24 - bigcms.bisnis.combigcms.bisnis.com/file-data/1/2368/47987778_Des17-EnsevalPutera... ·...

1

Transcript of 24 - bigcms.bisnis.combigcms.bisnis.com/file-data/1/2368/47987778_Des17-EnsevalPutera... ·...

kamis 29 maRET 2018

Oleh Arnoldus Kristianus

JAKARTA – Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan Perry Warjiyo sebagai gubernur Bank Indonensia (BI) terpilih menggantikan Agus DW Martowardojo yang akan mengakhiri masa jabatan-nya pada Mei mendatang. Pada saat yang hampir ber-samaan, DPR juga memu-tuskan Dody Budi Waluyo sebagai deputi gubernur BI untuk menggatikan Perry Warjiyo, dengan menyisih-kan dua calon lainnya.

24

Keputusan ini diambil melalui musya­warah mufakat oleh 10 fraksi yang ada se telah masing­masing menyampaikan pan dangan tentang calon yang disetujui. Kesepuluh fraksi berharap agar melalui kepemimpinan yang baru ini, BI dapat melakukan sejumlah kebijakan terobosan, terutama untuk menjaga inflasi serta nilai tukar rupiah.

“Kami sudah memutuskan secara mu­syawarah mufakat bulat. Sebanyak 10 fraksi memutuskan untuk gubernur BI, Perry Warjiyo, dan deputi gubernur BI Dody Budi Waluyo. Keduanya memiliki rekam jejak yang mumpuni. Menurut saya, ini kombinasi team work yang bagus, dengan deputi gubernur lain,” ujar Ketua Komisi XI Melchias Markus Mekeng usai rapat pengambilan keputusan di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/2) sore.

Komisi XI DPR telah melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap Perry Warjiyo sebagai calon gubernur BI pada siang harinya. Sedang­kan Dody Budi Waluyo dan dua calon deputi gubernur BI lainnya, Wiwiek Sisto Widayat dan Doddy Zulverdi, menjalani uji kepatutan dan kelayakan sehari sebe­lumnya. Saat ini, Perry menjabat sebagai salah satu deputi gubernur BI, sedangkan Dody adalah asisten gubernur Departe­men Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI.

Mekeng berharap, ke depan BI bisa menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar ru­piah melalui langkah­langkah terobosan.

Ia melihat, selama ini nilai tukar rupiah selalu terpengaruh bila terjadi guncang­an di luar negeri. Padahal, kondisi nilai tukar seharsunya sejalan dengan kondisi ekonomi.

“Kami meminta BI untuk mengeluar­kan kebijakan supaya orang­orang yang meminjam duit di Indonesia, entah dolar atau rupiah, yang membuat produk untuk diekspor, hasil ekspornya 100% masuk ke indonesia kembali dan ditukarkan dengan mata uang lokal. Sehingga, kita tidak krisis likuiditas,” tutur Mekeng.

Sementara memasuki tahun politik, 2018 dan 2019, menurut Mekeng, BI perlu menjaga volume uang beredar. Sebab, saat tahun politik, biasanya terjadi perpu­taran uang dalam jumlah besar dan nilai tukar rupiah membutuhkan penjagaan ekstra. “Jangan hanya menggunakan cara konvensional, misalnya intervensi kalau dolar naik, harus ada terobosan lain yang membuat likuiditas dolar semakin kuat di sini,” ujar Mekeng.

Sedangkan dalam paparannya saat men jalani uji kepatutan dan kelayakan, Perry mengajukan visi untuk memajukan ekonomi nasional dengan menjaga stabili­tas dan mendorong pertumbuhan. Dua hal ini, menurut dia, tidak perlu dipertentang­kan karena bisa disinergikan. Caranya, instrumen di dalam kebijakan moneter perlu diarahkan kepada stabilitas.

Di sisi lain, kebijakan lain propertumbuh­an dilakukan melalui relaksasi kebijakan

makroprudensial untuk mendorong pem­biayaan perbankan yang tidak hanya kredit bagi korporasi. “Bagaimana mendorong pembiyaan kredit terhadap proper ti, demikian juga mendorong pembiayaan UMKM? Dilakukan melalui relaksasi,” ujar Perry.

Ia mengatakan, untuk mencapai tuju­an ini perlu dilakukan tujuh kebijakan strategis. Kebijakan tersebut adalah per­tama, efektivitas kebijakan moneter akan diperkuat untuk pengendalian inflasi dan stabilitas nilai tukar. Kedua, relaksasi kebi­jakan makroprudensial untuk mendorong pembiayaan perbankan.

Ketiga, pendalaman pasar keuangan serta pembiayaan infrastruktur. Keempat, pengembangan sistem pembayaran untuk ekonomi digital. “Kelima, pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Keenam, penguatan koordinasi dengan pemerin­tah, OJK, dan DPR. Terakhir, penguatan organisasi dan sumber daya manusia,” ujar Perry.

Ia mengatakan kebijakan moneter harus diarahkan untuk mengawal stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Ia menargetkan, dalam lima tahun akan ada peningkatan pertumbuhan ekonomi dari 5,2% menjadi 6%. Ini bisa dicapai melalui perluasan sum­ber­sumber pertumbuhan, tidak hanya infrastruktur, namun juga dari ekspor, manufaktur, dan pertanian.

Sementara untuk menyokong proyek infrastruktur yang membutuhkan pen­

danaan besar, menurut Perry, Perlu ada koordinasi antara pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan BI dalam pendalaman pasar keuangan. “Koordinasi dengan Ke­menkeu untuk perlakuan pajak, koordinasi dengan OJK untuk kemudahan sekuritas dan basis investor,” ujar Perry.

Gejolak Pasar Keuangan Ekonom Bank Mandiri Dendi Ramdani

mengatakan, tantangan utama BI saat ini yaitu mengatasi gejolak di pasar keuang­an terkait dengan rencana bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang akan me­naikan suku bunga acuannya lebih cepat menjadi empat kali. “BI harus mampu men jaga kurs mata uang rupiah agar tidak terlalu volatile dan tidak jauh dari nilai fundamentalnya,” ujar Dendi.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyampaikan, gubernur dan deputi gubernur BI terpilih diharapkan dapat menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Dua hal ini menjadi fak­tor utama untuk menghadirkan pemulihan ekonomi secara berkelanjutan.

Bauran kebijakan BI yakni kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, kebijakan sistem pembayaran, serta pe­ngelolaan uang rupiah perlu diperkuat untuk mendukung peningkatan efisiensi dan produktivitas. “Sehingga, pemulihan ekonomi dapat segera tertransformasikan menjadi pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan,” ujar Josua.

JAKARTA – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menga­takan, penanganan masalah ketimpangan yang selama ini menjadi perhatian pemerintah mulai menunjukkan tren yang membaik. Indikasi positif tersebut dapat dilihat dari pencapaian koefisien gini yang mulai membaik.

Bambang menyebutkan, pada periode 2012­2014, koefisien gini berada di angka 0,413, tetapi sejak periode 2015­2017 trennya terus menurun. Data 2017 menunjukkan sudah lebih dekat ke angka 0,39 atau menjauh dari 0,40.

“Secara konsep kalau koefisien gini 0,40 berarti tingkat ketimpangan sudah perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang tentunya tidak diinginkan. Namun, dengan perbaikan yang terus menerus, saat ini koefisien gini berada di 0,391 dan tentunya kita harapkan trennya terus membaik,” ujar Bambang dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu (28/3).

Sebelumnya, dalam acara Peluncuran IDF 2018 sekaligus Peluncuran Call for Papers IDF 2018, Bambang mengatakan bahwa masalah ketidakmerataan dan ketimpangan bukan hanya isu untuk Indonesia, melainkan juga menjadi isu du­nia. Di Indonesia, kata Bambang, selain ketimpangan antar individu, pembangunan Indonesia juga dihadapkan pada ketimpangan antarwilayah, baik antara Kawasan Barat Indo­nesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI); maupun antara daerah tertinggal dan daerah maju.

Sekitar 80,15% kontribusi wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari Kawasan Barat Indonesia, khu­susnya Pulau Jawa dan Sumatera. Sementara itu, Kawasan Timur Indonesia masih belum berkontribusi secara optimal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam soal kesenjangan antarwilayah, pertanyaanya bu­kan bagaimana menghilangkan kesenjangan wilayah, tapi bagaimana mengurangi kesenjangan yang sebenarnya juga tidak gampang. “Di Indonesia, pulau Jawa menyumbang 58% PDB, sementara luar Jawa 42% PDB,” ujarnya.

Bambang menambahkan kontribusi 58% PDB dari pulau Jawa terjadi sejak jaman desentralisasi. Seharusnya pen­erapan desentralisasi mengurangi kesenjangan, tapi ini kecenderungannya malah menaikkan kesenjangan. Untuk itu, harus ada upaya dan kerja yang lebih keras lagi untuk mengatasinya. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan membangun konektivitas.

Dalam konteks inilah, kata Bambang, pembangunan in­frastruktur sangat diperlukan karena sejatinya infrastruktur merupakan jawaban dari konektivitas. Kalau infrastruktur tidak dibangun, ekonomi menjadi tidak efisien.

Contoh, saat ini di Indonesia rasio biaya logistik terhadap total biaya produksi masih tinggi, yaitu 30%. Padahal yang ideal biaya logistik 5­7% dari total biaya produksi seperti yang selama ini berlangsung di negara maju.

“Jadi, mau tidak mau infrastruktur seperti pelabuhan, bandara, rel kereta api, dan jalan raya, semuanya memang harus dibangun,” tutur Bambang.

Saat ini menurut Bambang, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah telah banyak melaku­kan pembangunan infrastruktur, termasuk pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia bagian timur. Beberapa pembangunan yang dilakukan diantaranya pembangunan jalan Trans Papua, jalan paralel perbatasan di Kalimantan, di Nusa Tenggara Timur, dan di Papua. Pembangunan pusat­pusat pertumbuhan untuk menarik investasi, utamanya di luar Jawa serta percepatan pembangunan di wilayah­wilayah terdepan, terluar dan tertinggal yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah masing­masing.

Bambang mengatakan, pemerintah akan terus berupaya untuk meningkatkan pemerataan pembangunan dan ke­mandirian daerah yang berkelanjutan di seluruh wilayah di Indonesia, melalui sinergi pembangunan di seluruh sektor yang berkualitas, transparan, akuntabel, dan inovatif. Se­hingga pada gilirannya pembangunan yang berkelanjutan ini akan mengantarkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi baru dunia pada 2025. (ks)

Laporkan PajakSejumlah wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) LTO 4, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (28/3). Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan berharap tingkat kepatuhan pelaporan SPT kali ini meningkat hingga 80%. Adapun pada tahun sebelumnya, untuk pelaporan SPT pajak tahun 2016, tingkat kepatuhan WP mencapai 72 %.

Investor Daily/David Gita Roza

Zainudin
Typewriter
29 Maret 2018, Investor Daily | Hal.24