MEKTEK 2
-
Upload
merin-meirindra -
Category
Documents
-
view
57 -
download
20
Transcript of MEKTEK 2
1
BAB I
FRAME WORK ( TRUSS )
Frame work (rangka batang) pertama kali ditemukan oleh orang Italia
pada abad 16 bernama Andrea Palladio. Frame work adalah konstruksi yang
sedikitnya terdiri atas 3 batang yang membentuk suatu segitiga. Karena
dimisalkan bahwa batang dihubungkan masing-masing dengan sendi tanpa
geseran, maka bentuk tadi merupakan bentuk yang stabil dan bentuk segitiga
karena beban, batang menjadi bengkok atau putus.
Bentuk rigid = bentuk yang kaku :
Pemisah-pemisah pada analisis frame work dengan maksud untuk
menyederhanakan pandangan dalam membahas suatu persoalan :
1. Batang-batang frame work dimisalkan dihubungkan dengan sendi tanpa
geseran.
2. Batang-batang frame work kita anggap lurus sempurna, padahal jika batang
tidak lurus akan timbul axial stress (tegangan searah sumbu).
3. Perubahan bentuk dari frame work akan merupakan perubahan panjang
dalam arti kata ada perpanjangan atau penpendekan atau tak berubah.
4. Baik beban maupun reaksi, bekerja/dikerjakan pada titik hubung atau joint.
5. Dari pemisah-pemisah tersebut, kita akan memiliki suatu frame work yang
ideal dimana akibat adanya beban akan timbul axial stress yang bersifat
tekan, tarik ataupun tidak akan mengalami keduanya.
Mekanika Teknik II
rigid non rigidGambar 1.1.
2
A. JENIS KUDA-KUDA YANG UMUM
1. Kuda-kuda type Pratt (Inggris) :
Umumnya dari baja atau kayu yang kadang-
kadang baja campuran kayu.
Bentang max. 90 feet = 30 meter.
2. Kuda-kuda type Howe (Inggris) :
Umumnya dibuat dari kayu, adapun batang
tarik kadang-kadang baja.
3. Kuda-kuda type Fink (Polenceu) :
Umumnya dibuat dari baja. Bentang max.
70 feet.
4. Kuda-kuda type Bowstring :
Umumnya dari baja, dipakai utuk gudang,
departement store, dan hanggar (tempat
pesawat). Bentang max. 100 feet
5. Kuda-kuda type Saw teeth (gigi gergaji) :
Mekanika Teknik II
lurus sempurnajoint
Gambar 1.2.
Gambar 1.3.
Gambar 1.4.
Gambar 1.5.
3
Diberi kaca
Dibuat dari kayu dan baja.
B. JENIS-JENIS JEMBATAN
1. Jembatan type Pratt :
Dibuat dari baja dengan
bentang max. 200 feet.
2. Jembatan type Howe :
Umumnya dari kayu dan baja pada batang
vertikal (type ini dulu banyak, sekarang
jarang). Bentang max. 200 feet.
3. Jembatan type Warren :
a. Tanpa batang vertikal b. Dengan batang vertikal
4. Jembatan type Parker :
Dibuat pada umumnya dari baja untuk
bentang 200-360 feet dan tampaknya untuk
batang-batang tadi merupakan frame work
ekonomis.
5. Jembatan type Beltimore :
Mekanika Teknik II
Gambar 1.6.
Gambar 1.7.
Gambar 1.8.
Gambar 1.9.
Gambar 1.10.
4
Dibuat dari baja dengan bentang max. umumnya lebih dari 300 feet.
C. PERSYARATAN SUATU FRAME WORK STATIS TERTENTU
Umumnya berbentuk segitiga karena bentuk ini merupakan bentuk yang
kaku.
Statis tertentu : pada sendi timbul dua bilangan tak diketahui, pada rol timbul
1 bilangan tak diketahui.
pada : I : joint = 3; member = r tambah 2.
II : joint bertambah 1; member bertambah 2.
Frame dengan bentuk sejumlah n j = 3 + (n – 1) . 1 (joint)
m = 3 + (n – 1) . 2 (members)
2j = m + r ; r selalu = 3 (jumlah bilangan tak diketahui yang timbul pada
sendi dan rol).
2 ( 3 + n – 1 ) = 3 ( n – 1 ) . 2 + 3
Frame work dalam keadaan stabil : ruas kiri = ruas kanan
6 + 2 ( n – 1 ) = 6 + ( n – 1 ) . 2 + 3
4 + 2n = 4 + 2n benar, Frame work dalam kestabilan
Pengecekan kestabilan ini dilakukan sebelum dimulai perhitungannya.
BAB II
METODE KESETIMBANGAN TITIK BUHUL( METHOD OF JOINT )
Mekanika Teknik II
Joint (titik hubung/buhul)
I
II
III
n-1
n
Gambar 1.11.
Gambar 1.12.
5
Untuk suatu konstruksi kuda-kuda biasanya telah ditentukan standar
ukuranya.
Landasan perhitungan :
1. Dihitung nilai (selidiki dahulu : Frame work statis tertentu)
2. Pada joint yang ditinjau, irisan 2 batangnya, gaya-gaya yang bekerja
dianggap sebagai gaya tarik semua atau gaya tekan semua. (Lebih cocok
dimisalkan batang tarik, kelak akan tampak pada saat mempelajari methode
cremona).
3. Bila pada irisan tadi didapat hasil positif sedang ia dimisalkan batang tarik,
maka permisalan benar, selanjutnya jika negatif permisalan kita adalah
keliru.
Pemakaian :
Check : Frame work statis tertentu.
2j = m +r 2 . 8 = 13 +3
16 = 16 (OK)
Untuk mencari gaya batang dimulai dari joint dimana 2 batang belum
diketahui.
Batang dimisalkan sebagai batang tarik. (+)
Mekanika Teknik II
F1F1 sin
F1 cos
RA = 30
_
+
= 450
20 K 20 K 20 K
20' 20' 20' 20'
A CD E
B
F G H
20'
Gambar 2.1.
6
(batang tekan)
Dengan adanya tanda (-) pada F1, berarti batang 1 itu merupakan batang
tekan.
Dengan demikian batang 2 adalah batang tarik
Untuk menghitung batang 3 dan 4 ditinjau kesetimbangan joint C
FH = 0 F2 = F4 = + 30 Kips
(batang 3 adalah batang tarik)
FV = 0 F3 = 20 Kips
(batang 4 adalah batang tarik)
Selajutnya dalam praktek
tekan ; tarik diketahui ; P kita hitung dimensi batang diketahui.
Untuk mencari gaya batang 5 dan 6 ditinjau kesetimbangan pada joint F.
Mekanika Teknik II
F1
A
(-)
AF2F1
C
F2 = 30 K
F3 = 20 K
F4
20
C
F1
F6F
F5
F3
F1 cos F5 cos
F5 sin
F1 sin
7
F3 + F5 sin + F1 sin = 0
(batang tarik)
F5 cos + F6 - F1 cos = 0
Untuk mencari gaya batang 7 dan 8 ditinjau kesetimbangan joint G.
F6 – F8 = 0
-40 - F8 = 0 F8 = -40 Kips
F7 = 0
No. Batang Gaya Batang
1
2
3
4
5
6
7
+30
-20
+30
-40
0
Andakaian batang 7 diambil.
Persyaratan kesetimbangan 2.7 = 11 + 3 (Ok)
Batang 7 menderita gaya = 0
Mekanika Teknik II
F6 = 40 F8
F7
G
8
Bila batang kita ambil berarti batang 6 dan 8 harus merupakan sebuah batang
yang panjang (=40’) harga baja berlipat.
BAB III
METODE IRISAN (METHOD OF SECTION)
Mekanika Teknik II
2 4 10 12
131197531
6 8
20 20 2020Gambar 2.2.
9
Cara ini dengan membuat suatu irisan; dalam cara ini maksimal batang terpotong 3 buah dan masing-masing tak bertemu di satu titik.
Metode ini umumnya dipakai untuk mengecek perhitungan dengan metode lain.
Dalam irisan timbul 3 bilangan tak diketahui.
Untuk mengecek F6 kita usahakan F4 dan F5 tidak ikut campur tangan dalam perhitungan.
Untuk itu dicari titik dimana moment akibat F4 dan F5 tidak mempengaruhi hitungan (=0) diambil titik D.
MD = 0 RA . 40 – P . 20 + F6 . 20 = 0
30 . 40 – 20 . 20 + F6 . 20 = 0
F6 = - = - 40 K (OK)
Selanjutnya diambil titik F (untuk mengecek F4)
MF = 0 RA . 20 – P4 . 20 = 0
30 . 20 –F4 . 20 = 0
F4 = + 30 K (OK)
F5 diuraikan.
FH = 0 F6 + F4 + F5 cos = 0
-40 + 30 + F5 cos = 0
10 = F5 . ½ F5 = + 10 K (OK)
A. MACAM-MACAM BENTUK FRAME WORK
1.Frame Work K
Pada umumnya dipakai untuk suatu pertambahan pada suatu konstruksi jembatan yang disebut pertambatan angin, dengan maksud untuk menahan gaya angin yang mempunyai konstanta.
Mekanika Teknik II
P P P P P P
E
D KBA
7 x a
AC D
F6
F5
F4
F3
F
Gambar 3.1.
10
Akan dihitung besar gaya batang : CH, EH, EK dan Dk.
Menurut Methode of Section, permotongan batang max. 3 buah yang tak bertemu di sat titik, dalam hal ini kita akan melakukan penyimpangan dengan memotong 4 buah batang.
Ditinjau :
MD = 0
RA . 2a – P . a + Fch . h = 0
Fxh = …..
MC = 0
RA . 2a – P . a + Fdk . h = 0
Fxh = …..
2.Type warren tanpa batang vertikal :
Type warren tanpa batang vertikal (merupakan jembatan KA di atas sungai serayu sekarang), umumnya = 45° bahwa > 60°. Dengan membuat jembatan itu tinggi, sama halnya membuat balok yang tinggi deflection kecil.
Gaya batang 1, 2 dan 3dalam hal ini kita gunakan method of section.
F1 = ? MC = 0
1,5 P . a – P . ½ . a + F1 . h – 0
F1 = - P. (berarti arah yang besar adalah ke kiri)
Mekanika Teknik II
P P
Feh
Fek
Fch
FdkD
EC
RA
PPP
C D
F2
F3
b
a
A B
h
3 x a
F1
Gambar 3.2.
Gambar 3.3.
11
F = ? MD = 0
1,5 P . ½ a – F2 sin 60° . ½ a – F2 cos 60°. h – F . h = 0
F =
F2 = ? FV = 0
1,5 P – P + F2 sin 60 = 0
F2 =
3. Kuda-kuda PRATT
F1 = ? MC
2 ½ . P . 4a – P . 3a – P . 2a – Pa + F1 . d1 = 0
F1 = - P
F2 = ? MB = 0
2 ½ . P . 6a – P . 5a – P . 4a – P . 3a + F2 . d2 = 0
F2 = - P
F3 = ? MD = 0
2,5 P . 3a – P . 2a – P . a – Pa + h = 0
F3 = 4,5 P.
RAV = … ? B = 0
- RAV 3. – 2.3 + 1.6 + 1.4 + 1.2 = 0
+ 6 = 3 RAV
RAV = 2 Ton
Mekanika Teknik II
2T2T1T
1T
1T
1TC
D3 6 T2 TA
P
P
P
P
P
P
P
BA
3,5 P 3,5 P
6 x Gambar 3.4.
12
Titik C diambil sehingga dari 4 batang terpotong yang 3 momentnya terhadap C = 0
MC = 0
-2.3 + 1.2 – F1 . 3 = 0
F1 = - 4/3 Ton
Titik D diambil dengan pertimbangan 4 batang terpotong 2 batang momentnya = 0, sedang 1 buah sudah diketahui.
MD = 0
- 2/3 + 1.4 + 1.2 – 4/3 . 3 – F2y . 3 = 0
F2y = - 4/3 Ton.
Jadi ada kalanya pemotongan-pemotongan itu seenaknya.
BAB IV
METODE CREMONA
Dengan Metode Cremona digunakan penggambaran diagram, jadi metode ini termasuk cara grafis.
A.PRINSIP-PRINSIP PENYELESAIAN :
1. Dihitung reaksi-reaksi perletakan : M = 0 kemudian dicek :
FH = 0, FV = 0
2. Tentukan sendiri satuan gaya yang dipakai, misalnya :
1 Ton = 1 cm
Mekanika Teknik II
2
1T
2
F2X
F2YF2
13
3. Penyelesaian hanya dapat dimulai dari suatu joint dimana 2 batang tak diketahui besar gaya batangnya.
4. Arah penyelesaian searah atau berlawanan arah jarum jam (sebaiknya selalu searah).
B.PEMAKAIAN METODE CREMONA
Misal :
Konstruksi kuda-kuda dengan betang kecil. Berapakah besar gaya-gay batang AC, AD dan DC ?
Penyelesaian :
1. Dicari gaya reaksi pada sendi A dan rol B konstruksi tersebut
RA = ½ P, dan RB = ½ P.
2. Ditentukan skala gaya, misalnya ½ P = …… cm
3. Dari konstruksi tersebut ditinjau joint manakah yang hanya mempunyai 2 batang yang belum diketahui besar gayanya, dalam hal ini adalah A dan B. untuk membuat diagram gaya batang, harus kita pilih salah satu dari joint tersebut misal dalam hal ini dipilih joint A.
4. Arah kerja gay kita diambil searah dengan jarum jam.
Jadi dalam hal ini kita kerjakan joint A dan dimulai dari reaksi RA, maka karena urutan searah jarum jam, selanjutnya adalah gaya batang adalah dan kemudian barulah batang AC.
Pada joint A ada gaya RA, gaya batang ADALAH dan gay batang AC harus setimbang resultante ke 3 gaya tadi = 0.
Jadi 3 gaya tersebut harus membentuk segitiga tertutup.
Kalau keadaan demikian sudah dicapai, yaitu joint A setimbang, kemudian lebih lanjut akan ditinjau (ditentukan) sifat dari gaya tersebut apakah batang tersebut merupakan batang tarik, tekan atau nol.
Dalam hal ini dapat dilihat dari arah kerja gaya-gaya tadi.
Mekanika Teknik II
A B2
31
2
C
P
L = 2 h
// AB
F2
F1
// AD
RA
Gambar 4.1.
14
Bila arah kerjanya mendekati joint merupakan batang tekan dan bila menjauh adalah merupakan batang tarik.
Dalam hal ini : 1. Adalah batang tekan 2. adalah batang tarik
Setelah batang (1) dan (2) diketahui besar gayanya dan sifat-sifatnya maka
pembacaan dilanjutkan pada batang selanjutnya.
Dalam hal ini kita lanjutkan pada joint D (yang belum diketahui adalah batang (3) dan (1) atau ke joint C dengan batang 93) dan (2).
Misalkan dilanjutkan ke joint D.
Jika dilihat keadaan segitiga diatas maka tampak tidak d batang yang // batang 3 F3 = 0
Kebenaran bahwa batang 3, F3 = 0 dapat dilihat pada keadaan joint C.
Hanya bisa menutup kalau tidak menggambarkan gaya 3 Fa = 0
Karena batang 3 adalah batang nol maka jika kita ambil, konstante tersebut masih tetap akan stabil, karena masih dipenuhi persyaratan :
2j = m + r 2.3 = 3 + (2 + 1).
Dengan demikian batang 3 dapat pula dipakai sebagai tempat bergantungnya batang AC dan CD dengan ukuran yang minimal. Dari pandangan konstante jika CD kita ambil maka AB akan merupakan batang yang utuh (menerus).
Mekanika Teknik II
2
1
A
P
F1
Fa = 0
D
1 1
3 ½ P
P
40 K 6 X 30 40 K
62 1410
1197531
1340
1284D E G
B
c
2’ 2’
Gambar 4.2.
15
Akhirnya-akhir ini tampak jembatan-jembatan KA dibuat dengan sudut yang lebih besar dari 45° dengan maksud agar jembatan menjadi tinggi sehingga diflection dapat dikuasai.
Ditentukan : 20 K = 2 cm 10 K = 1 cm.
DIAGRAM CREMONA
Hasil yang diperoleh dari diagram Cremona seperti pada tabel di bawah ini.
No. Batang Gaya Batang
F1 - 50 K
F2 + 30 K
F3 + 16 K
F4 - 48 K
F5 + 30 K
F6 + 30 K
F7 0 K
F8 - 48 K
F9 - 10 K
Mekanika Teknik II
+2
+3
+6
-1
+10
+5
-9+13
+11-13
+14
-4
-8
8
8
16
16
40
Gambar 4.3.
16
F10 + 54 K
F11 + 16 K
Mekanika Teknik II
17
BAB V
TITIK BERAT
Titik berat merupakan letak titik keseimbangan sebuah materi. Ada bebrapa
titik letak titik berat yang akan dibahas dalam bab ini, antara lain:
1. Titik berat garis.
Titik berat garis terletak ditengah-tengah garis tersebut, sebagai pengganti
gaya berat garis materi.
Gambar 5.1. Letak titik berat garis.
Dalil momen Varignon (garis berat garis):
Xo = dan Yo =
2. Titik berat bangun bidang datar.
Titik berat bangun bidang datar belum tentu terletak ditengah-tengah
bangun tersebut, tetapi bergantung dari bentuk bangun tersebut.
Dalil momen Varignon (garis berat garis):
Xo = dan Yo = dan Zo =
Dimana:
Fi = luas bangun I, Xi, Yi, Zi = titik berat bangun I, Ft = luas total bangun
bidang datar.
Gambar 5.2. Beberapa letak titik berat bangun bidang datar.
Mekanika Teknik II
½ .L ½ .L
G=L
18
Contoh:
Diketahui bangun seperti di bawah ini, hitung letak titik berat bangun datar
tersebut cara analitis.
Gambar 5.3.
Perhitungan ditabelkan, sebagai berikut:
Tabel 5.1. Perhitungan titik berat bangun
BagianLuas (m2)
Xi(m)
Yi(m)
Fi.Xi Fi.Xi
A 40 5 20 200 800B 36 1,5 12 54 423C 120 10 3 1200 360Σ 196 1454 1592
Maka:
Xo = = 7,42 cm
Yo = = 8,12 cm
Gambar 5.4. Letak garis berat bangun
Bila dalam bangun terdapat lubang maka perhitungan harus memperhitungkan
adanya lubang, seperti perumusan sebagai berikut:
ΣF = Ft – Flubang
ΣFi.Xi = Fi.Xi – (Filubang – Xlubang)
ΣFi.Yi = Fi.Yi – (Filubang – Ylubang)
BAB VI
Mekanika Teknik II
19
MOMEN INERSIA
Momen inersia atau momen kelembaman (I) dapat dihitung dengan integrasi
dA. Momen inersia untuk rumus lenturan harus dihitung terhadap sumbu/garis
netral daerah irisan penampang lihat gambar 6.1.
Gambar 6.1. Ilustrasi statis momen sebuah elemen.
Tabel 6.1. Rumus umum yang berkaitan dengan momen inersia
Luas A =
Momen statis S =
S =
Jarak titik berat = S /A= S /A
Momen inersia (pribadi) Ixo =
Iyo =
Momen sentrifugal Ixo.yo =
Momen inersia polair Ip =
= Ixo + Iyo
Jari-jari inersia Ix =
Iy =
Mekanika Teknik II
20
Jari-jari inersia kutub Ip =
Momen lawan = Ixo/y1
= Ixo/y2
Keseimbangan pergeseran sumbu-sumbu
Ix = Ixo + Ay2
Iy = Iyo + Ax2
Ixy = Ixoyo + A. .
Ix dapat dihitung dari Gambar 6.1. Momen inersia Ixo terhadap sumbu
horisontal Xo yang melalui titik beratnya yaitu:
Ixo = , dimana y diukur dari sumbu titik berat, sedang momen terhadap
sumbu X adalah:
Ix = , dengan mengkwadratkan besaran-besaran didalam tanda kurung
dan menempatkan konstanta-konstanta keluar dari integral, maka akan
didapat persamaan berikut:
Ix = ,
=
=
Ix = ,
Karena sumbu diukur melalui titik berat dari daerah luas, maka atau
sama dengan nol, jadi:
Ix = Ixo + 0 + y2A = Ixo + y2A.
Contoh 1:
Diketahui penampang seperti di bawah ini, hitung momen inersianya!
Mekanika Teknik II
21
Gambar 6.2.
Penyelesaian:
Ix = Ixo + y2A y = 0 (tidak jarak tehradap sumbu y
= Ixo + 0 = dA = b. d
=
Ix = b
Ix = b.1/3.1/8.h3+b.1/3.1/8.h3=2/24.b.h3=1/12.b.h.h3
= 23
121
2h
h.b.61h
h.b..2
h
Ix.2Ix
y
Ix
ix =
Untuk beberapa penampang nilai-nilai momen inersia telah ditabelkan, lihat
buku:
Ir. Sunggono.1984. Buku Teknik Sipil. Bandung: Nova, atau lampiran dalam
buku ini.
Contoh 2:
Diketahui penampang seperti di bawah ini, hitung besaran-besaran inersianya!
Mekanika Teknik II
22
Gambar 6.3.
Letak titik berat terhadap sumbu X (momen statis terhadap dasar penampang).
=
BAB VII
TEGANGAN - REGANGAN
A. GAYA AKSIAL TARIK DAN AKSIAL TEKAN
Mekanika Teknik II
23
Menurut hukum Hook perilaku bahan terhadap gaya aksial, baik tarik
maupun tekan dapat gambarkan dengan tegangan yang timbul, regangan yang
muncul akibat adanya tegangan dan besarnya modulus elastisitas bahannya,
besarnya tegangan dan regangan akibat adanya beban yang bekerja dapat
dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
~ tegangan
~ regangan
~ Modulus elastisitas
dimana :
P = gaya yang bekerja
Ao = luas tampang awal
= pertambahan/pengurangan panjang
Lo = panjang awal
Dari diagram hubungan tegangan-regangan dapat dibedakan bahan
yang bersifat daktial dan yang bersifat getas. Untuk bahan metal, batasan
regangan sebesar ε = 0,05 dapat digunakan untuk membedakan yang getas
dan yang daktail. Apabila bahan mampu meregang lebih dari 0,05 maka dapat
dikatakan bersifat daktail dan sebaliknya apabila tidak mampu disebut getas.
Perlu dicatat bahwa analisis plastis dapat diterapkan hanya pada bahan yang
bersifat daktail. Bahan yang bersifat getas perilaku runtuh terjadi sangat cepat,
sehingga kurang bisa diamati. Sedangkan bahan yang bersifat daktail perilaku
runtuh terjadi secara bertahap, sesuai dengan sifat daktilitas bahannya. Bahan
baja misalnya tahapan sampai runtuh, dimulai dari masuk daerah elastis,
daerah leleh (yeld), daerah strain hardening, tegangan maksimum, tegangan
menurun dan baru runtuh.
Mekanika Teknik II
24
Gambar 7.2. Diagram momen dan gaya lintang pada balok
Mekanika Teknik IIGambar 7.3. Diagram tegangan regangan
Gambar 7.1 Ilustrasi pembebanan tarik, tekan dan geser
25
Mekanika Teknik II
Gambar 7.4. Diagram tegangan regangan untuk inelastik
26
Gambar 7.5. Gambar permukaan struktur baja pada kondisi elastis, pembesaran 600 kali. (difoto oleh N.J. Alleman and N.H.Roy in the University of Metallographic Laboratories)
Gambar 7.6. Gambar permukaan struktur baja pada kondisi leleh pembesaran 600 kali. (difoto oleh N.J. Alleman and N.H.Roy in the University of
Metallographic Laboratories)
Mekanika Teknik II
27
Gambar 7.7. Diagram tegangan regangan untuk baja pada beberapa kondisi
Gambar 7.8. Diagram tegangan regangan pada beberapa jenis campuran baja
Mekanika Teknik II
Strain
28
Gambar 7.9. Diagram tegangan regangan pada beban siklik (bolak-balik)sampai pada kondisi leleh
Mekanika Teknik II
29
Mekanika Teknik II
Gambar 7.10. Tegangan pada elemen rangka batang
Gambar 7.11. bentuk spesimen pengujian tarik baja bulat
Gambar 7.12 Model spesimen pengujian tarik kayu
30
Mekanika Teknik II
Gambar 7.13. Model spesimen pengujian plat baja dengan
tebal 0,1 -0,5 inchi
Gambar 7.14. Bentuk spesimen pengujian tarik kayu arah tegak lurus serat
Gambar 7.15. Model spesimen pengujian tarik plat baja dengan
tebal lebih dari 3/16 inchi
31
Mekanika Teknik II
Gambar 7.16. Model spsimen pengujin tarik spesi dan gypsum
32
Mekanika Teknik II
Gambar 7.17. Model spesimen pengujian tarik yang lain
Gambar 7.18. Model kerusakan akibat pengujian tarik
33
Mekanika Teknik II
Gambar 7.19. Diagram tegangan regangan pengujian tarik.
Gambar 7.20. Salah satu model pengujian tekan
34
Gambar 7.22. Bentuk-bentuk spesiman pengujian tekan
Mekanika Teknik II
Gambar 7.21. Bentuk kerusakan akibat pengujian tekan
35
Pada diagram tegangan –regangan terdapat dua daerah yaitu elastis
dan daerah plastis. Bahan yang bersifat daktail akan mempunyai daerah plastis
yang cukup panjang, sedangkan bahan yang bersifat getas akan mempunyai
daerah plastis yang pendek atau tidak ada sama sekali.
Bahan dikatakan masih dalam keadaan elastis apabila pembebanan
dilakukan sedemikian sehingga hubungan tegengan-regangan masih bersifat
linier (di bawah batas sebanding) atau apabila beban yang bekerja ditiadakan
maka bahan masih dapat kembali pada kedudukan semula ( dibawah batas
elastis). Walaupun demikian pada kenyataannya kedua batasan diatas kadang-
kadang tidak tepat
Untuk bahan metal yang diagram tegangan regangannya tidak
mempunyai leleh regangan ofset sebesar 0,002 atau 0,0035 dapat digunakan
sebagai batas elastis.
Mekanika Teknik II
Gambar 7.23. Bentuk-bentuk grafik tegangan-regangan pada pengujian tarik
36
Mekanika Teknik II
Gambar 7.24. Bentuk-bentuk lain grafik tegangan- regangan pada pengujian tarik
37
Apabila pada suatu bahan dilakukan uji tarik atau tekan, maka akan terdapat
definisi –definisi berikut :
1. Kekuatan (strength):
Kekuatan elastis = ~ batas sebanding (porpotional limit)
~ batas elastis (elastic limit) dengan regangan offset
0,002 - 0,0035.
Kekuatan plastis = ~ kuat ultimit (ultimate strength) yang biasa disebut
dengan kuat tarik/tekan (tensile/comprressive
strength)
~ kuat putus /patah (braking strength) yang hanya
terdapat pada bahan daktail pada beban tarik.
Catatan : Untuk bahan daktail kuat teknnya tidak dapat/sulit ditentukan
2. Kekakuan (stiffness)
Ketahanan bahan terhadap deformasi akibat beban luar yang bekerja
disebut dengan kekuatan bahan. Besarnya kekuatan bahansearah beban
yang bekerja biasanya disebut dengan modulus, E, yaitu modulus elastis,
modulus tangen, modulus sekan, modulus plastis. Sedangkan besarnya
kekuatan bahan pada arah tegak lurus dari beban yang bekerja
ditentukan dengan rasio dari E, yang disebut dengan Poisson’s ratio, μ,
yang mempunyai harga 0,20 – 0,35. Contoh nilai μ unutk baja adalah
0,30, unutk karet 0,25 dan unutk beton 0,20. untuk gaya geser, ada juga
yang disebut dengan modulus geser, G.
3. Daktilitas(Ductility)
Daktilitas bahan adalah kemapuan bahan unutk berdeformasi yang diukur
dengan besarnya persentasi perpanjangan :
Mekanika Teknik II
38
dimana :
D = daktilitas perpanjangan
Lo = panjang awal (dengan panjang ukur tertentu)
L1 = panjang setelah putus (Lo + L)
E beton =
Daktilitas bahan dapat juga diukur dengan pengurangan luas tampang:
Da = daktilitas luas
Ao = luas awal
A1 = luas pada tempat yang putus
4. Daya lenting (Resilience)
Daya lenting adalah kemampuan bahan unutk menyerap energi pada
keadaan elastis, yang diukur dengan besarnya modulus kelentingan
(modulus of resilience) atau besarnya energi regangan perunit volume yang
diperlukan oleh bahan dari tegangan tarik nol sampai mencapai tegangan
batas sebanding:
5. Keuletan (Toughness)
Keuletan adalah kemampuan bahan menyerap energi pada keadaan plastis
yang diukur dengan modulus keuletan (modulus of toughness) yaitu
besarnya energi reganagn perunit volume dari tegangan nol sampai putus
atau luas daerah dibawah kurva tegangan-regangan nol sampai putus atau
luas daerah dibawah kurva teganagn-regangan.
B. GAYA SIKLIK
Mekanika Teknik II
39
Apabila suatu bahan diberi gaya siklik tarik tekan sampai daerah
plastik, maka akan terjadi kehilangan energi regangan yang disebut dengan
hysterisis, sedangkan diagram tegangan regangan disebut dengan hysterisis
loop. Akan tetapi jika beban siklis dikerjakan dibawah batas elastis atau
batas sebanding, maka tidak akan terjadi hysterisis loop. Dari pengujian
beban siklik ini akan diperoleh diagram tegangan-regangan bolak-balik,
seperti pada gambar 1.17 dan gambar 1.22.
C. GAYA GESER, TORSI DAN BENDING
Gaya tosi terjadi pada waktu suatu komponen struktur memikul beban gaya
sedemikian rupa hingga terpuntir terhadap sumbu memanjangnya. Contoh
yang mudah dilihat secara visual adalah pada perkakas mesin, misalnya
sistem pemindahan tenaga melalui tangkai pada motor elektrik,
pemindahan tenaga pada roda kereta api, balok memanjang yang menahan
konsol arah melintang di satu sisi, dan sebagainya.
Besarnya tegangan geser :
dimana :
= Teganagan geser
P = Gaya geser
A = luas bidang geser
Besarnya tegangan geser torsi (dalam keadaan elastis):
(untuk tampang lingkaran)
Mekanika Teknik II
40
Mekanika Teknik II
Gambar 7.25. Model pengujian kekerasan suatu bahan
41
Mekanika Teknik II
Gambar 7.26. Model-model pengujian geser
Gambar 7.27. Model kerusakan akibat pengujian torsi
42
Besarnya tegangan geser torsi dalam keadaan plastis/ultimit :
dimana :
tu = tegangan geser torsi
T = momen torsi
r = jari-jari
Mekanika Teknik II
Gambar 7.28. Bentuk distribusi gaya geser torsi
Gambar 7.29. Diagram hubungan sudut putar dengan momen torsi
43
J = momen inersia polar
= 0,5 (unutk tampang lingkaran)
Besaranya tegangan bending pada keadaan elastis :
Besarnya tegangan bending pada keadaan plstis :
dimana :
= tegangan lentur
y = jarak dari garis netral kesis, terluar
M = momen yang bekerja
S = modulus momen tampang elastis
Z = modulus momen tampang plastis
Mekanika Teknik II
Gambar 7.30. Model pembebanan geser pada balok
Gambar 7.31. Model pembebanan lentur pada balok
44
Mekanika Teknik II
Gambar 7.32. Diagram hubungan antara defleksi dengan beban
45
Soal-soal :
1. Pada pengujian tarik baja didapatkan data-data sebagai berikut:
- D = 12,8 mm
- Panjang pengukuran awal 50mm
- Beban pada batas sebanding 36,32 kn
- Beban pada saat leleh 37,23 kn
- Perpanjangan pada beban 18,16 kn adalah 0,0343 mm
Maka hitunglah :
batas sebandingnya,
tegangan leleh,
modulus elasitas,
modulus kelentingan pada batas sebanding.
2. Pada pengujian tarik benda uji baja di laboratoium didapatkan data-data
sebagai berikut :
D = 12,8 mm
ℓop = 200 mm
Pult = 64,47 KN
Pputus = 45,40 KN
ℓputus = 261,62 mm
D1 = 9,65 mm
Maka hitunglah komponen-komponen berikut ini :
a. tegangan ultimit
b. tegangan putus
c. daktilitas perpanjangan/prosentase perpanjangan
d. tentukan bahan ini daktil atau hitung daktilitas luas/persentasi
luas tampung
Mekanika Teknik II
Gambar 7.33. Diagram hubungan antara defleksi dengan beban siklik
46
3. Pada suatu percobaan dengan benda uji besi cor diperoleh data sebagai
berikut :
Panjang awal : 50 mm
Diameter : 12,8 mm
Gaya ultimit dan putus : 24,52 KN
Pertambahan panjang : 0,127 mm
Maka dari data tersebut di atas hitunglah :
a. tegangan ultimit
b. prosentase perpanjangan, dan periksa apakah bahan ini getas atau
daktail
c. keuletan bahan tersebut dengan menganggap diagram tegangan-
regangannya berbentuk para bola
d. hitung modulus sekan pada teganagn 35 Mpa, jika reganagn pada
tegangan ini 0,002
e. coba hitung berapa tegangan yang terjadi pada regangan 0,00025
dengan anggapan seperti pertanyaan no c.
4. Pada suatu percobaan dengan benda uji plat besi diperoleh data sebagai
berikut :
Panjang awal : 50 mm
Dimensi : (10 x 50) mm
Gaya ultimit dan putus : 35,52 KN
Pertambahan panjang : 0,11 mm
Maka dari data tersebut di atas hitunglah :
a. tegangan ultimit
b. prosentase perpanjangan, dan periksa apakah bahan ini getas atau
daktail
c. keuletan bahan tersebut dengan menganggap diagram tegangan-
regangannya berbentuk para bola
d. hitung modulus sekan pada teganagn 40 Mpa, jika reganagn pada
tegangan ini 0,003
Mekanika Teknik II
47
e. coba hitung berapa tegangan yang terjadi pada regangan 0,00035
dengan anggapan seperti pertanyaan no c.
5. Pada pengujian tarik benda uji pipa baja di laboratoium didapatkan data-
data sebagai berikut :
D = 12,8 mm
Tebal = 1,8 mm
ℓop = 200 mm
Pult = 46,74 KN
Pputus = 35,04 KN
ℓputus = 251,62 mm
D1 = 6,65 mm
t1 = 1,1 mm
Maka hitunglah komponen-komponen berikut ini :
a. tegangan ultimit
b. tegangan putus
c. daktilitas perpanjangan/prosentase perpanjangan
d. tentukan bahan ini daktil atau hitung daktilitas luas/persentasi
luas tampung
D. Tegangan – Regangan Aluminium
Kebanyakan bahan alumunium memiliki ketelitian yang cukup tinggi
meskipun mereka tidak memiliki suatu titik leleh yang dapat ditetapkan secara
jelas. Sebagai gantinya, mereka memperlihatkan suatu transisi secara
berangsur-angsur dari daerah linier ke daerah tak linier, seperti diperlihatkan
oleh diagram tegangan-regangan dalam Gambar 3.1. Bahan aluminum yang
cocok untuk tujuan konstruksi tersedia dengan batas tegangan leleh berkisar
70 hingga 420 Mpa dan tegangan batas berkisar antar 140 hingga 560 Mpa.
Mekanika Teknik II
48
Gambar 7.34. Diagram tegangan-regangan pada aluminium.
Apabila suatu bahan seperti paduan aluminum tidak memilliki titik leleh
yang jelas dan masih mengalami regangan-regangan besar setelah tegangan
leleh terlewati, maka suatu tegangan leleh sebarang dapat ditentukan melalui
metode ofset (offset method). Di sini sebuah garis lurus ditarik sejajar dengan
bagian awal kurva yang linier pada diagram tegangan-regangan (lihat Gambar
3.2). Yang berjarak beberapa regangan standar, seperti 0,002 (atau 0,2%).
Perpotongan garis ofset (offset line) ini dengankurva tegangan-tegangan (titik
A dalam gambar) mendifinisikan tegangan leleh. Karena tegangan ini
ditentukan oleh suatu aturan sebarang dan bukanlah sesuatu yang merupakan
sifat fisik bahan, maka, ia disebut tegangan leleh ofset (offset yield strss).
Untuk bahan seperti aluminum, tegangan leleh ofsetnya berada agak sedikit di
atas batas tegangan lelehnya. Dalam baja konstruksi, dengan transisi
mendadaknya dari daerah linier ke daerah tarik plastis, tegangan ofsetnya
(offset stress) sama seperti tegangan leleh dan batas-lelehnyanya.
Gambar 7.35. Penentuan tegangan leleh dengan metode ofset
E. Tegangan – Regangan Bahan Karet
Mekanika Teknik II
49
Karet tetap mempertahankan hubungan linier antar tegangan dan
regangan, hingga regangan yang sangat tinggi mendekati 0,1 atau 0,2. Sifat
setelah batas leleh terlampui bergantung pada jenis karet (lihat Gambar 3.3).
Beberapa jenis karet yang lembut terus memperlihatkan regangan yang sangat
besar tanpa kegagalan. Bahan akhirnya memberi perlawanan yang semakin
bertambah besar terhadap beban, sehingga kurva tegangan-regangan berubah
dengan sangat menyolok ke atas sebelum keruntuhan. Anda dapat merasakan
sifat karakteristik ini dengan meregangkan sebuah pita karet.
Keliatan sebuah bahan yang mengalami tari dapat dicirikan oleh
pemanjangan dan kontraksi luas penampangnya di mana terjadi pemutusan.
Persentase pemanjangan didefinisikan sebagai berikut:
Persentase pemanjangan =
Gambar 7.36. Diagram-diagram untuk karet yang mengalami tarik.
Dimana Lo adalah panjang-ukur semula dan Lf jarak antara tanda-tanda
ukur pada bagian yang putus. Karena pemanjangan tidaklah merata sepanjang
contoh bahan tetapi terpusat pada daerah kontrasi-luas, maka prosentase
pemanjangan bergantung pada panjang-ukur.
Mekanika Teknik II
50
Oleh karena itu, apabila kita menyatakan persentasi pemanjangan
maka haruslah diberitahu pula tentang panjang ukur. Untuk suatu panjang-ukur
50 mm, baja dapat memilki pemanjangan dalam jangkauan 10% hingga 40 %,
tergantung pada komposisiny; untuk baja konstruksi, harga-harga 25% hingga
30% lazim diperoleh. Dalam hal untuk paduan-paduan aluminium,
pemanjangan bervariasi dari 1% hingga 45%, bergantung pada komposisi dan
penaganannya.
Persentase pengurangan (percent redution in area) mengukur jumlah
kontraksi luas yang terjadi dan didefinisikan sebagai berikut:
Persentase pengurangan luas =
Dimana A0 adalah luas penampang semula dan Af luas terakhir pada bagian
patahan. Untuk baja-baja liat, reduksinya sekitar 50%.
Bahan-bahan yang tidak dapat bertahan terhadap tarikan pada harga-
harga regangan relatif rendah, dikalsifikasikan sebagai bahan-bahan rapuh
(brittle). Contoh-contohnya adalah beton, batu, besi-tuang, (cast iron), kaca,
bahan-bahan keramik dan kebanyakan paduan-paduan logam yang lazim.
Bahan-bahan ini gagal (fail) hanya dengan pemanjangan yang kecil setelah
batas sebanding (titik A dalam Gambar 3.4) terlampui, dan tegangan patahnya
(stress fracture) (titik B) sama dengan tegangan batas. Baja-baja dengan
kandungan karbon yang tinggi bersifat rapuh. Mereka dapat memiliki tegangan
leleh yang sangat tinggi (dalam beberapa kasus 700 MPa ke atas), tetapi
patahanterjadi pada pemanjangan yang hanya beberapa persen saja.
Mekanika Teknik II
51
Gambar 7.37. Diagram tegangan regangan suatu bahan rapuh
F. Tegangan – Regangan Bahan Kaca
Kaca biasa hampir bersifat seperti bahan rapuh ideal, karena ia hampir
tidak memperlihatkan kaliatan. Kurva tegangan – regangan untuk kaca yang
mengalami tarik pada umumnya berupa sebuah garis lurus, degan kegagalan
terjadi sebelum pelelehan. Untuk beberapa jenis pelat kaca tertentu, tegangan
batasnya sekitar 70 Mpa tetapi terdapat pula variasi-variasi yang besar,
tergantung pada tipekaca, ukuran contoh bahan dan adanya cacat-cacat
mikroskopik. Serat-serat kaca dapat membentuk kekuatan yang sangat besar,
dan tegangan batas di atas 7 Gpa telah dicapai.
Diagram-diagram tegangan-regangan untuk tekan memiliki bentuk-
bentuk yang berbeda dari yang mengalami tarik. Logam-logam liat seperti baja,
aluminium dan tembaga memiliki batas sebanding untuk tekan lebih mendekati
ke yang untuk tarik. Oleh karena itu daerah-daerah permulaan dari diagram
tegangan-regangan dalam kedaan tekan dari logam-logam ini mirip sekali
dengan diagramnya dalam keadaan tarik.
Tetapi apabila mulai terjadi pelelehan, maka sifatnya sangat berbeda.
Dalam uji tarik, contoh bahannya diregangkan, sehingga dapat terjadi kontarksi
luas dan pada akhirnya terjadi patahan. Apabila sebuah contoh bahan
berukuran kecil ditekan, maka bagian sampingnya mengembung ke luar dan
berbentuk seperti tong. Dengan menambahkan beban, contoh beban ini
menjadi rata, jadi ia memberi perlawanan yang semakin bertambah terhadap
pemendekkan selanjutnya (yang berarti kurva tegangan-regangannya ke atas).
Ciri khas ini diilustrasikan dalam gambar 3.5 yang memperlihatkan diagram
tegangan-regangan dalam keadaan tekan untuk tembaga.
Mekanika Teknik II
52
Gambar 7.38. Diagram-diagram tegangan-regangan bagi tembaga
Bahan-bahan rapuh yang mengalami tekan khasnya memiliki daerah
awal yang linier kemudian diikuti dengan suatu daerah di mana pendekatan
bertambah lebih cepat daripada beban yang ditambahkan. Jadi, diagram
tegangan-regangan tekannya memiliki bentuk yang mirip dengan diagram
tariknya. Tetapi bahan-bahan rapuh, biasanya mencapaitegangan batas dalam
keadaan tekan yang lebih tinggi daripadadalam keadaan tarik. Juga berbeda
dengan bahan-bahan liat dalam keadaan tekan (lihat Gambar 3.5), bahan-
bahan rapuh ternyata patah pada beban maksimum. Diagram-diagram
tegangan-regangan tekan dan tarik untuk suatu jenis besi taung khusus
diberikan dalam Gambar 3.6. Kurva-kurva untuk bahan-bahan rapuh lainnya,
seperti beton dan batu, memiliki bentuk yang mirip tetapi sangat berbeda
dalam harga numeriknya.
Tabel siaft-sifat mekanis yang penting untuk berbagai bahan diberikan
dalam Apendisk H. Walaupun demikian, sifat-sifat dan kurva-kurva tegangan-
regangannya sangat bervariasi meskipun untuk bahan yang sama, karena
proses pembuatan (manufakturing) nya yang berbeda, komposisi kimia, cacat-
cacat internal, temparetur dan faktor-faktor lainnya. Karena itu, data apapun
yang diperoleh dari tabel-tabel umum seharusnya dipandang sebagai yang
kgas, tetapi tidak perlu cocok bagi suatu penerapan yang spesifik.
Mekanika Teknik II
53
Gambar 7.39. Diagram-diagram tegangan-regangan untuk sebuah besi yang
mengalmi tari dan tekan.
G. Elastisitas Dan Plastisitas
Diagram-diagram tegangan-regangan yan diuraikan dalam bagian di atas
menggambarkan kelakuan dari berbagai bahan apabila mereka dibebani secar
statik dalam keadaan tarik atau tekan. Sekarang baiklah kita tinjau apa yang
terjadi apabila bebannya dihilangkan secara perlahan-lahan, dan bahannya tak
dibebani. Anggap misalnya, bahwa kita mengenakan suatu beban pada suatu
contoh bahan tarik sehingga tegangan dan regangan bergerak dari O ke A pada
kurva tegangan-regangan dala gambar 3.7a. Anggap selanjutnya pula bahwa
apabila bebannya diambil bahannya mengikuti kurva yang tepat sama kembali
ke titik asal O. Sifat bahan yang demikian ini di mana ia kembali ke demensi
semulanya selama pengambilan beban (unloading) disebut sifat elatisitas
(elasticity) dan bahannya sendiri disebut elastis (elastic). Perhatikan bahwa
kurva tegangan-regangan dari O hingga A tidak perlu linier agar bahannya
elastis.
Mekanika Teknik II
54
Gambar 7.40. (a) Sifat elastis; (b) Sifat elastis sebagian
Sekarang, baiklah kita angap bahwa kita membebani bahan yang sama
ini ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga titik B pada diagram tegangan-
regangan tercapai (Gambar 3.7b). Dalam hal ini, apabila terjadi pengambilan
beban maka bahannya akan mengikuti garis BC pada diagram. Garis
pengambilan beba ini khas dan sejajar dengan bagian awal kurva pembebanan;
yakni, garis BC sejajar dengan garis-singgung terhadap kurva tegangan-
regangan di O. Apabila titik C tercapai, maka bebannya telah dihilangkan sama-
sekali, tetapi ternyata suatu regangan sisa (residual strain) atau regangan
permanen (permanent strain), OC tetap terdapat dalam bahan. Pemanjangan-
sisa yang bersangkutan dari batang disebut deformasi-permanen (permanent
set). Dari regangan total OD yang berbentuk selama pembebanan dari O
hingga B, regangan CD diperoleh kembali secara elastis dan regangan OC tetap
sebagai regangan-permanen. Jadi selama pembenan batang sebagiaannya
kembali ke bentuk semula; karena itu, bahnnya disebut elastis sebagian
(partially elastic).
Apabila sebuah batang uji, maka bebannya dapat diperbesar dari nol
hingga sejumlah kecil pilihan harga dan kemudian dihilangkan. Jika tidak
terdapat deformasi permanen (yakni, jika pemanjangan batang kembali ke nol)
maka bahannya elastis hingga tegangan yang dinyatakan oleh harga pilihan
beban. Proses pembebanan dan pengambilan beban ini dapat diulang untuk
harga-harga pembebanan yang makinlama makin tinggi. Pada akhirnya, akan
tercaapai suatu teganganyang sedemikian rupa sehingga tidak semua
regangan diperoleh kembali selama pengambilan beban. Dengan cara kerja ini,
ia dapat berupa tegangan pada titik E dalam Gambar 3.7b. Tegangan ini
dikenal sebagai batas elastis (elastic limit) dari bahan.
Kebanyakan bahan, termasuk kebanyakan logam-logam, memiliki
daerah-daerah linier pada bagian awal dari kurva-kurva tegangan-regangannya
(lihat Gambar 3.8). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, batas teratas dari
daerah linier ini didefinisikan oleh batas sebanding. Biasanya batas elastis agak
sedikit di atas atau hampir sama dengan batas senanding. Karena itu, untuk
Mekanika Teknik II
55
kebanyakan bahan kedua batas ini diberikan harga numerik yang sama. Dalam
hal baja lunak, tegangan leleh juga sangat dekat dengan batas
sebanding,sehingga untuk kegunaan-kegunaan praktis maka tegangan leleh,
batas elastis dan batas sebanding dianggap sama. Tentu saja, keadaan ini tidak
berlaku untuk semua bahan. Karet memberi contoh menonjol dari suatu bahan
yang masih bersifat elastis jauh di atas batas sebanding.
Ciri-khas sebuah bahan dalam mana ia mengalami regangan tak elastis
di atas regangan-regangan pada batas elastis dikenal sebagai plastisitas
(plasticity). Jadi, pada kurva tegangan-regangan dalam Gambar 3.7a, kita
mempunyai suatu daerah elastis yang diikuti dengan suatu daerah plastis.
Apabila terjadi deformasi besar dalam bahan liat yang dibebani hingga daerah
plastis, maka bahan tersebut dikatakan mengalami aliran plastis (plastic flow).
Jika bahan tetap di dalam jangkauan elastis, ia dapat dibebani, tak
dibebani dan dibebani lagi tanpa terlalu mengubah sifatnya. Walaupun
demikian, apabila dibebani kedalam jangkauan plastis, maka struktur internal
bahan dirubah dan dengan demikian sifat-sifat bahan turu berubah. Sebagai
misal, telah kita amati bahwa sebuah regangan –permanen terdapat dalam
contoh-bahan setelah pengambilan beban dari daerah plastis (Gambar 3.7b).
Sekarang anggaplah bahwa bahannya dibebani kembali setelah pengambilan
beban di atas (Gambar 3.8).
Pembebanan yang baru ia mulai di titik C pada diagram dan
berkesinambungan ke atas menuju titik B tegangan, yaitu titik di mana
pengambilan beban dimaulai selama siklus pembebanan pertama , bahan
kemudian mengikuti diagram tegangan-regangan semula menuju titik F.
Selama pembebanan kedua, bahan bersifat linier dari C hingga B, karena itu
bahan memiliki suatu batas sebanding yang lebih tinggi dan tegangan leleh
yang lebih tinggi daripada yang sebelumnya. Jadi dengan meregangkan suatu
bahan, adalah mungkin terjadi menaikkan titik leleh meskipun keliatan
dikurangi karena jumlah pelelhan dari B hingga F lebih kecil daripada dari E
hingga F.
Mekanika Teknik II
56
Gambar 7.41. Diagram tegangan – ragangan pada beban siklik
Rangkak (creep). Diagram tegangan-regangan yang dinaikkan di atas
diperoleh dari uji tarik yang hanya menyangkut pembeaban statik dari contoh-
contoh bahan; karena itu faktor waktu tidak masuk dalam pembahasan kita.
Namun demikian, beberapa bahan menimbulkan regangan –regangan
tambahan dalam selang waktu yang cukup panjang dan dikatakan rangkak
(creep). Gejala ini dapat memeperlihatkan dirinya sendiri dalam berbagai cara.
Sebagai misal, kita menganggap bahwa sebuah batang vertical (Gambar 3.9a)
dibebani oleh suatu gaya konstanta P. Ketika beban pada mulanya dikenakan,
batang memanjang sejauh δo. Baiklah kita mengaggap bahwa pembebanan ini
dan pemanjangan yang bersangkutan terjadi selama suatu selang waktu to
(Gambar 3.9b). Setelah selang waktu to ini, pembebanan tetap konstan. Tetapi,
oleh karena rangkak, maka dapat terjadi bahwa batang berangsur-angsur
memanjang seperti diperlihatkan dalam Gambar 3.9b, meskipun pembebanan
tak berubah. Kelakuan ini terjadi pada banyak bahan, meskipun kadang-kadang
perubahannya sangat kecil untuk menarik perhatian.
Mekanika Teknik II
57
Gambar 7.42. Rangka dalam sebuah batang di bawah beban konstan.
Gambar 7.43. Relaksasi tegangan dalam sebuah kawat di bawah regangan konstan.
Sebagai contoh kedua dari rangkak, tinjau sebuah kawat yang
diregangkan antara dua penyangga yang tak dapat bergerak sehingga kawat
memiliki tegangan tarik awal σo (Gambar 3.10a). Sekali lagi, kita akan
menunjukkan waktu selama kawat mula-mula dibebani dengan to (Gambar
3.10b). Dengan bertambahnya waktu tegangan dalamkawat makin lama
berkurang dan akhirnya mencapai suatu harga konstan, meskipun penyangga-
penyangga pada ujung-ujung kawat tidak bergerak. Proses ini, yang adalah
suatu perwujudan dari rangkak, disebut relaksasi (relaxation) dari bahan.
Rangkak biasanya lebih menonjol pada temperatur tinggi daripada
temperatur biasa. Karena itu, gejala rangkak ini harus diperhatikan dalam
disain mesin-mesin, tungku pembakaran, dan struktur-struktur lainnya yang
beroperasi pada temparatur tinggi dalam selang waktu yang cukup lama.
Tetapi, bahan-bahan seperti baja, beton dan kayu sudah mulai mengalami
Mekanika Teknik II
58
sedikit rangkak meskipun pada temparatur-temparatur atmosfir. Oleh karena
itu, kadang-kadang perlu untuk mengkompensasikan efek rangkak ini dalam
struktur-struktur biasa. Sebagai misal, rangkak dari beton dapat menciptakan
“gelombang-gelombang” dalam lantai jembatan (bridge deck) karena lendutan
(sagging) antara penyangga-penyangga. Salah satu cara untuk mengatasinya
adalah dengan mengkonstruksikan latai jembatan dengan suatu anti lendutan
(camber) ke atas, yang mana adalah suatu lendutan awal di atas horizontal
sehingga, apabila terjadi rangkak, maka bentangnya (span) menurun ke
kedudukan datar (level).
BAB VIII
LENDUTAN (DEFLECTION)
A. Lendutan pada Balok(Persamaan Kurva Lendutan)
Mekanika Teknik II
59
Titik m1 berjarak x terhadap A (pusat sumbu), putaran sudutnya sama dengan θ (antara arah sumbu x dengan garis singgung) dan lendutannya v.Titik m2 yang terletak pada (x+dx), putaran sudutnya (θ +d θ) dan lendutannya (v+dv)
Dari gambar ds = ρ . d θ ρ =
K = (1)
Kemiringan kurva lendutan = karena θ kecil
ds = karena θ kecil cos θ 1, sehingga ds dx
maka, persamaan (1) berubah menjadi :
K = (2)
dan tg θ θ θ tg θ =
, sehingga
K = (3)
Persamaan ini disebut persamaan hubungan antara kelengkungan dengan lendutan balok dan berlaku untuk semua material asalkan sudut rotasinya kecil.Jika bahan balok elastic dan mengikuti Hukum Hooke, maka kelengkungannya :
K = (4)
maka secara umum penggabungan persamaan (3) dan (4) menjadi
K = EI . vII = - M (5)
Persamaan (5) disebut “Persamaan Diferensial Kurva Lendutan”
Bila diketahui q = dan v = , maka diperoleh :
vIII . EI = - V (6)
EI . vIV = q (7)
Contoh :1)Persamaan kurva lendutan dengan pengintegrasian momen lentur.
Mekanika Teknik II
Gambar 8.1.
60
Buat kurva lendutannya!Penyelesaian :
M =
EIvII =
EIvI =
Kondisi batas : pada x = L/2 ; θ = 0
θ = 0 =
C1 = , maka
EIvI =
EI.v =
Kondisi batas v = 0 pada x = 0 dan x = LV(0) = 00 = 0 + 0 + 0 + C2 C2 = 0
Sehingga, persamaan lendutan diperoleh :
EI . v =
V(x) =
Lendutan ditengah bentang (L/2) sebesar σ
V(L/2) =
2)Persamaan lendutan dengan pengintegrasian gaya lintang dan beban.
Tentukan kurva lendutannya!
q =
EI v”” = q
EI v”” =
Mekanika Teknik II
61
Integrasi pertama
EI v”” =
Karena gaya lintang adalah nol pada x = L ; x = 0 ; v = RA = ½ q0 L , maka : EI v””(L) = 0
C1 =
Sehingga persamaannya menjadi : EI v”” =
Integrasi kedua : EI v” =
Kondisi batas momen sama dengan nol pada x = L EI v”(L) = 0
C2 =
Sehingga persamaannya menjadi
EI v” =
Integrasi ketiga EI v’ =
Kondisi batas x = 0 kelengkungan sama dengan nol, sehingga C3 = 0
Integrasi ke empat EI v =
Kondisi batas x = 0 lendutan sama dengan nol, sehingga C4 = 0Maka persamaan lendutannya adalah sebagai berikut :
EI v =
=
3) P A B Buat persamaan kurva lendutan!
L L/2 C
Penyelesaian :V = - P/2 ; (0 < x < L)V = P ; (L < x < 3L/2)
Maka,
Mekanika Teknik II
62
EI v”’ = P/2 ; (0 < x < L)EI v”’ = - P ; (L < x < 3L/2)
Integrasi pertama EI v” = Px/2 + C1 ; 0 < x < L EI v” = - Px + C2 ; L < x < 3L/2
Kondisi batas M = 0 pada x = 0 dan x = 3L/2 diperoleh C1 = 0 dan C2 = + 3PL/2, sehingga :
EI v” = Px/2 EI v” = - Px + 3PL/2
Integrasi kedua : EI v’ = Px2/4 + C3
EI v’ = - Px2/2 + 3PLx/2 + C4
Kondisi batas v’(L) bentang AB = v’(L) bentang BC
C3 = atau
C4 =
Sehingga :
EI v’ =
EI v’ =
Integrasi ketiga :
EI v =
EI v =
Kondisi batas v = 0 pada x = 0, x = L, v(0) = 0, v(L)AB = 0 ; v(L)BC = 0C5 = 0
C6 =
Maka, persamaan lendutannya
EI v =
Mekanika Teknik II
63
v = ; 0 < x < L
EI v =
=
v =
lendutan di titik C : x = 3/2L
σc =
=
Kondisi batas v’(L/4) batang AC = v’(L/4) batang CE dan v’(L/2) = 0
C2 =
pada x = L/4
C1 =
=
Sehingga : EI v’ =
2EI v’ =
Integrasi kedua :
EI v =
E2I v =
Kondisi batas : v(x) = 0 C3 = 0
Mekanika Teknik II
64
V(L/4) batang AC = V(L/4) batang CE
C4 =
Sehingga :
V =
V =
BAB IX
METODE UNIT LOAD
Struktur seperti di atas : Akibat beban P timbul ∆ dan s Akibat beban 1 unit timbul σ dan u
dimana : ∆ = lendutan akibat P S = tegangan dalam (interval strusses) pada setiap pias σ = lendutan akibat beban unit u = tegangan dalam akibat beban unit
Karena timbul s dan u, pada pias akan terjadi pemendekan sebesar “dl”.Bila beban P bekerja secara berangsur-angsur, maka jumlah kerja luar (external work) sebesar :
Sedangkan total kerja dalam (internal work)
Menurut Hukum Konservasi energy / kerjaExternal work = internal work
Mekanika Teknik II
Gambar 9.1.
65
= akibat P
= akibat beban unit
Bila beban 1 satuan bekerja lebih dulu, baru ditambah beban P1,P2 dan P3, berangsur-angsur, maka kerja luar (external worknya) menjadi :
Dan internal worknya menjadi :
Maka, menurut Hukum Konservasi energy/ kerjaExternal work = Internal work
1 ∆ =
∆ = (lendutan di c)Dari gambar dan uraian di atas terlihat bahwa :
∆ = M = S . y m = U . y
Menurut hokum Hooke σ = , maka :
Hk. Hooke
Maka dapat dihitung lendutan pada titik C balok tersebut :
Mekanika Teknik II
66
Mekanika Teknik II
67
Contoh:1.
∆B =….?Penyelesaian :
M = - P . xm = - 1 . x
2.
∆B =….?Penyelesaian :
M = - ½ qx2
M = - I . x2
(ke bawah)
BAB X
Mekanika Teknik II
68
METODE MOMEN AREA
Dari persamaan sebelumnya diperoleh dθ = ,
maka :
= (luas diagram antara A dan B)
Perjanjian tanda θba positif bila θb > θa dan sebaliknya.Karena θa dan θb sangat kecil (sehingga garis singgung di A dan B mendekati segaris), maka :
Sehingga,
= (luas momen diagram antara A dan B terhadap titik
B)Metode luas momen hanya berlaku pada balok elastic linier karena
didasarkan pada persamaan persamaan linier.
Mekanika Teknik II
Gambar 10.1.
69
Contoh :
1. θb = (luas diagram )
A L B =
PL 2/3L = +
=
∆ba = (luas diagram momen terhadap titik yang dicari)
σb =
= bandingkan dengan contoh sebelumnya.
2.
θb = (luas diagram )
=
=
σb =
=
=
3.
Mekanika Teknik II
70
θb = (A1+A2+A3)
=
=
σb = (A1+A2+A3) terhadap titik B
=
=
σc = …?
1. RA = P1 =
θA = θB =
∆C = θA
2. RA = RB = P1 =
θA =
∆C =
3. θa, θb, θc, δc dan δmax …..?Jika E = 200 GPa, EI = 256 Mn.m2,
Mekanika Teknik II
71
I = 1,28 x 109 mm4
Jawab :
A1 =
A2 =
A3 =
10.θa = BB’ (EI) =
= 1893 kN.m2
θa =
EI.AA’ =
= 906,7 kN.m3
θb =
θc = EI. θb + A3 = 90,67 kN.m +(-53,33) = 37,33 kN.m2
Maka, sudut putar yang sebenarnya
θa =
θb =
θc =
Lendutan di C = δc
= 90,67.4 – 53,33.3 = 362,7 – 160 = 202,7 kN.m3
Mekanika Teknik II
72
Maka, δc =
Perhitungan lendutan max. (δmax)
= 10 x12 + 160 x1 320
EI.θA = 189,3 kN.m3
189,3 = 10 x12 + 160 x1 320
10 x12 + 160 x1 509,3 = 0
X12 + 16 x1 509,3 = 0
Dari penyelesaian persamaan tersebut diperoleh x1 = 4,385 m, maka :
Subtitusi x = 4,385 ;
= 549,6 kN.m3
BAB XI
LENTURAN PADA RANGKA BATANG
Mekanika Teknik II
73
Metode yang digunakan dalam perhitungan lendutan pada Tuss (rangka batang) adalah metode Unit Load. Dimana :
∆ = ∑ U dlU : gaya batang akibat beban 1 unit∆l : perpanjangan / perpendekan akibat beban luar
Contoh penggunaan :
Diketahui struktur rangka batang dengan luas penampang masingmasing adalah sebagai berikut :
Ditanya :∆v dari L1 = ……..?∆H dari L1 = ……..?Jika : E = 30.000 K/inc2
Penyelesaian :
a) ∆v dari L1
gaya gaya lintang
dicari harga
dicari gaya batang akibat beban U
dicari ∑U.dl
∆L1 =∑ U.dl = +0,299 ( )
Mekanika Teknik II
(b) untuk mencari ∆H di L1 beban unit diletakkan di L1 dengan arah horizontal, diproses sama dengan yang diatas.
1.RANGKA STATIS TAK TENTU
= +
+ gaya S dan U
δ = ∆L
Beban unit (U)
Mekanika Teknik II
74
U . δ(U . ∆l)
∆B = ∑ U . ∆l = 0,2822’ δB = ∑ U . ∆l = 0,04957’ (ke kiri)(ke kanan) ∆B = δB . HB
HB = (ke kiri)
RANGKA STATIS TAK TENTU DALAM
Persamaan yang digunakan
Xbc = gaya yang bekerja pada bentang BC
Lbc = panjang bentang BCAbc = luas penampang BCE = modulus elastisitas
E = 30.000 K/m2
Luas dalam inc2
Maka jika dianalitis, struktur rangka tersebut menjadi :
= +
Bagian (a)
Mekanika Teknik II
75
∆L U U . ∆L ∆=∑U∆L= 0,056 ft
Bagian (b)-
δ=∑U∆L= 0,002 ftDengan diketahuinya : ∆ = 56,384 . 10-3 ft
δ = 2,2512 . 10-3 ftMaka,
Xbc = 17,34
Sehingga gaya batangnya dari masing masing,
Mekanika Teknik II
76
Dalam bentuk table dapat ditulis sebagai berikut :
Gb.No.
batang
A(inc2
)
L(ft)
S(K)
U U . ∆L
(a)
1 5 8 0 0 0,8 0
2 2 9 0 0 0,6 0
3 5 8 32 20,8 0,8 16,384
4 4 12 0 0 +1 0
5 4 12 24 40 +1 40
∑56,384 = ∆
(b)
1 5 8 0,8 0,512 0,8 0,409
2 2 9 0,6 0,72 0,6 0,432
3 5 8 0,8 0,512 0,8 0,409
4 4 12 0 0
5 4 12 1 1 1 +1
∑2,240 = δ
Mekanika Teknik II
77
DAFTAR PUSTAKA
Gere, J.M., 1987, Mechanic of Material, London : Wadsworth Incoporation.
Suwarno Wirjomartono, 1986, “Mekanika Teknik”,Yogyakarta : Universitas
Gajah Mada.
Tjokrodiharjo, S., 1997, “Analisis Struktur II”, Yogyakarta : Universitas
Gajah Mada
Tjokrodiharjo, S., 1997, “Analisis Struktur III”, Yogyakarta : Universitas
Gajah Mada
Wang, C.K, 1987. “Statically indeterminate Structures”,New York : Mc
Graw Hill.
Wang, C.K, 1990. “Analisis Struktur Lanjutan”, Jilid 1, New York : Mc
Graw Hill.
Mekanika Teknik II
78