Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

14
1 Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto 1 Beberapa Catatan tentang pendekatan Konservasi dalam Revitalisasi Dr.-Ing. Ir. Widjaja Martokusumo Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Email: [email protected] Abstrak: Sebagai sebuah manifestasi dari berbagai proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam suatu kurun waktu, pembangunan kota merupakan respons terhadap perubahan/dinamika sosial-budaya dan kekuatan hegemoni ekonomi/politik. Perubahan kebijakan tentang pengelolaan tambang batu bara di Sawahlunto dan maraknya isu lingkungan telah mendorong dikembangkan kegiatan pengembangan Wisata Tambang. Upaya yang dituangkan kedalam visi Sawahlunto 2020, merupakan strategi dalam memanfaatkan keunggulan dan potensi kota Sawahlunto. Upaya tersebut dikemas dalam berbagai kegiatan revitalisasi dengan pendekatan konservasi dan pemanfataan kembali artefak bersejarah kota dan sisa peninggalan dan kegiatan pertambangan batubara. Proses perubahan dan transformasi yang terjadi memerlukan pemahaman kritis tentang makna kota daripada sekedar me-museum-kan artefak bersejarah beserta kehidupannya. Makalah ini mengindikasikan perlunya pemahaman kritis tentang pendekatan konservasi dalam upaya mendaur ulang kota. Sebagai bagian dari aset perkotaan, bangunan dan lingkungan bersejarah memiliki daya tarik tersendiri dan kontribusi penting. Dalam kaitan ini, upaya pelestarian dipahami sebagai upaya pemberian makna baru (interpretasi). Persoalannya adalah upaya tersebut hanya bisa dilakukan dengan kemauan politik yang kuat, mengingat adanya relasi yang amat kuat antara pelaku/sebagai penghuni dengan bentukan lingkungan binaan. Kasus Sawahlunto juga memberikan catatan tentang relasi antara kegiatan intervensi fisik, rehabilitasi aktifitas ekonomi dan persoalan kelembagaan yang acapkali terabaikan. Kata Kunci: Sawahlunto, Wisata Tambang, Revitalisasi dan Konservasi [1] Latar Belakang Sejarah panjang Kota Sawahlunto dimulai, ketika para ahli Geologi Belanda menemukan cadangan batubara dalam jumlah besar pada akhir abad 19. 2 Sawahlunto mulai menjadi mukiman pekerja Tambang pada tahun 1887, yakni ketika uang sejumlah 5,5 juta Gulden diinvestasikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk pembangunan fasilitas pengusahaan tambang batubara Ombilin. Tahun 1894 Sawahlunto telah terhubung dengan kota Padang oleh jalur kereta api, sehingga hal ini juga turut mempercepat perkembangan Sawahlunto. Penemuan dan penggalian tambang batubara telah mengantarkan kota tersebut hingga masa kejayaan pada tahun 1 Makalah ini disusun dan dikembangkan dari bahan kajian mata kuliah pilihan RK 7112 Topik Khusus dalam Perancangan Kota pada Program Magister Rancang Kota (RK) Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB pada semester I 2007/2008 yang diampu oleh penulis. Berkaitan dengan tema kajian Revitalisasi Kota Tambang Sawahlunto, penulis bersama mahasiswa melakukan observasi/survai lapangan pada tanggal 29 November - 2 Desember 2007. 2 W.H. de Greve seorang geolog muda Belanda ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1867 untuk melakukan ekspedisi di pedalaman Minangkabau. Temuan de Greeve dilaporkan pada tahun 1871 dengan judul Het Ombilien-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra’s Westkust. Setelah de Greve meninggal tahun 1872, ekspedisi dilakukan oleh RDM Verbeek tahun 1875. Penelitian tersebut mengindikasikan adanya deposit batubara sebesar ca. 205 juta ton di kawasan Sungai Durian, Sigakut, Lapangan Sugar, Tanah Hitam dan Perambahan serta daerah sekitar Sawahlunto yang dapat ditambang selama 200 tahun (Miko, 2006).

Transcript of Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

Page 1: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

1

 

Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto1 Beberapa Catatan tentang pendekatan Konservasi dalam Revitalisasi

Dr.-Ing. Ir. Widjaja Martokusumo

Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Email: [email protected]

Abstrak: Sebagai sebuah manifestasi dari berbagai proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam suatu kurun waktu, pembangunan kota merupakan respons terhadap perubahan/dinamika sosial-budaya dan kekuatan hegemoni ekonomi/politik. Perubahan kebijakan tentang pengelolaan tambang batu bara di Sawahlunto dan maraknya isu lingkungan telah mendorong dikembangkan kegiatan pengembangan Wisata Tambang. Upaya yang dituangkan kedalam visi Sawahlunto 2020, merupakan strategi dalam memanfaatkan keunggulan dan potensi kota Sawahlunto. Upaya tersebut dikemas dalam berbagai kegiatan revitalisasi dengan pendekatan konservasi dan pemanfataan kembali artefak bersejarah kota dan sisa peninggalan dan kegiatan pertambangan batubara. Proses perubahan dan transformasi yang terjadi memerlukan pemahaman kritis tentang makna kota daripada sekedar me-museum-kan artefak bersejarah beserta kehidupannya. Makalah ini mengindikasikan perlunya pemahaman kritis tentang pendekatan konservasi dalam upaya mendaur ulang kota. Sebagai bagian dari aset perkotaan, bangunan dan lingkungan bersejarah memiliki daya tarik tersendiri dan kontribusi penting. Dalam kaitan ini, upaya pelestarian dipahami sebagai upaya pemberian makna baru (interpretasi). Persoalannya adalah upaya tersebut hanya bisa dilakukan dengan kemauan politik yang kuat, mengingat adanya relasi yang amat kuat antara pelaku/sebagai penghuni dengan bentukan lingkungan binaan. Kasus Sawahlunto juga memberikan catatan tentang relasi antara kegiatan intervensi fisik, rehabilitasi aktifitas ekonomi dan persoalan kelembagaan yang acapkali terabaikan. Kata Kunci: Sawahlunto, Wisata Tambang, Revitalisasi dan Konservasi [1] Latar Belakang

Sejarah panjang Kota Sawahlunto dimulai, ketika para ahli Geologi Belanda menemukan cadangan batubara dalam jumlah besar pada akhir abad 19.2 Sawahlunto mulai menjadi mukiman pekerja Tambang pada tahun 1887, yakni ketika uang sejumlah 5,5 juta Gulden diinvestasikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk pembangunan fasilitas pengusahaan tambang batubara Ombilin. Tahun 1894 Sawahlunto telah terhubung dengan kota Padang oleh jalur kereta api, sehingga hal ini juga turut mempercepat perkembangan Sawahlunto. Penemuan dan penggalian tambang batubara telah mengantarkan kota tersebut hingga masa kejayaan pada tahun

                                                            1 Makalah ini disusun dan dikembangkan dari bahan kajian mata kuliah pilihan RK 7112 Topik Khusus dalam Perancangan Kota pada Program Magister Rancang Kota (RK) Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB pada semester I 2007/2008 yang diampu oleh penulis. Berkaitan dengan tema kajian Revitalisasi Kota Tambang Sawahlunto, penulis bersama mahasiswa melakukan observasi/survai lapangan pada tanggal 29 November - 2 Desember 2007. 2 W.H. de Greve seorang geolog muda Belanda ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1867 untuk melakukan ekspedisi di pedalaman Minangkabau. Temuan de Greeve dilaporkan pada tahun 1871 dengan judul Het Ombilien-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra’s Westkust. Setelah de Greve meninggal tahun 1872, ekspedisi dilakukan oleh RDM Verbeek tahun 1875. Penelitian tersebut mengindikasikan adanya deposit batubara sebesar ca. 205 juta ton di kawasan Sungai Durian, Sigakut, Lapangan Sugar, Tanah Hitam dan Perambahan serta daerah sekitar Sawahlunto yang dapat ditambang selama 200 tahun (Miko, 2006).

Page 2: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

2

 

1930an. Saat itu jumlah penduduk kota yang terletak di daerah dataran tinggi (250-650 m dpl.) pada bagian tengah Bukit Barisan, Sumatera Barat, sudah melebihi angka 40.000, termasuk sekitar 550 populasi orang Belanda (Eropa).3 Tidak mengherankan bila Sawahlunto, yang hari jadinya ditetapkan pada tahun 1888, juga dikenal dengan sebutan kota Arang, merupakan kota tambang batubara terbesar dan sekaligus tertua di Indonesia. Meskipun demikian tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengenal bahwa kota ini kaya akan artefak dan peristiwa bersejarah. Sejarah kotanya tidak dapat dilepaskan dari aktifitas pertambangan batu bara di tanah Sumatera. Meski umur kegiatan pertambangan relatif jauh lebih muda dibandingkan di Eropa Barat, namun jejak revolusi Industri melalui aktifitas pertambangan dapat dikenali melalui artefak-artefak bersejarah kotanya.

Gbr. 1: Struktur pemanfaatan ruang kota Sawahlunto tahun 1921

Sumber: Bahan presentasi Walikota Sawahlunto, Juli 2005 Sejak berakhirnya kegiatan tambang yang dikelola oleh PTBA-UPO (Perusahaan

Tambang Bukit Asam-Unit Produksi Ombilin) pada penghujung tahun 2002, kota Sawahlunto telah berupaya keras melakukan terobosan-terobosan untuk tetap bertahan dari romantisme sosial-budaya, kerusakan ekologi, hambatan dan konflik ekonomi. Upaya tersebut secara institusional dilakukan dengan cara pengalihan visi Kota Sawahlunto pada 24 Desember 2002 dari ekonomi dan usaha tambang menjadi usaha pariwisata (dituangkan kedalam Perda 6 tahun 2003). Meskipun penyelenggaraan pertambangan batubara masih mengalami re-orientasi oleh

                                                            3 Asoka et al., 2005

Page 3: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

3

 

berkembangannya semangat otonomi daerah/desentralisasi, pemerintah dan masyarakat Sawahlunto tetap bertekad menjadikan Sawahlunto sebagai kota wisata berbasis pertambangan.

Dengan segala keterbatasan telah melakukan proses perubahan sedikit demi sedikit, meskipun belum seluruhnya mencapai target yang telah ditentukan dalam visi kota 2020. Sejak awal tahun 2000an dilakukan berbagai proses penataan fisik yang cukup signifikan, paling tidak dalam kegiatan pelestarian lingkungan tua dan artefak bersejarahnya. Proses penataan lingkungan berbasis pelestarian/konservasi tersebut merupakan bagian dari upaya mendaur ulang (revitalisasi) kota Sawahlunto yang hingga saat kini memiliki sisa-sisa peninggalan kegiatan tambang.

Bangunan dan lingkungan bersejarah, sebagai bagian dari aset perkotaan, memiliki daya tarik tersendiri dan memiliki kontribusi penting dalam pengakayaan kualitas kota. Dalam kaitan ini, upaya pelestarian pun dapat dilakukan dengan pemanfaatan kembali, yaitu memberikan makna baru (interpretasi) dan fungsi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan masa kini. Proses perubahan dan transformasi yang terjadi memerlukan pemahaman kritis tentang makna kota daripada sekedar me-museum-kan artefak bersejarah beserta kehidupannya. Makalah ini menggugat perlunya pemahaman kritis tentang pendekatan konservasi dalam upaya mendaur ulang kota. Persoalannya adalah upaya tersebut hanya bisa dilakukan dengan kemauan politik yang kuat, karena bagaimana pun terdapat relasi yang amat kuat antara manusia -sebagai penghuni- dengan bentukan lingkungan binaan, arsitektur. Meminjam pendapat Saliya (2003) tanpa disadari sebenarnya ujud arsitektur (kota) sampai dengan perilaku manusia sebenarnya merupakan sebuah kontinum, sebuah simpul yang saling menentukan dan menghidupi. [2] Proses Transformasi dan Kebijakan Pembangunan

Semenjak berkurangnya produksi batubara di Sawahlunto, terdapat beberapa persoalan yang mendorong terjadi transformasi, yakni:

Diawali dengan penurunan proses dan aktifitas pertambangan batubara Ombilin, maka instalasi pemrosesan dan pengangkutan tambang yang telah menjadi besar dirasakan sudah tidak lagi sepadan dengan produk dan nilai batubara yang dihasilkan. Meskipun menurut beberapa kajian, masih terdapat lebih dari 100 juta ton cadangan batubara dalam, namun hingga kini tetap belum dapat dipastikan pengolahannya mengingat sangat tergantung kepada investasi yang tidak sedikit.4

Kerusakan lingkungan diperparah dengan adanya aktifitas tambang rakyat, yang justru sangat membahayakan penambang dan penduduk sekitar.5 Sementara itu kota Sawahlunto

                                                            4 Menurut situs resmi Pemkot Sawahlunto, selama 100 tahun eksploitasi tambang telah menyedot sekitar 30 juta ton batu bara tambang dangkal, sedangkan sejumlah 100 juta ton tambang dalam belum dimanfaatkan, mengingat biaya operasional yang sangat tinggi. Penurunan produksi tambang hingga hanya puluhan ribu ton sudah dimulai sejak periode tahun 1940 hingga tahun 1970, namun dengan penambahan fasilitas usaha pertambangan angka tersebut meningkat kembali di tahun 1980an, dan bahkan pada akhir tahun 1900an hingga mencapai angka produksi 1 juta ton pertahun. 5 Ketika tambang batu bara dangkal Sawahlunto semakin menipis, munculah berbagai persoalan Dampak ekologis akibat eksploitasi penambangan dangkal baru dirasakan beberapa tahun terakhir. Ditambah lagi dengan adanya penambangan liar (tanpa izin) yang semakin marak beberapa tahun terakhir justru semakin merusak, dan lubang-lubang bekas tambang yang ditinggalkan beresiko runtuh (Asoka et al., 2005 dan Miko, 2006).

Page 4: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

4

 

sendiri karena lokasi dan kondisi bentang alamnya, tidak dapat mengembangkan diri sebagai kota yang dinamis. Beberapa fasilitas dan pelayanan kota memang tumbuh dan berkembang, namun hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat yang sangat terbatas. Kota lama Sawahlunto sendiri cenderung terlantar, dan terjebak hanya menjadi museum peninggalan kejayaan pertambangan batubara Ombilin masa lalu, tanpa melibatkan dinamika yang seharusnya dimiliki sebuah kota. Kondisi ini juga diperburuk dengan merosotnya komponen fisik kota, dan fasilitas serta pelayanan kota yang tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan. Banyak perumahan peninggalan masa lalu merosot kualitasnya tanpa mengalami perbaikan atau bahkan perawatan. Bahkan, sungai Batang Ombilin yang seharusnya dapat menjadi tengaran kota yang menarik, kini telah mengalami penyempitan, pendangkalan dan penurunan debit air. Sementara kerusakan lingkungan perbukitan di sekitar kota Sawahlunto, disebabkan oleh munculnya hunian penduduk yang justru mengganggu keseimbangan ekologis.

Sejak Sawahlunto didirikan, proses urbanisasi atau proses menjadi kota memang tidak terjadi dengan baik. Sawahlunto lebih berupa company town yang tidak memiliki resource sebagaimana layaknya sebuah kota. Ketika Sawahlunto masih aktif dengan aktifitas tambangnya, segala perlengkapan kota tersedia dengan cukup baik, dan hal ini tidak terjadi ketika aktifitas pertambangan berhenti/menurun. Berbagai upaya memang telah dilakukan. Wilayah administrasi Sawahlunto pada tahun 1990 diperluas dari hanya 779 ha menjadi 27,344 ha yang membawa konsekuensi jumlah penduduknya meningkat. Berdasarkan hasil survai penduduk antar sensus 1995, tercatat penduduk Sawahlunto menjadi 55.000 jiwa. Perluasan ini tidak langsung otomatis Sawahlunto menjadi kota yang lebih besar. Akibat kondisi bentang alamnya, pemekaran kota Sawahlunto menjadikannya semacam federasi beberapa “kota kecil” dan mukiman perdesaan. Pada tahun 2000 hasil sensus penduduk hanya mencatat angka 50.688 jiwa, artinya terjadi penurunan selama lima tahun terakhir.6 Salah satu penyebabnya adalah dipindahkannya sebagian perumahan pegawai Unit Pertambangan Ombilin (UPO) keluar daerah kota Sawahlunto. Hal ini memperlihatkan ada kaitan yang jelas antar aktifitas pertambangan batubara Ombilin dan dinamika kota Sawahlunto.

Dengan ditetapkan Visi “Sawahlunto tahun 2020 menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”, harus dipahami bahwa yang akan dikembangkan adalah kota Sawahlunto, dan bukan hanya kepariwisataannya. Artinya, tujuan dari kebijakan pengembangan ini adalah peningkatan kualitas kota, sehingga selain sangat bermanfaat bagi warga kota juga dapat menjadi daya tarik khusus bagi para pengunjung/wisatawan. Jika demikian adanya, maka daya tarik dan daya pikat tersebut dapat menahan pengunjung untuk tinggal lebih lama di kota Sawahlunto. Dasar pemikiran ini berangkat dari pertanyaan bagaimana sebuah kota akan bisa mendatangkan pengunjung, bila kota tersebut tidak memiliki kualitas yang baik dan layak bagi warganya. Singkatnya, kualitas kota Sawahlunto akan dijadikan daya tarik, dengan cara meningkatkan kemampuan/daya dukung dan daya pikat kota untuk mendukung target visi tahun 2020.

                                                            6 Berbeda dengan kondisi kota-kota di Indonesia lainya, yang mengalami ekskalasi jumlah penduduk (urbanisasi), keadaan di Sawahlunto justru terjadi sebaliknya, yang dikenal sebagai de-urbanisasi atau desanisasi. Umumnya kota-kota menghadapi permasalahan yang kompleks, seperti peningkatan jumlah penduduk secara eksponensial, diskrepansi sosial-ekonomi yang semakin melebar, peningkatan angka penduduk miskin, kemampuan pengendalian yang sangat terbatas. Sawahlunto sendiri setelah kegiatan tambang berakhir secara sosiologis dan ekonomis, cenderung menjadi pusat perdesaan. Upaya menjadikan Sawahlunto sebagai kota terhambat justru oleh berbagai program pembangunan yang lebih mengarah ke pengembangan ekonomi perdesaan dengan hasil yang spekulatif akibat kondisi bentang alamnya (lih. Laporan Rencana Kota Wisata Tambang Sawahlunto, 2001).

Page 5: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

5

 

Sebagaimana yang termaktub dalam Buku Laporan Rencana Kota Wisata Tambang Sawahlunto (2001), fokus rencana pengembangan akan difokuskan pada bagian kota (lama) Sawahlunto, mengingat daerah kota lama tersebut memiliki modal/potensi yang dinilai cukup kuat untuk meningkatkan daya tarik dan daya pikat pengunjung. Meski kini mulai terdesak oleh kegiatan penataan yang dilakukan selam ini, kota Sawalunto masih memiliki situs pertambangan, instalasi pemrosesan dan pengolahan batubara, sarana dan stasiun pengangkutan dan bangunan peninggalan zaman kolonial, serta fasilitas kelengkapan kegiatan pertambangan lainnya, misalnya gedung societeit, kantor PTBA-UPO, permukiman pekerja tambang, Gudang Ransoem dll.. Pemanfaatan artefak tersebut dijadikan bagian dari dari strategi pengembangan kegiatan wisata sejarah dan wisata budaya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tranformasi dan/atau perubahan yang dilakukan didasari oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:7

1. mengantisipasi secepatnya ketertinggalan pembangunan kota, akibat merosotnya produksi batubara PTBA-UPO. Kegiatan wisata sebagai pengganti usaha ekonomi dari pertambangan dianggap memiliki alasan yang kuat.

2. adanya sejumlah besar peninggalan bangunan-bangunan tua yang ditinjau dari segi historis-budaya sangat berpotensi (berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Kota Sawahlunto ada sekitar 100 bangunan).

3. potensi kekayaan akan keindahan lanskap yang dapat dinikmati dari berbagai sudut pinggiran kota, karena kondisi geografis kota Sawahlunto yang berbentuk kuali.

[3] Wisata Tambang Kota Sawahlunto

Tambang dipilih untuk digarap sebagai daya tarik wisata karena merupakan keunikan dan keunggulan Sawahlunto di kawasan Sumatera Barat. Pemilihan pertambangan sebagai basis kegiatan wisata diperkuat oleh argumnen sebagai berikut:8 Pertama, sebagai tambang dalam yang pertama dan sekaligus kota tambang batubara tertua di Indonesia, belum banyak masyarakat yang mengenalnya. Tambang Ombilin ini telah menyimpan riwayat yang mengenaskan, ketika sejak tahun 1892 kekayaan tambang batubara dieksploitasi dengan pengerahan tenaga kerja paksa. Sejak saat itu pula mukiman para pekerja/buruh tambang yang terbentuk kemudian dikembangkan dengan model kota Barat, sehingga Sawahlunto menjadi sebuah “kota” di antara permukiman tradisional di tanah Minang. Hingga kini, sisa-sisa masa kemakmuran hidup para pengelola dan administrator Belanda di Sawahlunto masih dapat dikenali. Kedua, dari keunikan kegiatan pertambangan dapat dikembangkan pusat latihan pertambangan dan penelitian batubara dengan memanfaatkan pengalaman serta peninggalan tambang batubara yang ada/tersisa. Upaya ini telah dilakukan Pemerintah melalui Departemen Pertambangan dan Energi, yang dengan dukungan Pemerintah lokal dan masyarakat, akan dapat mendatangkan pengunjung/wisatawan budaya. Ketiga, kegiatan pertambangan telah mewariskan berbagai instalasi dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan wisata, dan sekaligus menjadi objek wisata per se. Adapun instalasi/fasilitas tersebut adalah jaringan jalan, jaringan rel dan stasiun KA, telekomunikasi, pelayanan kesehatan (RS Sawahlunto), instalasi air bersih (yang pada awalnya dibangun untuk mendukung operasional kegiatan tambang) dapat dikembangkan dan dialihfungsikan untuk keperluan pariwisata. Keempat, meski secara tidak                                                             7 Kuswartojo, 2001 dan Asoka dkk., 2005. 8 Laporan Rencana Kota Wisata Tambang Sawahlunto, 2001

Page 6: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

6

 

langsung berhubungan, telah muncul beberapa tokoh perjuangan dan peristiwa bersejarah di Sawahlunto yang juga dikenal oleh masyarakat internasional, misalnya M. Yamin, Soedjatmoko, Adinegoro dll.9

Wisata Tambang yang direncanakan adalah wisata dalam rangka menelusuri dan merekonstruksi masa lampau, membangun imajinasi masa lampau untuk menumbuhkan inspirasi bagi masa depan. Jadi, semua peninggalan kegiatan pertambangan harus dipandang sebagai pelajaran signifikan yang memberikan kearifan bagi kehidupan masa kini dan masa datang. Singkatnya, wisata tambang adalah wisata sejarah dan budaya. Oleh karenanya hal-hal yang perlu dikemas dan disajikan di Sawahlunto, tentunya harus didasarkan kepada upaya merekonstruksi masa lampau untuk membangkitkan dan meningkatkan rasa kemanusian para pengunjung/wisatawan. Dengan demikian, keputusan untuk melestarikan peninggalan pertambangan Sawahlunto adalah hal yang tepat.

Wisata Tambang merupakan hal yang baru di Indonesia, dan jenis wisata ini bukan jenis wisata rekreatif dan massal. Wisata Tambang lebih berupa kegiatan wisata yang menonjolkan sisi edukatif dan pengembangan pribadi, yang hingga saat kini relatif sedikit peminatnya. Tidak mengherankan bila di Indonesia belum dikenal dan belum dipandang sebagai potensi. Dalam rumusan visi Sawahlunto 2020, visi wisata tambang sendiri adalah sebuah upaya perintisan dan inovasi untuk memperkaya khasanah pariwisata Indonesia. Adapun sisa-sisa aktifitas/kegiatan penambangan yang difokuskan dan akan dikemas sebagai atraksi wisata adalah10:

1. Tapak atau situs penambangan dangkal/terbuka dan situs tambang dalam. Situs tambang dalam berupa lubang dan lorong bawah tanah dengan berbagai instalasinya kini sedang digarap. Situs terbuka direncanakan akan menjadi danau buatan, termasuk lubang-lubang bekas galian tambang, dan pada masa datang dijadikan taman tambang dan kawasan rekreasi,

2. Instalasi pemrosesan atau pengolahan hasil tambang, yaitu instalasi pencucian dan pemecahan (sizing) batubara,

3. Prasarana dan sarana pengangkutan hasil tambang, berkaitan dengan cara pemuatan, gerbong kereta khusus dan jalur angkutan kereta api beserta terowongan sepanjang ca. 875 m yang menghubungan Sawahlunto dengan Muaro Kalaban (6 km), dan

4. Produk sosial budaya yang terbentuk dari aktifitas tambang, peralatan dan perlengkapan kehidupan yang berkaitan dengan aktifitas tambang, seperti misalnya Goedang Ransoem, tempat tinggal orang rantau, bangunan societeit (GPM), dan sebagainya11. Upaya-upaya perintisan kegiatan wisata dan pelestarian peninggalan tersebut di atas

dapat dipahami sebagai upaya untuk memaknai kembali berbagai keunikan dan keunggulan yang ada di Sawahlunto.12 Dalam kajian teoritik tentang makna dan arsitektur Norberg-Schulz (1984)

                                                            9 Asoka et al., 2005 10 Laporan Rencana Kota Wisata Tambang Sawahlunto, 2001 11 Tatanan permukiman dan gedung dengan langgam arsitektur yang dirancang dengan mengikuti nilai dan selera pengelola tambang. Industri kerajinan yang tumbuh dalam kaitannya dengan tambang dan batubara dan juga berbagai kesenian yang muncul dan masih bertahan oleh keanekaan asal-usul/latar belakang pekerja tambang batubara. Sejarah kehidupan buruh tambang sendiri, termasuk upaya untuk menggerakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda/sejarah perjuangan buruh tambang dlsb.. 12 Bandingkan juga dengan apa yang dilakukan oleh IBA terhadap kawasan Emscher Park, kawasan industri Ruhr (Ruhrgebiet) di Negara bagian North-Rhein Westphalia, Jerman, yang mencoba untuk mengangkat makna dari industrial heritages dan identitas kultural sebuah kawasan industri berkenaan dengan perkembangan teknik dan

Page 7: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

7

 

mengatakan bahwa tujuan hakiki dari penciptaan arsitektur (lingkungan binaan) adalah mengubah lingkungan atau lahan (space) menjadi tempat (place) dengan makna. Tempat inilah yang melahirkan jati diri, ciri tempat ataupun tempat yang memiliki “roh”. Masalahnya adalah bagaimana mempertahankan ciri (warisan sejarah arsitektur), sementara berbagai perubahan berlangsung. Sampai batas-batas tertentu, kembali menurut Norberg-Schulz (1984), arsitektur dan desain urban mampu menghadapi gelombang perubahan itu, namun bukannya tanpa batas.

Dalam kaitan ini Lewis Mumford, seperti yang diungkapkan Saliya (2003), pernah menyatakan bahwa kota itu bagaikan pita rekaman peradaban manusia yang paling lengkap. Artinya, dengan melihat dengan menghayati kota, maka kita berhadapan dengan budaya penghuninya, sekaligus kita berkenalan dengan “roh” lingkungannya (Geist des Ortes). Jadi, tidak mengherankan bila hingga saat inipun para ahli dan budayawan mulai mengungkit-ungkit peran dan sumbangan pemahaman sejarah bagi kelangsungan berbagai proses perubahan. Dalam kaitan ini pulalah, pemeliharaan, perawatan, pelestarian benda-benda budaya/purbakala menjadi sangat relevan.

Setiap kota memperlihatkan karakteristiknya sendiri, baik oleh unsur-unsur alami atau pun binaan manusia. Relasi ritualistik antar manusia dengan alam lingkungannya, akan memperlihatkan struktur atau pola tertentu. Dalam perkembangan peradaban manusia selanjutnya, pengertian “lingkungan” itu pun mencakup segala sesuatu yang telah berdiri sendiri, seperti halnya dengan pranata atau kelembagaan, yakni yang secara popular dinamakan tradisi. Keadaan dipersulit bahwa masyarakat kita tidak memiliki tradisi administrasi yang memadai untuk menjalankan roda pemerintahan kota pada saat itu. Oleh karena itulah dalam sarana untuk mencapai tujuan kepariwisataan di Sawahlunto secara eksplisit peningkatan kapasitas institusi menjadi penting, selain juga kerjasama antar daerah, kualitas (ruang) kota serta produk dan kawasan wisata. [4] Revitalisasi dan Pelestarian/Konservasi

Berbagai preseden pemanfaatan kawasan (bangunan dan lahan) industri menjadi bagian dari fasilitas kekinian dapat dipelajari pada kasus-kasus kawasan konurbasi industri Ruhr di Jerman ataupun kawasan Westergasfabriek (pabrik gas) di kota Amsterdam. Ketika fungsi awal yang direncanakan sudah tidak teruskan, maka sejumlah besar instalasi industri/pabrik tidak lagi berfungsi dan ditinggalkan. Selain terdapat supply bangunan dan lahan yang terkontaminasi akibat limbah industri sejak Revolusi Industri, pertimbangan tentang pemanfaatan kembali (daur ulang) menjadi dasar utama pengembangan bekas kawasan industri tersebut. Perubahan kebijakan politik tentang dampak industri dan isu (pencemaran) lingkungan telah melahirkan gagasan rehabilitasi kawasan industri dengan cara mengaitkannya dengan kebutuhan masa kini (keberlanjutan ruang hidup manusia).

Kawasan industri Ruhr di Jerman telah dijadikan eksperimen selama kurun waktu 1990-2000, dimana sejumlah proyek arsitektur dan rancang kota berskala internasional diinisiasi secara bertahap (Ward, 2002). Hal yang menarik pada kegiatan peremajaan tersebut adalah pemanfaatan kembali artefak industri (industrial heritages) untuk kebutuhan masa kini. Alasan untuk melestarikan artefak tersebut adalah artefak industri tersebut memiliki ciri khas dalam hal

                                                                                                                                                                                                industri (revolusi industry). Lihat Internationale Bauausstellung (IBA) Emscher-Park, Werkstatt für die Zukunt alter Industriegebiete, Der Minister für Stadtentwicklung. Wohnen und Verkehr des Landes Nordrhein-Westfalen, Düsseldorf 1993.

Page 8: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

8

 

seni bangunan dan sejarah sosial-budaya dan Revolusi Industri di Eropa. Alasan lain adalah, secara ekonomis membongkar instalasi industri tersebut akan menelan biaya yang sangat besar, sehingga sebagian besar artefak dilestarikan dan dialihfungsikan untuk menampung kebutuhan baru.13 Tentu saja kegiatan revitalisasi kawasan industri ini tidak selesai dalam 1-2 tahun berproses. Proses pembangunan fisik memang bisa singkat, namun tidak demikian halnya dengan perubahan sosial ekonomi dan penyiapan pengembangan kepranataannya.

Gbr. 2: Kawasan Duisburg Landscape-Park, di kota Duisburg, sebuah kasus pemanfaatan artefak industri di kawasan Ruhr, Emscher Park, Jerman. Kawasan Emscher-Park, juga menjadi rujukan dalam pengembangan kawasan Westergasfabriek, Amsterdam, yang dimanfaatkan dari bekas pabrik gas, menjadi pusat kegiatan budaya bertaraf internasional. Sumber: Brosur Internationale Bauausstellung Emscher Park, Memorandum zu Inhalt und Organisation, Ministerium für Stadtentwicklung, Wohnen und Verkehr des Landes Nordrhein-Westfallen, 1993 (kiri); Dokumentasi ekslusif W. Martokusumo, 1995 (kanan)

Sejalan dengan paradigma kerberlanjutan (sustainability) pemanfataan aset perkotaan

secara bijaksana mampu mengurangi beban lingkungan terhadap daya dukungnya (Eichstaedt, 1996). Secara konseptual, revitalisasi merupakan usaha meningkatkan vitalitas kawasan kota melalui peningkatan kualitas lingkungan, dengan mempertimbangkan aspek sosial budaya dan karakteristik/kekhususan kawasan. Fokus dari revitalisasi sendiri adalah upaya untuk menumbuhkan pengembangan ekonomi kawasan, sehingga upaya memberdayakan, merawat dan memperkuat karakater kawasan dapat berlangsung dengan baik. Hal ini dapat berarti menghidupkan kembali aktifitas/kegiatan yang pernah ada atau secara lebih kompleks merestrukturisasi aktifitas ekonomi kawasan (Tiesdell et al., 1996). Oleh karenanya, kegiatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, lokalitas, tradisi, makna dan citra tempat).

Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik, aspek sosial/budaya serta aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota (urban space). Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk menciptakan keadaan yang kondusif untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Rehabilitasi ekonomi yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta pertimbangan

                                                            13 Internationale Bauausstellung Emscher-Park, Werkstatt für die Zukunt alter Industriegebiete, Der Minister für Stadtentwicklung. Wohnen und Verkehr des Landes Nordrhein-Westfalen, Düsseldorf 1993

Page 9: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

9

 

lingkungan (environmental concerns) mutlak diperlukan, karena hanya dengan melalui pemanfaatan produktif, maka terwujudlah sebuah bentuk mekanisme ‘perawatan’ dan kontrol terhadap kelangsungan fasilitas dan infrastruktur kota. Artinya pemanfaatan produktif dari aset perkotaan secara tidak langsung akan menjadi sumber daya bagi upaya pemeliharaan dari aset publik tersebut.

Keberadaan sejumlah aset sejarah di kota Sawahlunto hingga kini masih dapat dinikmati, misalnya museum gudang ransoem, cerobong asap dari bangunan centraal electrich (gedung pembangkit listrik) yang kini menjadi menara masjid, tangsi pekerja tambang, bangunan peninggalan pejabat kolonial dengan langgam arsitektur khas. Selain itu terdapat pula instalasi pertambangan yang tersisa seperti sizing plant, power plant, lubang-lubang tambang, sebagai sisa-sisa peninggalan kejayaan Sawahlunto. Sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan upaya pelestarian aset bersejarah kota juga telah dilakukan, misalnya pada tahun 2002 dilakukan inventarisasi bangunan bersejarah. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan dukungan Pemerintah melalui kegiatan Bantuan Teknik (Bantek) Revitalisasi pada tahun 2005 dan 2006.14

Pendekatan konservasi dalam revitalisasi dilakukan dengan memanfaatkan dan menyertakan artefak/lingkungan bersejarah di kota lama Sawahlunto dalam upaya menghidupkan kembali kota (peningkatan kualitas kota). Konservasi atau pelestarian berkaitan dengan upaya perlindungan terhadap bangunan lama sehubungan dengan tuntutan perkembangan zaman kiwari (baru/modern).

Fenomena “baru/modern” diindikasikan dengan munculnya kebutuhan dan/atau bangunan/struktur baru sedangkan fenomena lama diwakili oleh keberadaan bangunan/kawasan lama. Dalam wacana tentang Aufklärung (entlightment) dari Theodor Adorno dan Max Horkheimer (1995) modernitas (baru) dan tradisi (lama) bukan sekadar dualisme belaka, namun berada dalam sebuah dialektika (diskursus). Pertentangan antar nilai-nilai baru dan lama menjadi dasar upaya penafsiran dalam pembentukan urbanisme kontemporer, yang terbuka terhadap keragaman, diversitas dan ambivalensi. Karya seni bangunan dengan kandungan budayanya semestinya dipandang sebagai rujukan untuk membuka serta memperluas sumber pembangunan peradaban sekarang dan mendatang. Dengan konsep kekinian, yang perlu dilestarikan bukan sekedar bangunan belaka, namun hubungan antar bangunan dan kehidupan komunitas/manusia. Hal ini dipertegas oleh Michael Thomas dalam Punter/Carmona (1997): … the conservation of the built environment can assist in the maintenance of traditions of urban life and urban culture by keeping the physical structure of an urban society intact, (…).

Merujuk kepada konsep keterkaitan, konservasi/pelestarian lebih dari sekedar pekerjaan teknis seni bangunan atau seni binakota belaka, tapi menjadi upaya manusia membuat penafsiran secara kontinu terhadap karya-karya yang telah dibuatnya. Tegasnya, hakikat gerakan pelestarian budaya bangsa bertujuan kepada apresiasi dan pembukaan wawasan intelektual (A. Wiryomartono, 1995). Bila hal ini dikaitkan dengan kegiatan pelestarian, maka pemanfaatan bangunan tua/kawasan lama untuk mengakomodasi kebutuhan baru yang relevan -melalui alih fungsi- dapat dipahami sebagai upaya interpretasi baru terhadap artefak/warisan budaya

Mengacu kepada pemikiran di atas, pemanfaatan bangunan tua/kawasan lama sebagai upaya pelestarian menjadi penting. Pemanfataan tersebut sekaligus juga merupakan bentuk upaya penafsiran baru terhadap produk spasial urban. Bentukan arsitektur dan struktur spasial pada kawasan lama/bersejarah bukan sekedar sebuah lembaran kertas putih yang siap ditulis. Hal                                                             14 Periksa Laporan Revitalisasi Kota Lama Sawahlunto, Ditjen Kotdes Wilayah Barat, Departemen Kimpraswil, Juli 2005

Page 10: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

10

 

juga sampaikan oleh Tiesdell et al. (1996): Architectural and urban space design in historic urban quarters is not -by definition- design on a green field or where there is -or can be- a tabula rasa. Kawasan bersejarah dengan karya bangunannya yang telah terbina sesungguhnya memiliki jejaring sosial yang unik. Bahkan, kekuatan budaya yang dikandungnya dengan segala kompleksitasnya sulit diukur oleh satuan waktu. Oleh karenanya, pembangunan baru pada kawasan bersejarah kota tidak saja perlu menghargai, tetapi harus tanggap (responsif) terhadap kualitas estetik kawasan, baik kualitas ruang maupun arsitektural.

Menghadirkan kembali tapak sejarah melalui pemanfaatan kawasan bersejarah dan bangunan tuanya serta mengintegrasikannya dengan kebutuhan masa kini (konservasi), harus dilihat sebagai upaya memperkaya budaya membangun (seni bangunan dan seni binakota) bangsa. Upaya tersebut tidak saja terbatas kepada kajian sejarah tentang arsitektur kolonial, namun diharapkan juga membuka apresiasi terhadap keragaman arsitektur Nusantara. Penelurusan dan eksplorasi yang dilakukan sekaligus sebagai sebuah upaya dalam pencarian jati diri.

Dari kegiatan observasi lapangan di Sawahlunto, sejumlah catatan tentang upaya revitalisasi kota melalui kegiatan penataan fisik yang dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pelestarian Bangunan/Lingkungan Tua Kota Sawahlunto memiliki artefak bangunan tua/bersejarah, tidak hanya berupa bangunan kantor dan instalasi pertambangan, tetapi juga berupa kelompok bangunan (ensembles) serta tapak dengan nilai signifikansi kultural yang tinggi. Upaya pelestarian selama ini masih dalam lingkup terbatas, namun telah didukung oleh mekanisme insentif berupa penyediaan sejumlah bantuan dana terbatas untuk perbaikan fisik bangunan.15 Memang upaya ini masih terbatas pada perbaikan fasad bangunan (surface rehabilitation). Sebagai sebuah awal yang baik, ke depan masih tetap perlu dipikirkan bagaimana mekanisme tersebut bisa mencakup perlindungan menyeluruh terhadap bangunan yang dinilai bermakna. Untuk itu perlu dikaji kembali berbagai mekanisme pembiayaan terhadap bangunan yang akan dilestarikan. Berkaitan hal ini perlu diperhatikan juga agar kegiatan perbaikan fisik tidak mengurangi signifikansi bangunan yang dilestarikan. Untuk itu penelusuran data bangunan menjadi hal mutlak dilakukan yang sebelum perbaikan fisik bangunan bersejarah dimulai. Hingga kini telah terdapat upaya signifikan dalam hal pelestarian/pemugaran bangunan bersejarah, seperti yang terjadi pada bangunan Societeit (Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto) dan museum Goedang Ransoem. Termasuk juga isu dan aspek pengendalian yang belum tergarap dengan baik pada rehabilitasi koridor komersial di Jl. Achmad Yani. Bila dikaitkan dengan rencana Pemkot Sawahlunto tentang kebijakan pengembangan Kota Sawahlunto sebagai Kota Tambang Berbudaya, dan dengan pengembangan Wisata Budaya, memang pelestarian bangunan bersejarah perlu lebih eksplisit terintegrasi dengan kebijakan pariwisata makro, misalnya penentuan destinasi perjalanan wisata, penyediaan fasilitas, penginapan (homestay), restoran, fasilitas hiburan dll..

2. Tata Bangunan Kota lama Sawahlunto pernah mengalami perkembangan signifikan pada awal tahun 1980an, yakni ketika perusahaan tambang merehabilitasi dan meningkatan kapasitas berbagai prasarana dan fasilitas penambangan (silo penyimpanan dan pemuatan batubara). Pembangunan tersebut diikuti oleh perubahan fasad bangunan pertokoan, pembangunan pasar, terminal dan ruko/kios di pinggiran sungai. Revitalisasi ini sedikit banyaknya telah merubah citra kota sebagai bekas kota                                                             15 Wawancara dengan Kepala Divisi Pelestarian Dinas Pariwisata Pemkot Sawahlunto, Agustus 2007

Page 11: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

11

 

kolonial Belanda. Ciri-ciri kedaerahan/lokal -secara dipaksakan- telah dicoba dikembangkan di kota untuk memberikan citra sebagai kota di tanah Minang, misalanya pada Wisma Ombilin, ataupun pada bangunan pasar. Selain itu pertokoan berlanggam arsitektur pecinan juga telah direkayasa -dengan harapan- untuk memberikan kesan ‘modern’. Upaya tersebut tidak dapat dikatakan berhasil, karena yang pasti kondisi fisik yang ada justru semakin memburuk. Selama ini pengembangan/penataan fisik (sarana-prasarana) kota, justru mengganggu elemen fisik kota lainnya, seperti keberadaan bangunan komersial (ruko) yang sebagian lantainya menutupi tepi sungai. Hal ini justru mengurangi peran sungai sebagai daerah muka. Selanjutnya dapat dipastikan kondisi yang tidak terpelihara di sepanjang sungai, yang menjadikan sungai sebagai tempat sampah besar. Kedua sungai (Batang Lunto dan Batang Sumpahan) yang melintas di tengah kota Sawahlunto dalam konteks sejarah kota menjadi unik, karena berfungsi ganda. Selain berfungsi untuk mengairi sawah-sawah penduduk, kondisi dasar sungai yang dibuat bertangga-tangga merupakan upaya untuk mengatur aliran sungai. Bahkan pada zaman kolonial, aliran air sungai dikelola secara khusus sebagai penggerak turbin listrik. Instalasi pembangkit listrik tersebut kini sudah tidak berfungsi lagi, karena selain debit air berkurang signifikan, bangunan pembangkit listrik sudah dimanfaatkan sebagai Masjid Agung dan cerobong pembuangan asap berbentuk segi delapan, setinggi 70 m telah dimanfaatkan sebagai minaret masjid tersebut. Diduga kerusakan ekologi akibat pembukaan lahan untuk hunian, dan pembangunan yang tidak terah menjadi penyebab berkurangnya debit air.

Gbr. 3: Bangunan kantor pertambangan PT BA-UPO, Sawahlunto, dibangun pada tahun 1916 sebagai kantor pertambangan batubara Ombilin. Dokumentasi: W. Martokusumo, November 2007

Gbr. 4: Bangunan hunian (barak) bagi para pekerja tambang, Sawahlunto. Kawasan hunian pekerja tambang ini merupakan salah satu bukti perjalanan sejarah perkembangan kota Sawahlunto yang cukup unik, sehingga meski kondisinya semakin tergerus usia, perlumendapatkan perhatian khusus dalam rencana kegiatan revitalisasi kawasan kota lama Sawahlunto. Dokumentasi: W. Martokusumo, Agustus 2007

3. Pengolahan Ruang Terbuka Hijau dan Lingkungan. Wacana RTH kini semakin mencuat sehubungan dengan kasus-kasus bencana lingkungan dan wacana perubahan iklim. Pemerintah Pusat sudah menetapkan UU no. 26 tahun 2007 tentang pengaturan luas RTH ideal sebesar 30% dari luas wilayah kota. Usaha perlindungan terhadap

Page 12: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

12

 

ruang terbuka tidak dapat ditunda lagi, mengingat terdapat peningkatan kebutuhan akan lahan untuk pembangunan fasilitas baru. Hal ini juga terjadi di Sawahlunto, dimana lereng-lereng terjal yang mengelilingi kota kini sedikit demi sedikit sudah mulai dirambah untuk permukiman. Selain dikuatirkan beresiko longsor, pembuatan perumahan di daerah lereng bukit akan mengurangi luasan ruang hijau. Dipastikan bila keadaan ini dibiarkan maka, ciri perbukitan yang mencirikan keunikan bentang alam Sawahlunto akan tergerus oleh pembangunan. Berbicara mengenai RTH, maka tidak lepas dari persoalan penanaman vegetasi. Sayang sekali pohon-pohon asem yang pernah menaungi di sepanjang koridor Jl. Ahmad Yani, yang juga banyak digunakan pada masa kolonial sebagai pohon peneduh di banyak kota di Indonesia, telah hilang. Padahal signifikansi kesejarahan tidak terbatas pada bentuk dan langgam/gaya bangunan, namun juga dapat diwujudkan oleh bentukan ruang terbuka/hijau, dan/ataupun melalui keberadaan tanaman/vegetasi tertentu.

4. Penataan Ruang Publik dan Jalur Pedestrian Sebagaimana yang diindikasikan dalam Indikator Pembangunan Rencana Pengembangan Kota Wisata Tambang Sawahlunto, khususnya tentang kondisi ruang publik, perbaikan jalur pedestrian juga merupakan bagian dari program revitalisasi di Sawahlunto.16 Upaya perbaikan ini memang diperlukan untuk memfasilitasi kebutuhan pejalan. Dengan mempertimbangkan kondisi jarak yang relatif dekat pencapaian dengan berjalan merupakan suatu upaya yang ideal, bebas polusi dan menyehatkan. Peningkatan jalur pedestrian pada beberapa tempat menjadi bukti kepedulian pihak Pemkot untuk memperbaiki fasilitas ruang publik. Dengan kata lain, jika ruang publik terpelihara baik, maka hal ini mengindikasikan pemahaman masyarakat akan barang kepemilikan (property) kota dan kemampuan pemerintah dalam melaksanakan tata pamong (good governance). Alangkah lebih baik, bila dalam perencanaan perbaikan jalur pedestrian tersebut juga dapat merujuk KepMen PU no. 468/KPTS/tahun 1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan. Meski terkesan sederhana, namun penerapan ini memiliki tujuan mulia, yakni memberikan kemudahan aksesibilitas semua pengguna, baik itu orang sehat, orang tua dan bahkan anak-anak. Lebih lanjut, penyediaan fasilitas in memacu orang untuk berjalan dan menjadi sehat! Penyediaan fasilitas taman publik (Taman Segitiga) di muka bangunan kantor PTBA-UPO merupakan suatu contoh pemanfaatan ruang kota yang sangat baik.

5. Strategi Pengembangan Kepariwisataan. Globalisasi dan perkembangan modern tentang kegiatan wisata mengharuskan adanya pemikiran komprehensif tentang pemanfaatan aset bersejarah kota Sawahlunto. Dalam konteks pariwisata, keunggulan kompetitif dalam era globalisasi justru terletak kepada keunikan-keunikan alam dan budaya lokal.17 Pemanfaatan budaya tercakup upaya-upaya mengunakan hasil-hasil budaya untuk berbagai keperluan, antar lain untuk menekankan citra identitas suatu bangsa, pendidikan kesadaran budaya (internalisasi dan apresiasi multikultural), dijadikan muatan industri budaya dan dijadikan daya tarik wisata.18 Sawahlunto dengan segala keunikannya memberikan kemungkinan-kemungkinan pengembangan kegiatan wisata budaya. Upaya pembukaan fasilitas hiburan/rekreasi seperti water boom di Muaro Kalaban, merupakan strategi jangka pendek, dan tidak boleh hanya berhenti sampai di sana. Artinya, Pemkot harus tetap memikirkan bagaimana prospek kegiatan Wisata Budaya, berupa apresiasi terhadap peninggalan artefak bersejarah,

                                                            16 Lih. juga Rencana Kota Wisata Tambang Sawahlunto, 2001 17 Jakob Oetama, Politik Kepariwisataan dalam Pariwisata Indonesia, P3K ITB, 2004 18 Edi Sedyawati, Pariwisata dan Pengembangan Budaya dalam Pariwisata Indonesia, P3K ITB, 2004

Page 13: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

13

 

misalnya bangunan/lingkungan, termasuk juga intangible heritage dapat dilestarikan agar tetap dapat dikenali oleh generasi mendatang. Hal ini memang merupakan tugas bersama yang tidak mudah, namun demikian bukanlah hal yang mustahil. [5] Catatan Akhir

Makalah ini membahas upaya pemanfaatkan kembali potensi dan keunggulan kota tambang Sawahlunto; dari kota yang berbasis usaha ekonomi/kegiatan pertambangan kepada kegiatan pengembangan pariwisata (wisata budaya). Berbagai upaya penataan fisik telah dilakukan untuk pencapaian dan target visi 2020, melalui upaya pelestarian sisa-sisa peninggalan aktifitas pernambangan, termasuk kota lama Sawahlunto. Kegiatan tersebut dikemas dalam program revitalisasi kota dengan pendekatan konservasi/pelestarian. Pelestarian lebih dari sekedar upaya pemanfaatan kembali, namun juga upaya memberikan makna baru (interpretasi). Proses transformasi yang terjadi memerlukan pemahaman kritis tentang makna kota daripada sekedar me-museum-kan artefak bersejarah beserta kehidupannya. Oleh karenanya, diperlukan suatu pemahaman kritis tentang pendekatan konservasi dalam upaya mendaur ulang kota.

Dari uraian di atas, maka disimpulkan beberapa catatan bahwa kegiatan revitalisasi sejatinya terdiri dari tiga aspek:

1. Intervensi fisik, sebagai sebuah strategi jangka pendek diperlukan untuk membentuk kondisi yang kondusif untuk mewadahi aktifitas dan kegiatan baru.

2. Pengembangan ekonomi lokal, merupakan mekanisme tindak lanjut untuk mendukung hasil-hasil yang diperoleh melalui intervensi fisik. Oleh karenanya pengembangan ekonomi lokal ini diperlukan dan sekaligus berperan sebagai penjamin keberlangsungan aktifitas yang direncanakan

3. Rehabilitasi sosial dan pengembangan kepranataan/kelembagaan, sejalan dengan pengembangan ekonomi lokal, diharapkan dapat terwujud adanya perbaikan tingkat sosial struktur lokal yang ada, serta sekaligus merupakan bahan bagi pembentukan sistem kelembagaan yang natinya akan menjamin keberlangsung kegiatan revitalisasi ini.

Kota Sawahlunto melalui upaya-upaya kegiatan perbaikan fisik telah berupaya keras

untuk mencapai kondisi optimal. Meski masih terdapat kekurangan dan banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi, namun apa yang sudah dicapai selama ini patut mendapat apresiasi yang baik. Paling tidak, Sawahlunto yang baru saja merayakan hari jadinya yang ke-119 pada bulan November 2007, telah berupaya untuk mencoba berbagai terobosan, meskipun tidak selalu mendapatkan hasil yang seperti diharapkan. Lesson learned berharga ini memang tidak saja memerlukan keberanian para stakeholder-nya, tetapi juga komitmen bersama dalam merealisasikan visi sebagai Kota Tambang yang Berbudaya. [6] Pustaka Asoka, Andi et al., Sawahlunto, Dulu, Kini dan Esok. Menyongsong Kota Wisata Tambang yang Berbudaya, Pusat

Studi Humaniora (PSH) Universitas Andalas dan Kantor Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Padang 2005

Durth, Werner/Winfried Nerdinger, Architektur und Städtebau der 30er/40er Jahre, Schriftenreihe des Deutschen, Nationallkomitees für Denkmalschutz, Band 46, Bonn (?)

Eichstaedt, Gerd-Schmidt, Stadtökologie, Lebensraum Groβstadt, Mannheim 1996 Föhl, Axel, Bauten der Industrie und Technik, Schriftenreihe des Deutschen Nationallkomitees für Denkmalschutz,

Band 47, Bonn (?)

Page 14: Mendaur Ulang Kota Tambang Sawahlunto

14

 

Gauzin-Müller, Dominique, Nachhaltigkeit in Architektur und Städtebau, Konzepte, Technologien, Beispiele, Birkhäuser-Verlag für Architektur, Basel, 2002

Horkheimer, Max and Adorno, T. W., Dialektik der Aufklärung, Fischer Wissenschaft, Frankfurt am Main, 1995 Ipsen, Detlev, Die Modernisierung der Gesellschaft und die Rolle des Denkmalschutzes, Kassel, 1998 Kuswartojo, Tjuk, Sawahlunto 2020, Agenda mewujudkan Kota Wisata Tambang yang Berbudaya, Pemerintah

Kota Sawahlunto, LPM ITB, Bandung 2001 Martokusumo, Widjaja: Revitalisasi dan Rancang Kota: Beberapa Catatan dan Konsep Penataan Kawasan Kota

Berkelanjutan, Jurnal Peencanan Wilayah dan Kota Vo. 17, No. 3 Desember 2006 Moughtin, Cliff, Urban Design, Green Dimensions, Elsevier, Oxford, second edition, 2005 Miko, Alfan (ed.), Dinamika Kota Tambang Sawahlunto, dari Ekonomi Kapitalis ke Ekonomi Rakyat, Andalas

University Press, Padang 2006 Newman, Peter/Kenworthy, Jeffrey, Sustainability and Cities, Overcoming, Automobile Dependence, Island press,

Washington DC, 1999 Norberg-Schulz, Christian, Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture, New York 1984. Oetama, Jakob, Politik Kepariwisataan dalam Pariwisata Indonesia, P3K ITB, 2004 Punter, John/Carmona, Matthew, The Design Dimension of Planning. Theory, Content and Best Practice for Design

Policies, New York, 1997 Roseland, Mark, Toward Sustainable Communities. A Resource Book for Municipal and Local Governments,

National Round Table on the Environment and the Economy, Ontario, 1992. Saliya, Yuswadi, Perjalanan Malam Hari, IAI Jawa Barat-Departemen Arsitektur ITB, Bandung 2003 Schittich, Christian, Building in existing fabric: Refurbishment, extensions and new design, Birkhäuser, Bassel,

2003 Sedyawati, Edi, Pariwisata dan Pengembangan Budaya dalam Pariwisata Indonesia, P3K ITB, 2004 Thomas, Michael J.: 1996, Conservation of the urban: issues and politics, Working paper no. 168, Oxford Brookes

University, School of Planning. Tiesdell, Steven et al., Revitalizing Historic Urban Quarters, Oxford 1996 Ward, Stephen V., Planning the Twentieth-Century City, the advanced capitalist world, Chicheser, West Sussex,

2002 Wiryomartono, A. Bagoes P., Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Jakarta 1995. Zubir, Zaiyardam, Pertempuran nan tak Kunjung Usai, Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin oleh Kolonial

Belanda 1891-1927, Andalas University Press, Padang 2006

______________: Internationale Bauausstellung Emscher-Park, Werkstatt für die Zukunt alter Industriegebiete, Der

Minister für Stadtentwicklung. Wohnen und Verkehr des Landes Nordrhein-Westfalen, Düsseldorf 1993 ______________: Internationale Bauausstellung Emscher-Park, Katalog zum Stand der Projekte, Frühjahr 1993,

Gelsenkirchen 1993 ______________: Sawahlunto, Kota Wisata Tambang yang Berbudaya, Pemda Kota Sawahlunto 2005 ______________: Menapak Jejak Tambang di Sawahlunto. Kumpulan Tulisan Kegiatan Revitalisasi Kota Tambang

Sawahlunto, tugas mata kuliah RK 7112 Topik Khusus dalam Rancang Kota semester I 2007/2008, Program Studi Rancang Kota SAPPK ITB, Bandung 2008

______________: Rencana Kota Wisata Tambang Sawahlunto, Pemerintah Daerah Kota Sawahlunto bekerjasama dengan LPM ITB, November 2001

______________: Laporan Revitalisasi Kota Lama Sawahlunto, Ditjen Kotdes Wilayah Barat, Departemen Kimpraswil, Juli 2005