Membangun kantor

2
Ketika pertama kali melihat kantorku yang baru, hatiku langsung miris. Betapa tidak, kantor terkesan kumuh, kotor, dan tak terawat. Papan nama sudah penuh dengan karat. Tulisannya pun nyaris tak terlihat, tertutup dengan rerimbunan pohon mangga. Taman di depan halaman sudah tak berwujud taman lagi. Parit di depan kantor tak disender sehingga terkesan menjijikkan. Arsip data pun berantakan. Padahal ia adalah kantor pemerintah. Milik negara! Terbayang di kepalaku, berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk membiayai renovasi kantor besar-besaran ini. Hutang pembangunan di kantor sebelumnya saja belum terlunasi. Apakah sekarang aku harus menjadikan SK lagi sebagai jaminan kredit demi pembangunan kantor?! Ah, aku harus berpikir untuk mencari alternatif lain. Menurut seorang temanku, tak perlu pusing-pusing memikirkan pembangunan kantor. Toh, kantor itu pun bukan milik kita pribadi. Ia adalah milik dan tanggung jawab pemerintah. Jika ada kerusakan, tinggal laporkan saja. Tak perlu kita repot untuk mencari dana sendiri. Nanti salah-salah kita dituduh melakukan korupsi. Mengapa bisa membangun? Dananya dari mana? Wah, repot lagi deh! Memang ada benarnya logika sang teman itu. Kantor instansi pemerintah memang milik dan tanggung jawab pemerintah. Tapi apakah kita harus menunggu kantor itu ambruk, baru kemudian kita membangunnya?! Apakah harus selalu menunggu dana dari pemerintah, baru kita boleh membangun dan merenovasi kantor?! Sementara mengharapkan dana dari pemerintah sering kali hanya menggantang asap. Kalaupun toh dana itu turun, jumlahnya sudah tak utuh lagi. Lagu Potong Bebek Angsa menjadi lagu wajib jika ada dana turun. Membangun kantor semestinya adalah bagian dari pengabdian. Saya jadi teringat ucapan John F. Kennedy, mantan presiden Amerika Serikat yang terkenal, “My fellow Americans, ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.” Pengabdian yang diberikan oleh seorang rakyat terhadap negaranya tentu saja membutuhkan pengorbanan. Ada pula resiko yang harus dihadapi. Bagaimanapun seorang pegawai negeri sipil adalah abdi negara. Termasuk pula dalam konteks pengabdian, jika seorang PNS melakukan suatu tindakan perbaikan kantor meski harus mengeluarkan biaya dari kocek sendiri, bukan dari pemerintah.

Transcript of Membangun kantor

Page 1: Membangun kantor

Ketika pertama kali melihat kantorku yang baru, hatiku langsung miris. Betapa tidak, kantor terkesan kumuh, kotor, dan tak terawat. Papan nama sudah penuh dengan karat. Tulisannya pun nyaris tak terlihat, tertutup dengan rerimbunan pohon mangga. Taman di depan halaman sudah tak berwujud taman lagi. Parit di depan kantor tak disender sehingga terkesan menjijikkan. Arsip data pun berantakan. Padahal ia adalah kantor pemerintah. Milik negara!

Terbayang di kepalaku, berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk membiayai renovasi kantor besar-besaran ini. Hutang pembangunan di kantor sebelumnya saja belum terlunasi. Apakah sekarang aku harus menjadikan SK lagi sebagai jaminan kredit demi pembangunan kantor?! Ah, aku harus berpikir untuk mencari alternatif lain.

Menurut seorang temanku, tak perlu pusing-pusing memikirkan pembangunan kantor. Toh, kantor itu pun bukan milik kita pribadi. Ia adalah milik dan tanggung jawab pemerintah. Jika ada kerusakan, tinggal laporkan saja. Tak perlu kita repot untuk mencari dana sendiri. Nanti salah-salah kita dituduh melakukan korupsi. Mengapa bisa membangun? Dananya dari mana? Wah, repot lagi deh!

Memang ada benarnya logika sang teman itu. Kantor instansi pemerintah memang milik dan tanggung jawab pemerintah. Tapi apakah kita harus menunggu kantor itu ambruk, baru kemudian kita membangunnya?! Apakah harus selalu menunggu dana dari pemerintah, baru kita boleh membangun dan merenovasi kantor?! Sementara mengharapkan dana dari pemerintah sering kali hanya menggantang asap. Kalaupun toh dana itu turun, jumlahnya sudah tak utuh lagi. Lagu Potong Bebek Angsa menjadi lagu wajib jika ada dana turun.

Membangun kantor semestinya adalah bagian dari pengabdian. Saya jadi teringat ucapan John F. Kennedy, mantan presiden Amerika Serikat yang terkenal, “My fellow Americans, ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.” Pengabdian yang diberikan oleh seorang rakyat terhadap negaranya tentu saja membutuhkan pengorbanan. Ada pula resiko yang harus dihadapi. Bagaimanapun seorang pegawai negeri sipil adalah abdi negara. Termasuk pula dalam konteks pengabdian, jika seorang PNS melakukan suatu tindakan perbaikan kantor meski harus mengeluarkan biaya dari kocek sendiri, bukan dari pemerintah.

Tindakan tersebut memang mengandung resiko. Jika inspektorat datang, hal itu bisa menjadi temuan kasus. Membangun gedung pemerintah dengan biaya swadaya bisa rentan sekali menjadi bahan penyelidikan pihak inspektorat. Apalagi sekarang, dengan munculnya PP 48 Tahun 2014, tak boleh lagi ada biaya swadaya dari masyarakat yang selama ini terkumpul melalui pendaftaran nikah. Membangun kantor menjadi sesuatu yang penuh risiko dan pengorbanan. Tapi apa hendak dikata. Kantor yang berada di pelosok memang biasa tak diperhatikan. Mau roboh atau rusak, toh tidak banyak yang tahu. Pemerintah biasa hanya menyediakan dana untuk kantor-kantor yang berada di wilayah perkotaan yang berada di pinggir jalan raya utama. Untuk kantor yang berada jauh di pelosok, prioritas pembangunannya berada di urutan kesekian. Yah, sudahlah!

Seorang pimpinan di kantor pemerintahan memang tidak memiliki tanggung jawab untuk membiayai pembangunan kantor. Hal itu karena mestinya, biaya pembangunan itu diperoleh dari pemerintah. Tetapi sang pimpinan tentu memiliki kewajiban moral untuk memperbaiki kantornya. Terlepas apakah

Page 2: Membangun kantor

uangnya berasal dari APBN atau bukan, tapi kewajiban itu tentu harus ditunaikan. Sungguh tidak elok, jika sang pimpinan membiarkan kantornya rusak atau ambruk hanya karena alasan itu bukan tanggung jawab dirinya.

Membangun kantor adalah bagian dari pengorbanan. Bahkan, jika melihat betapa besar pengorbanan para pejuang dahulu dalam merebut kemerdekaan, tampaknya pengorbanan kita saat ini tak akan sebanding. Mereka mengorbankan nyawa, waktu, keluarga, dan lain-lain. Mereka berjuang tanpa mengharapkan lencana penghargaan, publikasi, jabatan, dan lain-lain. Tetapi ketika ada orang yang melakukan pengorbanan demi negaranya sekarang ini, terkadang kita masih terheran-heran, bahkan menganggap mereka orang yang naif. Yah, sudahlah. Toh, berbuat baik tak perlu menunggu sistem berjalan dengan baik. Berbuat baik tak perlu menanti kebaikan orang lain. Di situlah letaknya makna keikhlasan dan pengorbanan. Di situ pula kita mencari kebermaknaan hidup.