Media Dan Propaganda
-
Upload
shei-latiefah -
Category
Documents
-
view
1.336 -
download
5
Transcript of Media Dan Propaganda
Media dan Propaganda
Shefti L. Latiefah1
Definisi Propaganda
Propaganda, dilihat dari perspektif modern, mengimplikasikan sesuatu yang buruk.2 Sebagian
mengatakan propaganda menyebabkan peperangan, sebagian lain berpendapat, propaganda itu
lebih kejam dari perang itu sendiri. Propaganda mendorong seseorang untuk berpikir dan berbuat
hal yang bahkan belum kita pikirkan sebelumnya. Propaganda mengaburkan pemahaman
seseorang dengan menyediakan lapisan-lapisan yang terdistorsi. Oleh karena itu, propaganda
menjadi musuh pemikiran independen dan merupakan manipulator yang tak dikehendaki dan
mnggangu dalam aliran informasi-bebas. Selain itu, propaganda juga menghendaki adanya
kemenangan emosi. Dengan dalih perjuangan birokratis, penguasa mengontrol individu lewat
propaganda. Dalam bukunya, Taylor menyebutkan, propaganda adalah suatu trik kotor yang
dimanfaatkan oleh “pembujuk tersembunyi”, “manipulator pikiran”, ataupun “pencuci otak”.
Taylor mencontohkan Goebbels yang menyukseskan propaganda Nazi.
Richard Alan Nelson menyebut propaganda itu didefinisikan sebagai formasi sistemik dari
persuasi yang bertujuan untuk memengaruhi emosi, sikap, opini, dan aksi yang targetnya spesifik
untuk tujuan ideologi, politik, dan komersial melalui transmisi terkontrol pesan yang disampaikan
melalui media massa maupun kanal media lainnya. Sedangkan, Garth Jowett dan Victoria
O’Donnell sendiri memiliki anggapan bahwa propaganda adalah usaha yang disengaja dan
sistemik untuk membentuk persespsi, memanipulasi kognisi, dan menyetir tindak-tanduk
seseorang untuk meraih respon yang dinginkan oleh propagandis.3 Definisi ini fokus terhadap
proses komunikasinya. Dalam proses tersebut, propaganda kemudian dianggap sebagai sesuatu
yang netral, dapat dipandang positif atau negatif berdasarkan perpektif masing-masing.
Propaganda merupakan daya penarik untuk emosi, bukan intelektual yang menggunakan teknik
iklan dan hubungan masyarakat. Oleh karena itu, propaganda dapat mempromosikan produk
1 Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Media Studies, NIM. 208 000 0392 Lih. Phillip M. Taylor. Munition of Mind, Manchester University Press, USA, 2003, hlm. 1.3 Dikutip dari www.wikipedia.com, dengan catatan: Garth Jowett and Victoria O'Donnell, PROPAGANDA AND PERSUASION, 4th ed. Sage Publications, p.7
1
komersial ataupun membentuk persepsi organisasi, orang, atau merk tertentu, meski pada era
pasca-PD II, penggunaan propaganda lebih merujuk pada teknik mempromosikan ide-ide.
Penolakan fenomena atas propaganda serta-merta dilihat dalam politik sebagai substitusi atas
pemasaran politik dan disain yang lain untuk propaganda politis.
Propaganda juga memiliki persamaan dalam kampanye informasi publik oleh pemerintah, yang
ditujukan untuk mendorong maupun mengecilkan semangat beberapa bentuk kelakuan (seperti
menggunakan sabuk pengaman, tidak merokok, dan lain-lain). Lagi-lagi, penekanan propaganda
lebih kearah politis. Dengan menggunakan berbagai kanal media seperti leaflet, poster, TV, radio
dan semacamnya.
Teori jurnalistik pada umumnya berpegang pada objektivitas berita. Memberikan informasi yang
akurat pada khalayaknya. Di lain pihak, iklan berevolusi dari komersial tradisional, menjadi iklan
yang juga menyertakan tipe berita berupa artikel bayaran, atau disamarkan sebagai berita dalam
siaran tertentu. Hal ini secara umum menampilkan isu dengan sangat subjektif dan lebih mengarah
pada persuasi daripada menginformasi. Normalnya, teknik propaganda yang digunakan tidak
kentara dan tidak lebih jelas dari iklan tradisional. Jika, khalayak percaya bahwa tayangan iklan
bayaran yang dilihatnya itu bagian dari berita, maka, pesan dalam iklan tersebut lebih dapat
dipercaya dan terinternalisasi dengan cepat.
Propaganda dapat diklasifikasikan menurut sumber dan asal pesan. Propaganda putih secara umum
berasal dari sumber yang teridentifikasi dan dikarakteristikkan dengan metode persuasi yang lebih
jujur, seperti teknik standar hubungan masyarakat dan presentasi argumen secara sepihak.
Propaganda hitam teridentifikasi seperti dari satu sumber, tapi ternyata dari sumber lain. Hal ini
umumnya untuk menyamarkan asal dari propaganda tersebut, dapat didapat dari musuh negara
tersebut atau dari organisasi yang memiliki citra buruk di masyarakat. Sedangkan, propaganda
abu-abu adalah propaganda yang tanpa sumber atau penulis yang teridentifikasi.
Teori-teori Propaganda
Media, selain sebagai sarana hiburan, juga memiliki fungsi politik. Media dapat menjadi per-
panjangan kemampuan individu untuk mengobservasi dan memelajari pengalaman dan opini orang
lain.4 Tambahan informasi ini akan diadaptasi secara attitude (sikap) dan kemudian dijadikan
4 Lih. George Comstock. The Psychology of Media and Politics. Elsevier Academic Press, USA, 2005, hlm. 217.2
behavior (tindak-tanduk). Sikap, maksudnya adalah kecenderungan tentang hal-hal seperti
kepercayaan, persepsi dan nilai. Tindak-tanduk, yang akan lebih difokuskan dalam pembahasan
Comstock, adalah tentang konsumsi dan aspek sosialisasi: peran jender dan agresi.
Ketika ditanya motif yang mendasari seseorang untuk menonton televisi, banyak yang berpendapat
bahwa media membantu mereka memelajari dan membuat mereka tetap siaga akan hal-hal yang
terjadi di sekitar mereka (Albarran & Umphrey, 1993; Harwood, 1997).5 Media, disisi lain, juga
merekonstruksi hubungan sosial di masyarakat. Pendefinisian umum yang ada, kemudian
diperkuat lagi oleh media. Representasi norma juga ditayangkan, yang kemudian mengabsahkan
bahwa terdapat beberapa hal yang benar, berharga, dan diterima secara sosial. Media menyediakan
ruang bagi individu untuk memonitor kehidupan di sekitar mereka. Inilah yang dinamakan sebagai
fungsi surveillance (pengawasan) dari media massa.
Comstock menjabarkan beberapa aspek yang memengaruhi propaganda oleh media, tiga aspek
utamanya adalah pengaruh sosial, perilaku konsumen, sosialisasi. Pembahasana pertama,
mengenai perubahan sosial menyangkut dua teori dasar, yakni teori perbandingan sosial dan teori
identitas sosial.
A. Pengaruh Sosial
Teori perbandingan sosial adalah teori yang mendeskripsikan kecenderungan individu yang
membandingkan diri mereka dengan orang lain dan melihat refleksi atas diri mereka. Biasanya,
upaya ini dilakukan untuk menyokong keadaan yang diinginkan. Misalnya, ketika seseorang ingin
melihat dirinya sebagai orang pandai, ia akan membandingkan dirinya dengan orang yang tidak
pandai, dst. Sedangkan, Teori Identitas sosial ialah teori yang memfokuskan pengaruh grup
terhadap perkembangan individu.
Teori ini menyangkut konsep diri seseorang yang lebih condong untuk mengkategorikan diri
mereka terhadap grup tertentu dan merasa antipati terhadap grup lain di luar diri mereka. 6
Misalnya, seseorang akan lebih merasa dirinya sebagai “Orang Indonesia” daripada “Orang
pintar”. Hal ini sejalan dengan pendefinisian dari Tajfel (1978)7 bahwa identitas sosial adalah
5 ? Ibid6 Ibid, hlm. 2237 Ibid, hlm. 224
3
bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan akan keanggotaan dari grup sosial
bersamaan dengan nilai dan signifikansi yang melekat pada keanggotaan tersebut.
B. Tindak-tanduk Konsumen
Pembahasan selanjutnya adalah tentang tindak-tanduk konsumen. Individu mengkonsumsi barang
dan jasa tiap harinya. Prasaratnya adalah keputusan untuk membeli sebuah produk atau melakukan
transaksi jasa. Merk, biasanya memiliki peran penting karena ia yang menyebabkan timbulnya
persepsi atas kualitas dan kecocokan. Seperti ketika memutuskan sesuatu yang kompleks
misalnya, membeli mobil hingga sesuatu yang simpel seperti mengambil permen karet yang
tersedia di kasir. Konsumen selalu memilih barang dan jasa yang sesuai dengan minat dan
kemampuan mereka. Model populer untuk memengaruhi tindak-tanduk konsumen adalah
“Marketing 4P” oleh McCarthy. Model 4P itu adalah Price, Product, Placement, dan Promotion.
Menurut McCarthy, model tersebut dapat mempengaruhi konsumen hingga memutuskan untuk
melakukan pembelian. Selain itu, Comstock menambahkan “P” kelima yang menurutnya juga
penting, yakni people. Penggambaran people yang terpuaskan dan menikmati produk barang atau
jasa menimbulkan perhatian lebih oleh khalayak media massa. Tentu saja hal ini juga mening-
katkan tingkat penjualan.
Sayangnya, kelicikan marketing tidak habis-habis. Penggunaan model tidak terbatas hanya untuk
mengiklankan produk, tapi lebih kearah preferensi model menggunakan produk tersebut di
berbagai event: acara TV, talk show, dan sebagainya. Tampilan seperti ini, secara tidak langsung
memersuasi konsumen untuk menggunakan apa yang mereka pakai. Strategi ini dinamakan
product placement.
Selain model 4P tadi, perhatian terhadap grup rujukan juga penting. Grup tersebut merupakan
kumpulan dari individu yang memiliki kesamaan minat dan kepentingan. Ketika produsen
mendekati grup rujukan dan melancarkan strategi marketing, maka, individu dalam grup tersebut
akan saling menyebaran informasi dan mempromosikan secara sadar ataupun tidak sadar pada
anggota yang lain. Selain dengan pendekatan terhadap grup rujukan tadi.
Cara lain yang dapat digunakan dalam propaganda marketing adalah dengan mempekerjakan
endorser untuk mempromosikan barang/ jasa. Startegi ini menjadi penting sejak pencitraan
semakin berjaya. Endorser dapat berupa selebritis, tokoh masyarakat, maupun orang awam
4
sekalipun untuk mencitrakan produk yang dipromosikan. Children dan Rao8 menjelaskan bahwa
refleksi dari penggunaan endorser dapat menembus benak individu yang mengaguminya, sehingga
dapat memengaruhi penyerapan informasi, menentukan sikap dan kemudian merangsang calon
pembeli untuk melakukan pembelian.
C. Standar
Aspek lain yang memengaruhi tindak-tanduk konsumen adalah standar dan mode. Standar yang
dimaksudkan disini adalah bagaimana individu memandang sesuatu berdasarkan apa yang
digambarkan di masyarakat. Dari sini kemudian produsen menciptakan pencitraan (lewat media)
untuk mempromosikan produknya. Karena standar berhubungan dengan orang lain, maka
perbandingan sosial kembali digunakan. Produsen menciptakan pencitraan yang melahirkan
perbandingan sosial tingkat atas. Dengan menjejali khalayak dengan barang-barang mewah dan
endorser kelas atas, produsen ingin mengkonstruksikan pemikiran khalayak bahwa untuk dapat
menjadi bagian dari kelas atas, maka, mereka harus membeli produk tersebut.
Perbandingan lainnya, yakni, perbandingan tingkat bawah mengkonstruksikan pemikiran
masyarakat tentang tidak enaknya menderita hal-hal yang dialami masyarakat yang ada di kelas
bawah, semisal sakit, tidak populer, dan masih banyak lagi. Sehingga, untuk menghindari hal itu,
mereka harus membeli produk tertentu.
Standarisasi yang diciptakan produsen melalui media cukup ampuh dalam memengaruhi perilaku
konsumen. Mode pun tak kalah marketable. Deretan merk terkenal seperti Burburry, Louis
Vuitton, Gucci, Bosch, Adidas, dan masih banyak lagi menciptakan kelas sosial tersendiri bagi
penggunanya. Khalayak tidak hanya membutuhkan media sebagai hiburan dan saran memperoleh
informasi saja, namun juga demi mengikuti tren mode yang, menurut produsen, pangsa pasarnya
sangat menguntungkan.
Dalam propaganda media, titik fokusnya tidak hanya terletak pada promosi untuk meningkatkan
penjualan. Media, juga memengaruhi relasi sosial khalayaknya. Khalayak melakukan pengamatan
atas norma, opini yang berkembang di masyarakat dan apa saja yang terjadi di dunia sekitar
mereka melalui media. Oleh karena itu, media memiliki peranan penting dalam membentuk opini
publik dalam berprasangka dan bertindak.
8 Ibid, hlm. 2325
Media, Propaganda dan Masyarakat
Di era propaganda, hal yang paling mungkin dilakukan adalah mengidentifikasikan propaganda itu
sendiri. Propaganda dapat digunakan untuk hal baik maupun buruk, seperti hanya bentuk dari
komunikasi. Namun, pengaruhnya yang mudah menyebar dalam masyarakat kontemporer adalah
refleksi, bukan hanya karena keberagaman media, namun juga pluralitas mediatornya yang
membuat kita berpikir, dan berbuat sesuatu untuk yang merujuk pada keinginan mereka.
Keinginan itu mungkin saja sesuai dengan keinginan kita. Jika memang demikian, maka, kita tidak
melabelnya sebagai propaganda. Hal itu menjadi sistem nilai dan kebenaran bersama.
Sebenarnya, propaganda berbicara tentang pihak. Seperti yang tadi dijelaskan, sesuatu akan dicap
sebagai propaganda apabila tidak berada di pihak kita. Lipmann9 menganalisis bahwa, media
memiliki peran sebagai mesin propaganda pemerintah. Pada masa pemerintahan otoriter, mungkin
hal ini memang terjadi, namun, ketika media sudah berada pada era demokrasi, maka, model
analitis yang lebih relevan adalah model propaganda yang dibentuk oleh Herman dan Chomsky,
disebut “Manufacturing Consent”.
Para sarjana kekirian itu memperkenalkan model propaganda yang menganalisis bias sistemik
dalam media di Amerika dengan faktor-faktor yang menetukannya. Faktor-faktor tersebut adalah:
(1) peningkatan konsentrasi kepemilikan media oleh grup tertentu yang lebih tertarik pada
keuntungan ketimbang penyampaian informasi pada publik. (2) peningkatan ketergantungan media
pada revenue iklan. (3) ketergantungan media pada narasumber, Karena posisi narasumber yang
penting, narasumber bisa mengontrol isi berita. (4) Flak, atau, respon negatif terhadap media. (5)
anti-komunisme. Faktor-faktor berikut inilah yang menurut mereka memarjinalisasi suara-suara
alternatif dan membuat kepentingan-kepentingan tertentu melakukan akses sesuai keinginan
mereka pada media massa.
Hal ini seperti yang kita ketahui dalam praktek bermedia di Indonesia. Model propaganda Herman
dan Chomsky itu memang terjadi sehingga menyebabkan publik mendapat informasi terbatas,
dikarenakan, peliputan di media yang terfilter oleh lima faktor tadi. Misalnya, ketika kasus kisruh
yang terjadi di TPI. Hampir mustahil, RCTI atau majalah Trust untuk memberikan berita yang
obyektif ketika ribut-ribut mengenai sengketa saham TPI antara Siti Herdiyanti Rukmana (Tutut) 9 Lih. Phillip M. Taylor, Op. Cit, hlm. 323
6
dan Hary Tanusoedibjo.10 Karena memang, menyangkut sang pemilik media, Hary Tanusoedibjo.
Terkonsentrasinya kepemilikan media di Indonesia, tidak diragukan lagi, menyebabkan para
pemilik dapat mengontrol konten media tersebut dan tidak beragamnya konten media.
Kemudian, ketika menilik Propaganda birokratis, yang sangat terkenal, tidak dipungkiri, berasal
dari Nazi Jerman. Propaganda di negara tersebut diproduksi oleh kementrian penerangan publik
dan propaganda, Joseph Goebbels. Kecanggihan Goebbels adalah, setelah dia diangakat menjadi
menteri, seluruh jurnalis, penulis, dan seniman harus mendaftarkan dirinya dan berada dibawah
naungan kementrian tersebut, yang juga menguasai pers, seni, musik, bioskop, film,
kesusasteraan, dan radio.
Nazi percaya bahwa propaganda merupakan alat penting untuk mencapai tujuan mereka.
Pemanfaatan media dalam menyebar propaganda tersebut, dinilai sangat signifikan. Oleh karena
itulah, Goebbels dan Hitler sering bertemu untuk mendiskusikan berita yang akan terbit. Nazi juga
menerbitkan buku dan membuat film untuk menyebarkan ideologi mereka.
Media massa merupakan instrumen efektif dalam penyebaran propaganda, terutama jika dilihat
dari model yang diusung oleh Herman dan Chomsky tadi. Ternyata, tidak hanya media massa,
media seperti internet pun tidak lepas dari penyebaran propaganda. Derasnya arus informasi yang
tersebar di internet menyebabkan Pemerintah China membangun firewall untuk melindungi
penduduknya.11 Peningkatan pengguna media internet, terlebih dalam hubunganya dengan sistem
politik seakan mengabsahkan keberadaannya. Pemerintah Amerika sengaja membuat internet
sebagai mesin propaganda. Internet, selain sebagai sarana berpolitik, juga dipergunakan sebagai
praktek marketing.
Tidak hanya di Amerika, di Indonesia, keberadaan media semacam internet juga memberikan
kontribusi besar terhadap propaganda. Seperti yang disebutkan oleh Jowet dan O’Donnell12 bahwa
propaganda bisa negatif dan positif, tergantung perspektif yang menilainya, internet kemudian
menjadi media propaganda yang sangat efisien. Melalui internet, pembebasan Bibit-Chandra
menjadi lebih capat, dan, melalui propaganda internet pulalah, tuntutan hukum pada Prita
Mulyasari oleh RS. Omni Internasional dicabut, Prita juga mendapat dukungan penuh dari publik
10 Dikutip dari presentasi mata kuliah Ekonomi Politik, Eriyanto, Varian Dalam Pendekatan Ekonomi Politik (1): Instrumentalis, 201011 Ibid12 Lih. Hlm. 1
7
dengan pengumpulan koin yang dimaksudkan untuk membayar denda, namun, ternyata denda
tersebut juga dihapuskan oleh RS. Omni.
KESIMPULAN
Propaganda, meski sering ditujukan untuk hal yang negatif, namun, ternyata propaganda juga
dimaksudkan untuk hal yang positif. Misalnya, propaganda untuk selalu menggunakan sabuk
pengaman, tidak merokok, ataupun menggunakan KB. Hanya karena propaganda pernah sangat
sukses ketika masa kepemimpinan Nazi oleh Hitler, akhirnya, propaganda dipandang sebagai
kegiatan negatif yang memaksakan ideologi pada seseorang. Dalam bahasa Inggris, propaganda
sebenarnya bermakna netral, mendeskripsikan diseminasi atas informasi yang mendukung sebab-
sebab tertentu. Sekitar di abad 20, entah bagaimana, terminologi tersebut menjadi negatif di negara
barat. Menurut mereka, terminologi tersebut merepresentasikan diseminasi yang disengaja, yang
biasanya tidak benar, memaksa untuk mendukung atau membenarkan aksi politis atau ideologi
tertentu.
Teori-teori propaganda yang sudah dibahas menyangkut teori pengaruh sosial yang menjelaskan
teori perbandingan sosial dan teori identitas sosial. Kedua teori tersebut menggambarkan
kecenderungan seseorang membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain untuk
mengintrospeksi diri masing-masing. Dalam konteks propaganda, teori ini memungkinkan
tersebarnya paham dan keyakinan tertentu ketika hal tersebut memang didukung oleh masyarakat
dominan. Teori lain yakni, tentang tindak-tanduk konsumen. Propaganda tidak selamanya politis
yang birokratis. Propaganda juga digunakan dalam praktek marketing. Pemberian pengaruh supaya
melakukan pembelian dalam praktek marketing, diperkenalkan oleh McCarthy, dengan model
4Pnya (Price, Product, Placement, dan Promotion).
Masih dalam konteks propaganda dalam bidang marketing, teori lainnya yakni tentang
standarisasi. Dengan menetapkan standar, para kapitalis akan berhasil memengaruhi tindak-tanduk
konsumen hanya dengan persepsi mereka sendiri akan barang yang bagus dan tidak.
Pengkonstrusian atas citra produk menjadi konsentrasi utama.
Berbicara mengenai propaganda tanpa mempetimbangkan media yang menjadi alatnya tentu
kurang sempurna. Media, dalam hal ini menjadi instrumen terpenting dalam sukses atau tidaknya
propaganda yang digagas. Dengan model yang diusung Herman dan Chomsky tentang
8
propaganda, kita bisa melihat bagaimana pola media mengkonstruksi pesan sehingga menjadi
informasi yang sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan. Model propaganda oleh Herman
dan Chomsky memiliki lima faktor, yakni: (1) peningkatan konsentrasi kepemilikan media oleh
grup tertentu. (2) peningkatan ketergantungan media pada revenue iklan. (3) ketergantungan media
pada narasumber. (4) Flak. (5) anti-komunisme.
Penggunaan media ternyata juga merupakan senjata ampuh bagi Nazi Jerman untuk
menyebarluaskan ideologi mereka. Berkat Goebbels, propaganda Nazi menjadi sukses. Goebbels
berhasil menguasai pers, seni, musik, bioskop, film, kesusasteraan, dan radio.
Propaganda melalui media massa memang efektif, namun, ternyata, media seperti internet pun
tidak lepas dari penyebaran propaganda. Derasnya arus informasi yang tersebar di internet
menyebabkan penyebaran propaganda juga berlangsung cepat. Sehingga tidak jarang
pemerintahan komunis membatasi akses media tersebut dengan dalih melindungi penduduknya.13
Keberadaan media semacam internet di Indonesia memberikan kontribusi besar terhadap
propaganda. Melalui internet, banyak kasus yang seakan tersendat di jalur hukum menjadi jalan
kembali karena tekanan dari masyarakat lewat internet, baik di milis, forum, maupun facebook.
Sekali lagi, perlu diberikan penekanan bahwa, meski propaganda banyak dinilai sebagai hal yang
negatif, namun, tidak semua bentuk propaganda itu merugikan. Kenyataannya, propaganda adalah
pengaruh yang bersifat emosional, sehingga pembentukan persespsi, pemanipulasian kognisi, dan
penyetiran tindak-tanduk menjadi mudah dilakukan oleh Propagandis. Kecenderungannya ada
pada sang propagandis, apabila propagandis tersebut menginginkan sesuatu demi kebaikan
bersama, maka tidak ada salahnya bukan? Yang pasti, sikap kritis harus selalu diterapkan dalam
hal ini,sehingga tidak semata-mata mengikuti keinginan propagandis. Dapat dibayangkan, hal ini
akan sulit, karena propaganda sifatnya merayu dan membujuk, tentu saja tidak frontal. Karena
ketersembunyiannya itulah, mengapa propaganda cenderung sukses, dengan sesuatu yang tidak
tertebak sebelumnya. [ ]
13 Lih. Hlm. 79