MEKANISME OBJEK AGUNAN KREDIT PADA BANK...
Transcript of MEKANISME OBJEK AGUNAN KREDIT PADA BANK...
i
MEKANISME OBJEK AGUNAN KREDIT PADA BANK RAKYAT
INDONESIA DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAHAN DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
Faizal
NIM: 1110048000068
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
iii
ABSTRAK
Pendapatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang hanya bergantung pada gaji bulanan
tidak jarang memaksa mereka untuk mencari sumber pendapatan lain dalam rangka
pemenuhan kebutuhan konsumtifnya. Kredit bank merupakan salah satu solusi
untuk mengatasi hal tersebut dan untuk mendapatkannya dibutuhkan suatu benda
yang dapat menjamin pelunasan kredit tersebut. Jaminan yang digunakan para
Pegawai Negeri Sipil tersebut adalah Surat Keputusan (SK) Pengangkatan mereka
sebagai Pegawai Negeri Sipil. Walaupun Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil
bukan merupakan benda yang memiliki nilai pengoperan, namun dalam praktik
perbankan SK ini dapat diterima sebagai suatu jaminan dalam kredit bank.
Sehingga timbul permasalahan mengenai bagaimana kedudukan Surat Keputusan
Pegawai Negeri Sipil tersebut sebagai jaminan suatu kredit bank mengingat
Pegawai Negeri Sipil dalam pekerjaanya sering mengalami gejolak administrasi
dan kelembagaan yang tidak jarang meningkatkan risiko timbulnya kredit macet
bagaimana prosedur pengikatan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil sebagai
jaminan kredit perbankan, apa saja faktor penyebab terjadinya kredit macet
tersebut, dan bagaimana prosedur dalam menyelesaikan kredit macet tersebut pada
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero). Penulisan skripsi ini menggunakan metode
penelitian normatif yang menggunakan data sekunder. Alat pengumpulan data
dilakukan dengan studi dokumen (document study).
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya
yang mampu menerangi jalan menuju kepada kebenaran sehingga penulis dapat
meyelesaikan skripsi yang berjudul “Mekanisme Objek Agunan Kredit Pada
Bank Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri
Sipil Dilingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta” dengan
baik. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini disusun dalam rangka untuk memenuhi
syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan
terima kasih atas bantuan, bimbingan, dukungan, semangat dan doa, baik langsung
maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, kepada:
1. Kedua Orang Tua, Mama dan Papa yang tidak hentinya melantunkan doa,
mencurahkan kasih sayang dan perhatian untuk meluruhkan segala pikiran
buruk penulis sehingga dapat selalu berfikir positif guna melanjutkan skripsi
ini.
2. Kedua saudara kandung saya, kakak dan adik saya, atas segala kebaikannya
selama ini memberikan bantuan dan menyemangati penulis.
3. Bapak Dr. H. JM Muslimin, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Arip Purqon, S.H.I., M.A. dan Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H. M. Hum.
selaku sekretaris Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2013-1014.
v
6. Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman,S.H,M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan
bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh dosen dan karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
8. Risky Rani Permatasari, yang tidak hentinya memberikan doa, support,
semangat, kisah kasih dan waktu untuk membantu selama penyusunan skripsi
ini.
9. Sahabat - sahabat ilmu hukum, Ahmad Ilham Adha, Galuh Hayu Nastiti, Gerry
Pamungkas,S.H., Ilham Herdinata, Jentel Chairnosia,S.H., Mona Hasinah, M.
Iqrom, Septian Ardiansah dan yang lainnya yang selalu memberikan bantuan,
semangat dan doa serta memberikan cerita persahabatan selama masa
perkuliahan.
10. Semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu atas bantuannya
dalam terselesainya penyusunan skripsi ini. Semoga amal kebaikan kalian
semua dapat dibalas oleh Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 23 Januari 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................ i
Persetujuan Pembimbing ......................................................................................... ii
Lembar Pengesahan Penguji .................................................................................. iii
Lembar Pernyataan ................................................................................................. iv
Abstrak........................................................................................................................ v
Kata Pengantar ......................................................................................................... vi
Daftar Isi .................................................................................................................. viii
Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 1
A.Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................................ 5
1.Pembatasan Masalah ............................................................................... 5
2.Perumusan Masalah ................................................................................ 5
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 6
1.Tujuan Penelitan ..................................................................................... 6
2.Manfaat Penelitian .................................................................................. 6
D.Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................................ 7
E.Kerangka Teoritis dan Konseptual ............................................................. 9
1.Kerangka Teoritis.................................................................................... 9
2.Kerangka Konseptual............................................................................ 11
vii
F.Asumsi........................................................................................................ 13
G.Metode Penelitian ..................................................................................... 14
H.Sistematika Penulisan ............................................................................... 17
Bab II Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 19
A.Tinjauan Umum Bank .............................................................................. 19
1.Pengertian Bank .................................................................................... 19
2.Asas, Fungsi dan Tujuan Bank............................................................. 19
3.Prinsip Penilaian terhadap Pemberian Kredit Perbankan ................... 21
4.Dasar Hukum Kredit Bank ................................................................... 22
B.Pengertian dan unsur-unsur Kredit .......................................................... 26
C.Tujuan dan Fungsi Kredit ......................................................................... 28
D.Jenis-Jenis Kredit Dan Jaminan Kredit ................................................... 31
E.pihak pihak dalam perjanjian kredit ......................................................... 33
F.Syarat Sahnya Perjanjian kredit ................................................................ 34
G.Kredit Macet.............................................................................................. 35
Bab III Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja Dan Surat Keputusan
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (SK PNS) .................................... 38
A.Pengertian Perjanjian Kerja...................................................................... 38
B.Syarat Sahnya Perjanjian Kerja. ............................................................... 39
C.Jenis-Jenis Perjanjian Kerja...................................................................... 41
1.Perjanjian kerja untuk waktu tertentu. ................................................. 41
viii
2.Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu......................................... 42
D.Kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja ......................................... 43
1.Kewajiban pekerja. ............................................................................... 43
2.Kewajiban pengusaha. .......................................................................... 46
E.Surat keputusan pengangkatan pegawai negeri sipil............................... 50
1.Pengertian pegawai negeri ..................................................................... 50
2.Jenis-jenis pegawai negeri ..................................................................... 51
3.Tugas dan fungsi pegawai negeri sipil .................................................. 53
Bab IV Tinjauan Yuridis Sk Pns Sebagai Objek Jaminan Kredit Perbankan.
........................................................................................................................ 60
A.Jaminan berupa surat keputusan pengangkatan pegawai negeri sipil. .. 61
B.Syarat-syarat wanprestasi bagi debitur bank ........................................... 66
1.kredit macet disebabkan karena instansi tempat debitur bekerja
dilebur. ................................................................................................... 67
2.kredit macet disebabkan karena bendahara gaji. ................................. 69
3.kredit macet disebabkan karena pensiun atau pensiun dini. ............... 70
C.Penyelesaian kredit macet ........................................................................ 76
1.tindakan yang diambil dalam menghadapi debitur yang wanprestasi 76
2.pertanggungan ganti rugi oleh pihak ketiga. ....................................... 77
3.penyelesaian melalui panitia urusan piutang negara (pupn). ............. 83
4.penyelesaian melalui pengadilan negeri. ............................................. 86
5.penjualan lelang .................................................................................... 88
ix
Bab V Penutup ......................................................................................................... 90
A.Kesimpulan................................................................................................ 90
B.Saran. ......................................................................................................... 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam
kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.1
Untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomian dan untuk
meningkatkan taraf hidup, hampir semua masyarakat telah menjadikan
kegiatan pinjam meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan. Dari
masyarakat yang ekonominya rendah, sampai kepada masyarakat yang
ekonominya mapan, dan dari berbagai latar belakang kedudukan sosial,
pendidikan, dan pekerjaan.
Meningkatnya kebutuhan akan jasa perbankan yang telah berkembang
pesat, maka landasan gerak perbankan yang ada dirasakan sudah saatnya
diadakan penyesuaian agar mampu menampung tuntutan pengembangan jasa
perbankan. Kemajuan yang dialami oleh lembaga perbankan dapat
ditingkatkan secara berkelanjutan dan benar-benar dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi pelaksanaan pembangunan nasional, dan untuk
menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, sehingga segala potensi,
inisiatif dan kreasi masyarakat dapat dikerahkan dan dikembangkan menjadi
suatu kekuatan riil bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Sejalan dengan
1 M.Bahsan, “Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia”, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007) h. 23.
2
kemajuan tersebut, usaha perbankan tumbuh menjadi bisnis yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi di Indonesia. Beraneka ragam jasa-
jasa perbankan serta semakin tingginya tingkat kemajuan teknologi dan
fasilitas yang juga diberikan dunia perbankan. Jasa pelayanan (services) yang
diberikan kepada masyarakat tersebut dapat mendukung laju pertumbuhan
perekonomian.
Kegiatan penyaluran kredit secara umum membutuhkan adanya
jaminan utang atau yang disebut jaminan kredit (agunan)2. Agunan yang
dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian kredit yaitu agunan berupa
benda yang menurut hukum digolongkan sebagai barang tidak bergerak seperti
tanah dan bangunan. Benda yang menurut hukum digolongkan sebagai barang
bergerak seperti kendaraan bermotor yang dilengkapi dengan Surat Tanda
Nomor Kendaraan (STNK) dan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB),
agunan berupa surat-surat berharga maupun surat-surat yang berharga yang di
dalamnya melekat hak tagih, seperti: saham, efek, Surat Keputusan
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (SK PNS) atau berupa Surat Keputusan
Pensiun PNS, dan lain sebagainya.3 Walaupun SK PNS bukan merupakan
benda yang dapat dipindahtangankan (yang mempunyai nilai pengalihan),
tetapi perkembangan dalam praktik perbankan yang melihat sisi ekonomis pada
surat tersebut menjadikannya dapat diterima oleh beberapa bank sebagai
2 Satrio, “Hukum Jaminan, Hukum Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan”, (PT Citra
Aditya Bakti Bandung, 1997) hal. 26.
3 Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad. “Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia”. (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000) hal. 32.
3
jaminan kredit. Namun apakah SK PNS yang bersangkutan yang dijadikan
sebagai jaminan kredit Bank itu dapat memperkecil risiko timbulnya kerugian
yang akan dialami bank mengingat bahwa SK tersebut tidak dapat dialihkan
sehingga akan menimbulkan kesulitan terhadap pihak bank untuk dapat
melakukan eksekusi apabila terjadi kredit macet dalam masa pelunasan atas
kredit dimaksud. Dari praktik perbankan, sering kita liat adanya penjualan
(pencairan) objek jaminan kredit yang dilakukan untuk melunasi kredit macet
pihak peminjam. Hal tersebut perlu dilakukan bank untuk memperoleh kembali
pelunasan dana yang dipinjamkan karena pihak peminjam tidak memenuhi
kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit. Hasil penjualan
jaminan kredit tersebut dapat digunakan untuk melunasi utang pihak peminjam
kepada bank sehingga diharapkan dapat meminimalkan kerugian bank. Jadi,
bisa dikatakan, jaminan kredit berfungsi sebagai pengamanan pengembalian
dana bank yang disalurkannya kepada pihak peminjam. Selain itu, jaminaan
kredit juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan kesungguhan pihak
peminjam untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan
sehingga akan dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan karedit yang
mungkin saja tidak diinginkan pihak peminjam karena nilai (harga) jaminan
kredit pada umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang pihak
peminjam kepada bank.4 Dalam hukum jaminan, benda atau objek jaminan
mempunyai syarat-syarat.
4 M.Bahsan, “Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia”, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007) Hal. 15.
4
Dengan uraian di atas maka Surat Keputusan PNS memungkinkan
masuk kategori surat yang berharga, karena tanpa SK tersebut seorang PNS
tidak dapat bekerja dan tidak dapat memperoleh haknya sebagai PNS. Dalam
pelaksanaannya hampir seluruhnya atau setidaknya kurang lebih 90% Pegawai
Negri Sipil menjaminkan Surat Keputusannya namun tidak mengetahui apa
yang akan terjadi jika para Pegawai tersebut melakukan cidera janji atau
wanprestasi. Banyak pula yang masih mempertanyakan, bisakah Surat
Keputusan tersebut di eksekusi apabila seorang penjamin tidak mampu
memenuhi kewajibannya. di Indonesia SK PNS tidak termasuk dalam jaminan
kebendaan maupun jaminan perorangan, tetapi termasuk sebagai hak istimewa
(prevelege) yang wujudnya dapat berupa ijasah, Surat Keputusan (SK), Surat
pensiun dan lain-lain.5 Sehingga dalam perkreditan di Indonesia SK PNS dapat
dijadikan sebagai jaminan kredit. Apabila terjadi wanprestasi, yang dapat
disebabkan antara lain karena meninggal dunia, mengundurkan diri. berarti
secara otomatis juga menyebabkan berakhirnya keanggotaan sebagai Pegawai
Negeri Sipil beserta hak istimewanya, maka bank akan sulit untuk
mengeksekusi, karena SK PNS bukan benda yang dapat diperjual belikan
sehingga tidak bisa dieksekusi secara langsung.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan tersebut melalui penelitian dalam bentuk skripsi yang berkaitan
dengan kredit perbankan dengan judul: “Mekanisme Objek Agunan Kredit
5 J. Satrio, “Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan”, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993), Hal.11.
5
Pada Bank Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai
Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta ”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait hukum jaminan
dan perbankan maka penelitian ini difokuskan mengkaji tentang mekanisme
seorang Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan kredit pinjaman
menggunakan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil sebagai objek jaminan
di Bank Rakyat Indonesia serta langkah-langkah bank sebagai kreditur
dalam menangani kredit bermasalah atau kredit macet.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah mekanisme perjanjian kredit dengan jaminan Surat
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil ?
b. Bagaimanakah langkah yang akan dilakukan Bank Rakyat Indonesia
dalam penyelesaian kredit macet jika Pegawai Negeri Sipil yang
menjaminkan Surat Keterangannya wanprestasi?
c. Bagaimanakah upaya hukum kreditur jika Pegawai Negeri Sipil yang
menjaminkan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil mengalami
pemutusan hubungan kerja?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitan
a. Untuk mengetahui mekanisme perjanjian kredit dengan menggunakan
jaminan Surat Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil.
b. Untuk mengetahui langkah-langkah yang akan dilakukan Bank selaku
kreditur dalam penyelesaian kredit macet apabila Pegawai Negeri Sipil
wanprestasi.
c. Untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan oleh Bank selaku
kreditur ketika debitur wanprestasi yang disebabkan pemutusan
hubungan kerja antara debitur yang menjaminkan Surat Keputusan
Pegawai Negeri Sipil dengan instansinya.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yakni
manfaat teoretis dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Manfaat Teoretis
1) Manfaat penelitian yang bersifat teoretis diharapkan bahwa hasil
penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran baru di bidang
hukum perdata terutama hukum perbankan perihal penyelesaian
kredit macet dalam perjanjian kredit perbankan.
7
2) Salain itu, hasil penelitian ini akan memberikan informasi
mengenai alternatif konsep yang lebih baik dalam pola pemberian
kredit lunak kepada Pegawai Negeri Sipil.
b. Manfaat Praktis
1) Manfaat penelitian yang bersifat praktis yaitu hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan
bagi kalangan birokrat, akademisi, praktisi dan bankir dalam
menyelesaikan kredit macet sehubungan dengan perjanjian kredit
perbankan.
2) Di samping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
mengungkap berbagai kendala yang timbul dalam perjanjian kredit
Pegawai Negeri Sipil, khususnya mengenai penyebab timbulnya
kredit macet.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian dengan judul “Mekanisme Objek Agunan Kredit Pada Bank
Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Di
Lingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta” yang diketahui
berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil penelitian hukum, khususnya di
Lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, belum pernah dilakukan. Namun demikian terdapat
beberapa judul penelitian yang terkait dengan judul skripsi penulis melalui
penelitian yang dilakukan sebelumnya, yaitu:
8
1. Jefri Lumbantobing, dengan judul skripsi Tinjauan Yuridis Terhadap
Penyelesaian Kredit Macet Dalam Perjanjian Kredit Perbankan Dengan
Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi pada
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Lubuk Pakam);
2. Fitria Dewi Purnamasari, dengan judul tesis Pelaksanaan Perjanjian Kredit
Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Di
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Salatiga.
Akan tetapi, variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini seperti
perumusan masalah, metode pendekatan, maupun lokasi penelitian berbeda.
Walaupun ada pendapat melalui kutipan dalam penulisan ini, semata-mata
adalah sebagai faktor pelengkap dalam usaha menyelesaikan penelitian,
karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan dalam penulisan. Jadi
penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,
rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat di pertanggung
jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Dalam kedua skripsi diatas, perbedaan terhadap karya penulis saat ini
adalah pembahasan serta pendekatannya. Dimana pembahasan yang saat ini
penulis fokuskan adalah tindakan pidana yang dilakukan oleh debitur
terhadap kreditur dimana penulis menjelaskan apa saja tindak perlawanan
hukum yang dilakukan debitur dan apa saja langkah yang ditempuh oleh
kreditur.
9
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Asas, Fungsi, dan Tujuan Bank
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian. Bank memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat, karena bank merupakan intisari dari sistem keuangan negara.
Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi
perusahaan, lembaga pemerintah, swasta, maupun perorangan untuk
menyimpan dananya, baik melalui kegiatan perkreditan atau jasa
perbankan yang lainnya. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta
melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor
perekonomian sehingga dengan demikian besar andilnya bagi peningkatan
laju pertumbuhan nasional suatu negara.6
Dipandang dari peranan ekonominya, bank menurut Ruddy Tri
Santoso, menjalankan 4 fungsi pokok yaitu fungsi tabungan, pembayaran,
pinjaman, dan fungsi uang.7 Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 menyatakan, bahwa fungsi perbankan Indonesia adalah
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Hal ini berarti bahwa
6 Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta : STIE Perbanas, 1999), hal 15
7 Ruddy, Tri Santoso, Kredit Usaha Perbankan, (Yogyakarta, 1996), hal 2
10
kehadiran bank sebagai salah satu badan usaha tidak semata-mata
bertujuan bisnis, namun juga untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berkenaan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan,
maka fungsi bank mengalami perluasan guna memenuhi keperluan
masyarakat. Bank selaku finance company, akhirnya juga berperan sebagai
supporting financial yang mengarah kepada fee based income dan jasa
konsultasi keuangan.8
Tujuan bank menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 disebutkan, bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Kerangka Konseptual
Usaha Perbankan
Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, maka usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh bank meliputi:9
8 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung : Mandar Maju Jaya, 2000), hal 2
9 Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 2003), hal. 62
11
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menerbitkan surat pengakuan hutang.
4. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah.
5. Menempatkan dana pada, meminjam dari, atau meminjamkan dana
kepada bank lain.
6. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
7. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
8. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak.
9. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
10. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian
dalam hal debitor tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada
bank, dengan ketentuan agunan yangdibeli tersebut wajib dicairkan
secepatnya.
12
11. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit ddan kegiatan
wali amanat.
12. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, meyediakan
pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip
Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
13. Melakukan kegiatan yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain
melakukan kegiatan usaha tersebut di atas, bank umum dapat pula:10
a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
b. Melakukan kegiatan dalam penyertaan modal.
c. Melakukan kegiatan dalam penyertaan modal sementara untuk
mengatasi akibat kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya dengan memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun,
sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pension
yang berlaku.
10
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 2003), hal. 62
13
F. Asumsi
Asumsi adalah anggapan tentang suatu masalah atau fakta yang
sudah mengandung kebenaran tanpa melakukan pembuktian. Dengan kata
lain masalah yang dipaparkan dalam asumsi tidak perlu lagi diuji
kebenarannya, hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan
“Anggapan dasar adalah suatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti
yang akan berfungsi sebagai hal yang dipakai untuk tempat berpijak dalam
melaksanakan penelitiannya”. Anggapan dasar adalah suatu titik tolak
pemikirannya diterima oleh penyelidik. Dalam penelitian yang berjudul
“Mekanisme Objek Agunan Kredit Pada Bank Rakyat Indonesia Dengan
Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta” penulis mengemukakan
asumsi sebagai berikut:
1. Objek Agunan haruslah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak
tanggunang atau bersifat jelas, dapat dialaihkan atau dipindah
tangankan dan mempunyai nilai ekonomis
2. Undang-Undang pokok perbankan mengisyaratkan bahwa dalam
pemberian kredit harus didasarkan pada keyakinan bank atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya
sesuai perjanjian.
3. Pegawai Negeri Sipil unsur utama sumber daya manusia yang
mempunyai peranan yang menentukan keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
14
G. Metode Penelitian
Metodologi dalam suatu penelitian berfungsi sebagai sarana
berbentuk tertulis yang berisi tentang cara bagaimana pendekatan masalah
yang digunakan, sumber bahan hukum yang terkait, metode penggumpulan
data serta teknik analisa data. Berdasarkan pendapat Bambang Sunggono
terhadap penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan
bukan hanya sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang
mudah terpegang, di tangan.11
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Hukum Normatif Empiris.
Penelitian Hukum Normatif adalah metode penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 12
1. Tipe penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis
dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan
konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.
11
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2009), hal. 27.
12 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Rajawali Pers,Jakarta, 2001), hal. 13
15
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala
yang bersangkutan.
2. Pendekatan Masalah
Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang
bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menanalisis peraturan
hukum.13
Dengan menggunakan sifat deskriptif, maka peraturan
hukum dalam penelitian dapat dengan tepat digambarkan dan
dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Bahan
Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
13
Peter M Marzuki. Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011). hal. 96.
16
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan.
Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan nonhukum dapat berupa
buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat,
Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-
hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan peneliti.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-
hukum yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan
rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber dan
hierarkinya.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan
17
hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang
akhirnya akan diketahui tinjauan hukum jaminan di Indonesia.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab
terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti.
Adapun perinciannya sebagai berikut:
Bab. I : Merupakan Bab Pendahuluan, yang terdiri dari: latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab. II : Bab ini terdiri dari beberapa pembahasan yaitu tentang
pengertian, fungsi dan penilaian kredit perbankan.
Bab. III : Merupakan bab. Penjelasan tentang perjanjian kerja dan
membahas tentang Surat Keputusan Pegwai Negeri Sipil.
Bab IV : Bab ini membahas tentang Surat Keputsan Pegawi Negeri
Sipil sebagai jaminan kredit pada perusahaan perbankan.
Serta langkah-langkah yang ditempuh pihak Bank apabila
debitur wanprestasi
Bab V : Bab yang membahas kesimpulan dari penulisan karya tulis
ini serta saran-saran.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Bank
1. Pengertian Bank
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.14
Dari pengertian diatas maka tujuan bank harus terarah, tidak
semata-mata hanya memutarkan uang untuk mencari keuntungan.
Tetapi, bank harus mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat
sesuai dengan pasal 1 undang-undang perbankan tahun 1992. Oleh
karena itu dalam kegiatan perbankan sehari-hari bank tidak boleh
terlepas dari kegiatan pembangunan, setiap kegiatan bank harus
berguna bagi kepentingan masyarakat.
2. Asas, Fungsi dan Tujuan Bank
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Bank memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat, karena bank merupakan intisari dari
sistem keuangan negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang
14
Supramono, Gatot “Perbankan dan Masalah Kredit” (Jakarta:Djambatan, 1996), hal. 2
19
menjadi tempat bagi perusahaan, lembaga pemerintah, swasta,
maupun perorangan untuk menyimpan dananya, baik melalui kegiatan
perkreditan atau jasa perbankan yang lainnya. Bank melayani
kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem
pembayaran bagi semua sektor perekonomian, sehingga dengan
demikian besar andilnya bagi peningkatan laju pertumbuhan nasional
suatu negara. Dipandang dari peranan ekonominya, bank menurut
Ruddy Tri Santoso, menjalankan 4 fungsi pokok yaitu fungsi
tabungan, pembayaran, pinjaman, dan fungsi uang.15
Menurut Pasal 3
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan, bahwa fungsi
perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat. Hal ini berarti bahwa kehadiran bank sebagai salah satu
badan usaha tidak semata-mata bertujuan bisnis, namun juga untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan, maka fungsi bank mengalami
perluasan guna memenuhi keperluan masyarakat. Bank selaku finance
company, akhirnya juga berperan sebagai supporting financial yang
mengarah kepada fee based income dan jasa konsultasi keuangan.
Tujuan bank menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
disebutkan, bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan
15
Ruddy, Tri Santoso. Kredit Usaha Perbankan. (Yogyakarta. 1996), hal. 15
20
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan masyarakat.16
3. Prinsip Penilaian terhadap Pemberian Kredit Perbankan
Prinsip penilaian atau analisis kredit dilakukan secara cermat
dan teliti dengan senantiasa memerhatikan atau berpedoman pada
ketentuan yang berlaku yang mencakup analisis kuantitatif dan
analisis kualitatif. Penilaian setiap permohonan kredit sangat
tergantung pada faktor-faktor pokok mengenai kredit, seperti jenis
usaha, sektor ekonomi, tujuan penggunaan kredit, jumlah kredit, dan
faktor lain sejenisnya. Pada praktik perbankan nasional, prinsip dasar
dalam menganalisis kredit dengan mengacu pada faktor-faktor
tersebut di atas lazim dikenal dengan “Prinsip 5C (The 5C’s
Principles)”. Pentingnya penerapan prinsip-prinsip inilah yang
menjadikan keenam prinsip ini sebagai „jaminan awal‟ debitur untuk
dipertimbangkan agar memeroleh kredit yang sebagaimana
dimohonkan kepada pihak bank.
Dalam undang-undang perbankan 1967 jenis bank dapat
dibedakan dari segi fungsi dan segi kepemilikannya. Dari segi fungsi
ada 4 jenis bank yaitu Bank Sentral, Bank Umum, Bank Tabungan
dan Bank Pembangunan. Sedangkan dilihat dari kepemilikannya
16
Rahmadi Halim, “Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi Penelitian di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Tbk, Cabang Lumajang)”, Tesis 2006.
21
terdapat 3 macam, yaitu Bank Milik Negara, Bank Koperasi dan Bank
Swasta.
Namun pada Undang-undang yang baru, Undang-undang
Perbankan tahun 1992, jenis bank hanya dilihat dari segi fungsinya
saja. Dimana hal ini diatur dalam pasal 5 ayat (1), yang terdiri dari :17
a. Bank Umum, yaitu bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran (pasal 1 butir 2).
b. Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang menerima simpanan
hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan/atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (pasal 1 butir 3).
4. Dasar Hukum Kredit Bank
Pengaturan perbankan pada masa awal kemerdekaan Republik
Indonesia, dimulai ketika dilakukan nasionalisasi perusahaan
perbankan kolonial yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap De
Javasche Bank N.V., yang mana bank ini merupakan bank sentral
yang bersifat pertikelir dan merupakan milik pemerintahan kolonial
Hindia Belanda sebagai pemodal. Nasionalisasi ini dilakukan oleh
Pemerintah dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. pada
tanggal 15 Desember 1951. Pengundangan UU ini menjadi sejarah
terhadap pengambilalihan bank sentral dari tangan pemerintahan
kolonial Hindia Belanda ke tangan Pemerintah Republik Indonesia
17
Supramono, Gatot “Perbankan dan Masalah Kredit” (Jakarta:Djambatan, 1996) hal.2
22
sekaligus awal dimana Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan
berdaulat memiliki bank sentral yang bersifat nasional. Sebagaimana
judul undang-undang tersebut, dalam undang-undang tersebut hanya
mengatur hal-hal terkait dengan perubahan nama, pengambilalihan
saham dan modal, dan hal teknis lainnya dalam melaksanakan
nasionalisasi De Javasche Bank N.V. tersebut menjadi Bank
Indonesia. Oleh karenanya, dalam undang-undang ini tidak ada
mengatur bahkan menyebut mengenai kredit bank yang merupakan
kegiatan usaha perbankan yang diawasi oleh Bank Indonesia sebagai
bank sentral. Pasca nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Republik Indonesia terhadap De Javasche Bank N.V., pada tanggal 2
Juni 1953 Pemerintah kembali mengesahkan dan mengundangkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-
Undang Pokok Bank Indonesia. Dalam undang-undang ini diatur
mengenai tugas, pengurus, neraca, laba, dan hal pokok lainnya terkait
Bank Indonesia. Pada undang-undang ini, kata-kata kredit telah
disebutkan pada Pasal 7 ayat (3) sampai dengan ayat (5), Pasal 7 ayat
(5) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 ini memerintahkan agar
Pemerintah segera membentuk suatu peraturan pemerintah yang
mengatur tentang pengawasan terhadap urusan kredit secara khusus.
Dan dengan didasari ayat (5) tersebut, maka pada tangga l 4 Februari
1955 diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955
tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit yang kemudian
23
mengalami perubahan dan penambahan beberapa pasal dengan
pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955
tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit pada tanggal 2 Mei 1964.
Kemudian pada tahun 1966 tepatnya pada tanggal 5 Juli 1966,
ditetapkanlah Ketetapan MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang
Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan yang memerintahkan untuk dilakukannya perbaikan
kemerosotan perekonomian negara yang disebabkan oleh tata kelola
negara yang salah serta pemberontakan gerakan kontra revolusi
G.30.S/PKI dan juga penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Salah satu target pembaharuan kebijaksanaan landasan
ekonomi, keuangan, dan pembangunan dalam Tap MPRS tersebut
adalah sektor perbankan, sebagaimana Pasal 55 yang berbunyi:
“Dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya
dan pengawasan serta penyehatan tata perbankan pada khususnya,
maka segera harus ditetapkan Undang-Undang Pokok Perbankan dan
Undang-Undang Bank Sentral.”
Atas perintah Tap MPRS ini terutama Pasal 55 tersebut, maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan pada tanggal 30 Desember 1967 dan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral pada
tanggal 7 Desember 1968. Kredit perbankan dalam undang-undang
24
perbankan mulai mendapat perhatian yang terlihat pengaturannya
dalam UU ini yakni pada Bab V mengenai Usaha-Usaha Perbankan;
Pasal 23 sampai Pasal 25 untuk kredit yang diberikan oleh Bank
Umum; Pasal 26 sampai Pasal 27 untuk kredit yang diberikan oleh
Bank Tabungan; serta Pasal 28 dan Pasal 29 untuk kredit yang
diberikan oleh BankPembangunan.
Pada Bab V ini, jumlah kredit yang dapat dapat diberikan oleh
masing-masing bank tersebut harus berdasarkan ketetapan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercamtum pada Pasal
25 ayat (1) untuk Bank Umum, Pasal 27 untuk Bank Tabungan, dan
Pasal 29 ayat (2) untuk Bank Pembangunan. Hal ini mengandung arti
bahwa Bank Indonesia memiliki tugas sekaligus kewenangan untuk
menetapkan jumlah atau besaran kredit yang dapat diberikan oleh
bank-bank yang telah disebutkan itu. Dengan demikian pada masa
berlakunya Undang-Undang Pokok-Pokok Perbankan ini, Bank
Indonesia memiliki tugas dan kewenangan hanya sebatas penetapan
jumlah kredit yang dapat diberikan oleh bank dimaksud.
Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional
yang senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan
yang semakin luas, mendorong dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan tujuan agar
perbankan nasional dapat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya
kepada masyarakat guna menunjang pelaksanaan pembangunan
25
nasional. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undamg-
Undang Pokok-Pokok Perbankan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi, termasuk mengenai pengaturan kredit perbankan.
Sehingga kredit sebagai kegiatan usaha perbankan dijalankan
berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Ketiadaan regulasi yang mengatur
tentang kredit perbankan secara khusus menyebabkan pengaturan
kredit tersebut bergantung kepada UU perbankan sebagai lembaga
penyalur kredit perbankan itu sendiri.
Hingga kini, yang menjadi dasar hukum pemberian kredit
perbankan di Indonesia yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Bank Indonesia dimana peraturan pelaksana
kredit secara teknis diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan lebih
lanjut diatur dalam peraturan masing-masing bank.
B. Pengertian dan unsur-unsur Kredit
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
26
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.18
Dari pengertian di atas dapatlah dijelaskan bahwa kredit dapat
berupa uang atau tagihan yang nilainya di ukur dengan uang, misalnya
bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil. Kemudian
adanya kesepakatan antara bank (kreditur) dengan nasabah penerima
kredit (debitur), bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang
telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban
masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan
bersama. Demikian pula dengan masalah sanksi apabila si debitur ingkar
janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu
fasilitas kredit adalah sebagai berikut:
1. Kepercayaan
Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan
(berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali di
masa tertentu di masa datang.19
2. Kesepakatan
Di samping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur
kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit.
18
Kasmir, “Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya” (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
2011), hal. 96.
19 Kasmir, “Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya” (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
2011), hal. 98.
27
Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-
masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
3. Jangka Waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka
waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati.
Jangka waktu tersebut bias berbentuk jangka pendek, jangka menengah
atau jangka panjang.
4. Risiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu
risiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang
suatu kredit semakin besar risikonya demikian pula sebaliknya. Risiko
ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah
yang lalai, maupun oleh risiko yang tidak disengaja.
5. Balas Jasa
Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut
yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga
dan biaya administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank.
Sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah balas jasanya
ditentukan dengan bagi hasil.
C. Tujuan dan Fungsi Kredit
Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai tujuan tertentu. Tujuan
pemberian kredit tersebut tidak akan terlepas dari misi bank tersebut
28
didirikan. Adapun tujuan utama pemberian suatu kredit adalah sebagai
berikut:
1. Mencari keuntungan
Yaitu bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut.
Hasil tersebut terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank
sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan
kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup
bank. Jika bank yang terus menerus menderita kerugian, maka besar
kemungkinan bank tersebut akan dilikuidasi (dibubarkan).
2. Membantu usaha nasabah
Tujuan lainnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang
memerlukan dana, baik dan investasi maupun dana untuk modal kerja.
Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan
dan memperluaskan usahanya.
3. Membantu pemerintah
Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak
perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit
berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor.
Kemudian disamping tujuan di atas suatu fasilitas kredit memiliki
fungsi sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan daya guna uang
Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya
jika uang hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang
29
berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna
untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit.
2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari
satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah yang
kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan
memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.
3. Untuk meningkatkan daya guna barang
Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh si debitur
untuk mengolah barang yang tidak berguna menjadi berguna atau
bermanfaat.
4. Meningkatkan peredaran barang
Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu
wilayah ke wilayahh lainnya sehingga jumlah barang yang beredar dari
satu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula
meningkatkan jumlah barang yang beredar.
5. Sebagai alat stabilitas ekonomi
Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi
karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah
barang yang diperlukan oleh masyarakat. Kemudian dapat pula kredit
membantu dalam mengekspor barang dari dalam negeri ke luar negeri
sehingga meningkatkan devisa negara.
30
6. Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan, akan semakin baik, terutama
dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk
membangun pabrik, maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga
kerja sehingga dapat pula mengurangi pengangguran, Di samping itu,
bagi masyarakat sekitar pabrik juga akan dapat meningkatkan
pendapatannya seperti membuka warung atau menyewa rumah
kontrakan atau jasa lainnya.
7. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha
Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan
berusaha, apalagi bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan.
8. Untuk meningkatkan hubungan internasional
Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling
membutuhkan antara si penerima kredit dengan si pemberi kredit.
Pemberian kredit oleh negara lain akan meningkatkan kerja sama di
bidang lainnya.
D. Jenis-Jenis Kredit Dan Jaminan Kredit
Kredit yang diberikan bank umum dan bank perkreditan rakyat
untuk masyarakat terdiri dari berbagai jenis. Secara umum jenis-jenis
kredit antara lain sebagai berikut:
a. Kredit Investasi
Biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau
membangun proyek/pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi.
31
b. Kredit modal kerja
Digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam
operasionalnya.
Seperti sudah dibahas diatas bahwa kredit dapat diberikan dengan
jaminan atau tanpa jaminan. Kredit tanpa jaminan sangat membahayakan
posisi bank, mengingat jika nasabah mengalami suatu kemacetan, maka
akan sulit untuk menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan.
Sebaliknya dengan jaminan kredit relatif lebih aman mengingat setiap
kredit macet akan dapat di tutupi oleh jaminan tersebut.
Adapun jaminan yang dapat dijadikan jaminan kredit oleh calon
debitur adalah sebagai berikut:
1. Dengan jaminan
a. Jaminan benda berwujud, yaitu barang-barang yang dapat dijadikan
jaminan seperti tanah, bangunan, kendaraan bermotor, mesin-
mesin/peralatan, barang dagangan, tanaman/kebun/sawah dan
lainnya.
b. Jaminan benda tidak berwujud yaitu benda-benda yang merupakan
surat-surat yang dijadikan jaminan seperti sertifikat saham, sertifikat
obligasi, sertifikat tanah, sertifikat deposito, rekening tabungan yang
dibekukan, rekening giro yang dibekukan, promes, wesel dan surat
tagihan lainnya.
32
c. Jaminan orang
Yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang dan apabila kredit
tersebut macet, maka orang yang memberikan jaminan itulah yang
menanggung risikonya.
2. Tanpa Jaminan
Kredit tanpa jaminan maksudnya adalah bahwa kredit yang diberikan
bukan dengan jaminan barang. Biasanya diberikan untuk perusahaan
yang benar-benar bonafit dan profesional sehingga kemungkinan kredit
tersebut macet sangat kecil. Dapat pula kredit tanpa jaminan hanya
dengan penilaian terhadap prospek usahanya atau dengan
pertimbangan untuk pengusaha-pengusaha ekonomi lemah.
E. pihak pihak dalam perjanjian kredit
Dalam suatu perjanjian kredit terdapat 2 (dua) pihak yaitu pemberi
kredit (bank) dan penerima kredit. Adapun kriteria dari kedua pihak
tersebut adalah sebagai berikut:20
a. Pihak Pemberi Kredit (Bank)
Pemberi kredit ini dapat dilakukan oleh bank pemerintah dan bank
swasta. Dalam Pasal 1 sub 2 Undang-undang No. 10 tahun 1998
dinyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka
20
Jatmiko Winarno, ”SK Pegawai Negeri Sebagai Jaminan Kredit di Bank” Jurnal Karya
Pendidikan Vol 1 No.2 Juni 2013.
33
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Didalam akta perjanjian kredit
bank yang pada umumnya mengatur mengenai hak dan kewajiban bank
namun didalam kenyataan yang lebih menonjol adalah ketentuan
mengenai hak dibanding dengan ketentuan mengenai kewajiban dari
bank, karena dalam hal ini perjanjian hanya ditentukan secara sepihak
oleh pemberi kredit.
b. Pihak Penerima Kredit
Dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 pasal l ayat 18 terdapat
adanya pengertian penerima kredit/nasabah debitur adalah nasabah
yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank
dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam Pasal 1 ayat 12 Undang-
undang No. 10 tahun 1998 menyatakan bahwa penerima kredit
mempunyai kewajiban pokok melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu, dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan.
F. Syarat Sahnya Perjanjian kredit
Untuk syahnya perjanjian harus memenuhi 4 (empat) unsur seperti
yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu hal tertentu,
4. Suatu sebab yang halal.
34
Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyektif atau pihak-
pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subyektif,
sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena
mengenai syarat obyek perjanjian. Dalam hal ini harus dibedakan antara
syarat subyektif dan syarat obyektif, sebab dalam syarat obyektif jika
syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian ini batal demi hukum artinya
dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada
suatu perikatan, jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian bukan batal
demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta
supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan
adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya
tidak bebas. Perjanjian demikian dinamakan Voidable.
G. Kredit Macet
Dalam prosesnya nasabah-nasabah yang memperoleh kredit dari
bank tidak seluruhnya dapat mengembalikan dengan baik tepat pada
waktuya, sebagian nasabah tidak bisa mengembalikan kredit kepada bank
yang telah meminjamnya. Akibat nasabah tidak dapat membayar lunas
utangnya, maka perjalanan kredit terhenti atau macet.
Keadaan yang demikian dalam hukum perdata disebut wanprestasi
atau ingkar janji. Sebagaimana telah diketahui bahwa kredit merupakan
35
perjanjian pinjam uang, maka debitur yang tidak dapat membayar lunas
utangnya setelah jangka waktunya habis, adalah wanprestasi.21
Dalam kredit macet ada beberapa faktor yang mempengaruhinya,
antara lain :
1. Berasal dari nasabah
a. Nasabah menyalahgunakan kredit yang diperolehnya.
Dimana nasabah memperjanjikan tujuan kreditnya namun nasabah
menyimpang. Misalnya kredit nasabah diperuntukan untuk jasa
pengangkutan, tetapi dipergunakan untuk usaha pertanian.
b. Nasabah kurang mampu mengelola usahanya.
Hal ini terjadi kepada nasabah yang tidak memiliki cukup
kemampuan dibidang usahanya namun nasabah mampu meyakinkan
pihak bank untuk memberikan kredit. Oleh karena itu usaha yang
dijalankan menghasilkan produksi yang kualitasnya rendah sehingga
tidak mampu bersaing.
c. Nasabah tidak beritikad baik.
Dimana nasabah ini dari awal sudah mempunyai itikad buruk,
dengan menghindari pembayaran kredit sebelum jatuh tempo dengan
cara melarikan diri atau menghindari tanggung jawab dengan segala
daya dan upaya.
2. Berasal dari bank
a. Persaingan antar bank.
21
Supramono, Gatot “Perbankan dan Masalah Kredit” (Jakarta:Djambatan, 1996)
hal.131
36
Jumlah bank yang beroperasi terus meningkat menyebabkan
persaingan antar bank kian ketat. Dalam melakukan persaingan
tersebut bank selalu memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat agar mendapatkan nasabah yang banyak dan nasabah
yang sudah ada tidak berpaling ke bank lainnya. Dalam kondisi
seperti ini banyak bank yang bertindak spekulatip, dengan
memberikan fasilitas yang mudah untuk nasabahnya dengan
mengabaikan prinsip-prinsip perbankan yang sehat.
b. Hubungan ke dalam.
Hubungan ini banyak terjadi dilingkungan bank swasta. Hubungan
yang dimaksud adalah hubungan bank dengan perusahaan
perusahaan yang tergabung dalam kelompoknya dan juga hubungan
dengan para pengurus serta pemegang saham. Dari hubungan
tersebut bank cenderung setia melayani nasabah yang mempunyai
hubungan dalam ini dengan segala kemudahan walaupun proyek
yang dibiayai kurang menguntungkan. Itulah yang menjadi salah
satu faktor jatuhnya usaha bank.
c. Pengawasan.
Pengawasan dilakukan baik oleh bank itu sendiri melalui bagian
pengawasan kredit maupun oleh Bank Indonesia. Terlepas dari
pengawasan yang dilakukan, apabila pengawasan lemah maka
prinsip-prinsip perbankan tidak dapat dijalankan dengan baik.
37
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA DAN SURAT
KEPUTUSAN PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (SK PNS)
A. PENGERTIAN PERJANJIAN KERJA.
Perjanjian kerja mempunyai manfaat yang sangat besar bagi para
pihak yang membuat perjanjian kerja tersebut, karena dengan perjanjian
kerja yang dibuat dan di taati dengan itikad baik dapat menciptakan suatu
ketenangan dalam bekerja serta menjadi jaminan akan kepastian hak dan
kewajiban para pihak yang terkait. Dengan demikian produktivitas dapat
meningkat sehingga para pengusaha dapat mengembangkan
perusahaannya menjadi lebih luas dan membuka lapangan kerja yang baru,
maka berarti pula ikut dalam berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Perjanjian kerja yang baik memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:22
1. Menerbitkan suatu hubungan yang diperatas, yaitu hubungan antar
pekerja dan atasan. Dimana pihak yang satu berhak memberikan
perintah – perintah kepada pihak yang lain bagaimana pekerja
harus melakukan pekerjaannya.
2. Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah, yang lazimnya berupa
uang, tetapi ada juga (sebagian) berupa pengobatan dengan
percuma, kendaraan, makanan, penginapan, pakaian, dan
sebagainya.
22
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubugan Kerja,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 23.
38
3. Dibuat untuk suatu waktu tertentu atau sampai diakhiri oleh salah
satu pihak.
Dalam undang-undang ketenagakerjaan memang tidak dijumpai
syarat-syarat seorang pengusaha berhak atau tidak membuat perjanjian
kerja, dan tidak ada tentang syarat seseorang berhak atau tidak menjadi
pengusaha. Oleh karena itu untuk meninjau hal ini harus kembali melihat
ketentuan KUH perdata di dalam pasal 1330 KUH perdata dimana orang
yang belum dewasa, orang yang dalam pengampuan dan orang gila tidak
berhak membuat suatu persetujuan, terlebih lagi menjadi seorang
pengusaha.
B. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN KERJA.
Setiap perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis dan lisan. Dalam
perjanjian kerja tertulis maupun lisan, harus dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berikut ini adalah syarat syarat dalam
membuat perjanjian kerja:23
1. Kesepakatan kedua belah pihak
2. Kemempuan atau kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.
3. Adanya pekerjaan yang dijanjikan
4. Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
23
Repubik Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, pasal 52.
39
Perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan para pihak ataupun
salah satu pihak tidak mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan
hukum, maka perjanjian tersebut bisa dibatalkan. Sedangkan jika
perjanjian tersebut dibuat tanpa adanya pekerjaan yang diperjanjikan
ataupun pekerjaan yang diperjanjikan melanggar ketertiban hukum,
kesusilaan, dan undang-undang yang berlaku, maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-
kurangnya memuat:24
1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha.
2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja.
3. Jabatan atau jenis pekerjaan.
4. Tempat pekerjaan.
5. Besarnya upah dan cara pembayarannya.
6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja.
7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian kerja harus dibuat sekurang-kurangnya rankap dua, yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja maupun pengusaha
masing-masing mendapat satu perjanjian kerja.
24
Repubik Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, pasal 54.
40
C. JENIS-JENIS PERJANJIAN KERJA.
1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu.
Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis
dengan menggunakan bahasa indonesia dan huruf latin serta harus
memenuhi syarat-syarat, antara lain:
a. Harus mempunyai jangka waktu tertentu.
b. Adanya suatu pekerjaan yang selesai dalam kurun waktu tertentu.
c. Tidak mempunyai syarat-syarat masa percobaan.
Jika perjanjian kerja untuk waktu tertentu bertentangan dengan
ketentuan diatas maka perjanjian tersebut akan dianggap sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.
c. Pekerjaan yang bersifat musiman.
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan boleh
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
41
Untuk perusahaan yang ingin memperpanjang jangka waktu paling
lambat tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
memberitahukan secara tertulis kepada pekerja yang bersangkutan.
2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
Perjanjian untuk waktu tidak tertentu adalah suatu perjanjian kerja
yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang tidak memiliki
jangka waktu berlakunya. Dengan demikian maka perjanjian kerja
waktu tidak tertentu akan berlaku terus sampai:
a. Pihak pekerja memasuki usia pensiun.
b. Pihak pekerja diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan karena
membuat kesalahan.
c. Pekerja meninggal dunia.
d. Adanya putusan pengadilan yang menyatakan pekerja telah
melakukan tidak pidana sehingga perjanjian kerja tidak dapat
dilanjutkan.
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu tidak akan berakhir
dikarenakan pengusaha atau pemilik perusahaan meninggal atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan oleh penjualan
perusahaan, pewarisan perusahaan ataupun dihibahkannya perusahaan
tersebut. Apabila hal itu terjadi maka hak para pekerja beralih menjadi
tanggung jawab pengusaha yang baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian peralihan yang tidak mengurangi hak-hak para pekerja.
Namun apabila pengusaha meninggal dunia dan mewarisi
42
perusahaannya ahli waris dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah
melakukan perundingan kepada pekerja yang bersangkutan.
Tidak seperti perjanjian kerja waktu tertentu, perjanjian kerja
waktu tidak tertentu dapat dibuat secara tertulias maupun lisan. Namun
apabila perjanjian dibuat secara lisan, pengusaha harus membuat surat
pengangkatan bagi para pekerja, dengan sekurang kurangnya memuat
tentang:25
a. Nama dan alamat pekerja.
b. Tanggal mulai bekerja.
c. Jenis pekerjaan.
d. Besarnya upah.
D. KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA
1. Kewajiban pekerja.
Dalam KUH perdata pasal 1603d dinyatakan bahwa pekerja
yang baik adalah :
“pekerja yang menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan
baik, yang dallam hal ini kewajiban untuk elakukan atau tidak
melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan sama, seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan”
Selanjutnya dalam KUH perdata (yang sampai sekarang
dipakai sebagai pedoman) dirinci kewajiban pekerja sebagai berikut :
25
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubugan Kerja,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 74.
43
a. Pekerja berkewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dijanjikan
menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya.
b. Pekerja atau buruh berkewajiban melakukan sendiri pekerjaannya,
hanya dengan seijin pengusaha pekerja bisa menyuruh orang ketiga
untuk menggantikannya.
c. Pekerja wajib taat terhadap peraturan mengenai hal melakukan
pekerjaannya.
d. Pekerja yang tinggal pada pengusaha, wajib berkelakuan baik
menurut tata tertib rumah tangga pengusaha.
Selain itu pekerja berkewajiban melakukan tugas-tugas antara
lain sebagai berikut:
Melakukan pekerjaan.
Pengertian pekerjaan dan seperti apa pekerjaan yang haru
dikerjakan oleh pekerja atau buruh tidak dijumpai dalam peraturan
ketenagakerjaan(Undang-undang No.13 Tahun 2003). Pekerjaan
yang diperjanjikan oleh pekerja atau buruh harus dikerjakan sendiri
oleh pekerja tersebut, apalagi kalau pekerjaan itu adalah pekerjaan
yang memerlukan keahlian tertentu akan menimbulkan
ketidakmungkinan untuk diganti oleh orang lain, tidak bisa pula
pekerja tersebut menyuruh salah seorang keluarganya untuk
menggantikannya masuk bekerja apabila pekerja berhalangan masuk.
44
Petunjuk pengusaha.
Petunjuk pengusaha adalah petunjuk-petunjuk yang harus
diperhatikan oleh pekerja dalam menjalankan pekerjaannya.
Petunjuk petunjuk inidiberikan oleh penguasa atau oleh orang yang
dikuasakan untuk itu selama pekerja tersebut melaksanakan
pekerjaannya. Sebetulnya ketentuan tentang adanya petunjuk
pengusaha dalam melaksanakan pekerjaan ini didasarkan atas
ketentuan KUH perdata, khususnya pasal 1603b yang menentukan
bahwa : “buruh wajib menaati aturan tentang hal melaksanakan
pekerjaan dan aturan yang ditujukan kepada perbaikan tata tertib
dalam perusahaan majikan yang diberikan kepadanya oleh orang
atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan perundang-
undangan, atau bila tidak ada, menurut kebiasaan.”26
Namun kita
mempunyai pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar falsafah
negara. Pancasila itu harus diwujudkan dalam kehidupan nyata,
termasuk dalam kehidupan ketenagakerjaan, maka ketentuan pasal
1603b khususnya dan ketentuan KUH perdata bab 7a umumnya
harus diserasikan dengan pancasila.
Dengan adanya hubungan pancasila ini, jelaslah bagaimana
kedudukan KUH perdata sekarang di dalam dunia ketenagakerjaan
kita. KUH perdata sekarang hanya dapat dipakai sebagai pedoman,
itupun bagi ketentuan yang serasi dengan hubungan pancasila,
26
Repubik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1603b.
45
sedangkan yang tidak sesuai dibuang atau dengan kata lain tidak
berlaku lagi.
2. Kewajiban pengusaha.
Kewajiban utama pengusaha dengan adanya hubungan atau
perjanjian kerja dengan pekerjanya adalah membayar upah atau gaji
kepada pekerja. Namun selain membayarkan gaji atau upah tersebut
perusahaan juga berkewajiban memberikan surat keterangan kepada
pekerjanya yang dengan kemauan sendiri hendak berhendi dari
pekerjaan yang ia kerjakan di dalam perusahaan. Dengan begitu
perusahaan mempunyai dua kewajiban yang harus dipenuhi terhadap
para pekerjanya, yaitu:
a. Membayar upah.
Dalam melakukan pekerjaan ada beberapa makna yang
dapat diperoleh oleh pekerja, antara lain dari segi indidu
merupakan gerak dari badan dan pikiran setiap orang guna
memelihara kelangsungan hidup badaniah dan juga rohania
sedangkan ditinjau dari segi sosial adalah melakukan pekerjaan
untuk menghasilkanbarang ataupun jasa guna memuaskan
kebutuhan masyarakat luas. Selain itu ditinjau dari segi spiritual
merupakan hak dan kewajiban manusia dalam memulihkan dan
mengabdi kepada Tuhan Yang Masa Esa.
46
Oleh karena itu pembayaran gaji ataupun upah oleh
perusahaan sangatlah memegang peranan penting karena untuk
memelihara kelangsungan hidup badaniah dan rohaniah.
1) Pengertian upah.
Secara umum upah adalah pembayaran yang di terima
oleh pekerja selama ia melakukan pekerjaan ataupun
dipandang melakukan pekerjaan. Namun menurut Pasal 1
angka 30 UU No.13 Tahun 2003 upah adalah “hak pekerja
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu pejanjian
kerja, kesepakatan, atau perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atau suatu
pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan”27
Walaupun demikian, upah bagi masing-masing pihak
adalah suatu hal yang berbeda. Bagi pengusaha upah adalah
biaya produksi yang harus dikeluarkan dan ditekan
pengeluarannya serendah rendahnya agar harga barang yang
di produksi tidak terlalu tinggi. Namun bagi para pekerja
upah adalah sejumlah uang yang mereka terima pada waktu
tertentu, yang lebih pentting lagi adalah jumlah barang
27
Repubik Indonesia. Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003. Pasal 1 Anga 30.
47
kebutuhan hidup yang mereka bisa dapatkan dengan uang
upah atau gaji yang telah mereka dapatkan.
2) Jenis jenis upah.
a. Upah nominal.
Upah nominal adalah upah yang diterima oleh para
pekerja dengan tunai sesuai dengan pengarahan jasa-jasa
atau pelayanan dalam perjanjian kerja yang telah
disepakati.
b. Upah nyata.
Upah nyata adalah uang nyata yang harus benar-benar
diterima oleh pekerja yang berhak. Biasanya upah nyata
ditentukan oleh daya belu upah tersebut seperti besar
kecilnya uuang tersebut ataupun besar kecilnya biaya
hidup yang diperlukan.
c. Upah hidup.
Upah hidup ialah upah yang relatif cukup untuk
memenuhi keperluan hidup secara luas para pekerja yang
berhak menerima upah tersebut. Tidak hanya kebutuhan
pokoknya saja, namun juga kebutuhan sosialnya sperti
asuransi,rekreasi dan juga pendidikan.
d. Upah minimum.
Upah minimum adalah upah terendah yang dijadikan
sebagai standardoleh pengusaha dalam menentukan upah
48
yang sebenarnya dari pekerja yang bekerja di
perusahaanya. Upah minimum ini biasanya ditentukan
oleh pemerintah daerah atau gubernur. Oleh karena itu
setiap daerah memiliki upah minimum yang berbeda-
beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah
tersebut.
b. Memberikan surat keterangan.
Kewajiban perusahaan memberikan surat keterangan
ini dapat dikatakan sebagai kewajiban tambahan untuk para
pengusaha.. Surat keterangan ini biasanya dibutuhkan unutuk
pekerja yang berhenti bekerja pada suatu perusahaan sebagai
tanda bukti pengalaman kerjanya yang berisi nama pekerja,
tanggal mulai bekerjadan tanggal berhenti bekerja serta jenis
pekerjaan yang pekerja lakukan di perusahaan tempat ia
bekerja. Oleh karena itu apabila seorang pekerja hendak
berhenti bekerja dan meminta surat keterangan tersebut maka
perusahaan wajib memberikan surat keterangan yang diminta.
Apabila perusahaan menolak memberikan surat keterangan
yang diminta, maka perusahaan harus bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh pekerja tersebut. Hal ini sesuai
dengan Pasal 1602 y KUH perdata “pengusaha yang baik
wajib melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang
dalam keadaan yang sama seharusanya dilakukan atau tidak
49
dilakukan dalam lingkungan perusahaannya” dengan kata
lain perusahaan harus bijak dalam berbuat dan bertindak
terhadap para pekerjanya.
E. SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL
1. Pengertian Pegawai Negeri
Di dalam masyarakat yang selalu berkembang, manusia
senantiasa mempunyai kedudukan yang makin penting, meskipun
negara Indonesia menuju kepada masyarakat yang berorientasi kerja,
yang memandang kerja adalah sesuatu yang mulia, tidaklah berarti
mengabaikan manusia yang melaksanakan kerja tersebut.
Demikian juga halnya dalam suatu organisasi, unsur manusia
sangat menentukan sekali karena berjalan tidaknya suatu organisasi
kearah pencapaian tujuan yang ditentukan tergantung kepada
kemampuan manusia untuk menggerakkan organisasi tersebut ke
arah yang telah ditetapkan.
Manusia yang terlibat dalam organisasi ini disebut juga
pegawai. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan pendapat beberapa
ahli mengenai defenisi pegawai. A.W. Widjaja berpendapat bahwa,
“Pegawai adalah merupakan tenaga kerja manusia jasmaniah
maupun rohaniah (mental dan pikiran) yang senantiasa dibutuhkan
dan oleh karena itu menjadi salah satu modal pokok dalam usaha
50
kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (organisasi).”28
Selanjutnya A.W. Widjaja mengatakan bahwa, “Pegawai adalah
orang-orang yang dikerjakan dalam suatu badan tertentu, baik di
lembaga-lembaga pemerintah maupun dalam badan-badan usaha.”29
Sedangkan pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian adalah ”Pegawai Negeri adalah setiap warga negara
Republik Indonesiayang telah memenuhi syarat yang ditentukan,
diangkat oleh pejabatyang berwenang dan diserahi tugas negara
lainnya, dan digajiberdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Dari pengertian diatas bahwa setiap warga negara berhak
untukmenjadi pegawai negeri sipil sesuai dengan syarat-syarat yang
telah ditentukan, dan dapat diangkat oleh pejabat yang berwenang
dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai
Negeri.
2. Jenis-jenis Pegawai Negeri
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 jenis Pegawai Negeri terdiri dari:
a) Pegawai Negeri Sipil ;
28
A.W.Widjaja, Administraasi Kepegawaian. Rajawali, 2006, hal.113.
29 A.W.Widjaja, Administraasi Kepegawaian. Rajawali, 2006, hal.15.
51
b) Anggota Tentara Nasional Indonesia ;
c) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sedangkan Pegawai Negeri Sipil juga dibedakan menjadi dua
yaitu Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000,
pengertian Pegawai Negeri Sipil Pusat disebutkan :
”Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang
gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan bekerja pada Departemen, Kejaksaan Agung, Sekretariat
Negara, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Militer, Sekretariat
Presiden, Sekretariat Wakil Presiden, Kantor Menteri Koordinator,
Kantor Menteri Negara, Kepolisian Negara, Lembaga Pemerintahan
Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara, Instansi Vertikal didaerah Propinsi / Kabupaten / Kota,
Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk
menyelenggarakan tugas negara lainnya”.
Demikian pula menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 96 Tahun 2000 Tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, yang
dimaksud Pegawai Negeri Sipil Daerah :
”Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil
Daerah Propinsi / Kabupaten / Kota yang gajinya dibebankan pada
52
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada
pemerintahan daerah, dipekerjakan diluar instansi induknya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Pegawai
Negeri Sipil yang diangkat oleh pejabat yang berwenang melalui
Kantor Pusat maupun Daerah Propinsi / Kabupaten / Kota yang
gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara /
Daerah dan bekerja pada Pemerintahan, atau diperkerjakan diluar
instansi induknya.
3. Tugas dan fungsi pegawai negeri sipil
Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan
abdi masyarakat yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada
Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan.
Sehubungan dengan kedudukan Pegawai Negeri maka baginya
dibebankan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan
sudah tentu di samping kewajiban baginya juga diberikan apa-apa
saja yang menjadi hak yang didapat oleh seorang pegawai negeri.
Pada Pasal 4 Undang-Undang No.43 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.8 Tahun 1974 Tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian setiap pegawai negeri wajib setia dan taat
kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintahan. Pada
umumnya yang dimaksud dengan kesetiaan dan ketaatan adalah
suatu tekad dan kesanggupan dari seorang pegawai negeri untuk
53
melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab.
Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara, abdi masyarakat
wajib setia dan taat kepada Pancasila, sebagai falsafah dan idiologi
negara, kepada UUD 1945, kepada Negara dan Pemerintahan.
Biasanya kesetiaan dan ketaatan akan timbul dari pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam, oleh sebab itulah seorang Pegawai
Negeri Sipil wajib mempelajari dan memahami.
Dalam Pasal 5 Undang-Undang No.8 Tahun 1974 (pasal ini
tidak diubah oleh UU No.43 Tahun 1999) Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian disebutkan setiap pegawai negeri wajib mentaati
segala peraturan perundangan yang berlaku dan melaksanakan
kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian
kesadaran dan tanggung jawab. Pegawai Negeri Sipil adalah
pelaksana pearturan perundang-undangan, sebab itu maka seorang
Pegawai Negeri Sipil wajib berusaha agar setiap peraturan
perundang-undangan ditaati oleh anggota masyarakat.
Sejalan dengan itu pegawai negeri sipil berkewajiban
memberikan contoh yang baik dalam mentaati dan melaksanakan
segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam
melaksankan peraturan perundang-undangan, pada umumnya kepada
pegawai negeri diberikan tugas kedinasan untuk melaksanakan
dengan baik. Pada pokoknya pemberian tugas kedinasan itu adalah
54
merupakan kepercayaan dari atasan yang berwenang dengan harapan
bahwa tugas itu nantinya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Maka Pegawai Negeri Sipil dituntut penuh pengabdian, kesadaran
dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas kedinasan.
Kedinasan lain sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil wajib
menyimpan rahasia jabatan dan seorang pegawai negeri dapat
mengemukakan rahasia jabatan atas perintah perintah pejabat yang
berwajib atas kuasa undang-undang (Pasal 6 Undang-Undang No.8
Tahun 1974 tidak dicabut oleh UU No.43 Tahun1999).
Yang dimaksud dengan rahasia adalah: rencana, kegiatan
yang akan, sedang atau telah dilakukan yang dapat mengakibatkan
kerugian yang besar atau dapat menimbulkan bahaya, apabila
diberitahukan atau diketahui oleh orang yang tidak berhak. Rahasia
jabatan adalah rahasia mengenai atau ada hubungannya dengan
jabatan. Rahasia jabatan dapat berupa dokumen tertulis seperti surat,
notulen rapat, peta dan dapat juga berupa keputusan lisan dari
seorang atasan. Dilihat dari sudut pentingnya, maka rahasia jabatan
ditentukan tingkat klasifikasinya seperti:
a. Sangat rahsia
b. Rahasia
c. Konfidensi/Terbatas
55
Dan jika ditinjau dari sifatnya maka akan dijumpai rahasia
jabatan yang sifat kerahasiannya terbatas pada waktu tertentu dan
ada pula rahasia jabatan yang sifat kerahasiannya terus menerus.
Apakah suatu rencana kegiatan atau tindakan bersifat rahasia
jabatan, dan dirahasiakan kedalam klasifikasi yang mana harus
ditentukan dengan tegas oleh pimpinan instansi yang bersangkutan.
Biasanya seorang pegawai negeri karena jabatan atau karena
pekerjaannya dapat mengetahui jabatan. Bocornya suatu rahasia
jabatan dapat menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap negara.
Pada umunya kebocoran rahasia jabatan disebabkan oleh dua
hal yaitu: sengaja dibocorkan kepada orang lain atau karena
kelalaian atau kurang hati-hatinya pejabat yang bersangkutan,
keduanya memberikan akibat yang sama buruknya terhadap negara.
Inilah yang memotivasi kenapa seorang pegawai diwajibkan
menyimpan rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya. Seorang pegawai
negeri hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan atas
pejabat yang berwajib atas kuasa undang-undang, demikian juga
terhadap bekas pegawai negeri, misalnya atas perintah petugas
penyidik dalam rangka penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi.
Disamping kewajiban-kewajiban seperti tersebut di atas, dalam
UU No.43 Tahun 1999 juga disebutkan hak-hak pegawai negeri
yaitu, menurut Pasal 7 Undang-Undang No.43 Tahun 1999 Tentang
56
Pokok-Pokok Kepegawaian, setiap pegawai negeri berhak
memperoleh gaji yang layak sesuai dengan beban pekerjaan dan
tanggung jawab.
Pada dasarnya setiap pegawai negeri beserta keluarganya harus
hidup layak dari gajinya, sehingga dengan demikian ia dapat
memusatkan perhatian dan kegiatannya melaksanakan tugas yang
dipercayakan kepadanya. Gaji adalah sebagai balas jasa atau
penghargaan atau hasil karya seseorang dalam menunaikan tugas
sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing.
Dewasa ini sistem penggajian terhadap pegawai negeri sipil
diatur dalam Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1985 Tentang
Pengaturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Sistem penggajian yang dapat
mendorong kegirahan bekerja untuk mencapai prestasi kerja yang
optimal adalah sistem skala ganda, yaitu pemberian gaji kepada
seorang pegawai negeri bukan saja didasarkan pada pangkat, tapi
juga didasarkan pada besarnya tanggung jawab yang dipikul dan
prestasi kerja yang dicapai. Disamping itu dalam menentukan
besarnya gaji tergantung dari pada faktor kemampuan keuangan
negara. Sebab walau sudah diperkirakan standard hidup pegawai
negeri tidak dapat dilaksanakan kelau kemampuan keuangan negara
tidak memadai. Hal lain yang patut diperhatikan adalah
keadaan/tempat dimana pegawai negeri itu diperlukan.
57
Dalam rangka penegakan disiplin di kalangan pegawai negeri
masalah gaji dipandang sebagai faktor yang paling berpengaruh.
Karena jika gaji yang diterima oleh seorang pegawai negeri
dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan/kesejahteraan
keluarganya ini akan mendorong pegawai tersebut untuk mencari
sampingan, yang lama kelamaan menjadi satu kebiasaan, sehingga
memberi dampak negatif.
Dalam UU No.43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian dikatakan setiap pegawai negeri berhak atas cuti. Cuti
adalah tidak masuk kerja yang diberikan dalam jangka waktu
tertentu, dalam rangka untuk menjamin kesegaran jasmani dan
rohani serta untuk kepentingan pegawai negeri perlu diatur
pemberian cuti. Ketentuan tentang cuti ada diatur dalam Peraturan
Pemerintah No.24 Tahun 1976 Tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil.
Cuti yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini kecuali cuti
diluar tanggungan negara adalah hak Pegawai Negeri Sipil, oleh
sebab itu pelaksanaan cuti hanya dapat ditunda dalam jangka waktu
tertentu apabila kepentingan dinas mendesak. Setiap pimpinan
haruslah mengatur pemberian cuti sedemikian rupa sehingga dapat
terjamin kelancaran pelaksanaan pekerjaan. Menurut perhitungan
pemberian cuti dalam waktu yang sama terhadap 5 % dari jumlah
kekuatan masih tetap dapat menjamin kelancaran pekerjaan. Pegawai
Negeri Sipil yang hendak menggunakan hak cutinya wajib
58
mengajukan permintaan secara tertulis kepada pejabat yang
berwenang memberikan cuti melalui hirarkhi, kecuali untuk cuti
sakit. ecara mendalam tentang Pancasila, UUD 1945, Hukum Negara
dan Politik Pemerintahan.
Hak seorang pegawai negeri sipil yang lain adalah hak atas
pensiun sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang No.8 Tahun 1974
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian “Setiap Pegawai Negeri Sipil
yang telah memenuhi syarat-syarat yang diberikan berhak atas
pensiun.”
Jaminan pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa
terhadap pegawai negeri yang telah bertahun-tahun mengabdikan
dirinya kepada negara. Pada pokoknya adalah menjadi kewajiban
dari setiap orang untuk berusaha menjamin hari tuanya, dan untuk itu
setiap pegawai negeri wajib menjadi peserta dari suatu badan
asuransi sosial yang dibentuk oleh pemerintah karena pensiun bukan
saja sebagai jaminan hari tua, tapi juga adalah sebagai balas jasa,
maka pemerintah memberikan sumbangannya kepada pegawai
negeri.
59
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS SK PNS SEBAGAI OBJEK JAMINAN KREDIT
PERBANKAN.
Pada dasarnya dalam setiap pemberian kredit harus berpedoman pada 3
(tiga) hal pokok, yaitu aman, terarah, dan menghasilkan. Aman dalam arti legal
risk, bahwa setiap kredit yang diberikan telah terbebas dari segala kekurangan,
baik mengenai kewenangan subjek hukum, objek hukum, maupun mengenai
jaminan. Apabila dikemudian hari terjadi kredit bermasalah, bank telah
mempunyai alat bukti yang sempurna dan kuat untuk menjalankan suatu tindakan
hukum bila dianggap perlu. Terarah dalam arti setiap kredit yang diberikan harus
sesuai dengan peruntukkannya, baik dari segi siapa penerima kreditnya maupun
dari segi kegunaannya, terutama bila dihubungkan dengan kebijaksanaan
pemerintah dalam rangka memajukan sektor usaha. Menghasilkan dalam arti
setiap pelepasan kredit akan memberikan keuntungan kepada bank ataupun
penerima kredit, dan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat banyak.
Untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah, maka setiap bank yang
bersangkutan perlu melakukan pengelolaan maupun pembinaan kredit sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dikarenakan
pengelolaan resiko atau manajemen kredit bank yang kurang baik, akan
menjadikan tingkat kredit bermasalah menjadi tinggi. Oleh sebab itu asas atau
prinsip kehati-hatian (prudential banking) adalah penting, sebagai asas yang
menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi serta kegiatan usahanya,
harus menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan juga nasabah. Tujuan
60
diberlakukannya prinsip kehati-hatian (prudential banking) adalah agar bank
selalu dalam keadaan sehat.30
Adapun prinsip kehati-hatian dalam praktek
perjanjian jaminan terdapat pada surat al-baqarah ayat 282 yang berbunyi:
أماوته ذي اؤتمه وإن كىتم على سفز ولم تجدوا كاتبا فزهان مقبىضت فئن أمه بعضكم بعضا فليؤد ال
ن عليم وليت ق هللا رب ه وال تكتمىا الش هادة ومه يكتمها فئو ه ءاثم قلبه وهللا بما تعملى
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Qs.2:283
Ayat ini memberikan bimbingan tentang etika utang piutang seperti:
1. Tercatat
2. Ada saksi
3. Jangka waktu yang ditetapkan
4. bagaimana pula jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak.
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pinjam meminjam dengan
menyertakan jaminan sudah ada sejak dahulu kala. Ayat tersebut menjelaskan
30
Johannes Ibrahim, Cross Default Dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian
Kredit Bermasalah. (Bandung : Refika Aditama, 2004), hal. 56
61
bahwa dalam setiap transaksi jual beli dengan utang-piutang wajib dicatatkan
secara jujur dan menghadirkan saksi.
A. MEKANISME JAMINAN BERUPA SURAT KEPUTUSAN
PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL.
Penyaluran kredit kepada masyarakat oleh bank sering terbentur kepada
ketiadaan jaminan berupa agunan yang dimiliki oleh calon debitor.
Menghadapi kendala ketiadaan jaminan tersebut, bank sebagai penyalur dana
menyikapi dengan mengadakan penawaran kepada pegawai negeri sipil
berupa penawaran kredit dengan tanpa penyertaan agunan. Selanjutnya
mengenai jaminan kredit dilihat dari fungsinya dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Jaminan yang didasarkan atas keyakinan bank terhadap karakter dan
kemampuan nasabah / debitor untuk membayar kembali kreditnya,
dengan dana yang berasal dari usaha yanng dibiayai kredit, yang
tercermin dalam cash low nasabah / debitor atau yang lebih dikenal
dengan first way out. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank harus
melakukan analisis dan evaluasi atas watak / karakter, kemampuan,
modal serta prospek debitor;
2. Jaminan yang didasarkan atas likuiditas agunan / second way out apabila
dikemudian hari first way out tidak dapat digunakan sebagai alat
pembayaran kembali kredit. Sedangkan berdasarkan sumber
pendanaannya, agunan kredit dibedakan menjadi agunan pokok dan
agunan tambahan, yaitu :
a. Agunan Pokok
62
Sesuai penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
tersirat bahwa agunan pokok adalah agunan yang pengadaannya
bersumber / dibiayai dari dana kredit bank. Agunan ini dapat berupa
barang, proyek (tanah dan bangunan, mesin-mesin, persediaan
dagang/hak tagih, dan lain-lain). Agunan kredit dapat hanya berupa
agunan pokok tersebut apabila berdasarkan aspek-aspek lain dalam
jaminan utama (watak, kemampuan, modal dan prospek), diperoleh
keyakinan atas kemampuan debitor untuk mengembalikan hutangnya.
b. Agunan Tambahan
Adalah agunan yang tidak termasuk di dalam batasan agunan pokok
tersebut diatas. Misalnya surat berharga, surat rekta, garansi risiko,
jaminan pemerintah, lembaga penjamin dan lain-lain.
Bank lebih menekankan unsur kepercayaan untuk memberikan kredit
dengan jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil. Dari unsur tersebut
dapat diketahui bahwa pihak bank tetap memakai prinsip kehatihatian dan
prinsip mengenal nasabah, dimana juga debitor sebagai Pegawai Negeri Sipil
selalu menjaga dan tidak merusak kredibilitasnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa setiap bank
umum dapat menetapkan kebijakan yang akan ditetapkannya dalam prinsip
mengenal nasabah asalkan dari kebijakan yang ditetapkannya tersebut dapat
diperoleh keyakinan terhadap kemampuan nasabah untuk melunasi
hutangnya. Prinsip bank dapat dilakukan dengan sistem penilaian terhadap
watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha dari nasabah tersebut yang
63
dikenal dengan istilah The 5C’s of Credit Analysis yang merupakan ukuran
kemampuan penerima kredit (debitor) untuk mengembalikan pinjamannya,
yaitu :
a. Watak (Character)
Yang dimaksud dengan watak disini adalah kepribadian, moral, dan
kejujuran pemohon kredit. Apakah ia dapat memenuhi kewajibannya
dengan baik, yang timbul dari persetujuan kredit yang akan diadakan. Hal
ini menyangkut sampai sejauh mana kebenaran dari keteranganketerangan
yang diberikan pemohon tentang data-data kepribadian, seperti asal usul
kehidupan pribadi, apakah pemohon seorang yang royal, keadaan masa
lalunya, apakah pernah terlibat didalam black list dan sebagaimana
informasi dan referensi antara bank, juga dibutukan.
b. Kemampuan (Capacity)
Yang dimaksud kemampuan adalah kemampuan mengendalikan,
memimpin, menguasai bidang usahanya, kesungguhan dan melihat
perspektif masa depan, sehingga pada akhirnya akan terlihat kemampuan
dalam mengembalikan kredit yang disalurkan.
c. Modal (Capital)
Pemohon disyaratkan wajib memiliki modal sendiri dan kredit dari bank
berfungsi sebagai tambahan. Untuk melihat penggunaan modal apakah
efektif, dolihat laporan keuangan dengan melakukan pengukuran seperti
dari segi likuiditas, solvaliditas, rentabilitas dan juga harus dilihat dari
sumber mana saja modal yang ada sekarang ini.
64
d. Jaminan (Collateral)
Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik
maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang
diberikan dan juga harus diteliti keabsahannya sehingga jika terjadi suatu
masalah, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat
mungkin.
e. Kondisi Ekonomi (Condition of Economy)
Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik
sekarang dan masa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta
prospek usaha dari sektor yang ia jalankan. Penilaian prospek bidang
usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik,
sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.
Adapun contoh dalam pengajuan kedit oleh Pegawai Negeri Sipil di
Bank BRI adalah program BRIguna dimana sebagai kredit yang diberikan
kepada calon debitur dengan sumber pembayaran yang berasal dari sumber
penghasilan tetap/fixed income (gaji/uang pensiun). Program ini ditjukan
untuk menunjang kehidupan pegawai dalam meningkatkan kesejhteraan
hidupnya yang dapat digunakan untuk pembiayaan keperluan produktif dan
non produktif misalnya; pembelian barang bergerak/tidak bergerak,
perbaikan rumah, keperluan kuliah/sekolah, pengobatan, pernikahan dan lain-
lain.31
31
Bank Rakyat Indonesia, melalui (http://www.bri.co.id/articles/41) pada tanggal 15
Agustus 2014 pukul 23.09 WIB.
65
Fasilitas yang ditawarkan dalam program BRIguna ini bisa dibilang
cukup mempermudah para Pegawai Negei Sipil untuk mewujudkan
kesejahteraannya. Kemudahan yang akan diterima oleh calon debitur antara
lain adalah:
a. Permohonan pinjaman dapat diajukan ke Kantor Cabang BRI dan
Kantor Cabang Pembantu BRI serta Kantor BRI Unit di Seluruh
Indonesia yang memiliki kerjasama dengan intansi tempat pegawai
bekerja.
b. Angsuran bersifat tetap.
c. Jangka waktu maksimal 10 tahun.
d. Nasabah diikutsertakan asuransi jiwa kredit.
Syarat Pengajuan Kredit BRIguna :
DOKUMEN PEGAWAI PENSIUN
Copy identitas diri V V
Copy KK V V
Asli SK Pengangkatan Pertama & SK
terakhir
V -
Asli SKI Pensiun - V
Daftar Pembayaran Pensiun/Dapem - V
Copy Karip - V
Buku Pensiun - V
Perincian Gaji Terakhir V -
66
Surat Pernyataan Debitur V V
Surat Rekomendasi dari Atasan V -
Surat Kuasa Potong Gaji/Pensiun V V
Surat Kuasa Debet Rekening V V
Copy buku tabungan BRI V V
Dari penjelasan dan syarat pengajuan kredit di PT Bank BRI diatas
maka yang ditonjolkan dari 5C tersebut adalah Character dan Capacity to
Repay. Itulah sebabnya dalam hal ini, bank meminta persyaratan Surat
Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil untuk mengetahui pekerjaan
dari calon debitor, dan dari surat tersebut kemudian dapat dinilai kemampuan
untuk membayar kembali berdasar jumlah kredit yang akan dikucurkan dan
pokok gaji dari calon debitor tersebut berdasarkan golongan dan kepangkatan
terakhir.
B. LANGKAH-LANGKAH YANG DILAKUKAN JIKA TERJADI
KREDIT MACET.
1. Kredit Macet Disebabkan Debitur Tidak Mampu Membayar.
Seorang debitur tidak akan melakukan wanprestasi jika tidak ada
sebab-sebabnya, untuk mengetahui sebab-sebab tersebut diperlukan suatu
pengamatan yang mendalam. Penyebab dari kemacetan kredit bank
67
terutama karena kesulitan keuangan yang dialami debitur.32
Kesulitan
keuangan ini menyebabkan debitur tidak dapat mengembalikan
pinjamanya tepat pada waktunya. Kesulitan keuangan yang dialami itu
bisa disebabkan karena faktor intern dan faktor ekstern. Dalam hal ini
debitur bisa menjadi dua macam, diantaranya debitur yang memang
mengandalkan gaji atau upah yang ia dapatkan dalam pekerjaannya, ada
juga debitur yang mengandalkan perusahaan atau usaha yang
dijalankannya sebagai pemasukan untuk membayar kredit.
Faktor intern pada debitur yang mengandalkan upah kerja adalah
faktor yang muncul dari diri sendiri, dimana debitur lalai dalam bekerja
yang menyebabkan debitur diberhentikan dari tempat ia bekerja sehingga
debitur tidak mendapatkan upah atau pemasukan uang lagi yang dengan
kata lain tidak dapat membayar kredit pada pihak bank diantaranya :
2. Kredit Macet Disebabkan Karena Instansi Tempat Debitur Bekerja
Dilebur.
Terjadinya perubahan struktur kepegawaian, sehingga menyebabkan
terjadinya proses peralihan dari instansi yang lama ke instansi yang
baru. Maka debitur dalam hal ini bertanggungjawab untuk :
a) Memberitahukan kepada bank tentang pindah atau mutasi/alih
tugasnya tersebut.
32
Edy Putra Tjeman, Kredit Perbankan Suatu TinjauanYurisdis. Liberty, Yogyakarta.
1989. Hal.49
68
b) Melunasi sisa pinjaman Kretap seluruhnya sebelum
dilaksanakan pindah atau mutasi/alih tugas.
c) Tetap menyelesaikan kewajiban dengan angsuran sesuai
kesepakatan semula, serta :
1) Menyelesaikan tunggakan terlebih dahulu (jika ada)
sebelum dimutasikan.
2) Aktiv dan berinisiatif untuk menyetorkan sendiri
angsuran kredit ke Kantor Cabang Bank penerima
pelimpahan, jika satuan/dinas atau instansi tempat
mutasi belum melakukan pemotongan gajinya, dan jika
Kantor Cabang Bank asal (pemberi kredit), maupun
Kantor Cabang Bank penerima pelimpahan belum
selesai dalam menatausahakan kredit atas nama debitur
yang bersangkutan.
3) Aktif dan berinisiatif dalam memberikan informasi
menyangkut segala hal yang berkaitan dengan pindah
atau mutasi/alih tugasnya tersebut, sampai pemotongan
dapat berjalan sesuai ketentuan. Apabila tanggungjawab
dimaksud di atas tidak dilakukan oleh debitur, maka
pihak Bank akan mengirimkan surat peringatan kepada
instansi tempat debitur yang bersangkutan tersebut
pindah tugas/mutasi, dan menemui debitur langsung agar
segera melunasi hutang-hutangnya tersebut.
69
3. Kredit Macet Disebabkan Karena Bendahara Gaji.
Dalam pemberian Kretap ini, sesuai dengan jabatan/fungsi atau
tugasnya, bendaharawan gaji bertanggungjawab untuk :
a. Bertanggungjawab memberikan data perincian gaji bulanan beserta
dengan perubahan-perubahan gaji atau komponen gaji dari para
pegawai/instansi debitur yang bersangkutan.
b. Bertanggungjawab memberikan data menyangkut perincian gaji
bulanan berikut dengan perincian besarnya potongan Kretap Bank,
dari debitur yang bersangkutan.
c. Bertanggungjawab melakukan pemotongan gaji secara rutin setiap
bulannya tanpa terkecuali, sebagai angsuran Kretap terhadap
penerimaan gaji dari pegawai atau debitur penerima fasilitas Kretap
dari Bank.
d. Bertanggungjawab untuk secara rutin tanpa terkecuali menyetorkan
hasil potongan gaji sebagai angsuran Kretap ke Kantor Cabang
Bank setiap bulannya.
Apabila bendahara gaji tidak melaksanakan dengan baik tugas
dan tanggungjawabnya tersebut, sehingga terjadi adanya kredit macet
dalam Kretap ini. Maka surat kuasa/surat pemberian kuasa, yang dibuat
antara debitur atau pegawai dari instansi penerima Kretap kepada
bendahara gaji, dapat dicabut oleh karena hal dimaksud. Dan dalam hal
ini bendaharawan gaji tersebut berkewajiban sepenuhnya untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga adanya kredit macet
70
dapat diatasi. Bendahara gaji bertanggungjawab untuk menatausahakan
kembali kredit yang diselewengkannya tersebut, agar debitur juga tidak
dirugikan dalam pemberian fasilitas Kretap ini.
4. Kredit Macet Disebabkan Karena Pensiun Atau Pensiun Dini.
Untuk debitur dalam Kretap yang akan pensiun, maka akan
diberikan jangka waktu untuk melunasi pinjamannya, yaitu 1 (satu)
tahun MPP (Masa Persiapan Pensiun). Yang berarti dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sebelum debitur tersebut pensiun, harus sudah
dapat melunasi hutang atau pinjamannya.
Pensiun maju adalah pengajuan masa pensiun yang dilakukan
sebelum masa pensiunnya. Dalam hal macetnya kredit karena pensiun
atau yang bersangkutan mengajukan pensiun dini, maka pihak Bank
akan memasukkan kreditnya tersebut menjadi Kresun (Kredit
Pensiunan). Sehingga mereka tetap dapat meneruskan kreditnya
tersebut, walaupun telah berubah menjadi kredit pensiunan. Dengan
ketentuan yaitu pengambilan pensiun tersebut melalui PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero) atau Kantor Pos. Dan jangka waktu kredit atau
pinjaman harus sudah lunas saat yang bersangkutan berusia 75 tahun.64
Pada umumnya selain upaya penyelesaian tersebut di atas.
Langkah yang ditempuh bank dalam melakukan manajeman kredit
untuk menjaga kualitas aktiva produktif dan meminimalisir adanya
71
kredit bermasalah, adalah dengan melakukan penyelamatan kredit.
Langkah-langkah atau upaya yang ditempuh berupa :
a. Penjadwalan Kembali (Reschedulling)
1) Memperpanjang Jangka Waktu Kredit.
Dalam hal ini debitur diberi keringanan dalam masalah jangka
waktu kredit, misalnya perpanjangan jangka waktu kredit dari
6 bulan menjadi 1 tahun, sehingga debitur mempunyai waktu
lebih lama untuk mengembalikan pinjaman.
2) Memperpanjang Jangka Waktu Angsuran.Memperpanjang
angsuran hampir sama dengan jangka waktu kredit. Dalam hal
ini jangka waktu angsuran kreditnya diperpanjang.
b. Penyesuaian Kembali (Reconditioning)
Dengan cara mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti :
1) Kapitalisasi bunga, yaitu bunga dijadikan hutang pokok.
2) Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu.
Dalam hal penundaan pembayaran bunga sampai
waktutertentu, maksudnya hanya bunga yang dapat ditunda
pembayarannya, sedangkan pokok pinjamannya tetap harus
dibayar seperti biasa.
3) Penurunan Suku Bunga.
Penurunan suku bunga akan mempengaruhi jumlah angsuran
yang semakin mengecil, sehingga diharapkan dapat membantu
meringankan nasabah.
72
4) Pembebasan Bunga.
Dalam pembebasan suku bunga diberikan kepada nasabah,
dengan pertimbangan nasabah sudah akan mampu lagi
membayar kredit tersebut.
c. Restrukturisasi (Restructuring)
1) Dengan menambah jumlah kredit
2) Dengan menambah equity, dilakukan dengan menyetor
uang tunai atau tambahan dari pemilik.
d. Kombinasi
Merupakan langkah kombinasi dari ketiga jenis di atas.
Sedangkan faktor eksternnya adalah adanya permasalah didalam
tempat debitur bekerja. Beberapa permasalahan yang timbul dalam
perusahaan antara lain yaitu adanya pengurangan tenaga kerja oleh
pihak perusahaan yang disebabkan dari beberapa hal, biasanya
peraturan pemerintah bisa menjadi penyebab adanya pemutusan kerja
ini, selain itu bangkrutnya perusahaan tempat debitur bekerja juga
menjadi salah satu faktor debitur kehilangan pekerjaannya.
Pada debitur yang menggunakan pendapatan perusahaan atau
pengusaha faktor intern yang menyebabkan debitur tidak dapat
memenuhi pembayaran kredit adalah masalah yang ada di dalam
perusahan debitur itu sendiri yaitu karena ketidak mampuan debitur
dalam mengelola perusahaannya dengan baik. Keberhasilan usaha
tergantung pada kemampuan dari pengurus dalam mengelola
73
perusahaannya. Kemampuan itu antara lain meliputi kemampuan dalam
bidang adminitrasi serta bidang lain meliputi kemampuan dalam bidang
manajemen, bidang keuangan,bidang keuangan, bidang pemasaran,
bidang adminitrasi serta bidang lain yang berhubungan langsung
dengan aktifitas usaha yang dilakukan debitur. Karena debitur
mempunyai kemampuan itu maka usaha perusahaannya akan meningkat
dan pendapatannya akan cukup untuk mengembalikan kreditnya.33
Ketidakmapuan debitur dalam menjalankan usahanya tidak
sama dengan ketidakjujuran debitur. Karena debitur tidak mampu
menjalankan usahanya ia ingin memnuhi kewajiban, yaitu dengan
melakukan mengelola suatu usaha. Sedang ketidakjujuran adalah sikap
mental dari debitur yang yang memang berniat untuk “nakal” dan
mempunyai itikad tidak baik terhadap kredit yang diperolehnya.
Pemberian kredit dari bank harus ditunjang dengan peningkatan
aktifitas usaha debitur dengan cara yang lebih efisien. Sebab
peningkatan aktifitas yang tidak diikuti dengan peningkatan efisiensi
akan dapat berakibat buruk bagi kempuan-kemampuan debitur dalam
melaksanakan kewajiban untuk melunasi kredit.
Pengaruh yang tidak kalah pentingnya yang dapat menyebabkan
kesulitan keuangan debitur yang lazim disebut dengan faktor ekstern.
Faktor ekstern ini adalah penyebab kesulitan keuangan yang terjadi
33
Sinungan, Mucdarsyah, Kredit Seluk Beluk Dan Teknik Pengadaan, Yagrat, Jakarta.
1987. Hal. 12
74
karena sebab-sebab diluar jangkauan kemampuan manajemen,seperti
misalnya :
1. Perubahan dari kondisi perekonomian dan perdagangan.
Daya beli masyarakat yang menurun bisa mengakibatkan
berkurangnya pemasukan pengusaha dan mengganggu kelancaran
perekonomian. Berkurangnya daya beli bisa dikarenakan adanya
inflasi,perang, bencana alam dan sebagainya.
2. Perubahan peraturan atau kebijaksanaan pemerintah.
Perubahan peraturan atau kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
perekonomian dapat mengakibatkan terpengaruhnya jalannya usaha
debitur baik secara langsung atau tidak langsung.
3. Perubahan teknologi.
Akibat kemajuan teknologi juga bisa merugikan suatu perusahaan
karena bagi perusahaan yang besar dan modalnya kuat tidak akan
ada masalah untuk memperbaruhi mesin-mesin produksinya dengan
yang paling mutakhir, sehingga produksi menjadi lebih lancar,
efektif dan produksi bisa lebih banyak, keuntungan bisa diperoleh
lebih banyak. Sedang bagi perusahaan yang kecil untuk mengganti
mesin baru tidak mempunyai modal cukup maka hasil produksinya
kalah banyak sehingga keuntunganya semakin berkurang, dan kalah
bersaing dengan perusahaan yang berteknologi canggih.
4. Bencana alam
75
Bencana alam bisa menjadi faktor yang sangat merugikan bagi para
debitur yang sedang menjalankan usahanya, terutama debitur yang
menjalankan usaha dibidang pertanian atau kelautan, dimana dalam
beropersional debitur bekerja sama dengan alam juga.
5. Hama penyakit.
Faktor ini sangatlah berpengaruh terhadap usaha debitur yang
bergerak pada bidang peternakan.
Pengamanan yang dilakukan pada bank bisa terdiri dari dua cara
yaitu dengan penyelesaian administrasi dan tindakan langsung pada diri
debitur. Penyelesaian administrasi yang bisa dilakukan bank adalah
penertiban administrasi dengan maksud untuk mengetahui berapa
kerugian yang diderita oleh bank, untuk mengetahui apakah ada orang
dalam/intern bank ataupun pihak lain dari bank yang terlibat. Untuk
menyelamatkan kembali posisi bank dari kerugian yang lebih besar dan
berusaha menyusun administrasi yang telah diselewengkan tersebut.
Jika seandainya semua cara itu tetap tidak bisa menyelamatkan
debitur dari kemacetan membayar hutang pokok dan bunga kredit maka
bank akan melakukan upaya maksimal untuk pengembalian kreditnya
sehingga bank tidak dirugikan yaitu dengan menyerahkan masalah
tersebut pada pihak yang berwenang. Yang berarti menempuh
penyelesaian lewat hukum yang ada, baik melalui Pengadilan Negeri
atau PUPN.
76
C. PENYELESAIAN KREDIT MACET
Dalam membahas wanprestasi kita tidak bisa lepas dari perjanjian,
karena tanpa adanya perjanjian maka waprestasi tidak akan pernah ada.
Perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dalam bab tentang perikatan yaitu bahwa suatu perjanjian itu sah jika telah
memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 BW yaitu sepakat
mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal
1. Tindakan yang diambil dalam menghadapi Debitur yang wanprestasi
BW tidak mengatur tentang perjanjian kredit bank bahkan
Undang-undang Perbankan tidak mengenal istilah perjanjian kredit bank.
Istilah perjanjian kredit bank ditemukan dalam instruksi Presidium
Kabinet No 15/EKE/10/1960 yo Surat Edaran Bank Negara Indonesia
Unit 1 No. 2/539/UPK/Pemb/1966 dan Surat Edaran Bank Negara
Indonesia No.2/643/UPK/Pemb/1966 tentang Pedoman Kebijaksanaan di
Bidang Perkreditan. Dalam instruksi tersebut dinyatakan bahwa dalam
memberikan kredit bentuk apapun, bank wajib mempergunakan “akad
Perjanjian kredit”.
Dengan penentuan itu membuat calon debitur tidak dapat berbuat
lain selain menyetujui dan menandatangani perjanjian karena ia sangat
membutuhkan kredit tersebut. Perjanjian kredit seperti itu adalah
perjanjian sepihak. Penentuan perjanjian secara sepihak yaitu oleh bank
adalah untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
77
Karena biasanya debiturlah yang nakal, bank tidak menanggung segala
resiko jika kreditnya macet.
Pada saat ini salah satu pihak dapat melakukan pembatalan, baik
pihak bank atau calon debitur. Seandainya pihak bank mengetahui bahwa
calon debitur tidak dapat dipercaya dan mempunyai reputasi yang jelek
maka bank dapat membatalkan dan mempunyai raputasi yang jelek maka
bank dapat membatalkan perjanjian tersebut, demikian juga pada calon
debitur seandainya pada saat itu ia sudah tidak membutuhkan kredit lagi
maka ia dapat menuntut pihak bank membatalkan perjanjian kredit,
karena hal ini sesuai dengan Undang-undang Perbankan.
2. Pertanggungan ganti rugi oleh Pihak Ketiga.
Pada dasarnya pemberian kredit pada pemohon kredit adalah
untuk membantu pemohon kredit untuk menjalankan usahanya. Bank
dalam rangka mempertimbangkan pemberian kreditnya selain melihat
pada prospek usaha yang akan dijalankan yang seharusnya bisa
menunjang pembangunan nasional juga melihat pada jaminan apa yang
akan dijaminkan oleh pemohon. Padahal jika dilihat pada kenyataannya
yang sangat membutuhkan kredit adalah pengusaha-pengusaha kecil yang
justru tidak bisa menyediakan jaminan yang dituntut oleh bank (pasal 24
Undang-undang Perbankan).
Larangan pemberian kredit oleh bank tanpa jaminan sebenarnya
bertujuan untuk menjamin supaya kredit dikembalikan oleh debitur
sehingga bank tidak rugi tetapi hal ini menghambat usaha-usaha yang
78
dapat menunjang pembangunan nasional yang biasanya diusahakan oleh
pengusaha kecil. Yang dimaksud resiko didalam kredit adalah keadaan
tidak membayar kembali atas suatu kredit yang diterima oleh debitur.
Pihak lain yang menerima pengalihan resiko itu disebut sebagai
perusahaan yang bergerak dibidang pertanggungan kredit PT Asuransi
Kredit Indonesia (PT Askrindo). Berdirinya PT Askrindo didirikan oleh
peraturan-peraturan pemerintah No 1 / Th.71 dan diundangkan dalam
Lembaga Negara Replubik Indonesia Tahun 1971 No.I.
Pertanggungan oleh pihak asuransi itu ada beberapa macam.
Untuk mengetahui dapat kita lihat dalam pasal 247 Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (KUHD) yang menyebutkan bahwa asuransi bisa
didasarkan pada bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil
pertanian sawah, jiwa seseorang, bahaya dilautan, bahaya perbudakan,
bahaya pengangkutan. Tapi pasal itu bersifat enumeratif perjanjian
pertanggungan dengan jenis yang lain.
Pasal 268 KUHD memberi pembatasan pertanggungan terhadap
pertanggungan terhadap pertanggungan lain yang tidak dikenal Undang-
undang yaitu bahwa pokok pertanggungan adalah kepentingan yang harus
dapat dinilai dengan uang dan diancam oleh bahaya dan oleh Undang-
undang tidak dikecualikan. Dari ketentuan pasal 268 ini maka asuransi
kredit termasuk dalam salah satu asuransi yang tidak dikecualikan oleh
79
Undang-undang. Karena asuransi kredit adalah perjanjian yang sah
menurut Undang-undang.34
Pihak yang ada dalam perjanjian pertanggungan adalah pihak
penanggung dan pihak tertanggung. Dalam perjanjian asuransi kredit ini
bank adalah sebagai pihak tertanggung sedang PT.Askrindo adalah
sebagai pihak penanggung.
PT. Askrindo berhak mendapat premi dari bank, bukan dari
nasabah, tapi pada dasarnya bank telah memperhitungkan premi itu dalam
memberikan kredit pada masalah yang bersangkutan. Jumlah
pertanggungan pada umumnya berjalan tetap sampai pertanggungannya
berakir. Tetapi dalam pertanggungan kredit sejak pertanggungan ditutup
hingga berakhir akan berubah menurun. Hal ini terjadi sebab kredit yang
diterima oleh debitur harus dikembalikan pada waktu-waktu yang telah
ditentukan yaitu dengan cara mengangsur. Jadi pada saat-saat kemudian
jumlah kredit yang ditanggung oleh penanggung akan menjadi semakin
kecil dan semakin kecil resiko yang ditanggung berarti semakin kecil
jumlah penggantian kerugian.
Dalam praktek besarnya kredit yang dipertanggungan bank tidak
seluruh kredit tapi hanya sebagian maksimum kreditnya. Berarti
pertanggungan kredit yang terjadi dalam praktek perbankan adalah
pertanggungan dibawah nilai. Jadi jika terjadi kerugian bank masih
menanggung sebagian dari kerugian dari penanggung. Sehingga bank
34
Edy Putra Tjeman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yurisdis. Liberty, Yogyakarta.
1989. Hal. 49
80
masih punya hak menuntut pemenuhan piutangnya pada nasabah, sebatas
kerugian yang tidak ditutup oleh penanggung. Sedang yang tutup oleh
penanggung adalah hak penanggung untuk menuntut pemenuhannya.
Hak penanggung menuntut ganti rugi pada debitur adalah
berdasarkan subrograsi (penggantian hak-hak si berpiutangoleh seorang
pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang itu, terjadi baik
dengan persetujuan maupun demi undang-undang) yang diatur oleh pasal
284 KUHD. Penuntutan hak penanggung kepada debitur dilakukan oleh
bank. Setelah debitur memenuhi semua kewajibannya pada bank barulah
bank memberikan kepadanya penanggung. Menurut saya hal ini dapat
dimengerti karena perjanjian asuransi dilakukan oleh bank dengan
penanggung, nasabah tidak mempunyai hubungan apapun, kerugian
kepada debitur yang dalam hal ini adalah bank. Baru setelah itu bank
memberikan kepada penanggung. Jadi pada dasarnya penanggung
menuntut pemenuhan pada bank bukan pada nasabah.
Besarnya premi yang harus dibayar tergantung pada macamnya
kredit. Untuk kredit seperti KIK/KMKP preminya 3% dan penarikan
premi adalah pada saat realisasi kredit, biaya premi ditanggung oleh bank
dan Bank Indonesia masing-masing 50% (jadi setengah dari premi 3%).
Sedangkan untuk kredit eksploitasi biasa dengan maksimum
kredit Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) besar preminya. Untuk kredit
yang berbentuk rekening koran seperempat persen dari besarnya kredit
per bulannya, dan ditarik selama 4 bulan berturut-turut. Untuk kredit yang
81
bentuknya persekot dikenakan premi satu persen dari besarnya kredit dan
dipungut sekaligus pada saat realisasi kredit. Sedang kredit eksploitasi
besar diatas dua juta diansuransikan secara kasus per kasus.
Dalam praktek eksekusi yang dilakukan bank ini bertentang
dengan pasal 1266 dan pasal 1267 BW (Burgerlijk Wetboek). Dalam
pasal 1266 BW (Burgerlijk Wetboek) dinyatakan bahwa syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan - persetujuan yang
bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum
tapi pembatalan harus dimintakan pada hakim
Sedang berdasarkan pasal 1267 BW (Burgerlijk Wetboek) pihak
yang dirugikan dapat memilih apabila itu masih dimungkinkan untuk
memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian atau ia menuntut
pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian biaya, kerugian dan
bunga.
Lagi pula biasanya perjanjian kredit bank itu dituangkan dalam
suatu akta yang dibuat dihadapan notaris yaitu grosse akta pengakuan
hutang dan grosse akta kuasa memasang hipotek. Semua grosse akta
berkepala surat “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
sehingga grosse akta itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
putusan pengadilan menurut pasal 224 HIR (Herziene Inlansch
Reglemet), grosse akta mempunyai kekuatan hukum untuk melaksanakan
eksekusi.
82
Kelemahan dari penetapan pasal 224 HIR (Herziene Inlansch
Reglemet) ini adalah ada pula faktor kelicikan mengulur waktu dari
debitur, ada pula factor kecurangan yang dilakukan debitur dalam
rekening pembukaan tetapi yang paling sering adalah adanya kekeliruan
pembuatan dokumen yang diperlukan grosse akta yang bersangkutan.
Padahal bagi pengadilan dan secara disamakan eksekusinya sebagai
putusan yang mempunyai nilai kekuatan eksekusi yang dapat dijalankan
eksekusinya.
Dalam praktek sering terjadi pencampuradukan antara grosse akta
hipotek dan gross akta pengakuan hutang. Akibatnya grosse akta yang
diajukan ke pengadilan tidak jelas bentuknya, hal ini menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Seharusnya perjanjian kredit bank dijadikan sebagai perjanjian
pokok sedangkan perjanjian hipotek sebagai perjanjian ikutan atau
accessoir. Perjanjian hipotek dibuat secara tertulis oleh PPAT tidak dalam
bentuk grosse akta.
Biasanya dalam grosse akta perjanjian hipotek disebutkan adanya
kuasa memasang hipotek yang nantinya dituangkan dalam suatu grosse
akta hipotek. Sering kali pula dalam suatu grose akta perjanjian hipotek
tidak ada sama sekali pernyataan sepihak tentang pengakuan hutangnya.
Akibatnya grosse akta ini menjadi tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial. Dengan adanya grosse akta ini maka bank dapat
memperoleh perlunasan kreditnya dengan cepat dan tidak berbelit-belit.
83
Bank tidak rugi waktu dan biaya karena bank dapat mengeksekusi
jaminan dan dapat menjual dengan segera. Dari hasil penjualan barang
jaminan tersebut bank dapat mengambil pelunasan kreditnya.
3. Penyelesaian Melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
Piutang Negara yang telah macet sama sekali harus segera
diserahkan urusan penyelesaiannya kepada PUPN, jika tidak maka PUPN
berhak mengambil alih persoalannya. Landasan pokok keberadaan dan
kewenangan PUPN bersumber dari Undang-Undang Nomer 49/‟Prp/60
diatur dalam pasal 4 dan pasal 5 serta dalam pasal 2 keputusan Presiden
Nomer 11, Tahun 1976, diantaranya adalah mengurus piutang Negara
yang harus dibayar kepada instansi-instansi pemerintah dan BUMN yang
modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik Negara, baik
pusat maupun di daerah dan mengawasi piutang-piutang kredit yang telah
dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah dan BUMN baik pusat
ataupun daerah.
Sebelum PUPN menyatakan menerima kasus tersebut maka
PUPN mengadakan penelitian lebih dahulu tentang duduk perkara kredit
macet tersebut, penelitian tersebut kurang lebih selama dua minggu.
Penelitian tersebut adalah untuk menetapkan berapa besarnya nilai
nominal dan nilai riil hutang tersebut. Nilai nominal menentukan
besarnya piutang sesuai dengan perjanjian (hutang pokok ditambah bunga
dan biaya-biaya lain). Sedang nilai riil adalah nilai yang diharapkan
sebagai hasil maksimum dari realisasi penyelesaian yang akan
84
dilaksanakan. Setelah PUPN menyatakan menerima kasus tersebut dibuat
perjanjian antara bank dengan PUPN dalam bentuk pernyataan serah
menerima piutang yang menyatakan bahwa :
a. Bank menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN.
b. Bank melepaskan haknya atas debitur.
c. PUPN akan menyerahkan kepada bank semua hasil tagihan piutang.
d. Pengurusan penyelesaian hutang tersebut temasauk pelelangan
barang-barang yang disita.
Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh bank dan PUPN,
setelah penandatanganan berarti PUPN berhak atas penagihan pada
debitur. Sesudah itu PUPN membuat surat teguran kepada debitur untuk
membayar hutangnya. Jika debitur tetap tidak membayar maka PUPN
akan memanggil debitur tersebut.
Apabila debitur datang menghadap ketua PUPN memenuhi
panggilan tersebut maka dibuatlah perjanian antara debitur dengan PUPN
yang dituangkan dalam suatu pernyataan bersama kepala “Demi keadilan
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun isi Perjanjiannya antara
lain:
a. Pengakuan debitur tentang besarnya hutang;
b. jumlah kewajiban debitur;
c. Hak PUPN untuk melalkukan panahan dan sekaligus dengan surat
paksa terhadap keseluruhan hutang debitur apabila debitur tidak
85
melakukan kewajibannya untuk memenuhi peringatan yang
dikeluarkan PUPN;
d. Daftar barang bergerak dan tidak bergerak yang dijadikan jaminan
atas hutang dan pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali
mengenai penguasaan barang-barang tersebut sebelum dipenuhinya
isi penyataan berasama.
Dalam hal surat pernyataan bersama tidak dapat dibuat karena
debitur tidak datang setelah dipanggil atau debitur tidak diketahui tempat
tinggalnya lagi maka PUPN berhak membuat pengumuman panggilan
sebanyak dua kali melalui surat kabar dan selanjutnya dibuat surat paksa.
Surat paksa ini mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena PUPN dibentuk
dengan tujuan untuk menyelesaikan piutang Negara dengan cepat.
Dengan ketentuan hukum yang pasti yang sama dengan putusan hakim
maka kita akan berbelit-belit lagi. Penyitaan yang dilakukan oleh PUPN
mempunyai dua unsur yaitu :
a. Unsur pengamanan yaitu untuk mencegah debitur menggelapkan
harta kekayaannya sehingga sumber pelunasan hutang menjadi tidak
ada.
b. Memberi kesempatan terakhir pada debitur untuk secara suakarela
menguangkan barang-barang yang disita atau membayar hutangnya.
Jika debitur ingin melunasi hutangnya dengan menembus barang
jaminan maka prosedurnya adalah:
86
a. Debitur mengajukan permohonan penembusan kepada PUPN;
b. PUPN secara tertulis memintakan persetujuan bank mengenai harga
penembusan;
c. Bank atas dasar penilainnya sendiri memutuskan penembusan itu
disetujui atau tidak, jika disetujui maka penembusannya dilakukan di
kantor PUPN.
4. Penyelesaian Melalui Pengadilan Negeri.
Penyelesaian kredit melalui Pengadilan Negeri dalam hal ini tidak
dapat dilaksanakan grosse akta. Sebab tidak dapat dilaksanakan oleh
bank. Bank tidak dapat melaksanakan kuasa memasang hipotek karena
obyek jaminan telah disita terlebih dahulu oleh pihak ketiga. Karena bank
hanya mempunyai surat kuasa untuk memasang hipotek saja maka bank
dianggap hanya sebagai kreditur konkuren saja. Maka gugatan bank pada
pengadilan adalah bank meminta agar pihak debitur dihukum untuk
menyerahkan barang jaminannya.
Setelah kasus kredit macet ditangani oleh pengadilan dan
seandainya pihak bank yang dimenangkan maka pengadilan akan
mengeluarkan suatu putusan yang bersifat kondemnator. Ciri putusan
kondemnator adalah dalam amar putusannya terhadap pernyataan
“penghukuman” terhadap tergugat untuk melakukan suatu perbuatan.
Perbuatan yang diinginkan untuk dilaksanakan bisa bermacam-macam
yaitu :
a. Menyerahkan suatu barang;
87
b. Mengosongkan sebidang tanah/rumah;
c. Menghentikan suatu perbuatan / keadaan;
d. Membayar sejumlah uang
Rincian di ataslah yang menentukan suatu putusan bersifat
kondemnator. Putusannnya bisa menyangkut salah satu rincian bahkan
bisa juga digabungkan antara dua rincian diatas.
Setiap putusan yang bersifat kondemnator dengan sendirinya
mempunyai kekuatan hukum eksekutorial (dapat dilaksanakan secara
paksa oleh kekuatan umum).
Jika tergugat tidak melaksanakan putusan dengan suka rela maka
pengadilan akan mengeluarkan surat peringatan sebelum dilakukan
eksekusi. Setelah tenggang waktu dalam surat peringatan sebelum
dilakukan eksekusi tetapi dengan lampaunya tenggang waktu tidak berarti
tergugat tidak dapat putusan dengan sukarela. Tergugat dapat mengajukan
penyelesaian putusan secara sukarela walaupun tenggang waktu
peringatan sudah dilampaui.
Setelah menerima surat penetapan maka panitera menjalankan
perintah eksekusi dan ia harus memberitahukan dan eksekusi kepada
pihak yang kalah.. eksekusi dapat dilakukan dengan bantuan militer. Pada
waktu eksekusi dijalankan sebaiknya tereksekusi hadir. Hal ini
menyangkut eksekusi mengenai benda yang tidak bergerak (eksekusi riil).
88
Dalam hal eksekusi pembayaran uang Pengadilan negeri akan
melakukan sita eksekusi yaitu melakukan penyitaan terhadap barang-
barang tergugat baik bergerak ataupun tidak bergerak. Penyitaan terhadap
barang-barang tergugat dilakukan sampai dianggap cukup sebagai
pengganti jumlah yang harus dibayar ditambah jumlah biaya menjalankan
eksekusi.
5. Penjualan Lelang
Penjualan lelang harus dilakukan dengan perantaraan Kantor
Lelang hal ini sesuai dengan pasal 200 ayat 1 HIR (Herziene Inlansch
Reglemet). Dari pasal 200 ayat 1 HIR (Herziene Inlansch Reglemet) ini
dapat diperinci sebagai berikut :
1. Penjualan di muka umum harta kekayaan tergugat yang telah
dieksekusi.
2. Penjualan di muka umum hanya boleh dilakukan di depan juru lelang.
3. Cara penjualannya dengan jalan harga penawaran semakin meningkat
menurut melalui penawaran secara tertulis.
4. Sebelum lelang dilakukan maka lelang tersebut harus diumumkan
terlabih dahulu. Pengumuman lelang biasa dimuat dalam surat kabar.
Dari hasil lelang tersebut diambilkan untuk pemenuhan piutang
tergugat . piutangnya meliputi tagihan pokok tergugat ditambah biaya
eksekusi. Jika dari hasil lelang ini masih kurang maka ketua Pengadilan
Negeri berhak memerintahkan eksekusi lanjutan terhadap harta kekayaan
tereksekusi.
Tetapi jika hasil lelang telah cukup dan bahkan lebih untuk
membayar tagihan pokok biaya eksekusi maka kelabihannya
dikembalikan kepada tereksekusi. Sedangkan lelang menurut PUPN lain
89
lagi. PUPN juga berhak melakukan persitaan terhadap barang debitur dan
melakukan lelang. Setelah PUPN menyita barang-barang debitur, PUPN
akan mengumumkan lelang tersebut dalam surat kabar, baru lelang
dilakukan. Pada waktu lelang dilakukan pihak bank dapat diundang untuk
mengahadiri lelang tersbut. Hasil lelang itu harus memenuhi jumlah
piutang debitur.
Penyelesaian hukum ini untuk melindungi bank dari kerugian
yang ditimbulkan akibat wanprestasi yang dilakuakan oleh debitur.
Sedang bagi debitur juga ada manfaatnya yaitu supaya debitur tidak
mendapat perbuatan sewenang-wenang dari bank. Dengan jalur hukum
ini debitur akan mendapat perlindungan hukum karena kreditur tidak
dapat bertindak diluar aturan hukum yang ada.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mekanisme perjanjian kredit dengan Surat Keputusan Pegawai Negeri
Sipil di Bank Rakyat Indonesia terbilang cukup mudah. Calon debitur
hanya diminta menyerahkan permohonan pinjaman yang dapat
diajukan ke kantor cabang Bank Rakyat Indonesia di seluruh wilayah
Indonesia yang memiliki kerjasama oleh intansi tempat calon debitur.
2. Langkah-langkah awal yang dilakukan oleh kreditur apabila debitur
wanprestasi adalah melalui jalur non litigasi atau jalur kekeluargaan
dimana pihak bank melakukan pengamatan mendalam terhadap sebab-
sebab debitur wanprestasi, mencari apa saja faktor penghalang debitur
dalam melaksanakan kewajibannya serta bagaimana solusi yang tepat
agar debitur bisa melanjutkan kewajibannya kembali.
3. Jika jalur kekeluargaan tidak mendapatkan hasil yang memuaskan,
maka kreditur melakukan jalur hukum. Dimana kreditur menggugat
debitur ke pengadilan untuk mendapatkan hak-haknya. Krditur bisa
memilih proses hukum yang akan dilakukannya, melalui PUPN
(panitia Urusan Piutang Negara) atau melalui Pengadilan Negeri yang
berhujung kepada penyitaan harta kekayaan sesuai dengan besaran
hutang debitur.
91
B. Saran.
1. Perjanjian kredit sebaiknya diseragamkan dalam suatu bentuk
perjanjian kredit yang telah disahkan oleh pemerintah. Perjanjian
kredit tersebut sebaiknya langsung mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, yang sama dengan putusan pengadilan yang dapat langsung
dilaksanakan eksekusinya.
2. Dapatkan jaminan tambahan. Tindakan ini dapat menguntungkan
kedua belah pihak. Karena kreditur (bank) memperoleh jaminan yang
kuat secara yuridis dari debitur.
3. Sertakan pihak ketiga atau asuransi dalam perjanjian kredit agar
apabila debitur wanprestasi pihak ketiga atau pihak asuransi mampu
melunasi utang debitur, sehingga bank tidak mengalami kerugian.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asyhadie Zaeni. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubugan Kerja, Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2007.
A.W.Widjaja. Administraasi Kepegawaian. Rajawali. 2006.
Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2007.
Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2009.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011.
Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis, Bandung. Alumni. 1994.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti. 2007.
Muhammad,Djumhana. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
2000.
Johannes Ibrahim. Cross Default Dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit
Bermasalah. Bandung : Refika Aditama. 2004.
Peter M Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2011.
Ruddy, Tri Santoso. Kredit Usaha Perbankan. Yogyakarta. 1996.
Satrio. Hukum Jaminan, Hukum Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. PT Citra Aditya
Bakti Bandung. 1997.
Suyatno. dkk. Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta : STIE Perbanas. 1999.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Pers. Jakarta. 2001.
Usman,Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Putaka Utama. 2004.
Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
2003.
Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad. Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo. 2004.
Perturan Perundang-undangan dan Peraturan Lainnya:
Repubik Indonesia. Undang-Undang Tentang Pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974.
Repubik Indonesia. Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003.
Repubik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 Perubahan Atas Pertaturan
Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 Tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 Perubahan Atas Pertaturan
Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 Tentang wewenang
pengangkatan pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.