PENDIDIKAN ISLAM : PENDIDIKAN ALTERNATIF MASA DEPAN ( Studi Intensif Terhadap Kegagalan Sistem...
-
Upload
may-mukti-utami -
Category
Documents
-
view
97 -
download
5
description
Transcript of PENDIDIKAN ISLAM : PENDIDIKAN ALTERNATIF MASA DEPAN ( Studi Intensif Terhadap Kegagalan Sistem...
PENDIDIKAN ISLAM : PENDIDIKAN ALTERNATIF MASA DEPAN
( Studi Intensif Terhadap Kegagalan Sistem Pendidikan Sekuler)
I. Pendahuluan
Ada berbagai sistem pendidikan besar di dunia saat ini, seperti sistem
pendidikan yang beridiologi kapitalis-liberalis, sistem pendidikan yang beridiologi
sosialis-komunis, sistem pendidikan yang beridiologi hindu-budha, dan lain-lain
sistem kecil yang tidak begitu berpengaruh di dunia, atau bahkan sistem pendidikan
sekuler yang banyak dianut oleh negara-negara yang tidak memiliki idiologi tertentu
sebagai sistenm ketatanegaraannya. Ternyata tidak dapat menjawab tantangan
kekinian dan masa depan yang terjadi. Hal ini telah terbukti dengan adanya kerusakan
alam dan sumber dayanya, kerusakan moral dan akhlaq manusia yang hampir-hampir
menyerupai perilaku binatang, keterpurukan ekonomi dan multi demensi pada hampir
berbagai negara yang menganut sistem-sistem tersebut.
Ilmu dan teknologi sebagai hasil-hasil sistem pendidikan di atas telah
melahirkan ilmu yang bebas nilai, jauh dari kontrol agama, jauh dari kontrol moral
dan etika. Ilmu melaju dan berkembang pesat tanpa dapat dihalangi sehingga pada
akhirnya keterpurukan di atas yang terjadi.
Oleh karena itu penulis mencoba untuk mengajukan agar kita kembali pada
sistem pendidikan yang beridiologikan islam, yang lebih tegasnya sistem pendidikan
islam.
II. Permasalahan
Masalah yang dapat penulis angkat dalam makalah ini, untuk memberi arah
pembahasan yang lebih fokus adalah :
Mampukah sistem pendidikan islam menjawab tangtangan jaman ke depan ?
1
III. Ruang Lingkup
Pembahasan masalah ini difokuskan pada masalah-masalah pendidikan
dalam konteks ke-Indonesiaan, dalam arti pendidikan manusia Indonesia secara utuh,
jasmani dan rohani, jiwa dan raga, serta dunia dan akhirat.
IV. Pembahasan
1. Sejarah Sistem Pendidikan di Indonesia
Mempelajari perkembangan pendidikan, terutama pendidikan agama di
Indonesia, jika dikaji dari pendekatan sejarah tidak dapat dilepas dari pendidikan
sejak zaman pemerintah kolonial, dalam hal ini pemerintah Belanda, yang sejak akhir
abad XVIII dikenal dengan pemerintah Hindia Belanda.
Perilaku dan sikap pemerintah Hindia Belanda menghadapi pendidikan agama
di sekolah-sekolah umum dinyatakan di dalam pasal 179 (2) I.S (Indische
Staatsregeling) dan di dalam beberapa ordonansi yang secara singkat sebagai berikut
(Sumardi,1977:5):
Pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan
dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Pengajaran agama
hanya boleh berlaku di luar jam sekolah.
Bertolak dari prilaku dan sikap tersebut, dapat dibaca bahwa pemerintah
Hindia Belanda punya maksud dan tujuan yang tersembunyi, sebagai ‘missi’ dan
‘zending’ agama mereka. Sehingga walaupun telah beberapa kali di dalam Volksraad
diusulkan agar pengajaran agama Islam dimasukkan sebagai mata pelajaran di
perguruan umum, tetapi usul-usul demikian selalu ditolak oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Sampai akhir pemerintah Hindia Belanda pengajaran Agama tidak pernah
dimasukkan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah umum. Pada
sekolah-sekolah partikelir ada juga pengajaran agama ditambahkan, tetapi murid
2
bebas untuk tidak mengikuti pelajaran agama tersebut jikalau orang tuanya
menyatakan keberatan (Sumardi, 1977:5).
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945. Pada kabinet pertama, K.H. Dewantara duduk sebagai menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan (PPK). Dalam rapatnya tanggal 27 Desember 1945
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BP-KNIP) mengusulkan kepada Kementerian
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) supaya mengusahakan pembaruan
pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Saran Badan Pekerja itu adalah sebagai
berikut (Purbakawaca dalam Sumardi, 1977: 6) :
Pengajaran agama hendaklah mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berhendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Tentang cara melakukan hal ini baiklah Kementerian mengadakan perundingan dengan Badan Pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.
Sebagai negara yang baru merdeka dan kondisi politik yang belum stabil,
maka wajar jika pergantian kabinet sering terjadi, sehingga berakibat saran BP-KNIP
itu baru dapat dilaksanakan pada masa menteri PPK dipegang oleh Mr. Suwandi (2
Oktober 1946 – 27) Juni 1947), dengan membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di
bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara. Panitia itu antara lain menetapkan bahan
pengajaran agama. Hasil kerja Panitia Penyelidik Pengajaran itu yang menyangkut
pendidikan agama antara lain :
1. Hendaknya pelajaran agama diberikan pada semua sekolah dalam jam pelajaran dan di SR (Sekolah Rakyat) diajarkan mulai kelas IV.
2. Guru agama disediakan oleh Kementerian Agama dan dibayar oleh pemerintah (Sumardi, 1977: 6-7).
Sementara itu, dengan Penetapan Pemerintah nomor 1/SD tanggal 3 Januari
1946, didirikan Kementerian Agama dan Menteri Agama kemudian dengan
3
keputusannya nomor 1185/K.J. tanggal 20 November 1946 menetapkan bahwa
Bagian C (pada Kementerian Agama) melaksanakan kewajiban-kewajiban antara
lain:
(a) urusan pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen,
(b) urusan pengangkatan guru-guru agama, dan
(c) urusan pengawasan pelajaran agama.
Setelah itu dikeluarkan Peraturan bersama Menteri PPK dan Menteri Agama : No.
1142/Bhg. A (Pengajaran) tanggal 1-12-1946 yang menentukan No. 1285/K.J.
(Agama) tanggal 12-12-1946, adanya pengajaran agama di sekolah-sekolah rendah
sejak kelas IV dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1947. dalam pengaturan ini
dinyatakan pula bahwa segala peraturan dan instruksi tentang masalah tersebut yang
telah ditetapkan sebelum tanggal 1 Januari 1947 akan diperbaharui (Sumardi, 1977:
7).
Peraturan bersama inilah yang dapat dianggap sebagai landasan hukum
pertama mengenai adanya penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah
negeri oleh instansi negara. Dari situ kita mengetahui bahwa secara resmi pendidikan
agama di sekolah-sekolah negeri di Indonesia telah ada sejak tanggal 1 Januari 1947.
Pada waktu itu pendidikan agama baru diberikan ditingkat sekolah rendah, yang
sekarang disebut sekolah dasar dan belum berlaku bagi sekolah partikelir.
Untuk menyempurnakan Peraturan Bersama tahun 1946 itu Menteri PPKdan
Menteri Agama mengeluarkan Peraturan Bersama tahun 1951 yaitu No. 17678/Kab.
Tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) yang mengatur antara lain No.K.J./9180 tanggal
16 Juli 1951 (Agama) mengenai penyelenggaraan pendidikan agama sejak agama di
sekolah lanjutan, mengenai diberikannya pendidikan agama sejak kelas 1 Sekolah
Rendah pada lingkungan-lingkungan istimewa, dan pendidikan agama perlu diberikan
juag di sekolah-sekolah partikelir dengan pembiayaan dari pemerintah bila syarat-
syaratnya telah dipenuhi (Sumardi, 1977:7-10).
Langkah penyempurnaan selanjutnya tertuang dalam Ketetapan Majelis
Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor II tahun 1960 Bab II pasal 2
4
ayat (3) yang menyatakan bahwa pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah-
sekolah mulai dari sekolah dasar sampai universitas negeri, dengan pengertian bahwa
murid-murid berhak tidak ikut serta apabila wali murid / murid dewasa menyatakan
keberatannya. Dengan ketetapan MPRS Nomor XVII tahun 1966 tanggal 5 Juli 1966
kata-kata dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta apabila wali
murid / murid dewasa menyataka keberatannya dihapus. Ketetapan MPRS Nomor II
tahun 1960 tersebut kemudian dicabut oleh Ketetapan MPRS Nomor XXVII tahun
1968 (Sumardi, 1977: 10-13).
Perekembangan dasar hukum adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di
Indonesia terdapat di dalam Ketetapan MPR Nomor IV tahun 1973, yaitu tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) bidang Agama dan Kepercayaannya
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berbunyi sebagai berikut :
Diusahakan bertambahnya sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha, termasuk pendidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri (Sumardi, 1977: 16)
Karena dimasukkannya pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-
sekolah mulai dari sekolah dasar sampai universitas-universitas negeri, maka dengan
sendirinya pengajaran agama di sekolah-sekolah partikelir (swasta) harus juga
mengikutinya. Pada dasarnya Ketetapan MPR Nomor IV tahun 1973 inilah yang
menjadi landasan pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia sampai saat ini.
Jika bertolak dari perkembangan di atas, sebenarnya pendidikan agama telah
mendapatkan tempat yang layak di Indonesia. Tetapi nuansa sekulerisasinya masih
sangat kental. Hal ini terlihat dari jumlah jam yang ada di sekolah-sekolah adalah
hanya 2 jam perminggu, yang membuat pendidikan agama hanya sebatas
pengetahuan saja, pendidikan agama hanya sebagai ‘ilmu pengetahuan’ yang tidak
harus dipraktekkan. Apalagi ketika Dr. Daoed Joesoep, menjadi menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, dengan mengambil kebijaksanaan untuk tidak meliburkan sekolah
5
pada saat bulan puasa, dengan alasan bahwa agama adalah tanggung jawab keluarga.
Jelas sekali nuansa sekulerisasi sangat nampak.
Setelah 32 tahun Indonesia di bawah tekanan pemerintah ‘Orde Baru’, setelah
sadar bahwa sistem pendidikan yang selama ini dianut tidak banyak memberi
kontribusi terhadap pembangunan manusia Indonesia seutuhnya baik material dan
spiritual, maka barulah disadari bahwa nilai-nilai budaya, nilai-nilai budi pekerti,
nilai-nilai agama perlu diajarkan baik teori dan praktek sebagai satu kesatuan.
Sebenarnya, perkembangan terakhir ialah diberlakunya Undang-Undang No.2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang itu ditegaskan
antara lain bahwa tujuan pendidikan nasional ialah mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan ... (pasal 4). Pada pasal 39 ayat (2)
disebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib
memuat :
(a) pendidikan Pancasila;
(b) pendidikan Agama; dan
(c) pendidikan kewarganegaraan.
Namun campur tangan pemerintah sebagai pengambil kebijakan politik pendidikan
sangat mewarnai sehingga arah tujuan pendidikan ditafsirkan untuk melanggengkan
hegemoni kekuasaannya.
Hal ini baru sangat amat disadari ketika Indonesia terjebak pada keadaan
krisis ekonomi yang membawa dampak kepada krisis multidemensi, yang tidak tahu
harus kepada siapa minta tolong untuk segera keluar dari penderitaan yang
berkepanjangan. Disadari oleh sebagian peminpin dan para pemuka di negeri ini, hal
ini salah satu sebab dari sistem pendidikan kita yang salah, yang kurang tepat di
dalam menempatkan tujuan pendidikan. Dan hal ini harus dimulai peraturan
perundangannya, oleh karena itu diamandemennya pasal 31 UUD 1945 sebagai
berikut :
Pasal 31 ayat 1 :
6
Setiap warga negara berhk mendapat pendidikan
Pasal 31 ayat 2 :
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya
Pasal 31 ayat 3 :
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanana dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupann bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Pendidikann yang dicanangkan dalam perundang-undangan kita telah berbalik
arah dari ‘IQ dan EQ oriented’ , baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama telah
dianggap gagal dalam menjawab problema bangsa ke depan. Seiring dengan
meningkatnya pembangunan dengan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi telah
menghasilkan tenaga lulusan “life skill” dan “employee” dalam arti kasar “buruh”
pada orang lain yang berorentasi pada “Profit Oriented” dan “Bisnis Investasi”
semata. Kesadaran ini jelas terlihat berbaliknya orientasi pendidikan seperti yang
ditegaskan pada pasal 31 ayat 3 UUD 19945 yang diamandemen tersebut, dengan
menekankan pada dasar keimanan yang berarti pada SQ oriented disamping IQ dan
EQ oriented.
2. Metode Penelitian dalam Menemukan Sistem Pendidikan Islam
Banyak orang sementara ini tidak acuh dan mencampuradukkan antara
metoda penelitian dan metodologi penelitian, sehingga sering dijumpai salah kaprah
dalam “pencantumannya”. Jika dilihat secara filosofis, metodologi penelitian
merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana prosedur
kerja mencari kebenaran (Muhadjir 2000, 5). Kualitas kebenaran yang diperoleh
dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan kualitas prosedur kerjanya.
7
Pendekatan metodologi penelitian yang dipilih adalah kualitatif, dimana
prosedur penelitian akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang atas perilaku yang dapat diamati didukung dengan studi
liberatur atau studi kepustakaan berdasarkan pada pendalaman kajian, pustaka, berupa
data dan angka, sehingga realitas dapat dipahami dengan baik (Moleong 1991, 6).
Dengan pendekatan ini akan memberikan keleluasan bagi penulis untuk
menggambarkan secara utuh Islam sebagai ideologi alternatif pendidikan baik dari
sisi teroritis, praktis, religi, maupun kebenarannya. Dengan demikian pengungkapan
secara kualitatif akan mempermudah bagi menulis untuk mencerminkan pengaruh
aspek-aspek pembangunan religi dalam pembahasan yang dilakukan.
Untuk itulah, peneliti perlu melakukan pengkajian konsep ideologi pendidikan
dari berbagai literatur, baik yang menyangkut nilai-nilai normatif maupun berbagai
teori dasar pendidikan moderen, sekaligus mengkonformasikan secara riil.
Dalam rangka untuk memperoleh data-data yang diperlukan maka penulis
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
Studi Liberatur
Dalam hal itu penulis mencoba mendapat liberatur dengan memperkaya
bacaan pustaka baik dari buku-buku liberatur, jurnal-jurnal penelitian, makalah-
makalah, majalah referensi atau rujukan dari penelitian sebelumnya serta sumber
lainnya.
Intuitif – Subyektif
Menurut Bakar (1998, 97) pemahaman intutif merupakan pemahaman
terhadap data dengan dimulai penerimaan terhadap data wahyu teoritis atas dasar
iman atau dengan cara membayangkannya, kemudian ketika merenungkan data
ini, orang yang berpikir filosofis mungkin tiba pada suatu tahapan pemahaman
(inteleksi). Metode intuitif-subyektif adalah metode yang menggabungkan antara
rasionalitas dan metarasio, yang artinya pendapat atau pemaknaan yang dilakukan
penulis tidak hanya melibatkan rasio semata, akan tetapi juga melibatkan jiwa
sepiritual. Intuitif-subyektif juga merupakan pelibatan secara penuh pendapat
8
penulis atas masalah-masalah yang sedang dibahas (lihat: Shimogaki 2000, 66-
71). Dalam penelitian ini pembahasan dan analisis yang dilakukan dalam usaha
untuk memecahkan masalah terbatas pada kemampuan penulis untuk memahami
masalah dan pemecahannya dengan berdasarkan atas wawasan dan dukungan
pustaka yang dapat dihimpun oleh penulis.
Metode Intuitif ini adalah metode yang menggabungkan antara
rasionalitas dan meta rasio. Artinya, pendapat atau pemaknaan yang dilakukan
penulis tidak hanya melibatkan rasio saja, tetapi juga meta rasio (jiwa/spiritual).
Sedangkan teknik analisis dan pengetahuan data setelah data-data
terkumpul nantinya akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif
kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara membuat deskripsi atas permasalahan yang telah didentifikasi (Subiyanto
1998, 4), dan memberikan predikat kepada variabel yang diteliti sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya (Arikunto 1993, 353). Sehingga teknik penulisannya
berkarakter kualitatif dengan menguraikan, menjabarkan, dan merangkai variabel-
variabel yang diteliti menjadi sebuah untaian kata-kata dalam setiap bagian
pembahasannya. Adapun analisisnya berdasarkan pada prinsip :
Pemahaman wacana secara mendalam (versteher)
Menganalisis data secara interaktif dialektif atau bolak-balik, sesuai keperluan
(Miles & Haberman 1992).
Selanjutnya prosedur analisis pada data dalam penelitian ini dilakukan
baik selama proses pengumpulan data maupun setelah pengumpulan selesai
(Miles & Haberman 1992, 18). Prosedur analisis data dilakukan dengan beberapa
tahap sebagai berikut :
Reduksi data
Penyajian data
Pengambilan kesimpulan / verifikasi (conchising drawing verification).
Berdasarkan hal tersebut maka pelaksanaan analisis data dilakukan dengan
lima langkah, yaitu : 1) pembacaan secara cermat data-data yang terkumpul, 2)
9
mereduksi data-data yang terkumpul sesuai dengan permasalahan yang ada, 3)
penyajian data berupa teori-teori yang sesuai dengan permasalahan yang ada dan
4) penafsiran kembali secara deskriftif verifikatif, 5) pengulasan kembali langkah
pertama sampai ke empat.
Komponen-komponen analisis data : model interaktif (Miles & Huberman 1992, 20).
Untuk itulah sistematika analisis yang dirancang untuk mejawab
permasalahan dilakukan secara induktif, dimana Hendriksin (1993, 9) menyatakan
proses induksi meliputi penarikan kesimpulan umum dari pengamatan dan
pengukuran yang terperinci. Sehingga pembahasan penelitian dimulai dari
pengumpulan data terlebih dahulu kemudian akan dilakukan pembahasan secara
berulang-ulang mengenai masalah yang dimaksud. Dan untuk lebih dapat analisis
yang dilakukan akan dibagi berdasarkan pada permasalahan yang akan disampaikan
dimuka, yang dimulai dengan mencari jawaban atas permasalahan pertama akan
dicoba deselesaikan dengan penggambaran nilai-nilai, tatanan sosial, ekonomi dan
politik (yaitu; ideologi) sebagai pembentukan pendidikan mainstream yang
memberikan akibat dan pengaruh dalam pembentukan konsep pendidikan Islam.
Sehingga akan dapat diperoleh gambaran secara utuh tentang keterbatasan pendidikan
sistem sekuler. Dari gambaran tersebut kemudian dianalisis value masing-masing
10
Pengumpulan dataData collection
Pengurangan dataData reducing
ConclusionDrawing verification
Penyajian data Data display
ideologi yang akan di-compare dan dan dilakukan reduksi data yang ada sehingga
diperoleh nilai-nilai yang paling relevan sesuai tuntutan perkembangan jaman dan
sesuai dengan nilai-nilai islam.
Setelah kita peroleh gambaran yang baru mengenai nilai-nilai yang relevan
akan penulis ambil sebagai pelengkap dan dibandingkan dengan Islami value
sehingga diharapkan akan diperoleh konsep pendidikan Islam, yang nantinya dapat
mencerminkan kriteria kebenaran, kejujuran, dan keadilan yang sesuai dengan
tuntutan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan.
3. Pendidikan yang Diharapkan ke Depan
Setelah diperoleh sistem pendidkan islam dari meteode tersebut di atas, maka
penerapan memerlukan pemikiran lebih lanjut, agar cocok dengan situasi dan kodisi
yang mendukung.
Pendidikan dalam rangka memanusiakan manusia ke depan, menurut penulis
haruslah diorintasikan secara terpadu antara IQ, EQ dan SQ. Kegagalan masa lalu
tidaklah boleh diulang lagi untuk kedua kali. Pendidikan yang jelas-jelas memisahkan
secara sekuler antara ilmu pengetahuan dan agama, IQ dan EQ disatu pihak dan SQ
dipihak lain, telah melahirkan orang-orang yang berpengetahuan tinggi 'yang koru',
pemimpin yang tidak adil dan hanya meningkatkan golongan, bahkan juga korup,
sampai-sampai dunia internasional memberi predikat negara terkorup ke - 4 di dunia.
Pengembangan kedepan pendidikan yang berorientasi pada keterpaduan IQ,
EQ dan SQ akan mampu menciptakan manusia yang dapat :
1. Mengenal diri secara utuh, sebagai makhluk ciptaan Allah yang harus mengabdi
kepadaNya dan sebagai makhluk sosial yang selalu harus memperhatikan dan
peduli terhadap sesama, jasmani rohani, jiwa raga. Ini semua dalam orientasi
sebagai manusia yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah serta ilmu
dan teknologi yang tinggi untuk pembangunan yang bermanfaat dan berkelanjutan
demi masa depan yang sadar bahwa dunia milik bersama termasuk anak cucu kita.
11
2. Berkomunikasi dengan baik, baik antar sesama, maupun terhadap alam dan
lingkungan baik nabati dan hayati lebih-lebih dalam hal pengelolaannya sehingga
lestari dan berkelanjutan.
3. Berakhlaq baik kepada sesama, lingkungan dan pencipta.
4. Memiliki kemampuan dan etos belajar dan bekerja yang baik dan berdisiplin
tinggi.
5. Membuat keputusan yang benar dan adil.
6. Kemampuan manajerial dan pengelolaan dengan arif dan bijak.
7. Kemampuan mengorganisasi.
Untuk dapat terciptanya ke 7 point di atas maka perlu diperhatikan bagan
berikut :
12
SEKOLAH MASA DEPAN
SQMelalui Pelajaran Agama Islam
( Orientasi pada Praktek Agama )Muatan materi 6 jam
pelajaran/minggu+
Praktek Ibadah Secara Nyata
IQMelalui Pelajaran IPA, IPS dan
Matematika(Orientasi Pada Teori dan Terapan)
Muatan materi 24 jam pelajaran/minggu
+Praktek Laboratorium
EQMelalui Pelajaran Bahasa, Olah
Raga, dan Ketrampilan (Orientasi Pada Teori dan Terapan) Utamanya 2 Bahasa Asing (Inggris
dan Arab), Olah Raga Prestasi, Ketrampilan Khusus Komputer
Muatan materi 20 jam pel/minggu
Nilai-nilai Ilmu dan Teknologi
Dalam Al-Qur’an dan al Hadits
Nilai –nilai Empiris dalam
MasyarakatYang Terseleksi
Melihat komposisi jam pelajaran yang demikian padat maka sebuah
sekolah idealnya harus memiliki asrama yang terpisah antara laki-laki dan perempuan
atau setidak-tidaknya menyediakan kantin yang cukup untuk kebutuhan anak. Jika
memang hal ini dapat tercapai, maka menurut hemat penulis, akan terbangun
manusia-manusia yang memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial yang
kongkritnya adalah mampu membentuk manusia memiliki life skill, leadership, dan
jiwa intrepreneur yang tangguh.
V. Kesimpulan
Hal-hal yang dapat disimpulkan adalah :
Pertama, keterpurukan ekonomi yang menjurus kepada keterpurukan multi
dimensi yang melanda hampir seluruh dunia, terutama yang dialami oleh negara-
negara berkembang seperti yang di alami Indonesia saat ini, telah membuat orang
sadar bahwa orientasi pendidikan yang berorientasi sistem pendidikan sekuler, sistem
pendidikan liberalis kapitalis atau sistem pendidikan sosialis komunis yang sebagian
besar menganut prinsip pada IQ dan EQ semata dengan mengabaikan SQ dalam arti
penanaman nilai-nilai agama yang hak disisi Allah, ternyata tidak mampu mengatasi
tentangan zaman ke depan.
Kedua, manusia memiliki potensi dasar yang dibawa dalam dirinya sejak
lahir yang merupakan anugerah ilahi baik dan buruk, konstruktif dan distruktif,
positif atau negatif yang seimbang dan akan muncul jika salah satu menjadi dominan.
Ketiga, perlu diadakan penelitian intensif dan produktif terhadap pendidikan
islam yang bersumber pada ajaran-ajaran islam dari al-Quran dan al-Hadits yang
sebanarnya secara fitrah dalam diri manusia telah ada. Hadi hasil penelitian ini akan
diperoleh nilai-nilai pendidikan sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al-Qur'an dan
al-Hadits sebagai suatu anugerah yang tiada terhingga dari Allah SWT.
Keempat, pendidikan islam pada hakekatnya adalah sistem pendidikan yang
berisi keterpaduan antara IQ, EQ dan SQ yang berorientasi pada agama yang benar
13
dan hak, diridhoi Allah, untuk menjawab tantangan zaman kedepan dan untuk
menjawab masalah-masalah kemanusiaan serta masalah-masalah alam dan
lingkungannya.
VI. Daftar Pustaka
Ahmad Tafsir, 1999, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Sumardi,Muljanto, 1977, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-
1975, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, jakarta.
MPR RI, Amandemen ke IV UUD 1945.
Shimogaki, Kazuo, 1988, Between Modernity and Postmodernity The Islamic Left
and Dr. Hassan Hanafi’s Thought : Critical Reading. (Terjemahan) LKIS,
Yogyakarta.
Arikunto,Suharsini,1993, Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.
Miles, Matthew B dan A. Michael Haberman, 1992, Analisis Data Kualitatif,
(Terjemah) UI-Press, Jakarta.
Muhadjir,Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, yogyakarta.
Moleong, Lexy J, 1988, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda karya,
Bandung.
14