MENGELOLA SAMPAH

5

Click here to load reader

description

TAK PERLU TEKNOLOGI MAHAL

Transcript of MENGELOLA SAMPAH

Page 1: MENGELOLA SAMPAH

MENGELOLA SAMPAH TAK PERLU TEKNOLOGI MAHAL

Untuk kesekian kalinya, masyarakat di sekitar Tempat Pengolahan Sampah

Terpadu (TPST) di Desa Bojong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat berontak.

Sekalipun baru mau diuji coba, mereka tak percaya terhadap janji-janji

pengelola yang katanya menggunakan teknologi maju dan mahal untuk

memerangi sampah. "Kami tetap bersikukuh desa kami tak mau dijadikan

tempat pembuangan sampah," kata Syamsudin, warga Bojong kepada

Pembaruan, pekan lalu. Ia tidak sendirian. Sikap serupa juga mengendap

pada sebagian besar warga yang berada di Kecamatan Kelapa Nunggal itu.

Kemarahan warga bisa dimaklumi. Mereka paham betul yang namanya

tempat pembuangan sampah di seluruh penjuru Negeri ini terlihat jorok,

bau, dan sumber penyakit. Lebih dari itu, masih segar dari ingatan mereka

ketika tragedi memilukan terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Sampah Leuwigajah, Cimahi, pada 21 Februari lalu. Bukan apa-apa,

longsoran sampah itu telah mengubur lebih dari 143 orang dan 139 rumah

penduduk yang berada di sekitar TPA tersebut. Inilah rekor bencana

tertinggi sepanjang sejarah di Indonesia dari sebuah penampungan sampah.

Tidak hanya itu saja. Jumlah korban tersebut merupakan terbesar kedua di

dunia. Rekor terdahsyat dicapai di TPA Payatas, Quezon City, Filipina pada

10 Juli 2000. Ketika itu, lebih dari 200 orang tewas terkubur oleh longsoran

sampah. Angka itu belum termasuk ratusan orang lainnya yang dinyatakan

hilang dalam bencana tersebut. Yunani menempati urutan ketiga. Di TPA

Ano Liossia, sekitar 10 km sebelah utara Athena, puluhan orang tewas

terkubur longsoran sampah pada Maret 2003. Dunia pun berduka. Rentetan

malapetaka besar itu punya banyak kesamaan. Salah satunya, terjadi pada

saat timbunan sampah menggunung. Kondisi itu tidak diimbangi dengan

desain atau konstruksi bangunan TPA yang memadai. Sampah dihamparkan

begitu saja (sistem landfill). Kecemasan terhadap keberadaan TPA bukan

saja dialami masyarakat awam. Para pakar teknologi lingkungan, termasuk

Prof Dr Ir Enri Damanhuri dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pun

merasakan hal serupa. "Bisa saja kita mengolah sampah dengan teknologi

tinggi. Tetapi dari mana dananya?" ujar Enri kepada Pembaruan, baru-baru

ini. Sebab, dana untuk membeli teknologi mutakhir itu sangat besar. Di Cina

misalnya, tambah Walikota Cimahi, HM Itoc Tochija yang pernah meninjau

langsung fasilitas pengolah sampah di negara terbesar jumlah

pendududuknya itu, harga mesin pengolah sampah berkapasitas 500

Page 2: MENGELOLA SAMPAH

m3/hari itu sekitar Rp 100 miliar. Jadi, untuk mengolah sampah Jakarta dan

Bogor yang mencapai belasan ribu meter kubik setiap hari, investasinya

bisa mencapai triliunan rupiah. Memang banyak keunggulan yang

ditawarkan dari teknologi modern tersebut. Selain tidak menimbulkan bau

sehingga tempat pengelolaan sampah bisa berada sangat dekat dengan

permukiman, juga membutuhkan lahan yang tidak luas, hanya sekitar lima

hektare. Teknologi dari Kanada lain lagi. Sistem pengolahan sampahnya

seperti usus sapi. Jadi sampah yang datang langsung dimasukkan ke dalam

mesin. Sampah tersebut lalu dilarutkan dan diurai oleh air dan dengan

menggunakan bantuan bakteri akan menghasilkan kompos. Kompos

tersebut bisa menjadi pakan ternak dan pupuk tanaman. Menurut informasi,

kompos made in Kanada itu mempunyai kualitas yang sangat bagus. Ada

juga teknologi pengolah sampah yang dicampur batubara ala Jepang dan

Cina. Sampah rumah tangga itu dicampur dengan batubara (berkadar 20

persen). Setelah dibakar timbul panas, lalu dialiri air dan muncullah uap

yang menggerakkan turbin, sehingga jadilah listrik. Tak Usah Berambisi

Lalu, bagaimana dengan pengelolaan sampah Indonesia? "Kita tidak usah

berambisi membeli teknologi mahal. Teknologi yang ada saja kita

manfaatkan," saran Enri. Teknologi dimaksud adalah sistem landfill. "Dari

situ, kita bisa mengubah sampah menjadi gas. Ini paling memungkinkan

karena kondisi iklim kita tergolong panas," ujar Enri. Hanya saja, kalau mau

memanen gas metan dari awal harus didesain berbagai lapisan untuk

menyedot gas tersebut. Intinya, di setiap lapisan sampah, dibuat saluran

atau pipa yang berisi kerikil. Begitu ada gas, kerikil inilah yang akan

mengarahkannya menuju ke cerobong. Pada sampah yang dikelola secara

landfill, jika 25 persen gas tersebut tertangkap, berarti sudah

menguntungkan secara ekonomis. Berdasarkan riset yang digarap tim ITB,

di sebuah TPA di Cirebon, konsentrasi gasnya sudah mencapai 40 sampai 50

persen. Ketika itu debitnya tidak bisa dihitung secara pasti karena yang

dipasang hanya satu pipa. Gas yang keluar itu tidak murni, masih

mengandung uap air dan bercampur dengan gas lainnya, seperti

karbondioksida (CO2). Karena itu, gas tersebut harus dimurnikan dulu

dengan menggunakan kapur agar dihasilkan gas metan (CH4) murni. Selain

menghasilkan gas, sistem landfill juga bisa memanen kompos. Teknologi

dan proses pembuatan pupuk kompos berbahan baku sampah juga

terbilang mudah dan semuanya menggunakan komponen lokal alias tidak

Page 3: MENGELOLA SAMPAH

ada yang diimpor. Tahap awal dimulai dari memilah-milah sampah organik

yang akan dikomposkan. Sampah organik tersebut lalu ditumpuk sesuai

ukuran yang dikehendaki. Agar tidak bau, tumpukan sampah itu bisa

ditambahkan zeolit alami secukupnya. Setiap hari, tumpukan sampah

tersebut disiram air hingga merembes ke lantai. Tujuannya, mempercepat

kerja bakteri pengurai. Air itu lalu dialirkan melalui saluran drainase dan

ditampung di bak. Sisa air ini juga bisa dipakai lagi untuk menyiram sampah

keesokan harinya. Jadi, air kotor ini tidak mencemari lingkungan di

sekitarnya. Gundukan sampah itu lalu dibalik secara manual setiap minggu.

Tujuannya, untuk membantu proses homogenisasi dan aerasi. Dengan

begitu, sampah-sampah organik dihancurkan secara alami oleh mikroba

perombak. Proses pengomposan ini berjalan selama tujuh atau delapan

minggu. Setelah itu, barulah kompos matang itu diayak lalu dikemas.

Kompos yang masih kasar (tak lolos ayakan) dikembalikan lagi ke tumpukan

sampah sebelumnya. Dengan demikian, tidak ada sedikit material atau

limbah yang tersisa. Biasanya, dari 100 kg sampah organik, sebanyak 40

persen atau sekitar 40 kg menjadi pupuk kompos. Ir Firman L Syahwan MSi,

peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang

terlibat aktif dalam mengolah sampah organik mengatakan, kompos

semacam itu berkhasiat bagi kesuburan tanaman. Jadi, kita perlu hati-hati

jika ada pihak yang menawarkan teknologi untuk mendapatkan listrik dari

sampah. Bukan apa-apa, jenis sampah yang ada di Indonesia sangat

berbeda dengan teknologi pengolahan sampah itu berasal. Untuk

mendapatkan listrik maka sampah harus mempunyai kalor atau nilai panas

yang tinggi. Kalor tinggi itu berasal dari sampah kertas dan plastik. Menurut

Enri, sampah plastik mempunyai nilai kalor sekitar 6.000 kalori. Sementara

itu kertas memiliki nilai kalor 4.000-5.000 kalori. Sedangkan sampah lainnya

seperti daun hanya 500 kalori. Fakta di lapangan menunjukkan, sampah

kertas dan plastik itu sebagian besar sudah disortir oleh pemulung. Kecuali

jika kertas dan plastiknya tidak boleh diambil oleh pemulung, seperti yang

pernah digagas salah satu investor. Alasan tersebut masuk akal. Begitu

kertas dan plastik diambil, berarti nilai kalornya rendah. Praktis, konversinya

ke listrik juga jauh lebih rendah lagi. Menurut Enri, listrik yang didapat per

ton sampah di Indonesia, sangat kecil. Hal itu selain mengandung sedikit

plastik dan kertas, juga sampahnya basah. Sampah basah tidaklah

menguntungkan, karena panas yang digunakan dalam incenerator itu

Page 4: MENGELOLA SAMPAH

sebagian besar malah digunakan untuk memasak air. "Karena itulah, di

Indonesia sampai kini belum ada investor yang berani mengonversi sampah

menjadi listrik," ujar Enri. Bukan apa-apa, menurut hitungannya, investor

baru balik modal 10 atau 15 tahun lagi. Hal ini tentu tidak ekonomis bagi

sebuah bisnis di era modern.*(Budiman) Sumber : Suara Pembaruan

(4/8/05) ***