Mencabut akar tunggang di perguruan tinggi
Click here to load reader
-
Upload
salman-munthe -
Category
Education
-
view
101 -
download
2
description
Transcript of Mencabut akar tunggang di perguruan tinggi
1
Mencabut Akar Tunggang di Perguruan Tinggi
Oleh: Salman Munthe, S.Pd.SE.M.Si*
Judul ini memang kedengaran aneh dimata kaum akademis yang bergerak di bidang ilmu
sosial, tapi tidak bagi mereka yang menggeluti dibidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), lebih spesifik
lagi dibidang Biologi yang tentunya tidak asing mengenai akar tunggang yang terdapat pada
tumbuhan kayu, persoalannnya bukan hanya pada akar tunggang tapi yang dimasud adalah
kelemahan manajemen pendidikan terutama pada perguruan tinggi dan segala penyimpangan-
penyimpangan yang telah terjadi sehingga berkaitan dengan merosotnya mutu pendidikan kita, lalu
apa persoalan yang mendasar penyebab rendahnya kualitas dimaksud,! Disinilah perlu kajian
mendalam menyangkut akar tunggang yang telah lama tertanam dibenak pengelola perguruan tinggi
maupun direktur jenderal pendidikan tinggi (Dirjen dikti), tidak terlepas peran serta dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, perubahan-perubahan nama dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) era 90-an menjadi Kementerian Mendidikan
Nasional (Mendiknas) 2000-an sehingga Kembali menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) 2010-an, sampai saat ini, dari sisi pemahaman sosial ini kelihatan ketidak seriusan
pengelola pendidikan dinegeri ini mulai tingkat Dasar, menengah, Atas sampai pada puncak
perguruan tinggi yang kita saksikan bersama tidak ada ‘estafet’ mengarah kemajuan yang signifikan
malah merosot great pendidikan kita bila dibanding dengan Asean, Asia apalagi pendidikan tingkat
sekelas dunia.
Perguruan tinggi adalah sumber dari cermin kemajuan bangsa dilihat dari terlaksananya
dengan baik Tri Darma Perguruan Tinggi, 1, Pengajaran, 2) Penelitian dan 3) Pengabdian, seorang
dosen harus memenuhi Tri Darma Perguruan Tinggi, tapi apakah semua dosen melakukannya
jawaban sederhana sebahagian dosen yang siap melaksakanan Tri Darma Perguruan Tinggi sisanya
hanya bingung dengan sedikit kepandiran seolah tidak menjadi persoalan bagi diri apalagi bagi
institusinya, hal ini kita bisa lihat minimnya hasil penelitian, hasil pengabdian dan hasil opini dimedia
cetak yang membuktikan lemahnya daya pikir para dosen kita khususnya di Sumatera Utara, contoh
bila kita melihat hasil rubrik oponi dimedia cetak terbitan kota Medan misalnya Harian Umum
Waspada para penulis bisa kita data siapa dan dari mama institusinya yang produktiv menuliskan
buah pikiran tentang persoalan Daerah, Nasional maupun Internasional, menurut analisa saya sebut
saja, 1) Universitas Sumatera Utara yang menjadi penulis rutin yakni, Prof. Bahtiar Hasan Miraja,
Almarhum Drs. Jhon Tabbu Ritonga, M.Ec, dan beberapa dosen lainnya tapi secara rinci lebih sedikit
jumlah yang produktif menulis dibandingkan yang vakum meskipun ia telah lama menggeluti dunia
pendidikan di perguruan tinggi, 2) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) yang
menjadi penulis rutin yakni Suaibul Ansor Siregar dan beberapa dosen muda lainnya tapi secara rinci
lebih sedikit yang produktif dibanding yang vakum sedangkan rasio jumlah dosen bisa dikatakan
tambun, 3) IAIN Sumatera Utara yang menjadi penulis rutin yakni Prof. Syahrin Harahap, MA, Dr.
Ahyar Zein, M.Ag, Dr. Azhari Akmal Tarigan, MA, Prof. Asmuni, MA, Prof. M. Yaqub Matondang, MA
dan beberapa dosen lainnya, secara keseluruhan para penulis opini diperguruan tinggi boleh
dikatanan IAIN Sumatera Utara lebih produktiv dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya, tak
2
masalah bila Dosen IAIN masih kental dengan pembahasan yang tentunya bernuansa agama 4)
Universitas Negeri Medan yang semestinya banyak menjadi pemerhati masalah pendidikan di
Sumatera Utara bisa dikategorikan minim penulis opini terlihat dari beberapa tulisan di tahun 2013
hanya Prof. Usman Pelly, P.hD. Yang masih produktif menularkan buah pikir menyangkut masalah
antropologi sosial di Sumatera Utara sedangkan dosen muda lainnya hanya duduk manis membaca
Koran sambil menghayal kapan ya saya bisa menuliskan 4 halaman folio dan bisa masuk diharian
waspada seperti yang dilakukan para penulis lainnya tapi tindakan hanya sekedar hayalan belum
mampu merubah menjadi kebiasaan menulis, 5) Universitas Islam Sumatera Utara (UISU),
Universitas yang satu ini bisa kita maklumi bersama para dosen lebih banyak berzikir dan berdo’a
mudah-mudahan kampus mereka aman dari terpaan keinginan nafsu duniawi, sehingga mereka
minim menorehkan tulisan ilmiah tapi begitupun salah satu dari mereka masih ada yang berani
tampil yakni Prof. Dr. Zulkarnain Nasution, M.Si , yang pernah menulis dengan judul “ kuliah 15
menit bersama supir Taxi” dengan ini bisa menjadi pengobat bagi mereka yang bergolak moga
tuhan memberikan tempat bagi mereka untuk menyatu dan menatap masa depan UISU lebih baik
sebab IUSU adalah universitas salah satu yang tua di Sumatera Utara dan telah banyak menelurkan
sarjana-sarjana yang handal dan bekerja disemua lini, sangat disayangkan jika persoalan nafsu dunia
semata alias perebutan kekuasaan sehingga mencederai nilai-nilai akademik perguruan tinggi dan
persoalan inilah yang dimaksut akar tunggang pada perguruan tinggi harus segera dicabut sampai ke
akar yang paling dalam agar bersih dari segala penyakit/gulma yang meresahkan masyarakat dan
dunia pendidikan. 6) Univeristas Pembangunan Pancabudi, Universitas Tjut Nyak Dhien, Universitas
Darmawangsa, Universitas Sutomo, Universitas Dian Nusantara, Universitas Muslim Nusantara,
Universitas Alwasliyah, Universitas Quality, Universitas Setia Budi Mandiri, Universitas Nommensen ,
Universitas Santo Thomas, Universitas Amir Hamzah dan banyak lagi universitas dan sekolah tinggi
yang tidak dituliskan satu persatu yang kesemuanya dapat disimpulkan bahwa tidak banyak hasil
karya opini di media massa, oleh sebab itu pedoman kita adalah Tri Darma Perguruan Tinggi, jika itu
belum mampu kita amalkan dalam kerangka kerja di perguruan tinggi dihawatirkan mutu pendidikan
kita akan jauh dari harapan, sebab dosen tidak mumpuni dalam keilmuan, pengabdian dan
penelitian sehingga kedepan harus ada kesepahaman kebijakan bersama, bagi para dosen yang
belum mampu melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi harus legowo untuk tidak bertindak
sebagai dosen, sebab dosen adalah profesi terhormat dan dibiayai Negara keprofesionalnya dengan
program sertifikasi alangkah sia-sia- upaya pemerintah yang telah banyak mengeluarkan dana bagi
mereka para dosen tapi implementasi karya cipta tidak jauh beda dengan sebelumnya ini menjadi
pemikiran kita bersama demi kemajuan perguruan tinggi kedepan.
Dilema perguruan tinggi
Banyak hal yang perlu kita kembangkan selaku seorang dosen yang berani menginjakkan
kaki di dunia akademik, otak rasanya tidak pernah stof berpikir untuk mencari metode, siasat bahkan
model dalam pengembangan berbagai disiplin keilmuan dan pemerintah saat ini telah menyahuti
tuntutan Tri Darma Perguruan tinggi dengan diasiapkan webside: www.simlitamas.go.id, para dosen
dianjurkan berkompetisi untuk turut serta menghasilkan gagasan ide dengan sebuah proposal untuk
diubah menjadi penelitian dengan dana yang dikucurkan begitu besar bagi para dosen yang siap ikut
dalam perhelatan penelitian dan pengabdian dimaksut, tapi kesempatan ini disayangkan tidak diikuti
banyak para dosen kita terutama dosen pemula apalagi dosen senior yang telah memiliki jabatan
akademik setingkat lektor, para kompetitor hanya diisi oleh perguruan tinggi di pulau jawa yang
duluan matang dalam hal dunia pendidikan terutama pada bidang penelitian, sedangkan posisi kita
3
di Sumatera Utara khususnya kota Medan tidak banyak tampil menjadi pemenang pada penelitian
hibah bersaing, tentunya ini tersangkut masalah kualitas tulisan yang ditawarkan jauh dari standar
yang telah digariskan.
Hal ini menjadi dilema bagi para dosen Perguruan Tinggi Swasta yang di bawah naungan
Yayasan Individu, Masyarakat atau Organisasi, para dosen terhambat untuk dapat memiliki Nomor
Induk Dosen Nasional (NIDN), oleh sebab ia tidak diajari secara administrasi bagaimana mengurus
NIDN apalagi masalah kepangkatan akdemik mereka, kebanyak para dosen swasta mengeluh dalam
persoalan ini sehingga banyak para dosen yang “skeptis” terhadap pekerjaannya sebagai dosen
antara ia dengan tiada, sedangkan pemerintah saat ini sangat menuntut setiap dosen wajib memilki
NIDN, dengan NIDN ini para dosen dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan amanat Tri Darma
Perguruan Tinggi, melaksankan pendidikan lanjutan juga harus mendaftar kepada program
Pasasarjana Dalam Negeri/program Pasasarjana Luar Negeri yang juga mengharuskan ada NIDN,
sebegitu pentingnya NIDN bagi para dosen tetapi kebanyakan para dosen lama dan pemula sama
sekali tidak memilikinya sehingga dapat menghambat mereka untuk bisa lebih maju dalam hal
meningkatkan mutu pendidikan. Para pengelola perguruan tinggi swasta hendaknya secepat dini
mencabut akar tunggang birokrasi yang kental akan kekeluargaan dan memperbaiki manajemen
data dosen agar institusi bisa bersaing secara baik di Sumatera Utara, para dosen megharapkan
kemudahan bagi pengelola perguruan tinggi terhadap dirinya sebab konvensasi yang diberikan
perguruan tinggi belum layak dengan pendidikan dosen yang rerata magister jika ia digaji Rp.
1000.000 (satu juta rupiah)/bulan dipastikan dosen tersebut tidak fokus pada profesinya bisa jadi
dosen tersebut mengajar diberbagai perguruan tinggi ini yang disebut Asosiasi Dosen keliling
(Asdoling), mereka mengejar materi oleh sebab belum dipenuhi oleh 1 institusi tetap yang
merekrutnya jalan pintas terpaksa berkeliling seperti tukang jamu menjajakan dagangan, alangkah
disayangkan profesi yang mulia kandas oleh sebab institusi tidak punya jaminan finansial untuk masa
depan yang baik bagi tenaga profesional seperti dosen. Jika hal ini dibiarkan berlarut dihawatirkan
runtuhlah wibawa para dosen yang idealnya bisa menemukan karya-karya baru malah menemukan
masalah baru dengan terlibat pembuatan skripsi mahasiswa, permainan nilai dan mafia ijazah
dengan jalur tol tentunya dapat meruntuhkan kejikjayaan dosen tersebut.
Tidak tertutup kemungkinan adanya mavia pendidikan pada perguruan tinggi swasta akan
semakin berani secara terang-terangan menawarkan jasa kepada siapapun yang dianggap pantas
untuk diberikan kemudahan dalam memperoleh sertifikat kesarjanaan, dan bukan menjadi rasia
permainan ini seolah ditutup-tutupi oleh pihak pemerintah sendiri melaui koordinator perguruan
tinggi swasta (Kopertis/kopertais) yang seyogianya menindak dan mencabut ijin program studi yang
telah melanggar etika perguruan tinggi tetapi kelihatannya tidak ada tindakan apa-apa oleh
pemerintah yang telah mengendus ada permainan mafia pendidikan di perguruan tinggi swasta,
harapan kedepan kita selaku bangsa yang bermartabat dan mempunyai nilai-budaya ramah tamah
dan sopan santun, etika kita junjung dan mengamalkan pancasila yakni ketuhanan yang maha esa
telah menjadi filter dalam kehidupan kita bahwa pendidikan diselenggarakan untuk dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu mandiri untuk menatap masa depan yang lebih baik,
jika pendidikan tidak dilaksanakan dan hanya memerlukan sertifikat tentunya ini menambah luka
para pahlawan pendidikan kita yang murni menginginkan generasi yang akan datang lebih giat dan
tekun belajar demi kemajuan bangsa dan Negara.
Penutup
4
Mencabut akar tunggang diperguruan tinggi memang sangat sulit sebab akar sudah
tertancap terlalu dalam di tanah, perlu seperangkat alat berat yang mampu menaklukkan sampai
pada akar paling bawah agar kesemuanya bisa bersih tanpa ada seheleipun akar yang tersisa, artinya
butuh waktu panjang menemukan pemimpin di negeri ini yang konsisten membangun bangsa dari
sisi pendidikan sebagai dasar, dengan meningkatnya pendidikan pasti menghasilkan Sumberdaya
Manusia (SDM) yang handal dan mumpuni sehingga segala hal bisa diciptakan baik hulu maupun hilir
tak heran jika nanti di santeiro negeri ini banyak ditemukan hasil karya anak bangsa yang mampu
dinikmati seluruh rakyat Indonesia jika kelebihan baru kita berpikir untuk ekspor ke Negara yang
membutuhkan, pembangunan Sumberdaya Manusia butuh waktu lama bisa berpuluh tahun tapi
hasilnya bisa dirasakan beratus tahun, baru langkah berikutnya adalah membangun sektor ekonomi
bangsa melalui jalur memberdayakan potensi Sumberdaya Alam (SDA) yang melimpah dan saatnya
Indonesia kembali kepada repelita pada masa pemerintahan Pak HM.Soeharto, maju dalam hal
pertanian, peternakan dan kelautan sehingga Indonesia menjadi Negara yang disegani di Asia
Tenggara sebab ekonomi tumbuh dengan baik tanpa penipuan data statistik seperti yang terjadi saat
ini pertumbuhan ekonomi berkisar 6,2 %, tapi lebih banyak angkatan kerja yang menganggur dan
nilai tukar rupiah semakin terpuruk mencapai Rp.11.200/1US$, bagaimana bangsa ini akan bangkit
dan jaya jika pendidikan kita sudah terkontaminasi politik dan kekuasaan, sehingga banyak kita
dengar para pimpinan Perguruan Tinggi yang disekolahkan ke hotel predeo, atau disulukkan ke LP
Suka Miskin, mereka manusia terdidik lagi pandai tapi tidak bermoral dan mereka adalah pewaris
koloni yang hendak menjajah bangsa sendiri, jika ini terus dibiarkan Indonesia akan semakin hancur
bersama debu-debu kemunafikan, korupsi disegala lini, sampai mereka tidak peduli kitab-kitab tuhan
yang sangat di junjung tinggi menjadi santapan manis manusia rakus yang tak berbudi. Hanya
kepada Allah kita berserah diri atas semua yang meraka dan kita lakukan di dunia, dan sekecil
apapun perbuatan pasti ada pertanggungjawaban di akhirat selamatlah anda menuai hasil yang
sepadan dari Allah jika anda terus melakukan dosa dan kesalahan itu menjadi kebiasaan dan menjadi
sebuah kebenaran, harapan mulai dari diri sendiri mencabut akar tunggang yang ada disekitar kita
mudahan ada kesempatan untuk memperbaiki kehidupan yang lebih baik. (*Penulis Adalah: Ketua
Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Tjut Nyak Dhien Medan; dan Staf Pengajar di
Pemerintahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Email: [email protected])