Meningkatkan Akses TerhadapJasa Keuangan di Indonesia

10
Improving Access to Financial Services in Indonesia Executive Summary Meningkatkan Akses Terhadap Jasa Keuangan di Indonesia Ringkasan Eksekutif EDISI KONFRENSI

description

The objective of this report, whose key feature is a nationwide household survey of access to financial services, is to provide data, analysis, and recommendations that can assist the authorities as well as other stakeholders such as the financial services industry in getting an insight into access to financial services in Indonesia.

Transcript of Meningkatkan Akses TerhadapJasa Keuangan di Indonesia

Improving Access to Financial Services in Indonesia

Executive Summary

CONFERENCE EDITION

Meningkatkan Akses Terhadap Jasa Keuangan di Indonesia

Ringkasan Eksekutif

EDISI KONFRENSI

wb350881
Typewritten Text
52032 v1

THE WORLD BANK OFFICE JAKARTA

Indonesia Stock Exchange Building, Tower II/12-13th Fl.

Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53

Jakarta 12910

Tel: (6221) 5299-3000

Fax: (6221) 5299-3111

THE WORLD BANK

The World Bank

1818 H Street N.W.

Washington, D.C. 20433 USA

Tel: (202) 458-1876

Fax: (202) 522-1557/1560

Email : [email protected]

Website : www.worldbank.org

Printed in December 2009

Improving Access to Financial Services in Indonesia is a product of staff of the World Bank with the Financial Support from the Dutch

Government, The fi ndings, interpretation and conclusion expressed herein do not necessarily refl ect the views of the Board of Executive

Directors of the World Bank or the government they represent.

The World Bank does not guarantee the accuracy of the data included in this work. The boundaries, colors, denomination and other

information shown on any map in this work do not imply any judgment on the part of the World Bank concerning the legal status of

any territory or the endorsement of acceptance of such boundaries.

This executive summary is for discussion during the conference “Enhancing Access to Formal Financial Services in Indonesia”, 9-10

December 2009 in Jakarta, Indonesia. Do not cite without expressed permission of the World Bank.

Improving Access to Financial Services in Indonesia 1

Ringkasan Eksekutif

Akses terhadap jasa keuangan formal saat ini telah diakui sebagai salah satu faktor penting yang mendukung

usaha pengentasan kemiskinan di banyak negara. Serangkaian literatur telah membuktikan bahwa

peningkatan akses masyarakat akan jasa keuangan memiliki pengaruh yang signifi kan di dalam usaha

pengentasan kemiskinan. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam penggunaan jasa keuangan merupakan

isu penting pada agenda kebijakan beberapa negara berkembang1 yang memiliki sistem perbankan dan

keuangan yang belum maju dan seringkali hanya mau melayani nasabah yang berpenghasilan tinggi atau

perusahaan besar. Penyebaran jasa keuangan yang tidak merata ini akan menghambat pertumbuhan dan

perkembangan sejumlah usaha kecil dan keluarga miskin. Saat ini, telah tumbuh sebuah kesadaran sosial

bahwa peningkatan akses terhadap jasa keuangan formal akan memberikan manfaat yang melingkupi

sektor swasta dan sosial. Perluasan jangkauan layanan keuangan akan membantu pertumbuhan ekonomi

dan dapat memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan. Penyediaan akses terhadap jasa keuangan

berarti memperbaiki kondisi seseorang dalam berbagai dimensi, meningkatkan partisipasi semua pihak

dalam kegiatan ekonomi, serta menciptakan dan memperluas pangsa pasar lembaga keuangan. Perbaikan

akses akan jasa keuangan membutuhkan partisipasi aktif pihak penyedia dan pengguna jasa, baik yang

berasal dari sektor publik maupun swasta, serta perubahan budaya berbagai institusi terkait. Pengalaman

beberapa negara lain telah menunjukkan bahwa dengan informasi yang memadai (siapa yang memiliki

akses terbatas dan penyebabnya), akan mempermudah penyesuaian kebijakan dan desain produk yang

dapat mendorong peningkatan akses, terutama melalui dukungan teknologi baru.

Pemerintah Indonesia menempatkan isu ini ke dalam posisi yang penting dan menyadari kurangnya akses

akan jasa keuangan sebagai sebuah hambatan dalam pembangunan. Hal ini mendorong terbentuknya

kebijakan-kebijakan dari berbagai institusi terkait yang mendukung peningkatan akses terhadap jasa

keuangan. Salah satu hambatan utama dalam usaha perbaikan akses, terutama bagi keluarga, adalah

minimnya keberadaan data dan analisis menyeluruh tentang kebutuhan pengguna jasa yang sebenarnya

(persepsi tentang jasa keuangan saat ini, akses apa saja yang dimiliki, produk atau jasa yang mereka

butuhkan). Ketersediaan informasi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar yang cukup bagi para

pemangku kebijakan dan pengembang produk keuangan di setiap segmen pasar untuk mencapai tujuan

yang diinginkan. Saat ini, besarnya ketersediaan data dan analisis yang terkait dengan akses kredit kepada

Usaha Kecil dan Menengah (UKM)2, tidak diimbangi secara proporsional disisi akses kepada jasa keuangan

yang lebih luas (tabungan, asuransi).

1 Lihat, Beck, Demirguc-Kunt and Martinez Peria (2004), (2005) and (2006). Banking the Poor (2009c), Studi akses kepada jasa keuan-gan: Brazil (2004), India (2006c), Nepal (2007b), and Pakistan (2009b)

2 World Bank (2006e),“Making the New Indonesia Work for the Poor,”; World Bank (2006):“Revitalizing the Rural Economy: An assess-ment of the investment climate faced by non-farm enterprises at the District level” ; Penelitian GTZ tentang BPR: See http://www.profi .or.id/; FAO and IFAD tentang rural fi nance: http://www.ruralfi nance.org/ and http://www1.deptan.go.id/kln/FAO%20in%20%20Indonesia.htm. ILO mengenai pekerja migran: See http://www.ilobkk-migration.org/, IFC/GTZ, and CGAP (2009d), ADB (2007): “Low Income Households’ Access to Financial Services” (2007).

Improving Access to Financial Services in Indonesia2

Laporan ini bertujuan – dengan menempatkan survei akses keuangan rumah tangga nasional sebagai

fi tur utamanya – untuk menyediakan data, analisis, dan rekomendasi yang dapat membantu otoritas

keuangan dan pihak terkait lainnya (industri jasa keuangan), di dalam memahami kondisi akses jasa

keuangan di Indonesia. Struktur laporan ini diawali dengan pembahasan dari sisi penawaran jasa keuangan

(aksesibilitasnya), yang diikuti oleh analisis sisi permintaan akan berbagai jasa keuangan tersebut. Pembahasan

kemudian dilanjutkan kepada berbagai hambatan regulasi, yang dengan sedikit penyesuaian, berpotensi

untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penggunaan jasa keuangan. Kemudian, akan dibahas

berbagai topik terkait yang sedang menjadi perhatian penentu kebijakan saat ini, seperti Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah (UMKM), TKI, dan mobile banking. Dalam jangka pendek, laporan ini dimaksudkan untuk

menyediakan informasi kepada para pembuat kebijakan dan industri keuangan mengenai proporsi antara

masyarakat yang memiliki dan yang tidak memiliki akses kepada berbagai jasa keuangan, termasuk berbagai

faktor penghambatnya. Tujuannya adalah untuk mengidentifi kasi – secara spesifi k – berbagai tindakan yang

dapat mengurangi hambatan akses bagi keluarga miskin, terutama yang efektif dari sisi biaya.

Hasil Survei dari Sisi Permintaan akan Jasa Keuangan

Akses terhadap jasa keuangan formal hanya tersedia bagi setengah penduduk Indonesia. Walau melebihi

negara-negara seperti Cina, Pakistan, Bangladesh, dan Filipina, namun, posisi Indonesia tidak lebih baik dari

negara-negara seperti Sri Lanka, Thailand, dan Malaysia.

Gambar 1: Proporsi Populasi dengan Akses Kepada jasa Keuangan

Proporsi Populasi dengan AksesKepada Jasa Keuangan%

100

80

60

40

20

0

BangladeshChina

India

IndonesiaKorea

MalaysiaNepal

Pakistan

Phillippines

Singapore

SriLangka

Thailand

Sumber: World Bank 2008; Nenova, Niang, and Ahmad (2009); Survey akses keuangan rumah tangga Indonesia

Bank umum – yang mendominasi sektor keuangan Indonesia – hanya melayani sebagian kecil keluarga

di Indonesia. Sepertiga dari penduduk Indonesia bahkan tidak memiliki tabungan (baik di sektor formal

maupun informal), dan masuk ke dalam kategori fi nancially excluded, terpinggirkan dari jasa tabungan (lihat

gambar 2 di bawah). Kurang dari setengah penduduk di Indonesia menabung di bank, dan dua pertiga dari

jumlah penabung di bank juga menabung di institusi keuangan lainnya. Dengan fakta tersebut jelas bahwa

sebenarnya sektor informal melayani lebih banyak nasabah dibandingkan sektor perbankan.

Gambar 2: Akses kepada Jasa Tabungan

68% Financially Included 32% Financially Excluded

0% 50% 100%

Di bank: 47% Tidak menabung: 32%

Di institusi Formal lainnya: 3%

Hanya sektor Informal: 18%

Improving Access to Financial Services in Indonesia 3

Hanya 17% dari total penduduk Indonesia yang meminjam dari bank, dan sekitar sepertiga lainnya meminjam

dari sektor informal. Berdasarkan hal ini, sekitar 40% penduduk Indonesia termasuk ke dalam kategori

fi nancially excluded, terpinggirkan dari akses kredit (lihat Gambar 3 di bawah ini). Alasan utama untuk tidak

meminjam adalah karena ketidaklengkapan dokumen; yang mengindikasikan ketidaktersediaannya jaminan

sebagai masalah kedua.

Gambar 3: Akses kepada Pinjaman

60% F inancially Includ ed 40% F inancially Excluded

Dari Bank

Dari Sektor Informal

Tidak Meminjam

0% 50% 100% Dari Sumber Formal Lainnya Secara Sukarela

Jasa keuangan yang dianggap paling penting oleh rumah tangga adalah tabungan di bank. Alasan utama

untuk memiliki tabungan di bank adalah ‘alasan keamanan’; sementara alasan utama untuk tidak memilikinya

adalah ‘ketidakcukupan penghasilan’ atau ‘tidak memiliki pekerjaan’. Pinjaman dari bank juga penting bagi

rumah tangga, tetapi bukan merupakan prioritas utama. Penggunaan kredit masih sangat terkonsentrasi

pada sektor informal; yang terdiri dari berbagai sumber seperti majikan, keluarga, teman, dan lainnya.

Secara keseluruhan, berbagai temuan diatas menggarisbawahi pentingnya pengembangan aset dan

kewajiban (deposito dan kredit) berbagai institusi jasa keuangan, yang secara bersamaan diikuti dengan

usaha untuk meningkatkan tingkat penghasilan pemilik simpanan/deposito melalui berbagai kebijakan

pembangunan ekonomi. Hal tersebut juga menunjukkan tantangan utama yang dihadapi oleh sistem

keuangan formal di Indonesia, terutama bank, adalah di dalam pengembangan basis nasabah yang

signifi kan, guna menjangkau porsi penduduk yang lebih luas. Mereka yang masuk ke dalam kategori

fi nancially excluded, yaitu, mereka yang tidak memiliki tabungan maupun pinjaman merupakan populasi

yang berasal dari kalangan miskin tidak memiliki pendidikan yang layak, tinggal di pedesaan di luar pulau

Jawa, dan tidak memiliki usaha non-pertanian. Secara persentase, penduduk di luar pulau Jawa memiliki

kemungkinan dua kali lebih besar untuk tidak memiliki tabungan maupun pinjaman, daripada penduduk

di pulau Jawa.

Akses fi sik untuk menjangkau jasa keuangan formal, hanya menjadi masalah bagi sebagian masyarakat.

Sekitar 95% penduduk menyatakan bahwa mengunjungi bank secara fi sik adalah tidak sulit (atau bahkan

sangat mudah). Namun, hal ini tidak berlaku bagi penduduk desa di luar pulau Jawa terutama yang

mengandalkan transportasi air sebagai alat transportasi utama. Perlu dicatat bahwa ternyata waktu tempuh

untuk mencapai cabang bank terdekat masih relatif lebih baik dibandingkan waktu tempuh untuk mencapai

layanan publik lainnya seperti rumah sakit, sekolah, atau fasilitas kesehatan lainnya (puskesmas).

Sebuah solusi sederhana dan berbiaya rendah bagi para peminjam yang menginginkan suku bunga kredit

yang lebih kecil adalah dengan membuka tabungan. Bank dan lembaga keuangan mikro menetapkan suku

bunga kredit di kisaran 30% per tahun, dan menawarkan suku bunga yang lebih rendah untuk mereka yang

memiliki rekening tabungan di bank. Sementara suku bunga pinjaman dari sektor lain, seperti majikan, teman,

maupun tetangga, relatif lebih tinggi. Oleh karena itu, usaha untuk memfasilitasi keluarga miskin agar dapat

memiliki tabungan di bank adalah solusi sederhana untuk menjembatani mereka kepada sistem keuangan

formal dan memungkinkan mereka untuk memperoleh suku bunga pinjaman yang lebih rendah.

Nasabah cukup merespon perubahan tarif jasa pada produk keuangan, termasuk biaya layanan yang lebih

rendah pada rekening tabungan. Akan tetapi, permintaan produk keuangan (tabungan) bersifat price inelastic,

karenanya bank perlu mempertimbangkan dengan hati-hati akan manfaat dan kerugian yang diperoleh dari

Improving Access to Financial Services in Indonesia4

proses penurunan biaya jasa. Kecenderungan kebijakan bank dalam penentuan suku bunga deposito dan

biaya administraasi saat ini telah menyebabkan kurangnya minat nasabah kecil untuk menabung. Salah satu

pilihan kebijakan untuk mengatasi hal ini adalah dengan mendorong bank untuk menawarkan layanan ‘no

frills account’, atau rekening ‘ekonomis’, (beberapa bank sudah melakukannya, sementara sebagian bank besar

dibawah koordinasi Bank Indonesia telah menyepakati peluncuran rekening semacam ini pada tahun 2010

mendatang). Beberapa negara di dunia tercatat telah mengimplementasikan skema ini, walaupun dengan

metode yang berbeda. Pilihan kebijakan lainnya adalah dengan mendorong kemajuan di bidang regulasi dan

teknologi (seperti mobile banking) yang memungkinkan semua penyedia jasa keuangan dapat menjangkau

lebih banyak nasabah dengan biaya yang lebih rendah. Pengalaman di negara lain telah menunjukkan,

meski mobile banking memiliki dampak yang signifi kan terhadap layanan jasa sistem pembayaran, namun

pengaruhnya terhadap layanan keuangan lainnya cenderung lebih kecil. Inovasi lain yang memungkinkan,

terutama karena kondisi geografi s Indonesia, adalah dengan memfokuskan pada kemitraan antara pihak

bank dengan berbagai bentuk outlet-outlet koresponden non-bank dalam penyebaran jasa keuangan.

Kemungkinan produk baru yang akan menarik nasabah adalah contractual savings untuk penduduk kota

atau mobile savings untuk penduduk pedesaan. Sementara untuk memperluas jangkauan jasa perbankan

hingga ke strata sosial yang lebih rendah, layanan mobile banking dapat dijadikan pilihan – walaupun jika

pada awal perkembangannya, layanan ini biasanya hanya digunakan sebagai fasilitas pembayaran. Saat ini,

kawasan pedesaan yang termiskin sekalipun memiliki akses jaringan telepon seluler yang memadai. Survei

yang dilakukan juga telah mengungkapkan tentang keberadaan minat yang cukup besar akan layanan

mobile banking diantara pemilik telepon seluler, walaupun mereka tidak memiliki rekening tabungan di

bank.

Aspek Utama dari Ketersediaan Jasa Keuangan saat ini

Walaupun jumlah bank telah menurun drastis sejak krisis 1997/98, bank-bank tersebut telah memperluas

jangkauan layanan keuangan melalui pendirian cabang dan penggunaan ATM yang lebih banyak. Sementara

itu, penyedia jasa keuangan formal lainnya seperti koperasi dan perum pegadaian juga telah memperluas

layanan mereka dengan membuka cabang-cabang baru. Pendapatan per kapita dan populasi (per luas

tanah) memiliki hubungan positif didalam menjelaskan jangkauan sistem perbankan umum di tingkat

provinsi. Pengecualian, terjadi di Jakarta (over serviced) dan Kalimantan Timur (yang memiliki wilayah yang

luas, kaya akan sumber daya, namun under serviced).

Ketika membahas tentang bank, perlu untuk diingat bahwa, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) memiliki jangkauan

layanan yang bersifat regional dan jauh lebih kecil daripada bank umum, sehingga hanya sebagian kecil bank

umum yang memberikan kontribusi besar dan langsung bagi pembiayaan keluarga miskin. Sayangnya,

mereka tetap berfokus pada pelayanan nasabah (miskin) yang memiliki kemampuan fi nansial tertentu.

Meski demikian, bank umum tetap memberikan kontribusinya secara tidak langsung, salah satunya, melalui

program kerjasama dengan BPR (linkage program). Selain itu, bank yang berjumlah besar -- termasuk BRI

Unit Desa yang merupakan lembaga keuangan mikro terbesar di dunia -- adalah pesaing yang agresif dan

oportunis dalam mencari pangsa pasar baru yang menjanjikan. Hal tersebut menjadikan bank umum

sebagai lembaga yang paling mungkin untuk menerapkan penggunaan teknologi dalam pengurangan

biaya sehingga memiliki keunggulan bersaing dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Walau

demikian, hal tersebut hanyalah bagian dari solusi jangka pendek untuk meningkatkan akses karena pada

saat ini bank umum kurang menjangkau lapisan bawah masyarakat Indonesia.

Sebaliknya, BPR dan lembaga keuangan kecil lainnya memiliki prospek yang lebih menjanjikan sebagai solusi

untuk jangka pendek hingga menengah. Walaupun beragam jenisnya, lembaga ini seringkali menjadi yang

terdepan dalam penyediaan layanan jasa keuangan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta

rumah tangga miskin, di berbagai pelosok Indonesia. Namun, masih banyak hal yang bisa dilakukan dalam

hal regulasi untuk memperluas jangkauan mereka ke segmen masyarakat lapisan bawah di Indonesia.

Improving Access to Financial Services in Indonesia 5

TABLE OF CONTENTS

Perbankan syariah (dan pembiayaan syariah) – meski saat ini memiliki pangsa pasar yang kecil – telah

berkembang dengan cepat selama satu dekade terakhir. Lembaga semacam ini menjadi penting karena

mereka secara eksklusif menjadi penyedia jasa bagi sebagian besar lapisan bawah masyarakat, termasuk

di berbagai kawasan pedesaan. Selain itu, bank syariah pertama di Indonesia (berdiri tahun 1992) adalah

inovator terdepan dalam perluasan layanan keuangan ke berbagai area terpencil dan miskin melalui mobile

banking.

Diantara lembaga keuangan yang menyediakan akses jasa keuangan bagi kalangan miskin, terdapat tiga

lembaga yang pantas diperhitungkan, yaitu: Perum Pegadaian; koperasi; dan lembaga keuangan mikro

lainnya. Lembaga Keuangan Non Bank, meski hanya mengambil beberapa langkah kecil untuk menjangkau

kalangan miskin, tetap menghasilkan serangkaian kemajuan yang menggembirakan di beberapa area

selama beberapa tahun terakhir, contohnya, dalam bidang asuransi mikro dan sewa guna usaha (leasing).

Rekomendasi Utama

Penyediaan akses jasa keuangan yang lebih luas kepada masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan

intervensi bersama dari sektor swasta dan pemerintah serta kemitraan swasta-publik yang inovatif (public-

private partnership). Seyogyanya, inisiatif penyediaan akses jasa keuangan bagi kalangan berpenghasilan

rendah dan miskin tidak hanya terfokus pada penyediaan kredit semata, tetapi mencakup jasa keuangan

lainnya (tabungan, asuransi). Akses kepada produk tabungan jauh lebih penting dibandingkan akses

terhadap kredit, untuk rakyat miskin sekalipun.

Sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah berpendapat bahwa produk-produk keuangan yang

tersedia saat ini tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Desain dan pengujian produk baru melalui kemitraan

swasta-publik dapat membuka potensi nasabah baru bagi sektor keuangan formal dan meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam penggunaan jasa keuangan. Dari sudut pandang sektor publik, penguatan

kerangka hukum dan peraturan yang sudah ada untuk berbagai lembaga keuangan formal dapat menjadi

langkah pertama yang baik untuk membantu proses tersebut. Sementara, bagi penyedia jasa, terdapat

aspek kerangka regulasi yang lebih longgar memiliki potensi untuk meningkatkan akses kepada berbagai

layanan keuangan, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Bagi bank umum, mobile banking memberikan solusi yang paling menjanjikan, karena produk ini menjanjikan

perluasan jangkauan sekaligus pengurangan biaya – walaupun, berdasarkan pengalaman internasional,

perkembangannya diawali dari layanan pembayaran dan remitansi. Isu ekonomi yang terkait dengan

masalah akses adalah menemukan cara untuk menurunkan biaya penyediaan jasa keuangan bagi nasabah

lapisan bawah. Baru-baru ini, BI menetapkan sebuah peraturan yang mendukung usaha peningkatan akses,

namun berbagai upaya tambahan masih dimungkinkan. Misalkan, mengijinkan penyedia jasa keuangan

non-bank mengeluarkan e-money tidak hanya untuk tujuan pembayaran tapi juga remitansi. Saat ini, untuk

melakukannya, mereka tidak hanya memerlukan ijin jasa pembayaran, tetapi juga ijin jasa remitansi. Hal ini

secara tidak langsung telah menjadi hambatan bagi pemain baru.

Penyediaan jasa mobile banking perlu mencapai tingkat skala ekonomi, guna menawarkan jasa yang murah

dengan bantuan jaringan agen non-bank eceran yang bias diperoleh melalui proses outsourcing. Namun, bank

tetap memikul tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan oleh agen-agen tersebut. Penyederhanaan

regulasi ‘Know Your Customers’ (KYC) diperlukan agar layanan ‘mobile banking’ dapat menjangkau kelompok

‘fi nancially excluded’. Misalnya, ketentuan KYC yang lebih sederhana bagi rekening (dan transaksi) yang

berisiko rendah atau transaksi dalam jumlah kecil akan memungkinkan pembukaan rekening bank jarak

jauh di berbagai area terpencil, dan memungkinkan para agen untuk memfasilitasi pembukaan rekening

baru itu.

BI juga dapat merubah regulasi yang terkait dengan bank umum. Contohnya, kebijakan resmi tentang

rekening tidur (dormant account) mungkin dapat membantu pengurangan biaya bulanan. Kebijakan

Improving Access to Financial Services in Indonesia6

yang memudahkan bank untuk menutup rekening tidur yang tidak bernilai nol bisa ditawarkan, disertai

persyaratan tertentu kepada bank. Kesepakatan antara BI dengan berbagai bank besar baru-baru ini, untuk

meluncurkan produk perbankan yang cukup sederhana – yang bernama “TabunganKu” di awal 2010 – juga

merupakan langkah tepat.

Berkaitan dengan pelaporan bank, rencana bisnis tahunan bisa digabungkan dengan laporan tahunan

bank tersebut, dan cukup melampirkan ketentuan yang bersifat umum. Regulasi mengenai relokasi kantor

cabang dan ATM dinilai sebagai sebuah hambatan, padahal deskripsi umum dari lokasi semestinya sudah

mencukupi. Memberikan kelonggaran peraturan pendirian cabang juga bisa menjadi alternatif yang sejalan

dengan implementasi peraturan BI yang sudah relatif liberal.

Berkaitan dengan pembahasan tentang BPR, terdapat beberapa peraturan yang menghambat, namun jika

dilonggarkan dapat memungkinkan peningkatan akses. Pertama, perlakuan khusus seperti penetapan modal

minimum yang lebih rendah dapat diberikan pada BPR kecil di lokasi terpencil; kedua, mengijinkan LSM

dan investor asing untuk mempunyai porsi kepemilikan tertentu didalam BPR; ketiga, ketentuan pelaporan

yang lebih longgar bagi BPR kecil di lokasi yang tidak memiliki layanan komunikasi yang memadai; keempat

pengabaian ketentuan mengenai keterbukaan informasi di area yang dipadati oleh penduduk dengan

tingkat literasi keuangan yang rendah, dapat digantikan oleh pengumuman bagi nasabah baru, bahkan

dalam bahasa lokal jika perlu; dan kelima, peraturan KYC yang disederhanakan bagi rekening dengan jumlah

kecil dan pengabaian ketentuan pencantuman NPWP bagi pinjaman berjumlah kecil dibawah ambang

batas yang telah ditentukan sebelumnya (juga dapat diterapkan bagi bank umum). Untuk menegakkan

peraturan BPR, BI sudah berusaha keras untuk meningkatkan kapasitasnya. Sebagai tambahan, BI mungkin

perlu untuk mencari dukungan sementara dengan cara menyewa perusahaan yang memiliki keahlian

khusus di bidang keuangan mikro.

Berikut adalah beberapa langkah yang berkaitan dengan perbaikan regulasi dalam tubuh koperasi, pegadaian,

dan lembaga keuangan mikro lainnya. Koperasi: isu terpenting adalah hal-hal yang berkaitan adalah prinsip

kehati-hatian. Hal ini harus diterapkan secara luas sebelum munculnya permasalahan yang berpotensi pada

berkurangnya ketersediaan koperasi sebagai penyedia akses jasa keuangan. Secara bersamaan, terdapat

sebuah kebutuhan untuk meningkatkan peraturan dan kapasitas pengawasan terhadap Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini bisa dilakukan dengan mengikutsertakan outsourcing sementara

terhadap perusahaan yang memiliki spesialisasi dalam keuangan mikro. Pegadaian – mengurangi monopoli

pemerintah di bisnis pegadaian dengan memungkinkan masuknya sektor swasta dalam kancah persaingan

di bisnis ini – karena saat ini sebenarnya sudah terdapat pegadaian informal yang beroperasi. Secara

bersamaan, ada kebutuhan untuk membahas sejauh mana lembaga ini perlu diletakkan dibawah sebuah

payung regulasi formal, dengan melihat contoh dari dunia internasional. Lembaga keuangan mikro lainnya:

penyelesaian perumusan UU Keuangan Mikro dan mendukung terciptanya diskusi publik berkenaan dengan

isu terkait. UU baru ini seyogyanya memprioritaskan fasilitas dan akses dengan melihat contoh dari negara

lain yang berkaitan dengan peraturan dan pengawasan lembaga ini. Sebagai tambahan, ’linkage program’

antara bank umum dengan BPR bisa diperluas dengan mengikutsertakan lembaga keuangan mikro non

bank (dan LSM). Perusahaan asuransi: fondasi yang lebih kuat diperlukan untuk pengembangan industri

yang lebih sehat. Sebelum diberikan peranan penting dalam penyediaan jasa keuangan, industri ini perlu

melakukan beberapa langkah perbaikan struktural yang fundamental. Kecuali bagi bisnis asuransi mikro,

yang saat ini sedang berkembang pesat, berkat terjalinnya kemitraan swasta-publik yang sukses. Hal ini

dapat menjadi sebuah contoh bagi produk lain untuk membidik mereka yang berpenghasilan rendah.

Isu akses jasa keuangan terhadap UMKM, hanya berkutat dengan kredit, dan permasalahan biasanya

muncul di tingkat mikro. Indonesia cukup proaktif dalam mendukung kebijakan akses jasa keuangan

kepada UMKM selama bertahun-tahun, walau hasilnya belum memuaskan. Hal ini sebagian besarnya

disebabkan oleh prioritas kebijakan di masa lalu, yang terlalu berfokus pada program kredit bersubsidi;

selaras dengan pengalaman internasional, yang sebagaian besar juga tidak berhasil. Pemerintah terus

menerus menempatkan akses kredit kepada UMKM sebagai isu kebijakan utama. Peluncuran program

Kredit Usaha Rakyat (KUR) digunakan sebagai usaha untuk mengonsolidasikan program yang telah

ada sebelumnya dengan menempatkan skema jaminan kredit terintegrasi untuk menarik UMKM yang

Improving Access to Financial Services in Indonesia 7

sebelumnya tidak tersentuh oleh perbankan ke dalam sektor keuangan formal. Meski pelaksanaan

kajian yang berkaitan dengan efektifi tas program belum selesai, pemerintah telah mengumumkan akan

memperbesar pengucuran dana secara signifi kan. Bergantung pada hasil kajian tersebut, pemerintah dapat

mempertimbangkan keputusannya untuk menguatkan atau memodifi kasi program KUR yang ada. Kajian

tersebut juga dapat menjadi contoh pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap berbagai program

kredit bersubsidi lainnya.

Berbagai isu yang berkaitan dengan TKI juga menjadi perhatian besar bagi pemerintah Indonesia. Berdasarkan

sudut pandang akses terhadap jasa keuangan, kelompok ini semestinya mendapatkan perhatian khusus

dari berbagai lembaga keuangan, dikarenakan besarnya remitansi yang dikirim ke Indonesia oleh para

TKI. Untuk membantu para TKI ini, Indonesia juga bisa melakukan negosiasi ulang dengan negara-negara

penerima jasa TKI mengenai berbagai ketentuan yang tercantum pada Nota Kesepakatan,3 yang bertujuan

untuk memberikan keseimbangan yang lebih baik antara kepentingan pekerja dengan kepentingan

pemberi kerja serta agen TKI. Dari sudut pandang peningkatan akses terhadap jasa keuangan, berbagai butir

negosiasi spesifi k dapat disertakan, seperti pilihan bentuk identifi kasi (KTP, SIM, Paspor, NPWP) yang bisa

diterima sehingga tidak akan membatasi akses terhadap jasa keuangan formal; pengecualian persyaratan

identifi kasi formal bagi transfer dalam jumlah kecil. Untuk meyakinkan bank bahwa pasar ini memiliki nilai

komersial, berbagai kemungkinan kemitraan swasta—publik yang inovatif dapat digali untuk menarik lebih

banyak TKI ke dalam sektor keuangan formal. Salah satu pendekatannya adalah dengan mengikutsertakan

penjamin domestik (grup atau perorangan) guna memperoleh pinjaman yang biasanya diperlukan oleh TKI

untuk menutupi biaya keberangkatan. LSM atau pihak lain peduli dengan kepentingan TKI dapat diajukan

sebagai penjamin dalam berbagai proyek percontohan, yang dapat dikaji lebih lanjut. Kemungkinan lainnya

adalah menciptakan instrumen inovatif yang memungkinkan pekerja untuk memiliki simpanan guna

memenuhi kebutuhan jangka panjang. Untuk mengurangi hambatan, pemerintah perlu menegosiasikan

ketentuan KYC tentang dokumentasi minimum yang diperlukan untuk melakukan transfer dalam jumlah

kecil, namun tetap memenuhi peraturan mengenai Anti Pencucian Uang (AML)/Memerangi Pembiayaan

Terorisme (CFT).

Langkah Selanjutnya

Jika ingin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penggunaan akses jasa keuangan, terutama bagi

mereka yang tergolong miskin atau berpenghasilan rendah, pemerintah perlu mengalihkan fokusnya

dari hanya penyediaan kredit menjadi akses jasa keuangan yang lebih luas (tabungan, asuransi), seperti

yang telah dilakukan beberapa negara berkembang lainnya. Akses terhadap jasa keuangan merupakan

isu lintas sektoral yang melibatkan beberapa pemangku kepentingan seperti, Bank Indonesia, Bapepam-

LK, Departemen Keuangan, Kementrian Negara Koperasi dan UKM, serta sektor keuangan yang meliputi

bank BUMN dan swasta, lembaga keuangan non bank, LSM, yayasan dan think-tank yang menggarap isu

ini. Teknologi dan pendidikan memainkan peranan penting dalam peningkatan akses yang lebih cepat –

sehingga para pelaku terkait seperti perusahaan telekomunikasi, lembaga akademis, dan lembaga penyedia

pelatihan keuangan juga menjadi penting. Supaya memperoleh manfaat yang lebih besar, Indonesia bisa

memperoleh bantuan yang berupa masukan dan pendanaan dari mitra pembangunan internasional.

Dengan bekerjasama, peningkatan partisipasi masyarakat dalam penggunaan akses jasa keuangan bisa

tercapai dan menghasilkan dasar yang kuat bagi pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan.

3 Lihat studi koridor remitansi Malaysia-Indonesia (World Bank 2008)