Mencari Super Hero

6
Mencari Superhero…( Yang aman untuk di tonton ) Disajikan dalam Launching Lighting Electrical Cyborg dan Ksatria Baja Ammar dan Workshop Film Superhero Oleh : Edwi Arief Sosiawan Pendahuluan Siapapun orang dan di manapun jaman serta budayanya pasti mengenal tokoh hebat yang memiliki kekuatan di luar batas manusia alias hebat. Sebut saja mitos Yunani mengenal sosok Hercules manusia setengah dewa, dalam Alkitab di kenal tokoh yang sama yaitu Samson, tidak ketinggalan pula di Jawa dan India mengenal tokoh populer Gatotkaca sang jagoan yang bisa terbang. Pada masa modern budaya Amerika dan Jepang-lah yang menjadi kontributor atas lahirnya berbagai macam super hero, mulai dari Superman, Spiderman…hingga Ksatria Baja Hitam ( Black Mask Rider ). Pada sisi lain masyarakat juga menciptakan tokoh setengah super hero yang lebih manusiawi meski tetap bersifat khayal, maka kita dikenalkan tokoh Rambo, The Punisher, Barb Wire, Wong Fei Hung, Ryu dan sebagainya. Fenomena ini merujuk pada suatu kesimpulan bahwa super hero selalu ada dalam budaya masyarakat serta bersifat universal, atau artinya super hero ..gak ade matinye. Superhero adalah sosok impian, idola, dan kebanggaan walaupun eksistensinya bersifat maya dan fiksi.. Karena merupakan fiksi dan maya maka diperlukan media untuk mengeksistensikan sang superhero. Media tersebut kita kenal sebagai komik dan film. Komik menjadi primadona eksistensi superhero pada era tahun 60 hingga 70 an di saat teknologi film belum berkembang seperti sekarang ini. Di Indonesia sendiri komik sempat menjadi wahana kemunculan superhero yang menjadi legenda seperti Godam, Gundala putera petir, Laba-laba Maut dan sebagainya. Di Amerika sendiri terjadi peperangan pengaruh antara DC comics dan Marvell untuk menunjukkan siapa raja superhero melalui tokoh-tokoh utamanya seperti Superman, Spiderman, The Flash, dare Devil, X men dan sebagainya.. Setelah perkembangan teknologi film mampu mewujudkan ilusi “kehebatan superhero” daripada sekedar gambar mati berupa lukisan maka superhero semakin eksis dan menjadi budaya yang melekat di setiap generasi yang lahir pada setiap jaman. Masih ingat kegilaan pada tahun 1978 ketika Superman pertama kali di film kan, masyarakat sejak itu telah menyempurnakan “imagi” mereka tentang sosok superhero yang sebenarnya. Selanjutnya momen ini menjadi titik kemaha populeran sang super hero yang dapat dieksplorasi ke dalam berbagai bentuk seperti contohnya stiker, merchandise dan lanjutan-lanjutan dari film super hero itu atau dalam bentuk versi lainnya ( film serial kartun dan sebagainya ). Euphoria ini memang pernah berhenti sesaat beberapa tahun kemudian pada tahun 80 an dan 90 an, ini lah great moment munculnya jagoan setengah superhero seperti Rambo dan sebagainya. Alkisah pula pada saat yang sama kita dibombardir oleh munculnya berbagi jagoan super hero dari timur ( Jepang ) seperi Black Mask Rider, Power Rangers, Ultraman dan sebagainya. Inilah masa di mana masyarakat memiliki alternatif superhero yang lain yang tidak berbau “ngamerika” melainkan memiliki sentuhan ketimuran. Mereka yang lahir di tahun

Transcript of Mencari Super Hero

Page 1: Mencari Super Hero

Mencari Superhero…( Yang aman untuk di tonton ) Disajikan dalam Launching Lighting Electrical Cyborg dan Ksatria Baja Ammar

dan Workshop Film Superhero

Oleh : Edwi Arief Sosiawan

Pendahuluan Siapapun orang dan di manapun jaman serta budayanya pasti mengenal tokoh hebat yang memiliki kekuatan di luar batas manusia alias hebat. Sebut saja mitos Yunani mengenal sosok Hercules manusia setengah dewa, dalam Alkitab di kenal tokoh yang sama yaitu Samson, tidak ketinggalan pula di Jawa dan India mengenal tokoh populer Gatotkaca sang jagoan yang bisa terbang. Pada masa modern budaya Amerika dan Jepang-lah yang menjadi kontributor atas lahirnya berbagai macam super hero, mulai dari Superman, Spiderman…hingga Ksatria Baja Hitam ( Black Mask Rider ). Pada sisi lain masyarakat juga menciptakan tokoh setengah super hero yang lebih manusiawi meski tetap bersifat khayal, maka kita dikenalkan tokoh Rambo, The Punisher, Barb Wire, Wong Fei Hung, Ryu dan sebagainya. Fenomena ini merujuk pada suatu kesimpulan bahwa super hero selalu ada dalam budaya masyarakat serta bersifat universal, atau artinya super hero ..gak ade matinye. Superhero adalah sosok impian, idola, dan kebanggaan walaupun eksistensinya bersifat maya dan fiksi.. Karena merupakan fiksi dan maya maka diperlukan media untuk mengeksistensikan sang superhero. Media tersebut kita kenal sebagai komik dan film. Komik menjadi primadona eksistensi superhero pada era tahun 60 hingga 70 an di saat teknologi film belum berkembang seperti sekarang ini. Di Indonesia sendiri komik sempat menjadi wahana kemunculan superhero yang menjadi legenda seperti Godam, Gundala putera petir, Laba-laba Maut dan sebagainya. Di Amerika sendiri terjadi peperangan pengaruh antara DC comics dan Marvell untuk menunjukkan siapa raja superhero melalui tokoh-tokoh utamanya seperti Superman, Spiderman, The Flash, dare Devil, X men dan sebagainya..

Setelah perkembangan teknologi film mampu mewujudkan ilusi “kehebatan superhero” daripada sekedar gambar mati berupa lukisan maka superhero semakin eksis dan menjadi budaya yang melekat di setiap generasi yang lahir pada setiap jaman. Masih ingat kegilaan pada tahun 1978 ketika Superman pertama kali di film kan, masyarakat sejak itu telah menyempurnakan “imagi” mereka tentang sosok superhero yang sebenarnya. Selanjutnya momen ini menjadi titik kemaha populeran sang super hero yang dapat dieksplorasi ke dalam berbagai bentuk seperti contohnya stiker, merchandise dan lanjutan-lanjutan dari film super hero itu atau dalam bentuk versi lainnya ( film serial kartun dan sebagainya ). Euphoria ini memang pernah berhenti sesaat beberapa tahun kemudian pada tahun 80 an dan 90 an, ini lah great moment munculnya jagoan setengah superhero seperti Rambo dan sebagainya. Alkisah pula pada saat yang sama kita dibombardir oleh munculnya berbagi jagoan super hero dari timur ( Jepang ) seperi Black Mask Rider, Power Rangers, Ultraman dan sebagainya. Inilah masa di mana masyarakat memiliki alternatif superhero yang lain yang tidak berbau “ngamerika” melainkan memiliki sentuhan ketimuran. Mereka yang lahir di tahun

Page 2: Mencari Super Hero

80 an dan 90 an pasti terkesan dengan superhero ini karena kemunculannya bukan dari komik melainkan langsung dalam bentuk serial televisi yang lebih membawa kesan yang dalam dalam ingatan dan imaji pengemarnya.

Superhero dianggap hebat dalam benak imaji masyarakat bukan hanya karena mereka memiliki kekuatan super, tetapi karena mereka menjadi “penolong / penyelamat / pembasmi “ ketika “si jahat” muncul. Mereka akan melakukan perlawanan dengan segala kekuatan yang dimiliki demi menghalau “si jahat “ tadi. Nah, aksi ini lah yang kemudian di eksploatasi dalam penggambaran untuk menunjukkan eksistensi si super hero dalam media film ataupun sinema elektronik. Pertarungan si superhero inilah yang menjadi nilai plus untuk dinikmati sekaligus untuk menjadi lahan bisnis bagi produsernya. Ini adalah lazim dan memang seperti itulah adanya fenomenanya. Tetapi sadarkah dibalik kenikmatan menonton aksi si superhero tadi ada nilai-nilai yang akan diserap oleh penontonnya sehabis tayangan superhero tersebut berlalu? Perlu digaris bawahi bahwa mayoritas penikmat superhero adalah anak-anak atau mereka yang belum tumbuh matang sebagai orang dewasa. Artinya, secara psikologis mereka belum secara mutlak memahami nilai mana yang pas untuk ditiru dan nilai mana yang seharusnya tidak ditiru. Bila nilai-nilai pro sosial menjadi idola untuk ditiru tidak akan menjadi masalah tetapi jika nilai-nilai anti sosial yang ditiru….bisa sangat menjadi masalah ( ingat kasus kecelakaan seorang siswa SD di Jawa Barat yang terjadi akibat meniru adegan dalam gulat bebas WWF “Smackdown” ). Oleh karenanya, dalam makalah ini akan dipaparkan tentang fenomena proses berkomunikasi” antara superhero dengan audience nya dan dampaknya secara sosial dan psikologis. Aksi Super Hero..Nyamankah ? harus bagaimanakah ?

Sudah menjadi pakemnya bahwa kehadiran superhero adalah ketika dibutuhkan karena hadirnya si Jahat yang mengganggu orang, dan karena dia adalah pahlawan super maka penjahatnya juga super pula artinya tokoh utama si jahat juga memiliki kekuatan super yang setara dengan superhero. Maka ramuan andrenalin kita akan memuncak ketika tokoh idola kita bertarung dengan si jahat tadi. Pukulan, tendangan, berondongan kekuatan super dengan ledakan dahsyat dan sebagainya semakin menambah nikmat rasa dalam proses kita berkomunikasi dengan tayangan tadi. Yang menjadi persoalan adalah bahwa tayangan pertarungan pasti melibatkan adanya tindakan kekerasan atau perilaku agresif bersifat anti sosial seperti yang disebutkan di atas, namun inilah pakem yang selalu ada dan memang harus ada, rasanya sulit dan sedikit mustahil untuk menghilangkan adegan pertarungan dalam lakon superhero. Bila tidak ada maka akan kita nikmati sajian sayur asem yang kurang garam, meskipun dalam setiap aksi superhero juga akan selalu mincul perilaku lain yang disebut sebagai perilaku prososial yaitu perilaku yang memiliki konsekuensi positif berupa visualisasi menolong, memberi bantuan , mematuhi norma sosial tanpa adanya pengharapan balasan atas perilaku tersebut.. (Mussen dan Eisenberg dalam Bandura (1992) ). Walaupun begitu yang menjadi domainnya justru adalah pada perilaku anti sosialnya.

Page 3: Mencari Super Hero

Dalam suatu studi ini ditemukan bahwa katagori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah berkata kasar (38,56%), mencelakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu katagori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%).

Temuan ini sejalan dengan temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menam-pilkan adegan anti sosial (63,51%) dari pada adegan pro sosial (36,49%). Begitu pula tayangan film lainnya khususnya film import membawa muatan negatif, misalnya film kartu Batman dan Superman menurut hasil penelitian Stein dan Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif yang dapat dikatagorikan anti sosial setelah mereka menonton film kartun seperti Batman dan Superman.( http://radmarssy.wordpress.com/2007/05/04/antara-televisi-anak-dan-keluarga-sebuah-analisis/ )

Dari sudut pandang ilmu komunikasi, setiap penyampaian pesan melalui media ( apapun bentuknya ) akan memiliki dampak pada penontonnya. Dampak atau efek ini terbagi menjadi tiga opini utama yang membahas tentang kedalaman yang diakibatkan. Aliran optimistik mengatakan bahwa dampak tayangan kekerasan akan mempengaruhi mental penontonnya terutama anak-anak. Klausul ini akan semakin tergaris bawahi apabila tayangan tadi melalui televisi. Seperti diketahui media film adalah media yang periodisasinya berdasarkan produksi yang terbatas sementara televisi periodisasinya dalah setiap hari, setiap minggu dan setiap bulan. Oleh karenanya, aliran ini mengedepankan dampak buruk pada kondisi mental seseorang yang terbudayakan ( cultivation ) oleh tayangan kekerasan di televisi.

Aliran kedua yaitu aliran romantik mengatakan bahwa tayangan audio visual khususnya di televisi akan menyita waktu audience (khususnya anak-anak) untuk belajar padanya daripada belajar bersosialisasi. Asumsi aliran ini mengedepankan adanya kemungkinan besar audiens akan mengapresiasi setiap adegan khususnya kekerasan yang memicu dirinya menjadi agresor.

Aliran ke tiga disebut sebagai aliran pesimistik, yang memandang pengaruh tayangan audio visual baik di media film atau televisi tidak berpengaruh langsung terhadap kondisi mental auidens, justru lingkungan dimana mereka tumbuh yang lebih berperan dalam mengkondisikan mereka dalam perilaku kekerasan. Pendapat ini diperkuat oleh hasil penelitian Yayasan Kesejahteraan Anak (YKAI) pada tahun 1991 yang menemukan pengaruh agresif anak jalanan bukan adopsi dari tayangan kekerasan dalam TV melainkan dari kehidupan keras di sekitarnya. Pendapat yang serupa juga pernah disampaikan oleh salah satu KAPOLDA di Indonesia yang mengatakan bahwa tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja yang menjadi tahanannya mayoritas bukan karena pengaruh film atau televisi melainkan appresiasi dari lingkungan mereka tinggal. Bahkan Greg Weismen produser dari Waly Disney Animation ( 1995 ) meyakinkan bahwa adegan kekerasan mampu menjadi katarsis guna melepaskan ketegangan pada audiens.

Apapun bentuk dukungan kita pada pendapat yang ada dalam aliran-aliran di atas kita tetap harus mewaspadai setiap tanyangan yang mengandung unsur

Page 4: Mencari Super Hero

kekerasan. Sebab secara psikologis, ditegaskan bahwa perilaku manusia pada hakekatnya merupakan proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia mahluk hidup. Sikap dan pola perilaku itu menurut pandangan behavioristik dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungan berdasar pada tayangan audio visual melalui televisi, VCD, ataupun DVD yang setiap saat bisa ditonton dan diperoleh secara bebas. Anak ataupun remaja sebagai individu yang masih labil dan mencari jati diri, sangat rentang dengan perilaku peniruan yang akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk pada kepribadiannya. Tayangan televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya. Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 1972 dikeluarkan laporan berjudul Television and Growing Up; The Impact of Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan gambaran bahwa korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku agresif pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya 0,20 sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi dasar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan langsung antara keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja berpengaruh terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak mempunyai pengaruh sekalipun.

Lalu bagaimana solusinya dalam mengatasi kontradiksi antara keperluan menghadirkan eksistensi si superhero dengan dampak yang mungkin timbul akibat penayangan si superhero tadi. Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan baik solusi yang berorientasi pada pihak “superhero”ataupun sulusi yang berorientasi pada pihak audiens.

Untuk pihak audiens secara klasik namun nyata buktinya adalah melalui keterlibatan keluarga ( orang tua ). Idealnya, para orang tua selalu menjadi pendamping anak dalam menonton televisi. Acara-acara mana yang pantas ditonton mereka. Begitu pula mereka diberikan penjelasan mengenai adegan/peristiwa dalam film termasuk adegan fiktif. Namun masalahnya, apakah sanggup para orang tua mendampingi putra-putrinya nonton TV. Kini si keci dimungkinkan nonton TV setiap saat dengan berbagai acara termasuk film adegan kekerasan/sadisme. Sementara itu para orang tua sibuk dengan tugas pekerjaan sehari-harinya. Oleh karena itu, benteng yang paling kuat adalah bagaimana menciptakan keluarga yang harmonis. Komunikasi orang tua dan anak dituntut lancar dan berkualitas. Nilai, norma, dan ajaran agama dijadikan landasan hidup dalam keluarga. Kondisi seperti ini akan menjadi benteng yang kokoh bagi anak dalam menyaring gencarnya tayangan televisi.

Harvard, Robert Coles (dalam Dedi Supriadi, 1997) menun-jukan bahwa pengaruh negatif tayangan televisi, justru terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam temuannya, anak-anak yang mutu kehidupannya rendah sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sebaliknya keluarga yang memegang teguh nilai, etika, dan moral serta orang tua benar-benar menjadi panutan anaknya tidak rawan terhadap pengaruh tayangan negatif televisi. Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa mempermasalahkan kualitas tayangan televisi tidak cukup tanpa mempertimbangkan kualitas kehidupan keluarga. Ini berarti menciptakan keluarga

Page 5: Mencari Super Hero

yang harmonis jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.

Yang kedua, pentingnya peran masyarakat untuk mengontrol media antara lain melalui petisi, somasi, dan sebagainya. Peran kontrol pemerintah atau pengelola media tidak banyak diharapkan, mengingat mereka memiliki kepentingan tertentu dengan media. Bisa kita lihat Agenda pendidikan media sama sekali belum diperhitungkan penyelenggara negara, khususnya pemegang otoritas pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi yang kini sedang digulirkan, tidak pernah memasukkan media education sebagai salah satu isinya. Media education kini baru dilakukan segelintir orang yang peduli, tetapi belum menjadi agenda publik, padahal korban-korban media sudah begitu banyak. Pendidikan media perlu dilakukan guna memberi pemahaman tentang bagaimana media bekerja, bagaimana media memengaruhi kehidupan, dan bagaimana kita menggunakan media secara bijak. Melalui pendidikan media, kita bisa memahami, menganalisis, dan menafsirkan berbagai agenda terselubung dan manipulasi-manipulasi di balik suguhan media.

Sementara itu dari pihak “superhero” ( produser, sutradara, penulis skenario ) atau dengan kata lain sang komunikator hal utama yang harus dilakukan adalah melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah dengan menerbitkan aturan tertentu dalam penayangan adegan kekerasan / actions yang hemat penulis saat ini masih belum ada kecuali aturan-aturan umum dalam KUHP atau aturan dalam etika media. Sebagai contoh di Amerika visuaisasi penggunaan senjata dibatasi hanya menggunakan senjata laser dan tidak boleh memiliki kemiripan dengan senjata sungguhan atau ketika ditembakkan tidak berbentuk peluru.

Yang kedua, dari sisi produser dan crew penmbuat film superhero, hendaknya memimalisir adegan antisosial dalam arti bukan pengurangan adegannya tetapi dalam bentuk visualisasinya. Misalnya jika harus ada adegan memukul dan sebagainya sebaiknya pukulan dan tendangan itu mengenai sasaran tubuh yang tidak vital seperti dada atau kaki. Bisa dibayangkan bila ada adegan superhero dalam melumpuhkan musuhnya melakukan adegan mencekik leher…menginjak kepala ( apa jadinya bila ditiru ? )

Yang ketiga, kalaupun ada penggunaan alat yang digunakan maka hendaknya jangan menggunakan barang-barang yang mudah ditemukan di sekitar rumah seperti palu, pisau dapur, pemukul kasti atau base ball, rantai dan sebagainya Tetapi ciptakan alat imajiner yang jauh dari jangkaun khayal mereka seperti pedang laser misalnya, pun ini juga harus mempertimbangkan bahwa penggunaan alat tersebut tidak mengenai sasaran tubuh yang vital. Perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan alat atau senjata tersebut hanya mampu melumpuhkan atau menghilangkan ( dissapear ) si tokoh jahat dan bukannya menunjukkan adegan kematian yang bersimbah darah dan sadis.

Yang ke-empat, para produser superhero hendaknya memberikan diversivikasi tayangan pro sosial yang porsinya lebih banyak melalui adegan yang sederhana namun mudah ditiru seperti jika si superhero naik motor dia akan selalu memakai helm, atau mengendarai mobil maka ia akan menggunakan sabuk pengaman. Pada sisi yang lain produsen juga bisa melibatkan tokoh superhero tadi

Page 6: Mencari Super Hero

dalam acara “of air” seperti menjadi endorser dalam iklan layan masyarakat atau ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial lainnya. Dengan cara ini, maka imaji penonton tidak terpaku pada kemampuan si jagoan dalam berkelahi melawan tokoh jahat saja tetapi juga berhadapan dengan realitas bahwa si superhero tadi bisa berlaku seperti kebanyakan orang sesuai dengan kaidah dan norma sosial yang berlaku. Simpulan

Harus diakui bahwa film atau produk audio visual adalah produk suatu industri, bagian dari suatu bisnis pertunjukan yang kini banyak diminati oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Mengapa demikian pertunjukan sebuah film tidak tampil fantastis jika tidak sarat degan adegan aksi. Hal ini tentunya menjadi dasar para produsen film saling bersaing menyajikan inovasi dan gaya baru film action. Namun perlu diperhatikan bahwa sajian aksi dalam film atau produk ausio visual memiliki dampak yang tidak main-main oleh karenanya diperlukan kesadaran dari produsen superhero dan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah untuk membuat bingkai aturan tentang penggunaan adegan aksi baik pro maupun antisosial untuk menyelamatkan audiens dari penyontohan yang berlebihan atau tidak perlu. Dari sisi masyarakat sebagai penggunanya tentunya peran aktif dan kritis diperlukan mengingat secara sadar atau tidak mereka adalah objek bahkan juga korban ( victim ) dari adegan aksi dari fil-film superhero tersebut.

Untuk pemerintah tentunya peran aktif di dalam memberikan pendidikan media ( media literacy ) harus ditingkatkan khususnya bagi mereka golongan ekonomi mengeh ke bawah yang kebanyakan disibukkan mencari nafkah daripada mendampingi putra putri mereka di dalam menonton film aksi superhero.

Terakhir, bagi produsen film superhero, selain harus menyesuaikan dengan solusi yang telah diurauikan di atas langkah lain yang bisa ditempuh adalah menggali nilai-nilai budaya dan sosial yang berkembang dan ada di masyarakat sebagai bahan ide alur cerita atau karakter dari si tokoh superhero sehingga superhero tadi lebih bernilai plus dikalangan masyarakat karena memiliki proximity deng an diri mereka. ( dosen beberapa PTS di Yogyakarta ).