Menangis Dalam Konsep Hadis -...
Transcript of Menangis Dalam Konsep Hadis -...
i
MENANGIS DALAM KONSEP HADIS
Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister dalam Studi Ilmu-ilmu Agama Bidang Tafsir Hadis
Oleh
Abdul Muiz, S.Ag. NIM: 00.2.00.1.05.01.0180
S E K O L A H P A S C A S A R J A N A UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1428 H./2007 M.
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Oktober 2007
Abdul Muiz
iv
MENANGIS DALAM KONSEP HADIS
Tesis Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister dalam Studi Ilmu-ilmu Agama
Bidang Tafsir Hadis
Oleh: Abdul Muiz, S.Ag.
NIM: 00.2.00.1.05.01.0180
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr.H. Ahmad Wahib Mu’thi, M.A. Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A.
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H./2007 M.
v
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis berjudul MENANGIS DALAM KONSEP HADIS telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 September 2007. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (M.A.) pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 September 2007
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Dr. Fuad Jabali, MA Drs. Ikhwan, MA NIP: 150 242 799 NIP: 150 254 958
Anggota,
Dr. Romlah Askar, MA Dr. Yusuf Rahman, MA NIP: 150 254 101
Dr.H. Ahmad Wahib Mu’thi, M.A. Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. NIP: 150 183 152 NIP: 150
vi
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1. Konsonan
f = ف = ا
q = ق b = ب
k = ك t = ت
l = ل ts = ث
m = م j = ج
n = ن h = ح
w = و kh = خ
h = هـ d = د
` = ء dz = ذ
y = ى r = ر
z = ز
s = س
sy = ش
s = ص
d = ض
t = ط
z = ظ
‘ = ع
gh = غ
Vokal pendek
= a
= i
= u
Vokal Panjang
â = ا
î = ي
û = و
Diftong
ai = أي
au = أو
7
ABSTRAK
Sejak dilahirkan, bahkan sebelum lahir ke dunia, hingga Allah swt.
memanggil ke pangkuan-Nya, sosok agung Nabi Muhammad saw. sedemikian
menarik perhatian umat manusia. Penegasan Allah swt. bahwa beliau adalah
uswah hasanah bagi setiap orang beriman (QS.al-Ahzâb/33:21) dan beliau benar-
benar memiliki akhlak yang agung (QS.al-Qalam/68:4) memberikan motivasi
tersendiri bagi para sahabat, tabiin, dan salihin untuk senantiasa mencermati
seluruh perilaku dan gerak-gerik beliau, untuk selanjutnya ditiru dalam kehidupan
mereka.
Salah satu perilaku yang menarik untuk dikaji dan dicermati adalah
tangisan yang pernah terjadi pada diri teladan umat tersebut. Jika al-Qur’an
pernah menggambarkan bahwa di antara Ahli KItab ada orang-orang yang
beriman dan meneteskan air mata saat ayat-ayat suci al-Qur’an dilantunkan
(QS.al-Mâ’idah/5:83) dan para nabi serta keturunannya juga selalu menangis saat
mendengar lantunan ayat-ayat Allah swt. (QS.Maryam/19:58), lalau
bagaimanakah dengan keseharian hidup Rasulullah saw. yang dipandang sebagai
manusia paling bertakwa sepanjang sejarah?
Berdasarkan penelusuran penulis terhadap sebelas kitab (al-kutub al-tis’ah
dan dua kitab zuhd wa raqâ’iq), penulis menemukan kurang lebih 183 hadis yang
dinisbahkan kepada Rasulullah saw. (qaul dan fi’il) mengenai menangis dari 483
hadis yang berhasil penulis kumpulkan yang menggunakan term menangis.
Dari hasil penelitian penulis, dapat disimpulkan bahwa ternyata hari-hari
keberagamaan beliau banyak diwarnai dengan tangisan dan deraian air mata,
8
bukan dengan canda dan gelak tawa. Seluruh tangisan yang ditampilkan dalam
kehidupan beliau, tidak ada yang buruk dan bertentangan dengan petunjuk dan
tuntunan Allah swt.
Jika ditinjau dari segi hukum, maka menangis dapat dikategorikan menjadi
tiga bagian, yaitu: menangis yang dibolehkan, menangis yang terlarang, dan
menangis yang dianjurkan.
Menangis yang dibolehkan yaitu menangisi mayit secara wajar dan
menangis karena terharu. Hal ini dibuktikan dengan perilaku Rasulullah saw. yang
senantiasa menangis saat menyaksikan kematian orang-orang yang dicintainya.
Sedangkan menangis yang terlarang adalah menangisi mayit secara tidak wajar
dan berlebih-lebihan karena diiringi dengan nadb dan nauh/niyâhah, yaitu
menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara berlebihan yang disertai dengan
ratapan, raungan, dan suara jeritan yang tinggi. Bahkan, biasanya dalam tradisi
jahiliyah, mereka juga memukul-mukul muka dan merobek-robek baju mereka.
Dalam kondisi demikian, si mayit ketika sebelum meninggal tidak memberikan
pesan agar cara menangis seperti itu ditinggalkan, atau bahkan dia memberikan
wasiat agar keluarganya menangisi dirinya kelak dengan cara seperti itu. Itulah
sebabnya, Rasulullah saw. bersabda: “Nayit itu akan disiksa di kuburnya tersebab
ratapan (orang yang hidup) kepadanya.” (H.R. al-Bukhârî)
Adapun menangis yang dianjurkan adalah menangis karena takut kepada
Allah swt., menangis saat membaca atau mendengarkan al-Qur’an, menangis saat
berzikir kepada Allah swt. dalam kesendirian, menangis saat menegakkan salat
dalam kekhusyuan, dan menangis saat mendengarkan nasehat keagamaan.
9
Imam Abû Dâwûd meriwayatkan dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya,
ia berkata: “Saya melihat Raulullah saw. sedang salat dan di rongga dadanya
terdengar suara seperti orang yang berjalan kaki karena tangisannya.”
Satu hal yang dapat disimpulkan dari tesis ini adalah bahwa ternyata
ditemukan korelasi positif antara menangis dengan kesalihan pribadi. Menangis
adalah salah satu karakteristik orang-orang yang salih, di samping karakteristik
yang lainnya. Nabi Muhammad saw., para nabi, sahabat, tabiin, dan sâlihîn,
senantiasa mengisi hari-hari keberagamaan mereka dengan tetesan air mata
spiritual yang sarat makna. Tangisan mereka semakin mendekatkan diri mereka
kepada Sang Khalik. Tangisan mereka mampu mempengaruhi perbaikan kualitas
hidup mereka. Tangisan mereka adalah tangisan yang melahirkan implikasi positif
dalam kehidupan sosial.
Bagi kita sebagai umatnya, yang layak dan patut kita lakukan adalah
meniru dan mengikuti perilaku teladan kita itu dengan berupaya secara optimal
membersihkan jiwa dan hati kita (tazkiyah al-nafs). Salah satu proses tazkiyah al-
nafs adalah dengan melakukan berbagai ibadah ritual yang telah diajarkan oleh
Allah swt. dan Rasul-Nya sambil merenungi hikmah dan pesan moral yang
terkandung di dalamnya.
10
KATA PENGANTAR
Bismillâhirrahmânirrahîm Segala puji dan syukur kepada Allah, Zat Yang Mengatur segala apa yang
ada di alam raya. Berkat qudrah dan iradah-Nya, alhamdulillâh, penulis akhirnya
dapat merampungkan tesis ini yang sudah sekian lama tertunda. Penulis sadar
betul, bahwa tesis ini masih menyimpan sekian kekurangan. Namun demikian, al-
faqîr mengharapkan agar Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
berkenan menjadikannya sebagai salah satu amal salih yang benar-benar ikhlas
guna mendapatkan ridha dan berkah-Nya. Salawat dan salam senatiasa penulis
harapkan agar Allah swt. senantiasa mencurahkannya kepada teladan umat tanpa
cacat, Nabi Muhammad saw., keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Penyelesaian tesis ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena
itu, sebagai ungkapan kebahagiaan, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Kepada kedua orang tua penulis, Abi Sadeli (Aba) dan Umi Suryani
(Ema) yang telah mendidik dan mengasuh penulis sejak saat di
kandungan hingga saat ini. Ucapan terima kasih ini juga penulis
sampaikan kepada mertua penulis, yaitu Ayahanda Sumardi dan Ibunda
Sri Rahayu, yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk
mendampingi puteri keduanya dalam meniti kehidupan. Penulis berharap,
semoga Allah berkenan memasukkan mereka semua kelak ke dalam
golongan salihīn, dan membangkitkan mereka bersama para siddiqīn dan
syuhadā. Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada seluruh
11
abang dan adik yang keberadaannya turut memberikan andil dalam
membentuk jati diri penulis;
2. Istri tersayang (Yayang Dewi Darmawanti, A.Mk.) dan dua buah hati kami
tercinta (Muhammad Sayyidul Awliya Izzati dan Muhammad Hawdhi
Izzati). Keberadaan mereka semua adalah anugerah besar yang diberikan
kepada penulis dan menjadi dorongan tersendiri dalam menyelesaikan
tesis ini;
3. Kedua orang tua angkat penulis, Bapak H. Emon Soemitra dan Ibu Hj. Ika
Emon S. serta keluarga, yang telah banyak memberikan bantuan, baik
moril maupun materil. Semoga Allah memasukkan mereka semua min
ahlil khair;
4. Bapak Ust.Drs.H. Abdul Khalim, M.M., yang telah banyak memberikan
dorongan moril dan materil sehingga penulis merasa terpacu terus untuk
menyelesaikan tesis ini;
5. Bapak Prof.Dr.K.H. Said Agil Husein al-Munawwar, M.A. selaku mantan
Direktur Program Pasca Sarjana UIN Jakarta, sekaligus Ketua Konsentrasi
Tafsir Hadis dan Dosen, yang dalam banyak kesempatan perkuliahan telah
memberikan motivasi kepada penulis;
6. Bapak Prof.Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. yang telah mengkritisi judul
tesis ini dan meng-acc-nya;
7. Bapak Dr. H. A. Wahib Mu’thi, M.A. dan Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah,
M.A. yang telah bersedia menjadi pembimbing. Bimbingan keduanya
sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini;
12
8. Segenap dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah menuangkan
ilmunya kepada penulis selama perkuliahan;
9. Kepada seluruh guru dan teman-teman yang telah banyak berpartisipasi
memberikan bantuan kepada penulis, seperti Ust.H. Lukman Hakim, Ust.
Fu’ad Thohari, M.A., Ust.H. Mulyadi, M.A., Drs.H. Slamet Khaeruddin,
M.A., Hadiyan, M.A., dan yang lainnya;
10. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Perpustakaan Umum Iman Jama;
Akhirnya, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis
mengharapkan adanya saran, koreksi, dan teguran dari berbagai pihak, demi
penyempurnaan tesis ini.
Semoga apa yang telah penulis lakukan ini dicatat sebagai bagian dari
amal saleh demi meraih ridha dan berkah-Nya. Sehingga memberikan manfaat
kepada setiap orang yang membacanya.
Hasbunallâh wa ni’mal wakîl ni’mal maulâ wa ni’man nasîr
Jakarta, Oktober 2007
Abdul Muiz
13
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN PANITIA UJIAN PEDOMAN TRANSLITERASI
ABSTRAK i KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI vii
BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang dan Pokok Permasalahan ............................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 7 C. Kajian Pustaka......................................................................... 7 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 9 E. Metodologi .............................................................................. 9 F. Sistematika Pembahasan ....................................................... 11
BAB II MENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM 12 A. Pengertian Menangis............................................................. 12 B. Macam-macam Menangis ..................................................... 25 C. Menangis dalam Perspektif al-Quran.................................... 30 D. Antara Menangis dan Tertawa .............................................. 73
BAB III MENANGIS DALAM KONSEP HADIS 82 A. Beragam Tangisan Rasulullah saw. ...................................... 82 B. Hukum Menangis ................................................................ 110 C. Keutamaan Menangis.......................................................... 135
BAB IV MENANGIS DAN KESALIHAN PRIBADI 145 A. Pengertian dan Karakteristik Kesalihan .............................. 145 B. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis 177
BAB V KESIMPULAN 229 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 231
14
INDEKS HADIS DAN ASAR .......................................................................... 236
15
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN PANITIA UJIAN PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ iv ABSTRAK KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
BAB I......................................................................................................... PENDAHULUAN................................................................................ 1
G. Latar Belakang dan Pokok Permasalahan .................................... 1 H. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 7 I. Kajian Pustaka.............................................................................. 8 J. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................................. 9 K. Metodologi ................................................................................... 10 L. Sistematika Pembahasan .............................................................. 11
BAB II......................................................................................................... MENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM...................................... 13
E. Pengertian Menangis .................................................................... 13 F. Macam-macam Menangis............................................................. 28 G. Menangis dalam Perspektif al-Quran ........................................... 33 H. Antara Menangis dan Tertawa...................................................... 81
BAB III............................................................................................................. MENANGIS DALAM KONSEP HADIS ........................................... 90
D. Beragam Tangisan Rasulullah saw............................................... 90 E. Macam-macam Menangis Ditinjau dari Segi Hukum.................. 122 F. Keutamaan Menangis ................................................................... 150
BAB IV............................................................................................................. MENANGIS DAN KESALEHAN PRIBADI..................................... 161
C. Pengertian dan Karakteristik Kesalehan....................................... 161 D. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis ......... 185
16
BAB V............................................................................................................. KESIMPULAN..................................................................................... 245 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 252 INDEKS HADIS DAN ASAR...…………………………………………… 258
17
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
2. Konsonan
f = ف = ا
q = ق b = ب
k = ك t = ت
l = ل ts = ث
m = م j = ج
n = ن h = ح
w = و kh = خ
h = هـ d = د
` = ء dz = ذ
y = ى r = ر
z = ز
s = س
sy = ش
s = ص
d = ض
t = ط
z = ظ
‘ = ع
gh = غ
Vokal pendek
= a
= i
= u
Vokal Panjang
â = ا
î = ي
û = و
Diftong
ai = أي
au = أو
18
فهرست االحاديث واالثارلنمرةا الحديث الصفحة
.1 اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة
اثنتان في الناس هما بهم آفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
2.
.3 أخذ الراية زيد فأصيب ثم أخذها جعفر فأصيب
من خر فليتعوذ باهللاإذا فرغ أحدآم من التشهد اآل أربع
4.
أرأيتم لوأن نهرا بباب أحدآم يغتسل منه آل يوم خمس مرات هل هن من درنه شيء
5.
أن أستغفر لها فلم يؤذن لي استأذنت ربي في واستأذنته في أن أزور قبرها فأذن لي فزوروا
القبور فإنها تذآر الموت
6.
إ قرؤا القران فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا ال صحابه
7.
. ذآرا وأحسنهم لما بعده إستعدادا رهم للموتأآث أولئك األآياس
8.
.9 أآثروا ذآر هاذم اللذات يعني الموت
....... يعذب بدمع العين ال تسمعون إن اهللاأال ب ببكاء أهلهوإن الميت يعذ
10.
.11 اما إنه ال يجني عليك وال تجني عليه
أرق أن أملس وهيل عى اهللال ص اهللالوس رينرمأ ةرو سن مهيل عتأرقف, ربنمى الل عوه وهيلع تغ بلذا إتى حاءسالن
12.
خطيئتك على أبك و بيتك وليسعك لسانك عليك أملك 13.
19
ن وشراآان إن أهون أهل النار عذابا من له نعال من نار يغلي منهما دماغه
14.
.15 شرك والكفر ترك الصالةإن بين الرجل وبين ال
ان العين تدمع والقلب يحزن وال نقول اال ما يرضي ربنا وانا بفراقك لمحزونون
16.
أمرني أن أقرأ عليك لم يكن الذين آفروا إن اهللا أهل الكتاب قال وسماني قال نعم فبكىمن
17.
إن اهللا تبارك وتعالى فرض صيام رمضان عليكم وسننت لكم قيامه فمن صامه وقامه
18.
تحابون إن اهللا تعالى يقول يوم القيامة أين الم بجاللي اليوم أظلهم في ظلي يوم ال ظل إال ظلي
19.
.20 يقبل توبة العبد ما لم يغرغرإن اهللا
ما أخذ وله ما أعطى وآل إلى أجل مسمى إن هللا تسبفلتصبر ولتح
21.
أن النبي صلى اهللا عليه وسلم قبل عثمان بن مظعون وهو ميت وهو يبكي أو قال عيناه
تذرفان
22.
إن هذا القرآن نزل بحزن فإذا قرأتموه فابكوا فإن ا فتباآوالم تبكو
23.
.24 من عباده الرحماءإنما يرحم اهللا
مثل الجليس الصالح والسوء آحامل المسك إنما ونافخ الكير
25.
.26 إنما االعمال بالنية وإنما المرئ ما نوى
.27 حب ان اسمعه من غيريإني ا
.28 تسمعون ترون وأسمع ما الإني أرى ما ال
أولى و الذي نفسي بيده لقد عرضت علي الجنة و النار انفا
29.
.30 بكت على ما آانت تسمع من الذآر
تابعوا بين الحج والعمرة فإنهما ينفيان الفقر 31.
20
والذنوب .32 تحفة المؤمن الموت
تطعم الطعام وتقرأ السالم على من عرفت ومن لم تعرف
33.
.34 القلوب آالحصير عودا عوداتعرض الفتن على
.35 حق المسلم على المسلم خمس
.36 خير الدواء القران
عليه وسلم يصلي صلى اهللارأيت رسول اهللا لى وفي صدره أزيز آأزيز الرحى من البكاء ص
عليه وسلماهللا
37.
.38 الرجل على دين خليله فلينظر أحدآم من يخالل
.39 ظله ظل إالال في ظله يوم سبعة يظلهم اهللا
من السخي قريب من اهللا قريب من الناس قريب الجنة بعيد من النار
40.
.41 الصالة الخمس والجمعة إلى الجمعة آفارة لما بينهما وقتها قلت ثم أي قال ثم بر /ة على ميقاتهاالصال
الوالدين42.
يرفث وال يجهل وإن امرؤ قاتله الصيام جنة فال أوشاتمه فليقل إني صائم إني صائم
43.
عرضت علي الجنة والنار فلم أر آاليوم في الخير والشر
44.
ينهما والحج المبرور العمرة إلى العمرة تكفر ما ب ليس له جزاء إال الجنة
45.
اهللا خشية من بكت عين النار تمسهما ال عينان اهللا سبيل في تحرس باتت وعين
46.
نيا وما غدوة أو روحة في سبيل اهللا خير من الد فيها
47.
فأتني به فوضعه بين يديه فعوذه النبي صلى اهللا عليه وسلم بفاتحة الكتاب وأربع ايات من أول
48.
21
سورة البقرة.49 الفكر نصف العبادة
.50 فإن فى الصالة شفاءقم فصل
آان النبي صلى اهللا عليه وسلم إذا حزبه أمر صلى
51.
آل عمل ابن ادم له إال الصيام فإنه لي وأنا أجزي به
52.
.53 ا بعد الموتالكيس من دان نفسه وعمل لم
آيف بكم إذا غدا أحدآم في حلة وراح في حلة ووضعت بين يديه صحفة ورفعت أخرى
وسترتم بيوتكم آما تستر الكعبة
54.
ه الصالة وهذه الأعرف شيأ مما أدرآت إال هذ الصالة قد ضيعت
55.
.56 ال أقول إال حقا
ال تحاسد إال فى اثنتين رجل اتاه اهللا القران فهو يتلوه اناء الليل و النهار
57.
.58 حك تميت القلبال تكثرواالضحك فإن آثرة الض
ال خير في عبادة ال فقه فيها وال في قراءة ال تدبر فيها
59.
.60 ال يدخل ملكوت السموات من ملأ بطنه
.61 ال يزال لسانك رطبا من ذآر اهللا تعالى
.62 لج النار أحد بكى من خشية الله عز وجل يال
.63 ال يؤمن أحدآم حتى يحب ال خيه ما يحب لنفسه
.64 لعن اهللا العقرب
يه لقد رأيت مصعبا هذاوما بمكة فتى أنعم عند أبو ثم ترك ذلك آله حبا هللا ورسوله
65.
.66 بواآي لهلكن حمزة ال
.67 اللهم أمتي أمتي وبكى
.68 اللهم أنجز لي ما وعدتني اللهم آت ما وعدتني
22
.69 ولبكيتم آثيرا لضحكتم قلياللو تعلمون ما أعلم
.70 ألنتم اليوم خير منكم يومئذ
.71 من قطرتين وأثرينليس شيء أحب إلى اهللا
ليس منا من ضرب الخدود وشق الجيوب ودعا جاهليةبدعوى ال
72.
خير أآون أعلم أن ما عند اهللاما أبكي أن ال عليه وسلم ولكن أبكي أن لرسوله صلى اهللا
الوحي قد انقطع من السماء
73.
بزا مرققا وال ما أآل النبي صلى اهللا عليه وسلم خ شاة مسموطة حتى لقي اهللا
74.
ماشبع ال محمد صلى اهللا عليه وسلم من خبز شعير يومين متتابعين حتى قبض رسول اهللا
صلى اهللا عليه وسلم
75.
فارس يوم بدر غير المقداد ولقد رأيتنا ما آان فينا عليه رسول الله صلى اهللا نائم إالوما فينا إال
وسلم تحت شجرة يصلي ويبكي حتى أصبح
76.
.77 ما مأل ابن ادمي وعاء شرا من بطن
ما من امرئ مسلم تحضره صالة مكتوبة فيحسن وضوءها وخشوعها ورآوعها إال آانت آفارة
لما قبلها من الذنوب
78.
ما من عبد مؤمن يخرج من عينيه دموع وإن رأس الذباب من خشية اهللاآان مثل
79.
مامن عبد يصوم يوما في سبيل اهللا إال باعد اهللا بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريفا
80.
.81 نما من يوم يصبح العباد فيه إال ملكان ينزال
.82 الماهر باالقران مع السفرة الكرام البررة
.83 مروا أبا بكر فليصل بالناس
.84 المسلم أخو المسلم ال يظلمه وال يسلمه
.85 مهالمسلم أخو المسلم ال يظلمه وال يسل
23
.86 من ضحك ضحكة مج مجة من العلم
.87 من قرأ حرفا من آتاب اهللا فله به حسنة
من قرأ آل يوم مائتي مرة قل هو اهللا أحد محي ون عليه دينعنه ذنوب خمسين سنة إال أن يك
88.
من لم تنهه صالته عن الفحشاء والمنكر لم يزدد من اهللا إال بعدا
89.
.90 من لم يهتم بأمر المسلمين فليس منهم
ه من بين المؤمن بخير على آل حال تنزع نفس جنبيه وهو يحمد الله عز وجل
91.
.92 المؤمن مؤلف وال خير فيمن ال يألف وال يؤلف
.93 الموت آفارة لكل مسلم
.94 النظرة سهم مسموم من سهام إبليس
في قلوب من شاء من ذه رحمة وضعها اهللاه الرحماء يرحم الله من عباده إالعباده وال
95.
.96 هل منكم رجل لم يقارف الليلة
.97 نواو الذي نفسي بيده ال تدخلوا الجنة حتى تؤم
ومااجتمع قوم في بيت من بيوت اهللا يتلون آتاب اهللا ويتدارسونه بينهم إال نزلت عليهم السكينة
98.
ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
99.
.100 ومن يستطيع
ويل للذي يحدث القوم ثم يكذب ليضحكهم ويل له ويل له
101.
.102 ويل لمن قرأها ولم يتفكر فيها
.103 يا بالل أرحنا بالصالة
.104 ب العبراتيا عمر ههنا تسك
.105 يا إخواني لمثل هذا فأعدوا
يرسل البكاء على أهل النار فيبكون حتى تنقطع الدموع
106.
24
25
BAB I
PENDAHULUAN
Pokok Permasalahan
Ketika kita memperhatikan beragam hasil ciptaan Allah swt., nyatalah bahwa manusia merupakan sosok makhluk yang paling sempurna sekaligus unik ketimbang makhluk lainnya. Apa yang ada dalam diri manusia, baik secara fisik maupun psikis, senantiasa menarik untuk dikaji. (QS.Fussilat/41:53)
Satu di antara fenomena anfus yang tersirat dalam QS.Fussilat/41:53
tersebut adalah “menangis”. Dengan demikian, menangis (al-bukâ) merupakan
salah satu sunnatullah (law of nature) terhadap kejiwaan manusia.1
Jika selama ini dalam pandangan mayoritas masyarakat, menangis selalu
diidentikkan dengan “kecengengan” atau “keputusasaan”, sebuah predikat negatif
di mata umum, ternyata tidaklah demikian dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis.
Sungguh menarik, ternyata dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah SWT.
menegaskan bahwa di antara karakteristik orang-orang yang beriman adalah
mereka yang senantiasa menyungkurkan muka untuk bersujud sambil menangis
setiap kali mendengar ayat-ayat al-Qur’an. Allah menyatakan bahwa para nabi
serta orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan terpilih, apabila mendengar
ayat-ayat Allah swt., mereka menyungkur dengan bersujud sambil menangis
(QS.al-Isrâ/17:109 & QS.Maryam/19:58)
Menurut Syeikh Muh. ‘Ali al-Sâbûnî, hal ini terjadi karena dalam diri
mereka timbul rasa takut (khasy-yah) kepada Allah. Begitulah keadaan orang-
orang yang mempunyai derajat yang tinggi dan kebersihan jiwa (nafs) di sisi
Allah swt. Pernyataan Allah tersebut, ungkap al-Qurtubî, sekaligus menjadi
1 Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 7
26
petunjuk (dalâlah) bahwa ayat-ayat al-Qur’an mampu memberikan pengaruh
kepada kalbu manusia.2
Jika demikian gambaran umum (deskripsi global) al-Qur’an tentang
menangis, lalu bagaimana pula gambaran atau konsep hadis yang merupakan
penjelas (mubayyin) terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam masalah ini: memerintah,
melarang, atau membiarkan begitu saja? Bagaimana realitas kehidupan Rasulullah
saw. yang dikenal sebagai manusia paripurna (insan kâmil) dalam perilakunya
sehari-hari?
Kajian tangisan-tangisan Rasulullah saw. menjadi menarik karena beliau
tidak sekedar sebagai tokoh bagi dunia Arab atau tokoh bagi umat Islam saja,
tetapi juga tokoh berpengaruh yang menjadi sorotan dunia sejak beliau dilahirkan
hingga dunia berakhir. Segala tindak-tanduknya menjadi pusat perhatian kawan
maupun lawan, muslim ataupun nonmuslim. Segenap sisi kehidupan beliau dicatat
dan diingat untuk dijadikan pelajaran sebagai teladan hidup manusia.
Umat Islam periode awal (sahabat) telah menjadikan Rasulullah saw.
sebagai pusat keagamaan dan keduniawian mereka sejak Allah swt. memberi
petunjuk kepada mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan dan
kegelapan menuju hidayah dan cahaya. Perkataan, perbuatan, dan segala gerak-
gerik beliau adalah pusat perhatian dan kekaguman mereka (QS. al-
Ahzâb/33:21).3
Sikap seperti ini selanjutnya diestafetkan kepada generasi-generasi
berikutnya sehingga tercatatlah dalam sejarah berpuluh-puluh, bahkan ratusan
2 Muh. ‘Ali al-Sâbûnî Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1999/1420), Jilid 2, h. 221
3 Mustafâ al-Sibâ’î, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Penerjemah Dr. Nurcholis Madjid (Jakarta:Pustaka Firdaus,1991), h. 13
27
riwayat yang menerangkan sifat dan pribadi beliau. Sifat anggota badan Nabi,
keringat Nabi, rambut Nabi, janggut Nabi, sorban Nabi, jubah Nabi, senyuman
Nabi, sifat pemaaf Nabi, termasuk dalam hal ini adalah tangisan Nabi, serta sifat-
sifat lainnya, baik yang berhubungan dengan perangai (khuluq) ataupun yang
berhubungan dengan gambaran fisik (khalq), dicatat dan menjadi pusat
pembahasan umat.4
Sebagai teladan yang telah dibakukan dan dilegalkan keabsahannya
melalui firman Ilahi yang tidak diragukan kebenarannya, maka dapat pula
dipastikan kualitas (mâhiyah) kepribadian hidup beliau. Beliau adalah orang
pertama yang mengimplementasikan segala titah al-Qur’an. Beliau adalah sosok
manusia yang perangainya, sebagaimana pernyataan ‘Aisyah r.a., adalah al-
Qur’an.5 Apabila beliau memerintah, maka beliaulah orang pertama yang
melakukannya. Apabila beliau melarang untuk mengerjakan sesuatu, maka beliau
pula orang pertama yang meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan
menangis.
Melalui sabda-sabda mulianya, beliau hendak mengajarkan umatnya
membiasakan menangis dalam mengisi saat-saat keberagamaan, bukan dengan
canda dan gelak tawa.
Suatu ketika, sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhârî (w. 256 H.) dari
Abdullâh bin Mas’ûd (w. 32 H.), bahwa Rasulullah saw. meminta kepada
Abdullâh bin Mas’ûd r.a. untuk membacakan al-Qur’an baginya. Iapun memenuhi
permintaan tersebut dengan membacakan surat al-Nisâ. Ketika sampai pada ayat,
4 Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1994), Jilid 7, hal.211-321 5 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Semarang: Toha Putra, tth), Juz 4, h. 402
28
“Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan
kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka (sebagai umatmu).” (QS.4:41),
beliau berkata: “Tahanlah!” Ketika itu, tampaklah kedua mata beliau
mencucurkan air mata.6 Pada kesempatan yang lain, tatkala putra beliau (Ibrâhîm)
meninggal dunia, beliau menitikkan air mata.7
Rasulullah saw. adalah manusia yang paling empati dan paling mudah
menangis saat melihat penderitaan orang lain. Suatu hari seorang sahabat
menginformasikan kepada beliau bahwa ada seorang sahabat lain yang anaknya
sedang mengalami sakaratul maut. Lalu anak itu diserahkan dan diletakkan di atas
pangkuan beliau. Melihat penderitaan anak tersebut, Rasulullah saw. menangis.8
Siti ‘Aisyah r.a., istri tercinta beliau, pernah pula menyaksikan suami
tercintanya tersebut menangis terisak-isak saat menegakkan qiyamulail, yang oleh
Siti ‘Aisyah, kejadian malam tersebut dianggap sebagai kejadian yang
mempesona.9
Tangisan-tangisan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. bukanlah
lambang keputusasaan dan kecengengan. Tangisan-tangisan tersebut adalah
tangisan yang terjadi karena kelembutan dan kebeningan hati beliau. Tangisan
Nabi yang terjadi di tengah masyarakat adalah tangisan kasih sayang (tangisan
empati). Dan tangisan Nabi saat shalat adalah karena kekhusyuan merasakan
6 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 4, Kitab Fadâ’il al-Qur’ân Bab Qaul al-Muqri li al-
Qâri hasbuk, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 114 7 Ibid, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bab Qaul al-Nabi saw. Innâ bik lamahzûnûn, h. 85 8 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah., Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ fî al-Bukâ ‘alâ al-
Mayyit, no. hadis1588, (Indonesia: Maktabah Dahlân, tth) , h. 506 9 Ibn Katsîr, op.cit., Juz 1, h. 440; Jalaluddin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 20
29
keagungan Allah swt. Keduanya adalah tangisan bermakna yang berkualitas dan
dapat mendekatkan diri kepada Allah. Keharmonisan hubungan vertikal dengan
Sang Khaliq (silah billâh) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (sila
bin nâs) merupakan wujud dari kesalihan pribadi, dan ini secara tegas dan jelas
tergambar dalam pribadi Nabi Muhammad saw. Tangisan-tangisan beliau adalah
tangisan ibadah yang sarat muatan makna. Tangisan-tangisan beliau adalah
tangisan ‘abdun sâlih yang dekat dengan Rabb-nya. Tangisan-tangisan beliau
adalah tangisan yang memberikan implikasi positif dalam kehidupan, tangisan
spiritual yang menimbulkan sikap optimis (rajâ) menghadapi hidup, dan
memberikan kesehatan mental beliau.
Di sisi lain ditemukan banyak Hadis (menurut hitungan penulis berjumlah 71
riwayat) yang secara tegas menyebutkan bahwa tangisan orang yang masih hidup
terhadap mayit akan menambah siksaan mayit tersebut. Padahal ditemukan pula
ayat yang secara zâhiriyah menegaskan bahwa seseorang tidak memikul dosa orang
lain (QS al-An’âm:164; al-Isrâ:15; Fatir:18; al-Zumar:7; al-Najm:38; al-Zalzalah:7-
8)
Oleh karena itu, jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî, Ibrâhîm al-
Harbi dari kalangan ulama bermazhab Syâfi’î, termasuk Imam al-Nawawî (w.675
H.) mentakwilkan bahwa siksaan itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada
keluarganya agar mayatnya diratapi. Sedangkan jika keluarga yang menangisinya
tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang,10 karena hal ini merupakan
rahmat Allah. Imam al-Nawawî menambahkan bahwa ulama sepakat yang
dimaksud dengan tangisan yang melahirkan siksaan adalah “Tangisan yang
10 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994), Juz 3, h.
506
30
disertai dengan suara keras dan teriakan”, bukan semata-mata deraian air mata.11
Inilah sebagian dari tradisi jahiliyah yang tercela.
Ada pula yang memahami bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi orang-
orang kafir, Yahudi, atau pelaku dosa lainnya sebagaimana yang terdapat dalam
riwayat Ibn ‘Abbâs (w.68 H.) dan ‘Aisyah (w.57 H.). Sedang huruf “ba” sendiri
tidak dipahami sebagai bermakna “sebab”, tetapi musahabah”
(berbarengan/menyertai) sehingga maknanya adalah bahwa orang-orang kafir,
Yahudi, atau pelaku dosa lainnya disiksa pada saat keluarganya menangisi
kematiannya, bukan ia disiksa karena tangisan keluarganya. Demikian ungkap
Imam al-Suyûtî (w. 911 H.).12
Dengan demikian, Rasulullah saw. melalui hadis-hadisnya tidak
memandang sama terhadap semua tangisan yang dilakukan atau dialami oleh
seseorang. Motif atau niat serta tujuan seseorang melakukan tangisan merupakan
landasan untuk menyatakan nilai tangisan seseorang. Islam tidak menginginkan
seseorang melakukan tangisan “apa adanya”, tetapi juga “bagaimana seharusnya”
sehingga, sebagaimana yang disebutkan di atas, tangisan seseorang menjadi
bernilai ibadah yang mendapatkan ridha Allah.
Berdasarkan hal tersebut, maka masalah pokok yang akan dibahas dalam
tesis ini adalah bagaimana sesungguhnya menangis dalam konsep hadis. Lebih
khusus lagi, tesis ini akan mengkaji tangisan Rasulullah saw. selama hidupnya.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
11 Ibid 12 al-Suyûtî, Syarh Sunan al-Nasâ’î, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Juz 4, h. 18;
al-Nawawî, loc.cit.
31
Sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, posisi hadis sangat strategis dalam
membicarakan dan memecahkan sebuah persoalan yang terjadi, termasuk dalam
masalah menangis ini. Sebagai sebuah fenomena kejiwaan, banyak persoalan yang
muncul di seputar menangis ini. Disebabkan kesempatan dan kemampuan yang
terbatas, tesis ini secara khusus akan menjawab persoalan berikut ini:
Bagaimana hukum dan macam-macam menangis
Bagaimanakah keterkaitan antara menangis dengan kesalihan atau kesucian
hati seseorang?
Selain itu, dalam mengkaji masalah menangis dalam pandangan hadis ini,
penulis akan menggunakan sumber rujukan (al-kutub al-asliyyah) kepada al-kutub
al-tis’ah, yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abî
Dâwûd, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, al-Muwatta Mâlik, Musnad Ahmad
bin Hanbal, dan Musnad al-Dârimî, serta beberapa kitab Zuhud dan Raqâ’iq.
Penambahan dua jenis kitab yang terakhir ini dilakukan karena masalah menangis
sangat terkait dengan persoalan hati. Sementara masalah hati ini banyak dibahas
dalam keduanya.
C. Kajian Pustaka
Rasulullah saw. dengan hadis-hadisnya akan selalu menarik perhatian
banyak pemerhati untuk melakukan kajian terhadapnya. Berbagai sisi kehidupan
beliau: cara berpakaian, cara makan, cara berjalan, sorban yang dikenakan,
keringat yang dikucurkan, senyum-senyum yang dihadirkan, canda-canda beliau,
dan sebagainya, selalu menarik untuk dicermati dan dihayati.
32
Sejauh pelacakan penulis, belum ada suatu buku atau karya ilmiah yang
mengungkap persoalan ini secara khusus. Beberapa tulisan yang memiliki
keterkaitan dengan pembahasan ini adalah:
1. Buku berjudul “Apa Arti Tangisan Anda” karya Drs. Abdul Mujib, M.Ag.
yang dalam pembahasannya juga menyitir beberapa hadis masyhur tentang
menangis.
2. Jalaluddin Rakhmat dalam beberapa bukunya:
a. Reformasi Sufistik dalam sub pembahasan “Tobat Nasional dan
Tabaki”;
b. Meraih Cinta Ilahi dalam sub pembahasan “Menghidupkan Kembali
Tradisi Menangis”;
c. Renungan-renungan Sufistik dalam sub pembahasan “Mencari
Kenikmatan Shalat”.
Selain itu, penulis juga menemukan sebuah buku karya Nasy’at al-Masri
yang secara khusus membahas tentang senyuman-senyuman Rasulullah saw.
Buku yang telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan judul “Senyum-
senyum Rasulullah” itu diterbitkan oleh Penerbit Gema Insani Press. Sementara
tentang tangisan-tangisan beliau, belum penulis temukan.
Oleh karena itu, penulis akan mencoba untuk mengkaji persoalan
menangis ini dengan merujuk kepada kitab-kitab di atas. Untuk mendapatkan hasil
yang memuaskan, penulis akan menggunakan kitab-kitab syarh (penjelas) atas
kitab-kitab hadis tersebut, selebihnya tentu akan digunakan penalaran penulis
sendiri. Pembahasan juga akan disempurnakan dengan berbagai kitab tafsir yang
menjelaskan beberapa buah ayat tentang menangis.
33
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghimpun berbagai informasi dalam hadis
tentang menangis. Dari informasi yang terhimpun diharapkan akan menghasilkan
nilai guna sebagai berikut:
1. Hasil kajian tentang menangis dalam konsep hadis diharapkan menjadi
pengetahuan yang memperkaya khazanah keislaman, khususnya di bidang
hadis dan juga sejarah (târîkh).
2. Diharapkan umat Islam dapat membedakan antara menangis yang
berkualitas sehingga dianjurkan atau bahkan diperintahkan untuk
dilakukan dengan menangis yang tidak berkualitas atau bahkan
menyesatkan sehingga harus ditinggalkan.
3. Melalui penelitian ini diharapkan umat Islam dapat mengikuti dan
membiasakan menangis yang dianjurkan sebagaimana gambaran di atas
dengan melakukan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Sebagai kelanjutan
dari poin ketiga di atas, diharapkan agar umat Islam yang bersih jiwanya
akan mampu memberikan manfaat dan kebaikan kepada orang lain
sehingga akan terwujud Islam sebagai rahmah li al-‘âlamîn.
E. Metodologi
Dalam membahas permasalahan menangis ini, penulis sepenuhnya
melakukan studi kepustakaan (library research) dengan sumber utama al-kutub
al-tis’ah, yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abî
Dâwûd, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, al-Muwatta Mâlik, Musnad Ahmad
bin Hanbal, dan Musnad al-Dârimî, serta beberapa kitab Zuhud dan Raqâ’iq.
Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:
34
1. Penulis akan mengumpulkan seluruh hadis yang yang menggunakan term
menangis, seperti: al-bukâ, dama’at ‘ainâh, fâdat ‘ainâh, dzarafa, ‘abara,
inhamala, dan anîn, serta derivasi dari kata-kata tersebut; dari penelusuran
penulis terhadap kitab-kitab di atas, penulis berhasil menemukan kurang
lebih 484 hadis yang terkait dengan menangis;
2. Langkah selanjutnya, penulis akan mengklasifikasikan Hadis-hadis
tersebut sesuai dengan temanya; Dan dari 484 Hadis yang ada, penulis
menemukan 173 Hadis yang menjadi pokok pembahasan, baik yang
berbentuk verbal (qaul) ataupun praktis (fi’il);
3. Khusus untuk Hadis-hadis menangis yang terkait langsung dengan
kepribadian Nabi Muhammad saw., penulis akan mengkajinya secara
khusus dan lebih mendalam, karena di sinilah inti pembahasan tesis ini;
4. Dan terakhir, penulis akan mengkorelasikan antara menangis dengan
kesalehan pribadi. Tentunya pada langkah ini, akan dipaparkan juga
beberapa kiat untuk menyucikan hati sebagai sebuah upaya untuk dapat
melakukan tangisan yang bermakna yang biasa dilakukan oleh Rasulullah
saw., para sahabat, dan orang-orang salih.
Dalam tesis ini penulis tidak memberikan penilaian kualitas setiap Hadis
yang dicantumkan. Jika yang dicantumkan adalah riwayat Imam al-Bukhârî dan
Imam Muslim, maka hadis itu telah dianggap sahih. Namun, jika bersumber dari
kitab lain, maka penulis hanya akan menyampaikan penilaian dari ulama, dan
itupun tidak semuanya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan dari
Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab di atas, penulis akan merujuk kepada
35
kitab-kitab syarh. Selain dari itu, ada sumber-sumber lain yang digunakan sebagai
referensi penunjang, terutama yang langsung terkait dengan pembahasan tesis ini,
seperti kitab-kitab tafsir, tasauf, dan sejarah.
F. Sistematika Pembahasan
Penulisan tesis ini dibagi menjadi lima bab yang semuanya berisi hal-hal
pentingyang berhubungan dengan menangis.
Bab pertama adalah Pendahuluan yang berisi tentang penjelasan umum
seputar tesis. Bab ini terdiri dari: Pokok Permasalahan, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,
Metodologi, dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua membahas menangis dalam pandangan Islam. Pada bab ini
akan dijelaskan pengertian menangis, macam-macam menangis, menangis dalam
perspektif Al-Quran, dan antara menangis dan tertawa.
Bab ketiga akan membahas menangis dalam konsep Hadis. Dalam
pembahasan ini penulis akan menjelaskan Berbagai tangisan yang pernah terjadi
pada diri Rasulullah saw., macam-macam tangisan dilihat dari sisi hukum, dan
keutamaan menangis.
Bab keempat berjudul menangis dengan kesalehan pribadi. Bab ini terdiri
dari pengertian dan karakterisitik kesalehan serta menyucikan hati sebagai upaya
membiasakan menangis.
Sedangkan bab kelima sebagai bab terakhir adalah penutup yang berisi
kesimpulan dari pembahasan tesis ini dan saran.
36
BAB II
MENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM
Pengertian Menangis
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” disebutkan bahwa “tangis” atau
“menangis” diartikan sebagai ungkapan perasaan sedih (kecewa, menyesal, dan
lain-lain) dengan mencucurkan air mata dan mengeluarkan suara (tersedu-sedu,
menjerit-jerit, dan sebagainya).13
al-Syaikh al-Tabarsî (w. 546 H.) dalam kitab “Majma’ al-Bayân fî Tafsîr
al-Qur’ân” mendefinisikan menangis (al-bukâ) sebagi berikut:
حال تقبض يظهر عن غم فى الوجه مع جري الدموع على الخد“Menangis (al-bukâ) adalah suatu kondisi kemurungan hati yang lahir atau
tampak dari kedukaan di wajah yang disertai dengan deraian air mata di atas pipi.”14
Pengertian menangis di atas meniscayakan adanya cucuran atau tetesan air
mata dari orang yang menangis. Hal ini berbeda dengan pengertian sedih atau
duka cita. Term sedih dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” diartikan sebagai:
(1) susah hati; merasa sangat pilu di hati; (2) menimbulkan rasa susah (pilu, dan
sebagainya) dalam hati; duka.15 Sedangkan “duka cita” sendiri diartikan sebagai:
kesedihan (hati); kesusahan (hati).16
Dalam ungkapan lain, “menangis” (weep) diartikan sebagai “to sheed tears
as expression of emotion.” (Mencucurkan air mata sebagai ungkapan emosi). Atau
“to express grief or anguish for lament” (Ungkapan kesedihan atau penderitaan
karena meratap atau menyesal).
13 Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, , (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet.II, h. 1139
14 al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân fī Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Juz 5, h. 90 15 Ibid, h. 889 16 Ibid, h. 245
37
Dari pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa
ekspresi menangis terkadang diwujudkan oleh gejala-gejala lahiriah, seperti
cucuran air mata, isakan atau lengkingan suara yang keluar dari mulut, mata
berkaca-kaca, keluarnya ingus dari hidung, ataupun gerakan-gerakan tangan, kaki,
atau kepala yang tak beraturan dan tak bertujuan. Terkadang ekspresi menangis
terpendam dalam batin, yang tampak hanyalah kemurungan dan kelesuan
wajah.17
Menangis, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah sesuatu yang
telah dipahami secara umum oleh masyarakat. Karena menangis adalah fenomena
keseharian yang acap kali disaksikan dalam realitas kehidupan.
Dalam litertur utama Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis, ditemukan
beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada pengertian menangis ini.
Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fâdat al-‘ain/al-a’yun/al-’uyûn (bercucuran air mata) dan segala
derivasinya
Kata “fāda” pada asalnya dinisbahkan kepada kata “al-mâ” (air). Orang
akan mengatakan “fâda al-mâ” (Air melimpah) jika air itu banyak sehingga
mengalir sampai ke tepian lembah. Jika dikatakan “Afâdat al-‘ain al-dam’a
tufîduhu ifâdah” maka maknanya adalah: Mata mencucurkan air mata yang
banyak. Contoh kalimat yang lain adalah:
a). Afâda fulân dam’ah, yang artinya “Si Fulan mencucurkan air matanya.”
17 Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet.I,
h. 1
38
b). Fâd al-mâ wa al-matar wa al-khair idzâ katsura, yang artinya “Air,
hujan, dan kebaikan melimpah, jika banyak.”
Dalam sebuah Hadis disebutkan “yafîd al-mâl” yang artinya “Harta
melimpah”. Maksudnya adalah banyak (yaktsuru).18
Di dalam al-Qur’an, kata ini (fâda) ditemukan pada dua tempat dan
keduanya dalam bentuk fi’il mudâri’ (tafīdu) serta dinisbahkan kepada lafal
‘a’yun”. Kedua ayat tersebut adalah:
وإذا سمعوا ما أنزل إلى الرسول ترى أعينهم تفيض من الدمع مما الحق يقولون ربنا ءامنا فاآتبنا مع الشاهدينعرفوا من
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw.) . (QS.al-Maidah/5:83)
أجد ما أحملكم عليه تولوا وك لتحملهم قلت ال على الذين إذا ما أتوال يجدوا ما ينفقونوأعينهم تفيض من الدمع حزنا أال
dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS.al-Taubah/9:92)
Sedangkan dalam Hadis, contohnya adalah sebagai berikut:
أرسلت إليه وهو ρ عنهما أن ابنة للنبي اهللاعن أسامة بن زيد رضي عليه وسلم وسعد وأبي نحسب أن ابنتي قد مع النبي صلى اهللا
يقول إن لله ما أخذ وما أعطى ومحضرت فاشهدنا فأرسل إليها السالوآل شيء عنده مسمى فلتحتسب ولتصبر فأرسلت تقسم عليه فقام
عليه وسلم وقمنا فرفع الصبي في حجر النبي صلى اهللا ρالنبي فقال له سعد ما هذا يا رسول اهللا ρ ففاضت عينا النبي تقعقعونفسه
يرحم الله في قلوب من شاء من عباده والقال هذه رحمة وضعها اهللا الرحماءمن عباده إال
18 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), Cet. I, Juz 7, h. 210
39
Dari Usâmah bi Zaid r.a. (berkata): Sesungguhnya seorang anak perempuan Nabi saw. mengirimkan pesan kepada Nabi saw.saat beliau bersama Sa’ad dan Ubay bin ka’ab. (Isi pesannya) ‘Kami menduga bahwa ajal anak saya telah tiba, maka saksikanlah kami.’ Lalu Rasulpun mengirimkan salam kepadanya dan bersabda, “Sesungguhnya apa yang diambil dan apa yang diberi adalah milik Allah. Segala sesuatu di sisi-Nya telah ada ketentuannya, maka harapkanlah ridha Allah dan bersabarlah. Lalu Nabi saw. berdiri dan anak kecil yang tengah sakit itu diletakkan di pangkuan beliau. Tak berapa lama kemudian, tubuh beliau bergetar dan air matapun bercucuran. Melihat hal ini, Sa’d bertanya, “Ya Rasulullah, apa artinya ini?”19 Beliau menjawab, “Ini adalah (tanda) kasih sayang yang disemayamkan oleh Allah ke dalam kalbu orang yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Allah tidak akan melimpahkan kasih sayang kecuali kepada orang-orang yang menyayangi (sesama).”(H.R. al-Bukhârî)20
2. Dami’at al-‘ainân (Bercucuran air mata) dan segala derivasinya.
Term “al-dam’” ini sejak awal penggunaannya memang dinisbahkan
kepada kata “al-‘ainân”. al-Dam’u yang bentuk jamaknya (plural) adalah
“admu’” dan “dumû’” bermakna air mata (mâ al-‘ain) Sedangkan orang yang
mudah menangis atau mencucurkan air mata disebut “al-dami’/al-dammâ’/al-
damû’/al-damî’”. Imam Husein bin Zaid bin Ali ridwânullâh alaihim
mendapatkan gelar (laqab) “dzû al-dam’ah” (Pemilik tetesan air mata) karena
seringnya atau banyaknya tetesan air mata yang keluar dari kedua kelopak
matanya.21
Dalam al-Qur’an, kata “al-dam’u” ditemukan pada dua tempat, yaitu
dalam surat al-Mâidah ayat 83 dan surat al-Taubah ayat 92 sebagaimana yang
telah dicantumkan pada poin pertama (fâda). Pada kedua ayat tersebut, term
“al-dam’” digunakan dalam bentuk masdar, yaitu “al-dam’” dan dinisbahkan
kepada kata “tafîdu”. Dan menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), lafazh “min”
19 Pertanyaan Sa’d ini muncul karena beliau pernah mendengar Rasulullah melarang
menangisi orang yang akan atau telah meninggal dunia. 20 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 7, Kitâb al-Mardâ wa al-Tibb Bâb ‘Iyâdah al-Sibyân,
(Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 5 21 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Jilid 8, hal.91
40
yang mendahului kata “al-dam’i” pada kedua ayat tersebut bermakna “li al-ajl
wa al-sabab” (sebab).22
Dalam literatur Hadis, term “ad-dam’” ditemukan dalam berbagai bentuk:
mâdi/past tense (dami’at), mudâri/present tense (tadma’ân), dan mashdar/noun
(al-dam’, dam’uh, dan sebagainya). Sebagai contoh, berikut ini akan
dicantumkan salah satu Hadis yang menggunakan kata tersebut:
وه وهيل عأرق أنأ ρ اهللالوس رينرم أاهللا دب عال قال قةمقل عنعا ذ افيكف (تغ بلذا إتى حاءس النةرو سن مهيل عتأرقف, ربنمى اللع لوسرغمزني ) اديهش ءالى هؤل عكا بنئج وديهش بةم ال آنا منئج نظرت إليه وعيناه تدمعان ρ اهللا
Dari ‘Alqamah ia berkata: Abdullâh berkata: Aku diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk membacakan (al-Qur’an) untuknya, dan ketika itu beliau berada di atas mimbar. Maka, akupun membacakan untuknya dari surat An-Nisa. Ketika sampai pada ayat yang berbunyi “ Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). “, Rasulullah saw. memberikan isyarat kepadaku dengan tangannya (agar aku menghentikan bacaanku sesaat). Tatkala aku menoleh dan memperhatikannya, terlihatnya kedua matanya berlinang air mata. (H.R. al-Tirmidzî).23
3. al-Bukâ
Dalam “Kamus kontemporer Arab-Indonesia” karya Attabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdlor serta “Kamus Al-Munawwir” karya Ahmad Warson
M., kata “al-bukâ” diartikan sebagai ratapan atau tangisan.24 Menurut al-Farrâ (w. 207 H.), kata ini dapat dibaca panjang (yumadd) dan
dapat pula dibaca pendek (yuqassar). Jika dibaca panjang (بكاء), maka yang
dimaksud adalah suara yang mengiri tangisan ( الصوت الذي يكون مع
22 al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1414 H./1994), Jilid 10, h. 233 23 al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Tafsîr al-Qur’ân, no. hadis 3213,
(Indonesia: Maktabah Dahlân, tth.), h. 304 24 Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor , Kamus kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Penerbit Multi Karya Grafika, 1998), Cet.V, h. 346; Ahmad Warson M, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet.XIV, h. 103
41
maka yang dimaksud adalah ,(بكى) Sedangkan jika dibaca pendek .(البكاء
“air mata dan keluarnya air mata ( الدموع وخروجها). 25 Abu Zaid pernah menyenandungkan sebuah sya’ir yang ditujukan kepada
Ka’ab bin Malik:
وما يغنى البكاء وال العويل بكت عيني وحق لها بكاها“Mataku menitikkan air mata, dan itu memang haknya. Akan tetapi,
tangisan dan ratapan itu tidak memberikan arti apa-apa.”
Al-Khansa juga pernah menyenandungkan sebuah sya’ir yang di dalamnya
digunakan kata “al-bukâ” yang dipanjangkan (yaitu البكاء). Sya’ir tersebut
berbunyi:
فمن ذايدفع الخطب الجليال دفعت بك الخطوب وأنت حي رأيت بكاءك الحسن الجميال إذا قبح البكاء على قتيل
Aku serahkan segala urusan kepadamu saat engkau masih hidup (Setelah kematianmu) kepada siapakah segala urusan besar diserahkan? Jika menangisi orang yang terbunuh dianggap buruk Maka aku yakin bahwa menangisi (kematian)-mu adalah baik dan indah
Orang yang sering menangis disebut “bakiyyun” (بكي) atau “bakkâ” (بكا).26
Dari pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa menangis dalam
pengertian “al-bukâ” meniscayakan adanya tetesan atau cucuran air mata yang
keluar dari kedua kelopak mata. Untuk memperjelas hal ini, Syaikh Abu ‘Ali
al-Fadl bin al-Hasan al-Tabarsî (w. 548 H.) mendefiniskan “al-bukâ’
(menangis) sebagai berikut; حال تقبض يظهر عن غم فى الوجه مع جري الدموع على الخد
“Menangis (al-bukâ) adalah suatu kondisi kemurungan hati yang lahir atau tampak dari kedukaan di wajah yang disertai dengan deraian air mata di atas pipi.”27
25 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Jilid 14, h. 82 26 Ibid, h. 83 27 al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân fī Tafsîr al-Qur’ân, Juz 5 h. 90
42
Dalam nas-nas agama, nampaknya istilah inilah yang paling poluler dan
paling banyak digunakan. Di dalam al-Qur’an saja, kata “al-bukâ” dengan
segala bentuknya ditemukan dalam tujuh tempat, yaitu: QS.al-Taubah:82,
Yûsuf:16, al-Isrâ:109, Maryam:58, al-Najm:43 & 60, dan al-Dukhân:29.
Sebagai contoh, berikut ini akan dikutip dua ayat dari ketujuh ayat di atas:
وليبكوا آثيرا جزاء بما آانوا يكسبونفليضحكوا قليال
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS.al-Taubah/9:82)
يهم من النبيين من ذرية ءادم وممن حملنا مع علاهللاأولئك الذين أنعم نوح ومن ذرية إبراهيم وإسرائيل وممن هدينا واجتبينا إذا تتلى عليهم
ءايات الرحمن خروا سجدا وبكياMereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu
para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nûh, dan dari keturunan Ibrâhîm dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS.Maryam/19:58)
Sedangkan dalam Hadis, penggunaan lafal “al-bukâ” dengan segala
derivasinya untuk makna “menangis” terbilang yang paling banyak. Berikut
ini akan dicantumkan beberapa hadis yang menggunakan kata tersebut:
اهللا يلج النار أحد بكى من خشية قال ال ρ عن أبي هريرة عن النبي اهللار في سبيل يجتمع غباعز وجل حتى يعود اللبن في الضرع وال
ودخان جهنم في منخري امرئ أبدا وقال أبو عبد الرحمن المقرئ في منخري مسلم أبدا
Dari Abû Hurairah dari Nabi saw. beliau bersabda, “Tidak akan masuk ke dalam neraka seseorang yang menangis karena takut (akan murka) Allah sehingga susu perahan dapat kembali ke ambing/mamaenya. Dan (juga) tidak akan berhimpun debu fi sabilillah dan asap neraka jahanam pada lubang hidung seseorang selama-lamanya. Abû Abdirrahmân al-Muqri (dalam
43
riwayat lain) berkata: pada lubang hidung seorang muslim selama-lamanya.” (H.R. Ahmad)28
عن عثمان بن أبي رواد أخو عبد العزيز قال سمعت الزهري يقول دخلت على أنس ابن مالك بدمشق وهو يبكي فقلت له ما يبكيك فقال
ة وهذه الصالة قد ضيعت الأعرف شيأ مما أدرآت إال هذه الصالDari ‘Usmân bin Abî Rawâd, saudara Abdul ‘Azîz, ia berkata: Saya
mendengar al-Zuhrî berkata: Saya datang kepada Anas bin malik di Damaskus yang kebetulan ketika itu ia sedang menangis. Akupun bertanya kepadanya: “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Ia menjawab, “Saya tidak mengetahui lagi amal yang kudapati (di masa Nabi saw. Yang masih diindahkan orang) selain salat. Itupun sudah disia-siakan orang .”(H.R. al-Bukhârî) 29
4. al-Dzarf
Dalam kamus “lisân al-‘Arab”, al-Munjid, “Kamus kontemporer Arab-
Indonesia” karya Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor serta “Kamus Al-
Munawwir” karya Ahmad Warson M., kata al-dzarf bermakna “sabb al-
dam’” (mengalirkan atau meneteskan air mata). Dzarafa semakna dengan
kata “sâla” (mengalir). Dzarafat al-‘ain al-dam’ bermakna “Kelopak
matanya mengalirkan atau meneteskan air mata.”30
Dalam “Kamus Ilyas al-‘Ashri” disebutkan bahwa “dzarafat al-‘ain
dam’aha” bermakna “to shed tears: to water” yang artinya mencucurkan atau
meneteskan air mata.31
Dalam sebuah Hadis dari al-‘Irbâd ia berkata: “Rasulullah saw.
menyampaikan nasehat yang sangat berkesan kepada kami (mau’izah
28 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid 2, h. 505 29 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb Tadyî’ al-Salâh ‘an Waqtihâ,
Juz 1, h. 134 30 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Juz 9, .h. 109; Lous Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-
A’lâm, (Beirût: Dâr al-Masyriq, 2002), Cet.XXXIX, h. 235; Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, h. 445; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus kontemporer Arab-Indonesia., h. 931
31 Ilyas Anton Ilyas dan Edwar Ilyas, Qamus Ilyas al-‘Ashri: ‘Arabi-Injilizi, (Beirut: Dar al-Habl, 1972), h. 231
44
bâlighah) sehingga membuat yang mendengarnya mencucurkan air mata
(dzarafat minhâ al-‘uyûn).”32
Dalam al-Qur’an, kata ini tidak ditemukan penggunaannya. Sedangkan
dalam hadis adalah sebagai berikut:
قبل عثمان بن مظعون وهو ميت وهو يبكي ρعن عائشة أن النبي 33 تذرفانأو قال عيناه
Dari ‘Aisyah (ia berkata): Sesungguhnya Nabi saw. mencium ‘Utsmân bin Maz’ûn ketika ia telah menjadi mayat sambil menangis. (atau: kedua matanya meneteskan air mata). (H.R. al-Tirmidzî dan Abû Dâwûd)
5. ‘Abrah (air mata)34
Kata “’abara” memiliki beberapa arti, yaitu:
a. Menta’birkan atau menafsirkan. Sebagai contoh adalah yang terdapat
dalam surat Yûsuf ayat 43 berikut ini:
وقال الملك إني أرى سبع بقرات سمان يأآلهن سبع عجاف وسبع أفتوني في رؤياي إن ت خضر وأخر يابسات ياأيها المألسنبال
آنتم للرؤيا تعبرونRaja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya):
"Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang takbir mimpiku itu jika kamu dapat menakbirkan mimpi."(QS.Yûsuf/12:43)
32 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz 9, .h. 109 33 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ fî Taqbîl al-Mayyit no.
hadis 994 h. 229; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bab fî Taqbîl al-Mayyit (Jakarta: Dâr al-Hikmah, tth.), h. 201; Menurut Imam al-Tirmidzî, kualitas hadis ini adalah hasan sahih.
34 Ibid, .h. 529-533; Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, hal. 887-889; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 104, 1268
45
Orang yang menafsirkan mimpi disebut “’âbir” yaitu orang yang
mencermati sesuatu, karena ia mencermati dua sisi mimpi, lalu ia
memikirkan ujung-ujungnya, ia cermati segala yang terjadi dalam mimpi,
dari awal hingga akhir. Ini semua diambil dari kata “al-‘ibr” yang artinya
tepi atau sisi sungai
b. ‘Abara bermakna marra wa fâta yang artinya berlalu atau lewat. Oleh
karena itu orang yang melewati suatu jalan disebut “âbir sabîl”. Dalam
al-Qur’an disebutkan:
ة وأنتم سكارى حتى تقربوا الصالياأيها الذين ءامنوا ال عابري سبيل حتى تغتسلوا جنبا إالتعلموا ما تقولون وال
وإن آنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط مستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا و الأ
آان عفوا غفورااهللافامسحوا بوجوهكم وأيديكم إن Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S.al-Nisâ/4:43)
c. ‘Abara bermakna tadabbara (merenungi /mengkaji).jika dikatakan
“’abaral kitâb”, maka maknanya adalah : ia merenungi isi kandungan
kitab itu tanpa mengeraskan bacaannya.
d. ‘Abara bermakna wazana (menimbang) contoh:
عبر المتاع والدراهمArtinya: Ia menimbang perhiasan dan dirham
46
e. Jika kata ‘abara ini berkembang menjadi i’tabara minh ( إعتبر maka maknanya adalah ta’ajjaba (takjub/heran) ,(منه
f. I’tabara (إعتبر ) dapat pula diartikan mengambil pelajaran. Ibrah
artinya pelajaran. Dalam al-Qur’an disebutkan:
ارصبالي اولا اي اوربتاعف…
…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.(Q.S. Al-Hasyr/58:2)
g. al-‘Abûr = anak kambing
h. al-‘Abîr = campuran minyak wangi yang dipadukan dengan za’faran.
Adapula yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-‘abir adalah
za’faran.
i. ‘Abara ( عبر) dan ista’bara( )إستعبر bermakna “bakâ” yang artinya
“menangis’. al-‘Abrah bermakna “al-dam’ah” yang artinya air mata.
Ada pula yang mengartikan al-‘abrah dengan:
1) Bercucuran air mata tanpa mendengar suara tangisan.
2) Air mata sebelum bercucuran.
3) Gejolak (taraddud) tangisan di dalam dada
4) Kesedihan tanpa tangisan
Jama’ ‘abrah adalah ‘abarât atau ‘ibar. Dari sekian arti di atas, makna yang
paling sahih adalah yang pertama (al-dam’ah). Jika dikatakan “’abarat ‘ainuh
was ta’barat” ( رت عينه واستعبرتعب ) maka maknanya adalah دمعت atau جرت عينه yang artinya bercucuran air matanya. Orang yang
bercucuran air matanya disebut “al-‘âbir” ( العابر)
47
j. Kata “al-‘ubr” memiliki beberapa makna berikut ini:
1) Perempuan yang kehilangan anaknya
2) Menangis karena sedih
3) Yang banyak
4) Kelompok orang
5) Awan yang berjalan cepat
6) Yang amat kuat
Dalam al-Qur’an tidak ditemukan penggunakan “’abrah” yang bermakna
menangis atau mencucurkan air mata. Sedangkan dalam Hadis di antaranya
adalah sebagai berikut:
الحجر ثم وضع شفتيه ρعن ابن عمر قال إستقبل رسول اهللا عليه يبكي طويال ثم التفت فإذا هو بعمر بن الخطاب يبكي
35يا عمر ههنا تسكب العبرات فقال Dari Ibn ‘Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. menghadap hajar (aswad)
lalu beliau meletakkan kedua bibirnya di atas batu tersebut sambil menangis cukup lama. Kemudian beliau berpaling dan tiba-tiba saja ada ‘Umar bin Khattab yang juga menangis. Lalu beliau bersabda: “Ya Umar, di sinilah air mata akan banyak bertetesan.” (H.R. al-Bukhârî dan Ibn Mâjah)
6. Anîn (rintihan atau tangisan)
Anîn berasal dari kata “anna-ya’innu-anînan” yang artinya merintih,
mengerang, atau mengaduh. Jika dikatakan “anna al-rajul min al-waja’i” maka
artinya adalah “Seseorang merintih atau mengerang karena sakit yang
dideritanya.” 36 Orang yang banyak merintih disebut “annaan, unaan, unanah”.
35 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Manâsik Bâb Istilâm al-Hajar no. Hadis 2945
(Indonesia: Maktabah Dahlân, tth.), h. 982; Lihat pula Hadis yang menggunakan term ‘abrah pada: al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Inna al-ladzîn Yuhibbûna an Tasyî’a al-Fâhisyah h. 11-13;
36 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 45; Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Juz 13, h. 28
48
Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan satupun ayat yang menggunakan term
ini. Sedangkan dalam Hadis adalah sebagai berikut:
عن جابر بن عبد اهللا رضي اهللا عنهما أن امرءة من االنصار يارسول اهللا أال أجعل لك شيئا تقعد عليه ρ قالت لرسول اهللا
الذي صنع فإن لي غالما نجارا قال إن شئت فعملت له المنبرفصاحت النخلة التي آان يخطب عندها حتى آادت أن تنشق
حتى أخذها فضمها إليه فجعلت تئن أنين الصبي ρفنزل النبي على ما آانت تسمع من الذي يسكت حتى استقرت قال بكت
37الذآر
Dari Jâbir bin ‘Abdillâh r.a. ia berkata: Seorang wanita Ansar bertanya kepada Rasulullah saw. : Ya Rasulullah, bolehkan saya buatkan untuk Tuan sebuah bangku tempat duduk Tuan? Karena sessungguhnya saya mempunyai anak muda tukang kayu.” Nabi menjawab: “Kalau anda mau, silakan!” Wanita itu berkata: “Maka saya buatkan sebuah mimbar untuk beliau. Pada hari Jumat Nabi duduk di mimbar itu. Pohon kurma yang berada di samping beliau berkhutbah itu berteriak sehingga hamper belah. Nabi saw. turun, lalu beliau pegang pohon kurma itu dan mendekapnya. Pohon kurma itupun menangis seperti tangisan seorang anak kecil yang didiamkan (ibunya). (Beliau mendekapnya) sampai pohon kurma itu tenang. Nabi bersabda: “Ia menangis seperti itu karena mendengar zikir (pelajaran yang disampaikan Rasul).” (H.R. al-Bukhârî)
7. Inhamalat al-‘ain
Kata “inhamala” jika dinisbahkan kepada kata “al-‘ain” maka maknanya
adalah “menangis”. Sehingga dalam “Kamus Al-Munawwir” dan “Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia”, kata “inhamalat ‘ainuh” bermakna bercucuran
air matanya.38
37 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî., Juz 3, Kitâb al-Buyû’ Bâb al-Najjâr, h.14; Lihat juga
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 3, h. 300 38 Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, h. 1518; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi
Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 268
49
Di dalam al-Qur’an, tidak ditemukan satupun ayat yang menggunakan kata
ini. Sedangkan dalam Hadis, ditemukan beberapa contoh, di antaranya yang
diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwûd dalam Kitab al-‘Ilm berikut ini:
إقرأ علي ρعبد اهللا بن مسعود قال قال لي رسول اهللا عنسورة النساء قال قلت اقرأ عليك وعليك انزل؟ قال إني احب
قوله ان اسمعه من غيري قال فقرأت عليه حتى انتهيت إلى االية فرفعت رأسي فإذا ) ديهش بةم ال آنا منئا جذ افيكف (
39عيناه تهمالنDari ‘Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Rasulullah saw. berkata kepadaku: ‘Bacakanlah untukku surat al-Nisâ!’ Ibn Mas’ûd berkata: Aku bertanya:’Apakah aku akan membacakannya untukmu, sedangkan ia diturunkan kepadamu?‘ Beliau menjawab: ‘Sesungguhnya aku suka mendengarnya dari orang lain.‘ Ibn Mas’ûd berkata: Akupun membacakannya sehingga ketika sampai pada ayat “(Maka bagaimanakah {halnya orang-orang kafir nanti}, apabila kami mendatangkan seorang saksi {Rasul} dari tiap-tiap umat”) – QS. al-Nisâ:41 Kuangkat kepalaku. Tiba-tiba (kulihat) kedua mata beliau meneteskan air mata.” (H.R. Abû Dâwûd)
B. Macam-macam Menangis
Di dalam al-Qur’an, Allah menyatakan:
فاق وفي أنفسهم حتى يتبين لهم أنه الحق آلسنريهم ءاياتنا في ال
أولم يكف بربك أنه على آل شيء شهيد
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS.Fussilat/41:53)
Dalam ayat ini, Allah swt. ingin menegaskan dan menjelaskan kepada
orang-orang musyrik dan orang-orang yang ingkar bahwa al-Qur’an adalah hak
dan benar-benar turun dari sisi Allah, bukan buatan manusia sebagaimana
anggapan musuh-musuh Islam. Ada dua cara yang ditempuh Allah untuk
39 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-‘Ilm Bâb fî al-Qisâs, h. 324
50
penegasan itu, yaitu: (1) Mencermati dan mengkaji segala ciptaan Allah di
segenap ufuk, baik langit, bumi, matahari, bulan, bintang, tumbuh-tumbuhan, dan
lain-lain; (2) Mengkaji anfus atau jiwa dengan segala fenomenanya.
Menurut Imam al-Qurtubî (w. 567 H.), sebagaimana yang juga dikutip
oleh Imam ‘Ali al-Sâbûnî, bahwa yang dimaksud “anfus” di sini adalah
mencakup kelembutannya, hikmahnya, sampai saluran anus (dubur) dan air
seninya (qubul). Termasuk pula makna anfus di sini kedua bola mata yang dapat
meneteskan air mata (menangis) yang dapat digunakan untuk melihat segala
sesuatu.40 Oleh karena itu, mempelajari tangisan manusia merupakan salah satu
realisasi dari upaya pemahaman surat Fussilat ayat 53 di atas.
Menangis adalah salah satu fenomena psikologis yang dialami oleh
seluruh manusia. Menangis merupakan salah satu ekspresi emosi yang di-sunnah-
kan (ditentukan) oleh Allah swt. kepada seluruh manusia. Pada lazimnya,
menangis, menandakan suasana kepedihan (al-huzn), sementara tertawa
menandakan suasana kegembiraan (al-farh).41
Namun harus ditegaskan bahwa menangis tidak selalu mengarah kepada
sifat-sifat buruk, sebagaimana halnya tertawa juga tidak selalu mengarah kepada
sifat-sifat yang baik. Nilai keduanya sangat ditentukan oleh sikap diri dan motivasi
atau niat yang menyertainya. Seseorang yang menangis karena iba dan peduli
40 al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1987), Cet. I, Juz 15, h.
374-375; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1999), cet.I, Jilid 3, h. 128
41 Dalam Tafsir al-Qurtubî yang dikutip dari dialog Rasulullah saw. dengan malaikat Jibril, dinyatakaan bahwa yang dimaksud “Allah menetapkan tawa dan tangis’ adalah menetapkan sebab-sebabnya, seperti kegembiraan mendatangkan tawa dan kesulitan mendatangkan tangis. Menurut Al-Hasan, Allah swt. menjadikan tertawa disebabkan melihat penghuni surga yang shalih, dan menjadikan tangis disebabkan melihat penghuni neraka yang durhaka. Menurut Dzû al-Nûn, orang-orang yang beriman dan ahli ma’rifat dapat tertawa akibat cahaya ma’rifatnya. Sedangkan orang-orang kafir dan suka bermaksiat akan menangis karena kegelapan maksiatnya. Sahal bin ‘Abdullâh pernah menegaskan bahwa Allah menjadikan tertawa orang-orang yang taat karena kasih sayang (rahmat)-Nya, dan menjadikan menangis orang-orang yang maksiat dengan kebencian (sukht)-Nya. Lihat: al-Qur tûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân , Juz 17, h. 116-117
51
terhadap urusan saudara muslimnya misalnya, maka tangisan itu dalam pandangan
Allah dinilai ibadah. Pada saat itu, ia telah berpartisipasi dan ikut terlibat secara
psikologis terhadap urusan saudaranya. Dalam sebuah Hadis yang masyhur,
Rasulullah saw. bersabda:
من لم يهتم بأمر المسلمين فليس منهمSiapa yang tidak ikut peduli memperhatikan urusan umat Islam, maka ia
tidak termasuk golongan mereka.(H.R. al-Baihaqi)42
Sementara seseorang yang tertawa dengan tujuan mengejek, maka
tertawanya itu akan membawa akibat buruk bagi dirinya, dan tentunya ia akan
mendapat murka dari Allah swt.
Oleh karena itu, di dalam pandangan psikologi Islam, menangis tidak
hanya dilihat dari pendekatan “apa adanya” , tetapi juga “bagaimana seharusnya”.
Artinya, yang dilakukan tidak sekedar mendeskripsikan pengertian, macam-
macam dan fungsi menangis yang terjadi pada seseorang, tetapi lebih jauh dan
lebih penting adalah bagaimana kita mampu memberikan sublimasi43 tangisan itu
sehingga lebih bermakna dan berimplikasi positif pada kepribadian, terutama
implikasi yang bermuatan spiritual ubudiyah.
Psikologi Islam selalu menggunakan pola berpikir positif (positive
thinking) dalam memaknai tangisan, bukan pola berpikir negarif (negative
thinking) yang selama ini dipakai oleh kebanyakan psikolog modern. Psikologi
Islam tidak sekedar mempersoalkan tangisan itu sendiri, tetapi lebih
mempersoalkan alasan-alasan, motif-motif, serta niat yang menyertainya.44
42 Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqī dalam kitab “al-Syu’ab” dari Anas dari Nabi
saw. Lihat: al-Sakhâwî, al-Maqâsid al-Hasanah, (Beirût: Dâr al-Hijrah, 1986), hal.428 43 Sublimasi adalah pengarahan terhadap impuls (motif, kecenderungan, dan kesadaran untuk
berbuat) yang tidak bisa diterima ke dalam bentuk penyaluran yang bisa dapat diterima. 44 Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, hal.6
52
Untuk lebih jelasnya, pendekatan “bagaimana seharusnya” dalam
menangis dapat disimpulkan dalam suatu pernyataan: “Bagaimana kita mampu
memiliki hasrat untuk menangis bermakna, yang memotivasi kehidupan kita
untuk senantiasa mencari makna tangisan dan mendambakan tangisan yang
bermakna. Singkatnya, bagaimana kita memperoleh hikmah (wisdom) dari
tangisan itu.”45
Sebuah tangisan dapat dikatakan bermakna apabila memiliki salah satu ciri
dari ciri-ciri berikut ini:
1. Berimplikasi positif pada aktualisasi diri atau realisasi diri;
2. Mendorong individu bersikap optimis dan produktif serta menghilangkan
sikap pesimis dan cengeng;
3. Membantu dalam mencapai kesehatan mental;
4. Memiliki muatan spiritualitas dan transenden.46
Menurut Imam Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w. 751 H.), ada beberapa macam
tangisan, yaitu:47
1. Tangisan kasih sayang dan kelembutan.
2. Tangisan karena takut
3. Tangisan cinta dan kerinduan
4. Tangisan kebahagiaan dan kegembiraan.
5. Tangisan kekhawatiran karena suatu hal yang menyakitkan dan tidak ada
kemampuan untuk menanggungnya.
6. Tangisan kesedihan.
45 Ibid, hal.8 46 Ibid, hal. 8-9 47 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Mu’assasah al-
Risâlah, 1998), Cet. Ke-3, h.176-178
53
Perbedaan antara tangisan kesedihan dengan tangisan rasa takut adalah
kalau tangisan kesedihan itu terjadi karena kejadian yang telah berlalu, baik
karena mendapatkan sesuatu yang tidak disukai atau hilangnya suatu yang
dicintainya. Sedangkan tangisan rasa takut terjadi karena sesuatu hal yang
akan terjadi di kemudian hari.
Adapun perbedaan antara tangisan kebahagiaan dan kegembiraan
dengan tangisan kesedihan adalah kalau air mata tangis kebahagiaan itu
dingin, sementara hati dalam keadaan gembira. Sedang air mata kesedihan itu
panas, dengan hati yang penuh kesedihan.
7. Tangisan ketidakberdayaan dan kelemahan.
8. Tangisan kemunafikan, yakni menetesnya air mata sementara hatinya tetap
membatu, sehingga pelakunya tampak demikian khusyu, padahal hatinya
paling keras di antara manusia.
9. Tangisan pinjaman, pesanan, atau sewaan, seperti tangisan orang yang
meratap karena diupah, sebagaimana perkataan Umar, “Dia menjual air
matanya dan menangisi kesedihan orang lain.”
10. Tangisan kesepakatan atau ikut-ikutan, yaitu jika melihat orang lain tertimpa
suatu hal, lalu dia menangis bersama mereka, tanpa mengetahui apa yang mereka
tangisi.
C. Menangis dalam Perspektif al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an tidak banyak ditemukan ayat yang berbicara tentang
menangis. Menurut penelusuran penulis berdasarkan kitab “al-Mu’jam al-
54
Mufahras li Alfâz al-Qur’ân” karya Muh. Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, bahwa di dalam
kitab suci umat Islam tersebut hanya ditemukan sembilan ayat yang berbicara
tentang menangis dengan konteks yang berbeda-beda. Kesembilan ayat tersebut
menggunakan term yang berbeda-beda, namun seluruhnya bermuara kepada
makna menangis sebagaimana yang dimaksud dalam tulisan ini. Tujuh ayat di
antaranya menggunakan kata “al-bukâ” dengan berbagai derivasinya, yaitu:
Q.S.9:82 (dalam bentuk perintah dengan lam al-amr dan fi’il mudâri’), 12:16 (fi’il
mudâri’’), 17:109 (fi’il mudâri’), 19:58 (jama’: bukiyyâ), 53:43 (fi’il mâdî), 53:60
(fi’il mudâri’), dan 44:29 (fi’il mâdi). Sedangkan dua ayat yang lainnya
menggunakan kata “tafîdu” yang dinisbahkan dengan kata “al-dam’”, yaitu dalam
surat al-Mâidah ayat 83 dan surat al-Taubah ayat 92.
1. Tangisan Kaum Munafikin di Neraka
Kalangan munafikin adalah kelompok yang sangat licik dan
menimbulkan problem tersendiri dalam dakwah Nabi Muhammad saw.
Mereka bagaikan api dalam sekam, duri dalam daging. Hal ini disebabkan
karena mereka memiliki dua wajah sehingga dapat menimbulkan roman wajah
yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan mereka. Karena sedemikian
pentingnya bagi Nabi Muhammad saw. dan umat Islam untuk mengetahui
karakteristik orang-orang munafik, hatta dalam al-Qur’an terdapat satu surat
khusus yang bernama Surat al-Munâfiqûn. Hal ini dimaksudkan agar mereka
lebih meningkatkan kehati-hatian dan kewaspadaan terhadap gerak-gerik
kaum munafik.
55
Di samping surat al-Munâfiqûn, surat al-Taubah adalah di antara surat
yang banyak mengungkap tentang kaum munafikin. Ada beberapa sifat
mereka yang diungkap dalam surat tersebut, yaitu:
a. Kebimbangan dan keraguan orang-orang munafik mendorong mereka untuk
memohon izin agar tidak ikut berperang bersama Nabi Muhammad saw. (ayat
45)
b. Kalaupun mereka berangkat untuk berperang, mereka hanya akan
mengacaukan barisan kaum muslimin (ayat 47-48).
c. Mencari-cari alasan agar tidak ikut berperang (ayat 49).
d. Mereka membenci umat Islam yang mendapat kebaikan dan senang saat
umat Islam mendapat musibah (ayat 50).
e. Mereka bersumpah palsu bahwa mereka adalah golongan umat Islam (ayat
56).
f. Mereka tidak senang (mencela) pembagian sedekah atau zakat yang
dilakukan oleh Nabi saw. (ayat 58-61).
g. Mereka khawatir akan diturunkan surat yang menerangkan serta
membongkar apa yang ada di dalam hati mereka (ayat 64).
h. Mereka mengolok-olokkan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya (ayat 65).
i. Ikrar orang-orang munafik tidak dapat dipercaya (ayat75-78).
j. Mereka mencela sedekah yang dilakukan oleh orang-orang mukmin (ayat
79).
k. Mereka merasa senang karena tidak ikut berjihad (ayat 81).
Setelah Allah menjelaskan segala sikap dan perilaku orang-orang
munafik yang sungguh tercela, Allahpun menyebutkan balasan terhadap
mereka. Pada ayat 79 ditegaskan bahwa Allah swt. membalas penghinaan
56
mereka karena mereka telah menghina orang-orang mukmin yang
bersedekah. Di akhirat kelak, untuk merekapun telah disiapkan azab yang
amat pedih.
Pada ayat selanjutnya (ayat 80), ditegaskan bahwa permohonan ampun
yang dimunajatkan oleh Nabi saw. untuk mereka, meski dilakukan hingga 70
kali, tetap saja Allah tidak akan mengampuninya. Imam Ibn Katsîr
menjelaskan bahwa dengan ayat ini Allah memberitakan kepada Nabi saw.
bahwa orang-orang munafik bukanlah orang-orang yang layak untuk
dimohonkan ampun. Oleh karena itu, meskipun Nabi saw. beristighfar
sebanyak-banyaknya (tujuh puluh kali), Allah tetap saja tidak akan
mengampuni mereka. Penyebutan angka tujuh puluh dalam ayat tersebut tidak
bermakna pembatasan (tahdîd), namun hanya menunjukkan intensitas yang
tinggi (mubâlaghah).48
Permohonan ampun untuk mereka menjadi tidak bermanfaat, karena
mereka sendiri kufur. “dzâlika bi annahum kafarû” (Yang demikian itu karena
mereka kufur). Demikian alasan Allah yang tercantum pada ayat tersebut.
Lebih jelas lagi, Dr. Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa orang-orang
munafik itu kufur dan mengingkari Allah swt dan Rasul-Nya. Mereka tidak
mengikrarkan ke-Esa-an Allah, tidak mengakui kerasulan Nabi saw., dan
senantiasa berada dalam pengingkaran. Hati mereka tidak pernah siap untuk
menerima kebaikan (al-khair) dan cahaya (al-nûr). Dan memang sudah menjadi
48 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Semarang: Toha Putra, t.t.), Juz 2, hal.376
57
sunnatullah bahwa kebaikan tidak akan dianugerahkan kepada kaum yang terus-menerus
kufur, tidak taat, dan tidak ada niat atau keinginan untuk beriman dan bertaubat.49
Bandingkanlah dengan ayat 5 dan 6 surat al-Munûfiqûn. Dalam ayat
tersebut dijelaskan, meskipun Rasulullah saw. telah memanggil mereka
(orang-orang munafik) untuk dimohonkan ampun, tetap saja mereka tidak
menyahut, bahkan berpaling dari beliau. Karenanya, Allahpun menegaskan
bahwa untuk orang-orang munafik, dimintakan ampun atau tidak, Allah tetap
tidak akan mengampuni mereka. Mereka adalah orang-orang fasik yang secara
jelas melanggar hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
Setelah pada ayat 80 dijelaskan satu sifat buruk orang-orang munafik
yang lain, yaitu merasa senang berdiam diri untuk tidak berperang dan
membenci jihad fi sabilillah, maka Allah menegaskan pada ayat 82:
وليبكوا آثيرا جزاء بما آانوا يكسبونكوا قليالفليضحMaka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai
pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.(QS.At-Taubah/9:82)
Jika ayat tersebut dicermati, sesungguhnya ia berbentuk perintah (amr)
yang tersusun dari lam al-amr dan fi’il mudâri’. Namun, jika lebih dicermati,
maka maknanya adalah berita (khabar) atau ancaman (tahdîd). Demikianlah
pandangan Dr. Wahbah Zuhaili, Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), Imam Ali al-
Sabûnî, Imam al-Râzî (w. 544 H.), Imam al-Tabarsî (w. 548 H.), dan
pengarang Ruhul Bayan (Isma’il Haqqi al-Buruswi).50
49 Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1991), Juz 10, h. 328 50 Ibid, jilid, hal.331; al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H./1994 M.), jilid
20, h.220; Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, jilid I, h.552; al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Juz 5, h.91; Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan. Penerjemah Drs. Syihabuddin (Bandung: C.V. Diponegoro, 1998), Jilid 26, h. 153
58
Bahkan menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), informasi yang
disampaikan dalam bentuk perintah (sîghat al-amr) menunjukkan keniscayaan
terjadinya sesuatu itu. Sebab, dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa
sîghat amr (kalimat perintah) pada dasarnya meniscayakan makna wajib
sehingga ia banyak digunakan untuk makna itu. Atau, karena bentuk perintah
tidak mengandung pengertian benar (sidq) dan dusta (kadzib) sebagaimana
yang dikandung dalam kalimat berita. Begitulah penegasan Asy-Syihab.51
Melalui ayat ini, Allah menginformasikan kondisi mereka di dunia dan di
akhirat. Tersebab sikap dan keburukan mereka, maka mereka akan merasakan
sedikit tertawa (kebahagiaan) di dunia dan banyak menangis (sengsara) di
akhirat sebagai wujud penyesalan dan akibat ulah mereka sendiri. Tawa mereka
di dunia, meski terjadi sampai kematian menjemput mereka, masih terlalu
sedikit jika dibandingkan dengan tangisan mereka di akhirat yang kekal abadi
dan tanpa batas.
Menurut Ibn ‘Abbâs r.a. (w. 68 H.), sebagaimana yang dikutip Imam
Ibnu Kasīr (w. 774 H.) dan al-Syaikh ‘Ali al-Sâbûnî, dunia itu sedikit, maka
silakan orang-orang munafik tertawa sekehendak mereka. Jika dunia telah
berakhir (terjadi hari kiamat) dan semua manusia kembali kepada Allah swt.,
maka mereka (orang-orang munafik) akan mulai menangis dan tidak akan
pernah terputus untuk selamanya.
Ada sebuah keterangan yang menyebutkan bahwa orang-orang munafik
akan menangis dalam neraka seusia dunia. Air matanya tiada henti berderai
dan rasa kantuknya tidak akan hilang dengan tidur.52 Dalam sebuah Hadis
riwayat Imam Ibn Mâjah (w.273 H.) dikatakan:
51 al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Jilid 10, h. 220-221 52 Ibid; Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan, Jilid 10, h. 523
59
يرسل البكاء على أهل ρعن أنس بن مالك قال قال رسول اهللاالنار فيبكون حتى تنقطع الدموع ثم يبكون الدم حتى يصير في
53لجرتلو أرسلت فيه السفن .وجوههم آهيئة الأخدودTangisan diutus (oleh Allah) kepada penghuni neraka. Merekapun
menangis hingga air matanya kering. Selanjutnya merekapun menangis dengan mengucurkan darah hingga wajahnya berubah seperti habis dicambuki. Seandainya perahu-perahu dilayarkan, niscaya akan berjalan”(H.R. Ibn Mâjah)
Berkenaan dengan azab yang yang dirasakan oleh orang-orang munafik,
Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya menyampaikan hadis berikut ini:
ار إن أهون أهل الن ρ عن النعمان بن بشير قال قال رسول اهللان وشراآان من نار يغلي منهما دماغه آما عذابا من له نعال
هونهم المرجل ما يرى أن أحدا أشد منه عذابا وإنه ألىيغل 54عذابا
Dari Nu’mân bin Basyîr ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya pada hari kiamat adalah seseorang yang memiliki dua alas kaki sedang kedua talinya terbuat dari api neraka, dan dari keduanya otaknya bergolak mendidih seperti mendidihnya (air dalam) ketel. Dia tidak melihat (mengira) bahwa ada orang lain yang azabnya lebih pedih daripadanya. Padahal sesungguhnya dialah yang paling ringan azabnya.” (H.R. Muslim)
Menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), ayat 82 surat al-Taubah ini dapat
pula dipahami bahwa tertawa ini merupakan kinayah dari kebahagiaan (al-
farh) dan menangis adalah kinayah dari duka cita atau kesedihan (al-ghamm).
Artinya orang-orang munafik, kalaupun mereka merasakan kebahagiaan di
dunia, maka kebahagiaan itu hanyalah sedikit dan sebentar. Sebab, tatkala
perputaran dunia berakhir sebagai tanda dimulainya babak kehidupan yang
baru (akhirat), maka duka cita dan kesedihan akan segera mulai mereka
53 Dalam sanad Hadis in terdapat Yazîd bin Abân al-Raqasyi yang merupakan rawi daif. Ibn
Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Sifât al-Nâr no. hadis 4324, h. 1446 54 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Imân Bâb Ahwân Ahl al-Nâr ‘adzâban, h. 110
60
nikmati, dan itu akan terus mereka rasakan kekal abadi.55
Menurut Ibn ‘Atiyyah, al-bukâ (menangis) dan al-dahk (tertawa) yang
disebutkan dalam ayat di atas, keduanya dapat pula terjadi di dunia. Hal ini
sebagaimana bunyi sebuah Hadis berikut ini:
عنه آان يقول اهللاعن سعيد بن المسيب أن أبا هريرة رضي ولبكيتم مون ما أعلم لضحكتم قليال لو تعل ρ اهللاقال رسول
56آثيراDari Sa’îd bin al-Musayyab bahwa Abû Hurairah r.a. berkata: Rasulullah
saw. bersabda: “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedidkit tertawa dan banyak menangis.” (H.R. al-Bukhârî)
Maksudnya, tatkala orang-orang munafik telah banyak melakukan
berbagai kemaksiatan yang mengotori diri mereka dan kemudian mereka mau
merenunginya dengan tenang, niscaya mereka akan banyak menangis dan
sedikit tertawa menyesali perbuatan yang telah mereka lakukan.57
Duka dan derita yang mereka rasakan adalah akibat dari perilaku mereka
yang buruk di dunia (jazâ’an bimâ kânû yaksibûn). Menurut Imam Al-Alusi,
perpaduan antara dua shighat, yaitu mâdi (kânû) dan mudâri (yaksibûn)
menunjukkan bahwa perbuatan maksiat itu mereka lakukan secara terus-
menerus.58
Demikianlah keadaan orang-orang munafik di akhirat. Mereka adalah
contoh dari orang-orang yang tidak memahami hakikat dan arti sebuah
kehidupan. Kehidupan dunia tidak ditempatkan sebagaimana mestinya sesuai
55 al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Jilid 10, h. 220-221 56 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 7, Kitâb al-Riqâq Bâb Qaul al-Nabi saw. lau Ta’lamûna
mâ A’lamu, hal.186 & Juz 7 Kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb Kaif Kânat Yamîn al-Nabi, h. 219; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ fî Qaul al-Nabi saw. lau Ta’lamûna no. hadis 2414 h. 381; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. hadis 4190, h. 1402; Ahmad, al-Musnad., Jilid 2, h. 257. Menurut Imam al-Tirmidzî, nilai Hadis ini adalah sahih
57 al-Âlûsî, Rûh al-Ma’ânî, Jilid 10, h. 220-221 58 Ibid
61
dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pasca kehidupan dunia,
tidak disadari oleh mereka akan terbentang sebuah negeri luas tanpa batas dan
kekal abadi. Sebagai biasnya, merekapun bertindak semau dan sekehendak
mereka dengan memperturutkan ke mana hawa nafsu melangkah. Tersebab
bergelimang dengan berbagai maksiat, hatinya telah tertutup sehingga tidak
lagi mampu melihat dan membedakan antara yang hak dan yang batil.
2. Tangisan Pembual 59
Di dalam al-Qur’an, kisah Yûsuf a.s diceritakan cukup lengkap dalam
sebuah surat yang juga dinamakan “Surat Yûsuf”.
Yusuf bernama lengkap Yûsuf al-Sâdiq bin Ya’qûb al-Sâfî bin Ishâq bin
Ibrâhîm. Beliau adalah seorang nabi yang kegantengannya diabadikan dalam
al-Qur’an. Menurut riwayat Anas, Rasulullah saw. bersabda: “Yûsuf dan
Ibunya telah diberikan sebagian dari keelokan.” Dalam riwayat lain
diterangkan bahwa jika Yûsuf berjalan di jalan yang sempit di kota Mesir,
terlihat wajahnya bersinar dan memantulkan cahaya ke dinding-dinding
sekitarnya sebagaimana sinar mentari yang menerpa dinding.60
Di dalam al-Qur’an, kisah Yûsuf diawali dengan mimpi yang dialaminya
ketika ia berusia kurang lebih 12 tahun.61 Dalam mimpinya itu, sebagaimana
yang diceritakan dalam al-Qur’an, Yusuf melihat sebelas bintang, matahari,
dan bulan, dan semuanya sujud di hadapannya.
Menurut para ahli tafsir, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu
Kasir, sesungguhnya ta’bir mimpi itu adalah bahwa sebelas bintang yang
59 Dalam istilah lain disebut dengan “Air Mata Buaya”. 60 al-Tsa’labî, Qisâs al-Anbiyâ, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth.), Cet. IV, h.143 61 Ibid, h.147
62
dilihatnya adalah simbol saudara-saudaranya yang berjumlah sebelas orang.
Sedangkan matahari dan bulan adalah simbol ibu dan ayahnya. Tafsiran
seperti ini diterima dari Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.), al-Dahhâk, Qatâdah (w. 117
H.), Sufyân al-Tsaurî (w. 161 H.), dan Abdurrahmân bin Zaid bin Aslam . Dan
tafsir Yûsuf ini baru terwujud setelah 40 atau 80 tahun kemudian.62
Mendengar mimpi anaknya tersebut, Nabi Ya’qûb meminta kepada Yûsuf
agar tidak menceritakannya kepada saudara-saudaranya. Sebab, jika mereka
mengetahui, niscaya mereka dengki dan akan berusaha mencelakakan Yûsuf.
Menurut al-Tsa’labî (w. 428 H.), sejak mimpi itu dialami oleh Yûsuf, Nabi
Ya’qûb sebagai ayahnya bertambah sayang, cinta, dan dekat dengannya.
Kondisi ini menimbulkan kedengkian di hati saudara-saudaranya yang lain.
Mereka berusaha memisahkan antara ayah (Nabi Ya’qub) dan anaknya
(Yûsuf) agar kasih sayang (mahabbah) hanya ditumpahkan kepada mereka.63
Di antara mereka ada yang mengusulkan agar Yûsuf dibunuh saja, dan
setelah itu mereka akan menjadi orang-orang yang baik (QS.12:9). Namun ada
pula yang mengusulkan agar Yûsuf dimasukkan ke dalam sumur sehingga
memungkinkan untuk dipungut oleh kafilah yang lewat dan dibawa jauh.
Ternyata, usulan terakhir inilah yang disepakati.
Setelah menyusun siasat busuknya, mereka pun memohon izin kepada
ayah mereka, Ya’qûb, agar mengizinkan Yûsuf bermain bersama mereka.
Mendengar keinginan putra-putranya, nabi Ya’qûb berkata:
62 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, hal. 468 63 al-Tsa’labî, Qisâs al-Anbiyâ, h.143
63
إني ليحزنني أن تذهبوا به وأخاف أن يأآله الذئب وأنتم عنه لقا غافلون
Berkata Ya’qûb; "Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah daripadanya." (Q.S. Yûsuf/12:13)
Jawaban yang disampaikan Nabi Ya’qûb menambah kecemburuan mereka.
Sesungguhnya mereka tidak dapat menyanggah dua alasan yang disampaikan
oleh ayah mereka, yaitu kesedihan beliau karena ditinggalkan oleh putra
tercinta (Yûsuf), dan kekhawatiran Yusuf akan diterkam atau dimakan
serigala. Untuk menjawab alasan kedua, mereka berkata:64
قالوا لئن أآله الذئب ونحن عصبة إنا إذا لخاسرون Mereka berkata: "Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami
golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi." (Q.S. Yûsuf/12:14)
Rupanya desakan anak-anaknya dapat meyakinkan Nabi Ya’qub. Merekapun
pergi membawa Yûsuf untuk melaksanakan persekongkolan jahat. Namun, Allah
memberitahukan ke dalam jiwa si anak (Yûsuf) bahwa itu hanya ujian yang akan
berakhir, dan dia akan tetap hidup bahkan akan menceritakan kepada saudara-
saudaranya itu tentang sikap dan tindakan mereka ini.65
Pada ayat ke-15 tidak dijelaskan bagaimana mereka menjerumuskan
Yûsuf. Namun diduga, bahwa sebelum Yusuf dilemparkan ke dalam sumur,
terlebih dahulu mereka membuka bajunya .Baju itulah yang mereka bawa dan
dijadikan sebagai bukti di hadapan ayah mereka.66
64 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1423 H./2002 M.),
Vol.6, h. 393 65 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: GIP, 2004), Cet.I, jilid 12, h. 229 66 Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1985), Juzu XII, h. 195
64
al-Tabâtaba’î mengemukakan bahwa ayat 15 ketika sampai pada uraian
“sepakat memasukkannya ke dasar sumur” berhenti sejenak, tidak
menceritakan apa yang terjadi saat itu – sedih dan menyesal – karena telinga
tidak mampu mendengar apa yang mereka lakukan terhadap anak tak berdosa
itu. Padahal, merekapun tahu betapa besar cinta kasih ayah mereka terhadap
Yusuf, calon nabi, putra para nabi. Sungguh terkutuk kedengkian yang
membinasakan saudara di tangan saudara-saudaranya.67
Setelah mereka melakukan kejahatan terhadap saudara mereka, maka kini
mulailah mereka melakukan aksi penipuan dan kedustaan yang amat hina
terhadap ayah kandung mereka sendiri, nabi Ya’qûb a.s. Setelah mereka
menunggu cukup lama, merekapun datang kepada ayah mereka di malam hari
saat gelap mulai tiba, sesaat setelah hilangnya mega merah, sisa-sisa cahaya
matahari setelah tenggelam. Hal ini mereka lakukan agar aksi penipuan
mereka melalui air muka yang dibuat-buat tidak terlihat jelas oleh ayah
mereka. Demikian yang dijelaskan oleh sebagian ahli tafsir.68 Mereka datang
sambil menangis mengucurkan air mata dengan harapan ayah mereka akan
mempercayai apa yang akan mereka sampaikan. Tentang hal ini, Allah
menggambarkannya melalui firman-Nya:
قالوا ياأبانا إنا ذهبنا نستبق وجاءوا أباهم عشاء يبكونوترآنا يوسف عند متاعنا فأآله الذئب وما أنت بمؤمن لنا ولو
لت جاءوا على قميصه بدم آذب قال بل سو وآنا صادقين المستعان على ما لكم أنفسكم أمرا فصبر جميل واهللا
تصفون
67 M. Qurasih Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol.6, h. 396 68 Ibid, h. 397-398; Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 12, h. 224
65
Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis. Mereka berkata: "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala, dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar." Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya`qub berkata: "Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (Q.S. Yûsuf/12:16-18)
Dendam yang membara itu telah melalaikan mereka dari memperindah
kebohongannya. Seandainya pikiran mereka tenang sejak pertama kali nabi
Ya’qûb mengizinkan mereka membawa Yûsuf, niscaya mereka tidak akan
berbuat begitu. Akan tetapi, mereka tergesa-gesa dan tidak sabar, mereka takut
tidak akan mendapatkan kesempatan lagi. Begitulah, pembuatan cerita tentang
serigala secara terang-terangan itu menunjukkan ketergesa-gesaan, padahal
ayahnya kemarin sudah memperingatkan mereka tentang serigala itu. Maka,
tidaklah wajar kalau mereka pergi pagi-pagi untuk meninggalkan Yusuf
dimakan serigala yang kemarin mereka sudah diperingatkan oleh ayah
mereka itu. Karena ketergesa-gesaan seperti ini, mereka datang dengan
membawa baju gamis Yûsuf yang telah dilumuri darah secara tidak cermat.
Sungguh nyata sekali dusta mereka sehingga disebut darah palsu (dam
kadzib), sebagaimana air mata mereka adalah air mata palsu atau dusta.
3. Tangisan Ahli Kitab Saat Mendengar al-Qur’an
al-Qur’an adalah kitab kebenaran. Seratus persen tanpa diselipi oleh
keraguan sedikitpun, ia berasal dari Allah Yang Mahahaq lagi Mahabijaksana.
Ia diwahyukan oleh Allah kepada Rasul dan Nabi pilihan-Nya, Muhammad
saw. melalui malaikat Jibril.
66
الر آتاب أحكمت ءاياته ثم فصلت من لدن حكيم خبيرAlif Lâm Râ, (inilah) suatu kitab yang secara terperinci yang diturunkan
dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. (QS.Hûd/11:1)
وإنك لتلقى القرءان من لدن حكيم عليم Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi al-Qur’an dari sisi (Allah)
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS.al-Naml/27:6)
مبشرا ونذيراوبالحق أنزلناه وبالحق نزل وما أرسلناك إالDan Kami turunkan (al-Qur’an itu dengan sebenar-benarnya dan al-
Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (QS.al-Isrâ/17:105)
ئكة بالروح من أمره على من يشاء من عباده أن ينزل المال أنا فاتقونه إال إلأنذروا أنه ال
Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku". (QS.al-Nahl/16:2)
وآذلك أوحينا إليك روحا من أمرنا ما آنت تدري ما الكتاب يمان ولكن جعلناه نورا نهدي به من نشاء من عبادنا ال اوال
ى صراط مستقيموإنك لتهدي إلDan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan
perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS.al-Syûrâ/42:52)
al-Qur’an adalah ruh Robbani yang dengannya, akal dan hati menjadi hidup.
Ia juga merupakan dustur Ilahi yang mengatur kehidupan individu dan bangsa-
bangsa.
67
Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan kejadian-
kejadian yang berlangsung, sehingga ia lebih melekat dalam hati, lebih
dipahami oleh akal manusia, menuntaskan masalah-masalah dengan ayat-ayat
Allah, memberikan jawaban atas pertanyaan. Juga untuk menguatkan hati
Rasulullah saw. dalam menghadapi cobaan dan kesulitan yang dialami oleh
beliau dan para sahabat. Allah swt. berfirman:
نزل عليه القرءان جملة واحدة آذلك لنثبت الوقال الذين آفروا لو جئناك بالحق يأتونك بمثل إالوال به فؤادك ورتلناه ترتيال
وأحسن تفسيرا Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Qur’an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS.al-Furqân/25:32-33)
Sebagai kitab kebenaran yang menjadi pedoman hidup, ia diperuntukkan
bagi seluruh manusia. Allah menegaskan:
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرءان هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن آان
ر وال بكم اليسمريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد اهللا على ما هداآم اهللايريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا
ولعلكم تشكرون(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS.al-Baqarah/2:185)
68
تبارك الذي نزل الفرقان على عبده ليكون للعالمين نذيراMaha Suci Allah yang telah menurunkan menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam. (QS.al-Furqân/25:1)
ذآر للعالمينالإن هو إ al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. (QS.al-
Takwîr/81:27)
al-Qur’an bukanlah suatu kitab yang hanya ditujukan bagi suatu bangsa,
sementara yang lainnya tidak, tidak juga hanya untuk satu warna kulit
manusia, atau satu wilayah tertentu, dan tidak juga hanya untuk satu jenis
manusia. al-Qur’an tidak juga diperuntukkan hanya bagi kalangan rasionalis,
sementara kalangan intuitif dan esoteris tidak disentuhnya, atau sebaliknya.
al-Qur’an tidak hanya untuk kalangan rohaniawan, sementara kalangan
materialis dibiarkan, dan begitu sebaliknya. al-Qur’an tidak hanya
mementingkan kalangan individualis, sementara kalangan sosialis diabaikan.
al-Qur’an tidak hanya bagi kalangan idealis, sementara kalangan realis tidak
dihiraukan. al-Qur’an tidak hanya diberikan kepada kalangan penguasa,
sementara rakyat banyak tidak dipedulikan. al-Qur’an tidak hanya untuk para
konglomerat yang bergelimang dengan harta, sementara fakir miskin tidak
disinggung. al-Qur’an tidak sekedar mementingkan kalangan pria, sedang
para wanita dilepaskan. al-Qur’an adalah kitab bagi seluruh golongan
manusia dan tuntunan bagi semua orang dari Allah Robbul ‘aalamiin.69
al-Qur’an adalah cahaya yang Allah anugerahkan kepada umat manusia.
Cahayanya dapat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Mereka
yang berilmu pengetahuan, boleh jadi akan mengakui kebenaran al-Qur’an
69 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Quran, Penerjemah Abdul hayyi al-Kattani
(Jakarta: Gema Insani Press1999), Cet. I, h. 98-99
69
dan beriman kepadanya karena ilmu yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana
yang difirmankan oleh Allah dalam surat al-Hajj ayat 54:
وليعلم الذين أوتوا العلم أنه الحق من ربك فيؤمنوا به فتخبت لهاد الذين ءامنوا إلى صراط مستقيماهللاله قلوبهم وإن
dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al- Qur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.
Allah juga menggambarkan tentang perilaku dan sikap ahli kitab terhadap
al-Qur’an dan terhadap Nabi Muhammad saw. Memang banyak di antara
mereka yang dikategorikan sebagai orang-orang fasik sebagaimana yang
disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 59 berikut ini:
وما أنزل أن ءامنا باهللا ياأهل الكتاب هل تنقمون منا إالقل إلينا وما أنزل من قبل وأن أآثرآم فاسقون
Katakanlah: "Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?"
Namun, Dr.M.Quraish Shihab menjelaskan bahwa redaksi ayat di atas
tidak meniscayakan bahwa semua ahli kitab memiliki karakteristik yang sama.
70 Lihat pula beberapa ayat berikut ini:
ود آثير من أهل الكتاب لو يردونكم من بعد إيمانكم آفارا حسدا من عند أنفسهم من بعد ما تبين لهم الحق فاعفوا
دير بأمره إن الله على آل شيء قواصفحوا حتى يأتي اهللاSebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah
70 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), Cet. I, h. 354
70
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.al-Baqarah/2:109)
ودت طائفة من أهل الكتاب لو يضلونكم وما يضلون إال أنفسهم وما يشعرون
Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya. (QS. Ali Imran:69)
ياأيها الذين ءامنوا إن تطيعوا فريقا من الذين أوتوا الكتاب إيمانكم آافرينيردوآم بعد
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (QS. Ali ‘Imrân/3:100)
من إن تأمنه بقنطار يؤده إليك ومنهم من إن ومن أهل الكتاب ما دمت عليه قائما ذلك بأنهم يؤده إليك إالتأمنه بدينار ال
ذب الكميين سبيل ويقولون على اهللااالقالوا ليس علينا في وهم يعلمون
Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang umi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (QS.Ali Imrân/3:75)
ءاناء مة قائمة يتلون ءايات اهللاليسوا سواء من أهل الكتاب أ الليل وهم يسجدون
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (QS.Ali Imrân/3:113)
في قرى محصنة أو من وراء جدر يقاتلونكم جميعا إالالبأسهم بينهم شديد تحسبهم جميعا وقلوبهم شتى ذلك بأنهم قوم
يعقلونال
71
Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti. (QS.al-Hasyr/59:14)
Beberapa ayat di atas memberikan isyarat dan memberikan petunjuk
kepada umat Islam bahwa kita tidak boleh menggeneralkan ahli kitab. Kita
tidak boleh menganggap bahwa semua ahli kitab salah dan fasik. Bahkan
dalam surat Ali Imran ayat 199 al-Qur’an menegaskan bahwa sebagian ahli
kitab beriman kepada Allah dan al-Qur’an.
وما أنزل إليكم وما أنزل وإن من أهل الكتاب لمن يؤمن باهللا أولئك لهم ثمنا قليال يشترون بآيات اهللاال إليهم خاشعين هللا
سريع الحسابأجرهم عند ربهم إن اهللاDan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada
Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (QS.Ali ‘Imrân/3:199)
Tidak sedikit di antara ahli kitab yang secara tulus ikhlas mengakui
kebenaran agama Islam dan memeluknya. Salah seorang yang populer di
antara mereka adalah ‘Abdullâh bin Salâm (w. 43 H.). al-Qurtûbî (w. 567 H.)
dalam tafsirnya meriwayatkan, bahwa ketika turun firman Allah:
الذين ءاتيناهم الكتاب يعرفونه آما يعرفون أبناءهم وإن فريقا منهم ليكتمون الحق وهم يعلمون
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. al-Baqarah/2:146)
72
Sayyidina ‘Umar r.a. (w. 23 H.) bertanya kepada Abdullâh bin Salâm:
“Apakah engkau mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal
anakmu?” ‘Abdullâh menjawab: “Ya, bahkan lebih. (Malaikat) yang
terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya di bumi,
menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia; (sedang anakku) aku tidak tahu
apa yang telah dilakukan ibunya.”71
Sebagai Zat yang telah menurunkan al-Qur’an dan pemegang segala
kekuasaan, Allah berhak untuk memberikan hidayah-Nya kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya (QS.39:23), termasuk ahli kitab. Itulah sebabnya, ahli
kitab yang tidak bersikap apriori kepada Nabi Muhammad saw. dan al-Qur’an,
akan mengakui kebenaran yang dikandung oleh kitab suci tersebut. Bahkan,
ketika sebagian rangkaian ayat-ayat kitab suci itu dibacakan, berlinanglah air
mata mereka. Dalam surat al-Maidah ayat 83 Allah menyatakan:
وإذا سمعوا ما أنزل إلى الرسول ترى أعينهم تفيض من الدمع مما عرفوا من الحق يقولون ربنا ءامنا فاآتبنا مع
الشاهدينDan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul
(Muhammad) kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw.) (QS.al-Maidah/5:83)
Ayat di atas menjelaskan ayat sebelumnya (82) yang menyatakan bahwa
orang Nasrani di zaman Rasulullah saw. lebih dekat kepada orang-orang
mukmin daripada orang-orang Yahudi dan musyrik. Di antara mereka
terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang masih bersih hatinya sehingga
71 Ibid, h. 358
73
ketika sebagian ayat al-Qur’an dilantunkan kepada mereka, merekapun
menangis karena mengetahui dan menyadari bahwa itu adalah haq (benar).
Menurut Ibn ‘Abbâs r.a. (w. 68 H.), ayat ini turun berkenaan dengan
Najasyi dan para koleganya ketika Ja’far bin Abî Tâlib (w. 8 H.) membacakan
kepada mereka ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.),
Rasulullah mengkhawatirkan para sahabatnya yang banyak menerima
gangguan dari orang-orang musyrik di Mekah. Beliaupun mengutus Ja’far bin
Abî Tâlib dan Ibn Mas’ûd (w. 32 H.)bersama rombongan untuk datang kepada
Raja Najasyi. Beliau bersabda: “Sesungguhnya ia (Najasyi) adalah seorang
raja yang baik (sâlih) yang tidak pernah berbuat zalim terhadap seseorang.
Pergilah kepadanya sehingga Allah akan memberikan kelapangan kepada
kaum muslimin.” Ketika kaum muslimin ini tiba di Habsyah, Najasyi sangat
menghormatinya. Najasyi bertanya kepada mereka: “Apakah kalian
mengetahui sesuatu yang diturunkan kepada kalian?” Mereka menjawab:
“Ya.” Selanjutnya beliau memerintahkan mereka untuk membacakan ayat-
ayat al-Qur’an, sementara di sekitarnya hadir beberapa pendeta dan rahib.
Setiap kali membacakan ayat al-Qur’an, berlinanglah air mata mereka karena
mereka mengetahui bahwa itu adalah benar.72
Ada pula riwayat yang diterima oleh Sa’îd bin Musayyab (w.193 H.), Abû
Bakar bin Abdurrahmân, Hârits bin Hisyâm (w. 15 H.), dan ‘Urwah bin Zubair
(w. 94 H.). Mereka semua mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah mengutus
‘Amr bin Umayyah al-Damrî (w. 59 H.) membawa sepucuk surat kepada Najasyi.
Ketika telah diterima oleh Najasyi, iapun membaca surat Rasulullah itu. Isi surat
Rasulullah itu meminta kepada Najasyi agar berkenan memberikan perlindungan
72 al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h.113
74
kepada sahabat-sahabat beliau yang datang ke negeri itu yang dipimpin oleh
Ja’far bin Abî Tâlib (w. 8 H.) Setelah itu, Raja Najasyi meminta agar semua
orang-orang muhajirin itu dipanggil, termasuk pimpinannya (Ja’far). Kemudian,
baginda meminta agar para pendeta dan rahib juga turut hadir dalam pertemuan
itu. Ketika telah berkumpul, Baginda memerintahkan Ja’far agar membaca
sebagian ayat-ayat al-Qur’an di hadapan para pendeta dan rahib. Ja’farpun
membacakan surat Maryam. Mendengar surat Maryam yang dibacakan,
berimanlah mereka semua sambil mencucurkan air mata.73
Dalam riwayat lain yang mirip dengan riwayat di atas yang diterima dari
Qatâdah (w.117 H.) disebutkan, bahwa orang-orang Quraisy tidak senang
melihat kaum muslimin meminta perlindungan ke negeri Habsyah di bawah
kekuasaan raja Najasyi. Merekapun mengutus dua orang utusan, yaitu ‘Amr
bin ‘As (w. 43 H.) dan ‘Ummârah bin Wâlid untuk menghadap raja Najasyi.
Utusan itu akan meminta kepada Baginda agar menyerahkan kaum Muhajirin
kepada mereka untuk dibawa pulang ke Mekah. Akan tetapi, Najasyi tidak
mau menuruti kedua utusan itu sebelum Baginda mendengar sendiri dari kaum
muslimin, apa sebenarnya pendirian mereka terhadap Nabi baru itu. Ketika
kaum muslimin dan kedua utusan Quraisy itu telah berkumpul di satu majlis,
Najasyipun bertanya tentang Nabi baru itu. Ja’far bin Abî Tâlib (w.8 H.),
sebagai ketua rombongan, menjawab, “Memang, kepada kami telah diutus
seorang Nabi, sebagaimana yang juga pernah diutus kepada umat-umat
sebelum kami. Dia telah menyeru kepada kami untuk beriman kepada Allah
Yang Mahatunggal. Dia telah menyuruh kami berbuat ma’ruf. Dia telah
73 Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu 7, hal. 6; al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, , Juz 3, h. 384;
Fakhruddîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1985), Cet.III, Juz 12, h. 72
75
melarang kami berbuat kemunkaran. Dia telah memerintahkan kami supaya
menghubungkan kasih sayang dan jangan memutuskannya. Dia telah
memerintahkan kami memenuhi janji dan tidak mengingkarinya. Tetapi
sayang sekali, kaum kami telah benci kepada kami lantaran itu sehingga kami
diusir karena beriman kepadanya. Maka, kamipun memohon perlindungan
kepada engkau. Itulah sebabnya, kami datang ke sini.”
Mendengar itu, Najasyi terharu dan serta merta menyambutnya dengan
baik. ‘Amr bin ‘As (w. 43 H.) tidak kehabisan akal. Iapun berkata dengan
nada hasutan, “Mereka berkata tentang Isâ, berbeda sekali dengan yang kamu
percayai.” Najasyipun bertanya kepada kaum Muhajirin. Mereka menjawab,
“Kami bersaksi bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul Allah, kalimat Allah,
dan ruh-Nya. Ia dilahirkan oleh seorang perawan yang suci.” Najasyi
menyambut: “Memang begitu, kalian tidak salah.” Lalu Baginda berkata
kepada ‘Amr dan kawannya: “Kalau kalian bukan tamuku, niscaya telah aku
hukum kalian.”
Karena gagal, kedua utusan itu kembali ke Mekah dengan tangan hampa.
Sementara Najasyi tertarik kepada Islam dan memeluknya. Ketika Ja’far akan
kembali ke Madinah, karena Rasul juga telah hijrah ke Madinah, Najasyi
Ashamah itu mengutus pula beberapa pendeta dan rahib dalam rangka
mempererat silaturrahim dengan Rasulullah saw. Menurut riwayat Ibn Jarîr
(w.310 H.) dan Ibn Abî Hâtim (w.328 H.) yang diterima dari al-Suddî (w.127
H.), jumlah utusan yang datang bersama Ja’far adalah dua belas orang, tujuh
pendeta dan lima rahib. Ketika mereka telah hadir di majlis Rasulullah,
76
dibacakanlah sebagian ayat al-Qur’an. Mereka terharu dan menangis
mendengarkannya, dan pada akhirnya memeluk Islam.74
Riwayat-riwayat di atas, menandaskan bahwa Baginda Najasyi ataupun
para pendeta dan rahib, telah menunjukkan sikap obyektif dalam menyikapi
ayat-ayat al-Qur’an. Keterpesonaan kalbu mereka, tak dapat dipungkiri. Apa
yang diinformasikan al-Qur’an, memang sesuai dengan kabar gembira yang
mereka nanti-nanti tentang akan diutusnya Muhammad saw. Dengan linangan
air mata tanda ketulusan, mereka beriman kepada al-Qur’an dan memeluk
agama Islam, seraya berkata: “Robbanaa aamannaa faktubnaa ma’asy
syaahidiin” (Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama
orang-orang yang menjadi saksi {atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Nabi
Muhammad saw.}).75 Menurut al-Syaikh ‘Ali al-Sâbûnî, tangisan yang terjadi
pada diri mereka disebabkan rasa takut terhadap Allah karena kehalusan kalbu
mereka serta pengaruh positif dari ayat-ayat al-Qur’an yang membekas dalam
hati mereka. Tangisan seperti inilah tangisan positif yang dicintai dan diridhai
oleh Allah dan Rasul-Nya. Tangisan seperti inilah yang membuat neraka
enggan untuk menyentuhnya apalagi membakarnya.
Ada pula rangkaian ayat lain yang menggambarkan bahwa di antara ahli
kitab ada yang mengakui kebenaran al-Qur’an.
مبشرا ونذيراوبالحق أنزلناه وبالحق نزل وما أرسلناك إالوقرءانا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث ونزلناه
أوتوا العلم من قبله تؤمنوا إن الذين قل ءامنوا به أو التنزيالويقولون سبحان ربنا إن آان جداذقان سإذا يتلى عليهم يخرون لأل
ذقان يبكون ويزيدهم خشوعاويخرون لألوعد ربنا لمفعوال
74 Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu 7, h. 7 75 Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 7, h. 9
77
Dan Kami turunkan (al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan al-Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. (QS.al-Isrâ/17:105-109)
Ayat di atas juga menjelaskan bahwa ahli kitab yang berpengetahuan dan
shalih yang berpegang teguh kepada kitab mereka, tidak mengganti dan
mengubah-ubahnya, ketika kepada mereka dibacakan ayat-ayat al-Qur’an,
maka hati mereka akan bergetar. Mereka segera sujud di atas bumi
meletakkan wajah mereka, sebagai wujud pengagungan kepada Allah dan
sebagai tanda syukur atas anugerah nikmat-Nya. Merekapun tidak mampu
menahan deraian air mata dari bola matanya. Ayat-ayat al-Qur’an yang
dibacakan itu telah menambah rasa takut (khasy-yah) dan rendah diri
(tawâ du’) mereka di hadapan Allah.76
Menurut Mujâhid, di antara ahli kitab yang berperilaku seperti ini adalah
Zaid bin ‘Amr bin Naufal dan Waraqah bin Naufal dari Mekah, serta
‘Abdullâh bin Salâm (w. 43 H.) dari Madinah. Mereka inilah orang-orang
yang pandai dan bersih hatinya sehingga mau beriman kepada al-Qur’an.
Zaid bin Naufal adalah seorang yang banyak melakukan pengembaraan,
terutama ke negeri Syam, dan banyak bertanya. Meski ia belum memeluk
suatu agama, namun ia mengakui dan meyakini bahwa Allah itu Esa dan ia
sangat membenci penyembahan berhala.
76 ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 2, h. 179; Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm,
Juz 3, h. 68; Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 15, h. 185
78
Waraqah bin Naufalpun telah mempelajari agama Nasrani sehingga ia
mengetahui isi Injil. Dia telah mendapatkan intisari ajaran tauhid Nabi Isâ a.s.
Oleh karena itu, ketika Siti Khadîjah (keponakannya) membawa Muhammad
saw. menemuinya setelah mendapatkan wahyu melalui malaikat Jibril, serta
merta ia mengatakan bahwa yang datang itu adalah namus, malaikat Jibril,
atau Ruh Kudus, yang juga pernah datang kepada Musa dan Isa. Dia beriman
kepada Muhammad saw. Dia juga mengatakan, bahwa kelak Muhammad saw.
akan dimusuhi dan diusir dari negerinya. Andaikata ketika itu, dia masih ada,
tentu ia akan membela Muhammad saw. Demikian tekad Waraqah bin Naufal.
Sedangkan ‘Abdullâh bin Salâm (w. 43 H.) adalah seorang pendeta
Yahudi Madinah yang berwawasan dan berpikiran luas. Ketika Rasulullah
saw. mulai hijrah ke Madinah, ia menyelinap di antara kerumunan orang untuk
memperhatikan dan mendengarkan pidato Rasulullah saw. yang pertama.
Pidatonya tidak panjang dan tidak banyak bunga. Dia sungguh tertarik dan
bersaksi “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Begitulah sikap orang-orang salih yang berilmu. Mereka dengar dan
mereka sujud, sambil berkata, “Mahasuci Tuhan kami. Sesungguhnya janji
Tuhan kami pasti dipenuhi.”(ayat 108)
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili, sujud yang mereka lakukan ini, secara tidak
langsung merupakan sindiran kepada orang-orang Jahiliyah dan orang-orang
musyrik. Meskipun mereka (Orang-orang Jahiliyah dan musyrikin) tidak
beriman kepada al-Qur’an, akan tetapi orang-orang pilihan dan para
cendikiawan ahli kitab yang membaca kitab-kitab terdahulu, mengetahui
tentang wahyu dan syari’at, mereka beriman dan membenarkannya. Mereka
79
yakin bahwa Muhammad saw. adalah nabi yang dijanjikan dalam kitab-kitab
yang mereka baca. Mereka menyungkurkan wajah mereka, bersujud,
menangis, dalam keadaan khusyu’ dan rendah diri karena takut kepada Allah,
serta karena beriman dan membenarkan kitab dan Rasul-Nya.77
Tangisan yang mereka tunjukan adalah tangisan terpuji yang disukai Allah
dan rasul-Nya. dalam salah satu sabdanya, Rasulullah saw. bersabda:
يقول عينان ال ρ ابن عباس قال سمعت رسول اهللاعن وعين باتت تحرس في تمسهما النار عين بكت من خشية اهللا
78سبيل اهللا
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka, yaitu: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang begadang menjaga (kemanan kaum muslimin) di jalan allah.” (HR al-Tirmidzî).
4. Tangisan Orang yang Berhalangan Berjihad
Dalam pandangan Islam, jihad adalah perbuatan yang amat mulia. Oleh
karena itu, jihad menjadi sebuah keniscayaan dalam hidup seorang mukmin.
Tanpanya, keimanan seseorang patut untuk dipertanyakan.
Seorang pakar al-Qur’an, al-Râghib al-Isfahânî (w. 502 H.), dalam kitab
“Mu’jam Mufradât Alfâz al-Qur’ân” menegaskan bahwa jihad dan mujahadah
adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Jihad terdiri
dari tiga macam: (1) Menghadapi musuh yang nyata, (2) Menghadapi setan,
77Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 15, hal.186 78 Ibid; Nilai Hadis ini hasan garib. Lihat al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-
Jihâd Bâb Mâ Jâ fî Fadl al-Hars fî Sabîl al-Lâh, no. hadis 1690, h. 96
80
(3) Menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Ketiga makna
jihad ini, menurut Al-Isfahani (w. 502 H.), dicakup oleh ayat berikut ini:79
أولئك إن الذين ءامنوا والذين هاجروا وجاهدوا في سبيل اهللا غفور رحيم واهللايرجون رحمة اهللا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah/2:218)
حق جهاده هو اجتباآم وما جعل عليكم في وجاهدوا في اهللابل الدين من حرج ملة أبيكم إبراهيم هو سماآم المسلمين من ق
وفي هذا ليكون الرسول شهيدا عليكم وتكونوا شهداء على هو ة واعتصموا باهللاوة وءاتوا الزآوالناس فأقيموا الصل
آم فنعم المولى ونعم النصيرموالDan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-
benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (QS.al-Hajj/22:78)
Dalam kehidupan seorang mukmin, jihad tidak dapat dipisahkan. Seorang
mukmin akan senantiasa berusaha untuk berjihad dengan harta dan jiwanya
sekuat kemampuannya. Allah menegaskan:
الرسول والذين ءامنوا معه جاهدوا بأموالهم وأنفسهم لكن لهم أعد اهللاوأولئك لهم الخيرات وأولئك هم المفلحون
نهار خالدين فيها ذلك الفوز جنات تجري من تحتها األ العظيم
Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung. Allah telah
79 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h.506-507
81
menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS.al-Taubah/9:88-89)
Sebagai Zat Yang Mahabijaksana, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal
perbuatan hamba-Nya yang ikhlas, semata-mata mencari keridhaan-Nya. Dia
akan mencintai dan melindungi hamba yang berjihad dengan hati bersih dan
niat yang tulus. Perhatikanlah firman Allah berikut ini:
يحب الذين يقاتلون في سبيله صفا آأنهم بنيان إن اهللا مرصوص
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.(QS.al-Saff/61:4)
Kecintaan merupakan tingkatan tertinggi dari ridha-Nya. Semua kaum
mukmin mendapatkan predikat ini. Semua berlomba-lomba untuk
mendapatkan cinta dari-Nya, sehingga hamba yang takwa senantiasa mencari
jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya demi mendapatkan kasih sayang
dan cinta dari-Nya. Hamba yang ikhlas mengadakan transaksi yang mulia ini
kepada Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 111
berikut ini:
اشترى من المؤمنين أنفسهم وأموالهم بأن لهم الجنة إن اهللاوراة فيقتلون ويقتلون وعدا عليه حقا في التيقاتلون في سبيل اهللا
فاستبشروا ببيعكم نجيل والقرءان ومن أوفى بعهده من اهللاإلوا الذي بايعتم به وذلك هو الفوز العظيم
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
82
Dalam berbagai hadisnya, Rasulullah saw. acapkali memberikan
pernyataan bahwa jihad adalah suatu aktivitas mulia demi meraih predikat
mulia dalam kehidupan seorang mukmin. Itulah sebabnya, beliau juga
memotivasi umatnya untuk merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
قلت ρ اهللا عنه سألت رسول اهللا مسعود رضي بناهللا عبدعن ميقاتها قلت ثم ة على أي العمل أفضل قال الصاليا رسول اهللا
أي قال ثم بر الوالدين قلت ثم أي قال الجهاد في سبيل اهللا 80ولو استزدته لزادني ρفسكت عن رسول الله
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah saw.: “Perbuatan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Saya bertanya (lagi): “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua (Birrul walidain).” Saya bertanya (lagi): “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Berjihad di jalan Allah.” (HR.al-Bukhârî)
عن أبي هريرة رضي اهللا عنه قال جاء رجل إلى رسول اهللا ρ فقال دلني على عمل يعدل الجهاد قال ال أجده قال هل
تستطيع إذا خرج المجاهد أن تدخل مسجدك فتقوم وال تفتر 81 وتصوم وال تفطر قال ومن يستطيع
Dari Abû Hurairah ra. Ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. kemudian berkata: “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang (nilainya) seimbang dengan jihad!” Beliau menjawab: “Aku tidak menemukannya.” Orang itu berkata: “Dapatkah seorang mujahid yang keluar rumah menuju masjid, kemudian ia beribadah terus-menerus, berpuasa terus tanpa berbuka?” Beliau berkata: “Siapakah yang mampu melakukan hal itu?” (HR.al-Bukhârî)
غدوة أو روحة في ρ اهللا رسول قال قال ةهرير أبي عن 82سبيل اهللا خير من الدنيا وما فيها
80 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 3, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl al-Jihâd wa al-Siyar, h. 200 81 Ibid 82 al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl Ghadwah, no. hadis 3115, h. 506; Ibn
Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl al-Ghadwah, hal.921
83
Dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Pergi berjuang di
jalan Allah lebih baik daripada dunia dengan segala isinya.” (HR. al-Nasâ’î dan
Ibn Mâjah)
Melalui penjelasan Allah dan Rasul-Nya di atas, seorang mukmin semakin
paham bahwa jihad betul-betul bagian dari amal shalih yang utama menuju
kemuliaan hidup. Para sahabat berlomba-lomba untuk membuktikan cinta
mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dengan berjihad di jalan Allah, dengan
harta dan jiwa mereka. Mereka hanya mempunyai dua pilihan, hidup sebagai
orang mulia atau mati dalam keadaan syahid (‘isy karîman aw mut syahîdan).
Para sahabat berkompetisi secara sehat untuk membela agama Islam melalui
jihad. Apapun yang mereka miliki, itulah yang mereka serahkan dan kerahkan
demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin (izzah al-Islâm wa al-muslimîn).
Ada kebahagiaan yang mereka rasakan ketika mampu bersama-sama
Rasul maju berjihad di medan juang, sesuatu yang amat kontradiktif yang
terjadi dengan orang-orang munafik. Para sahabat yang setia akan merasakan
kegundahan dan kesedihan ketika mereka tidak dapat ikut berpartisipasi
menegakkan agama melalui aktivitas mulia tersebut. Inilah yang Allah
gambarkan dalam surat al-Taubah ayat 91-92:
على الذين ال على المرضى والليس على الضعفاء وال ورسوله ما على هللايجدون ما ينفقون حرج إذا نصحوا
على الذين إذا ما وال غفور رحيمالمحسنين من سبيل واهللا أجد ما أحملكم عليه تولوا وأعينهم تفيض أتوك لتحملهم قلت ال يجدوا ما ينفقونمن الدمع حزنا أال
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan
84
Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.
Menurut riwayat Ibn Abî Hâtim (w, 328 H.) dari Zaid bin Tsâbit (w. 45
H.) disebutkan bahwa ketika Zaid bin Tsâbit sedang menulis surat Bara’ah
sampai ayat perintah berperang, ia meletakkan penanya di telinga. Rasulullah
saw. menunggu wahyu kelanjutannya. Datanglah seorang yang buta dan
bertanya: “Bagaimana dengan saya yang buta ini, ya Rasulullah?” Maka,
turunlah ayat 91 di atas.83
Ayat 91 di atas memberikan dispensasi kepada orang-orang yang lemah,
sakit, atau tidak memiliki apa-apa untuk tidak ikut berjihad. Mereka tidak ikut
berjihad bukan karena alasan yang dibuat-buat, tetapi karena itulah kondisi
sesungguhnya yang ada dalam diri mereka. Akan tetapi, keinginan yang kuat
dalam jiwa mereka untuk berjihad di jalan Allah menimbulkan kesedihan dan
tangisan tersendiri, ketika mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk
melakukannya. Itulah yang digambarkan pada ayat berikutnya (92) “…lalu
mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan,
lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan…”
Imam al-Wâhidî (w. 427 H.) menyebutkan dalam kitab “Asbâb al-Nuzûl”
bahwa ayat 92 ini turun berkenaan dengan para sahabat yang berlinang air
mata mereka karena tidak bisa ikut berjihad. Jumlah mereka ada tujuh, yaitu:
Ma’qal bin Yasâr (w.60 H.), Sakhr bin Khunais, ‘Abdullâh bin Ka’b al-
83 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, h. 381; Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr., Juz
10, h. 348
85
Ansâri (w. 30 H.), Salim bin ‘Umair, Tsa’labah bin Ghanîmah, dan ‘Abdullâh
bin Mughaffal (w. 60 H.). Ketika mereka datang kepada Rasulullah dan
berkata: “Ya Nabiyyallah, sesungguhnya Allah azza wajalla menganjurkan
kami untuk keluar bersamamu. Bawalah kami untuk berperang bersamamu!”
Nabi menjawab: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu"
Mendengar ucapan Nabi ini, merekapun kembali sambil menangis berlinang
air mata. Sedangkan menurut Mujahid (w.101 H.), ayat ini turun kepada Bani
Muqrin, yaitu: Ma’qil, Suwaid, dan Nu’mân bin Muqrin.84 Pendapat Mujahid
(w. 101 H.) inilah yang kemudian menjadi pendapat mayoritas ulama.
Demikian yang dikatakan oleh Dr. Wahbah Zuhaili.85
Dalam riwayat lain dari Ibn ‘Abbâs (w.68 H.) dikemukakan, bahwa ketika
Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang untuk berangkat jihad
bersamanya, datanglah sekelompok sahabat, di antaranya Abdullah bin
Mughaffal bin Muqrin al-Muzanni (w.60 H.). Lalu mereka berkata: “Ya
Rasulullah, bawalah kami (untuk berjihad)!” Nabi menjawab: “Demi Allah,
saya tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian.” Merekapun
akhirnya kembali sambil menangis menyesali diri mereka karena tidak
memiliki tunggangan dan bekal untuk berperang. Maka, Allahpun
menurunkan: Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka
datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu
berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka
84 Dalam riwayat yang disampaikan Al-Wahidi kurang satu. Lihat al-Wâhidî, Asbâb al-
Nuzûl, h. 144; Sedangkan dalam al-Tafsîr al-Munîr disebutkan bahwa orang-orang tersebut adalah: Sâlim bin ‘Umair, ‘Ali bin Zaid, Abû Lailâ Abdurrahmân bin Ka’ab, ‘Amr bin al-Hammâm, ‘Abdullâh bin Mughaffal al-Muzannî (atau ‘Abdullâh bin ‘Amr al-Muzannî), Harma bin ‘Abdullâh, dan ‘Iyad bin Sariyah al-Fazzârî. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, Juz 10, h. 351
85 Ibid., Juz 10, h. 349
86
kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan,
lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS.al-
Taubah/9:92)86
Itulah tangisan kesedihan yang telah ditunjukkan oleh para sahabat yang
bersih hatinya, yang selalu ingin menunjukkan cinta mereka kepada Islam.
Tangisan seperti inilah tangisan yang dibenarkan dan mendapatkan ridha dari
Allah. Tangisan mereka adalah tangisan murni dan karenanya bernilai ibadah,
bukan tangisan pembual yang diada-adakan agar terkesan memiliki niat yang
baik.
Dengan turunnya ayat di atas, maka kewajiban berjihad bagi orang yang
berhalangan dengan uzur yang dibenarkan menjadi gugur. Tiga uzur yang
dibenarkan sebagaimana yang tergambar dari ayat 91-92 di atas adalah: karena
lemah, karena sakit, dan karena fakir. Bagi orang yang memiliki salah satu di
antara tiga uzur di atas, maka mereka tidak berhak mendapat celaan dan dosa
karena tidak berangkat berperang.
5. Tangisan Para Nabi dan Keturunannya saat Mendengar Ayat-ayat
Allah
Satu di antara cara al-Qur’an menyampaikan sebuah kebenaran adalah
melalui kisah atau cerita nabi, rasul, dan umat terdahulu. Kisah-kisah itu
banyak mengandung ibrah atau pelajaran, baik bagi Nabi Muhammad ataupun
bagi umatnya. Menurut Syaikh Mannâ’ al-Qattân, setidaknya ada 6 manfaat
kisah yang disampaikan Allah dalam al-Qur’an, yaitu:
86 Ibid; Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, h. 381; K.H.Q. Shaleh, Asbabun Nuzul,
(Bandung: Penerbit cv, Diponegoro, 1984), h. 258
87
a. Menjelaskan dasar atau prinsip dakwah Islam.
b. Memantapkan hati Nabi Muhammad saw. dan umatnya dalam beragama.
c. Membenarkan eksistensi para nabi terdahulu, mengingat mereka, dan
mengabadikan peninggalan-peninggalannya.
d. Menampakkan kebenaran dakwah Nabi Muhammad saw.
e. Menundukkan ahli kitab tentang kebenaran dan hidayah yang mereka
sembunyikan melalui hujjah yang jelas.
f. Kisah merupakan salah satu cara penyampaian yang enak didengar telinga
dan sangat berpengaruh bagi jiwa.87
Dalam surat Maryam, Allah banyak menceritakan kisah orang-orang
shalih terdahulu, seperti nabi Zakariyyâ a.s., nabi Yahyâ a.s., Maryam, nabi
Isâ a.s., nabi Ibrâhîm a.s., dan nabi Mûsâ a.s. Allah memerintahkan kepada
kekasih-Nya, Nabi Muhammad saw., untuk mengingat nabi-nabi yang utama
itu yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Setelah kisah-kisah itu
disampaikan, maka pada ayat 58 dari surat Maryam, Allah berfirman:
عليهم من النبيين من ذرية ءادم وممن أولئك الذين أنعم اهللاحملنا مع نوح ومن ذرية إبراهيم وإسرائيل وممن هدينا
ءايات الرحمن خروا سجدا وبكياواجتبينا إذا تتلى عليهمMereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu
para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS.Maryam/19:58)
Menurut Ibn Katsîr (w. 774 H.), bahwa yang dimaksud dengan para nabi
itu tidak sebatas yang disebutkan dalam surat Maryam saja, tetapi mencakup
87 Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Riyâd: Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîts, 1973), h. 307
88
seluruh nabi. Menurut al-Suddî (w. 127 H.) dan Ibn Jarîr (w. 310 H.), yang
dimaksud dari keturunan Adam adalah Idrîs, dari keturunan pengikut bahtera
Nûh adalah Ibrâhîm, dari keturunan Ibrâhîm adalah Ishâq, Ya’qûb, dan
Ismâ’îl, dan dari keturunan Israil (Daud) adalah Mûsâ, Hârûn, Zakariyyâ,
Yahyâ, dan Isâ bin Maryam. Ibn Jarîr menegaskan: “Oleh karena itu,
keturunan mereka dibedakan meski semuanya kembali kepada Adam. Sebab,
di antara mereka terdapat yang bukan dari keturunan pengikut bahtera Nûh,
yaitu Idrîs. Ia adalah kakek dari nabi Nûh.” Menurut Ibn Katsîr (w.774 H.),
inilah pendapat yang paling jelas. Idris berada dalam garis keturunan nabi
Nuh. Konon dikatakan, ia termasuk nabi dari kalangan bani Israil.88
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah. Mereka
adalah manusia, bukan jenis makhluk lainnya. Tetapi mereka terpilih sebagai
penyampai risalah Ilahi yang suci kepada umat manusia di bumi. Merekalah
orang-orang yang telah mendapatkan hidayah (petunjuk) hakiki dari Allah,
yaitu Islam. Mereka menjadi manusia terpilih, karena hidup mereka dihiasi
dengan iman dan takwa. Itulah beberapa karakteristik mulia yang dimiliki oleh
manusia-manusia mulia. Dan ada satu lagi karakteristik positif mereka yang
mendapat pujian dari Allah, yaitu “Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang
Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud
dan menangis.”
Mereka semua adalah orang-orang yang telah diberi nikmat, diberi
petunjuk, dan merupakan manusia pilihan di sisi Allah. Namun, ketinggian
dan kemuliaan martabat mereka di sisi Allah tidak membuat mereka menjadi
manusia sombong dan angkuh, terlebih di hadapan Sang Penguasa. Mereka
88 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 3, h.126-127
89
hanyalah ‘ibâdullâh, hamba-hamba Allah. Bila malaikat Jibril datang
menyampaikan wahyu kepada mereka, mereka menyungkur, berlutut, dan
bersujud merendahkan diri sambil menangis. Hal itu mereka lakukan karena
rasa takut (khasy-yah) mereka kepada Allah, sedangkan mereka sendiri
memiliki martabat yang luhur, jiwa yang suci, serta kedekatan kepada Yang
Mahakuasa. Ayat ini sekaligus menjadi dalil bahwa ayat-ayat Allah Yang
Maha Rahman memiliki pengaruh yang dapat membekas dalam kalbu89
Sikap seperti itulah yang juga harus ditunjukkan oleh seluruh manusia
sebagai hamba-Nya. Tidak ada alasan dan dalil apapun bagi seseorang untuk
membangkang dan durhaka kepada Allah. Dengan segala kerendahan hati,
sambil berlutut dan bersujud, manusia harus dengan sungguh-sungguh
mengakui dirinya sebagai abdi dan Allah sebagai Tuhannya.
Bukankah jika Allah ingin mengangkat derajat hamba-Nya, dipanggilnya
hamba itu dengan sebutan “abdi” (hamba, sahaya, atau budak)? Ketika Allah
menceritakan tentang anugerah yang Ia karuniakan kepada Nabi kita dengan
meng-isra-kan beliau pada surat al-Isrâ ayat 1, Allah menyebut nabi kita
dengan “’abdihi” (hamba-Nya).Ketika Allah menceritakan nabi Zakariyyâ, Ia
menyebutnya “’Abduhû Zakariyyâ” (hamba-Nya, Zakariyyâ).Dalam surat al-
Isrâ ayat 3, Allah menyebut Nuh dengan “’abdan syakûrâ” (hamba yang
bersyukur). Ketika nabi Mûsâ menuntut ilmu kepada seseorang, seseorang itu
disebut oleh Allah sebagai “’abdan min ‘ibadina” (Seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami). Nabi Sulaiman juga disebut-Nya sebagai “ni’mal ‘abdu”
(hamba yang paling baik), demikian pula dengan nabi Ayyûb.
89 al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 16, h. 157; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr., Jilid 2, h. 221
90
Begitulah para nabi yang mulia. Semakin ditambah anugerah nikmat oleh
Allah, bertambah pula sujud dan deraian air mata sebagai wujud tunduk dan
cinta kepada Allah, seraya mengakui bahwa diri mereka adalah hamba Allah.
Menurut Ibn Katsîr (w.774 H.), para ulama sepakat untuk melakukan sujud
pada ayat ini sebagai bentuk iqtidâ dan ittibâ’ (mengikuti) kebiasaan mereka.90
Bahkan menurut Imam al-Alûsî (w.1270 H.), ayat ini menjadi dalil
dianjurkannya untuk bersujud dan menangis ketika membaca membaca al-
Qur’an.91
Para ulama memberikan petunjuk agar ketika berjumpa atau mendengar
ayat-ayat yang dikategorikan sebagai ayat sajadah, hendaknya kita melakukan
sujud tilawah. Dan ketika kita telah sampai pada ayat 58 dari surat Maryam
ini, kita dianjurkan untuk membaca doa berikut ini:92
اللهم اجعلني من عبادك المنعم عليهم المهديين الباآين عند تالوة اياتك
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk hamba-hamba-Mu yang telah dianugerahkan nikmat, mendapatkan petunjuk, bersujud kepada-Mu dan menangis ketika membaca ayat-ayat-Mu.”
Begitulah tangisan yang ditunjukkan oleh hamba-hamba-Nya yang shalih
dan terpilih. Demikianlah tangisan yang lahir karena adanya rasa takut akan
siksa Allah, kerinduan kepada Allah, dan sebagai wujud syukur atas segala
anugerah nikmat yang sedemikian melimpah dari Allah.
6. Allah Berkuasa Menjadikan Seseorang Menangis dan Tertawa
90 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 3, h. 127 91 al-Âlûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 16, h. 158 92 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jilid 11, h. 235; Hamka, Tafsire Al Azhar., Juzu
16, h. 71
91
Salah satu nama Allah yang terdapat dalam al-asmâ al-husna adalah “al-
Khâliq” (Yang Maha Pencipta). Kata ini terambil dari akar kata “khalq” yang
arti dasarnya adalah “mengukur” atau “memperhalus”, yang kemudian
berkembang menjadi “menciptakan dari tiada”, “menciptakan tanpa suatu
contoh terlebih dahulu”, “mengatur”, “membuat”, dan sebagainya. 93
Biasanya kata “khalaqa” dalam berbagai bentuknya memberikan
aksentuasi tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya, berbeda
dengan “ja’ala” (menjadikan) yang mengandung penekanan terhadap manfaat
yang harus atau dapat diperoleh dari suatu yang dijadikan-Nya itu.
Keberadaan nama Allah tersebut menandaskan kepada manusia, bahwa
Dia-lah Zat Yang Mahakuasa untuk menciptakan segala sesuatu di alam dunia
ini, baik yang bersifat materi ataupun immateri. Dia yang menciptakan
manusia, Dia pula yang mematikannya. Dia yang menciptakan bumi, dan Dia
pula yang kelak akan menghancurkannya. Dia yang menciptakan laki-laki, dan
Dia pula yang menciptakan perempuan. Bahkan, segala gejala kejiwaan yang
terdapat dalam diri manusia, termasuk tertawa dan menangis, Dia pula yang
menciptakannya. Perhatikanlah firman Allah berikut ini:
وأنه خلق وأنه هو أمات وأحيا.وأنه هو أضحك وأبكى نثىألالزوجين الذآر وا
Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan.dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. (QS.al-Najm/53:43-45)
al-Wâhidî (w.427 H.) meriwayatkan dari ‘Aisyah (w.57 H.), ia (‘Aisyah)
berkata: Suatu ketika Rasulullah saw. melewati suatu kaum yang sedang
93 M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2001), Cet.IV, h. 75
92
tertawa. Maka Rasulpun bersabda: “Seandainya kalian mengetahui apa yang
aku ketahui, niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.” Maka,
datanglah malaikat Jibril membawa ayat “ dan bahwasanya Dialah yang
menjadikan orang tertawa dan menangis.” Lalu, Rasul kembali kepada kaum
tadi dan berkata: “Tidaklah aku melangkah empat puluh langkah, sehingga
Jibril a.s. datang kepadaku dan berkata: “Datangilah mereka kembali dan
katakanlah, sesungguhnya Allah azza wajalla berfirman ayat “ dan
bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” 94
Menurut Imam Ibn Katsîr (w.774 H.), Allah-lah yang telah menjadikan
dalam diri hamba-hamba-Nya tertawa dan menangis serta faktor-faktor yang
menimbulkan keduanya.95 Segala kebahagiaan dan kesedihan, segala suka dan
duka, Dia-lah yang menciptakan. Dia yang berkuasa menjadikan seseorang
tertawa di dunia, dan Dia pula yang menjadikan seseorang menangis di alam
fana ini. Menurut Mujahid, Allah-lah yang menjadikan penghuni surga tertawa
(bahagia) di surga dan menjadikan penghuni neraka menangis (menderita) di
neraka.96 Allah juga yang berkuasa menjadikan bumi tertawa dengan
tumbuhnya berbagai macam tumbuhan dan menjadikan langit menangis
dengan turunnya curah hujan.97
Dalam tafsir al-Qurtubî (w.567 H.) disebutkan, al-Hasan (w.110 H.)
berkata: “Allah menjadikan para ahli surga tertawa di surga dan menjadikan
para ahli neraka menangis di neraka.” Ada pula yang mengatakan bahwa
Allah yang menjadikan seseorang yang Ia kehendaki tertawa di dunia dengan
94 al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, h. 222 95 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 4, h. 259 96 Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 279 97 al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 27, h. 104
93
memberinya sesuatu yang menyenangkannya. Dia pula yang membuat
seseorang yang Ia inginkan menangis di dunia dengan memberinya sesuatu
yang menyedihkan. Ada pula yang mengatakan bahwa Allah menjadikan
pohon tertawa dengan bunganya dan menjadikan awan menangis dengan
hujan. Dzû al-Nûn al-Misrî berkata: “Allah menjadikan hati orang-orang yang
beriman dan orang-orang arif tertawa dengan cahaya ma’rifat-Nya, dan
menjadikan hati orang-orang kafir dan pelaku maksiat menangis dengan
gelapnya keingkaran dan kemaksiatan mereka.” Sahal bin ‘Abdullâh berkata:
“Allah membuat tertawa bagi orang-orang yang taat dengan rahmat-Nya dan
membuat pelaku maksiat menangis dengan kemurkaan-Nya..”98
Tertawa dan menangis adalah kelebihan yang Allah berikan khusus kepada
manusia. Tidak semua jenis hewan dapat tertawa dan menangis seperti
manusia. Ada binatang yang dapat tertawa, namun tidak dapat menangis,
seperti kera. Ada pula yang bisa menangis, namun tidak bisa tertawa seperti
unta. Yusuf bin al-Husain berkata: Thahir al-Muqaddisi pernah ditanya:
“Apakah malaikat tertawa?” Ia menjawab: “Mereka tidak tertawa, begitu pula
yang berada di bawah ‘arsy, sejak diciptakan neraka jahanam.”99
Kegembiraan dan kesedihan tidaklah akan terlepas dari kehidupan
manusia. Ada saatnya kita tertawa-tawa karena mendapatkan sesuatu yang
menggembirakan hati. Namun, bisa saja di saat kita berada dalam kebahagiaan
yang memuncak, kita mendapatkan sesuatu yang menyebabkan hati sedih dan
menangis. Terkadang kesusahan mengandung kebahagiaan, dan ada pula
kegembiraan yang amat mengharukan. Lihatlah kedua orang tua yang
98 al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân , Juz 17, h. 116-117 99 Abul Fida M.Izzat M.Arif, Air Mata Orang-orang Shalih, (Jakarta: Penerbit Pustaka
Tazkia, 2004), Cet.I, h. 12
94
menyaksikan prosesi khidmat akad nikah anaknya. Mereka bergembira, dan
dalam kegembiraannya mereka mencucurkan air mata. Semua itu diatur oleh
Allah. Itulah sebabnya, kita diajarkan agar tidak terlalu bergembira ketika
datang sesuatu yang menyenangkan hati. Kita diperintahkan untuk
mensyukurinya. Begitu pula ketika datang sesuatu yang menyedihkan, kita
diperintahkan agar bersikap sabar.100
7. Celaan Allah Kepada Orang yang Tidak Menangis Mendengar Berita
Hari Kiamat
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, nilai menangis
dan tertawa sangat ditentukan oleh motif dan niat yang menyertainya. Tertawa
jika disertai dengan niat yang baik, maka ia bernilai ibadah. Namun, jika
disertai dengan niat yang buruk, seperti mengejek, maka tertawa itu akan
membawa akibat yang buruk bagi yang bersangkutan. Inilah yang ditunjukkan
oleh surat al-Najm ayat 59-60 berikut ini:
تبكونوتضحكون وال أفمن هذا الحديث تعجبون“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis?”
Ayat yang berbentuk kalimat tanya (istifhâm) ini merupakan bentuk celaan
(taubîkh) terhadap sikap orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik itu,
ketika disampaikan kepada mereka ayat-ayat al-Qur’an yang
menginformasikan tentang akan terjadinya hari kiamat dan hal-hal lainnya,
mereka tertawa sebagai ejekan dan olokan, dan tidak menangis sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang yang yakin sebagaimana tercantum dalam
100 Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 27, h. 127-128
95
ayat: Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan
mereka bertambah khusyuk.(QS.17:109)101
Mereka seharusnya menangis, bukan justru tertawa mendengar berita
tentang hari kiamat, karena tidak memiliki bekal sama sekali sebagai
persiapan menghadapi kehidupan yang abadi itu. Tidakkah Rasulullah saw.
setelah turun ayat ini, tidak lagi pernah tertawa, kecuali hanya sekedar
tersenyum saja.102 Padahal, beliau adalah insan kamil yang telah dijamin
masuk surga. Lantas, apa yang seharusnya ditunjukkan oleh orang-orang
selain beliau yang hidupnya bergelimang dengan dosa dan maksiat? Jika
seseorang tidak menangis di dunia mendengar titah-titah Ilahi, maka kelak di
akhirat ia akan menangis air mata dan darah akibat penderitaan dan
penyesalan yang dialaminya.
8. Tangisan Langit dan Bumi
Di atas telah disinggung, bahwa menangis tidak hanya mampu dilakukan
oleh manusia saja, tetapi juga oleh langit dan bumi. Keduanya memiliki
perasaan menangis dan tertawa. Jika penderitaan menimpa orang-orang
shalih, maka langit dan bumi ikut menangis. Tetapi, jika penderitaan itu
menimpa orang-orang durhaka yang membangkang Allah dan rasul-Nya,
keduanya enggan bersedih dan menangis. Bahkan menurut Imam al-Qurtubî
(w.567 H.), makhluk-makhluk seperti langit, bumi, angin, dan udara ikut
bersedih dan menangis jika terdapat orang shalih meninggal dunia, sebab ia
101 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 4, h. 260; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr,
Jilid 3, h. 280 102 al-Âlûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 27, h. 111
96
telah melakukan berbagai aktivitas yang baik dengan menggunakan sarana dan
fasilitas kebaikan di dalamnya. Sebaliknya, mereka akan cuek dan enggan
menangis ketika ada orang-orang durhaka yang meninggal, sebab ia sering
berbuat kerusakan di dalamnya.103 Allah telah menciptakan langit dan bumi
dengan segala isinya sebagai tempat pemenuhan amanah manusia, ternyata
tidak digunakan sebagaimana mestinya, sehingga ia tidak peduli dengan
kematian orang-orang yang jahat itu.104 Begitulah juga yang terjadi dengan
Fir’aun dan bala tentaranya, saat mati digulung ombak, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh surat al-Dukhân ayat 29 berikut ini:
رض وما آانوا منظرينفما بكت عليهم السماء واألMaka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi
tangguh.
Fir’aun adalah sosok manusia yang terkenal angkuh dan sombong luar
biasa. Tersebab kekuasaan yang dimilikinya, ia akhirnya mendeklarasikan
dirinya sebagai tuhan yang paling tinggi di hadapan para pembesarnya dan
rakyatnya (QS.79:24). Ia tidak mengakui ada tuhan selain dirinya. Ia akan
membunuh dan membantai siapa saja yang berusaha untuk menggoyang
kekuasaannya dan tidak mengakui dirinya sebagai tuhan. Apa yang telah
dilakukan oleh Fir’aun dan para pengikutnya adalah bentuk dosa terbesar yang
pada akhirnya tidak mendapatkan ampunan dari Allah, karena ruh telah berada
di kerongkongan.
103 Pandangan Imam al-Qurtubî ini didasarkan kepada Imam ‘Ali r.a.yang menyatakan: “Jika
hamba salih meninggal dunia, niscaya akan menangis tempat shalatnya di bumi dan tempat naik amalnya dari langit dan bumi.” Lihat ‘Abdullâh Ibn al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004), Cet. I, h. 220
104 Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, h. 3
97
Tentang ayat di atas (QS.44:29), Imam Ibn Katsîr menjelaskan bahwa
mereka tidak memiliki amal-amal salih yang akan naik ke langit yang
menyebabkan langit akan menangis. Mereka juga tidak punya satu tempatpun
di bumi yang mereka gunakan untuk mengabdi kepada Allah. Itulah sebabnya,
keduanya tidak menangisi mereka dan mereka berhak untuk segera
mendapatkan azab dari Allah tanpa ditangguhkan. Itu semua terjadi, karena
kekufuran, dosa, dan pembangkangan yang telah mereka lakukan. 105
Menurut al-Janabazi, kata langit mewakili alam ruhani (ruhani-samawi),
sedang kata bumi mewakili alam jasmani (jasmani-ardî). Artinya, orang-orang
durhaka selalu berbuat kerusakan di alam jasmani dan ruhani. Karenanya,
mereka tidak memiliki kebaikan jasmani dan ruhani, sehingga kematian dan
penderitaan yang dialaminya tidak patut untuk ditangisi.106
D. Antara Menangis dan Tertawa
Dalam surat al-Dzariyat ayat 49 Allah menyatakan:
ومن آل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذآرون“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah.”
Merujuk pada ayat di atas, maka pembahasan menangis tidak terlepas dari
pembahasan tertawa. Hal ini penting dibahas untuk: (1) mengetahui perbedaan
ciri-ciri dan macam-macam menangis dan tertawa; (2) mengetahui manfaat
menangis dan tertawa; dan (3) mengetahui sebab-sebab menangis dan tertawa,
serta motivasi yang menyertainya. Dengan mengetahui hal-hal tersebut, maka
105 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 4, h. 142 106 Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, h. 4
98
diharapkan setiap individu dapat menjaga keseimbangan jiwanya dalam
menghadapi segala hal yang terjadi pada dirinya.107
Sebagai salah satu sunnatullah, menangis dan tertawa sama-sama memiliki
peluang yang sama untuk diklaim sebagai ekspresi jiwa yang posisitif atau
negatif. Seluruh perilaku manusia, termasuk dalam hal menangis dan tertawa,
tidak netral etik, namun sarat etik. Artinya, menangis dan tertawa akan dapat
melahirkan hukum kontradiktif, pahala atau dosa dan manfaat atau madharat.
Menangis dan tertawa yang bermanfaat akan menimbulkan pahala bagi
pelakunya, sedangkan yang tidak bermanfaat (madarat) akan melahirkan
konsekuensi dosa bagi pelakunya.
Lihatlah beberapa kasus yang umum kita saksikan dalam kehidupan
manusia. Seseorang akan tertawa ketika mengetahui dirinya lulus mengikuti tes
memasuki sebuah perusahaan yang didambakan. Namun, ia akan menangis ketika
mengetahui bahwa dirinya tidak lulus dalam tes tersebut. Seorang guru akan
tertawa menghadapi muridnya yang pandai dan patuh. Tetapi ia akan menangis
menghadapi murid-murid yang sangat sulit menerima pelajaran dan membangkang.
Seorang dokter yang berhasil menyembuhkan pasien akan tertawa dengan
keberhasilannya itu. Namun ia akan menangis ketika pengobatannya gagal, bahkan
membawa kematian bagi pasiennya. Seorang ibu yang mengandung akan tertawa ketika
mengetahui bayinya lahir dengan sempurna, sehat, tanpa cacat sedikitpun. Namun, ia
akan menangis ketika bayi yang dilahirkannya dalam keadaan cacat.
Contoh-contoh di atas adalah kewajaran yang lazim terjadi di tengah
masyarakat. Meski demikian, yang perlu dipahami adalah apa arti dan fungsi dari
107 Ibid, h. 60
99
tangisan atau tertawa yang dilakukan oleh seseorang. Ini sangat perlu untuk
diketahui dengan harapan agar jiwanya tetap stabil, dan yang tak kalah
pentingnya, agar perilakunya dalam menangis dan tertawa sesuai dengan yang
dikehendaki oleh agama.
Dalam “Kamus Besar bahasa Indonesia” kata “tawa” diartikan: ungkapan
rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan mengeluarkan suara (pelan,
sedang, keras) melalui alat ucap.108
Menurut Hanna Djumhana Bastaman, tertawa merupakan
pengejawantahan dari humor, karena keduanya sama-sama menciptakan situasi
riang, lucu dan jenaka, meskipun dalam hal-hal tertentu keduanya tidak selalu
sejalan. Tertawa menjadi fenomena insani, sebab dalam tertawa mengundang
intensionalitas, yaitu tertawa kepada (laughing at) dan tertawa bersama (laughing
with). Selain itu, tertawa selalu menciptakan suatu perspektif mengambil jarak dan
sekaligus menciptakan suatu relasi dalam corak tertentu antara pihak yang
menertawakan dengan pihak yang ditertawakan, termasuk menertawakan diri sendiri.109
Tertawa yang wajar akan menghantarkan seseorang kepada suasana
psikologis yang menyenangkan, menggembirakan, dan membahagiakan.
Hidupnya terasa damai, tenang, tanpa dikejar-kejar oleh rasa takut dan cemas. Hal
ini berbeda sekali jika seseorang tertawa terbahak-bahak dan terpingkal-pingkal.
Tertawa seperti ini adalah tidak wajar dan telah melampaui batas sehingga akan
mengakibatkan kekerasan hati (qaswah al-qalb) yang dapat menjauhkan diri dari
Allah swt.
108 Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, h. 1150 109 Hanna Djumhana Bastaman, Meraih hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan
Pengalaman Tragis, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 81-82
100
Berikut ini akan disebutkan beberapa macam tertawa positif, yaitu yang
dianggap baik menurut kriteria agama dan baik pula untuk aktualisasi insani.
Macam-macamnya adalah:
1. Tertawa yang menunjukkan keriangan dan kegembiraan karena mendapatkan
nikmat yang tak terhitung dari Allah. Perhatikanlah firman Allah:
ضاحكة مستبشرة وجوه يومئذ مسفرة“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira
ria.”(QS’Abasa/80:38-39)
Tertawa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah tertawa yang dialami
oleh para penghuni surga pada hari kiamat kelak. Syaikh Ali as-Sabuni
menjelaskan, bahwa wajah-wajah penghuni surga ketika itu bersinar terang
karena senang dan gembira. Mereka juga tertawa gembira dan bahagia dengan
kemuliaan Allah dan keridhaan-Nya, serta dengan kenikmatan abadi yang
mereka lihat dan mereka rasakan di surga itu.110
2. Tertawa sebagai tanda syukur karena mendapatkan anugerah yang
mengagumkan. Dengan tertawa, ia berharap agar anugerah itu tidak dicabut,
namun akan tetap diberikan selama-lamanya. Hal ini berbeda, jika anugerah
Allah itu disikapi dengan wajah cemberut sehingga Pemberinya tidak akan
memberinya lagi dan ia tergolong sebagi orang yang tidak bersyukur.
Perhatikanlah ayat berikut ini:
فتبسم ضاحكا من قولها وقال رب أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأدخلني
برحمتك في عبادك الصالحينMaka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut
itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri
110 ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 522
101
nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS.al-Naml/27:19)
Tertawa Sulaiman as. di atas, oleh psikologi kontemporer
dikategorikan sebagai tertawa gila, sebab tertawa itu tanpa disertai bukti
empiris yang menyebabkan seseorang menjadi tertawa. Namun psikologi
Islam menilainya lain. Apa yang dilakukan oleh Sulaiman as.adalah di antara
wujud syukur atas mukjizat yang telah diberikan kepadanya, yaitu
kemampuannya untuk mampu mendengarkan dan memahami komunikasi
yang dilakukan oleh sekelompok semut. Bahkan, kisah Qurani ini
menjustifikasi kebenaran, bahwa ada di antara umat Nabi Muhammad saw.
yang memiliki kemampuan untuk menangkap dan memahami bahasa binatang
tertentu. Orang yang tidak mengerti, boleh jadi akan menduganya sebagai
orang gila. Namun, sesungguhnya ia tertawa dan tersenyum karena ada sebab-
sebab metafisik (al-ghaibiyah). Inilah karunia atau karamah yang Allah
berikan kepadanya.111
3. Tertawa yang dapat dijadikan terapi (pengobatan) diri, sehingga hidupnya
penuh gairah, optimis, dan riang gembira. Allport menyatakan: “Orang yang
sakit jiwa (neurotis) yang belajar menertawakan dirinya sendiri dapat menjadi
suatu cara untuk membina diri atau barangkali untuk pengobatan.”112
Dalam suatu kisah disebutkan, bahwa ‘Umar bin Khattâb terkadang
tertawa sendiri ketika ia merenungi masa lalunya yang unik. Betapa tidak
menggelikan, ia pernah membuat sebuah patung yang terbuat dari bahan roti
untuk kemudian disembah. Namun, ketika perutnya terasa lapar, iapun
111 Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, h. 64 112 Hanna Djumhana Bastaman, Meraih hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan
Pengalaman Tragis, h. 87
102
memakannya. Ia telah mencipatkan tuhan dengan tangannya sendiri, dan ia
pula yang merusaknya.
Di samping tertawa positif sebagaimana yang disebutkan di atas, ada pula
tertawa negatif. Macam-macamnya adalah:
1. Tertawa yang melalaikan dari ingat (dzikr) kepada Allah. Allah menyatakan:
فاتخذتموهم سخريا حتى أنسوآم ذآري وآنتم منهم تضحكون
Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sehingga (kesibukan) kamu mengejek mereka menjadikan kamu lupa mengingat Aku, dan adalah kamu selalu menertawakan mereka.(QS.al-Mu’minûn/23:110)
Dalam sebuah Hadis dinyatakan:
عن أبي هريرة قال قالوا يا رسول اهللا إنك تداعبنا قال ال أقول 113إال حقا
Dari Abû Hurairah ia berkata: Mereka (sahabat) berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau telah bersenda gurau dengan kami. Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya aku tidak mengatakan kecuali yang benar.”(HR al-Tirmidzî dan Ahmad)
2. Tertawa yang mengejek atas peringatan Rasulullah. Hal ini sebagaimana yang
ditunjukkan oleh surat al-Najm ayat 59-60 berikut ini:
تبكونوتضحكون وال أفمن هذا الحديث تعجبونMaka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis? (QS.al-Najm/53:59-60)
Ayat yang berbentuk kalimat tanya (istifhâm) ini merupakan bentuk celaan
(taubîkh) terhadap sikap orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik itu,
ketika disampaikan kepada mereka ayat-ayat al-Qur’an yang
113 al- Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Birr wa al-Silah, h. 241; Ahmad, al-
Musnad, Juz 2, h. 340
103
menginformasikan tentang akan terjadinya hari kiamat dan hal-hal lainnya,
mereka tertawa sebagai ejekan dan olokan, dan tidak menangis sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang yang yakin sebagaimana tercantum dalam
ayat: Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan
mereka bertambah khusyuk.(QS.17:109)
Lihat pula ayat berikut ini;
فلما جاءهم بآياتنا إذا هم منها يضحكونMaka tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat-
mukjizat Kami dengan serta merta mereka mentertawakannya. (QS.al-Zukhrûf/43:47)
3. Tertawa terbahak-bahak dan terpingkal-pingkal yang dapat mengeraskan hati.
Rasulullah saw. bersabda:
ال تكثرواالضحك فإن ρعن أبي هريرة قال قال رسول اهللا 114آثرة الضحك تميت القلب
Dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Janganlah kalian memperbanyak tertawa, karena memperbanyak tertawa itu dapat mengeraskan hati.”(HR al-Tirmidzî, Ibn Mûjah, dan Ahmad )
عن علي بن حسين قال من ضحك ضحكة مج مجة من 115العلم
Barangsiapa yang tertawa dengan satu tertawaan (yang keras), maka (sebagian) ilmunya dicabut dengan sekali cabutan.(HR al-Dûrimî dari ‘Ali bin Husein)
114 Sanad Hadis ini sahih karena para rawinya tsiqât. Lihat: Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz
2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4193 h. 1403; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî., Juz 3, Abwâb al-Zuhd, no. hadis 2407, h. 377-378; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 340; Isnad Hadis ini sahih dan para rawinya tsiqat.
115 al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb al-Rihlah fî Talab al-‘Ilm, no. hadis 583, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000), Cet. I, , h. 136
104
4. Tertawa kedustaan yang dapat menyakitkan hati orang lain. Ia sengaja
mendustakan (membuat-buat) cerita agar orang lain menertawakannya.
Rasulullah saw. bersabda:
ρعن بهز بن حكيم عن أبيه عن جده قال سمعت رسول اهللا 116يقول ويل للذي يحدث القوم ثم يكذب ليضحكهم ويل له ويل له
Dari Bahz bin Hakim dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda: “Celakalah orang yang menceritakan suatu kaum, kemudian ia mendustakan ceritanya agar orang lain menertawakannya. Celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR. al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, dan Ahmad)
Berdasarkan uraian di atas, maka seorang muslim dituntut harus benar-
benar pandai menempatkan kapan ia menangis dan kapan ia tertawa. Sebab,
dalam pandangan al-Qur’an, tidak ada sesuatupun yang lahir dari diri manusia,
melainkan ada konsekuensi yang akan diterimanya. Jika baik dan sesuai dengan
tuntunan agama, maka ia akan menerima ganjaran pahala. Namun, jika buruk dan
tidak sesuai dengan petunjuk agama, ia akan menerima dosa. Dan kesemuanya itu
akan sangat berpengaruh kepada suasana kehidupan yang akan ia rasakan, bahagia
ataupun sengsara, di dunia ataupun di akhirat. Tentang menangis dan tertawa ini,
Rasulullah mengingatkan kita melalui sabdanya:
قال يا أمة محمد واهللا ρعن عائشة رضي اهللا عنها أن رسول اهللا 117لو تعلمون ما أعلم لبكيتم آثيرا ولضحكتم قليال أال هل بلغت
Dari ‘Aisyah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Wahai umat Muhammad! Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan.(HR.al-Bukhârî dan Muslim)
116 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ Man Takallama, no. hadis 2417, h. 382; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb fî al-Kadzib, no. hadis 4990, h. 298; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Jilid 2, Kitâb al-Isti’dzân Bâb fî al-lazdî yakdzibu, no. hadis 2702, h. 176; Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 5; Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 393
117 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî., Juz 6, Kitâb al-Nikâh Bâb al-Ghairah, h. 156; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb Salâh al-Istisqâ Bâb Salâh al-Kusûf., h. 357-358
105
BAB III
MENANGIS DALAM KONSEP HADIS
A. Beragam Tangisan Rasulullah SAW.
1. Tangisan Rasulullah saw. Saat Mendengar Ayat al-Qur’an
Dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhârî (w.256 H.), Imam Muslim (w.261 H.), Imam Abû Dâwûd (w.275 H.), Imam al-Tirmidzî (w.279 H.), dan Imam Ahmad (w.241 H.) disebutkan:
لعبد اهللا بن مسعود إقرأ علي قال اقرأ ρعن إبراهيم قال قال النبي عليك وعليك انزل؟ قال إني احب ان اسمعه من غيري قال فقرأ عليه
ديهش بةم ال آنا منئا جذ افيكف (له من اول سورة النساء إلى قو 118 فبكى) اديهش ءالى هؤل عكا بنئجو
Dari Ibrahim dia berkata: “Nabi saw. pernah berkata kepada Abdullah bin Mas’ud r.a.: ‘Bacakanlah untukku (al-Qur’an)!’ Ibnu Mas’ud berkata: ’Apakah aku akan membacakannya untukmu, sedangkan ia diturunkan kepadamu?‘ Beliau menjawab: ‘Sesungguhnya aku suka mendengarnya dari orang lain.‘ lalu Ibnu Mas’ud membacakannya dari awal surat An-nisa sehingga ketika sampai pada ayat “(Maka bagaimanakah {halnya orang-orang kafir nanti}, apabila kami mendatangkan seorang saksi {Rasul} dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu {Muhammad} sebagai saksi atas mereka itu {sebagai umatmu}”) – QS. al-Nisâ:41
Maka beliau pun menangis.”
Allah memang menganjurkan kepada umat Islam untuk mentadabburi
ayat-ayat al-Qur’an. Dan tetesan air mata Rasul di atas adalah wujud dari
perenungan (tadabbur) beliau terhadap ayat al-Qur’an.
118 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 5, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Fakaif Idzâ Ji’nâ min
Kull Ummah, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h.180 & Juz 6 kitâb fadâ’il al-Qur’ân Bâb Qaul al-Muqri li al-Qâri Hasbuk, h. 113-114; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Fadl Istimâ’ al-Qur’ân wa Talab al-Qirâ’ah min Hâfizihli al-Istimâ’ wa al-Bukâ ‘inda al-Qirâ’ah, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth), h. 320; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Jilid 4, Abwâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb wa min Sûrah al-Nisâ, no. Hadis 3213, (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 304; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-‘Ilm Bâb fî al-Qisas, no. Hadis 3668, (Jakarta: Dâr al-Hikmah, tth.)h. 324; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4194, (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 1403
106
اهالفق ابولى قل عم اانرق النوربدت يالفا “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati
mereka terkunci?” (QS. Muhammad/47:24)
Itulah sebabnya, Imam al-Qurtubî (w.567 H.) mengatakan: ”Para ulama
mengatakan: ’Diwajibkan bagi pembaca al-Qur’an untuk menghadirkan hatinya
serta bertafakkur (merenungkan) saat membacanya, karena dia sedang membaca
khitâb (firman) Allah yang ditujukan kepada hamba-hambanya.” Oleh karena itu,
barangsiapa yang membaca al-Qur’an dengan tidak bertafakkur padanya, sedang
dia termasuk orang yang mempunyai kemampuan untuk memahami dan
mentafakkurinya, maka dia sama seperti orang yang tidak membacanya dan tidak
sampai pada tujuan dari bacaannya itu.”119
Rasulullah saw. setiap kali mendengarkan atau membaca Kitabullah senantiasa
menyaksikannya dengan hati dan pemahaman, tidak lengah dan tidak lalai. Kondisi inilah
yang memberikan pengaruh kuat kepada beliau sehingga tatkala al-Qur’an dibacakan,
maka beliau akan diliputi rasa takut dan akhirnya meneteskan air mata. Tetesan air mata
yang keluar saat beliau mendengar firman Allah di atas, menurut para ulama
sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Qurtubî (w.567 H.) terjadi karena keagungan
kandungan ayat tersebut, yaitu pemandangan yang menyeramkan dan keadaan yang
mencekam di hari kiamat. Saat itu para nabi akan dihadirkan sebagai saksi bagi umat
mereka untuk membenarkan dan mendustakan. Sedang Nabi saw. akan dihadirkan
sebagai saksi bagi umatnya dan umat yang lain.120
Ketika menjelaskan hadis di atas, Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w.852 H.) mengutip
pandangan Imam al-Ghazâlî (w.505 H.) yang menyatakan: “Disunahkan menangis saat
119 Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Menangis, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 1426/2005), h. 51 120 Ibid, h. 78
107
membaca al-Qur’an. Dan cara menghadirkan tangis saat membaca al-Qur’an adalah
dengan menghadirkan kepada kalbunya rasa sedih dan rasa takut, dengan merenungi
segala ancaman yang keras dan janji-janji di dalamnya. Kemudian mengingatkan segala
pelanggaran yang dia lakukan dalam hal tersebut. Jika dia tidak bisa menghadirkan
kesedihan, maka hendaklah dia menangis atas hilangnya kemampuan untuk itu dan
menilai hal itu sebagai musibah yang paling parah.” 121
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah
menangis saat merenungi surat Ibrâhîm ayat 36 dan surat al-Mâidah ayat 118
berikut ini:
عز قول اهللا تالρ بن عمرو بن العاص أن النبي عن عبد اهللا إنهن أضللن آثيرا من الناس فمن تبعني وجل في إبراهيم رب
م إن تعذبهم فإنهم عبادك ية وقال عيسى عليه السالفإنه مني اآلهم أمتي وإن تغفر لهم فإنك أنت العزيز الحكيم فرفع يديه وقال الل
عز وجل يا جبريل اذهب إلى محمد وربك أمتي وبكى فقال اهللام فسأله فأخبره رسول أعلم فسله ما يبكيك فأتاه جبريل عليه السال
يا جبريل اذهب إلى محمد فقل اهللا بما قال وهو أعلم فقالρ اهللا نسوءكإنا سنرضيك في أمتك وال
Dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘As r.a. bahwa Nabi saw. membaca firman Allah dalam surat Ibrâhîm (Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. Maka, barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku…QS.Ibrâhîm:36). Dan Isa a.s berkata (Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. – QS.al-Mâidah:118-) Lalu beliau mengangkat kedua tangannya seraya berucap sambil menangis: “Ya Allah, umatku, umatku!” lalu Allah berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad, dan Tuhanmu lebih mengetahui, lalu tanyakan kepadanya, apa yang menyebabkanmu menangis!” Kemudian Jibril mendatangi beliau dan bertanya kepadanya. Maka Rasulullah saw. memberitahu kepada Jibril a.s. mengenai apa yang dikatakan, dan Dia lebih mengetahui.Lalu Allah
121Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, (Beirût: Dâr al-Fikr,
1414/1993), Juz 10, h. 121
108
berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad dan katakanlah, ‘Sesungguhnya Kami akan meridhaimu terhadap umatmu dan tidak akan berbuat buruk kepadamu.’” (H.R. Muslim)122
Menurut Imam al-Nawawî (w.675 H.), Hadis di atas mengandung
beberapa hal, yaitu:
Pertama: Besarnya rasa kasih sayang yang sempurna serta perhatian Rasul
terhadap kemaslahatan segala urusan umat beliau. Hal ini ditunjukkan dengan
disebutnya umat beliau sambil menangis agar diselamatkan dari siksa Allah.
Kedua: Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa.
Ketiga: Kabar gembira untuk umat Nabi Muhammad saw. bahwa Allah
akan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya.
Keempat: Keagungan kedudukan Nabi saw. di sisi Allah serta besarnya
kasih sayang Allah kepada beliau.123
Imam Ibn Mâjah (w.273 H.) juga meriwayatkan Hadis yang
menganjurkan menangis saat membaca al-Qur’an:
عن عبد الرحمن بن السائب قال قدم علينا سعد بن أبي وقاص وقد ال من أنت فأخبرته فقال مرحبا بابن أخي آف بصره فسلمت عليه فق
يقول إن هذا ρ بلغني أنك حسن الصوت بالقرآن سمعت رسول اهللانوا به القرآن نزل بحزن فإذا قرأتموه فابكوا فإن لم تبكوا فتباآوا وتغ
124.فمن لم يتغن به فليس منا Dari Abdurrahmân bin al-Sâ’ib ia berkata: “Sa’ad bin Abî Waqqâs datang
kepada kami, dan ketika itu penglihatannya sudah terganggu. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia bertanya: ’Siapa anda? ‘Akupun memberitahu tentang
122 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Du’â al-Nabî saw.li Ummatih wa
Bukâ’ih Syafaqah ‘alaihim, h.107 123 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1415/1994), Jilid 2,
h. 80 124 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah,Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîhâ Bâb fî
Husn al-Saut bi al-Qur’ân, no. Hadis 1337 h. 424; Dalam sanad ini terdapat Abû Râfi’ (Ismâ’îl ibn Râfi’). Dia adalah rawi daif dan matruk.
109
diriku. Iapun berkata: ’Selamat datang wahai anak saudaraku! Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau memiliki suara yang indah saat membaca al-Qur’an. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan kesedihan. Jika kalian membacanya, maka menangislah. Jika tidak menangis, maka hendaklah pura-pura menangis. Merdukanlah bacaan al-Qur’an . Barangsiapa yang tidak memerdukan al-Qur’an dengan suaranya, maka ia tidak termasuk golongan kami.” (H.R. Ibn Mâjah)
Dan menurut Imam al-Nawawî (w.675 H.), menangis saat membaca al-
Qur’an adalah sifat para arifin dan syi’ar para salihin. 125
2. Tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan Kematian Orang-orang yang Dicintai
a) Tangis Rasulullah saw. Saat Menyaksikan Kematian Anaknya (Ibrâhîm).
Mengingat kematian secara proporsional adalah di antara sifat orang-orang
mukmin. Bahkan Rasul menyebutkan bahwa mukmin yang cerdas adalah yang
senantiasa mengingat kematian dan paling banyak mempersiapkan bekal untuk
kehidupan sesudahnya.126 Sedangkan orang yang sibuk mengurus urusan dunia,
yang terpasung oleh tipu dayanya dan yang cinta pada kemegahannya, hatinya
akan lalai dan lengah untuk mengingat kematian. Jika diingatkan, maka dia
akan berlari darinya. Mereka itulah yang oleh Allah disinyalir melalui firman-
Nya:
مالى علا نودر تم ثمكيقال مهنا فهن منورف تيذ التوم الن الق نولمع تمتنا آم بمكئبني فةادهالش وبيغال
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS.al-Jumu’ah/62:8)
Bagi orang yang bertaubat, mengingat kematian merupakan sarana
untuk membangkitkan rasa takut hatinya sehingga ia benar-benar bertaubat.
125 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, Juz 10, h. 121 126 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd, Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd
lah, no. Hadis 4259, h. 1423
110
Bahkan, mungkin dia akan membenci kematian karena takut akan dijemput
secara tiba-tiba sedangkan dirinya belum melakukan taubat secara sempurna
dan belum memperbaiki serta mempersiapkan bekal hidupnya kelak.
Kebencian seperti ini dapat dimaklumi karena akan memotivasi dirinya untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas amal saleh.
Sedangkan orang arif akan senantiasa mengingat kematian, karena ia
merupakan sarana pertemuan dirinya dengan kekasihnya. Kematian adalah
pintu gerbang yang mengalihkan seseorang dari alam dunia yang fana menuju
alam akhirat yang kekal abadi. Bagi orang-orang yang arif & salih, muncul
keyakinan bahwa di balik kematian telah menunggu beragam kebahagiaan dan
kenikmatan hidup serta jauh dari hingar bingarnya kehidupan dunia yang
penuh tipu daya dan kesemuan.
Kematian dalam pandangan ulama adalah pelajaran bagi orang yang
mau mengambil pelajaran dan pemikiran bagi orang yang mau berpikir.127 .
Perhatikanlah sikap Rasulullah saw. saat putra tercintanya dijemput kematian!
على ρعن انس بن مالك رضي اهللا عنه قال دخلنا مع رسول اهللا ابراهيم ρابي سيف القين وآان ظئرا ال براهيم فاخذ رسول اهللا
رسول م بنفسه فجعلت عينافقبله وشمه ثم دخلنا عليه بعد ذلك وابراهي تذرفان فقال له عبدالرحمن بن عوف رضي اهللا عنه وانت يا ρاهللا
ان ρرسول اهللا؟ فقال يا ابن عوف انها رحمة ثم اتبعها باخرى فقال مع والقلب يحزن وال نقول اال ما يرضي ربنا وانا بفراقك العين تد
128.لمحزونون
127 Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fi al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, (T.tp.: al-Maktabah al-Taufîqiyyah, t.t.), h. 261-262
128 al-Bukhârî, Sahiîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Qaul al-Nabî innâ bik Lamahzûnûn, h. 84-85; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Fadâ‘il Bâb Rahmatih saw. al-Sibyân wa al-‘Îyâl wa Tawâdu’ih wa Fadl Dzâlik h. 324-325; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî al-Rukhsah fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1011, h. 237; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 3126, h. 193; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a î al-Bukâ
111
Dari Anas bin Mâlik r.a. dia berkata : Kami pernah masuk bersama Rasulullah ke rumah Abû Saif, seorang pandai besi dan dia adalah sebagai zi’ir (istrinya menyusui) bagi Ibrahim, lalu Rasulullah saw. memegang Ibrahim, kemudian memeluk dan menciuminya. Setelah itu, kamipun masuk menemuinya sedang Ibrâhîm terbujur seorang diri. Maka kedua mata Rasulullah meneteskan air mata, lalu Abdurrahmân bin Auf bertanya kepada beliau: ‘Engkau juga menangis, ya Rasulullah? “beliau pun menjawab: “Wahai Ibn ‘Auf, sesungguhnya tetesan air mata ini adalah rahmat.” Kemudian diikuti dengan lainnya, lalu beliaupun bersabda; “Sesungguhnya mata ini telah berlinang, hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Tuhan kami. Dan sesungguhnya kami sangat bersedih atas kepergianmu, wahai Ibrâhîm.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, Ibn Mâjah, dan Ahmad)
Sebagaimana yang tersebut pada hadis di atas, ketika Ibrâhîm telah
mendekati kematian, Rasulullah saw. tidak dapat menahan tetesan air
matanya. Kenyataan ini menakjubkan para sahabat yang hadir, karena dalam
berbagai sabdanya beliau senantiasa memotivasi sahabatnya untuk bersabar
ketika musibah datang dan pernyataan beliau bahwa mayat akan disiksa
karena tangisan keluarganya. Dengan penuh keheranan, Abdurrahmân bin
‘Auf (w. 32 H.) bertanya: “Dan engkau ya Rasulullah (menangis)? “Dalam
redaksi Hadis yang disampaikan Abdurrahmân bin ‘Auf, bunyi pertanyaan
Abdurrahmân bin ‘Auf sebagai berikut:
129اولم تنه عن البكاء, فقلت يارسول اهللا تبكيSaya bertanya: “Ya Rasulullah, anda menangis? Bukankah anda melarang
(kami) dari menangis?”
Atas keheranan sahabatnya itu, Rasul menegaskan: “Wahai Ibn ‘Auf,
sesungguhnya tangisan ini adalah rahmat. Sesungguhnya mata telah
meneteskan airnya, hati bersedih, dan kami hanya mengatakan apa yang
diridhai Tuhan kami. Sesungguhnya kami sangat bersedih atas kepergianmu
‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1589, h. 506-507; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 237
129 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 526
112
wahai Ibrahim.”
Menurut Ibnu Batal dan lainnya sebagaimana yang dikutip Imam Ibn
Hajar (w.852 H.), Hadis ini menjelaskan adanya tangisan dan kesedihan yang
dibolehkan. Tetesan air mata yang keluar karena lembutnya kalbu tanpa murka
terhadap keputusan Allah tidaklah dilarang. Hadis di atas juga mengandung
anjuran untuk mencium anak, menyusui anak, mengunjungi orang yang lebih
kecil, menghadiri orang yang akan meninggal, menyayangi keluarga, serta
kebolehan menginformasikan kesedihan meskipun menyembunyikannya lebih
utama. 130
Hal yang senada diungkapkan oleh Imam al-Nawawî (w.675 H.).
Beliau mengatakan: “Dalam hadis tersebut mengandung makna dibolehkannya
menangis dan bersedih atas orang yang sakit. Hal tersebut tidak bertentangan
dengan konsep ridha terhadap takdir (Allah). Bahkan, tangisan itu dipandang
sebagai rahmat yang Allah jadikan di dalam hati hamba-hambanya. Yang dicela
itu adalah ratapan yang berlebihan (nadb & niyâhah), kata-kata celaka (wail &
tsubur), serta ucapan-ucapan batil lainnya. Iulah sebabnya, Rasul mengatakan
:’Dan kami tidak mengatakan kecuali yangmembuat ridha Tuhan kami!’131
Al-Hasan (w.110 H.) mengatakan: “kematian menyingkap dunia.
Dunia tidak meninggalkan kebahagiaan bagi orang yang berakal. Tidaklah
seorang hamba menguatkan hatinya untuk mengingat kematian, melainkan di
matanya dunia tampak kecil dan semua yang ada di dalamnya menjadi hina.132
Pada suatu hari, Ibn Mu’tî pernah melihat rumahnya, lalu ia terkagum-kagum
130 Ibid, Juz 3, h. 526 ; Muh. Syams al-Haqq Abâdî, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî
Dâwûd, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), Juz 8, h. 394 131 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî., Jilid 8, h. 85 132 Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 260
113
pada keindahannya dan kemudian menangis seraya berucap, “Demi Allah,
kalau bukan karena kematian, niscaya aku akan bahagia bersamamu. Dan
kalau bukan karena kita akan kembali ke kuburan yang sempit, niscaya kami
akan menyenangi dunia.” 133
Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi orang yang kematian menjadi
tempat kembalinya, tanah sebagai tempat pembaringannya, cacing sebagai
teman setia, Munkar dan Nakir sebagai teman duduknya, kuburan sebagai
tempat tinggalnya, dan kiamat sebagai waktu yang dijanjikan baginya serta
surga dan neraka sebagai tempat kembalinya, hendaklah dia tidak memiliki
pemikiran lain, kecuali hal tersebut, dan tidak menyiapkan diri kecuali hanya
untuk itu saja.”134
Rasulullah adalah manusia yang telah mencapai ketakwaan tertinggi
dan orang yang paling takut kepada Allah. Namun, kematian anaknya tak
urung membuatnya menangis karena cinta kasihnya. Dengan ingat kematian,
beliau juga mendapatkan kenikmatan tersendiri dalam hatinya. Itulah
sebabnya, kitapun harus mengikuti prilaku mulia Rasul ini.
b) Tangisan Rasulullah saw. Saat Menyaksikan Kematian Cucunya
Sebagaimana beliau menangis saat menyaksikan anaknya, Ibrâhîm,
meninggal dunia, beliau pun menangis dan meneteskan air mata kasih
sayangnya menyaksikan kematian cucunya (Umâmah bin Zainab)135
Disebutkan dalam sebuah Hadis:
يقضي فأرسلت ρعن أسامة قال آان ابن لبعض بنات النبي
133 Ibid 134 Ibid, h. 262 135 Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî, Dalîl al-Fâlihîn, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), Jilid 3, h.
404
114
ما أخذ وله ما أعطى وآل إلى أجل إليه أن يأتيها فأرسل إن هللاعليه فقام مسمى فلتصبر ولتحتسب فأرسلت إليه فأقسمت
وقمت معه ومعاذ بن جبل وأبي بن آعب وعبادة ρ رسول اهللا الصبي ونفسه ρ بن الصامت فلما دخلنا ناولوا رسول اهللا فقال ρ رسول اهللاتقلقل في صدره حسبته قال آأنها شنة فبكى
من عباده سعد بن عبادة أتبكي فقال إنما يرحم اهللا 136.الرحماء
Dari Usâmah bin Zaid ia berkata: “seorang anak perempuan Nabi saw. telah mengirimkan surat kepada beliau, ‘sesungguhnya anakku (mendekati) kematian, maka kunjungilah kami.’ Maka beliau mengirimkan (surat balasan) sambil menyampaikan salam dan mengucapkan,’Sesungguhnya milik Allah-lah apa yang telah di ambil-Nya Dan kepunyaan Allah-lah apa yang telah diberikan-Nya. Dan setiap yang ada disisi-Nya ada ajal yang telah ditentukan, maka sabarlah dan carilah ridha Allah,’lalu putri Rasul itu mengirimkan surat lagi kepada beliau agar mempertimbangkan untuk mengunjunginya. Kemudian beliaupun berdiri dan ikut juga bersamanya Sa’ad bin Ubadah, Mu’âdz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsâbit, dan beberapa orang lainnya. Lalu anak kecil itu diangkat (untuk diserahkan) kepada Rasulullah saw. sedang jiwa anak itu bergetar tersengal-sengal. Usâmah mengatakan, ‘Seolah-olah aku mengira beliau mengatakan, ‘Jiwanya bagai syannun (suara tempat air dari kulit yang digerakkan), ‘Lalu air mata beliau bercucuran. Maka Sa’ad bertanya: “wahai Rasulullah, apa ini?’ Maka beliau menjawab: ‘Ini adalah rahmat yang Allah jadikan dalam hati hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah melimpahkan rahmat kepada hamba-hamba-Nya yang penyayang.” (H.R. al-Bukhârî)
Rasa sakit yang diderita orang saat sakaratul maut tidak dapat
digambarkan dengan kata-kata. Tarikan nyawa oleh malaikat Izrail
melemahkan seluruh anggota tubuh, sehingga boleh jadi tidak ada suara dan
teriakan dari calon mayit karena rasa sakit yang terlalu dalam. Kedukaan demi
kedukaan dialami oleh orang yang tengah sakaratul maut hingga akhirnya
136 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-janâ’iz Bâb Qaul al-Nabî Yu’adzdzabu
al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘Alaih, h. 80, Juz 7, Kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb Qaul Allâh Ta’âlâ wa Aqsamû bi al-Lâh Jahd Aimânihim, h. 223-224, Juz 8, Kitâb al-Tauhîd Bâb Qaul al-Lâh Tabâraka wa ta’âlâ Qul Ud’u Allâh, h. 165, Juz 8, Kitâb al-Tauhîd Bâb Mâ Jâ’a fî Qaul Allâh Ta’âlâ Inna Rahmah Allâh Qarîb min al-Muhsinîn, 186; Muslim, Sahîh Muslim., Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, h. 367; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 3125, h. 193; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1580, h. 506
115
nyawa sampai ke tenggorokan.
Pada saat itu pandangannya terputus dari dunia dan penghuninya, dan
ditutup pula pintu taubat. Ketika itu, hanya penyesalan yang mengitari para
pelaku dosa dan maksiat. Mengenai hal ini, Mujahid mengatakan bahwa yang
dimaksud firman Allah dalam surat al-Nisâ: 18
مهدحا رضا حذى ات حاتئي السنولمع ينيذل لةبو التتسيلوا ندتع اكئول اارف آمه ونوتوم ينيذالال ونآل اتب تين اال قتومال اميلا اابذ عمهل
Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertobat sekarang" Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.(QS.al-Nisâ/4:18)
Adalah “Apabila orang tersebut telah melihat malaikat maut”
Rasulullah saw.sendiri menegaskan:
يقبل توبة العبد ما لم قال إن اهللا ρعن ابن عمر عن النبي 137يغرغر
“Dari Ibn ‘Umar r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama (ruh) belum sampai di tenggorokan.” (H.R. al-Tirmidzî)
c) Tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan Kematian Putrinya
Sebagaimana Rasulullah saw. menangis ketika anaknya, Ibrâhîm,
dipanggil ke rahmatullah, beliau juga meneteskan air mata ketika anaknya
yang lain meninggal dunia.
صغيرة ρ قال لما حضرت بنت لرسول اهللاعن ابن عباس
137 al-Tirmiżī, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Da’awât, no. Hadis 3603, h. 207; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Dzikr al-Taubah, no. Hadis 4253, h. 1420; Nilai Hadis ini hasan garib.
116
فضمها إلى صدره ثم وضع يده عليها ρ فأخذها رسول اهللا فبكت أم أيمن فقال لها ρ فقضت وهي بين يدي رسول اهللا
عندك فقالت ρ أيمن أتبكين ورسول اهللا يا أم ρ رسول اهللاإني ρ يبكي فقال رسول اهللا ρ أبكي ورسول اهللاما لي ال
المؤمن بخير ρ لست أبكي ولكنها رحمة ثم قال رسول اهللاسه من بين جنبيه وهو يحمد الله عز على آل حال تنزع نف
138 .وجلDari Ibnu Abbas ra dia berkata: Ketika puteri Rasulullah saw. akan
mendekati ajal kematian, beliau mengambil puterinya lalu menggendongnya, merangkul ke dadanya dan selanjutnya meletakkan tangan beliau ke tubuh puterinya. Kemudian puterinya itupun meninggal di hadapan beliau. Maka, Ummu Aiman menangis (dengan keras) sehingga Rasulullah saw. bersabda: “Apakah engkau menangis di dekat Rasulullah?” Ummu Aiman balik bertanya: “mengapa aku tidak menangis, sedangkan engkaupun pernah menangis?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku tidak menangis. Sesungguhnya (tangisan saya) merupakan rahmat.” Beliaupun melanjutkan dengan sabdanya: “Sesungguhnya seorang mukmin selalu berada dalam kebaikan dalam setiap keadaan. Sesungguhnya nyawanya dicabut dari dua sisinya sedang dia dalam keadaan memuji Allah.”
Demikianlah seharusnya yang ditunjukkan seorang mukmin. Apapun
yang menimpa seorang mukmin, ia akan selalu menyikapinya dengan positif.
Jika kebaikan, ia akan syukuri. Dan jika ketidakbaikan, ia akan sabar.
Adapun tetesan air mata Rasulullah saw. bukanlah wujud ketidakrelaan
beliau terhadap kematian putrinya, tetapi sebagai tanda cinta dan kasih
sayangnya kepada orang yang menghadap Ilahi.
d) Tangisan Rasulullah saw. Saat Kematian ‘Utsmân bin Maz’ûn
Salah seorang sahabat yang dicintai oleh Rasulullah saw. dan lebih
dulu memasuki taman Islam adalah ‘Utsmân bin Maz’ûn (w.2 H.), seorang
ahli ibadah lagi bertakwa, seorang mukhlis lagi bersih, pemberani yang tak
138 al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis
1840, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), Cet.I., h 314-315
117
pernah gentar, dan seorang pemimpin yang tangguh.
Untuk orang seperti inilah beliau meneteskan air mata ketika Allah
memanggil ke pangkuan-Nya.
قبل عثمان بن مظعون وهو ميت وهو ρعن عائشة أن النبي 139يبكي أو قال عيناه تذرفان
Dari ‘Aisyah (ia berkata): Sesungguhnya Nabi saw. mencium ‘Utsmân bin Maz’ûn ketika ia telah menjadi mayat sambil menangis. (atau: kedua matanya meneteskan air mata). (H.R.al- Tirmidzî dan Abû Dâwûd)
Betapa beliau berduka atas kematian ‘Utsmân bin Maz’ûn. Beliau
peluk dan cium sambil meneteskan air mata saat sahabat tercintanya itu
meninggal dunia. Air mata Rasulullah saw. adalah laksana lempengan permata
yang berkilauan di atas pipinya.
Sikap yang ditunjukkan oleh teladan umat ini mengindikasikan
mulianya kedudukan sahabat ‘Utsmân bin Maz’ûn. Beliau adalah sahabat
muhajirin pertama yang meninggal dunia di Madinah, sebagaimana dia adalah
orang pertama yang dimakamkan di Baqi.
Ketika Rasulullah saw. mengutamakan kelompok minoritas yang
beriman yang berada dalam penindasan seraya menyuruh mereka untuk
hijrah ke Habasyah, maka ‘Utsmân bin Maz’ûn adalah pemimpin golongan
pertama dari kalangan orang-orang Muhajirin yang ditemani oleh puteranya,
al-Sâ’ib, yang menghadapkan wajahnya ke negeri yang jauh dari tipu daya
musuh Allah, Abu Jahal, serta kebengisan kaum kafir Quraisy.
e) Tangisan Rasulullah saw. atas Syahidnya Panglima Mu’tah
Allah swt. berfirman dalam surat al-Taubah ayat 111:
139 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî Taqbîl al-Mayyit, no. Hadis 994, h. 229; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî Taqbîl al-Mayyit, no. Hadis 3163, h. 201
118
, إن اهللا اشترى من المؤمنين أنفسهم وأموالهم بأن لهم الجنةوعدا عليه حقا فى . يقتلون في سبيل اهللا فيقتلون ويقتلون
, ومن أوفى بعهده من اهللا. ة و االنجيل والقرانالتورا وذلك هو الفوز العظيم, فاستبشرواببيعكم الذي بايعتم به
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) Janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. al-Taubah/9:111)
Imam ‘Ali al-Sâbûnî menjelaskan bahwa firman Allah ini merupakan
perumpamaan (tamtsîl) yang paling jelas dan gamblang tentang balasan untuk
orang-orang yang berjihad. Allah akan membalasnya dengan surga atas
pengerahan dan pengorbanan harta dan jiwa mereka di jalan-Nya, dan itu
diungkapkan-Nya dengan term “jual-beli”.140
Di antara para mujahid yang membenarkan janji Allah di atas adalah
tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu: Zaid bin Hârits (w.8 H.), Ja’far bin Abî
Tâlib (w. 8 H.), dan Abdullâh bin Rawâhah (w.8 H.). Ketiganya telah menjadi
syuhada dalam perang Mu’tah.
أخذ الراية ρ عنه قال قال النبي عن أنس بن مالك رضي اهللا بن زيد فأصيب ثم أخذها جعفر فأصيب ثم أخذها عبد اهللا
ها لتذرفان ثم أخذ ρ رواحة فأصيب وإن عيني رسول اهللا 141.خالد بن الوليد من غير إمرة ففتح له
Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Panji dipegang oleh Zaid lalu terbunuh. Kemudian panji diteruskan oleh Ja’far, lalu iapun
140 Ali al-Sâbûnî, Safwah al- Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1420/1999),
Jilid 1, h. 564 141 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Rajul Yan’â ilâ Ahl al-
mayyit bi Nafsih, h. 72; Juz 3, Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar, h. 203; Juz 4, Kitâb Fadâ’il Ashâb al-Nabî saw. Bâb Manâqib Khâlid Ibn Wâlid, h. 218; Juz 5, Kitâb al-Maghâzî Bâb ‘Umrah al-Qadâ h. 87
119
terbunuh. Selanjutnya dipegang oleh Abdullah bin Rawahah, lalu iapun terbunuh.” Sesungguhnya kedua mata beliau meneteskan air mata. Kemudian panji diambil alih oleh Khalid bin Walid hingga kemenanganpun dpaat diraih.” (H.R. al-Bukhârî)
f) Tangisan Rasulullah saw. atas Syahidnya Hamzah
Allah swt. menguatkan Islam, salah satunya adalah dengan kegigihan
Hamzah (w.3 H.), paman Rasulullah saw. Dengan semangat membara,
Hamzah membela Rasulullah saw. dan para sahabatnya.
Hamzah memang tidak dapat membendung segala kekerasan dan
siksaan kafir Quraisy. Tetapi keislamannya seolah-olah menjadi benteng dan
perisai, di samping menjadi daya tarik bagi kabilah Arab. Terlebih ketika
diikuti pula oleh keislaman ‘Umar bin Khattâb r.a (w.23 H.).
Panji pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah saw. kepada umat
Islam, diserahkan kepada Hamzah r.a. (w.3 H.) Dan ketika pasukan Islam
berhadap-hadapan dengan kaum kafir di perang Badar, Hamzah telah
menunjukkan keberanian yang sangat luar biasa.142
Sahabat yang mulia ini syahid dalam perang Uhud di tangan seorang
budak Habsyi yang bernama Wahsyi. Setelah Hamzah wafat dengan lemparan
tombak Wahsyi, Wahsyipun mengambil hatinya dan mempersembahkannya
kepada Hindun bin ‘Utbah (istri Abû Sufyân) sesuai pesan.
Maka Hindun yang Ayahnya telah tewas di tangan kaum muslimin
dalam perang Badar, mengigit dan mengunyah hati Hamzah karena dendam
dan amarah murka.143
Betapa sedih dan pedih Rasulullah saw. menghadapi kenyataan pahit ini,
sehingga tatkala beliau kembali dari perang Uhud dan menyaksikan wanita-wanita
142 Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1997), Cet.I, h. 200-201
143 Ibid, h. 207
120
Ansar menangisi suami mereka yang terbunuh, beliaupun bertambah sedih.
شهل يبكين مر بنساء عبد األ ρ عن ابن عمر أن رسول اهللا بواآي له لكن حمزة الρ هلكاهن يوم أحد فقال رسول اهللا
فقال ρ اهللامزة فاستيقظ رسول نصار يبكين حفجاء نساء األ يبكين على هالك بعد ويحهن ما انقلبن بعد مروهن فلينقلبن وال
144)رواه ابن ماجة والطبري. (اليوم3. Tangisan Rasulullah saw. di Depan Makam Ummu Kultsûm
Seperti halnya para nabi dan rasul yang lain, Nabi saw. memiliki istri dan
anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Kenyataan ini merupakan indikasi
kesempurnaan dan kelengkapan hidup, bukan aib atau kekurangan. Di dalam al-
Qur’an Allah menegaskan:
.…سال من قبلك وجعلنا لهم أزواجا وذريةولقد أرسلنا رDan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu
dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…(QS.al-Ra’d/13:38)
Di antara wanita yang dinikahi oleh beliau adalah Siti Khadîjah (w.619
M.) yang usianya terpaut 15 tahun. Dari perkawinannya dengan Khadijah, beliau
dikaruniai dua orang putera dan empat orang puteri, yaitu: al-Qâsim (wafat
sebelum kenabian), ‘Abdullâh (wafat sebelum kenabian), Zainab (w.7 H.),
Ruqayyah (w.2 H.), Ummu Kultsûm (w.9 H.), dan Fatimah al-Zahrâ (w.11 H.).
Kedua puteranya meninggal dalam usia kanak-kanak.145
Sedang semua puteri beliau, kecuali Fâtimah meninggal ketika beliau
masih hidup. Fâtimah sendiri meninggal dunia 6 bulan setelah beliau wafat.
Rasulullah menyambut kematian anaknya satu demi satu dengan penuh
144 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz bâb Mâ jâ’a fî al-Bukâ ‘alâ al-
Mayyit, no. Hadis 1591, h. 507;Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1987), Cet.I, Jilid 3, h. 133
145 HMH. Al-Hamid Al-Husaini, Baitun Nubuwwah, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1997), Cet. III , h. 70-71
121
kesabaran dan ketabahan yang tidak tertandingi. Berikut ini adalah salah satu
sikap beliau memberikan ucapan selamat jalan kepada puterinya, Ummu Kultsûm.
ρ رضي الله عنه قال شهدنا بنتا لرسول اهللاعن أنس بن مالكجالس على القبر قال فرأيت عينيه تدمعان ρ قال ورسول اهللا
قال فقال هل منكم رجل لم يقارف الليلة فقال أبو طلحة أنا قال 146زل قال فنزل في قبرهافان
Dari Anas bin Mâlik, dia berkata: “Kami pernah menghadapi pemakaman salah seorang puteri Rasulullah saw. Dia berkata, sementara Rasul duduk di dekat kuburan, lalu aku melihat kedua matanya meneteskan air mata, kemudian beliau bersabda; ‘Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tidak berjima tadi malam? ‘Abu Thalhah menjawab: ‘Aku’ Beliau berkata: ‘Kalau begitu’ turunlah engkau!’ maka Abu Thalhah pun menuruni kuburan Ummu Kaltsûm.” (H.R. al-Bukhârî)
Begitulah sikap Rasulullah saw.memberikan ucapan selamat jalan kepada
puteri tercintanya. Beliau duduk sambil melihat kubur dan meneteskan air mata
dengan penuh keridhaan menerima takdir Ilahi. Rasulullah memberi salam
perpisahan dengan penuh khidmat dan tenang yang disertai linangan air mata
kejujuran, di mana seakan-akan beliau berkata kepadanya: “Sampai bertemu lagi
puteriku di pelataran kiamat dan surga yang dijanjikan, insya Allah.”
4. Tangisan Rasulullah saw. saat Berziarah Kubur
Alam kubur atau alam barzakh adalah suatu masa tanpa batas tertentu yang akan
dialami oleh semua manusia tanpa terkecuali. Dan menurut pandangan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah bahwa ketika manusia telah meninggal dunia, pasti ia akan ditanya oleh
malaikat Munkar dan Nakir, baik jika mayat itu dikuburkan ataupun tidak.147
Bahagia dan sengsaranya seseorang di alam kubur sangat ditentukan oleh amal
146 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Qaul al-Nabi
saw.Yu’adzdzabu al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘Alaih, h. 80 & Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Man Yadkhulu Qabr al-Mar’ah, h. 93
147 Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1999), h. 389-390
122
ketika ia hidup di dunia. Jika amalnya baik, maka ia akan mendapatkan kenikmatan. Dan
jika amalnya buruk, maka ia akan mendapatkan siksa kubur. Itulah sebabnya, Rasulullah
saw. mengajarkan kepada umatnya agar berlindung dari siksa kubur.
Dalam sebuah Hadis dari Abû Hurairah r.a.(w.57 H.) bahwa Nabi saw. bersabda:
إذا فرغ أحدآم من التشهد ρ هريرة يقول قال رسول اهللايأبعن من أربع من عذاب جهنم ومن عذاب القبر خر فليتعوذ باهللاآل
148الومن فتنة المحيا والممات ومن شر المسيح الدجDari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Jika salah
seorang di antara kalian selesai dari tasyahud akhir, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal, yaitu: dari azab neraka, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari fitnah al-Masîh al-Dajjâl.” (H.R. Muslim)
Membicarakan alam kubur identik dengan membicarakan kematian.
Sedangkan membicarakan dan mengingat kematian sangat dianjurkan oleh
Rasulullah saw. Dalam sebuah Hadis disebutkan:
أآثروا ذآر هاذم اللذات يعني ρ عن أبي هريرة قال قال رسول اهللا 149الموت
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perbanyaklah untuk mengingat pemutus kenikmatan” yaitu kematian. (H.R. al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, dan Ahmad)
Hal yang perlu diketahui adalah bahwa azab kubur adalah azab alam
barzakh sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
ومن ورائهم برزخ إلى يوم يبعثون
148 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Mâ Yusta’âdzu minh fî al-Salâh, h. 237
149 al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Dzikr al-Maut, no. Hadis 2409, h. 378-379; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Katsrah dzikr al-Maut, no. Hadis 1821, h. 311-312; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’âdzah, no. Hadis 4258, h. 1422; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 293; al-Nawawî, Riyâd al- Sâlihîn, (Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1357/1939), h. 258-259; Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, (Jakarta: Robbani Press, 2003), Cet. III, h.123; Nilai Hadis ini hasan sahih garib.
123
“Dan di belakang mereka terdapat alam barzakh sampai waktu mereka dibangkitkan.” (QS. al-Mu’minûn/23:100)
Kenyataan adanya azab kubur ini disadari betul oleh Rasulullah saw. sehingga
beliau menjadi orang yang paling takut dan bertakwa di antara manusia. Beliau diliputi
rasa takut yang sebenar-benarnya saat menyaksikan orang menggali kubur. Beliaupun
segera mendatangi mereka dan melihat kuburan serta menangis karena takut pada
berbagai peristiwa menyeramkan selama masa yang menakutkan itu.
Tentang hal ini, disebutkan dalam Hadis berikut ini:
في جنازة فجلس على شفير ρ عن البراء قال آنا مع رسول اهللا القبر فبكى حتى بل الثرى ثم قال يا إخواني لمثل هذا فأعدواDari al-Barâ dia berkata: Ketika kami bersama Rasulullah saw. berada di
hadapan jenazah, lalu beliau duduk di sisi kuburan. Beliaupun menangis hingga air matanya membasahi tanah. Selanjutnya beliau bersabda: “Wahai saudara-saudaraku, untuk hari seperti ini, hendaklah kalian menyiapkan diri!” (H.R. Ibn Mâjah)150
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliaupun menangis ketika berziarah ke kubur ibunya.
قبر أمه فبكى وأبكى من حوله ρعن أبي هريرة قال زار النبي فقال استأذنت ربي في أن أستغفر لها فلم يؤذن لي واستأذنته في
151ها تذآر الموتأن أزور قبرها فأذن لي فزوروا القبور فإنDari Abû Hurairah r.a. ia berkata: “Nabi saw. pernah berziarah ke makam
ibunya lalu menangis dan membuat orang di sekitarnya ikut menangis. Lalu beliau bersabda: ‘Aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampunan baginya tetapi tidak diberikan izin. Dan aku meminta izin kepada-Nya untuk berziarah ke kuburannya, maka Dia-pun memberikan izin kepadaku. Oleh karena itu, berziarahlah ke kuburan, karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada kematian.’”(H.R. Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah,)
Sesungguhnya hati itu dapat khusyu dan mata dapat meneteskan airnya
150 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no.
Hadis 4195, h. 1403 151 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Isti’dzân al-Nabî saw. Rabbah
‘Azza wa Jalla fî Ziyârah Qabr Ummih, h. 289; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî Ziyârah al-Qûbûr, no. Hadis 3234, h. 218; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î., Kitâb al-Janâ’iz Bâb Ziyârah Qabr al-Musyrik, no. Hadis 2031, h. 342; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Majah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî Ziyârah Qubûr al-Musyrikîn, no. Hadis 1572, h. 501
124
karena mengetahui berbagai peristiwa menyeramkan pada saat yang menegangkan
itu. Rasulullah sendiri takut dan bersegera merenungkan liang lahad. Air mata
beliau menetes sehingga membasahi pipi, bahkan tanah. Lalu apa yang harus kita
lakukan dengan setumpuk dosa dan kemaksiatan diri kita?
Tidak ada seorangpun yang dapat menjamin, apakah ketika ia masuk ke
dalam kubur ia dapat menjawab pertanyaan atau tidak? Apakah kuburnya menjadi
luas dan menjadi bagian dari taman surga atau justru menyempit dan menjadi
bagian dari liang neraka.
Untuk kondisi itulah beliau meminta kepada umatnya agar mempersiapkan
bekal menghadapi alam yang belum pernah dialami oleh seorangpun. Meski beliau
dijamin masuk surga, namun beliau biasa menangis dan bertaubat dalam sehari
tidak kurang dari seratus kali, sedangkan kita tertawa terbahak-bahak. Beliau biasa
takut akan siksa Allah, sementara kita justru berangan-angan dan merasa aman.
Beliau selalu menyiapkan diri untuk menghadapi kematian yang merupakan
keniscayaan bagi semua manusia, sementara kita selalu bersikap masa bodoh.
Tetesan air mata beliau adalah tetesan air mata spiritual yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Tetesan air mata seperti inilah yang mampu
menggerakkan pelakunya untuk melakukan introspeksi dan evaluasi diri sehingga
selalu melakukan perbaikan diri dalam kehidupan.
a. Tangisan Rasulullah saw. Saat Menjenguk Sa’ad bin ‘Ubâdah
Rasulullah saw. adalah prototipe manusia yang sangat cinta dan peduli
kepada sesama, terlebih kepada sahabat-sahabatnya. Sebagai “rahmatan lil
‘aalamiin”, kebaikan dan kemurahan beliau acapkali dirasakan dan dinikmati oleh
orang-orang yang ada di sekitarnya. Beliau menyadari betul segala hak dan
125
kewajiban manusia dalam hidup bermasyarakat.
Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhârî dan Imam
Muslim, Nabi saw. bersabda:
يقول ρ عنه قال سمعت رسول اهللا هريرة رضي اهللايأبعن م وعيادة المريض واتباع م خمس رد السالحق المسلم على المسل
152الجنائز وإجابة الدعوة وتشميت العاطسDari Abû Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Hak
seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, yaitu (1) menjawab salam; (2) menjenguk orang yang sakit; (3) mengantar jenazah; (4) memenuhi undangan; dan (5) mendoa’akan yang bersin.” (Muttafaq ‘alaih)
Apa yang Rasul katakan dan ajarkan, beliaulah orang pertama yang
merealisasikannya. Hal ini dibuktikan tatkala Sa’ad bin ‘Ubâdah (w.15 H.),
pembawa bendera Ansar, jatuh sakit.
Sa’ad bin ‘Ubâdah (w. 15 H.) adalah pemuka suku Khazraj di kota
Madinah. Ia pernah mendapat siksaan kejam dari kafir Quraisy kota Mekah.
Kekejaman kafir Quraisy tersebut mempertebal semangatnya hingga diputuskan
secara bulat untuk membela Rasulullah saw., para sahabatnya, dan agama Islam
secara mati-matian.
Tentang keagungan beliau, Ibn Abbâs r.a. (w.68 H.) pernah berkata: “Di
setiap peperangannya, Rasulullah saw. mempunyai dua bendera: Bendera
Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib (w.40 H.) dan bendera Ansar di tangan
Sa’ad bin ‘Ubâdah.”153
Itulah sebabnya, tatakala Sa’ad bin ‘Ubâdah jatuh sakit, Rasulullah saw.
datang menjenguk dan menitikkan air mata karena empati melihat penderitaan
152 al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî, Juz 2, Kitab al-Jana’iz Bâb al-Amr bi Ittibâ’ al-Janâ’iz,
h. 70; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Salâm Bâb min Haqq al-Muslim li al-Muslim Radd al-Salâm, h. 266; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, h. 354-355
153 Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, h. 571-574
126
sahabatnya itu.
عنهما قال اشتكى سعد بن عبادة شكوى بن عمر رضي اهللاعن عبد اهللايعوده مع عبد الرحمن بن عوف وسعد بن أبي وقاص ρله فأتاه النبي
هم فلما دخل عليه فوجده في غاشية عن بن مسعود رضي اهللاوعبد اهللا فلما رأى القوم ρ فبكى النبي يا رسول اهللاأهله فقال قد قضى قالوا ال
ين وال يعذب بدمع الع ال تسمعون إن اهللا بكوا فقال أال ρبكاء النبي بحزن القلب ولكن يعذب بهذا وأشار إلى لسانه أو يرحم وإن الميت
154يعذب ببكاء أهلهDari Abdullâh bin ‘Umar, dia berkata: Sa’ad bin ‘Ubâdah pernah
mengeluhkan suatu hal kepadanya. Lalu Nabi saw. datang menjenguknya bersama Abdurrahmân bin ‘Auf, Sa’ad bin Abî Waqqâs, dan Abdullâh bin Mas’ûd. Ketika beliau masuk menemuinya, beliau mendapatkannya telah dikerumuni oleh keluarganya. Lalu beliau bertanya: “Apakah dia sudah meninggal?” Mereka menjawab: “Belum, ya Rasulullah!” Maka, Nabipun menangis. Ketika orang-orang melihat tangisan Nabi saw., merekapun ikut menangis. Lalu beliaupun bersabda: “Tidakkah kalian mendengar, sesungguhnya Allah tidak akan mengazab karena tetesan air mata dan tidak juga karena kesedihan hati. Tetapi dia akan menyiksa karena ini – Beliau menunjuk ke lidahnya – atau Dia mengasihi. Dan sesungguhnya mayit itu disiksa dengan sebab tangisan keluarganya kepadanya.” (H.R. al-Bukhârî & Muslim)
Sikap Rasulullah saw. dengan menjenguk sahabat yang sakit dan menangis
di dekatnya mengindikasikan keeratan hubungannya dengan sahabatnya tersebut.
Kemuliaan posisi beliau sebagai pemimpin tertinggi dan manusia paling mulia
tidak menjadi penghalang untuk menunjukkan kasih sayangnya, meski dengan
turun dan mendatangi orang yang berada di bawah beliau.
b. Tangisan Rasulullah saw. untuk Mush’ab bin ‘Umair
Mush’ab bin ‘Umair adalah seorang remaja Quraisy terkemuka yang
paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kepemudaan. Ia
lahir dan dibesarkan dalam kesenangan. Mungkin tidak seorangpun di antara
154 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Bukâ ‘ind al-Marîd, h.
85; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, h. 368
127
anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya
seperti Mus’ab bin ‘Umair.
Namun, ketika ia memeluk agama Islam, ia rela meninggalkan segala
kemewahan dan fasilitas dari orang tuanya.
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa sahabat yang sedang duduk
bersama Rasulullah. Saat melihat Mus’ab, mereka menundukkan kepala dan
memejamkan mata, sementara beberapa orang menitikkan air mata karena duka.
Mereka melihat Mus’ab mengenakan jubah usang yang bertambal, suatu hal yang
sangat berbeda ketika Mus’ab belum memeluk Islam.
Rasulullah sendiri menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai
dengan cinta kasih dan syukur. Beliau bersabda:
لقد رأيت مصعبا هذاوما بمكة فتى أنعم عند أبويه ثم ترك ذلك آله حبا هللا 155ورسوله
Dahulu saya melihat Mush’ab ini tidak ada yang mengimbanginya dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya. Kemudian ditinggalkannya semua itu, demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam sebuah Hadis diriwayatkan:
عن محمد بن آعب القرظي حدثني من سمع علي بن أبي طالب طلع مصعب بن في المسجد إذ ρ يقول إنا لجلوس مع رسول اهللا
ρ بردة له مرقوعة بفرو فلما رآه رسول اهللاعمير ما عليه إالبكى للذي آان فيه من النعمة والذي هو اليوم فيه ثم قال رسول
في حلة وراح في حلة ووضعت بين آيف بكم إذا غدا أحدآم ρاهللايديه صحفة ورفعت أخرى وسترتم بيوتكم آما تستر الكعبة قالوا
نحن يومئذ خير منا اليوم نتفرغ للعبادة ونكفى يا رسول اهللا
155 Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, h. 44-45
128
156 نتم اليوم خير منكم يومئذ ألρ قال رسول اهللالمؤنة ف Dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazî (ia berkata): Telah menceritakan
kepada kami orang yang mendengar ‘Alî bin Abî Tâlib berkata: Sesungguhnya kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. di masjid. Tiba-tiba muncullah Mus’ab bin ‘Umair. Tidak ada yang dikenakannya kecuali sebuah selendang (burdah) yang ditambal dengan kulit. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau menangisi (perbedaan) antara kenikmatan yang dahulu ada pada dirinya dengan sesuatu yang saat ini ada pada dirinya (berupa ujian dan kesulitan hidup). Kemudian Rasulullah bersabda: “Bagaimana keadaan kalian jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari dengan mengenakan pakaian dan pergi di sore hari dengan mengenakan pakaian yang lain. Juga di hadapannya diletakkan piring (berisi makanan) dan kemudian diganti lagi dengan makanan yang lain. Juga kalian hiasi rumah kalian sebagaimana ka’bah dihiasi?157 Para sahabat menjawab: “Wahai Rasulullah, kami ketika itu, tentu lebih baik. Sebab kami memiliki waktu luang untuk beribadah dan kebutuhan makanan kami juga tercukupi.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya keadaanmu pada hari ini lebih baik daripada saat itu.” (H.R. al-Tirmidzî)
Rasul saw. menangis karena sedih sekaligus bangga dengan keteguhan
iman Mush’ab dan keberaniannya meninggalkan segala kemewahan dunia demi
meraih ridha Allah.
Sungguh Mus’ab bin ‘Umair (w.3 H.) dahulunya adalah seorang pemuda
Quraisy yang dimanja. Jika ia memakai pakaian, maka pakaian tersebut adalah
yang paling mahal, paling indah, dan paling mewah. Para ahli sejarahnya
menyebutnya: “Ia bagaikan wewangian penduduk Mekah.” Semua kemanjaan,
kebahagiaan, dan kenikmatan, ada pada dirinya. 158
Namun, tatkala sinar Islam menyusup ke dalam kalbunya, keadaan
berubah total. Kenikmatan dunia rela ia tinggalkan, demi meraih kenikmatan yang
ada pada sisi Allah.
c. Tangisan Rasulullah saw. saat Menegakkan Salat
156 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Sifah al-Qiyâmah Bâb 15, no. Hadis
2594, h. 61; Nilai Hadis ini hasan garib. 157 Ungkapan Rasul ini merupakan isyarat melimpahnya harta yang dimiliki seseorang
sehingga pakaiannya berganti-ganti, makanannya juga demikian, dan rumahnya dihiasi dengan hiasan indah lagi mahal. Lihat Muh. Abdurrahmân al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzî, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid 7, h. 176
158 Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, h. 168
129
Salat adalah kondisi terdekat antara seorang hamba dengan Sang Khalik.
Dalam salat, seorang hamba memiliki kesempatan untuk berdialog, bermunajat,
serta menyampaikan segala keluhannya kepada Allah swt. itulah sebabnya, salat
bagi Rasulullah, dan juga selayaknya bagi umat Islam, menjadi sesuatu yang
sangat disenangi. Hal ini dapat dilihat dari ketekunan dan kekhusyuan beliau
dalam menegakkan shalat.
Dalam sebuah Hadis disebutkan:
يصلي ρ عن ثابت عن مطرف عن أبيه قال رأيت رسول اهللا ρ 159 وفي صدره أزيز آأزيز الرحى من البكاء
Dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya, ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw. sedang salat dan di dalam rongga dadanya terdengar suara seperti suara orang yang berjalan kaki karena tangisnya. (H.R. Abû Dâwûd)
Dalam riwayat lain disebutkan:
ا آان فينا فارس يوم بدر غير المقداد عنه قال معن علي رضي اهللاتحت شجرة يصلي ρ رسول اهللا نائم إالولقد رأيتنا وما فينا إال
160.ويبكي حتى أصبحDari ‘Alî bin Abî Tâlib r.a. dia berkata: “Pada waktu perang Badar, di
antara kami tidak terdapat penunggang kuda kecuali Miqdâd. Dan aku melihat tidak ada seorangpun di antara kami yang terbangun kecuali Rasulullah saw. yang tengah berada di bawah pohon sedang mengerjakan shalat dan menangis sampai pagi hari.” ( H.R. Ahmad)
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam kitab
“Sahih”-nya kitab “al-salâh” bab “al-dalîl ‘alâ anna al-bukâ lâ yaqta’ al-salâh”
no.899 dan dia menilainya sahih.. Ibn Hibbân juga meriwayatkan dalam “Kitab al-
Salâh” bab “dzikr ibâhah al-bukâ fî al-salâh” no.2254, dan dia menilainya
159 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Jilid 1, kitâb al-Salâh Bâb al-Bukâ fi al-Salâh, no
Hadis 904, h. 238; Lihat juga Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-‘Ibâdah, no. Hadis 98, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004), Cet.I, h. 123
160 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz 1, h. 125
130
sahih.161
Hadis di atas menunjukkan bahwa menangis dalam salat tidak
membatalkan salat, bahkan dianjurkan karena dicontohkan oleh Rasulullah.
Tangisan dalam salat boleh jadi menunjukkan kekhusyuan pelakunya. Namun
yang harus ditekankan adalah hendaknya tangisan itu tidak semata-mata terjadi
dalam salat, namun harus berimplikasi secara positif dalam kehidupan sehari-
hari, baik secara individual maupun sosial.
d. Tangisan Rasulullah saw. Saat Perang Badar
عباس قال حدثني عمر بن الخطاب قال لما آان بن اهللاعن عبدإلى المشرآين وهم ألف وأصحابه ρ يوم بدر نظر رسول اهللا
لة ثم مد يديه القب ρ فاستقبل نبي اهللاث مائة وتسعة عشر رجالثالفجعل يهتف بربه اللهم أنجز لي ما وعدتني اللهم آت ما وعدتني
رض تعبد في األم الاللهم إن تهلك هذه العصابة من أهل الإسالدا يديه مستقبل القبلة حتى سقط رداؤه عن فما زال يهتف بربه ما
منكبيه فأتاه أبو بكر فأخذ رداءه فألقاه على منكبيه ثم التزمه من نجز لك ما آفاك مناشدتك ربك فإنه سيورائه وقال يا نبي اهللا
عز وجل إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم أني وعدك فأنزل اهللائكة قال أبو بالمالئكة مردفين فأمده اهللاممدآم بألف من المال
بينما رجل من المسلمين يومئذ يشتد زميل فحدثني ابن عباس قالفي أثر رجل من المشرآين أمامه إذ سمع ضربة بالسوط فوقه وصوت الفارس يقول أقدم حيزوم فنظر إلى المشرك أمامه فخر
نظر إليه فإذا هو قد خطم أنفه وشق وجهه آضربة مستلقيا فنصاري فحدث بذلك رسول السوط فاخضر ذلك أجمع فجاء األ
سبعين فقال صدقت ذلك من مدد السماء الثالثة فقتلوا يومئذ ρ اهللاسارى األوأسروا سبعين قال أبو زميل قال ابن عباس فلما أسروا
سارى ء األبي بكر وعمر ما ترون في هؤالأل ρقال رسول اهللايرة أرى أن تأخذ منهم هم بنو العم والعشفقال أبو بكر يا نبي اهللا
161 Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Menangis, h. .92
131
م فقال سال أن يهديهم لإلفدية فتكون لنا قوة على الكفار فعسى اهللا يا رسول اهللا واهللاما ترى يا ابن الخطاب قلت ال ρ رسول اهللا
كر ولكني أرى أن تمكنا فنضرب أعناقهم ما أرى الذي رأى أبو بن نسيبا لعمر فتمكن عليا من عقيل فيضرب عنقه وتمكني من فال
ء أئمة الكفر وصناديدها فهوي رسول اهللافأضرب عنقه فإن هؤالρ ما قال أبو بكر ولم يهو ما قلت فلما آان من الغد جئت فإذا
أخبرني وأبو بكر قاعدين يبكيان قلت يا رسول اهللا ρ رسول اهللااء بكيت وإن لم من أي شيء تبكي أنت وصاحبك فإن وجدت بك
أبكي للذي عرض ρ أجد بكاء تباآيت لبكائكما فقال رسول اهللاعلي أصحابك من أخذهم الفداء لقد عرض علي عذابهم أدنى من
عز وجل ما وأنزل اهللا ρ ي اهللاهذه الشجرة شجرة قريبة من نبرض إلى قوله آان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن في األ
الغنيمة لهم طيبا فأحل اهللاالفكلوا مما غنمتم حالDari Ibn ‘Abbâs r.a. dia berkata: ‘Umar bin Khattâb r.a. pernah
memberitahukanku, ia berkata: Ketika terjadi perang Badar, Rasulullah melihat ke arah orang-orang musyrik. Mereka berjumlah seribu orang, sedangkan sahabat-sahabat beliau hanya berjumlah 319 orang. Kemudian Nabi saw. menghadap kiblat lalu mengangkat tangannya seraya berseru kepada Rabb-nya: “Ya Allah, wujudkanlah untukku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah (kepadaku) apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau hancurkan pasukan dari para pemeluk Islam ini, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi.” Beliau masih terus berseru kepada Tuhannya dengan mengangkat kedua tangannya sambil menghadap kiblat sehingga selendang beliau jatuh dari atas pundaknya. Lalu Abu Bakar mendatangi beliau dan mengangkat selendang itu dan kemudian meletakkannya kembali di atas kedua pundak beliau sambil berkata; “Wahai Nabiyullah, cukuplah seruanmu kepada Rabb-mu. Sesungguhnya Dia akan mewujudkan apa yang telah Dia janjikan kepadamu.” Maka Allah-pun menurunkan ayat ([Ingatlah], ketika kalian memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu Dia memperkenankan bagi kalian, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’ QS.al-Anfâl:9). Lalu, Allahpun mendatangkan untuknya malaikat. Abû Zumail menceritakan, Ibn ‘Abbâs mengatakan: Ketika pada saat itu ada seorang lelaki muslim yang sedang mengejar seorang lelaki musyrik yang ada di depannya, tiba-tiba dia mendengar suara pukulan cambuk di atasnya dan suara penunggang kuda yang berteriak: “Majulah Haizum (nama kuda)!” Lalu ia memperhatikannya, dan ternyata hidungnya telah luka dan wajahnya robek seperti terkena pukulan cambuk, dan semuanyapun menjadi hitam. Lalu datanglah seorang Ansar dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah. Rasulpun bersabda: “Engkau benar. Itu adalah berasal dari bantuan langit ketiga.” Pada saat itu mereka dapat membunuh 70 orang dan
132
menawan 70 pasukan. Abu Zumail menceritakan, Ibn ‘Abbâs mengatakan: Ketika mereka menawan beberapa orang tawanan, Rasulullah bersabda kepada Abû Bakar dan ‘Umar: “Bagaimana pendapat kalian tentang para tawanan tersebut?” Maka Abû Bakar menjawab: “Wahai Nabiyullah, mereka adalah bani al-‘Amm dan al-‘Asyîrah (termasuk keluarga). Menurutku, kita ambil saja fidyah (tebusan) dari mereka sehingga menjadi kekuatan bagi kita untuk melawan orang-orang kafir. Mudah-mudahan saja Allah memberikan petunjuk kepada mereka untuk memeluk Islam.” Selanjutnya Rasulullah bertanya: “Bagaimana menurutmu, wahai Ibn al-Khattâb?”Akupun menjawab: “Demi Allah, tidak, wahai Rasulullah. Saya tidak sependapat dengan Abû Bakar. Menurut saya, hendaknya engkau memberikan wewenang kepada kami sehingga kami penggal leher mereka. Berikan tugas kepada ‘Alî untuk menghadapi Aqil, lalu ia memenggal lehernya. Dan berikan tugas kepadaku untuk menghadapi si Fulan, lalu aku penggal lehernya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemimpin dan pemuka orang-orang kafir.” Ternyata, Rasulullah saw. menerima pendapat Abû Bakar da menolak pendapatku. Pada keesokan harinya aku datang. Saat itu, aku dapati Rasulullah saw. dan Abû Bakar tengah menangis. Lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, apa sebabnya engkau dan sahabatmu ini menangis! Jika aku bisa menangis, maka aku akan menangis. Dan jika aku tidak bisa menangis, maka aku akan berpura-pura menangis tersebab tangisan kalian berdua.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Aku menangis karena sesuatu yang diperlihatkan kepadaku disebabkan tindakan sahabat-sahabatmu mengambil fidyah (tebusan). Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku azab mereka lebih dekat daripada pohon ini, sebuah pohon yang dekat Nabiyullah saw. Sedangkan Allah telah menurunkan ayat (Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi…QS.al-Anfâl:67) sampai firman-Nya yang berbunyi (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu sebagai makanan yang halal lagi baik. QS. al-Anfâl:69). Dengan demikian, Allahpun telah menghalalkan harta rampasan perang untuk mereka. (H.R. Muslim & Ahmad) 162
Ayat ini, menurut al-Syaikh ‘Alî al-Sâbûnî, merupakan celaan terhadap Nabi saw.
dan para sahabatnya yang telah mengambil tebusan dari para tawanan perang. Allah lebih
menghendaki balasan akhirat yang kekal abadi, ketimbang harta tebusan yang sesaat.163
Itulah sebabnya, menurut al-Syaikh Muh. al-Ghazâlî, di antara yang akan
dihisab oleh Allah dengan hisab yang keras terhadap kaum muslimin adalah sikap
mereka terhadap para tawanan pada perang Badar.164
162 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar Bâb al-Imdâd bi al-
Malâ’ikah fî Ghazwah badrwa Ibâhah al-Ghanâ’im, h. 84-85; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 1, h. 31,33; Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Penerbit Tintamas, 1984), cet.IX, h. 275; al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994/1414), h. 133-134
163 ‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 1, h. 514-515 164 Khumais As-Said, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Menangis, h. 111
133
Macam-macam Menangis Ditinjau dari Segi Hukum
Jika ditinjau dari segi hukum, maka aktivitas menangis dapat
dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: Menangis yang dibolehkan, menangis
yang terlarang, dan menangis yang dianjurkan.
1. Menangis yang Dibolehkan
a) Menangisi Mayit secara Wajar
Dalam kajian Hadis, menangisi mayit mendapatkan perhatian tersendiri
dari para ulama. Hal ini disebabkan karena banyaknya jalur periwayatan
tentang hal tersebut dan adanya dugaan bahwa redaksi hadis menangisi mayit
bertentangan dengan dalil-dalil yang lain, baik dari al-Qur’an ataupun Hadis,
secara zahir.
Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya didapatkan 71 jalur
periwayatan dalam masalah ini dengan redaksi yang tidak terlalu jauh
berbeda. Dari jumlah tersebut, 47 riwayat secara tegas menandaskan bahwa
tangisan dapat melahirkan siksaan bagi mayit, dan 24 riwayat di antaranya
menjelaskan klarifikasi atau koreksi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a.
terhadap Hadis-hadis tersebut yang diriwayatkan ‘Umar r.a. (w.23 H.) dan
Abdullah bin Umar r.a. (w.73 H.)
Apakah klarifikasi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a.(w.57 H.)
menggugurkan keberadaan Hadis-hadis tersebut?
al-Syaikh Ibn al-Qayyim al-Jauzî (w.751 H.) dalam Syarh Sunan Abî
Dâwûd menjelaskan bahwa riwayat ‘Umar dan Ibn ‘Umar telah disepakati
oleh sekelompok sahabat yang lain. Riwayat inipun dicantumkan dalam “al-
Sahîhain”. Sahabat Anas dan Abû Mûsâpun menjadi saksi terhadap riwayat
‘Umar r.a. Sahabat lain yang ikut terlibat dalam periwayatan ini adalah Hafsah,
134
Suhaib, dan Mughîrah bin Syu’bah. Demikian Ibn al-Qayyim.165
Ibn Qutaibah juga menegaskan bahwa penolakan ‘Aisyah terhadap
Hadis tersebut adalah dugaan (zann) dan ta’wil beliau sendiri. Sedangkan
dugaan itu tidak dapat menolak eksistensi Hadis Rasulullah saw., kecuali
jika’Aisyah menyampaikan sabda Rasul yang bertentangan atau bertolak
belakang dengan Hadis menangisi mayit, tentu pernyataannya dapat
diterima. Apalagi Hadis tentang menangisi mayit ini banyak diriwayatkan
oleh sahabat, di antaranya ‘Umar, ‘Imrân ibn Husain, Ibn ‘Umar, dan Abû
Mûsâ al-Asy’arî.166
Memang, jika matan hadis dipahami secara literal – bahwa perbuatan
orang lain menyebabkan siksaan mayit – bertentangan dengan nash-nash
agama dan akal sehat. Berikut ini beberapa nas yang dianggap bertentangan
dengan makna lahiriyah Hadis:
: فاطر , 15:االسراء , 164:االنعام (ال تزر وازرة وزر أخرى )38:النجم , 7:الزمر,
ةمن يعمل مثقال ذرة شرا يره . فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ) 8-7:الزلزلة(
)21 :الطور(آل امرئ بما آسب رهين ) 38:المدثر(آل نفس بما آسبت رهينة
Imam Ibn Katsîr (w.774 H.), ketika menafsirkan surat al-An’âm ayat
164 di atas mengatakan:
Hal ini merupakan informasi yang akan terjadi pada hari kiamat mengenai pembalasan, hukum, dan keadilan Allah. Sesungguhnya setiap diri hanya akan dibalas berdasarkan amal perbuatannya. Jika baik (amalnya), maka baik pula (balasannya). Jika buruk (amalnya), maka buruk pula (balasannya). Sesungguhnya kesalahan seseorang tidak ditanggung oleh orang lain. Inilah di
165 Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth.), Juz 8, h. 400-401 166 Ibn Qutaibah, ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, (Beirût: Mu’assasah al-Kutub al-
Tsaqâfiyyah, 1988), Cet. I, h. 162
135
antara wujud keadilan-Nya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS Fâtir ayat 18 dan Tâhâ ayat 112.167
Sedangkan di antara Hadis yang berseberangan maknanya adalah;
هذا إبنك؟ قال نعم قال اما إنه ال يجني عليك وال :ρقوله 168تجني عليه
Jika diakui bahwa kedua jenis teks-teks ini sebagai bertentangan,
maka kita dapat memasukkannya sebagai bagian dari pembahasan “’Ilm
Mukhtalaf al-Hadîts” (Ilmu tentang Kontroversialitas Hadis). Untuk
menyelesaikannya ada empat alternatif, yaitu:
1. Metode al-jam’u wa al-taufîq (memadukan dan menyelaraskan makna)
2. Metode al-naskh (menentukan yang awal dan yang akhir)
3. Metode al-tarjîh (menentukan yang terbaik)
4. Metode al-tawaqquf (penangguhan sementara)169
Sebelum lebih jauh penulis menjelaskan makna Hadis tersebut,
perlu juga dipahami: Apakah yang dimaksud dengan “tangisan” di sini
terbatas hanya pada tangisan keluarga atau juga tangisan orang lain.
Permasalahan ini muncul karena dalam Hadis ditemukan redaksi yang
berbunyi “ببكاء أهله عليه “ (tersebab tangisan keluarganya kepadanya),
sedang redaksi lain berbunyi “ببكاء الحي” (tersebab tangisan orang yang
167 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 2, h. 199 168 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Diyât bâb lâ Yu’khadzu Ahad bi
Jarîrah Akhîh au Abîh, no. Hadis 4495, h. 168; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’i, Kitâb al-Qasâmah wa al-Qûd Bâb Hal Yu’khdzu Ahad bi Jarîrah Ghairih, no. hadis 4842, h. 776-777; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Diyât Bâb lâ Yajnî Ahad ‘alâ Ahad, no. Hadis 2671, h. 890; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 2, Kitâb al-Diyât Bâb lâ Yu’khadzu Ahad bi Jinâyah Ghairih, no. Hadis 2388, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000), Cet.ke-1, h. 53-54; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 499, Juz 4, h. 163, 345, uz 5, h. 81; 168 al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1989), Juz 4, h. 272-273
169 Al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1966), Jilid 1, h. 197-202
136
hidup).
Imam al-Kandahlawi dalam “Awjaz al-Masâlik ilâ Muwatta Mâlik”
dan al-Syaikh Badruddîn al-‘Aini (w.855 H.) dalam “’Umdah al-Qârî”
memahami bahwa berdasarkan zahir Hadis (metode al-jam’u wa al-taufîq),
maka yang dimaksud adalah tangisan secara umum, baik dari keluarganya
ataupun bukan keluarganya.
Jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî (w. 264 H.), Ibrâhîm al-Harbî,
sebagian ulama Syafi’iyah termasuk Imam al-Nawawî (w. 675 H.),
mentakwilkan bahwa siksa itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada
keluarganya untuk diratapi setelah kematiannya. Sedangkan jika keluarganya
menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang, 170 karena
hal ini merupakan rahmat Allah. Begitulah yang juga ditunjukkan oleh Rasul
saw. saat kematian anggota keluarganya sambil mengatakan,“Ini merupakan
rahmat yang dianugerahkan Allah kepada hati hamba-hamba-Nya. Allah
hanya memberikan rahmat kepada hamba-hamba yang penyayang.”Dan yang
perlu ditegaskan adalah bahwa menurut para ulama sebagaimana yang
dikatakan Imam al-Nawawî, tangisan yang melahirkan siksaan bagi mayit
adalah tangisan yang disertai suara keras dan teriakan, bukan semata-mata
deraian air mata.171
Oleh karena itu, menurut al-Syaikh Muhammad Zakariyyâ al-
Kandahlawi, jika mayit ditangisi tanpa wasiat darinya sebelumnya, maka ia
170 Ibid, Juz 3, h. 505; Al-‘Aini, ‘Umdah al-Qârî, (Beirût; Dâr al-Fikr, 1989.), Juz 8, h. 79; Khalîl Ahmad, Bazl al-Majhûd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), Juz 3, h. 96
171 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994), Juz 3, h. 506
137
tidak mendapat azab. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Seseorang yang
berdosa tidak menanggung dosa orang lain.”172 Tentunya jika memang ia
melihat bahwa di keluarganya tidak ada kebiasaan yang terlarang itu.
Sementara itu, Ibn Qutaibah memberikan pemahaman yang agak
berbeda. Menurut beliau, jika yang dimaksud adalah mayit kafir, hal ini
tidak ada masalah. Karena memang mayit kafir setiap saat mendapatkan
siksaan. Sedangkan jika yang dimaksudkan adalah mayit muslim, maka
perlu ditegaskan, bahwa yang dimaksud dalam surat Al-An’am ayat 64
adalah hal-hal yang terkait dengan hukum dunia.
Lebih lanjut beliau mengatakan, sesungguhnya siksa Allah jika
sudah datang, akan menimpa secara merata kepada semua orang, yang jahat
atau yang baik. Begitulah yang digambarkan Allah dalam surat al-Anfâl
ayat 25 dan al-Rûm ayat 41. Tentang hal ini, Ummu Salamah pernah
bertanya kepada: “Ya Rasulullah, apakah kami akan dihancurkan padahal di
tengah-tengah kami banyak orang-orang salih?” Beliau menjawab: “Ya,
jika keburukan telah menyebar.”173
Dengan demikian, menangisi mayit, baik dia kerabat ataupun
bukan, jika dilakukan secara wajar, tidaklah dianggap sebagai perbuatan
tercela dan terlarang. Itulah sebabnya, Imam al-Nawawî (w.675 H.) dalam
kitab “Riyâd al-Sâlihîn” memberikan judul “Bab Jawâz al-Bukâ ‘alâ al-
Mayyît bi Ghair Nadb walâ Niyâhah” (Bab yang menerangkan kebolehan
menangisi mayit tanpa disertai dengan ratapan dan tangisan kuat). Adapun
172 al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 271 173 Ibn Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, h. 160-161
138
“niyâhah” (tangisan/ratapan yang disertai teriakan) dipandang sebagai
keharaman. Demikian Imam al-Nawawî (w.675 H.).174
b) Menangis karena Terharu
Kepergian Rasulullah saw. dan terputusnya wahyu membuat Ummu
Aiman, Abû Bakar (w.13 H.), dan ‘Umar (w.23 H.) menangis. Hal ini
sebagaimana yang termuat dalam Hadis berikut ini:
عنه بعد وفاة رسول اهللاعن أنس قال قال أبو بكر رضي اهللاρلعمر انطلق بنا إلى أم أيمن نزورها آما آان رسول اهللا ρا عند لها ما يبكيك م يزورها فلما انتهينا إليها بكت فقاال أآون أعلم أن ما فقالت ما أبكي أن الρ خير لرسوله اهللا
ولكن أبكي أن الوحي قد انقطع من ρ خير لرسوله عند اهللا 175ا يبكيان معهالسماء فهيجتهما على البكاء فجعال
Dari Anas, dia berkata: Sepeninggal Rasulullah saw.Abû Bakar r.a. pernah berkata kepada ‘Umar: “Marilah kita berkunjung ke (rumah) Ummu Aiman sebagaimana Rasulullah saw. biasa mengunjunginya. Ketika kami sampai di tempatnya, Ummu Aiman menangis.” Maka keduanya berkata kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis? Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi Rasul-Nya.sa.” Lalu Ummu Aiman berkata: “Aku tidak menangis karena tidak mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya saw. Akan tetapi, aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka hal itu membuat Abu Bakar dan Umar tersentuh sehingga keduanya menangis bersamanya. (H.R. Muslim dan Ibn Mâjah)
Tangisan yang ditunjukkan oleh Ummu Aiman r.a., Abû Bakar r.a.
(w.13 H.), dan ‘Umar r.a. (w.23 H.), adalah tangisan yang teramat wajar
karena mengenang teladan tercinta mereka, Rasulullah saw. dengan segala
kemuliannya. Maka, jika mereka berperilaku seperti itu, kitapun
174 al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn,(Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1357/1939), h. 363;
Lihatlah Hadis-hadis tentang tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan kematian orang-orang yang dicintainya pada pembahasan terdahulu!
175 Hadis ini sahih. Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah r.a.Bâb min fadâ’il Ummi Aiman r.a., h. 379; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Dzikr Wafâtih wa Dafnih saw., no. Hadis 1635, h. 523-524
139
diperkenankan menangis mengenang kemuliaan, keshalihan dan perjuangan
mereka memuliakan Islam. Kita menangis karena kita tertinggal jauh dari
mereka dalam melakukan amal salih sebagai bekal di akhirat. Kita menangis,
karena banyak noda dan dosa yang menghiasi hari-hari kita. Bahkan, jika
tangisan kita memberikan implikasi positif dalam kehidupan, boleh jadi ia
akan bernilai ibadah di sisi Allah.
Tentang tangisan yang terjadi karena keterharuan juga pernah terjadi
pada seorang sahabat, Ubay bin Ka’ab r.a. (w.21 H.) Beliau menangis saat
namanya disebut oleh Allah. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Hadis
berikut ini:
بي إن اهللا ألρ عنه قال النبي عن أنس بن مالك رضي اهللاأمرني أن أقرأ عليك لم يكن الذين آفروا من أهل الكتاب قال
176وسماني قال نعم فبكىDari Anas, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada Ubay bin
Ka’ab: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk membacakan kepadamu ‘lam yakun al-ladzîna kafarû’ (Surat al-Bayyinah).” Ubay bertanya: “Apakah Allah menyebut namaku kepadamu?” Beliau menjawab: “Ya (Dia telah menyebut namamu kepadaku).” Lantas Anas berkata: “Maka Ubaypun menangis.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan Ahmad)
Tangisan yang dilakukan Ubay bin Ka’ab (w.21 H.) di hadapan
Rasulullah saw. karena terharu dengan berita yang disampaikan oleh beliau.
Sikap beliau sendiri yang tidak mencegahnya, menunjukkan bahwa tangisan
seperti ini dibolehkan. Tangisan ini terjadi karena terharu dan bahagia
namanya disebut oleh Zat Yang Mahamulia kepada manusia termulia, yaitu
176 al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî, Juz 4, Kitâb al-Manâqib Bâb Manâqib Ubay bin ka’ab
r.a., h.228, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah Lam Yakun, h. 90; ; Muslim, Sahîh Muslim, Juz I, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Istihbâb Qirâ’ah al-Qur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa al-Hudzdzâqh fîh, 320, Juz 2, Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah r.a. Bâb min fadâ’il Ubay bin Ka’ab wa Jamâ’ah min al-Ansâr r.a., h. 383; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Manâqib bâb Manâqib Mu’âdz ibn Jabal wa Zaid ibn Tsâbit wa Ubay ibn ka’ab wa Abî ‘Ubaidah ibn al-Jarrâh r.a., no. Hadis 3880, h. 330; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 218
140
Rasulullah saw.
2. Menangis yang Dilarang
Jika menangisi mayit secara wajar sebagai wujud kasih sayang kepada
sesama dibolehkan, maka jika hal itu dilakukan secara berlebih-lebihan, ia
menjadi tercela dan karenanya dilarang.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Hadis mengenai
menangisi mayit setidaknya didapatkan 71 jalur periwayatan dengan redaksi
yang tidak terlalu jauh berbeda. Dari jumlah tersebut, 47 riwayat secara tegas
menandaskan bahwa tangisan dapat melahirkan siksaan bagi mayit, dan 24
riwayat di antaranya menjelaskan klarifikasi atau koreksi yang dilakukan Siti
‘Aisyah r.a.(w.57 H.) terhadap Hadis-hadis tersebut yang diriwayatkan ‘Umar
r.a. (w.23 H.) dan Abdullâh bin ‘Umar r.a. (w.73 H.).
Apakah klarifikasi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a. menggugurkan
keberadaan Hadis-hadis tersebut?
al-Syaikh Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w.751 H.) dalam Syarh Sunan Abî
Dâwûd menjelaskan bahwa riwayat ‘Umar r.a. (w.23 H.) dan Ibn ‘Umar
r.a.(w.73 H.) telah disepakati oleh sekelompok sahabat yang lain. Riwayat
inipun dicantumkan dalam “al-Sahîhain”. Sahabat Anas dan Abû Mûsâpun
menjadi saksi terhadap riwayat ‘Umar r.a. Sahabat lain yang ikut terlibat
dalam periwayatan ini adalah Hafsah, Suhaib, dan Mughîrah bin Syu’bah.
Demikian Ibn al-Qayyim.177
Berikut ini beberapa pemahaman yang disampaikan para ulama
berkaitan dengan keragaman redaksi hadis tersebut:
177 Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, Juz 8, h. 400-401
141
Pertama: Imam Badruddîn al-‘Aini (w.855 H.) menyatakan bahwa
berdasarkan riwayat Imam al-Baihaqî (w.548 H. dalam “Sunan”-nya, Imam
al-Syâfi’î (w.204 H.) cenderung kepada pendapat Siti ‘Aisyah (w.57 H..
Pandangan istri Nabi ini dinilai lebih terpelihara berdasarkan al-Qur’an dan
Sunnah. Di antara ayat-ayat yang mendukung adalah: QS. Ali ‘Imrân/3:164;
al-Isrâ/17:15; Fâtir/35:18; al-Zumar/39:38-39; Tâhâ/20:15, dan al-Zalzalah:78.
Sedangkan Hadis yang mendukung adalah Hadis yang telah dicantumkan di
atas. Imam al-Syâfi’î berpendapat bahwa dengan Hadis tersebut Rasulullah,
sebagaimana juga Allah, ingin menjelaskan bahwa kejahatan yang dilakukan
setiap orang akan menjadi tanggung jawabnya sendiri, bukan tanggung jawab
orang lain.178
Akan tetapi, menurut al-Qurtubî (w.567 H.) bahwa pengingkaran
‘Aisyah terhadap Hadis dimaksud dan menghukumkan bahwa rawi (‘Umar r.a.
dan Ibn ‘Umar r.a.) telah melakukan kesalahan, atau lupa, atau diduga hanya
mendengar sebagian redaksi saja merupakan dugaan yang jauh. Bahkan oleh
Ibn Qutaibah (w.236 H.) dinilai hanya sebagai dugaan (zannî) dan penakwilan
Siti ‘Aisyah saja. Sebab para sahabat yang meriwayatkan makna Hadis
tersebut banyak dan mereka tidak meragukannya. Kalaupun menurut beberapa
riwayat Ibn Abî Mulaikah bahwa ketika Ibn ‘Umar r.a. mendengar
“sanggahan” ‘Aisyah berdiam diri saja, menurut al-Qurtubî (w.567 H.) hal ini
bukan karena beliau ragu. Boleh jadi menurut beliau, Hadis riwayat beliau
memungkinkan untuk menerima takwil, atau mungkin kondisi yang tidak
178 al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 270; Badruddîn al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî,
Juz 8, h. 79
142
memungkinkan beliau berbicara.179
Kedua: Jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî (w.264 H.), Ibrâhîm
al-Harbî, sebagian ulama Syafi’iyah termasuk Imam al-Nawawî,
mentakwilkan bahwa siksa itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada
keluarganya untuk diratapi setelah kematiannya. Sedangkan jika keluarganya
menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang, 180 karena
hal ini merupakan rahmat Allah. Begitulah yang juga ditunjukkan oleh Rasul
saw. saat kematian anggota keluarganya sambil mengatakan, “Ini merupakan
rahmat yang dianugerahkan Allah kepada hati hamba-hamba-Nya. Allah
hanya memberikan rahmat kepada hamba-hamba yang penyayang.”
Dalam tradisi jahiliyah telah dikenal wasiat seseorang agar diratapi
setelah kematiannya. Hal ini tergambar dalam perkataan syair Tarfah bin al-
‘Abd:
وشقي على الجيب يا ام إذا مت فانعيني بما أنا أهله 181معبد
Jika aku meninggal kelak, maka ratapilah diriku dengan ratapan yang layak untukku, dan robek-robeklah saku baju, wahai Ummu Ma’bad.
Imam al-Nawawî (w.675 H.) menyampaikan pendapat sekelompok
ulama bahwa Hadis ini berlaku bagi orang yang berwasiat untuk ditangisi dan
diratapi atau juga orang yang tidak berwasiat agar hal itu ditinggalkan. Siapa
saja yang berwasiat untuk ditangisi dan diratapi atau tidak berwasiat agar hal
itu ditinggalkan, maka ia berhak mendapat azab.
Mendukung pendapat di atas, Ibn al-Murâbit menegaskan:
179 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî,,Juz 3, h. 154; Ibn Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf al-
Hadîts, (Beirût: Mu’assasah al-Kutub as-Tsaqâfiyyah, 1988), Cet., h. 162 180 Ibid, Juz 3, h. 505; Badruddîn Al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî, Juz 8, h. 79; Khalîl Ahmad,
Bazl al-Majhûd, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), Juz 3, h. 96 181 Badruddîn al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî, Juz 8, h. 79
143
Jika seseorang telah mengetahui larangan meratapi (mayit) dan dia tahu bahwa keluarganya mempunyai kebiasaan tersebut dan ia tidak menginformasikan keharaman perbuatan itu serta tidak melarangnya, maka jika ia mendapat siksa, maka itu berdasarkan perbuatannya sendiri, tidak semata-mata perbuatan orang lain. 182
Oleh karena itu, menurut al-Syaikh Muhammad Zakariyyâ al-
Kandahlawi, jika mayit ditangisi tanpa wasiat darinya sebelumnya, maka ia
tidak mendapat azab. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Seseorang yang
berdosa tidak menanggung dosa orang lain.”183 Tentunya jika memang ia
melihat bahwa di keluarganya tidak ada kebiasaan yang terlarang itu.
Ketiga: Apakah yang dimaksud tangisan dalam Hadis ini secara
mutlak atau secara tertentu?
Imam al-Nawawî (w.675 H.) menjelaskan bahwa ulama sepakat yang
dimaksud tangisan yang melahirkan siksaan bagi mayit adalah tangisan yang
disertai suara keras dan teriakan, bukan semata-mata deraian air mata.184 Inilah
sebagian dari tradisi jahiliyah yang tercela.
Oleh karena itu, dengan memadukan berbagai riwayat antara yang
menggunakan lafal “bi bukâ ahlih” dan yang menggunakan lafal “bi ba’d bukâ
ahlih” (riwayat Ibn ‘Abbâs r.a.), serta yang menggunakan lafal yang berakar kata
dari “niyâhah”, dipahami bahwa tidak semua tangisan menyebabkan siksaan bagi
mayit. Hanya tangisan yang disertai dengan teriakan keraslah yang terlarang.
Itulah sebabnya, Imam al-Nawawî dalam kitab “Riyâd al-Sâlihîn” memberikan
judul “Bâb Jawâz al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit bi Ghair Nadb walâ Niyâhah” (Bab yang
menerangkan kebolehan menangisi mayit tanpa disertai dengan ratapan dan
182 al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 154-155 183 al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 271 184 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Juz 3, h. 506
144
tangisan kuat). Adapun “niyâhah” (tangisan/ratapan yang disertai teriakan)
dipandang sebagai keharaman. Demikian Imam al-Nawawî.185
Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî (w. 1057 H.) menjelaskan bahwa yang
dimaksud “niyâhah” adalah mengangkat suara dengan keras sambil menyebutkan
kebaikan-kebaikan mayit (padahal yang mereka anggap baik adalah buruk dalam
pandangan Islam), meski tidak dengan ungkapan bersajak. Termasuk yang
diharamkan juga adalah mengangkat suara dengan menangis sampai melampaui
batas walau tanpa ratapan dan teriakan.186
Itulah pula sebabnya, Imam al-Bukhârî memberikan judul dalam kitabnya
dengan “Bab Qaul al-Nabî Yu’adzdzab al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘alaih Idzâ
kâna al-Nauh min Sunnatih” (Bab yang menjelaskan ucapan Nabi “mayit disiksa
tersebab sebagian tangisan keluarganya kepadanya” jika ratapan merupakan
kebiasaannya). Menurut al-‘Asqalânî (w.852 H.), hal ini merupakan pembatasan
Imam al-Bukhârî (w.256 H.) sebagaimana riwayat Ibn ‘Abbâs r.a. (w.68 H.)
dengan lafal “ba’d” (muqayyad) terhadap riwayat Ibn ‘Umar r.a. (w.73 H.) yang
menggunakan redaksi global. Ini artinya tidak setiap tangisan yang terlarang,
tetapi tangisan tertentu sebagaimana yang dijelaskan di atas.187
Perhatikanlah beberapa Hadis yang mencela sikap-sikap jahiliyah tersebut:
ضربمن ليس منا ρ عنه قال قال النبي رضي اهللاعن عبد اهللا 188الخدود وشق الجيوب ودعا بدعوى الجاهلية
185 al-Nawawî, Riyâd al-Salihîn, h. 363 186 Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî, Dalîl al-Fâlihîn, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth.), jilid 3, h.
405 187 al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 152 188 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb laisa minnâ man Daraba al-
Khudûd, h. 83; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Tahrîm Darb al-Khudûd wa Syaqq al-Juyûb wa al-Du’â bi Da’wâ al-Jâhiliyyah, h. 56
145
Dari ‘Abdullâh r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Bukanlah termasuk dari kebiasaan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek pakaian, dan berteriak dengan cara jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaih )
اثنتان في الناس هما بهم ρ عن أبي هريرة قال قال رسول اهللا آفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Ada dua hal yang dapat menyebabkan manusia menjadi kufur, yaitu mencela keturunan dan meratapi mayit.” (H.R. Muslim)189
3. Tangisan yang Dianjurkan
a). Menangis karena Takut kepada Allah
Dalam berbagai Hadis, Rasulullah saw. menyatakan kemuliaan
seorang yang mencucurkan air mata karena takut (khasy-yah) kepada
Allah sehingga tidak akan disentuh oleh api neraka kelak di hari kiamat.
Hadis-hadis tersebut adalah:
بكى رجل النار يلج ال ρ اهللا رسول قال قال هريرة أبي عن غبار يجتمع وال الضرع في اللبن يعود حتى اهللا خشية من 190جهنم ودخان اهللا سبيل في
Dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Seseorang yang menangis karena takut kepada Allah tidak akan masuk ke dalam neraka sehingga air susu kembali ke teteknya. Tidak juga akan bersatu debu yang beterbangan di jalan Allah dengan asap neraka jahanam.” (H.R. al-Tirmidzî dan al-Nasâ’î)
ال عينان يقول ρ اهللا رسول سمعت قال عباس ابن عن في تحرس باتت وعين اهللا خشية من بكت عين النار تمسهما 191اهللا سبيل
189 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb itlâq Ism al-Kufr ‘alâ al-Ta’n fî al-
Nasab wa al-Niyâhah ‘alâ al-Mayyit, h. 46 190 Menurut Imam al-Tirmidzî, nilai Hadis ini hasan sahih. Lihat : al-Tirmidzî, Sunan al-
Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb Mâ Jâ’a fi fadl al-Ghubârfî Sabîil al-Lâh, no. Hadis 1683, h. 93, dan Juz 3 Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-Bukâ min Khasy-yah al-Lâh, no. Hadis 2413, h. 380; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl man ‘Amila fî Sabîl al-Lâh ‘alâ Qadamih, no. Hadis 3105, h. 505
191 Hadis ini hasan garib. Lihat; Ibid, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-Hars fî
146
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Ada dua mata (yang pemiliknya) tidak akan disentuh oleh api neraka, yaitu: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang selalu terjaga di jalan Allah.” (H.R. al-Tirmidzî)
من قال ليس شيء أحب إلى اهللا ρعن أبي أمامة عن النبي وقطرة دم قطرتين وأثرين قطرة من دموع في خشية اهللا
وأثر في ثران فأثر في سبيل اهللا وأما األراق في سبيل اهللاته 192فريضة من فرائض اهللا
Dari Abî Umâmah dari Nabi saw., beliau bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah selain dua tetesan dan dua atsar (bekas/pengaruh), yaitu: tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allah. Adapun dua atsar itu adalah atsar di jalan Allah dan atsar dalam melaksanakan kewajiban dari Allah.”(H.R. al-Tirmidzî)
ما من عبد ρ بن مسعود قال قال رسول اهللاعن عبد اهللامؤمن يخرج من عينيه دموع وإن آان مثل رأس الذباب
حرمه اهللا ثم تصيب شيئا من حر وجهه إالمن خشية اهللا 193على النار
Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Setiap hamba beriman yang keluar dari kedua kelopak matanya tetesan air mata, meski sebanyak kepala lalat, lalu menimpa sesuatu karena panas wajahnya, niscaya Allah akan haramkan dirinya (dijilat) api neraka. (H.R. Ibn Mâjah)
Keempat Hadis di atas menegaskan bahwa orang yang menangis
karena takut kepada Allah, merasakan keagungan dan kebesaran-Nya, dan
khawatir akan ditimpa murka dan azab-Nya yang teramat pedih, akan
dijauhkan dari api neraka. Sabda-sabda Rasul di atas memang berbentuk
berita, namun pada hakikatnya ia memerintahkan dan memberikan
motivasi kepada umatnya untuk senantiasa menangis karena takut kepada
Sabîl al-Lâh no. hadis 1690, h.96. Dengan redaksi yang agak berbeda, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Dârimî dan Imam Ahmad bin Hanbal.; Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika ‘Abdullâh bin ‘Amr sujud sambil menangis, lalu beliau berkata: “Apakah anda heran dengan tangisan saya?” Selanjutnya beliau memandang bulan dan berkata: “Sesungguhnya ini (bulan) sungguh menangis karena takut kepada Allah.” Lihat ‘Abdullâh bin al-Mubârak, Al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Fadl Dzikr al-Lâh ‘Azza wa Jalla, no. Hadis 1145, h. 589
192 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb 25, no. hadis 1720, h.109; Kualitas Hadis ini hasan garib
193 Hadis ini daif. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-bukâ, no. Hadis 4197, h. 1404
147
Allah sehingga diselamatkan dari pedihnya api neraka. Bukankah selamat
dan aman dari api neraka merupakan harapan setiap orang sebagaimana
yang tercantum dalam doa sapu jagad yang teramat masyhur.
Orang yang takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan
berupaya sekuat tenaga untuk menjauhkan diri dari berbagai maksiat, dan
sebaliknya akan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Kalaupun suatu ketika
ia melakukan suatu dosa, ia akan segera ingat kepada Allah dan bertaubat
kepada-Nya.
Menangis karena takut kepada Allah akan selalu dibarengi dengan
perasan hina dan rendah diri di hadapan-Nya, penyesalan, kelembutan,
kekhusyuan, dan kesyahduan di hadapan-Nya. Ia akan mengerahkan
segala kemampuan yang dimilikinya demi kemulian Islam dan kaum
muslimin (izz al-Islâm wa al-muslimîn) dan demi keselamatannya dari
murka dan siksa Allah.
Imam Abû al-Faraj Ibn al-Jauzî (w. 597 H.) pernah berkata: “Takut
adalah bara yang menghanguskan gejolak syahwat.”194
Keutamaan rasa takut itu tergantung bagaimana rasa takut itu dapat
menghanguskan nafsu syahwat, membendung maksiat, dan menumbuhkan
rasa taat. Rasa takut kepada Allah juga dapat menumbuhkan sikap iffah
(menjaga diri), wara’, takwa, mujahadah, serta amalan-amalan utama yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Rasa takut merupakan manifestasi dari ilmu. Semakin tinggi ilmu
seseorang, semakin bertambah pula rasa takutnya kepada Allah
(QS.Fâtir/35:28).
Adapun sebab-sebab takut itu amatlah banyak. Yang paling pokok
194 Abdurrahman As-Sinjari, et.al., Menangis karena Takut pada Allah, (Jakarta: Pustaka
AL-Kautsar, 2005), Cet. Ke-14, h. 11;
148
adalah bahwa takut itu terpuji jika dikaitkan dengan kekurangan amal
ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta banyaknya maksiat yang
dilakukan. Oleh karena itu, orang yang hatinya benar-benar takut kepada
Allah, ia mesti akan berusaha sekuat tenaga mencegah anggota tubuhnya
dari perbuatan dosa dan terus mengikatnya dengan perilaku taat. Jiwa dan
raganya diusahakan senantiasa sibuk dengan apa yang ia takutkan, seakan
tiada kesempatan lagi untuk yang lain. Itulah sebabnya, dalam kondisi
seperti ini, orang tersebut akan meneteskan air mata yang akan diiringi
dengan perilaku taat dan patuh kepada tuntunan agama.195
‘Aisyah r.a. (w.57 H.) pernah berkata: “Saya tidak pernah melihat
Rasulullah saw. tertawa hingga nampak langit-langit mulutnya. Akan
tetapi, beliau hanya tersenyum. Dan apabila beliau melihat awan ataupun
angina, beliau nampak murung.” Kemudian Aisyah r.a. bertanya kepada
Rasulullah saw., “Orang-orang jika melihat awan mereka bergembira,
berharap akan turun hujan. Namun mengapa jika engkau melihatnya
seolah-olah ketakutan tampak di wajahmu?” Maka Rasulullah saw.
bersabda: “Wahai Aisyah, aku khawatir jika hal itu merupakan azab.
Sebab, telah diazab suatu kaum dengan sapuan angina, dan tatkala melihat
datngnya azab itu mereka berkata sebagaimana yang disebut dalam Al-
Quran, ‘Inilah awan yang menurunkan hujan.’ (QS.al-Ahqâf/46:24).”196
Wuhaib bin al-Ward berkata: “Tatkala Allah menghardik Nûh a.s.
tentang diri anaknya, dengan firman-Nya, ’Sesungguhnya Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang
yang tidak berpengetahuan.’(QS.Hûd/11:46), maka beliau menangis
195 Ahmad Suyuti, Percik-percik Kesucian, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), h. 147 196 Ibid, h. 14
149
selama tiga ratus tahun hingga di bawah kedua mata beliau ada semacam
anak sungai akibat menangis.”197
Sahabat Abû ‘Ubaidah al-Jarrâh r.a. berkata: “Andaikan saja aku ini
seekor kambing gibas yang kemudian disemblih keluargaku, lalu mereka
memakan dagingku dan menghirup kuahnya.”198
b) Menangis Saat Mendengar atau Membaca al-Qur’an
al-Qur’an adalah bacaan yang luar biasa menakjubkan. Rangkaian
ayat-ayatnya yang merupakan firman Allah sedemikian memiliki daya
tarik kepada setiap orang yang mau mentadabburinya. Mendengarnya
dapat menggetarkan hati dan menambah keimanan. Itulah sebabnya, Nabi
saw. menangis menitikkan air mata saat mendengar ayat-ayat al-Qur’an.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibrahim bahwa Nabi saw.
pernah berkata kepada ‘Abdullâh bin Mas’ûd: “Bacakanlah (al-Qur’an)
untukku!” Ibnu Mas’ûd berkata: “Apakah saya akan membacakan (al-
Qur’an) kepadamu, padahal kepadamulah (al-Qur’an) diturunkan?” Beliau
menjawab: “Sesungguhnya saya senang mendengar al-Qur’an dari orang
lain.” Lalu Ibn Mas’ûdpun membacakan untuknya dari awal surat An-
Nisa. Ketika sampai pada ayat
ءالى هؤل عكا بنئج وديهش بةم ال آنا منئا جذ افيكف اديهش
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (Q.S.al-Nisâ/4:41)
197 Ibn Qudâmah, Minhâj al-Qâsidîn, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), Cet. I, h. 399 198 Ibid, h. 400
150
Maka beliaupun menangis.199
Menurut Imam Ibn Katsîr (w. 774 H.), melalui ayat ini Allah
menginformasikan tentang kedahsyatan suasana hari kiamat, yaitu ketika
seluruh nabi dan rasul didatangkan untuk memberikan kesaksian kepada
umatnya. 200 Suasana yang menyeramkan dan mencekam itulah yang
membuat tetesan air mata Rasulullah saw. mengalir.
Dari kalangan sahabat, Abû Bakar al-Siddîq r.a. (w.13 H.)yang juga
sekaligus mertua Rasulullah saw. dikenal sebagai orang yang amat mudah
menitikkan air mata saat membaca al-Qur’an, baik di dalam salat ataupun
di luar salat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Hadis berikut ini:
أنه أخبره عن أبيه قال لما اشتدعن حمزة بن عبد اهللاة فقال مروا أبا بكر وجعه قيل له في الصال ρ برسول اهللا
فليصل بالناس قالت عائشة إن أبا بكر رجل رقيق إذا قرأ غلبه البكاء قال مروه فيصلي فعاودته قال مروه فيصلي
201نكن صواحب يوسفإ
Dari Hamzah bin ‘Abdullâh, sesungguhnya ia mengkhabarkan dari ayahnya, ia berkata: Ketika Nabi menderita sakit (yang menghantarkannya kepada kematian), dikatakan kepada beliau (untuk menjadi imam) dalam salat. Beliau bersabda: “Perintahkanlah Abû Bakar agar salat (dan menjadi imam) bersama yang lain!” ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnya Abû Bakar adalah seorang yang lembut (mudah sedih). Jika ia membaca al-Qur’an, niscaya selalu menangis.” Beliau bersabda kembali: “Perintahkanlah ia (Abû Bakar) untuk (memimpin) salat!” ‘Aisyahpun mengulangi perkataannya. Nabi bersabda lagi: “Perintahkanlah ia (Abu Bakar) untuk (memimpin) salat. Sesungguhnya kalian (para wanita) bagaikan orang-orang yang hidup pada masa Nabi Yûsuf.” (H.R. al-Bukhârî dan Ibn Mâjah)
Itulah Abû Bakar al-Siddîq r.a. (w.13 H.), sahabat Rasulullah yang
199 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, kitâb al-Masâjid wa Mawâd’i al-Salâh Bâb Istihbâb
Qirâ’ah al-Qur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa al-Hudzdzâq, h. 320 200 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 1, h. 498 201 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Ahl al-‘Ilm wa al-Fadl Haqq
bi al-Imâmah, h. 165 & 167; Bâb Idzâ Sallâ Tsumma Amma Qaumah, h.174; Bâb Idzâ Bakâ al-Imâm fî al-Salâh, h. 176; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîh Bâb Mâ Jâ’a fî Salah Rasul al-Lâh saw. Fî Maradih, no. Hadis 1232, h. 389
151
mudah bersedih, berhati lembut, banyak mencucurkan air mata, yang
seandainya ditimbang dengan umat ini, niscaya dia akan menyalahkan
semuanya. Dia merupakan orang yang paling mulia sepeninggal Nabi
Muhammad saw. dan juga para nabi. Dia orang yang banyak memiliki
kelebihan dan keutamaan yang sangat populer. Tentang dirinya, Allah
pernah berfirman:
يانث اورف آنيذ الهجرخ اذ ا اهللاهرص ندق فهورصن تالاا نع م اهللان انزحت الهباحص للوق يذ اارغي الا فمهذ انيناث ةمل آلعجوا هورت لمدونج بهدياو هيلع هتنيك س اهللالزناف ميك حزيزع اهللاا ويلع الي ه اهللاةملآى ولفوا السرف آنيذال
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Taubah/9:40)
‘Umar bin Khattâb r.a. (w. 23 H.) pernah mendengar suatu ayat
yang dibaca, lalu dia jatuh sakit hingga beberapa hari. Lalu pada suatu hari
ia mengambil segenggam tanah, seraya berkata: “Andaikan saja aku
menjadi tanah seperti ini. Andaikan saja aku bukan sesuatu yang diingat.
Andaikan saja ibuku tidak pernah melahirkanku.” Sementara di wajahnya
saat itu terlihat dua garis hitam karena banyak meangis.202
Suatu ketika Fudail bin Iyâd (w. 187 H.) membaca al-Qur’an
202 Ibn Qudâmah, Minhâj al-Qâsidîn, h. 399
152
dengan wajah bersedih, penuh rasa harap, pelan dan lamban seolah-olah ia
berbicara dengan seseorang. Jika beliau membaca ayat yang menceritakan
keadaan surga, beliau mengulanginya. Begitulah cara beliau berinteraksi
dengan kalam Ilahi, penuh kesungguhan untuk dapat menyerap mutiara-
mutiara tak ternilai harganya yang dapat menggetarkan kalbu dan
meneteskan air mata.
c). Menangis saat Berzikir kepada Allah dalam Kesendirian
Rasulullah saw. menyatakan bahwa seseorang yang mengingat
(berzikir) dalam kesendirian sehingga mencucurkan air mata akan
mendapatkan naungan Allah di hari kiamat.
في ظله يوم قال سبعة يظلهم اهللا ρعن أبي هريرة عن النبي مام العادل وشاب نشأ في عبادة ربه ورجل ظله اإل ظل إالال
تمعا عليه اجن تحابا في اهللاقلبه معلق في المساجد ورجالوتفرقا عليه ورجل طلبته امرأة ذات منصب وجمال فقال
تعلم شماله ما ورجل تصدق أخفى حتى الإني أخاف اهللا 203 خاليا ففاضت عيناهتنفق يمينه ورجل ذآر اهللا
Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di dalam naungan-Nya pada saat tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: (1) imam (pemimpin) yang adil, (2) pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah, (3) seseorang yang hatinya selalau dipertautkan dengan masjid, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah karena Allah, (5) seseorang yang dibujuk oleh seorang (wanita) yang berpangkat dan cantik (untuk melakukan zina), maka dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ (6) seseorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
203 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Man Jalasa fî al-Masjid
Yantaziru al-Salâh wa Fadl al-Masâjid, h. 160-161, Juz 7, Kitâb al-Riqâq Bâb Min Khasy-yah al-Lâh, h. 185; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Zakâh Bâb Fadl Ikhfâ al-Sadaqah, h. 412; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî al-Hubb fi al-Lâh, no. Hadis 2499, h. 24-25; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Adab al-Qudâh Bâb al-Imâm al-‘Âdil, no. Hadis 5390, h. 851; Mâlik, al-Muwatta, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1993), Cet.I, h. 726; Ahmad, al-Musnad, Juz 1, h. 374; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd waal-Raqâ’iq, Bâb fadl Dzikr al-lâh ‘Azza wa Jalla, h. 550-551
153
diinfakkan oleh tangan kanannya, dan (7) orang yang mengingat (berdzikir kepada) Allah dalam kesedirian sehingga meneteskan air mata.(H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Mâlik, dan Ahmad)
Seorang muslim yang menyendiri dengan Rabb-nya dengan
mengakui segala kemaksiatan, kejahatan, dan berbagai dosa yang telah
dilakukannya, mengingat dan menyebut Pencipta dan Penguasa dirinya
seraya bersimpuh memohon ampunan-Nya, bertaubat di hadapan-Nya,
dan benar-benar sangat menyesal. Siapa saja orang yang berperilaku
seperti tersebut, maka tetesan air matanya akan mengalir karena
keikhlasan dirinya bersimpuh di hadapan Sang Khalik.
Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. menganjurkan agar
seseorang selalu menangisi segala dosa dan kesalahannya agar dapat
meraih kesuksesan.
أملك قال النجاة؟ ما اهللا رسول يا قلت قال عامر بن عقبة عن 204خطيئتك على أبك و بيتك وليسعك لسانك عليك
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata: Saya bertanya: “Ya Rasulullah, Bagaimana caranya untuk mendapatkan keberhasilan itu?” Beliau menjawab: “Tahanlah lisanmu (agar hanya kebaikan yang keluar darinya), hendaknya rumahmu memberikan keluasan kepadamu (nyman tinggal di rumah), dan menangislah atas segala kesalahanmu!”(H.R. al-Tirmidzî)
Dengan demikian, zikir dalam kesendirian dapat melembutkan hati
dan mencairkan kebekuan. Zikirlah yang mencucurkan air mata dan
melembutkan kejumudan mata. Zikir jugalah yang hanya mampu
memberikan ketenangan dan kedamaian hati seorang muslim.
تطمئن بذآر اهللا أالالذين ءامنوا وتطمئن قلوبهم بذآر اهللا
204 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Hifz al-Lisân, no. Hadis 2517, h. 31; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Huzn wa al-Bukâ, h.132; Kualitas Hadis ini hasan.
154
القلوب(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. al-Ra’d/13:28)
d). Menangis saat Menegakkan Salat
Salat adalah kondisi terdekat antara seorang hamba dengan Sang
Khalik. Dalam shalat, seorang hamba memiliki kesempatan untuk
berdialog, bermunajat, serta menyampaikan segala keluhannya kepada
Allah swt. itulah sebabnya, salat bagi Rasulullah, dan juga selayaknya bagi
umat Islam, menjadi sesuatu yang sangat disenangi. Hal ini dapat dilihat
dari ketekunan dan kekhusyuan beliau dalam menegakkan salat.
Dalam sebuah Hadis disebutkan:
ρ عن ثابت عن مطرف عن أبيه قال رأيت رسول اهللا ρ205يصلي وفي صدره أزيز آأزيز الرحى من البكاء
Dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya, ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw. sedang salat dan di dalam rongga dadanya terdengar suara seperti suara orang yang berjalan kaki karena tangisnya. (H.R. Abû Dâwûd)
Dalam riwayat lain disebutkan:
عنه قال ما آان فينا فارس يوم بدر عن علي رضي اهللا ρ رسول اهللا نائم إالينا إالغير المقداد ولقد رأيتنا وما ف
206.تحت شجرة يصلي ويبكي حتى أصبحDari ‘Alî bin Abî Tâlib r.a. dia berkata: “Pada waktu perang Badar,
di antara kami tidak terdapat penunggang kuda kecuali Miqdad. Dan aku melihat tidak ada seorangpun di antara kami yang terbangun kecuali Rasulullah saw. yang tengah berada di bawah pohon sedang mengerjakan shalat dan menangis sampai pagi hari.” ( H.R. Ahmad)
205 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd., Jilid 1, Kitâb al-Salâh Bâb al-Bukâ fî al-Salâh, no.
Hadis 904, h. 238; Lihat juga ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-‘Ibâdah, h. 123
206 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 1, h. 125
155
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam kitab
“Sahîh”-nya kitab “al-Salâh” bab “al-Dalîl ‘alâ anna al-bukâ lâ yaqta’ al-
Salâh” no.899 dan dia menilainya sahih.. Ibn Hibbân juga meriwayatkan
dalam “Kitab al-Salâh” bab “Dzikr Ibâha al-bukâ fi al-Salâh” no.2254, dan
dia menilainya sahih.207
Hadis di atas menunjukkan bahwa menangis dalam salat tidak
membatalkan salat, bahkan dianjurkan karena dicontohkan oleh
Rasulullah. Tangisan dalam salat boleh jadi menunjukkan kekhusyuan
pelakunya. Namun yang harus ditekankan adalah hendaknya tangisan itu
tidak semata-mata terjadi dalam salat, namun harus berimplikasi secara
positif dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individual maupun sosial.
e). Menangis saat Mendengar Nasehat
Para sahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang yang sedemikian
konsentrasi saat teladan mereka mereka bertutur. Mereka sangat meyakini
bahwa segala yang keluar dari lisannya adalah kebenaran yang dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan demi meraih kebahagiaan
sejati di dunia dan akhirat. Dalam sebuah riwayat diceritakan betapa para
sahabat tak mampu membendung tetesan air mata dari kelopak mata
mereka saat Rasulullah menyampaikan nasehat-nasehatnya.
خرج حين ρعن أنس بن مالك رضي اهللا عنه أن النبي زاغت الشمس فصلى الظهر فلما سلم قام على المنبر فذآر الساعة وذآر أن بين يديها أمورا عظاما ثم قال من أحب
عنه فو اهللا ال تسألوني عن شيء يسأل عن شيء فليسأل أن
207 Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah dan Para Sahabat Menangis,, h. .92
156
إال أخبرتكم به ما دمت في مقامي هذا قال أنس فأآثر الناس فقام أن يقول سلوني فقال أنس ρالبكاء و أآثر رسول اهللا
إليه رجل فقال أين مدخلي يا رسول اهللا قال النار فقام عبد اهللا بن حذافة فقال من أبي يا رسول اهللا قال أبوك حذافة قال
على رآبتيه فقال سلوني فبرك عمر ثم أآثر أن يقول سلونيرسوال قال فسكت ρرضينا باهللا ربا وباإلسالم دينا وبمحمد
أولى و ρحين قال عمر ذلك ثم قال رسول اهللا ρرسول اهللا جنة و النار انفا في الذي نفسي بيده لقد عرضت علي ال
عرض هذا الحائط و أنا أصلي فلم أر آاليوم فى الخير 208والشر
Dari Anas bin Mâlik r.a. (berkata): Sesungguhnya Nabi saw. pernah keluar saat matahari tergelincir, lalu beliau salat zuhur. Ketika beliau salam (dari salatnya), beliau berdiri di atas mimbar dan kemudian menyampaikan hal-hal mengenai hari kiamat. Beliau menyebutkan bahwa menjelang kedatangan hari kiamat akan datang masalah-masalah yang besar. Lalu beliau berkata: “Barangsiapa yang ingin bertanya tentang sesuatu, maka sampaikanlah. Demi Allah, apapun yang kalian tanyakan, niscaya akan aku jelaskan selama aku masih berada di tempat ini.” Anas berkata: (Saat itu) orang-orang banyak menangis dan Rasulullah saw. banyak mengatakan “Bertanyalah kepadaku!” Anas berkata: Lantas seseorang berdiri dan bertanya: “(Kelak) saya akan masuk ke mana?” Rasul menjawab: “Neraka.” Lalu ‘Abdullâh bin Huzafah bertanya: “Siapakah ayahku?” Beliau menjawab: “Ayahmu adalah Huzafah.” Kemudian Rasulullah banyak berkata: “Bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku!”. Lalu Umar duduk menderum di atas kedua lututnya dan berkata: “Aku rela Allah sebagai Tuhan-(ku), Islam sebagai agama-(ku), dan Muhammad saw. sebagai rasul- (ku). Anas berkata: Rasulullah saw. terdiam saat Umar mengucapkan kalimat tersebut. Kemudian beliau bersabda: Lebih utama. Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh baru saja telah diperlihatkan kepadaku surga dan neraka di sisi dinding ini ketika aku sedang shalat. Aku belum pernah melihat kebaikan dan keburukan seperti yang terjadi pada hari ini.”
Dengan riwayat yang lain, Rasulullah saw. menambahkan
sabdanya tersebut dengan kalimat:
208 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 8, Kitâb al-I’tisâm bi al-Kitâb wa al-Sunnah Bâb Mâ
Yukrahu min Katsrah al-Su’âl, h. 143; lihat pula hadis yang semakna pada al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzi, Juz 4, Abwâb al-‘Ilm Bâb fî Man Da’â ilâ Hudâ fa utbi’a au ilâ Dalâlah, no. Hadis 2816, h. 149-150; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Sunnah bâb fî Luzûm al-Sunnah, no. Hadis 4607, h. 200-201; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb Ittibâ’ Sunnah al-Khulafâ al-Râsyidîn al-Mahdiyyîn, no. Hadis 42, h. 15-16; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb Ittibâ’ al-Sunnah, no. Hadis 95, h. 45; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 4, h. 126-127
157
209 ولبكيتم آثيراولو تعلمون ما أعلم لضحكتم قليالDan seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya
kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.R. Al-Bukhārī & Muslim)
Menurut Imam al-Nawawî bahwa makna Hadis ini adalah
Rasulullah saw. tidak pernah melihat kebaikan yang lebih banyak
daripada apa yang dilihatnya di surga, dan tiak pernah melihat keburukan
yang lebih banyak daripada yang disaksikannya di neraka. Andaikan saja
para sahabat dan umat Islam yang lain dapat melihat yang beliau lihat pasti
mereka akan sedikit tertawa dan banyak menangis.210
Nasehat seperti inilah yang telah membuat para sahabat mencucurkan
air mata karena mereka membayangkan apa yang akan terjadi dengan
kedahsyatan hari kiamat. Dan jika hari kiamat terjadi, yang mereka
khawatirkan adalah bagaimana mereka mempertanggungjawabkan semua
amal mereka selama di dunia dan ke mana pula Alah akan menempatkan
mereka, surga yang penuh dengan kenikmatan atau neraka yang penuh
dengan segala kepedihan.
B. Keutamaan Menangis
Jika menangis dalam pandangan Rasulullah saw. diperbolehkan bahkan
dianjurkan, maka tentunya hal ini banyak mengandung hikmah atau keutamaan
yang besar bagi umatnya untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat.
Adapun keutamaan menangis itu adalah sebagai berikut:
1. Menangis dapat memotivasi seseorang untuk banyak merenungi makna
209 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 5, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Qaulih Lâ Tas’alû
‘an asy-yâ’a in tubda lakum Tasu’kum, h.190; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Fadâ’il Bâb tauqîrih saw. waTark Iktsâr Su’âlih ‘ammâ lâ Darûrah ilaih, h. 338
210 Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, h. 20
158
kehidupan sehingga ia akan tekun beribadah.
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.”211
عن أصحابه شيء فخطب ρ عن أنس بن مالك قال بلغ رسول اهللافقال عرضت علي الجنة والنار فلم أر آاليوم في الخير والشر ولو
يرا قال فما أتى على ولبكيتم آثتعلمون ما أعلم لضحكتم قلياليوم أشد منه قال غطوا رءوسهم ولهم خنين ρ أصحاب رسول اهللا
م دينا وبمحمد نبيا قال سال ربا وباإلقال فقام عمر فقال رضينا باهللان فنزلت يا أيها الذين ل من أبي قال أبوك فالفقام ذاك الرجل فقا
212 تسألوا عن أشياء إن تبد لكم تسؤآمآمنوا الDari Anas bin Mâlik, dia berkata: pernah disampaikan kepada Rasulullah
saw. sesuatu tentang sahabat-sahabatnya. Lalu beliau berkhutbah seraya berkata: “Telah diperlihatkan kepadaku surga dan neraka, di mana aku tidak pernah melihat seperti hari ini dalam hal kebaikan dan keburukan. Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Anas mengatakan: “Para sahabat Rasulullah saw. pernah didatangi oleh suatu hari yang lebih memberatkan (menyedihkan) daripada hari itu. Mereka menutupi kepala mereka dan mereka menangis dengan keras.” Ia (Anas) berkata: “Umarpun berdiri dan berkata, ‘Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabiku.’ Ia berkata: “Lelaki itupun berdiri kemudian berkata, ‘Siapakah ayahku?’ Ia menjawab, ‘Ayahku adalah Fulan.’ Maka turunlah ayat (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu). (H.R. al-Bukhârî dan Muslim)
ترون وأسمع ما إني أرى ما ال ρ عن أبي ذر قال قال رسول اهللا تسمعون أطت السماء وحق لها أن تئط ما فيها موضع أربع ال
لمون ما أعلم لو تع واهللا وملك واضع جبهته ساجدا هللاأصابع إالولبكيتم آثيرا وما تلذذتم بالنساء على الفرش لضحكتم قليال
211 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî,, Juz 7, Kitâb al-Riqâq Bâb Qaul al-Nabî saw. Lau
ta’lamûna mâ A’lamu, hal.186 & Juz 7 kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb Kaif Kânat yamîn al-Nabî saw., h.218-219; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî., Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fi Qaul al-Nabî saw. Lau ta’lamûna mâ A’lamu, no. Hadis 2414, h. 380-381; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4190 & 4191, h. 1402; Ahmad, al-Musnad, Jilid 2, h. 257. Menurut Imam al-Tirmidzî, nilai Hadis ini adalah sahih
212 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 5, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Qaulih Ta’âlâ lâ Tas’alû ‘an Asy-yâ’a in Tubda lakum Tasu’kum, h.190; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Fadâ’il Bâb Tauqîrih saw. Wa Tark Iktsâr Su’âlih ‘ammâ lâ darûrah ilaih, h. 338
159
لوددت أني آنت شجرة ولخرجتم إلى الصعدات تجأرون إلى اهللا 213تعضد
Dari Abû Dzar ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kalian lihat dan aku mendengar apa yang kalian tidak dengar. Langit telah berkeriut dan itu memang sudah menjadi haknya. Di sana tidak ada tempat untuk menyisipkan empat jari melainkan di sana ada malaikat yang meletakkan dahinya untuk bersujud kepada Allah. Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis, kalian juga tidak akan bersenang-senang dengan wanita (istri) di tempat tidur, kalianpun akan keluar ke jalan-jalan untuk memohon pertolongan kepada Allah” (H.R. At-Tirmiżī dan Ibn Mājah)
Melalui Hadis-hadis di atas dan yang senada dengannya, Nabi Muhammad
saw. ingin menegaskan, bahwa seandainya manusia mengetahui berbagai siksaan
dan kepedihan yang Allah berikan kepada para pendurhaka serta hiruk pikuknya
hari penghitungan kelak, pasti mereka akan sedikit tertawa dan lebih banyak
menangis. Artinya, rasa takut (khauf) mereka berada di atas rasa harap (rajâ)
mereka. Menurut al-Hâfiz, bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan di sini
adalah terkait dengan keagungan Allah, siksa bagi para pendurhaka, huru-hara
atau kepelikan yang terjadi saat kematian, saat di alam kubur, dan hari kiamat
kelak.214
2. Menangis dapat menyebabkan seseorang mendapatkan naungan Allah di hari
kiamat. Dalam salah sebuah riwayat disebutkan:
في ظله يوم قال سبعة يظلهم اهللا ρعن أبي هريرة عن النبي ورجل مام العادل وشاب نشأ في عبادة ربه ظله اإل ظل إالال
اجتمعا عليه ن تحابا في اهللاقلبه معلق في المساجد ورجالوتفرقا عليه ورجل طلبته امرأة ذات منصب وجمال فقال إني
213 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Qaul al-Nabî
saw. Lau Ta’lamûna mâ A’lamu, no. Hadis 2414, h. 380-381; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4190, h. 1402. Menurut Imam al-Tirmidzî nilai hadis ini hasan garib.
214Muh. Abdurrahmân al-Mubarakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzî, Juz 6, h. 603
160
ه ما تنفق تعلم شمال ورجل تصدق أخفى حتى الأخاف اهللا 215 خاليا ففاضت عيناهيمينه ورجل ذآر اهللا
Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di dalam naungan-Nya pada saat tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: (1) imam (pemimpin) yang adil, (2) pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah, (3) seseorang yang hatinya selalau dipertautkan dengan masjid, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah karena Allah, (5) seseorang yang dibujuk oleh seorang (wanita) yang berpangkat dan cantik (untuk melakukan zina), maka dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ (6) seseorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan (7) orang yang mengingat (berzikir kepada) Allah dalam kesedirian sehingga meneteskan air mata.(H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Mâlik, dan Ahmad)
Seorang muslim yang menyendiri dengan Rabb-nya dengan mengakui
segala kemaksiatan, kejahatan, dan berbagai dosa yang telah dilakukannya,
mengingat dan menyebut Pencipta dan Penguasa dirinya seraya bersimpuh
memohon ampunan-Nya, bertaubat di hadapan-Nya, dan benar-benar sangat
menyesal. Siapa saja orang yang berperilaku seperti tersebut, maka tetesan air
matanya akan mengalir karena keikhlasan dirinya bersimpuh di hadapan Sang
Khaliq. Dengan demikian, zikir dalam kesendirian dapat melembutkan hati dan
mencairkan kebekuan. Zikirlah yang mencucurkan air mata dan melembutkan
kejumudan mata. Zikir jugalah yang hanya mampu memberikan ketenangan dan
kedamaian hati seorang muslim.
تطمئن بذآر اهللا أالالذين ءامنوا وتطمئن قلوبهم بذآر اهللا القلوب
215 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Man Jalasa fî al-Masjid
Yantaziru al-Salâh wa Fadl al-Masâjid, h. 160-161; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Zakâh Bâb Fadl Ikhfâ al-Sadaqah, h. 412; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî al-Hubb fî al-Lâh, no. Hadis 2500, h. 24-25; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Adab al-Qudâh Bâb al-Imâm al-‘Âdil, no. Hadis 5390, h. 851; Mâlik, al-Muwatta, h. 726; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 1, h. 374; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Fadl Dzikr al-Lâh ‘Azza wa Jalla, no. Hadis 1053, h. 550-551
161
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. al-Ra’d/13:28)
3. Menangis yang dilakukan karena takut kepada Allah akan membebaskan pelakunya
dari siksa api neraka. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
4. Menangis dapat membantu seseorang dalam mentadabburi al-Qur’an.
Allah memang menganjurkan kepada umat Islam untuk mentadabburi
ayat-ayat al-Qur’an
اهالفق ابولى قل عم اانرق النوربدت يالفا “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati
mereka terkunci?” (QS. Muhammad/47:24)
Itulah sebabnya, Imam al-Qurtubî (w.567 H.) mengatakan: ”Para ulama
mengatakan: ’Diwajibkan bagi pembaca al-Qur’an untuk menghadirkan hatinya
serta bertafakkur (merenungkan) saat membacanya, karena dia sedang membaca
khitâb (firman) Allah yang ditujukan kepada hamba-hambanya.” Oleh karena itu,
barangsiapa yang membaca al-Qur’an dengan tidak bertafakkur padanya, sedang
dia termasuk orang yang mempunyai kemampuan untuk memahami dan
mentafakkurinya, maka dia sama seperti orang yang tidak membacanya dan tidak
sampai pada tujuan dari bacaannya itu.”216
Rasulullah saw. setiap kali mendengarkan atau membaca Kitabullah senantiasa
menyaksikannya dengan hati dan pemahaman, tidak lengah dan tidak lalai. Kondisi inilah
yang memberikan pengaruh kuat kepada beliau sehingga tatkala Al-Quran dibacakan,
maka beliau akan diliputi rasa takut dan akhirnya meneteskan air mata.
Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w.852 H.) mengutip pandangan Imam al-Ghazâlî
216 Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. Dan Para Sahabat
Mmenangis, .h. 51
162
(w.505 H.) yang menyatakan: “Disunahkan menangis saat membaca al-Qur’an.
Dan cara menghadirkan tangis saat membaca al-Qur’an adalah dengan
menghadirkan kepada kalbunya rasa sedih dan rasa takut, dengan merenungi
segala ancaman yang keras dan janji-janji di dalamnya. Kemudian mengingatkan
segala pelanggaran yang dia lakukan dalam hal tersebut. Jika dia tidak bisa
menghadirkan kesedihan, maka hendaklah dia menangis atas hilangnya
kemampuan untuk itu dan menilai hal itu sebagai musibah yang paling parah.” 217
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menangis
saat merenungi surat Ibrâhîm ayat 36 dan surat al-Mâidah ayat 118 berikut ini:
عز قول اهللاتال ρ بن عمرو بن العاص أن النبي عن عبد اهللاوجل في إبراهيم رب إنهن أضللن آثيرا من الناس فمن تبعني
م فإنهم عبادك م إن تعذبهية وقال عيسى عليه السالفإنه مني اآلوإن تغفر لهم فإنك أنت العزيز الحكيم فرفع يديه وقال اللهم أمتي
عز وجل يا جبريل اذهب إلى محمد وربك أمتي وبكى فقال اهللام فسأله فأخبره رسول ك فأتاه جبريل عليه السالأعلم فسله ما يبكي
يا جبريل اذهب إلى محمد فقل بما قال وهو أعلم فقال اهللا ρ اهللا نسوءكإنا سنرضيك في أمتك وال
Dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘As r.a. bahwa Nabi saw. membaca firman Allah dalam surat Ibrâhîm (Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. Maka, barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku…QS.Ibrâhîm:36). Dan Isa a.s berkata (Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. – QS. al-Mâidah:118-) Lalu beliau mengangkat kedua tangannya seraya berucap sambil menangis: “Ya Allah, umatku, umatku!” lalu Allah berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad, dan Tuhanmu lebih mengetahui, lalu tanyakan kepadanya, apa yang menyebabkanmu menangis!” Kemudian Jibril mendatangi beliau dan bertanya kepadanya. Maka Rasulullah saw. memberitahu kepada Jibril a.s. mengenai apa yang dikatakan, dan Dia lebih mengetahui.Lalu Allah berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad dan
217Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî., Juz 10, h. 121
163
katakanlah, ‘Sesungguhnya Kami akan meridhaimu terhadap umatmu dan tidak akan berbuat buruk kepadamu.’” (H.R. Muslim)218
Menurut Imam al-Nawawî, Hadis di atas mengandung beberapa hal, yaitu:
Pertama: Besarnya rasa kasih sayang yang sempurna serta perhatian Rasul
terhadap kemaslahatan segala urusan umat beliau. Hal ini ditunjukkan dengan
disebutnya umat beliau sambil menangis agar diselamatkan dari siksa Allah.
Kedua: Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa.
Ketiga: Kabar gembira untuk umat Nabi Muhammad saw. bahwa Allah akan
memperlakukannya dengan sebaik-baiknya.
Keempat: Keagungan kedudukan Nabi saw. di sisi Allah serta besarnya kasih
sayang Allah kepada beliau.219
Imam Ibn Mâjah juga meriwayatkan Hadis yang menganjurkan menangis
saat membaca al-Qur’an
ل قدم علينا سعد بن أبي وقاص عن عبد الرحمن بن السائب قاوقد آف بصره فسلمت عليه فقال من أنت فأخبرته فقال مرحبا ρ بابن أخي بلغني أنك حسن الصوت بالقرآن سمعت رسول اهللا
فإذا قرأتموه فابكوا فإن لم تبكوا آن نزل بحزن يقول إن هذا القر 220.فتباآوا وتغنوا به فمن لم يتغن به فليس منا
Dari ‘Abdurrahmân bin al-Sâ’ib ia berkata: “Sa’ad bin Abî Waqqâs datang kepada kami, dan ketika itu penglihatannya sudah terganggu. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia bertanya: ’Siapa anda? ‘Akupun memberitahu tentang diriku. Iapun berkata: ’Selamat datang wahai anak saudaraku! Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau memiliki suara yang indah saat membaca al-Qur’an. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan kesedihan. Jika kalian membacanya, maka menangislah. Jika tidak menangis, maka hendaklah pura-pura menangis. Merdukanlah bacaan al-Qur’an. Barangsiapa yang tidak memerdukan al-Qur’an dengan suaranya, maka ia tidak
218 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îman Bâb Du’â al-Nabî saw. Li Ummatih wa
Bukâ’ih Syafaqah ‘alaihim, h.107 219 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Jilid 2, h. 80 220 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh, Bâb fî Husn al-Saut bi al-
Qur’ân, no. Hadis 1337, h. 424
164
termasuk golongan kami.” (H.R. Ibn Mâjah)
Dan menurut Imam al-Nawawî, menangis saat membaca al-Qur’an adalah
sifat para arifin dan syi’ar para salihin. 221
5. Menangisi segala kesalahan merupakan salah satu kiat meraih kesuksesan.
Seluruh umat Islam, tanpa terkecuali, pasti mengidamkan kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat yang kekal abadi dalam bentuk surga yang penuh
dengan kenikmatan. Sedangkan neraka yang penuh dengan beragam siksa yang
memedihkan dan menghinakan membuat semua orang tidak pernah
mengharapkannya, bahkan semuanya berdoa agar dihindari dari siksa neraka.
Akan tetapi, kenikmatan dunia yang penuh kesemuan telah menterlenakan dan
menipu manusia dari tujuan hidup yang sebenarnya. Dorongan nafsu dan bisikan
setan telah menyebabkan seseorang tidak lagi melihat akhirat dan menjadikannya
sebagai orientasi hidup dalam jangka panjang. Orientasi hidupnya hanyalah
terbatas pada kehidupan jangka pendek, yaitu yang hanya memberikan
kenikmatan sesaat. Merka menjual kenikmatan yang kekal abadi dengan materi
dunia yang tiada berarti.
Dalam kondisi seperti ini, muhasabah (introspeksi diri) menjadi
sedemikian penting dan berarti dalam kehidupan setiap manusia. Muhasabah
adalah upaya untuk introspeksi diri, menghitung-hitung, atau menimbang amal-
amal yang telah kita lakukan. Aktivitas ini lazimnya dilakukan setiap hari saat
seseorang hendak memejamkan matanya menuju peraduannya. Ia kembali
mengenang segala peristiwa yang terjadi pada hari itu. Ada bahagia dan sengsara,
221 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî., Juz 10, h. 121
165
ada suka dan duka, ada senang dan marah, ada damai dan galau kesal, ada tenang
dan hiruk pikuk, dan sebagainya. Saat itu, seorang muslim akan menimbang,
berapa banyak dosa yang sudah ia lakukan sehingga menimbulkan murka Sang
Khaliq dan karenanya ia haus beristighfar.. Dan berapa banyak pula kebaikan
yang telah berhasil ia persembahkan sehingga harus disyukuri.
Salah seorang ulama berkata: “Para orang tua kami selalu menghisab diri
dari apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka ucapkan, kemudian mereka
menulisnya dalam sebuah daftar. Jika salat isya telah usai, mereka mengeluarkan
daftar amal dan ucapannya kemudian menghisabnya. Jika amalan yang diperbuat
adalah amalan buruk yang perlu istigfar, maka mereka bertaubat dan beristigfar.
Namun jika amalannya adalah amalan yang baik dan perlu disyukuri, maka
merekapun bersyukur kepada Allah hingga mereka tertidur. Dan kamipun
mengikuti jejak mereka. Kami mencatat apa yang kami perbuat dan kami
menghisabnya.”222
Dikisahkan bahwa pada suatu malam seseorang seang tidur di atas tikar
bersama anaknya. Tiba-tiba tubuh anaknya menggigil. Si ayahpun bertanya: “Hai
anakku, apakah engkau sakit?” Anak itu menjawab: “Tidak ayah! Ayah, besok
adalah hari kamis, di mana ustadz akan memeriksa ilmu yang kudapati dalam
seminggu. Aku khawatir ustadz akan menemukan kesalahan dariku sehingga ia
memarahi ataupun memukulku.”
Kemudian sang ayah bangkit dari tidurnya seraya berkata: “Wahai
anakku, aku lebih layak untuk takut menghadapi hari yang ditampakkannya
amalanku di hadapan Allah dengan dosa-dosa yang telah aku perbuat di dunia,
222 Abdurrahman As-Sinjari et.al., Menangis karena Takut pada Allah, h. 33-34
166
sebagaimana firman Allah, ‘Dan mereka akan dibawa ke hadapan Rabb-mu
dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami sebagaimana kami
menciptakan kamu pada kali pertama. Bahkan kamu mengatakan bahwa kami
sekali-kali tidak menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.’(QS.al-
Kahfi/18:48)” 223
Oleh karena itu, dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. menganjurkan
agar seseorang selalu menangisi segala dosa dan kesalahannya, bahkan menangis
seperti ini dipandang sebagai salah satu kiat agar dapat meraih kesuksesan. Dalam
sebuah hadis disebutkan:
عليك أملك قال النجاة؟ ما اهللا رسول يا قلت قال عامر بن عقبة عن 224خطيئتك ىعل أبك و بيتك وليسعك لسانك
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata: Saya bertanya: “Ya Rasulullah, Bagaimana caranya untuk mendapatkan keberhasilan itu?” Beliau menjawab: “Tahanlah lisanmu (agar hanya kebaikan yang keluar darinya), hendaknya rumahmu memberikan keluasan kepadamu (nyaman tinggal di rumah), dan menangislah atas segala kesalahanmu!”(H.R. al-Tirmidzî)
223 Ibid, h. 34-35 224 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Hifz al-Lisân,
no. Hadis 2517,h. 31; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 119, h.132; Kualitas Hadis ini hasan.
167
BAB IV MENANGIS DAN KESALEHAN PRIBADI
Pengertian dan Karakteristik Kesalehan
Kata “sâlih” ( صالح) berasal dari akar kata “salaha” atau “saluha” ( صلح)
yang maknanya merupakan antonim dari kata “fasâd” ( فساد) yang berarti
“rusak”.225
Kata “sâlih” juga diartikan sebagai “bermanfaat dan sesuai” Dengan
demikian, amal saleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan, maka suatu
kerusakan akan terhenti atau menjadi tiada. Atau dapat pula diartikan sebagai
suatu pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian.226
Sementara itu, Syaikh Muh. ‘Abduh (w.1323 H.)mendefinisikan amal
saleh dengan “Segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok,
dan manusia secara keseluruhan.” Sedangkan Syaikh al-Zamakhsyarî (w.538 H.)
berpendapat bahwa amal salih adalah “Segala perbuatan yang sesuai dengan dalil
akal, al-Qur’an, dan atau Sunnah Nabi Muhammad saw.”227
Seorang yang salih ialah yang aktivitasnya mengakibatkan terhindarnya
madharat, atau yang pekerjaannya memberikan manfaat kepada pihak-pihak lain,
atau pekerjaannya sesuai dengan petunjuk Ilahi, akal sehat, atau dapat istiadat
yang baik.228
225 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), Cet. Ke-1, Juz II, h. 516 226 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997),
Cet. II, h. 480 227 Ibid 228 Ibid
168
Menurut al-Zajjâj (w. 310 H.), sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurtubî
w.567 H.), seorang yang salih adalah yang menunaikan segala kewajiban yang
Allah tetapkan dan memenuhi hak-hak manusia.229
Sedangkan Imam al-Tabarsî (w.548 H.)mendefinisikan bahwa orang yang
salih adalah orang yang membaguskan aktivitasnya dan kemudian berbuat segala
yang baik, tidak yang buruk.230
Dalam pada itu, al-Sayyid Muh. Syatâ al-Dimyati mendefinisikan salih
sebagai berikut:
231 الصالح هو القائم بحقوق اهللا وحقوق العباد“Orang yang salih adalah orang yang menunaikan segala hak Allah dan hak-hak manusia.” Menurut penelusuran penulis, di dalam al-Qur’an, kata “sâlih” dalam bentuk
tunggal (mufrad) disebutkan sebanyak empat puluh empat kali, dalam bentuk
tatsniyah (dua) sekali (QS.66:10), dan dalam bentuk jamak (plural) sebanyak 29
kali.232
Di dalam kitab suci tersebut ditegaskan bahwa para nabi dan rasul
dikategorikan sebagai orang-orang salih (Lihat QS.2:130; 3:39,46; 6:85; 16:122;
21:72,86; 29:27; 37:112, dan 68:50).
Predikat “salih” adalah suatu posisi atau derajat yang tinggi di sisi
Allah.233 Sebab, sebagaimana yang dikatakan Dr. Wahbah Zuhaili, orang-orang
229 al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1407/1987), Cet.I, Juz 4, h.
79 230 al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414/1994), Juz 7, h. 89 231 al-Sayyid Muh. Syata al-Dimyati, Iânah al-Tâlibîn, (Semarang: Toha Putra, tth), Juz 1, h.
165 232 M. Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, (Indonesia:
Maktabah Dahlân, t.t.), h. 521-522 233 M. ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1999),
cet.I,, Juz II, h. 148
169
saleh adalah para pemberi petunjuk (al-hudâh) kepada umat manusia, karena ia
merupakan martabat para nabi.234
Itulah sebabnya, banyak para nabi yang bermunajat kepada Allah swt. agar
dimasukkan ke dalam golongan orang-orang salih. Di antara para nabi yang
mengharapkan hal itu adalah nabi Yûsuf (QS.12:101), nabi Ibrâhîm (QS.26:83),
dan nabi Sulaimân a.s. (QS.27:19). Bukan hanya itu, nabi Ibrâhîm a.s. berdoa
kepada Allah agar dianugerahkan anak atau keturunan yang salih (QS.37:100).
Di dalam surat al-Nisâ ayat 69, kelak di akhirat nanti di dalam surga,
orang-orang salih akan disandingkan dengan para nabi, para siddîqîn, dan para
syuhadâ. Allah swt. menyatakan:
عليهم من الرسول فأولئك مع الذين أنعم اهللا وومن يطع اهللا االنبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيق
Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para siddîqîn, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.(QS.al-Nisâ/4:69)
Ketinggian derajat orang-orang salih (sâlihîn) sehingga senantiasa
mendapatkan pujian dan penghargaan dari Allah swt. memotivasi umat Islam
untuk meraih predikat tersebut. Akan tetapi, masalahnya kemudian adalah, apakah
kriteria atau ciri-ciri orang yang salih itu?
Berdasarkan hasil kajian penulis terhadap teks-teks al-Qur’an dan Hadis,
ada empat belas kriteria orang-orang salih. Salah satu di antaranya adalah
menangis saat mendengar al-Qur’an. Poin inilah yang akan banyak dibahas karena
memang yang sangat berhubungan dengan tema yang sedang dibahas. Sedangkan
234 Wahbah Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr,(Beirut: Dâr al-Fikr, 1991)Juz XX, h. 202
170
tiga belas kriteria lainnya hanya akan dipaparkan secara singkat. Keempat belas
kriteria itu adalah sebagai berikut:
1. Menangis saat Mendengar al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, ada
sepuluh ayat yang menegaskan bahwa para nabi dan rasul dikategorikan sebagai
orang-orang salih. Kesepuluh ayat tersebut adalah QS.2:130; 3:39,46; 6:85;
16:122; 21:72,86; 29:27; 37:112, dan 68:50.
Sementara itu, dalam surat Maryam setelah Allah menyampaikan kisah-
kisah orang salih seperti nabi Zakariyyâ, nabi Yahyâ, nabi ‘Îsâ, nabi Mûsâ, nabi
Ibrâhîm, dan Maryam, maka pada ayat 58 dalam surat tersebut Allah menyatakan:
عليهم من النبيين من ذرية ءادم وممن حملنا أولئك الذين أنعم اهللامع نوح ومن ذرية إبراهيم وإسرائيل وممن هدينا واجتبينا إذا
جدا وبكياتتلى عليهم ءايات الرحمن خروا س“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu
para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS.Maryam/19:58)
Selain itu, Allah juga menggambarkan dalam dua tempat di al-Qur’an
tentang tangisan Ahli Kitab ketika mereka mendengar lantunan kalam Ilahi yang
penuh hikmah dan kebenaran, yaitu dalam surat al-Mâ’idah ayat 83 dan surat al-
Isrâ ayat 105-109.235
عمالد ن مضيف تمهنيعى ار تلوسى الرل الزنااا موعما سذاو نيداه الشعا منبتاآا فنا امنب رنولوق يقح النا موفرا عمم
235 Penjelasan tentang ayat ini telah dipaparkan secara panjang lebar pada Bab II dalam
pembahasan “Menangis dalam Perspektif al-Qur’an”.
171
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw.) (QS.al-Mâidah/5:83)
مبشرا ونذيراوبالحق أنزلناه وبالحق نزل وما أرسلناك إالقل وقرءانا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث ونزلناه تنزيال
علم من قبله إذا يتلى عليهم أوتوا ال تؤمنوا إن الذين ءامنوا به أو الويقولون سبحان ربنا إن آان وعد ربنا ذقان سجدايخرون لأل
ذقان يبكون ويزيدهم خشوعاويخرون لأللمفعوالDan Kami turunkan (al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan al-
Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. (QS.al-Isrâ/17:105-109)
Firman-firman Allah di atas, sesungguhnya menjelaskan kepada umat
manusia betapa al-Qur’an memiliki dayat tarik luar biasa bagi pembaca dan
pendengarnya. Al-Qur’an laksana “sihir” yang mampu mengguncangkan jiwa
orang-orang yang bersentuhan dengannya. Sehingga buat mereka yang
mendapatkan hidayah pencerahan dari Ilahi, maka mereka akan mengikuti apa
yang diinginkan oleh ayat tersebut.
Kondisi seperti ini sangat disadari oleh orang-orang kafir sehingga
mereka melarang teman-teman mereka untuk mendengarkan al-Qur’an karena
khawatir akan terkena “sihir al-Qur’an”. Allah berfirman:
172
تسمعوا لهذا القرءان والغوا فيه لعلكم وقال الذين آفروا ال تغلبون
Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka). (QS. Fussilat/41:26)
Berbeda dengan orang-orang kafir, orang-orang yang bersih hatinya akan
selalu memendam kerinduan untuk membaca dan mendengarkan al-Qur’an, baik
dalam salat ataupun di luar salat. Pada bab tiga telah disebutkan tangisan-tangisan
yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Salah satu di antaranya adalah saat beliau
mendengarkan al-Qur’an atau saat beliau membacanya dalam salat.
Selain beliau, dalam perjalanan sejarah ditemukan banyak riwayat yang
mengisahkan deraian air mata orang-orang salih saat mereka membaca atau
mendengarkan al-Qur’an. Berikut ini adalah beberapa orang di antara mereka:
a. Abû Bakr al-Siddîq r.a.
Abû Bakr al-Siddîq adalah sahabat sekaligus mertua Rasulullah saw. yang
paling utama dan dijamin masuk surga. Beliau dikenal sebagai orang yang
mudah menitikkan air mata saat membaca al-Qur’an, baik di dalam salat
ataupun di luar salat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Hadis
berikut ini:
عن حمزة بن عبد الله أنه أخبره عن أبيه قال لما اشتد برسول ة فقال مروا وجعه قيل له في الصالالله صلى الله عليه وسلم
بكر رجل رقيق إذا أبا بكر فليصل بالناس قالت عائشة إن أبا
173
قرأ غلبه البكاء قال مروه فيصلي فعاودته قال مروه فيصلي 236إنكن صواحب يوسف
Dari Hamzah bin ‘Abdullâh, sesungguhnya ia mengkhabarkan dari ayahnya, ia berkata: Ketika Nabi menderita sakit (yang menghantarkannya kepada kematian), dikatakan kepada beliau (untuk menjadi imam) dalam shalat. Beliau bersabda: “Perintahkanlah Abû Bakar agar shalat (dan menjadi imam) bersama yang lain!” ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnya Abû Bakar adalah seorang yang lembut (mudah sedih). Jika ia membaca al-Qur’an, niscaya selalu menangis.” Beliau bersabda kembali: “Perintahkanlah ia (Abu Bakar) untuk (memimpin) shalat!” Aisyahpun mengulangi perkataannya. Nabi bersabda lagi: “Perintahkanlah ia (Abû Bakar) untuk (memimpin) shalat. Sesungguhnya kalian (para wanita) bagaikan orang-orang yang hidup pada masa nabi Yûsuf.” (H.R. al-Bukhârî)
Itulah Abû Bakr al-Siddîq, sahabat Rasulullah yang mudah bersedih,
berhati lembut, banyak mencucurkan air mata, yang seandainya ditimbang
dengan umat ini, niscaya dia akan memenanginya. Dia merupakan orang yang
paling mulia sepeninggal Nabi Muhammad saw. dan juga para nabi. Dia orang
yang banyak memiliki kelebihan dan keutamaan yang sangat populer. Tentang
dirinya, Allah pernah berfirman:
نين اثيانث اورف آنيذ الهجرخ اذ ا اهللاهرص ندق فهورصن تالا اهللالزناا فنع م اهللان انزحت الهباحص للوق يذ اارغي الا فمهذاوا رف آنيذ الةمل آلعجا وهورت لمدونج بهدياو هيلع هتنيكس ميك حزيزع اهللاا ويلع الي ه اهللاةملآى ولفالس
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan
236 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Ahl al-‘Ilm wa al-Fadl Ahaqq
bi al-Imâmah, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 165 & 166; Bâb Man Asma’ al-Nâs Takbîr al-Imâm, h. 174; Bâb Idzâ Bakâ al-Imâm fî al-Salâh, h. 176; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîhâ Bâb Mâ Jâ’a fî Salâh Rasûlillâh saw. fî Maradih, no. Hadis 1232, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.), h. 389
174
tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. At-Taubah/9:40)
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
عن ابن شهاب قال أخبرني عروة بن الزبير أن عائشة زوج وهما يدينان النبي صلى الله عليه وسلم قالت لم أعقل أبوي إال
ه رسول الله صلى الله يأتينا فيالدين ولم يمر علينا يوم إالبي بكر فابتنى عليه وسلم طرفي النهار بكرة وعشية ثم بدا أل
مسجدا بفناء داره فكان يصلي فيه ويقرأ القرآن فيقف عليه هم يعجبون منه وينظرون إليه وآان أبو نساء المشرآين وأبناؤ
يملك عينيه إذا قرأ القرآن فأفزع ذلك بكاء البكر رجال أشراف قريش من المشرآين
Dari Ibn Syihâb ia berkata: ‘Urwah ibn Zubair mengabarkan kepadaku bahwa ‘Aisyah istri Nabi saw. berkata: “Aku tidak berpikir tentang kedua orang tuaku selain bahwa keduanya menganut agama (Islam). Tidak pernah kami melewati suatu hari melainkan Rasulullah selalu mendatangi kami setiap pagi dan petang. Lalu Abû Bakar memiliki sebuah pemikiran, maka dibangunlah sebuah masjid di halaman rumahnya. Ia biasa salat di dalamnya dan membaca al-Qur’an, sementara perempuan-perempuan musyrikin dan anak-anaknya berdiri dan merasa takjub dengan perilaku Abû Bakar. Mereka senantiasa memperhatikannya. Abû Bakar adalah seorang lelaki yang senantiasa menangis dan tidak kuasa menahan air matanya ketika membaca al-Qur’an. Keadaan ini mengagetkan tokoh-tokoh Quraisya dari kalangan orang-orang musyrik.” (H.R. al-Bukhârî)237
b. ‘Umar ibn al-Khattâb r.a.
Dia adalah orang yang mempunyai kedudukan terhormat, kokoh, perkasa
dan kuat dalam pendirian. Disebutkan dalam biografinya, bahwa beliau suka
menangis sehingga ada bekas menghitam di kedua pipinya.
237 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1 Kitâb al-Salâh Bâb al-Masjid Yakûnu fî al-Tarîq
min Ghair Darar bi al-Nâs, h. 122; Juz 3 kitâb al-Kafâlah Bâb Jiwâr Abû Bakr fî ‘Ahd al-Nabi saw. wa ‘Aqdih, h. 58-59; Juz 4 Kitâb al-Manâqib Bâb Hijrah al-Nabi saw. ilâ al-Madînah wa Ashâbih, h. 254-258
175
Disebutkan bahwa beliau pernah salat bersama kaum muslimin pada masa
khilafahnya. Seringkali dia membaca surat Yûsuf dalam salat isya dan subuh.
Setiap kali beliau membaca surat ini, maka tangisnya pasti terdengar hingga
saf (barisan) yang paling belakang.238
‘Amr bin Syu’bah meriwayatkan tentang Umar r.a. bahwa pada suatu
malam dia mengunjungi Abû Dardâ. Tatkala keduanya sudah duduk
berdampingan, Abû dardâ berkata: “Wahai ‘Umar, apakah engkau masih ingat
sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah saw. kepada kita, ‘Hendaklah
bekal salah seorang di antara kamu di dunia ini seperti bekal seorang
musafir.’ ‘Umar berkata: “Benar”. Abû Dardâ berkata: “Wahai saudaraku, lalu
apa yang kita lakukan sepeninggal Rasulullah?” Dan akhirnya keduanya tetap
dalam keadaan menangis hingga fajar menyingsing keesokan harinya.239
Pernah suatu ketika beliau mendengar firman Allah “Inna ‘adzâba rabbik
lawâqi’” (Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi), ia jatuh sakit hingga
dikunjungi oleh sahabatnya yang tidak mengetahui kenapa ia sakit.240
c. Ubay ibn Ka’ab
Dalam riwayat yang sahih disebutkan:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه بي إن الله أمرني أن أقرأ عليك لم يكن الذين آفروا وسلم أل
ىمن أهل الكتاب قال وسماني قال نعم فبك
238 ‘Abd al-Rahmân al-Sinjari et.al., Menangis karena takut pada Allah, Penerjemah Farid Ma’ruf dan katur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 76; Khumais al-Sa’id, Menangislah sebagaimana Rasulullah saw. dan Para sahabat Menangis, Penerjemah M. Abdul Ghoffar (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005), h. 54
239 Ibid 240 M. lili Nur Aulia, Kubisikkan untukmu, (Jakarta: Tarbawi Press, 2007), h. 25
176
Dari Anas ibn Mâlik r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda kepada Ubay: “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu surat lam yakun al-ladzîna kafarû” ubay bertanya: “Apakah Allah menyebut namaku?”Beliau menjawab: “Ya”. Maka, Ubaypun menangis.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan al-Tirmidzî)241
Menurut Ibn ‘Allân, penyebab tangisnya Ubay ibn ka’ab adalah boleh jadi
karena dia merasa gembira dan senang dengan penyebutan itu. Atau karena
khusyu dan takut karena merasa kurang bersykur atas segala nikmat. Atau
karena merasa dirinya terlalu hina, takut, sekaligus heran.242
Begitulah memang keadaan orang-orang salih yang senantiasa menjalani
hari-harinya dengan kekhusyuan dan keterikatan yang mendalam dengan
Sang Khalik. Antara sikap optimis (raja) dan pesimis (khauf) berpadu menjadi
satu sehingga melahirkan motivasi dalam meningkatkan kualitas ibadah
mereka.
d. Sa’id ibn Jubair
Sa’îd ibn Jubair al-Tâ’i pernah berkata: “Aku pernah mendengar Sa’id ibn
Jubair mengimami mereka pada bulan Ramadhan, di mana dia mengulang
ayat-ayat ini:
إذ الذين آذبوا بالكتاب وبما أرسلنا به رسلنا فسوف يعلمونفي الحميم ثم في سل يسحبونغلال في أعناقهم والسالاأل
النار يسجرون
241 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 4, Kitâb Manâqib al-Ansâr Bâb Manâqib Ubay ibn
Ka’ab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 228; Juz 6 Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah Lam Yakun, h. 90; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Istihbâb Qirâ’ah al-Qur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa al-Hudzdzâq fîh, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 320; Juz 2 Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah Bâb min Fadâ’il Ubay ibn Ka’ab, h. 383; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Manâqib Bâb Manâqib Mu’âdz ibn Jabal wa Zaid ibn Tsâbit wa Ubay ibn Ka’ab wa Abî ‘Ubaidah ibn al-Jarrâh r.a. (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 330
242 Ibn ‘Allân, Dalîl al-Fâlihîn, Juz 2, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 374
177
(Yaitu) orang-orang yang mendustakan Al Kitab (Al Qur'an) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api. (QS. al-Mu’min/40:70-72)
al-Qâsim mengatakan: “Aku pernah melihat Sa’id ibn Jubair bangun
malam dan mengerjakan salat, lalu membaca:
واتقوا يوما ترجعون فيه إلى الله ثم توفى آل نفس ما آسبت وهم يظلمونال
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. al-Baqarah/2:281)
Dia mengualanginya sampai lebih dari dua puluh kali. Diapun biasa
menangis pada malam hari sampai matanya tampak muram.243
e. Muhammad ibn al-Munkadir
Beliau termasuk pelopor qari al-Qur’an dan Hadis. Dia pasti tidak mampu
menahan tangisnya setiap kali membaca sebuah Hadis Rasulullah saw. Dan
jika seeorang yang menanyakan Hadis, beliaupun menangis.
Pada suatu malam beliau salat sambil menangis. Keluarganya merasa
gundah dengan tangisannya. Ketika mereka bertanya sebab tangisannya, justru
malah membuat beliau menangis semakin menjadi-jadi. Lalu mereka
mengirim utusan agar keadaannya itu disampaikan kepada rekannya, Abû
Hâzim Salamah ibn Dînâr. Tak lama kemudian Abû Hâzim menemui
Muhammad ibn al-Munkadir sambil bertanya: “Apa yang membuatmu
243 Khumais al-Sa’id, Menangislah sebagaimana Rasulullah saw. dan Para sahabat
Menangis, h. 542-53
178
menangis?” Ia menjawab: “Aku teringat sebuah ayat.” Lalu Abû Hâzim
bertanya: “Ayat apakah itu?” Muhammad ibn al-Munkadir menjawab: “Dan
jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum mereka perkirakan.”
Setelah itu, justru keduanya menangis dengan tangisan yang menghiba.
Dan setiap kali Abû Hâzim menjenguk Muhammad ibn al-Munkadir, dia
membaca ayat ini, dan keduanyapun menangis.244
f. ‘Abdullâh ibn Rawâhah r.a.
Beliau adalah orang yang selalu berpikir setiap turun ayat al-Qur’an dan
sabar setiap menerima bendera perang. Dia mati syahid di al-Balqa pada
waktu perang Mu’tah antara kaum muslimin dengan pasukan Romawi.
Dari ‘Urwah ibn Zubair berkata: “Tatkala Ibn Rawâhah hendak berangkat
ke Mu’tah yang terletak di Syam, maka orang-orang muslim menemuinya
danmengucapkan selamat tinggal. Diapun menangis. Lalu mereka bertanya:
“Apa yang membuatmu menangis?”
Dia menjawab: “Demi Allah, di dalam diriku tidak terbersit kecintaan
kepada dunia dan kerinduan kepadamu sekalian. Tetapi aku pernah mendengar
Rasulullah saw. membaca ayat ini ‘ dan tidak ada seorangpun darimu,
melainkan akan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu
ketetapan yang sudah pasti.” Lalu kukatakan: “Sesungguhnya aku juga akan
mendatangi neraka dan aku tidak tahu bagaimana caranya berbalik lagi.
244 ‘Abd al-Rahmân al-Sinjari et.al., Menangis karena takut pada Allah, h. 89-90
179
Tatkala pasukan muslimin sudah bersiap-siap ke Mu’tah, ‘Urwah ibn
Zubair berkata: “Semoga Allah menyertaimu dan melindungimu.”245
g. ‘Abdullâh ibn ‘Umar
Seorang mantan budak Ibn ‘Umar, yaitu Nâfi’pernah berkata: ”Setiap kali
Ibn ‘Umar membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, maka dia
menangis. Lalu Ibn ‘Umar berkata; “Sesungguhnya perhitungan itu amat
keras.”
Al-Hafiz Ibn Hajar berkata: telah diriwayatkan darinya dengan sanad yang
sahih bahwa setiap kali Ibn ‘Umar r.a. membaca firman Allah “Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati
mereka mengingat Allah.” tentu dia menangis dan tidak mampu untuk
menahan air matanya.246
Menangis karena takut kepada Allah ini tidak hanya merupakan sifat
sebagian sahabat, namun semua sahabat memiliki sifat ini. Hal ini terjadi
karena mereka memang betul-betul memasrahkan diri mereka kepada Allah.
Secara total mereka mematuhi apapun yang diperintahkan oleh Rasulullah.
Oleh karena itu, tempaan dan binaan yang mereka terima dari Rasulullah saw.
mampu menembus kalbu dan jiwa mereka yang pada akhirnya melahirkan
keimanan dan keyakinan yang luiar biasa. Besarnya keimanan mereka kepada
Allah inilah yang berimplikasi kepada ketakutan mereka mendapatkan azab
Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk melepaskan dan membebaskan
245 Ibid, h. 78-79 246 Ibid, h. 82
180
diri dari azab Allah, mau tidak mau mereka harus melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan-Nya.
h. Fuzail ibn ‘Iyadh
Beliau lahir di Khurasan. Pada masa remajanya beliau adalah seorang
penyamun. Setelah bertaubat Fuzail pergi ke Kufah, dan kemudian ke Mekah
hingga wafat pada tahun 187 H./803 M.
Suatu malam ketika ia sedang memanjat rumah kekasihnya, lewatlah
sebuah kafilah. Di antara mereka ada yang sedang membaca ayat al-Qur’an:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk
menundukkan hati mereka mengingat Allah.”
Ayat ini bagaikan anak panah yang menmbus jantung Fuzail, seolah-olah
ada sebuah tantangan yang berseru: “Wahai Fuzail, berapa lama lagikah
engkau akan membegal para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan
membegalmu”
Fuzail terjatuh dan berseru: “Memang telah tiba saatnya, bahkan hamper
terlambat.” Fuzail merasa bingung dan malu. Ia berlari kea rah sebuah puing.
Ternyata di situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata: ”Marilah
kita melanjutkan perjalanan.” Tetapi salah seorang di antara mereka berkata:
“Tidak mungkin, Fuzail sedang menghadang dan menanti kita.”
Mendengar pembicaraan mereka, Fuzail berseru: “Berita gembira! Fuzail
telah bertobat.”
181
Setelah itu, iapun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil menangis. Hal
ini sangat menggembirakan orang-orang yang membencinya . kepada setiap
sahabat yang ditemuinya, ia meminta agar janji setia di antara mereka
dihapuskan.247
i. Ja’far ibn Hirb
Ja’far ibn Harb (w.236 H.) adalah seorang aparat kesultanan dengan
pendapatan yang tinggi hampir menyamai pendapatan seorang menteri, di
samping memiliki tempat tinggal yang megah dan indah. Suatu ketika dia
mendengar seorang laki-laki yang membacakan ayat: “Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang turun (kepada mereka).” (QS.
Al-Hadîd:16)
Mendengar ayat tersebut, Ja’far menjerit: “Ya Allah, ini memang benar!”
diualanginya kata-kata tersebut sambil meneteskan air mata.lalu Ja’far turun
dari kendaraannya dan menanggalkan seluruh pakaiannya, lalu berendam di
sungai dajlah. Ia enggan beranjak dari sungai itu sebelum semua harta
miliknya dibagikan demi menebus kezaliman yang pernah dilakukannya.
Sedangkan sisanya dipergunakan untuk sedekah.pada suatu hari, lewatlah
seorang lelaki yang juga telah mendengar perihal yang terjadi dengan diri
247 Farîduddîn al-Attâr, Warisan Para Awliya, Penerjemah Anas Mahyudin (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1983), h. 65-69
182
Ja’far. Lalu lelaki itu memberikan sebuah gamis dan sarung kepadanya. Dan
selanjutnya, ja’far menghabiskan sisa hidupnya untuk ilmu dan ibadah.248
j. ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs
Ibn Abî Mulaikah mengatakan: “Ibn ‘Abbâs biasa bangun tengah malam
lalu membaca al-Qur’an huruf demi huruf. Ketika ia membaca ayat ‘Wa jâ’at
kullu nafsin ma’ahâ sâ’iqun wa syahîd’ (Dan datanglah tiap-tiap diri bersama
dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi –
QS.Qâf/50:21) Lalu, beliaupun menangis sampai terdengar tangisannya.249
Demikianlah tetesan air mata yang keluar dari kelopak mata orang-orang
salih yang pernah hidup di atas bumi Allah. Tangisan-tangisan tersebut adalah
buah dari rasa takut manakala mereka membaca ayat-ayat suci al-Qur’an
yang menjelaskan peringatan atau azab Allah. Meski mereka diakui sebagai
generasi terbaik umat Islam dengan segudang kebajikan yang telah mereka
persembahkan di hadapan Allah, namun rasa takut (khauf) akan mendapatkan
azab Allah baik di dunia ataupun di akhirat tetap terpatri dalam kalbu mereka.
Mereka belum merasa aman dan tenang, sebelum diri mereka benar-benar
terbebas dari murka Allah dan api neraka. Menangis, sebagaimana yang
dikatakan oleh Syaikh ‘Abd al-Qâdir Jailani, adalah ibadah dan merupakan
248 Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Mereka yang Kembali, Penerjemah Abu Ahmad Najieh
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 214-215 249 Khumais al-Sa’id, Menangislah sebagaimana Rasulullah saw. dan Para sahabat
Menangis, h. 54
183
puncak ibadah.250 Sehingga menurut Abû ‘Abdurrahman, menangis adalah di
antara akhlak para nabi dan para pengikutnya.
Tangisan yang terjadi pada diri orang-orang salih bukanlah sebuah
aktivitas yang terhenti pada tetesan air mata yang jatuh di atas pipi mereka.
Namun, tangisan mereka mampu mempengaruhi kuatnya keinginan untuk
memperbaiki kualitas hidup dan bertaqarrub kepada Allah swt. Oleh karena
itu, dapatlah dinyatakan bahwa tangisan yang benar dapat menghantarkan
pelakunya kepada kebaikan.
Tentang tradisi menangis di kalangan para sahabat Rasulullah saw., Imam
‘Ali k.w. berkata: “ Demi Allah, telah kulihat para sahabat Rasulullah saw.
Pada saat ini tidak kulihat sesuatu yang menyerupai mereka. Mereka adalah
orang-orang yang kusut dan berdebu. Di antara mata mereka seakan-akan ada
iring-iringan orang yang mengantar jenazah. Mereka senantiasa sujud dan
berdiri kepada Allah, membata Kitabullah, pergi dengan berjalan kaki dan
juga mengingat Allah. Mereka tampak seperti pohon yang condong dan
bergoyang-goyang pada saat angina berhembus kencang. Mereka selalu
menangis hingga kain mereka basah. Demi Allah, sepertinya orang-orang saat
ini sudah lalai.”251
2. Beriman kepada Allah dan hari akhir
Iman adalah unsur asasi manusia yang harus dimiliki oleh seorang muslim
dalam beramal. Tanpa iman, sebuah amal yang terlihat “salih” dalam pandangan
250 Syaikh ‘Abd al-Qâdir Jailani, Percikan Cahaya Ilahi, Penerjemah Arief B. Iskandar
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 117 251 Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Mereka yang Kembali, h. 401
184
manusia menjadi sia-sia belaka tanpa makna di hadapan Allah. Sekian banyak
ayat al-Qur’an menyebutkan secara bersamaan antara iman dan amal saleh. Lihat
dalam ayat berikut ini:
إن الذين ءامنوا والذين هادوا والنصارى والصابئين من ءامن باهللا خوف عليهم خر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم والواليوم األ
هم يحزنونوالSesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nashrani,
dan orang-orang shabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, hari akhir, serta beramal saleh,mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS.al-Baqarah/2:62)
Lihat pula ayat-ayat berikut ini:QS.al-Baqarah/2:82 & 277; QS.’Ali
Imrân/3:57; dan QS.al-‘Ankabût/29:9.
Iman dan amal salih laksana dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Berapapun banyaknya kebajikan yang dilakukan seseorang, jika tidak dilandasi
oleh keimanan, ia hanya laksana fatamorgana. Allah menegaskan dalam al-
Qur’an:
الذين آفروا بربهم أعمالهم آرماد اشتدت به الريح في يوم مثل ل البعيد ذلك هو الضال يقدرون مما آسبوا على شيءعاصف ال
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah
seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.(QS.Ibrâhîm/14:18)
Lihat juga dalam QS.al-Nûr/24:39.
Ketika seseorang beramal dengan landasan keimanan, maka itu artinya ia
mengikhlaskan (memurnikan) amalnya semata-mata hanya karena Allah, bukan
karena yang lain. Ia hanya mengharapkan ridha Allah dan ganjaran pahala dari-
185
Nya. Ia sama sekali tidak mengharapkan balasan, pujian, atau sekedar ucapan
terima kasih dari manusia (QS. al-Insân/76:9).
Imam Abû al-Qâsim al-Qusyairî (w.465 H.), sebagaimana dikutip oleh
Imam al-Nawawî (w.675 H.), menjelaskan bahwa ikhlas adalah menunggalkan
Zat Allah Yang Mahahaq dalam ketaatan atau kepatuhan, yaitu ketaataannya
ditujukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan karena yang lain
(berbuat karena seseorang, ingin dipuji, dan lain-lain).252
3. Mentaati Allah dan Rasul-Nya
Mentaati Allah dan Rasul-Nya merupakan keniscayaan bagi setiap orang
yang beriman. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Nisî/4:59
berikut ini:
مر وأطيعوا الرسول وأولي األياأيها الذين ءامنوا أطيعوا اهللا والرسول إن آنتم منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى اهللا
خر ذلك خير وأحسن تأويال واليوم األتؤمنون باهللاHai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisâ/4:59)
Ayat di atas disampaikan dengan redaksi perintah (amr). Dalam kaidah
ushul fiqh, bentuk perintah (sighat amr) menunjukkan hukum wajib. Oleh karena
itu, tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, baik secara naqli (teks
agama) ataupun secara aqli (logika) merupakan sesuatu yang tak terbantahkan.
Kepatuhan setulus hati, kesediaan, dan kerelaan menjalankan perintah,
sesungguhnya merupakan buah dari keimanan yang mantap. Atau dengan
252 al-Nawawî, Al-Adzkâr, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t), h. 7
186
ungkapan lain, keimanan yang sejati mensyaratkan adanya kepatuhan. Tentang hal
ini Allah menegaskan dalam beberapa ayat berikut ini:253
يجدوا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم ال وربك الفال في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. al-Nisâ/4:65)
رسوله ليحكم بينهم أن وإنما آان قول المؤمنين إذا دعوا إلى اهللا يقولوا سمعنا وأطعنا وأولئك هم المفلحون
Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS.al-Nûr/24:51)
ورسوله أمرا أن يكون مؤمنة إذا قضى اهللاوما آان لمؤمن وال ال فقد ضل ضال ورسولهلهم الخيرة من أمرهم ومن يعص اهللا
مبيناDan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzâb/33:36)
Itulah sebabnya, seorang yang salih akan selalu menunjukkan sikap tunduk
dan patuh kepada seluruh titah Allah dan Rasul-Nya. (QS.al-Baqarah/2:130-131dan
QS.al-Nisâ/4:69)
4. Mengerjakan Berbagai Kebajikan atau Amal Salih
Sâlihîn adalah orang-orang yang mengerjakan amal salih. Oleh karena
itu, secara etimologi dengan mudah dapat dipahami bahwa kesalehan atau
253 Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Penerjemah Jazirotul Islmiyah
(Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka, 2003), Cet. VII, h. 29-30
187
berbagai kebajikan telah menyatu dengan kepribadian orang-orang saleh. Tentang
hal ini Allah menyatakan:
ءاناء الليل وهم ليسوا سواء من أهل الكتاب أمة قائمة يتلون ءايات اهللاينهون عن خر ويأمرون بالمعروف و واليوم اآليؤمنون باهللا يسجدون
وما يفعلوا من المنكر ويسارعون في الخيرات وأولئك من الصالحين عليم بالمتقينخير فلن يكفروه واهللا
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. ‘Ali Imrân/3:113-115)
Lihat juga dalam QS. al-Anbiyâ/21:72-74; QS.al-Naml/27:19; QS.al-
Ankabût/29:9.
Amal salih yang dikerjakan para salihin, tentunya memenuhi dua sisi. Sisi
pertama adalah wujud amal. Dalam hal ini orang dapat memberikan penilaian sesuai
dengan kenyataan yang dilihatnya. Penilaian baik diberikan ketika kenyataan yang
dilihatnya itu menghasilkan manfaat dan menolak mudharat. Sedangkan sisi yang
kedua adalah motif yang melandasi pekerjaan. Tentang hal ini, Rasulullah saw.
bersabda:
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي اهللا عنه يقول إنما االعمال بالنية وإنما المرئ ρقال سمعت رسول اهللا
ه إلى اهللا ما نوى فمن آانت هجرته إلى اهللا ورسوله فهجرت
188
ورسوله ومن آانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرءة يتزوجها 254 فهجرته إلى ما هاجر إليه
Dari Amîril Mu’minîn Abî Hafs ‘Umar ibn al-Khattab r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya setiap pekerjaan itu ditentukan nilainya oleh niat, dan setiap orang memperoleh imbalan sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (materi) dunia yang ingin diraihnya atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu (hanya) akan sampai kepada yang ditujunya” (H.R. al-Bukhârî dan Muslim)
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa nilai suatu amal bukan semata-mata
dari wujud lahiriah, tetapi yang lebih penting adalah niat pelakunya.255
Di sinilah diperlukannya keikhlasan dalam beraktivitas sebagai upaya
untuk menghindari diri dari sikap riya dan sum’ah. Ikhlas, sebagaimana yang
dikatakan oleh al-Muhâsibî dalam kitab “al-Ri’âyah” adalah berkehendak untuk
ta’at dan patuh kepada Allah, tidak kepada yang lain.256
5. Menyembah Allah dan Tidak Menyekutukan-Nya
Keimanan seorang hamba kepada Allah harus dibuktikan dengan
pengabdian secara nyata sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tanpa
pembuktian, kualitas iman seseorang menjadi diragukan. Itulah sebabnya, dalam
surat al-Fatihah ayat kelima ditegaskan:
254 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Wahy Bâb Kaif Kâna Bad’i al-Wahy ilâ Rasûl al-Lâh saw., h. 2 dan kitâb al-Îmân Bâb Mâ Jâ’a inna al-A’mâl bi al-Niyyah, h. 20; Juz 4, Kitâb al-Manâqib Bâb Hijrah al-Nabî wa Ashâbih ilâ al-Madînah, h. 252; Juz 6, Kitâb al-Nikâh Bâb Man Hajara au ‘Amila Khairan li Tazwîj Mar’ah falahu Mâ Nawâ, h. 118 dan Kitâb al-Talâq fî al-Ighlâq wa al-Mukrah wa al-Sakrân wa al-Majnûn, h. 168; Juz 7, Kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb al-Niyyah fî al-Aimân, h. 231; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Imârah Bâb Qaulih saw. Innamâ al-A’mâl bi al-Niyyah, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 157-158; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb Mâ Jâ’a Man Yuqâtilu Riyâ’an wa li al-Dunyâ, no. Hadis 1698, h. 100; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Talâq Bâb fî Mâ ‘Uniya bih al-Talâq wa al-Niyyât, no. Hadis 2201, (Jakarta: Dâr al-Hikmah, tth.)., h. 262; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Tahârah Bâb al-Niyyah fî al-Wudû, no. Hadis 75, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), Cet.I, h. 20 & Kitâb al-Talâq Bâb al-Kalâm idzâ Qusida bih fîmâ Yahtamilu Ma’nâh, no. Hadis 3434, h. 560; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Niyyah, no. Hadis 4227, h. 1413; Ahmad, al-Musnad, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Juz 1, h. 25, Juz 3, h. 60
255 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, h.754 256 al-Nawawî, Syarh al-Arba’în al-Nawawiyah, (Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa’ad
bin Nabhân wa Aulâdih, tth), h.7
189
“Hanya kepada-Mu-lah kami mengabdi dan hanya kepada-Mu-lah kami mohon pertolongan.”
Ayat yang selalu dibaca berulang-ulang dalam shalat tersebut
sesungguhnya merupakan suatu upaya mengingatkan dan memperbaharui tauhid
seorang mukmin.
Dalam akidah Islam, tidak mengabdi kepada Allah dan berbuat syirik
kepada-Nya dianggap sebagai dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah,
jika yang bersangkutan tidak bertaubat sampai ajal menjemput.
Dengan begitu, dapatlah dipahami jika para shalihin mengejawantahkan
tauhid rubûbiyyah ke dalam tauhid ulûhiyyah/ubûdiyyah dengan menyembah
hanya kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh segala bentuk kesyirikan. (Lihat
surat al-Anbiyâ/21:72-72 dan al-Ankabût/29:9 sebagaimana yang telah
dicantumkan pada poin ketiga!)
6. Menegakkan Salat dan Menunaikan Zakat
Salat adalah kewajiban yang tidak bisa ditunda-tunda dan ditawar-tawar.
Ia masuk dalam rangkaian rukun Islam urutan yang kedua setelah mengucapkan
syahadatain. Salat adalah salah satu ukuran atau indikasi lahiriah kesalehan
seorang hamba. Itulah sebabnya, dalam salah satu sabdanya Rasulullah saw.
menyatakan:
يقول إن بين ρ اهللا عنه يقول سمعت النبي اهللا عن جابر رضي 257الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصالة
Dari Jâbir r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya pembatas/pembeda antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan salat.” (H.R. Muslim dan al-Tirmidzî)
257 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân Itlâq Ism al-Kufr ‘alâ Man
Taraka al-Salâh, h. 49; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Îmân Bâb Mâ Jâ’a fî Tark al-Salâh, no. Hadis 2752, h. 125; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, (Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1939), h. 410
190
Tidak setiap orang dapat menegakkan salat dengan baik dan khusyu.
Karena salat merupakan sesuatu yang amat berat kecuali bagi mereka yang
khusyu (QS.2:45). Menegakkan salat yang baik adalah salah satu karakteristik
orang-orang salih. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam surat al-
Anbiyâ ayat 72-74 berikut ini terjemahannya:
Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrâhîm) Ishâq dan Ya`qûb, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang salih. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, dan kepada Lût, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik, (QS. al-Anbiyâ/21:72-74)
7. Melaksanakan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Imam al-Ghâzalî (w.505 H.) menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar
adalah suatu hal yang amat penting dalam beragama. Seandainya tidak ada amar
ma’ruf nahi munkar, tentu misi kenabian menjadi terlantar, agama lenyap, masa
fatrah (vacuum) akan merata, kesesatan merajalela, kebodohan berkembang,
kerusakan ada di mana-mana, negara akan hancur, dan hamba-hamba akan binasa.
Oleh karena itu, berdasarkan teks-teks keagamaan dan rasio sehat, amar ma’ruf
nahi munkar merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar.258
Pengejawantahan kewajiban inilah yang menjadi salah satu kriteria umat
Islam menjadi umat terbaik (khair ummah) di antara umat-umat yang lain. Hal ini
sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imrân ayat 110 berikut ini:
258 al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth), Juz
2, h. 302-303
191
آنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن ولو ءامن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم هللالمنكر وتؤمنون با
المؤمنون وأآثرهم الفاسقونKamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS.Ali ‘Imrân/3:110)
Dan sebagai kewajiban, sudah pasti hal ini akan diupayakan oleh hamba-
hamba Allah yang salih. Perhatikanlah ayat berikut ini:
ليسوا سواء من أهل الكتاب أمة قائمة يتلون ءايات الله ءاناء الليل وهم خر ويأمرون بالمعروف وينهون يؤمنون بالله واليوم اآل يسجدون
وما وأولئك من الصالحينعن المنكر ويسارعون في الخيرات يفعلوا من خير فلن يكفروه والله عليم بالمتقين
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang salih. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imrân/3:113-115)
8. Mensyukuri Nikmat Allah
Bersyukur atas segala nikmat dan anugerah Allah merupakan kewajiban
setiap hamba (QS.31:12; 27:40; 14:7). Bersyukur atas segala karunia Allah
mencakup tiga sisi, yaitu: bersyukur dengan hati, bersyukur dengan lisan, dan
bersyukur dengan amal perbuatan.259
Bagi orang-orang saleh, bersyukur sebagaimana halnya bersabar atas
segala musibah merupakan bagian yang telah menyatu dalam kehidupannya.
259 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), Cet. I,
h.217
192
Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri ni`mat-ni`mat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu. (QS. al-Nahl:120-124)
التي فتبسم ضاحكا من قولها وقال رب أوزعني أن أشكر نعمتكأنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأدخلني
برحمتك في عبادك الصالحينMaka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut
itu. Dan dia berdo`a: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni`mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal salih yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS.al-Naml/27:19)
9. Berbakti kepada Kedua Orang Tua
Sekian banyak teks keagamaan menegaskan tentang kewajiban berbakti
kepada kedua orang tua, setelah sebelumnya Allah memerintahkan manusia untuk
beribadah (bertauhid) hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya (Lihat
QS.4:36; 17:23; dan 31:13-14).
Dalam sebuah Hadis juga disebutkan:
قال أحب إلى اهللا األعمالأي ρ قال سألت النبي عبد اهللاعن أي قال ثمت ثم أي قال ثم بر الوالدين قلتلة على وقتها قالصال
260 قال حدثني بهن ولو استزدته لزادنيالجهاد في سبيل اهللا
260 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb Fadl al-Salâh li
Waqtihâ, h. 134; Juz 3, Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar Bâb Fadl al-Jihâd wa al-Siyar, h. 200; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân Kaun al-Îmân bi al-Lâh Ta’âlâ Afdal al-A’mâl, h. 50; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, Bâb Birr al-Wâlidain wa Silah al-Arhâm, h. 151; Ibnul Jauzi, Birrul Walidain, Penerjemah K.H. Mahrous Ali (Surabaya: Pustaka Progressif, 1993), Cet.I, h.19-20;
193
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Saya bertanya kepada Nabi saw.: “Perbuatan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab: “Salat pada waktunya.” Saya bertanya lagi: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Berjihad di jalan Allah.” (Muttafaq ‘alaih)
Keingkaran dan kedurhakaan kepada orang tua merupakan keingkaran dan
kedurhakaan kepada Allah. Oleh karena itu, sepanjang sejarah kehidupan manusia
orang-orang salih tidak akan pernah melalaikan kewajiban mulia ini. Hal ini
sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah berikut ini:
نسان بوالديه حسنا وإن جاهداك لتشرك بي ما ليس إلووصينا ا تطعهما إلي مرجعكم فأنبئكم بما آنتم تعملونلك به علم فال
في الصالحينوالذين ءامنوا وعملوا الصالحات لندخلنهمDan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang salih. (QS. al-Ankabût:8-9)
فلما بلغ م حليمفبشرناه بغال الصالحينرب هب لي منمعه السعي قال يابني إني أرى في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ترى قال ياأبت افعل ما تؤمر ستجدني إن شاء الله من
الصابرين"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang salih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrâhim, Ibrâhîm berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS.al-Saffât/37:100-102)
10. Membaca al-Qur’an dalam Salat di Malam Hari
Dalam rangkaian surat Ali ‘Imrân ayat 113-115, Allah menegaskan adanya
sekelompok para pendeta ahli kitab yang beriman. Di antara mereka adalah
194
Abdullâh bin Sallâm (w.43 H.), Asad bin ‘Ubaid, Tsa’labah bin Syu’bah, dan
lain-lain.261
Oleh Allah, mereka dikategorikan sebagai orang-orang salih. Dan salah
satu karakteristik atau kebiasaan baik mereka adalah membaca al-Qur’an dalam
salat di malam hari. Mereka bangun malam, memperbanyak tahajud, serta
menyenandungkan ayat-ayat al-Qur’an dalam shalat mereka. Tentang hal ini
Allah berfirman:
ءاناء الليل ليسوا سواء من أهل الكتاب أمة قائمة يتلون ءايات اهللار ويأمرون بالمعروف خ واليوم اآليؤمنون باهللا وهم يسجدون
وينهون عن المنكر ويسارعون في الخيرات وأولئك من عليم وما يفعلوا من خير فلن يكفروه واهللا الصالحين بالمتقين
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imrân/3:113-115)
11. Bersikap Sabar (QS.37:100-102)
Ketika Nabi Ibrâhîm berdoa: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku (anak)
yang termasuk orang-orang salih.”(QS.37/100), maka Allahpun
memperkenankannya dengan menganugerahkan seorang anak yang sangat sabar
(halîm), yaitu Ismâ’îl a.s. Hal ini dibuktikan saat nabi Ibrâhîm mendapatkan
perintah Allah untuk menyemblih putranya tersebut. Dengan penuh kesantunan
261 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Semarang: Toha Putra, tth), Juz I, h. 397; Wahbah Zuhaili dan Imam al-Qurtubî menyebutkan mereka adalah: Abdullâh bin Sallâm,Tsa’labah bin Sa’nah (atau Sa’yah), Asid bin Sa’nah (atau Sa’yah), dan Asad bin ‘Ubaid. Lihat: Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munîr, Jilid IV, h. 47; al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Jilid IV, h. 175
195
Ismâ’îl a.s. mempersilakan Ayahnya untuk merealisasikan wahyu atau perintah
Allah yang diterima melalui mimpi tersebut, dan berharap dirinya termasuk orang-
orang yang sabar. Berikut ini ayat yang mengisahkan hal di atas:
فلما بلغ م حليمفبشرناه بغال رب هب لي من الصالحين في المنام أني أذبحك فانظر ماذا معه السعي قال يابني إني أرى
من ترى قال ياأبت افعل ما تؤمر ستجدني إن شاء اهللا الصابرين
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang salih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrâhîm, Ibrâhîm berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. al-Saffât/37:100-102)
12. Tidak Terpedaya oleh Harta dan Anak
Pada dasarnya cinta kepada harta benda dan anak-anak, bahkan terhadap
wanita merupakan kodrat alami manusia dan menjadi perhiasan kehidupan di
dunia (QS.3:14). Semua perhiasan dunia tersebut dapat dijadikan sebagai media
untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga dapat menjerembabkan manusia
ke dalam murka Allah. Orang-orang saleh berupaya untuk mempergunakan harta
benda serta menyikapi anak secara proporsional sesuai dengan tuntunan Allah dan
Rasul-Nya. Mereka berusaha agar keberadaan harta benda dan anak-anak tidak
melalaikan mereka dari zikir dan ibadah kepada Allah. Hal ini sesuai dengan
peringatan Allah dalam surat al-Munâfiqûn ayat 9-10 berikut ini:
دآم عن ذآر الله أوال تلهكم أموالكم والياأيها الذين ءامنوا الأنفقوا من ما و رونومن يفعل ذلك فأولئك هم الخاس
أخرتني رزقناآم من قبل أن يأتي أحدآم الموت فيقول رب لوال إلى أجل قريب فأصدق وأآن من الصالحين
196
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?"
Menurut Syaikh ‘Ali al-Sâbûnî, ayat di atas merupakan larangan Allah
agar orang-orang mukmin tidak bersikap sama dengan orang-orang munafik yang
terpedaya oleh harta dan anak sehingga melalaikan mereka dari taat dan ibadah
kepada Allah, meninggalkan kewajiban salat, zakat, dan haji.262
Bagi orang-orang salih, apa yang ada di sisi Allah jauh lebih berharga dan
tiada bandingannya. Allah berfirman:
المال والبنون زينة الحياة الدنيا والباقيات الصالحات خير عند ربك ثوابا وخير أمال
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi salih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. al-Kahfi/18:46)
13. Gemar Berinfak/Sedekah
Sebagai tindak lanjut dari poin di atas, orang-orang salehpun
membuktikannya dengan gemar berinfak dan bersedekah kepada orang-orang
yang membutuhkan. Harta benda sebagai anugerah Allah adalah titipan dan
amanah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan masyarakat
umum.
Nabi Muhammad saw. adalah teladan yang luar biasa dalam masalah ini.
Ia pernah memberikan ratusan ekor unta kepada beberapa orang. Seusai perang
Hunain, ia melimpahkan kemurahannya yang luar biasa. Ia memberikan untuk
262 Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 387
197
Abû Sufyân bin Harb (w.33 H.) 40 kati perak dan 100 ekor unta, demikian pula
untuk Yazîd dan Mu’âwiyah. Kepada Hâkim bin Hizâm (w.54 H.) diberikannya
sebanyak 200 ekor unta. Selanjutnya beliau memberikan untuk Nazar bin Harits
100 ekor unta. Demikian pula halnya kepada Usaid bin Jâriyah, Hârits bin
Hisyâm, Safwân bin Umayyah (w.42 H.), Qais bin ‘Adi, Suhail bin ‘Amr (w. 37
H.), dan lain-lain.263
Kedermawanan ini juga ditunjukkan oleh istri beliau, ‘Aisyah r.a. (w.57
H.) Suatu ketika, Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân mengirimkan uang kepada ‘Aisyah
r.a. sebanyak 80.000 dirham. Kala itu ‘Aisyah r.a. sedang berpuasa dan
mengenakan pakaian yang sudah usang. Ketika menerima uang tersebut, dia
segera memberikannya kepada fakir miskin tanpa sisa sedikitpun. Melihat
kenyataan ini, pembantunya mengomentari, “Ya Ummul Mukminin, kenapa kita
tidak menyisakan uang tadi barang satu dirham untuk membeli daging yang bisa
kita gunakan untuk berbuka?” ‘Aisyah r.a. menjawab, “Wahai Anakku!
Seandainya dari tadi engkau mengingatkan, maka hal itu akan saya lakukan.”264
Dan masih banyak lagi contoh-contoh seperti ini yang ditunjukkan oleh
orang-orang salih dari kalangan sahabat, tabiin, tabiit tabiin, dan yang lainnya.
14. Teladan Umat yang Patuh pada Allah dan Bersikap Hanif
Ketika Allah menegaskan bahwa nabi Ibrâhîm adalah termasuk orang
yang salih (QS.16:122), pada ayat sebelumnya (QS.16:120), Allah menegaskan
bahwa beliau adalah seorang imam yang dapat dijadikan sebagai teladan yang
263 Idrus Shahab, Sesungguhnya Dialah Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004),
Cet.III, h. 238-239 264 Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Penerjemah Jazirotul Islamiyah
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet.VII, h. 243
198
patuh kepada Allah dan hanif (selalu berpegang teguh kepada kebenaran dan tidak
pernah meninggalkannya).
شاآرا إن إبراهيم آان أمة قانتا لله حنيفا ولم يك من المشرآينوءاتيناه في الدنيا تباه وهداه إلى صراط مستقيمنعمه اجأل
ثم أوحينا إليك أن اتبع خرة لمن الصالحينحسنة وإنه في اآلبت على إنما جعل الس ملة إبراهيم حنيفا وما آان من المشرآين
الذين اختلفوا فيه وإن ربك ليحكم بينهم يوم القيامة فيما آانوا فيه يختلفون
Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri ni`mat-ni`mat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu. (QS. al-Nahl:120-124)
Menurut Imam Ibn Katsîr (w.774 H.), kata “ummah” pada ayat di atas
bermakna “imam yang diikuti”. Atau menurut Syaikh ‘Alî al-Sâbûnî adalah imam
yang menjadi teladan (qudwah) yang menghimpun berbagai kebaikan. Sedang
kata “qanit’ artinya “khusyu dan patuh kepada Allah serta melaksanakan segala
perintah-Nya”. Adapun “hanif” bermakna “berpaling dari syirik untuk bertauhid
kepada Allah”. Atau “meninggalkan segala bentuk agama batil dan cenderung
kepada agama yang hak, yaitu Islam.265
Pada ayat lain, ketika Allah menyatakan bahwa nabi Ibrâhîm a.s., Ishâq
a.s., dan Ya’qûb a.s. adalah orang-orang salih, Allah menegaskan bahwa mereka
adalah pemimpin-pemimpin (a’immah) yang memberikan petunjuk:
265 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, h.590; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr,
Jilid 2, h. 148
199
Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrâhîm) Ishâq dan Ya`qûb, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang salih. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, dan kepada Lut, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik, (QS. al-Anbiyâ/21:72-74)
Menurut Imam al-Tabarsî (w.548 H.), mereka adalah pemimpin-pemimpin
yang diikuti dalam perbuatan dan perkataan mereka, serta menunjukkan manusia
ke jalan yang benar dan agama yang lurus.266
Orang-orang salih adalah teladan dan pelopor kebaikan di tengah
masyarakat. Sebagai pelanjut dari risalah kenabian, orang-orang saleh harus
menunjukkan bahwa Islam adalah “rahmah li al-‘âlamîn”. Segala perkataan,
perbuatan, dan tindak-tanduknya mencerminkan jati diri muslim sejati sehingga
layak untuk diteladani.
Dalam realitas hidup, kebutuhan masyarakat terhadap figur seorang teladan
merupakan keniscayaan. Ketika tidak ditemukan figur teladan dalam kehidupan
karena tidak seiramanya antara ucapan dengan perbuatan seseorang, betapapun
masyarakat menjadi kehilangan pegangan. Sebab, al-Qur’an akan menjadi hidup dan
bermakna jika ada orang-orang yang mengamalkan atau mengimplementasikan ayat-
ayatnya dalam kehidupan. Jika demikian, maka kehidupan akan menjadi carut-marut
dan tidak tentu arah. Di sinilah arti penting keberadaan orang-orang saleh yang dapat
membimbing dan mengarahkan manusia menuju jalan kebenaran yang diridhai oleh
Allah swt.
B. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis
266 al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Juz 8, h. 88
200
Setelah diketahui bahwa menangis merupakan salah satu karakteristik atau
bahkan akhlak orang-orang salih, maka yang menjadi persoalan selanjutnya adalah
bagaimanakah caranya agar tradisi menangis ini dapat menyatu dan menghiasi hari-
hari keberagamaan umat Islam?
Maka jawabnya adalah hati atau jiwa yang bersih. Hati adalah mahkota
manusia. Suasana hatilah yang akan menggerakan segenap indera manusia untuk
melakukan berbagai aktivitas. Hati akan menjadi komando bagi setiap anggota tubuh
untuk berbuat dan bertindak. Kebeningan hati akan memudahkan setiap orang untuk
berada dalam suasana khusyu saat ayat-ayat al-Qur’an dilantunkan. Kebersihan hati
akan menyebabkan seseorang patuh dan pasrah secara total saat mendapatkan nasehat
keagamaan. Kesucian hati akan menghantarkan seseorang untuk selalu berempati saat
melihat penderitaan saudaranya.
Allah menegaskan dalam surat al-A’lâ:
ىآز تن محلف ادق Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman). (QS.al-‘A’lâ/87:14)267
Menurut Hadis yang sahih, Nabi Muhammad saw. senantiasa membaca surat
al-A’lâ pada raka’at pertama shalat ‘idain.268 Demikian pula halnya yang dilakukan
Imam ‘Ali, sehingga ada orang munafik yang menuduh beliau tidak pandai membaca
al-Qur’an. Menjawab hal ini Imam ‘Ali r.a. (w.40 H.) berkata: “Seandainya orang
tahu apa yang terdapat dalam surat a-A’lâ, niscaya ia akan membacanya dua puluh
kali sehari.”269
Hati atau jiwa mempunyai fitrah untuk menjadi kotor apabila manusianya
melakukan kejahatan. Namun, jiwa atau hati juga siap membawa manusia untuk
267 Lihat pula dalam surat al-Syams/91:7-10 268 al-Nawawî, Al-Adzkâr, hal.46 269 Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003),
Cet.III, hal.153
201
bertakwa dan menjadi manusia shalih. Dalam sebuah Hadis sahih, Rasulullah
menyatakan bahwa dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal
daging itu baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Dan jika ia buruk maka buruk
pula seluruh jasadnya. Segumpal daging itu adalah qalb (hati).270
Hati adalah sebuah kuil yang ditempatkan Allah dalam diri setiap
manusia, sebuah kuil untuk menampung percikan cahaya Ilahi. Hati juga bagaikan
sebuah cermin mengkilap yang dapat memantulkan rahasia-rahasia Ilahi.
Kebersihan dan kebeningan hati akan memancarkan dan mewujudkan amaliah
yang menyejukkan dan menentramkan manusia. Namun sebaliknya, kekotoran
hati akan menimbulkan perilaku-perilaku sesat yang meresahkan masyarakat.
Semuanya sangat tergantung dari penataan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh
setiap individu.
Ketika seorang individu melakukan satu kemaksiatan, maka menurut
Rasulullah saw., ia telah menciptakan satu titik hitam dalam hatinya. Jika ia tidak
bertaubat dan perbuatan dosa semakin banyak dilakukan, maka titik-titik hitam itu
akan menutupi kesucian hati yang pada akhirnya ia tidak lagi dapat membedakan
antara yang hak dan yang batil, yang baik dan yang buruk.
Jika ia seorang penguasa, maka dengan kekuasaaannya, ia tidak segan-
segan melakukan tindakan represif, zalim, dan tiranik demi mempertahankan
kekuasaannya. Jika ia seorang yang berharta, maka ia tidak segan-segan
mengeluarkannya untuk beragam kemaksiatan, berzina, berjudi, berfoya-foya dan
lain-lain, serta menumpuk-numpuk dengan cara batil dan menghitungnya laksana
Qarun yang rakus. Jika ia sebagai orang yang kuat, iapun tidak merasa risih untuk
270 Hadis diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî & Imam Muslim. Lihat al-Nawawî, Matan
al-Arba’în al-Nawawiyyah, (Surabaya: Bungkul Indah, t.t.), hal.19-20
202
menekan dan menindas kaum dhu’afa yang tertindas tanpa belas kasihan laksana
binatang buas.
Dekadensi akhlak akibat kekeruhan dan kekotoran hati sehingga tidak
mampu menangkap pesan-pesan moral al-Qur’an telah menciptakan tatanan
kehidupan yang rusak dan amburadul. Penipuan, penyuapan, kecurangan,
kelaliman, perzinaan, pergaulan bebas, dan berbagai kemaksiatan masyarakat
menjadi pemandangan rutin sehari-hari. Semua orang tidak peduli dan tidak
menghiraukan dengan situasi yang terjadi. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar tidak
lagi menjadi pilar hidup bermasyarakat. Situasi ini teramat menyesakkan
pandangan mata dan hati. Tidak ada lagi keadilan yang diharapkan. Tidak ada lagi
penghormatan terhadap orang-orang tua dan jompo. Tidak ada lagi kepedulian
sosial terhadap orang lemah di masyarakat.271
Di sinilah peranan al-Qur’an menjadi amat dibutuhkan. Karena di antara
dimensi pokok risalah Nabi Muhammad saw. adalah membersihkan hati dan jiwa
manusia yang menjadi sumber kekuatan moral. Perhatikanlah ayat di bawah ini:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (al-Sunah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS.al-Baqarah/2:129)272
Oleh karena itu, tugas Nabi saw. terhadap bangsa Arab ketika itu ada dua,
yaitu;
1. Membersihkan akal mereka dari kemusyrikan dan kebatilan, membersihkan
hati mereka dari kekerasan jahiliyah, membersihkan keinginan mereka dari
syahwat binatang, dan membersihkan perilaku mereka dari perbuatan-
perbuatan kotor.
271 Harun Yahya, Moralitas Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2002), hal.35 272 Lihat juga dalam QS.2/al-Baqarah:151; QS.3/Ali ‘Imrân:164; dan QS.al-Jumu’ah;2)
203
2. Mengembangkan akal mereka dengan ilmu pengetahuan dan hati mereka
dengan keimanan sehingga kehendak hati mereka mengarah kepada amal
saleh, kebaikan, dan akhlak karimah.273
Orang-orang yang suci hatinya adalah orang-orang yang hanya mengabdi
kepada Allah. Mereka senantiasa mensucikan dan mengagungkan-Nya seraya
berusaha untuk mencontoh sifat-sifat yang Allah miliki. Orang-orang yang suci
hatinya adalah orang-orang yang mengenal hak-hak orang lain. Mereka akan
selalu berusaha bersikap adil kepada siapapun, karena adil adalah sifat Tuhan
yang dijadikan sebagai idea moral dalam al-Qur’an.274 Orang-orang yang suci
hatinya adalah orang-orang yang mencintai Allah dan mencintai makhluk-Nya.
Singkatnya, Orang-orang yang suci hatinya adalah orang-orang salih yang
senantiasa memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Mereka memiliki
hubungan yang baik dengan Allah (silah billâh) dan juga baik dengan sesama
(silah bi al-nâs).
Dalam pandangan al-Qur’an dan Hadis, ada beberapa hal yang menjadi
sarana penyucian hati, yaitu:
1. Menegakkan salat dengan khusyu secara disiplin.
Manusia diperintahkan untuk teguh melaksanakan salat dan berdiri di
hadapan Tuhan dengan khusyu
قانتينة الوسطى وقوموا هللاحافظوا على الصلوات والصالPeliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) salat wustâ. Berdirilah
karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyu`. (QS.al-Baqarah/2:238)
273 Yusuf Qaradhawi, Interaksi dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema insani Press, 1999),
cet.I, hal. 139-140 274 M.M.Syarif,M.A., Advent of Islam, Fundamental Teaching of The Qur’an (terj.),
(Bandung: Penerbit Mizan, 1997), cet.VIII, hal.42
204
Menurut al-Syaikh ‘Alî al-Sâbûnî, makna “waqûmû lillâhi qânitîn” adalah
langgengkanlah ibadah dan ketaatan yaitu shalat dengan khusyu dan tunduk.275
Khusyu dalam salat, ditegaskan oleh Allah sebagai salah satu karakteristik orang-
orang yang beruntung.
تهم خاشعونهم في صالالذين قد أفلح المؤمنون Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyu` dalam salatnya, (QS. al-Mu’minûn/23:1-2)
Salat merupakan sarana terbesar dalam tazkiyah al-nafs. Ia adalah sarana
dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna-makna ubudiyah, tauhid, dan
syukur. Ia adalah zikir, gerakan berdiri, ruku, sujud, dan duduk. Penegakannya
dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah,
di samping merupakan pengakuan terhadap rububiyah dan hak pengaturan.
Penegakkannya secara sempurna juga akan dapat memusnahkan bibit-bibit ujub
dan ghurur, bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian.276
ة تنهى عن وة إن الصلواتل ما أوحي إليك من الكتاب وأقم الصل يعلم ما تصنعون أآبر واهللالفحشاء والمنكر ولذآر اهللا
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-‘Ankabût/29:45)
Salat yang berfungsi sebagai sarana tazkiyah al-nafs adalah salat yang
ditegakkan dengan kekhusyuan, yaitu yang dilaksanakan dengan kesadaran dan
kehadiran hati (hudûr al-qalb). Rasulullah saw. menegaskan:
من لم تنهه صالته عن الفحشاء والمنكر لم يزدد من اهللا إال بعدا
275 ‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid I, h. 154 276 Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, (Jakarta: Robbani Press, 2003), Cet.ke-3, h. 33
205
“Siapa yang salatnya tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, hal itu hanya menambah jauh dirinya dari Allah.”277
Imam al-Ghazâlî (w. 505 H.) menegaskan bahwa salat orang yang lalai
(al-ghâfil) tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
Berikut ini beberapa sabda Rasulullah saw. yang menyebutkan berbagai
keistimewaan salat, yaitu:
يقول ρت رسول اهللا عن أبي هريرة رضي اهللا عنه قال سمعأرأيتم لوأن نهرا بباب أحدآم يغتسل منه آل يوم خمس مرات هل
فذلك مثل قال اليبقى من درنه قالوا هن من درنه شيء 278.هن الخطاياالصلوات الخمس يمحو اهللا ب
Dari Abû Hurairah ra. Ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya seseorang mandi setiap hari lima kali di sungai yang terletak di depan rumahnya. Apakah pada tubuhnya tersisa kotoran?” Mereka menjawab: “Tidak tersisa di tubuhnya sedikitpun kotoran.” Lalu beliau bersabda: “Itulah perumpamaan salat lima waktu. Dengan salat tersebut Allah menghapuskan segala kesalahan seseorang.” (H.R. al- Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, Ahmad, dan al-Dârimî)
قال الصالة ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا 279الخمس والجمعة إلى الجمعة آفارة لما بينهما مالم تغش الكبائر
Dari Abû Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Salat lima waktu dan satu Jumat ke Jumat yang lain dapat menghapuskan dosa yang terjadi di antaranya selama tidak melakukan dosa besar.” (H.R. Muslim)
يقول ما ρعن عثمان بن عفان رضي اهللا عنه قال سمعت رسول اهللا ه صالة مكتوبة فيحسن وضوءها وخشوعها من امرئ مسلم تحضر
ورآوعها إال آانت آفارة لما قبلها من الذنوب مالم يؤت آبيرة وذلك الدهر آله
277 al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 1, h. 159 278 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb al-Salawât al-Khams
Kaffârah, h. 134; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh, h. 268; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Amtsâl, no. Hadis 3028, h. 228; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Salâh Bâb Fadl al-Salawât al-Khams, no. Hadis 460, h. 83; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîhâ, no. Hadis 1397, h. 447; Ahmad, al-Musnad, Juz 1, h. 72; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 1, Kitâb al-Salâh Bâb fî Fadl al-Salawât, no. Hadis 1183, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000), Cet.ke-1., h. 265
279 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Tahârah Bâb al-Salawât al-Khams wa al-Jumu’ah ilâ al-Jumu’ah wa Ramadân ilâ Ramadân Mukaffirât limâ Bainahunn mâ Ujtunibat al-Kabâ’ir, h. 117; Ahmad Farîd, Az-Zuhd wa al-Raq’iq, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004), h. 466
206
Dari ‘Usmân bin ‘Affân r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Setiap muslim yang telah datang waktu salat kepadanya, lalu ia membaguskan wudunya, khusyunya, dan rukunya, niscaya itu semua dapat menghapuskan dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan itu terjadi sepanjang waktu.” (H.R. Muslim)280
Ritual salat memiliki pengaruh yang sangat luar biasa untuk terapi rasa
galau dan gundah dalam diri manusia. Dengan menegakkan salat secara khusyu,
yaitu dengan niat menghadap dan berserah diri secara total kepada Allah, serta
meninggalkan semua kesibukan maupun problematika kehidupan, maka seseorang
akan merasa tenang, tentram, dan damai. Rasa gundah dan stress yang senantiasa
menekan kehidupannya akan segera sirna. Rasulullah saw. senantiasa
menegakkan salat ketika sedang tertimpa masalah yang membuat beliau merasa
tegang. Seorang sahabat, Hudzaifah r.a. berkata:
281 إذا حزبه أمر صلى ρعن حذيفة رضي اهللا عنه قال آان النبي Dari Hudzaifah ia berkata: “Jika Nabi saw. merasa gundah karena sebuah
perkara, maka beliau akan segera menunaikan salat.” (H.R. Abû Dâwûd dan Ahmad)
Disebutkan pula bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Bilal
ketika waktu salat tiba:
عن سالم بن أبى الجعد قال قال رجل قال مسعر أراه من خزاعة ت فقال سمع. ليتني صليت فاسبرحت فكأنه عابوا عليه ذلك
282 يا بالل أرحنا بالصالة ρرسول اهللا “Wahai Bilal, istirahatkanlah diri kita dengan salat.” (H.R. Abû Dâwûd
dan Ahmad)
Hadis-hadis di atas mengisyaratkan tentang pentingnya ritual salat untuk
menciptakan rasa tenang dan damai dalam jiwa seseorang. Salat mampu
280 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Tahârah Bâb Fadl al-Wudû wa al-Salâh al-
‘Aqibah, h. 116; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, Bâb Fadl al-Salawâth.401-402 281 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Salâh Bâb Waqt Qiyâm al-Nabî saw.
Min al-Lail, no. Hadis 1318, h. 35; Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 388 282 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Adab Bâb fî Salâh al-‘Atamah, no.
Hadis 4985, h. 296; Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 364, 371
207
memberikan terapi jiwa yang sedemikian berarti untuk menghilangkan
kegundahan dan kegalauan yang dihadapi seseorang. Allah swt. telah
memerintahkan kita untuk meminta pertolongan melalui shalat dan kesabaran.
على الخاشعينة وإنها لكبيرة إالوصبر والصلواستعينوا بالDan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan)
salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`, (QS. al-Baqarah/2:45)
Hubungan seseorang dengan Sang Khalik ketika salat akan menghasilkan
kekuatan mental spiritual sangat besar yang memberikan pengaruh pada
perubahan penting dalam fisik dan psikisnya. Kekuatan mental spiritual ini sering
kali menghilangkan stress, menyingkirkan kelemahan, dan menyembuhkan
berbagai penyakit. Para dokter menyebutkan adanya penyembuhan yang begitu
cepat untuk beberapa jenis penyakit ketika penderitanya berada di lokasi ibadah
haji maupun lokasi ibadah lainnya. Abu Hurairah pernah berkata bahwa dia
mengeluihkan sakit perut yang dia derita. Maka Rasulullah saw. menoleh ke
arahnya seraya bersabda:
فهجرت فصليت ثم جلست ρعن أبي هريرة قال هجر النبي عم يارسول اهللا قال قم اشكمت درد؟ قلت نρفالتفت إلى النبي
283 فصل فإن فى الصالة شفاءDari Abû Hurairah ia berkata: Nabi saw. berhijrah, akupun berhijrah. Aku
salat, lalu duduk, dan kemudian menoleh ke Nabi saw. beliaupun bersabda: “Apakah kamu menderita sakit perut?” Aku berkata: “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Berdirilah! Lantas tegakkanlah salat! Karena seseungguhnya di dalam ritual salat terdapat kesembuhan (untuk berbagai penyakit).” (H.R. Ibn Mâjah)
Kekuatan mental spiritual yang dilahirkan lewat ritual salat juga dapat
mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Kekuatan tersebut mampu membangkitkan
harapan, memantapkan niat, memperkokoh semangat, dan memunculkan kekuatan
283 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah., Juz 2, Kitâb al-Tibb Bâb al-Salâh Syifâ, no. Hadis
3458, h. 1144
208
besar yang membuatnya siap menerima ilmu pengetahuan dan hikmah, serta lebih
memiliki jiwa patriotisme yang begitu kuat.
Ritual salat memiliki pengaruh sangat penting dalam terapi perasaan
bersalah atau berdosa yang menyebabkan rasa gundah dan menjadi penyebab
utama penyakit jiwa. Hal ini bisa terjadi karena ritual salat bisa mengampuni dosa
seseorang, membersihkan jiwa dari noda-noda kesalahan sebagaimana yang
dijelaskan oleh Hadis di atas, serta menimbulkan harapan mendapatkan
maghfirah dan ridha Allah.284
Untuk memperkuat pemahaman di atas, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751
H.) berkata:
Ritual salat bisa membuat hati menjadi bahagia dan tegar. Bahkan ritual salat juga bias membuat hati terasa lapang, bahagian, dan tentram. Dalam ritual salat terdapat interaksi hati maupun ruh dengan Allah. Hati dan ruh menjadi dekat dengan Allah ketika seseorang menegakkan salat. Dia akan merasakan nikmatnya berzikir, merasa nyaman bermunajat kepada Allah, dan merasa nikmat berada di hadapan-Nya. Dia akan menggunakan semua organ tubuhnya dan kekuatan yang dimilikinya untuk beribadah. Dia tidak akan larut dalam kesibukan dengan makhluk. Dia hanya akan memfokuskan kekuatan hatinya untuk menjalin hubungan dengan Tuhan yang telah menciptakannya. Dia akan terbebas dari bayangan musuhnya ketika sedang salat. Semua itu akan menjadi obat, jalan keluar, dan menu makanan yang sehat bagi hatinya. Tentu saja kondisi semacam itu hanya dialami oleh hati yang sehat. Adapun hati yang sakit, maka dia ibarat jasad yang sakit. Dia sama sekali tidak identik dengan hal-hal yang baik. Ibadah salat termasuk aktivitas yang paling berpotensi mendatangkan kemaslahatan dunia akhirat dan menolak kemudharatan dunia akhirat. Salat akan mencegah pelakunya dari perbuatan dosa, mendatangkan obat untuk hati, menghindarkan dari berbagai penyakit fisik, menyinari hati, menjernihkan muka, membuat organ tubuh menjadi semangat, mendatangkan rezki, menjauhkan perbuatan aniaya, akan mendorong pelakunya menolong orang yang teraniaya, berpotensi untuk meredam gejolak nafsu, memelihara kenikmatan, menjauhkan siksa, mendatangkan rahmat, dan menghilangkan kegundahan.”285
2. Menunaikan Zakat dan Gemar Bersedekah
284 M. Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., (Jakarta: Mustaqim,
2003), Cet. I, h. 403-404 285 Ibid, h. 408-409
209
Cinta terhadap harta benda sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali
‘Imrân ayat 14 merupakan fitrah asasi manusia. Jika naluri alamiah ini diiringi
dengan pendidikan yang keliru, maka akan menumbuhkan penyakit hati yang
tercela seperti bakhil atau kikir, mencemaskan masa depan, merasa kekurangan,
ingin mencelakai orang lain, cinta kepada kekuasaan dan penguasa, dan sebagian
penyakit seksual. Penyakit-penyakit ini terkadang berubah kea rah kebalikannya,
seperti penyakit suka berlebih-lebihan atau boros.286 Apalagi sifat kikir ini
merupakan tabiat manusia sebagaimana firman Allah:
نفس الشحوأحضرت األManusia itu menurut tabiatnya kikir. (QS. al-Nisâ/4:128)
Dalam berbagai teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadis) ditemukan
pernyataan-pernyataan yang mengecam dan mencela kekikiran ini dan sebaliknya
memuji kedermawanan. Beberapa teks tersebut adalah:
فسنيسره لليسرى وصدق بالحسنى فأما من أعطى واتقى فسنيسره للعسرى وآذب بالحسنى وأما من بخل واستغنى
وما يغني عنه ماله إذا تردىAdapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa,dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (QS. al-Lail/92:5-11)
نفسكم ما استطعتم واسمعوا وأطيعوا وأنفقوا خيرا ألفاتقوا اهللا ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-Taghâbun/64:16)
286 Adnan Syarif, Psikologi Qurani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet.I, ., h. 122
210
قال اتقوا الظلم فإن الظلم ρ أن رسول اهللاعن جابر بن عبد اهللاظلمات يوم القيامة واتقوا الشح فإن الشح أهلك من آان قبلكم
287حملهم على أن سفكوا دماءهم واستحلوا محارمهم Dari Jâbir r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Takutlah kalian
dengan kezaliman. Karena sesungguhnya kezaliman itu akan melahirkan kegelapan pada hari kiamat. Bertakwalah (kepada Allah dengan menjauhi) kikir. Karena sesungguhnya kikir itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian (yaitu) mereka menumpahkan darah-darah mereka dan menghalalkan yang diharamkan.” (H.R. Muslim)
عن عبد اهللا بن عمرو بن العاص رضي اهللا عنهما أن رجال سأل أي االسالم خير؟ قال تطعم الطعام وتقرأ السالم ρرسول اهللا
288على من عرفت ومن لم تعرفDari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As r.a. (Ia berkata): Sesungguhnya
seseorang bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ajaran Islam manakah yang paling baik?” Rasul menjawab: “Engkau memberikan makan dan engkau ucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang belum engkau kenal.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah )
ما من يوم ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا يصبح العباد فيه إال ملكان ينزالن فيقول أحدهما اللهم أعط منفقا
289اخلفا ويقول االخر اللهم أعط ممسكا تلف
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah hamba-hamba berada di pagi hari melainkan akan tutun dua malaikat. Salah satu malaikat berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ Dan malaikat yang lain berdo’a, ‘Ya Allah, berikanlah kehancuran kepada orang yang tidak berinfak.’” (Muttafaq ‘alaih)
قال السخي قريب من ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه عن النبي والبخيل بعيد . اراهللا قريب من الناس قريب من الجنة بعيد من الن
287 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah wa al-Âdâb Bâb Tahrîm al-
Zulm, h. 430 288 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb It’âm al-Ta’âm min al-Islâm,
h. 9 & Juz 7, Kitâb al-Isti’dzân Bâb al-Salâm li al-Ma’rifah wa Ghair al-Ma’rifah, h. 128; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân Tafâdul al-Islâm wa Ayy Umûrih Afdal, h. 37; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb Ifsyâ al-Salâm, no. Hadis 5194, h. 350; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Îmân wa Syarâ’i’ih Bâb Ayy al-Islâm Khair, no. Hadis 5010, h. h. 801; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-At’imah Bâb It’âm al-Ta’âm, no. Hadis 3253, h. 1083
289 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Zakâh âb Wujûb al-Zakâh, h. 120; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitrâb al-Zakâh Bâb fî al-Munfiq wa al-Mumsik, h. 404; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, Bâb al-karam wa al-Jûd wa al-Infâq fî Wujûh al-Khair Tsiqah bi al-Lâh, h. 245-251
211
والجاهل . من اهللا بعيد من الناس بعيد من الجنة قريب من النار 290السخي أحب إلى اهللا من عابد بخيل
Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda: Orang yang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang jahil yang pemurah lebih dicintai oleh Allah ketimbang ahli ibadah yang kikir. (H.R. al-Tirmidzî)
Kekikiran merupakan indikasi cinta dunia, sementara orang yang cinta
dunia sehingga melupakan akhirat amat tercela dalam pandangan Allah dan
Rasulullah. Yahyâ bin Mu’âdz pernah menyatakan:
الدنيا خمر الشيطان من سكر منها فال يفيق إال فى عسكر الموتى وأقل ما فيها أنه يلهى عن حب اهللا وذآره , نادما بين الخاسرين
وإذا لهي القلب عن ذآر اهللا . ومن ألهاه ماله فهو من الخاسرينومن فقهه فى الشر انه . سكنه الشيطان وصرفه حيث أراد
291.انه يفعل الخيريرضيه ببعض أعمال الخير ليريه Dunia adalah khamarnya setan. Siapa yang mabuk atau terbuai dengannya,
maka dia tidak akan sadar kecuali saat kematian dating menjemput sambil menyesali dirinya di antara orang-orang yang merugi. Batas minimal keadaan orang cinta dunia adalah dia akan dilalaikan dari cinta kepada Allah dan mengingat-Nya. Siapa yang dilalaikan oleh hartanya maka dia termasuk kelompok orang yang merugi. Jika kalbu lalai dari mengingat Allah, maka setan akan bersemayam dan mengarahkan orang tersebut sekehendak setan.Dan di antara kecerdikan/kelicikan setan dalam kejahatan adalah bahwa dia membiarkan seseorang melakukan sebagian perbuatan baik untuk menumbuhkan sifat riya (bangga) pada orang itu bahwa ia mampu melakukan kebaikan itu.
Di sinilah urgensi zakat dan infak atau sedekah memainkan peranannya
dalam tazkiyatun nafs. Ia membersihkan jiwa dan hati manusia dari kekikiran dan
kerakusan, serta pada saat yang bersamaan menanamkan cinta dan kasih sayang
terhadap sesama.
290 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Birr wa al-Silah Bâb Mâ Jâ’a fî al-
Sakhâ, h. 231; Zain al-Dîn al-Malîbari, Irsyâd al-‘Ibâd ilâ Sabîl al-Rasyâd, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t), h. 40
291 Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fi al-Zuhd wa al-Raqâ’iq,(T.tp.: Al-Maktabah at-Taufîqiyyah, t.t.), h. 198
212
Cinta, kasih sayang, dan ucapan yang baik merupakan perkara yang
penting dan mendasar demi kebaikan pertumbuhan dan perkembangan
kepribadian. Oleh karena itu, Rasulullah saw. telah memberikan keteladanan yang
luhur dalam perilaku kehidupan beliau sehari-hari. Seluruh perilaku beliau
senantiasa dihiasi dengan cinta, kasih sayang, dan sikap welas asih kepada semua
makhluk Allah.
Beliau adalah orang yang teramat penyayang, baik kepada orang yang
dekat maupun yang jauh. Beliau merasa senang bila melihat orang senang dan
bahagia. Dan beliau akan merasa susah bila orang lain mengalami penderitaan dan
kesusahan. Oleh karena itu, beliau akan memberikan bantuan dan pertolongan
kepada orang lain sesuai dengan kondisi orang tersebut.
Pernah suatu ketika beliau mempercepat shalat karena mendengar
tangisan. Beliau tidak ingin memberatkan ibu si bayi yang tengah ikut shalat
bersamanya. Itulah sebabnya, beliau menganjurkan agar seseorang yang menjadi
imam hendaknya meringankan salatnya.292
Kasih sayang Rasulullah saw. salah satunya diwujudkan dalam kemurahan
dan kedermawanan beliau terhadap sesama. Beliau dikenal sebagai makhluk Allah
yang paling mulia dan paling dermawan. Telapaknya bak mendung yang banyak
mengandung kebaikan dan tangannya bak hujan deras yang menurunkan
kemurahannya, bahkan kemurahan beliau lebih cepat daripada angin yang
bertiup.293
3. Banyak Melakukan Ibadah Puasa
292 Aidh al-Qarni, Visualisasi Kepribadian Muhammad saw., (Bandung: Penerbit IBS,
2000), h.76-77 293 Ibid, h. 53
213
Sesungguhnya hal yang sangat berbahaya dan sangat merusak kehidupan
manusia adalah memperturutkan syahwat perut. Tersebab syahwat perutlah nabi
Adam dan Siti Hawa dikeluarkan dari surga. Perut dapat menjadi sumber penyakit
dan kerusakan. Sebab, dari syahwat perut akan muncul syahwat farji (kemaluan)
dan syahwat makanan. Jika seorang hamba menundukkan dirinya dengan cara
berlapar dan mempersempit jalan-jalan setan, niscaya ia akan menjadi ringan
dalam mematuhi Allah dengan melakukan berbagai kebajikan serta tidak akan
melalui jalan kesesatan yang dimurkai-Nya.294
Atas dasar inilah Rasulullah saw. memberikan petunjuk kepada umatnya
bagaimana cara mengkonsumsi makanan dan minuman secara proporsional.
يقول ما مأل ابن ρعن مقدام بن معديكرب قال سمعت رسول اهللا فإن . بحسب ابن ادم أآالت يقمن صلبه, ادمي وعاء شرا من بطن
295 لنفسهآان ال محالة فثلث لطعامه وثلث لشرابه وثلثDari Miqdâm bin Ma’dîkarib ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Tidaklah seorang anak Adam memenuhi sebuah wadah yang lebih buruk daripada memenuhi perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang belakangnya. Maka tidak memungkinkan, maka hendaknya ia gunakan sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk bernafas.” (H.R. al-Tirmidzî dan Ibn Mâjah.)
Sesungguhnya Hadis di atas merupakan prinsip umum dalam dunia
kedokteran, sehingga menurut Ahmad Farîd yang mengutip ungkapan seorang
dokter, seandainya manusia merealisasikan kandungan Hadis di atas, niscaya
mereka akan terhindar dari berbagai macam penyakit dan toko-toko obat akan
ditinggalkan. Sebab, sumber segala penyakit adalah banyak makan. Inilah manfaat
294 Ahmad Farîd, Al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 93-94 295 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Karâhiyah
Katsrah al-Akl, no. Hadis 2486, h. 18; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-At’imah Bâb al-Iqtisâd fî al-Akl wa Karâhah al-Syab’, h. 1111; al-Tirmidzî mengatakan bahwa hadis ini sahih. al-Dzahabî dan al-Albânî juga mensahihkannya
214
sedikit makan dari sisi kesehatan jasmani. Adapun manfaatnya dari sisi kesehatan
ruhani adalah bahwa sedikit makan akan melahirkan kelembutan hati, kecerdasan,
nafsu terkendali, dan melemahkan amarah.296
Dalam upaya mewujudkan hal di atas, al-Qur’an dan Hadis banyak
mengingatkan keutamaan berlapar dan tercelanya kenyang.
ة واتبعوا الشهوات فسوف وفخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصل من تاب وءامن وعمل صالحا فأولئك يدخلون الجنة إال. يلقون غيا
يظلمون شيئاوالMaka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-
nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal salih, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.(Q.S. Maryam/19:59-60)
من خبز ρعن عائشة رضي اهللا عنها أنها قالت ماشبع ال محمد ρ 297شعير يومين متتابعين حتى قبض رسول اهللا
Dari ‘Aisyah r.a. sesungguhnya ia berkata: “Tidak pernah keluarga Muhammad saw. kenyang dengan roti yang terbuat dari gandum selama dua hari berturut-turut sampai Rasulullah saw. meninggal dunia.” (Muttafaq ‘alaih)
ρعن أنس رضي اهللا عنه وعنده خباز له فقال ما أآل النبي 298 حتى لقي اهللاخبزا مرققا وال شاة مسموطة
Dari Anas r.a. ia berkata: Tidak pernah Nabi saw makan roti yang halus dan juga daging kambing yang telah siap dihidangkan sampai ia meninggal dunia.” (H.R. al- Bukhârî)
ت السموات من مأل ال يدخل ملكو ρقال ابن عباس قال النبي 299بطنه
296 Ahmad Farîd, Al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 93-94 297 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb al-At’imah Bâb Mâ Kâna al-Nabî saw. wa
Ashâbuh Ya’kulûna, h. 205; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 588 298 Al-Bukhārī, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb al-At’imah Bâb al-Khubâ al-Muraqqaq wa
al-Akl ‘alâ al-Khiwâr wa al-Sufrah, h. 199 299 Al-Ghazālī, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Juz3, h. 78 lam yujad aslan
215
Ibn ‘Abbâs berkata: Nabi saw. bersabda: “Kerajaan langit tidak dapat dimasuki oleh orang selalu memenuhi perutnya.”
الفكر نصف العبادة وقلة الطعام هي ρال الحسن قال النبي ق 300ةالعباد
al-Hasan berkata: Nabi saw. bersabda: “Berpikir itu setengah ibadah, sedang sedikit makan adalah ibadah itu sendiri.”
Para ulama telah menetapkan sepuluh manfaat lapar, di antaranya adalah:
a. Menjernihkan hati, menyalakan kebijakan, dan menajamkan penglihatan hati.
Sementara kenyang dapat menyebabkan hati menjadi buta dan mempertebal
asap dalam otak. Asy-Syibli mengtaakan: “Tidak pernah aku lapar karena
Allah dalam satu hari, kecuali akan aku temukan sebuah pintu dari hikmah
dan pelajaran yang belum pernah aku lihat sama sekali sebelumnya.”
b. Tidak lupa akan cobaan dan azab dari Allah. Sebab, kenyang seringkali
menyebabkan orang tidak jeli melihat dan memahami cobaan dan azab Allah.
Hamba yang cerdas akan selalu ingat terhadap bencana akhirat ketika melihat
kesulitan orang lain, sebuah sikap yang tidak dimiliki oleh orang yang selalu
kenyang.
Inilah salah satu sebab mengapa para nabi dan wali diistimewakan oleh
Allah dengan berbagai cobaan. nabi Yûsuf pernah ditanya: “Mengapa engkau
harus lapar, sedang di tanganmu terdapat simpanan kekayaan bumi?” Nabi
Yusuf menjawab: “Aku khawatir kalau aku kenyang, aku lupa terhadap orang
yang sedang lapar.”
300 Ibid
216
c. Mematahkan keinginan nafsu untuk berbuat berbagai kemaksiatan dan
kejahatan. Karena sesungguhnya sumber kemaksiatan itu adalah nafsu dan
kekuatan, sedang bahan dari kesenangan nafsu dan kekuatan adalah makanan.
Aisyah r.a. berkata: “Bid’ah pertama kali sepeninggal Rasulullah saw.
adalah kenyang. Sesungguhnya manusia itu ketika kenyang perutnya, akan
menjadi liarlah nafsunya dalam menghadapi dunia ini.”
d. Memudahkan untuk tekun beribadah. Orang yang memperturutkan nafsu perut,
tentu akan banyak menyita waktunya untuk makan, dan ini juga akan
menyebabkan dirinya berat jika diajak beribadah.
Diceritakan bahwa Ar-Rasyid pernah mengumpulkan empat orang
dokter, yaitu dokter berkebangsaan Hindi, Romawi, Irak, dan Sawwad. Ar-
Rasyid berkata: “(Aku minta) agar setiap orang dari kalian menerangkan obat
yang tidak mengandung efek samping yang berupa penyakit lain selain
penyakit yang dapat diobati oleh obat tersebut.” Maka dokter yang
berkebangsaan Hindi, Romawi, dan Sawwadpun menyampaikan jenis obat
yang menurut mereka tidak menimbulkan efek samping apa-apa. Namun,
oleh dokter berkebangsaan Sawwad yang paling terkenal dan mahir di antara
mereka, semua jenis obat yang mereka tawarkan ditolak. Dokter-dokter itupun
berkata: “Lalu menurutmu obat apa?” Dia menjawab: “Obat yang tidak
mengandung penyakit lain (efek samping) adalah kalau engkau memakan
sesuatu makanan saat engkau betul-betul menginginkan dan mengangkat
tanganmu dari makanan itu padahal engkau masih menginginkannya.” Dokter-
dokter lain serentak berkata: “Engkau benar.”
217
e. Memungkinkan seseorang mengutamakan orang lain dan bersedekah lebih
kepada anak-anak yatim dan fakir miskin, lalu ia berada di bawah naungan
sedekahnya pada hari kiamat.301
Rasulullah saw. pernah memandang seorang laki-laki yang gendut
perutnya, lalu ditunjuknya perut itu dengan jari tangannya sambil bersabda:
“Seandainya ini tidak berada dalam perut ini, tentu hal itu akan lebih baik
bagimu.” (H.R. Ahmad, al-Hâkim, al-Baihaqî dari Ja’dah al-Habsyi. Sanadnya
jayyid).
Demi melahirkan kesehatan hati dan fisik inilah agama mensyariatkan
puasa (sîyâm) minimal satu bulan dalam satu tahun. Puasa ibarat rem bagi perut
dalam menghadapi kehidupan. Ia mutlak dibutuhkan dalam kehidupan setiap
manusia. Hal ini dapat dipahami dari redaksi yang digunakan dalam surat al-
Baqarah ayat 183 tentang kewajiban puasa. Dalam ayat tersebut Allah tidak
menggunakan kata “kataba” dalam bentuk aktif (binâ fâ’il), melainkan yang
digunakan adalah redaksi “kutiba” dalam bentuk pasif (binâ maf’ûl). Hal ini
memberikan pemahaman bahwa kalaupun Allah tidak mewajibkan, niscaya akal
sehat manusia sendiri yang akan mewajibkannya demi kemaslahatan mereka
sendiri.
Abû Hurairah r.a (w. 57 H.) menyampaikan bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
قال اهللا عز ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه يقول قال رسول اهللا إال الصيام فإنه لي وأنا أجزي به وجل آل عمل ابن ادم له
301 Rincian yang lebih lengkap dapat dilihat: Ibrahim M. Jamal, Penyakit Hati, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997), Cet. II, h. 154-164
218
والصيام جنة فإذا آان يوم أحدآم فال يرفث يومئذ وال يسخب فإن 302سابه أحد أو قاتله فليقل إني امرؤ صائم
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Allah azza wajalla berfirman: ‘Semua amal anak Adam adalah miliknya, kecuali ibadah puasa. Sesungguhnya ibadah puasa itu adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara kalian sedang berpuasa hendaknya ia tidak berkata kotor dan juga tidak bertindak bodoh. Apabila ada orang yang mengganggunya, hendaklah ia berkata, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah)
Dalam riwayat Imam al-Bukhârî (w. 256 H.) digunakan redaksi sebagai
berikut:
يترك طعامه وشرابه وشهوته من أجلي الصيام لي وأنا أجزي به 303والحسنة بعشر أمثالها
“(Allah berfirman): ‘Dia meninggalkan makanannya, minumannya, dan syahwatnya karena Aku. Ibadah puasa adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Amal kebaikan itu akan digandakan sebanyak sepuluh kali lipat.’” (H.R. al-Bukhârî)
Dalam Hadis tersebut dinyatakan bahwa puasa itu adalah ibarat perisai. Ia
dapat berfungsi sebagai pemelihara seseorang dari dorongan syahwatnya. Orang
yang berpuasa akan mampu mengekang nafsunya sehingga diapun memutuskan
untuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seksual, dan selalu
berperilaku baik.dia tidak akan berkata kotor, bertindak bodoh, mencela dan
mencaci orang lain, maupuin tindakan-tindakan lain yang dapat menimbulkan
murka Allah. Dalam ibadah puasa terkandung latihan untuk mengendalikan
motivasi dan emosi, serta memperkuat kehendak untuk mengalahkan dorongan
302 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al- Saum Bâb Hal Yaqûlu Innî Sâ’im idzâ
Syutima, h. 228; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Fadl al-Siyâm, h. 465; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Saum Bâb al-Ghîbah lî al-Sâ’im, no. Hadis 2363 h. 307; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm, Bâb Dzikr al-Ikhtilâf ‘alâ Abî Sâlih fî Hâdzâ al-Hadîts, no. Hadis 2213, h. 370; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Mâ Jâ’a fî al-Ghîbah wa al-Rafats lî al-Sâ’im, no. Hadis 1691, h. 539-540
303 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al- Saum Bâb Fadl al-Saum, h. 226
219
hawa nafsu dan syahwat. Rasulullah saw. telah memberikan nasehat kepada para
pemuda yang belum mampu untuk menikah agar mereka berpuasa. Ibadah puasa
dapat membantu mereka meredam dan mengendalikan motivasi seksual yang
tengah menggebu-gebu.
Dalam ibadah puasa terdapat unsur latihan bersabar. Dengan latihan
bersabar, seseorang akan mampu menanggung berbagai beban berat kehidupan.
Manakala seseorang yang menunaikan ibadah puasa merasa terhalangi untuk
makan dan minum, maka akan tumbuh dalam dirinya rasa empati, ikut merasakan
penderitaan kaum papa. Sebagai biasnya dia akan mengasihani dan membantu
saudaranya yang bernasib kurang beruntung secara ekonomi. Dia akan selalu
membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Dia akan selalu peka
dengan segala perkembangan yang terjadi di tengah masyarakatnya sehingga
tumbuh rasa tanggung jawab sosial. Hal ini tentunya akan menciptakan hubungan
sosial yang baik antara dirinya dengan orang-orang lain. Hubungan sosial yang
baik dengan lingkungan sekitarnya akan melahirkan kedamaian dan ketentraman
dalam hatinya.304
Rasulullah saw. senantiasa memotivasi umatnya untuk menunaikan ibadah
puasa yang sangat bermanfaat ini melalui sabda-sabdanya:
قال ومن صام ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا ` 305رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Dari Abû Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menunaikan puasa Ramadhan dengan dilandasi iman dan keikhlasan, maka dosa-
304 M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 410 305 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al- Saum Bâb Sâma Ramadân Îmânan wa
Ihtisâban wa Niyyatan, h. 228
220
dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, dan Ahmad)
قال مامن ρعن أبي سعيد الخدري رضي اهللا عنه أن رسول اهللا يصوم يوما في سبيل اهللا إال باعد اهللا بذلك اليوم وجهه عن عبد
306النار سبعين خريفا
Dari Abû Sa’îd al-Khudrî r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak seorang hambapun yang menunaikan ibadah puasa satu hari saja di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkannya dari neraka (sejauh jarak perjalanan) tujuh puluh tahun lantaran ibadah puasa tersebut.” (H.R. al-Bukhârî , Muslim, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah)
ن اهللا تبارك وتعالى إ ρعن أبي سلمة عن أبيه قال قال رسول اهللا فرض صيام رمضان عليكم وسننت لكم قيامه فمن صامه وقامه
307إيمانا واحتسابا خرج من ذنوبه آيوم ولدته أمه
Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan kepada kalian. Dan aku telah menyunnahkan salat pada malam harinya untuk kalian. Maka siapa saja yang berpuasa Ramadhan dan melakukan shalat pada malam harinya dengan didasari keimanan dan keikhlasan, maka dia akan keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari dia baru dilahirkan oleh ibunya.” (H.R. An-Nasā’ī)
Menurut Imam al-Ghazâlî (w.505 H.), ada enam hal yang harus
diperhatikan dalam upaya menyempurnakan ibadah Puasa, yaitu:308
a. Menundukkan pandangan dan menahannya dari memandang segala hal yang
dibenci dan dicela. Rasulullah saw. bersabda:
فمن ترآها _ لعنه اهللا_النظرة سهم مسموم من سهام إبليس خوفا من اهللا اتاه اهللا عز وجل إيمانا يجد حالوته في قلبه
306 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Fadl al-Siyâm fî Sabîl al-Lâh liman
yutîquh bilâ Darar walâ Tafwît Haqq h. 466; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm Bâb Tsawâb Man Sâma Yauman fî Sabîl al-Lâh ‘Azza wa Jalla wa Dzikr Ikhtilâf ‘alâ Suhail ibn Abî Sâlih, no. Hadis 2242, h. 373; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb fî Siyâm Yaum fî Sabîl al-Lâh, no. Hadis 1717, h. 547-548
307 al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Siyâm Bâb Dzikr Ikhtilâf Yahyâ ibn Abî Katsîr wa al-Nadr ibn Syaibân fîh, no. hadis 2207, h. 369
308 al-Ghazâlî, Ihyâ ‘ulûm al-Dîn, Juz 1, h. 235-237
221
“Memandang adalah salah satu anak panah iblis. Siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan menganugerahkan kepadanya keimanan yang ia dapat rasakan manisnya di kalbunya.” (H.R. al-Hâkim)309
b. Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar,
pertengkaran, dan perdebatannya, mengendalikannya dengan diam, sibuk
dengan zikrullah dan tilawah al-Qur’an. Nabi saw. bersabda:
الصيام جنة قال ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا فال يرفث وال يجهل وإن امرؤ قاتله أوشاتمه فليقل إني صائم إني
310صائم Dari Abû Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw.
bersabda:“Sesungguhnya puasa itu merupakan perisai. Oleh karena itu, (jika salah seorang di antara kalian berpuasa), maka hendaklah ia tidak berkata kotor dan bertindak bodoh. Jika seseorang menyerangnya atau mencaci makinya, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah)
c. Menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci.
d. Menahan anggota badan lainnya dari berbagai dosa, seperti menahan kaki dan
tangan dari hal-hal yang dibenci dan menahan perut dari hal-hal yang syubhat.
e. Tidak memperbanyak makan makanan yang halal pada saat berbuka, karena
tidak ada yang paling dibenci oleh Allah selain perut yang penuh dengan
makanan halal.
f. Hendaknya setelah iftar, hatinya senantiasa berada dalam kondisi cemas
(khauf) dan harap (rajâ), sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima
309 al-Hâkim mensahihkan sanadnya 310 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Saum Bâb Fadl al-Saum, h. 226;
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Siyâm, Bâb Fadl al-Siyâm, h. 465; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Saum Bâb al-Ghîbah lî al-Sâ’im, no. Hadis 2363, h. 307; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm Bâb Dzikr al-Ikhtilâf ‘alâ Abî Sâlih fî Hâdzâ al-Hadîts, no. Hadis 2214, h. 370; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Mâ Jâ’a fî al-Ghîbah wa al-Rafats lî al-Sâ’im, no. Hadis 1691, h. 539-540
222
sehingga termasuk ke dalam golongan muqarrabîn atau ditolak dan masuk ke
dalam golongan yang dimurkai? Diriwayatkan bahwa suatu ketika al-Hasan
bin Abû al-Hasan al-Basrî melewati suatu kaum yang sedang tertawa.
Beliaupun kemudian berkata: “Sesungguhnya Allah menjadikan bulan
Ramadhan sebagai arena perlombaan melakukan ketaatan bagi makhluk-Nya.
Kemudian ada orang-orang yang berlomba hingga menang dan ada pula
orang-orang yang tertinggal lalu kecewa. Tetapi yang sangat mengherankan
adalah pemain yang tertawa-tawa di saat orang-orang lain berpacu meraih
kemenangan.”
4. Menunaikan Ibadah Haji
Ritual haji mengajarkan bagaimana menanggung beban berat, melatih diri
untuk memerangi hawa nafsu, dan mengendalikan dorongan serta gejolak
syahwat. Sebab, dalam menunaikan ibadah haji seseorang tidak boleh melakukan
hubungan intim, tidak boleh cekcok, mencaci, menyakiti orang lain, atau
melakukan hal-hal yang dimurkai Allah. Ritual haji mampu meredam rasa
sombong, congkak, angkuh, dan merasa lebih baik ketimbang orang lain. Semua
orang memiliki kedudukan yang sama ketika menunaikan ibadah haji. Mereka
mengenakan busana yang sama tanpa perbedaan antara yang kaya dan yang
miskin atau antara atasan dengan bawahan. Semua merasa berada dalam posisi
yang sejajar, beribadah di Baitul Haram dengan khusyu, tunduk, mengakui
kelemahan dan keterbatasannya, serta hanya mengabdi kepada Allah demi
mengharapkan maghfirah dan ridha-Nya. Di tempat yang dipenuhi dengan spirit
ruhaniah, hubungan seseorang dengan Tuhannya akan semakin bertambah dekat
223
dan kuat. Seseorang akan merasakan kejernihan hati, ketenangan jiwa, dan
mengalami kondisi spiritual yang dipenuhi dengan rasa cinta dan bahagia.311
Dalam ritual haji, seseorang juga akan membersihkan dirinya dari
perasaan dengki, hasud, dan benci kepada pihak lain. Sebaliknya, rasa cinta, kasih
sayang dan persaudaraannya dengan sesama akan lebih kental dan melekat dalam
hatinya.
Oleh karena itu, ibadah haji dapat menjadi salah satu terapi menawarkan
dan menyehatkan jiwa. Pada saat itu seseorang akan terasa mudah mengakui
segala tindakan dosa yang telah dilakukannya selama ini. Dan ia sadar bahwa
Rasulullah saw. menjanjikan pahala berupa ampunan dosa bagi orang yang
hajinya berpredikat haji mabrur. Ada sebuah riwayat berikut ini:
قال العمرة إلى ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا 312 لمبرور ليس له جزاء إال الجنةالعمرة تكفر ما بينهما والحج ا
Dari Abû Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “(Antara) umrah sampai umrah berikutnya dapat melebur dosa-dosa yang ada di anatara keduanya. Dan ibadah haji yang mabrur itu tidak lain balasannya adalah surga. (H.R. al-Bukhârî,, Muslim, al-Tirmidzî, dan al-Nasâ’î)
يقول من ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه قال سمعت رسول اهللا 313حج هللا فال يرفث رجع آيوم ولدته أمه
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji ikhlas karena Allah sehingga dia tisdak melakukan hubungan intim dan tidak melakukan perbuatan
311 M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 412 312 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb al-‘Umrah, h. 198; Muslim,
Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Hajj Bâb Fî Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah wa Yaum ‘Arafah, 566; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Hajj Bâb Mâ Jâ’a fî Dzikr Fadl al-‘Umrah, no. Hadis 937, h. 206; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Manâsik al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj al-Mabrûr, no. Hadis 2619, h. 432-433
313 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj al-Mabrûr, h. 141; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Hajj Bâb Fî Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah wa Yaum ‘Arafah, h. 566; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzi, Juz 2, Abwâb al-Hajj Bâb Mâ Jâ’a fî Tsawâb al-Hajj wa al-‘Umrah , no. Hadis 808, h. 153; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Manâsik al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj, no. Hadis 2624, h. 433; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah, no. Hadis 2889, h. 964-965
224
dosa besar, maka dia akan pulang seperti pada hari dia baru dilahirkan oleh ibunya.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan al-Nasâ’î)
ρعن عبد اهللا بن مسعود رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا تابعوا بين الحج والعمرة فإنهما ينفيان الفقر والذنوب آما ينفى
جة المبرورة ثواب الكير خبث الحديد والذهب والفضة وليس للح 314إال الجنة
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata:Rasulullah saw. bersabda: “Kerjakanlah ibadah haji dan umrah secara berturut-turut! Karena sesungguhnya kedua ibadah tersebut bias menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana tungku api mampu menghilangkan kotoran besi, emas, dan perak (yang sedang ditempa). Tidak ada ganjaran untuk haji yang mabrur kecuali hanya surga.” (H.R. al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah)
Orang yang menunaikan ibadah haji akan mengharapkan Allah swt.
menerima ibadahnya, mengabulkan doanya, dan mengampuni dosanya. Oleh
karena itu, dia akan kembali dari hajinya dalam keadaan bebas dari perasaan
berdosa, jauh dari gundah. Dan pada saat yang bersamaan akan merasuk ke dalam
kalbunya perasaan tenang, tentram, rasa bahagia, dan suka cita.
Agar ibadah haji dapat terlaksana dengan baik, maka selain ada adab-adab
lahir yang harus diperhatikan, menurut Imam al-Ghazâlî (w.505 H.) ada pula
beberapa adab batin yang layak untuk dicermati, yaitu:315
a. Hendaklah ia berhaji dengan harta yang halal;
b. Hendaknya ia berusaha untuk tidak menyerahkan dirinya diperas orang-orang
yang mengganggu jamaah haji;
c. Hendaknya ia tidak memboroskan bekalnya untuk makan dan minum yang
mewah atau membeli kelezatan-kelezatan selama di perjalanan;
314 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb Bâb Mâ Jâ’a fî Tsawâb al-Hajj wa al-
‘Umrah , no. Hadis 807, h. 153; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Manâsik al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj, no. Hadis 2628, h. 433; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah, no. Hadis 2887, h. 964
315 al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Jilid I, h. 263-267
225
d. Hendaknya ia meninggalkan segala macam akhlak tercela;
e. Diutamakan memperbanyak berjalan;
f. Hendaknya ia berpakaian sederhana dan meninggalkan tanda-tanda
kesombongan dan kemewahan;
g. Hendaknya ia bersabar menerima musibah yang menimpa badannya atau bila
ia kehilangan harta.
5. Tilawah al-Qur’an sambil Merenungi Kandungannya
Sejak manusia mengenal baca tulis al-Qur’an sekitar lima ribu tahun yang
lampau, tiada satu bacaanpun yang dapat menandingi al-Qur’an. Yang dipelajari
dari al-Qur’an tidak hanya susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya,
melainkan juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan kesan yang
ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi
generasi, dan dari sudut pandang yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan
dan kecenderungan mereka. al-Qur’an laksana permata yang memancarkan
cahaya yang berbeda-beda sesuai sudut pandang orang yang memandangnya.
Ditemukan banyak tek-teks keagamaan yang menyatakan keagungan Al-
Quran sehingga memotivasi umat untuk membaca, memahami, dan mengamalkan
kandungannya.
ياأيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yûnus/10:57)
يزيد وننزل من القرءان ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين وال خسارامين إالالظال
226
Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. al-Isrâ/17:82)
فصلت ءاياته ءأعجمي أعجميا لقالوا لوالجعلناه قرءاناولو يؤمنون في وعربي قل هو للذين ءامنوا هدى وشفاء والذين ال
ءاذانهم وقر وهو عليهم عمى أولئك ينادون من مكان بعيدDan jikalau Kami jadikan al-Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa
Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah (patut al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: " al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh". (QS. Fussilat/40:44)
ومااجتمع قوم ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا في بيت من بيوت اهللا يتلون آتاب اهللا ويتدارسونه بينهم إال نزلت
ة وحفتهم المالئكة وذآرهم اهللا فيمن عليهم السكينة وغشيتهم الرحم 316عنده
Dari Abû Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah sebuah kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk melantunkan (bacaan) kitab Allah dan saling mempelajarinya, kecuali ketentraman akan turun dalam kalbu mereka, rahmat akan menyelimuti mereka, mereka akan dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (H.R. Muslim, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah)
ي أمامة رضي اهللا عنه قال سمعت رسول اهللا عن أب ρ إ قرؤا القران فإنه يأتي يوم القيامة يقول 317شفيعا ال صحابه
Dari Abû Umâmah r.a. dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat (pertolongan) bagi orang-orang yang membaca dan mengamalkan kandungannya.” (H.R. Muslim)
الماهر ρعن عائشة رضي اهللا عنها قالت قال رسول اهللا قران مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ القران ويتتعتع فيه باال
318وهو عليه شاق له أجران
316 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Dzikr wa al-Du’â wa al-Taubah wa al-Istighfâr Bâb Fadl al-Ijtimâ’ ‘alâ Tilâwah al-Qur’ân wa ‘alâ al-Dzikr, h. 473-474; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Salâh Bâb Fî Tsawâb Qirâ’ah al-Qur’ân, no. Hadis 1455, h. 71; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Âdâb Bâb Fadl al-Dzikr, no. Hadis 3791, h. 1245
317 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Fadl Qirâ’ah al-Qur’ân wa Sûrah al-Baqarah, , h. 321
227
Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang mahir membaca al-Qur’an, maka kelak (dia di surga) bersama para malaikat yang mulia dan baik. Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an dengan terbata-bata dan dia merasa berat, maka baginya dua pahala.” (al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah)
ال تحاسد ρنه قال قال رسول اهللا عن أبي هريرة رضي اهللا عإال فى اثنتين رجل اتاه اهللا القران فهو يتلوه اناء الليل و النهار يقول لو أوتيت مثل ما أوتي هذا لفعلت آما يفعل ورجل اتاه اهللا
ينفقه في حقه يقول لو أوتيت مثل ما أوتي هذا لفعلت آما ماال 319يفعل
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw., beliau bersabda: “Tidak diperkenankan bersikap dengaki kecuali dalam dua hal, yaitu: (Pertama) Terhadap orang yang dianugerahkan al-Qur’an oleh Allah lalu dia membacanya sepanjang siang dan malam, lalu ia (yang dengki) berkata, ‘Seandainya aku diberikan seperti yang diberikan kepadanya, niscaya aku akan melakukan seperti yang dilakukannya’. Dan (Kedua) terhadap orang yang dianugerahkan harta oleh Allah lalu dia menafkahkannya (di jalan Allah) sesuai dengan peruntukkannya, lalu ia (yang dengki) berkata, ‘Seandainya aku diberikan seperti yang diberikan kepadanya, niscaya aku akan melakukan seperti yang dilakukannya’.” (H.R. al-Bukhârî dan Ahmad)
قال من قرأ حرفا ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا من آتاب اهللا فله به حسنة و الحسنة بعشر أمثالها ال أقول الم
320والم حرف وميم حرفحرف ولكن الف حرف
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf Kitabullah, maka dia akan mendapatkan satu kabaikan, dan satu kebaikan itu akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa alif laam miim itu satu huruf. Akan tetapi (ia terdiri dari) alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (H.R. al-Tirmidzî)
318 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah ‘Abasa, h. 80;
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Fadl al-Mâhir bi al-Qur’ân wa al-Ladzî Yatata’ta’u fîh, h. 319; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Fadâ’il al-Qur’ân Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl Qâri’ al-Qur’ân, no. Hadis 3068, h. 244; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Salâh Bâb fî Tsawâb Qirâ’ah al-Qur’ân, no. Hadis 1454, h. 70-71; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Âdâb Bâb Tsawâb al-Qur’ân, no. Hadis 3779, h. 1242
319 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 8, Kitâb al-Tamanni Bâb Tamannî al-Qur’ân wa al-‘Ilm, h. 129, dan Bâb Qaul al-Nabî saw. Rajul Âtâh al-Lâh al-Qur’ân, h. 209; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 9, 36; al-Nawawî, Riyâd al- Sâlihîn, h. 388
320 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Fadâ’il al-Qur’ân Bâb Mâ Jâ’a fî Man Qara’a Harfan min al-Qur’ân falah min al-Ajr, no. Hadis 3075, h. 248
228
قال من قرأ آل يوم ρعن أنس رضي اهللا عنه أن رسول اهللا رة قل هو اهللا أحد محي عنه ذنوب خمسين سنة إال أن مائتي م
321يكون عليه دين
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa membaca qul huwallâhu ahad sebanyak dua ratus kali setiap hari, maka dosa-dosanya selama lima puluh tahun akan diampuni kecuali kalau dia memiliki tanggungan hutang.” (H.R. al-Tirmidzî)
Keagungan yang dimiliki al-Qur’an sebagaimana yang tergambar dalam
teks-teks di atas inilah salah satu hal yang menyebabkan bahwa tilawah al-Qur’an
dipandang sebagai dzikir paling utama (afdal al-dzikr), terlebih jika diringi
dengan merenungi (tadabbur) maknanya. Apalagi salah satu tujuan diturunkannya
al-Qur’an adalah membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk
syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi
Tuhan.322
Tilawah al-Qur’an sebagaimana ditegaskan oleh Sa’id Hawa, dapat
menghaluskan jiwa, menerangi hati, menyempurnakan fungsi salat, zakat, puasa,
dan haji dalam mencapai maqam ubudiyah kepada Allah swt.323
Tilawah al-Qur’an adalah obat yang cukup manjur untuk menghilangkan
rasa gundah yang timbul karena perasaan berdosa. Bahkan ia mampu mengobati
semua ketidakstabilan jiwa dan kegoncangan psikis maupun mental. Rasulullah
saw. sendiri pernah mengobati penyakit gila melalui al-Qur’an sebagaimana
riwayat berikut ini:
فجاء ρعن أبي بن آعب رضي اهللا عنه قال آنت عند النبي أعرابي فقال يا نبي اهللا إن لي أخا وبه وجع قال وما وجعه قال به
321 Ibid, Juz 4, Abwâb Fadâ’il al-Qur’ân Bâb Mâ Jâ’a fî Sûrah al-Ikhlâs, no. Hadis 3062, h. 241-242
322 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 12 323 Sa’id Hawa, Mensucikan Jiwa, h. 86
229
بفاتحة الكتاب ρني به فوضعه بين يديه فعوذه النبي لمم قال فأتوإلهكم إله (وأربع ايات من أول سورة البقرة وهاتين االيتين
رة واية من واية الكرسي وثالث ايات من اخر سورة البق) واحدإن ربكم (واية األعراف ) شهد اهللا أنه الاله إال هو(ال عمران
فتعالى (واخر سورة المؤمنين ) اهللا الذي خلق السموات واألرضوعشر ) وأنه تعالى جد ربنا(نواية من سورة الج) اهللا الملك الحق
ايات من أول الصافات وثالث ايات من اخر سورة الحشر وقل 324.هو اهللا أحد والمعوذتين فقام الرجل آأنه لم يشتك قط
Dari Ubay bin Ka’ab r.a. dia berkata: “Aku pernah berada di sisi Nabi saw.. lantas ada seorang badui seraya berkata: ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku mempunyai seorang saudara yang sedang sakit..’ Rasulullah bertanya, ‘Apa sakit yang dideritanya?’ Orang badui itu menjawab, “Dia itu gila.’Rasulullah bersabda, ‘Bawalah dia kepadaku!’ Maka orang badui itu membawa saudaranya ke hadapan Rasulullah. Lalu Nabi saw. membacakan (doa) perlindungan untuknya dengan surat al-Fatihah, empat ayat awal surat al-Baqarah, dua ayat: wa ilâhukum ilahuw wâhid (Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa. QS.2:163) dan ayat kursi, tiga ayat terakhir dari surat al-Baqarah, sebuah ayat pada surat Ali ‘Imrân: Syahidallâhu annahû lâ ilâha illâ huw (Allah menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. QS.3:18), sebuah ayat dari surat al-A’râf: inna rabbakumul ladzî khalaqa al-samâwâti wa al-ard (Sesungguhnya Tuhan kamu adalah yang menciptakan langit dan bumi. QS.7:54), akhir surat al-Mu’minûn (Fata’âlallâh al-malik al-haq: Maka Mahatinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya.), satu ayat dari surat al-Jinn (wa annahû ta’âla jaddu rabbinâ; Bahwasanya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. QS.72:3), sepuluh ayat awal surat al-Saffât, tiga ayat akhir surat al-Hasyr, al-Ikhlash dan al-Mu’awwidzatain.’ Lantas lelaki gila itu berdiri seperti tidak pernah mengeluhkan apapun sebelumnya.” (H.R. Ibn Mâjah)325
Oleh karena itu, tepatlah ketika As-Sayyid Ibrahim Al-Khawwash r.a.
berkata:
.دواء قلب خمسة أشياء قراءة القران بالتدبر وخالء البطن وقيام الليل والتضرع عند السحر ومجالسة الصالحين
Obat hati itu ada lima macam, yaitu: (1) Membaca al-Qur’an sambil merenungi kandungannya, (2) perut yang kosong, (3) Qiyamullail atau shalat
324 Ibn Mājah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Tibb Bâb al-Faza’ wa al-‘Araq wa mâ
Yuta’awwadzdzu minh, no. Hadis 3549, h. 1175; 325 Menurut M. Usman Najati, hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abdullah
bin Imam Ahmad dalam al-Zawâ’id dengan kualitas hasan. Lihat M. Usman najati, op.cit., h. 426
230
malam, (4) Berdoa atau bermunajat pada dini hari, dan (5) Bergaul dengan orang-orang yang salih.326
Selain itu, al-Qur’an dapat pula digunakan untuk pengobatan fisik
sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abî Syaibah berikut ini:
ρعن عبد اهللا بن مسعود رضي اهللا عنه قال بينما رسول اهللا يصلي إذ سجد فلدغته عقرب وقال لعن اهللا العقرب ما تدع نبيا
يضع موضع وال غيره قال ثم دعا بإناء فيه ماء وملح فجعل اللدغة فى الماء والملح ويقرأ قل هو اهللا أحد والمعوذتين
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. dia berkata: “Ketika Rasulullah saw. sedang salat, tepatnya ketika sujud, ada seekor kalajengking yang menyengat beliau. Beliaupun bersabda, ‘Semoga Allah melaknat kalajengking. Bahkan dia tidak membiarkan seorang nabi maupun orang lain (untuk disengatnya).’ Kemudian beliau minta diambilkan sebuah wadah yang berisi air dan garam. Beliau meletakkan anggota tubuh yang terkena sengatan ke dalam larutan air dan garam tersebut, dan beliau membaca qul huwallâh ahad dan al-Mu’awwidzatain.” (H.R. Ibn Abî Syaibah)327
Ada pula Hadis yang benar-benar mengisyaratkan bahwa al-Qur’an dapat
digunakan sebagai obat untuk berbagai penyakit, baik penyakit fisik maupun penyakit
psikis.
خير الدواء ρعن علي رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا 328القران
Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Obat yang paling baik adalah al-Qur’an.” (H.R. Ibn Mâjah)
Menurut Imam al-Ghazâlî (w.505 H.), ada sepuluh adab atau amalan batin
yang harus diperhatikan dalam tilawah al-Qur’an, yaitu:329
326 al-Nawawî, al-Adzkâr, h. 100 327 M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 427-428 328 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Tibb Bâb al-Istisyfâ bi al-Qur’ân, no.
Hadis 3501, h. 1158 329 Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 1, h. 281-289
231
a. Memahami kandungan dan ketinggian firman, karunia, dan kasih saying-Nya
kepada makhluk-Nya dalam menurunkan al-Qur’an dari ‘arsy kemuliaan-Nya
ke derajat pemahaman makhluk-Nya;
b. Mengagungkan Mutakallim (Allah);
c. Menghadirkan hati dan meninggalkan bisikan jiwa;
d. Mentadabburinya. Imam Ali berkata:
ال خير في عبادة ال فقه فيها وال في قراءة ال تدبر فيها “Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak didasarkan kepada pemahaman dan
membaca (al-Qur’an) yang tidak ditadabburi kandungannya.”
e. Tafahum (memahami secara mendalam), yaitu mencari kejelasan dari setiap
ayat secara tepat;
f. Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman;
g. Takhsis yaitu menyadari bahwa dirinya merupakan sasaran yang dituju
oleh setiap khitab (nas) yang ada dalam al-Qur’an
h. Ta’atstsur (mengimbas ke dalam hati), yaitu hatinya terimbas dengan berbagai
pengaruh yang berbeda sesuai dengan beragamnya ayat yang dihayati;
i. Taraqqi, yaitu meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mendengarkan
kalam dari Allah bukan dari dirinya sendiri; dan
j. Tabarri, yaitu melepaskan diri dari daya dan kekuatannya, dan memandang
kepada dirinya dengan pandangan riيha dan tazkiyah.
6. Zikir
Sebagai Pencipta, Allah-lah satu-satunya Zat Yang Maha Mengetahui
segala yang dibutuhkan umat manusia, baik kebutuhan jasmani maupun
kebutuhan ruhani. Petunjuk yang diberikan Allah untuk memenuhi dua macam
232
kebutuhan tersebut merupakan upaya terbaik dalam membentuk insan paripurna
sehingga dapat merasakan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup.
Salah satu petunjuk atau terapi batiniah yang Allah berikan adalah dengan
cara beribadah kepada Allah secara kontinu, berzikir kepada-Nya setiap waktu,
memohon ampun, dan selalu memanjatkan doa. Semua itu merupakan media yang
diberikan kepada hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Khalik
sehingga hidupnya bermakna karena senantiasa berada dalam perlindungan dan
pemeliharaan Allah swt.
Perhatikanlah beberapa ayat dan Hadis berikut ini!
تكفرونفاذآروني أذآرآم واشكروا لي وال Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku. (QS.al-Baqarah/2:152)
تطمئن بذآر اهللا أالالذين ءامنوا وتطمئن قلوبهم بذآر اهللا القلوب
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS.al-Ra’d/13:28)
رض وابتغوا من فضل اهللاة فانتشروا في األوفإذا قضيت الصل آثيرا لعلكم تفلحونواذآروا اهللا
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS.al-Jumu’ah/62:10)
233
سر رضي اهللا عنه أن رجال قال يا رسول اهللا إن عن عبد اهللا بن بشرائع االسالم قد آثرت علي فأخبرني بشيء أتثبت به فقال ال
330يزال لسانك رطبا من ذآر اهللا تعالى
Dari Abdullâh bin Busr r.a. ia berkata: Sesungguhnya seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya sudah banyak tentang syari’at Islam yang saya ketahui, maka beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang dapat saya teguhkan (pelaksanaannya)!” Maka Nabi bersabda: “Hendaknya lisanmu selalu basah karena zikir kepada Allah ta’âlâ.” (H.R. al-Tirmidzî dan Ibn Mâjah)
Ada satu hal yang mesti ditegaskan di sini bahwa fadilah zikir tidak
terbatas pada ucapan tasbih, tahlil, tahmid, takbir, atau yang semacamnya.
Menurut Imam Sa’îd bin Jubair r.a. (w.95 H.) dan sebagian ulama, bahwa setiap
orang yang melakukan berbagai ketaatan demi mengharap ridha Allah, maka dia
dapat dinilai sebagai orang yang berzikir kepada Allah.331
Menurut Imam Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w.751 H.), zikir dapat
memberikan banyak manfaat, di antaranya:332
a. Zikir dapat mengusir dan menumpas setan, melahirkan ridha Allah,
menghilangkan kegundahan dan kesedihan, serta menimbulkan kedamaian
dan ketentraman bagi kalbu;
b. Zikir dapat menguatkan dan menyinari kalbu dan badan, serta memudahkan
rizki;
c. Orang yang berdzikir akan memiliki kemuliaan dan kewibawaan serta
melahirkan sifat mahabbah (kasih sayang) yang merupakan ruh Islam dan
pusat kebahagiaan dan keselamatan;
330 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Da’awât Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-
Dzikr, no. Hadis 3435, h. 126-127; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Âdâb Bâb Tsawâb al-Qur’ân, no. Hadis 3793, h. 1246; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 479. Nilai hadis ini adalah hasan
331 al-Nawawî, al-Adzkâr, h. 9 332 Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 100-105
234
d. Zikir dapat menimbulkan kedekatan seorang hamba dengan Allah
(muraqabah) sehingga ia beribadah seakan-akan melihatnya (ihsân);
e. Orang yang berzikir (mengingat) kepada Allah, niscaya Allah akan ingat
kepadanya (QS.2:152);
f. Zikir menjadi sebab diturunkannya rahmat Allah;
g. Kesibukan berzikir dapat membuat orang meninggalkan perbuatan ghibah,
namimah, dusta, kekejian, dan kebatilan-kebatilan lainnya;
h. Zikir dapat menjadi tanaman di surga;
i. Zikir dapat mejadi wasilah Allah memberikan karunia yang tidak diberikan
kepada yang lain;
j. Senantiasa berzikir menyebabkan Allah tidak akan melupakannya kelak di
akhirat (QS.al-Hasyr:19);
k. Orang yang berzikir akan mendapatkan salawat dari Allah dan para malaikat
(QS.al-Ahzâb/33:41-43);
l. Allah akan membanggakan orang-orang yang berzikir di hadapan para malaikat-
Nya;
m. Kelanggengan berzikir dapat menggantikan bentuk-bentuk ketaatan lainnya;
n. Banyak berzikir menjadi sebab selamatnya seseorang dari sifat munafik
(QS.An-Nisa/4:142);
o. Kelanggengan berzikir dapat menjadi saksi seorang hamba di hari kiamat;
p. Zikir lebih utama daripada doa. Jadi, doa yang diawali dengan zikir lebih
utama dan lebih memungkinkan untuk diijabah ketimbang doa semata.
7. Mentafakuri Ciptaan Allah
Ketika Allah swt. menurunkan surat Ali ‘Imrân ayat 190:
235
يات ف الليل والنهار آلرض واختالإن في خلق السموات واأل لبابولي األأل
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS.Ali ‘Imrân/3:190)
Rasulullah menitikkan air mata dan selanjutnya berkomentar kepada Bilâl bin
Rabah:
ويل لمن قرأها ولم يتفكر فيها “Celakalah orang yang membacanya, namun tidak memikirkan
kandungannya.”333
Dalam ayat-ayat yang lain juga ditemukan pernyataan-pernyataan berikut
ini:
من اهللارض وما خلق أولم ينظروا في ملكوت السموات واألشيء وأن عسى أن يكون قد اقترب أجلهم فبأي حديث بعده
يؤمنون
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada al-Qur'an itu?(QS. al-A’râf/7:185)
يات رض وما تغني اآل واألقل انظروا ماذا في السموات يؤمنونوالنذر عن قوم ال
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".(QS.Yûnus/10:101)
نوحي إليهم من أهل القرى أفلم رجاالوما أرسلنا من قبلك إالرض فينظروا آيف آان عاقبة الذين من قبلهم أليسيروا في ا
تعقلونالخرة خير للذين اتقوا أفولدار اآلKami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang
Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang
333 Ibn Katsîr. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz1, h. 440
236
sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (QS.Yûsuf/12:109)
وإلى السماء آيف رفعت بل آيف خلقت ينظرون إلى اإلأفالفذآر رض آيف سطحتوإلى األ ف نصبتوإلى الجبال آي إنما أنت مذآر
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (QS.al-Ghâsyiyah/88:17-21)
Nas-nas di atas menegaskan bahwa kesempurnaan akal tidak akan tercapai
kecuali dengan bertemunya zikir dan pikir. Ada keterpaduan (integrasi) antara
zikir dan pikir dalam diri seorang muslim, sehingga olah pikirnya yang senantiasa
diiringi dengan zikir (ingat kepada Allah) akan menghantarkan kepada
bertambahnya keyakinan atau iman kepada Allah swt.
Dalam pandangan Islam, tafakkur yang dilakukan seorang hamba sehingga
melahirkan serangkaian ilmu pengetahuan diharapkan menjadi penunjuk jalan
kepada keimanan. Darinya muncul keyakinan bahwa di balik alam yang nyata ini
ada kekuatan yang jauh lebih dahsyat, yang mengatur dan menyusunnya,
memelihara segala sesuatu dengan ukuran dan perhitungan yang benar-benar
cermat.334
Di sinilah tafakkur dapat berperan sebagai penyucian hati (tazkiyatun
nafs). Perenungan terhadap alam ciptaan Allah menghantarkan seseorang kepada
pengakuan akan wujud Allah sehingga memunculkan rasa takut (khasy-yah) pada
dirinya. Allah swt. sendiri menegaskan:
334 Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003),
Cet. VII, h. 355-356
237
نعام مختلف ألوانه آذلك إنما يخشى اهللاومن الناس والدواب واأل عزيز غفورمن عباده العلماء إن اهللا
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS.Fâtir/40:28)
Selain itu, al-Qur’an juga mengajak manusia untuk mentafakkuri dirinya
sendiri. Misalnya dalam ayat:
ومن ومن ءاياته أن خلقكم من تراب ثم إذا أنتم بشر تنتشرونءاياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم
تفكرونيات لقوم يمودة ورحمة إن في ذلك آلDan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu
dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS.al-Rûm/30:20-21)
بصرون ت أنفسكم أفالوفي dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?
(QS. al-Dzâriyât/51:21)
Lihat pula ayat-ayat berikut ini: QS.’Abasa:17-22, al-Qiyâmah:37-38, al-
Mursalât:20-22, Yâsîn:77, al-Insân:2, dan al-Mu’minûn:12-14
Semua perenungan yang dilakukan seorang hamba haruslah dilandasi oleh
makna “Iqra bismi rabbik”. Artinya, apapun yang dilakukan harus dengan
mengingat nama Tuhan dan karenanya harus sesuai dengan petunjuk-Nya.
Potongan wahyu pertama ini akan menghantarkan pelakunya untuk tidak
melakukan berbagai aktivitas kecuali hanya karena Allah, serta akan
menghasilkan keabadian.
238
Tak ayal lagi, kegiatan memikirkan ciptaan Allah akan melahirkan
ma’rifah kepada Sang Pencipta, keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan-Nya.
Semakin banyak seseorang mengetahui keajaiban ciptaan Allah, maka akan
semakin sempurna pula pengetahuannya tentang kemuliaan dan keagungan-Nya.
Dan pada akhirnya ia akan menyadari akan segala kelemahan dirinya sendiri
sehingga tidak layak untuk bersikap angkuh dan sombong.
8. Mengingat Kematian
Suatu ketika Ibn ‘Umar r.a. (w.73 H.) mendatangi Rasulullah saw.
bersama sepuluh orang sahabat lainnya. Lalu ada seorang sahabat dari kalangan
Ansar yang datang, memberikan salam, dan bertanya:
أي المؤمنين أفضل؟! يا رسول اهللا “Siapakah orang mukmin yang paling utama?”
Nabi menjawab:
أحسنهم خلقا “Yang paling baik akhlaknya.”
Lalu dia bertanya lagi:
فأي المؤمنين أآيس ؟“Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?”
Lalu Rasulullah menjawab:
أولئك . ذآرا وأحسنهم لما بعده إستعدادا أآثرهم للموت 335األآياس
“(Mukmin yang paling cerdas) adalah mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling bagus persiapan untuk kehidupan sesudah kematian. Merekalah orang-orang yang cerdas.” (H.R. Ibn Mâjah)
335 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitân al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd
lah, no. Hadis 4259, h. 1423. Al-‘Iraqi berkata: Selain diriwayatkan oleh Ibn Mâjah, Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi ad-Dunyâ dengan sanad yang bagus (jayyid). Hadis ini juga disahihkan oleh al-Albânî. Lihat Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 194
239
Dalam hadis lain redaksinya adalah sebagai berikut:
الكيس من دان ρعن أبي يعلى شداد بن أوس قال قال رسول اهللا 336نفسه وعمل لما بعد الموت
“Orang yang cerdas adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya dan beramal sebagi persiapan bekal setelah kematian.” (H.R. al-Tirmidzî, Ibn Mâjah, dan Ahmad)
Dalam realitas sehari-hari diketahui bahwa orang yang tenggelam dalam
dunia, gandrung kepada tipu daya dan syahwatnya dapat dipastikan bahwa hati
orang tersebut lalai dari mengingat kematian. Ia tidak mau mengingatnya,
kalaupun diingatkan ia membencinya dan menghindari. Untuk orang-orang seperti
ini Allah menegaskan:
قيكم ثم تردون إلى عالم قل إن الموت الذي تفرون منه فإنه مال الغيب والشهادة فينبئكم بما آنتم تعملون
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".(QS. al-Jumu’ah/62:8)
Ibn Qudâmah r.h. (w.620 H.) berkata: “Cinta dunia dan memperturutkan
hawa nafsu serta kelezatannya, bila sudah membekas dalam hati, niscaya orang
merasa berat meninggalkan dunia ini dan tak akan berpikir tentang mati.”
Sedangkan orang yang arif senantiasa mengingat kematian karena
kematian adalah janji pertemuannya dengan kekasihnya. Pecinta tidak akan
pernah lupa sama sekali akan janji pertemuan dengan kekasihnya. Jadi, kematian
yang tampaknya adalah kepunahan, pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua.
Dia adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang kekal abadi. Tentang hal ini, al-
Râghib al-Isfahânî (w.502 H.) berkata:
336 al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Sifah al-Qiyâmah, no. Hadis 2577, h. 54;
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitân al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd lah, no. Hadis 4260, h. 1423.Ahmad, al-Musnad, 4, h. 124; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 150. Nilai Hadis ini hasan
240
“Kematian yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan merupakan sebab yang mengantarkan manusia menuju kenikmatan yang abadi. Kematian adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana diriwayatkan bahwa, ‘Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian haruslah berpindah dari satu negeri ke negeri (lain), sehingga kalian menetap di satu tempat.’337 Untuk kehidupan jangka panjang tersebut, Allah mengingatkan bahwa
kehidupan itu jauh lebih baik daripada kehidupan dunia melalui firman-firman-
Nya berikut ini:
تظلمون فتيالخرة خير لمن اتقى والقل متاع الدنيا قليل واآل...Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.(QS.al-Nisâ/4:77)
اثاقلتم ياأيها الذين ءامنوا ما لكم إذا قيل لكم انفروا في سبيل اهللاخرة فما متاع الحياة رض أرضيتم بالحياة الدنيا من اآلإلى األ
قليلخرة إالالدنيا في اآلHai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada
kamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal keni`matan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (QS.al-Taubah/9:38)
خرة لهي لهو ولعب وإن الدار اآلوما هذه الحياة الدنيا إال الحيوان لو آانوا يعلمون
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS. al-Ankabût/29:64)
ولىخرة خير لك من األولآلdan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. (QS. al-
Duhâ//93:4)
Ayat-ayat tersebut sesungguhnya sekaligus memerintahkan kepada umat
manusia untuk banyak mengingat kematian yang dapat memotivasi seseorang
337 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 73
241
untuk memperbanyak amal saleh. Rasulullah saw. sendiri dalam beberapa
sabdanya mengingatkan:
أآثروا ذآر هاذم اللذات ρ عن أبي هريرة قال قال رسول اهللا 338تيعني المو
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perbanyaklah untuk mengingat pemutus kenikmatan” yaitu kematian. (H.R. al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, dan Ahmad)
ة قال تحف ρعن عبد اهللا بن عمرو بن العاص عن النبي 339المؤمن الموت
Dari Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘As dari Nabi saw. beliau bersabda: “Hadiah orang mukmin adalah kematian.” (H.R. Abu ad-Dunyâ, al-Tabarânî, dan al-Hâkim)
الموت آفارة لكل مسلم Kematian dapat meleburkan (kafarat) dosa bagi setiap muslim.” (H.R. Abū
Nu’aim dalam “al-Hilyah”, al-Baihaqî dalam “al-Syu’ab” dan al-Khatîb dalam “al-Târîkh” dari Anas r.a.)
Banyak mengingat kematian sebagaimana yang dianjurkan oleh agama
dapat menjadi media penyucian diri. Sebab, ia dapat mendorong seseorang untuk
meningkatkan kualitas pengabdiannya kepada Allah di dunia sebagai bekal di
akhirat kelak. Bukankah Allah juga menyatakan:
الذي خلق تبارك الذي بيده الملك وهو على آل شيء قدير وهو العزيز الغفورة ليبلوآم أيكم أحسن عمالالموت والحيا
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(QS.al-Mulk/67:1-2)
338 Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ fî Dzikr al-Maut,
no. Hadis 2409, h. 378-379; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Katsrah Dzikr al-Maut, no. Hadis 1821, h. 311-312; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd lah, no. Hadis 4258, h. 1422; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 293; al-Nawawî, Riyâd al- Sâlihîn, Bâb Dzikr al-Maut wa Qasr al-Amal, h. 258-259; Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, h.123; kualitas hadis ini hasan.
339 Ahmad Farid, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 331
242
Setiap manusia harus menyadari bahwa kematian adalah misteri. Tidak
ada seorangpun yang tahu kapan dan di bumi belahan mana ia akan meninggalkan
dunia yang fana ini (QS.31:34; 7:34). Itulah sebabnya, orang-orang salih akan
senantiasa mempersiapkan diri dengan selalu berzikir dan beramal salih agar tidak
kaget saat kematian datang menjemput. Dari sini pula menjadi wajar, jika banyak
ditemukan riwayat mengenai orang-orang shalih yang dalam hidupnya banyak
mengingat kematian.
al-Rabi’ bin al-Khaitsam pernah berkata: “Tidak ada hal ghaib yang
dinantikan dan lebih baik bagi orang mukmin selain dari kematian.”340
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz (w.101 H.) biasa mengumpulkan para fuqaha
setiap malam untuk mengingatkan kematian, hari kiamat, dan akhirat. Lalu
mereka menangis seolah-olah di hadapan mereka terdapat jenazah.
Pada suatu ketika beliau (‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz) berkata kepada
sebagian ulama: “Nasehatilah aku!” Ulama itu berkata: “Engkau bukanlah
khalifah yang pertama kali mati.” Beliau berkata lagi: “Tambahlah nasehat lagi!”
Ulama itu berkata: “Dari nenek moyangmu hingga Nabi Adam, tidak ada
seorangpun kecuali merasakan kematian. Sementara itu giliranmupun telah tiba.”
Kemudian, Umarpun menangis mendengar nasehat tersebut. 341
9. Saling menolong dan Saling Menyayangi Saling menolong dan saling menyayangi, di samping berfungsi sebagai
sarana tazkiyah al-nafs, dia juga menjadi bukti kebeningan hati yang dimiliki oleh
seseorang. Seseorang yang jernih hatinya, dapat dipastikan memiliki kemampuan
interaksi sosial yang baik dengan sesama.
340 Sa’id Hawa, Mensucikan Jiwa, h.124 341 Ibid, h. 125
243
Itulah sebabnya, para psikiater modern memahami tentang pentingnya
hubungan kemanusiaan yang dijalin seseorang dengan kesehatan mental. Mereka
sangat memperhatikan masalah penyakit jiwa atau hati yang menimpa seseorang
di masyarakat. Mereka juga sangat memperhatikan rasa cinta dan kasih sayang di
antara manusia, serta menganjurkan mereka untuk melakukan aktivitas yang
bermanfaat. Semua itu, dalam pandangan mereka, merupakan faktor-faktor
penting untuk melakukan psikoterapi pada diri manusia.342
Dari sini, jelaslah hikmah ajaran Islam yang mengajak manusia untuk
saling menyayangi dan saling menolong. Ternyata keterkaitan seseorang dengan
individu lain dalam ikatan cinta dan kasih sayang bisa memperkokoh
kepribadiannya dan menghilangkan perasaan gelisah yang biasanya muncul akibat
mengisolasi diri.
al-Qur’an al-Karim dan Hadis Nabi saw. banyak mengarahkan kaum
muslimin untuk memupuk rasa cinta dan kasih sayang, menjalin persaudaraan,
dan saling menolong.
عليكم إذ تفرقوا واذآروا نعمة اهللا جميعا والواعتصموا بحبل اهللاآنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وآنتم على
لكم ءاياته لعلكم فا حفرة من النار فأنقذآم منها آذلك يبين اهللاش تهتدون
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.(QS.Ali ‘Imrân/3:103)
342 M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 108-109
244
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف ة ويطيعون وة ويؤتون الزآووينهون عن المنكر ويقيمون الصل يم عزيز حك إن اهللالله ورسوله أولئك سيرحمهم اهللا
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Taubah/9:71)
لعلكم إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم واتقوا اهللا ترحمون
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.(QS. al-Hujurât/49:10)
ر إليهم والمان من قبلهم يحبون من هاجيوالذين تبوءوا الدار واإليجدون في صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولو
آان بهم خصاصة ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحونDan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS. al-Hasyr/59:9)
إن اهللا تعالى ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا يقول يوم القيامة أين المتحابون بجاللي اليوم أظلهم في ظلي يوم
343ال ظل إال ظلي
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman pada hari kiamat kelak, ‘di manakah orang-orang yang saling mencintai ? Dengan segala keaguangan-Ku, pada hari ini Aku akan menanungi mereka dalam naungan-Ku pada saat tidak ada naungan selain naungan-Ku.’” (H.R. Muslim dan al-Tirmidzî)
343 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah Bâb fî Fadl al-Hubb fî al-Lâh, h. 425; al-Tirmizî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd bâb Mâ Jâ’a fî al-Hubb fî al-Lâh, no. Hadis 2499, h. 24; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 381
245
و الذي ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا نفسي بيده ال تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا وال تؤمنوا حتى تحابوا
شوا السالم فيما أوال أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم؟ أف 344بينكم
Dan dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Tidaklah kalian masuk surga sampai kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman (dengan sempurna) sampai kalian saling menyayangi. Tidakkah akan aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian kerjakan, niscaya kalian saling menyayangi? Sebarkanlah salam di antara kalian. (H.R. Muslim, al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah)
Hadis di atas mengisyaratkan bahwa saling mencintai merupakan syarat
keimanan dan syarat untuk dapat masuk surga. Orang mukmin yang hakiki adalah
orang yang mencintai dan dicintai orang lain. Rasulullah saw. bersabda:
345المؤمن مؤلف وال خير فيمن ال يألف وال يؤلف“Orang mukmin itu dicintai. Dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak
mencintai dan dicintai (orang lain).” (H.R. Ahmad) Rasa cinta di antara orang-orang mukmin harus dilakukan dengan ikhlas
karena Allah, bukan demi manfaat sesaat, keuntungan jangka pendek, kepentingan
pribadi, atau untuk mendapatkan harta, pangkat, dan jabatan.
Rasulullah saw. mengajarkan agar cinta seorang mukmin kepada
saudaranya laksana ia mencintai dirinya sendiri.
قال ال يؤمن أحدآم حتى ρعن أنس رضي اهللا عنه أن رسول اهللا 346يحب ال خيه ما يحب لنفسه
344 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân annah lâ Yadkhulu al-Jannah illâ
al-Mu’minûn wa anna Mahabbah al-Mu’minîn minj al-Îmân wa anna Ifsyâ al-Salâm Sabab li Husûlihâ, h. 41; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Isti’dzân wa al-Âdâb Bâb Mâ Jâ’a fî Ifsyâ al-Salâm, no. Hadis 2829, h. 156; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb fî Ifsyâ al-Salâm, no. Hadis 5193, h. 350; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb fî al-Îmân, no. Hadis 68, h. 26
345 Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 335 346al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Îmân bâb min al-Îmân an Yuhibba li
Akhîh mâ Yuhibbu li Nafsih, h. 9; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb al-dalîl ‘alâ anna
246
Dari Anas r.a. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah)
Cinta kasih yang dibangun di atas keikhlasan karena Allah akan
melahirkan keringanan mereka untuk saling menolong kapan dan di mana saja
berada.
قال المسلم أخو ρعن ابن عمر رضي اهللا عنه أن رسول اهللا و من آان في حاجة أخيه آان اهللا في .المسلم ال يظلمه وال يسلمه
هاآربة من آرب حاجته ومن فرج عن مسلم آربة فرج اهللا عنه ب 347يوم القيامة ومن ستر مسلما ستره اهللا يوم القيامة
Dari Ibn ‘Umar r.a.ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Orang muslim itu adalah saudara muslim yang lain. Maka hendaknya ia tidak menzaliminya dan tidak mencelakainya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhan dirinya. Siapa yang menghilangkan suatu kesulitan dari diri seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat. (H.R.al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan Abû Dâwûd)
Pada masa Rasulullah saw., beliau pernah mempersaudarakan Sa’ad bin
al-Rabî’ al-Ansâri (w.2 H.) dengan Abdurrahmân bin ‘Auf (w.32 H.) radhiyallâhu
‘anhumâ. Lalu Sa’ad berkata kepada Abdurrahmân: “sesungguhnya aku adalah
orang Ansar yang paling kaya. Aku akan membagi hartaku menjadi dua bagian,
untuk diriku dan untuk dirimu. Aku juga memiliki dua orang istri. Maka pilihlah
wanita mana yang paling kamu sukai, lantas sebutkan namanya kepadaku, untuk
kemudian akan aku ceraikan. Jika masa iddahnya sudah habis, akan aku nikahkan min Khisal al-Îmân an Yuhibba li Akhîh mâ Yuhibbu li Nafsih min al-Khair, h. 38; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Îmân wa Syarâ’i’ih Bâb ‘Alâmah al-Îmân, no. Hadis 5026, h. 803; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb al-Îmân, no. Hadis 66, h. 26; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 366
347 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 3, Kitâb al-Mazâlim Bâb lâ Yazlimu al-Muslim al-Muslim walâ Yuslimuh, h. 98; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah wa al-Âdâb Bâb Tahrîm al-Zulm, h. 430; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Hudûd Bâb Mâ Jâ’a fî al-Satr ‘alâ al-Muslim, no. Hadis 1449, h. 439; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb al-Mu’âkhâh, no. Hadis 4893, h. 273
247
dia denganmu.” Mendapat tawaran seperti itu, Abdurrahmân berkata: “semoga
Allah melimpahkan berkah kepadamu melalui keluarga dan hartamu. Di manakah
letak pasar kalian?” akhirnya, Abdurrahmân datang ke pasar untuk berdagang
hingga pada akhirnya sukses menjadi konglomerat Madinah dan menikah dengan
wanita lain.348
10. Bergaul dengan Orang-orang Salih
Rekan atau sahabat memiliki pengaruh yang sangat besar bagi
pembentukan kepribadian seseorang. Sahabat yang buruk akhlaknya tidak jarang
menularkan hal-hal negatif kepada teman sepergaulannya. Banyak sekali pemuda
yang mengalami penyimpangan perilaku dan terjerumus ke dalam perbuatan hina
maupun tindakan kriminal karena pengaruh temannya. Itulah sebabnya, ada
sebuah pepatah yang menyatakan:
349سوء الخلق يعدي Akhlak yang buruk itu dapat menular.
Oleh karena itu, memilih teman yang berakhlak mulia merupakan sesuatu
yang sangat urgen. Bukankah jika bergaul dengan pandai besi akan terkena
percikan api sebagaimana bergaul dengan tukang minyak wangi akan terkena
aroma harumnya? Perhatikanlah sabda Rasulullah saw. berikut ini:
قال إنما مثل ρوسى االشعري رضي اهللا عنه أن النبي عن أبي مالجليس الصالح والسوء آحامل المسك ونافخ الكير فحامل المسك
348 M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw ., h. 115 349 M. Fadhilah Zaidi, Mahfuzhat: Khazanah Mutiara Hikmah dari Pesantren, (Ciputat:
Penerbit Kalimah, 2000), Cet. I, h. 77
248
ريحا طيبة إما أن يحذيك وإما أن تبتاع منه وإما أن تجد منه 350ونافخ الكير إما أن يحرق ثيابك وإما أن تجد منه ريحا منتنة
Dari Abû Mûsâ al-Asy’arî r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dan teman yang buruk itu ibarat penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu minyak, atau kamu akan membeli minyak darinya, atau kamu akan mendapati aroma wangi darinya. Sementara pandai besi, maka bisa jadi dia akan membakar busanamu (ketika sedang meniup api) atau kamu akan menjumpai aroma tidak sedap darinya.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, dan Abû Dâwûd)
Pada kesempatan lain beliau juga bersabda:
قال الرجل على دين ρعن أبي هريرة رضي اهللا عنه أن النبي 351خليله فلينظر أحدآم من يخالل
Dari Abû Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “(Keyakinan) seseorang itu sesuai dengan agama temannya. Oleh karena itu, (apabila) salah seorang di antara kalian (ingin mengetahui lebih dalam mengenai seseorang), maka hendaklah dia melihat siapa yang menjadi sahabat orang tersebut.” (H.R. al-Tirmidzî dan Abû Dâwûd)
Sedemikian penting dan besarnya pengaruh teman bagi seseorang, pada
akhirnya Syaikh Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî (w.709 H.) menyatakan:
352ال تصحب من ال ينهضك حاله وال يدلك على اهللا مقالهJanganlah kamu bersahabat dengan seseorang yang keadaannya dan
ucapannya tidak membangkitkan dan tidak menunjukkan dirimu kepada Allah.
Menurut Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajîbah al-Hasani
menjelaskan bahwa keadaan seseorang dikatakan dapat membangkitkan anda
untuk ingat kepada Allah adalah apabila anda melihatnya, niscaya anda akan
ingat kepada Allah. Jika anda dalam kelalaian lalu melihatnya, niscaya anda akan
350 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 3, Kitâb al-Buyû’ Bâb fî al-‘Attâr wa Bay’ al-Misk, h. 16 & Juz 6, Kitâb al-Dzabâ’ih wa al-Said wa al-Tasmiyah ‘alâ al-Said Bâb al-Misk, h. 231; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah wa al-Âdâb Bâb Istihbâb Mujâlasah al-Sâlihîn wa Mujânabah Quranâ al-Sû, h. 446; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb Man Yu’maru an Yujâlasa, no. Hadis 4829, h. 259
351 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb 32, no. Hadis 2484, h. 17; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb Man Yu’maru an Yujâlasa, no. Hadis 4833, h. 259; Imam al-Tirmidzî mengatakan bahwa nilai hadis ini adalah hasan
352 Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajîbah al-Hasani, Īqâz al-Himam, (Beirut: Dr al-Fikr, t.t.), h. 74
249
tersadar dari kelalaian. Jika anda dalam keadaan gemar beribadah (raghbah) lalu
anda melihatnya, niscaya anda akan tergerak untuk bersikap zuhud. Jika anda
dalam kemaksiatan lalu melihatnya, niscaya anda akan segera bertaubat. Atau
jika anda tidak mengenal Tuhan lalu melihatnya, niscaya anda akan tergerak
untuk berma’rifah kepada-Nya.353
Sedangkan ucapan seseorang dikatakan dapat menunjukkan kepada Allah
adalah seseorang yang berbicara karena Allah, menunjukkan kepada Allah, dan
tersembunyi baginya segala hal selain Allah. Jika ia berbicara, maka ia akan
menghimpun dan menjinakkan hati-hati. Jika dia diam, maka diamnya akan
menggerakkan anda menuju Zat Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib.
Keadaannya membenarkan ucapannya, dan ucapannya sesuai dengan ilmu yang
dimilikinya. Oleh karena itu, bergaul dengan jenis orang seperti ini merupakan
cahaya yang sangat mahal harganya.354
Semakin sering seseorang bergaul dengan orang-orang yang buruk
akhlaknya, maka akan semakin mudah terbentuknya tradisi atau kebiasaan buruk
dalam perilaku sehari-hari, sehingga tatkala dia melakukan tindakan
penyelewengan, maka dia merasa tidak ada yang salah dan perlu dirisaukan.
Padahal setiap kali anak manusia berbuat kesalahan, maka akan tercipta satu titik
hitam dalam kalbunya. Begitu pula sebaliknya, jika ia berbuat kebaikan, niscaya
akan tercipta titik putih dalam kalbunya.
تعرض الفتن على القلوب آالحصير عودا عودا فأي قلب أشربها فيه نكتة بيضاء حتى نكت فيه نكتة سوداء و أي قلب أنكرها نكت
تصير على قلبين على أبيض مثل الصفا فال تضره فتنة ما دامت
353 Ibid 354 Ibid, h. 74-75
250
السموات واالرض واالخر أسود مربادا آالكوز مجخيا ال يعرف 355ا إال ما أشرب من هواهمعروفا وال ينكر منكر
Berbagai fitnah akan disodorkan pada hati sebagaimana (proses membuat) tikar sehelai demi sehelai. Hati manapun yang menyerap fitnah, maka akan ternoda satu titik hitam. Dan hati manapun yang mengingkarinya, maka akan tertoreh titik putih sehingga permukaan hati tersebut akan sangat putih mirip dengan batu besar yang mulus. Satu fitnahpun tidak akan bisa menimbulkan mudharat pada hati tersebut selama langit dan bumi masih ada. Sedangkan hati yang satunya lagi akan sangat hitam seperti panci (untuk memasak) yang terbalik. Dia tidak bisa mengetahui sesuatu yang ma’ruf dan tidak mengingkari sesuatu yang mungkar. (Dia tidak mengetahui) kecuali hawa nafsu yang meresap (ke dalam hatinya). (H.R. Muslim dan Ahmad dari Hudzaifah)
Jika keadaannya demikian, maka semuanya akan kembali kepada sikap
setiap orang. Akankah dia memilih orang-orang salih sebagai temannya sehingga
akan ikut memutihkan hatinya dan mendapatkan kedekatan dirinya kepada Sang
Khalik, atau ia akan memilih orang-orang yang buruk akhlaknya sebagai teman
yang pada akhirnya akan menghitamkan hatinya dan menjauhkannya dari Allah?
355 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân anna al-Islâm Bada’a Gharîban wa Saya’ûdu Gharîban, h. 72; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 5, h. 386, 405
251
BAB V
PENUTUP
Ternyata, predikat uswah hasanah yang melekat pada diri Rasulullah saw.
dapat difungsikan dalam seluruh sisi kehidupan manusia, termasuk dalam hal
fenomena psikologis yang terjadi pada diri manusia. Menangis sebagai salah satu
fenomena psikologis manusia yang selama ini dipandangn sebagai sebuah
pengalaman yang biasa, menjadi tidak biasa ketika terjadi pada diri beliau.
Berdasarkan penelitian penulis terhadap Hadis-hadis beliau, dapat
dipastikan bahwa tidak ada tangisan beliau yang bernilai buruk. Saat membaca
dan mendengarkan al-Qur’an, acap kali beliau tak mampu membendung tetesan
air mata. Beliau juga sering kali menganjurkan kepada umatnya untuk banyak
menangis dan sedikit tertawa dengan merenungi arti kehidupan. Beliau juga
memotivasi umatnya untuk menangis saat berzikir dalam kesepian. Tangisan-
tangisan seperti inilah yang sarat makna sehingga dianjurkan untuk ditradisikan
dan dihidupkan oleh setiap muslim dalam menjalani hari-hari yang fana.
Sementara itu, dalam tradisi jahiliyah dikenal sebuah kebiasaan dalam
menyikapi kematian, yaitu dengan meraung-raung atau meratapi si mayit secara
berlebihan yang diiringi dengan kata-kata celaka (wail dan tsubur) serta ucapan-
ucapan batil lainnya. Perilaku yang tidak wajar dan telah membudaya ini menjadi
tercela karena dipandang sebagai sebuah sikap yang menggambarkan kondisi
ketidakrelaan atas kematian yang ditangisi. Ini artinya, orang tersebut tidak ridha
dengan keputusan Allah. Padahal, jika kita beriman dan meyakini Allah sebagai
252
Zat Yang Mahabaik dan bijaksana, tidak sepatutnya perilaku tercela itu dilakukan.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya mayit itu akan disiksa
disebabkan tangisan keluarganya kepadanya.” (H.R. al-Bukhari). Siksaan itu
terjadi jika si mayit sebelumnya berwasiat untuk ditangisi atau dia tidak melarang
perilaku keluarganya yang tercela itu.
Namun, jika tangisan itu dilakukan secara wajar, dia boleh-boleh saja.
Sebab, tangisan itu dianggap sebagai wujud kasih sayang sesama manusia.
Sedangkan Allah Yang Maha Penyayang akan melimpahkan kasih sayang-Nya
kepada hamba-hamba yang penyayang. Termasuk juga dalam kategori menangis
yang dibolehkan adalah menangis karena melihat kesulitan dan penderitaan orang
lain. Tangisan empati ini dapat mengasah kalbu manusia sehingga menjadi bersih
dan jernih.
Dengan demikian, menangis tidak bebas nilai. Baik dan buruknya nilai
tangisan sangat ditentukan dari motif yang melatarbelakanginya. Jika motifnya
baik, maka tangisannyapun baik. Dan jika motifnya buruk, maka tangisannyapun
buruk.
Oleh karena itu, penulis kembali menegaskan, bahwa tetesan air mata
yang terjadi pada diri Rasulullah saw. adalah karena kelembutan dan kejernihan
hati beliau, dan karenanya bernilai ibadah di sisi Allah. Tangisan beliau adalah
tangisan hamba yang salih (‘abd sâlih). Dengan demikian, menangis adalah salah
satu karakteristik orang-orang yang salih. Sepanjang sejarah, orang-orang yang
salih senantiasa mencucurkan air mata dalam banyak kesempatan.
253
DAFTAR PUSTAKA
Abâdi, Muh. Syams al-Haqq, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
Ahmad, Khalîl, Bazl al-Majhûd, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Ali, Attabik, dan Muhdhor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Multi Karya Grafika, 1995, Cet.ke-5.
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Beirût: Dâr al-Fikr, 1994.
Arif, Abul Fida M. Izzat, Air Mata Orang-orang Shalih, Jakarta: Penerbit Pustaka Tazkia, 2004, Cet. Ke-1.
Al-‘Ainî, Badr al-Dîn, ‘Umdah al-Qâri, Beirût; Dâr al-Fikr, t.t.
Al- ‘Asqalânî, Ibn Hajar, Fath al-Bâri Syarh Sahîh al-Bukhârî, Beirût: Dâr al-Fikr, 1414/1993.
Al-Attâr, Farîduddîn, Warisan Para Awliya, Penerjemah Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983
Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî al-Tafsîr wa al-Ta’wîl, Beirût: Dâr al-Fikr, 1985.
Al-Bâqi, M. Fu’âd ‘Abd, Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.
Al-Barr, Ibn ‘Abd, Jâmi’ Bayân al-‘lm wa Fadlih, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Bastaman, Hanna Djumhana, Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis, Jakarta: Paramadina, 1996.
Al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Beirût: Dâr al-Fikr, 1986.
Al-Buruswi, Ismail Haqqi, Tafsir Ruhul Bayan (terj.), Bandung: C.V. Diponegoro, 1998
Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000, Cet.ke-1.
254
Dâwûd, Abû, Sunan Abî Dâwûd, Jakarta: Dâr al-Hikmah, t.t.
Effendi, Djohan, Menemukan Makna Hidup, Jakarta: Mediacita, 2001, Cet. Ke-1.
Farid, Ahmad, Al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, T.tp.: Al-Maktabah al-Taufîqiyyah, t.t.
Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t
Hart, Michael H., Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1991, Cet.ke-13.
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Penerbit Tintamas, 1984, Cet. ke-9.
Hamadah, Abbas Mutawalli, Sunnah Nabi saw.: Kedudukannya Menurut Al-Quran, bandung: Gema Risalah Press, 1997, Cet. ke-2.
Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985
Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
Al-Hasani, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah, Îqâz al-Himam, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t
Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa, Jakarta: Robbani Press, 2003, Cet.ke-3.
Al-Husaini, HMH. Al-Hamid, Baitun Nubuwwah, Bandung:Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-3
Ilyas, Ilyas Anton dan Ilyas, Edwar, Qamus Ilyas al-‘Ashrî Arabi Injilîzî, Beirût; Dâr al-Halb, 1972
Jamal, Ibrahim M., Penyakit Hati, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-2
Al-Jauzi, Ibn, Birrul Walidain, Penerjemah………..Surabaya: Pustaka Progressif, 1993, Cet.ke-1.
Al-Jauzî, Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
_ _ _ _ , Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, Beirût: Mu’assasah al-Risâlah, 1998.
Al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
Katsîr, Ibn, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Semarang: Toha Putra, t.t.
Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, Jakarta: Pustaka Amani, 1997 Cet.ke-1.
255
_ _ _ _ , Muhammad Rasulullah juga Manusia Biasa, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, Cet.ke-1.
Khalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.
Al-Khatîb, M. ‘Ajjâj, Usûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Mustalahuh, Beirût: Dâr al-Fikr, 1989.
Mâjah, Ibn, Sunan Ibn Mâjah, Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.
Al-Malîbari, Zain al-Dîn, Irsyâd al-‘Ibâd ilâ Sabîl al-Rasyâd, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Mâlik, Al-Muwatta, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1993, Cet.I.
Ma’luf, Louis, Al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lâm, Beirût: Dâr al-Masyriq, 2002, Cet.ke-39.
Manzûr, Ibn, Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr al-Fikr, 1990, Cet. ke-1.
Al-Mubârak, Abdullâh ibn, Al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004, Cet. I.
Al-Mubârakfûri , Muh. ‘Abdurrahmân, Tuhfah al-Ahwazî, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
Mujib, Abdul, Apa Arti Tangisan Anda, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, Cet. Ke-14.
Muslim, Sahîh Muslim, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Najati, M. Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., Jakarta: Mustaqim, 2003, Cet. Ke-1
Al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002, Cet.ke-1.
Al-Nawawî, Syarh al-Arba’în al-Nawawiyah, Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhân wa Aulâdih, t.t.
_ _ _ _ , Al-Adzkâr, Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t.
_______ , Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1415/1994.
_ _ _ _ , Riyâd al-Sâlihîn, Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1939.
Al-Qadir, Syaikh ‘Abd, Percikan Cahaya Ilahi, Penerjemah Arief B. Iskandar, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
256
Qaradawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., Bandung: Penerbit Kharisma, 1984, Cet. ke-1.
_ _ _ _ , Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Jakarta: Gema insani Press, 1999, Cet.ke-1.
_ _ _ _ , Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka, 2003, Cet. Ke-7.
Al-Qarni, Aidh, Visualisasi Kepribadian Muhammad saw., Bandung: Penerbit IBS, 2006.
Al-Qattân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Riyâd: Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîts, 1973.
Qudâmah, Ibn , Minhâj al-Qâsidîn, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997, Cet. I.
_ _ _ _ , Mereka yang Kembali, Penerjemah Abu Ahmad Najieh, Surabaya: Risalah Gusti, 2000
Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1407/1987, Cet.ke-1.
Qutaibah, Ibn, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, Beirût: Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, 1988.
Quthb, sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, Penerjemah………….. Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. Ke-1
Rakhmat, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet.ke-2.
_ _ _ _ , Meraih Cinta Ilahi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, Cet.ke-3.
_ _ _ _ , Renungan-renungan Sufistik, Bandung: Penerbit Mizan, 1999, Cet.ke-9.
Al-Râzî, Fakhr al-Dîn, Mafâtih al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1983.
Sabiq, Sayid, Aqidah Islam, Penerjemah................Bandung: CV Diponegoro, 1999.
Al-Sâbûnî, M. Ali, Safwah al-Tafâsîr, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1999, Cet.ke-1.
Al-Sa’îd, Khumais, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 1426/2005.
Al-Ta’labi, Qisas al-Anbiyâ, Beirût: Dâr al-Fikr, tth., Cet.ke-4.
Al-Sakhâwi, Al-Maqâsid al-Hasanah, Beirût: Dar al-Hijrah, 1986.
257
Schimmel, Annemarie, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Bandung: Penerbit Mizan, 2000, Cet. Ke-7.
Shahab, Idrus, Sesungguhnya Dialah Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 2004, Cet.ke-3.
Shaleh, Asbabun Nuzul, Bandung: Penerbit C.V. Diponegoro, 1984.
Shihab, M. Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi, Ciputat: Penerbit Lentera hati, 2001, Cet. Ke-4.
_ _ _ _ , Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1423/2002
_ _ _ _ , h , Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-2
_ _ _ _ , Wawasan Al-Quran, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, Cet. Ke-1
Al-Sibâ’î, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Penerjemah Dr. Nurcholis Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1001
Al-Siddîqî, Muhammad bin ‘Allân, Dalîl al-Fâlihîn, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
As-Sinjari, Abdurrahman, et.al., Menangis karena Takut pada Allah, Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2005, Cet. Ke-14.
Al-Suyûti, Syarh Sunan al-Nasâ’î, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Suyuti, Ahmad, Percik-percik Kesucian, Jakarta: Pustaka Amani, 1996.
Syahbah, Muh. Abû, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub as-Sihhah al-Sittah, Mesir: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1969, Cet.ke-8.
Syarif,M.M., Advent of Islam, Fundamental Teaching of The Qur’an (terj.), Bandung: Penerbit Mizan, 1997, Cet.ke-8.
Al-Tabarî, Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, Beirût: Dâr al-Fikr, 1987, Cet.I.
Al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1414/1994.
Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2.
Usman, Muhammad, Al-Quran dan Psikologi, Jakarta: Aras Pustaka, 2001, Cet. Ke-1.
Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, Beirût: Dâr al-Fikr, 1994.
258
Yahya, Harun, Moralitas Al-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2002.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka firdaus, 1996, Cet. Ke-2.
Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsîr al-Munîr , Beirût: Dâr al-Fikr, 1991.
259