mekotek

download mekotek

of 9

Transcript of mekotek

NAMA NIM

: NGAKAN BAGUS DANIP PRADIPTA : (0820025028)

PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

MEKOTEK DIMATA GENDER

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan zaman bergerak dengan dinamis. Begitu pesatnya perkembangan zaman yang di pengaruhi oleh tekhnologi dan informasi yang sangat mudah diperoleh. Pengaruh budaya asing salah satu contohnya, ada budaya yang berdampak baik atau malah sebaliknya yang berdampak buruk. Melihat hal ini, perlu adanya kewaspadaan dari masing masing individu untuk dapat menyaring (filtrasi) setiap budaya asing yang masuk agar supaya tidak berdampak negatif terhadap kebudayaan asli bangsa. Banyaknya kebudayaan asli bangsa yang mulai ditinggalkan atau terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan kurang tertanamnya rasa memiliki dan tidak adanya sikap peduli. Agar supaya rasa memiliki muncul dari dalam diri masing masing, perlu ditanamkan nilai nilai kebudayaan sejak dini. Dan dalam pelaksanaan kebudayaan itu sendiri perlu diberi penjelasan mengenai sejarah budaya tersebut, tujuan dan manfaatnya. Sehingga dengan demikian kebudayaan tersebut akan sulit untuk terpengaruh oleh budaya asing. Kebudayaan asli Bali masih terasa kental. Kebudayaan tersebut merupakan peninggalan dari nenek moyang yang harus dilestarikan dan tidak boleh untuk ditinggalkan, itulah yang menjadi suatu kewajiban dan alasan generasi penerus untuk melestarikannya. Salah satu kebudayaan di Bali yang masih kental dan eksis yang terus dilaksanakan oleh warganya adalah budaya Grebek Mekotek, namun oleh warga setempat sering disebut dengan Mekotek. Budaya

1

Mekotek adalah budaya khas yang ada di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Budaya Mekotek berawal pada masa kejayaan Kerajaan Mengwi (abad ke 17), dimana raja berjanji akan merayakanya apabila memenangkan perang. Leluhur penduduk Desa Munggu terkenal sebagai prajurit Kerajaan Mengwi yang sangat tangguh. Untuk menghormati leluhur mereka sebagai prajurit perang serta untuk mengusir roh - roh jahat dan wabah penyakit, maka setiap sore hari pada Hari Raya Kuningan diadakan sebuah upacara ritual yang disebut dengan Mekotek. Upacara ini dimulai dari pelataran Pura Puseh Munggu kemudian mengitari seluruh wilayah Desa Munggu. Mekotek menggunakan sarana kayu berukuran kurang lebih tiga sampai empat meter beriringan berjalan menuju pura desa yang dimainkan secara bersama-sama untuk merayakan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan). Mendekati areal Pura Desa mereka saling menyatukan tongkat yang mereka genggam dengan cara memukul-mukulkan tongkatnya hingga menyerupai bangunan segi tiga yang menjulang ke langit. Kemudian tongkat yang sudah menyatu itu dibawa berputar - putar hingga akhirnya kembali berpisah. Tidak jarang saat tongkat berpencar, beberapa warga terkena tongkat tersebut. Tapi tidak lantas membuat mereka kesal ataupun marah, melainkan mereka bangkit kembali dengan perasaan senang dan senyum puas. Ritual yang dilaksanakan setiap enam bulan kalender bali ini sudah ada sejak tahun 1934. Namun baru mulai dilestarikan sejak tahun 1946 setelah warga Munggu terbebas dari gerubug atau wabah penyakit. Peringatan Ritual Mekotek harus dilaksanakan bertepatan dengan hari Raya Kuningan, karena itu merupakan pawisik yang didapat oleh Raja Mengwi Cokorda Made Munggu, dan katanya ada pantangan, jika ritual ini tidak dilaksanakan tidak menutup kemungkinan Munggu akan terkena gerubug lagi, sehingga ritual itu masih tetap dilaksanakan hingga sekarang.

2

Sejak awal, Budaya Mekotek merupakan suatu ritual yang hanya boleh diikuti oleh lakilaki saja. Dan dalam budaya ini tidak ada campur tangan perempuan. Ini mungkin ada hubungannya dengan zaman Kerajaan Mengwi. Mekotek sama halnya dengan berperang di zaman dulu. Dimana pasukan Kerajaan Mengwi hanya terdiri dari laki-laki yang kuat dan tangguh, untuk menghadapi serangan serangan yang mengancam kerajaan. Kekerasan sangat jelas terjadi pada saat perang berlangsung, Oleh karena itulah perempuan dianggap kurang sesuai dengan peran dan fungsinya di dalam pasukan Perang Kerajaan. Ini merupakan salah satu bentuk pembedaan atau diskriminasi gender. Perempuan selalu saja dinilai lebih rendah derajatnya dari pada laki-laki. Padahal gender sebenarnya hanya untuk menjelaskan mana perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentuk budaya yang dikontruksikan, dipelajari dan disosialisasikan.

1.2. Rumusan Masalah Budaya Mekotek di Desa Munggu yang dilaksanakan bertepatan dengan perayaan Hari Raya Kuningan, yang dalam prosesi kebudayaan ini hanya dilakukan oleh laki-laki saja. Bagaimanakah Budaya Mekotek dilihat dari perspektif gender ?.

3

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Gender Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelakilakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron&Byrne, 1979). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada norma tradisional dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya diharapkan oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant, asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan ekspresif.

Gender berbeda dengan seks. Seks adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan dilihat secara biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara social, masalah atau isu yang berkaitan dengan peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Biasanya isu gender muncul sebagai akibat suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan gender. (Retno Suharti, 1995). Karena citra ideal itu rekaan budaya, disebut juga sebagai gender, dalam kenyataannya, tidak selalu demikian. Kita tahu ada saja perempuan yang tidak lemah lembut, yang agresif, pencari nafkah, dan de facto sebagai kepala keluaga. (Cermin Dunia Kedokteran No. 145, 2004 38).

2.2. Teori Gender Teori gender adalah teori yang membedakan peran antara perempuan dan laki-laki yang mengakibatkan perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat (Squire 1989). Teori Gender Expectations atau pengharapan akan gender membawa kita untuk lebih

4

memilih laki-laki untuk posisi otoritas dan meletakkan wanita pada peran sub-ordinat atau hanya sebagai pelengkap. Di dalam keluarga, kelompok dan organisasi sosial, pria mempunyai status yang lebih tinggi daripada wanita (Betz & Fitzgerald, 1987; England, 1979; Kanter, 1977; Lovdal, 1989; Needleman & Nelson, 1988; Scanzoni, 1982 dalam Beal & Sternberg, 1999).

Peran status tinggi memerlukan dominansi, kecerdasan, rasionalitas, objektifitas, inisiatif, kepemimpinan, dan penetapan keputusan (Secord, 1982 dalam Beal & Sternberg, 1999).Dalam jumlah, perempuan merupakan mayoritas, ironisnya sebagian besar dari mahluk perempuan ini "tidak terlihat", lebih banyak yang buta huruf, lebih banyak yang menjadi buruh. Kesempatan yang diberikan di bidang pendidikan dan peluang untuk menduduki jabatan eksekutif pada umumnya baru dinikmati oleh segelintir perempuan saja. (Yulfira Raharjo, 1995). Dari teori dan pernyataan para ahli sosial di atas, apabila digabungkan dan dipakai sebagai acuan dalam Budaya Mekotek, maka laki-laki di jaman Kerajaan Mengwi berada pada posisi yang lebih penting dibandingkan dengan perempuan. Perempuan hanya sebagai pelengkap dan dipakai hanya sebagai pembantu di kerajaan. Padahal sebenarnya peran status yang lebih tinggi itu bukan ditentukan oleh siapa yang kuat melainkan siapa yang memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengelola dirinya dengan baik. Dilihat berdasarkan jumlah perempuan tidak akan kalah dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan pada zaman itu sangat kurang mendapatkan kebebasan untuk melakukan sesuatu, termasuk dalam bidang pendidikan. Sehingga perempuan sangat jarang mendapatkan peran yang baik, contohya perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk terpilih menjadi pasukan perang kerajaan.

2.3. Budaya Mekotek Dilihat dari Perspektif Gender Budaya Mekotek di Desa Munggu dalam prosesinya hanya dilakukan oleh laki-laki saja. Hal tersebut dikarenakan pasukan perang Kerajaan Mengwi hanya terdiri dari laki-laki dan tidak ada perempuannya. Ini merupakan suatu bentuk Ketidak-adilan dan Diskriminasi Gender, yang

5

merupakan sistem dan struktur dimana perempuan

menjadi korban dari sistem tersebut.

Ketidakadilan dan Diskriminasi terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk Ketidakadilan yang terjadi atau yang terdapat pada Budaya Mekotek akibat diskriminasi gender terhadap perempuan adalah: a. Marjinalisasi (Peminggiran) Perempuan Marjinalisasi adalah peminggiran hak perempuan. Contoh dalam Budaya Mekotek adalah ketika pemilihan prajurit perang Kerajaan Mengwi, tentunya dipilih laki-laki yang kuat dan tangguh. Dalam hal inilah perempuan akan tersisih dan dialihkan untuk bekerja yang dianggap pantas namun masih tetap dinilai lebih rendah dari laki-laki, seperti menjadi dayang-dayang, selir atau pembantu di kerajaan. b.Sub Ordinasi (Penomorduaan) Sub ordinasi adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Contoh pada Budaya Mekotek adalah lebih diutamakan atau dipentingkannya prajurit perang kerajaan. Baik dari segi makanan, kesehatan dan kenyamanannya dijaga dan diatur dengan baik agar supaya dapat siap dan sigap di dalam mempertahankan kerajaan. Perempuan lebih difungsikan sebagai pelayan prajurit kerajaan. c. Pandangan Stereotype (Pelabelan Negatif) Pelabelan atau penandaan (stereorype) yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenisnya yang melahirkan ketidakadilan bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan dan penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Contoh pada Budaya Mekotek adalah perempuan selalu dianggap lebih rendah dan lemah. Perempuan dianggap malah akan mengganggu bukan membantu prajurit perang pada

6

saat bertempur melawan musuh. Dan perempuan selalu mendapatkan label yang kurang baik bila dibandingkan dengan prajurit perang kerajaan. d. Beban Ganda (Double Burden) Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang harus dijalani oleh salah satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini adalah perempuan. Dimana contoh yang terdapat pada Budaya Mekotek adalah pada saat di kerajaan, perempuanlah yang selalu mendapatkan tugas-tugas berat dalam kerajaan. Seperti melayani prajurit perang dan membersihkan semua lingkungan kerajaan. Oleh karena itulah perempuan dimanfaatkan sebagai pembantu bukan digunakan sebagai prajurit perang kerajaan.

2.4. Kesetaraan dan Keadilan Gender Kesetaraan dan keadilan gender suatu kondisi dimana porsi dan siklus social perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Dalam Budaya Mekotek seharusnya posisi antara laki-laki maupun perempuan harus disejajarkan, tidak lagi perempuan dinilai rendah. Sebenarnya dalam pemilihan prajurit perang, tidak lagi menganggap laki-laki yang layak menjadi prajurit perang. Melainkan yang dipilih adalah siapa yang memiliki kemauan, kemampu dan memiliki jiwa ksatria untuk bertarung baik perempuan ataupun laki-laki. Jika dapat diterapkan ini merupakan bentuk kesetaraan dan keadilan gender. Perempuan juga harus mempunyai kesempatan memilih dan meraih posisi yang sejajar dengan laki-laki. Untuk mewujudkan kondisi ini mau tidak mau kaum perempuan harus sadar bahwa selama ini konsep yang berlaku adalah konsep yang berorientasi gender yang membuat membedakan peran antara perempuan dan laki-laki, padahal konsep ini menghambat kesempatan mereka. Kesadaran kaum perempuan saat ini sangat dibutuhkan untuk dapat meningkatkan

7

derajatnya. Sudah saatnya pula kaum perempuan dapat membuat keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus dibebani konsep gender.

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Mekotek adalah kebudayaan asli Desa Munggu. Pelaksanaannya yaitu bertepatan dengan perayaan Hari Raya Kuningan, yang prosesinya hanya dilakukan oleh laki-laki saja. Dalam kebudayaan ini apabila dipandang dari sudut gender terjadi yang namanya ketidakadilan gender, dimana mengesampingkan hak perempuan. Gender sebenarnya adalah semua atribut sosial mengenai laki-laki dan perempuan, bukan membedakan hak yang wajib diperoleh antara laki-laki dan perempuan.Namun jika melihat teori dan pendapat para ahli social tentang gender adalah banyak sekali adanya penyimpangan yang terjadi dengan definisi gender yang sesungguhnya. Dan bila dikaikat dengan Budaya Mekotek terjadi hal yang sama, perempuan dianggap hanya sebagai pelengkap semata. Budaya Mekotek apabila digali dari proses terbentuknya, maka banyak terjadi diskriminasi perempuan. Bentuk-bentuk ketidakadilan atau diskriminasi yang diterima perempuan adalah marjinalisasi (peminggiran) perempuan, sub ordinasi (penomorduaan), pandangan stereotype (pelabelan negatif) dan beban Ganda (double burden). Perempuan sangat dibatasi ruang dan geraknya. Maka dari itu perlu adanya kesetaraan gender atau kesdilan gender

8

antara perempuan dan laki-laki. Agar perempuan tidak selalu dinilai lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan laki-laki.

Subject: paper revisi Mohon maaf pak made, niki revisi ulang paper saya. Ada perubahan sedikit dalam pembahasan dan kesimpulannya saja. setelah mendapatkan pengarahan dari pak made hari jumat kemaren, saya merasa ada yang perlu saya perbaiki dalam paper saya ini. Semoga pak made tidak bosanbosan untuk membaca dan memberi komentar untuk paper saya ini. Tolong dibalas agar saya mengetahui jika pak made telah menerima paper revisi ini. Terimakasih.

9