................................................................. 69
5.1. Analisis Sektor Pendidikan............................................................................................................................... 70
5.2 Analisis Sektor Kesehatan ................................................................................................................................. 88
v
5.3 Analisis Sektor Infrastruktur .............................................................................................................................. 99
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan ................................................................................................................... 111
Belanja Sektor Pertanian ....................................................................................................................................... 112
Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Pertanian ......................................................................................................... 114
6.1. Komoditas Jagung .......................................................................................................................................... 115
6.2. Komoditas Kakao ........................................................................................................................................... 118
6.3. Komoditas Sapi .............................................................................................................................................. 121
6.4. Komoditas Rumput Laut ................................................................................................................................ 122
6.5. Komoditas Udang .......................................................................................................................................... 125
Bab 7 Analisis Isu Daerah ................................................................................................................................... 129
7.1 Analisis Kemiskinan ......................................................................................................................................... 130
7.2. Analisis Lingkungan Hidup .............................................................................................................................. 138
7.3. Analisis Gender ............................................................................................................................................... 142
Lampiran ........................................................................................................................................................... 149
Lampiran A. Apakah yang dimaksud dengan Analisis Belanja Pemerintah Sulawesi Selatan? ............................. 150
Lampiran B: Catatan Metodologi ......................................................................................................................... 151
Lampiran C : Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi ............................................................................................ 152
Lampiran D. Master Table ..................................................................................................................................... 160
vi
DAFTAR DAFTAR DAFTAR DAFTAR GAMBARGAMBARGAMBARGAMBAR
Gambar 1.1. Posisi Makassar Berada di Tengah-Tengah Indonesia (center point of Indonesia) ................................. 10
Gambar 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat dan Lebih Tinggi
dari Pertumbuhan Ekonomi Nasional ...................................................................................................... 11
Gambar 1.3.PDRB per Kapita Sulawesi Selatan Masih Berada di Bawah Angka Nasional ........................................... 15
Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 ..................................................... 15
Gambar 1.5. Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Selatan Rata-Rata 1,3 Persen ........................................................... 16
Gambar 1.6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ........................................... 17
Gambar 1.7. Tenaga Kerja Perempuan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan, 2009 .................................... 19
Gambar 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 ............................ 19
Gambar 1.9. IPM Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat Tetapi Masih Dibawah Rata-Rata Nasional dan
Masih Senjang Dengan Target RPJMD ..................................................................................................... 20
Gambar 1.10. Posisi IPM Sulawesi Selatan Menempati Posisi Relatif Rendah Dibanding IPM Provinsi Lain di
Indonesia Tahun 2009 .............................................................................................................................. 21
Gambar 2.1. Konsistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan Renstra
SKPD di Sulawesi Selatan ......................................................................................................................... 28
Gambar 2.2. Alur pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah ................................................. 31
Gambar 2.3. Proses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007,
dari RKPD Menuju RAPBD) ....................................................................................................................... 33
Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran .......................... 36
Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah ....................................................................................... 37
Gambar 2.6. Skor PKD Pemerintah Daerah yang Disampel di Sulawesi Selatan ......................................................... 40
Gambar 3.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 .................................................. 44
Gambar 3.2. Komposisi Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 .......................................................... 45
Gambar 3.3. Komposisi Pendapatan per Kapita Daerah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ......... 46
Gambar 3.4. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 ......................................................... 47
Gambar 3.5. Perbandingan Komposisi PAD per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 .......................... 48
Gambar 3.6. Komposisi Dana Perimbangan Sulawesi Selatan, 2005-2011 ................................................................. 49
Gambar 3.7. Perbandingan DAU di Sulawesi Selatan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan ........................................ 50
Gambar 3.8. Perbandingan Komposisi Dana Perimbangan per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di
Sulawesi Selatan, 2010............................................................................................................................. 51
Gambar 3.9. Perkembangan Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi
Selatan, 2005-2010 .................................................................................................................................. 52
Gambar 3.10. Perkembangan Surplus/Defisit APBD Sulawesi Selatan, 2005-2011 .................................................... 53
Gambar 4.1. Perkembangan Belanja Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ........................................ 56
Gambar 4.2. Perkembangan Dana APBN/PHLN yang Dikelola Oleh Instansi Vertikal di Sulawesi Selatan,
2007-2010 ................................................................................................................................................ 57
Gambar 4.3. Belanja per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 .............................................................. 57
Gambar 4.4. Belanja Pegawai Mendominasi Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ................................... 59
Gambar 4.5. Porsi Belanja Klasifikasi Ekonomi Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ......... 60
Gambar 4.6. Perkembangan Belanja Daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan berdasarkan
Sektor, 2007-2011 .................................................................................................................................... 61
Gambar 4.7. Belanja Transfer Mendominasi Belanja Provinsi dan Cenderung Naik, Sementara di Kabupaten
Proporsi Belanja Pendidikan Telah Melewati Belanja Pemerintahan. ..................................................... 63
Gambar 4.10. Perkembangan Anggaran Responsif Gender Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi dan
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2007-2011 .................................................................................... 65
Gambar 4.11. Belanja klasifikasi ekonomi badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Sulawesi
Selatan, 2010-2011 .................................................................................................................................. 66
vii
Gambar 4.12. Besaran Alokasi Belanja pada Program-Program yang Terkait Dengan PUG Ditingkat Provinsi
Bervariasi ................................................................................................................................................. 67
Gambar 5.1. Total Belanja Pendidikan dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ............................ 70
Gambar 5.2. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ......... 71
Gambar 5.3. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Kabupaten/Kota dan Provinsi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ........ 72
Gambar 5.4. Rasio Sekolah dan Guru Terhadap Murid Menurut Jenjang Pendidikan di Sulawesi Selatan,
2005-2010 ................................................................................................................................................ 73
Gambar 5.5. Komparasi Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2010*) ......................... 73
Gambar 5.6. Komparasi Angka Rata-Rata Lama Sekolah di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2006-2010 .................... 74
Gambar 5.7. Komparasi Angka Melek Huruf di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 ....................................... 75
Gambar 5.8. Posisi Angka Melek Huruf Sulawesi Selatan Secara Nasional, 2010*) .................................................... 75
Gambar 5.9. Angka Melek Huruf Laki-Laki Lebih Tinggi Dibandingkan Perempuan, 2005-2010................................. 76
Gambar 5.10. Belanja Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ........................................... 77
Gambar 5.11. Belanja Pendidikan Menurut Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ............ 77
Gambar 5.12. Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 .................................... 79
Gambar 5.13. Angka melek huruf menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2009 ............................................ 79
Gambar 5.14. Skema Alur Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan .............................................................. 82
Gambar 5.15. Total Belanja Kesehatan dan Total Belanja Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 ............................... 88
Gambar 5.16. Perbandingan Komposisi Belanja Kesehatan Menurut Jenis Belanja Antara Provinsi dan
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ............................................................................................. 89
Gambar 5.17. Jumlah Fasilitas Kesehatan dan Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 Penduduk
di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ............................................................................................................... 89
Gambar 5.18. Komparasi Angka Harapan Hidup di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 ................................ 90
Gambar 5.19. Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan, 2005-2009.......................................................................... 90
Gambar 5.20. Angka Kematian Ibu di Sulawesi Selatan, Tahun 2005-2009 per 100.000 Penduduk ........................... 91
Gambar 5.21. Belanja kesehatan riil per kapita menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011. ...................... 92
Gambar 5.22. Belanja Kesehatan Menurut Klasifikasi Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ......... 93
Gambar 5.23. Total Belanja Sektor Infrastruktur dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 .......... 100
Gambar 5.24. Belanja Sektor Infrastruktur Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 .............. 101
Gambar 5.25. Belanja Infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun 2010 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi ................... 101
Gambar 5.26. Jumlah Penumpang dan barang yang Melalui Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar ................ 103
Gambar 5.27. Perbandingan Ketersediaan Prasarana Jalan di Sulawesi Selatan, 2007 dan 2010 ............................ 103
Gambar 5.28. Proporsi panjang dan kondisi jaringan jalan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 .................................... 104
Gambar 5.29. Capaian Indikator Infrastruktur Dasar di Pulau Sulawesi, 2009 ......................................................... 105
Gambar 5.30. Akses Perempuan Terhadap Air Bersih, Sanitasi dan Listrik di Sulawesi Selatan ............................... 105
Gambar 5.31. Sawah Irigasi di Sulawesi Selatan, 2006-2010 .................................................................................... 107
Gambar 5.32. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Irigasi di Sulawesi Selatan, 2007-2011 .................................... 107
Gambar 5.33. Belanja Infrastruktur per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2010 ........................... 108
Gambar 5.34. Kabupaten Pemekaran Luwu Utara dan Luwu Timur Memiliki Kualitas Jalan yang Lebih Baik .......... 109
Gambar 5.35. Daerah Perkotaan Memiliki Cakupan Infrastruktur Dasar yang Lebih Baik ........................................ 109
Gambar 6.1. Belanja Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan ........................................................................................ 112
Gambar 6.2. Belanja Sektor Pertanian Menurut Klasifikasi Ekonomi (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di Sulawesi
Selatan, 2005-2011 ................................................................................................................................ 113
Gambar 6.3. Alokasi belanja sektor pertanian provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan klasifikasi ekonomi di
Sulawesi Selatan, 2010........................................................................................................................... 113
Gambar 6.4. Belanja pertanian riil kabupaten/kota di Sulawesi Selatan .................................................................. 114
Gambar 6.5. Perkembangan Produksi Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ..................... 116
Gambar 6.6. Luas Areal Pertanaman Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ....................... 116
Gambar 6.7. Lahan, produksi, dan Produktivitas Kakao Sulawesi Selatan 2010. ...................................................... 119
Gambar 6.8. Perkembangan Populasi Sapi Potong/ Perah di Sulawesi Selatan, 2005-2009. .................................... 122
Gambar 6.9. Produksi Rumput Laut Jenis G. verrucosa dan E. cottoni, 2006-2010 ................................................... 123
viii
Gambar 6.10. Produksi Rumput Laut di Lima Kabupaten Tahun 2010. ..................................................................... 124
Gambar 6.11. Kontribusi 5 Kabupaten Penghasil Utama Cenderung Menurun Hingga 2009, Tetapi Meningkat Pesat
di Tahun 2010. ....................................................................................................................................... 124
Gambar 6.12. Produksi Udang Menurut Kategori Jenis, 2006-2010 ......................................................................... 126
Gambar 7.1. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Selatan dan Indonesia, 2006-2010 ....................... 130
Gambar 7.2. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Indonesia, 2010 ........................................ 131
Gambar 7.3. Komparasi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Pulau Sulawesi, 2010 ............ 131
Gambar 7.4. Penyebaran Penduduk Miskin Menurut Wilayah di Sulawesi Selatan, 2010 ........................................ 132
Gambar 7.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan, 2006-
2010 ....................................................................................................................................................... 132
Gambar 7.6. Angka Koefisien Gini di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 ..................................................... 133
Gambar 7.7. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 .................................. 134
Gambar 7.8. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan
di Sulawesi Selatan ................................................................................................................................. 136
Gambar 7.9. Belanja Urusan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan, 2007-2009 ..................................................... 139
Gambar 7.10. Terumbu karang di Sulawesi Selatan dan Indonesia Sebagian Besar Dalam Kondisi Rusak. .............. 140
Gambar 7.11. Perkembangan IPM dan IPG Sulawesi Selatan, 2005-2010 ................................................................ 142
Gambar 7.12. Perkembangan IDG Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005 – 2009 ...................................................... 143
Gambar 7.13 Indeks Pembangunan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota diProvinsi Sulawesi Selatan ........................ 143
Gambar 7.14 Indeks Pemberdayaan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan ...................... 144
Gambar 7.15. Tingkat Serapan Angkatan Kerja Perempuan di Sulawesi Selatan 2005 - 2009 .................................. 145
ix
DAFTAR TABELDAFTAR TABELDAFTAR TABELDAFTAR TABEL
Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan Terus Meningkat
Nilainya Tetapi Transformasi Strukturalnya Lambat (Miliar Rp) ................................................................ 12
Tabel 1.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan di Sulawesi Selatan 2005-2010 Didominasi
oleh Konsumsi Rumah Tangga Dimana Konsumsi Swasta Masih Rendah (Miliar Rp) ............................... 13
Tabel 1.3. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Berdasarkan Harga Konstan (Juta Rp) .................. 14
Tabel 1.4. Perkembangan Nilai Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sulawesi Selatan 2005-2010 ............................. 16
Tabel 1.5. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2009 ................................... 17
Tabel 1.6. Banyaknya Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Berdasarkan Bidang Usaha di Sulawesi
Selatan, 2005-2009 .................................................................................................................................... 18
Tabel 1.7. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Panjang Dikerangkakan Untuk Mewujudkan
Sulawesi Selatan Sebagai Daerah Terkemuka Dengan Pendekatan Kemandirian Lokal dan Bernafaskan
Keagaman .................................................................................................................................................. 22
Tabel 1.8. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Menengah Sulawesi Selatan Dikerangkakan Untuk
Mewujudkan Kinerja Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat yang Terkemuka di Indonesia......................... 22
Tabel 2.1. Penjabaran Agenda Pembangunan RPJMN Dalam RPJMD Sulawesi Selatan ............................................. 24
Tabel 2.2. Penjabaran Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN kepada RPJMD Sulawesi Selatan ............................... 25
Tabel 2.3. Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN yang Masih Kurang Tegas Dijabarkan Kedalam RPJMD Sulawesi
Selatan Serta Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan yang Bukan Merupakan
Penjabaran dari RPJMN ............................................................................................................................. 26
Tabel 2.4. Katerkaitan agenda pembangunan dalam RPJMN dan RPJMD provinsi/kabupaten/kota di Sulawesi
Selatan ....................................................................................................................................................... 27
Tabel 2.5. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan
Renstra SKPD Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan 2008-2013 .................................................................... 29
Tabel 2.6. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Bercirikan Perdesaan Dalam RPJMD Luwu Utara
2005-2010 dan Renstra SKPD Dinas Pertanian Luwu Utara 2005-2010 .................................................... 29
Tabel 2.7. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Perkotaan Dalam RPJMD Makassar 2009-2014
dan Renstra SKPD Dinas Kesehatan Makassar 2009-2014 ........................................................................ 30
Tabel 2.8. Program prioritas dalam Renja Dinas Kesehatan 2010 dan APBD Sulawesi Selatan 2010 ......................... 34
Tabel 2.9. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ................... 38
Tabel 2.7. Capaian Skor PKD Daerah yang Disampel Dalam 9 Bidang yang Dianalisa ................................................. 41
Tabel 3.1. Komposisi Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,
2005-2011 .................................................................................................................................................. 51
Tabel 5.1. APS Menurut Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2006-2009...................................................................... 74
Tabel 5.2. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi
Selatan, 2005-2009 .................................................................................................................................... 76
Tabel 5.3. Rasio Murid-Sekolah dan Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan Berdasarkan Kabupaten/Kota di
Sulawesi Selatan, 2010 .............................................................................................................................. 78
Tabel 5.4. Angka Melek Huruf Menurut Kelompok Umur di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 .................. 80
Tabel 5.5. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di
Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009 ................................................................................................... 81
Tabel 5.6. Capaian Indikator Dasar Kesehatan di Sulawesi Tahun 2009 ..................................................................... 91
Tabel 5.7. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi
Selatan, 2005-2009 .................................................................................................................................... 92
Tabel 5.8. Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ..... 94
Tabel 5.9. Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan menurut kelompok pendapatan di
kabupaten/kota Sulawesi Selatan, 2009 .................................................................................................... 95
x
Tabel 5.10. Alokasi Anggaran Bantuan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,
2009-2011 .................................................................................................................................................. 96
Tabel 5.11. Frekuensi Penerbangan, Jumlah Penumpang, dan Barang yang Melalui Bandar Udara Sultan
Hasanuddin Meningkat ............................................................................................................................ 102
Tabel 6.1. Target Produksi Komoditas Prioritas yang Direncanakan Hingga Tahun 2013 ......................................... 115
Tabel 6.2. Tingkat Produktivitas Komoditas Jagung di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ............................................... 117
Tabel 6.3. Produksi Kakao Sulawesi Selatan Tahun 2006 Hingga 2010 Berfluktuasi ................................................ 119
Tabel 6.4. Program Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan, 2006 – 2010........................................................... 120
Tabel 6.5. Belanja Anggaran Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan Mayoritas Berasal dari APBN ................... 120
Tabel 6.6. Produksi, Luas Tambak dan Produktivitas Udang di Sulawesi Selatan, 2010 ............................................ 126
Tabel 7.1. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan
di Sulawesi Selatan, 2005 -2009 ........................................................................................................... 133
Tabel 7.2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ...................... 135
Tabel 7.3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Persentase Kontribusi Perempuan Dalam
Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan ........................................................................ 145
Tabel 7.4. Rata-rata Alokasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan Nafkah
Rumah Tangga Dalam Sehari, 2011 ......................................................................................................... 146
DAFTAR KOTAKDAFTAR KOTAKDAFTAR KOTAKDAFTAR KOTAK
Kotak 5.1. Aturan Variabel Perhitungan Besaran Bantuan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 ................... 83
Kotak 5.2. Aturan Penggunaan Dana Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 ................................................... 84
Kotak 5.3. Kabupaten Luwu Timur dan Pendidikan Gratis .......................................................................................... 85
Kotak 5.4: Kebijakan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan ........................................................................................ 97
xi
DAFTAR ISTILAHDAFTAR ISTILAHDAFTAR ISTILAHDAFTAR ISTILAH
ABK Anggaran Berbasis Kinerja
AKB Angka Kematian Bayi
AKI Angka Kematian Ibu
APBD Anggaran Penerimaan Belanja Daerah
APS Angka Partisipasi Sekolah
COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Program
BLHD Badan Lingkungan Hidup Daerah
DAS Daerah Aliran Sungai
DPA Daftar Pengisian Anggaran
Gerbang Emas Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Gerhan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Gernas Gerakan Nasional. Bagian dari Gerakan Nasional Kakao
Grateks-2 Gerakan Ekspor Dua Kali Lipat
IPM Indeks Pembangunan Manusia
KUA/PPA Kebijakan Umum Anggaran/Prioritas dan Plafon Anggaran
LKPD Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Musrenbang Musyawarah Perencanaan Pembangungan
P3KM Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen
PDRB Pendapatan Domestik Regional Bruto
PMA Penanaman Modal Asing
PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri
PUG Pengarusutamaan Gender
PUN Program Udang Nasional
Renja Rencana kerja
Renstra Rencana Strategis
RKA Rencana Kerja Anggaran
RKPD Rencana Kerja Pemerintah Daerah
RMS Rasio Murid Sekolah
RMG Rasio Murid Guru
RPJMD/N Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/Nasional
SKPD Satuan Kerja Perangkat Dinas
SiLPA Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
SPPD/N Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah/Nasional
TAPD Tim Anggaran Pemerintah Daerah
TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
TPT Tingkat Pengangguran Terbuka
UMKM Usaha Masyarakat Kecil Menengah
UKL Upaya Pengelolaan Lingkungan
UPL Upaya Pemantauan Lingkungan
USD United States Dollar (Dollar Amerika Serikat)
2
2 Ringkasan Eksekutif
1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan
Sulawesi Selatan semakin memainkan peran penting dan strategis bagi perkembangan Kawasan Timur
Indonesia dan Indonesia. Provinsi ini terletak di tengah wilayah Indonesia dengan luas 45.764,53
kilometer persegi, jumlah penduduk 8,032,551 jiwa (2010), terdiri dari 21 kabupaten dan tiga kota.
Posisi tersebut menempatkannya sebagai pintu gerbang bagi Kawasan Timur Indonesia melalui
perhubungan laut (Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar), perhubungan darat (Kota Makassar sebagai
titik awal jalur darat trans-Sulawesi kearah Sulawesi Utara), dan perhubungan udara (Bandar Udara
Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar). Provinsi ini juga berperan penting sebagai lumbung
pangan nasional dan pusat perkembangan kakao di Indonesia.
Sulawesi Selatan mengalami perkembangan sosial ekonomi yang pesat dalam lima tahun terakhir.
Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi peningkatan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
pergeseran struktur PDRB, pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi, perbaikan penanaman modal,
penurunan angka kemiskinan dan penurunan angka pengangguran, dalam kondisi pertumbuhan
penduduk yang cukup tinggi. Perkembangan ini berlangsung dalam kondisi membaiknya pelayanan
publik, meningkatnya belanja pemerintah daerah, dan meningkatnya pembangunan infrastruktur.
Kualitas manusia merupakan tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan sebagai salah satu indikator kualitas sumber daya
manusia, telah meningkat secara signifikan dan telah bergeser dari urutan 23 ke urutan 19 secara
nasional. Capaian ini tetap membutuhkan perbaikan terus menerus, seperti halnya indikator sosial
ekonomi yang lain, guna mencapai kualitas sumber daya manusia yang lebih baik.
Perekonomian Sulawesi Selatan didorong oleh sektor pertanian melalui komoditas unggulannya.
Dalam lima tahun terakhir, sektor pertanian menyumbang hampir separuh PDRB provinsi dan menyerap
29 persen tenaga kerja (2009). Ini menunjukkan bahwa perekonomian Sulawesi Selatan masih ditopang
oleh produk primer dan sumber daya manusia di pertanian tradisional. Tantangan dalam mengelola
komoditas unggulan seperti kakao, komoditas pangan (padi dan jagung), serta komoditas kelautan
(perikanan dan rumput laut) harus dihadapi dengan berorientasi pada agro industri dan agribisnis.
Konsistensi dan keterkaitan antara dokumen perencanaan dan penganggaran menunjukkan arah yang
semakin membaik. Secara umum, alokasi anggaran pemerintah daerah sejalan dengan perencanaannya.
Meski demikian, beberapa aspek perencanaan dan penganggaran masih perlu ditingkatkan. Pemerintah
daerah untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada aspek penganggaran dibandingkan
perencanaan dan konsistensinya. Beberapa inkonsistensi ditemukan pada tingkat yang berbeda,
keterlambatan penyusunan RPJPD, dan masih adanya penetapan indikator dan target kinerja yang
belum cermat.
2. Pendapatan dan Belanja Daerah
Antara tahun 2005 hingga 2010, pendapatan meningkat dua kali lipat, tetapi masih sangat bergantung
pada transfer dari pusat. Selama periode tersebut, pendapatan tumbuh sebesar 76 persen mencapai
3
3 Ringkasan Eksekutif
hampir Rp. 16 triliun. Pendapatan pemerintah kabupaten/kota tumbuh 13 persen per tahun, sementara
pendapatan pemerintah provinsi tumbuh 9 persen per tahun. Transfer pusat menyumbang 76 persen
pendapatan di Sulawesi Selatan, hingga mencapai Rp. 11 triliun pada tahun 2010. Hanya 7 persen dari
pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sementara 58 persen pendapatan pemerintah provinsi berasal dari PAD.
Daya serap anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tergolong rendah. Rendahnya daya
serap ditandai oleh besarnya Sisa Lebih Perhitungan Angggaran (SiLPA) tahun anggaran, dimana SiLPA
tahun sebelumnya mendominasi sumber penerimaan pembiayaan tahun berjalan, baik pada pemerintah
provinsi maupun kabupaten/kota. Pada pemerintah kabupaten/kota, proporsi SiLPA tahun sebelumnya
terhadap penerimaan pembiayaan tahun berjalan mencapai 87 persen (2007), meskipun cenderung
menurun menjadi 50 persen pada tahun 2010. Sedangkan pada pemerintah provinsi, seluruh
penerimaan pembiayaan bersumber dari SiLPA (2010).
Sulawesi Selatan perlu meningkatkan kualitas komposisi anggarannya. Hampir separuh belanja
pemerintah di Sulawesi Selatan (49 persen) digunakan untuk belanja pegawai, sementara belanja modal
menghabiskan 26 persen dari total anggaran. Belanja terbesar pemerintah provinsi adalah transfer ke
daerah bawahan (37 persen), belanja ini sebagian besar digunakan untuk Program Kesehatan Gratis dan
Pendidikan Gratis. Belanja pendidikan mendominasi belanja pemerintah kabupaten kota, sebesar 33
persen dari total belanja. Alokasi belanja untuk program-program terkait kesetaraan gender di Sulawesi
Selatan juga masih rendah.
3. Kinerja Sektor Strategis
Sektor Pendidikan
Peningkatan belanja pendidikan diikuti pula dengan peningkatan capaian. Belanja pendidikan tumbuh
sebesar 27 persen per tahun, di mana tiga perempatnya digunakan untuk belanja pegawai. Rasio guru-
murid dan rasio sekolah-murid telah membaik di semua jenjang pendidikan. Angka melek huruf
meningkat dari 85 (2005) menjadi 88 (2010), meskipun masih jauh tertinggal dari angka nasional, 93
(2010). Angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah di perkotaan lebih baik dibanding di kabupaten di
mana Makassar, Palopo, dan Pare-pare memiliki angka yang tertinggi. Siswa perempuan cenderung
memiliki lama sekolah yang lebih sedikit ketimbang siswa laki-laki, meskipun angka partisipasi sekolah
perempuan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini menunjukkan bawa Sulawesi Selatan
menghadapi tantangan dalam penyediaan layanan pendidikan di pedesaan dan kepada siswa
perempuan.
Kebijakan pendidikan gratis telah meningkatkan sinergi provinsi dengan kabupaten/kota dalam
pembiayaan pendidikan. Kebijakan pendidikan gratis telah meningkatkan kapasitas provinsi dan
kabupaten/kota dalam bersinergi membiayai pelayanan pendidikan. Kebijakan pendidikan gratis, sesuai
dengan tujuannya, telah meringankan beban anak usia sekolah yang telah mengakses pendidikan,
meskipun belum efektif menarik yang belum terjangkau untuk masuk ke bangku sekolah. Kebijakan ini
telah memenuhi amanah untuk memenuhi hak dasar rakyat atas akses pendidikan, khususnya penduduk
4
4 Ringkasan Eksekutif
usia sekolah yang telah mengakses bangku sekolah, tetapi belum mendorong secara efektif anak usia
sekolah yang terhalang ke sekolah karena membantu mencari nafkah keluarga atau karena faktor
geografis.
Sektor Kesehatan
Indikator dasar kesehatan membaik seiring dengan peningkatan belanja kesehatan. Belanja kesehatan
di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 mencapai Rp. 1,7 triliun, di mana 48 persennya digunakan untuk
belanja pegawai. Proporsinya terhadap total belanja tidak berubah (9 persen). Beberapa perbaikan telah
dicapai. Rasio fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan per 10.000 penduduk meningkat dari 2,2 (2005)
menjadi 2,7 (2009) dan dari 15 (2005) menjadi 16,5 (2009). Angka harapan hidup meningkat dari 70,2
(2007) menjadi 70,8 (2010), mendekati angka nasional sebesar 70,9. Angka kematian bayi berhasil
diturunkan dari 30 (2005) menjadi 26,6 (2009) per 1.000 kelahiran. Angka kematian ibu turun dari 133
(2006) menjadi 118 (2009) per 100.000 kelahiran.
Kebijakan kesehatan gratis, telah berhasil membantu meringankan beban masyarakat dalam
pembiayaan pelayanan kesehatan. Kebijakan kesehatan gratis juga berkontribusi terhadap perluasan
cakupan layanan kesehatan, perbaikan kualitas layanan kesehatan, dan perluasan pola jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat. Namun kebijakan kesehatan gratis tampak lebih menekankan
pada pemberian layanan dan pengobatan penyakit (bersifat jangka pendek) dan belum menyentuh
investasi kesehatan secara jangka panjang seperti imunisasi, gizi, kesehatan lingkungan dan air bersih.
Sektor Infrastruktur
Peningkatan belanja infrastruktur juga meningkatkan peran Makassar dalam konektivitas, khususnya
di kawasan timur Indonesia. Belanja infrastruktur Sulawesi Selatan tumbuh secara substansial
menjelang pembangunan bandar udara baru. Di tahun 2010, belanja infrastruktur mencapai Rp. 2,5
triliun, atau 15 persen dari total belanja. Lebih dari 85 persennya dibelanjakan pada tingkat
kabupaten/kota. Sulawesi Selatan memiliki aksesibilitas yang terbaik di kawasan timur Indonesia.
Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar melayani hampir semua jalur penerbangan
udara yang menuju kawasan timur Indonesia. Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta di Kota Makassar adalah
pelabuhan peti kemas yang terbesar di Kawasan Timur Indonesia
Infrastruktur dasar dan jalan masih menjadi tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan.
Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar yakni air bersih, sanitasi yang layak dan listrik meskipun
menunjukkan posisi relatif yang cukup baik di Pulau Sulawesi, namun capaiannya masih berada di bawah
angka rata-rata nasional. Untuk infrastruktur jalan, lebih dari sepertiga dalam kondisi rusak ringan dan
berat. Untuk jaringan irigasi, perbandingan antara cakupan saluran irigasi dengan luas lahan sawah
cenderung menurun meskipun secara absolut lahan sawah yang dialiri cenderung meningkat.
5
5 Ringkasan Eksekutif
Sektor Pertanian
Belanja pertanian meningkat dua kali lipat, walaupun kontribusinya terhadap perekonomian
menurun. Belanja pertanian tumbuh sebesar 24 persen per tahun, mencapai Rp. 491 miliar pada tahun
2010. Separuh dari belanja pertanian dialokasikan untuk belanja pegawai. Sulawesi Selatan tetap
menjadi lumbung pangan nasional, dengan komoditas utama seperti beras, jagung, ternak, rumput laut,
dan kakao. Komoditas tersebut diproyeksikan mampu memenuhi target produksi masing-masing pada
tahun 2013. Terlepas dari hal itu, kontribusi pertanian terhadap PDRB turun dari 31 persen (2005)
menjadi 28 persen (2009), meski demikian pertanian masih menjadi penyumbang terbesar PDRB di
Sulawesi Selatan.
4. Gender dan Isu Strategis Lainnya
Performa Sulawesi Selatan dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan indikator gender
cukup baik. Angka kemiskinan turun dari 15 persen di tahun 2006 menjadi 12 persen di tahun 2010,
sebanyak 87 persen masyarakat miskin tinggal di pedesaan. Indeks pembangunan gender (IPG)
meningkat dari tahun ke tahun, dari 50 di tahun 2005 menjadi 54 di tahun 2009. Indeks pemberdayaan
gender (IDG) meningkat dari 57,4 (2005) menjadi 61,2 (2009). Perbaikan ini perlu dipertahankan,
terlebih dikarenakan keberlanjutan program-program terkait gender masih kurang, dan belum konsisten
dalam penganggarannya.
5. Rekomendasi Pembangunan
Meningkatkan kualitas anggaran lewat perencanaan dan komposisi anggaran yang lebih
baik
Meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Pemerintah daerah
perlu memberi perhatian serius pada penguatan kapasitas perencanaan dan penganggaran melalui
peningkatan kompetensi aparat tenaga perencana dan pengelola keuangan daerah serta menciptakan
kesepahaman persepsi di kalangan para stakeholder pembangunan daerah mengenai proses dan
mekanisme perencanaan dan penganggaran. Secara spesifik, pemerintah daerah perlu lebih fokus
memberi perhatian pada penyediaan dokumen dan peningkatan kualitas perencanaan dan
penganggaran tahunan, baik pada level daerah dan terutama pada tingkat SKPD.
Meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah daerah yang bersumber dari PAD. Meskipun penerimaan
daerah yang bersumber dari PAD memperlihatkan nilai riil yang meningkat, namun kontribusinya
terhadap total penerimaan daerah masih lebih kecil dibandingkan dengan transfer fiskal dari pemerintah
pusat. Untuk itu, upaya peningkatan PAD masih perlu terus dilakukan melalui: (i) pengkajian dan
perluasan potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meskipun nilainya kecil dengan tetap
memperhatikan undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru; (ii) perbaikan sistim
administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran; dan (iii)
pelatihan aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target
yang berbasis pada potensi.
6
6 Ringkasan Eksekutif
Memperbaiki komposisi dan kualitas alokasi belanja pemerintah untuk sektor-sektor strategis dan
gender. Porsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah mendominasi jenis belanja lainnya, baik
pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Proporsi alokasi belanja untuk sektor strategis (pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, dan pertanian) masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pemerintahan
umum. Demikian halnya, alokasi belanja untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga masih
rendah. Beberapa upaya untuk memperbaiki komposisi dan kualitas belanja pemerintah daerah adalah:
(i) melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai baru) dalam 2 - 3 tahun kedepan; (ii)
sekiranya harus merekrut pegawai baru, harus diprioritaskan pada pegawai teknis seperti tenaga
akuntan, tenaga guru, tenaga kesehatan dengan jumlah yang lebih kecil dari jumlah pegawai yang
pensiun; (iii) meningkatkan proporsi alokasi belanja untuk sektor kesehatan dan pertanian serta sektor-
sektor terkait dengan fungsi ekonomi, (iv) meningkatkan komitmen penentu kebijakan dalam
pengimplementasian pengarusutamaan gender; dan (v) merumuskan program dan kegiatan strategis
yang responsif gender yang disertai dengan peningkatan alokasi anggaran.
Meningkatkan kualitas layanan dasar untuk memperbaiki kualitas capaian
Memperbaiki indikator-indikator komposit IPM, terutama indikator pendidikan. Rendahnya angka
melek huruf dan rata-rata lama sekolah berkontribusi besar terhadap rendahnya capaian IPM Sulawesi
Selatan. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian yang lebih dengan mengalokasikan anggaran yang
lebih signifikan untuk pemberantasan buta huruf serta mengupayakan peningkatan akses penduduk
terhadap pendidikan menengah dan tinggi. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada
perempuan dengan lokus wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto,
Bantaeng, Takalar dan Gowa. Sedangkan upaya peningkatan rata lama sekolah diarahkan pada
kabupaten dengan kinerja jauh di bawah rata-rata provinsi, yaitu Kabupaten Bantaeng, Jeneponto,
Wajo, dan Takalar.
Menajamkan alokasi anggaran kesehatan pada investasi kesehatan yang berdimensi jangka panjang.
Kebijakan kesehatan selama ini yang lebih bertumpu pada pengobatan (tindakan kuratif) dengan
dimensi jangka pendek perlu diimbangi dengan upaya pencegahan (tindakan preventif) dengan dimensi
jangka panjang. Tindakan-tindakan dimaksud dapat berupa imunisasi, perbaikan gizi, kesehatan
lingkungan dan air bersih. Investasi kesehatan semacam ini potensial meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat dalam jangka panjang dan memperbaiki indikator kesehatan IPM secara berkelanjutan.
Meningkatkan ketersediaan infrastruktur dasar. Meskipun secara relatif, infrastruktur dasar (sanitasi,
air bersih, dan listrik) di Sulawesi Selatan menempati urutan terbaik kedua di Pulau Sulawesi setelah
Sulawesi Utara, namun jika dibandingkan dengan angka nasional, capaian indikator tersebut masih
relatif lebih rendah. Pembangunan sanitasi dan peningkatan akses air bersih perlu mendapat perhatian,
terutama di kabupaten dengan tingkat capaian yang rendah. Sedangkan untuk peningkatan akses listrik,
meskipun kewenangan penyediaan listrik masih melekat di pemerintah pusat, pemerintah daerah perlu
terus mendorong upaya peningkatan kapasitas energi listrik di Sulawesi Selatan.
Pembangunan sektor pertanian harus tetap menempatkan peningkatan nilai tambah komoditas
unggulan sebagai prioritas utama. Komoditas beras dan jagung harus diarahkan pada perbaikan kualitas
7
7 Ringkasan Eksekutif
melalui pengembangan produk organik. Pengembangan produk pertanian organik dapat dilakukan
melalui intergrasi dengan pengembangan ternak. Integrasi padi dan jagung dengan ternak sapi akan
menghasilkan pupuk organik, pakan ternak dari sisa tanaman, dan sumber energi (biogas) sehingga
biaya produksi ketiga komoditas tersebut dapat ditekan dan kualitas dan tingkat harga produk yang
lebih baik. Untuk komoditas udang, pengembangan udang organik dimaksudkan untuk memenuhi
persyaratan permintaan internasional dan sekaligus memulihkan atau memperbaiki ekosistem
pertambakan agar kegiatan budidaya udang dapat lestari dan berkelanjutan. Sedangkan pengembangan
komoditas kakao dan rumput laut seyogyanya diarahkan untuk menghasilkan produk olahan yang siap
dikonsumsi.
Memperbaiki indikator pembentuk IPG dan IDG. Dengan mencermati indikator capaian IPG,
penyumbang terbesar rendahnya IPG terutama disebabkan oleh rendahnya sumbangan pendapatan
perempuan dan laki-laki dan rendahnya angka melek huruf laki-laki dan perempuan. Rendahnya
sumbangan pendapatan perempuan terutama terjadi di wilayah pesisir. Upaya untuk lebih
meningkatkan peran perempuan baik terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga maupun
berkiprah di ruang publik, perlu dilakukan beberapa hal seperti: (i) melakukan pendampingan
pengelolaan usaha kaum perempuan dan laki-laki untuk meningkatkan sumbangan pendapatan mereka
dalam rangka meningkatkan IDG dan IPG; (ii) membina pendidikan keaksaraan fungsional; (iii)
Melakukan sosialisasi secara intensif dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program Pendidikan
wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun yang responsif gender; dan (iv) melakukan pembinaan dan
pendampingan kepada perempuan pesisir dalam hal teknis dan manajemen usaha.
10
10 Bab 1 Pendahuluan
1.1 Perkembangan Daerah
Sulawesi Selatan memainkan peran penting dan strategis bagi perkembangan wilayah Pulau Sulawesi
dan Kawasan Timur Indonesia. Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada titik tengah wilayah
Indonesia dengan luas wilayah 45.764,53 km persegi. Posisi tersebut menempatkannya sebagai pintu
gerbang bagi daerah Sulawesi lainnya bahkan Kawasan Timur Indonesia melalui perhubungan laut
(pelabuhan Soekarno-Hatta), darat (titik awal trans-Sulawesi) dan udara (bandar udara Sultan
Hasanuddin). Dimasa lalu, Makassar merupakan pelabuhan internasional baik sebelum maupun pada
jaman penjajahan, dan ketika Provinsi Sulawesi terbentuk pada jaman kemerdekaan, Makassar menjadi
ibu kota provinsi tersebut. Dengan demikian, dari rentang waktu masa lalu hingga masa kini, posisi
sebagai pintu gerbang Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia, bahkan posisi sebagai center point of
Indonesia, melekat pada provinsi ini.
Gambar 1.1. Posisi Makassar Berada di Tengah-Tengah Indonesia (center point of Indonesia)
Sumber: Peta olahan staf Bank Dunia, 2011.
Sulawesi Selatan termasuk daerah yang mengalami pemekaran wilayah secara signifikan pada era
desentralisasi dan otonomi daerah. Sulawesi Selatan awalnya merupakan hasil pemekaran Provinsi
11
11 Bab 1 Pendahuluan
Sulawesi pada tahun 1950-an menjadi Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Provinsi Sulawesi Selatan
dan Tenggara selanjutnya mekar menjadi Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat
gelombang desentralisasi dan otonomi daerah bergulir di Indonesia pada 2000-an; Provinsi Sulawesi
Selatan mengalami pemekaran kabupaten melalui pemecahan Kabupaten Luwu atas Kabupaten Luwu
sendiri, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur; selain itu Kabupaten Polewali
Mamasa termekarkan menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa; serta Kabupaten
Mamuju termekarkan menjadi Kabupaten Mamuju sendiri dan Kabupaten Mamuju Utara. Pada tahun
2004, Provinsi Sulawesi Selatan mekar dan melahirkan Provinsi Sulawesi Barat yang didalamnya
tergabung Kabupaten Polewali Mandar, Majene, Mamasa, Mamuju, dan Mamuju Utara. Pada dasarnya
acuan pemekaran wilayah adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada publik, maka demikian pula
Sulawesi Selatan sangat berhasrat mendekatkan pelayanan kepada masyarakat luas di wilayah ini.
1.2 Kondisi Perekonomian Daerah
Perekonomian Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan yang fluktuatif namun terus meningkat
dengan pencapaian di atas rata-rata nasional. Sebagaimana ditunjukkan dalam kurun waktu 2005-2010,
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan selalu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional,
namun dengan laju yang lebih tinggi. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan dalam tahun-
tahun terakhir ini menjadikan perekonomian wilayah ini akan memburu ketertinggalannya. Disamping
itu, dengan pertumbuhan tinggi tersebut, Sulawesi Selatan diharapkan mampu menghela perekonomian
wilayah Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia.
Gambar 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat dan Lebih Tinggi dari
Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Sumber: Data BPS.
5.2
6.72 6.84
7.78
6.2
8.08
5.75.19
6.8
6.1
4.5
5.9
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Per
sen
Sulsel
Indonesia
12
12 Bab 1 Pendahuluan
PDRB Sulawesi Selatan menurut lapangan usaha ditandai oleh pertumbuhan nilai yang signifikan dan
masih didominasi oleh sektor pertanian. Nilai PDRB Sulawesi Selatan tumbuh signifikan selama periode
2005-2010, tetapi transformasi struktur perekonomian belum berjalan signifikan. Ini ditandai oleh masih
tertingginya kontribusi bidang usaha pertanian dibanding bidang usaha lainnya terhadap PDRB
meskipun pertumbuhannya sudah relatif melambat. Di sisi lain, kontribusi bidang usaha industri
pengolahan masih kecil dan pertumbuhannya juga lambat. Lambatnya transformasi pertanian menuju
industri di Sulawesi Selatan disebabkan oleh kebijakan pembangunan nasional dan daerah yang
memang lebih mengutamakan pertanian dibanding industri mengingat posisi provinsi ini sebagai
lumbung pangan nasional.
Transformasi perekonomian dari pertanian ke industri berjalan lambat, berakibat pada lambatnya
penyerapan tenaga kerja di industri. Lambatnya pergeseran dari pertanian ke industri pada struktur
PDRB Sulawesi Selatan berimplikasi pada lambatnya pergeseran serapan tenaga kerja dari. Ini
mengakibatkan transformasi sumber daya manusia dari ciri sosial-ekonomi tani-tradisional menjadi
industrial-modern juga berjalan lambat. Hal ini disebabkan oleh kurang berkembangnya agroindustri,
hasil-hasil tani lebih banyak terpasarkan dalam bentuk produk primer. Kebijakan untuk mendorong
agroindustri yakni “petik-olah-jual”, “gerakan ekspor dua kali lipat/Grateks-2”, “Gerakan
Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas)” dan “pengembangan industri lokal” telah
dijalankan dalam 20 tahun terakhir tetapi dampaknya belum signifikan. Dengan kurang berkembangnya
agroindustri, masyarakat perdesaan tidak memiliki wahana sosial-ekonomi untuk beralih dari pertanian
tradisional ke industri terlatih/terdidik, dan ini berarti pula bahwa sumber daya manusia perdesaan
tidak memiliki wahana pembelajaran untuk transformasi kapasitas dari menjadi tenaga kerja yang lebih
terlatih atau terdidik.
Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan Terus
Meningkat Nilainya Tetapi Transformasi Strukturalnya Lambat (Miliar Rp)
No Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Pertanian 11.337,55 11.802,56 12.181,82 12.923,42 13.528,69 13.809,80
2 Pertambangan dan Penggalian
3.649,05 3.891,34 4.157,15 4.034,94 3.852,79 4.491,34
3 Industri Pengolahan 5.112,43 5.481,51 5.741,39 6.241,44 6.468,79 6.869,43
4 Listrik, Gas dan Air Bersih
342,43 368,27 400,88 451,00 490,45 529,82
5 Bangunan 1.712,29 1.787,87 1.942,09 2.328,42 2.656,77 2.900,27
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
5.386,35 5.770,90 6.322,43 7.034,56 7.792,10 8.698,81
7 Pengangkutan dan Komunikasi
2.757,78 2.945,64 3.244,61 3.651,37 4.023,68 4.619,93
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa
2.152,68 2.340,47 2.610,48 2.881,07 3.203,98 3.742,09
9 Jasa-jasa 3.970,80 4.479,10 4.731,58 5.003,60 5.308,83 5.535,55
PDRB DENGAN MIGAS 36.421,36 38.867,66 41.332,43 44.549,82 47.326,08 51.197,03
Sumber: Data BPS.
13
13 Bab 1 Pendahuluan
PDRB Sulawesi Selatan berdasarkan penggunaan ditandai oleh dominasi konsumsi rumah tangga dan
konsumsi pemerintah. Selama periode 2005-2010 penggunaan PDRB Sulawesi Selatan signifikan untuk
konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, sementara konsumsi swasta masih sangat rendah.
Ini berarti pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan masih lemah dari sisi peran dunia usaha dan
entrepreneurship yang mengkondisikan inovasi-teknologi dan efektivitas-efisiensi.
PDRB per kapita di Sulawesi Selatan menunjukkan kesenjangan yang tinggi. Kabupaten dengan PDRB
per kapita tertinggi adalah Luwu Timur yang terdampak dengan nilai kontribusi pertambangan nikel.
Secara nominal, nilai PDRB Kota Makassar adalah yang tertinggi di Sulawesi Selatan, tetapi PDRB per
kapitanya berada di urutan kedua, dengan nilai separuh dari PRDB per kapita Luwu Timur. Hal ini
menunjukkan kesenjangan antara Luwu Timur dengan kabupaten/kota lainnya, PDRB per kapita
terendah di provinsi terdapat di Jeneponto yang nilainya sepersepuluh dari Luwu Timur. Kabupaten
Pangkep yang juga memiliki pertambangan semen berada di posisi ketiga. Ini memperlihatkan bahwa
sektor pertambangan tidak terbarukan memegang peranan besar dalam PDRB kabupaten/kota.
Tabel 1.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan di Sulawesi Selatan 2005-2010
Didominasi oleh Konsumsi Rumah Tangga Dimana Konsumsi Swasta Masih Rendah (Miliar Rp)
No Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Konsumsi Rumahtangga 20.707,93 22.145,28 22.263,51 24.344,17 25.877,60 27.475,81
2 Konsumsi Lembaga Swasta
222,64 236,58 259,66 274,58 316,43 341,38
3 Konsumsi Pemerintah dan Pertahanan
5.427,12 5.834,15 6.075,87 6.740,98 7.087,11 7.466,20
4 Pembentukan Modal Tetap Bruto
6.168,58 6.304,06 6.973,39 8.414,11 9.783,91 11.142,66
5 Perubahan Stok 407,04 200,53 332,84 649,62 734,74 64,13
6 Ekspor Luar Negeri dan Antar Pulau
15.019,83 15.629,99 19.988,89 19.706,96 15.656,04 23.535,45
7 Impor dari Luar Negeri dan Antar Pulau
11.531,36 11.482,91 15.561,74 15.580,60 12.141,81 18.828,59
PDRB 36.421,79 38.867,68 41.332,43 44.549,82 47.314,02 51.197,03
Sumber: Data BPS.
14
14 Bab 1 Pendahuluan
PDRB per kapita memperlihatkan peningkatan yang relatif stabil, namun masih berada jauh di bawah
rata-rata Nasional. Pada tahun 2006, pendapatan per kapita Sulawesi Selatan mencatat angka Rp 8 juta,
dan kemudian meningkat menjadi Rp 12,6 juta pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan rata-rata
19 persen per tahun. Namun angka ini masih jauh di bawah angka nasional. Laju pertumbuhan
pendapatan per kapita Nasional pun bergerak lebih cepat dibandingkan dengan pendapatan per kapita
Sulawesi Selatan. Nasional bergerak dengan rata-rata 20,5 persen per tahun, sedangkan Sulawesi
Selatan hanya 19,4 persen per tahun. Kondisi ini secara implisit mengesankan: (i) secara rata-rata,
provinsi lainnya mengalami peningkatan pendapatan per kapita yang relatif lebih cepat dibandingkan
dengan Sulawesi Selatan; (ii) pendapatan per kapita Sulawesi Selatan akan terus berada di bawah angka
nasional dengan jarak (gap) yang semakin lebar; dan (iii) di masa depan, kontribusi pendapatan per
kapita Sulawesi Selatan terhadap perbaikan posisi relatif IPM, sulit diharapkan.
Tabel 1.3. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Berdasarkan Harga Konstan (Juta
Rp)
Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Luwu Timur 19,5 19,6 20,2 19,2 17,9 20,3
Makassar 8,8 9,3 9,9 10,9 11,6 12,1
Pangkep 6,6 6,8 7,2 7,6 7,9 8,2
Pinrang 5,6 5,8 6,1 6,4 6,8 7,2
Wajo 5,0 5,2 5,5 5,9 6,1 6,4
Palopo 5,1 5,2 5,4 5,6 5,9 6,2
Pare Pare 4,6 4,9 5,3 5,6 6,0 5,9
Sidrap 4,5 4,9 5,1 5,5 5,8 5,6
Soppeng 3,9 4,2 4,4 4,7 5,0 5,4
Luwu Utara 3,7 3,9 4,1 4,3 4,5 5,3
Luwu 4,0 4,2 4,4 4,6 4,8 5,1
Sinjai 3,6 3,8 4,0 4,3 4,5 4,7
Bone 3,3 3,5 3,7 4,0 4,2 4,5
Bulukumba 3,4 3,5 3,7 4,0 4,2 4,4
Barru 3,5 3,6 3,8 4,0 4,2 4,4
Bantaeng 3,2 3,4 3,5 3,7 4,0 4,2
Enrekang 3,2 3,3 3,4 3,6 3,8 4,0
Kep. Selayar 3,0 3,0 3,2 3,3 3,5 3,8
Maros 3,0 3,1 3,2 3,4 3,5 3,6
Takalar 2,7 2,8 3,0 3,1 3,3 3,4
Tana Toraja 2,4 2,4 2,5 1,3 2,6 3,0
Gowa 2,4 2,5 2,6 2,7 2,9 2,9
Jeneponto 2,1 2,2 2,3 2,4 2,5 2,6
Sumber: Data BPS.
Catatan: Kabupaten Toraja Utara yang baru mekar tahun 2008 tidak diikutsertakan.
15
15 Bab 1 Pendahuluan
Gambar 1.3.PDRB per Kapita Sulawesi Selatan Masih Berada di Bawah Angka Nasional
Sumber: BPS, Tahun 2009 angka sementara; tahun 2010 angka sangat sementara.
Laju inflasi perekonomian
Sulawesi Selatan cukup tinggi
dengan komponen utama harga
bahan makanan dan sandang.
Laju inflasi Sulawesi Selatan
berfluktuasi mengikuti tren inflasi
nasional. Inflasi nasional tahun
2005 salah satunya diakibatkan
kenaikan harga bahan bakar,
tampak tidak terlalu
mempengaruhi inflasi Sulawesi
Selatan. Komponen tertinggi
pembentuk inflasi Sulawesi
Selatan adalah pangan dan
sandang. Kondisi ini menjadikan
pendapatan per kapita
masyarakat selalu berkorelasi
dengan daya beli yang turun
karena direduksi oleh inflasi yang cukup tinggi tersebut.
Kondisi investasi Sulawesi Selatan berfluktuasi tetapi cenderung meningkat dalam dua tahun terakhir.
Meskipun terjadi fluktuasi dalam hal jumlah investor dan nilai investasi, dalam tiga tahun terakhir
terdapat kecenderungan perbaikan pada investasi di Sulawesi Selatan, baik dalam Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) maupun dalam Penanaman Modal Asing (PMA). Lapangan usaha yang banyak
menyerap PMDN adalah pertanian, peternakan, industri makanan, bangunan serta pengangkutan dan
Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi di Sulawesi Selatan dan
Nasional, 2005-2010
Sumber: Data BPS.
17.11
6.60 6.59
11.06
2.78
6.967.45
7.21
5.71
11.79
3.24
6.82
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Per
sen
Indonesia
Sulsel
15
18
22
24
26.90
89
1113
14.67
0
5
10
15
20
25
30
2006 2007 2008 2009*) 2010**)
Rp
. Ju
ta
Indonesia
Sulsel
16
16 Bab 1 Pendahuluan
telekomunikasi; sedangkan yang menyerap PMA adalah pertanian, perkebunan, industri makanan,
industri kayu, listrik, gas dan air bersih serta bangunan. Hal ini terkait dengan daya saing daerah yang
semakin membaik khususnya dalam hal keamanan, selain itu pelayanan investasi tingkat provinsi dan
kabupaten/kota juga mengalami kemajuan, sementara promosi investasi terus didorong.
Tabel 1.4. Perkembangan Nilai Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sulawesi Selatan 2005-2010
Tahun Nilai PMDN (Ribu Rp) Nilai PMA (US $)
2010 3.212.295.181 441.796.125 2009 1.137.863.414 76.982.850 2008 110.524.937 27.696.510 2007 244.670.640 141.430.870 2006 2.362.627.000 679.965.000 2005 940.544.000 53.558.000
Sumber: Data BPS.
1.3 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan
Kondisi demografi Sulawesi Selatan ditandai pertumbuhan penduduk yang positif dan populasi yang
terus bertambah. Dalam enam tahun terakhir pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan rata-rata di atas
satu persen kecuali pada tahun 2007 (0,92 persen). Pertumbuhan penduduk Sulawsi Selatan rata-rata
sebesar 1,3 persen. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Sulawesi Selatan mencapai 8
juta jiwa, terdiri atas 3,9 juta penduduk laki-laki dan 4,1 juta penduduk perempuan.
Gambar 1.5. Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Selatan Rata-Rata 1,3 Persen
Sumber: Data BPS.
Catatan: 2010 merupakan hasil Sensus Penduduk.
Penduduk usia produktif lebih besar dibanding usia tidak produktif dan populasi perempuan lebih
besar dari populasi laki-laki. Pada tahun 2009, jumlah penduduk usia tidak produktif (usia dibawah 14
tahun ditambah usia diatas 65 tahun) sebesar 2,9 juta jiwa (36 persen dari populasi), sementara jumlah
7,489,696
7,595,000
7,700,255
7,805,024
7,908,519
8,032,551
7,200,000
7,300,000
7,400,000
7,500,000
7,600,000
7,700,000
7,800,000
7,900,000
8,000,000
8,100,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jiw
a
17
17 Bab 1 Pendahuluan
penduduk usia produktif (usia 15 sampai 64 tahun) sebesar 5 juta jiwa (64 persen dari populasi). Rasio
beban tanggungan sebesar 0,57 yang berarti satu orang usia tidak produktif ditanggung oleh dua orang
usia produktif. Jumlah perempuan usia produktif lebih besar dari laki-laki usia produktif, yang berarti
jumlah perempuan pada angkatan kerja di Sulawesi Selatan lebih besar.
Tabel 1.5. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2009
Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis Kelamin
0-4 375 198 352 040 727 238 106,58 5-9 447 014 407 851 854 865 109, 60
10-14 431 498 409 938 841 437 105, 26 15-19 351 712 362 508 714 220 97, 02 20-24 291 052 309 477 600 529 94, 05 25-29 301 980 343 087 645 067 88, 02 30-34 275 764 311 959 587 723 88, 40 35-39 296 539 327 183 623 722 90, 63 40-44 237 824 266 303 504 127 89, 31 45-49 210 957 228 271 439 227 92, 42 50-54 168 401 195 258 363 660 86, 25 55-59 135 327 144 647 279 973 93, 56 60-64 106 189 144 438 250 627 73, 52 65+ 207 515 268 586 476 104 77, 26 Total 3 836 971 4 071 548 7 908 519 94, 24
Sumber: Data BPS.
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) terus
meningkat dibalik pertumbuhan angkatan kerja
yang fluktuatif. Pada tahun 2010, TPAK
mencapai 64 persen ketika angkatan kerja
sebesar 3,6 juta jiwa dari 5,6 juta jiwa penduduk
usia kerja. Angka ini meningkat dari kondisi 2005
dimana TPAK sebesar 54 persen ketika angkatan
kerja hanya 3,2 juta jiwa dan penduduk usia
kerja sebanyak 6 juta jiwa. Peningkatan TPAK ini
lebih disebabkan oleh kecenderungan penduduk
usia produktif untuk memasuki dunia kerja
dibanding masuk bangku sekolah mengingat
porsi TPAK cukup banyak pada usia 15-20 tahun.
Terdapat kesenjangan antara TPAK perempuan
dengan TPAK laki-laki. TPAK perempuan di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 hanya 45 persen
sementara TPAK laki-laki sebesar 82 persen. Kondisi ini sudah mengalami perbaikan dibanding tahun
2000 di mana TPAK perempuan hanya sebesar 28 persen sedang laki-laki 70 persen. Ini menunjukkan
bahwa meskipun telah terjadi perbaikan tetapi kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam akses
lapangan kerja masih jauh dari tipe ideal.
Gambar 1.6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) di Sulawesi Selatan, 2005-2010
Sumber: Data BPS.
54.20
57.17
61.0762.02 62.48
64.14
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Per
sen
18
18 Bab 1 Pendahuluan
Mayoritas angkatan kerja terserap di sektor pertanian masih meskipun persentasenya cenderung
menurun. Pada tahun 2009, angkatan kerja yang bekerja pada bidang usaha pertanian, kehutanan,
perburuan dan perikanan mencapai 49 persen turun dari 55 persen pada tahun 2005. Porsi ini sangat
besar dibanding serapan tenaga kerja bidang usaha lain, terutama industri pengolahan yang hanya 7
persen pada tahun 2009 dan hanya sedikit meningkat dari 6 persen pada tahun 2005. Bertahannya
tenaga kerja pada sektor pertanian terutama dikontribusi oleh berkembangnya aktivitas budidaya
rumput laut, revitalisasi kakao yang, serta agribisnis jagung yang menyerap tenaga kerja perdesaan atau
pesisir, selain yang secara tradisional telah diserap oleh kegiatan padi sawah.
Dari total tenaga kerja perempuan di Sulawesi Selatan, hampir setengahnya bekerja di sektor
pertanian. Pada tahun 2009, jumlah tenaga kerja perempuan di Sulawesi Selatan mencapai 1,1 juta
orang atau 88 persen dari total angkatan kerja perempuan. Proporsi ini sudah jauh lebih besar
dibandingkan dengan tahun 2005 yang baru mencapai 71 persen. Peningkatan ini menunjukkan semakin
besarnya keterlibatan perempuan dalam berbagai jenis pekerjaan. Jika diamati berdasarkan jenis
pekerjaan yang digeluti wanita, tampak bahwa sektor pertanian masih sangat dominan (48 persen),
disusul sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi (30 persen), dan sektor jasa
kemasyarakatan, sosial dan perseorangan (12 persen). Di Sulawesi Selatan, hampir tidak ditemukan
perempuan yang bekerja di sektor listrik, gas, dan air minum.
Tabel 1.6. Banyaknya Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Berdasarkan Bidang Usaha
di Sulawesi Selatan, 2005-2009
No Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009
1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
1.678.884 (54,70%)
1.469.418 (55,76%)
1.580.962 (53,78%)
1.613.949 (51,46%)
1.588.626 (49,30%)
2. Industri Pengolahan 197.729 (6,44%)
128.966 (4,89%)
147.391 (5,01%)
183.430 (5,85%)
214.668 (6,66%)
3. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel
457.530 (14,91%)
439.047 (16,66%)
566.397 (19,27%)
578.961 (18,46%)
636.714 (19,76%)
4. Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan
361.471 (11,78%)
302.040 (11,46%)
170.135 (5,79%)
352.573 (11,24%)
362.460 (11,25%)
5. Lainnya* 373.607
(12,17%) 295.943
(11,23%) 374.578
(12,74%) 407.198
(12,98%) 419.788
(13,03%)
Jumlah 3.069.221 (100,00%)
2.635.414 (100,00%)
2.939.463 (100,00%)
3.136.111 (100,00%)
3.222.256 (100,00%)
Sumber: Data BPS.
Lainnya*: Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air, Bangunan, Angkutan, Pergudangan dan
Komunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan.
19
19 Bab 1 Pendahuluan
Gambar 1.7. Tenaga Kerja Perempuan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan, 2009
Sumber:Data BPS.
Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) di Sulawesi Selatan
cenderung terus menurun.
Meskipun TPT di Sulawesi
Selatan masih lebih tinggi
dibandingkan dengan angka
Nasional, namun penurunannya
berlangsung lebih cepat
dibandingkan dengan Nasional.
Penurunan TPT ini menunjukkan
adanya perbaikan pada
penyerapan tenaga kerja. Angka
pengangguran ini terutama diisi
oleh penganggur terbuka usia
15-24 tahun, yakni sekitar 20
persen. Meskipun terjadi
penurunan, hal ini harus menjadi
perhatian karena pengangguran
usia muda berarti bahwa banyak
penduduk usia sekolah yang yang terpaksa masuk dunia kerja.
47.96%
0.39%
5.56%0.00%
0.45%
29.91%
2.44%
0.96% 12.32%
Pertanian, Perkebunan, Kehutanan,
Perburuan, dan PerikananPertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air Minum
Konstruksi
Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa
AkomodasiAngkutan, Pergudangan, dan Komunikasi
Lembaga Keuangan, Real Estat, Usaha
Persewaan, dan Jasa PerusahaanJasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan
Gambar 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi
Selatan dan Nasional, 2005-2010
Sumber: Badan Pusat Statistik.
10.30 10.409.75
8.39 7.877.14
18.64
12.76
11.25
9.04 8.74 8.37
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Per
sen
Indonesia
Sulsel
20
20 Bab 1 Pendahuluan
1.4 Kondisi Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan telah mengalami peningkatan, dan telah
mencapai kategori nilai IPM “menengah atas”. Peningkatan IPM adalah visi utama RPJMD Sulawesi
Selatan 2008-2013. Pada tahun 2008 angka IPM Sulawesi Selatan telah memasuki kategori “menengah
atas” (di atas nilai 70), dan dalam perkembangannya selama 2006-2010 angka tersebut telah meningkat
sebesar 3,44 point, yang merupakan peningkatan tertinggi ketiga secara nasional, sesudah Lampung dan
Papua Barat. Bahkan pada tahun 2008-2009 peningkatan IPM Sulawesi Selatan paling tinggi di
Indonesia. Meningkatnya nilai IPM Sulawesi Selatan selama periode 2006-2010 disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang meningkat secara signifikan
serta inflasi yang relatif terkendali telah mendorong peningkatan daya beli masyarakat. Kedua,
perbaikan pada bidang pendidikan, yakni angka melek huruf penduduk yang meningkat dari 85,7 persen
pada 2006 menjadi 87,75 persen pada tahun 2010; begitu pula angka rata-rata lama sekolah yang
meningkat dari 7 tahun pada tahun 2006 menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Ketiga, perbaikan pada
bidang kesehatan, dimana angka harapan hidup naik dari 69,2 tahun pada tahun 2006 menjadi 70,8
tahun pada tahun 2010.
IPM Sulawesi Selatan juga menunjukkan perbaikan posisi secara nasional, namun masih angkanya jauh
dari target RPJMD. Pada tahun 2006 Sulawesi Selatan berada pada posisi 23 dari 33 provinsi di
Indonesia, kemudian naik ke peringkat 19 pada tahun 2010. Apabila diasumsikan IPM meningkat dengan
tren yang sama, maka pada akhir periode RPJMD (tahun 2013) peringkat paling tinggi yang bisa dicapai
oleh Sulawesi Selatan adalah posisi 17 dari 33 provinsi di Indonesia. Posisi ini masih relatif jauh dari
target RPJMD, yaitu masuk dalam kelompok 10 besar provinsi dalam hal pemenuhan hak dasar
masyarakat yang salah satu indikatornya adalah IPM.
Gambar 1.9. IPM Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat Tetapi Masih Dibawah Rata-Rata Nasional
dan Masih Senjang Dengan Target RPJMD
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Menkokesra, UNDP.
70.1070.59
71.1771.76
73.40
68.81
69.6270.22
70.94
72.25
66
67
68
69
70
71
72
73
74
2006 2007 2008 2009 2010
Indonesia
Sulsel
21
21 Bab 1 Pendahuluan
Tidak signifikannya peningkatan peringkat IPM Sulawesi Selatan secara nasional disebabkan oleh
akselerasi nilai IPM yang tidak cukup cepat. Bahkan beberapa komponen pembentuk IPM menunjukkan
nilai yang lebih rendah serta peningkatan yang relatif lebih lambat dibandingkan dengan capaian
Nasional. Misalnya, angka melek huruf secara nasional pada tahun 2009 sudah mencapai 92,6 persen,
sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 87 persen. Rata-rata lama sekolah secara nasional sudah
mencapai 7,7 tahun, sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 7,4 tahun. Kedua indikator tersebut
juga mengalami pergerakan yang relatif lambat dibandingkan dengan nasional. Akibatnya, peran dan
kontribusinya terhadap peningkatan IPM Sulawesi Selatan relatif kecil.
Gambar 1.10. Posisi IPM Sulawesi Selatan Menempati Posisi Relatif Rendah Dibanding IPM Provinsi
Lain di Indonesia Tahun 2009
Sumber: Badan Pusat Statistik.
1.5 Arah Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah
Pembangunan jangka panjang (2005-2025) Sulawesi Selatan diarahkan pada pencapaian posisi sebagai
wilayah terkemuka di Indonesia dengan mengandalkan kemandirian lokal dan bernafas keagamaan. Visi
ini selain menunjukkan kondisi yang dituju yakni terkemuka dalam berbagai indikator pembangunan,
juga menunjukkan cara mencapainya yakni mengandalkan potensi lokal, serta menunjukkan landasan
nilai atas hubungan antara tujuan yang mau dicapai dan cara mencapainya yakni bernafas
keagamaan.Arah umum pembangunan jangka panjang ini, selain berkontribusi terhadap arah umum
jangka panjang pembangunan nasional, juga menjadi payung bagi arah umum jangka penjang
pembangunan kabuten/kota di Sulawesi Selatan, dalam suatu konsistensi misi dan kebijakan umum
untuk mengoperasionalkannya.
70.94 71.76
55
60
65
70
75
80
Pap
ua
NT
B
NT
T
Pap
ua …
Mal
ut
Kal
bar
Sul
bar
Kal
sel
Sul
tra
Gor
onta
lo
Ban
ten
Sul
teng
Sul
sel
Mal
uku
Jatim
NA
D
Bal
i
Jaba
r
Indo
nesi
a
Jate
ng
Jam
bi
Ben
gkul
u
Bab
el
Sum
sel
Lam
pung
Sum
bar
Sum
ut
Kal
teng
Kep
. Ria
u
Kal
tim DIY
…
Ria
u
Sul
ut
DK
I …
22
22 Bab 1 Pendahuluan
Pembangunan jangka menengah Sulawesi Selatan diarahkan pada pencapaian posisi Sulawesi Selatan
sebagai 10 besar di Indonesia dalam pemenuhan hak dasar. Itu berarti bahwa pada periode 2008-2013,
visi terkemuka secara jangka panjang diterjemahkan pada fokus untuk terkemuka dalam hal pemenuhan
hak dasar masyarakat secara jangka menengah. Visi ini difokuskan indikatornya pada akselerasi proses
pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Selatan. Misi dan kebijakan umum pembangunan
jangka menengah Sulawesi diarahkan bagi perwujudan visi tersebut.
Tabel 1.7. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Panjang Dikerangkakan Untuk
Mewujudkan Sulawesi Selatan Sebagai Daerah Terkemuka Dengan Pendekatan Kemandirian Lokal
dan Bernafaskan Keagaman
Visi 2005-2025: Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Terkemuka di Indonesia dengan pendekatan
kemandirian lokal yang bernafaskan keagamaan
Misi Kebijakan Umum
1. Mewujudkan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan. 1. Mengupayakan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan.
2. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas pembelajar. 2. Menjadikan masyarakat Sulawesi Selatan sebagai komunitas pembelajar.
3. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang kondusif. 3. Mengupayakan Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang kondusif.
4. Mewujudkan Sulawesi Selatan satu kesatuan sosial ekonomi yang berkeadilan.
4. Menjadikan wilayah Sulawesi Selatan sebagai satu kesatuan sosial-ekonomi yang berkeadilan.
5. Meningkatkan peran Sulawesi Selatan sebagai wilayah kepulauan yang mandiri, maju dalam memperkuat ketahanan nasional.
5. Meningkatkan peran Sulawesi Selatan sebagai wilayah kepulauan yang mandiri, maju dalam memperkuat ketahanan nasional
Sumber: RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025.
Tabel 1.8. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Menengah Sulawesi Selatan Dikerangkakan
Untuk Mewujudkan Kinerja Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat yang Terkemuka di Indonesia
Visi 2008-2013: Sulawesi Selatan Sebagai Provinsi Sepuluh Terbaik
dalam Pemenuhan Hak Dasar
Misi Kebijakan Umum
1. Meningkatkan kualitas pelayanan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat.
1. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat.
2. Mengakselerasi laju peningkatan dan pemerataan kesejahteraan melalui penguatan ekonomi berbasis masyarakat.
2. Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
3. Mewujudkan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi wilayah
3. Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan perekonomian.
4. Menciptakan iklim kondusif bagi ke-hidupan yang inovatif.
4. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan.
5. Penciptaan lingkungan kondusif bagi kehidupan inovatif.
5. Menguatkan kelembagaan dalam perwujudan tatakelola yang baik.
6. Penguatan kelembagaan masyarakat.
7. Penguatan kelembagaan pemerintah.
Sumber: RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013.
24
24 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Keterkaitan dan konsistensi perencanaan pembangunan daerah dan penganggaran (APBD) berpedoman
pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Selain melakukan analisis isi
(content analysis) pada sejumlah dokumen perencanaan pembangunan, juga dilakukan analisis pada
proses dan mekanisme penyusunan dan implementasi dokumen perencanaan dan penganggaran
pembangunan daerah pada setiap tingkatan pemerintahan. Analisis isi, proses dan mekanisme tersebut
dicermati mulai dari perencanaan pembangunan jangka menengah tingkat nasional, provinsi serta
kabupaten/kota, hingga pada perencanaan dan penganggaran tahunan tingkat provinsi serta
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Selain itu, disajikan gambaran umum pengelolaan keuangan
daerah.
2.1 Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah
Periode waktu yang berbeda menjadi salah satu kendala mensinkronisasikan perencanaan
pembangunan nasional dan daerah. Hal ini terlihat pada periode RPJMN 2004-2009 yang memiliki
intercept waktu yang singkat dengan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013. Artinya, awal periode RPJMD
2008-2013 berada pada akhir periode RPJMN 2004-2009. Periode waktu yang lama justru nampak pada
RPJMN periode 2010-2014, tetapi tidak dapat dikatakan RPJMD memperhatikan RPJMN tersebut karena
RPJMD terbit lebih awal daripada RPJMN 2010-2014. Pemerintah Provinsi perlu untuk lebih ketat lagi
mengevaluasi RPJMD Kab/Kota sebelum disahkan agar secara substansi telah merujuk kepada RPJMD
Provinsi. Demikian pula dengan Depdagri dan Bappenas dalam konteks mengevaluasi keterkaitan atara
RPJMD Provinsi dengan RPJMN.
Tabel 2.1. Penjabaran Agenda Pembangunan RPJMN Dalam RPJMD Sulawesi Selatan
Agenda Pembangunan pada
RPJMN 2004-2009
Agenda Pembangunan pada
RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013
� Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai � Menciptakan lingkungan kondusif bagi kehidupan
inovatif
� Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis � Penguatan kelembagaan masyarakat;
� Penguatan kelembagaan pemerintahan.
� Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat � Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan
masyarakat;
� Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan
masyarakat;
� Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju
pertumbuhan ekonomi;
� Mewujudkan Sulsel sebagai entitas sosial ekonomi
yang berkeadilan
Sumber: RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 (diolah).
25
25 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
RPJMD Sulawesi Selatan 2008-20013 sudah menjabarkan agenda pembangunan nasional dalam
RPJMN 2004-2009. Tabel 2.1 menunjukkan penjabaran dari Agenda Pembangunan pada RPJMN kepada
Agenda Pembangunan pada RPJMD Sulawesi Selatan. Dilihat dari prioritas pembangunan, mayoritas
prioritas pembangunan nasional telah sinkron dengan prioritas pembangunan Sulawesi Selatan seperti
yang terlihat pada Tabel 2.2. Prioritas pembangunan daerah yang dianggap paling popular bersinergi
dengan prioritas pembangunan nasional terutama pada bidang kesehatan dan bidang pendidikan,
melalui program pembangunan kesehatan gratis dan pendidikan gratis.
Tabel 2.2. Penjabaran Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN kepada RPJMD Sulawesi Selatan
Prioritas Pembangunan pada
RPJMN 2004-2009
Prioritas Pembangunan pada
RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013
� Peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak
� Pemberdayaan perempuan
� Penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa � Peningkatan kinerja SKPD; � Peningkatan kualitas profesionalisme aparatur pemerintah; � Kepenataan kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah.
� Perwujudan lembaga demokrasi yang makin kokoh � Pembinaan kehidupan sosial politik; � Pembinaan kesatuan bangsa; � Peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat; � Peningkatan kualitas informasi dan komunikasi
� Penanggulangan kemiskinan � Peningkatan pelayanan kepada penduduk miskin
� Revitalisasi pertanian � Peningkatan produksi pertanian dan pengembangan agribisnis perdesaan;
� Peningkatan akses masyarakat kepada asset produktif dan kegiatan produksi.
� Pemberdayaan koperasi dan UMKM � Revitalisasi lembaga ekonomi masyarakat kecil
� Perbaikan iklim ketenagakerjaan � Penciptaan lapangan kerja dan usaha; � Penempatan dan perluasan kesempatan kerja; � Pembinaan dan pengawasan tenaga kerja
� Pemantapan stabilitas ekonomi makro; � Peningkatan daya saing industri manufaktur
� Pengembangan industri strategis; � Pengembangan kerjasama regional dan promosi
perdagangan; � Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai destinasi pariwisata
terkemuka di Indonesia
� Pembangunan perdesaan � Pembangunan sarana dan prasarana perdesaan; � Pemberdayaan komunitas desa
� Pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah � Perencanaan dan pengendalian penataan ruang; � Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah
� Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas
� Pendidikan gratis; � Peningkatan kualitas layanan pendidikan; � Pemberantasan buta aksara
� Peningkatan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang lebih berkualitas
� Kesehatan gratis; � Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; � Perbaikan gizi masyarakat; � Peningkatan pelayanan perumahan, lingkungan pemukiman,
sanitasi dan air bersih.
� Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial � Pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan.
� Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda dan olahraga
� Pemberdayaan organisasi pemuda dan olahraga
� Peningkatan kualitas kehidupan beragama � Pemberdayaan organisasi keagamaan;
Sumber: diolah dari RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013.
26
26 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Tidak seluruh prioritas pembangunan nasional menjadi prioritas pembangunan Sulawesi Selatan. Ada
dua prioritas pembangunan nasional yang tidak menjadi prioritas Sulawesi Selatan, yaitu Pengembangan
IPTEK dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur. Sementara Sulawesi Selatan memiliki empat prioritas
khusus yaitu Pembangunan Perkotaan, Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Lokal, Penguatan Kualitas
Teknostruktur Komunitas serta Pemberdayaan Organisasi Profesi. Empat prioritas ini dirasa lebih
diperlukan oleh Sulawesi Selatan untuk dibangun.
Tabel 2.3. Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN yang Masih Kurang Tegas Dijabarkan Kedalam
RPJMD Sulawesi Selatan Serta Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan yang Bukan
Merupakan Penjabaran dari RPJMN
Prioritas Pembangunan pada
RPJMN 2004-2009 yang bukan menjadi prioritas pada
RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013
Prioritas Pembangunan pada
RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 yang kurang
mengacu pada prioritas RPJMN 2004-2009
� Peningkatan kemampuan IPTEK
� Percepatan pembangunan infrastruktur
� Pembangunan perkotaan
� Aktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal
� Penguatan kualitas teknostruktur komunitas
� Pemberdayaan organisasi profesi
Sumber: Diolah dari RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013
Beberapa kabupaten/kota memiliki sinkronisasi Agenda Pembangunan dengan tingkat Provinsi. Tim
peneliti PEA mengambil sampel RPJMD pada Kota Makassar dan Kabuupaten Luwu Utara. Tabel 2.4
menunjukkan penjabaran Agenda Pembangunan Nasional kepada RPJMD Makassar dan Luwu Utara.
Meski demikian, dua daerah kabupaten/kota ini tidak memiliki agenda pembangunan terkait
perwujudan Indonesia yang aman dan damai yang tertuang dalam Agenda Pembangunan Nasional.
Pemerintah kabupaten kota masih memiliki kendala dalam sinkronisasi agenda pembangunan dengan
level nasional. Selain karena kemampuan sumberdaya manusia aparatur yang belum optimal, hal ini
juga karena perhatian pemerintah daerah terhadap perencanaan makro ekonomi nasional dan daerah
yang lemah. Penyebab utamanya adalah oleh lahirnya sejumlah peraturan-perundangan. yang sering
tidak sejalan. Salah satu contohnya, berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, RPJMD
provinsi/kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sebaliknya, UU No. 25/2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang diterbitkan oleh Bappenas/Kementerian PPN
mengatakan penetapan RPJMD dengan Peraturan Kepala Daerah, sebagaimana juga dipertegas dengan
penetapan RPJMN dengan Peraturan Presiden. Faktanya, semua RPJMD di Sulawesi Selatan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah, di samping melayani kepatuhan terhadap peraturan-perundangan yang
diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri juga dimaksudkan agar memiliki kekuatan mengikat
stakeholder pembangunan yang lebih kuat. Di sisi lain, fleksibilitas substansi perencanaan pembangunan
daerah terhadap lingkungan strategisnya justru lebih baik jika dokumen perencanaan pembangunan
daerah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
27
27 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Tabel 2.4. Katerkaitan agenda pembangunan dalam RPJMN dan RPJMD provinsi/kabupaten/kota di
Sulawesi Selatan
Agenda Pembangunan RPJMN 2004-2009
Agenda Pembangunan RPJMD Sulawesi Selatan
2008-2013
Agenda Pembangunan RPJMD Kota Makassar
2009-2014
Agenda Pembangunan Kabupaten Luwu Utara
2005-2010
� Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai
� Menciptakan lingkungan kondusif bagi kehidupan inovatif;
� Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis
� Penguatan kelembagaan masyarakat;
� Penguatan kelembagaan pemerintahan.
� Desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bebas korupsi
� Pemantapan pelaksanaan otonomi daerah dan kemandirian pembangunan daerah;
� Penegakan supremasi hukum, politik dan pemerintahan.
� Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
� Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat;
� Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat;
� Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi;
� Mewujudkan Sulsel sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan
� Peningkatan kualitas manusia;
� Pengembangan tata ruang dan lingkungan;
� Penguatan struktur ekonomi
� Peningkatan keunggulan dan daya saing wilayah;
� Pengentasan kemiskinan dengan sistem ekonomi kerakyatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
� Pembangunan perdesaan dan infrastruktur wilayah;
� Peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia;
� Upaya penanganan dan mitigasi bencana alam.
Sumber: RPJMN 2004-2009, RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013, RPJMD Kota Makassar 2009-2014 dan RPJMD
Kabupaten Luwu Utara 2005-2010 (diolah).
2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Prioritas pembangunan daerah provinsi di dalam RPJMD dan prioritas pembangunan dalam Renstra-
SKPD, secara substansial sudah konsisten, tetapi pada sejumlah kabupaten masih belum. Hal ini
menggambarkan ketimpangan pemahaman terhadap proses dan mekanisme penjabaran dokumen
perencanaan pembangunan daerah dan SKPD pada setiap daerah, terutama antara provinsi dengan
kabupaten atau antara daerah perkotaan dengan daerah yang bercirikan perdesaan. Kapasitas
kelembagaan dan kompetensi SDM aparat tenaga perencana menjadi kendala utama dalam mengatasi
ketimpangan tersebut, terutama antara provinsi dengan kabupaten/kota dan antara perencana daerah
dengan perencana pada tingkat SKPD.
28
28 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Gambar 2.1. Konsistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan
Renstra SKPD di Sulawesi Selatan
Sumber: Diolah dari UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Kedisiplinan daerah dan SKPD dalam mengikuti proses
perencanaan masih rendah. Tahapan penyusunan Renstra SKPD yang beriringan dengan pelaksanaan
penyusunan RPJMD belum secara konsisten dijalankan oleh hampir semua daerah. Program
pembangunan daerah dalam RPJMD
daerah yang mampu menjalankannya secara konsisten dan sesuai tahapan yang ditetapkan. Bahkan
pada sejumlah daerah kabupaten, tidak ditemukan ketersediaan (karena belum pernah menyusun)
dokumen Renja-SKPD. Dokumen yang dipakai untuk menyusun dokumen lanjutan dan penganggarannya
tidak lebih dari matriks program dan kegiatan, bukan Renja
Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
sistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan
: Diolah dari UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Kedisiplinan daerah dan SKPD dalam mengikuti proses dan tahapan penyusunan dokumen
Tahapan penyusunan Renstra SKPD yang beriringan dengan pelaksanaan
penyusunan RPJMD belum secara konsisten dijalankan oleh hampir semua daerah. Program
pembangunan daerah dalam RPJMD yang mestinya dikontribusi oleh setiap SKPD masih sangat terbatas
daerah yang mampu menjalankannya secara konsisten dan sesuai tahapan yang ditetapkan. Bahkan
pada sejumlah daerah kabupaten, tidak ditemukan ketersediaan (karena belum pernah menyusun)
SKPD. Dokumen yang dipakai untuk menyusun dokumen lanjutan dan penganggarannya
tidak lebih dari matriks program dan kegiatan, bukan Renja-SKPD.
sistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan
: Diolah dari UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
dan tahapan penyusunan dokumen-dokumen
Tahapan penyusunan Renstra SKPD yang beriringan dengan pelaksanaan
penyusunan RPJMD belum secara konsisten dijalankan oleh hampir semua daerah. Program-program
yang mestinya dikontribusi oleh setiap SKPD masih sangat terbatas
daerah yang mampu menjalankannya secara konsisten dan sesuai tahapan yang ditetapkan. Bahkan
pada sejumlah daerah kabupaten, tidak ditemukan ketersediaan (karena belum pernah menyusun)
SKPD. Dokumen yang dipakai untuk menyusun dokumen lanjutan dan penganggarannya
29
29 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Tabel 2.5. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan
Renstra SKPD Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan 2008-2013
Prioritas RPJMD Sulawesi Selatan Bidang Kesehatan Prioritas Renstra SKPD Kesehatan
� Kesehatan gratis; � Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; � Perbaikan gizi masyarakat; � Peningkatan pelayanan perumahan, lingkungan
pemukiman, sanitasi dan air bersih.
� Kesehatan gratis; � Peningkatan kualtas pelayanan kesehatan; � Peningkatan gizi masyarakat; � Pencegahan dan pemberantasan penyakit; � Promosi kesehatan; � Peningkatan layanan perumahan, lingkungan
pemukiman, sanitasi dan air bersih.
Sumber: RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan Renstra-SKPD Kesehatan 2008-2013.
Prioritas pembangunan daerah Sulawesi Selatan untuk bidang kesehatan secara keseluruhan
dijabarkan oleh Dinas Kesehatan dalam Renstranya dalam periode yang sama. Empat prioritas
pembangunan bidang kesehatan semuanya dijabarkan dengan substansi dan kalimat yang sama dalam
Renstra Dinas Kesehatan. Selain itu, terdapat dua prioritas dalam Renstra yang tidak diderivasikan dari
RPJMD. Kedua prioritas pembangunan SKPD tersebut adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit,
serta promosi kesehatan. Hal ini masih dapat ditoleransi dalam perencanaan, mengingat SKPD
menjabarkan lebih luas dari apa yang telah direncanakan pada tingkat daerah. Yang tidak dapat
ditoleransi adalah jika terjadi sebaliknya, adanya prioritas pembangunan daerah yang tidak terjabarkan
ke dalam prioritas SKPD sehingga prioritas pembangunan daerah tersebut tidak dapat
diimplementasikan karena tidak terdapat dalam skema prioritas masing-masing SKPD sebagai pelaksana
teknis program/kegiatan pembangunan daerah.
Tabel 2.6. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Bercirikan Perdesaan Dalam RPJMD Luwu
Utara 2005-2010 dan Renstra SKPD Dinas Pertanian Luwu Utara 2005-2010
Prioritas RPJMD Luwu Utara Bidang Pertanian Prioritas Renstra SKPD Pertanian
� Program pembangunan yang dapat mendorong tumbuhnya kegiatan sektor-sektor usaha yang ada di perdesaan.
� Pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana jalan desa penghasil produk pertanian menuju kota-kota kecamatan dan sentra-sentra pasar.
� Percepatan upaya untuk memperlancar pergerakan arus barang hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan menuju pusat-pusat perekonomian wilayah.
� Peningkatan ketahanan pangan; � Pengembangan agribisnis; � Peningkatan SDM Aparat dan Petani-Nelayan; � Peningkatan sarana dan prasarana pertanian dan
kelautan; � Kewaspadaan rawan pangan.
Sumber: RPJMD Luwu Utara 2005-2010 dan Renstra-SKPD Pertanian 2005-2010.
Di tingkat kabupaten/kota kesesuaian Prioritas RPJMD dan Prioritas Renstra SKPD beragam. Rumusan
program prioritas pembangunan daerah bidang pertanian nampak berbeda dengan rumusan program
prioritas pembangunan SKPD Pertanian di Kabupaten Luwu Utara. Terutama karena rumusan
pembangunan daerah lebih bersifat umum dan lintas sektoral, bukan hanya oleh SKPD pertanian tetapi
30
30 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
juga harus mampu dijabarkan oleh sektor-sektor terkait lainnya. Prioritas pembangunan daerah ini juga
dijabarkan oleh bidang perindustrian untuk pengembangan industri rumah tangga di perdesaan. Begitu
juga untuk prioritas pembangunan daerah peningkatan sarana dan prasarana jalan desa untuk
memperlancar arus barang produk-produk pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, juga
merupakan bagian utama dari tanggung jawab bidang ke-PU-an serta sarana dan prasarana wilayah.
Sementara untuk sektor tertentu, penjabarannya lebih spesifik. Dinas Kesehatan Kota Makassar lebih
detail dan cermat menderivasi satu prioritas pembangunan daerah bidang kesehatan menjadi enam
belas program pokok SKPD Kesehatan. masyarakat Kota Makassar melalui akumulasi pencapaian
enambelas program pokok pembangunan kesehatan dalam lima tahun implementasi pembangunan
daerah.
Tabel 2.7. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Perkotaan Dalam RPJMD Makassar 2009-2014
dan Renstra SKPD Dinas Kesehatan Makassar 2009-2014
Program Prioritas RPJMD Makassar Bidang Kesehatan Program Prioritas Renstra SKPD Dinas Kesehatan
� Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat. � Obat dan perbekalan kesehatan; � Upaya kesehatan masyarakat; � Pengawasan obat dan makanan; � Pengembangan obat asli Indonesia; � Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat; � Perbaikan gizi masyarakat; � Pengembangan lingkungan sehat; � Pencengahan dan penanggulangan penyakit; � Standarisasi pelayanan kesehatan; � Pelayanan kesehatan penduduk miskin; � Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan
prasarana Puskesmas/Pustu dan jaringannya; � Kemitraan pelayanan kesehatan; � Peningkatan pelayanan kesehatan anak balita; � Peningkatan pelayanan kesehatan Lansia; � Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan; � Peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak.
Sumber: RPJMD Makassar 2009-2014 dan Renstra-SKPD Kesehatan 2009-2014.
Ketidakmampuan mengintegrasikan program prioritas antar SKPD menjadi kendala utama dalam
penjabaran prioritas pembangunan daerah menjadi prioritas pembangunan masing-masing SKPD.
Masing-masing SKPD cenderung parsial dengan menonjolkan ego-sektoral dalam penjabaran prioritas
program pembangunan daerah, terutama jika telah bersentuhan dengan penganggaran. Pada sejumlah
daerah, saling mengklaim tanggungjawab terhadap implementasi program pembangunan lebih
menonjol dibandingkan upaya-upaya nyata untuk mengintegrasikan dan mensinergikan setiap SKPD
untuk pencapain hasil yang lebih optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini
nampak pada kecenderungan setiap SKPD untuk menjadikan program-programnya sebagai prioritas
pembangunan daerah, dan mengabaikan upaya untuk menciptakan sinergi, keterkaitan dan saling
mendukung antar program SKPD dalam kerangka pencapaian visi-misi, kebijakan dan program
pembangunan daerah. Lemahnya kemampuan dalam mengakumulasikan rumusan perencanaan
pembangunan daerah secara simultan dari setiap SKPD menyebabkan terdikotominya substansi peran
dari setiap SKPD terhadap pencapaian pembangunan daerah secara komp
2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
Perencanaan dan penganggaran secara partisipatif masih terbatas didefinisikan dari proses Musrenbang
desa/kelurahan hingga menghasilkan RKPD pada Musrenbang provinsi/kabupaten/kota. Sejatinya,
rangkaian pelaksanaan Musrenbang tersebut hanya menggambarkan proses perencanaan
belum mampu menyentuh esensi utama dari perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif
sejatinya dari dan oleh masyarakat dengan didukung oleh segenap sumberday
lingkungan komunitasnya sendiri maupun dari luar komunitas masyarakat bersangkutan. Masyarakat
yang merencanakan, masyarakat yang melaksanakan hingga mengevaluasi implementasinya dengan
didukung oleh segenap sumberdaya yang tersedia p
internal maupun secara eksternal. Secara internal, sumberdaya yang dimiliki dan diperoleh dari
rumahtangga dan kelompok masyarakat bersangkutan, dan secara eksternal dukungan sumberdaya
diperoleh dari pemerintah lokal dan pelaku usaha lokal.
Gambar 2.2. Alur pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah
Sumber: Diolah dari SEB Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas tentang Petunjuk Teknis Penyele
Kualitas penyusunan perencanaan partisipatif masih tergolong rendah.
keterbatasan sumberdaya manusia dalam merumuskan dan mengkoordinasikan hasil perencanaan
pembangunan pada semua tingkatan, juga karena
pelaksanaan Musrenbang yang sangat terbatas, sehingga tidak mampu menghasilkan rumusan dan
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
pembangunan daerah secara simultan dari setiap SKPD menyebabkan terdikotominya substansi peran
dari setiap SKPD terhadap pencapaian pembangunan daerah secara komprehensif.
2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
Perencanaan dan penganggaran secara partisipatif masih terbatas didefinisikan dari proses Musrenbang
desa/kelurahan hingga menghasilkan RKPD pada Musrenbang provinsi/kabupaten/kota. Sejatinya,
rangkaian pelaksanaan Musrenbang tersebut hanya menggambarkan proses perencanaan
belum mampu menyentuh esensi utama dari perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif
sejatinya dari dan oleh masyarakat dengan didukung oleh segenap sumberdaya yang ada, baik dari
lingkungan komunitasnya sendiri maupun dari luar komunitas masyarakat bersangkutan. Masyarakat
yang merencanakan, masyarakat yang melaksanakan hingga mengevaluasi implementasinya dengan
didukung oleh segenap sumberdaya yang tersedia pada komunitasnya, baik yang diperoleh secara
internal maupun secara eksternal. Secara internal, sumberdaya yang dimiliki dan diperoleh dari
rumahtangga dan kelompok masyarakat bersangkutan, dan secara eksternal dukungan sumberdaya
lokal dan pelaku usaha lokal.
Gambar 2.2. Alur pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah
Diolah dari SEB Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang, Tahun 2005.
Kualitas penyusunan perencanaan partisipatif masih tergolong rendah. Bukan hanya karena
keterbatasan sumberdaya manusia dalam merumuskan dan mengkoordinasikan hasil perencanaan
pembangunan pada semua tingkatan, juga karena keterbatasan waktu (seringkali hanya satu hari) untuk
pelaksanaan Musrenbang yang sangat terbatas, sehingga tidak mampu menghasilkan rumusan dan
31
31 engelolaan Keuangan Daerah
pembangunan daerah secara simultan dari setiap SKPD menyebabkan terdikotominya substansi peran
Perencanaan dan penganggaran secara partisipatif masih terbatas didefinisikan dari proses Musrenbang
desa/kelurahan hingga menghasilkan RKPD pada Musrenbang provinsi/kabupaten/kota. Sejatinya,
rangkaian pelaksanaan Musrenbang tersebut hanya menggambarkan proses perencanaan bottom-up,
belum mampu menyentuh esensi utama dari perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif
a yang ada, baik dari
lingkungan komunitasnya sendiri maupun dari luar komunitas masyarakat bersangkutan. Masyarakat
yang merencanakan, masyarakat yang melaksanakan hingga mengevaluasi implementasinya dengan
ada komunitasnya, baik yang diperoleh secara
internal maupun secara eksternal. Secara internal, sumberdaya yang dimiliki dan diperoleh dari
rumahtangga dan kelompok masyarakat bersangkutan, dan secara eksternal dukungan sumberdaya
Diolah dari SEB Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bukan hanya karena
keterbatasan sumberdaya manusia dalam merumuskan dan mengkoordinasikan hasil perencanaan
keterbatasan waktu (seringkali hanya satu hari) untuk
pelaksanaan Musrenbang yang sangat terbatas, sehingga tidak mampu menghasilkan rumusan dan
32
32 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
koordinasi hasil perencanaan yang berkualitas dan menyentuh kebutuhan secara langsung. Ditambah
juga dengan arahan SKPD pada Musrenbang tingkat kecamatan/kelurahan/desa yang tidak tersosialisasi
dan tidak dipahami secara baik oleh panitia dan peserta Musrenbang, salah satunya karena ketidak-
lengkapan dokumen perencanaan yang menjadi arahan para perencana. Misalnya, tidak semua daerah
yang SKPD-nya memiliki Renja, atau belum banyak desa/kelurahan yang memiliki dokumen perencanaan
jangka menengah. Akibatnya, pelaksanaan Musrenbang pada semua tingkatan cenderung menjadi
sebuah rutinitas dan sekedar untuk menjalankan perintah peraturan-perundangan semata.
Usulan masyarakat melalui Musrenbang masih kurang diakomodasi dalam RAPBD. Hal ini terutama
karena pelaksanaan Musrenbang lebih fokus pada aspek teknisnya dibandingkan substansi Musrebang
itu sendiri. Keadaan ini semakin diperparah dengan tidak-adanya mekanisme umpan-balik pasca-
Musrenbang untuk menyampaikan kepada masyarakat yang mengusulkan program/kegiatan, tetapi
‘ditolak’ pada pelaksanaan Musrenbang tingkatan selanjutnya. Akibatnya, masyarakat pengusul tidak
mengetahui apakah usulan program/kegiatannya dianggarkan dalam RAPBD atau tidak, masyarakat
menunggu. Hal ini menyebabkan semakin lemahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pelaksanaan Musrenbang, terutama pada tingkat kecamatan/kelurahan/desa, sehingga minat
masyarakat untuk mengikuti Musrenbang semakin menurun. Apalagi Musrenbang dilaksanakan setiap
tahun dan jika tanpa dibarengi dengan implementasi kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat, maka
masyarakat akan semakin apriori terhadap pelaksanaan Musrenbang tersebut, khususnya pada
tingkatan pemerintahan kecamatan/kelurahan/desa.
Secara umum nampak kualitas dokumen perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota, masih
rendah. Hal ini nampak pada kelengkapan dan kualitas dokumen perencanaan di tingkat
kabupaten/kota yang masih terbatas, bukan hanya pada rendahnya penjabaran substansi setiap
dokumen secara konsisten, tetapi juga pada ketidaktersediaan dokumen-dokumen perencanaan
pembangunan secara permanen, khususnya pada tingkat SKPD. Hal ini dapat dilihat antara lain pada
sejumlah daerah tidak terdapat Renstra dan Renja SKPD, ataupun terdapat Renstra SKPD tetapi tidak
mempedomani RPJMD dan belum semua Renja SKPD mempedomani Renstra SKPD. Demikian halnya
dengan KUA/PPAS belum semua mempedomani RKPD, dan RKA SKPD belum secara konsisten
mempedomani Renja SKPD. Akibatnya, terdapat sejumlah program/kegiatan yang dianggarkan dalam
RAPBD/APBD yang tidak pernah ada pada dokumen-dokumen perencanaan daerah sebelumnya. Hal ini
terutama disebabkan oleh adanya intervensi terhadap perencanaan pembangunan, baik secara
eksternal maupun secara internal, sehingga dibutuhkan solusi permanen untuk itu, salah satunya
perlunya diterbitkan Perda tentang sistem perencanaan pembangunan daerah pada setiap
kabupaten/kota sebagaimana Perda tentang SPPD yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan, tentunya yang tidak bertentangan dengan perundangan-undangan yang ada (UU No. 25/2004;
PP No. 08/2008 serta Permendagri No. 54/2010).
2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan
Masih terdapat ketidaksesuaian antara prioritas pembangunan daerah dalam RKPD dengan anggaran
pada APBD. Hal ini terutama terjadi pada sejumlah daerah kabupaten yang tidak konsisten dan tidak
disiplin menjalankan perencanaan pembangunan da
perundangan yang berlaku. Kebutuhan yang sangat mendasar adalah pemahaman yang sama pada
setiap stakeholder pembangunan daerah dalam proses menerjemahkan perencanaan program ke dalam
penyusunan penganggaran pembangunan
kepentingan individu, kelompok, sektor dan bahkan wilayah di atas kepentingan daerah akan selalu
menjadi hambatan dalam menciptakan konsistensi perencanaan dan penganggaran pembangunan
daerah.
Gambar 2.3. Proses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD
Menuju RAPBD)
Sumber: Diolah dari Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Belum semua daerah provinsi/kabupaten/kota konsisten dan disiplin mengikuti jadwal yang
ditetapkan dalam proses penyusunan dan penetapan perencanaan dan penganggarannya sesuai
dengan perundangan. Proses dan tahapan penetapan RKPD pada akhir Mei belum sepen
setelah melalui proses Musrenbang Desa/Kelurahan hingga Musrenbang Kabupaten/Kota mulai dari
akhir Februari hingga awal Mei setiap tahunnya. Mekanisme RKPD menuju pembahasan RAPBD di DPRD
juga masih sering terlambat karena pembahasan di DPR
Ini penetapan Perda APBD untuk tahun berikutnya melampaui batas waktu paling lambat tanggal 31
Desember tahun sebelumnya. Keterlambatan tersebut terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan Anggaran Daerah
Masih terdapat ketidaksesuaian antara prioritas pembangunan daerah dalam RKPD dengan anggaran
Hal ini terutama terjadi pada sejumlah daerah kabupaten yang tidak konsisten dan tidak
disiplin menjalankan perencanaan pembangunan dan penganggaran sebagaimana peraturan
perundangan yang berlaku. Kebutuhan yang sangat mendasar adalah pemahaman yang sama pada
pembangunan daerah dalam proses menerjemahkan perencanaan program ke dalam
penyusunan penganggaran pembangunan daerah. Tanpa perspektif yang sama, menempatkan
kepentingan individu, kelompok, sektor dan bahkan wilayah di atas kepentingan daerah akan selalu
menjadi hambatan dalam menciptakan konsistensi perencanaan dan penganggaran pembangunan
ses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD
Diolah dari Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Belum semua daerah provinsi/kabupaten/kota konsisten dan disiplin mengikuti jadwal yang
ditetapkan dalam proses penyusunan dan penetapan perencanaan dan penganggarannya sesuai
Proses dan tahapan penetapan RKPD pada akhir Mei belum sepen
setelah melalui proses Musrenbang Desa/Kelurahan hingga Musrenbang Kabupaten/Kota mulai dari
akhir Februari hingga awal Mei setiap tahunnya. Mekanisme RKPD menuju pembahasan RAPBD di DPRD
juga masih sering terlambat karena pembahasan di DPRD rata-rata membutuhkan waktu yang panjang.
Ini penetapan Perda APBD untuk tahun berikutnya melampaui batas waktu paling lambat tanggal 31
Desember tahun sebelumnya. Keterlambatan tersebut terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari
33
33 engelolaan Keuangan Daerah
Masih terdapat ketidaksesuaian antara prioritas pembangunan daerah dalam RKPD dengan anggaran
Hal ini terutama terjadi pada sejumlah daerah kabupaten yang tidak konsisten dan tidak
n penganggaran sebagaimana peraturan-
perundangan yang berlaku. Kebutuhan yang sangat mendasar adalah pemahaman yang sama pada
pembangunan daerah dalam proses menerjemahkan perencanaan program ke dalam
daerah. Tanpa perspektif yang sama, menempatkan
kepentingan individu, kelompok, sektor dan bahkan wilayah di atas kepentingan daerah akan selalu
menjadi hambatan dalam menciptakan konsistensi perencanaan dan penganggaran pembangunan
ses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD
Diolah dari Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13
Belum semua daerah provinsi/kabupaten/kota konsisten dan disiplin mengikuti jadwal yang
ditetapkan dalam proses penyusunan dan penetapan perencanaan dan penganggarannya sesuai
Proses dan tahapan penetapan RKPD pada akhir Mei belum sepenuhnya dipatuhi,
setelah melalui proses Musrenbang Desa/Kelurahan hingga Musrenbang Kabupaten/Kota mulai dari
akhir Februari hingga awal Mei setiap tahunnya. Mekanisme RKPD menuju pembahasan RAPBD di DPRD
rata membutuhkan waktu yang panjang.
Ini penetapan Perda APBD untuk tahun berikutnya melampaui batas waktu paling lambat tanggal 31
Desember tahun sebelumnya. Keterlambatan tersebut terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari
34
34 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
keterlambatan pelaksanaan Musrenbang, keterlambatan perumusan dan sinkronisasi perencanaan
SKPD, keterlambatan penyusunan RKPD yang berakibat pada keterlambatan penyusunan KUA oleh
TAPD, keterlambatan kesepakatan KUA-PPA oleh TAPD-PAL hingga pada alotnya pembahasan di DPRD.
Secara keseluruhan hal tersebut bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan SDM untuk menjalankan
mekanisme dalam rangkaian panjang perencanaan-penganggaran pembangunan daerah, juga antara
lain disebabkan oleh banyaknya intervensi kepentingan dari berbagai stakeholder pembangunan daerah.
Tabel 2.8. Program prioritas dalam Renja Dinas Kesehatan 2010 dan APBD Sulawesi Selatan 2010
Renja-SKPD Kesehatan Program Bidang Kesehatan dalam APBD Sulawesi
Selatan
� Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat � Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
� Peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak � Peningkatan kesehatan ibu melahirkan dan anak
� Peningkatan kesehatan bayi dan anak balita � Peningkatan kesehatan bayi dan anak balita
� Peningkatan pelayanan kesehatan lansia � Peningkatan pelayanan kesehatan lansia
� Pelayanan kesehatan penduduk miskin � Pelayanan kesehatan penduduk miskin
� Upaya kesehatan masyarakat � Upaya kesehatan masyarakat
� Standarisasi pelayanan kesehatan � Standarisasi pelayanan kesehatan
� Obat dan perbekalan kesehatan � Obat dan perbekalan kesehatan � Pengadaan obat, peralatan dan perbekalan kesehatan
� Pengembangan obat asli Indonesia � Pengembangan obat asli Indonesia
� Penanggulangan KEP, AGB, GAKY, KVA dan kekurangan zat gizi mikro lainnya
� Perbaikan gizi masyarakat
� Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan � Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan
� Pencegahan dan pemberantasan penyakit � Pencegahan dan pemberantasan penyakit
� Promosi dan pemberdayaan masyarakat � Promosi kesehatan dan pemberdayaan
� Sarana air bersih dan sanitasi dasar � Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan � Pengendalian pencemaran lingkungan
� Tidak dianggarkan dalam APBD
� Pengembangan wilayah sehat � Pengembangan lingkungan sehat
� Pelayanan administrasi perkantoran � Pelayanan administrasi perkantoran
� Peningkatan sarana dan prasarana aparatur � Peningkatan sarana dan prasarana � Peningkatan disiplin aparatur � Peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur
� Tidak ada program prioritas yang terkait dalam Renja SKPD Kesehatan
� Pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan
� Kemitraan pelayanan kesehatan � Pemeliharaan, peningkatan sarana dan prasarana RSIA
Siti Fatimah � Pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana RS/RS
Jiwa � Pemeliharaan sarana dan prasarana rumah sakit
Sumber: Diolah dari Renja-SKPD Kesehatan 2010 dan APBD Provinsi Sulawesi Selatan 2010
35
35 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD,
demikian juga sebaliknya. APBD Sulawesi Selatan Tahun 2010 memperlihatkan sejumlah program
bidang kesehatan yang tertuang dalam penjabaran APBD yang sebelumnya tidak tercantum dalam
dokumen Renja-SKPD Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2010. Misalnya pengembangan sistem
pelaporan capaian kinerja dan keuangan; kemitraan pelayanan kesehatan; pemeliharaan, peningkatan
sarana dan prasarana RSIA Siti Fatimah; pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana RS/RS Jiwa; serta
pemeliharaan sarana dan prasarana rumah sakit. Ini disebabkan karena kurang dipertegasnya
kedudukan rumah sakit/rumah sakit jiwa dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan
daerah. Otonomi RS/RSJ atau bahkan Puskesmas pada kabupaten/kota mengharuskannya memiliki
kewenangan dalam penganggaran, sementara itu kewenangannya dalam perencanaan program sangat
terbatas. Sebaliknya, terdapat program yang direncanakan dalam dokumen Renja-SKPD Kesehatan
Sulawesi Selatan 2010 yang tidak dianggarkan dalam APBD Sulawesi Selatan Tahun 2010. Program
tersebut adalah peningkatan sarana air bersih dan sanitasi dasar; pemeliharaan dan pengawasan
kualitas lingkungan; serta pengendalian pencemaran lingkungan. Dan ini dikarenakan program
bersangkutan bersifat lintas SKPD, sehingga SKPD Kesehatan hanya sebagai pendukung, aktor utamanya
diperankan oleh SKPD Lingkungan Hidup.
2.5 Pengukuran Kinerja dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Penerapan penyusunan anggaran berbasis kinerja belum sepenuhnya dijalankan pada setiap daerah,
bahkan pada beberapa daerah lebih kepada kinerja yang berbasis anggaran. Hal ini di samping karena
pemahaman dan operasionalisasi ABK yang masih terbatas, juga karena keterbatasan anggaran
pemerintah daerah yang menyebabkan kinerja pembangunan daerah harus ditetapkan dengan
didasarkan pada ketersediaan anggaran yang dimiliki pemerintah daerah. Akibatnya, kinerja yang
ditetapkan dengan berbasis pada kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak dapat saja tidak
terlaksana karena adanya keterbatasan anggaran.
36
36 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran
Sumber: Modul Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerj
Anggaran berbasis kinerja, baik secara konseptual maupun secara teknis belum sepenuhnya dipahami
secara luas oleh aparat pemerintah daerah. Penerapan ABK belum sepenuhnya efektif dilaksanakan
pada semua daerah, terutama pada sejumlah
juga berupa pelaksanaan tugas wajib yang dikreasikan pemerintah pusat. Di samping karena konstrain
keterbatasan anggaran, juga karena keterbatasan sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah
yang memiliki latar belakang disiplin keilmuan akuntansi sektor publik, khususnya yang memiliki
keahlian khusus pada bidang pengelolaan keuangan daerah. Aparat pemerintah daerah dituntut bukan
hanya memiliki pengetahuan teknis, tetapi juga sangat penting memiliki k
filosofis dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran berbasis kinerja.
Penetapan indikator kinerja pembangunan daerah yang tepat dan terukur belum nampak pada semua
daerah dan dokumen perencanaan SKPD. Indikator
tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon IV, indikator
program pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon III, sedangkan indikator
mengukur kinerja kebijakan pada ting
bersangkutan akan mengakumulasi pencapaian visi pembangunan yang dijalankan oleh kepada daerah
bersangkutan. Secara umum masih terjadi kesalahan penetapan indikator
bukan hanya kesalahan dalam menempatkan indikator sesuai dengan tingkatan bebannya, tetapi juga
sebagian indikator yang ditetapkan pada dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD belum
menunjukkan indikator yang terukur, sehingga akan mengalami kesu
kinerja pembangunan daerah secara keseluruhan.
Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran
: Modul Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja (Agussalim, 2011).
Anggaran berbasis kinerja, baik secara konseptual maupun secara teknis belum sepenuhnya dipahami
secara luas oleh aparat pemerintah daerah. Penerapan ABK belum sepenuhnya efektif dilaksanakan
pada semua daerah, terutama pada sejumlah SKPD yang memiliki jumlah kegiatan, di samping banyak
juga berupa pelaksanaan tugas wajib yang dikreasikan pemerintah pusat. Di samping karena konstrain
keterbatasan anggaran, juga karena keterbatasan sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah
liki latar belakang disiplin keilmuan akuntansi sektor publik, khususnya yang memiliki
keahlian khusus pada bidang pengelolaan keuangan daerah. Aparat pemerintah daerah dituntut bukan
hanya memiliki pengetahuan teknis, tetapi juga sangat penting memiliki kemampuan konseptual dan
filosofis dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran berbasis kinerja.
Penetapan indikator kinerja pembangunan daerah yang tepat dan terukur belum nampak pada semua
daerah dan dokumen perencanaan SKPD. Indikator output untuk mengukur kinerja kegiatan pada
tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon IV, indikator outcome untuk mengukur kinerja
program pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon III, sedangkan indikator
mengukur kinerja kebijakan pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon II atau kepala SKPD
bersangkutan akan mengakumulasi pencapaian visi pembangunan yang dijalankan oleh kepada daerah
bersangkutan. Secara umum masih terjadi kesalahan penetapan indikator-indikator kinerja tersebut
bukan hanya kesalahan dalam menempatkan indikator sesuai dengan tingkatan bebannya, tetapi juga
sebagian indikator yang ditetapkan pada dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD belum
menunjukkan indikator yang terukur, sehingga akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan evaluasi
kinerja pembangunan daerah secara keseluruhan.
Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran
Anggaran berbasis kinerja, baik secara konseptual maupun secara teknis belum sepenuhnya dipahami
secara luas oleh aparat pemerintah daerah. Penerapan ABK belum sepenuhnya efektif dilaksanakan
SKPD yang memiliki jumlah kegiatan, di samping banyak
juga berupa pelaksanaan tugas wajib yang dikreasikan pemerintah pusat. Di samping karena konstrain
keterbatasan anggaran, juga karena keterbatasan sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah
liki latar belakang disiplin keilmuan akuntansi sektor publik, khususnya yang memiliki
keahlian khusus pada bidang pengelolaan keuangan daerah. Aparat pemerintah daerah dituntut bukan
emampuan konseptual dan
Penetapan indikator kinerja pembangunan daerah yang tepat dan terukur belum nampak pada semua
ur kinerja kegiatan pada
untuk mengukur kinerja
program pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon III, sedangkan indikator impact untuk
kat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon II atau kepala SKPD
bersangkutan akan mengakumulasi pencapaian visi pembangunan yang dijalankan oleh kepada daerah
indikator kinerja tersebut,
bukan hanya kesalahan dalam menempatkan indikator sesuai dengan tingkatan bebannya, tetapi juga
sebagian indikator yang ditetapkan pada dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD belum
litan dalam pelaksanaan evaluasi
Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah
Sumber: Diolah dari SEB Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Kementerian
Keuangan tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Tahun 2009.
Secara umum, daerah memiliki Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah.
tersebut bersifat dinamis mengikuti dan merupakan penjabaran dari UU, PP, dan Permen yang terkait
dengan pengelolaan keuangan negara dan daerah, antara lain Perda tentang pokok
keuangan daerah dan/atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tentang pengelolaan aset daerah
dan/atau SOP pengelolaan keuangan daerah. Hanya saja, dalam implementasiny
masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain kendala kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang
berubah-ubah dan keterbatasan SDM aparat bidang pengelolaan keuangan publik, selain kendala secara
substansial dan teknis lainnya. Dibutuhka
keuangan daerah yang secara permanen dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk menata
pengelolaan keuangan daerahnya atas dasar jaminan dan kepastian secara berkesinambungan.
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah
Diolah dari SEB Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Kementerian
g Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Tahun 2009.
Secara umum, daerah memiliki Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah.
tersebut bersifat dinamis mengikuti dan merupakan penjabaran dari UU, PP, dan Permen yang terkait
pengelolaan keuangan negara dan daerah, antara lain Perda tentang pokok-pokok pengelolaan
keuangan daerah dan/atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tentang pengelolaan aset daerah
dan/atau SOP pengelolaan keuangan daerah. Hanya saja, dalam implementasinya sejumlah daerah
masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain kendala kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang
ubah dan keterbatasan SDM aparat bidang pengelolaan keuangan publik, selain kendala secara
substansial dan teknis lainnya. Dibutuhkan Perda yang secara konsisten mengatur pengelolaan
keuangan daerah yang secara permanen dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk menata
pengelolaan keuangan daerahnya atas dasar jaminan dan kepastian secara berkesinambungan.
37
37 engelolaan Keuangan Daerah
Diolah dari SEB Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Kementerian
Secara umum, daerah memiliki Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah. Perda
tersebut bersifat dinamis mengikuti dan merupakan penjabaran dari UU, PP, dan Permen yang terkait
pokok pengelolaan
keuangan daerah dan/atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tentang pengelolaan aset daerah
a sejumlah daerah
masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain kendala kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang
ubah dan keterbatasan SDM aparat bidang pengelolaan keuangan publik, selain kendala secara
n Perda yang secara konsisten mengatur pengelolaan
keuangan daerah yang secara permanen dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk menata
pengelolaan keuangan daerahnya atas dasar jaminan dan kepastian secara berkesinambungan.
38
38 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Tabel 2.9. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2010
No. Provinsi, Kabupaten
dan Kota
Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
2005 2006 2007 2008 2009 2010**)
1. Sulawesi Selatan WDP WDP TMP TMP WDP WTP
2. Bantaeng WDP WDP WDP WDP WDP WDP
3. Barru WDP WDP WDP WDP WDP
4. Bone WDP WDP WDP WDP WDP WDP
5. Bulukumba WDP WDP TMP WDP WDP WDP
6. Enrekang WDP WDP WDP WDP WDP WDP
7. Gowa WDP WDP WDP WDP WDP WDP
8. Jeneponto TMP WDP TMP WDP *)
9. Kepulauan Selayar TMP WDP TMP WDP *)
10. Luwu WTP WDP WDP WDP WDP *)
11. Luwu Timur WDP WDP TMP WDP WDP *)
12. Luwu Utara WDP WDP WDP WDP WTP
13. Maros TMP TMP TMP TMP TMP TMP
14. Pangkajene Kepulauan WTP WDP WDP WDP WDP WDP
15. Pinrang WDP WDP WDP WDP WDP *)
16. Sidenreng Rappang WDP WDP WDP WDP WDP WDP
17. Sinjai WDP WDP WDP WDP WDP *)
18. Soppeng WDP WDP WDP WDP WDP *)
19. Takalar WDP WDP WDP WDP WDP WDP
20. Tana Toraja WDP WDP WDP WDP WDP *)
21. Toraja Utara WDP *)
22. Wajo WTP WDP WDP WDP WDP WDP
23. Makassar WDP WDP WDP WDP WDP *)
24. Palopo WDP WDP WDP WDP TMP TMP
25. Parepare WDP WDP WDP WDP WDP *)
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan LKPD BPK-RI, Tahun 2010.
Keterangan: *) Dalam Proses Pemeriksaan; **) Diperoleh Dari Bawasda Sulawesi Selatan.
WTP (opini Wajar Tanpa Pengecualian), WDP (opini Wajar Dengan Pengecualian), TW (opini Tidak Wajar), TMP
(pernyataan menolak memberikan opini atau tidak memberikan pendapat-disclaimer of opinion).
Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan mengalami perbaikan secara signifikan
dalam dua tahun terakhir. Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) mengalami perbaikan berarti,
dengan memperoleh opini wajar dengan pengecualian pada tahun 2009, bahkan pada tahun 2010
sukses mencapai opini kasta tertinggi dengan memperoleh penilaian wajar tanpa pengecualian. Hal ini
menunjukkan prestasi tertinggi karena dua tahun sebelumnya, tahun 2007 dan tahun 2008 memperoleh
penilaian terendah dengan secara berturut-turut memperoleh opini disclaimer of opinion.
Sejumlah daerah mampu mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan masih terdapat
daerah yang mendapatkan penilaian disclaimer of opinion-menolak memberikan opini atau tidak
memberikan pendapat dalam pengelolaan keuangan daerahnya. Maros dan Palopo dua daerah yang
memperoleh disclaimer of opinion, bahkan Maros telah enam tahun berturut-turut memperoleh
39
39 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
penilaian tersebut. Tiga daerah yang pada tahun 2005 telah memperoleh penilaian opini wajar tanpa
pengecualian, setelah itu tidak pernah ada daerah yang memperoleh penilaian tersebut hingga tahun
2009. Pada Tahun 2010, hanya Kabupaten Luwu Utara yang memperoleh penilaian opini wajar tanpa
pengecualian (WTP), setelah empat tahun sebelumnya secara berturut-turut memperoleh penilaian
wajar dengan pengecualian (WDP). Sebaliknya, Kota Palopo mengalami kemunduran, di mana dalam
dua tahun terakhir memperoleh disclaimer of opinion, setelah tiga tahun sebelumnya berturut-turut
memperoleh opini wajar tanpa pengecualian. Daerah-daerah lainnya secara umum pengelolaan
keuangan daerahnya memperoleh penilaian sedang/cukup, dengan berhasil memperoleh penilaian
wajar dengan pengecualian, dan beberapa daerah lainnya untuk 2010 masih menunggu finalisasi hasil
pemeriksaan BPK, semoga menambah daerah yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dan
bukan sebaliknya, menambah daerah yang memperoleh disclaimer of opinion.
Kapasitas SKPD dalam melaksanakan pelaporan keuangan masih sangat rendah. Hal ini ditandai
dengan ketidaktepatan dan keterlambatan penyerahan laporan keuangan SKPD kepada pengelola
keuangan daerah. Kondisi ini terutama dialami oleh sejumlah SKPD pada sejumlah daerah dengan
volume program dan kegiatan yang sangat banyak, di samping program dan kegiatan yang dikreasikan
daerah, juga terdapat program dan kegiatan andalan nasional/provinsi, seperti yang dialami pada
urusan pendidikan dan urusan kesehatan. Keterbatasan kompetensi sumberdaya manusia aparat
pemerintah daerah menjadi alasan pokok rendahnya kapasitas SKPD tersebut dalam pelaporan
keuangannya.
Pengawasan dan monitoring internal dan eksternal terhadap pelaksanaan anggaran secara rutin dan
berkala dilakukan pada setiap daerah. Untuk kepentingan pembinaan pada sejumlah SKPD di tingkat
provinsi/kabupaten/kota audit internal oleh inspektorat daerah dapat dilaksanakan setiap bulannya,
atau minimal triwulanan. Audit eksternal dilakukan oleh BPK pada setiap daerah bisa sampai dua kali
dalam setahun, atau oleh Inspektorat provinsi melakukan audit eksternal ke kabupaten/kota sekali
dalam setahun sesuai dengan urgensi dan kebutuhan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah
masing-masing.
2.6 Hasil Analisa Pengelolaan Keuangan Daerah
Analisa pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada hasil asessmen PKD. Pengelolaan keuangan
daerah (PKD) merupakan serangkaian proses mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan
anggaran, sampai evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan (PP No. 58 tahun 2005). Asessmen
kapasitas PKD bertujuan untuk mengambil baseline sampel kapasitas pengelolaan keuangan daerah di
Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku atau mengarah pada
praktek-praktek terbaik pengelolaan keuangan publik. Asesmen PKD di Sulawesi Selatan dilakukan pada
1 pemerintah provinsi dan 3 kabupaten/kota sebagai sampel, yaitu Kota Pare-pare mewakili kota,
Kabupaten Jeneponto mewakili kabupaten dengan pendapatan terkapita yang rendah, Kabupaten Luwu
Timur mewakili kabupaten pemekaran. Alat asesmen yang digunakan adalah alat yang dikembangkan
oleh Departemen Dalam Negeri dan Bank Dunia berupa sistem penilaian balance scorecard pada 9
40
40 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
bidang strategis PKD, yakni kerangka peraturan perundangan daerah; perencanaan dan penganggaran;
pengelolaan kas; pengadaan barang dan jasa; akuntansi dan pelaporan; pengawasan internal; hutang
dan investasi publik; pengelolaan asset; serta audit dan pengawasan eksternal.
Kinerja PKD Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan tiga kabupaten/kota sudah baik. Hal ini terlihat
dari total skor PKD di ke empat pemerintahan tersebut yang berada di atas 60 persen. Pemerintah
Provinsi mencapai skor yang terbaik di antara sampel yang lain sebesar 77 persen. Jika dibandingkan
dengan beberapa daerah lain yang juga melakukan analisa PKD baru-baru ini, capaian Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (78 persen)
dan Jawa Timur (79%, angka sementara), dan di atas Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (60%,
angka sementara). Secara umum kinerja PKD pemerintah Sulawesi Selatan juga dapat dikatakan
Kabupaten Luwu Timur sebagai kabupaten baru justru memiliki skor PKD yang lebih baik dari
kabupaten/kota lainnya.
Gambar 2.6. Skor PKD Pemerintah Daerah yang Disampel di Sulawesi Selatan
Sumber: Hasil Survei PKD yang dilakukan Bank Dunia, 2011.
Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare merupakan contoh daerah dengan pengelolaan keuangan
yang baik. Dari 9 bidang penilaian PKD, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan selalu menempatkan diri
sebagai yang terbaik atau terbaik kedua dari 4 pemerintahan yang disampel. Kabupaten Luwu Timur dan
Kota Pare-pare mencatat nilai yang termasuk tinggi untuk ukuran kabupaten/kota. Rata-rata nilai PKD
kabupaten/kota di Sulawesi Utara adalah 64 persen. Luwu Timur memiliki capaian PKD terbaik dalam
bidang Pengelolaan Kas dan Akuntansi dan Pelaporan, Kota Pare-pare memiliki capaian PKD terbaik
dalam bidang Peraturan Perundangan Daerah. Kabupaten Jeneponto umumnya memiliki skor PKD yang
lebih rendah dari kedua daerah lainnya.
64.2%
70.1%
72.1%
73.8%
76.7%
Jeneponto
Rata-rata 3
Kab/Kota
Pare-Pare
Luwu Timur
Provinsi Sulawesi
SelatanKerangka Peraturan Perundangan Daerah
Perencanaan dan Penganggaran
Pengelolaan Kas
Pengadaan Barang dan Jasa
Akuntansi dan Pelaporan
Internal Audit
Hutang, Hibah, dan Investasi
Pengelolaan Aset
Audit Eksternal
41
41 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Tabel 2.7. Capaian Skor PKD Daerah yang Disampel Dalam 9 Bidang yang Dianalisa
Jeneponto Luwu Timur
Pare-Pare Prov. Sulawesi
Selatan Rata-rata 3
Kab/Kota
1 Kerangka Peraturan Perundangan Daerah 66,7% 76,2% 76,2% 71,4% 73,0% 2 Perencanaan dan Penganggaran 50,0% 64,3% 64,3% 71,4% 59,5% 3 Pengelolaan Kas 57,1% 71,4% 60,7% 67,9% 63,1% 4 Pengadaan Barang dan Jasa 75,0% 81,3% 75,0% 87,5% 77,1% 5 Akuntansi dan Pelaporan 55,6% 72,2% 55,6% 66,7% 61,1% 6 Internal Audit 64,7% 76,5% 70,6% 88,2% 70,6% 7 Hutang, Hibah, dan Investasi 90,0% 90,0% 90,0% 80,0% 90,0% 8 Pengelolaan Aset 55,0% 60,0% 75,0% 75,0% 63,3% 9 Audit Eksternal 63,6% 72,7% 81,8% 81,8% 72,7% Skor Total 64,2% 73,8% 72,1% 76,7% 70,1%
Sumber: Hasil Survei PKD yang dilakukan Bank Dunia, 2011.
2.7 Kesimpulan dan Rekomendasi
� Agenda Pembangunan kabupaten/kota telah mampu menyesuaikan dengan Agenda Provinsi seperti
tertuang dalam RPJMD, tetapi belum dapat menyesuaikan dengan Agenda Pembangunan Nasional
dalam RPJMN. Di sisi lain RPJMD Sulawesi Selatan secara konsisten menjabarkan agenda dan
prioritas pembangunan nasional. Ketidaksinkronan ini antara lain disebabkan peraturan yang tidak
sejalan, misalnya UU No. 32 tahun 2004 dengan UU No 25 tahun 2004.
� Baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Renstra dan Renja SKPD belum semua secara
konsisten menjabarkan program prioritas dari RPJMD dan RKPD. Bahkan terdapat sejumlah daerah
yang tidak memiliki dokumen perencanaan tahunan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah
daerah perlu menerapkan mekanisme reward dan punishment bagi SKPD yang berhasil atau lalai
dalam menyelesaikan RKPD dan Renja-nya.
� Masih banyak daerah yang terlambat jadwal dalam proses perencanaan dan penganggarannya
Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD,
demikian juga sebaliknya. Selain itu kualitas pelaksanaan dan hasil dokumentasi Musrenbang masih
tergolong rendah, ditunjukkan dengan masih kurangnya usulan masyarakat melalui Musrenbang
yang diakomodasi. Hal ini tidak hanya dipengaruhi proses dalam lembaga eksekutif semata, tetapi
juga disebabkan proses berlarut dalam lembaga legislatif. Direkomendasikan agar penguatan
kelembagaan dan sumber daya manusia mulai mengikutsertakan legislatif. Juga bisa dilakukan audit
hasil Musrenbang untuk melihat sejauh mana hasil akhir Musrenbang mengakomodasi usulan-
usulan awal.
� Pada sejumlah daerah kabupaten/kota, keterkaitan RKPD dan RAPBD/APBD masih tergolong rendah,
ditunjukkan dengan terdapatnya sejumlah program prioritas dalam RKPD dan Renja SKPD yang tidak
dianggarkan dalam RAPBD/APBD, demikian juga sebaliknya. Rekomendasinya adalah TAPD dan PAL
menjadikan RKPD dan Renja SKPD sebagai rujukan utama dalam penyusunan DPA dan RAPBD/APBD.
42
42 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
� Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat perencana dan pengelola keuangan daerah
belum memadai dalam penerapan anggaran berbasis kinerja, baik pada tingkat daerah maupun
pada tingkat SKPD. Langkah konkrit yang penting untuk dilakukan terkait dengan hal tersebut,
antara lain: (1) Penempatan SDM aparat perencana pembangunan yang memiliki latar belakang
keilmuan perencanaan pembangunan dan atau pernah mengikuti diklat fungsional perencanaan
pembangunan. (2) Penempatan SDM aparat pengelolaan keuangan daerah yang memiliki latar
belakang keilmuan ekonomi atau spesifik akuntansi keuangan publik dan atau minimal pernah
mengikuti diklat pengelolaan keuangan daerah.
� Pengawasan (audit) internal dan eksternal masih lebih banyak memberikan perhatian pada
dokumen anggaran dibandingkan dokumen perencanaan. Terkait dengan hal tersebut yang perlu
dilakukan adalah pelaksanaan audit eksternal dan internal terhadap dokumen perencanaan dan
penganggaran daerah, serta keterkaitan di antara keduanya.
� Terlepas dari masih banyaknya kekurangan dalam proses perencanaan pembangunan dan
pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah Sulwesi Selatan mencatat nilai yang baik dalam analisa
Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) yang dilakukan oleh Bank Dunia. Selain itu, dua dari tiga
kabupaten yang diambil sebagai sampel, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare, menunjukkan
nilai yang baik. Direkomendasikan agar kedua daerah ini dapat dijadikan pembelajaran dan contoh
PKD bagi daerah lainnya, paling tidak dari sisi ketersediaan dokumen.
�
44
44 Bab 3 Pendapatan Daerah
3.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan
Pendapatan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) di Sulawesi Selatan meningkat hampir dua kali
lipat selama kurun waktu 2005-2010. Pada periode tersebut, Pendapatan Daerah meningkat dari Rp 9
triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 16 triliun pada tahun 2010. Pendapatan Daerah yang dikelola oleh
pemerintah kabupaten/kota mencapai Rp 7,4 triliun pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 13 triliun
pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan 13 persen per tahun, sementara Pendapatan Daerah
Provinsi meningkat dari Rp 1,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 2,5 triliun pada tahun 2010 dengan
tingkat pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun.
Sebagian besar Pendapatan Daerah di Sulawesi Selatan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal
ini ditunjukkan oleh proporsi pendapatan kabupaten/kota terhadap total Pendapatan Daerah lebih
besar daripada proporsi pendapatan provinsi. Selama periode 2005-2010, proporsi pendapatan
kabupaten/kota terhadap total Pendapatan Daerah rata-rata 84 persen per tahun, sementara proporsi
pendapatan provinsi terhadap total Pendapatan Daerah mencapai rata-rata 16 persen per tahun.
Penyumbang terbesar Pendapatan Daerah Provinsi adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan rata-
rata mencapai 56 persen per tahun, sementara pendapatan kabupaten/kota dikontribusi oleh Dana
Perimbangan dengan rata-rata 84 persen per tahun.
Gambar 3.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Ketergantungan pemerintah daerah Sulawesi Selatan terhadap pemerintah pusat sangat besar.
Selama periode 2005-2010, Pendapatan Daerah yang berasal dari Dana Perimbangan rata-rata mencapai
Rp 10 triliun per tahun. Sumbangan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan
berkisar 69-83 persen atau secara rata-rata 76 persen selama tahun 2005-2010. Sumber Pendapatan
1.6 1.9 2.2 2.4 2.3 2.5 2.7
7.4
10.912.3 12.1 12.3
13.4 13.2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Rp
Tril
iun
Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan 2010=100
Provinsi Kabupaten/Kota
18 15 15 16 16 15 17
82 85 85 84 84 85 83
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2005
2006
2007
2008
2009
2010
*
2011
**
Proporsi Pendapatan Kab/Kota Terhadap Total Pendapatan
Provinsi Kabupaten/kota
45
45 Bab 3 Pendapatan Daerah
Daerah yang berasal dari PAD relatif kecil dengan rata-rata berkisar 15 persen. Selebihnya, sekitar 8
persen dikontribusi oleh Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Besarnya nilai dan proporsi Dana
Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah mencerminkan ketergantungan pemerintah daerah Sulawesi
Selatan terhadap pemerintah pusat sangat besar.
Gambar 3.2. Komposisi Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Pada periode 2005-2010, Pendapatan Daerah pemerintah provinsi didominasi oleh pendapatan yang
bersumber dari PAD dan cenderung meningkat. Pada tahun 2005, pendapatan yang bersumber dari
PAD sebesar Rp. 942 miliar dan meningkat menjadi Rp 1,4 triliun pada tahun 2010. Proporsi PAD
terhadap total pendapatan provinsi juga memperlihatkan kecenderungan yang meningkat sejak tahun
2006 sebesar 52 persen menjadi 58 persen pada tahun 2010 dengan rata-rata setiap tahun 56 persen.
Pada tahun 2011, pendapatan dari PAD direncanakan menyumbang sekitar 62 persen. Dengan
mencermati proporsi PAD dengan sumber Pendapatan Daerah lainnya, PAD merupakan penyumbang
terbesar terhadap Pendapatan Daerah Provinsi. Hal ini ditunjukkan oleh kontribusi Dana Perimbangan
yang hanya berkisar pada 41-46 persen dari total Pendapatan Daerah Provinsi atau secara rata-rata 42
persen setiap tahun selama periode 2005-2010 dan kontribusi Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah
hanya berkisar rata-rata 1 persen per tahun.
Berbeda dengan tingkat pemerintah provinsi, sumber daya fiskal pemerintah kabupaten/kota
didominasi oleh Dana Perimbangan dan cenderung menurun hingga tahun 2010. Pada tahun 2005,
pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Dana Perimbangan sebesar Rp 6,4 triliun
meningkat menjadi Rp 10,6 triliun pada tahun 2007, kemudian tiga tahun berikutnya menurun setiap
tahun hingga mencapai Rp 10 triliun pada tahun 2010. Proporsi Dana Perimbangan terhadap total
16 13 14 15 15 15 17
78 83 79 78 78
6971
6 4 6 8 7
1611
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2005
2006
2007
2008
2009
2010
*
2011
**
Proporsi Terhadap Total Pendapatan Daerah
PAD Dana Perimbangan Bagian Lain Penerimaan yang Sah
1.5 1.7 2.1 2.1 2.2 2.4 2.7
7.0
10.611.6 11.2 11.2 10.9 11.40.5
0.6
0.9 1.1 1.12.5 1.8
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Rp.
Tril
iun
PAD Dana Perimbangan Lain-Lain
46
46 Bab 3 Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah kabupaten/kota juga mengalami penurunan dari 86 persen pada tahun 2005 turun
menjadi 74 persen pada tahun 2010 dengan rata-rata 84 persen per tahun. Tingginya sumbangan Dana
Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota mengindikasikan tingginya ketergantungan
pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat. Meskipun Dana Perimbangan
mendominasi Pendapatan Daerah, namun upaya-upaya pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk
menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah telah nampak. Hal ini terlihat dari peningkatan PAD
dari Rp 523 miliar meningkat menjadi Rp 987 miliar pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010,
proporsi PAD terhadap total Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota rata-rata 7 persen per tahun.
Kapasitas fiskal kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan cenderung tidak merata.
Kabupaten/kota yang memiliki pendapatan per kapita terbesar di Sulawesi Selatan adalah Pare-Pare (Rp
3,8 juta) danKabupaten Selayar (Rp 3,4 juta). Kabupaten/kota yang mempunyai pendapatan per kapita
terendah adalah Kabupaten Bone, Kota Makassar, dan Kabupaten Gowa dengan Rp 1,1 juta. Ketiganya
juga merupakan 3 kabupaten/kota yang memiliki populasi terbesar di Sulsel. Sedangkan kabupaten
lainnya, pendapatan per kapita berkisar pada Rp 1,5 juta – Rp 2,7 juta. Perbedaan pendapatan per
kapita tersebut menandakan masih ada ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Sulawesi
Selatan.
Gambar 3.3. Komposisi Pendapatan per Kapita Daerah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi
Selatan, 2010
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Kabupaten/kota yang mempunyai PAD terbesar adalah Kabupaten Pare-Pare dan terendah adalah
Kabupaten Jeneponto. Pada tahun 2010, Kota Pare-Pare mempunyai pendapatan PAD per kapita
sebesar Rp 344 ribu dan terendah sebesar Rp 43 ribu ditempati oleh Kabupaten Jeneponto. Pada tahun
yang sama, dana transfer per kapita tertinggi berada di Kabupaten Selayar mencapai Rp 2,7 juta dan
terendah ditempati Kota Makassar sebesar Rp 648 ribu.
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
Rp
Juta
PAD Dana Perimbangan Lain-lain
47
47 Bab 3 Pendapatan Daerah
3.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pada periode 2005-2010, Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan (provinsi dan kabupaten/kota)
meningkat hampir dua kali lipat. Pada tahun 2005, Pendapatan Asli Daerah sebesar Rp 1,5 triliun
meningkat menjadi Rp 2,4 triliun pada tahun 2010. Porsi PAD terhadap total Pendapatan Daerah
mengalami peningkatan secara konsisten sejak tahun 2006 dengan nilai 13 persen menjadi 15 persen
pada tahun 2010 atau dengan rata-rata setiap tahun sebesar 15 persen. Pajak Daerah adalah
penyumbang terbesar PAD dengan menguasai sekitar 66 persen dari total PAD pada tahun 2005 dan
2008 dan 63 persen pada tahun 2010 dan direncanakan mencapai 70 persen pada tahun 2011.
Pendapatan dari Pajak Daerah meningkat dari Rp 971 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 1,6 triliun
pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010, rata-rata porsi Pajak Daerah terhadap total PAD sebesar
64 persen per tahun.
Pendapatan Daerah di Sulawesi Selatan yang berasal dari Retribusi Daerah mengalami peningkatan
signifikan dan merupakan sumber PAD terbesar kedua setelah Pajak Daerah. Pada periode 2005-2010,
pendapatan dari Retribusi Daerah meningkat dari Rp 294 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 524 miliar
pada tahun 2010. Proporsi pendapatan Retribusi Daerah terhadap total PAD rata-rata mencapai 19
persen per tahun, selebihnya sekitar 17 persen dikontribusi oleh sumber-sumber PAD yang lain. Sumber-
sumber PAD yang berasal dari Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-Lain PAD
Yang Sah juga memperlihatkan angka yang cenderung meningkat.
Gambar 3.4. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
971 1,0791,246
1,394 1,3601,526
1,875
294323
319348 400
524
501
8887
262120 187
124
128
112
202
266 260 208
235
23216%
13%
14% 15% 15% 15%
17%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
14%
16%
18%
20%
0.0
500.0
1,000.0
1,500.0
2,000.0
2,500.0
3,000.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Rp
Mili
ar
Lain-lain
Keuntungan dari Perusahaan Daerah
Retribusi
Pajak Daerah
PAD (% dari Total Penerimaan)
48
48 Bab 3 Pendapatan Daerah
Pajak daerah merupakan sumber utama PAD provinsi, sementara di pajak dan retribusi menjadi
sumber pendapatan kabupaten/kota. Pendapatan dari Pajak Daerah pada pemerintah provinsi
meningkat cukup drastis dari Rp 788 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 1,2 triliun pada tahun 2010
dengan rata-rata pendapatan Pajak Daerah sebesar Rp 1 triliun per tahun. Tingginya pajak dalam PAD
provinsi turut disumbang dari pajak kendaraan dan pajak bumi dan bangunan. Pertumbuhan ekonomi
yang berkisar antara 6-8 persen ikut menyumbang tingginya kedua jenis pajak tersebut Sumber
penerimaan lain kontribusinya relatif kecil. Retribusi Daerah menyumbang sekitar 7-8 persen dari total
PAD. Di tingkat kabupaten/kota, pajak daerah dan retribusi menyumbang sekitar 80 persen dari total
PAD, tumbuh 60 persen pada tahun 2010 dibanding tahun 2005.
Gambar 3.5. Perbandingan Komposisi PAD per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010
Sumber: Diolah dari APBD-P 2010.
Pada pemerintah kabupaten/kota, sumber PAD terbesar berasal dari Retribusi Daerah. Sumbangan
Retribusi Daerah terhadap PAD kabupaten/kota mencapai 43 persen pada tahun 2005, 41 persen pada
tahun 2010, dan 35 persen pada tahun 2011. Meskipun kontribusi pendapatan dari Retribusi Daerah
berfluktuasi, namun secara rata-rata Retribusi Daerah menyumbang sebesar 37 persen terhadap PAD
kabupaten/kota. Pajak Daerah merupakan sumber PAD terbesar kedua dengan rata-rata 29 persen per
tahun selama periode 2005-2010, selebihnya PAD dikontribusi oleh Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah
yang Dipisahkan dengan rata-rata 11 persen per tahun dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
sebesar 23 persen per tahun.
Komposisi Pendapatan Asli Daerah per kapita bervariasi antar kabupaten/kota pada tahun 2010.
Pendapatan Asli Daerah terbesar dikontribusi oleh Kota Makassar sekitar Rp 344 ribu dan terbesar
kedua adalah Kabupaten Pangkep sebesar Rp 241 ribu. Komponen terbesar dalam PAD di Kota Pare-
Pare adalah penerimaan Retribusi Daerah dengan nilai sebesar Rp 231 ribu dan di Kabupaten Pangkep
dikontribusi oleh penerimaan Pajak Daerah dengan nilai Rp 129 ribu. Kabupaten/kota yang mempunyai
PAD per kapita terkecil adalah Kabupaten Jeneponto dengan nilai Rp 43 ribu.
-50,000
100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000 400,000
Pajak Retribusi Keuntungan PUD PAD Lain
49
49 Bab 3 Pendapatan Daerah
3.3. Dana Perimbangan
Pendapatan Daerah yang bersumber dari DAU (provinsi dan kabupaten/kota) meningkat namun
proporsinya terhadap total Pendapatan Daerah menurun. DAU meningkat hampir dua kali lipat dari Rp
5,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 9 triliun pada tahun 2010 dengan rata-rata peningkatannya
sebesar 12,5 persen per tahun. Proporsi DAU terhadap total Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan
meningkat dari 62 persen tahun 2005 menjadi 67 persen pada tahun 2006, pada tahun berikutnya
cenderung menurun hingga menjadi 54 persen pada tahun 2010. Secara rata-rata, proporsi DAU
terhadap total Pendapatan Daerah mencapai 61 persen per tahun pada periode 2005-2010 dan proporsi
DAU terhadap Dana Perimbangan secara rata-rata per tahun sebesar 75 persen per tahun.
Sumbangan DAK terhadap pendapatan relatif kecil, tetapi cenderung meningkat di tingkat pemerintah
kabupaten/kota. Selama periode 2005-2010, proporsi Dana Alokasi Khusus (DAK) rata-rata
menyumbang 7 persen per tahun. Jumlah ini masih sedikit lebih kecil dari Dana Bagi Hasil yang rata-rata
sebesar 9 persen per tahun. Meski demikian jumlah DAK meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp. 384
miliar di tahun 2005 menjadi Rp. 985 miliar di tahun 2010. Kontribusi pendapatan dari DAK terhadap
total Dana Perimbangan kabupaten/kota meningkat, dimana pada tahun 2005 sebesar 6 persen
menjadi 13 persen pada tahun 2010.
Lebih dari separuh pendapatan yang bersumber dari DAU dialokasikan pada pemerintah daerah
kabupaten/kota. Hal ini semakin mempertegas otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. DAU
yang diterima pemerintah kabupaten/kota meningkat dari Rp 5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 8,3
triliun pada tahun 2010. Pada periode 2005-2010, porsi DAU yang dikelola oleh pemerintah
kabupaten/kota rata-rata setiap tahunnya sebesar 92 persen, hanya sekitar 8 persen dialokasikan pada
pemerintah provinsi. Dana Alokasi Umum pada pemerintah provinsi meningkat dari Rp 464 miliar pada
tahun 2005 menjadi Rp 706 miliar pada tahun 2010 atau secara rata-rata memperoleh DAU sebesar Rp
667 miliar per tahun.
Gambar 3.6. Komposisi Dana Perimbangan Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
1,038 1,174 1,427 1,208 1,108 1,374 1,158
5,579
8,563 8,944 8,644 8,661 8,573 9,063
62.066.7
61.5 60.0 60.2 54.0 57.0
4.3 6.7 8.2 9.3 9.7 6.2 7.2
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Rp M
iliarPer
sen
Dana Bagi Hasil DAU DAK % DAU % DAK % Dana Bagi Hasil
50
50 Bab 3 Pendapatan Daerah
Gambar 3.7. Perbandingan DAU di Sulawesi Selatan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Dana Bagi Hasil Pajak meningkat cukup signifikan dan lebih banyak dikelola oleh pemerintah
kabupaten/kota daripada pemerintah provinsi. Pendapatan dari DBH untuk kabupaten/kota
mengalami peningkatan sebesar Rp 298 miliar dari Rp 837 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 1.135
miliar pada tahun 2010. Pada pemerintah provinsi, penerimaan DBH pada tahun 2005 sebesar Rp 201
miliar meningkat menjadi Rp Rp 239 miliar pada tahun 2010. Proporsi Dana Bagi Hasil terhadap total
Dana Perimbangan kabupaten/kota secara rata-rata hanya 11 persen per tahun. Hal ini berarti selama
periode 2005-2010, sumbangan DBH Pajak masih sangat kecil.
Transfer DAU per kapita dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi
Selatan cukup bervariasi. Pada tahun 2010, Kabupaten Selayar dan Kota Pare-pare memperoleh
transfer DAU per kapita tertinggi mencapai Rp 2 juta. Kabupaten/kota yang mempunyai jumlah
penduduk yang cukup padat, seperti Kota Makassar dan Kabupaten Gowa memperoleh DAU per kapita
relatif rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang memiliki jumlah penduduk relatif
kecil. Kota Makassar memperoleh DAU per kapita sebesar Rp 481 ribu dan Kabupaten Gowa sebesar Rp
661 ribu.
464 662 737 722 707 706 769
5,1157,900 8,207 7,922 7,954 7,867
8,294
91.792.3
91.8 91.6 91.8 91.8 91.5
8.31 7.74 8.24 8.36 8.16 8.24 8.49
86
88
90
92
94
96
98
100
102
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
9,000
10,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Pe
rsen
Rp
Mili
ar
Provinsi Kabupaten/kota % DAU Kabupaten/kota % DAU Provinsi
51
51 Bab 3 Pendapatan Daerah
Gambar 3.8. Perbandingan Komposisi Dana Perimbangan per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di
Sulawesi Selatan, 2010
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
DAU DAK Dana Bagi Hasil
Tabel 3.1. Komposisi Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi
Selatan, 2005-2011
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Provinsi Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M %
Total Dana
Perimbangan 664 100 881 100 996 100 985 100 974 100 975 100 1.027 100
Dana Bagi Hasil 201 30 219 25 259 26 223 23 220 23 239 25 218 21
DAU 464 70 662 75 737 74 722 73 707 73 706 72 769 75
DAK 0 0 0 0 0 0 39 4 48 5 29 3 40 4
Kabupaten/Kota Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M %
Total Dana
Perimbangan 6.336 100 9.712 100 10.561 100 10.208 100 10.196 100 9.958 100 10.333 100
Dana Bagi Hasil 837 13 955 10 1.168 11 984 10 888 9 1.135 11 940 9
DAU 5.115 81 7.900 81 8.207 78 7.922 78 7.954 78 7.867 79 8.294 80
DAK 384 6 857 9 1.186 11 1.302 13 1.354 13 955 10 1.099 11
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
52
52 Bab 3 Pendapatan Daerah
3.4. Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah
Realisasi Pendapatan Daerah yang bersumber dari Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah berfluktuasi
sepanjang periode 2005-2010, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pada level provinsi,
Lain-lain Pendapatan yang Sah berfluktuasi dari, Rp 18 miliar pada tahun 2005, sebelum mencapai
pendapatan tertinggi sebesar Rp 59 pada tahun 2010. Sementara di tingkat kabupaten/kota,
pendapatan dari Bagian lain-lain pendapatan yang sah cenderung meningkat hingga tahun 2010. Lain-
lain Pendapatan yang Sah sesungguhnya merupakan transfer atau dana darurat dari level pemerintahan
yang lebih tinggi. Sehingga besarannya tidak dapat selalu diharapkan meningkat.
Gambar 3.9. Perkembangan Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah provinsi dan Kabupaten/Kota di
Sulawesi Selatan, 2005-2010
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
3.5. Pembiayaan Daerah
Sulawesi Selatan mengalami surplus pendapatan selama periode 2005-2007 namun defisit pada
periode 2008-2011. Surplus pendapatan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan nilai riil Rp 2.514
miliar. Surplus pendapatan pada periode 2005-2007 terjadi pada hampir semua kabupaten/kota. Hal ini
mengindikasikan daya serap anggaran pemerintah cukup rendah. Pada periode 2008-2011, pemerintah
Sulawesi Selatan mengalami defisit anggaran dan terbesar terjadi pada tahun 2008 dengan nilai riil
sebesar Rp 902 miliar. Tingginya angka defisit pada tahun 2008 terutama disebabkan oleh penurunan
penerimaan pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota yang berasal dari Dana Perimbangan dan
PAD, dan pada saat yang sama belanja pemerintah daerah mengalami peningkatan cukup signifikan.
Sebagian besar surplus APBD digunakan untuk pembayaran utang pokok yang jatuh tempo, transfer
ke dana cadangan dan penyertaan modal. Pada tahun 2006, pemanfaatan surplus untuk pembayaran
utang sebesar Rp 139 miliar, transfer ke dana cadangan sebesar Rp 120 milyar, dan penyertaan modal
18 35 9 4 20 59 0
520 516880
1,085 1,161
2,481
1,814
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Rp
Mili
ar
Provinsi Kabupaten/Kota
53
53 Bab 3 Pendapatan Daerah
pemerintah sebesar Rp 107 miliar. Pada tahun 2007, surplus digunakan untuk membayar utang sebesar
Rp 180 miliar, penyertaan modal sebesar Rp 92 miliar dan transfer dana cadangan sebesar Rp 47 miliar.
Pada periode defisit APBD (2008-2011), sebagian besar defisit didanai dari sisa lebih perhitungan
anggaran tahun lalu (SiLPA) dan cenderung menurun hingga tahun 2011. Pada tahun 2008, sumber
pembiayaan defisit yang berasal dari SiLPA sebesar Rp 2.095 miliar menurun menjadi Rp 780 miliar pada
tahun anggaran 2010. Pada tahun 2008, sumber pembiayaan defisit terbesar kedua setelah SiLPA adalah
hasil penjualan asset daerah dengan nilai riil sebesar Rp 130 miliar dan pinjaman sebagai urutan
terbesar ketiga dengan nilai Rp 30 miliar. Pada tahun 2009-2010, pembiayaan defisit didominasi oleh
penerimaan pinjaman daerah yang mengalami peningkatan drastis dari Rp 69 miliar menjadi Rp 305
miliar pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan peran pinjaman sebagai sumber pembiayaan
pembangunan cukup besar. Demikian halnya dengan hasil penjualan aset daerah cenderung meningkat
dari Rp 117 miliar pada tahun 2010 menjadi Rp 132 miliar pada tahun 2011.
Gambar 3.10. Perkembangan Surplus/Defisit APBD Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Pemerintah provinsi mengalami defisit hampir setiap tahun, sementara pemerintah kabupaten/kota
mengalami defisit pada empat tahun terakhir. Pada pemerintah provinsi, defisit terbesar terjadi pada
tahun 2010 yang mencapai Rp 261 miliar dan menurun menjadi Rp 71 miliar pada tahun anggaran 2011.
Defisit anggaran pada pemerintah kabupaten/kota terbesar sebesar Rp 773 miliar pada tahun 2008.
Tingginya defisit pemerintah provinsi dan kabupaten/kota seiring dengan peningkatan lebih cepat
belanja pemerintah dibandingkan peningkatan Pendapatan Daerah. Sumber pembiayaan defisit baik
pada pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota berasal dari SiLPA dan sumber-sumber lainnya
sebagaimana diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004.
-10 110 -27 -128 69 -261 -71
1,033
2,404
614-773
-421-627
-285
-1,500
-1,000
-500
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
2005
2006
2007
2008
2009
2010
*
2011
**
Rp
Mili
ar
Provinsi Kabupaten/Kota
54
54 Bab 3 Pendapatan Daerah
3.6. Kesimpulan dan Rekomendasi
� Pendapatan Daerah riil di Sulawesi Selatan meningkat dan sebagian besar dikelola oleh pemerintah
kabupaten/kota, namun penyumbang terbesar terhadap Pendapatan Daerah adalah Dana
Perimbangan. Hal ini berarti ketergantungan sumberdaya fiskal dari pemerintah pusat masih cukup
besar. Implikasinya adalah masih perlunya peningkatan sumber-sumber PAD untuk menyelaraskan
tujuan otonomi daerah khususnya pada pemerintah kabupaten/kota. Beberapa tindakan
operasional yang terkait dengan peningkatan PAD ke depan antara lain: (i) Mengkaji dan
memperluas potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meskipun nilainya kecil dengan tetap
memperhatikan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru, (ii) Memperbaiki sistem
administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran, (iii)
Melatih aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target
yang berbasis pada potensi, (iv) Memberikan insentif kepada pemungut Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah secara proporsional, (v) Mengkaji faktor-faktor penyebab rendah dan tidak stabilnya PAD
yang bersumber dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah,
(vi) mengevaluasi efektifitas peraturan daerah (perda) yang terkait dengan upaya peningkatan PAD,
(vii) mengevaluasi kesesuaian antara layanan yang diberikan kepada masyarakat dengan tarif
retribusi yang ditetapkan.
� Dana bagi hasil pajak yang diterima pemerintah provinsi meningkat, tetapi untuk kabupaten/kota
jumlahnya tidak signifikan. Hal ini disebabkan adanya DBH pajak umumnya bersumber dari pajak
kendaraan dan pajak bumi bangunan yang diberikan ke provinsi. Untuk meningkatkan sumber-
sumber pendapatan daerah tersebut, disarankan beberapa tindakan operasional antara lain: (i)
kajian tentang potensi sumber-sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah di tingkat
kabupaten/kota, (ii) evaluasi proporsi transfer DBH pajak kepada pemerintah kabupaten/kota.
� Ketimpangan pendapatan per kapita antar kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan cukup
tinggi yang dipengaruhi oleh PAD dan Dana Perimbangan. Kota Pare-Pare mempunyai pendapatan
per kapita dan PAD terbesar di antara kabupaten/kota lainnya dan pendapatan per kapita terendah
adalah Kabupaten Bone. Kabupaten Selayar memiliki pendapatan per kapita yang tinggi tetapi
didorong oleh Dana Perimbangan per kapita yang tinggi. Kabupaten/kota dengan populasi tertinggi
cenderung memiliki pendapatan per kapita yang rendah. Implikasi kebijakan ke depan adalah
daerah tidak bisa mengandalkan transfer dari pusat terus menerus dan harus meningkatkan sumber
PAD-nya antara lain yang memiliki PAD per kapita rendah seperti Jeneponto, Gowa, dan Bone. Atau
yang Dana Perimbangannya besar dan PAD-nya kecil seperti Barru dan Bantaeng.
� Pemerintah di Sulawesi Selatan mengalami defisit hampir setiap tahun. Hal ini ditunjukkan oleh
besarnya SiLPA tahun anggaran berjalan. Sumber defisit lain dalam pembiayaan adalah pembayaran
pokok utang yang jatuh tempo. Kebutuhan pendanaan pemerintah untuk melaksanakan
pembangunan masih relatif besar, sementara sumber penerimaan pemerintah yang ada selama ini
masih relatif terbatas. Untuk itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas dalam mengelola
utang sehingga tidak membuat daerah terjebak dalam utang. .
56
56 Bab 4 Belanja Daerah
4.1. Gambaran Umum Belanja Daerah
Pada periode 2005-2010, total belanja daerah Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat.
Pada tahun 2005, total belanja daerah sebesar Rp 8,7 triliun meningkat cukup signifikan menjadi Rp 18,3
triliun pada tahun 2010. Meskipun secara belanja pemerintah daerah meningkat setiap tahun, namun
pertumbuhannya cukup berfluktuasi selama periode 2005-2010 yang secara rata-rata mencapai 17
persen per tahun. Pertumbuhan terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 37 persen dan terendah
sebesar 1,5 persen pada tahun 2009. Meskipun belanja Dekonsentrasi meningkat, tetapi belanja APBD
pemerintah di Sulawesi Selatan sendiri menurun.
Gambar 4.1. Perkembangan Belanja Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD-P, 2011 APBD Pokok, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan NA, 2011.
Belanja pemerintah provinsi cenderung meningkat setiap tahun selama periode 2005-2010 kecuali
pada tahun 2009. Pada tahun 2005, belanja pemerintah provinsi adalah Rp 1,6 triliun meningkat
menjadi Rp 2.6 triliun pada tahun 2010, Penurunan belanja pemerintah provinsi yang terjadi pada tahun
2009 terutama disebabkan berkurangnya belanja di sektor pemerintahan umum, infrastruktur dan
kesehatan. Penurunan terbesar dalam belanja di sektor pemerintahan umum terdapat pada belanja
tidak terduga yang turun sebesar 85persen dari tahun 2008. Di sektor infrastruktur, penurunan terbesar
terjadi pada belanja modal sebesar Rp 94 miliar dan di sektor kesehatan adalah belanja pegawai sebesar
Rp 11 miliar. Selama periode 2005-2010, rata-rata porsi belanja pemerintah provinsi terhadap total
belanja di Sulawesi Selatan tidak termasuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebesar 83
persen per tahun dan rata-rata pertumbuhan belanja pemerintah provinsi selama periode tersebut
sebesar Rp 10,68 persen per tahun.
Sebagian besar belanja daerah di Sulawesi Selatan dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Porsi
belanja daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota rata-rata 74 persen pertahun, 15 persen
dikelola oleh pemerintah provinsi dan selebihnya dana pemerintah pusat (dana dekonsentrasi dan tugas
1,635 1,814 2,252 2,480 2,250 2,642 2,776
6,347
8,508
11,700
12,826 12,516
14,052 13,491
701
1,564
1,882
1,832 2,638
1,632
1915 14 14 13 14
17
73 7274 75
72
77
83
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
20,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Persen
Rp
Mili
ar
Dekonsentrasi dan Tugas
PembantuanKabupaten/Kota
Provinsi
Porsi Provinsi
Porsi Kabupaten
57
57 Bab 4 Belanja Daerah
pembantuan) yang berada di Sulawesi Selatan
sebesar 11 persen. Pada tahun 2005, total
belanja pemerintah kabupaten/kota sebesar Rp
6,4 triliun meningkat tajam menjadi Rp 14 triliun
pada tahun 2010. Peningkatan belanja
pemerintah kabupaten/kota terutama
diakibatkan oleh peningkatan belanja pegawai
dengan rata-rata Rp 5,3 triliun dan belanja modal
rata-rata Rp 2 triliun selama periode 2005-2010.
Secara rata-rata, pertumbuhan belanja
pemerintah kabupaten/kota sebesar 18 persen
pertahun.
Dana APBN di Sulawesi Selatan yang dikelola
oleh instansi vertikal tidak banyak berubah
selama periode 2007-2010. Pada tahun 2007
dana APBN sebesar Rp 8,5 triliun meningkat
menjadi Rp 10 triliun pada tahun 2009.
Walaupun di tahun 2010 jumlahnya menurun,
tetapi angka ini masih sementara. Rata-rata dana
APBN yang dikelola oleh instansi vertikal di
Sulawesi Selatan mencapai Rp 8,8 triliun per
tahun.
Gambar 4.3. Belanja per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010
Sumber: Diolah dari APBD-P Kabupaten/Kota, 2010; BPS.
1,125,939
4,421,556
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
4,000,000
4,500,000
5,000,000
Rup
iah
Gambar 4.2. Perkembangan Dana APBN/PHLN
yang Dikelola Oleh Instansi Vertikal di Sulawesi
Selatan, 2007-2010
Sumber: Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, 2011.
Catatan: 2010 merupakan angka sementara.
8.5 7.9
10.2
8.6
-
2
4
6
8
10
12
2007 2008 2009 2010*R
p T
riliu
n
58
58 Bab 4 Belanja Daerah
Belanja per kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan cukup bervariasi. Tiga daerah yang memiliki
belanja per kapita terbesar adalah juga yang pendapatan per kapitanya paling besar, antara lain Kota
Pare-Pare, Kabupaten Selayar, dan Kabupaten Enrekang. Hal ini berarti setiap penduduk memperoleh
alokasi belanja relatif lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang berada di kabupaten/kota
lainnya. Begitu pula daerah yang belanja per kapitanya terkecil sesuai dengan pendapatan per kapitanya
kecil, yaitu Makassar, Bone, dan Kabupaten Gowa. Belanja per kapita di Sulawesi Selatan lebih
dipengaruhi jumlah penduduk daripada jumlah alokasi fiskal yang diperoleh.
4.2. Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi
Belanja daerah di Sulawesi Selatan berdasarkan klasifikasi ekonomi didominasi oleh belanja pegawai
dengan proporsi yang cenderung meningkat. Pada tahun 2005, porsi belanja pegawai terhadap total
belanja daerah sebesar 45 meningkat menjadi 49 persen pada tahun 2010 atau secara rata-rata sebesar
46 persen per tahun selama periode 2005-2010. Tingginya porsi belanja pegawai di Sulawesi Selatan
disebabkan oleh banyaknya jumlah pegawai negeri yang harus digaji seperti tergambar pada belanja
tidak langsung dan banyaknya pembayaran honor pegawai terkait dengan sejumlah kegiatan dalam
belanja langsung.
Pada periode 2005-2010, belanja modal merupakan penyumbang terbesar kedua total belanja daerah di
Sulawesi Selatan. Pada tahun 2005, belanja modal sebesar Rp 1,8 triliun meningkat dua kali lipat
menjadi Rp 3.7 triliun pada tahun 2010. Pada tahun 2005 hingga tahun 2008, porsi belanja modal
terhadap total belanja cenderung meningkat dari 22 persen menjadi 29 persen. Kemudian pada dua
tahun berikutnya, porsi belanja modal menurun hingga mencapai 22 persen pada tahun 2010.
Meskipun porsi belanja modal terhadap total belanja daerah cenderung menurun pada tiga tahun
terakhir, namun secara rata-rata mencapai 26 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan belanja barang
dan jasa sebesar 18 persen dan belanja lainnya (transfer) sebesar 12 persen.
59
59 Bab 4 Belanja Daerah
Gambar 4.4. Belanja Pegawai Mendominasi Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Pada level provinsi, porsi belanja transfer mendominasi total belanja pemerintah Sulawesi Selatan.
Pada tahun 2005 porsi belanja transfer sebesar 30 persen meningkat menjadi 42 persen pada tahun
2010. Porsi alokasi belanja pegawai menduduki urutan kedua terbesar dari total belanja pemerintah
provinsi Sulawesi Selatan dengan rata-rata sebesar 26 persen setiap tahun. Meskipun secara rata-rata
porsi belanja pegawai cukup besar, namun cenderung menurun dari 29 persen pada tahun 2005 menjadi
2 persen pada tahun 2010. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya belanja transfer pemerintah
provinsi adalah alokasi dana ke kabupaten/kota untuk kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis.
Porsi belanja modal pada tingkat provinsi lebih kecil dan cenderung menurun dibandingkan dengan
belanja barang dan jasa. Porsi alokasi belanja modal terhadap total belanja pemerintah provinsi
menurun dari 19 persen pada tahun 2005 menjadi 13 persen pada tahun 2010 atau secara rata-rata
sebesar 16 persen per tahun. Porsi belanja klasifikasi ekonomi lainnya seperti belanja barang dan jasa
menunjukkan perkembangan yang cukup berfluktuasi dengan kisaran rata-rata 22 persen per tahun.
Komposisi belanja modal dan barang dan jasa antara provinsi dan kabupaten/kota berbanding terbalik.
Hal ini disebabkan fungsi provinsi dalam mengkoordinasi menyebabkan lebih tingginya belanja
perjalanan dinas dan pertemuan. Sementara di tingkat kabupaten, desentralisasi di sektor pendidikan
dan kesehatan menyebabkan lebih luasnya tanggung jawab kabupaten/kota dalam menyediakan
fasilitas.
3,631 3,969
6,066 6,509 6,7668,109 8,4871,674
2,294
2,1872,318 2,476
2,7572,865
1,761
2,982
4,0514,423 4,043
3,734 2,967
916
1,077
1,649
2,056 1,481
2,096 1,948
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
2005
2006
2007
2008
2009
2010
*
2011
**
Rp
Mili
ar
Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-Lain
45%38% 43% 43% 46% 49% 52%
21%22% 16% 15%
17% 17%18%
22% 29% 29% 29%27% 22%
18%
11% 10% 12% 13% 10% 13% 12%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2005
2006
2007
2008
2009
2010
*
2011
**
Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-lain
60
60 Bab 4 Belanja Daerah
Gambar 4.5. Porsi Belanja Klasifikasi Ekonomi Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,
2005-2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Belanja pegawai mendominasi alokasi belanja di kabupaten/kota. Selama periode 2005-2010, porsi
belanja pegawai terhadap total belanja kabupaten/kota rata-rata 45 persen per tahun, sementara porsi
belanja modal rata-rata 25 persen per tahun. Sejak tahun 2006, porsi belanja pegawai terhadap total
belanja kabupaten/kota mengalami peningkatan setiap tahun dari 41 persen menjadi 53 persen pada
tahun 2010, sementara porsi belanja modal terhadap total belanja kabupaten/kota menurun dari 31
persen pada tahun 2006 hingga menjadi 24 persen pada tahun 2010.
Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja per kabupaten/kota cukup besar dan bervariasi.
Selama periode 2005-2010, hampir semua kabupaten/kota kecenderungan mengalami peningkatan
proporsi belanja pegawai. Pada tahun 2010, terdapat 15 kabupaten/kota yang mempunyai proporsi
belanja pegawai diatas 50 persen dan diantara ke-15 kabupaten tersebut, Kabupaten Soppeng,
Makassar dan Kota Palopo mengalokasikan anggaran diatas 60 persen dari total belanja daerah masing-
masing. Pada tahun anggaran 2011, proporsi belanja pegawai pada setiap kabupaten/kota semakin
membengkak hingga mencapai diatas dari 50 persen kecuali Kabupaten Luwu Timur. Kabupaten
Bulukumba, Jeneponto, dan Gowa mengalokasikan anggaran belanja pegawai diatas dari 70 persen dari
total belanja daerahnya.
29% 26% 23% 26% 28% 24% 26%
22% 25%20% 20%
22%22% 20%
19% 17%
17% 14%14%
13% 12%
30% 32%39% 40% 36%
42% 41%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Provinsi
Pegawai Barang dan Jasa Modal Transfer (Lainnya)
50%41%
47% 46% 49% 53% 58%
21%
22%15% 14%
16%16%
17%
23%31% 31% 32%
30% 24%19%
7% 6% 6% 8% 5% 7% 6%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Kabupaten/Kota
Pegawai Barang dan Jasa Modal Transfer (Lainnya)
61
61 Bab 4 Belanja Daerah
4.3. Belanja Menurut Sektor
Berdasarkan klasifikasi sektor, belanja pemerintahan umum (di luar transfer) menduduki urutan
pertama terbesar dari seluruh sektor. Belanja pemerintahan umum (tidak termasuk transfer)
meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 2,7 triliun pada tahun 2005 hingga menjadi Rp 4,4 triliun pada
tahun 2010. Porsi belanja pemerintahan umum terhadap total belanja pemerintah (provinsi dan
kebupaten/kota) mencapai rata-rata 27 persen per tahun. Pada periode yang sama, porsi belanja sektor-
sektor infrastruktur rata-rata 16 persen, 25 persen untuk sektor pendidikan dan selebihnya terdistribusi
pada sektor-sektor yang lain. Meskipun belanja pemerintahan umum mendominasi belanja sektor
pemerintah daerah, namun proporsinya terhadap total belanja daerah cenderung menurun hingga
tahun 2010.
Belanja sektor pendidikan menempati urutan kedua terbesar selama periode 2005-2010. Belanja
pendidikan meningkat tajam dari Rp 1,7 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 5,2 triliun pada tahun 2010
atau meningkat sebesar Rp 3,5 triliun. Porsi belanja pendidikan terhadap total belanja daerah juga
cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata mencapai 25 persen pertahun. Tingginya proporsi
belanja pendidikan mengindikasikan besarnya perhatian pemerintah daerah untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia.
Gambar 4.6. Perkembangan Belanja Daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan
berdasarkan Sektor, 2007-2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
2,676 3,290 3,600 3,923 3,346 3,661 4,042
1,0491,754
2,4742,743
2,703 2,476 2,0651,668
2,030
3,5093,703 4,159
5,138 5,001
658
839
1,2181,378 1,530
1,739 1,625
916
1,077
1,649
2,056 1,481
2,096 1,948
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Mili
ar R
p
Pemerintahan Umum Infrastruktur
Pendidikan Kesehatan
Pertanian Kelautan dan Perikanan
Lain-Lain Transfer
34% 32%26% 26% 23% 22% 25%
13% 17%18% 18%
18%15% 13%
21% 20%25% 24% 28%
31% 31%
8% 8% 9% 9% 10% 10% 10%
11% 10% 12% 13% 10% 13% 12%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Pemerintahan Umum Infrastruktur
Pendidikan Kesehatan
Pertanian Kelautan dan Perikanan
Lain-Lain Transfer
62
62 Bab 4 Belanja Daerah
Belanja untuk sektor infrastruktur mengalami peningkatan hingga tahun 2008, namun dua tahun
berikutnya cenderung menurun. Jumlah anggaran yang teralokasi pada sektor infrastruktur sebesar Rp
1 triliun pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 2,7 triliun pada tahun 2008. Pada tahun berikutnya,
belanja sektor infrastruktur kembali menurun hingga Rp 2,5 triliun pada tahun 2010. Hal ini disebabkan
adanya pembangunan terminal dan landasan baru Bandara Sultan Hasanuddin yang selesai tahun 2008,
di mana biaya pembebasan lahan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Porsi belanja
untuk sektor infrastruktur terhadap total belanja daerah cenderung meningkat hingga pada tahun 2009,
kemudian menurun pada tahun 2010. Meskipun porsi belanja sektor infrastruktur cenderung menurun,
namun belanja sektor infrastruktur masih lebih tinggi dibandingkan dengan sektor strategis lainnya
seperti sektor kesehatan dan sektor pertanian. Porsi belanja untuk sektor kesehatan secara rata-rata
sebesar 9 persen dan sektor pertanian sebesar 3 persen per tahun.
Pada tingkat provinsi, belanja terbesar adalah transfer ke daerah bawahan. Belanja pemerintahan
umum meningkat dari Rp 401 miliar di tahun 2005 menjadi Rp 512 miliar pada tahun 2010 atau
bertumbuh dengan rata-rata 22 persen per tahun. Penyebab utama tingginya belanja sektor
pemerintahan umum dikontribusi terbesar oleh belanja pegawai dengan rata-rata Rp 173 miliar dan
belanja barang dan jasa sebesar Rp 171 dan miliar selama periode 2005-2010. Meski demikian, belanja
terbesar pemerintah provinsi adalah transfer ke daerah bawahan yang pada tahun 2010 mencapai dua
kali lipat belanja pemerintahan umum (Rp. 1,1 triliun).
Di tingkat kabupaten, belanja sektor pemerintahan umum (diluar transfer) menempati urutan
tertinggi. Pada periode 2005-2010, belanja pemerintahan umum (di luar transfer) berfluktuasi namun
menyerap anggaran cukup besar dari Rp 2,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 3,2 triliun pada tahun
2010 atau dengan rata-rata Rp 2,9 triliun. Proporsi belanja pemerintahan umum terhadap total belanja
kabupaten/kota rata-rata 31 persen per tahun, selebihnya diserap oleh sektor infrastruktur dengan rata-
rata 17 persen, pendidikan rata-rata 29 persen dan selebihnya terserap pada sektor-sektor lainnya.
Proporsi belanja pemerintah yang dialokasikan pada sektor-sektor strategis (Infrastruktur,
Pendidikan, Kesehatan, Pertanian) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi belanja pada sektor
pemerintahan umum. Selama periode 2005-2010, belanja pemerintahan umum pemerintah provinsi
turun dari 25 persen menjadi 19 persen atau rata-rata menyerap anggaran 22 persen per tahun.
Sementara gabungan sektor strategis pendidikan meningkat dari 28 persen menjadi 32 persen. Di
tingkat kabupaten, belanja sektor strategis mengambil porsi yang lebih besar, rata-rata separuh dari
total belanja. Sementara belanja pemerintahan umum menyerap sepertiga alokasi belanja
Belanja sektor pendidikan pada pemerintah kabupaten/kota cenderung meningkat selama periode
2005-2010. Pada tahun 2005, belanja sektor pendidikan sebesar Rp 1,6 triliun meningkat hampir empat
kali lipat menjadi Rp 5 triliun pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010, belanja pendidikan
bertumbuh cukup cepat dengan rata-rata 28persen pertahun. Seiring dengan percepatan pertumbuhan
belanja pendidikan, proporsi belanja pendidikan terhadap total belanja kabupaten/kota juga
memperlihatkan peningkatan cukup signifikan dari 25 persen pada tahun 2005 menjadi 36 persen pada
tahun 2010. Peningkatan ini sejalan dengan belanja transfer pemerintah provinsi yang makin
63
63 Bab 4 Belanja Daerah
bertambah. Meski demikian perlu dicermati bahwa 75 persen belanja pendidikan justru dialokasikan
untuk belanja pegawai .
Gambar 4.7. Belanja Transfer Mendominasi Belanja Provinsi dan Cenderung Naik, Sementara di
Kabupaten Proporsi Belanja Pendidikan Telah Melewati Belanja Pemerintahan.
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Belanja sektor infrastruktur pada pemerintah kabupaten/kota juga memperlihatkan perkembangan
yang cukup signifikan. Belanja sektor infrastruktur (gabungan belanja perumahan, perhubungan, dan
pekerjaan umum) meningkat dari Rp 875 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 2 triliun pada tahun 2010
atau meningkat rata-rata sebesar 23 persen. Proporsi belanja pemerintah kabupaten/kota untuk
pengembangan infrastruktur berfluktuasi dan menurun menjadi 15 persen pada tahun 2010
dibandingkan dengan 19 persen pada tahun 2009. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur besar
banyak yang berada dalam kewenangan provinsi, sementara biaya pemeliharaan diserahkan ke
pemerintah kabupaten/kota. Dengan membandingkan belanja sektor-sektor lainnya, sektor infrasruktur
menempati urutan ketiga setelah pendidikan dan pemerintahan umum.
Belanja sektor pertanian dan sektor kelautan dan perikanan menyerap alokasi anggaran yang relatif
kecil. Pada pemerintah kabupaten/kota, proporsi belanja untuk sektor pertanian terhadap total belanja
kabupaten/kota hanya berkisar rata-rata 3 persen pertahun dan rata-rata 4 persen per tahun pada
1,585 1,913
3,3923,599
4,052
5,0284,893
25%27%
35%33%
39%41%
40%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**Rp
mili
ar
Pemerintahan Umum Infrastruktur
Pendidikan Kesehatan
Pertanian Kelautan dan Perikanan
Lain-Lain Transfer
% Pertanian % Infrastruktur
% Pendidikan % Kesehatan
% Transfer % Pemerintahan Umum
492581
888
1,000805
1,1001,14930%
32%
39% 40%
36%
42% 41%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Rp
mili
ar
Pemerintahan Umum Infrastruktur
Pendidikan Kesehatan
Pertanian Kelautan dan Perikanan
Lain-Lain Transfer
% Pertanian % Infrastruktur
% Pendidikan % Kesehatan
% Transfer % Pemerintahan Umum
64
64 Bab 4 Belanja Daerah
pemerintah provinsi. Belanja sektor pertanian sebagian besar dialokaikan untuk belanja pegawai
dengan rata-rata 49 persen per tahun.
4.4. Hubungan Belanja dengan Gender
Anggaran yang responsif gender di Sulawesi Selatan memperlihatkan pola kecenderungan yang
meningkat, meskipun dengan proporsi yang sangat kecil selama periode 2007-2010. Besaran anggaran
responsif gender di Sulawesi Selatan dapat ditunjukkan oleh belanja untuk Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai salah satu unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi
pokok dalam pengimplementasian pengarusutamaan gender (PUG). Total belanja untuk Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak sebesar Rp 555,5 juta pada tahun 2007 meningkat
menjadi Rp 25,4 miliar pada tahun 2010 dan direncanakan meningkat menjadi Rp 32 miliar pada tahun
anggaran pokok 2011. Porsi belanja pemberdayaan perempuan (Provinsi+Kabupaten/Kota) terhadap
total belanja daerah di Sulawesi Selatan berada pada kisaran 0 – 0,19 persen atau secara rata-rata 0,10
persen pertahun selama 2007-2010.
Pada level provinsi, anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan meningkat dalam
kurung waktu 2009-2010. Pada tahun 2010, besaran anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan
Perempuan berkisar Rp 5,2 miliar dan diperkirakan meningkat menjadi Rp 5,59 miliar pada tahun 2011.
Pada pemerintah provinsi, porsi belanja Badan Pemberdayaan Perempuan terhadap total belanja
pemerintah Sulawesi Selatan sebesar 0,01 persen pada tahun 2009 dan 0,20 persen pada tahun 2010.
Kecilnya porsi anggaran terkait PUG tentu saja tidak memberi dampak besar terhadap keberhasilan
strategi PUG. Upaya untuk mendorong kesetaraan dan keadilan gender harus diiringi oleh penganggaran
yang cukup memadai. Komponen belanja yang terbesar adalah belanja pegawai dengan jumlah
anggaran yang terserap di atas 50 persen, disusul oleh belanja barang dan jasa dengan besaran
anggaran yang terserap sekitar 40 persen, selebihnya untuk belanja modal.
65
65 Bab 4 Belanja Daerah
Gambar 4.10. Perkembangan Anggaran Responsif Gender Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi
dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2007-2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Pada pemerintah Kabupaten/Kota, anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak juga memperlihatkan kecenderungan meningkat kecuali pada tahun 2010. Pada
tahun 2007, belanja Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebesar Rp 0,56 miliar
meningkat menjadi Rp 27,5 miliar pada tahun 2009 dan menurun drastis menjadi Rp 20,23 miliar pada
tahun 2010. Porsi belanja Badan Pemberdayaan Perempuan terhadap total belanja kabupaten/kota
meningkat hingga mencapai 0,22 persen tahun 2009, akan tetapi pada tahun 2010 menurun menjadi
0,14 persen. Penurunan anggaran sektor pemberdayaan perempuan tahun 2010 terutama disebabkan
oleh perubahan struktur organisasi daerah. Badan pemberdayaan perempuan sebelum tahun 2010
masih berada dalam lingkungan Sekretariat Daerah kemudian dengan struktur organisasi yang baru
bergabung kedalam Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.
Pada pemerintah provinsi, alokasi belanja pegawai hampir berimbang dengan alokasi belanja barang
dan jasa, sementara pada pemerintah kabupaten/kota, belanja pegawai lebih dominan. Pada tahun
2010, alokasi belanja pegawai pada pemerintah provinsi sebesar Rp 2,38 miliar dan pada tahun
anggaran 2011 diperkirakan meningkat menjadi Rp 2,87 miliar, sementara belanja barang dan jasa, pada
tahun 2010 sebesar Rp 2,37 miliar dan Rp 2,31 miliar pada tahun 2011. Pada pemerintah
kabupaten/kota, belanja pegawai sebesar Rp 12,71 miliar dan Rp 19,50 miliar pada tahun 2011,
sementara belanja barang dan jasa hanya berkisar Rp 5,03 miliar.
0.15
5.22 5.59
- -
0.01
0.20 0.20
-
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0
1
2
3
4
5
620
07
2008
2009
2010
*
2011
**
Persen
Rp
Mili
ar
Provinsi
Belanja Pemberdayaan Perempuan
% terhadap total belanja
0.56
10.96
27.55
20.23
26.43
0.00
0.09
0.22
0.14
0.20
-
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
2007
2008
2009
2010
*
2011
**
Persen
Rp
Mili
ar
Kabupaten/Kota
Belanja Pemberdayaan Perempuan
% terhadap total belanja
66
66 Bab 4 Belanja Daerah
Gambar 4.11. Belanja klasifikasi ekonomi badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
di Sulawesi Selatan, 2010-2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Belanja untuk program-program utama yang responsif gender pada Badan Pemberdayaan Perempuan di
Provinsi Sulawesi Selatan cukup bervariasi. Pada tahun 2010, program yang menyerap anggaran cukup
besar adalah penguatan dan pengembangan kelembagaan perempuan dengan anggaran sebesar Rp
692,1 juta, kemudian diikuti pada urutan kedua oleh program peningkatan kualitas hidup dan
perlindungan perempuan dengan anggaran sebesar Rp 372,45 juta dan urutan ketiga ditempati oleh
program perlindungan anak dengan anggaran sebesar Rp 262 juta. Porsi anggaran yang relatif lebih
tinggi pada tiga program tersebut dari program lainnya, mengindikasikan bahwa perhatian pemerintah
untuk memperkuat kelembagaan dan meningkatkan kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak
cukup tinggi. Pada tahun 2011, penguatan kelembagaan perempuan meskipun besaran alokasi anggaran
menurun, namun masih tetap memperoleh alokasi anggaran lebih tinggi dibandingkan dengan program-
program lainnya.
2.37 2.38
0.48
2.87
2.31
0.41
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
Pegawai Barang dan Jasa Modal
Rp
Mili
ar
Provinsi
2010* 2011**
12.71
5.03
2.48
19.50
4.71
2.21
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Pegawai Barang dan Jasa Modal
Rp
Mili
ar
Kabupaten/Kota
2010* 2011**
67
67 Bab 4 Belanja Daerah
Gambar 4.12. Besaran Alokasi Belanja pada Program-Program yang Terkait Dengan PUG Ditingkat
Provinsi Bervariasi
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok (dalam Juta Rp).
4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi
� Belanja riil pemerintah daerah di Sulawesi Selatan meningkat selama periode 2005-2010. Hal ini
mengindikasikan peran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat semakin
meningkat. Akan tetapi, masih terdapat kecenderungan peningkatan belanja pemerintah daerah
tidak diikuti oleh pengelolaan belanja yang berkualitas yang tercermin pada ketimpangan belanja
yang cukup besar baik berdasarkan klasifikasi ekonomi, sektor maupun berdasarkan fungsi. Untuk
memperkecil ketimpangan yang terjadi dalam pengalokasian belanja, maka pengelolaan keuangan
daerah yang terdiri dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi masih perlu
mendapat perhatian lebih serius.
� Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
relatif sangat besar, sementara proporsi belanja modal masih relatif kecil. Besarnya proporsi
belanja pegawai dari total belanja menandakan banyaknya jumlah pegawai yang harus digaji di
daerah termasuk pegawai di Provinsi dan pegawai di Kabupaten/Kota. Untuk perspektif ke depan,
proporsi belanja pegawai sedapat mungkin dikurangi sehingga proporsi belanja modal dapat lebih
ditingkatkan. Terkait dengan itu, ada beberapa rekomendasi kebijakan yaitu: (i) Pemerintah daerah
dapat melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai baru) 2-3 tahun kedepan, (ii)
dapat melakukan penambahan tenaga teknis yang masih terbatas seperti tenaga akuntan, tenaga
kesehatan dan insinyur dengan jumlah yang lebih kecil dari jumlah pegawai negeri yang pensiun.
161.3
174.55
99.3
133.15
692.1
262.05
372.45
131.33
217.6
345.94
56.51
157.45
96.79
424.34
263.96
426.98
292.92
156.42
0 200 400 600 800
Pengembangan Data/informasi kependudukan dan keluarga
Peningkatan kualitas pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak
Kesehatan reproduksi remaja
Keluarga Berencana
Penguatan dan Pengembangan Kelembagaan Perempuan
Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan anak
Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan
Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan gender
Keserasian Kebijakan Pengarusutamaan gender
Rp Juta
Program Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi
2011** 2010*
68
68 Bab 4 Belanja Daerah
� Porsi belanja pegawai terbesar dikontribusi oleh sektor pendidikan dan memperlihatkan
kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa rekomendasi kebijakan
antara lain: (i) Tidak Perlu ada penambahan jumlah guru dalam beberapa tahun ke depan, cukup
dengan melakukan redistribusi tenaga guru yang ada saat ini dari perkotaan yang relatif cukup
banyak ke daerah pedesaan yang relatif masih kekurangan atau dari daerah kabupaten/kota yang
rasio guru murid lebih baik ke daerah kab/kota yang kurang baik, (ii) Kebijakan pemberian sertifikasi
guru perlu lebih selektif agar beban anggaran bisa dikurangi dan harus diikuti dengan pemantauan
dan pemberian sanksi terhadap guru yang telah menerima tetapi belum menunjukan peningkatan
kinerja (kualitas pelayanan pendidikan) ke tingkat yang lebih baik
� Alokasi belanja per sektor cukup bervariasi dan cukup timpang, dimana sektor pendidikan,
infrastruktur dan pemerintahan umum masih menyerap alokasi belanja paling besar sementara
sektor kesehatan dan pertanian memperoleh alokasi yang relatif lebih kecil. Terkait dengan itu,
beberapa rekomendasi kebijakan antara lain: (i) Proporsi pengalokasian anggaran untuk sektor-
sektor strategis seperti kesehatan dan pertanian perlu ditingkatkan ke tingkat yang lebih signifikan,
(ii) Selain sektor kesehatan dan pertanian, sektor-sektor yang terkait dengan fungsi ekonomi
(pengembangan usaha kecil dan menengah dan pemberdayaan masyarakat desa, tenaga kerja,
kelautan dan perikanan dan perdagangan) perlu ditingkatkan alokasi anggarannya dengan jumlah
yang signifikan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.
� Alokasi belanja yang terkait dengan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di
Sulawesi Selatan masih sangat kecil. Rendahnya alokasi anggaran yang responsif gender disebabkan
oleh beberapa hal antara lain; (i) masih rendahnya komitmen penentu kebijakan terkait dengan
implementasi strategi PUG; (ii) penyusunan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender
oleh SKPD belum sepenuhnya dilakukan. Untuk meningkatkan proporsi belanja yang terkait dengan
program-program pembangunan yang responsif gender, direkomendasikan beberapa hal: (i) Perlu
peningkatan komitmen penentu kebijakan pada masing-masing SKPD terkait dengan implementasi
strategi Pengarusutamaan Gender (PUG), (ii) Para perencana anggaran pada satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) perlu mendapat sosialisasi dan pelatihan/pendampingan terkait PUG agar anggaran
yang disusun responsif gender. (iii) perlu kajian/penelitian tentang besaran anggaran yang responsif
gender pada seluruh SKPD terkait.
70
70 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.1. Analisis Sektor Pendidikan
Pemerintah Sulawesi Selatan telah menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama
pembangunan daerah. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi
Selatan Tahun 2008-2013, sektor pendidikan bersama dengan sektor kesehatan menempati agenda
pertama dari tujuh agenda pembangunan daerah. Untuk memastikan bahwa semua anak yang berada
pada usia sekolah benar-benar duduk di bangku sekolah, pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2008
telah mengimplementasikan kebijakan pendidikan gratis di seluruh kabupaten/kota. Bersamaan dengan
itu, juga telah dikembangkan berbagai kebijakan lainnya seperti peningkatan kualitas pelayanan
pendidikan, promosi pendidikan, pemberantasan buta aksara, dan pengembangan budaya baca.
5.1.1 Belanja Sektor Pendidikan
Secara riil, proporsi belanja sektor pendidikan terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan
sudah di atas 20 persen dengan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2010, proporsi belanja pendidikan terhadap total belanja daerah sudah mencapai 31 persen,
padahal tahun 2005 baru mencapai 21 persen. Belanja sektor pendidikan yang meningkat lebih cepat
dibandingkan dengan total belanja daerah menyebabkan proporsi belanja sektor pendidikan terhadap
total belanja daerah terus membesar.
Gambar 5.1. Total Belanja Pendidikan dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.
Belanja untuk sektor pendidikan di Sulawesi Selatan meningkat tiga kali lipat selama periode 2005-
2011. Pada tahun 2005, total belanja riil sektor pendidikan sebesar Rp 1,7 triliun dan meningkat menjadi
1.7 2.03.5 3.7 4.1 5.1 5.0
8.010.3
14.015.3 14.8
16.7 16.3
21%20%
25% 24%
28%
31% 31%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Proporsi B
elanja Pendidikan
Tril
iun
Rp
Total Belanja Pendidikan Riil Total Belanja Dearah Riil % Belanja Pendidikan
71
71 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Rp 5,0 triliun pada tahun 2011. Belanja pendidikan kabupaten/kota berkontribusi besar bagi
peningkatan total belanja pendidikan di Sulawesi Selatan. Secara riil, belanja pendidikan kabupaten/kota
meningkat rata-rata 34 persen per tahun, sedangkan belanja pendidikan provinsi hanya meningkat 5
persen per tahun.
Proporsi belanja pegawai relatif sangat besar, yaitu mencapai lebih dari 70 persen dari total belanja
sektor pendidikan. Meskipun proporsinya relatif fluktuatif namun menunjukkan kecenderungan yang
semakin meningkat. Pada tahun 2010, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan
mencapai 80 persen. Dengan kata lain, lebih dari empat per lima dari total belanja pendidikan
diperuntukkan untuk belanja pegawai. Padahal tahun 2006 proporsinya masih berada pada angka 67
persen. Peningkatan proporsi belanja pegawai telah menyebabkan penurunan proporsi belanja modal.
Gambar 5.2. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan,
2005-2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.
Proporsi belanja modal terhadap total belanja sektor pendidikan di kabupaten/kota relatif lebih besar
dibandingkan dengan di provinsi. Pada tahun 2010, proporsi belanja modal di kabupaten/kota
mencapai 12 persen dari total belanja pendidikan, sedangkan provinsi hanya 8 persen. Namun demikian,
proporsi belanja pegawai di provinsi relatif lebih rendah, yaitu hanya 64 persen dari total belanja
pendidikan, sedangkan kabupaten/kota mencapai 81 persen. Untuk belanja barang dan jasa,
kabupaten/kota mengalokasi sekitar sepertiga, sedangkan provinsi hanya 7 persen dari total belanja
pendidikan masing-masing.
1,324 1,361
2,669 2,5813,069
4,1253,775
133
236 215
363
390561
205 476
604 908
717
624664
80%
67%
76%70%
74%
80%75%
8%9%
7% 6%9%
8%
11%12%
23%17%
25%
17%12% 13%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Pro
pors
i Bel
anja
Riil
Pegawai Barang dan Jasa Modal % Pegawai % Barang dan Jasa % Modal
72
72 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.3. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Kabupaten/Kota dan Provinsi di Sulawesi Selatan,
2005-2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD Perubahan.
5.1.2 Kinerja Keluaran Sektor Pendidikan
Rasio sekolah-murid pada semua jenjang pendidikan relatif konstan selama periode 2005-2010 dan
berada di bawah angka nasional. Pada tahun 2010, untuk jenjang pendidikan SD, setiap sekolah rata-
rata mampu menampung 165 murid. Untuk jenjang pendidikan SMP, setiap sekolah rata-rata mampu
menampung 252 murid. Sedangkan untuk jenjang pendidikan SMA, setiap sekolah rata-rata mampu
menampung 336 murid. Keseluruhan angka ini hampir sama dengan kinerja yang dicapai pada tahun
2005. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, keseluruhan capaian Sulawesi Selatan sudah relatif
lebih baik dibandingkan dengan capaian Nasional.
Berbeda dengan rasio sekolah-murid, rasio guru-murid pada semua jenjang pendidikan menunjukkan
perbaikan selama periode 2005-2010. Pada tahun 2010, untuk jenjang pendidikan SD, setiap guru harus
melayani 15 murid. Untuk jenjang pendidikan SMP, setiap guru harus melayani 12 murid. Sedangkan
untuk jenjang pendidikan SMA, setiap guru harus melayani 12 murid. Jika dibandingkan dengan angka
rata-rata Nasional, rasio guru-murid untuk jenjang pendidikan SD dan SMP di Sulawesi Selatan sudah
lebih baik dibandingkan dengan rata-rata Nasional, namun untuk jenjang pendidikan SMA relatif lebih
tinggi. Gambaran ini mencerminkan adanya kebutuhan untuk menambah tenaga guru pada jenjang
pendidikan SMA, tetapi tidak pada jenjang pendidikan SD dan SMP.
64%
34%
2%
Provinsi
81%
7%
12%
Kabupaten/Kota
Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal
73
73 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.4. Rasio Sekolah dan Guru Terhadap Murid Menurut Jenjang Pendidikan di Sulawesi
Selatan, 2005-2010
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan Dalam Angka.
5.1.3 Kinerja Hasil Sektor Pendidikan
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Sulawesi
Selatan relatif lebih rendah dibandingkan
dengan APS Nasional pada semua jenjang
pendidikan. Pada tahun 2010, APS SD/MI (6-12
tahun), SMP/MTs (13-15 tahun) dan
SMA/SMK/MA (16-18 tahun) Sulawesi Selatan
masing-masing sebesar 97 persen, 83 persen,
dan 53 persen, padahal secara Nasional sudah
mencapai masing-masing 98 persen, 86 persen,
dan 53 persen.
Perempuan memiliki tingkat APS yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki pada
semua kelompok umur menurut jenjang
pendidikan. Kecuali perempuan pada kelompok
umur 16-18 tahun (jenjang pendidikan
SMA/SMK/MA), rata-rata seluruh APS, baik laki-
laki maupun perempuan, pada semua jenjang
pendidikan menunjukkan peningkatan selama
periode 2006-2009.
170 160 161 165 168 165243 251 248 227 242 252298 305 292 331 346 336
21.7
18.9
21.2
17.8
15.1 15.3
12.9 13 12.5
14.9
11.7 12.1
14 14.413.4 13.9
12.1 12
0
5
10
15
20
25
0
50
100
150
200
250
300
350
400
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rasio Sekolah-Murid SD Rasio Sekolah-Murid SMP Rasio Sekolah-Murid SMA
Rasio Guru-Murid SD Rasio Guru-Murid SMP Rasio Guru-Murid SMA
Gambar 5.5. Komparasi Angka Partisipasi Sekolah
(APS) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2010*)
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama
Sosial Ekonomi Indonesia.
Catatan: *) Angka sementara.
98
86
56
97
83
53
0 20 40 60 80 100
6-12 Tahun
13-15 Tahun
16-18 TahunSulsel
Indonesia
74
74 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Selama periode 2006-2010, angka rata-rata lama sekolah menunjukkan peningkatan yang konsisten,
namun masih berada di bawah angka Nasional. Pada tahun 2006, rata-rata lama sekolah masih 7 tahun
dan meningkat menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Angka ini masih berada di bawah angka rata-rata
nasional, yang saat ini sudah mencapai 7,9 tahun. Ini berarti bahwa secara rata-rata, penduduk Sulawesi
Selatan hanya mampu menyelesaikan pendidikan kelas I SMP dan putus sekolah sebelum naik ke kelas II
SMP. Namun kesenjangan (gap) antara capaian Sulawesi Selatan dan Nasional tampak semakin tipis dari
tahun ke tahun sebagai akibat peningkatan rata-rata lama sekolah Sulawesi Selatan bergerak lebih cepat
dibandingkan dengan peningkatan Nasional. Pada tahun 2006, jarak antara Sulawesi Selatan dan
Nasional hanya 0,2 poin dan mengecil menjadi 0,1 poin empat tahun kemudian. Jika situasi ini terus
berlanjut, maka angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan akan tampak semakin baik
dibandingkan dengan angka Nasional.
Gambar 5.6. Komparasi Angka Rata-Rata Lama Sekolah di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2006-2010
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia.
Catatan: *) Angka sementara.
Tabel 5.1. APS Menurut Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2006-2009
Tahun 7-12 tahun (SD/MI) 13-15 tahun (SMP/MTs) 16-18 tahun (SMA/SMK/MA)
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
2006 94,53 95,66 77,18 79,69 49,58 52,25
2007 94,79 95,75 77,12 79,74 49,65 53,06
2008 95,31 95,95 77,16 79,89 49,98 53,06
2009 95,93 97,19 79,86 82,04 51,30 51,94
Sumber: BPS.
7.20
7.407.50
7.70
7.90
7.00
7.207.30
7.40
7.80
6.40
6.60
6.80
7.00
7.20
7.40
7.60
7.80
8.00
2006 2007 2008 2009 2010*)
Tah
un
Indonesia Sulsel
75
75 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.7. Komparasi Angka Melek Huruf di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonmi Indonesia.
Catatan: *) Angka sementara.
Angka melek huruf di Sulawesi Selatan memiliki kesenjangan yang cukup tajam dengan angka
Nasional serta pergerakan naik yang sangat lamban. Pada tahun 2010, angka melek huruf penduduk
berusia 15 tahun ke atas di Sulawesi Selatan hanya sebesar 87,75 persen. Artinya, setiap sepuluh
penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya buta huruf. Meskipun angka ini sudah lebih besar
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun angka tersebut masih berada jauh di bawah
angka rata-rata nasional, yang saat ini sudah berada di sekitar 93 persen. Angka melek huruf Sulawesi
Selatan juga meningkat sangat lamban, perbandingan angka melek huruf laki-laki masih cukup jauh
dengan angka melek huruf perempuan. Pada tahun 2005 angka melek huruf laki-laki 87,30 persen,
sedangkan perempuan hanya sebesar 82,2 persen. Pada tahun 2010 pun masih di sekitar yang sama
untuk angka melek huruf perempuan 85,54 persen, sedangkan laki-laki sudah mencapai 90,21 persen.
Gambar 5.8. Posisi Angka Melek Huruf Sulawesi Selatan Secara Nasional, 2010*)
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonmi Indonesia.
Catatan: *) Angka Sementara.
90.9191.45 91.87 92.19 92.58 92.91
84.6085.70
86.24 86.53 87.0287.75
80
82
84
86
88
90
92
94
2005 2006 2007 2008 2009 2010*)
Indonesia
Sulsel
87.7592.91
0
20
40
60
80
100
120
Pap
ua
NT
B
Sul
sel
Jatim Bal
i
Sul
bar
NT
T
Jate
ng DIY
…
Kal
bar
Sul
tra
Indo
nesi
a
Lam
pung
Pap
ua …
Ben
gkul
u
Bab
el
Jam
bi
Kal
sel
Gor
onta
lo
Sul
teng
Mal
ut
Jaba
r
Ban
ten
NA
D
Kal
tim
Sum
bar
Kep
. Ria
u
Sum
ut
Sum
sel
Mal
uku
Kal
teng
Ria
u
DK
I …
Sul
ut
76
76 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.9. Angka Melek Huruf Laki-Laki Lebih Tinggi Dibandingkan Perempuan, 2005-2010
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonmi Indonesia.
Catatan: *) Angka Sementara.
Angka melek huruf di Sulawesi Selatan menempati posisi ketiga terendah di Indonesia, sesudah Papua
dan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta terendah secara regional (Pulau Sulawesi). Posisi ini bahkan tidak
berubah dalam enam tahun terakhir. Ketika Sulawesi Selatan mencatat angka melek huruf 87,75 persen
pada tahun 2010, Sulawesi Utara sudah mencatat angka 99,30 persen yang merupakan angka tertinggi
secara Nasional. Ini mengindikasikan perlunya melakukan intervensi secara serius terhadap penduduk
buta huruf di Sulawesi Selatan.
Rata-rata pengeluaran rumah tangga
untuk pendidikan antar kelompok
pendapatan menunjukkan kesenjangan
yang cukup timpang. Pada tahun 2005,
kelompok rumah tangga terkaya (kuintil
5) mengeluarkan anggaran untuk
pendidikan sebesar enam kali lipat dari
kelompok rumah tangga termiskin
(kuintil 1). Meskipun rasio tersebut
membaik pada tahun 2009, dimana
kelompok rumah tangga terkaya (kuintil
5) mengeluarkan anggaran untuk pendidikan sebesar lima kali lipat dari kelompok rumah tangga
termiskin (kuintil 1), namun secara absolut kesenjangan antar kelompok pendapatan tampak semakin
besar. Secara absolut, pada tahun 2009, setiap rumah tangga termiskin membelanjakan Rp 673.538
untuk pendidikan, sementara rumah tangga terkaya membelanjakan Rp 3.025.199 untuk hal yang sama.
Tabel 5.2. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk
Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi
Selatan, 2005-2009
Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
2005 236,450 289,374 423,126 611,534 1,282,641
2006 205,492 297,089 422,185 758,488 1,925,791
2007 240,271 318,568 416,976 638,571 1,476,404
2008 426,744 518,343 676,021 837,362 1,465,555
2009 673,537 861,314 1,026,990 1,353,976 3,025,199
Sumber: Estimasi staf Bank Dunia dari Susenas 2009.
87.30
88.32
89.41 89.23
90.29 90.21
82.20
83.30 83.4284.15 84.19
85.54
78
80
82
84
86
88
90
92
2005 2006 2007 2008 2009 2010*)
Per
sen
Laki-Laki
Perempuan
77
77 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.1.4 Analisis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan
Secara rata-rata, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalokasikan hampir sepertiga belanja
daerahnya untuk sektor pendidikan. Secara riil per kapita , Kota Pare-pare menempati urutan teratas
dalam belanja pendidikan, sedangkan Kabupaten Bone menempati urutan terbawah. Pada tahun 2010,
Kota Pare-pare mengalokasikan Rp 1.245.430 untuk sektor pendidikan per kapita, sedangkan Kabupaten
Bone hanya mengalokasikan Rp 287.220,-. Sedangkan Kabupaten Jeneponto menempati urutan teratas
dengan mengalokasikan hampir setengah dari total belanja daerahnya untuk sektor pendidikan.
Gambar 5.10. Belanja Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010
Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
Gambar 5.11. Belanja Pendidikan Menurut Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,
2010
Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
1,245
287
0200400600800
1,0001,2001,400
Kot
a P
arep
are
Kot
a P
alop
o
Kab
. Enr
ekan
g
Kab
. Bar
ru
Kab
. Ban
taen
g
Kab
. Pan
gkep
Kab
. Sel
ayar
Kab
. Sid
rap
Kab
. Tak
alar
Kab
. Jen
epon
to
Kab
. Sin
jai
Kab
. Sop
peng
Kab
. Pin
rang
Kab
. Mar
os
Kab
. Bul
ukum
ba
Kab
. Luw
u
Kab
. Luw
u T
imur
Kab
. Tat
or
Kab
. Luw
u U
tara
Kab
. Gow
a
Kab
. Waj
o
Kot
a M
akas
sar
Kab
. Bon
e
Rib
u R
p
Belanja Pendidikan Riil Per Kapita
87%80% 84% 79% 76% 82% 87% 82% 82% 89%
79% 85%78%
62%
83%68%
82% 77%86%
78% 78% 83%76%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
% Belanja Pegawai % Belanja Barang dan jasa % Belanja Modal
78
78 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Belanja pegawai mendominasi belanja pendidikan di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Secara rata-rata, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan mencapai 80 persen.
Kabupaten Bone mencatat proporsi belanja pegawai yang relatif paling kecil (62%), dan sebaliknya
Kabupaten Sinjai menunjukkan proporsi belanja pegawai yang relatif paling besar (89%). Untuk belanja
modal, Kota Makassar menunjukkan proporsi yang relatif paling kecil (7%), dan sebaliknya Kabupaten
Bone memperlihatkan proporsi yang relatif paling besar (58%).
Rasio murid-sekolah (RMS) dan rasio murid-guru (RMG) untuk setiap jenjang pendidikan relatif
bervariasi antar kabupaten/kota. Untuk tingkat SD, Kabupaten Soppeng mencatat RMS dan RMG yang
paling rendah dan Kota Makassar yang paling tinggi. Untuk tingkat SMP, Kabupaten Selayar mencatat
RMS dan RMG terendah dan Kota Palopo tertinggi untuk RMS dan Kabupaten Luwu Utara tertinggi
untuk RMG. Sedangkan untuk tingkat RMS dan RMG SMA, Kabupaten Maros terendah dan Kabupaten
Luwu tertinggi. Gambaran ini mengindikasikan perlunya pemerataan dan sebaran sekolah dan guru
antar kabupaten/kota.
Sebagian besar kabupaten/kota menunjukkan rata-rata lama sekolah yang lebih rendah dibandingkan
dengan rata-rata provinsi. Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 17 di antaranya berada di bawah
rata-rata provinsi, dan hanya enam kabupaten/kota yang berada di atas rata-rata provinsi. Daerah kota
Tabel 5.3. Rasio Murid-Sekolah dan Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan Berdasarkan
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010
Kabupaten/Kota RMS SD RMG SD RMS SMP RMG SMP RMS SMA RMG SMA
Selayar 110,66 14,05 133,77 7,91 253,00 12,49 Bulukumba 141,80 12,26 219,49 11,84 459,44 17,30 Bantaeng 196,47 11,01 306,55 12,09 596,50 13,71 Jeneponto 184,67 17,42 200,63 15,09 372,31 16,69 Takalar 151,89 10,87 279,71 10,88 405,50 10,78 Gowa 198,41 16,73 234,25 11,18 368,05 11,93 Sinjai 136,72 11,84 238,02 11,40 351,63 10,46 Maros 168,61 14,45 249,43 11,03 246,40 8,31 Pangkep 137,67 12,89 250,42 10,33 291,29 11,96 Barru 105,54 10,51 221,38 9,60 474,29 13,61 Bone 138,31 14,13 232,59 11,95 503,50 13,33 Soppeng 104,51 8,87 251,29 9,73 355,08 9,49 Wajo 106,27 16,21 276,31 10,66 397,50 11,00 Sidrap 222,71 19,88 286,20 11,23 382,43 10,93 Pinrang 153,08 13,85 339,20 15,89 498,13 15,72 Enrekang 145,02 14,92 251,97 8,25 361,87 11,88 Luwu 204,58 16,69 233,00 11,50 551,37 19,44 Tana Toraja 167,67 15,78 191,22 10,29 320,25 10,48 Luwu Utara 192,02 15,82 234,90 19,43 418,00 14,67 Luwu Timur 225,33 21,28 315,11 15,01 379,45 8,73 Toraja Utara 208,51 17,82 234,00 19,13 404,25 17,33 Kota Makassar 263,80 27,65 286,24 13,76 345,86 16,48 Kota Pare Pare 188,68 12,57 325,00 10,66 429,63 9,99 Kota Palopo 251,85 15,58 379,52 11,84 395,54 9,42
Sumber: diolah dari Sulawesi Selatan Dalam Angka, BPS.
Catatan: RMS=rasio murid-sekolah; RMG=rasio murid-guru.
79
79 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
memiliki rata-rata lama sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten. Kota
Makassar menempati urutan teratas (10,6 tahun), dan sebaliknya, Kabupaten Bantaeng menempati
urutan terbawah (5.9 tahun).
Gambar 5.12. Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, berbagai seri.
Daerah perkotaan memiliki angka melek huruf yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah
kabupaten. Seluruh daerah kota di Sulawesi Selatan, yaitu Kota Makassar, Kota Palopo, dan Kota Pare-
Pare, mencatat angka melek huruf tertinggi di Sulawesi Selatan. Sebaliknya, daerah kabupaten yang
berada di wilayah selatan Sulawesi Selatan (Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Gowa, dan Takalar) justru
menunjukkan angka melek huruf yang paling rendah. Informasi ini memberi arah bahwa penanganan
penduduk buta huruf perlu dilakukan di daerah kabupaten, terutama di wilayah selatan Sulawesi
Selatan.
Gambar 5.13. Angka melek huruf menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2009
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, berbagai seri.
Secara umum, angka melek huruf laki-laki relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pada
semua kelompok umur di kabupaten/kota. Kesenjangan paling jauh angka melek huruf tertinggi antara
77.2087.02
97.32
0
20
40
60
80
100
120
Per
sen
5.907.40
10.60
0
2
4
6
8
10
12
Tah
un L
ama
Sek
olah
80
80 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
laki-laki dengan perempuan terjadi pada kelompok umur 60 tahun ke atas. Pada beberapa kasus, angka
melek huruf perempuan lebih baik dibandingkan dengan laki-laki, terutama pada kelompok umur 15-29
tahun. Ini menunjukkan di masa lalu akses perempuan terhadap pendidikan berkualitas masih lebih
rendah daripada akses laki-laki. Tetapi pada generasi yang lebih muda terlihat lebih setara.
Di tingkat kabupaten/kota, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan antar kelompok
pendapatan di kabupaten/kota, menunjukkan kesenjangan yang sangat bervariasi. Kabupaten dengan
tingkat kemiskinan tertinggi, menunjukkan kesenjangan belanja pendidikan yang besar. Di Kabupaten
Pangkep misalnya, yang merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sulawesi Selatan,
belanja pendidikan kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) sebesar 6 kali dibandingkan dengan
kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1). Sebaliknya, Kabupaten Sidrap, yang merupakan kabupaten
dengan tingkat kemiskinan terendah di Sulawesi Selatan, belanja pendidikan kelompok rumah tangga
terkaya (kuintil 5) hanya sekitar 35 persen lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga
termiskin (kuintil 1). Secara absolut, rumah tangga termiskin di Kabupaten Selayar mengeluarkan
Tabel 5.4. Angka Melek Huruf Menurut Kelompok Umur di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009
Kabupaten/Kota 15-29 30-44 45-60 60 ke atas
L P L P L P L P
Selayar 98,7% 98,9% 94,8% 92,4% 88,6% 84,6% 73,7% 57,6%
Bulukumba 96,9% 96,6% 95,4% 89,2% 79,8% 77,8% 67,6% 43,7%
Bantaeng 92,4% 95,7% 79,8% 77,6% 78,1% 62,4% 60,1% 37,5%
Jeneponto 90,4% 94,8% 85,6% 79,8% 60,1% 55,0% 52,5% 34,3%
Takalar 96,2% 96,1% 88,9% 89,6% 73,1% 64,4% 58,1% 32,0%
Gowa 97,3% 96,5% 87,0% 83,1% 75,6% 63,4% 52,2% 33,3%
Sinjai 98,9% 98,6% 94,1% 93,4% 80,1% 75,2% 52,3% 37,9%
Maros 97,9% 97,1% 92,3% 81,9% 76,2% 54,9% 60,7% 25,0%
Pangkep 98,2% 98,9% 91,5% 89,2% 83,8% 71,9% 65,7% 51,8%
Barru 98,9% 98,8% 93,5% 94,2% 83,9% 83,9% 77,1% 57,4%
Bone 97,3% 98,3% 94,8% 89,6% 79,3% 73,5% 59,9% 43,4%
Soppeng 97,8% 99,3% 96,8% 96,6% 87,1% 82,1% 59,1% 47,6%
Wajo 96,5% 97,3% 92,0% 89,1% 81,3% 70,8% 64,6% 37,9%
Sidrap 99,1% 99,1% 94,1% 92,7% 79,3% 69,7% 54,6% 29,0%
Pinrang 99,4% 99,7% 96,9% 93,6% 91,8% 82,9% 76,6% 47,1%
Enrekang 99,0% 98,8% 98,1% 95,8% 87,1% 80,6% 71,7% 40,1%
Luwu 96,3% 97,0% 94,1% 94,8% 86,5% 78,6% 67,4% 45,8%
Tana Toraja 97,1% 98,0% 95,1% 89,6% 84,0% 76,9% 69,1% 48,0%
Luwu Utara 98,4% 99,4% 95,1% 92,2% 85,0% 73,2% 71,8% 47,9%
Luwu Timur 99,7% 97,4% 98,0% 96,8% 96,0% 80,4% 81,0% 57,8%
Makassar 99,8% 99,4% 98,3% 97,5% 95,5% 91,4% 92,5% 73,2%
Pare-Pare 100,0% 99,2% 96,9% 97,4% 94,8% 89,2% 88,0% 72,9%
Palopo 99,5% 99,3% 98,6% 97,1% 97,4% 92,0% 90,0% 75,9%
Sulawesi Selatan 97,8% 98,1% 93,9% 90,8% 83,9% 76,0% 67,8% 46,2%
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
81
81 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
anggaran untuk pendidikan yang relatif paling besar (Rp 1,6 juta), dan sebaliknya, Kabupaten Maros
yang relatif paling kecil (Rp 319 ribu). Dengan kata lain, beban belanja pendidikan rumah tangga miskin
di Selayar jauh lebih berat dibanding rumah tangga miskin di Maros atau daerah lain
5.1.5 Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan
Dasar kebijakan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan adalah RPJMD 2008-2013 yang menempatkan
peningkatan kualitas manusia sebagai agenda pertama dimana kebijakan pendidikan gratis adalah
salah satu pilar perwujudan agenda tersebut. Pendidikan gratis dan kesehatan gratis merupakan janji
politik kepala daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Karena itu, pendidikan gratis dan kesehatan gratis
dituangkan dalam RPJMD 2008-2013 untuk mendukung visi “Sulawesi Selatan sebagai 10 Terbaik dalam
Pemenuhan Hak Dasar”.
Tabel 5.5. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok
Pendapatan di Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009
Kabupaten/Kota Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
Selayar 1.634.910 2.093.789 1.641.826 2.298.767 2.988.902
Bulukumba 446.536 606.100 688.455 805.486 1.027.435
Bantaeng 476.008 494.070 673.027 1.007.042 2.121.994
Jeneponto 535.688 744.131 775.388 898.718 1.965.042
Takalar 436.606 573.299 649.058 1.035.340 2.816.831
Gowa 646.489 747.363 921.116 1.051.495 2.832.511
Sinjai 599.007 627.840 603.317 1.167.385 2.268.316
Maros 319.223 543.503 837.012 1.163.450 2.531.120
Pangkep 321.754 407.500 539.854 803.074 1.929.913
Barru 385.041 447.098 863.926 1.290.667 1.657.805
Bone 879.729 910.411 1.061.109 1.407.377 1.714.873
Soppeng 725.793 868.002 924.739 1.051.906 1.484.024
Wajo 614.030 751.011 837.756 1.416.800 2.324.109
Sidrap 855.456 807.019 1.139.197 1.117.655 1.188.042
Pinrang 743.691 772.508 1.191.576 1.109.996 1.780.194
Enrekang 522.448 787.213 847.590 1.195.532 1.281.045
Luwu 823.672 1.190.543 1.439.757 1.183.724 2.036.514
Tana Toraja 791.143 1.170.626 1.438.519 2.063.555 4.257.060
Luwu Utara 658.641 756.666 705.603 1.381.503 840.779
Luwu Timur 879.565 1.014.821 1.058.187 1.100.179 1.621.045
Makassar 768.492 736.174 1.340.752 1.490.257 3.700.023
Pare-Pare 951.032 1.055.324 1.150.990 1.342.745 1.967.513
Palopo 933.997 1.284.849 1.391.291 1.678.232 3.083.121
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
82
82 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
GRATIS
JUKLAK
(PERGUB)
ANGGARAN
PROVINSI
(40%)
ANGGARAN
KAB./KOTA
(60%)
REKENING
KAS DAERAH
KAB./KOTA
PROPOSAL/
USULAN
SEKOLAH
VERIFIKASI
DINAS PDDK
KAB./KOTA
KOMITE
SEKOLAH
MONEV
DINAS PDDK
KAB./KOTA
PENCAIRAN
ANGGARAN
(SEKOLAH)
PEMANFAATAN
ANGGARAN
(SEKOLAH)
PERATURAN
DAERAH)
TIM
PENGENDALI
PROVINSI
TIM
PENGENDALI
KAB./KOTA
NOTA
KESEPAHAMAN
PROV-KAB/KOTA
Pendidikan gratis adalah sebuah kebijakan yang dalam penyelenggaraannya didasarkan pada
kerangka regulasi yang lengkap dan dinamis guna mengatasi tantangan dibalik kompleksitas
implementasinya. Landasan hukum penyelenggaraan pendidikan gratis adalah Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang “Penyelenggaraan Pendidikan Gratis Di Provinsi
Sulawesi Selatan” dengan pertimbangan utama bahwa ia merupakan wujud komitmen dan kepedulian
pemerintah daerah dalam peningkatan akses dan kualitas pendidikan di Sulawesi Selatan.
Pelaksanaannya setiap tahun didasarkan pada peraturan gubernur: pada tahun 2008-2009 digunakan
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan; pada tahun 2010 didasarkan pada Peraturan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Gratis Provinsi
Sulawesi Selatan; dan pada tahun 2011 didasarkan pada Pergub No. 06 tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Gratis di Sulawesi Selatan. Dengan pengaturan yang diperbarui setiap tahun menunjukkan bahwa
kebijakan ini berupaya merespons dinamika sebagai proses belajar dalam penyempurnaan
pelaksanaannya.
Gambar 5.14. Skema Alur Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan
Sumber: Diolah dari Peraturan Gubernur.
Prinsip dasar, tujuan, strategi dan organisasi penyelenggaraan pendidikan gratis terarah pada
perbaikan kualitas manusia Sulawesi Selatan dalam suatu sinergi pemerintahan dan gerakan
masyarakat. Dengan prinsip dasar bahwa “semua anak usia sekolah wajib menyelesaikan pendidikan
83
83 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
dasar dan menengah”, bahwa “bagi anak usia sekolah yang tidak ikut pendidikan maka pemerintah
daerah wajib menyurati orang tuanya”, dan bahwa “biaya pendidikan dasar dan menengah bagi anak
usia sekolah dari keluarga tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah daerah”; dan bahwa tujuan
pendidikan gratis bukan hanya pada pemerataan tetapi juga perbaikan kualitas pendidikan; didukung
sinergi pendanaan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten; maka kebijakan pendidikan
gratis diharapkan menyentuh seluruh aspek dalam perbaikan kualitas manusia melalui pendidikan.
Kotak 5.1. Aturan Variabel Perhitungan Besaran Bantuan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011
Pemerintah Sulawesi Selatan memberlakukan aturan variabel perhitungan besaran bantuan pendidikan
gratis secara berbeda antara pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Untuk SD/MI/SDLB/PPs ULA: a. Tambahan biaya penunjang kegiatan pembelajaran lainnya sebesar Rp
4.000/siswa/bulan; b. Insentif: kepala sekolah sebesar Rp125.000/bulan, Insentif jam mengajar guru
sebesar Rp 2.500/jam pelajaran, dihitung dan dibayarkan kepada guru yang secara nyata melaksanakan
pembelajaran, Insentif bendahara pendidikan gratis sebesar Rp 100.000/bulan, Insentif remedial dan
pengayaan sebesar Rp5.000/jam pelajaran, Insentif Bujang sebesar Rp75.000/orang/bulan, Insentif
Satpam sebesar Rp250.000/bulan.
Untuk SMP/MTs/SMPLB/PPs.WUSTHA: (a) Tambahan biaya penunjang kegiatan pembelajaran lainnya
sebesar Rp17.600/siswa/bulan; (b) Insentif kepala sekolah sebesar Rp125.000/bulan, insentif wakil
kepala sekolah sebesar Rp100.000/bulan, Insentif kepala urusan sebesar Rp100.000/bulan, insentif
wali kelas sebesar Rp100.000/bulan, insentif guru BP/BK sebesar Rp100.000/bulan, insentif
pustakawan sebesar Rp75.000/bulan, insentif laboran sebesar Rp75.000/bulan, insentif jam mengajar
guru sebesar Rp2.500/jam pelajaran, dihitung dan dibayarkan kepada guru yang secara nyata
melaksanakan pembelajaran, insenitif remedial dan pengayaan sebesar Rp5.000/jam pelajaran, insentif
kepala tata usaha sebesar Rp1000.000/bulan, insentif bendahara pendidikan gratis sebesar
Rp100.000/bulan, insentif staf tata usaha sebesar Rp75.000/bulan, insentif bujang sebesar
Rp75.000/orang/bulan, dan insentif satpam sebesar Rp250.000/orang/bulan.
Cakupan programatik dan cakupan penerima dari program pendidikan gratis memiliki lingkup
terbatas tetapi dengan aspek yang relatif menyeluruh. Cakupan programatik dari pendidikan gratis
meliputi “bebas biaya pendidikan” bagi peserta didik yang sekolahnya memperoleh bantuan penuh
pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, “subsidi biaya pendidikan” bagi peserta didik yang
sekolahnya memperoleh bantuan tidak penuh atau sebagian pembiayaan penyelenggaraan pendidikan,
dan “beasiswa pendidikan” bagi peserta didik berprestasi yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Sasaran penyelenggaraan pendidikan gratis adalah jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan
dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas. Dengan cakupan dan sasaran
yang demikian, pendidikan gratis berpotensi besar untuk berkontribusi pada peningkatan angka
partisipasi sekolah dan rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan.
84
84 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Kotak 5.2. Aturan Penggunaan Dana Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011
Pemerintah Sulawesi Selatan memberlakukan aturan penggunaan dana pendidikan gratis sedikit berbeda antara
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Penggunaan dana pendidikan gratis untuk tingkat SD/MI/SDLB/PPS ULA adalah: 1. Pembiayaan seluruh kegiatan
penerimaan siswa baru; 2. Pembelian buku teks diluar yang disediakan dana BOS dan buku referensi untuk
dikoleksi di sekolah; 3. Pembiayaan kegiatan pembelajaran, remedial, pengayaan, olahraga, kesenian, pramuka,
palang merah remaja, dan sejenisnya; 4. Pengadaan buku rapor dan foto murid; 5. Pembiayaan ulangan harian,
ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa; 6. Pembelian bahan-bahan habis pakai; 7.
Pembiayaan langganan daya dan jasa; 8. Pembiayaan perawatan sekolah; 9. Insentif tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan lainnya; 10. Pengembangan profesi guru; 11. Pemberian biaya transportasi bagi siswa miskin yang
menghadapi masalah transport ke sekolah; 12. Bantuan pembelian buku tulis, pulpen, baju seragam, baju olah
raga, sepatu, tas bagi siswa miskin; 13. Pembiayaan pengelolaan pendidikan gratis.
Penggunaan untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB/PPS WUSTHA sama dengan SD dari poin 1 sampai 13, dan ditambah
dengan poin 14. Khusus untuk pesantren Salafiyah dan sekolah agama non Islam, dana pendidikan gratis dapat
digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan membeli peralatan biaya. Untuk menghindari ketidakefisienan dan
ketidakefektifan penggunaan, pendidikan gratis memprioritaskan komponen buku teks pelajaran, pemberian
bantuan untuk siswa miskin: transport, pembelian buku, pensil, pulpen, baju seragam, baju olah raga, sepatu, tas
dan lain-lain yang menjadi kebutuhan pembelajaran baginya dan biaya administrasi pelaporan.
Kebijakan pendidikan gratis pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah direspons secara variatif oleh
pemerintah kabupaten/kota. Hal ini terutama pada penerapan aturan berbagi kontribusi antara
pemerintah provinsi (40 persen) dan pemerintah kabupaten/kota (60 persen). Ada kabupaten/kota yang
pada awal pelaksanaan belum sepenuhnya memenuhi angka kontribusi tersebut, ada juga
kabupaten/kota yang telah menjalankan kebijakan pendidikan gratis sebelum kebijakan provinsi
tersebut berjalan.
Kebijakan pendidikan gratis telah memberi pembelajaran pada sinergi antara pemerintah provinsi
dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pembiayaan dan penyelenggaraan pelayanan dasar.
Setelah empat tahun berjalan, berbagai pembelajaran telah memungkinkan penyelenggara untuk
melakukan penyempurnaan pola implementasi. Implementasi kebijakan pendidikan gratis tidak hanya
relevan dilihat pada kinerja yang sepenuhnya teknis pendidikan, tetapi juga perlu dilihat pada
peningkatan kapasitas pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam inovasi pelayanannya. Kasus
Kabupaten Luwu Timur misalnya, dengan kebijakan pendidikan gratis pemerintah provinsi dalam kondisi
daerah ini sudah menjalankan kebijakan serupa sejak 2006, respons yang diberikan bukanlah penolakan
terhadap kebijakan provinsi tersebut, tetapi secara kreatif dana pendidikan gratis kabupaten dialihkan
untuk peningkatan kualitas belajar-mengajar dalam memperbaiki capaian ujian nasional, dan dana dari
provinsi tetap digunakan sesuai peruntukannya. Hasilnya, setelah tiga tahun daerah ini berhasil
mencapai prestasi terbaik ujian nasional di Sulawesi Selatan.
85
85 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Kotak 5.3. Kabupaten Luwu Timur dan Pendidikan Gratis
Kabupaten Luwu Timur adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Luwu dengan luas wilayah 6.944, 88 km persegi,
jumlah penduduk 210.000 jiwa (2010), terdiri dari 11 kecamatan dan 107 desa/kelurahan. Visi pembangunan
daerah adalah “Luwu Timur sebagai Kabupaten Agribisnis” dengan misi “Mengoptimalkan potensi untuk
kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan”. Visi pembangunan pendidikannya adalah “ Mewujudkan manusia
yang berimtaq, berilmu, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan berprestasi” dengan Misi: 1. Meningkatkan kualitas
dan profesionalisme guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan; 2. Mengupayakan perluasan dan kesempatan
memperoleh pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat, dan 3. Meningkatkan penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan.
Anggaran pendidikan dalam APBD empat tahun terakhir di atas 20 persen masing-masing 19,24 persen (2006),
25,40 persen (2007), 26,04 persen (2008), 23,22 persen (2009) dan 27,83 persen (2010). Kebijakan pendidikan
gratis Sulawesi Selatan telah memberi ruang lebih luas untuk meningkatkan kinerja pendidikan daerah ini. Sejak
2006 Luwu Timur telah mendapatkan bantuan dana pendidikan gratis dari pihak swasta, setelah adanya program
pendidikan gratis dari provinsi, dana pendidikan dari swasta tersebut dialihkan peruntukannya bagi peningkatan
kualitas belajar-mengajar dalam menghadapi ujian nasional, sementara dana dari Provinsi (40 persen) dikelola
sesuai peruntukannya dan Kabupaten menanggung porsi 60 persen. Kebijakan pendidikan gratis Luwu Timur
ditetapkan dalam Perda. Dengan pengalaman pendidikan gratis sejak 2006 dan dikuatkan dengan pendidikan
gratis Provinsi maka daerah ini memungkinkan berinovasi dan mencapai berbagai prestasi menonjol di bidang
pendidikan.
Inovasi dalam pembangunan pendidikan mencakup kerjasama dengan berbagai pihak antara lain
padapeningkatan mutu dan layanan pendidikan (UNM, Unhas, ITB, ITS, UT, UIN Syarif Hidayatullah, ATS Soroako),
pada peningkatan kompetensi tenaga pendidik (UNM, LPMP, Unhas/Guru MIPA, Unicef, pihak swasta),
peningkatan mutu kompetensi bagi peserta didik dalam menghadapi ujian nasional (UNM, iNsTy), pengembangan
kesejahteraan bidang pendidikan (Bus sekolah tiap kecamatan, beasiswa untuk siswa berprestasi hingga
perguruan tinggi, bantuan buku pelajaran, bantuan operasional manajemen mutu bagi sekolah dan tunjangan
tenaga pendidik dan kependidikan pada satuan pendidikan) ,dan pengelolaan dana pendidikan berbasis sekolah
untuk SMP (pihak sekolah berhubungan langsung dengan DPRD dalam alokasi anggarannya).
Dengan pendidikan gratis dan berbagai inovasi tersebut Luwu Timur telah mencapai berbagai prestasi bidang
pendidikan. Dalam ujian nasional, pada tahun 2007 peringkat 22 dari 23 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan;
pada tahun 2008 naik ke peringkat 8; pada tahun 2009 naik ke peringkat 5 dan pada tahun 2010 mencapai
peringkat 1. Selain itu, Luwu Timur dipilih oleh Majalah Tempo sebagai satu dari 10 kabupaten/kota berpretasi;
sebagai salah satu dari tujuh kabupaten/kota yang mendapatkan penghargaan Gubernur untuk pembangunan
bidang pendidikan; Medali dari Gubernur Sulawesi Selatan untuk kepedulian bidang pendidikan; Medali untuk 10
kabupaten/kota atas penuntasan buta huruf; piagam penghargaan dari PGRI Sulawesi Selatan atas perhatian
pada guru; dan Satya Lencana Pembangunan di bidang Pendidikan dari Presiden RI.
5.1.6 Kesimpulan dan Rekomendasi
� Selama periode 2005-2011, belanja pendidikan di Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan
yang signifikan. Perlu dipastikan bahwa anggaran tersebut benar-benar bekerja untuk memperbaiki
indikator-indikator pendidikan, terutama angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.
86
86 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
� Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan relatif sangat besar, tetapi proporsi
belanja modal terhadap relatif kecil. Akibatnya, belanja sektor pendidikan tidak memiliki dampak
signifikan terhadap capaian kinerja hasil. Proporsi belanja pegawai di sektor pendidikan perlu
ditekan ke level yang lebih rendah, agar proporsi belanja modal dapat diangkat ke tingkat yang lebih
signifikan. Kebijakan moratorium penerimaan pegawai untuk beberapa tahun ke depan atau
setidaknya menempuh kebijakan zero growth jumlah pegawai, mungkin perlu dipertimbangkan
untuk menekan proporsi belanja pegawai. Selain itu, belanja pegawai pada pos belanja langsung
harus lebih diefisienkan.
� Mengingat kebijakan pendidikan ini sudah diimplementasikan sejak tahun 2008, maka perlu
dilakukan evaluasi menyeluruh mengenai efektifitas kebijakan pendidikan gratis. Kebijakan
pendidikan gratis perlu dikorelasikan dengan target kinerja keluaran dan kinerja hasil yang ingin
dicapai. Selain itu, program pendidikan gratis hanya diterapkan pada tingkat SD dan SMP, maka itu
perlu ada kebijakan untuk pendidikan tingkat SMA.
� Peningkatan belanja pendidikan di Sulawesi Selatan telah berhasil mendorong kinerja keluaran
terutama rasio guru-murid, tetapi belum berhasil mendorong kinerja hasil. Kinerja hasil tersebut
berupa angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf sesuai dengan
target RPJMD dan angka nasional. Direkomendasikan agar belanja pendidikan diarahkan untuk
mendorong angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah di kabupaten yang masih rendah
angkanya, Rendahnya angka melek huruf berkontribusi terhadap rendahnya Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian yang lebih besar,
upaya yang lebih konstruktif, dan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan untuk
pemberantasan buta huruf. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan
dengan wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan
Gowa.
� Terdapat ketidaksetaraan gender dalam kinerja hasil pembangunan pendidikan di Sulawesi. Angka
partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi dari laki-laki, tetapi angka melek huruf laki-laki jauh lebih
tinggi dari perempuan. APS laki-laki lebih kecil karena tingkat putus sekolah laki-laki lebih tinggi
seiring tuntutan bekerja. Tetapi kualitas pendidikan yang diterima lebih rendah walaupun mereka
bersekolah. Angka buta huruf perempuan berusia di atas 29 tahun lebih besar, direkomendasikan
agar pemerintah memberlakukan Kejar Paket A pada kelompok umur tersebut. Juga
direkomendasikan agar perempuan yang buta huruf ini diberi keahlian lain sebagai bagian dari
pemberdayaan.
� Kebijakan pendidikan gratis telah berhasil meringankan beban anak usia sekolah yang telah
mengakses pendidikan tetapi belum efektif mendorong anak usia sekolah yang belum terjangkau
pendidikan untuk masuk ke bangku sekolah. Direkomendasikan agar kebijakan pendidikan gratis
diikuti dengan bentuk intervensi lain yang bisa membuat anak usia sekolah untuk masuk bangku
sekolah khususnya di daerah yang terhambat secara geografis (daerah pegunungan dan
pesisir/kepulauan) dan terhambat secara ekonomi-budaya (anak putus sekolah karena bekerja).
Kerjasama pemerintah provinsi dan kabupaten perlu direalisasikan sebagai payung bagi upaya ini.
87
87 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
� Rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan antar kelompok pendapatan menunjukkan
kesenjangan yang cukup timpang. Kelompok pendapatan termiskin di Kabupaten Selayar, Bone,
Sidrap dan Luwu mengeluarkan anggaran untuk pendidikan yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok pendapatan yang sama di kabupaten lain. Rekomendasinya antara lain (i)
mengurangi beban pengeluaran untuk pendidikan bagi kelompok pendapatan termiskin,
diprioritaskan di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap, dan Luwu. (ii) kebijakan pendidikan gratis harus
memastikan keberpihakannya pada kelompok pendapatan termiskin.
88
88 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.2 Analisis Sektor Kesehatan
Kesehatan merupakan kebutuhan penting dan sekaligus merupakan investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia agar mereka dapat sehat dan hidup secara produktif. Sektor kesehatan bersama
dengan sektor pendidikan merupakan salah satu sektor prioritas utama pembangunan di Sulawesi
Selatan, dan di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2008-
2013, kedua sektor ini menempati agenda pertama dari tujuh agenda pembangunan daerah. Untuk
menunjang program utama ini oleh Pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2008 telah mencanangkan
suatu program kesehatan gratis dengan harapan bahwa dengan program tersebut paling tidak telah
membawa dampak pada berkurangnya belanja masyarakat untuk kepentingan pembayaran kesehatan,
yang selama ini sangat memberatkan masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi lemah.
5.2.1 Belanja Sektor Kesehatan
Proporsi belanja sektor kesehatan terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan terus meningkat,
meskipun cenderung fluktuatif. Pada tahun 2005, proporsi belanja kesehatan terhadap total belanja
daerah sebesar 8,2 persen, dan meningkat menjadi 10,4 persen pada tahun 2010. Meskipun mengalami
penurunan proporsi pada tahun 2006, namun pertumbuhan belanja kesehatan tertinggi justru terjadi
pada tahun 2006. Pertumbuhan total belanja daerah yang sangat signifikan pada tahun 2006,
menyebabkan proporsi belanja kesehatan mengalami penurunan. Pada tahun 2011, proporsi belanja
kesehatan terhadap total belanja daerah sebesar 10,0 persen, menurun dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
Gambar 5.15. Total Belanja Kesehatan dan Total Belanja Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.
Total belanja kesehatan 2010, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh belanja
pegawai. Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja di tingkat provinsi relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat kabupaten/kota. Pada tingkat provinsi, proporsi belanja pegawai terhadap
658 839 1,218 1,378 1,530 1,739 1,625
8.010.3
14.015.3 14.8
16.7 16.3
8.2% 8.1%8.7% 9.0%
10.4% 10.4%10.0%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Proporsi B
elanja Kesehatan R
iilM
iliar
Rp
Total Belanja Kesehatan Riil Total Belanja Daerah Riil % Belanja Kesehatan Riil
89
89 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
45%
28%
27%
Kabupaten/Kota
Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal
total belanja kesehatan sebesar 48 persen, sedangkan untuk kabupaten/kota sebesar 45 persen.
Sebaliknya, proporsi belanja modal pada tingkat kabupaten/kota relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkat provinsi, yaitu masing-masing sebesar 276 persen dan 20 persen.
Gambar 5.16. Perbandingan Komposisi Belanja Kesehatan Menurut Jenis Belanja Antara Provinsi dan
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
5.2.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga
pelayanannya meningkat. Pada tahun 2005,
rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk
sebesar 2,2 dan kemudian meningkat menjadi
2,7 pada tahun 2009. Meski demikian,
terdapat sejumlah kabupaten/kota yang
justru menunjukkan penurunan, seperti
Kabupaten Maros, Luwu Timur, dan Kota
Pare-Pare.
Angka harapan hidup menunjukkan hasil
yang positif dari tahun ke tahun. Angka
harapan hidup Sulawesi Selatan bergerak dari
70,2 tahun pada tahun 2007 menjadi 70,8
tahun pada tahun 2010. Meskipun demikian,
angka ini masih sedikit lebih rendah dibanding
angka harapan hidup rata-rata nasional yang
Gambar 5.17. Jumlah Fasilitas Kesehatan dan Rasio
Tenaga Kesehatan per 10.000 Penduduk di Sulawesi
Selatan, 2005-2009
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan 2009.
2.2 2.4 2.6 2.7 2.7
15 15.713.4 14.7
16.5
0
5
10
15
20
2005 2006 2007 2008 2009
Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk
Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 penduduk
48%
32%
20%
Provinsi
90
90 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
sudah mencapai 70,9 tahun pada tahun 2010.
Angka harapan hidup tergantung pada angka
kelahiran atau kematian bayi, dan angka
kematian pada kelompok umur. Hal ini
menunjukkan bahwa Angka harapan hidup
dipengaruhi oleh kebijakan saat ini (angka
kematian bayi, pelayanan kesehatan pada
masyarakat umum), dan kebijakan masa lalu
(bagi masyarakat yang sudah berusia lebih
dewasa). Maka itu peningkatan angka
harapan hidup menuntut keberlanjutan
pelayanan kesehatan, misalnya dalam
program perbaikan gizi masyarakat,
peningkatan pelayanan kesehatan lansia,
program pencegahan dan pemberantasan
penyakit, pelayanan terhadap ibu hamil dan
pasca melahirkan.
Angka Kematian Bayi (AKB) di Sulawesi
Selatan turun mengikuti tren nasional. Pada
tahun 2005, AKB mencatat angka 30 per 1.000 kelahiran hidup dan kemudian menurun menjadi 26,6 per
1.000 kelahiran hidup. Angka ini sesuai dengan kecenderungan angka nasional yang juga menurun.
Menurunnya AKB dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan adanya peningkatan dalam kualitas
hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Meski demikian, capaian AKB tersebut masih jauh dari
target provinsi tahun 2013, yaitu 22 per 1.000 kelahiran hidup.
Gambar 5.19. Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan, 2005-2009
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Gambar 5.18. Komparasi Angka Harapan Hidup di
Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010
Sumber: BPS.
28.9
28.2
27.5
26.8
26.2
30
29.1
28.2
27.4
26.6
24
25
26
27
28
29
30
31
2005 2006 2007 2008 2009
AK
B p
er 1
.000
kel
ahira
n hi
dup
Nasional Sulawesi Selatan
70.4
70.5
70.7
70.9
70.2
70.4
70.6
70.8
69.8
70.0
70.2
70.4
70.6
70.8
71.0
2007 2008 2009 2010Indonesia Sulsel
91
91 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Seperti halnya AKB, Angka Kematian Ibu (AKI) di
Sulawesi Selatan cenderung mengalami penurunan
selama periode 2006-2009. Jumlah kematian ibu
maternal yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan pada tahun 2006
sebanyak 133 per 100.000 kelahiran hidup, kemudian
meningkat menjadi 143 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2007. Namun tahun 2008 jumlah kematian
ibu maternal mengalami penurunan menjadi 121
orang per 100.000 kelahiran hidup dan terus menurun
menjadi 118 orang per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2009. Untuk memperbaiki capaian kinerja yang
terkait dengan AKB dan AKI, pemerintah daerah telah
mengimplementasikan program peningkatan
keselamatan ibu melahirkan dan anak serta program
peningkatan pelayanan kesehatan bayi dan anak.
Kedua program tersebut telah diimplementasikan
secara konsisten sejak tahun 2008 hingga 2010, dan
direncanakan akan tetap dilanjutkan hingga tahun 2013. Ini mudah dipahami mengingat kinerja AKB dan
AKI hinga saat ini masih jauh dari target dan tetap menjadi prioritas secara nasional.
Sulawesi Selatan masih harus mengejar
ketertinggalan pada beberapa cakupan
kesehatan dasar. Data Susenas tahun 2009
menunjukkan bahwa cakupan imunisasi dan
cakupan kelahiran yang dibantu tenaga medis
di Sulawesi Selatan lebih rendah daripada
angka nasional. Hal ini sebanding dengan lebih
besarnya Angka Kematian Bayi di Sulawesi
Selatan dibanding rata-rata nasional. Kelahiran
yang dibantu tenaga medis masih jauh di
bawah angka nasional, meskipun Angka
Kematian Ibu Sulawesi Selatan lebih kecil dari
angka nasional. Ini menunjukkan bahwa peran
penyedia kesehatan non medis cukup vital dan
bisa menjadi salah satu target program
kesehatan.
Angka gizi buruk Sulawesi Selatan tidak membaik. Menurut hasil Riset Dasar Kesehatan 2007,
prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan sebesar 5,1 persen, lebih kecil dari rata-rata nasional sebesar
5,4 persen. Tetapi pada tahun 2010, Riset yang sama justru menunjukkan prevalensi gizi buruk Sulawesi
Selatan meningkat menjadi 6,4 persen, sementara rata-rata nasional turun menjadi 4,9 persen.
Gambar 5.20. Angka Kematian Ibu di
Sulawesi Selatan, Tahun 2005-2009 per
100.000 Penduduk
Sumber: Profil Kesehatan Sulawesi Selatan 2009.
Tabel 5.6. Capaian Indikator Dasar Kesehatan di
Sulawesi Tahun 2009
Provinsi Cakupan imunisasi
(%)
Kelahiran dibantu
tenaga medis (%)
Morbiditas (%)
Sulawesi Utara 79% 76% 36%
Sulawesi Tengah 73% 46% 38%
Sulawesi Selatan 76% 59% 32%
Sulawesi Tenggara 77% 36% 36%
Gorontalo 75% 37% 48%
Sulawesi Barat 68% 29% 38%
Indonesia 77% 65% 34%
Sumber: Estimasi staf Bank Dunia dari Susenas 2009.
133143
121 118
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2006 2007 2008 2009
92
92 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Peningkatan prevalensi gizi buruk dan kurang dibarengi penurunan prevalensi gizi baik dan lebih, ini
berarti terjadi penurunan kualitas kesehatan pada balita dan ibu. Meski demikian, angka tersebut lebih
rendah dari target pencapaian program perbaikan gizi nasional sebesar 20 persen pada tahun 2015.
Dibandingkan dengan rata-rata
pengeluaran rumah tangga untuk
pendidikan, kesenjangan pengeluaran
rumah tangga untuk kesehatan antar
kelompok pendapatan tampak lebih
buruk. Pada tahun 2005, kelompok
rumah tangga terkaya mengeluarkan
anggaran untuk kesehatan hampir tujuh
kali lipat (Rp. 499 ribu) dari kelompok
rumah tangga termiskin (Rp. 77 ribu).
Meskipun rasio tersebut membaik pada
tahun 2009, namun kesenjangannya
masih berada di atas enam kali lipat antara kelompok rumah tangga terkaya (Rp. 821 ribu) dengan
kelompok rumah tangga termiskin (Rp. 135 ribu).
5.2.3 Analisis Kabupaten/Kota
Secara rata-rata, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalokasikan sekitar sepersepuluh belanja
daerahnya untuk sektor kesehatan. Belanja kesehatan per kapita Kabupaten Enrekang adalah yang
tertinggi (Rp. 748 ribu), sedangkan Kota Makassar memiliki belanja terkecil (Rp. 80 ribu). Seperti halnya
belanja pendidikan per kapita, daerah yang memiliki belanja kesehatan per kapita terkecil adalah daerah
yang memiliki populasi terbesar. Sementara daerah yang belanja kesehatan per kapitanya tinggi juga
memiliki belanja pendidikan tinggi antara lain Enrekang, Parepare, dan Palopo.
Gambar 5.21. Belanja kesehatan riil per kapita menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011.
Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
748
80100200300400500600700800
Rib
u R
p
Tabel 5.7. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk
Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi
Selatan, 2005-2009
Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
2005 77,861 107,104 149,180 208,532 499,397
2006 90,758 116,334 143,190 210,063 333,290
2007 129,661 172,169 211,995 291,100 415,186
2008 105,964 328,486 120,837 179,111 299,047
2009 135,062 188,045 262,035 378,445 821,782
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
93
93 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Proporsi belanja kesehatan menurut klasifikasi ekonomi sangat bervariasi antar kabupaten/kota.
Kabupaten Enrekang menunjukkan gambaran yang agak ekstrim, di mana proporsi belanja pegawai
terhadap total belanja kesehatan hanya sebesar 14 persen, sedangkan proporsi belanja modal mencapai
74 persen. Sebaliknya, Kabupaten Maros mengalokasikan 68 persen untuk belanja pegawai dan hanya
10 persen untuk belanja modal. Secara rata-rata, kabupaten/kota membelanjakan 47 persen dari total
belanja kesehatannya untuk belanja pegawai, dan masing-masing 28 persen dan 1726,99 persen untuk
belanja barang dan jasa serta belanja modal.
Gambar 5.22. Belanja Kesehatan Menurut Klasifikasi Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sulawesi
Selatan, 2010
Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten, sementara tenaga kesehatan
justru terkonsentrasi di perkotaan. Kabupaten yang secara geografis terletak jauh dari pusat provinsi
seperti Selayar, Enrekang, dan Luwu memiliki rasio fasilitas kesehatan yang jauh lebih baik dari daerah
perkotaan. Belanja kesehatan per kapita Enrekang adalah yang tertinggi di provinsi. Dan Selayar sebagai
kabupaten yang memiliki APBD relatif kecil, belanja kesehatan per kapitanya adalah terbesar ketujuh.
Meski demikian, tenaga kesehatan lebih terkonsentrasi di perkotaan seperti Makassar, Parepare, dan
Palopo. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena akan mengakibatkan banyak
fasilitas kesehatan di daerah tidak berjalan maksimal.
65%
42%35%
57% 59%
43%35% 33%
47% 48%
68%61%
35%46%
53% 51%43%
63%
14%
44%
60%
36%42%
30%
44%
30%
23% 24%42%
18% 23%
44%
10%
22%
21%
28%
46% 27%25%
30%
29%
12%
17%
24%
45% 30%
5%14%
35%
20% 18% 14%
47% 43%
9%
43%
10%18%
37%
8%20% 24% 27%
9%
74%
39%
17% 19%28%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
% Belanja Pegawai % Belanja Barang dan Jasa % Belanja Modal
94
94 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Tabel 5.8. Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,
2005-2009
Kab./Kota Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk Tenaga Kesehatan per 10.000 penduduk
2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
Selayar 5,8 6,4 6,6 8,2 7,1 22,7 20,7 18,4 16,2 21,8
Bulukumba 2,1 2,5 2,5 2,5 2,4 12,5 16,1 10,8 8,5 11,0
Bantaeng 2,7 2,8 2,8 4,3 2,7 7,4 4,9 10,5 10,1 10,6
Jeneponto 2,0 2,4 2,6 2,7 2,7 7,4 6,2 8,3 8,2 9,8
Takalar 1,1 3,0 3,9 3,2 2,9 8,1 13,8 12,0 11,7 9,7
Gowa 1,5 1,5 2,5 2,7 2,8 8,5 11,10 8,1 8,2 8,9
Sinjai 3,0 3,2 3,5 4,3 4,1 11,5 9,4 14,3 13,8 18,2
Maros 1,7 2,1 2,3 2,1 0,5 11,6 15,0 12,7 12,5 10,4
Pangkep 3,3 3,1 3,1 3,6 3,3 14,9 17,2 17,7 8,1 10,3
Barru 3,3 3,0 3,2 3,2 3,4 13,9 15,1 18,5 18,1 17,3
Bone 0,5 2,0 2,0 2,1 2,1 9,0 2,6 3,8 5,1 6,7
Soppeng 3,4 3,4 3,5 3,7 3,5 21,0 19,8 11,0 11,0 11,8
Wajo 1,1 2,4 2,8 2,6 2,6 6,5 9,4 11,0 10,7 12,1
Sidrap 2,2 2,6 2,7 2,8 2,9 12,6 9,7 13,2 12,9 15,4
Pinrang 2,1 2,3 2,4 2,3 2,3 10,6 9,8 12,1 11,7 8,9
Enrekang 3,6 4,5 4,3 4,6 5,1 15,5 14,4 13,7 15,3 15,8
Luwu 3,5 3,4 4,2 4,2 4,4 12,8 12,3 17,6 16,8 16,4
Tana Toraja 2,1 2,5 2,8 2,8 3,6 26,2 12,3 16,1 15,4 12,9
Luwu Utara 2,3 2,6 3,4 2,9 2,7 8,5 8,4 12,6 14,0 14,3
Luwu Timur 3,3 3,7 3,8 2,9 3,0 18,2 9,8 13,5 13,1 18,7
Makassar 0,5 0,7 0,9 1,1 1,2 24,0 17,4 17,3 28,1 34,0
Pare-Pare 2,7 2,7 3,1 3,1 2,3 55,8 44,8 42,3 41,4 53,4
Palopo 2,1 2,8 3,2 3,0 3,0 23,0 22,3 35,1 27,5 35,6
Sulawesi Selatan
2,2 2,4 2,6 2,7 2,7 15,0 15,7 13,4 14,7 16,5
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan 2009.
Beberapa daerah menunjukkan belanja kesehatan rumah tangga yang senjang. Kabupaten Selayar
menunjukkan kesenjangan paling tajam, dimana kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5)
mengeluarkan anggaran hampir 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga
termiskin (kuintil 1). Sebaliknya, Kabupaten Soppeng menunjukkan kesenjangan paling rendah, dimana
kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) hanya mengeluarkan anggaran sekitar 2,5 kali lipat lebih
besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1).
95
95 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Tabel 5.9. Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan menurut kelompok pendapatan
di kabupaten/kota Sulawesi Selatan, 2009
Kabupaten/Kota Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
Selayar 76,098 90,874 111,926 248,136 725,584
Bulukumba 152,112 199,400 227,487 275,605 433,303
Bantaeng 140,107 176,958 230,406 315,515 807,084
Jeneponto 191,707 214,977 269,762 427,717 639,682
Takalar 165,730 215,541 220,540 308,226 1,211,007
Gowa 151,846 113,340 177,872 261,847 790,962
Sinjai 137,360 184,102 187,159 250,304 620,704
Maros 196,792 161,256 233,804 523,026 1,071,891
Pangkep 87,451 124,343 250,478 201,586 483,683
Barru 157,897 185,438 218,673 438,951 511,918
Bone 92,768 162,449 265,455 427,628 629,321
Soppeng 189,505 152,102 290,997 414,637 464,969
Wajo 163,936 167,786 208,154 273,885 646,352
Sidrap 124,112 230,484 262,937 351,282 904,743
Pinrang 203,772 223,237 358,075 419,570 834,250
Enrekang 108,845 124,336 232,425 292,739 651,948
Luwu 154,398 280,623 263,922 412,087 903,293
Tana Toraja 112,971 242,173 300,281 369,004 489,921
Luwu Utara 138,789 172,957 192,371 327,009 722,036
Luwu Timur 134,259 193,999 153,386 300,351 545,046
Makassar 100,298 136,026 261,099 343,627 858,646
Pare-Pare 110,398 223,668 206,721 271,249 654,285
Palopo 158,214 243,949 370,756 424,737 1,041,336
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
5.2.4 Kebijakan Kesehatan Gratis
Anggaran provinsi yang dialokasikan untuk kesehatan gratis meningkat tiap tahunnya. Meningkatnya
alokasi kesehatan gratis karena semua yang sakit maupun tidak sakit, ada kesiapan dananya.
Tanggungan premi asuransi kesehatan sebesar Rp 5.000 per jiwa setiap bulan. Program kesehatan gratis
dengan sistem premi menanggung sekitar 4,8 juta jiwa penduduk Sulawesi Selatan dengan total
anggaran dari Pemerintah Sulawesi Selatan sekitar Rp 175 miliar. Pada tahun 2008, anggaran kesehatan
gratis sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah provinsi yaitu sebesar Rp 81,7 miliar. Sejak tahun 2009,
baik provinsi maupun kabupaten/kota sudah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan gratis sesuai
dengan nota kesepahaman antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun
2009, pemerintah provinsi menanggung Rp 93,5 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/kota
menanggung Rp 45,6 miliar. Pada tahun 2010, pemerintah provinsi menganggarkan Rp 103,3 miliar,
sedangkan pemerintah kabupaten/kota menganggarkan Rp 63,9 miliar. Pada tahun 2011, pemerintah
96
96 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
provinsi mengalokasikan Rp 174 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan Rp
170,7 miliar.
Tabel 5.10. Alokasi Anggaran Bantuan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk Kabupaten/Kota di
Sulawesi Selatan, 2009-2011
No. Kabupaten/Kota Alokasi Anggaran/Tahun
2009 2010 2011
1 Rumah Sakit Provinsi 45.260.516.410 59.498.260.476 61.001.301.171 2 Makassar 5.186.759.500 6.189.696.000 15.474.240.000 3 Gowa 2.176.773.500 2.866.272.000 7.312.344.000 4 Takalar 1.012.103.500 1.203.091.200 2.783.232.000 5 Jeneponto 887.323.500 1.035.878.400 2.641.344.000 6 Bantaeng 576.223.500 722.073.600 2.203.464.000 7 Bulukumba 2.285.242.000 2.637.235.200 6.678.480.000 8 Selayar 547.578.500 691.324.800 1.734.432.000 9 Sinjai 1.186.557.500 1.366.876.800 4.106.688.000
10 Bone 4.331.455.500 4.967.116.800 12.397.176.000 11 Wajo 2.307.571.500 2.610.883.200 6.574.776.000 12 Soppeng 1.479.612.000 1.641.513.600 4.126.440.000 13 Sidrap 1.393.354.000 1.529.779.200 4.544.568.000 14 Enrekang 966.050.500 1.351.843.200 3.465.792.000 15 Tana Toraja 1.789.020.500 1.259.404.800 3.303.072.000 16 Luwu 1.008.202.000 1.382.025.600 3.361.248.000 17 Palopo 480.037.500 626.661.200 1.630.680.000 18 Luwu Utara 1.429.045.500 1.960.166.400 5.115.408.000 19 Luwu Timur 1.135.472.500 1.652.342.400 4.076.976.000 20 Maros 1.598.382.500 1.831.785.600 4.579.464.000 21 Pangkep 1.357.543.500 1.541.145.600 4.506.240.000 22 Barru 833.918.000 942.432.000 2.824.200.000 23 Pare-Pare 611.813.000 667.891.200 2.026.920.000 24 Pinrang 1.953.895.000 2.309.260.800 5.773.200.000
Sumber: Lampiran Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No.2706/VII/2008.
Sejak kebijakan kesehatan gratis diimplementasikan pada tahun 2008, terdapat beberapa tantangan
pada konsep dan pelaksanaannya. Aturan pembagian beban anggaran kesehatan gratis, dimana
provinsi menanggung 40 persen dan kabupaten/kota 60 persen, dianggap memberatkan keuangan
daerah kabupaten/kota. Diusulkan agar pembagian tersebut dibalik mengingat kebijakan ini merupakan
inisiatif pemerintah provinsi. Selain itu, kebijakan kesehatan gratis lebih menekankan pada pemberian
layanan kesehatan dan pengobatan penyakit sehingga kebijakan ini tidak berkontribusi secara signifikan
terhadap perbaikan kinerja keluaran dan kinerja hasil sektor kesehatan. Kebijakan ini juga lebih bersifat
jangka pendek karena tidak menyentuh investasi kesehatan dalam jangka panjang seperti imunisasi, gizi,
kesehatan lingkungan, dan air bersih. Pada sisi implementasinya, kebijakan ini lebih mengedepankan
pada ketersediaan layanan pengobatan dan bukan pada peningkatan akses masyarakat terhadap
layanan kesehatan. Dalam banyak kasus, masyakarat seringkali mengalami kesulitan untuk mengakses
layanan kesehatan karena keterbatasan informasi dan lokasi tempat tinggal yang terisolir. Selain itu,
perbedaan wilayah domisili dan wilayah rujukan seringkali menimbulkan masalah karena menyangkut
kewenangan pembiayaan pasien.
97
97 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Kotak 5.4: Kebijakan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan
Implementasi kebijakan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan berpedoman pada Peraturan Daerah No. 2 Tahun
2009 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis. Peraturan Daerah ini kemudian
ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan
Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan. Di dalam berbagai peraturan tersebut disebutkan bahwa kebijakan
kesehatan gratis memiliki tujuan yang dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum kebijakan
kesehatan gratis adalah meningkatnya akses pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh
penduduk Sulawesi Selatan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efisien dan
efektif. Sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) membantu meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan
pelayanan kesehatan; (2) meningkatnya cakupan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di
puskesmas serta jaringannya dan di rumah sakit milik pemerintah dan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi; (3)
meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan; (4) meningkatnya pemerataan
kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan; dan (5) terselenggaranya pembiayaan pelayanan kesehatan
masyarakat dengan pola jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Sulawesi Selatan.
Program pelaksanaan kesehatan gratis menggunakan metode resource sharing antara pemerintah provinsi
dengan kabupaten/kota. Resource sharing dimaksud terkait dengan alokasi anggaran untuk masing-masing
provinsi dan kabupaten/kota dimana pemerintah provinsi mengalokasikan dana untuk program tersebut sebesar
40 persen dan 60 persen disiapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Di dalam Pedoman Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pelayanan Kesehatan Gratis tertuang jenis layanan yang
digratiskan. Adapun jenis layanan yang digratiskan pada tingkat Puskesmas antara lain: (1) Kegiatan rawat jalan
tingkat pertama (RJTP) yang terbagai dalam delapan item; (2) Rawat inap tingkat pertama (RITP) yang terbagi
dalam enam item; (3) Pelayanan gawat darurat; (4) Pelayanan luar gedung yang dilaksanakan puskesmas; dan (5)
Operasional dan majemen puskesmas. Sedangkan layanan kesehatan di rumah sakit/balai kesehatan terdiri atas:
(1) Rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL); (2) Rawat inap tingkat lanjutan (RITL); dan (3) Pelayanan gawat darurat.
Namun demikian ada pelayanan-pelayanan tertentu yang tidak ditanggung dengan layanan gratis seperti: operasi
jantung, katerisasi jantung, pemasangan cincing jantung, CT Scan dan MRI, cuci darah, bedah syaraf, bedah
plastik, penyakit kelamin dan penyakit akibat hubungan seksual serta alat bantu kesehatan.
5.2.5 Kesimpulan dan Rekomendasi
� Angka Harapan Hidup Sulawesi Selatan masih lebih rendah dari nasional dan Angka Kematian Ibu
dan Bayi masih lebih tinggi. Untuk mencapai target Angka Harapan Hidup 73,7 tahun dan Angka
Kematian Bayi 20 per 1.000 kelahiran. Direkomendasikan untuk melakukan (i) sosialisasi secara
intensif kepada rumah tangga miskin tentang pentingnya perbaikan gizi pada balita; (ii) penanganan
secara khusus pada daerah daerah rawan gizi buruk dan daerah-daerah yang terbanyak jumlah
balita yang menderita gizi buruk; (iii) pemerataan cakupan pemeriksaan kehamilan dan perawatan
pasca melahirkan antara di perdesaan dan kepada kelompok profesi sebagai petani, nelayan, dan
buruh; dan (iv) sosialisasi gender secara intensif bagi masyarakat khususnya ibu hamil (istri) dan
suami.
98
98 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
� Proporsi belanja kesehatan terhadap belanja daerah hanya berkisar 8 sampai 10 persen per
tahun. Jika dilihat dari komposisi belanja kesehatan, belanja pegawai masih mendominasi total
belanja kesehatan, dibandingkan dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Oleh karena
itu, untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih baik di masa yang akan datang, proprosi belanja
kesehatan terhadap total belanja daerah perlu dinaikkan serta mengupayakan proporsi yang lebih
seimbang antara belanja pegawai dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja
kesehatan juga diharapkan untuk program yang tidak hanya bersifat pengobatan, tetapi juga
program yang bersifat pencegahan.
� Masih ditemukan adanya kendala pembiayaan dalam program Kesehatan Gratis. Khususnya pada
pembiayaan pasien yang lintas batas karena kendala geografis, disamping itu masih beragamnya
pembiayaan jasa layanan pada masing-masing kabupaten/kota. Oleh karena itu, perlu diciptakan
suatu model pembiayaan lintas batas baik antar provinsi maupun antar kabupaten/kota. Selain itu
perlu dilakukan penyeragaman terhadap biaya jasa layanan kesehatan gratis yang berlaku untuk
seluruh kabupaten/kota.
� Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten, sementara tenaga
kesehatan justru terkonsentrasi di perkotaan. Beberapa daerah seperti Maros, Pare-pare, dan
Luwu Timur mengalami penurunan rasio fasilitas kesehatan. Untuk mengurangi kesenjangan tenaga
kesehatan, direkomendasikan untuk mendistribusi ulang tenaga kesehatan dari daerah perkotaan.
Serta memberikan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di pelosok.
99
99 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.3 Analisis Sektor Infrastruktur
Sulawesi Selatan memiliki tingkat aksesibilitas yang baik di Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur
Indonesia. Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Saat ini melayani hampir semua jalur
penerbangan udara yang menuju dan dari kawasan timur Indonesia., selain rute internasional ke Kuala
Lumpur, Singapura, dan menjadi embarkasi haji. Transportasi laut di Sulawesi Selatan didukung oleh
Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta di Kota Makassar dan Pelabuhan Laut Nusantara di Kota Pare-Pare.
Pelabuhan di Kota Makassar, secara turun temurun telah menjadi pelabuhan utama arus barang di
kawasan timur Indonesia. Kota Makassar dan banyak daerah lainnya terhubung dengan lintas jalan Trans
Sulawesi.
Infrastruktur dasar dan jalan masih menjadi tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan.
Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar yakni air bersih, sanitasi yang layak dan listrik meskipun
menunjukkan posisi relatif yang cukup baik di Pulau Sulawesi, namun capaiannya masih berada di bawah
angka rata-rata nasional. Untuk infrastruktur jalan, lebih dari sepertiga dalam kondisi rusak ringan dan
berat, serta jalan dengan kondisi moderat menunjukkan proporsi yang terus menurun. Untuk jaringan
irigasi, perbandingan antara cakupan saluran irigasi dengan luas lahan sawah cenderung menurun
meskipun secara absolut lahan sawah yang dialiri cenderung meningkat.
Pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan diarahkan untuk mendukung terwujudnya dua
agenda pembangunan daerah yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013. Agenda tersebut adalah perwujudan keunggulan
lokal untuk memacu laju pertumbuhan perekonomian dan agenda perwujudan Sulawesi Selatan
sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan. Kedua agenda tersebut memandatkan kebijakan
pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan bertumpu pada pengembangan dan pemeliharaan
infrastruktur wilayah (transportasi udara, laut, dan darat), peningkatan kualitas sarana dan prasarana
wilayah (air bersih, listrik, dan telekomunikasi), dan pembangunan sarana dan prasarana perdesaan
(jaringan irigasi).
5.3.1 Belanja Sektor Infrastruktur
Belanja sektor infrastruktur di Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat selama periode
2005-2010. Peningkatan ini paralel dengan peningkatan total belanja daerah yang juga meningkat lebih
dari dua kali lipat. Secara riil, belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan meningkat dari Rp 1.0 triliun
tahun 2005 menjadi Rp 2,1 triliun tahun 2010. Tetapi proporsinya terhadap total belanja daerah hanya
meningkat pada tahun 2005 sampai pada tahun 2009, pada APBD Perubahan 2010 dan APBD Rencana
2011, proporsi belanja infrastruktur turun menjadi 15 persen dan 13 persen. Pembangunan Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin yang selesai pada tahun 2008 merupakan sumber pembelanjaan
infrastruktur yang besar di Sulawesi Selatan.
100
100 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.23. Total Belanja Sektor Infrastruktur dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-
2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2007-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
Komposisi belanja sektor infrastruktur didominasi belanja modal. Belanja modal sektor cenderung
meningkat selama periode 2005-2010. Proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur
mencapai 64 persen pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 73 persen pada tahun 2010. Sebaliknya,
proporsi belanja pegawai terhadap total belanja infrastruktur hanya sebesar 15 persen pada tahun 2005
berfluktuasi sampai juga menjadi 15 persen pada tahun 2010. Karakteristik belanja sektor infrastruktur
yang lebih menekankan pada pembangunan fisik menjadi alasan utama mengapa belanja modal
mendominasi struktur belanja sektor infrastruktur.
1.01.7
2.5 2.7 2.7 2.5 2.18.0
10.3
14.015.3 14.8
16.7 16.3
13%
17% 18% 18%18%
15%
13%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
14%
16%
18%
20%
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Proporsi B
elanja Riil dengan B
elanja Daerah
Trl
iun
Rp
Belanja Infrastruktur Riil Belanja Daerah Riil % Belanja Infrastruktur
101
101 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.24. Belanja Sektor Infrastruktur Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-
2011
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2007-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
Total belanja infrastruktur, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh belanja modal.
Proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur di tingkat kabupaten/kota relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2010, di tingkat kabupaten/kota, proporsi
belanja modal terhadap total belanja infrastruktur mencapai 82 persen, sedangkan untuk tingkat
provinsi hanya sebesar 60 persen. Sebaliknya, proporsi belanja pegawai pada tingkat provinsi relatif
lebih tinggi dibanding tingkat kabupaten/kota, yaitu masing-masing sebesar 23 persen dan 10 persen.
Gambar 5.25. Belanja Infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun 2010 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD Perubahan.
15% 12% 10% 10% 11% 12%15%
21%18%
8% 8% 9% 9%12%
64%70%
82% 82% 80% 79%73%
157 215 239 280 298 291 309211
310209 225 252 231 239
.7
1.2
2.02.2 2.2
1.9
1.5
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
.0
.5
1.0
1.5
2.0
2.5
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Tril
iun
Rp
% Belanja Pegawai % Belanja Barang dan Jasa % Belanja Modal
Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal
10%
8%
82%
Kabupaten/kota
Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal
23%
17%60%
Provinsi
102
102 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.3.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Infrastruktur
Selama periode 2005-2010, penggunaan moda transportasi udara untuk pergerakan manusia dan
barang menunjukkan peningkatan. Dari data publikasi BPS, frekuensi penerbangan meningkat lebih dari
50 persen selama periode 2005-2010. Hal ini mendorong peningkatan jumlah penumpang yang datang
dan berangkat meningkat masing-masing 66,39 persen dan 91,93 persen selama periode yang sama.
Volume bongkar muat barang juga menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan yang
cukup besar pada arus penumpang dan barang terlihat untuk pada tahun 2010. Peningkatan ini terjadi
memasuki tahun kedua pengoperasian Bandar Udara Sultan Hasanuddin yang baru.
Penumpang pengguna transportasi laut cenderung menurun, sementara arus bongkar barang semakin
jauh melebihi arus muat. Selama periode 2005-2008, jumlah penumpang yang naik maupun yang turun
meningkat masing-masing 29,45 persen dan 10,46 persen. Namun sejak 2008, jumlah penumpang, baik
yang naik maupun turun, menunjukkan penurunan. Berbeda dengan gambaran jumlah penumpang,
volume bongkar barang, baik dalam dalam negeri maupun luar negeri, justru menunjukkan peningkatan
selama periode 2005-2010. Sebaliknya, volume muat barang, baik dalam dalam negeri maupun luar
negeri, justru menunjukkan penurunan yang sangat tajam. Ini menunjukkan pintu keluar produk
komoditas di Sulawesi Selatan yang mayoritas berupa hasil pertanian atau perikanan tidak hanya melalui
pelabuhan di Makassar. Sementara pertumbuhan ekonomi menciptakan permintaan terhadap barang-
barang konsumsi yang masuk dari luar. Selain itu, perkembangan Bandar Udara Sultan Hasanuddin
memberikan pilihan lain bagi arus barang dan terutama arus penumpang.
Tabel 5.11. Frekuensi Penerbangan, Jumlah Penumpang, dan Barang yang Melalui Bandar Udara
Sultan Hasanuddin Meningkat
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Pesawat Berangkat (Unit) 21,214 22,441 24,247 24,533 24,425 31,938
Pesawat Datang (Unit) 21,080 22,419 24,257 24,536 24,448 31,942
Penumpang Berangkat (Orang) 1,389,117 1,421,248 1,514,914 1,579,822 1,781,443 2,311,308
Penumpang Datang (Orang) 1,323,435 1,509,649 1,646,318 1,751,558 1,865,029 2,540,030
Penumpang Transit (Orang) 931,501 1,076,823 1,299,969 1,320,518 1,268,287 1,609,080
Bongkar Bagasi (Ton) 16,667 19,030 20,085 20,685 21,932 43,976
Bongkat Kargo (Ton) 16,069 16,398 16,550 17,934 18,513 32,064
Muat Bagasi (Ton) 14,417 30,197 32,918 17,558 19,806 27,749
Muat Kargo (Ton) 14,952 25,684 26,313 14,435 13,586 22,040
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
103
103 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.26. Jumlah Penumpang dan barang yang Melalui Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
Perkembangan ruas jalan terjadi di kabupaten/kota. Panjang jalan kabupaten/kota menujukkan
peningkatan yang paling pesat dibandingkan dengan panjang jalan provinsi dan jalan negara. Selama
periode 2007-2010, panjang jalan kabupaten/kota meningkat 38 persen per tahun, sementara panjang
jalan provinsi dan jalan negara tidak mengalami peningkatan berarti. Ini menunjukkan sisi positif dari
desentralisasi di mana kabupaten dan kota lebih berinisiatif untuk meningkatkan akses darat.
Gambar 5.27. Perbandingan Ketersediaan Prasarana Jalan di Sulawesi Selatan, 2007 dan 2010
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
426 418 410 552 511 403348 324 359 384 365 313
1.5 1.6
1.3
0.9
0.7
0.8
0.9
0.3
0
100
200
300
400
500
600
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ribu O
rangJuta
Ton
Penumpang Naik Penumpang Turun Bongkar Dalam Negeri
Muat Dalam Negeri Bongkar Luar Negeri Muat Dalam Negeri
1,555 1,209
21,501
1,556 1,260
29,616
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
Negara Propinsi Kabupaten/Kota
Pan
jang
Jal
an (
Km
)
2007
2010
104
104 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Meski demikian, kualitas jalan yang telah ada belum diperhatikan. Secara rata-rata, lebih setengah dari
seluruh panjang jalan di Sulawesi Selatan berada dalam kondisi baik. Namun demikian proporsi panjang
jalan dalam kondisi rusak (rusak berat dan ringan) juga meningkat. Pada tahun 2005 hanya ada 13
persen jalan berkategori rusak, enam tahun kemudian sudah menjadi 34 persen. Pada tahun 2010,
proporsi panjang jalan dalam kondisi rusak sudah mencapai 21 persen, yang berarti bahwa setiap 5
kilometer jalan di Sulawesi Selatan, 1 kilometer diantaranya rusak berat. Meskipun setiap tahun
anggaran infrastruktur meningkat, tetapi upaya perbaikan dan pemeliharaan jalan belum sebanding.
Gambar 5.28. Proporsi panjang dan kondisi jaringan jalan di Sulawesi Selatan, 2005-2010
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas provinsi
lain di Sulawesi. Cakupan air bersih di Sulawesi Selatan (45 persen) termasuk yang terbaik di Sulawesi.
Berdasarkan data BPS, volume air bersih yang disalurkan sebesar 64 juta meter kubik di tahun 2009.
Akses ke sanitasi (71 persen) dan listrik (90 persen) juga termasuk yang terbaik di Sulawesi. Walaupun
jika dibandingkan dengan rata-rata nasional angkanya masih lebih rendah. Dihitung dari tahun 2005,
daya listrik tersambung meningkat rata-rata 4,5 persen per tahun, dan pada tahun 2009 daya yang
tersambung sebesar 1,6 miliar Volt Ampere (VA). Pertumbuhan ini mengindikasikan dampak dari
pertumbuhan penduduk dan ekonomi di Sulawesi Selatan yang meningkatkan penggunaan pada barang-
barang bertenaga listrik.
37 3624 26
13 13
5 7 2019
13 13
8 816 11
21 21
50 4840 44
53 53
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Per
sen
Baik
Rusak Berat
Rusak Ringan
Moderat
105
105 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.29. Capaian Indikator Infrastruktur Dasar di Pulau Sulawesi, 2009
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
Dari 17 persen rumah tangga yang dikepalai perempuan di provinsi Sulawesi Selatan, akses terhadap
infrastruktur khususnya air bersih perlu mendapat perhatian lebih karena mengalami kecenderungan
menurun dalam 5 tahun terakhir. Sementara itu akses rumah tangga yang dikepalai perempuan
terhadap fasilitas sanitasi dan listrik, meski berfluktuasi, mengalami kecenderungan meningkat.
Fluktuasi angka akses perempuan terhadap infrastruktur dasar ini bisa disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya naik-turunnya jumlah belanja modal pemerintah, pemekaran wilayah yang membuat
pelayanan pada masyarakat di beberapa lokasi menjadi tidak optimal atau perpindahan status kepala
rumah tangga dari perempuan ke laki-laki.
Gambar 5.30. Akses Perempuan Terhadap Air Bersih, Sanitasi dan Listrik di Sulawesi Selatan
Sumber: Data Olahan Bank Dunia dari Susenas.
71.5%
60.9%
36.8%
45.7%
52.4%
67.4%70.3% 70.8% 71.4%
78.2%
84.6% 85.3%
94.9%91.0% 90.7%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2006 2007 2008 2009 2010
Air Bersih
Sanitasi
Listrik
45
33
45
3426 26
43
83
6271
6657 59
79
96
76
90
79 7885
93
0
20
40
60
80
100
120
Per
sen
Akses air bersih
Sanitasi Layak
Akses listrik
106
106 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Akses terhadap air bersih yang bisa dinikmati rumah tangga yang dikepalai perempuan di provinsi
Sulawesi Selatan menurun signifikan khususnya di tahun 2008. Akses perempuan terhadap air bersih di
tahun 2006 sebesar 71 persen, menurun drastis di tahun 2008, mencapai 37 persen atau berkurang 44
persen dari angka awal. Angka ini kemudian meningkat lagi di tahun 2009 dan 2010, menjadi 46 persen
dan 52 persen. Namun bila dibandingkan dengan tahun 2006, akses air bersih perempuan di tahun 2010
menurun sekitar 19 persen. Akses terhadap air bersih dalam Susenas sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan air pipa atau lokasi sumber air tanah dengan bak penampungan kotoran. Jika rumah
tangga berada di lokasi yang padat penduduk maka dapat diperkirakan bahwa sumber air tanah tidak
memenuhi syarat air bersih
Sementara itu, akses perempuan terhadap sanitasi cenderung mengalami peningkatan dalam lima
tahun terakhir. Pada tahun 2006, akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap infrastruktur
sanitasi adalah sebesar 67 persen. Angka ini kemudian meningkat di tahun 2007 menjadi 70 persen, dan
kemudian hanya bergerak kurang dari satu persen di tahun-tahun berikutnya, yaitu 71 persen di 2008
dan 71 persen di tahun 2009. Baru kemudian angka ini mengalami lonjakan cukup signifikan menjadi 78
persen di tahun 2010.
Seperti halnya akses terhadap infrastruktus dasar lain, akses perempuan terhadap listrik di provinsi
Sulawesi Selatan juga mengalami fluktuasi, namun trennya cenderung meningkat dalam 5 tahun
terakhir. Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap penggunaan listrik di tahun 2006
sebesar 85 persen. Angka ini terus meningkat, dengan peningkatan tertinggi terjadi di tahun 2008
sebesar 95 persen. Tahun 2009 dan 2010, angka akses perempuan terhadap infrastruktur cenderung
menurun, yaitu menjadi 91 persen di tahun 2009 dan 2010, namun angka ini masih lebih tinggi dari
angka di tahun 2006.
Jaringan irigasi berdampak pada produktifitas lahan sawah. Rasio jaringan irigasi pada lahan sawah di
tahun 2006 sebesar 46 persen, meningkat sedikit menjadi 47 persen di tahun 2010. Terlihat bahwa tren
produktifitas lahan sawah teririgasi mengikuti pola rasio jaringan irigasi. Ini menunjukkan pentingnya
menambah jaringan irigasi pada lahan persawahan untuk meningkatkan produksi beras. Ke depannya,
data ini dapat dijadikan masukan untuk kebijakan di bidang pertanian padi, bahwa peningkatan kualitas
lahan persawahan yang sudah ada, dengan menambah jaringan irigasi, terbukti meningkatkan
produktivitas. Di samping pilihan kebijakan memperluas lahan persawahan (ekstensifikasi).
107
107 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.31. Sawah Irigasi di Sulawesi Selatan, 2006-2010
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
Ada peningkatan kualitas infrastruktur irigasi di Sulawesi Selatan. Meskipun rasio jaringan irigasi
menunjukkan penurunan, namun luas lahan sawah yang dialiri saluran irigasi menunjukkan peningkatan.
Luas lahan sawah yang dialiri saluran irigasi sederhana pada tahun 2007 seluas 51 ribu hektar, turun
menjadi 43 ribu hektar di tahun 2010. Sementara itu lahan yang dialiri irigasi semi teknis meningkat dari
60 ribu hektar menjadi 73 ribu hektar. Secara keseluruhan, luas lahan yang dialiri irigasi meningkat
sekitar 6 ribu hektar. Jika dibandingkan dengan data cakupan irigasi yang menurun, ini berarti terjadi
penambahan lahan persawahan yang tidak tercakup irigasi.
Gambar 5.32. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Irigasi di Sulawesi Selatan, 2007-2011
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
46.0 46.1 46.1
47.046.8
4.65 4.69 4.73
4.895.03
4.95
4
5
6
40
42
44
46
48
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ton/H
aPer
sen
Rasio Jaringan Irigasi (%) Tingkat Produktifitas Lahan Sawah Irigasi (Ton/Ha)
153,803 154,423 154,023 156,081
60,299 64,366 74,030 72,820
51,675 49,485 43,347 43,553
0
50,000
100,000
150,000
200,000
2007 2008 2009 2010
Hek
tar Irigasi Teknis
Irigasi Semi Teknis
Irigasi Sederhana
108
108 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.3.3 Analisis Kabupaten/Kota
Belanja infrastruktur per kapita Kota Pare-pare jauh melebihi daerah lain di Sulawesi Selatan. Belanja
infrastruktur Pare-pare hampir dua kali lipat belanja terbesar kedua di Kabupaten Selayar (Rp. 607 ribu).
Kota Palopo yang belanja kesehatan dan pendidikan per kapitanya termasuk yang terbesar di Sulawesi
Selatan, belanja infrastruktur per kapitanya justru termasuk rendah. Hal ini menunjukkan bahwa Kota
Palopo yang penduduknya relatif sedikit, alokasi belanja infrastrukturnya juga kecil. Kabupaten Selayar
memiliki belanja infrastruktur per kapita terbesar kedua, meski demikian, kondisi geografis Selayar yang
terdiri dari kepulauan tidak serta merta membuat layanan infrastruktur menjangkau lebih banyak
penduduk.
Gambar 5.33. Belanja Infrastruktur per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2010
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD Perubahan.
Panjang jalan bervariasi dengan kualitasnya. Beberapa kabupaten dengan ruas jalan terpanjang di
Sulawesi Selatan memiliki proporsi jalan berkategori rusak yang lebih besar. Kabupaten Bone dan
Kabupaten Gowa adalah dua daerah yang memiliki ruas jalan terpanjang. Sekitar separuh dari jalan di
Bone berkategori rusak, dan hampir 60 persen jalan di Gowa berkategori rusak. Kabupaten lain yang
memiliki ruas jalan terpanjang adalah Luwu Utara dan Luwu Timur, dan hampir seluruhnya berkategori
baik. Umumnya kabupaten hasil pemekaran memiliki kualitas infrastruktur yang tertinggal, tetap kedua
kabupaten ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Kabupaten lain mayoritas memiliki ruas jalan
berkategori baik yang lebih besar dari jalan berkategori rusak.
94 131 142 167 173 173 216 222 226 238 247 252 276 323 368 393 393 399484
553 576 607
1,183
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
Rib
u R
p
Belanja Infrastruktur Per Kapita
109
109 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.34. Kabupaten Pemekaran Luwu Utara dan Luwu Timur Memiliki Kualitas Jalan yang Lebih
Baik
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
Daerah perkotaan memiliki cakupan infrastruktur dasar yang lebih baik. Jika dibandingkan dengan kualitas
infastruktur jalan, maka daerah perkotaan yang penduduknya lebih terpusat memiliki cakupan infrastruktur
dasar yang lebih baik. Sebaliknya, kabupaten yang penduduk dan aksesnya lebih tersebar memiliki cakupan
infrastruktur dasar yang rendah. Sebagai contoh, Kabupaten Selayar memiliki belanja infrastruktur per kapita
terbesar kedua, 78 persen ruas jalan berkualitas baik, masih harus mengejar cakupan akses air bersih yang
hanya 21 persen (terendah kedua) dan cakupan akses sanitasi layak yang sebesar 46 persen (terendah
ketiga). Kabupaten pemekaran Luwu Timur memiliki capaian yang cukup baik. Sekitar 48 persen masyarakat
memiliki akses ke air bersih (tertinggi keempat), dan 81 persen memiliki sanitasi layak (tertinggi kelima).
Gambar 5.35. Daerah Perkotaan Memiliki Cakupan Infrastruktur Dasar yang Lebih Baik
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
586
972
441
1,52
3
724
1,10
7
1,10
0
684
764
640
1,42
0
524
1,01
7
791
495
918
920
366
2,60
3
2,51
2
910
236
317
208
517
170
18 152
1573
335
794
110 30
9
1458
416 57
6
709
366
231
652
1203
264
0
768
93 16
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
Pan
jang
Jal
an (
Km
)
Baik Rusak
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Akses Air bersih Sanitasi Layak Akses Listrik
110
110 Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.3.4 Kesimpulan dan Rekomendasi
� Arus penumpang dan barang di pelabuhan udara meningkat sementara di pelabuhan laut
cenderung menurun. Hal serupa dapat dijumpai juga di daerah lain di Indonesia di mana tren
transportasi udara menunjukkan perkembangan pesat. Perkembangan tersebut akan mendesak
kapasitas infrastruktur udara, sehingga pemerintah harus konsisten berbenah. Direkomendasikan
agar pemerintah Sulawesi Selatan konsisten membenahi infrastruktur pendukung bandar udara
seperti terminal penumpang, loket kendaraan, lapangan parkir, dan kenyamanan dalam bandar
udara.
� Cakupan infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas provinsi di Sulawesi.
Cakupan infrastruktur dasar dipengaruhi oleh sebaran penduduk dan kondisi geografi masing-
masing daerah. Cakupan infrastruktur di kota lebih baik dari di kabupaten. Kabupaten Selayar,
daerah Luwu Raya, perlu secara konsisten mengalokasikan belanja infrastruktur yang signifikan
disebabkan sebaran penduduk dan kondisi geografinya.
� Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap air bersih cenderung memburuk. Akses
air bersih dipengaruhi oleh ketersediaan air pipa dan jarak sumber air tanah dengan bak
penampungan kotoran. Kesimpulan tersebut berarti bahwa rumah tangga yang dikepalai
perempuan mayoritas berada di luar jangkauan pipa air bersih, atau tidak memiliki luasan yang layak
sehingga sumber air tanahnya tercemar. Direkomendasikan agar pemerintah daerah selain
meningkatkan penyadartahuan kepala rumah tangga terhadap sanitasi dan air bersih, juga
menghilangkan diskriminasi pelayanan terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan.
� Peningkatan belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan berdampak pada bertumbuhnya panjang
jalan di kabupaten/kota. Panjang ruas jalan tidak berbanding lurus dengan kualitasnya. Beberapa
daerah yang memiliki ruas jalan terpanjang juga memiliki proporsi jalan berkategori rusak yang lebih
besar. Secara umum daerah lain memiliki jalan berkategori baik yang lebih besar. Direkomendasikan
agar pemerintah daerah memperhatikan pemeliharaan kualitas jalan selain dari total ruas panjang
jalan.
� Terjadi peningkatan kualitas irigasi di lahan yang telah dialiri. Jumlah lahan dengan irigasi
sederhana terus menurun, digantikan dengan irigasi teknis dan semi teknis yang tingkat efisiensi
penggunaan airnya lebih baik. Meski demikian rasio jaringan irigasi menurun, menunjukkan bahwa
pertambahan luas lahan lebih cepat daripada pertambahan lahan yang diirigasi. Karena ada
hubungan positif antara cakupan irigasi dengan produktifitas lahan, maka direkomendasikan agar
pemerintah fokus pada peningkatan rasio jaringan irigasi dan kualitasnya daripada mendorong
ekstensifikasi lahan.
112
112 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Pertanian merupakan sektor ekonomi yang dominan di Sulawesi Selatan, sebagai salah satu lumbung
pangan nasional, penghasil kakao dan udang tertinggi di Indonesia. Kebijakan pembangunan pertanian
periode 2008-2013 adalah “peningkatan produksi pertanian dan pengembangan agribisnis perdesaan”.
Kebijakan ini dioperasionalkan pada berbagai sub sektor pertanian. Untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menopang kebutuhan pangan nasional dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan
petani, pemerintah Sulawesi Selatan memprogramkan pencapaian surplus beras minimal 2 juta ton,
produksi jagung minimal 1,5 juta ton, sapi 1,0 juta ekor, kakao 340 ribu ton, udang 33 ribu ton, dan
peningkatan produksi komoditas unggulan hortikultura dari tahun ke tahun minimal 5 persen per tahun
hingga tahun 2013.
Belanja Sektor Pertanian
Selama periode 2005-2010, belanja sektor pertanian di Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali
lipat. Laju peningkatan belanja sektor pertanian relatif berbanding lurus dengan laju peningkatan total
belanja daerah. Akibatnya, proporsi belanja sektor pertanian terhadap total belanja daerah cenderung
konstan. Pada tahun 2005, proporsi belanja sektor pertanian terhadap total belanja daerah sebesar 2,3
persen dan kemudian pada tahun 2011 menjadi 3,1 persen. Proporsi ini, tentu saja, jauh lebih kecil bila
dibandingkan dengan sektor-sektor prioritas lainnya, seperti sektor pertanian, kesehatan, dan
infrastruktur.
Di tingkat provinsi, belanja sektor pertanian menunjukkan peningkatan yang relatif stabil, sedangkan
di tingkat kabupaten/kota cenderung fluktuatif. Belanja sektor pertanian di tingkat provinsi meningkat
rata-rata 23,5 persen per tahun selama periode 2005-2011. Untuk tingkat kabupaten/kota, peningkatan
yang relatif stabil berlangsung pada periode 2005-2008 dengan tingkat pertumbuhan yang cukup
signifikan, yaitu rata-rata 40 persen per tahun. Namun pada tahun 2009, belanja sektor pertanian
mengalami penurunan sebesar 13 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan yang relatif stabil
kembali terjadi pada tahun-tahun berikutnya.
Gambar 6.1. Belanja Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota, 2005-2011.
Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
42 43 83 95 100 123 125145
239
361 379 329369 386
2.3%2.7%
3.2% 3.1%2.9% 2.9%
3.1%
0%
1%
1%
2%
2%
3%
3%
4%
0
100
200
300
400
500
600
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Mili
ar R
p
Provinsi Kabupaten/Kota % Pertanian
113
113 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Komposisi belanja sektor pertanian menurut klasifikasi ekonomi didominasi oleh belanja pegawai,
namun dengan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun 2005, proporsi belanja pegawai
terhadap total belanja sektor pertanian mencapai hampir 62 persen, dan terus menurun hingga 51,5
persen pada tahun 2010. Sebaliknya, selama periode yang sama, proporsi belanja modal terhadap total
belanja sektor pertanian, justru menunjukkan peningkatan meskipun cenderung fluktuatif. Pola belanja
modal ini hampir sama dengan belanja barang dan jasa, baik dari segi jumlah dan proporsi maupun
kecenderungan peningkatan.
Gambar 6.2. Belanja Sektor Pertanian Menurut Klasifikasi Ekonomi (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di
Sulawesi Selatan, 2005-2011
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota, 2005-2011.
Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
Gambar 6.3. Alokasi belanja sektor pertanian provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan klasifikasi
ekonomi di Sulawesi Selatan, 2010
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2010 APBD Perubahan.
53%
18%
29%
Kabupaten/kota
Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal
48%
41%
12%
Provinsi
115132 203 223 218 253 259
35
56 104 121 102 117 129
3795 137 130 109 122 123
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Rp
Mili
ar
Belanja Modal Riil Belanja Barang dan Jasa Riil Belanja Pegawai Riil
114
114 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Proporsi belanja pegawai sektor pertanian di tingkat kabupaten/kota relatif lebih besar dibandingkan
dengan tingkat provinsi. Pada tingkat kabupaten/kota, proporsi belanja pegawai mencapai 53 persen,
sedangkan untuk tingkat provinsi mencapai 48 persen. Namun, proporsi belanja modal di tingkat
kabupaten/kota jauh lebih besar (mencapai 29%) dibandingkan dengan tingkat provinsi (12%). Hal ini
mengindikasikan bahwa program-program penyuluhan dan perjalanan dinas penyuluh dilakukan oleh
pemerintah tingkat provinsi. Sementara pengadaan fasilitas lebih banyak menjadi tanggung jawab
pemerintah kabupaten/kota.
Kabupaten yang menjadi sentra pengembangan komoditas unggulan mengalokasikan belanja sektor
pertanian yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Belanja sektor pertanian di Sulawesi
Selatan bervariasi antara kabupaten/kota. Pada tahun 2010, belanja pertanian yang tinggi terjadi pada
daerah yang merupakan sentra pengembangan komoditas unggulan. Belanja sektor pertanian tertinggi
ditunjukkan oleh Kabupaten Sidrap (Rp 37 miliar) yang merupakan daerah sentra pengembangan padi,
Pinrang (Rp. 22 miliar) sebagai produsen udang terbesar, dan Jeneponto (Rp. 23 miliar) dengan jagung
dan rumput lautnya. Secara per kapita, Kabupaten Selayar, Sidrap, dan Enrekang memiliki belanja
pertanian yang terbesar.
Gambar 6.4. Belanja pertanian riil kabupaten/kota di Sulawesi Selatan
Sumber: Diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Pertanian
Sebagian besar target produksi komoditas unggulan diperkirakan akan tercapai pada waktunya.
Beberapa komoditas unggulan diperkirakan mencapai targetnya di tahun 2013. Komoditas tersebut
antara lain beras, jagung, dan sapi. Produksi rumput laut bahkan sudah melampaui target sejak tahun
8 20 24 25 31 39 41 47 49 52 56 59 60 63 66 67 74 75 78 95 113 135 176
1114
8
16
12 12 13
7
19
15
9
1316
22 23
15
10
18 18 17
21
37
21
0
40
80
120
160
200
0
10
20
30
40
Ribu R
pM
iliar
Rp
Belanja Pertanian Riil Per Kapita Belanja Pertanian Riil
115
115 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
2010. Komoditas udang terkendala oleh penyakit, metode tambak tradisional, dan banyaknya lahan
tidak produktif. Sementara komoditas kakao masih menunggu masa panen diakibatkan banyaknya lahan
yang diremajakan. Produksi beras Sulawesi Selatan melebihi konsumsi lokal. Produksi gabah kering giling
tahun 2010 sebesar 4,4 juta ton menghasilkan 2,7 juta ton beras (asumsi 60% rendemen), sementara
konsumsi Sulawesi Selatan diperkirakan sebesar 800 ribu ton. Target Sulawesi Selatan adalah
menghasilkan surplus 2 juta ton beras di tahun 2014.
Tabel 6.1. Target Produksi Komoditas Prioritas yang Direncanakan Hingga Tahun 2013
Komoditas 2008 2009 2010 Target 2013
Beras (ribu ton gabah kering giling) 4.083 4.324 4.380 4.667 Jagung (ribu ton) 1.195 1.394 1.400 1.500 Sapi (ribu ekor) 703 769 849 1.000 Udang (ton) 17.333 17.829 22.200 30.300 Kakao (ribu ton) 110 163 172 300 Rumput Laut (ribu ton) 747 824 1.518 1.000
Sumber: Laporan kinerja dan Renstra SKPD terkait, dan BPS Sulawesi Selatan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
� Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari kabupaten/kota di Sulawesi
Selatan. Ini terlihat dari besarnya alokasi belanja pertanian di kabupaten-kabupaten yang menjadi
lokasi produk unggulan. Belanja pertanian di Sulawesi Selatan juga meningkat selama kurun 2005-
2010, dengan proporsi sebesar 3 persen dari total belanja. Jika dibandingkan dengan daerah lain,
alokasi ini relatif besar.
� Belanja pegawai di sektor pertanian masih mendominasi. Belanja pegawai di sektor pertanian sulit
diukur efektifitasnya terhadap output sektor pertanian. Direkomendasikan agar belanja pertanian
lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan atau produksi (belanja modal)
selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan.
6.1. Komoditas Jagung
Target produksi jagung minimal 1,5 juta ton diperkirakan dapat dicapai pada tahun 2011 atau lebih
cepat dua tahun dari waktu yang drencanakan (2013). Produksi jagung Sulawesi Selatan pada tahun
2009 mencapai 1,4 juta ton dengan luas panen 318 ribu hektar atau rata-rata 4,685 ton per hektar.
Sulawesi Selatan saat ini berada pada urutan kelima secara nasional setelah Jawa Timur, Jawa Tengah,
Lampung dan Sumatera Utara. Komoditas jagung di Sulawesi Selatan mengalami perkembangan yang
sangat pesat selama periode 2005-2010.
Luas areal dan volume produksi jagung di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. Luas areal berkembang rata-rata 12 persen per tahun atau dari 206 ribu hektar pada tahun
2005 menjadi 300 ribu hektar pada tahun 2009. Produksi meningkat dari 705 ribu ton pada tahun 2005
116
116 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
meningkat menjadi 1,4 juta ton pada tahun 2009 (rata-rata 19,5 persen per tahun). Peningkatan
produksi dapat dicapai melalui peningkatan luas areal tanam dan peningkatan luas pertanaman. Selain
itu peningkatan produksi juga dicapai melalui penggunaan bibit unggul dan perbaikan teknik budidaya.
Gambar 6.5. Perkembangan Produksi Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan.
Kabupaten Gowa, Jeneponto, dan Bantaeng merupakan sentra komoditas jagung di Sulawesi Selatan.
Ketiga daerah tersebut memberikan kontribusi sekitar 50 persen dari total produksi Sulawesi Selatan.
Tingkat produktivitas yang dicapai pada tiga daerah tersebut mencapai 5 ton per hektar. Meski
demikian, rata-rata pertumbuhan produksi jagung yang dicapai selama periode di ketiga daerah tersebut
bervariasi, masing-masing adalah 5 persen, 11 persen, dan 1 persen.
Gambar 6.6. Luas Areal Pertanaman Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan.
26,803 19,483 37,932 31,855 25,772 29,613
42,316 38,93647,199 46,406 43,807 47,890
22,121 38,638
33,861 39,279 40,39149,465
130,260 118,774
171,299 213,748
207,801 194,578
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
DAERAH LAINNYA
G O W A
JENEPONTO
BANTAENG
138.1 96.0 153.0 152.5 144.4 152.4123.0 164.3 147.4 186.1 194.6 202.4103.6 129.7
175.3 172.6287.4 245.0
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
1,600,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
KAB. LAINNYA (21,46%)
G O W A (22,10%)
JENEPONTO (11,61%)
BANTAENG (5,76%)
117
117 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Sekitar 40 persen luas areal pertanaman jagung terdapat di tiga kabupaten, yaitu Bantaeng,
Jeneponto, dan Gowa. Luas areal pertanaman jagung bertumbuh rata-rata 9 persen per tahun.
Kabupaten Gowa termasuk daerah dengan pertambahan luas areal pertanaman jagung yang sangat
tinggi, yaitu 21 persen per tahun. Hal ini disebabkan oleh tersedianya areal yang sesuai dan potensial
untuk komoditas jagung di daerah tersebut.
Tingkat produktivitas jagung di Sulawesi Selatan juga menunjukkan peningkatan selama periode 2005-
2010. Tingkat produktivitas meningkat rata-rata 5 persen per tahun atau dari 3,8 ton/ha pada tahun
2005 meningkat menjadi 4,6 ton/ha pada tahun 2010, produktifitas ini menurun jika dibanding tahun
2009. Penurunan tingkat produktivitas tersebut disebabkan oleh pertumbuhan volume produksi yang
relatif lambat dibandingkan dengan pertumbuhan luas areal pertanaman jagung.
Produksi jagung di Sulawesi Selatan dapat dikembangkan dengan memproduksi jagung organik untuk
menambah nilai produksi. Pengembangan produk jagung organik dikembangkan dengan
mengintegrasikan dengan pengembangan ternak. Sisa tanaman digunakan untuk ternak dan kotoran
ternak sebagai pupuk organik yang menggantikan pupuk kimia yang banyak digunakan. Program ini juga
akan memperbaiki kualitas lingkungan. Pengembangan produk jagung organik harus didukung dengan
penguatan kelembagaan petani dan lembaga pemasaran yang memprogramkan dan mempromosikan
produk jagung organik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
� Produksi jagung yang dicapai pada tahun 2010 sebesar 1,4 juta ton atau 93,3 pesen dari target
produksi minimal 1,5 juta pada tahun 2013. Keberhasilan tersebut dicapai melalui kegiatan
intensifikasi dan ekstensifikasi yang ditunjang dengan penggunaan teknis budidaya yang didukung
dengan pembiayaan pembangunan.
� Ke depan, pengembangan komoditas dapat diarahkan pada produksi jagung organik untuk
peningkatan kualitas dan penurunan biaya produksi dalam rangka meningkatkan pendapatan
petani.
Tabel 6.2. Tingkat Produktivitas Komoditas Jagung di Sulawesi Selatan, 2005-2010
No. Sentra Produksi Produktivitas (Kwintal/Ha)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
1. Kab. Bantaeng 5,15 4,93 4,03 4,79 5,60 5,15
2. Kab. Jeneponto 2,91 4,22 3,12 4,01 4,44 4,23 3. Kab. Gowa 4,68 3,36 5,18 4,39 4,64 4,95 4. Daerah Lainnya 2,62 2,58 2,89 3,20 3,70 4,16
Sulawesi Selatan 3.84 3.77 3.80 4.10 5.22 4.62
Sumber: Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan.
118
118 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
6.2. Komoditas Kakao
Sulawesi Selatan merupakan daerah pengahasil kakao di Indonesia yang tersebar di seluruh
Kabupaten/Kota. Sentra pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan terdapat di delapan
kabupaten/kota yaitu Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Pinrang, Bone, Soppeng, Wajo, dan
Kota Palopo. Pada sentra produksi tersebut, ada tujuh kabupaten yang mempunyai potensi lahan
tanaman kakao yang sangat luas untuk dikembangkan yaitu Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur,
Bone, Soppeng, Wajo, dan Pinrang. Pada Tahun 2010, Kabupaten penghasil kakao yang paling besar
kontribusinya (41 persen) terhadap produksi total Provinsi Sulawesi Selatan adalah Luwu Raya (Luwu,
Luwu Utara dan Luwu Timur), sedangkan produksi dari Bone, Wajo, dan Pinrang memberi kontribusi
sebesar 29 persen.
Pengembangan produksi komoditi kakao di Sulawesi Selatan belum optimal bila dilihat dari luas areal
pertanaman dan produktivitasnya. Total luas areal tanaman kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 2010
seluas 266 ribu hektar. Dari luas areal tersebut masih terdapat 21 ribu hektar tanaman yang rusak atau
tanaman yang sudah tua. Areal perkebunan yang belum menghasilkan produksi juga masih cukup luas
yaitu hamper seluas 30 ribu hektar. Produktifitas lahan kakao saat ini rata-rata sebanyak 800 kilogram
per hektar.
Kakao merupakan komoditas andalan perkebunan Sulawesi Selatan dan berperan penting bagi
perekonomian daerah. Komoditas kakao di Sulawesi Selatan berperan dalam penyediaan lapangan
kerja, sumber pendapatan petani, sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan sumber Devisa Negara.
Pengembangan komoditas kakao sangat didukung oleh sumberdaya alam yang sesuai dengan kondisi
tanah dan iklim, sehingga meningkatkan minat masyarakat dan investor untuk mengembangkan
komoditas ini. Dari sekian banyak komoditi perkebunan yang di ekspor, komoditi kakao yang
memberikan kontribusi terbesar yaitu volume ekspor sebesar 204 ribu ton dengan nilai ekspor
sebesar USD 262 Juta, dengan negara tujuan antara lain Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Polandia,
Inggris, Brazil, China, Jepang, Jerman, Malaysia, Singapura, Spanyol, Thailand, Kanada, Australia,
Perancis, Afrika, Mesir, Meksiko, Rusia, Bulgaria, Spanyol, dan Turki.
Sampai sekarang, minat para petani mengembangkan komoditas kakao di Sulawesi Selatan masih
tetap besar. Data menunjukkan adanya peningkatan areal pertanaman kakao Tahun 2006 sudah
mencapai lebih dari 222 ribu hektar dan meningkat menjadi lebih dari 265 ribu pada tahun 2010.
Jumlah keluarga petani yang terlibat dalam pertanaman kakao pada tahun 2006 tercatat lebih 255 ribu
keluarga dan pada tahun 2010 meningkat menjadi sekitar 294 ribu keluarga. Kakao sebagai usaha
perkebunan rakyat, dengan ciri berskala kecil, umumnya masih di kelola secara tradisional dan sebagian
masih merupakan tanaman sampingan sehingga masih menghadapi tantangan untuk
pengembangannya.
119
119 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Gambar 6.7. Lahan, produksi, dan Produktivitas Kakao Sulawesi Selatan 2010.
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.
Produksi dan produktivitas komoditas kakao di Sulawesi Selatan masih fluktuatif. Total produksi biji
kakao yang dicapai pada Tahun 2006 adalah sebesar 157 ribu ton, dan meningkat menjadi lebih dari 172
ribu ton ada tahun 2010. Hanya saja tingkat produksi yang dicapai selama kurun waktu Tahun 2006 –
2010 masih berfluktuasi. Disamping itu tingkat produktivitas rata-rata setiap hektar di Sulawesi Selatan
juga masih fluktuatif sepanjang kurun waktu tersebut. Hal ini disebabkan karena program rehabilitasi
tanaman kakao yang rusak atau tua tidak berkesinambungan, sehingga pada tahun tertentu area yang perlu direhabilitasi bertambah.
Tabel 6.3. Produksi Kakao Sulawesi Selatan Tahun 2006 Hingga 2010 Berfluktuasi
Tahun Luas Area (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha) Jumlah Petani
(KK)
2006 222.859,82 157.933,92 963,76 255.190
2007 250.854,64 117.118,52 677,44 272.304
2008 257.313,20 110.009,45 626,22 279.239
2009 263.153,05 163.001,47 784,22 288.405
2010 265.985,00 172.083,00 798,57 294.620
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam upaya pengembangan kakao di Sulawesi Selatan, pemerintah pusat, pemerintah daerah telah
merencanakan dan melaksanakan berbagai jenis program. Jumlah program pengembangan komoditas
kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 dan 2008 lebih banyak dibanding dengan tahun 2007, 2009
dan 2010. Meskipun demikian sejak tahun 2009, telah dilaksanakan program Gernas (Gerakan Nasional)
kakao. Program ini cakupannya cukup luas karena meliputi intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, dan
peremajaan kakao untuk meningkatkan produktifitas tanaman. Pada tahun 2009 program Gernas kakao
48
2930
13 11 16
38
0
10
20
30
40
50
60
Rib
u H
ekta
r
Luas Lahan Kakao
Belum menghasilkan Menghasilkan Rusak/tua
34
2024
129
14
30
708 692
803
974
791 866
667
-
200
400
600
800
1,000
1,200
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Rib
u T
on
Produksi dan Poduktivitas Kakao
Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha)
120
120 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
dilaksanakan pada 11 kabupaten dan pada tahun 2010 dan 2011 diperluas menjadi 12 kabupaten.
Sebelum dilaksanakannya Gernas kakao, program pengembangan pemerintah cenderung tidak
konsisten antar tahun. Sehingga menyulitkan proses pemantauan (monitoring) dan evaluasi.
Tabel 6.4. Program Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan, 2006 – 2010
Tahun Program
2006
a. Perlindungan tanaman; b. Peningkatan mutu dan pemasaran hasil perkebunan; c. Pengembangan dan pembinaan usaha perkebunan; dan d. Pengembangan agribisnis.
2007 a. Perlindungan Tanaman; dan b. Program Pengembangan Agribisnis.
2008
a. Peningkatan kesejahteraan petani; b. Peningkatan penerapan teknologi perkebunan; c. Pengembangan agribisnis, dan d. Peningkatan ketahanan pangan.
2009 a. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; b. Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 11 kabupaten).
2010 a. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; b. Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 12 kabupaten).
2011 a. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; b. Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 12 kabupaten).
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebagian besar anggaran pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan bersumber dari APBN.
Jumlah realisasi anggaran pengembangan kakao tertinggi pada tahun 2009 yaitu sebanyak Rp. 119
milyar di mana hanya 3 persen yang bersumber dari APBD. Dalam 5 tahun pelaksanaan pengembangan
kakao, baik sebelum maupun setelah program Gernas, mayoritas anggaran bersumber dari APBN. Hal ini
menunjukkan dukungan pemerintah pusat terhadap komoditas kakao di Sulawesi Selatan. Pada APBN
2009-2011, sudah ada alokasi anggaran khusus membiayai “Gernas Kakao”.Pengalokasian anggaran
pengembangan kakao baik yang bersumber dari APBD maupun dari APBN disesuaikan potensi (luas
lahan), permasalahan dan kebutuhan daerah tersebut.
Tabel 6.5. Belanja Anggaran Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan Mayoritas Berasal dari APBN
Tahun Realisasi Anggaran (Rp) Luas area program Gernas Kakao (hektar)
APBD APBN Peremajaan Rehabilitasi Intensifikasi Total
2006 1.043.710.050 101.000.000 n.a n.a n.a n.a
2007 410.363.725 1.705.551.000 n.a n.a n.a n.a
2008 1.204.154.700 4.987.230.000 n.a n.a n.a n.a
2009 3.143.640.406 115.967.538.920 4.300 20.900 23.700 48.900
2010 920.354.050 68.368.456.504 3.550 10.149 3.350 17.049
2011 139.725.000 n.a 6.300 9.100 8.350 23.750
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.
Catatan: Program Gernas Kakao dimulai tahun 2009, sehingga tidak ada data area untuk tahun sebelumnya.
121
121 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Kesimpulan dan Rekomendasi
� Dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas kakao, pemerintah pusat dan daerah telah
menetapkan kebijakan dan berbagai program, antara lain dengan Gerakan Nasional (GERNAS) Kakao
yang dimulai sejak Tahun 2009. Dengan kebijakan dan berbagai program kakao telah
memperlihatkan kecenderungan peningkatan produksi dan produktivitas (tahun 2009 dan 2010),
walaupun belum menyamai produksi dan produktivitas tahun 2006.
� Untuk mencapai produksi kakao 300 ribu ton pada tahun 2013, masih perlu upaya rehabilitasi,
peremajaan dan intensifikasi melalui perbaikan bibit, pemeliharaan dan penanganan pasca panen
tanaman kakao yang belum tersentuh program Gernas Kakao. Di sisi lain, penguatan kelembagaan
petani sangat dibutuhkan sebagai satu upaya menuju “kemandirian’’ petani. Upaya lain yang telah
dirintis oleh pemerintah Sulawesi Selatan adalah industri perkakaoan, sebagai provinsi yang
memiliki keunggulan mutlak dibanding provinsi lain di Indonesia.
� Anggaran program pengembangan kakao mayoritas bersumber dari pusat. Dukungan pendanaan
dari pusat merupakan sesuatu yang tidak dapat berlangsung dalam jangka panjang. Jika Sulawesi
Selatan ingin mengembangkan kakao sesuai dengan keunggulan mutlak di atas, maka pemerintah
harus lebih berkomitmen mengalokasikan dana untuk program ini. Kompetitor Sulawesi Selatan
pada produk kakao hampir tidak ada, sementara komoditas jagung, sapi, rumput laut, dan udang,
diunggulkan juga oleh beberapa provinsi lain.
6.3. Komoditas Sapi
Pada tahun 2013 pemerintah Sulawesi Selatan mencanangkan pencapaian populasi sapi sejuta ekor.
Gerakan pencapaian populasi sapi sejuta ekor dilakukan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional
khususnya penyediaan daging untuk konsumsi masyarakat. Jumlah populasi ternak sapi yang
dicanangkan di Sulawesi Selatan pada tahun 2013 diharapkan mencapai 1 juta ekor. Untuk mencapai
jumlah populasi sapi sebanyak itu, maka pemerintah daerah kabupaten dan provinsi telah melakukan
upaya peningkatan mutu intensifiksi melalui penerapan teknologi budidaya sapi dan kawin suntik
dengan melibatkan peran kelembagaan kelompok tani ternak di tingkat kabupaten/kota. Upaya yang
dilakukan untuk mewujudkan pencapaian populasi tersebut diantaranya adalah optimalisasi kelahiran
sapi dengan inseminasi buatan (IB), intensifikasi kawin alam dan penambahan induk sapi betina dan
pejantan. Upaya lain yang dilakukan adalah pengendalian pemotongan sapi betina produktif,
perdagangan sapi antar pulau dan menurunkan tingkat kematian.
Target pencapaian sejuta ternak sapi pada tahun 2013 diyakini dapat direalisasikan. Ini dapat dilihat
dari populasi sapi potong/perah di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2005-2010, yang menunjukkan
peningkatan secara konsisten. Pada tahun 2005, jumlah populasi ternak sapi di Sulawesi Selatan sebesar
600 ribu ekor. Peningkatan populasi sapi terus terjadi setiap tahun hingga pada tahun 2010 telah
122
122 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
mencapai hampir 850 ribu ekor. Apabila
pertumbuhan populasi ternak
dipertahankan sebesar 6,00 persen per
tahun maka pencapaian angka sejuta ekor
sapi akan diperoleh diakhir tahun 2013.
Pertumbuhan populasi sapi meningkat
dalam 2 tahun terakhir. Sejak
dicanangkannya target sejuta populasi sapi
pada tahun 2008, pertumbuhan populasi
sapi meningkat menjadi 9 dan 10 persen
pada dua tahun berikutnya. Melihat tren
pertumbuhan pada tiga tahun sebelumnya
yang cenderung lebih stagnan,
pencanangan target merupakan hal positif
bagi pertumbuhan ternak sapi
Kesimpulan dan Rekomendasi
� Populasi sapi di Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan sejak tahun 2005 sampai tahun
2010. Pencapaian target populasi sejuta ekor sapi diperkirakan dapat dicapai pada tahun 2013 jika
terus mengalami perkembangan secara konsisten dengan tingkat perkembangan sebesar 6 persen
per tahun.
� Intervensi yang bisa dilakukan pada subsektor peternakan hendaknya diprioritaskan untuk memacu
kegiatan inseminasi buatan, perbaikan kawin alami, penanganan gangguan reproduksi dan
kesehatan ternak sapi, penyelamatan betina produktif, peningkatan dan pengembangan pakan sapi,
peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan, penyediaan induk atau bibit sapi serta pengendalian
lalu lintas ternak.
6.4. Komoditas Rumput Laut
Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi rumput laut terbesar di Indonesia. Di daerah
ini, jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah Gracillaria verrucosa yang dibudidayakan di tambak
dan Echeuma cottoni di laut. Lokasi pengembangan budidaya rumput laut tersebar di seluruh pesisir
Sulawesi Selatan. Pemerintah Sulawesi Selatan mengelompokkan sentra-sentra pengembangan rumput
laut ke dalam 2 kluster, masing-masing Kluster Pengembangan jenis G. verrocosa berada di Kota Palopo
(inkubator), Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Bone, Wajo, Pinrang, Barru, Pangkep, Maros,
Takalar, Bulukumba, dan Sinjai. Sementara Kluster Pengembangan jenis E cottoni berada di Kabupaten
Gambar 6.8. Perkembangan Populasi Sapi Potong/
Perah di Sulawesi Selatan, 2005-2009.
Sumber: BPS, 2010.
594 637 669 703 769 849
7.2
5 5.2
9.3
10.4
0
2
4
6
8
10
12
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Persen
Rib
u E
kor
123
123 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Takalar (inkubator), Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Selayar, Kota Makassar, Pangkep, Barru,
Pinrang, Bone, Wajo, Luwu, Palopo, Luwu Timur dan Luwu Utara.
Produksi total rumput laut di Sulawesi Selatan meningkat secara signifikan dalam kurun waktu 2006-
2010. Produksi rumput laut Sulawesi Selatan pada tahun 2010 mencapai 1,5 juta ton, terdiri dari
rumput laut jenis E. cottonii sebesar 1,1 juta ton dan G. verrucosa sebesar 400 ribu ton. Peningkatan
yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2010, dari sekitar 800 ribu ton pada tahun 2009 menjadi 1,5
juta ton pada tahun 2010 (84 persen). Produksi rumput laut jenis G. Verrucosa yang dibudidaya dalam
tambak cenderung menurun sedangkan jenis E. cottoni yang dibudidaya di laut selalu meningkat, hal ini
menunjukkan potensi laut Sulawesi Selatan masih besar.
Gambar 6.9. Produksi Rumput Laut Jenis G. verrucosa dan E. cottoni, 2006-2010
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
Lebih dari tiga perempat produksi rumput laut Sulawesi Selatan berasal dari 5 kabupaten. Takalar
adalah produsen rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan, pada tahun 2010 produksinya mencapai 450
ribu ton, atau 30 persen dari total produksi provinsi. Total produksi dari 5 kabupaten tersebut mencapai
1,2 juta ton, atau 78 persen dari total produksi. Kabupaten lain yang juga memiliki luasan budidaya
rumput laut dan produksi yang besar adalah Bulukumba dan Bantaeng (5 persen), dan Pangkep (4
persen).
0.62 0.63 0.75
0.82
1.52
0% 2%
19%
10%
84%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
-
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
2006 2007 2008 2009 2010
Juta
Ton Gracilaria (ton)
E. Cottoni (ton)
Total
Peningkatan
124
124 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Gambar 6.10. Produksi Rumput Laut di Lima Kabupaten Tahun 2010.
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
Produksi rumput laut dari 5 kabupaten
utama meningkat pesat pada tahun
2010. Selama kurun 2006 hingga 2009,
kontribusi 5 kabupaten penghasil
utama rumput laut perlahan menurun
meskipun produksinya meningkat, dari
63 persen (389 ribu ton) menjadi 57
persen (475 ribu ton). Sementara
produksi dari daerah penghasil pesisir
lainnya seperti Bantaeng, Bulukumba,
Pangkep, dan Kota Palopo terus
meingkat. Proporsi produksi 5
kabupaten tersebut meningkat drastic
pada tahun 2010 menjadi 78 persen
yang terutama diakibatkan peningkatan
produksi di Kabupaten Luwu, Bone, dan
Takalar. Di tahun 2010 produksi
Kabupaten Takalar meningkat 2 kali
lipat, Bone 3 kali lipat, dan Luwu 10 kali
lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Ekspor rumput laut Sulawesi Selatan di tahun 2010 mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu
106 persen dari tahun sebelumnya. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan menyebutkan
ekspor rumput laut tahun 2009 sebesar dari 20 ribu ton senilai USD 17,6 juta meningkat menjadi 41 ribu
ton atau senilai US$ 47 juta pada tahun 2010. Ekspor rumput laut Sulawesi Selatan dilakukan oleh
beberapa pengusaha antara lain adalah PT. Bantimurung Indah di Maros, PT. Giwang Citra Laut di
30%
22% 22%
10%8% 8%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
0
100
200
300
400
500
Takalar Luwu Lainnya Jeneponto Bone Luwu Timur
Rib
u T
on
G. Verrucosa E. Cottoni % Total
Gambar 6.11. Kontribusi 5 Kabupaten Penghasil Utama
Cenderung Menurun Hingga 2009, Tetapi Meningkat Pesat
di Tahun 2010.
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
83.54 80.63 81.2133.43
340.9330.53 27.69 40.14
39.39
123.07136.18 132.53 141.22
134.72
149.92
113.25 116.97135.58
214.14
449.2226.03
17.34 45.57 53.28
118.97
227.94 255.55 304.84 349.05
335.58
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2006 2007 2008 2009 2010
Luwu Bone Jeneponto Takalar Luwu Timur Lainnya
125
125 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Takalar dan CV. Cahaya Cemerlang di Makassar (komoditas rumput laut jenis E.cottonii), serta PT.
Agarindo Bogatama di Tangerang dan PT. Sriti di Malang (komoditas rumput laut jenis G. verrucosa).
Kesimpulan dan Rekomendasi
� Peningkatan produksi rumput laut di setiap kabupaten masih berfluktuasi, terutama jenis G.
Verrucosa. Potensi peningkatan produksi rumput laut jenis G. verrucosa ini masih cukup besar.
Lahan tambak belum dimanfaatkan seluruhnya secara optimal. Budidaya rumput laut di tambak
selain dapat meningkatkan produksi rumput laut juga dapat memperbaiki kualitas perairan tambak
melalui pengurangan laju proses eutrifikasi. Demikian halnya rumput laut jenis E. cottoni,
peningkatan produksi masih memungkinkan terutama di wilayah perairan yang berada di pulau-
pulau kecil di Sulawesi Selatan.
� Intervensi dan dukungan Pemerintah dapat dilakukan melalui pengelolaan balai benih untuk
memproduksi bibit unggul yang menjadi kendala utama petani rumput laut. Selain itu, Pemerintah
dapat memperbaiki kelembagaan petani (produsen) dan pedagang rumput laut untuk menjamin
stabilitas harga yang wajar.
6.5. Komoditas Udang
Udang merupakan salah satu komoditas unggulan di Sulawesi Selatan. Volume ekspor udang Sulawesi
Selatan, pada tahun 2008 sebanyak 7 ribu ton dengan nilai USD 59 ribu. Tenaga kerja yang terserap
pada kegiatan budidaya, pengelola dan pemasaran udang sebanyak 381 ribu orang. Meskipun hampir
seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menghasilkan udang, ada 9 yang merupakan penghasil
utama. Daerah-daerah ini terletak di pesisir Teluk Bone, Laut Flores dan Selat Makassar yang memiliki
ragim perairan laut yang berbeda. Masyarakat petambak di Sulawesi Selatan sudah mengusahakan
budidaya udang sejak dicanangkan Program Udang Nasional (PUN) di tahun 1982an.
Kontribusi 5 kabupaten penghasil utama terhadap produksi tahun 2010 sebesar 60 persen. Daerah
penghasil utama udang di provinsi ini adalah Pinrang, Bone, Luwu, Wajo, dan Pangkep dengan total
produksi 13 ribu ton. Total luas area tambak di kelima kabupaten tersebut mencapai lebih dari 60 ribu
hektar, dari total 105 ribu hektar tambak di Sulawesi Selatan. Meski demikian produktifitas daerah
penghasil dengan luasan tambak yang besar ini relatif lebih rendah dari kabupaten lain yang luasannya
lebih kecil. Produktifitas tambak tertinggi ditemukan di Bulukumba dan Takalar yang luas tambaknya 3
dan 4 ribu hektar. Produktifitas tambak rata-rata sebesar 0,3 ton per hektar per tahun. Produktifitas
yang masih rendah ini disebabkan mayoritas tambak masih berteknologi sederhana (37 ribu hektar).
Tambak dengan teknologi intensif atau semi intensif baru mencapai 7 ribu hektar, sementara sisanya
justru belum dimanfaatkan.
Produksi benur belum mencukupi kebutuhan tambak di Sulawesi Selatan. Data dari Buku Saku Statistik
Perikanan Budidaya (2010) menyebutkan kebutuhan untuk budidaya tradisional saja sebesar
126
126 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
1,8 milyar ekor, sementara produksi
hanya sebesar 723 juta ekor. Jumlah
panti-pembenihan (hatchery) di Sulawesi
Selatan sebanyak 21 buah, dan ada 111
pembenihan berskala rumah tangga
dengan kapasitas produksi diperkirakan
mencapai 1,4 milyar ekor.
Akselerasi peningkatan produksi udang
di Sulawesi Selatan mulai diupayakan
sejak 2004. Revitalisasi budidaya tambak
pada “GERBANGMAS”, kemudian
dilanjutkan pada periode 2008-2013
melalui Program Kebangkitan Udang.
Dalam RPJMD Sulawesi Selatan,
peningkatan produksi udang dinyatakan
secara tersirat dalam Agenda ke-2, yaitu
kebijakan peningkatan produksi pertanian, termasuk komoditas udang.
Produksi udang di Sulawesi Selatan masih relatif
berfluktuasi. Produksi udang Sulawesi Selatan tahun
2010 mencapai 22 ribu ton. Jenis udang yang
diproduksi adalah udang windu (Peneaus monodon),
udang putih/vanname (Litopeneaus vannamei) dan
udang lainnya. Produksi udang windu relatif jauh
lebih tinggi dibandingkan udang putih. Udang putih-
vanamae diintroduksi untuk menanggulangi
merosotnya produksi udang windu akibat serangan
penyakit secara massif di Sulawesi Selatan. Udang
windu memiliki capaian ukuran maksimum yang lebih
besar dan harga jual yang lebih tinggi, sedangkan
udang putih-vanamae memiliki sintasan (survival
rate) tinggi dan kebutuhan protein pakannya lebih
rendah sehingga harga pakan menjadi lebih rendah.
Pada tahun 2009, posisi Sulawesi Selatan sebagai
penghasil udang windu di Indonesia berada pada
urutan ke-4 setelah Sumatera Selatan (42 ribu ton),
Jawa Barat (19 ribu ton) dan Sumatera utara (13 ribu ton).
Laju peningkatan produksi udang di Sulawesi Selatan masih di bawah target.. Produksi udang Sulawesi
Selatan rata-rata tumbuh 4,5 persen per tahun, lebih rendah dari target yang Pemerintah Sulawesi
Selatan untuk tahun 2009-2013, yaitu sebesar 13 persen per tahun. Produksi udang putih bertumbuh
sebesar 57 persen per tahun dan udang lainnya meningkat sebesar 22 persen, sedangkan udang windu
Tabel 6.6. Produksi, Luas Tambak dan Produktivitas Udang
di Sulawesi Selatan, 2010
Kabupaten/Kota Produksi
(Ton) Luas Tambak
(Ha) Produktivitas
(ton/ha)
Luwu 2.463 9.894 0,25
Wajo 1.657 12.903 0,13
Bone 3.150 11.633 0,27
Bulukumba 1.300 3.576 0,36
Takalar 1.551 4.541 0,34
Maros 1.365 9.622 0,14
Pangkep 1.610 10.977 0,15
Pinrang 4.530 15.026 0,30
Luwu Timur 1.153 11.620 0,10
Lainnya 3.441 16.068 0,21
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 6.12. Produksi Udang Menurut
Kategori Jenis, 2006-2010
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Sulawesi Selatan.
15,145 12,600 11,264
10,240 12,699
795 1,417
3,217
2,116 3,342
3,475 2,345 3,253 5,473 6,179
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2006 2007 2008 2009 2010
Udang Windu Udang Putih Udang Lain
127
127 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
justru cenderung menurun rata-rata sebesar 3 persen per tahun. Teknologi intensif dengan padat
penebaran yang tinggi (30 ekor/m2) untuk udang windu tidak lagi digunakan. Udang windu hanya
dibudidayakan pada tingkat teknologi paling sederhana/tradisional (< 5 ekor/m2). Kecenderungan
penurunan produksi udang windu ini tidak sejalan dengan preferensi produsen yang memilih udang
windu sebagai primadona.
Sistim jaminan mutu, ‘Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)’ dalam produksi udang di Sulawesi Selatan
telah diterapkan. Jaminan mutu pada proses produksi (budidaya) dilaksanakan berdasarkan permintaan
dan persyaratan konsumen (tuntutan pasar). Standar dan prosedur budidaya biota periaran dengan baik
dengan istilah Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) telah diterapkan bagi pembudidaya. CBIB ini
menekankan pada aspek higenitas produk melalui manajemen sanitas yang baik. Udang hasil budidaya
dikendalikan mutunya dari ancaman pencemaran berupa bakteri, biotoxin, logam berat, pestisida dan
residu terlantar (antibiotik, hormon, dll.). Sertifikasi CBIB ini diharapkan dapat meningkatkan
kepercayaan produsen dan konsumen yang pada gilirannya meningkatkan daya saing produk ini.
Kesimpulan dan Rekomendasi
� Trauma terhadap mewabahnya penyakit pada Udang Windu mengakibatkan petani cederung tidak
membudidayakan Udang Windu, akibatnya produksi jenis udang ini cenderung menurun. Hal ini
menyebabkan target pertumbuhan produksi tidak tercapai. Pemerintah perlu merevisi targetnya,
karena dengan praktek intensif (penyebaran 30 ekor per meter persegi) resiko penyakit makin
tinggi. Alternatif lain adalah pemerintah harus dapat mencarikan solusi mengurangi resiko praktek
tambak intensif.
� Produksi benur masih di bawah kebutuhan. Jika ini tidak diatasi, maka target pertumbuhan produksi
juga sulit tercapai.
� Mayoritas lahan tambak di Sulawesi Selatan justru belum dimanfaatkan. Selain itu sebagian besar
dari tambak yang beroperasi masih menggunakan teknologi sederhana. Untuk meningkatkan
produksi, sebaiknya pemerintah Sulawesi Selatan mengoptimalkan lahan yang telah ada tanpa
membuka lahan baru sehingga menjaga kualitas lingkungan.
130
130 Bab 7 Analisis Isu Daerah
7.1 Analisis Kemiskinan
7.1.1 Gambaran Umum Kemiskinan di Sulawesi Selatan
Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menurun secara konsisten selama
periode 2006-2010. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan sebesar 913 ribu
orang atau hampir 12 persen dari total penduduk. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan
tahun 2006, dimana jumlah penduduk miskin sebesar 1,1 juta orang atau 15 persen dari total penduduk.
Dengan demikian, saat ini, setiap sembilan penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya tergolong
miskin.
Persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan selalu berada di bawah angka rata-rata Nasional
selama periode 2006-2010. Namun penurunan persentase penduduk miskin secara Nasional
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Indonesia menurun rata-rata 5,26
persen per tahun, sedangkan Sulawesi Selatan hanya menurun rata-rata 4,46 persen per tahun.
Implikasinya, dalam beberapa tahun ke depan, persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan akan
semakin berhimpit dengan angka rata-rata Nasional. Secara implisit, fakta ini juga menunjukkan bahwa
secara rata-rata provinsi lainnya mengalami penurunan angka kemiskinan yang relatif lebih cepat
dibandingkan dengan Sulawesi Selatan.
Gambar 7.1. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Selatan dan Indonesia, 2006-2010
Sumber: BPS.
Secara relatif, posisi Sulawesi Selatan secara Nasional dan Regional tidak mengalami perubahan
dalam lima tahun terakhir. Secara Nasional, Sulawesi Selatan menempati urutan 17 dari 33 provinsi.
Sedangkan secara regional, dari enam provinsi di Pulau Sulawesi, Sulawesi Selatan menempati posisi
kedua terendah, sesudah Sulawesi Utara. Gorontalo, yang merupakan hasil pemekaran dari Sulawesi
Utara, mencatat persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi.
17.7516.58
15.4014.15
13.3314.57 14.11
13.3412.31
11.61
0
4
8
12
16
20
2006 2007 2008 2009 2010
Indonesia
Sulsel
131
131 Bab 7 Analisis Isu Daerah
Gambar 7.2. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Indonesia, 2010
Sumber: BPS.
Jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan tinggi, namun persentasenya rendah. Dari segi jumlah,
Sulawesi Selatan memiliki populasi penduduk miskin tertinggi di Sulawesi. Namun persentasenya
terendah kedua setelah Sulawesi Utara. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan
mencapai 913 ribu orang. Angka tersebut dua kali lipat lebih besar dari Sulawesi Tenggara dan empat
kali lipat dari Sulawesi Utara dan Gorontalo. Namun persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan
hanya 11,6 persen atau hanya setengah dari Gorontalo, dimana Gorontalo merupakan daerah dengan
persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi.
Gambar 7.3. Komparasi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Pulau
Sulawesi, 2010
Sumber: BPS.
11.6013.33
0
5
10
15
20
25
30
35
40
DK
I Jak
arta
Bal
i
Kal
sel
Bab
el
Kal
teng
Ban
ten
Kal
tim
Kep
. Ria
u
Jam
bi
Ria
u
Kal
bar
Sul
ut
Mal
ut
Sum
bar
Jaba
r
Sum
ut
Sul
sel
Indo
nesi
a
Sul
bar
Jatim
Sum
sel
Jate
ng
DIY
Yog
ya
Sul
tra
Sul
teng
Ben
gkul
u
Lam
pung
NA
D
NT
B
NT
T
Gor
onta
lo
Mal
uku
Pap
ua B
arat
Pap
ua
206,700
913,400
141,300
400,700475,000
209,9009.10
11.6013.58
17.0518.07
23.19
0
5
10
15
20
25
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Pe
rsen
tase
Pe
nd
ud
uk
Miskin
Jum
lah
Pen
dudu
kM
iski
n
Jumlah Persentase
132
132 Bab 7 Analisis Isu Daerah
Proporsi penduduk miskin yang bermukim di wilayah perdesaan jauh lebih besar dibandingkan
dengan di wilayah perkotaan. Penurunan penduduk miskin di wilayah perdesaan juga berlangsung lebih
lambat dibandingkan dengan di wilayah perkotaan. Pada tahun 2010, 87 persen dari total
penduduk miskin bermukim di perdesaan
dan 13 persen bermukim di perkotaan.
Angka ini sedikit berbeda dengan tahun
2006, dimana 85 persen bermukim di
perdesaan dan 15 persen bermukim di
perkotaan. Rata-rata penduduk miskin di
perdesaan hanya menurun 4 persen per
tahun, sedangkan di perkotaan menurun 7
persen per tahun. Akibatnya, sebaran
penduduk miskin sedikit berubah. Proporsi
penduduk miskin yang bermukim di wilayah
perdesaan cenderung meningkat, dan
sebaliknya di wilayah perkotaan cenderung
menurun.
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan
indeks keparahan kemiskinan (P2) di
Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan
secara konsisten selama periode 2006-2010.
P1 menurun dari 3,43 pada tahun 2006
menjadi 1,91 pada tahun 2010, yang
mengindikasikan bahwa rata-rata
pengeluaran penduduk miskin cenderung
semakin mendekati garis kemiskinan.
Sedangkan P2 menurun dari 1,00 menjadi
0,49 para periode yang sama, yang
mengindikasikan bahwa ketimpangan
pengeluaran antar penduduk miskin semakin
menyempit atau membaik.
Ketimpangan distribusi pendapatan di
Sulawesi Selatan cenderung meningkat
dalam tiga tahun terakhir. Kecenderungan
semacam ini juga terjadi di tingkat Nasional. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat dan
tingkat pengangguran terbuka yang cenderung menurun telah memberi dampak positif terhadap
penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin. Namun ketimpangan distribusi pendapatan,
ditunjukkan oleh angka koefisien gini, yang cenderung meningkat mengindikasikan bahwa pertumbuhan
ekonomi telah memberi manfaat yang jauh lebih besar bagi penduduk kaya (kelompok pendapatan
Gambar 7.4. Penyebaran Penduduk Miskin Menurut
Wilayah di Sulawesi Selatan, 2010
Sumber: BPS.
Gambar 7.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan,
2006-2010
Sumber: BPS.
13.05%
86.95%
perkotaan
perdesaan
3.43
2.602.44
2.081.91
1.00
0.68 0.67 0.55 0.49
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
2006 2007 2008 2009 2010
P1 P2
133
133 Bab 7 Analisis Isu Daerah
tertinggi) ketimbang penduduk miskin (kelompok pendapatan terendah). Akibatnya, distribusi
pendapatan antar kelompok masyarakat cenderung semakin melebar.
Gambar 7.6. Angka Koefisien Gini di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010
Sumber: BPS.
Persentase kepala rumah tangga perempuan berdasarkan kelompok pendapatan relatif merata
selama periode 2005-2009. Pada tahun 2005, dari seluruh rumah tangga kelompok pendapatan
terendah (kuintil 1) hanya 3,1 persen yang dikepalai oleh perempuan, sementara pada kelompok
pendapatan tertinggi sebesar 4,3 persen. Angka ini meningkat pada tahun 2009, baik untuk kelompok
pendapatan terendah maupun tertinggi. Bahkan, seluruh kelompok pendapatan menunjukkan
kecenderungan yang meningkat. Ini menunjukkan bahwa secara relatif jumlah perempuan yang menjadi
kepala rumah terus meningkat di Sulawesi Selatan pada semua kelompok pendapatan. Tidak terdapat
perbedaan proporsi kepala rumah tangga perempuan yang signifikan antar kelompok pendapatan
miskin dan kaya.
Tabel 7.1. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di
Sulawesi Selatan, 2005 -2009
Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Rata-rata
2005 3,1% 3,4% 4,1% 3,6% 4,3% 3,6%
2006 3,4% 3,8% 3,8% 3,9% 4,4% 3,8%
2007 3,8% 4,1% 4,1% 4,5% 5,6% 4,3%
2008 3,3% 3,9% 3,1% 3,2% 4,1% 3,5%
2009 4,5% 4,0% 3,9% 4,3% 4,8% 4,3%
Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia dari Susenas.
0.36
0.35
0.37
0.38
0.37
0.36
0.39
0.40
0.32
0.33
0.34
0.35
0.36
0.37
0.38
0.39
0.40
0.41
2007 2008 2009 2010
Indonesia
Sulawesi Selatan
134
134 Bab 7 Analisis Isu Daerah
7.1.2 Gambaran Kemiskinan di Kabupaten/Kota
Secara umum, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin
selama periode 2005-2010. Kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin bervariasi antar
kabupaten/kota dan tidak selalu sejalan dengan kecenderungan provinsi, Dari 24 kabupaten/kota di
Sulawesi Selatan, hanya tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Soppeng, Luwu Utara, dan Kota
Makassar, yang menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin.
Gambar 7.7. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010
Sumber: BPS.
Sepuluh dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan persentase penduduk miskin di
atas rata-rata provinsi. Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Enrekang merupakan tiga kabupaten
dengan tingkat persentase penduduk miskin tertinggi. Namun kabupaten/kota yang memiliki persentase
penduduk miskin yang tinggi belum tentu memiliki jumlah penduduk miskin yang juga besar, begitu pula
sebaliknya. Pada tahun 2010, Kabupaten Pangkep memiliki persentase penduduk miskin tertinggi (19,26
persen), dan sebaliknya Kota Makassar memiliki persentase penduduk miskin terendah (5,8 persen).
Namun secara absolut, Kabupaten Bone memiliki jumlah penduduk miskin terbesar (101.100 orang), dan
sebaliknya, Kota Pare-Pare memiliki jumlah penduduk miskin terkecil (8.500 orang).
Hampir setengah dari jumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan
persentase penduduk miskin. Selama kurun waktu 2005-2008, Kabupaten Soppeng menunjukkan
peningkatan persentase penduduk miskin paling drastis. Selain Kabupaten Soppeng, kabupaten lainnya
yang menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin adalah Kabupaten Luwu Utara, Barru,
Pinrang, Luwu, Wajo, Bone, Bantaeng, Bulukumba, Kota Palopo dan Pare-Pare. Sebaliknya, Kabupaten
Selayar dan Gowa menunjukkan penurunan persentase penduduk paling tinggi.
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
135
135 Bab 7 Analisis Isu Daerah
Persentase kepala rumah tangga perempuan berdasarkan kelompok pendapatan bervariasi antar
kabupaten/kota. Proporsi kepala rumah tangga perempuan pada kelompok pendapatan miskin terbesar
terdapat di Kabupaten Pangkep (7,7 persen) dan Takalar (8,5 persen) dan sebaliknya proporsi kepala
rumah tangga perempuan pada kelompok pendapatan tinggi terbesar terdapat Kabupaten Wajo (7,3
persen), Kota Makassar (6,6 persen), dan Pinrang (6,6 persen). Selebihnya hampir relatif sama antara
proporsi kepala rumah tangga perempuan miskin dan kaya. Kabupaten yang memperlihatkan
ketimpangan pendapatan cukup parah yang dihasilkan oleh kepala rumah tangga perempuan adalah
Kabupaten Takalar dan Pangkep.
Tabel 7.2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009
No. Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009
1 Selayar 22,71 20,82 20,45 18,49 15,00 2 Bulukumba 12,08 13,84 13,56 12,26 9,20 3 Bantaeng 10,41 12,34 12,12 10,94 10,25 4 Jeneponto 23,18 25,06 24,55 22,48 19,10 5 Takalar 14,94 14,09 13,80 12,68 11,16
6 Gowa 16,90 14,55 14,13 12,79 9,49
7 Sinjai 14,15 15,76 13,87 12,73 10,68 8 Maros 20,13 20,09 20,08 18,55 14,62 9 Pangkajene Kepulauan 22,79 23,82 23,93 21,36 19,26
10 Barru 11,69 13,91 14,73 13,49 10,69 11 Bone 16,38 18,78 18,84 17,35 14,08 12 Soppeng 4,65 5,60 5,45 11,22 10,42 13 Wajo 9,95 11,57 11,36 10,16 8,96 14 Sidenreng Rappang 8,38 8,19 8,05 7,64 7,00 15 Pinrang 9,07 10,70 10,44 9,65 9,01 16 Enrekang 21,59 23,18 22,79 20,51 16,86 17 Luwu 18,51 20,13 21,24 19,44 15,44 18 Tana Toraja 18,87 20,44 19,91 18,57 14,62 19 Luwu Utara 14,63 14,48 14,03 18,38 16,25 20 Luwu Timur 13,05 11,35 10,21 10,98 9,18 21 Toraja Utara na na na na 19,08 22 Kota Makasar 6,19 7,22 5,66 5,36 5,86 23 Kota Pare Pare 6,70 7,86 7,65 7,10 6,53 24 Kota Palopo 11,36 12,92 12,71 12,83 11,28
Sulawesi Selatan 13,71 14,57 14,11 13,41 11,61
Sumber: BPS.
136
136 Bab 7 Analisis Isu Daerah
0123456789
Per
sen
> 20 % income < 20% income
Gambar 7.8. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di
Sulawesi Selatan
Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia dari Susenas.
7.1.3 Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Di Sulawesi Selatan
Isu pengentasan kemiskinan belum secara spesifik ditempatkan sebagai prioritas utama
pembangunan daerah. Hal ini disebabkan lebih rendahnya persentase penduduk miskin di Sulawesi
Selatan, setidaknya jika dibandingkan dengan rata-rata Nasional, telah menyebabkan. Meskipun
demikian, agenda-agenda pembangunan daerah, sebagaimana bisa diamati di dalam RPJMD Sulawesi
Selatan, memiliki relevansi dan kaitan yang sangat erat dengan pengentasan kemiskinan. Pemenuhan
hak-hak dasar masyarakat dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan
tema, subtansi, dan tujuan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan, diyakini berkontribusi besar
terhadap upaya pengentasan kemiskinan.
Upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan masih bertumpu pada program-program yang
diimplementasilkan oleh pemerintah secara Nasional, terutama melalui Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program-program pengentasan kemiskinan yang dikreasikan
secara lokal oleh pemerintah daerah, tampaknya masih sangat terbatas. Jika diamati, program
pengentasan kemiskinan yang diimplementasikan oleh pemerintah daerah dilakukan melalui dua skema
utama, yaitu pertama, menurunkan atau memperkecil beban pengeluaran penduduk miskin. Skema ini
muncul dalam bentuk pembebasan biaya (misalnya, pendidikan dan kesehatan gratis), dan pemberian
subsidi (misalnya, pupuk dan sarana produksi lainnya). Kedua, meningkatkan produktivitas dan
pendapatan penduduk miskin. Skema ini muncul terutama dalam bentuk pembangunan infrastruktur
perdesaan (misalnya irigasi, pasar, jalan desa, dsb), penyediaan skema bantuan modal usaha, dsb.
Beberapa lembaga donor juga banyak mendukung lewat aktifitas tidak langsung yang diyakini
137
137 Bab 7 Analisis Isu Daerah
berkorelasi dengan upaya pengentasan kemiskinan. Misalnya sebuah program di Kabupaten Jeneponto
berorientasi pada peningkatan kapasitas, pemberdayaan masyarakat, dan perbaikan layanan publik.
7.1.4 Kesimpulan dan Rekomendasi
� Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan secara
konsisten selama periode 2006-2010. Meski demikian, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan
masih yang tertinggi secara regional (Pulau Sulawesi) dan persentase penduduk miskin masih relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Nasional. Pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) diharapkan dapat secara intensif mengimplementasikan berbagai program dan
mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan bagi upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi
Selatan. Bersamaan dengan upaya itu, pemerintah daerah perlu menyusun road-map
penanggulangan kemiskinan daerah, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang. Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) juga perlu dibentuk dan diintensifkan di
seluruh wilayah kabupaten/kota.
� Penurunan jumlah persentase penduduk miskin berlangsung seiring dengan meningkatnya laju
pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat pengangguran terbuka. Namun ketimpangan
distribusi pendapatan, yang ditunjukkan oleh angka koefisien gini, cenderung meningkat. Ini
mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi juga dinikmati oleh penduduk miskin (kelompok
pendapatan terendah) namun penduduk kaya (kelompok pendapatan tertinggi) memperoleh
manfaat yang jauh lebih besar. Pembangunan ekonomi inklusif, pengembangan sektor hulu, sistem
penganggaran yang lebih berpihak kepada kaum miskin, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat,
perlu terus didorong ke arah yang lebih signifikan.
� Seperti halnya jumlah dan persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan juga menunjukkan penurunan secara
konsisten selama periode 2006-2010. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk
miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar
penduduk miskin juga semakin menyempit atau membaik.
� Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Toraja Utara merupakan daerah dengan persentase
penduduk miskin tertinggi di Sulawesi Selatan. Kebijakan dan program pengentasan kemiskinan
perlu lebih diintensifkan di ketiga kabupaten tersebut, dengan mendorong keterlibatan berbagai
mitra pembangunan, seperti perusahaan swasta, BUMN, LSM, lembaga donor, dsb.
� Pemerintah Sulawesi Selatan perlu mendesain program pembangunan daerah yang memberi
ruang bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin, untuk memperoleh pekerjaan dan
mendapatkan pendapatan secara berkesinambungan. Kebijakan semacam ini jauh lebih bisa
diandalkan ketimbang kebijakan yang populis dan program-program yang bersifat charity.
Pemerintah daerah perlu menfasilitasi keterlibatan berbagai pihak dalam upaya perbaikan taraf
hidup masyarakat, terutama penduduk miskin.
138
138 Bab 7 Analisis Isu Daerah
7.2. Analisis Lingkungan Hidup
Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup Sulawesi Selatan 2008-2013 diarahkan untuk mewujudkan
peningkatan kualitas lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah masalah yang sangat fundamental
bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Kualitas kehidupan sangat bergantung pada kualitas lingkungan
hidup. Pemerintah Sulawesi Selatan menyadari pentingnya kualitas lingkungan yang baik dan
merumuskan kebijakan Pengelolaan lingkungan hidup dalam RPJMD 2008-2013 yang menekankan
peningkatan kualitas lingkungan sedemikian rupa sehingga proses-proses alamiah secara optimal dapat
berlangsungnya dan memberikan manfaat bagi kehidupan.
Laju peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor utama meningkatnya tekanan pada lingkungan.
Pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan sebesar 1,3 persen per tahun mengakibatkan peningkatan
aktifitas dan sekaligus meningkatkan potensi pencemaran. Pertanian yang merupakan salah satu
aktifitas penting di Sulawesi Selatan menjadi penyumbang bahan cemaran dan residu pertanian pada
ekosistem perairan. Demikian juga industri merupakan sektor sekunder yang juga berkontribusi pada
peningkatan jumlah bahan cemaran. Rumah tangga selain meningkatkan permintaan terhadap alih
fungsi lahan hijau juga menghasilkan limbah secara signifikan.
Pencegahan dan penanggulangan bencana alam harus dilakukan secara terkoordinasi antar
kabupaten/kota. Belajar dari pengalaman di banyak tempat, sumber daya alam dan lingkungan sering
melewati batas administrasi. Wilayah Sulawesi Selatan sendiri cukup rentan dengan bencana longsor
dan banjir. Pengelolaan atas sumber daya harus mulai melibatkan seluruh daerah yang terkait. Sebagai
contoh, banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bila-Cenrana akan menggenangi Kabupaten Wajo, Sidrap,
dan Bone. Bencana tanah-longsor di kawasan hutan lindung Kabupaten Sinjai dan Gowa merusak
kawasan permukiman dan pertanian di dua kabupaten tersebut.
7.2.1 Belanja Urusan Lingkungan Hidup
Belanja urusan lingkungan hidup Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat. Meski demikian
mayoritas cenderung dibelanjakan untuk belanja pegawai. Belanja terkait lingkungan hidup tidak hanya
terdapat di Urusan Lingkungan Hidup, misalnya di Urusan Kehutanan, Kelautan, atau Pertanian. Analisis
ini mengambil data dari Urusan Lingkungan Hidup saja.
Pemerintah provinsi memiliki beberapa program pengendalian lingkungan hidup. Program
Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup merupakan satu dari delapan program
BLHD Sulawesi Selatan yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan
bencana alam. Jumlah APBD Sulsel yang dibelanjakan untuk Program ini tahun 2010 sebesar Rp 1,64
miliar dari total APBD-BLHD Sulsel sebesar Rp 8,84 miliar atau sebesar 18,5 persen. Kegiatan yang
terlaksana dalam Program ini adalah: (i) koordinasi penilaian kota sehat/ADIPURA, (ii) pengelolaan
limbah B3; (iii) koordinasi penyusunan AMDAL; (iv) pengelolaan laboratorium lingkungan hidup; dan (v)
penata-usahaan sarana laboratorium.
139
139 Bab 7 Analisis Isu Daerah
Sebagian besar kegiatan pada BLHD Provinsi bukan terkait pengendalian kerusakan lingkungan dan
bencana alam. Pada tahun 2010, dari 28 kegiatan yang terstruktur dalam 8 program, hanya beberapa
yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Beberapa
kegiatan yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam yaitu (i)
pengelolaan limbah B3, (ii) koordinasi penyusunan AMDAL, (iii) pengelolaan laboratorium lingkungan
hidup, (iv) Pengembangan dan pemantapan kawasan konservasi perikanan, (v) Penyusunan Rencana
Pengelolaan lingkungan hidup, (vi) Penyusunan status lingkungan hidup daerah, dan (vi), Gerakan
penghijauan dan konservasi alam. Jumlah biaya seluruhnya adalah sebesar Rp 2,5 miliar, atau 28,3
persen (DPA-BLHD Provinsi Sulsel, 2010). Sebagian besar alokasi anggaran pengendalian perusakan
lingkungan hidup dan bencana alam dikontribusi oleh Pemerintah Pusat (APBN) melalui sektor-sektor
terkait, seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Kementerian Kehutanan), Pengelolan Kawasan
Konservasi Laut (Kementerian kelautan dan Perikanan) dan Pelaksanaan AMDAL Kementerian
Lingkungan Hidup.
Gambar 7.9. Belanja Urusan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan, 2007-2009
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.
Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.
7.2.2 Gambaran Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan
Respon dari belanja untuk perbaikan lingkungan hidup baru dapat diukur beberapa tahun ke depan.
Analisis kinerja belanja urusan lingkungan hidup di daerah Sulawesi Selatan seharusnya dapat
menjelaskan perubahan laju perusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Tetapi, perubahan
parameter lingkungan hidup umumnya berlangsung dalam rentan waktu yang cukup lama sehingga
relatif sulit memantaunya dalam waktu singkat.
21 2543
6455
65 713345
43
4249
5755
6
17
29
4634
26
30
35%
45%
56%
36%
9%
19%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Mili
ar R
p
Pegawai Barang dan Jasa Modal % Pegawai % Barang dan jasa % Modal
140
140 Bab 7 Analisis Isu Daerah
Laju perbaikan kerusakan hutan lindung dan kawasan kritis masih relatif kecil dibandingkan dengan
laju kerusakannya. Pemerintah Sulawesi Selatan lewat Status Lingkungan Hidup Daerah (2009)
mengestimasi luas lahan kritis di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 sebesar 683 ribu hektar atau sekitar
15 persen dari total luas Sulawesi Selatan. Lahan-lahan kritis tersebut tersebar dalam kawasan hutan
seluas 370 ribu hektar dan di luar kawasan hutan seluas 313 ribu hektar. Dari jumlah ini Pemerintah
Sulawesi Selatan telah melakukan reboisasi sebanyak 53 ribu hektar, atau 7 persen saja. Jika data ini
dikaitkan dengan luas hutan negara yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan seluas 2,1 juta hektar
maka sekitar 20,5 persen dari luas hutan negara yang ada telah mengalami kerusakan.
Terjadi penurunan luasan mangrove secara signifikan. Data Dinas Kehutanan dan BLHD menyebutkan
mangrove di Sulawesi Selatan pada tahun 1980-an seluas dari 113 ribu hektar turun menjadi 23 ribu
hektar di tahun 2011. Terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 hektar dan hutan mangrove
sekunder seluas 22 ribu ha Luas areal mangrove di Indonesia diperkirakan sebesar 3,7 sampai 4,2 juta
hektar, dan 75 persen berada di Papua. Di Pulau Sulawesi sendiri luas mangrove diperkirakan hanya
sebesar 133.000 ha, atau 2 persen dari luas keseluruhan mangrove di Indonesia. Penurunan luasan
mangrove disebabkan utamanya oleh alih-fungsi yang berlebihan dan tak-terkendali kawasan mangrove
menjadi kawasan permukiman dan pertambakan. Pemerintah Sulawesi Selatan telah melakukan upaya
menekan laju kerusakan mangrove melalui Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan
berhasil merehabilitasi 5.920 hektar, menekan laju deforestitasi sebesar 10 persen. Selain itu,
Kabupaten Sinjai dan Wajo telah mengupayakan rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat yang
mampu merehabilitasi kawasan lebih besar 500 ha.
Kawasan terumbu karang mengalami
tekanan berat akibat praktek
penangkapan ridak ramah lingkungan.
Perairan laut Sulawesi Selatan memiliki
kawasan terumbu karang seluas 5.970
kilometer persegi, sebagian besar
berada dalam kondisi rusak atau kritis.
Diperkirakan terumbu karang mampu
menghasilkan stok sumberdaya ikan
sebesar 15-20 metrik ton per km2 per
tahun., Menurut estimasi, kerugian
pemerintah Indonesia akibat
pengeboman ikan (blast fishing)
sebesar US$ 370 miliar atau US$
90.000/km2 (Pet-Soede, 1999).
Beberapa Kabupaten memiliki
program perbaikan terumbu karang sendiri. Sebagai contoh, Kabupaten Pangkep dan Selayar melalui
program COREMAP II telah berhasil memperbaiki tutupan karang hidup di atas 5 persen per tahun.
Program ini selain mengintervensi langsung kepada pelaku perusak terumbu karang, juga memberikan
Gambar 7.10. Terumbu karang di Sulawesi Selatan dan
Indonesia Sebagian Besar Dalam Kondisi Rusak.
Sumber: Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin
(2006)
2
22
40
36
6
26
32
36
Lingkaran dalam: Sulawesi SelatanLingkaran luar: Nasional
Sangat baik
Baik
Rusak
Kritis
141
141 Bab 7 Analisis Isu Daerah
insentif untuk beralih dari kegiatan merusak karang menjadi kegiatan yang tidak merusak kawasan
terumbu karang di dua kabupaten
Sulawesi Selatan cukup rentan terhadap bencana banjir dan longsor. Sekitar 78 persen wilayah
Sulawesi Selatan memiliki topografi bergunung sampai berbukit dengan kemiringan lereng lebih besar
dari 40 persen. Daerah ini juga memiliki curah hujan tinggi dengan rata curah hujan bulanan sebesar 200
milimeter. Walaupun bencana longsor dan banjir terjadi pada tingkat lokal, penyebabnya seringkali
terbentang melewati daerah administrasi yang berbeda. Akibat jangka panjang dari rusaknya daerah
hulu dan aliran sungai akan mempengaruhi perkotaan di pesisir, menambah sedimentasi sungai dan
bendungan, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya beban pemeliharaan sumber daya dan
penanggulangan bencana pada anggaran pemerintah daerah.
7.2.3 Kesimpulan dan Rekomendasi
� Sebagian besar kegiatan pada Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi bukan terkait
pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam. Pada tahun 2010, dari 28 kegiatan yang
terstruktur dalam 8 program, hanya beberapa yang memiliki relevansi dengan pengendalian
kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Hal ini juga terlihat dari besaran belanjanya.
Belanjan urusan Lingkungan hidup meningkat 2 kali lipat dalam kurun 2005-2010, tetapi belanja
pegawai meningkat 3 kali lipat.
� Pemerintah sebaiknya memberikan insentif kepada orang atau perusahaan yang berhasil
menerapkan green activity. Kerusakan lingkungan hidup umumnya disebabkan oleh kesalahan
manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Program-program penanggulangan kerusakan
lingkungan sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Membangun pemahaman,
meningkatan sensitifitas dan kepedulian, serta mengembangkan budaya sadar-lingkungan menjadi
tahapan penting dalam mengelola lingkungan hidup. Sistem pemberian insentif bagi mereka yang
berhasil menerapkan green activity tidak hanya dalam bentuk penghargaan tetapi juga dalam
bentuk materi, seperti pengurangan pajak.
� Pemerintah seharusnya menerapkan biaya beban lingkungan atau pajak lingkungan bagi
perusahaan. Pencemaran sebagian besar disebabkan oleh aktifitas manusia, yaitu rumah tangga dan
industri. Penerapan biaya atau pajak lingkungan seharusnya mulai diperkenalkan. Pajak lingkungan
merupakan upaya menginternalisasi dampak lingkungan melalui mekanisme ekonomi untuk
mendukung mekanisme administrasi seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
� Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) seharusnya menyusun dan
mengimplementasikan Rencana Mitigasi Bencana berdasarkan potensi bencana masing-masing.
Bencana alam yang umumnya diakibatkan bukan oleh kesalahan manusia harus dapat diminimalkan
dampaknya melalui beberapa langkah mitigasi, antara lain menentukan kawasan rawan bencana,
menghindari terjadi kombinasi dengan faktor alam lainnya yang dapat meningkatkan kerugian dan
142
142 Bab 7 Analisis Isu Daerah
membangun jalur-jalur evakuasi ke lokasi yang lebih aman. Perencanaan mitigasi bencana sudah
menjadi keharusan yang merupakan penjabaran lebih operasional dari rencana mitigasi dalam
penataan ruang wilayah.
� Perencanaan penganggaran kebencanaan seharusnya dilakukan secara terkoordinasi antara
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini disebabkan pengelolaan sumber daya alam serta
bencana alam yang terjadi seringkali berdampak pada beberapa kabupaten/kota sekaligus. Daerah
yang berada di hilir atau pesisir akan menanggung dampak lebih besar dari bencana, sehingga tidak
dapat mengelola atau mencegah bencana tanpa ada upaya dan komitmen serupa dari daerah di
hulu.
7.3. Analisis Gender
7.3.1 Gambaran Umum Gender di Sulawesi Selatan,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di
Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan,
namun masih terjadi kesenjangan gender.
Hal ini ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan
Gender (IPG) masih di bawah rata-rata IPM
Sulawesi Selatan. Pada tahun 2009, IPG
mencapai 62,07 lebih tinggi dari tahun
sebelumnya, sementara IPM mencapai 70,82
point. Meskipun IPG berada dibawah rata-
rata IPM, namun perkembangan setiap tahun
cukup signifikan. Pada tahun 2005, IPG
berkisar pada point 57,4 meningkat cukup
signifikan menjadi 62,07 pada tahun 2009
atau mengalami peningkatan sebesar 4,67
point. Dengan mencermati indikator capaian
IPG, penyumbang terbesar tingginya IPG
terutama disebabkan oleh tingginya sumbangan pendapatan laki-laki berkisar 70,16 persen, sementara
perempuan hanya berkisar 29,84 persen. Rendahnya sumbangan pendapatan perempuan dan masih
banyaknya angka buta huruf perempuan juga menjadi penyebab rendahnya angka IPG. Untuk
mendorong IPG ketingkat capaian yang lebih tinggi maka perlu upaya peningkatan kesetaraan dan
keadilan gender.
Sementara itu, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) di Sulawesi Selatan menunjukkan
perbaikan selama periode 2005-2009, namun masih di bawah dari rata-rata Nasional. Pada
tahun 2005, IDG mengalami peningkatan dari 50 poin pada tahun 2005 menjadi 53,82 poin
pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 3,82 poin namun posisinya lebih rendah dari angka
Gambar 7.11. Perkembangan IPM dan IPG Sulawesi
Selatan, 2005-2010
Sumber: Pembangunan Berbasis Gender Kementerian PP
dan PA; BPS.
68.06 68.81 69.62 70.22 70.82
57.4 59 60.4 61.04 62.07
0
20
40
60
80
2005 2006 2007 2008 2009
IPM
IPG
143
143 Bab 7 Analisis Isu Daerah
nasional (63,52). Penyumbang terbesar
rendahnya IDG di Sulawesi Selatan adalah
rendahnya keterlibatan perempuan di
parlemen yang hanya mencapai 4,4 persen
pada tahun 2009 dan
merupakan terendah dari seluruh provinsi
lainnya di Indonesia.Rendahnya posisi IPG
dan IDG terhadap nasional menandakan
masih perlunya keseriusan pemerintah
daerah Sulawesi Selatan untuk
meningkatkan upaya pemberdayaan
perempuan.
Perbaikan IPG dan IDG pada tingkat provinsi
ternyata merupakan cerminan dari perbaikan IPG dan IDG pada 23 kabupaten di Sulawesi Selatan.
Kabupaten yang mengalami peningkatan terbesar untuk IPG selama dua tahun terakhir (2008-2009)
adalah Gowa dari 61,52 pada tahun 2008 menjadi 81,65 pada tahun 2009. Sementara Kabupaten/Kota
lainnya juga meningkat dengan point yang berkisar pada 0 – 2. Kabupaten Pinrang mempunyai
peningkatan IDG tertinggi yaitu dari 47,05 pada tahun 2008 menjadi 48,36 pada tahun 2009 atau
meningkat sebesar 1,31 point. IDG untuk kabupaten/kota lainnya hanya meningkat pada kisaran 0-1
point selama tahun 2008-2009.
Gambar 7.12. Perkembangan IDG Sulawesi Selatan
dan Nasional, 2005 – 2009
Sumber: Pembangunan Berbasis Gender Kementerian PP
dan PA; BPS.
Gambar 7.13 Indeks Pembangunan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota diProvinsi Sulawesi Selatan
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010.
61.3 61.8 62.1 62.27 63.52
50 51.8 52.6 52.9 53.82
0
10
20
30
40
50
60
70
2005 2006 2007 2008 2009
IDG NASIONAL IDG SULAWESI SELATAN
-10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00
2008
2009
144
144 Bab 7 Analisis Isu Daerah
7.3.2 Perspektif Gender di Wilayah Pesisir
Serapan tenaga kerja perempuan di provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2005 – 2009 besar
dan terus mengalami peningkatan, dari 71 persen di tahun 2005 menjadi 88 persen di tahun 2009. Bila
diamati lebih dalam, total angkatan kerja di tahun 2005 mencapai 1,2 juta hanya terserap sebesar 873
ribu atau 71 persen-nya. Angka ini terus meningkat di tahun 2006 dan 2007 menjadi 78 persen dan 82
persen, sementara untuk tahun 2008 dan 2009, tingkat serapannya mencapai 88 persen. Meski tingkat
serapan tenaga kerja perempuan cukup besar, namun kebanyakan dari mereka mendapat upah lebih
rendah dari tenaga kerja laki-laki dengan beban kerja yang sama. Hal ini terlihat pada capaian IPG
dimana sumbangan pendapatan perempuan hanya berkisar 29.84 persen, dibandingkan dengan laki-laki
yang sebesar 70.16 persen.
Gambar 7.14 Indeks Pemberdayaan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010.
0
10
20
30
40
50
60
70
2008
2009
145
145 Bab 7 Analisis Isu Daerah
Gambar 7.15. Tingkat Serapan Angkatan Kerja Perempuan di Sulawesi Selatan 2005 - 2009
Sumber: Data Olahan staf Bank Dunia dari Susenas.
Namun sebuah anomali terjadi pada kontribusi perempuan dalam pendapatan ekonomi rumah tangga
pesisir (khususnya di bidang perikanan laut), dimana kontribusi pendapatan istri lebih besar dari
suami. Keterlibatan perempuan dalam pencaharian nafkah di bidang perikanan meliputi seluruh
rangkaian kegiatan, yaitu produksi, pengolahan dan pemasaran. Sekitar 70 persen perempuan terlibat
dalam lebih dari satu kegiatan, misalnya pengolahan dan pemasaran. Berdasarkan data 2011, kontribusi
pendapatan istri dari kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran lebih besar 1.3 persen dari
suaminya. Sementara itu, kontribusi pendapatan istri dari kegiatan produksi dan pengolahan lebih besar
8,83 persen dari suaminya. Perbedaan paling besar terlihat pada kegiatan pengolahan dan pemasaran,
yaitu sebesar 18,53 persen. Namun pada kegiatan tunggal, yaitu pemasaran, kontribusi pendapatan istri
lebih rendah 11 persen dari suaminya.
Tabel 7.3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Persentase Kontribusi Perempuan Dalam
Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan
No. Jenis Kegiatan Pendapatan Rumah
tangga
Persentase Kontribusi
Suami Istri Anggota RT Lainnya
1. Produksi,Pengolahan dan
Pemasaran
2.757.150,- 43,00
44,30 6,25 6,45
2. Produksi dan Pengolahan 2,428,600,- 35,58 44,41 12.22 7.79
3. Pengolahan dan
Pemasaran
2.314.300,- 34,87 53,40 4.85 6,88
4. Pemasaran 2.752.777,- 52,06 41,06 3,18 3,70
Sumber: Data Primer PSKMP UNHAS, 2011.
Meski kontribusi pendapatan istri di sebagian besar kegiatan ekonomi rumah tangga pesisir lebih
besar dari suaminya, namun hal ini tidak selalu berbanding lurus dengan curahan tenaga yang
diberikan untuk mengurus kegiatan yang sama. Dengan pembagian kerja yang relatif jelas antara suami
dan istri pada ekonomi rumah tangga, terlihat curahan tenaga istri untuk kegiatan pengolahan dan
pemasaran memiliki selisih tertinggi sebanyak 153,56 jam per bulan dari curahan tenaga suami. Hal ini
874
1,074 1,229 1,220
-
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
2005 2006 2007 2008 2009
Rib
u
Total Tenaga Kerja Wanita Total Angkatan Kerja Wanita
146
146 Bab 7 Analisis Isu Daerah
berbanding lurus dengan kontribusi pendapatannya. Kondisi yang sama terlihat pada kegiatan produksi,
pengolahan dan pemasaran, dengan selisih 38,81 jam per bulan.
Namun bila melihat kegiatan produksi dan pengolahan serta kegiatan pemasaran, terdapat
ketidakwajaran curahan tenaga dengan kontribusi pendapatan. Pada kegiatan produksi dan
pengolahan, curahan tenaga istri lebih kecil dibanding suami dengan selisih sebesar 151,7 jam per bulan,
sementara pendapatan istri lebih besar. Ketidakwajaran yang sama terjadi pada kegiatan pemasaran,
dimana curahan tenaga istri lebih besar 47,78 jam per bulan dibanding dengan suaminya, tetapi
pendapatannya lebih rendah. Pada kegiatan pemasaran, kondisi curahan tenaga istri yang lebih besar
dari perolehan pendapatan, sesuai dengan kondisi keseluruhan yang tercatat dalam indikator IPG.
Namun ketidakwajaran kegiatan produksi dan pengolahan perlu dianalisa lebih jauh untuk mengetahui
apa yang terjadi dibaliknya.
7.3.3 Kesimpulan dan Rekomendasi
� Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender di Sulawesi Selatan menunjukkan
perbaikan setiap tahun, namun masih dibawah IPM Sulawesi Selatan dan rata-rata Nasional. Hal
ini mengindikasikan bahwa masih terdapat kesenjangan gender di Sulawesi Selatan. Ada beberapa
rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan IPG dan IDG Sulawesi Selatan: (i) Upaya perwujudan
kesetaraan dan keadilan gender melalui implementasi PUG masih perlu ditingkatkan, (ii) Perlu
pengembangan program dan kegiatan responsif gender untuk hidup sehat, (iii) Perlu pengembangan
program dan kegiatan pendidikan informal yang responsif gender untuk meningkatkan persentase
melek huruf, (iv) Perlu peningkatan sosialisai dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program
Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun yang responsif gender. (v) Perlu pengembangan
program dan kegiatan pendidikan politik terutama perempuan.
Tabel 7.4. Rata-rata Alokasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan Nafkah Rumah
Tangga Dalam Sehari, 2011
No. Jenis Kegiatan Nafkah
Rumahtangga
Alokasi Tenaga (Jam/Hari)
Suami Istri Anggota Rumahtangga
Laki-laki Perempuan
1. Produksi, Pengolahan dan
Pemasaran
12,27
(368,33)
13,56
(407,14)
10,33
(310)
10,66
(320)
2. Produksi dan Pengolahan 14,8
(444,5)
9,75
(292,8)
12,08
(362,5)
7,7
(231,66)
3. Pengolahan dan Pemasaran 6,2
(187,14)
11,35
(340,7)
4,88
(146,6)
10.66
(206,66)
4. Pemasaran 8,9
(267,77)
10,51
(315,55)
8,55
(256,66)
9,10
(297,5)
Sumber: Data Primer PSKMP UNHAS, 2011.
Catatan: Angka dalam kurung adalah rata-rata alokasi tenaga kerja dalam satu bulan (jam/bulan).
147
147 Bab 7 Analisis Isu Daerah
� Persentase kepala rumah tangga perempuan di Sulawesi Selatan berdasarkan golongan
pendapatan relatif merata, tetapi rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan (kuintil 1)
cenderung meningkat (sub-bab 7.1). Hal ini terlihat dari persentase rumah tangga yang dikepalai
perempuan dalam kelompok pendapatan terendah, cenderung meningkat dalam kurun 2005 hingga
2009. Dalam kaitan itu, direkomendasikan perlunya pengembangan program dan kegiatan yang
dapat mendukung peningkatan pendapatan kepala rumah tangga perempuan miskin, misalnya
dalam bentuk pelatihan dan pembinaan, pemberian bantuan modal, peningkatan akses pemasaran
produk yang dihasilkan.
� Berbeda dengan kondisi umum, dimana pendapatan perempuan lebih rendah daripada laki-laki,
perempuan pesisir di Sulawesi Selatan justru memiliki kontribusi yang lebih besar untuk ekonomi
rumah tangga. Hanya saja kegiatan yang mereka lakukan hanya terbatas pada kegiatan informal
produksi, pengolahan dan pemasaran ikan. Untuk meningkatkan ketrampilan dan pendapatan
perempuan, berikut beberapa rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah setempat: (i) perlu
pengembangan program dan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas perempuan dalam hal teknis
dan manajemen usaha, (ii) perlu pengembangan teknologi khususnya teknologi pengolahan yang
efektif dan efisien, (iii) perlu peningkatan kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam
pengembangan industri perikanan, terutama dalam diversifikasi usaha industri perikanan.
150
150 Lampiran
Lampiran A. Apakah yang dimaksud dengan Analisis Belanja Pemerintah Sulawesi Selatan?
Melihat pengalaman dari pelaksanaan Analisis Belanja Pemerintah dan Penyelarasan Kapasitas
(PEACH) di berbagai daerah di kawasan timur Indonesia Pemerintah Sulawesi Selatan berinisiatif untuk
melakukan program serupa.
Pengalaman PEACH di provinsi lain menunjukkan bahwa analisis partisipatif atas belanja pemerintah
merupakan titik awal yang baik untuk memperbaiki kualitas pengelolaan belanja pemerintah untuk
melaksanakan fungsi dan tanggung jawab yang baru diperoleh pemerintah daerah di indonesia yang
mulai terdesentralisasi.
Sebagai tanggapan, Bank Dunia bekerja sama dengan tim peneliti yang diorganisasi Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin melakukan analisis
menyeluruh atas pengelolaan belanja pemerintah, yang dihubungkan dengan suatu program kegiatan
untuk memperkuat kapasitas pemerintah-pemerintah daerah. Tujuan yang diharapkan dari PEACH
Sulawesi Selatan adalah perbaikan alokasi sumber daya anggaran yang mengarah pada penyediaan
layanan publik yang lebih baik di tingkat daerah yang disesuaikan dengan preferensi dan pertimbangan
di tingkat daerah. Hal tersebut dapat dicapai dengan keterlibatan para pengambil keputusan di tingkat
daerah serta para pemangku kepentingan lainnya dalam pengidentifkasian prioritas belanja pemerintah
dan pengelolaan keuangan. Tujuan utama dari komponen PEA adalah:
(i) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pengelolaan belanja pemerintah di suatu provinsi
khususnya sehubungan dengan proses perencanaan dan penganggaran parsitipatif dan pemberian
layanan dasar.
(ii) mengembangkan strategi-strategi untuk memperbaiki pengelolaan keuangan Sulawesi Selatan untuk
mencapai layanan umum dan penanaman modal umum yang lebih baik untuk merangsang
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
(iii) membentuk sistem yang lebih baik untuk menganalisis dan mengawasi anggaran daerah.
• membentuk jaringan rekan imbangan dari universitas-universitas lokal di Sulawesi Selatan dan
instansi pemerintah daerah yang akan memimpin pelaksanaan PEACH Sulawesi Selatan dan dengan
demikian akan membangun kapasitas untuk dapat melaksanakan analisis belanja pemerintah secara
mandiri di masa mendatang;
• memberikan bantuan teknis/peningkatan kapasitas pada jaringan ini untuk melakukan analisis
serupa di masa mendatang.
151
151 Lampiran
Lampiran B: Catatan Metodologi
Seluruh data Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang digunakan dalam laporan ini
diperoleh dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dalam bentuk Peraturan
Daerah. Data tahun 2005-2009 menggunakan APBD Realisasi, untuk tahun 2010 menggunakan APBD
Perubahan, dan untuk tahun 2011 menggunakan APBD Rencana/Pokok. Data APBD telah disesuaikan
menggunakan inflasi dengan tahun dasar 2010.
Pengkategorian belanja sektor adalah sebagai berikut: (1) data belanja sektor infrastruktur merupakan
penggabungan belanja urusan pekerjaan umum, urusan permukiman, dan urusan perhubungan; (2) data
belanja sektor pendidikan merupakan penjumlahan belanja urusan pendidikan, urusan kebudayaan, dan
urusan perpustakaan; (3) data belanja sektor kesehatan adalah belanja urusan kesehatan; dan (4) data
belanja sektor pertanian merupakan penjumlahan dari belanja urusan pertanian dan urusan ketahanan
pangan.
Data makro mengenai perkembangan pembangunan daerah Sulawesi Selatan, data kinerja keluaran dan
kinerja hasil sektor strategis, data komoditas unggulan, dan data terkait dengan isu-isu strategis,
sebagian besar bersumber dari data publikasi BPS, antara lain Perkembangan Beberapa Indikator Utama
Sosial Ekonomi Indonesia, Data Strategis BPS, Sulawesi Selatan Dalam Angka, Indikator Kesejahteraan
Sosial, Hasil Sensus Penduduk 2010.
Sebagian data sosial ekonomi lainnya diperoleh dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) hasil
olahan Bank Dunia, UNDP, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan pemerintah
provinsi dan kabupaten kota di Sulawesi Selatan.
152
Lampiran C : Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi
Tabel C.1. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Kesimpulan Rekomendasi
Agenda Pembangunan kabupaten/kota telah mampu menyesuaikan dengan
Agenda Provinsi seperti tertuang dalam RPJMD, tetapi belum dapat
menyesuaikan dengan Agenda Pembangunan Nasional dalam RPJMN.
� Pemerintah daerah perlu secara serius mempersiapkan seluruh dokumen perencanaan
penganggaran baik pada level daerah maupun dan khususnya level SKPD.
� Sebaiknya lebih fokus pada mempersiapkan kelengkapan dokumen perencanaan tahunan,
yakni RKPD dan Renja-SKPD karena keduanya lebih banyak diabaikan.
� Pemerintah daerah melalui Bappeda, sebaiknya menyelenggarakan forum untuk
menciptakan kesepahaman tentang pentingnya setiap dokumen perencanaan tersedia
bagi setiap SKPD.
Baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Renstra dan Renja SKPD
belum semua secara konsisten menjabarkan program prioritas dari RPJMD
dan RKPD. Bahkan terdapat sejumlah daerah yang tidak memiliki dokumen
perencanaan tahunan.
� Pemerintah daerah harus menerapkan mekanisme reward dan punishment bagi SKPD yang
berhasil atau lalai dalam menyelesaikan RKPD dan Renja-nya.
Masih banyak daerah yang terlambat jadwal dalam proses perencanaan dan
penganggarannya. Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-
SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD.
� Hal ini tidak hanya dipengaruhi proses dalam lembaga eksekutif semata, tetapi juga
disebabkan proses dalam lembaga legislatif. Direkomendasikan agar penguatan
kelembagaan dan sumber daya manusia mulai mengikutsertakan lembaga legislatif.
Kualitas pelaksanaan dan hasil dokumentasi Musrenbang masih tergolong
rendah, ditunjukkan dengan masih kurangnya usulan masyarakat melalui
Musrenbang yang diakomodasi.
� Pelaksanaan Musrenbang harus konsisten dan disiplin sesuai kalender perencanaan pada
setiap tingkatan pemerintahan.
� Pendampingan dan fasilitasi pelaksanaan Musrenbang, khususnya pada tingkat kecamatan
dan desa/kelurahan yang merekam proses dan hasil usulan, dan mengkerucutkan
rekomendasi.
� Audit hasil Musrenbang untuk melihat sejauh mana hasil akhir Musrenbang
mengakomodasi usulan-usulan awal.
Pada sejumlah daerah kabupaten/kota, keterkaitan RKPD dan RAPBD/APBD
masih tergolong rendah, ditunjukkan dengan terdapatnya sejumlah program
prioritas dalam RKPD dan Renja SKPD yang tidak dianggarkan dalam
RAPBD/APBD, demikian juga sebaliknya.
� Rekomendasinya adalah TAPD dan PAL menjadikan RKPD dan Renja SKPD sebagai rujukan
utama dalam penyusunan DPA dan RAPBD/APBD.
Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat perencana dan pengelola
keuangan daerah belum memadai dalam penerapan anggaran berbasis
kinerja, baik pada tingkat daerah maupun pada tingkat SKPD.
� Penempatan SDM aparat perencana pembangunan yang memiliki latar belakang
keilmuan perencanaan pembangunan atau pernah mengikuti diklat fungsional
perencanaan pembangunan.
� Penempatan SDM aparat pengelolaan keuangan daerah yang memiliki latar belakang
keilmuan ekonomi atau spesifik akuntansi keuangan publik dan atau minimal pernah
mengikuti diklat pengelolaan keuangan daerah.
Pengawasan (audit) internal dan eksternal masih lebih banyak memberikan
perhatian pada dokumen anggaran dibandingkan dokumen perencanaan.
� Terkait dengan hal tersebut yang perlu dilakukan adalah pelaksanaan audit eksternal dan
internal terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, serta keterkaitan di
153
153 Lampiran
antara keduanya.
Pemerintah Provinsi Sulawesi, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare
memiliki nilai yang baik dalam analisa PKD
� Ketiga pemerintahan tersebut bisa dijadikan acuan atau pembelajaran bersama bagi
kabupaten/kota lainnya paling tidak dari sisi ketersediaan dokumennya.
Tabel C.2. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Pendapatan dan Belanja Daerah
PENDAPATAN
Kesimpulan Rekomendasi
Pendapatan Daerah riil di Sulawesi Selatan meningkat dan sebagian besar
dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, namun penyumbang terbesar
terhadap Pendapatan Daerah adalah Dana Perimbangan
• Mengkaji dan memperluas potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meskipun nilainya
kecil dengan tetap memperhatikan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru,
• Memperbaiki sistem administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk
menekan kebocoran,
• Melatih aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan
penetapan target yang berbasis pada potensi,
• Memberikan insentif kepada pemungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara
proporsional,
• Mengkaji faktor-faktor penyebab rendah dan tidak stabilnya PAD yang bersumber dari
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah,
• Mengevaluasi efektifitas peraturan daerah (perda) yang terkait dengan upaya
peningkatan PAD,
• Mengevaluasi kesesuaian antara layanan yang diberikan kepada masyarakat dengan tarif
retribusi yang ditetapkan
Dana bagi hasil pajak yang diterima pemerintah provinsi meningkat, tetapi
untuk kabupaten/kota jumlahnya tidak signifikan.
� Kajian tentang potensi sumber-sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah di tingkat
kabupaten/kota
� Evaluasi proporsi transfer DBH pajak kepada pemerintah kabupaten/kota.
Ketimpangan pendapatan per kapita antar kabupaten/kota di Sulawesi
Selatan bervariasi dan cukup tinggi yang dipengaruhi oleh PAD dan Dana
Perimbangan.
� daerah tidak bisa mengandalkan transfer dari pusat terus menerus dan harus
meningkatkan sumber PAD-nya antara lain yang memiliki PAD per kapita rendah seperti
Jeneponto, Gowa, dan Bone. Atau yang Dana Perimbangannya besar dan PAD-nya kecil
seperti Barru dan Bantaeng. Pemerintah di Sulawesi Selatan mengalami defisit hampir setiap tahun. • Mencari sumber-sumber pinjaman dan obligasi yang berkategori lunak,
• Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola utang sehingga tidak
membuat daerah terjebak dalam utang.
BELANJA
Kesimpulan Rekomendasi
Belanja riil pemerintah daerah di Sulawesi Selatan meningkat selama periode
2005-2010, akan tetapi proporsi belanja pegawai terhadap total belanja
daerah pemerintah lebih dominan daripada proporsi belanja modal
• Perlu pengelolaan belanja daerah pada aspek perencanaan, pelaksanaan dan monitoring
dan evaluasi
• Pemerintah daerah dapat melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai
baru) 2-3 tahun kedepan
• Melakukan penambahan tenaga yang teknis yang masih terbatas seperti tenaga akuntan,
154
154 Lampiran
tenaga kesehatan dan insinyur dengan jumlah yang lebih kecil dari pegawai yang
pensiun.
Porsi belanja pegawai terbesar dikontribusi oleh sektor pendidikan dan
memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun
• Tidak Perlu ada penambahan jumlah guru dalam beberapa tahun ke depan, cukup dengan
melakukan redistribusi tenaga guru yang ada saat ini dari perkotaan yang relatif cukup
banyak ke daerah pedesaan yang relatif masih kekurangan atau dari daerah kab/kota yang
rasio guru murid lebih baik ke daerah kab/kota yang kurang baik.
• Kebijakan pemberian sertifikasi guru perlu lebih selektif agar beban anggaran bisa
dikurangi dan harus diikuti dengan pemantauan dan pemberian sanksi terhadap guru yang
telah menerima tetapi belum menunjukkan peningkatan kinerja (kualitas pelayanan
pendidikan) ke tingkat yang lebih baik.
Alokasi belanja per sektor cukup bervariasi dan cukup timpang, dimana sektor
pendidikan, infrastruktur dan pemerintahan umum masih menyerap alokasi
belanja paling besar sementara sektor kesehatan dan pertanian memperoleh
alokasi yang relatif lebih kecil
• Proporsi pengalokasian anggaran untuk sektor-sektor strategis seperti kesehatan dan
pertanian perlu ditingkatkan ke jumlah yang lebih signifikan.
• Selain sektor kesehatan dan pertanian, sektor-sektor yang terkait dengan fungsi ekonomi
(pengembangan usaha kecil dan menengah dan pemberdayaan masyarakat desa, tenaga
kerja, kelautan dan perikanan dan perdagangan) perlu ditingkatkan alokasi anggarannya
dengan jumlah yang signifikan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Alokasi belanja yang terkait upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender masih kecil
• Perlu peningkatan komitmen penentu kebijakan pada masing-masing SKPD terkait
dengan implementasi strategi Pengarusutamaan Gender (PUG).
• Para perencana anggaran pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) perlu mendapat
sosialisasi dan pelatihan terkait PUG agar anggaran yang disusun responsif gender.
• Perlu kajian/penelitian tentang besaran anggaran yang responsif gender untuk seluruh
SKPD terkait.
Tabel C 3. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Sektoral
PENDIDIKAN
Kesimpulan Rekomendasi
Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja sektor pendidikan relatif
sangat besar, tetapi proporsi belanja modal relatif kecil.
� Proporsi belanja pegawai di sektor pendidikan perlu ditekan ke level yang lebih rendah,
agar proporsi belanja modal dapat diangkat ke tingkat yang lebih signifikan.
� Untuk menekan proporsi belanja pegawai, perlu kebijakan moratorium penerimaan
pegawai untuk beberapa tahun ke depan atau setidaknya menempuh kebijakan zero
growth jumlah pegawai.
� Belanja pegawai pada pos belanja langsung harus lebih diefisienkan.
Peningkatan belanja pendidikan di Sulawesi Selatan telah berhasil mendorong
kinerja keluaran terutama rasio guru-murid, tetapi belum berhasil mendorong
kinerja hasil. Terutama rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf pada
tingkat setara dengan target RPJMD dan angka nasional.
� Belanja pendidikan perlu semakin ditajamkan arah penggunaannya untuk mendorong
kabupaten/kota dengan kinerja rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf di
kabupaten yang rendah angkanya.
� Perlu rekruitmen guru di tingkat SMA, tetapi tidak perlu di tingkat SD dan SMP.
� Menjangkau dan mamasukkan ke bangku sekolah seluruh anak usia wajib belajar.
� Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan dengan wilayah
bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan Gowa.
155
155 Lampiran
� Perlu kebijakan realokasi guru dari kabupaten/kota dengan rasio guru-murid rendah ke
kabupaten/kota dengan rasio guru-murid tinggi.
Porsi anggaran untuk kebijakan pendidikan gratis relatif cukup besar dan
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
� Mengingat kebijakan ini sudah diimplementasikan sejak tahun 2008, maka perlu dilakukan
evaluasi menyeluruh mengenai efektifitas kebijakan pendidikan gratis.
� Kebijakan pendidikan gratis perlu dikorelasikan dengan target kinerja keluaran dan kinerja
hasil yang ingin dicapai atau dikoreksi.
Terdapat ketidaksetaraan gender dalam kinerja hasil pembangunan
pendidikan di Sulawesi terutama pada kelompok usia di atas 29 tahun.
� Pemerintah memberlakukan Kejar Paket A pada kelompok umur di atas 29 tahun. � Kelompok perempuan yang buta huruf ini juga diberi keahlian lain sebagai bagian dari
pemberdayaan.
Kebijakan pendidikan gratis telah berhasil meringankan beban pada anak usia
sekolah yang telah mengakses pendidikan tetapi belum efektif mendorong
anak usia sekolah yang belum terjangkau pendidikan untuk masuk ke bangku
sekolah
� Kebijakan pendidikan gratis perlu diikuti dengan bentuk intervensi lain yang bisa memaksa
anak usia sekolah untuk masuk ke bangku sekolah, khususnya pada anak yang terhambat
secara geografis (berlokasi di pegunungan serta pesisir, dan kepulauan) dan secara
ekonomi-budaya (yang putus sekolah karena mencari nafkah).
� Harus ada payung hukum untuk kerjasama pemerintah provinsi dan kabupaten dalam
merealisasikan hal ini.
Rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan antar kelompok
pendapatan menunjukkan kesenjangan yang cukup timpang. Kelompok
pendapatan termiskin di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap dan Luwu
mengeluarkan anggaran untuk pendidikan yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok pendapatan yang sama di kabupaten lain.
� Mengurangi beban pengeluaran untuk pendidikan bagi kelompok pendapatan termiskin
misalnya lewat subsidi pendidikan keluarga, diprioritaskan di Kabupaten Selayar, Bone,
Sidrap, dan Luwu..
� Kebijakan pendidikan gratis harus memastikan keberpihakannya pada kelompok
pendapatan termiskin. Hal ini bisa terlihat
KESEHATAN
Kesimpulan Rekomendasi
Angka Harapan Hidup Sulawesi Selatan masih lebih rendah dari nasional dan
Angka Kematian Ibu dan Bayi masih lebih tinggi.
� Sosialisasi secara intensif kepada rumah tangga miskin tentang pentingnya perbaikan gizi
pada balita (termasuk jenis makanan yang mengandung gizi yang tinggi dan bagus untuk
dikonsumsi anak-anak).
� Penanganan secara khusus pada daerah daerah rawan gizi buruk dan daerah-daerah yang
terbanyak jumlah balita yang menderita gizi buruk.
� Pemerataan cakupan pemeriksaan kehamilan dan perawatan pasca melahirkan antara di
perdesaan dan kepada kelompok profesi sebagai petani, nelayan, dan buruh.
� Sosialisasi gender secara intensif bagi masyarakat khususnya ibu hamil (istri) dan suami.
Proporsi belanja kesehatan terhadap belanja daerah hanya berkisar 8 sampai
10 persen per tahun.
� Mengupayakan proporsi yang lebih seimbang antara belanja pegawai dengan belanja
modal dan belanja barang dan jasa.
� Belanja kesehatan juga diharapkan untuk program yang tidak hanya bersifat pengobatan,
tetapi juga program yang bersifat pencegahan.
Masih ditemukan adanya kendala pembiayaan dalam program Kesehatan
Gratis.
� Perlu diciptakan suatu model pembiayaan lintas batas baik antar provinsi maupun antar
kabupaten/kota.
� Selain itu perlu dilakukan penyeragaman terhadap biaya jasa layanan kesehatan gratis
yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota
Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten,
sementara tenaga kesehatan justru terkonsentrasi di perkotaan.
� Mendistribusi ulang tenaga kesehatan dari daerah perkotaan.
� Memberikan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di pelosok.
156
156 Lampiran
INFRASTRUKTUR
Kesimpulan Rekomendasi
Arus penumpang dan barang di pelabuhan udara meningkat sementara di
pelabuhan laut cenderung menurun.
• Pemerintah Sulawesi Selatan konsisten membenahi infrastruktur pendukung bandar
udara seperti terminal penumpang, loket kendaraan, lapangan parkir, dan kenyamanan
dalam bandar udara, untuk mengantisipasi pertumbuhan.
Cakupan infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas
provinsi di Sulawesi, beberapa kabupaten masih memiliki tantangan.
• Kabupaten Selayar, daerah Luwu Raya, perlu secara konsisten mengalokasikan belanja
infrastruktur yang signifikan disebabkan sebaran penduduk dan kondisi geografinya.
Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap air bersih cenderung
memburuk.
• Meningkatkan penyadartahuan kepala rumah tangga terhadap sanitasi dan air bersih
• Menghilangkan diskriminasi pelayanan terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan
Peningkatan belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan berdampak pada
bertumbuhnya panjang jalan di kabupaten/kota.
• Pemerintah daerah harus memperhatikan pemeliharaan kualitas jalan selain dari total
ruas panjang jalan karena kualitas jalan di Sulawesi Selatan memburuk.
Terjadi peningkatan kualitas irigasi di lahan yang telah dialiri. � Karena ada hubungan positif antara cakupan irigasi dengan produktifitas lahan, maka
direkomendasikan agar pemerintah fokus pada peningkatan rasio jaringan irigasi dan
kualitasnya daripada mendorong ekstensifikasi lahan
PERTANIAN
Kesimpulan Rekomendasi
Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, terlihat dari besarnya belanja pertanian
di kabupaten sentra produk unggulan. Tetapi mayoritas masih untuk belanja
pegawai.
� Belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan
atau produksi (belanja modal) selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan
Secara umum, kinerja pencapaian produksi pertanian pada setiap subsektor
menunjukkan kinerja yang baik dan sejalan dengan target pencapaian yang
ditetapkan dalam RPJMD, terutama pada komoditas-komoditas yang menjadi
andalan Sulawesi Selatan.
� Mengimplementasikan secara konsisten program-program pokok yang telah ditetapkan
dalam RPJMD
� Mengembangkan tiga komoditas prioritas utama yakni beras, jagung dan ternak kearah
peningkatan value added.
� Memperbaiki kualitas pengembangan komoditas beras dan jagung dalam bentuk
pengembangan produk organik. Produk organik dapat meningkatkan pendapatan petani
melalui penurunan biaya produksi dan peningkatan harga produk.
� Mengembangkan produk pertanian organic melalui integrasi dengan pengembangan
ternak.
� Mengintegrasikan padi dan jagung dengan ternak sapi untuk menghasilkan pupuk
organik, pakan ternak dari sisa tanaman, dan sumber energi (biogas) sehingga biaya
produksi ketiga komoditas tersebut lebih rendah dan kualitas dan harga produk lebih
tinggi.
� Mengembangkan udang organik untuk memenuhi persyaratan permintaan internasional
dan sekaligus memulihkan atau memperbaiki ekosistem pertambakan, sebaiknya
dikembangkan agar kegiatan budidaya daya udang dapat bangkit kembali, lestari dan
berkelanjutan.
� Mengolah komoditas kakao dan rumput laut untuk menghasilkan produk yang siap
dikonsumsi.
� Mengembangkan pengolahan bahan baku menjadi produk yang siap dikonsumsi agar
tercipta nilai tambah atau pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja.
157
157 Lampiran
Perkembangan kontribusi sektor pertanian cenderung menurun dengan
tingkat pertumbuhan relatif kecil dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya
di Sulawesi Selatan. Selain itu, ketergantungan tenaga kerja sektor pertanian
cukup tinggi.
� Melakukan pemetaan komoditas unggulan melalui sinergitas stakeholder pembangunan
bidang pertanian.
� Melakukan diversifikasi produksi pasca panen untuk meningkatkan nilai tambah (value
added) sektor pertanian.
� Meningkatkan investasi sektor publik pada sektor pertanian yang memiliki akselerasi dan
daya dorong tinggi.
Tabel C.4. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Komoditas Unggulan
BELANJA PERTANIAN
Kesimpulan Rekomendasi
Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, terlihat dari besarnya belanja pertanian
di kabupaten sentra produk unggulan. Tetapi mayoritas masih untuk belanja
pegawai.
• Belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan
atau produksi (belanja modal) selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan
KOMODITAS JAGUNG
Kesimpulan Rekomendasi
Produksi jagung yang dicapai pada tahun 2010 sebesar 1,4 juta ton atau 93,3
pesen dari target produksi minimal 1,5 juta pada tahun 2013.
• Pengembangan komoditas dapat diarahkan pada produksi jagung organik untuk
peningkatan kualitas dan penurunan biaya produksi dalam rangka meningkatkan
pendapatan petani
KOMODITAS KAKAO
Kesimpulan Rekomendasi
Dengan kebijakan dan berbagai program kakao telah memperlihatkan
kecenderungan peningkatan produksi dan produktivitas (tahun 2009 dan
2010), walaupun belum menyamai produksi dan produktivitas tahun 2006.
• Masih perlu upaya rehabilitasi, peremajaan dan intensifikasi melalui perbaikan bibit,
pemeliharaan dan penanganan pasca panen tanaman kakao yang belum tersentuh
GERNAS.
• Penguatan kelembagaan petani sangat dibutuhkan sebagai satu upaya menuju
“kemandirian’’ petani kakao.
• Merintis industri perkakaoan karena Sulawesi Selatan memiliki keunggulan mutlak
dibanding daerah lain.
Anggaran program pengembangan kakao mayoritas bersumber dari pusat. • Pemerintah Sulawesi Selatan harus lebih berkomitmen mengalokasikan dana untuk
program ini mengingat Sulawesi Selatan saat ini memiliki keunggulan mutlak dan sedikit
kompetitor pada produk kakao.
KOMODITAS SAPI
Kesimpulan Rekomendasi
Pencapaian target populasi sejuta ekor sapi diperkirakan dapat dicapai pada
tahun 2013
• Intervensi yang bisa dilakukan pada subsektor peternakan hendaknya diprioritaskan untuk
memacu kegiatan inseminasi buatan, perbaikan kawin alami, penanganan gangguan
reproduksi dan kesehatan ternak sapi, penyelamatan betina produktif, peningkatan dan
pengembangan pakan sapi, peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan, penyediaan induk
atau bibit sapi serta pengendalian lalu lintas ternak
158
158 Lampiran
KOMODITAS RUMPUT LAUT
Kesimpulan Rekomendasi
Peningkatan produksi rumput laut di setiap kabupaten masih berfluktuasi.
Potensi peningkatan produksi rumput laut jenis G. verrucosa ini masih cukup
besar. Lahan tambak belum dimanfaatkan seluruhnya secara optimal.
• Intervensi dan dukungan Pemerintah dapat dilakukan melalui pengelolaan balai benih
untuk memproduksi bibit unggul yang menjadi kendala utama petani rumput laut.
• Selain itu, Pemerintah dapat memperbaiki kelembagaan petani (produsen) dan pedagang
rumput laut untuk menjamin stabilitas harga yang wajar.
KOMODITAS UDANG
Kesimpulan Rekomendasi
Trauma terhadap mewabahnya penyakit pada Udang Windu mengakibatkan
petani cederung tidak membudidayakan Udang Windu. Hal ini menyebabkan
target pertumbuhan produksi tidak tercapai
• Pemerintah perlu merevisi targetnya, karena dengan praktek intensif (penyebaran 30 ekor
per meter persegi) resiko penyakit makin tinggi.
• Alternatif lain adalah pemerintah harus dapat mencarikan solusi mengurangi resiko
praktek tambak intensif
Produksi benur masih di bawah kebutuhan. • Produksi benur di pembenihan harus dimaksimalkan, saat ini produksinya baru separuh
kapasitas maksimum.
• Produksi benur maksimum juga masih di bawah kebutuhan, pemerintah perlu membangun
pusat pembenihan baru.
Mayoritas lahan tambak di Sulawesi Selatan justru belum dimanfaatkan. • Untuk meningkatkan produksi, sebaiknya pemerintah Sulawesi Selatan mengoptimalkan
lahan yang telah ada tanpa membuka lahan baru sehingga menjaga kualitas lingkungan
Tabel C.5. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Isu-Isu Strategis
KEMISKINAN
Kesimpulan Rekomendasi
Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menunjukkan
penurunan secara konsisten selama periode 2006-2010.
• Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) diharapkan dapat secara intensif
mengimplementasikan berbagai program dan mengalokasikan anggaran yang lebih
signifikan bagi upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan.
• Pemerintah daerah perlu menyusun road-map penanggulangan kemiskinan daerah, baik
untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Penurunan jumlah persentase penduduk miskin berlangsung seiring dengan
meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat
pengangguran terbuka.
• Pembangunan ekonomi inklusif, pengembangan sektor hulu, sistem penganggaran yang
lebih berpihak kepada kaum miskin, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, perlu terus
didorong ke arah yang lebih signifikan
Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Toraja Utara merupakan daerah dengan
persentase penduduk miskin tertinggi di Sulawesi Selatan.
• Kebijakan dan program pengentasan kemiskinan perlu lebih diintensifkan di ketiga
kabupaten tersebut, dengan mendorong keterlibatan berbagai mitra pembangunan,
seperti perusahaan swasta, BUMN, LSM, lembaga donor, dsb.
Seperti halnya jumlah dan persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan
juga menunjukkan penurunan.
• Pemerintah Sulawesi Selatan perlu mendesain program pembangunan daerah yang
memberi ruang bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin, untuk memperoleh
pekerjaan dan mendapatkan pendapatan secara berkesinambungan.
LINGKUNGAN HIDUP
Kesimpulan Rekomendasi
159
159 Lampiran
Kerusakan lingkungan hidup umumnya disebabkan oleh kesalahan manusia
dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
� Pemerintah daerah memberlakukan sistem pemberian insentif bagi mereka yang berhasil
menerapkan green activity tidak hanya dalam bentuk penghargaan tetapi juga dalam
bentuk materi, seperti pengurangan pajak.
� Program-program penanggulangan kerusakan lingkungan sebaiknya mempertimbangkan
aspek sosial-budaya.
� Pemerintah seharusnya menerapkan biaya beban lingkungan atau pajak lingkungan bagi
perusahaan.
Bencana alam yang umumnya diakibatkan bukan oleh kesalahan manusia
harus dapat diminimalkan dampaknya melalui beberapa langkah mitigasi.
� Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) seharusnya menyusun
dan mengimplementasikan Rencana Mitigasi Bencana berdasarkan potensi bencana
masing-masing.
� Perancanaan penganggaran kebencanaan seharusnya dilakukan secara terkoordinasi
antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
GENDER
Kesimpulan Rekomendasi
Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender di Sulawesi
Selatan menunjukkan perbaikan setiap tahun, namun masih dibawah IPM
Sulawesi Selatan dan rata-rata Nasional.
� Upaya perwujudan kesetaraan dan keadilan gender melalui implementasi PUG masih
perlu ditingkatkan.
� Perlu pengembangan program dan kegiatan responsif gender untuk hidup sehat.
� Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan informal yang responsif gender
untuk meningkatkan persentase melek huruf.
� Perlu peningkatan sosialisai dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program
Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun yang responsif gender.
� Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan politik terutama perempuan .
Persentase kepala rumah tangga perempuan di Sulawesi Selatan berdasarkan
golongan pendapatan relatif merata, tetapi rumah tangga miskin yang
dikepalai perempuan (kuintil 1) cenderung meningkat.
� Perlunya pengembangan program dan kegiatan yang dapat mendukung peningkatan
pendapatan kepala rumah tangga perempuan miskin, misalnya dalam bentuk pelatihan
dan pembinaan, pemberian bantuan modal, peningkatan akses pemasaran produk yang
dihasilkan
Berbeda dengan kondisi umum, dimana pendapatan perempuan lebih rendah
daripada laki-laki, perempuan pesisir di Sulawesi Selatan justru memiliki
kontribusi yang lebih besar untuk ekonomi rumah tangga.
� Perlu pengembangan program dan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas perempuan
dalam hal teknis dan manajemen usaha.
� Perlu pengembangan teknologi khususnya teknologi pengolahan yang efektif dan efisien.
� perlu peningkatan kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan
industri perikanan, terutama dalam diversifikasi usaha industri perikanan.
160
160 Lampiran
Lampiran D. Master Table
Penerimaan (dalam Juta Rupiah)
Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
PAD 942,001.34 1,008,203.93 1,220,302.07 1,362,714.82 1,324,291.63 1,421,948.68 1,678,104.86
Pajak Daerah 788,082.73 858,238.32 1,045,960.00 1,175,115.54 1,113,479.35 1,249,259.11 1,458,737.07
Retribusi Daerah 67,862.44 72,125.64 69,473.10 80,279.44 107,203.72 116,787.85 104,677.65
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 56,965.96 48,333.58 56,871.14 60,321.99 63,180.00 51,668.70 59,865.60
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah 29,090.21 29,506.39 47,997.83 46,997.85 40,428.55 4,233.03 54,824.55
Dana Perimbangan 664,380.44 881,261.70 996,194.59 984,540.08 974,494.22 974,603.24 1,026,668.93
Dana Bagi Hasil Pajak 178,449.70 218,835.02 208,126.72 194,906.57 210,088.04 239,088.44 218,090.33
Bagi Hasil Bukan Pajak 22,182.83 - 50,774.81 28,513.99 9,672.18 - -
Dana Alokasi Umum 463,747.91 662,426.68 737,293.06 722,464.41 706,942.90 706,276.40 769,075.30
Dana Alokasi Khusus - - - 38,655.11 47,791.09 29,238.40 39,503.30
BAGIAN LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH 17,996.58 34,763.18 8,879.77 4,400.50 19,693.50 58,966.73 -
Pendapatan Hibah - - 8,879.77 4,400.50 19,693.50 - -
Dana Darurat - - - - - - -
Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya - - - - - - -
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus - - - - - 58,966.73 -
Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya - - - - - - -
Bagi Hasil Bukan Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya - - - - - - -
Pendapatan lainnya - - - - - - -
Total penerimaan 1,624,378.36 1,924,228.80 2,225,376.43 2,351,655.40 2,318,479.35 2,455,518.65 2,704,773.79
Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
PAD 523,329.72 683,061.73 872,730.55 760,129.12 852,488.18 986,831.14 1,058,879.76
Pajak Daerah 182,937.55 220,944.25 199,728.55 219,215.26 246,833.15 277,107.19 416,733.30
Retribusi Daerah 225,871.35 250,889.52 249,750.24 267,763.61 292,905.59 406,973.94 396,341.77
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 31,431.22 38,932.33 205,215.21 60,086.13 123,512.43 72,008.69 68,247.58
161
161 Lampiran
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah 83,089.61 172,295.63 218,036.55 213,064.12 167,085.69 230,741.32 177,557.10
Dana Perimbangan 6,336,443.73 9,712,394.68 10,561,106.68 10,207,549.15 10,195,909.11 9,957,751.97 10,332,751.82
Dana Bagi Hasil Pajak 769,623.46 940,638.82 945,924.26 867,387.70 845,706.43 1,092,153.94 939,538.08
Bagi Hasil Bukan Pajak 67,566.48 14,202.62 222,499.82 116,795.89 42,152.99 42,957.22 -
Dana Alokasi Umum 5,114,836.30 7,900,121.12 8,207,052.44 7,921,597.01 7,954,415.46 7,867,174.91 8,294,197.08
Dana Alokasi Khusus 384,417.49 857,432.12 1,185,630.17 1,301,768.55 1,353,634.24 955,465.90 1,099,016.67
BAGIAN LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH 520,461.67 516,286.95 879,734.98 1,085,257.53 1,046,667.15 2,481,123.47 1,814,257.18
Pendapatan Hibah - - 121,374.62 70,034.71 125,073.53 169,880.85 187,356.42
Dana Darurat - - 311,341.72 150,643.94 58,900.09 32,363.00 -
Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya - - 290,327.00 399,416.94 299,953.60 437,931.52 470,125.44
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus - - 108,269.76 161,410.62 309,311.20 1,388,309.87 935,491.21
Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya - - 26,995.15 197,333.84 241,845.97 270,986.85 220,624.50
Bagi Hasil Bukan Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya - - 21,426.73 106,417.48 11,582.75 181,651.39 659.60
Pendapatan lainnya - - - - - - -
Total penerimaan 7,380,235.12 10,911,743.36 12,313,572.21 12,052,935.80 12,095,064.44 13,425,706.59 13,205,888.76
162
162 Lampiran
Belanja berdasarkan Klasifikasi Ekonomi (dalam Milyar Rupiah)
Belanja berdasarkan Sektor (dalam Milyar Rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Provinsi
Pemerintahan Umum 401 435 473 491 466 512 510
Pertanian 42 43 83 95 100 123 125
Perikanan dan Kelautan 14 16 24 24 32 30 31
Pertambangan dan Energi 12 12 18 17 21 19 18
Kehutanan dan Perkebunan 30 31 20 19 21 21 20
Perindutrian dan Perdagangan 37 43 48 27 33 27 27
Perkoperasian 19 38 18 19 21 18 16
Penanaman Model 9 10 11 11 11 13 17
Ketenagakerjaan 18 17 19 18 19 20 21
Kesehatan 150 152 167 223 214 232 239
Pendidikan dan Kebudayaan 83 116 117 104 108 110 108
Sosial 16 18 18 18 22 29 35
Penataan Ruang 127 107 81 0 69 20 16
Permukiman 0 0 0 69 0 0 30
Pekerjaan Umum 138 155 217 311 252 304 340
Perhubungan 36 33 40 25 46 39 46
Lingkungan Hidup 9 9 10 9 10 12 11
TAHUN 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Provinsi
Pegawai 469 467 523 634 639 632 723
Barang dan Jasa 358 450 448 493 493 576 559
Modal 316 316 393 353 313 334 345
Lain-Lain 492 581 888 1,000 805 1,100 1,149
Total 1,635 1,814 2,252 2,480 2,250 2,642 2,776
Kabupaten
Pegawai 3,162 3,502 5,543 5,875 0 7,475 7,763
Barang dan Jasa 1,316 1,844 1,739 1,825 0 2,181 2,306
Modal 1,445 2,666 3,657 4,070 0 3,400 2,622
Lain-Lain 424 496 760 1,056 0 995 799
Total 6,347 8,508 11,700 12,826 0 14,052 13,491
Total
Pegawai 3,631 3,969 6,066 6,509 6,766 8,108 8,487
Barang dan Jasa 1,674 2,294 2,187 2,318 2,476 2,757 2,865
Modal 1,761 2,982 4,051 4,423 4,043 3,734 2,967
Lain-Lain 916 1,077 1,649 2,056 1,481 2,096 1,948
Total (Triliun Rp.) 8.0 10.3 14.0 15.3 14.8 16.7 16.3
163
163 Lampiran
Kependudukan 0 0 0 0 0 0 0
Olahraga 0 0 0 0 1 14 17
Kepariwisataan 0 0 0 0 0 0 0
Pertanahan 0 0 0 0 0 0 0
Transfer ke daerah bawahan 492 581 888 1,000 805 1,100 1,149
Total 1,635 1,814 2,252 2,480 2,250 2,642 2,776
Kabupaten/Kota
Pemerintahan Umum 2,275 2,856 3,127 3,432 2,881 3,149 3,532
Pertanian 145 239 361 379 329 369 386
Perikanan dan Kelautan 69 109 129 142 115 139 153
Pertambangan dan Energi 22 25 31 32 50 31 35
Kehutanan dan Perkebunan 57 69 81 83 98 89 92
Perindutrian dan Perdagangan 60 55 57 67 55 56 42
Perkoperasian 19 22 59 49 57 75 59
Penanaman Model 2 1 4 4 6 7 11
Ketenagakerjaan 29 35 35 38 40 43 33
Kesehatan 508 687 1,052 1,155 1,315 1,507 1,386
Pendidikan dan Kebudayaan 1,585 1,913 3,392 3,599 4,052 5,028 4,893
Sosial 26 36 63 63 90 82 102
Penataan Ruang 106 211 114 131 112 102 59
Permukiman 97 87 108 56 45 78 72
Pekerjaan Umum 714 1,400 2,002 2,177 2,243 1,925 1,457
Perhubungan 64 78 106 105 117 131 120
Lingkungan Hidup 51 78 106 143 127 136 145
Kependudukan 72 71 67 67 57 57 59
Olahraga 0 1 4 10 22 20 32
Kepariwisataan 25 38 39 39 23 28 19
Pertanahan 0 0 3 1 6 6 4
Transfer ke daerah bawahan 424 496 760 1,056 676 995 799
Total 6,347 8,508 11,700 12,826 12,516 14,052 13,491
Belanja Pemerintah Pusat yang Terdekonsentrasi ke Provinsi Sulawesi Selatan (dalam Milyar Rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009
PELAYANAN UMUM 356 213 173 113 128
PERTAHANAN 0 0 0 0 0
KETERTIBAN DAN KEAMANAN 0 2 0 3 13
EKONOMI 2,126 2,864 2 4,023 4,850
LINGKUNGAN HIDUP 58 175 3,776 166 258
PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM 2,193 719 174 2,975 4,392
KESEHATAN 1,255 2,387 1,164 949 932
PARIWISATA DAN BUDAYA 54 55 2,023 53 104
AGAMA 15 19 54 0 0
PENDIDIKAN 4,978 7,199 0 9,145 14,730
KEPENDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN SOSIAL 250 334 7,569 146 143
164
164 Lampiran
Pendapatan Per Kapita Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan Tahun 2010
PAD
DAU DAK Bagi Hasil Lain-lain Pajak Retribusi Keuntungan
Perusahaan Daerah PAD Lain Makassar 100,208 47,016 4,572 10,167 481,021 34,161 133,018 277,201
Parepare 47,475 230,675 12,544 53,184 2,068,333 181,520 383,524 859,358 Palopo 32,010 158,032 6,169 21,781 1,881,928 147,808 156,866 407,775
Selayar 14,077 23,213 47,136 64,190 2,126,037 292,610 343,411 507,071
Bulukumba 22,156 60,695 2,533 47,878 970,771 129,006 100,082 322,432
Bantaeng 12,949 21,555 18,263 39,916 1,459,381 172,100 190,451 418,866 Jeneponto 7,568 12,734 7,989 15,098 919,950 126,987 170,886 315,395
Takalar 10,003 79,760 14,675 31,097 1,129,618 161,527 85,448 383,762
Gowa 12,488 44,911 6,429 4,257 660,839 89,662 46,861 246,617
Sinjai 11,489 29,953 6,115 32,342 1,290,891 169,579 155,848 287,628
Maros 38,077 52,111 7,290 34,074 1,102,309 145,715 109,981 126,149 Pangkep 129,100 49,280 29,559 33,394 1,242,718 144,372 97,512 68,908
Barru 17,480 24,048 13,743 30,531 1,600,566 196,582 182,111 708,725
Bone 10,436 34,041 2,719 20,251 755,249 97,112 87,237 76,334
Soppeng 10,513 41,138 4,514 35,108 1,484,178 154,466 131,905 386,076
Wajo 11,412 24,521 15,138 59,184 948,345 128,115 200,472 319,753 Sidrap 14,352 70,980 12,914 91,547 1,170,159 137,110 289,706 675,339
Pinrang 12,597 63,163 15,780 22,306 1,040,167 138,088 112,520 349,885
Enrekang 9,486 37,833 15,091 86,094 1,399,266 168,793 224,352 583,754
Luwu 10,755 40,005 5,637 21,805 1,101,664 151,557 65,943 249,458
Tator 9,428 91,401 4,531 11,612 1,340,718 222,443 199,313 359,103 Luwu Utara 12,279 66,719 3,010 17,311 1,193,001 141,134 127,887 312,963
Luwu Timur 62,332 74,112 12,352 59,013 982,624 115,894 383,499 510,143
165
165 Lampiran
Belanja per Kapita Urusan Strategis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan
Tahun 2010
Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Pertanian Perikanan
Makassar 483,404 79,663 172,513 8,122 -
Parepare 1,245,430 501,069 1,183,034 73,589 -
Palopo 1,030,699 461,994 166,662 46,963 31,327
Selayar 844,522 293,471 607,271 175,938 87,558
Bulukumba 666,298 174,182 237,623 49,229 17,067
Bantaeng 877,680 192,562 368,483 95,185 18,748
Jeneponto 768,791 204,582 226,209 66,097 25,854
Takalar 783,535 304,185 172,917 59,993 62,037
Gowa 542,739 108,259 246,661 25,041 9,091
Sinjai 745,934 135,610 399,293 78,208 36,565
Maros 670,624 198,673 94,121 41,499 20,678
Pangkep 861,749 249,923 323,208 38,869 41,495
Barru 946,856 192,871 576,024 55,803 28,532
Bone 287,220 97,975 141,806 20,010 16,770
Soppeng 738,900 210,189 252,185 67,349 -
Wajo 524,631 131,103 393,383 31,208 16,514
Sidrap 820,480 263,573 393,203 135,293 -
Pinrang 724,747 148,508 275,996 63,080 23,117
Enrekang 950,941 747,750 553,116 112,780 -
Luwu 657,378 179,177 130,891 24,483 27,420
Tator 595,598 209,852 215,792 59,279 8,976
Luwu Utara 582,249 297,893 222,384 52,092 21,760
Luwu Timur 647,623 320,835 483,981 75,004 25,883
KANTOR BANK DUNIA JAKARTA
Gedung Bursa Efek Indonesia Menara II, Lt. 12-13Jln. Jenderal Sudirman Kav. 52-53Jakarta – 12190Telp. (+6221) 5299 3000Faks (+6221) 5299 3111
Laporan ini dicetak pada Bulan Januari 2012
Semua foto pada halaman sampul merupakan Hak Cipta © Guntur Sutiyono.
Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur merupakan kerjasama tim peneliti Universitas Hasanuddin, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, dan staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat Dewan Eksekutif Bank Dunia, maupun pemerintah yang mereka wakili.
Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang terdapat dalam laporan ini. Batasan, warna, angka, dan informasi lain yang tercantum pada tiap peta dalam laporan ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum suatu wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut.
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai laporan ini, silahkan hubungi Bastian Zaini ([email protected]).