“Mencantikkan” makna sekuler agar tidak menakutkan dengan perspektif hadis

3
“MENCANTIKKAN” MAKNA SEKULER AGAR TIDAK MENAKUTKAN DENGAN PERSPEKTIF HADIS Oleh: Dr. Asrar Mabrur Faza, M.A. “Sekuler!”, begitulah istilah yang menakutkan dan menyeramkan itu disebut-sebut. Tidak hanya sukses memunculkan kesan “takut” dan “seram”, istilah ini pun telah “berpengalaman memberi kehebohan”. Baru-baru ini, muncul kembali sebuah artikel tentang sekuler di ruang publik. Artikel tersebut tampaknya merefleksikan kesan “menakutkan” dan “menghebohkan” dulu yang pernah ada, sambil berupaya mempertebal kedua situasi kejiwaan itu bagi umat Islam. Artikel itu mengatakan bahwa ajaran sekuler berasal dari Barat, dan tidak berasal dari ajaran Islam. Tulisan yang sedang ada di hadapan pembaca ini, tidak sedang memperdebatkan fatwa pengharaman dan tidak pula merespon negatif artikel di atas, tetapi sekedar ingin “memperkenalkan” makna lain yang lebih indah dan “tidak menakutkan” dan semoga “tidak menghebohkan” dari istilah sekuler, dilihat dari perspektif hadis-hadis dan sejarah kenabian. Memilihkan Makna yang Cantik Untuk Istilah “Sekuler” Harus diakui, memang terlalu berwarna rumusan makna “sekuler” secara terminologis. Sudah banyak ide tergulir, serta berjilid-jilid buku terserak demi menawarkan makna yang “tepat” untuk istilah “sekuler” dengan segala varian katanya. Rumusan-rumusan tentang sekuler “terus” mengalami perkembangan. Namun terkadang berujung kepada pengembangan pemaknaan yang bisa jadi “menggalaukan” semua orang, seperti: anti agama, pemisahan antara agama dengan negara, penyingkiran agama dari ruang publik menuju privat, pengosongan pikiran manusia dari nilai-nilai agama, dan lain-lain. Tampaknya, kesimpulan-kesimpulan seperti ini lebih mengarah kepada penerapan sekuler pada pengalaman beberapa negara Barat dan Eropa. “Lain lubuk lain ikannya”, tentu sangat beda dengan pengalaman negara-negara muslim atau mayoritas muslim. Menurut hemat penulis, dalam konteks negara-negara yang disebutkan terakhir ini, makna yang terbilang “cantik” untuk istilah sekuler adalah: “memberi batas antara kuasa agama dan kuasa non-agama”. Ungkapan “non agama” di sini, bisa saling dipertukarkan dengan istilah “dunia”, “politik”, “negara” atau “budaya”. Makna seperti inilah yang terilhami bagi penulis, saat membaca beberapa Hadis Nabi Muhammad saw.

Transcript of “Mencantikkan” makna sekuler agar tidak menakutkan dengan perspektif hadis

Page 1: “Mencantikkan” makna sekuler agar tidak menakutkan dengan perspektif hadis

“MENCANTIKKAN” MAKNA SEKULER AGAR TIDAK MENAKUTKAN DENGAN PERSPEKTIF

HADIS Oleh: Dr. Asrar Mabrur Faza, M.A.

“Sekuler!”, begitulah istilah yang menakutkan dan menyeramkan itu disebut-sebut. Tidak hanya sukses memunculkan kesan “takut” dan “seram”, istilah ini pun telah “berpengalaman memberi kehebohan”. Baru-baru ini, muncul kembali sebuah artikel tentang sekuler di ruang publik. Artikel tersebut tampaknya merefleksikan kesan “menakutkan” dan “menghebohkan” dulu yang pernah ada, sambil berupaya mempertebal kedua situasi kejiwaan itu bagi umat Islam. Artikel itu mengatakan bahwa ajaran sekuler berasal dari Barat, dan tidak berasal dari ajaran Islam.

Tulisan yang sedang ada di hadapan pembaca ini, tidak sedang memperdebatkan fatwa pengharaman dan tidak pula merespon negatif artikel di atas, tetapi sekedar ingin “memperkenalkan” makna lain yang lebih indah dan “tidak menakutkan” dan semoga “tidak menghebohkan” dari istilah sekuler, dilihat dari perspektif hadis-hadis dan sejarah kenabian.

Memilihkan Makna yang Cantik Untuk Istilah “Sekuler”

Harus diakui, memang terlalu berwarna rumusan makna “sekuler” secara terminologis. Sudah banyak ide tergulir, serta berjilid-jilid buku terserak demi menawarkan makna yang “tepat” untuk istilah “sekuler” dengan segala varian katanya. Rumusan-rumusan tentang sekuler “terus” mengalami perkembangan. Namun terkadang berujung kepada pengembangan pemaknaan yang bisa jadi “menggalaukan” semua orang, seperti: anti agama, pemisahan antara agama dengan negara, penyingkiran agama dari ruang publik menuju privat, pengosongan pikiran manusia dari nilai-nilai agama, dan lain-lain. Tampaknya, kesimpulan-kesimpulan seperti ini lebih mengarah kepada penerapan sekuler pada pengalaman beberapa negara Barat dan Eropa.

“Lain lubuk lain ikannya”, tentu sangat beda dengan pengalaman negara-negara muslim atau mayoritas muslim. Menurut hemat penulis, dalam konteks negara-negara yang disebutkan terakhir ini, makna yang terbilang “cantik” untuk istilah sekuler adalah: “memberi batas antara kuasa agama dan kuasa non-agama”. Ungkapan “non agama” di sini, bisa saling dipertukarkan dengan istilah “dunia”, “politik”, “negara” atau “budaya”. Makna seperti inilah yang terilhami bagi penulis, saat membaca beberapa Hadis Nabi Muhammad saw.

Page 2: “Mencantikkan” makna sekuler agar tidak menakutkan dengan perspektif hadis

“Spirit” Sekuler dalam Hadis Nabi

Sesungguhnya Hadis Nabi saw. barangkali bisa menjadi alternatif pemaknaan secara teoritis sekaligus gambaran “spirit” sekuler secara praksis di masa awal-awal Islam. Nabi saw. bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian” (Shahih Muslim, Kitab 43, Bab 38, No. hadis 2363). Imam Muslim, seorang ahli hadis/hadisolog klasik, ketika mengutip sabda ini, menuliskan satu kalimat yang cukup “berani” dan rada-rada “sekuler”: “Kemestian menuruti hal-hal keagamaan yang “dititahkan” oleh Nabi, tidak (menuruti) hal keduniawian yang “diusulkan” atas dasar nalar Beliau)” (Shahih Muslim, h. 1286). Tampaknya Imam Muslim menyadari perlunya membuat garis batas yang jelas antara “kuasa agama” dengan “kuasa dunia” dalam lakon hidup Nabi saw.

Imam Muslim juga mengutip sabda Nabi lainnya: “Saya (Muhammad saw.) ini adalah manusia (biasa). Jika aku menitahkan urusan keagamaan, maka ambillah. Jika aku memerintahkan sesuatu dari pendapatku, maka aku ini (hanyalah) manusia (biasa)” (No. hadis 2362). Terkait dengan sabda ini, seorang komentator hadis terkenal, Imam al-Nawawi mencoba menjelaskan dengan berkata: “Pendapat spekulatif dari Nabi saw. itu sama saja dengan yang (pendapat orang) lain” (al-Minhaj, juz XV, h. 116).

Dalam bidang fashion, terkadang Nabi Saw. menampakkan “isyarat” kesekulerannya. Kisah menarik Nabi saw. berikut ini, dikutipkan oleh Imam al-Bukhari: “Bahwa Rasulullah saw. pernah menyisir lurus rambutnya, sementara itu kaum paganis menyisir belah dua rambut mereka. Sedangkan ahlul kitab (Yahudi dan Kristen) menyisir lurus rambut mereka. Rasulullah saw. suka meniru-niru ahli kitab (dalam berpenampilan) pada sesuatu yang tidak ada perintah tentang itu. Kemudian Rasulullah saw. pun menyisir belah dua rambutnya” (Shahih al-Bukhari, Kitab 61, Bab 20, No. hadis 3558). Di antara komentator hadis ada yang berpendapat bahwa persoalan gaya rambut termasuk persoalan syariat (baca: agama). Tetapi pendapat ini dilemahkan oleh al-Kirmani. Menurut al-Kirmani, jika sikap “meniru” Nabi itu persoalan syariat, tentu akan menjadi suatu kewajiban, tetapi hadis di atas hanya menunjukkan perasaan suka Nabi saja (‘Umdah al-Qari, juz XVI, h. 155). Dengan kata lain, Nabi saw. ingin menunjukkan kepada para sahabatnya batasan yang jelas antara “kuasa agama” dengan “kuasa budaya”.

Dalam kehidupan politik ketatanegaraan, tampaknya Nabi Muhammad saw. merasa perlu menciptakan teks baru, yaitu piagam Madinah. Piagam Madinah atau disebut dustur al-daulah al-baladiyah (konsitutusi negara-bangsa) berisi 47 pasal perjanjian antara kaum muslimin dan non-muslim di Madinah (Majmu‘ah al-Watsa’iq al-Siyasiah, h. 57-62). Boleh jadi Nabi berpendapat bahwa teks yang sudah ada (baca: Alquran), tidak menyuguhkan “juknis” ketatanegaraan. Sebab “kuasa politik” saat itu agaknya lebih terkonkritkan dalam piagam Madinah, ketimbang teks-teks yang ada dalam Alquran yang sebenarnya lebih kaya dengan “kuasa agama”.

Page 3: “Mencantikkan” makna sekuler agar tidak menakutkan dengan perspektif hadis

Seorang yuris muslim klasik, Imam al-Qarafi, memiliki pendapat sendiri: “setiap perkataan dan perbuatan Nabi saw. terkait dengan tablig (agama), maka itu adalah aturan yang berlaku universal bagi manusia dan jin sampai hari kiamat. Jika berisi perintah (agama), maka wajib segera dilakukan, demikian juga hal yang mubah. Jika berisi larangan, wajib segera dihindari. Terkait dengan peran Muhammad saw. selaku kepala negara, seorangpun tidak boleh meniru peran tersebut, karena alasan “mengikuti” Beliau, kecuali atas izin dari pemimpinnya. Sebab peran yang bersifat politis bukan agamis itu, menghendaki hal tersebut. Peran Muhammad saw. selaku hakim, tidak boleh diikuti begitu saja oleh seseorang, karena alasan “mencontoh” Beliau, kecuali atas izin hakimnya. Sebab peran Muhammad saw. yang bersifat yuridis itu menghendaki hal tersebut (al-Furuq, jilid I, h. 427).

Akhirnya, tentu ada “keberkahan” tersendiri yang secara pelan tapi pasti menyelinap dalam ruang penerapan “spirit” sekuler dari masa ke masa, sejak masa Nabi saw. hingga sekarang ini. Pada saat kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak lagi terwarnai dengan “politisasi agama”, atau menyeret paksa agama demi interes politik sesaat, dan terjaminnya kebebasan beragama tanpa gangguan penguasa, maka pada detik itulah “keberkahan” sekular mulai terasa. Fa‘tabiru ya ulil albab.

(Telah dimuat pada Rubrik Opini, harian Mimbar Umum, Rabu, 10 Desember 2014, dan rubrik Mimbar, harian Orbit, Jum'at, 12 Desember 2014)