Mengakhiri Masa Transisi

3
Mengakhiri Masa Transisi Oleh H.Veri Muhlis Arifuzzaman Ketua GEMA ORMAS MKGR Banten dan Ketua Perhimpunan Menata Tangsel Fenomena mutakhir seputar politik-kebangsaan cukup menggugah perhatian kita untuk melihat kembali proses transisi demokrasi. Di ranah kekuasaan misalnya, pemerintah gagal mengonsolidasi diri menjadi kekuatan penggerak sekaligus penopang nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Kegagalan itu, salah satunya, bisa dilihat dari terjeratnya beberapa elit pemerintah dalam kasus korupsi seperti kasus Century, Hambalang, impor daging sapi dan semacamnya. Pada sisi lain, di ranah kebangsaan, gejolak komunalisme dan primordialisme semakin meluas di mana setiap kelompok lebih mengedepankan kepentingan masing-masing. Organisasi massa saling mengibarkan bendera, memaksakan kehendak komunal bahkan dengan cara kekerasan. Sedangkan ruang sosial dipolitisasi sedemikian rupa sehingga masyarakat tersekat-sekat ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Secara sepintas, kondisi tersebut memberi gambaran tentang bagaimana proses transisi demokrasi yang sedang kita tempuh. Proses itu menemui hambatan besar di dua ranah sekaligus, yaitu ranah kekuasaan dan ranah kebangsaan. Ironisnya, hal itu terjadi berulang-ulang seolah terjebak di lingkaran absurd, tanpa menemukan titik pijak dan titik puncak. Demokrasi memang berlangsung tetapi prahara dan muaranya tidak pernah berujung. Lalu, ke manakah politik-kebangsaan kita mengarah? Kapan kita mengakhiri masa transisi ini? Dalam transisi demokrasi berlaku tesis bahwa suatu negara akan berhasil melewati masa transisi apabila seluruh elemen bangsa mengonsolidasi diri sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Kasus Amerika Latin, Afrika, Argentina dan sebagainya sangat lamban bahkan bermasalah dalam proses demokratisasi karena gagalnya konsolidasi. Karena itu, demokrasi harus dikonsolidasi secara menyeluruh dengan mengeliminasi semua hal yang menjadi antitesa utamanya. Krisis Bernegara Pada prinsipnya, persoalan yang terjadi di ranah kekuasaan maupun kebangsaan, bersumber dari terkikisnya jiwa bernegara. Komunalisme dan primordialisme tak akan pernah muncul jika komitmen bernegara terpatri dalam segenap elemen bangsa. Komitmen itu ditegaskan dalam setiap sikap dan perilaku yang lebih mengedepankan kebajikan bersama ketimbang kepentingan diri atau kelompok. Dengan

description

Transisi harus diakhiri

Transcript of Mengakhiri Masa Transisi

Page 1: Mengakhiri Masa Transisi

Mengakhiri Masa TransisiOleh H.Veri Muhlis ArifuzzamanKetua GEMA ORMAS MKGR Banten dan Ketua Perhimpunan Menata Tangsel

Fenomena mutakhir seputar politik-kebangsaan cukup menggugah perhatian kita untuk melihat kembali proses transisi demokrasi. Di ranah kekuasaan misalnya, pemerintah gagal mengonsolidasi diri menjadi kekuatan penggerak sekaligus penopang nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Kegagalan itu, salah satunya, bisa dilihat dari terjeratnya beberapa elit pemerintah dalam kasus korupsi seperti kasus Century, Hambalang, impor daging sapi dan semacamnya.

Pada sisi lain, di ranah kebangsaan, gejolak komunalisme dan primordialisme semakin meluas di mana setiap kelompok lebih mengedepankan kepentingan masing-masing. Organisasi massa saling mengibarkan bendera, memaksakan kehendak komunal bahkan dengan cara kekerasan. Sedangkan ruang sosial dipolitisasi sedemikian rupa sehingga masyarakat tersekat-sekat ke dalam kelompok-kelompok tertentu.

Secara sepintas, kondisi tersebut memberi gambaran tentang bagaimana proses transisi demokrasi yang sedang kita tempuh. Proses itu menemui hambatan besar di dua ranah sekaligus, yaitu ranah kekuasaan dan ranah kebangsaan. Ironisnya, hal itu terjadi berulang-ulang seolah terjebak di lingkaran absurd, tanpa menemukan titik pijak dan titik puncak. Demokrasi memang berlangsung tetapi prahara dan muaranya tidak pernah berujung. Lalu, ke manakah politik-kebangsaan kita mengarah? Kapan kita mengakhiri masa transisi ini?

Dalam transisi demokrasi berlaku tesis bahwa suatu negara akan berhasil melewati masa transisi apabila seluruh elemen bangsa mengonsolidasi diri sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Kasus Amerika Latin, Afrika, Argentina dan sebagainya sangat lamban bahkan bermasalah dalam proses demokratisasi karena gagalnya konsolidasi. Karena itu, demokrasi harus dikonsolidasi secara menyeluruh dengan mengeliminasi semua hal yang menjadi antitesa utamanya.

Krisis BernegaraPada prinsipnya, persoalan yang terjadi di ranah kekuasaan maupun kebangsaan,

bersumber dari terkikisnya jiwa bernegara. Komunalisme dan primordialisme tak akan pernah muncul jika komitmen bernegara terpatri dalam segenap elemen bangsa. Komitmen itu ditegaskan dalam setiap sikap dan perilaku yang lebih mengedepankan kebajikan bersama ketimbang kepentingan diri atau kelompok. Dengan kata lain, jiwa bernegara merupakan kunci utama bagi berhasilnya proses transisi demokrasi.

Krisis jiwa bernegara akan mengakibatkan gagalnya konsolidasi demokrasi. Penguasa sibuk mengamankan kekuasaan, elit politik mengedepankan kepentingan partai, masyarakat mengalami disorientasi dan menjelma menjadi kelompok massa yang cenderung anarkhis. Selama krisis ini tidak diatasi, maka selama itu pula seluruh elemen bangsa tidak akan berhasil mengonsolidasikan diri. Jika demikian, maka era transisi demokrasi sampai kapan pun tidak akan berhasil pula dilewati.

Langkah pertama dalam mengatasi masalah tersebut harus dimulai dari elemen pemerintah sebagai pemangku jabatan lembaga negara. Pemerintah dan para elit politik harus mampu berdiri di tengah perbedaan kepentingan serta berkomitmen untuk memajukan bangsa. Kesamaan platform kebangsaan sangat dibutuhkan untuk menghancurkan sekat-sekat ideologis atau kepentingan dalam rangka konsolidasi demokrasi.

Setelah itu, upaya meneguhkan jiwa bernegara perlu dilakukan dengan fokus pada dua hal. Yakni memperkuat negara dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Upaya pertama berkaitan dengan upaya negara dalam menjamin kesejahteraan warganya. Di sini

Page 2: Mengakhiri Masa Transisi

kesejahteraan warga negara berbanding lurus dengan semakin kuatnya suatu negara. Semakin sejahtera warga negara maka akan semakin kuat suatu negar. Begitu pula sebaliknya.

Negara dengan tingkat kesejahteraan rendah hanya akan melahirkan tindakan yang menentang keutuhan. Tindakan seperti seperti kriminalitas, konflik gampang mengemuka sehingga melemahkan negara. Tak ada lagi pertimbangan rasional untuk menjalin suatu kesatuan dalam bingkai kebangsaan. Jiwa bernegara tercabik-cabik oleh kemiskinan sehingga penetrasi ideologi yang bertentangan dengan dasar negara mudah diterima.

Upaya kedua bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan kebangsaan yang dimulai sejak dini di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa orde baru, terdapat penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) serta pendidikan moral Pancasila untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan sesuai ideologi negara. Akan tetapi pada masa reformasi, karena dinilai indoktrinasi, P4 kemudian dihapuskan dan pendidikan moral Pancasila diganti dengan pendidikan kewarganegaraan.

Celakanya, perangkat pengganti itu tak begitu memadai untuk menanamkan nilai-nilai ideologis Pancasila karena tingkat kompetensinya sangat sederhana. Alih-alih menularkan nilai itu dalam jiwa bangsa, untuk memahami saja kurang memadai. Maka sangat wajar bila belakangan karakter bangsa untuk hidup toleran, terbuka, dan satu visi mewujudkan cita-cita kebangsaan mulai pudar.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita bersama, terutama pemerintah, untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Dua hal tersebut merupakan syarat utama dalam menempuh haluan sentripetal kebangsaan kita. Sikap mengedepankan kepentingan diri atau kelompok serta hal-hal yang menghambat konsolidasi demokrasi harus segera diakhiri. Jika tidak, maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah berhasil keluar dari lingkaran absurd itu.