Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

26
Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan: Naskah Kebijakan KLHS Depu Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 - DANIDA

Transcript of Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

Page 1: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

MengarusutamakanPembangunan Berkelanjutan:Naskah Kebijakan KLHS

Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 - DANIDA

Page 2: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs
Page 3: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

iii

Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan

Dalam dua dekade terakhir kita telah banyak mengembangkan dan mengaplikasikan secara

intensif Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun, dalam aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment, Indonesia boleh dikatakan tertinggal. Negara-negara di Asia, seperti China, Vietnam, Iran dan Filipina – sebagai contoh – telah lebih dahulu menggunakan KLHS untuk mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan strategik pembangunan.

Sudah barang tentu bukan karena alasan tertinggal dengan negara jiran, KLHS ingin dikembangkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Namun karena melalui KLHS dimungkinkan dilakukan pengarusutamaan lingkungan hidup dalam keputusan-keputusan strategik perencanaan pembangunan.

Inilah yang menjadi dasar disusunnya buku “Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan: Naskah Kebijakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)”. Disamping itu tinjauan (review) atas berbagai konsep, pendekatan dan prosedur KLHS yang diungkapkan dalam buku ini menjadi landasan penting bagi KLH untuk menyikapi dan memformulasikan kebijakan KLHS di Indonesia.

Akhir kata, semoga hadirnya buku ini tidak hanya membuka inspirasi bagaimana mengarusutamakan lingkungan hidup dalam proses pembangunan, tetapi juga dapat memberikan arahan untuk kebijakan aplikasi KLHS di Indonesia. Kepada Danish International Development Agency [DANIDA], Environmental Support Programme Phase 1 (ESP 1), serta para penyusun dan pendukung buku ini diucapkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Jakarta, Desember 2007

Ir. Hermien Roosita, MM Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup

Page 4: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

iv

Page 5: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

v

Kata Pengantar

Buku ini terwujud melalui proses yang relatif panjang. Setelah disusun oleh Atiek Koesrijanti

(KLH), Laksmi Wijayanti (KLH), dan Soeryo Adiwibowo, naskah ini selanjutnya ditelaah dan dibahas oleh konsultan KLH-DANIDA: Triarko Nurlambang, Chay Asdak, Tjuk Kuswartojo, Handoyo, dan Ole K. Jensen (Denmark). Tahap berikutnya, naskah ini dibahas oleh Kelompok Kerja yang para anggotanya terdiri dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Bangda), Departemen Dalam Negeri, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Bahkan dalam rangkaian pertemuan terakhir, Kelompok Kerja mengundang pula wakil-wakil dari Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, dan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), untuk membahas naskah ini.

Puncak pembahasan naskah ini dilakukan pada media akhir Oktober-November 2007. Naskah dipresentasikan dan dibahas dalam seminar-workshop di Netherland Commission for Environmental Assessment (NCEA), Utrecht, Belanda, dengan beberapa pakar terkemuka KLHS di dunia (Rob Verheem dan Maria Partidario). Boleh dikatakan naskah akademik ini telah melalui proses pembahasan yang matang.

Buku ini terdiri atas tiga bagian. Bagian Pertama, Pendahuluan, mengutarakan tentang Urgensi Penerapan KLHS di Indonesia dan Tujuan Penyusunan Naskah Kebijakan. Bagian Kedua, Arah Kebijakan KLHS di Indonesia, memuat tentang Definisi KLHS, Relung Aplikasi, Tujuan, Manfaat, Prinsip, Nilai Dasar dan Mutu KLHS. Bagian Ketiga, Kelembagaan dan Pendekatan KLHS, memuat tentang Tipe Aplikasi KLHS, Prosedur dan Metode KLHS serta status Sukarela vs Wajib KLHS. Pada bagian akhir dilengkapi dengan Daftar Pustaka.

Kepada para penyusun, konsultan dan pakar yang telah menyumbangkan waktu, tenaga, pemikiran untuk buku ini diucapkan penghargaan dan terima kasih yang dalam. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang dalam juga disampaikan kepada Environmental Support Programme Phase 1, Danish International Development Agency [DANIDA], yang telah memberikan dukungan besar bagi terakumulasinya pengetahuan KLHS untuk kepentingan Indonesia.

Akhir kata semoga buku ini tidak hanya bermanfaat bagi para pihak yang berkepentingan namun juga – lebih dari itu – dapat menjadi bahan pijakan yang solid untuk formulasi peraturan perundang-undangan tentang KLHS dan strategi penyebar-luasan KLHS di Indonesia. Selamat membaca.

Jakarta, Desember 2007

Ir. Bambang Setyabudi, MURPAsisten Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup

Page 6: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

vi

Diterbitkan olehDeputi Bidang Tata LingkunganKementerian Negara Lingkungan Hidup Republik IndonesiaGedung A, Lantai 4Jalan D.I. Panjaitan Kav. 24 Kebun Nanas, Jakarta 13410Telp/Faks. (021) 8590667Website: http:\\www.menlh.go.id

ApresiasiUcapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan dan penerbitan buku ini, antara lain:Triarko Nurlambang (UI), Chay Asdak (UNPAD), Tjuk Kuswartojo, dan HandoyoDanish International Development Agency (DANIDA) melalui Environmental Support Programme (ESP) Phase 1.

PengarahHermien Roosita(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)

Ketua PelaksanaBambang Setyabudi(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)

PenyusunAtiek Koesrijanti, Laksmi Wijayanti(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)Soeryo Adiwibowo (IPB)

EditorYenni Lisanova Chaterina, Widhi Handoyo, Teguh Irawan, Suhartono(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)Esthi S. Noorsabri

PendukungArifin, Irine Nurhayati, Supriyadi, Yusnimar, Satriajaya, Nana(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)M. Putrawidjaja, Pritha Wibisono, Devi Widianto

Kreatif DesainMATOAwww.matoa.org

Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan:Naskah Kebijakan KLHS

Page 7: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

vii

Daftar Isi

Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan

Kata Pengantar

Daftar IsiDaftar TabelDaftar GambarGlossary

PENDAHULUAN 1Urgensi Penerapan KLHS di Indonesia ............................................................................................................ 1Tujuan Penyusunan Naskah Kebijakan ............................................................................................................ 2

ARAH KEBIJAKAN KLHS DI INDONESIA 3Definisi KLHS ................................................................................................................................................... 3Relung Aplikasi KLHS ....................................................................................................................................... 4Tujuan KLHS .................................................................................................................................................... 5Manfaat KLHS .................................................................................................................................................. 6Prinsip, Nilai Dasar, dan Mutu KLHS ................................................................................................................ 6

KELEMBAGAAN DAN PENDEKATAN KLHS 9Tipe Aplikasi KLHS ........................................................................................................................................... 11Prosedur dan Metode KLHS ............................................................................................................................ 12Sukarela vs Wajib ............................................................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA 15

Page 8: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

viii

Tabel Halaman

1. Evolusi Paradigma KLHS……………………..………………………………………………………………………………….................. 42. Perbedaan AMDAL dan KLHS………………..……………………………………………………………………………….................. 53. Tipe Tiga Macam Sifat dan Tujuan KLHS.………………………………………………………………………………................... 64. Opsi Kelembagaan/Pendekatan KLHS untuk Indonesia..………………………………………………………................... 105. Lima Tipe KLHS yang Pernah Diaplikasikan di Indonesia.………………………………………………………................... 116. Berbagai Bentuk Prosedu KLHS ………………………………………………..……………………………………………................. 127. Daftar Wajib KLHS Tanpa Proses Penapisan yang Ditetapkan oleh Instansi yang Berwenang..................... 13

Gambar Halaman

1. Relung KLHS pada Aras KRP……………………………………………………………………………………………......................... 52. Kontinum Kajian KLHS……………………………………………………………………………………………………......................... 103. Pijakan KLHS menurut Dimensi Waktu dan Ruang………………………………………………………….......................... 114. Panduan Umum dan Panduan Teknis KLHS.……………………………………………………………..…….......................... 12

Daftar Tabel

Daftar Gambar

Page 9: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

ix

Glossary

AEMS (Adaptive Environmental Management System):

Sebuah proses berkesinambungan dalam sistem manajemen lingkungan.

Kebijakan Publik:

Suatu keputusan politik yang ditetapkan oleh pemerintah dan atau bersama dewan perwakilan rakyat di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan mekanisme peraturan perundangan yang berlaku untuk memenuhi kepentingan publik.

Musrenbang:

Musyawarah Rencana Pembangunan, merupakan satu forum untuk membahas dan menetapkan usulan kegiatan pembangunan berikut anggarannya untuk tahun fiskal berjalan berikutnya, baik di tingkat pusat (Musrenbangnas) maupun daerah (Musrenbangda).

Partisipasi Publik:

Suatu mekanisme keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik.

SEA (Strategic Environmental Assessment):

Istilah internasional untuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

BAPEDALDA : Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah

BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BKPRD : Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah

BKTRN : Badan Koordinasi Tata Ruang NasionalCNREA : Country Natural Resources and

Environmental AnalysisDAS : Daerah Aliran SungaiDepdagri : Departemen Dalam NegeriDKP : Departemen Kelautan dan PerikananDPR : Dewan Perwakilan RakyatDPRD : Dewan Perwakilan Rakyat DaerahDPU : Departemen Pekerjaan UmumEIA : Environmental Impact Assessment

(AMDAL)KL : Kementerian/LembagaKLH : Kementerian Lingkungan HidupKLHS : Kajian Lingkungan Hidup StrategisKRP : Kebijakan, Rencana, dan ProgramNUES : National Urban Environmental StrategyPOKJA : Kelompok Kerja

Permen : Peraturan MenteriPerpres : Peraturan PresidenPP : Peraturan PemerintahRAPBD : Rencana Anggaran Pendapatan dan

Belanja DaerahRAPBN : Rencana Anggaran Pendapatan dan

Belanja NegaraRenja : Rencana KerjaRenstra : Rencana StrategisRKA : Rencana Kerja AnggaranRKP : Rencana Kerja PemerintahRPJM : Rencana Pembangunan Jangka

MenengahRPJMD : Rencana Pembangunan Jangka

Menengah DaerahRPJMN : Rencana Pembangunan Jangka

Menengah NasionalRPJP : Rencana Pembangunan Jangka PanjangRPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang

DaerahRPJPN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang

NasionalRTRW : Rencana Tata Ruang WilayahSKPD : Satuan Kerja Perangkat DaerahUKL : Upaya Pengelolaan LingkunganUPL : Upaya Pemantauan LingkunganUU : Undang-UndangUUD : Undang-Undang DasarUU KN : Undang-Undang Keuangan NegaraUU SPPN : Undang-Undang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional

Page 10: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs
Page 11: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

1

Pendahuluan | 1

Bab

Pendahuluan1Bab

URGENSI PENERAPAN KLHS DI INDONESIA

Dalam dua dekade terakhir ini laju kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan

di Indonesia semakin terus meningkat dan tidak menunjukkan gejala penurunan. Bila dua dekade lalu laju kerusakan hutan di Indonesia ditengarai sekitar 1 sampai 1,2 juta per tahun, kini telah mencapai 2 juta hektar per tahun. Bagai gayung bersambut, rantai kerusakan tersebut kemudian menjalar dan meluas ke sungai, danau, hutan dataran rendah, pantai, pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di kota-kota besar dan wilayah padat penduduk juga telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan kesehatan penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya hayati. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut, dari faktor demografis, etika, sosial, ekonomi, budaya, hingga faktor institusi dan politik.

Kebijakan, rencana dan program (KRP) pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang telah diluncurkan pemerintah sejak tiga dekade lalu, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu faktor strategis yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah karena portofolio KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang diluncurkan pemerintah (KLH di Pusat, atau Bapedalda provinsi/kabupaten/kota) cenderung “terlepas” atau “terpisah” dari KRP pembangunan wilayah dan sektor, tidak menyatu (embedded) atau tidak terintegrasi. Dengan kata lain, pertimbangan lingkungan tidak diintegrasikan dalam proses pengambilan keputusan pada tahap formulasi kebijakan, rencana, atau program-program pembangunan.

Faktor kedua yang secara signifikan turut menyumbang percepatan kerusakan dan pencemaran lingkungan adalah lemahnya efektivitas instrumen pencegahan dampak lingkungan pada tingkat proyek, yakni instrumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sejak pertama kali diperkenalkan tahun 1986 yang silam hingga kini AMDAL masih terus

diaplikasikan sebagai instrumen untuk pengendalian dampak lingkungan di tingkat rencana kegiatan atau proyek. Sejak pertengahan 1990an, kajian dampak lingkungan pada tingkat proyek ini bahkan diperluas hingga ke instrumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

Salah satu penyebab lemahnya efektivitas AMDAL adalah rendahnya mutu dokumen AMDAL. Sebagian besar dokumen AMDAL disusun dalam waktu singkat, dengan biaya yang relatif murah (AMDAL plagiat), dan ditujukan untuk segera memperoleh persetujuan AMDAL. Sebagai akibatnya, hanya sebagian kecil saja pemrakarsa yang menggunakan AMDAL sebagai basis untuk pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Penyebab kedua adalah lemahnya ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Penyebab ketiga, tingginya moral hazard di kalangan pelaku tertentu. Penyebab keempat bersumber dari tidak dilakukannya evaluasi alternatif proyek oleh sebagian besar dokumen AMDAL. Sebagian besar penyusunan AMDAL di Indonesia justru dilakukan ketika proyek telah memasuki tahap konstruksi atau bahkan operasi.

Salah satu jalan keluar yang dipandang efektif untuk mengatasi masalah yang diutarakan pada butir 1 dan 3 di atas, dan sekaligus sebagai upaya untuk menjamin keberlanjutan pembangunan di masa mendatang, adalah mengintegrasikan kepentingan lingkungan pada aras pengambilan keputusan yang strategis, yakni pada tataran kebijakan (policy), rencana (plan), atau program; melalui aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA).

Dari Workshop AMDAL se-Asia yang diselenggarakan pada tanggal 28 Mei – 2 Juni 2007 di Hanoi (dihadiri oleh wakil-wakil dari 13 negara); serta Konferensi International Association for Impact Assessment (IAIA) yang diselenggarakan pada tanggal 4 – 8 Juni di Seoul, diperoleh gambaran terkini perkembangan kajian dampak lingkungan di tingkat Asia dan dunia, sebagai berikut1:

1 Memorandum Nomor M-10/Bid-Eva/PDL/I/06/2007, 14 Juni 2007, yang diterbitkan oleh Kepala Bidang Evaluasi dan Tindak Lanjut di Asisten Deputi Pengkajian Dampak Lingkungan.

Page 12: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

1

| Pendahuluan2

Bab

1. Hanya sebagian kecil negara di Asia yang tidak mengaplikasikan atau belum memiliki pilot project KLHS. Sebagian besar negara di Asia telah mengaplikasikan KLHS dan bernaung dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup, atau telah memiliki beberapa pilot project KLHS, atau tengah melakukan pilot project KLHS. Beberapa negara yang tengah melakukan pilot project KLHS menyadari pentingnya pengaturan KLHS dalam sistem legal mereka.

2. Di antara negara-negara Asia yang mengaplikasikan KLHS, Vietnam dan China telah menempatkan KLHS dalam sistem hukum mereka dan mewajibkan aplikasi KLHS. Beberapa negara lain seperti Iran dan Filipina juga telah menempatkan aplikasi KLHS dalam sistem hukum mereka namun dengan format aplikasi KLHS yang bersifat sukarela.

Membandingkan aplikasi KLHS di banyak negara Asia dan dunia internasional tersebut, boleh dikatakan aplikasi KLHS di Indonesia tergolong lambat walau tidak dapat dikatakan tertinggal. KLHS merupakan wacana yang baru muncul di Indonesia sejak pertengahan tahun 1990an dan mulai diujicobakan pada tahun 2001. Hingga saat ini, setidaknya terdapat 10 macam proyek dalam rangka mengujicobakan beragam tipe aplikasi KLHS, baik pada aras kebijakan, rencana, maupun program pembangunan. Namun demikian, baru pada tahun 2005 dilakukan upaya yang sistematik dan terencana dengan baik untuk memperkenalkan dan melembagakan KLHS.

Pada awal tahun 2006, KLH, dengan bantuan DANIDA (Danish International Development Assistance), memulai upaya mengembangkan dan mendiseminasikan serangkaian instrumen pengelolaan lingkungan, seperti KLHS, Country Natural Resources and Environment Assessment (CNREA), beserta

instrumen ekonominya. Dalam rangka mendorong penerapan KLHS inilah maka KLH menerbitkan serangkaian buku, meliputi Status Report Penerapan KLHS di Indonesia, Policy Paper KLHS dan Handbook KLHS.

TUJUAN PENYUSUNAN NASKAH KEBIJAKANBuku Policy Paper ini dipersiapkan sebagai policy framework bagi penerapan KLHS di Indonesia. Oleh karenanya, dalam buku ini juga dijelaskan perkembangan konsep dan urgensi penerapan KLHS di Indonesia, berikut directive untuk menerapkannya yang mencakup model kelembagaan, tipe-tipe aplikasi, dan prosedur penerapannya. Kerangka kerja dalam buku ini merupakan basis untuk mengembangkan Handbook KLHS yang pada gilirannya nanti akan menjadi guideline bagi proses legislasi KLHS.

Adapun framework kebijakan yang dijelaskan dalam buku ini diperlukan untuk:

a. Menguraikan urgensi penerapan KLHS dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

b. Merekomendasikan kebijakan mengenai panduan umum penerapan KLHS, khususnya terkait dengan definisi, relung aplikasi, tujuan, manfaat, prinsip-prinsip, nilai-nilai dasar, serta pendekatan-pedekatan dan metode yang relevan dengan keunikan Indonesia.

c. Menguraikan peluang dan ancaman terhadap kebijakan penerapan KLHS, sekaligus alternatif kelembagaan yang relevan dengan kondisi Indonesia.

Page 13: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

2

Arah Kebijakan KLHS di Indonesia | 3

Bab

Arah Kebijakan KLHS di Indonesia2Bab

DEFINISI KLHS

Definisi KLHS tergolong beragam, dan usulan baru dari akademisi, peneliti, dan praktisi terus

bermunculan, seiring dengan semakin banyaknya penerbitan literatur tentang KLHS. Oleh karenanya dapat dipahami, bila hingga kini tidak ada definisi KLHS yang diterima secara universal oleh semua pihak. Namun demikian, secara sederhana dapat dibedakan dua kelompok definisi KLHS, yakni definisi yang bercorak evaluasi dampak lingkungan, dan yang bercorak keberlanjutan. Dalam definisi yang bercorak dampak dijumpai dua varian lagi yakni yang bersifat “generik” dan yang “prosedural”.

Definisi yang bercorak dampak baik “generik” maupun “prosedural” pada dasarnya menempatkan KLHS pada posisi mengevaluasi dampak dari usulan kebijakan, rencana atau program. Perbedaannya, dalam definisi “generik” tidak terdapat rujukan ke elemen-elemen AMDAL. Berikut adalah contoh definisi “generik” dari KLHS yang bercorak evaluasi dampak, yang diajukan oleh Sadler dan Verhem (1996):

KLHS adalah proses sistematis untuk menjamin bahwa konsekuensi atau dampak lingkungan yang timbul akibat suatu usulan kebijakan, rencana, atau program telah dipertimbangkan dan dievaluasi sedini mungkin dalam proses pengambilan keputusan, paralel dengan pertimbangan sosial dan ekonomi.

Sementara itu, dalam definisi KLHS yang bersifat “prosedural” dijumpai atau terkandung elemen-elemen dan subtansi AMDAL. Berikut adalah contoh definisi “prosedural” dari KLHS yang bercorak evaluasi dampak, yang diajukan oleh Therivel et al. (1992: 19-20):

Merupakan proses formal, sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan dari kebijakan, rencana atau program berikut alternatifnya, termasuk penulisan laporan yang memuat temuan-temuan evaluasi, dan menggunakan temuan tersebut untuk pengambilan keputusan yang akuntabel di hadapan publik.

Di sisi lain, definisi KLHS yang bercorak berkelanjutan banyak diwarnai oleh pertimbangan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam (sustainable resources management), sebagaimana dituangkan berikut ini:

Merupakan proses untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan pada tahap kebijakan, rencana, atau program, untuk menjamin prinsip keberlanjutan diterapkan sejak sedini mungkin.

Dengan menempatkan evaluasi dampak lingkungan dan prinsip keberlanjutan secara strategis di tahap kebijakan, rencana, atau program, maka prinsip keberlanjutan dan evaluasi dampak lingkungan diintegrasikan secara penuh dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa KLHS tidak hanya merupakan kajian dampak lingkungan yang bersifat formal dan mengikuti tata prosedur tertentu, tetapi lebih dari itu, juga merupakan suatu kerangka kerja (framework) untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.

Dari ragam definisi tersebut, dapat dilihat bahwa KLHS merupakan pendekatan proaktif untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan (evaluasi dampak lingkungan dan/atau prinsip keberlanjutan) ke dalam kebijakan, rencana, atau program. Oleh karenanya, KLHS akan lebih tepat dipahami sebagai makna generik bagi berbagai macam metode dan instrumen dengan nama, bentuk, dan lingkup aplikasi KLHS yang berbeda-beda (Sadler, 2005: 2).

Dalam beberapa tahun terakhir, KLHS tidak hanya berorientasi pada integrasi pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan, tetapi juga sudah memasuki area jaminan keberlanjutan (sustainability) plus pertimbangan faktor sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, kita dapat melihat evolusi paradigma KLHS hingga kini sebagaimana tertera pada Tabel 1 (Sadler, 1999; 2002; 2005).

Rekomendasi Kebijakan. Melihat bahwa dalam tiga dekade terakhir telah berkembang aneka definisi KLHS, dan definisi tersebut akan terus berkembang di masa mendatang, maka ada beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan untuk mengkonstruksikan definisi KLHS yang dapat digunakan di Indonesia.

Pertama, apapun definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut harus mengandung empat hal pokok: a) dilakukan pada aras usulan kebijakan, rencana atau program pembangunan, dan bukan pada aras proyek; b)

Page 14: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

2

| Arah Kebijakan KLHS di Indonesia4

Bab

menelaah dampak lingkungan dari kebijakan, rencana, atau program pembangunan, dengan; c) mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi; dan d) mempertimbangkan keberlanjutan pembangunan.

Kedua, apapun definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut tidak boleh eksklusif, tidak boleh menjadi rujukan tunggal dan tidak boleh menegaskan definisi lain yang kemungkinan akan timbul dan dikonstruksikan oleh para akademisi, praktisi atau institusi tertentu.

Memperhatikan kedua pertimbangan tersebut, maka definisi KLHS yang dapat digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut:

Suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana, dan program pembangunan.

RELUNG APLIKASI KLHSMerujuk pada konsepsi KLHS di atas, relung aplikasi KLHS dapat dipaparkan sebagaimana tertuang Gambar 1. Pada gambar tersebut tampak bahwa pada aras kebijakan, rencana, dan program secara berturut-turut dapat diaplikasikan KLHS Kebijakan, KLHS Regional (termasuk Tata Ruang), KLHS Program, atau KLHS Sektor. Adapun kajian dampak lingkungan yang

diaplikasikan pada aras proyek adalah (dalam konteks Indonesia) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Dalam konteks kajian dampak lingkungan, KLHS dan AMDAL mempunyai kesamaan, yaitu bahwa keduanya berupaya menerapkan pendekatan pro-aktif dalam pengendalian dampak lingkungan. Perbedaannya, karena KLHS ditempatkan pada tataran strategis, yakni pada aras kebijakan, rencana, atau program, maka umumnya kedalaman telaahan KLHS tidak serinci dan sedalam AMDAL. Pada Tabel 2 berikut dipaparkan lebih jauh perbedaan KLHS dan AMDAL.

Rekomendasi Kebijakan. Pertama, Mengingat masyarakat luas dan aparatur pemerintah di Indonesia sudah sangat familiar dengan AMDAL, maka aneka relung aplikasi KLHS serta perbedaan KLHS dengan AMDAL dipandang perlu dimuat di dalam Pedoman Umum KLHS (SEA General Guideline). Dengan adanya informasi ini, para pengambil keputusan serta pemerhati dan penggiat lingkungan dapat memahami dengan cepat, jelas, dan tegas posisi dan sekaligus perbedaan KLHS dengan AMDAL.

Kedua, di dalam Pedoman Umum KLHS juga dipandang perlu diungkapkan bahwa relung aplikasi ini merupakan pilihan terbuka bagi setiap pihak yang berkeinginan mengaplikasikan KLHS dengan mempertimbangkan lingkup tugas dan kewenangan pihak bersangkutan.

Tabel 1. Evolusi Paradigma KLHS

Paradigma Karakteristik Kunci

KLHS sebagaimana yang umum diaplikasikan (EIA based SEA)

Generasi kedua KLHS: ditujukan ke sumber atau hulu persoalan (berbeda dengan AMDAL yang berorientasi ke symptom atau hilir persoalan); fokus pada usulan kebijakan, rencana, atau program; integrasi pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan; mempertimbangkan alternatif dan penanggulangan efek dari implementasi; pemantauan terbatas dan tindak lanjut.

KLHS untuk menjamin keberlanjutan lingkungan hidup (SEA for sustainable assurance)

Semua yang diutarakan di atas, plus: penilaian terhadap dampak lingkungan yang timbul vs perlindungan atas stok sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang menipis; jaminan bahwa rusak dan hilangnya sumberdaya dapat dipertahankan dalam batas-batas yang masih dapat ditolerir; kompensasi untuk dampak residual yang sejalan dengan prinsip tidak ada sumberdaya yang hilang no net loss (keberlanjutan tinggi), atau minimum standar (keberlanjutan moderat); pemantauan sistematis terhadap hasil dan dampak.

Analisis terpadu untuk jaminan keberlanjutan (Integrated assessment for sustainability assurance)

Semua yang diutarakan di atas, plus: identifikasi tujuan sosial dan ekonomi serta batas ambang yang harus dicapai; penilaian terhadap dampak lingkungan yang akan timbul sebagai akibat dari usulan dan alternatif yang diajukan vs triple bottom line (TBL); evaluasi dampak penting vs evaluasi keberlanjutan untuk klarifikasi trade-off di kalangan para pihak; mencari keseimbangan yang paling baik untuk menjamin adanya keberlanjutan.

Sadler (1999, 2002, 2005)

Page 15: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

2

Arah Kebijakan KLHS di Indonesia | 5

Bab

Kebijakan Rencana Program Proyek

KAJIAN ANALISIS LINGKUNGAN

Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS)

KLHS Kebijakan

KLHS Tata Ruang KLHS Sektor

KLHS Regional/Program

AMDAL

Gambar 1. Relung KLHS pada Aras Kebijakan, Rencana dan Program (Partidario 2000: 656, dengan modifikasi pada beberapa istilah)

Tabel 2. Perbedaan AMDAL dan KLHS (UNEP 2002)

Atribut AMDAL KLHS

Posisi Tahap studi kelayakan dari Proyek Tahap Kebijakan, Rencana, dan Program

Sifat Wajib Sukarela

Keputusan Kelayakan rencana kegiatan/usaha dari segi lingkungan hidup

Keputusan yang berbasis pada prinsip pembangunan berkelanjutan

Wilayah garapan Site based project Kebijakan, regional/tata ruang, program, atau sektor

Kumulatif dampak Kumulatif dampak dianalisis terbatas Peringatan dini akan fenomena kumulatif dampak

Alternatif Terbatasnya jumlah alternatif kegiatan proyek yang ditelaah

Mempertimbangkan banyak alternatif pilihan

Kedalaman kajian Sempit, dalam, dan rinci Lebar, tidak terlampau dalam, lebih sebagai kerangka kerja

Artikulasi Kegiatan proyek sudah terformulasi dengan jelas dari awal hingga akhir

Proses muti-tahap, saling tumpang-tindih komponen, alur kebijakan-rencana-program masih berjalan dan iteratif

Fokus Fokus pada kajian dampak penting negatif dan pengelolaan dampak lingkungan

Fokus pada agenda keberlanjutan, bergerak pada sumber persoalan dampak lingkungan

(UNEP, 2002)

TUJUAN KLHSSeiring dengan semakin berkembangnya KLHS, tujuan KLHS juga mengalami perluasan dibanding ketika pertama kali diperkenalkan pada dekade 1970an. Pada saat ini teridentifikasi tiga pilihan tujuan KLHS yang tersusun secara berjenjang (hirarkis), yakni: instrumental, transformatif dan subtantif (Sadler 2005:20, dan Partidario 2000) (lihat Tabel 3).

Untuk menghasilkan KLHS yang bersifat transformatif atau substantif tidak cukup hanya mengandalkan pada penguasaan prosedur dan metode KLHS, namun juga diperlukan kehadiran good governance yang diindikasikan oleh adanya keterbukaan, transparansi,

dan tersedianya aneka pilihan kebijakan, rencana, atau program. Oleh karena itu, untuk konteks Indonesia, tahun-tahun pertama aplikasi KLHS agaknya akan banyak didominasi oleh KLHS instrumental, walau tidak tertutup kemungkinan akan adanya KLHS yang bersifat transformatif atau substantif.

Rekomendasi Kebijakan. Di dalam Pedoman Umum KLHS perlu diungkapkan bahwa tiga macam tujuan KLHS yakni instrumental, transformatif atau substantif, pada dasarnya merupakan pilihan yang bersifat terbuka dan mereka yang memilih tujuan transformatif atau substantif harus menyadari konsekuensi yang harus dipenuhi agar KLHS yang dihasilkan dapat berdaya-guna tinggi.

Page 16: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

2

| Arah Kebijakan KLHS di Indonesia6

Bab

MANFAAT KLHSPada dasarnya ada dua faktor utama yang menyebabkan kehadiran KLHS dibutuhkan saat ini: pertama, KLHS mengatasi kelemahan dan keterbatasan AMDAL, dan kedua, KLHS merupakan instrumen yang lebih efektif untuk mendorong pembangunan berkelanjutan (Briffetta et al 2003). Manfaat lebih lanjut yang dapat dipetik dari KLHS adalah (OECD 2006; Fischer 1999; UNEP 2002):

a) Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan keputusan;

b) Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui pengkajian secara sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan yang tersedia;

c) Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi;

d) Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan para pengambil keputusan akan adanya peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan;

e) Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi;

f) Melindungi aset-aset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan;

g) Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.

Rekomendasi Kebijakan. Mengingat beraneka ragamnya manfaat KLHS yang telah diformulasikan oleh kalangan akademisi, pakar dan lembaga-lembaga internasional, maka di dalam Pedoman Umum KLHS perlu diformulasikan manfaat KLHS yang bersifat generik yang memayungi manfaat KLHS Kebijakan, Rencana, atau Program. Manfaat yang diutarakan di atas adalah manfaat generik KLHS.

PRINSIP, NILAI DASAR, DAN MUTU KLHSSeperti halnya definisi KLHS, hingga saat ini boleh dikatakan tidak ada prinsip-prinsip KLHS yang secara universal diterima oleh semua pihak. Namun demikian dari pilot project aplikasi KLHS yang diselenggarakan oleh KLH-DANIDA2; beberapa prinsip KLHS yang diletakkan oleh Sadler dan Verheem (1996) serta Sadler dan Brook (1998), tampaknya sesuai untuk situasi Indonesia. Prinsip-prinsip dimaksud adalah:

• Sesuai kebutuhan (fit-for-the purpose)• Berorientasi pada tujuan (objectives-led) • Didorong motif keberlanjutan (sustainability-

driven) • Lingkup yang komprehensif (comprehensive

scope)• Relevan dengan kebijakan (decision-relevant)• Terpadu (integrated)• Transparan (transparent)• Partisipatif (participative)• Akuntabel (accountable)• Efektif-biaya (cost-effective)

Dari serangkaian workshop integrasi kepentingan lingkungan dalam perencanaan ruang yang dilakukan di Jakarta, Bali, Semarang, Balikpapan, Makassar

Tabel 3. Tiga Macam Maksud dan Tujuan KLHS

Maksud (Aim) Tujuan Generik (Generic Objectives)

Instrumental Mengidentifikasi dampak penting lingkungan dari usulan kebijakan, rencana, atau program untuk mendukung proses pengambilan keputusan

Transformatif Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam kebijakan, rencana, atau program.

Substantif Memperbaiki mutu dan proses formulasi kebijakan, rencana, dan program

Memfasilitasi proses pengambilan keputusan agar dapat menyeimbangkan tujuan lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi

Meminimalisir potensi dampak penting negatif yang akan timbul sebagai akibat dari usulan kebijakan, rencana, atau program (tingkat keberlanjutan lemah)

Melakukan langkah-langkah perlindungan lingkungan yang tangguh (tingkat keberlanjutan moderat)

Memelihara potensi sumberdaya alam dan daya dukung air, udara, tanah dan ekosistem (tingkat keberlanjutan moderat sampai tinggi)

Sadler (2005: 20)

2 Di Pilot Project KLHS Region Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning), antara lain ditelaah pula seberapa jauh prinsip-prinsip KLHS yang diutarakan oleh Sadler dan Verhem (1996) serta Sadler dan Brook (1998) dapat diaplikasikan.

Page 17: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

2

Arah Kebijakan KLHS di Indonesia | 7

Bab

pada periode bulan Juli – September 2007, dan pilot project KLHS yang diselenggarakan oleh KLH-DANIDA, terformulasi nilai-nilai dasar yang dipandang penting untuk dianut dalam aplikasi KLHS di Indonesia. Nilai-nilai dimaksud adalah:

• Keterkaitan (interdependency)• Keberlanjutan (sustainability)• Keadilan sosial dan ekonomi (socio and economic

justice)

Satu hal yang juga perlu dijadikan standar adalah kriteria mutu KLHS. Dengan hadirnya kriteria ini

dapat diukur seberapa jauh mutu KLHS. Berkenaan dengan hal ini The International Association of Impact Assessment (IAIA) menerbitkan kriteria kinerja KLHS. Tujuan ditetapkannya kriteria ini antara lain adalah untuk memandu pengembangan proses, metode, dan kelembagaan KLHS, serta mengevaluasi efektivitas KLHS yang tengah berlangsung (IAIA 2002) (lihat Box 1).

Rekomendasi Kebijakan. Prinsip-prinsip, nilai-nilai dasar, dan kriteria kualitas merupakan hal yang penting untuk dicantumkan dalam Handbook KLHS Indonesia.

KLHS yang bermutu baik adalah yang menginformasikan kepada para perencana, pengambil keputusan, dan masyarakat yang terkena dampak, perihal: keputusan strategis yang diambil (dimana keputusan tersebut telah mengadopsi prinsip keberlanjutan), memfasilitasi pencaharian alternatif yang paling baik, dan menjamin proses pengambilan keputusan berlangsung demokratis. KLHS semacam ini akan meningkatkan kredibilitas keputusan yang diambil, dan mendorong terjadinya kajian dampak lingkungan pada tingkat proyek (AMDAL) yang lebih efektif biaya dan waktu. Untuk memenuhi maksud tersebut maka KLHS yang bermutu baik adalah yang:

TERPADU• Memastikan bahwa kajian dampak lingkungan yang tepat untuk semua tahap keputusan strategis sudah

relevan untuk tercapainya pembangunan keberlanjutan.• Memuat saling keterkaitan antara aspek biofisik, sosial dan ekonomi.• Terkait secara hirarkis dengan kebijakan di sektor tertentu dan wilayah (lintas batas), dan bilamana

perlu, dengan proyek AMDAL dan pengambilan keputusan.

KEBERLANJUTAN• Memfasilitasi identifikasi opsi-opsi pembangunan dan alternatif proposal yang lebih layak

FOKUS• Menyediakan informasi yang cukup, andal, dan dapat digunakan utuk perencanaan pembangunan dan

pengambilan keputusan• Konsentrasi ke isu-isu penting pembangunan berkelanjutan.• Disesuaikan dengan karakteristik proses pengambilan keputusan.• Efektif biaya dan waktu.

AKUNTABEL • Pengambilan keputusan yang bersifat strategik merupakan tanggung jawab instansi yang

berkepentingan.• Dilakukan secara profesional, tegas, fair, tidak berpihak, dan seimbang.• Perlu dikontrol dan diverifikasi oleh pihak independen• Justifikasikan dan dokumentasikan bagaimana isu-isu keberlanjutan dipertimbangkan dalam

pengambilan keputusan.

PARTISIPATIF• Libatkan dan informasikan para pihak yang berkepentingan, masyarakat yang terkena dampak, dan

instansi pemerintah di sepanjang proses pengambilan keputusan.• Cantumkan secara eksplisit masukan dan pertimbangan dalam dokumentasi dan pengambilan

keputusan.• Memiliki kejelasan informasi, permohonan informasi yang mudah dipahami, dan menjamin akses yang

memadai untuk ke semua informasi yang dibutuhkan

ITERATIF• Memastikan tersedianya hasil kajian sedini mungkin untuk mempengaruhi proses pengambilan

keputusan dan memberi inspirasi pada perencanaan masa datang.• Menyediakan informasi yang cukup perihal dampak aktual dari keputusan strategis yang

diimplementasikan, untuk menilai apakah keputusan harus diamandemen dan memberi basis untuk masa depan.

Box 1. Kriteria Kinerja Kajian Lingkungan Hidup Strategis (IAIA 2002)

Page 18: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs
Page 19: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

3

Kelembagaan dan Pendekatan KLHS | 9

Bab

Kelembagaan dan Pendekatan KLHS3

Bab

Dalam dua puluh tahun terakhir, KLHS telah menempuh tiga tahap evolusi. Pertama, tahap

formasi (1970-1988), kedua, tahap formalisasi (1989-2000), dan ketiga, tahap pengembangan (2001-sekarang). Sebagai refleksi atas evolusi KLHS tersebut, kini terdapat berbagai model kelembagaan dan pendekatan KLHS yang telah dikembangkan di berbagai negara (UNEP 2002; Saddler 2005):

KLHS ditetapkan secara formal dalam peraturan perundangan atau kebijakan tertentu (EIA Mainframe)

Dalam pola ini, KLHS secara formal ditetapkan sebagai bagian dari peraturan perundangan AMDAL (contoh: Belanda), atau ditetapkan melalui ketentuan atau kebijakan lain yang terpisah dari peraturan perundangan AMDAL, namun memiliki prosedur yang terkait dengan AMDAL (contoh: Canada). Model kelembagaan KLHS semacam ini disebut pula sebagai “EIA Mainframe” atau “EIA-based”.

KLHS sebagai instrumen penilaian lingkungan (Modified EIA/Appraisal Style)

Dalam pendekatan ini KLHS diselenggarakan a) sebagai proses yang terpisah dengan sistem AMDAL; dan b) menggunakan prosedur dan pendekatan yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga menyerupai atau memiliki karakteristik sebagai penilaian lingkungan (environmental appraisal) atau penilaian kebijakan (policy appraisal). Pola kelembagaan semacam ini terbentuk karena terkait dengan proses pengambilan keputusan di parlemen atau kabinet. Dalam beberapa kasus, KLHS diselenggarakan sebagai bagian dari penilaian yang lebih luas (Norwegia, Inggris, Bank Dunia), atau sebagai bagian dari uji kebijakan yang lain (Belanda). Model kelembagaan KLHS semacam ini disebut sebagai “EIA Modified/Appraisal Style” atau “Environmental Appraisal”.

KLHS sebagai kajian terpadu atau penilaian keberlanjutan (Integrated Assessment/Sustainability Appraisal)

Dalam pendekatan ini, KLHS dipayungi oleh –atau ditempatkan sebagai bagian dari kajian dampak

lingkungan yang lebih luas, yakni dimana penilaian dampak sosial, ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan dinilai secara simultan. Walau masih terus mencari bentuk, pola kelembagaan semacam ini dianut oleh Komisi Eropa, Inggris, dan Hongkong.

KLHS sebagai pendekatan untuk pengelolaan berkelanjutan sumberdaya alam (Sustainable Resource Management)

Dalam pendekatan ini KLHS diaplikasikan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Selandia Baru merupakan contoh untuk model a) dimana dampak dari kebijakan dan rencana yang dibuat harus mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam yang lebih luas. Sementara model b) diaplikasikan di Australia dimana setiap produk perikanan yang diekspor atau yang ditangani oleh pemerintah pusat dikenakan wajib KLHS.

Mengingat empat pendekatan atau kelembagaan KLHS tersebut satu sama lain saling terkait atau tumpang tindih (overlapping), maka empat pendekatan tersebut lebih tepat didefinisikan sebagai spektrum tipe pelembagaan dan pendekatan KLHS (Sadler 2005:16). Dengan cara pandang ini, terlihat adanya pergeseran pendekatan KLHS: dari yang semula spesifik dan memiliki prosedur yang terpisah ke pendekatan terpadu, dimana secara substantif dan prosedural KLHS merupakan bagian dari proses kebijakan/rencana atau penilaian yang lebih besar.

Pergeseran pendekatan KLHS tersebut secara grafis dapat digambarkan dalam satu kontinum. Di ujung kontinum yang satu, KLHS masih berorientasi untuk menjamin lingkungan hidup dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan sosial dan ekonomi yang bersifat strategis. Di ujung kontinum yang lain, titik berat pendekatan KLHS bertumpu pada penilaian terpadu (integrated assessment) terhadap faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi secara seimbang (OECD 2006) (lihat pula Gambar 2).

Page 20: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

3

| Kelembagaan dan Pendekatan KLHS10

Bab

Sejalan dengan yang diutarakan pada butir di atas, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa KLHS tidak berpretensi atau diarahkan untuk membuat suatu sistem kelembagaan dan prosedur yang baru

dan terpisah. KLHS justru lebih diarahkan untuk menjamin bahwa seperangkat prinsip dan nilai dasar KLHS (lihat sub-Bab 3.5) diaplikasikan ke dalam sistem yang sudah ada agar efektivitas sistem bersangkutan menjadi meningkat. Berangkat dari pemikiran ini, KLHS harus dipandang sebagai suatu proses yang adaptif dan kontinyu dengan fokus utama terletak pada tata pengaturan (governance) dan penguatan kelembagaan, tidak sekedar sebagai pendekatan teknis, linier, dan sederhana sebagaimana dijumpai dalam AMDAL (OECD 2006).

Melihat perkembangan yang telah diutarakan, pendekatan KLHS yang dipandang tepat untuk dikembangkan di Indonesia harus dinilai pula dari segi faktor-faktor berikut: a) kapasitas institusi dan kemampuan sumberdaya manusia; b) tingkat kesulitan aplikasi dan review KLHS; c) peluang lahirnya kebijakan, rencana, dan program yang lebih baik, dan; d) peluang

bertambahnya birokrasi dengan adanya aplikasi KLHS. Pada Tabel 4 berikut dipaparkan opsi kelembagaan/pendekatan KLHS dengan mempertimbangkan empat faktor dimaksud.

Rekomendasi Kebijakan. Melihat Tabel 4 tersebut, kebijakan kelembagaan KLHS di Indonesia sedapat mungkin diarahkan sebagai berikut:

a) Sejauh mungkin tidak ditetapkan kebijakan KLHS yang sama dan seragam untuk seluruh tipe aplikasi KLHS di Indonesia.

b) Mendorong agar pemerintah pusat (sektor/departemen), dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota menetapkan sendiri kelembagaan/pendekatan KLHS yang dipandang sesuai dengan mempertimbangkan: kapasitas institusi dan sumberdaya manusia yang tersedia, serta urgensi dan kompleksitas persoalan yang dihadapi.

Tabel 4. Opsi Kelembagaan/Pendekatan KLHS untuk Indonesia

FaktorKelembagaan/Pendekatan KLHS

EIA mainframe

EIA Modified

Integrated Assessment

Sustainable Resource

Kebutuhan akan kapasitas institusi dan sumberdaya manusia

S S T T

Tingkat kesulitan aplikasi dan review KLHS R S T T

Peluang lahirnya KRP yang lebih baik S S T T

Peluang bertambahnya birokrasi T S R R

T : Tinggi; S: Sedang; R: Rendah

Lingkungan

Ekonomi

Sosial

Lingkungan

Ekonomi

Sosial

Lingkungan

Ekonomi

Sosial

Instrumen Kajian Ekonomi

Instrumen Kajian Sosial

Kebijakan, Rencana atau Program Pembangunan

Gambar 2. Kontinum Kajian KLHS – dari independen ke integrasi (OECD 2006)

Page 21: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

3

Kelembagaan dan Pendekatan KLHS | 11

Bab

TIPE APLIKASI KLHSKLHS merupakan konsep yang luas dan terbuka untuk berbagai variasi. Di Indonesia sejauh ini telah ada 10 aplikasi KLHS yang tergolong dalam 6 tipe aplikasi KLHS, yakni (lihat pula Tabel 5 dan Gambar 3):

• Integrasi KLHS dalam perencanaan ruang/regional

• Integrasi KLHS dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah Daerah

• Integrasi KLHS dalam penapisan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah Nasional

• KLHS program perkotaan

• KLHS sektor

• KLHS kebijakan nasional

Setiap tipe aplikasi KLHS di atas berpijak pada dimensi ruang dan waktu dari kerangka pembangunan nasional, dan dalam konteks peraturan perundangan dan sistem perencanaan nasional. Demikian pula, 10 aplikasi KLHS yang pernah dilakukan di Indonesia terentang dari lokal hingga nasional dan mencakup kebijakan, rencana, dan program.

Rekomendasi Kebijakan. Pertama, mengingat hingga saat ini belum ada kebijakan formal untuk menaungi KLHS di Indonesia, sementara aplikasi KLHS yang pernah dilakukan tergolong beragam/lebar, maka dipandang penting untuk mulai disusun suatu Panduan Umum KLHS yang dapat memayungi keanekaragaman aplikasi KLHS di Indonesia, baik untuk keperluan saat ini maupun di masa mendatang.

Tabel 5. Lima Tipe Aplikasi KLHS yang Pernah Diaplikasikan di Indonesia

Aplikasi KLHS Fokus Institusi yang Bertanggung Jawab

Program Program Perkotaan Departemen Dalam Negeri

Rencana Ruang Perencanaan Ruang (RTRW) Departemen PU,

Rencana Pembangunan Perencanaan Pesisir Departemen KP/Kehutanan

Perencanaan DAS Pemprov/Kabupaten/Kota

Sektor RPJP(D) , RPJM(D) Departemen Dalam Negeri,

Kebijakan RPJP(N), RPJM(N) Pemerintah Provinsi,

Belum dikembangkan Pemerntah Kabupaten/Kota

Pernah dikembangkan Bappenas

Departemen sektoral, KLH

KLH, Bappenas

Nasional

Provinsi

Kabupaten

Kota

Proyek

Proyek Program Rencana Kebijakan

Waktu

Ruang

KLHS Sumberdaya Alam (SENRA)

KLHS Perkotaan (NUES)

KLHSSektor

KLHSRPJM

KLHSRTRW

AMDAL

Gambar 3. Pijakan KLHS menurut Dimensi Waktu dan Ruang

Page 22: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

3

| Kelembagaan dan Pendekatan KLHS12

Bab

Kedua, kerangka kerja (framework) KLHS akan dimuat dalam Panduan Umum KLHS. Panduan umum ini akan menjadi landasan bagi Panduan Teknis yang bersifat lebih rinci yang berlaku untuk setiap tipe aplikasi KLHS (lihat Gambar 4). Bila aplikasi KLHS merupakan bagian dari peraturan perundangan atau sistem perencanaan yang lebih besar, maka panduan/prosedur teknis tersebut akan dirancang sebagai bagian dari instrumen yang lebih besar. Dalam Panduan Umum dipaparkan definisi KLHS yang bersifat generik, tujuan, manfaat, prinsip dan nilai-nilai dasar KLHS dan kemudian dilengkapi dengan lampiran atau bagian yang memaparkan panduan teknis untuk setiap tipe aplikasi KLHS. Di masa mendatang terbuka kemungkinan disusun suatu prosedur teknis baru untuk aplikasi KLHS tertentu.

PROSEDUR DAN METODE KLHSSEA can be described as a family of approaches using a variety of tools, rather than a single, fixed, and prescriptive approach (OECD 2006; Partidario 2000)

Aplikasi KLHS di berbagai belahan dunia dalam beberapa tahun terakhir ini semakin menunjukkan bukti bahwa tidak ada satu cara yang sama untuk aplikasi KLHS. KLHS dapat disusun melalui banyak cara. Boleh dikatakan KLHS merupakan family of tools. Terlepas sebagai KLHS sektoral, kebijakan, regional sustainability appraisal, atau programatik, KLHS dapat mengadopsi multi-bentuk (form) dan nama, serta sekaligus memberi penilaian atas keputusan strategis dalam konteks kajian dampak yang lebih luas.

Oleh karena itu, KLHS yang kini dipandang bermutu adalah yang dapat diadaptasikan dan disesuaikan (tailor-made) dengan konteks aplikasinya. Tiga prosedur atau form KLHS dalam Tabel 6 berikut ini merupakan opsi yang dapat dipilih dan disesuaikan dengan tuntutan permintaan para pihak.

Rekomendasi Kebijakan. Sangat penting di dalam Panduan Umum dan Panduan Teknis KLHS yang akan disusun untuk menghindari adanya pembakuan prosedur, kelembagaan, metode, alat-alat analisa, atau format KLHS.

KLHS Tata Ruang

KLHSSektor

KLHSRPJM

KLHS KebijakanSumberdaya

Alam

KLHS Region Perkotaan

Panduan Teknis

Panduan Umum

Gambar 4. Panduan Umum dan Panduan Teknis KLHS

Tabel 6. Berbagai Bentuk Prosedur KLHS

Prosedur KLHS

EIA Mainframe EIA Modified/Appraisal Resource Integrated Assessment (RIA)

1. Penapisan 1. Penapisan Awal 1. Kajian Awal

2. Pelingkupan 2. Analisis efek lingkungan 2. Parsial RIA

3. Penulisan Laporan a. Lingkup dan karakter efek potensial

3. Final RIA

4. Partisipasi Masyarakat b. Kebutuhan penanggulangan efek

5. Konsultasi c. Lingkup & karakter efek residual

6. Pengambilan Keputusan d. Tindak lanjut, termasuk pemantauan efek

7. Pemantauan e. Kepedulian masyarakat & para pihak

Sadler (2005)

Page 23: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

3

Kelembagaan dan Pendekatan KLHS | 13

Bab

SUKARELA vs WAJIBPenetapan status sukarela atau wajib KLHS perlu dipertimbangkan secara cermat, mengingat keduanya mempunyai alasan yang sama kuat, seperti dipaparkan berikut ini:

a) Bila KLHS bersifat wajib, maka ada tiga konsekuensi yang akan dihadapi.

• Kemungkinan besar akan timbul penolakan dari sektor (departemen) dan pemerintah daerah. Penolakan terutama muncul karena aplikasi KLHS lebih ditanggapi oleh pemerintah daerah otonom sebagai upaya pemerintah pusat untuk kembali mengontrol.

• Merujuk fakta bahwa sebagian besar proyek pembangunan pemerintah yang tergolong wajib AMDAL justru tidak melakukan penyusunan AMDAL, maka besar kemungkinan hal serupa akan timbul bila KLHS berstatus wajib.

• Kalaupun ada sektor atau daerah yang melakukan KLHS terhadap kebijakan, rencana, dan program pembangunan, besar kemungkinan KLHS yang dilakukan lebih ditujukan untuk memenuhi kewajiban daripada digunakan sebagai instrumen untuk mendorong keberlanjutan (sustainability) kebijakan, rencana, dan program-program pembangunan.

b) Bila KLHS ditetapkan sukarela, maka ada dua konsekuensi yang akan dihadapi:

• Besar kemungkinan tidak banyak sektor atau daerah yang akan menerapkan KLHS karena

ketidak-tahuan tentang peran, manfaat, lingkup dan prosedur aplikasi KLHS. Terlebih lagi bila mengingat bahwa pelaksanaan KLHS bersifat sangat fleksibel dan tidak deterministik seperti AMDAL. Sementara itu, kalangan aparatur pemerintah umumnya membutuhkan panduan teknis yang sering amat spesifik untuk penyelenggaraan kebijakan, rencana, program, atau proyek-proyek pembangunan.

• Kemungkinan yang menyelenggarakan KLHS terbatas jumlahnya, namun pelaksanaan KLHS tersebut pasti didorong oleh kesungguhan dan niat untuk mencegah dan mengendalikan kerusakan lingkungan ketimbang karena semata untuk memenuhi persyaratan formal.

Rekomendasi Kebijakan. Melihat situasi yang telah diutarakan, urgensi persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini, serta pandangan para pihak dalam pertemuan-pertemuan Inter-Ministerial Working Group KLHS, maka wajib-tidaknya KLHS lebih baik bersifat kontekstual. Format kelembagaan ini mengandung pengertian dan tata-laksana sebagai berikut:

a) KLHS bersifat wajib untuk kebijakan, rencana, atau program yang bertujuan untuk mencegah kerusakan lingkungan dan punahnya sumber-sumber daya alam lebih jauh. Tipe KLHS tanpa proses penapisan ini diterapkan dalam perencanaan tata ruang serta perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah. Adapun pembagian kewenangan penetapan KLHS berikut instansi yang bertangung jawab untuk melaksanakannya, dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Daftar Wajib KLHS Tanpa Proses Penapisan yang Ditetapkan oleh Instansi yang Berwenang

Instansi yang Berwenang Menetapkan Wajib KLHS

Wajib KLHS Tanpa Proses PenapisanInstansi yang Bertanggung

Jawab Melakukan KLHS

Departemen PU • Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)

Departemen PU

• Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten, atau Kota

Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota

BAPPENAS • RPJP Nasional• RPJM Nasional

BAPPENAS

Departemen Dalam Negeri RPJP(D) dan RPJM(D) Provinsi, Kabupaten, atau Kota

Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota

Page 24: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

3

| Kelembagaan dan Pendekatan KLHS14

Bab

b) Usulan-usulan kebijakan, rencana, atau program (KRP) yang tergolong wajib aplikasi KLHS adalah yang memenuhi satu atau lebih kriteria berikut ini:

1. KRP tersebut dapat mempercepat kepunahan sumber-sumber daya alam (hutan, lahan, air, pantai, kenakeragaman hayati).

2. KRP tersebut dapat mencegah peningkatan intensitas terjadinya bencana lingkungan (banjir, erosi, kekeringan di musim kemarau) khususnya di wilayah yang telah mengalami krisis lingkungan.

3. KRP tersebut berpotensi menurunkan kualitas air dan udara, dan ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh wilayah luas yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi.

4. KRP tersebut berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin karena adanya pembatasan akses mereka terhadap sumber-sumber daya alam.

5. KRP tersebut mengancam keberlanjutan dalam jangka panjang.

c) Mengingat posisi strategis KLHS terkait dengan otonomi daerah, maka tingkat peraturan perundangan yang memadai untuk menetapkan kewajiban KLHS adalah Peraturan Pemerintah, yang harus mencakup definisi, tujuan, partisipasi publik, jaminan kualitas, serta jenis aplikasi dan lembaga penanggung jawab pelaksanaan KLHS.

Page 25: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs

3

Kelembagaan dan Pendekatan KLHS | 15

Bab

Briffetta, C., Obbardb, J.P., dan Mackee (2003) Towards SEA for the developing nations of Asia. Environmental Impact Assessment Review. 23 (2003) 171–196

Fischer, T.B. (1999) Benefits Arising from SEA Application: A Comparative Review of North West England, Noord-Holland, and Brandenburg-Berlin. Environmental Impact Assessment Review. 19 (1999) 143-173

IAIA (2002) Strategic Environmental Assessment: Performance Criteria. Special Publication Series No.1, International Association for Impact Assessment (www.iaia.org/publications).

OECD (2006) Applying Strategic Environmental Impact Assessment: Good Practice Guidance for Development Co-operation. OECD Publishing.

Partidario, M.R. (2000) Elements of an SEA framework—improving the added-value of SEA. Environmental Impact Assessment Review. 20 (2000) 647–663

Sadler, B (1999) A framework for environmental sustainability assessment and assurance, in Petts J (ed.) Handbook of Environmental Impact Assessment, (Volume 1), Blackwell Scientific Ltd. Oxford, 12-32.

Sadler, B (2005) Strategic Environmental Assessment at the Policy Level: Recent Progress, Current Status and Future Prospect. Editor. Ministry of The Environment, Czech Republic. Praha.

Sadler B (2002) From environmental assessment to sustainability appraisal, Environmental Assessment Yearbook 2002, Institute of Environmental Management and Assessment, Lincoln and EIA Centre, University of Manchester, 145-152.

Sadler B. and Brook C. (1998) Strategic Environmental Appraisal, Department of the Environment, Transport and the Regions, London, UK.

Sadler, B. dan Verheem, R. (1996) Strategic Environmental Assessment: Status, Challenges and Future Directions. Report no. 53. The Hague: Ministry of Housing, Physical Planning and Environment.

UNEP (United Nation Environmental Program) (2002) EIA Training Resource Manual.

Therivel et al (1992) Strategic Environmental Assessment, Earthscan, London: Earthscan.

Daftar Pustaka

Page 26: Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan Naskah Kebijakan Klhs