MATERI UTAMA KEGIATAN BELAJAR 3 A. Kekhasan Bidang...

95
MATERI UTAMA KEGIATAN BELAJAR 3 A. Kekhasan Bidang Studi dan Implementasinya dalam Pembelajaran di SD Pembelajaran yang efektif didesain oleh guru dengan memperhatikan kekhasan bidang studi, materi dan siswa. Kekhasan tentang bagaimana seharusnya guru mendidik atau memfasilitasi pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik bidang studi disebut pedagogi khas bidang studi (subject specific pedagogy). Dalam pembelajaran, kekhasan pedagogi bidang studi ini dapat dilihat dari perencanaan pembelajaran yang telah disusun oleh guru meliputi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), media pembelajaran, bahan ajar, dan alat evaluasi. Kurikulum 2013 yang sedang dilaksanakan pada saat ini mengharuskan pembelajaran di setiap jenjang kelas di sekolah dasar menerapkan pendekatan tematik terpadu. Pada pembelajaran tematik terpadu, beberapa bidang studi dipadukan oleh tema atau subtema pemersatu dalam bentuk jaringan tema atau subtema. Dalam praktiknya, sering terjadi pada satu jaringan tema atau subtema terdapat kompetensi dasar dari dua bidang studi atau lebih. Pada umumnya, guru merumuskan indikator yang sama untuk kompetensi dasar tersebut meskipun bidang studinya berbeda tanpa melakukan identifikasi terhadap kekhasan bidang studi tersebut, padahal seharusnya indikator dirumuskan juga berdasarkan kekhasan bidang studi yang berdampak pada kekhasan pedagoginya ketika dirumuskan menjadi pengalaman belajar siswa (learning experience). Bab ini memaparkan tentang kekhasan bidang studi dan kekhasan pedagoginya untuk bidang studi di sekolah dasar yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. 1. Kekhasan Bidang Studi Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia merupakan media penerima dan penyampai (penghela) mata pelajaran lainnya. Bahasa Indonesia merupakan sarana untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik berbentuk

Transcript of MATERI UTAMA KEGIATAN BELAJAR 3 A. Kekhasan Bidang...

MATERI UTAMA KEGIATAN BELAJAR 3

A. Kekhasan Bidang Studi dan Implementasinya dalam Pembelajaran di SD

Pembelajaran yang efektif didesain oleh guru dengan memperhatikan

kekhasan bidang studi, materi dan siswa. Kekhasan tentang bagaimana seharusnya

guru mendidik atau memfasilitasi pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik

bidang studi disebut pedagogi khas bidang studi (subject specific pedagogy).

Dalam pembelajaran, kekhasan pedagogi bidang studi ini dapat dilihat dari

perencanaan pembelajaran yang telah disusun oleh guru meliputi silabus, Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), media pembelajaran, bahan ajar, dan alat

evaluasi.

Kurikulum 2013 yang sedang dilaksanakan pada saat ini mengharuskan

pembelajaran di setiap jenjang kelas di sekolah dasar menerapkan pendekatan

tematik terpadu. Pada pembelajaran tematik terpadu, beberapa bidang studi

dipadukan oleh tema atau subtema pemersatu dalam bentuk jaringan tema atau

subtema. Dalam praktiknya, sering terjadi pada satu jaringan tema atau subtema

terdapat kompetensi dasar dari dua bidang studi atau lebih. Pada umumnya, guru

merumuskan indikator yang sama untuk kompetensi dasar tersebut meskipun

bidang studinya berbeda tanpa melakukan identifikasi terhadap kekhasan bidang

studi tersebut, padahal seharusnya indikator dirumuskan juga berdasarkan

kekhasan bidang studi yang berdampak pada kekhasan pedagoginya ketika

dirumuskan menjadi pengalaman belajar siswa (learning experience).

Bab ini memaparkan tentang kekhasan bidang studi dan kekhasan

pedagoginya untuk bidang studi di sekolah dasar yaitu Matematika, Bahasa

Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu

Pengetahuan Alam, Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani,

Olahraga dan Kesehatan.

1. Kekhasan Bidang Studi Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia merupakan media penerima dan penyampai (penghela)

mata pelajaran lainnya. Bahasa Indonesia merupakan sarana untuk

mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik berbentuk

perasaan, pikiran, gagasan, dan keinginan yang dimilikinya (sebagai alat ekspresi

diri) serta untuk menyatakan dan memperkenalkan keberadaan diri seseorang

kepada orang lain dalam berbagai tempat dan situasi. Dengan demikian, hakikat

mata pelajaran bahasa Indonesia antara lain:

a. Sarana berpikir

Bahasa Indonesia merupakan sarana belajar memahami dan memproduksi

gagasan, perasaan, pesan, informasi, data, dan pengetahuan untuk berbagai

keperluan komunikasi keilmuan, kesasteraan, dunia pekerjaan, dan komunikasi

sehari-hari baik secara tertulis maupun lisan. Dengan kata lain, bahasa

Indonesia merupakan sarana berpikir yang merupakan aktivitas sentral siswa

untuk memahami dan memproduksi gagasan, perasaan, pesan, informasi, dan

data dengan baik.

b. Sarana perekat bangsa

Bahasa Indonesia memiliki peran sentral untuk mempersatukan bangsa dan

sarana pengembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa. Pembelajaran

bahasa Indonesia diharapkan membantu siswa mengembangkan potensi pikir,

rasa, dan karsa untuk mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain,

membangun komunikasi efektif sehari-hari, membangun relasi sosial yang

harmonis, berpartisipasi dalam masyarakat menggunakan bahasa Indonesia,

mengemukakan gagasan dan perasaan, menemukan serta menggunakan

kemampuan berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan imaginatif yang ada dalam diri

siswa.

c. Penghela ilmu pengetahuan

Bahasa Indonesia melalui aktivitas membaca, menyimak, berbicara dan

menulis sebagai sarana penerima dan penyampai ilmu pengetahuan lainnya.

Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia, siswa dapat menerima dan

menyampaikan ide dan gagasan yang dihasilkannya pada disiplin ilmu lainnya

dengan baik dan benar.

d. Penghalus budi pekerti

Lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup kemampuan berbahasa

dan bersastra. Melalui jenis teks sastra, bahasa Indonesia dapat dijadikan

sebagai sarana penghalus budi pekerti siswa. Sastra Indonesia sebagai media

ekspresi sikap kritis dan kreatif terhadap berbagai fenomena kehidupan mampu

menumbuhkan kehalusan budi, kesetiakawanan sosial, kepedulian terhadap

lingkungan, dan mampu membangun kecerdasan kehidupan masyarakat.

e. Pelestari budaya bangsa

Bahasa Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa yang perlu terus

dilestarikan eksistensinya. Sebagai bagian dari budaya bangsa yang perlu

dijunjung tinggi, eksistensi bahasa Indonesia akan terus bertahan dan bahkan

menguat bila dilestarikan setiap penuturnya.

Kegiatan berbahasa Indonesia mencakup kegiatan produktif dan reseptif di

dalam empat aspek berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan

menulis. Menyimak adalah kegiatan memahami informasi melalui sarana bunyi

(lisan). Membaca adalah kegiatan memahami informasi melalui sarana tulisan.

Berbicara adalah keterampilan berbahasa lisan yang bersifat produktif, baik yang

interaktif, semi interaktif, dan non interaktif. Menulis merupakan keterampilan

berbahasa yang paling rumit dengan mengembangkan dan menuangkan pikiran-

pikiran dalam struktur tuisan yang teratur bukan hanya sekedar menyalin kata-

kata dan kalimat-kalimat.

Kemampuan berbahasa yang bersifat produktif merupakan kemampuan

untuk menuangkan ide-ide dalam bentuk lisan (kegiatan berbicara) maupun

tulisan (kegiatan menulis). Sedangkan kemampuan berbahasa yang bersifat

reseptif pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk memahami bahasa yang

dituturkan oleh orang lain melalui lisan (kegiatan menyimak) maupun tulisan

(kegiatan membaca). Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan

untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa

Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan melalui

kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis untuk mengembangkan

kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif.

Pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 menerapkan

pendekatan berbasis teks. Pendekatan ini bertujuan agar siswa mampu

memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya.

Dalam pembelajaran bahasa yang berbasis teks, bahasa Indonesia diajarkan bukan

sekedar sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang berfungsi

untuk menjadi aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial dan akademis.

Teks harus dipandang sebagai satuan bahasa yang bermakna secara kontekstual.

Prinsip pembelajaran bahasa berbasis teks terdiri dari: (1) bahasa dipandang

sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah

kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk

kebahasaan untuk mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu

penggunaan bahasa yang yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks karena

dalam bentuk bahasa yang digunakan itu tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi

penggunanya, dan (4) bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan

berpikir manusia.

Pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks terdiri dari langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Membangun konteks

Tahap ini dimulai dengan memperkenalkan konteks sosial dari teks yang

dipelajari melalui presentasi konteks (gambar, benda nyata, field-trip,

kunjungan, atau wawancara), mengeksplorasi ciri-ciri dari konteks budaya

umum dari teks yang dipelajari, mempelajari tujuan dari teks tersebut (diskusi,

survey), dan mengamati konteks dan situasi yang digunakan dengan

membandingkan penggunaan teks antara dua kebudayaan berbeda, antara

teman dekat, teman kerja, atau orang asing.

b. Pemodelan

Pada tahap ini, siswa mengamati pola dan ciri-ciri dari teks yang diajarkan.

Siswa dilatih untuk memahami struktur dan ciri-ciri kebahasaan teks.

c. Menyusun teks secara bersama

Pada tahap ini, siswa mulai memahami keseluruhan teks. Guru secara perlahan

mulai mengarahkan siswa agar mandiri sehingga siswa menguasai model teks

yang diajarkan.Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kelas antara lain

mendiskusikan jenis teks, melengkapi teks rumpang, membuat kerangka teks,

melakukan penilaian sendiri atau penilaian antar teman sebaya, dan bermain

teka-teki.

d. Menyusun teks secara mandiri

Pada tahap ini, siswa mulai mandiri dalam mengerjakan teks dan peran guru

hanya mengamati siswa untuk penilaian. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam

tahapan ini antara lain (1) untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan,

siswa merespon teks lisan, menggaris bawahi teks, menjawab pertanyaan, dan

lain-lain, (2) untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan dan berbicara,

siswa bermain peran, melakukan dialog berpasangan atau berkelompok, (3)

untuk meningkatkan kemampuan berbicara, siswa melakukan presentasi di

depan kelas, (4) untuk meningkatkan kemampuan membaca, siswa merespon

teks tertulis, menggarisbawahi teks, menjawab pertanyaan, dan lain-lain, (5)

untuk meningkatkan kemampuan menulis, siswa membuat draft dan menulis

teks secara keseluruhan.

2. Kekhasan Bidang Studi Matematika

Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan di satuan

pendidikan Sekolah Dasar (SD). Sebagai bidang kajian, Matematika memiliki

karakteristik baik dari aspek konten maupun pedagoginya. Seorang guru yang

hendak mengajarkan matematika kepada siswa dituntut untuk mengetahui dan

memahami objek matematika yang akan diajarkannya.

Secara etimologis, matematika berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari

dua kata yaitu mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu dan mathanein yang

mengandung arti belajar atau berpikir. Sehingga matematika dapat diartikan

sebagai ilmu atau pengetahuan tentang belajar atau berpikir logis. Batasan dan

pengertian matematika secara umum selanjutnya dapat dilihat dari beberapa sudut

pandang yang mengantarkan pemahaman tentang matematika antara lain: (1)

matematika adalah bahasa simbol; (2) matematika adalah bahasa numerik; (3)

matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan

emosional; (4) matematika adalah metode berpikir logis; (5) matematika adalah

sarana berpikir; (6) matematika adalah logika pada masa dewasa; (7) matematika

adalah ratunya ilmu dan sekaligus menjadi pelayannya, (8) matematika adalah

ilmu pengetahuan mengenai kuantitas dan besaran; (9) matematika adalah ilmu

pengetahuan yang bekerja menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu; (10)

matematika adalah ilmu pengetahuan formal yang murni; (11) matematika adalah

ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk, dan struktur; (12) matematika

adalah ilmu yang abstrak dan deduktif; (13) matematika adalah aktivitas manusia.

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

teknologi modern. Matematika mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin

ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Matematika dapat meningkatkan

kemampuan siswa dalam berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif,

serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat

memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi

untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, penuh dengan

ketidakpastian, dan bersifat kompetitif.

Matematika sebagai ilmu memiliki beberapa karakteristik sebagai ciri

khasnya antara lain:

a. Memiliki objek kajian yang abstrak

Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak, walaupun tidak

setiap objek abstrak adalah matematika. Objek matematika lebih tepat disebut

sebagai objek mental atau pikiran yang kajiannya mencakup:

1) Fakta

2) Relasi (Operasi)

3) Konsep

4) Prinsip

b. Bertumpu pada kesepakatan

Simbol-simbol dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan

atau konvensi. Dengan simbol dan istilah yang telah disepakati dalam

matematika maka pembahasan selanjutnya akan menjadi mudah dilakukan dan

dikomunikasikan contoh titik, garis, sudut, bilangan dan sebagainya.

c. Berpola pikir deduktif

Dalam matematika hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif. Pola pikir

deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal

yang bersifat umum dan diarahkan kepada hal-hal yang lebih khusus.

Contohnya: “ setiap bilangan yang dikalikan dengan bilangan 1(satu) hasilnya

adalah bilangan itu sendiri”.

d. Konsisten dalam sistemnya

Dalam matematika terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk dari

beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem yang

berkaitan, ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu dangan

lainnya. Sistem-sistem bilangan dengan sistem geometri dapat dipandang lepas

satu dengan lainnya. Di dalam masing-masing sistem berlaku konsistensi.

Artinya bahwa dalam setiap sistem tidak boleh terdapat kontradiksi. Suatu

teorema ataupun definisi harus menggunakan istilah atau konsep yang telah

ditetapkan terlebih dahulu. Konsistensi terdapat dalam makna dan nilai

kebenarannya. Contoh terkait dengan hal ini; “ melalui dua titik berbeda hanya

dapat dibuat satu buah garis lurus”.

e. Memperhatikan semesta pembicaraan

Benar salahnya atau ada tidaknya penyelesaian sebuah soal atau masalah

matematika ditentukan oleh semesta pembicaraan yang digunakan. Jika

lingkup yang sedang dibicarakan dalam pembelajaran adalah bilangan, maka

simbol-simbol yang digunakan juga harus menunjukkan bilangan.

Cakupan materi Matematika di SD meliputi bilangan asli, bulat, dan

pecahan, geometri dan pengukuran sederhana, dan statistika sederhana.

Sedangkan kompetensi matematika dalam mendukung pencapaian kompetensi

lulusan SD ditekankan pada:

a. Menunjukkan sikap positif bermatematika: logis, kritis, cermat dan teliti, jujur,

bertanggung jawab, dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah,

sebagai wujud implementasi kebiasaan dalam inkuiri dan eksplorasi

matematika.

b. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika, yang

terbentuk melalui pengalaman belajar.

c. Menghargai perbedaan dan dapat mengidentifikasi kemiripan dan perbedaan

berbagai sudut pandang.

d. Mengklasifikasi berbagai benda berdasr bentuk, warna, serta alasan

pengelompokannya.

e. Mrngidentifikasi dan menjelaskan informasi dari komponen, unsur dari benda,

gambar atau foto dalam kehidupan sehari-hari.

f. Menjelaskan pola bangun dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan

dugaan kelanjutannya berdasarkan pola berulang.

g. Memahami efek penambahan dan pengambilan benda dari kumpulan objek,

serta memahami penjumlahan dan pengurangan bilangan asli, bulat, dan

pecahan.

h. Menggunakan diagram, gambar, ilustrasi, model konkret atau simbolik dari

suatu masalah dalam penyelesaian masalah.

i. Memberikan interpretasi dari sebuah sajian informasi/ data.

Pembelajaran Matematika di sekolah dasar secara umum bertujuan agar

siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,

dalam pemecahan masalah matematika.

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika.

c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi

yang diperoleh.

d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah.

e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,

serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan karakteristik dan tujuan di atas, pembelajaran Matematika

sekolah dasar hendaknya dirancang sebagai berikut:

a. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral

Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan di

mana pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan atau

menghubungkan dengan topik sebelumnya atau dengan kata lain topik

sebelumnya dapat menjadi prasyarat untuk dapat memahami dan mempelajari

suatu topik matematika.

Contoh: Konsep penjumlahan sebagai prasayarat untuk mengajarkan konsep

perkalian

b. Pembelajaran matematika dilakukan secara bertahap

Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari

konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit. Selain itu

pembelajaran matematika dimulai dari yang konkret, semi konkret, semi

abstrak dan akhirnya kepada konsep abstrak.

Contoh: menjelaskan materi unsur-unsur pembentuk bangun ruang balok

diawali dengan benda-benda yang berbentuk balok seperti ruang kelas

(konkret), lalu menggunakan gambar benda berbentuk balok (semi konkret),

dilanjutkan dengan gambar bangun balok (semi abstrak), dan akhirnya kepada

konsep abstraknya dari bangun balok yang dapat dibayangkan oleh siswa.

c. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif

Materi matematika disampaikan kepada siswa tidak dimulai dari hal-hal yang

bersifat umum seperti definisi atau rumus. Tetapi dapat pula dimulai dari hal-

hal yang bersifat khusus seperti mulai dengan contoh-contoh.

Contoh: pengenalan konsep bangun ruang tabung (silinder) tidak diawali

dengan definisi tetapi dari contoh-contoh bangun tersebut, mengenal namanya

dan menentukan sifat-sifat bangun ruang tabung sehingga didapatkan

pemahaman konsep bangun ruang tabung tersebut.

d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi

Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak ada

pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran lainnya.

Contoh: Jika menurut kebenaran secara umum, bahwa setiap bilangan ganjil

sembarang dijumlahkan dengan bilangan ganjil sembarang maka akan selalu

menghasilkan bilangan genap, maka tidak ada bilangan ganjil yang

dijumlahkan dengan bilangan ganjil yang menghasilkan bilangan yang tidak

genap, sebagai contoh 1 + 3 = 4.

e. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna

Pembelajaran matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan

materi matematika yang mengutamakan pengertian daripada hapalan. Dalam

belajar bermakna, aturan-aturan, sifat-sifat, dan dalil-dalil tidak diberikan

dalam bentuk jadi, tetapi ditemukan sendiri oleh siswa melalui contoh-contoh

secara induktif.

f. Pembelajaran matematika menerapkan pendekatan matematika realistik

Objek kajian matematika yang abstrak berupa simbol dan notasi memerlukan

pembelajaran yang dapat menjembatani penyampaian objek matematika yang

abstrak tersebut menjadi lebih konkret. Hal ini sejalan dengan tahap berpikir

siswa sekolah dasar yakni tahap operasional konkret. Realistis diartikan bahwa

dalam pembelajaran, guru perlu memanipulasi objek matematika yang abstrak

menjadi lebih realistis sehingga siswa mampu membayangkan objek

matematika tersebut.

g. Pembelajaran matematika menerapkan metode penemuan terbimbing

Mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip

dalam matematika melalui bimbingan guru agar siswa terbiasa melakukan

penyelidikan dan menemukan sesuatu. Dalam praktiknya, guru dapat

menerapkan teknik scaffolding yaitu teknik bimbingan yang semakin lama

semakin dikurangi intensitasnya sampai siswa dapat bekerja secara mandiri.

h. Pembelajaran matematika berbasis masalah

Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran

matematika, yang mencakup masalah tertutup dan terbuka. Pemecahan masalah

terkait masalah dan metode penyelesaiannya yang tidak rutin.

Dalam menemukan penyelesaian masalah, siswa harus memberdayakan

pengetahuannya dan melalui proses ini mereka akan sering mengembangkan

pemahaman baru. Siswa akan mempunyai kesempatan untuk merumuskan,

berpikir keras, dan memecahkan masalah rumit yang memerlukan usaha besar.

Mereka akan didorong untuk merefleksikan pemikiran mereka. Pemecahan

masalah merupakan sebuah bagian integral dari seluruh pembelajaran

matematika. Beberapa keterampilan untuk meningkatkan kemampuan siswa

dalam memecahkan masalah diantaranya adalah:

1) Memahami soal, yaitu memahami dan mengidentifikasi apa yang diberikan,

ditanyakan, diminta dicari, atau dibuktikan

2) Memilih pendekatan atau strategi pemecahan: misalkan menggambarkan

masalah ke dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan pengetahuan

aljabar yang diketahui, serta konsep yang relevan untuk membentuk model

atau kalimat matematika

3) Menyelesaikan model, yaitu melakukan operasi hitung secara benar

4) Menafsirkan solusi, yaitu memperkirakan dan memeriksa kebenaran

jawaban.

i. Pembelajaran matematika menerapkan pendekatan kontekstual

Pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan masalah yang

kontekstual (contextual problem). Dengan mengajukan masalah-masalah

matematika yang kontekstual yaitu masalah matematika yang nyata, dekat

dengan kehidupan siswa sehingga siswa mampu membayangkan dan

memahami masalah matematika tersebut, selanjutnya siswa secara bertahap

dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika.

j. Pembelajaran matematika menggunakan hubungan-hubungan (koneksi)

Begitu banyak individu yang mempersepsikan matematika sebagai kumpulan

fakta-fakta dan prosedur yang terisolasi. Melalui kurikuler dan pengalaman

setiap hari, siswa akan mengenal dan menggunakan hubungan-hubungan antara

ide-ide matematika, terutama hubungan antara Bilangan, Geometri dan

Statistika yang merupakan bidang kajian Matematika di Sekolah Dasar.

Hubungan yang demikian membangun pemahaman konsep matematika secara

komprehensif. Sebagai tambahan, siswa juga mengenal dan menerapkan

matematika dalam konteks di luar matematika. Siswa memerlukan

pengalaman penerapan konsep-konsep dan representasi matematika untuk

menggambarkan dan memprediksi kejadian di hampir semua disiplin ilmu.

3. Kekhasan Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Alam

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sering disebut juga Sains yang dalam

bahasa Inggris disebut Science merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-

gejala alam dan kebendaan yang sistematis tersusun secara teratur, berlaku secara

umum, berupa kumpulan hasil observasi dan eksperimen. Tidak hanya sebagai

kumpulan benda atau makhluk hidup, tetapi tentang cara kerja, cara berpikir, dan

cara memecahkan masalah. IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang

alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan

pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

tetapi merupakan suatu proses penemuan (Depdiknas,2006:484). Pendidikan IPA

diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri

dalam alam sekitar, serta aspek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya

di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran menekankan pada pemberian

pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan

memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri

dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pengalaman yang

lebih mendalam tentang alam sekitar.

Carin (dalam Yusuf, 2007: 1) menyatakan bahwa IPA sebagai produk atau

isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum, dan teori IPA. Jadi, pada

hakikatnya IPA terdiri dari tiga komponen, yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, dan

produk ilmiah. Hal ini berarti bahwa IPA tidak hanya terdiri atas kumpulan

pengetahuan atau berbagai macam fakta yang dihapal, IPA juga merupakan

kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari gejala-gejala

alam yang belum dapat direnungkan sebagai ruang lingkup mata pelajaran IPA.

ruang lingkup bahan kajian IPA untuk Sekolah Dasar meliputi aspek-aspek

berikut:

a. Makhluk hidup dan proses kehidupannya, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan

interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.

b. Benda/materi, sifat-sifat kegunaannya meliputi: benda cair, padat dan gas.

c. Energi dan perubahannya meliputi : gaya ,bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya,

dan pesawat sederhana.

d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah ,bumi, tata surya, dan benda-benda

langit lainnya. (Depdiknas,2006 : 585).

Menurut BNSP (2006: 484) mata pelajaran IPA bertujuan agar siswa

memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa

berdasarkan keberadaban, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.

b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang

bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran adanya

hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi

dan masyarakat.

d. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,

memecahkan masalah dan membuat keputusan.

e. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara,

menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala

keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai

dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/ MTs.

Dengan demikian, tujuan mata pelajaran IPA yang sesuai dengan hakikat IPA

sebagai proses adalah mengembangkan keterampilan proses siswa untuk

menyelidiki alam sekitar. sehingga kompetensi utama yang diharapkan setelah

siswa belajar IPA adalah keterampilan prosesnya.

Pembelajaran di SD akan efektif bila siswa aktif berpartisipasi dalam

proses pembelajaran. Oleh sebab itu, guru SD perlu menerapkan prinsip-prinsip

pembelajaran di SD. Prinsip-prinsip pembelajaran di SD menurut Depdiknas

(dalam Maslichah, 2006: 44) adalah “ Prinsip motivasi, prinsip latar, prinsip

menemukan, prinsip belajar melakukan (learning to do), prinsip belajar sambil

bermain, prinsip hubungan sosial”. Prinsip pembelajaran yang sesuai dengan

hakikat IPA sebagai proses adalah prinsip menemukan dan belajar melakukan.

Prinsip menemukan, pada dasarnya siswa sudah memiliki rasa ingin tahu yang

besar sehingga berpotensi untuk mencari tahu guna menemukan sesuatu.

Sedangkan, prinsip belajar sambil melakukan bahwa pengalaman yang diperoleh

melalui bekerja merupakan hasil belajar yang tidak mudah dilupakan. Oleh karena

itu, dalam proses pembelajaran hendaknya siswa diarahkan untuk melakukan

suatu kegiatan dalam rangka menguasai kompetensi tertentu.

Secara khusus tujuan mata pelajaran IPA agar siswa memiliki kompetensi

sebagai berikut:

a. mengagumi keteraturan dan kompleksitas ciptaan Tuhan tentang aspek fisik

dan materi, kehidupan dalam ekosistem, dan peranan manusia dalam

lingkungan sehingga bertambah keimanannya, serta mewujudkannya dalam

pengamalan ajaran agama yang dianutnya.

b. menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; objektif; jujur; teliti;

cermat; tekun; hati-hati; bertanggung jawab; terbuka; kritis; kreatif; inovatif

dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi

sikap dalam melakukan pengamatan, percobaan, dan berdiskusi.

c. menghargai kerja individu dan kelompok dalam aktivitas sehari-hari sebagai

wujud implementasi melaksanakan percobaan dan melaporkan hasil percobaan

guna memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat

bekerja sama dengan orang lain.

d. mengembangkan pengalaman untuk menggunakan, mengajukan dan menguji

hipotesis melalui percobaan, merancang, dan merakit instrumen percobaan,

mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, serta mengomunikasikan

hasil percobaan secara lisan dan tertulis.

e. mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan

deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip IPA untuk menjelaskan

berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif

maupun kuantitatif.

f. menguasai konsep dan prinsip IPA serta mempunyai keterampilan

mengembangkan pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk

melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan

ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan Permendikbud tentang Standar Proses, disebutkan bahwa

proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,

inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk

berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,

dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta

psikologis peserta didik. Mengacu pada standar tersebut maka pembelajaran IPA

mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Peserta didik difasilitasi untuk mencari tahu

b. Peserta didik belajar dari berbagai sumber belajar

c. Proses pembelajaran menggunakan pendekatan ilmiah

d. Pembelajaran berbasis kompetensi

e. Pembelajaran terpadu

f. Pembelajaran yang menekankan pada jawaban divergen yang memiliki

kebenaran multi dimensi

g. Pembelajaran berbasis keterampilan aplikatif

h. Peningkatan keseimbangan, kesinambungan, dan keterkaitan antara hard-skills

dan soft-skills

i. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta

didik sebagai pembelajar sepanjang hayat

j. Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing

ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan

mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut

wuri handayani)

k. Pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat

l. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan

efisiensi dan efektivitas pembelajaran

m. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik

n. Suasana belajar menyenangkan dan menantang.

3. Kekhasan Bidang Studi Ilmu Pendidikan Sosial

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah mata pelajaran yang mempelajari

tentang kehidupan manusia dalam berbagai dimensi ruang dan waktu serta

berbagai aktivitas kehidupannya. Mata pelajaran IPS bertujuan untuk

menghasilkan warganegara yang religius, jujur, demokratis, kreatif, kritis, senang

membaca, memiliki kemampuan belajar, rasa ingin tahu, peduli dengan

lingkungan sosial dan fisik, berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan

sosial dan budaya, serta berkomunikasi secara produktif.

Ruang lingkup IPS terdiri atas pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap

yang dikembangkan dari masyarakat dan disiplin ilmu sosial. Penguasaan

keempat konten ini dilakukan dalam proses belajar yang terintegrasi melalui

proses kajian terhadap konten pengetahuan. Secara rinci, materi IPS dirumuskan

sebagai berikut:

a. Pengetahuan: tentang kehidupan masyarakat di sekitarnya, bangsa, dan umat

manusia dalam berbagai aspek kehidupan dan lingkungannya. Ruang lingkup

materi IPS SD terdiri dari kehidupan manusia dalam:

1) Tempat dan Lingkungan

2) Waktu Perubahan dan Keberlanjutan

3) Organisasi dan Sistem Sosial

4) Organisasi dan Nilai Budaya

5) Kehidupan dan Sistem Ekonomi

6) Komunikasi dan Teknologi

b. Keterampilan: berpikir logis dan kritis, membaca, belajar (learning skills,

inquiry), memecahkan masalah, berkomunikasi dan bekerjasama dalam

kehidupan bermasyarakat-berbangsa

c. Nilai: nilai-nilai kejujuran, kerja keras, sosial, budaya, kebangsaan, cinta

damai, dan kemanusiaan serta kepribadian yang didasarkan pada nilai-nilai

tersebut

d. Sikap: rasa ingin tahu, mandiri, menghargai prestasi, kompetitif, kreatif dan

inovatif, dan bertanggungjawab

Tujuan utama pembelajaran IPS adalah agar siswa memiliki kemampuan

dalam berpikir logis dan kritis untuk memahami konsep dan prinsip yang

berkaitan dengan pola dan persebaran keruangan, interaksi sosial, pemenuhan

kebutuhan, dan perkembangan kehidupan masyarakat untuk menciptakan kondisi

kehidupan yang lebih baik dan atau mengatasi masalah-masalah sosial. Secara

rinci tujuan mata pelajaran IPS adalah agar siswa memiliki kemampuan:

a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan

lingkungannya

b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,

inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial

c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan

d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam

masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

5. Kekhasan Bidang Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan salah satu

muatan kurikulum pendidikan dasar dan menengah sebagaimana diamanatkan

dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasan Pasal 37 “... dimaksudkan

untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan

dan cinta tanah air”. Berdasarkan rumusan tersebut, telah dikembangkan mata

pelajaran PPKn yang diharapkan dapat menjadi wahana edukatif dalam

mengembangkan siswa menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta

tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ruang lingkup mata pelajaran PPKn terdiri atas: (1) Pancasila sebagai

dasar negara dan pandangan hidup bangsa diperankan dan dimaknai sebagai

entitas inti yang menjadi sumber rujukan dan kriteria keberhasilan pencapaian

tingkat kompetensi dan pengorganisasian dari keseluruhan ruang lingkup mata

pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan; (2) substansi dan jiwa

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan

semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik

Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan, yang menjadi wahana psikologis-pedagogis pembangunan

warganegara Indonesia yang berkarakter Pancasila.

Secara umum tujuan mata pelajaran PPKn pada jenjang pendidikan dasar

dan menengah adalah mengembangkan potensi siswa dalam seluruh dimensi

kewarganegaraan, yakni: (1) sikap kewarganegaraan termasuk keteguhan,

komitmen dan tanggung jawab kewarganegaraan (civic confidence, civic

committment, and civic responsibility); (2) pengetahuan kewarganegaraan; (3)

keterampilan kewarganegaraan termasuk kecakapan dan partisipasi

kewarganegaraan (civic competence and civic responsibility).

Secara khusus Tujuan PPKn yang berisikan keseluruhan dimensi tersebut

sehingga siswa mampu:

a. menampilkan karakter yang mencerminkan penghayatan, pemahaman, dan

pengamalan nilai dan moral Pancasila secara personal dan sosial

b. memiliki komitmen konstitusional yang ditopang oleh sikap positif dan

pemahaman utuh tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

c. berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif serta memiliki semangat kebangsaan

serta cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal

Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia

d. berpartisipasi secara aktif, cerdas, dan bertanggung jawab sebagai anggota

masyarakat, tunas bangsa, dan warga negara sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang hidup

bersama dalam berbagai tatanan sosial budaya.

6. Kekhasan Bidang Studi Seni Budaya dan Prakarya

Mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya (SBdP) merupakan aktivitas

belajar yang menampilkan karya seni estetis, artistik, dan kreatif yang berakar

pada norma, nilai, perilaku, dan produk seni budaya bangsa. Mata pelajaran ini

bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk memahami seni dalam

konteks ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta berperan dalam

perkembangan sejarah peradaban dan kebudayaan, baik dalam tingkat lokal,

nasional, regional, maupun global. Pembelajaran SBdP di tingkat pendidikan

dasar dan menengah bertujuan mengembangkan kesadaran seni dan keindahan

dalam arti umum, baik dalam domain konsepsi, apresiasi, kreasi, penyajian,

maupun tujuan-tujuan psikologis-edukatif untuk pengembangan kepribadian siswa

secara positif. SBdP di sekolah tidak semata-mata dimaksudkan untuk membentuk

siswa menjadi pelaku seni atau seniman namun lebih menitikberatkan pada sikap

dan perilaku kreatif, etis dan estetis.

Mata pelajaran SBdP di tingkat pendidikan dasar sangat kontekstual dan

diajarkan secara konkret, utuh, serta menyeluruh mencakup semua aspek (seni

rupa, seni musik, seni tari dan prakarya), melalui pendekatan tematik. Untuk itu,

guru SBdP harus memiliki wawasan yang baik tentang eksistensi seni budaya

yang hidup dalam konteks lingkungan sehari-hari di mana ia tinggal, maupun

pengenalan budaya lokal, agar siswa mengenal, menyenangi dan akhirnya

mempelajari. Dengan demikian, pembelajaran SBdP di SD harus dapat;

“Memanfaatkan lingkungan sebagai kegiatan apresiasi dan kreasi seni”.

Ruang lingkup materi SBdP di SD/MI mencakup gambar ekspresif,

mozaik, karya relief, lagu dan elemen musik, musik ritmis, gerak anggota tubuh,

meniru gerak, kerajinan dari bahan alam, produk rekayasa, pengolahan makanan,

cerita warisan budaya, gambar dekoratif, montase, kolase, karya tiga dimensi, lagu

wajib, lagu permainan, lagu daerah, alat musik ritmis dan melodis, gerak tari

bertema, penyajian tari daerah, kerajinan dari bahan alam dan buatan (anyaman,

teknik meronce, fungsi pakai, teknik ikat celup, dan asesoris), tanaman sayuran,

karya rekayasa sederhana bergerak dengan angin dan tali, cerita rakyat, bahasa

daerah, gambar ilustrasi, topeng, patung, lagu anak-anak, lagu daerah, lagu wajib,

musik ansambel, gerak tari bertema, penyajian tari bertema, kerajinan dari bahan

tali temali, bahan keras, batik, dan teknik jahit, apotik hidup dan merawat hewan

peliharaan, olahan pangan bahan makanan umbi-umbian dan olahan nonpangan

sampah organik atau anorganik, cerita secara lisan dan tulisan unsur-unsur budaya

daerah, bahasa daerah, pameran dan pertunjukan karya seni.

7. Kekhasan Bidang Studi Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan

Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) pada hakikatnya

adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan

perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta

emosional. PJOK memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, makhluk

total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas

fisik dan mentalnya.

PJOK membantu siswa mengembangkan pemahaman tentang apa yang

mereka perlukan untuk membuat komitmen seumur hidup tentang arti penting

hidup sehat, aktif dan mengembangkan kapasitas untuk menjalani kehidupan

yang memuaskan dan produktif. Sehingga berdampak pada meningkatkan

produktivitas dan kesiapan untuk belajar, meningkatkan semangat, mengurangi

ketidakhadiran, mengurangi biaya perawatan kesehatan, penurunan kelakuan anti-

sosial seperti bullying dan kekerasan, mempromosikan hubungan yang aman dan

sehat, dan meningkatkan kepuasan pribadi.

Karakteristik perkembangan gerak anak usia SD, pada usia antara 7- 8

tahun, anak sedang memasuki perkembangan gerak dasar dan memasuki tahap

awal perkembangan gerak spesifik. Karakteristik awal perkembangan gerak

spesifik dapat diidentifikasi dengan makin sempurnanya kemampuan melakukan

berbagai kemampuan gerak dasar yang menuntut kemampuan koordinasi dan

keseimbangan agak kompleks. Oleh karenanya, keterampilan gerak yang dimiliki

anak telah dapat diorientasikan pada berbagai bentuk, jenis dan tingkat permainan

yang lebih kompleks. Pada anak berusia antara 9 s.d 10 tahun, anak telah dapat

mengunjukkerjakan rangkaian gerak yang mutipleks-kompleks dengan tingkat

koordinasi yang makin baik. Kualitas kemampuan pada tahap ini dipengaruhi oleh

ketepatan rekayasa dan stimulasi lingkungan yang diberikan kepada anak pada

usia sebelumnya. Pada tahap ini, anak laki-laki dan perempuan telah memasuki

masa awal masa adolense. Dengan pengaruh perkembangan hormonal pada usia

ini, mereka akan mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan fungsi motorik

yang sangat cepat.

Ruang lingkup materi mata pelajaran PJOK adalah sebagai berikut:

a. Pola gerak dasar, meliputi: 1) pola gerak dasar lokomotor atau gerakan

berpindah tempat, misalnya; berjalan, berlari, melompat, berguling,

mencongklak, 2) pola gerak non-lokomotor atau bergerak di tempat, misalnya;

membungkuk, meregang, berputar, mengayun, mengelak, berhenti, 3) pola

gerak manipulatif atau mengendalikan/ mengontrol objek, misalnya; melempar

bola, menangkap bola, memukul bola menggunakan tongkat, menendang bola.

b. Aktivitas permainan dan olahraga termasuk tradisional, misalnya; rounders,

kasti, softball, atletik sepak bola, bola voli, bola basket, bola tangan, sepak

takraw, tenis meja, bulutangkis, silat, karate. Kegiatan ini bertujuan untuk

memupuk kecenderungan alami anak untuk bermain melalui kegiatan bermain

informal dan meningkatkan pengembangan keterampilan dasar, kesempatan

untuk interaksi sosial, dan menerapkannya dalam kegiatan informal dalam

kompetisi dengan orang lain, dan mengembangkan keterampilan dan

memahami dari konsep-konsep kerja sama tim, serangan, pertahanan dan

penggunaan ruang dalam bentuk eksperimen/eksplorasi untuk mengembangkan

keterampilan dan pemahaman.

c. Aktivitas kebugaran, meliputi pengembangan komponen keburan berkaitan

dengan kesehatan, terdiri dari: daya tahan (aerobik dan anaerobik), kekuatan,

kelenturan, komposisi tubuh, dan pengembangan komponen kebugaran

berkaitan dengan keterampilan, terdiri dari; kecepatan, kelincahan,

keseimbangan, dan koordinasi.

d. Aktivitas senam dan gerak ritmik, meliputi senam lantai, senam alat, apresiasi

terhadap kualitas estetika dan artistik dari gerakan, tarian kreatif dan rakyat.

Konsep gerak berkaitan eksplorasi gerak dengan tubuh dalam ruang, dinamika

perubahan gerakan dan implikasi dari bergerak di kaitannya dengan apakah

orang lain dan /nya lingkungannya sendiri.

e. Aktivitas air, memuat kompetensi dan kepercayaan diri saat siswa berada di

dekat, di bawah dan di atas air. Memberikan kesempatan unik untuk

pengajaran gaya-gaya renang (punggung, bebas, dada, dan kupu-kupu) dan

juga penyediaan peluang untuk kesenangan bermain di air dan aspek lain dari

olahraga air termasuk pertolongan dalam olahraga air.

f. Kesehatan, meliputi; kebersihan diri sendiri dan lingkungan, makanan dan

minuman sehat, penanggulangan cidera ringan, kebersihan alat reproduksi,

penyakit menular, menghidari diri dari bahaya narkoba, psikotropika, seks

bebas, P3K, dan bahaya HIV/AIDS.

Tujuan mata pelajaran PJOK sesuai dengan ruanglingkup di atas adalah

sebagai berikut:

a. Mengembangkan kesadaran tentang arti penting aktivitas fisik untuk mencapai

pertubuhan dan perkembangan tubuh serta gaya hidup aktif sepanjang hayat.

b. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan

dan pemeliharaan kebugaran jasmani, mengelola kesehatan dan kesejahteraan

dengan benar serta pola hidup sehat.

c. Mengembangkan keterampilan gerak dasar, motorik, keterampilan, konsep/

pengetahuan, prinsip, strategi dan taktik permainan dan olahraga serta konsep

gerakan.

d. Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai

percaya diri, sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, pegendalian

diri, kepemimpinan, dan demokratis dalam melakukan aktivisas fisik.

e. Meletakkan dasar kompetitif diri (self competitive) yang sportif, percaya

diri,disiplin, dan jujur.

f. Menciptakan iklim sekolah yang lebih positif

g. Mengembangkan muatan lokal yang berkembang di masyarakat

h. Menciptakan suasana yang rekretif, berisi tantangan, ekspresi diri

i. Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk aktif dan sehat

sepanjang hayat, dan meningkatkan kebugaran pribadi.

B. Pendekatan Pembelajaran dan Implementasinya di SD

Pendekatan pembelajaran adalah cara pandang guru terhadap proses

pembelajaran yang dilatarbelakangi dengan landasan konsep tertentu dan

dihasilkan dari kajian teoretik. Ada tiga pasangan pendekatan yang berbeda, yaitu

(1) pendekatan yang berpusat pada siswa versus berpusat pada guru, (2)

pendekatan proses versus pendekatan konsep, dan (3) pendekatan induktif versus

pendekatan deduktif. Pemilihan terhadap salah satu pendekatan, strategi, dan

metode akan melahirkan model pembelajaran.

1. Berpusat pada siswa versus berpusat pada guru

Pembelajaran yang berorientasi kepada siswa adalah pembelajaran yang

mendahulukan ketercapaian tujuan belajar oleh siswa dan bukan mendahulukan

“gugurnya” kewajiban bagi guru dalam melaksanakan tugas mengajar. Peranan

guru adalah menciptakan kondisi yang kondusif untuk terjadinya proses

pembelajaran dan membantu peserta didik agar berkembang sesuai dengan

indikator tujuan pembelajaran. Guru tidak lagi bertindak sebagai satu-satunya

sumber informasi di kelas tetapi hanya sebagai salah satu dari sekian banyak

sumber belajar.

Adapun pembelajaran yang berorientasi pada guru, ciri-cirinya merupakan

kebalikan dari pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik.

Pembelajaran direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi hanya didasarkan

pada pencapaian target kurikulum tanpa memperhatikan perkembangan siswa.

Guru bertindak sebagai satu-satunya sumber informasi di kelas dan metode

yang digunakan didominasi oleh metode ceramah. Pada pembelajaran yang

berorentasi pada guru, siswa tidak banyak diberi kesempatan untuk mencari

dan menemukan sendiri tentang konsep yang sedang dipelajarinya.

2. Pendekatan proses versus pendekatan konsep

Pembelajaran dengan pendekatan proses dirancang sedemikian rupa

sehingga siswa dapat mengikuti proses penemuan dan penyimpulan tentang

apa yang dipelajarinya. Siswa dibimbing untuk dapat menemukan sendiri

pengetahuannya dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses

pembelajaran. Kegiatan siswa umumnya diajak untuk melakukan percobaan,

pengamatan, pengukuran, perhitungan, dan membuat kesimpulan-kesimpulan.

Dengan demikian, belajar proses sepadan dengan pembelajaran yang

berorientasi pada siswa.

Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan proses bersifat heuristik

yaitu menyajikan sejumlah data dan informasi, sementara itu siswa diminta

untuk membuat kesimpulan dari data yang diolahnya (Sagala, 2005: 80).

Metode yang digunakan untuk pelaksanaan pendekatan ini antara lain metode

inkuiri yang mendorong siswa untuk aktif mencari dan mengolah bahan

pelajaran sampai memahaminya dengan baik. Guru sebagai fasilitator hanya

memberikan motivasi dan arahan agar siswa sampai pada tujuan pembelajaran.

Kebalikan dari pendekatan proses adalah pendekatan konsep. Pendekatan

konsep dimaknai sebagai pembelajaran untuk menyampaian konsep-konsep

yang perlu dihapal oleh siswa. Guru mendominasi pembelajaran untuk

menyampaikan beragam informasi kepada siswa. Pelaksanaan pembelajaran

konsep bersifat ekspositori, yaitu guru menyajikan materi di depan siswa.

3. Pendekatan induktif versus deduktif

Proses pembelajaran dengan pendekatan induktif adalah pembelajaran

yang diawali dari apa yang telah diketahui siswa. Pengetahuan awal siswa

dimanfaatkan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran. Dalam banyak

hal, langkah pembelajaran induktif sesuai dengan ketentuan Standar Proses

Pendidikan yaitu adanya tahap eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi (EEK).

a. Eksplorasi merupakan pembangkitan ingatan dan pengetahuan awal siswa

sebagai “modal” awal dalam pembelajaran. Cara pembangkitan pengetahuan

awal dapat dilakukan dengan cara bertanya atau meminta menyebutkan

sejumlah contoh yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

b. Elaborasi merupakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan

siswa mengembangkan ide, gagasan, dan kreasinya. Kegiatan elaborasi

dapat dilakukan melalui diskusi kelompok, pameran, membuat

laporan/karya/produk, presentasi, kompetisi, studi kepustakaan, dan lain-

lain yang menantang pengembangan kognisi dan kreativitas. Kegiatan

elaborasi pada dasarnya merupakan proses penambahan dan pendalaman

materi sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.

c. Konfirmasi merupakan kegiatan umpan balik dan penguatan dalam bentuk

lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa. Dalam

kegiatan konfirmasi, guru memperoleh gambaran tentang ketercapaian

pembelajaran oleh siswa, selain itu dapat memfasilitasi siswa melakukan

refleksi sehingga memperoleh pengalaman belajar yang lebih bermakna.

Pada pendekatan deduktif, sejak awal pertemuan guru langsung

menanyakan tentang definsi ini-itu dan guru “bersemangat” untuk menjelaskan

di depan kelas. Pendekatan pembelajaran deduktif diarahkan pada proses

penalaran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus. Dalam

prosesnya, guru dituntut untuk memilih dan mengajukan konsep, prinsip atau

aturan yang kemudian diterangkan dengan contoh-contoh khusus sehingga

siswa menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan atau pinsip

umum yang telah diajukan. Pendekatan belajar dengan cara deduktif tidak

dianjurkan, karena tidak sesuai dengan prinsip pada standar proses

pembelajaran.

Pendekatan pembelajaran yang dipilih guru akan memiliki konsekuensi

terhadap pemilihan strategi pembelajaran, metode pembelajaran, dan teknik

pembelajaran. Pendekatan pembelajaran masih bersifat pandangan sebagi titik

tolak dalam menentukan langkah pembelajaran yang lebih konkret. Dalam

menentukan strategi pembelajaran perlu memperhatikan prinsip perumusan

strategi yaitu:

1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put)

pembelajaran yang harus dicapai siswa.

2. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah yang akan ditempuh

sejak titik awal sampai akhir sehingga tercapai sasaran.

3. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur atau kriteria keberhasilan dari

proses pembelajaran.

Setelah strategi pembelajaran ditetapkan, selanjutnya guru menetapkan

sejumlah metode yang relevan untuk memenuhi strategi pembelajaran. Perbedaan

antara strategi dan metode dapat dilihat dari pendapat Sanjaya (2008). Strategi

merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah

“a way in achieving something”. Dengan demikian, metode pembelajaran

diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang

sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan

pembelajaran.

Metode pembelajaran yang dipilih guru terkadang berbeda-beda pula pada

saat dilaksanakan di kelas. Setiap guru memiliki teknik tersendiri dalam

menjalankan metode pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat

diatikan sebagai cara yang dilakukan oleh seseorang dalam mengimplementasikan

suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada jumlah

siswa yang banyak barangkali akan menggunakan teknik berpidato yang berapi-

api sebaliknya jika jumlah siswa sedikit, ceramah akan menggunakan teknik

sambung rasa dengan sering menyebut nama-nama siswa yang hadir pada saat itu.

Model pembelajaran biasanya disusun berdasarkan berbagai prinsip atau

teori pengetahuan berdasarkan pendekatan pembelajaran tertentu dan dikaji secara

empirik. Dengan demikian, model pembelajaran diterapkan tidak lepas dari

pendekatan pembelajaran yang memayunginya. Contoh ketika guru menerapkan

model pembelajaran kooperatif dengan tipe apapun, maka penerapannya harus

berdasarkan prinsip dan karakteristik pada pendekatan kooperatif. Selain itu,

model pembelajaran terdiri dari serangkaian langkah atau sintaks pembelajaran

yang telah dikaji secara ilmiah oleh penemunya. Para ahli menyusun model

pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran, teori-teori psikologis,

sosiologis, analisis sistem, atau teori-teori lain yang mendukung dan dikaji secara

ilmiah.

Hubungan antara pendekatan, strategi, metode, dan teknik dapat dilihat

pada gambar bagan sebagai berikut ini:

Strategi Pembelajaran Exposition-Discovery Learning atau Group-

Individual Learning

Metode Pembelajaran (Ceramah, Diskusi, Demonstrasi, Simulasi,

dsb)

Pendekatan Pembelajaran (Berpusat Pada Guru atau Berpusat pada

Siswa)

Model

Pembelajaran

Model

Pembelajaran

Teknik dan Taktik Pembelajaran (Spesifik, Invidual, Unik)

Gambar 1.1 hubungan antara pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran

(Sudrajat, 2008)

1. Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik

Pembelajaran merupakan proses interaksi antarsiswa dan antara siswa

dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Untuk

menciptakan proses dan lingkungan belajar yang efektif, diperlukan cara pandang

guru terhadap pembelajaran secara tepat yang disebut sebagai pendekatan

pembelajaran yang mengandung makna tentang bagaimana persepsi guru terhadap

pembelajaran misalnya persepsi guru bahwa “ belajar adalah proses aktif secara

ilmiah yang dilakukan oleh siswa”, sehingga guru berusaha untuk mengaktifkan

siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan ilmiah. Idealnya, dalam sebuah

pendekatan pembelajaran, guru memikirkan bagaimana caranya agar siswa aktif

mencari tahu bukan diberi tahu oleh guru atau disebut sebagai pendekatan

pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center).

Belajar merupakan proses ilmiah dalam rangka mencari, menemukan,

mendapatkan, dan mengembangkan pengetahuan (fakta, konsep, prinsip dan teori)

yang melibatkan pendekatan rasional (rationalism) dan pendekatan empirik

(empiricicm). Pendekatan rasional melibatkan aktivitas ilmiah (mengamati,

menanya dan menalar) yang menghasilkan dugaan-dugaan (hipotesis), sedangkan

pendekatan empirik melibatkan aktivitas ilmiah (mengumpulkan informasi,

mencoba dan menyimpulkan) dalam rangka menguji atau memvalidasi hipotesis

secara empirik yang dihasilkan dari pendekatan rasional untuk menghasilkan

pengetahuan. Dengan demikian, idealnya pembelajaran merupakan kegiatan

“meneliti” yang melibatkan dua pendekatan tersebut (rasional dan empirik) yang

pada implementasinya melibatkan keterampilan proses ilmiah, prosedur ilmiah

dan aktivitas berpikir ilmiah siswa.

Pada pembelajaran yang berbasis penelitian, siswa diarahkan untuk aktif

mencari solusi atau jawaban terkait hal-hal yang ingin mereka ketahui atau hal-hal

yang tidak mereka pahami dari apa yang mereka amati. Rasa ingin tahu siswa

diinterpretasikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan (kegiatan menanya).

Selanjutnya, siswa memanfaatkan pengetahuan awalnya (prior knowledge)

melalui kegiatan menalar untuk menduga atau memprediksi jawaban dari

pertanyaannya. Hasil dari kegiatan menalar adalah hipotesis/ dugaan jawaban dari

pertanyaannya. Dugaan siswa kemudian diuji melalui serangkaian kegiatan

mencoba, mengumpulkan informasi dan mengasosiasi. Jawaban dari

pertanyaannya setelah diuji atau divalidasi secara empririk, kemudian

dikomunikasikan kepada siswa lain dan guru untuk mendapatkan tanggapan dan

penguatan.

Berdasarkan paparan di atas, pembelajaran yang dilaksanakan harus dapat

mengarahkan siswa untuk meneliti dan berpikir secara sistematis dalam

menemukan jawaban yang sebelumnya menjadi masalah atau pertanyaannya.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai mengarah kepada konsep

pembelajaran berbasis penelitian, sebagai pendekatan yang tidak terlepas dari

proses berpikir ilmiah, metode ilmiah dan keterampilan proses yang merupakan

hakikat sains sebagai proses (keterampilan proses ilmiah). Dengan demikian,

pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan sesuai dengan hakikat

sains sebagai proses adalah pendekatan saintifik.

Pendekatan pembelajaran saintifik adalah pendekatan pembelajaran yang

dirancang agar siswa aktif mengkonstruksi konsep, prinsip atau teori melalui

tahapan-tahapan mengamati, menanya, menalar, mengumpulkan informasi/

mencoba, menganalisis data dan menarik kesimpulan (mengasosiasi) dan

mengomunikasikan konsep, prinsip atau teori yang ditemukan. Inti dari

pembelajaran dengan menerapkan pendekatan saintifik adalah aktivitas observasi

(pengamatan). Karakteristik pembelajaran dengan menerapkan pendekatan

saintifik adalah sebagai berikut:

a. Berpusat pada siswa.

b. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep, prinsip

atau teori (mengamati, menanya, menalar, mengumpulkan informasi/ mencoba,

mengasosiasi dan mengomunikasikan)

c. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang

perkembangan intelektual, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi

siswa.

d. Dapat mengembangkan karakter siswa (teliti, rasa ingin tahu, kerja keras,

pantang menyerah, komunikatif, dll.)

Tujuan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan saintifik adalah

sebagai berikut:

a. Untuk meningkatkan kemampuan intelektual siswa, khususnya kemampuan

berpikir tingkat tinggi.

b. Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah

secara sistematis.

c. Terciptanya kondisi pembelajaran yang mendorong minat dan keinginan siswa

bahwa belajar merupakan kebutuhan.

d. Untuk melatih keterampilan proses ilmiah siswa (mengamati, menanya,

menalar, mengumpulkan informasi/mencoba, mengasosiasi dan

mengomunikasikan).

e. Diperolehnya hasil belajar siswa yang tinggi

f. Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-idenya.

g. Untuk mengembangkan karakter/ sikap ilmiah siswa (teliti, rasa ingin tahu,

kerja keras, pantang menyerah, komunikatif, dll.)

Beberapa prinsip pembelajaran yang menerapkan pendekatan saintifik

adalah sebagai berikut:

a. Pembelajaran berpusat pada aktivitas siswa dalam mengamati, menanya,

menalar, mengumpulkan informasi/ mencoba, mengasosiasi dan

mengomunikasikan.

b. Pembelajaran mengarah kepada penemuan dan pengembangan pengetahuan

oleh siswa dan terhindar dari verbalisme (transfer pengetahuan).

c. Pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir siswa

d. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan

keterampilan proses ilmiah (mengamati, menanya, menalar, mengumpulkan

informasi/ mencoba, mengasosiasi dan mengomunikasikan).

e. Adanya proses validasi terhadap konsep, prinsip atau teori yang dikonstruksi

siswa baik melalui penguatan oleh guru maupun siswa.

Berikut dijelaskan prosedur implementasi pendekatan saintifik untuk

setiap kegiatan pokok pada pendekatan saintifik berdasarkan Permendikbud

Nomor 22 tahun 2016.

a. Kegiatan Mengamati

1) Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan membaca, melihat, menyimak,

menonton, mendengar, merasa, meraba, mencium dan sebagainya dengan

menggunakan panca indera (mata, hidung, telinga, kulit dan lidah) tanpa

atau menggunakan alat bantu (teleskop, stetoskop, angket, kuesioner,

interviu, dll.).

2) Kegiatan ini didasari oleh kesadaran akan objek observasi.

3) Hasil dari kegiatan mengamati adalah skema dari fakta/ fenomena.

4) Guru harus menyusun indikator-indikator pengamatan yang dilakukan

siswa.

5) Kompetensi yang dikembangkan pada langkah mengamati adalah

kesungguhan dan ketelitian.

6) Guru harus menilai proses ketika siswa melakukan kegiatan mengamati

sesuai dengan indikator.

Langkah-langkah dalam kegiatan mengamati terdiri dari:

1) Guru menentukan objek yang akan diamati

2) Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun dan pelacak

Contoh:

“ Apa yang kalian amati?”

“ Bagaimana kalau ...?”

3) Guru mengecek apakah yang diamati peserta didik sudah tepat

Contoh:

“ Ceritakan apa yang telah kalian amati!”

b. Kegiatan Menanya

1) Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan membuat dan mengajukan

pertanyaan, tanya jawab dan sebagainya.

2) Kegiatan ini merupakan perwujudan dari rasa ingin tahu siswa terhadap

apa yang tidak dipahaminya.

3) Pada saat siswa menanya, guru harus memfokuskan pada pertanyaan yang

sesuai dengan cakupan materi.

4) Bentuk pertanyaan dari siswa dapat berupa pertanyaan faktual, konseptual,

prosedural atau hipotetik.

a) Contoh Pertanyaan Faktual:

“ Apa nama benda itu?”

“ Dimana itu terjadi?”

“ Kapan kejadiannya?”

Jawabannya berupa Fakta

b) Contoh Pertanyaan Konseptual:

“ Apa yang dimaksud dengan ...?”

“ Pengertian dari gaya itu apa?”

Jawabannya berupa Konsep

c) Contoh Pertanyaan Prosedural:

“ Bagaimana caranya?”

“ Bagaimana menggunakannya?”

“ Bagaimana melakukannya?”

Jawabannya berupa Prosedur

d) Contoh Pertanyaan Hipotetik

“ Mengapa bisa begitu?”

“ Mengapa itu terjadi?”

Jawabannya berupa Prinsip atau Generalisasi

5) Guru harus menyusun indikator-indikator pertanyaan yang baik dan tepat

6) Kegiatan menanya dapat mengembangkan kreativitas dan rasa ingin tahu

7) Guru harus menilai proses pada saat siswa membuat, menyusun dan

menyampaikan pertanyaannya.

Langkah-langkah dalam kegiatan menanya terdiri dari:

1) Guru memastikan bahwa apa yang diamati siswa sudah tepat

2) Guru memberikan stimulus supaya siswa berani bertanya

3) Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun supaya muncul

pertanyaan dari siswa sesuai dengan yang guru harapkan

4) Guru memfokuskan pertanyaan-pertanyaan siswa pada pertanyaan yang

sesuai dengan materi atau apa yang akan dicari oleh siswa

5) Guru memberikan penguatan kepada siswa yang sudah berani bertanya

dan motivasi bagi siswa yang belum berani bertanya

c. Kegiatan Mengumpulkan Informasi/ Mencoba

1) Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan eksperimen, mencoba sesuatu,

membuat sesuatu, mendemonstrasikan, meniru gerak, membaca berbagai

sumber, mewawancara narasumber dan sebagainya.

2) Guru perlu menyusun indikator-indikator bahwa siswa mengumpulkan

informasi dengan benar dan tepat

3) Guru melakukan penilaian proses ketika siswa melaksanakan kegiatan

mengumpulkan informasi

4) Hasil dari kegiatan ini berupa data/ informasi

Langkah-langkah dalam kegiatan mengumpulkan informasi terdiri dari:

1) Guru merumuskan tujuan pengumpulan informasi yang akan dilakukan

2) Guru bersama siswa menyiapkan perlengkapan

3) Siswa memperhitungkan tempat dan waktu

4) Guru menyediakan kertas kerja untuk mengarahkan kegiatan siswa

5) Siswa mengumpulkan informasi menggunakan kertas kerjanya

6) Guru mengumpulkan hasil kerja siswa dan mengevaluasinya

d. Kegiatan Menalar/ Mengasosiasi

1) Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan mengolah informasi, menganalisis

data, menemukan pola, menyimpulkan dan sebagainya.

2) Hasil dari kegiatan ini adalah data/ informasi yang telah diolah dan

digeneralisasi

3) Guru perlu merumuskan indikator-indikator bahwa siswa melakukan

kegiatan mengasosiasi dengan tepat

4) Guru harus menilai proses ketika siswa melakukan kegiatan mengasosiasi

Langkah-langkah dalam kegiatan mengasosiasi terdiri dari:

1) Siswa mencermati data/ informasi satu per satu

2) Siswa mengolah data/ informasi tersebut

3) Siswa melihat keunikan dari kumpulan informasi/ data tersebut dan

mengambil benang merahnya (menyimpulkan)

e. Kegiatan Mengomunikasikan

1) Kegiatan ini dapat dilakukan melalui presentasi, pajang karya, menyajikan

laporan secara lisan atau tertulis mulai dari proses, hasil dan kesimpulan.

2) Guru harus merumuskan indikator-indikator bahwa siswa

mengomunikasikan dengan tepat

3) Guru harus menilai proses ketika siswa melakukan kegiatan

mengomunikasikan

Langkah-langkah dalam kegiatan mengomunikasikan terdiri dari:

1) Siswa menentukan apa yang akan dikomunikasikan

2) Siswa menentukan siapa yang akan menjadi penerima informasi

3) Siswa memikirkan bagaimana cara mengomunikasikan supaya penerima

informasi bisa menerimanya atau memahaminya.

4) Siswa memberikan kesempatan kepada penerima informasi untuk bertanya

hal-hal yang belum dipahaminya

5)

Permendikbud Nomor 22 tahun 2016 menghendaki pembelajaran saintifik

diperkuat dengan pembelajaran berbasis penemuan atau penyingkapan

(diskoveri), penelitian atau penyelidikan (inkuiri), pembelajaran berbasis masalah

dan pembelajaran berbasis proyek. Alasannya sangat rasional yaitu karena pada

keempat pembelajaran tersebut terdapat proses belajar yang melibatkan lima

kegiatan pokok pada pendekatan saintifik. Berikut adalah hubungan antara lima

kegiatan pokok pada pendekatan saintifik dan sintaks-sintaks pada keempat

pembelajaran di atas.

Tabel 1. Hubungan antara 5M dengan Sintaks pada Pembelajaran Diskoveri

dan Inkuiri

Kegiatan Pokok 5M Sintaks pada Pembelajaran Diskoveri

dan Inkuiri

Mengamati Stimulation (memberikan rangsangan)

Menanya Problem Statement

Kelima kegiatan pokok (5M) di atas adalah aktivitas minimal,

guru dapat mengembangkannya sesuai kebutuhan

(menyatakan masalah)

Mengumpulkan Informasi Data Collection

(mengumpulkan data)

Mengasosiasi

Data Processing, Verification and

Generalization

(memproses, memverifikasi dan

menyimpulkan data)

Mengomunikasikan Disemination (mengomunikasikan)

Tabel 1. Hubungan antara 5M dengan Sintaks pada Pembelajaran Berbasis

Masalah

Kegiatan Pokok 5M Sintaks pada Pembelajaran Berbasis

Masalah

Mengamati Problem Situation, Clarification of

Concept and Terms

(orientasi masalah)

Menanya Problem Definition and Analysis

(mendefinisikan masalah)

Mengumpulkan Informasi Building Explanation

(membimbing penyelidikan individu)

Mengasosiasi Synthesis Explanation

(membangun penjelasan)

Mengomunikasikan Presentation and Evaluation

(menyajikan hasil karya dan

mengevaluasi kegiatan)

Tabel 1. Hubungan antara 5M dengan Sintaks pada Pembelajaran Berbasis

Proyek

Kegiatan Pokok 5M Sintaks pada Pembelajaran Berbasis

Proyek

Mengamati Orientasi masalah

Menanya Penentuan pertanyaan mendasar

Mengumpulkan Informasi/ Mencoba Menyusun perencanaan dan jadwal,

melaksanakan dan memonitor proyek

Mengasosiasi Menguji hasil

Mengomunikasikan Mengevaluasi pengalaman

Dalam proses kerja yang sesuai dengan kriteria ilmiah atau pendekatan

saintifik, para ilmuwan melakukan penalaran induktif (inductive reasoning) yang

memandang fenomena atau situasi spesifik kemudian menarik simpulan secara

keseluruhan, dan penalaran deduktif (deductive reasoning) yang memandang teori

umum untuk diterapkan pada fenomena atau situasi spesifik. Sesuai dengan

Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses yang menyatakan

bahwa “ Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu dan

tematik perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/ penelitian”.

Berdasarkan pernyataan tersebut, pendekatan saintifik memosisikan makna belajar

adalah “meneliti”. Sehingga lima kegiatan pokok dalam pendekatan saintifik

berbasis penelitian yang meliputi kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan

informasi/ mencoba, mengasosiasi dan mengomunikasikan idealnya dilakukan

secara terurut sesuai dengan prosedur pada metode ilmiah. Hal ini diperkuat

dengan pernyataan yang tertera pada Permendikbud Nomor 103 tahun 2014

tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah “

Pendekatan saintifik/ pendekatan berbasis proses keilmuan merupakan

pengorganisasian pengalaman belajar dengan urutan logis meliputi proses

pembelajaran mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/ mencoba,

mengasosiasi dan mengomunikasikan”. Dapat disimpulkan bahwa kelima

kegiatan pokok pada pendekatan saintifik seyogyanya dilakukan secara terurut

mulai dari kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/ mencoba,

mengasosiasi dan mengomunikasikan.

Berikut adalah prosedur implementasi pendekatan saintifik berbasis

penelitian atau prosedur ilmiah.

a. Untuk lebih memudahkan pemahaman, kelima kegiatan pokok pada

pendekatan saintifik berbasis penelitian dapat diilustrasikan dalam kegiatan

menanya, menjawab, dan mengomunikasikan jawaban. Kegiatan pembelajaran

diawali dengan pengamatan terhadap fenomena atau objek pengamatan.

Selanjutnya, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanya

tentang hal-hal yang perlu diketahuinya atau hal-hal yang belum dipahaminya

(Menanya). Jawaban dari pertanyaannya secara empirik didapatkan siswa

melalui aktivitas mengumpulkan informasi/ mencoba dan mengasosiasi

(Menjawab). Jawaban tersebut kemudian dikomunikasikan oleh siswa secara

Pendekatan saintifik berbasis penelitian berhubungan erat

dengan prosedur metode ilmiah

lisan atau tulisan kepada siswa lain dan guru untuk mendapatkan tanggapan

dan penguatan (Mengomunikasikan).

b. Kegiatan belajar inti dimulai dengan kegiatan mengamati benda atau fenomena

(objek penelitian). Hasil dari kegiatan mengamati berupa fakta atau

pengetahuan faktual.

c. Ketika siswa melakukan pengamatan, diharapkan akan muncul rasa ingin tahu

terhadap hal-hal yang tidak dipahaminya dari apa yang diamatinya. Interpretasi

rasa ingin tahu siswa adalah sejumlah pertanyaan faktual, konseptual,

prosedural bahkan sampai pada pertanyaan hipotetik. Bentuk pertanyaan siswa

yang diharapkan pada pendekatan saintifik berbasis penelitian adalah

pertanyaan hipotetik yang mengarah pada berpikir tingkat tinggi (High

Order Thinking) yang sesuai dengan objek pengamatan dan materi ajar.

Contoh Pertanyaan Hipotetik:

“ Mengapa bisa begitu?”

“ Mengapa itu terjadi?”

Jawabannya berupa Prinsip atau Generalisasi

d. Kegiatan menanya oleh siswa diharapkan berupa pertanyaan-pertanyaan

hipotetik yang sesuai dengan objek pengamatan dan materi ajar, serta

mengarah kepada hal-hal yang ingin ditemukan oleh siswa. Jika tidak ada

pertanyaan yang sesuai harapan, maka guru yang memberikan pertanyaan agar

dijawab oleh siswa melalui kegiatan mengumpulkan informasi/ mencoba,

mengasosiasi dan mengomunikasikan.

e. Kegiatan menanya berhubungan dengan kegiatan menalar/ menduga yang

melibatkan pengetahuan awal yang dimilikinya (prior knowledge), siswa

menduga jawaban dari apa yang ditanyakannya. Kegiatan ini menghasilkan

hipotesis (dugaan).

Contoh tanya jawab guru dan siswa

Guru: “ Menurutmu, mengapa itu terjadi?”

Siswa: “ Menurut saya, itu terjadi karena ...”

Hasilnya berupa Hipotesis

f. Untuk menjawab pertanyaan atau untuk menguji dugaan, siswa melakukan

kegiatan mencoba atau mengumpulkan data/ informasi. Hasil dari kegiatan ini

adalah jawaban dari pertanyaan berupa sejumlah informasi/ data yang masih

tercecer.

g. Siswa mengolah data/ informasi yang masih tercecer, kemudian dilihat polanya

untuk selanjutnya menarik kesimpulan dari data/ informasi tersebut

(mengasosiasi). Hasil dari kegiatan ini adalah jawaban dari pertanyaan siswa.

h. Jawaban tersebut disampaikan kepada guru dan siswa lain melalui kegiatan

mengomunikasikan. Pada kegiatan ini, guru dan siswa lain memvalidasi

jawaban atau hal-hal yang dikomunikasikan.

i. Kelima kegiatan pokok pada pendekatan saintifik dapat dilakukan dalam satu

pertemuan/ pembelajaran atau lintas pertemuan/ pembelajaran.

Misalnya:

1) Pembelajaran 1 dilakukan dua kegiatan pokok yaitu mengamati dan

menanya

2) Pembelajaran 2 dilakukan dua kegiatan pokok yaitu mengumpulkan

informasi/ mencoba dan mengasosiasi

3) Pembelajaran 3 dilakukan kegiatan mengomunikasikan

j. Jika hal-hal yang harus ditemukan siswa banyak dan beragam, pendekatan

saintifik dapat dilaksanakan secara kelompok (kolaboratif).

Misalnya:

1) Kelompok 1 menemukan atau menyelidiki masalah A

2) Kelompok 2 menemukan atau menyelidiki masalah B

3) Kelompok 3 menemukan atau menyelidiki masalah C

Pada kegiatan mengomunikasikan, setiap kelompok menyampaikan proses dan

hasil temuannya, sehingga kelompok 1 dan 2 mengetahui proses dan hasil

temuan dari kelompok 3 dan begitu juga sebaliknya sehingga pengetahuan

yang didapatkan seluruh siswa tetap utuh.

k. Kelima kegiatan pokok pada pendekatan saintifik berbasis penelitian

dilaksanakan untuk materi yang sama (memperhatikan keterurutan dan

keterkaitan).

Misalnya:

a) Mengamati terhadap objek A

b) Menanya tentang objek A

c) Mengumpulkan informasi tentang objek A

d) Mengasosiasi data/ informasi tentang objek A

e) Mengomunikasikan jawaban atas pertanyaan tentang objek A

l. Fase belajar siswa yang terdiri dari eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi telah

diwakili oleh aktivitas pokok 5M.

1) Kegiatan mengamati dan menanya merupakan kegiatan pada fase eksplorasi

2) Kegiatan mengumpulkan informasi/ mencoba dan mengasosiasi merupakan

kegiatan pada fase elaborasi

3) Kegiatan mengomunikasikan merupakan kegiatan pada fase konfirmasi

Pendekatan saintifik berbasis penelitian dapat diterapkan pada semua

jenjang pendidikan. Jika guru khususnya guru SD mengalami kesulitan untuk

menerapkan pendekatan saintifik berbasis penelitian maka guru dapat memilih

pendekatan saintifik lainnya. Dalam pembelajaran pada tingkat sekolah dasar,

yang terpenting adalah bagaimana melatih dan membiasakan siswa agar memiliki

keterampilan proses ilmiah (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/

mencoba, mengasosiasi dan mengomunikasikan) dan sikap ilmiah (teliti, terbuka,

jujur, komunikatif, pantang menyerah, kerja keras dan memiliki rasa ingin tahu

yang tinggi) sehingga pada masa mendatang, siswa diharapkan memiliki

keterampilan proses dan sikap ilmiah yang diharapkan untuk memecahkan

masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kelima kegiatan pokok pada

pendekatan saintifik pada tingkat sekolah dasar tidak selalu harus dilaksanakan

secara terurut, melainkan dapat dilakukan secara luwes (fleksibel) sesuai dengan

kreativitas dan kemampuan guru, karakteristik mata pelajaran, materi ajar dan

siswa.

Prosedur implementasi pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M yang

tidak terurut (berbasis keterampilan proses) adalah sebagai berikut:

a. Kelima kegiatan pokok dapat dilaksanakan dalam satu pembelajaran.

Contoh:

1) Pada pembelajaran 1 dilaksanakan kegiatan mengamati, menanya,

mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengomunikasikan.

2) Pada pembelajaran 2 dilaksanakan kegiatan mengamati, menanya,

mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengomunikasikan.

b. Kelima kegiatan pokok dapat dilaksanakan lintas pembelajaran sesuai dengan

cakupan materi pembelajaran.

Contoh:

1) Pada pembelajaran 1 dilaksanakan kegiatan mengamati dan

mengumpulkan informasi

2) Pada pembelajaran 2 dilaksanakan kegiatan mengasosiasi

3) Pada pembelajaran 3 dilaksanakan kegiatan mengomunikasikan dan

menanya

c. Kelima kegiatan pokok dapat dilaksanakan lebih dari satu kali dalam satu

pembelajaran.

Contoh:

1) Pada pembelajaran 1 dilaksanakan kegiatan mengamati dan

mengumpulkan informasi

2) Pada pembelajaran 2 dilaksanakan kegiatan mengasosiasi dan menanya

3) Pada pembelajaran 3 dilaksanakan kegiatan mengamati,

mengomunikasikan dan menanya

d. Kegiatan menanya dari siswa adalah sesuatu yang diharapkan oleh guru, tetapi

yang lebih penting adalah kesempatan bertanya yang diberikan oleh guru

kepada siswa. Bentuk pertanyaan siswa yang sesuai dengan implementasi

Pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M tidak terurut

berhubungan erat dengan keterampilan proses ilmiah

“ Yang terpenting adalah siswa memiliki sikap ilmiah dan terampil

melakukan kegiatan 5M ”

pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M yang tidak terurut adalah pertanyaan

faktual, konseptual dan prosedural. Jawaban dari pertanyaannya dipikirkan

dan disampaikan oleh siswa sendiri, siswa lain dan selanjutnya oleh guru

sebagai penguatan.

e. Kelima kegiatan pokok dapat dilaksanakan untuk materi yang berbeda (tidak

memperhatikan keterurutan dan keterkaitan).

Contoh:

1) Mengamati objek A pada materi A

2) Mengumpulkan informasi tentang materi B

3) Mengomunikasikan ide/ jawaban/ kesimpulan tentang materi C

4) dll.

f. Fase belajar siswa yang terdiri dari eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi telah

diwakili oleh aktivitas pokok 5M.

1) Kegiatan mengamati dan menanya merupakan kegiatan pada fase

eksplorasi

2) Kegiatan mengumpulkan informasi/ mencoba dan mengasosiasi

merupakan kegiatan pada fase elaborasi

3) Kegiatan mengomunikasikan merupakan kegiatan pada fase konfirmasi

Kreativitas guru menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan

pembelajaran. Guru yang kreatif akan memilih dan mengembangkan

pembelajaran yang menerapkan pendekatan saintifik sesuai dengan kemampuan

guru dan karakteristik mata pelajaran, kompetensi dasar, materi pembelajaran dan

siswa serta bentuk pertanyaan siswa. Berikut adalah prosedur penerapan

pendekatan saintifik dalam pembelajaran.

a. Kenalilah kemampuan guru sendiri, karakteristik siswa, kompetensi dasar,

mata pelajaran yang terkait dengan tema, materi ajar dan bentuk pertanyaan

siswa!

b. Pilihlah pendekatan saintifik yang akan diterapkan dalam pembelajaran sesuai

dengan karakteristik di atas (pendekatan saintifik berbasis penelitian atau

pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M yang tidak terurut)!

c. Jika tidak memungkinkan untuk melaksanakan pendekatan saintifik berbasis

penelitian, maka terapkanlah pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M yang

tidak terurut!

d. Kembangkanlah kelima kegiatan pokok pada pendekatan saintifik sesuai

dengan karakteristik di atas!

e. Kelima kegiatan pokok pada pendekatan saintifik dilakukan oleh siswa, guru

bertugas sebagai fasilitator agar kegiatan 5M berjalan dengan baik.

2. Pembelajaran Berbasis Proyek

Proses pembelajaran seyogyanya dapat menumbuhkan kreativitas,

keterampilan/ sikap, dan kemampuan bernalar siswa. Hal ini sesuai dengan

pernyataan pada Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar proses

yang dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan seyogyanya

diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,

memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup

bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan

perkembangan fisik serta psikologis siswa. Dengan demikian, salah satu fokus

utama proses pembelajaran di sekolah dasar adalah pada kreativitas guru dan

siswa. Kreativitas guru terlihat pada bagaimana guru merencanakan dan

melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan materi

ajar sehingga pembelajaran menjadi efektif. Sedangkan, kreativitas siswa terlihat

pada saat mereka melakukan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi sehingga

menghasilkan suatu karya yang berbasis pemecahan masalah.

Pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk berkarya baik secara

individual maupun kelompok diantaranya adalah pembelajaran berbasis proyek.

Dalam standar proses dinyatakan bahwa untuk mendorong kemampuan siswa

menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat

disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya

berbasis pemecahan masalah (project based learning). Dengan demikian, dalam

pembelajaran berbasis proyek, siswa aktif menghasilkan karya bermakna sebagai

solusi masalah nyata di sekitar siswa dalam kehidupan sehari-harinya.

Pembelajaran berbasis proyek adalah pembelajaran yang menggunakan

proyek/ kegiatan sebagai media dan menggunakan masalah sebagai langkah awal

dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan

pengalaman siswa dalam beraktivitas secara nyata. Pembelajaran berbasis proyek

merupakan pembelajaran yang menuntut kreativitas siswa. Pada pembelajaran

berbasis proyek terkandung makna hasil karya siswa sebagai hasil belajar melalui

perbuatan atau pengalaman langsung (learning by doing) yang merupakan konsep

dari pendekatan konstruktivisme dari John Dewey.

Pembelajaran berbasis proyek merupakan pembelajaran yang melibatkan

suatu penelitian atau penyelidikan mendalam tentang topik tertentu yang

dikerjakan oleh siswa secara individual maupun kelompok untuk memecahkan

masalah nyata di sekitar siswa yang muncul dalam pembelajaran. Dengan

demikian, dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa atau guru dapat

mengajukan topik-topik proyek yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan

siswa, materi dan tema pembelajaran. Hasil dari pembelajaran berbasis proyek

adalah produk atau karya berupa ide dan produk konkret yang kreatif dan

bermakna.

Pembelajaran berbasis proyek memiliki karakteristik yang membedakan

dengan pembelajaran lainnya sebagai berikut:

a. Adanya kerangka kerja

Dalam pembelajaran, guru dan siswa merumuskan dan menyepakati kontrak

belajar termasuk prosedur kerja dalam pembelajaran berbasis proyek yang akan

dilakukan.

Pembelajaran berbasis proyek diawali dengan masalah nyata di

sekitar siswa untuk dipecahkan melalui karya kreatif dan

bermakna

b. Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa

Dalam pembelajaran, guru atau siswa menyampaikan masalah nyata di sekitar

siswa (kontekstual) terkait dengan tema pembelajaran yang telah dipelajari.

c. Hasil belajar siswa berupa solusi atas permasalahan atau tantangan yang

diajukan

Dalam pembelajaran, siswa secara berkelompok memikirkan ide untuk

menyelesaikan masalah yang muncul dalam pembelajaran.

d. Adanya kolaborasi yang bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola

informasi untuk memecahkan permasalahan

Dalam pembelajaran, siswa secara berkelompok berbagi tugas dan

bertanggungjawab terhadap tugasnya masing-masing.

e. Proses evaluasi dijalankan secara kontinyu

Dalam pembelajaran, guru menetapkan waktu untuk melihat kemajuan kerja

kelompok, menilai kemajuan kerja siswa dan memberikan saran perbaikan

terhadap kinerja siswa.

f. Proses refleksi dilakukan secara berkelanjutan atas aktivitas yang sudah

dijalankan

Dalam pembelajaran, guru bersama siswa menetapkan waktu dan memberikan

kesempatan kepada siswa untuk menceritakan hambatan-hambatan ketika

melaksanakan proyek, menyampaikan alasannya dan rencana perbaikan proses

proyeknya.

g. Produk akhir aktivitas belajar dievaluasi secara kualitatif

Dalam pembelajaran, guru menilai produk akhir dan kinerja siswa sehingga

siswa memahami kekurangan dan kelebihan produk dan kinerjanya.

h. Situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan

Dalam pembelajaran, guru selalu memberikan penghargaan sebagai bentuk

motivasi kepada seluruh siswa dan selalu memberikan kesempatan kepada

siswa untuk menyampaikan ide-ide baru yang inovatif.

Pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:

a. Mengembangkan kreativitas siswa

b. Mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa

c. Mengembangkan sikap kerjasama, tanggung jawab dan saling menghargai

antarsiswa

d. Meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah

e. Mengembangkan keterampilan proses (mengamati, menanya, menalar,

mencoba dan mengomunikasikan) dan sikap ilmiah siswa (rasa ingin tahu,

jujur, terbuka, disiplin)

Pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

a. Pembelajaran berpusat pada siswa yang melibatkan tugas-tugas pada

kehidupan nyata sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa

Dalam pembelajaran, siswa aktif menyampaikan masalah dalam kehidupan

nyata yang sesuai dengan tema dan memikirkan ide inovatif untuk

memecahkan masalah tersebut.

b. Tugas/ proyek menekankan pada kegiatan penyelidikan berdasarkan suatu tema

atau topik yang telah ditentukan dalam pembelajaran

Dalam pembelajaran, siswa bersama guru menetapkan topik-topik proyek yang

sesuai dengan tema pembelajaran sebelumnya. Kemudian, siswa secara

berkelompok memilih topik proyek sesuai kesepakatan kelompok.

c. Penyelidikan atau eksperimen dilakukan secara otentik dan menghasilkan

produk nyata.

Dalam pembelajaran, siswa secara berkelompok melakukan penyelidikan atau

percobaan untuk menghasilkan produk nyata dan bermakna sebagai solusi dari

masalah nyata yang muncul dalam pembelajaran sesuai dengan topik proyek

yang dipilihnya.

d. Produk, laporan atau hasil karya tersebut dikomunikasikan untuk mendapat

tanggapan dan umpan balik untuk perbaikan proyek berikutnya.

Dalam pembelajaran, siswa secara berkelompok mengomunikasikan proses dan

hasil kerjanya sesuai dengan topik proyek yang dipilihnya, sementara siswa

lain memberikan tanggapan dan guru memberikan penguatan.

Prosedur pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek ini berupa langkah-

langkah sistematis dan aturan pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek supaya

pembelajaran efektif. Secara umum langkah-langkah pada pembelajaran berbasis

proyek terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi proyek. Berikut adalah

langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek menurut Permendikbud tentang

Kurikulum 2013 Sekolah Dasar:

Gambar 1. Langkah-langkah Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek

Penjelasan Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai

berikut.

a. Penentuan Pertanyaan Mendasar (Start With the Essential Question).

Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang

dapat memberi penugasan siswa dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil

topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah

investigasi mendalam. Guru berusaha agar topik yang diangkat relevan untuk

para siswa.

b. Mendesain Perencanaan Proyek (Design a Plan for the Project)

Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara guru dan siswa. Dengan

1

PENENTUAN PERTANYAAN MENDASAR

2

MENYUSUN PERECANAAN PROYEK

3

MENYUSUN JADWAL

4

MONITORING

5

MENGUJI HASIL

6

EVALUASI PENGALAMAN

demikian siswa diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut.

Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat

mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara

mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan

bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek.

c. Menyusun Jadwal (Create a Schedule)

Guru dan siswa secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam

menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (1) membuat

timeline untuk menyelesaikan proyek, (2) membuat deadline penyelesaian

proyek, (3) membawa siswa agar merencanakan cara yang baru, (4)

membimbing siswa ketika mereka membuat cara yang tidak berhubungan

dengan proyek, dan (5) meminta siswa untuk membuat penjelasan (alasan)

tentang pemilihan suatu cara.

d. Memonitor siswa dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the

Progress of the Project)

Guru bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas siswa

selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara

menfasilitasi siswa pada setiap roses. Dengan kata lain pengajar berperan

menjadi mentor bagi aktivitas siswa. Agar mempermudah proses monitoring,

dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas yang penting.

e. Menguji Hasil (Assess the Outcome)

Penilaian dilakukan untuk membantu guru dalam mengukur ketercapaian

standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan tiap-tiap siswa, memberi

umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai siswa, membantu

guru dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.

f. Mengevaluasi Pengalaman (Evaluate the Experience)

Pada akhir proses pembelajaran, guru dan siswa melakukan refleksi terhadap

aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan

baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini siswa diminta untuk

mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan proyek.

Guru dan siswa mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja

selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan

baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap

pertama pembelajaran.

Langkah-langkah pada pembelajaran berbasis proyek dapat dikembangkan

sesuai dengan kreativitas guru. Berikut adalah langkah-langkah pembelajaran

berbasis proyek yang telah dikembangkan:

a. Model Pembelajaran Berbasis Proyek Menurut Keser & Karagoca (2010)

Gambar 2. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek

Diadaptasi dari Keser & Karagoca (2010)

Berdasarkan bagan di atas, kegiatan yang harus dilakukan pada setiap

langkah pembelajaran berbasis proyek adalah sebagai berikut:

1) Penentuan proyek

Pada langkah ini, siswa menentukan tema/ topik proyek berdasarkan tugas

proyek yang diberikan oleh guru. Siswa diberi kesempatan untuk memilih/

menentukan proyek yang akan dikerjakannya baik secara kelompok ataupun

mandiri dengan catatan tidak menyimpang dari tugas yang diberikan guru.

2) Perancangan langkah-langkah penyelesaian proyek

Siswa merancang langkah-langkah kegiatan penyelesaian proyek dari awal

sampai akhir beserta pengelolaannya. Kegiatan perancangan proyek ini berisi

aturan main dalam pelaksanaan tugas proyek, pemilihan aktivitas yang dapat

mendukung tugas proyek, pengintegrasian berbagai kemungkinan penyelesaian

Penyusunan Jadwal

Pelaksanaan Proyek Perancangan langkah-

langkah penyelesaian

Proyek

Penentuan

Proyek

Penyusunan laporan

dan

presentasi/publikasi

hasil Proyek

Penyelesaian Proyek

dengan fasilitasi dan

monitoring guru

Evaluasi proses

dan hasil

Proyek

tugas proyek, perencanaan sumber/ bahan/ alat yang dapat mendukung

penyelesaian tugas proyek, dan kerja sama antar anggota kelompok.

3) Penyusunan jadwal pelaksanaan proyek

Siswa di bawah pendampingan guru melakukan penjadwalan semua kegiatan

yang telah dirancangnya diantaranya tentang berapa lama proyek itu harus

diselesaikan tahap demi tahap.

4) Penyelesaian proyek dengan fasilitasi dan monitoring guru

Langkah ini merupakan langkah pengimplementasian rancangan proyek yang

telah dibuat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam kegiatan proyek di

antaranya adalah dengan (1) membaca; (2) meneliti; (3) observasi; (4) interviu;

(5) merekam; (6) berkarya seni; (7) mengunjungi objek proyek; atau (8) akses

internet. Guru bertanggung jawab memonitor aktivitas siswa dalam melakukan

tugas proyek mulai proses hingga penyelesaian proyek. Pada kegiatan

monitoring, guru membuat rubrik yang akan dapat merekam aktivitas siswa

dalam menyelesaikan tugas proyek.

5) Penyusunan laporan dan presentasi/ publikasi hasil proyek

Hasil proyek dalam bentuk produk, baik itu berupa produk karya tulis, karya

seni, atau karya teknologi/ prakarya dipresentasikan dan/ atau dipublikasikan

kepada siswa yang lain dan guru atau masyarakat dalam bentuk pameran

produk pembelajaran.

6) Evaluasi proses dan hasil proyek

Guru dan siswa pada akhir proses pembelajaran melakukan refleksi terhadap

aktivitas dan hasil tugas proyek. Proses refleksi pada tugas proyek dapat

dilakukan secara individu maupun kelompok. Pada tahap evaluasi, siswa diberi

kesempatan mengemukakan pengalamannya selama menyelesaikan tugas

proyek yang berkembang dengan diskusi untuk memperbaiki kinerja selama

menyelesaikan tugas proyek. Pada tahap ini juga dilakukan umpan balik

terhadap proses dan produk yang telah dihasilkan.

b. Model Pembelajaran Berbasis Proyek Menurut Sungkono (2012)

Model pembelajaran berbasis proyek ini terdiri dari langkah-langkah

seperti terlihat pada diagram di bawah ini.

Gambar 3. Disain Model Pembelajaran Menurut Sungkono (2012)

1) Menetapkan atau memilih tema atau topik adalah langkah awal yang harus

ditempuh dalam melaksanakan pembelajaran berbasis proyek. Topik dapat

muncul secara spontan dari minat siswa atau yang diusulkan guru, kemudian

diperhalus oleh guru bekerjasama dengan siswa. Topik proyek harus sesuai

dengan materi atau tema yang telah dipelajari. Sebelum membahas topik

Menetapkan tema proyek

(sesuai dengan materi atau tema yang sudah dipelajari)

Merencanakan aktivitas

(project planning)

Memproses aktivitas

(project pre-actuating)

Penerapan aktivitas untuk menyelesaikan proyek

(project actuating)

Mendemonstrasikan proyek

(project demonstration & disemination)

Menyempurnakan produk

(reflection and evaluation)

Menyusun laporan

(project report)

proyek, guru perlu berdiskusi dan mencatat pengetahuan awal dan pengalaman

siswa yang berkaitan dengan topik. Hal ini penting untuk menghubungkan

pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki siswa dengan pengetahuan

baru yang akan diperolehnya.

2) Merencanakan aktivitas proyek dilakuan oleh siswa sesuai dengan jenis proyek

yang dipilihnya.

3) Rencana yang telah disusunnya diperiksa kembali untuk diproses pada tahap

memproses aktivitas proyek diantaranya berkaitan dengan alat dan bahan yang

dibutuhkan serta hal-hal terkait dengan proyek.

4) Penerapan atau pelaksanaan kegiatan untuk menyelesaikan proyek sesuai

dengan rencana yang telah disusun.

5) Kegiatan mendemontrasikan atau mendiseminasikan proyek melalui kegiatan

presentasi atau pajang karya.

6) Setelah mendapat masukan dari guru serta siswa lain, kegiatan dilanjutkan

dengan penyempurnaan produk atau hasil karya proyek.

7) Kegiatan diakhiri dengan penyusunan laporan proyek sederhana.

c. Model Pembelajaran Berbasis Proyek Menurut Iriawan (2014)

Gambar 4. Disain Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Iriawan, 2014)

Langkah-langkah pada model pembelajaran berbasis proyek di atas dapat

dirinci sebagai berikut:

PENENTUAN PERTANYAAN/ MASALAH MENDASAR

PENENTUAN TOPIK-TOPIK PROYEK

PEMILIHAN TOPIK PROYEK

PERENCANAAN DAN PENYUSUNAN JADWAL PROYEK

PELAKSANAAN DAN PELAPORAN PROGRES PROYEK

PENYUSUNAN LAPORAN PROYEK

PENILAIAN PROYEK

DAN PRODUK SISWA

PAMERAN PROYEK

DAN PRODUK SISWA

REFLEKSI KEGIATAN

PROYEK

1) Pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan setelah selesai satu tema

pembelajaran

2) Siswa bersama guru menemukan masalah-masalah yang terkait dengan tema

pembelajaran

3) Siswa bersama guru menentukan topik-topik proyek sesuai dengan tema

pembelajaran. Topik-topik proyek adalah solusi-solusi dari masalah yang dapat

dipilih oleh siswa melalui proyeknya

4) Siswa secara berkelompok memilih satu topik proyek untuk dikembangkan

5) Siswa secara individual atau kelompok menyusun perencanaan proyek dan

jadwal proyek serta pembagian tugas proyek

6) Siswa melaksanakan proyeknya, kemudian melaporkan progres proyek

7) Siswa menyusun laporan proyek sesuai dengan format

8) Guru memberikan penilaian atas proyek (perencanaan, pelaksanaan dan

pelaporan) dan produk siswa (kreativitas dan estetikanya) yang merupakan

kesepakatan dengan siswa

9) Siswa memajangkan hasil karyanya dan memamerkannnya pada acara pameran

kelas

10) Siswa melakukan refleksi terhadap kegiatan proyek yang telah dilakukan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan pembelajaran

berbasis proyek adalah sebagai berikut:

a. Pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan setiap berakhir satu tema

pembelajaran dengan rentang waktu paling lama satu minggu tentang tema

yang telah dipelajari sebelum masuk ke tema berikutnya.

b. Pembelajaran berbasis proyek yang dilaksanakan tanpa mengganggu kegiatan

pembelajaran pada tema berikutnya.

c. Dalam menerapkan model pembelajaran berbasis proyek hendaknya sesuai

dengan tema dan diawali dengan pengajuan masalah dari siswa atau guru untuk

dipecahkan oleh siswa melalui pembelajaran berbasis proyek.

d. Topik proyek yang akan dipilih siswa dalam pembelajaran berbasis proyek

hendaknya beragam (variatif) sehingga karya siswa yang dihasikan juga

beragam (variatif).

e. Karya yang dihasilkan oleh siswa melalui pembelajaran berbasis proyek adalah

karya berbasis masalah yang bermakna sebagai pemecahan masalah yang

muncul sesuai topik yang dipilih siswa.

f. Pembelajaran berbasis proyek memerlukan banyak waktu dan peralatan yang

harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Untuk itu

direkomendasikan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran.

g. Dalam pembelajaran berbasis proyek, kondisikan suasana belajar supaya

menyenangkan dan tidak monoton.

3. Pembelajaran dengan Pendekatan Konstruktivisme

Pendekatan pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pendekatan

yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) karena

menekankan pada kegiatan siswa. Pendekatan konstruktivisme adalah suatu

pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pengetahun awal siswa sebagai

tolak ukur dalam belajar. Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa

peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media,

peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu

pembentukan tersebut. Menurut Bell, Driver & Leach dalam Hilda Karli &

Margaretha SY (dalam Kusmoro: 2008) [online], pengertian pendekatan

pembelajaran konstruktivisme yaitu:

Suatu pendekatan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa

dalam proses belajar hendaknya diawali dengan terjadinya konflik-konflik

kognitif ini hanya dapat di atasi melalui pengetahuan diri (self regulation). Dan

pada akhir proses belajar, pengetahuan akan di bangun sendiri oleh siswa melalui

pengalamannya sendiri dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan

peran guru menurut Suparno (dalam Kusmoro,:2008) [online], “sebagai mediator

dan fasilitasi yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan konstruktivisme merupakan sudut

pandang dalam pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuannya melalui kegiatan dan pengalaman belajar siswa.

Konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang relatif baru. Secara

garis besar terdapat lima prinsip tentang belajar dan mengajar yang merupakan

dasar bagi pendekatan-pendekatan berbasis konstruktivisme (Widodo : 2010)

a. Pertama, pembelajar telah memiliki pengetahuan awal.

b. Kedua, belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengatahuan

berdasarkan pengatahuan yang telah dimiliki.

c. Ketiga, belajar adalah perubahan konsepsi pembelajar.

d. Keempat, proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu

konteks sosial tertentu.

e. Kelima, pembelajar bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.

Sedangkan menurut Brook and Brook (dalam Indrawati; Setiawan, 2009)

ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, jika Anda akan

mengimplementasikan konstruktivisme dalam pembelajaran, prinsip-prinsip

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mengajukan masalah yang relevan untuk siswa

b. Strukturkan pembelajaran untuk mencapai konsep-konsep esensial

c. Sadarilah bahwa pendapat (perspektif) siswa merupakan jendela mereka untuk

menalar (berpikir).

d. Adaptasikan kurikulum untuk, memenuhi kebutuhan dan pengembangan siswa

e. Lakukan asesmen terhadap hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam secara

umum pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran memiliki prinsip bahwa

pembelajaran yang dilakukan menekankan kepada: 1) Belajar adalah proses aktif

mengkonstruksi pengetahuan; 2) Aktif membentuk keterkaitan (link) antara

pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan yang sedang

dipelajari; 3) Melakukan interaksi dengan siswa yang lain.

Dasar pemikiran konstruktivis adalah pengajaran yang efektif

menghendaki guru mengetahui bagaimana para siswa memandang fenomena yang

menjadi subjek pengajaran atau bagaimana gagasan siswa mengenai konsep yang

akan dibahas sebelum pembelajaran mengenai suatu konsep akan dimulai.

Menurut Driver & Leaach, ciri-ciri pembelajaran dengan pendekatan

konstruktivisme adalah sebagai berikut:

a. Beranjak dari pengetahuan

b. siswa (prior knowledge)

c. Memberikan pengalaman langsung (experimence) melalui aktivitas hands-on

dan mind-on

d. Mengaktifkan interaksi sosial (social interaktions) dan konteks natural

&cultural yang cocok dengan kehidupan siswa

e. Pencapaian kepahaman (sense making); dengan terjadinya perubahan

konseptual pada diri siswa.

Sedangkan menurut Djojosoediro (2003), ciri utama belajar dan

pembelajaran konstruktivisme adalah:

a. Pengetahuan awal siswa menjadi bagian penting dalam pembelajaran

b. Siswa aktif belajar dan menghubungkan pengetahuan awal yang dimiliki

dengan pengetahuan yang sedang dipelajari

c. Siswa membangun `pengetahuan sendiri sehingga pengetahuan tersebut

bermakna bagi dirinya

d. Selalu beriteraksi multi arah

Implikasi dari pendekatan belajar konstruktivisme dalam pembelajaran

meliputi empat tahapan yaitu, 1) eksplorasi pengetahuan awal siswa

(mengungkapkan konsepsi awal dan membangkitkan motivasi), 2) pemberian

pengalaman langsung, 3) mengaktifkan interaksi sosial, 4) Pencapaian

kepahaman. Tahap-tahap pembelajaran tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Eksplorasi pengetahuan awal siswa

Pada tahap ini siswa didorong untuk mengungkapkan pengetahuan awal

tentang konsep yang akan dipelajari. Bila perlu guru memancing dengan

memberikan pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering

ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberi

kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahaman tentang

konsep tersebut.

b. Pemberian pengalaman langsung

Pada tahap ini siswa diajak untuk menemukan konsep melalui

penyelidikan, pengumpulan data, dan penginterpretasian data melalui suatu

kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Pemberian pengalaman langsung dapat

berupa pengamatan, melakukan percobaan, demonstrasi, mencari informasi

melalui buku atau surfing di internet secara berkelompok. Pada tahap ini

dirancang agar rasa ingin tahu siswa tentang fenomena alam di sekelilingnya

dapat terpenuhi secara keseluruhan. Pada tahap ini guru memberi kebebasan pada

siswa untuk mengeksplorasi rasa keingintahuannya melalui pengalaman dan

kegiatan belajar siswa.

c. Mengaktifkan interaksi sosial

Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan

guru maupun temannya secara berkelompok untuk melakukan tanya jawab

maupun diskusi hasil observasi atau temuannya dalam kegiatan pembelajaran atau

pengalamannya.

d. Pencapaian kepahaman siswa

Pada tahap ini guru memberikan penguatan bukan memberi informasi.

Dengan demikian siswa sendiri yang membangun pemahaman baru tentang

konsep yang sedang dipelajari. Bila konsepsinya/pengetahuan awalnya benar,

maka siswa menjadi tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya. Bila pengetahuan

awalnya salah, maka eksplorasi akan merupakan jembatan antara konsepsi siswa

dengan konsep baru. Dengan demikian diharapkan konsep yang dipelajarinya

akan menjadi bermakna.

Berikut kelebihan dan kelemahan pendekatan konstruktivisme

dibandingkan dengan proses pembelajaran konvensional.

a. Kelebihan

1) Pembelajaran diperoleh siswa melalui pengalaman langsung

2) Pendekatan konstruktivisme dapat diterapkan untuk berbagai macam materi

ajar, seperti pemahaman yang rumit, serta latihan memecahkan masalah

secara bersama-sama.

3) Dapat diterapkan untuk semua jenjang pendidikan atau dalam pelatihan

diorganisasi.

4) Pendekatan konstruktivisme membuat pembelajaran lebih bermakna, karena

belajar berdasarkan prinsip learning by doing (belajar sambil berbuat).

5) Menimbulkan rasa percaya diri pada siswa karena siswa merasa mempunyai

andil terhadap keberhasilan belajar.

6) Terkait dengan motivasi, pendekatan konstruktivisme membina kompetensi

interpersonal mencakup kemampuan berkomuniksi, berkolaborasi, bekerja

sama, membantu orang lain, dan menjalin hubungan dengan orang lain.

Kompetensi intrapersonal mencakup apresiasi terhadap keanekaragaman,

melakukan refleksi diri, mengendalikan emosi, tekun, mandiri, dan

mempunyai motivasi intrinsik.

b. Kelemahan

1) Memerlukan waktu yang cukup bagi setiap siswa untuk membangun

pengetahuannya sendiri.

2) Memerlukan latihan agar siswa terbiasa belajar dengan pendekatan tersebut.

3) Pendekatan konstruktivisme yang diterapkan harus sesuai dengan

pembahasan materi ajar yang harus dipilih dengan sebaik-baiknya agar sesuai

dengan misi pendekatan konstruktivisme.

4) Memerlukan format penilaian yang berbeda.

5) Guru memerlukan kemampuan khusus untuk mengkaji berbagai teknik

pelaksanaan pendekatan konstruktivisme.

4. Pembelajaran dengan Pendekatan Berbasis Masalah

Sesuai dengan perkembangan jaman yang semakin kompleks dan banyak

macamnya, maka masalah-masalah kehidupan itupun muncul dan semakin

kompleks. Perkembangan jaman tersebut menuntut kita untuk berkompetisi

dalam memenuhi segala kebutuhan hidup dan memecahkan setiap masalah yang

dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menghadapi tantangan dan

perkembangan jaman tersebut, kurikulum pembelajaran di sekolah telah

memfokuskan pembelajaran pada Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem

Based Learning).

Pembelajaran berbasis masalah (probelm-based learning atau PBL) baru

muncul akhir abad ke 20, tepatnya dipopulerkan oleh Barrows dan Tamblyn

(1980). Model ini muncul sebagai hasil penelitian mereka terhadap kemampuan

bernalar mahasiswa kedokteran di McMaster Medical School di Kanada. PBL

juga diteliti oleh de Goeij et.al. (1987) di universitas Limburg Belanda dan telah

menghasilkan kurikulum berbasis masalah dengan beberpa karakteristik yang

menarik di antaranya: (1) pada 6 minggu pertemuan awal dilakukan pembelajaran

tematik yang disusun multidisiplin; (2) materi program tersebut bersifat koheren

dan memiliki struktur yang komperhensif; (3) program mengandung sifat yang

berulang; (4) Selama 4 tahun ada peningkatan kesulitan secara bertahap. Jadi

secara umum PBL memiliki prinsip “belajar untuk menemukan”.

Pembelajaran berbasis masalah berbeda dengan pembelajaran melalui

metode pemecahan masalah (problem solving). Problem solving menuntut

mahasiswa secara individual mencari jawaban dari serangkaian pertanyaan

berdasarkan informais yang diberikan dosen. Dipihak lain PBL mengarahkan

mahasiswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencari situasi masalah dan

melalui pencarian ini diharapkan dapat menguji kesenjangan dalam pengetahuan

dan keterampilan mereka untuk menentukan informasi mana yang perlu mereka

peroleh untuk menyelesaikan masalah dan mengolah situasi yang ada.

Hal tersebut sesuai dengan karakteristik PBL (Barrows dan Tamblyn,

1980) di antaranya yaitu:

a. kompleks, dalam mengorganisasikan fokus pembelajaran tidak ada satu

jawaban yang “benar” seperti keadaan nyata dalam kehidupan.

b. mahasiswa bekerja dalam kelompok-kelompok dalam memecahkan masalah,

mengidentifikasi kesenjangan dalam pembelajaran, dan mengembangkan

pemecahan yang mungkin.

c. mahasiswa mengumpulkan informasi baru melalui pembelajaran yang

diarahkannya sendiri (self-directed learning).

d. dosen hanya berperan sebagai fasilitator

e. permasalahan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan

masalah dalam profesinya.

Hal yang senada diungkapkan oleh Herman (2009: 225) yang

mengungkapkan bahwa PBL melibatkan pengetahuan awal siswa dan kemampuan

yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah matematis. Hal ini sejalan

dengan teori Piaget tentang asimilasi dan akomodasi yang mengungkapkan bahwa

pada diri siswa terdapat pengetahuan awal, sehingga informasi akan masuk ke

dalam skemata otak siswa melalui proses asimilasi. Jika proses asimilasi tersebut

tidak diikuti akomodasi maka tidak akan terbentuk pengetahuan baru

(disequilibrium), artinya informasi tersebut tidak terskemakan di dalam skemata

otak siswa. Hal ini disebabkan salah satunya akibat ketidaksesuaian informasi

baru tersebut dengan pengetahuan awal siswa.

Berdasarkan karakteristik PBL di atas, masalah terbuka sangat cocok

untuk dijadikan fokus pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi

kelompok untuk memecahkan masalah tersebut. Jadi, terdapat hubungan antara

PBL sebagai pendekatan dengan pemecahan masalah (problem solving) sebagai

metode. Kriteria dari masalah diungkapkan oleh Adjie dan Maulana (2009: 4)

bahwa “ Permasalahan yang kita hadapi dapat dikatakan masalah jika masalah

tersebut tidak bisa dijawab secara langsung, karena harus menyeleksi informasi

atau data yang diperoleh.” Masalah memiliki sifat nonrutin baik dari segi

materinya sendiri maupun dari segi penyelesaiannya, dalam artian bahwa suatu

soal dikategorikan sebagai masalajh jika soal tersebut tidak rutin diberikan kepada

siswa atau penyelesaiannya memerlukan strategi yang tidak biasa. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa masalah adalah soal yang sifatnya nonrutin.

Dalam pelaksanaan PBL di kelas, siswa dan guru secara bertahap akan

menggunakan beragam strategi dan langkah. Hal ini sesuai dengan pendapat

Entwistle (1981) yang menegaskan bahwa selain melaksanakan deep approach

dan surface approach, PBL juga memiliki strategic approach. Pada awal

perkuliahan mereka melakukan surface approach yaitu mencoba mengklarifikasi

area/ ruang lingkup masalah yang diberikan dosen atau masalah yang dirumuskan

mereka sendiri. Selanjutnya dalam rangka pemecahan masalah tersebut mereka

melakukan deep approach. Sambil melakukan deep approach, mereka juga

melaksanakan strategic approach yaitu menekankan perolehan nilai tertinggi,

mengatur waktu dan berbagi upaya agar dihasilkan efek terbaik, mencari kondisi

dan materi yang mencukupi untuk dipelajari, menggunakan bahan ujian

sebelumnya untuk meramalkan pertanyaan-pertanyaan, dan waspada terhadap

petunjuk penilaian.

Dalam praktiknya, PBL memiliki beberapa keunggulan yaitu dapat

memperluas tema, menggunakan pendekatan yang beragam, memperluas

kerangka filosofis, serta memiliki akhir pembelajaran yang berujung terbuka.

Dalam rangka memperluas tema, PBL memiliki delapan karakteristik tambahan

yaitu: (1) mengakui pengalaman dasar siswa; (2) menekankan pada

pertanggungjawaban siswa sendiri terhadap pembelajaran mereka; (3) bersifat

lintas disiplin; (4) memadukan teori dan praktik; (5) lebih berfokus pada

perolehan proses daripada hasil; (6) perubahan peran guru dari instruktur menjadi

fasilitator; (7) perubahan pola asesmen sendiri (self-assessment) dan asesmen

rekan sebaya (peer assessment); (8) berfokus pada keterampilan berkomunikasi

interpersonal yang meyakinkan siswa saling menghubungkan pengetahuan yang

mereka miliki, yang selanjutnya dapat membekali kemampuan untuk selalu

meningkatkan diri dalam bidang profesinya kelak (Boud, 1985 dalam Baden and

Major, 2003).

Sebagai perluasan kerangka filosofis maka PBL mencakup tiga bidang

yang luas, yaitu: (1) menggunakan organisasi kurikulum di sekitar masalah,

karena itu lebih bersifat kurikulum terintegrasi dan menekankan pada

keterampilan kognitif; (2) kondisi yang difasilitasi oleh PBL berupa belajar aktif

dalam kelompok-kelompok kecil, dan tutorial. (3) hasil belajar yang difasilitasi

oleh PBL berupa pengembangan keterampilan dan motivasi, diiringi dengan

pengembangan kemampuan belajar sepanjang hayat.

Karena PBL lebih memfasilitasi inkuiri terbuka, maka pembelajaran ini

berujung terbuka pula. Hal ini disebabkan beragamnya kemungkinan

melaksanakan PBL dengan membentuk perpaduan dan saling keterkaitan secara

bebas antara PBL dengan project-based learning, problem-solving learning,

action and work-based learning. Ada 8 modus kurikulum dalam pelaksanaan

PBL, yaitu single module approach, PBL on a shoestring, the funnel approach,

the foundational approach, the two-strand approach, patchwork PBL, the

integrated approach, the complexity model.

Selain keunggulan di atas, Delisle (1997: 1) memandang PBL sebagai

pembelajaran yang memfasilitasi metode penemuan yang dapat membantu siswa

untuk lebih memahami konsep yang sedang dipelajari. “...Problem-based learning

(PBL) provides a structure for discovery that helps students internalize learning

and leads to greather comprehension.” Prabawanto (2010: 568) mengatakan

bahwa pada umumnya di dalam buku teks matematika, yang dijadikan sebagai

sandaran utama para guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran

matematika, menempatkan soal yang berkaitan dengan masalah nyata dalam

bagian akhir setelah uraian materi dan contoh-contoh dipaparkan.

Guru dalam pembelajaran mengetengahkan masalah di akhir

pembelajaran, sebagai contoh dari konsep yang sudah dipelajari. Hal tersebut

bertentangan dengan konsep PBL sendiri yang membangun konsep dari masalah

yang diberikan oleh guru atau dimunculkan oleh siswa dalam pembelajaran. Dari

masalah tersebut, siswa memberikan interpretasinya sesuai dengan pengetahuan

awal yang telah dimilikinya. Sehingga siswa aktif memberikan interpretasi dan

menemukan solusi dari masalah yang muncul dalam pembelajaran. Hal tersebut di

atas sesuai dengan pendapat Dewey (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 46) yang

mengemukakan bahwa ”...belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung.

Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif, baik individual maupun

kelompok, dengan cara memecahkan masalah (problem solving). Guru bertindak

sebagai pembimbing dan fasilitator.”

Lambdin memandang pembelajaran matematika bukan hanya tentang

keahlian dan prosedur, tetapi lebih dalam lagi yaitu untuk belajar memecahkan

masalah matematis sebagai latihan bagi siswa supaya siap dalam menghadapi

masalah dalam kehidupan sehari-hariya. Hal ini sesuai dengan pendapat Lambdin

yang mengatakan bahwa:

However,mathematics teachers know that mathematics is not just about

skills and procedures. Learning about mathematical concepts-such as

numeration and place value, additive and multiplicative thinking,

equivalence, and similarity (to name just a few)-is also an obvious goal of

school mathematics. However, even mastering procedures and learning

concept is not enough; students must also learn to solve problems.

Lebih jauh lagi, berdasarkan teori Vygotsky, Suryadi (2010: 12)

menyimpulkan tiga hal utama yang berkaitan dengan pembelajaran yakni: (1)

pembelajaran efektif mengarah pada perkembangan, (2) pembelajaran efektif akan

berhasil dikembangkan melalui setting pemecahan masalah, dan (3) pembelajaran

efektif berfokus pada upaya membantu siswa untuk mencapai potential

development mereka. Untuk mencapai pembelajaran efektif tersebut maka

beberapa saran berikut nampaknya penting untuk diperhatikan: (1) tingkatkan

sensitivitas bahwa siswa terlibat secara aktif dalam setting belajar yang

dikembangkan, (2) ciptakan problem solving interaktif yang mengarah pada

proses belajar, (3) sajikan soal-soal yang bersifat menantang, (4) gunakan on-

going assessment untuk memonitor pembelajaran, (5) ciptakan kesempatan bagi

siswa untuk menampilkan kemampuan berfikir tingkat tingginya, (6) beri

dorongan serta kesempatan bagi siswa untuk menampilkan kemampuan berbagai

solusi serta strategi berbeda pada penyelesaian suatu masalah, (7) tingkatkan

komunikasi, yakni dengan mendorong siswa untuk memberikan penjelasan serta

jastifikasi pemikiran mereka, (8) gunakan berbagai variasi strategi mengajar dan

belajar, dan (9) upayakan untuk menelusuri hal-hal yang belum diketahui siswa

sehingga guru mampu membantu proses peningkatan potensial mereka.

Masalah yang dimunculkan di dalam PBL dapat memperlebar daerah

perkembangan proximal (Zone of Proximal Developement/ ZPD) siswa yang

merupakan selisih antara perkembangan aktual hasil belajar sendiri (actual

developement) dengan perkembangan potensial (potential developement) yang

dipengaruhi oleh faktor eksternal yang dalam hal ini diantaranya adalah masalah

matematis yang dimunculkan dalam pembelajaran.

Menurut Bae (2009) terdapat tujuh sintak dalam melakukan pembelajaran

berbasis masalah ini yaitu dengan memulainya secara bertahap: 1) munculnya

situasi masalah; 2) mengklarifikasi konsep dan informasi yang terlibat dengan

masalah; 3) mendefinisikan masalah; 4) menganalisis masalah; 5) membangun

penjelasan; 6) kemandirian belajar yang dilakukan oleh siswa menggunakan

sumber belajar internet untuk membangun argumentasinya terhadap masalah yang

berkembang dan alternatif pemecahan masalahnya; 7) membuat penjelasan

terhadap masalah dan alternatif solusinya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

1.

2.

3.

4.

Problem situation (step 1)

Clarification of concepts

and terms (step 2)

Problem analysis (step 4)

Problem definition (step 3)

Knowledge

inventory

Individual

learning issues

Self-directed learning (step 6)

Argumentation

Building explanations

(step 5)

Formulation of

hypotheses

Synthesis of Explanation

(step 7)

Small-group

discussion Argumentation

Mayer (Tan, 2009: 148) mengemukakan bahwa dalam model PBL ini

kemandirian belajar siswa akan muncul ketika siswa menghubungkan

pengetahuan yang baru yang mereka dapatkan dalam sumber belajar internet

dengan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam memecahkan masalah

pembelajaran secara individual. “ Self-directed learning occurs when students

relate newly acquired knowledge to what they already know in resolving

individual learning issues.”

5. Pembelajaran Berbasis Penemuan (Diskoveri)

Pembelajaran diskoveri adalah proses pembelajaran yang terjadi bila siswa

tidak disajikan materi ajar dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan

mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery

Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not

presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize

it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah

pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa siswa harus berperan aktif dalam

belajar di kelas.

Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, dimana

siswa mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono,

1996: 41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan

hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan

(Budiningsih, 2005: 43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam

penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.

Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,

penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan

discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and

principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).

Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima

unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua

unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif

maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4)

Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan

bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda

yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori

meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (objek-objek atau

peristiwa-peristiwa) kedalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga

tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic,

dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam

upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia

sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan,

sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-

objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya,

dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan

(tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu

memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh

kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya

anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin

matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya.

Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic

adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau

kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat

temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan

keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa

untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).

Dalam konsep belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning

merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat

memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang

kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah

pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding.

Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem koding dirumuskan demikian

dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara objek-objek

dan kejadian-kejadian (events).

Discovery Learning adalah proses pembelajaran yang melibatkan siswa

untuk mengorganisasikan sendiri materi pelajaran dengan penekanan pada

penemuan konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui siswa. Sebagai

strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri

(inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga

istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep

atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery

ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam

masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan

hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan

keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui

proses penelitian.

Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan

masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning

adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan

dalam bentuk final akan tetapi siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang

ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian

mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan

mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.

Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-

ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang

bersangkutan. Penggunaan metode Discovery Learning, ingin mengubah kondisi

belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher

oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya

menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa

menemukan informasi sendiri.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap

siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk

menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa

pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning

Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi,

penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan

yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses

belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.

Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus

berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat

perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk

memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang

dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dalam mengaplikasikan

metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan

memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana

pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa

sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin mengubah

kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.

Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan bahwa

hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadi

seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam

metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa

dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,

membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,

mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

Hal tersebut memungkinkan siswa menemukan arti bagi diri mereka

sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam

bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian, seorang guru dalam aplikasi

metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-

kesempatan dalam belajar yang lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses

belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan

kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman

melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih,

2005:41).

Tujuan metode Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah

guru memberikan kesempatan kepada siswanya untuk menjadi seorang problem

solver, seorang scientist, historian, atau ahli matematika. Melalui kegiatan tersebut

siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang

bermanfaat bagi dirinya. Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery

sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan)

mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode

mengajar lainnya. Hal ini tidak berarti bahwa guru menghentikan untuk

memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada siswa. Tetapi

bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan siswa

diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.

Kelebihan penerapan Discovery Learning untuk dilaksanakan di kelas

adalah:

a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-

keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci

dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.

b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh

karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.

c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan

mencapai keberhasilan.

d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan

kecepatannya sendiri.

e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan

melibatkan imajinasi dan motivasi sendiri.

f. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena

memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan siswa lainnya.

g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan

gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai

peneliti di dalam situasi diskusi.

h. Membantu siswa menghilangkan skeptisisme (keragu-raguan) karena

mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.

i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.

j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses

pembelajaran yang baru.

k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja mandiri

l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.

m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik ( penyerapan )

n. Situasi proses belajar menjadi lebih menarik dan menyenangkan

o. Proses belajar meliputi semua aspek siswa menuju pada pembentukan manusia

seutuhnya.

p. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.

q. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber

belajar yang beragam.

r. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu. (life skill)

Kelemahan penerapan Discovery Learning dalam pembelajaran di kelas

adalah:

a. Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan siswa untuk belajar. Bagi

siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak dalam berpikir

atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan,

sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.

b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena

membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori

atau pemecahan masalah lainnya.

c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini tidak akan tercapai ketika

berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar

yang lama.

d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,

sedangkan pengembangan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara

keseluruhan kurang mendapat perhatian.

e. Pada beberapa muatan pelajaran misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur

gagasan yang dikemukakan oleh para siswa.

f. Tidak memberikan kesempatan untuk berpikir tentang sesuatu yang akan

ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

Langkah-langkah operasional implementasi Discovery Learning dalam

proses pembelajaran adalah:

a. Mengidentifikasi kebutuhan siswa;

b. Menyeleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan

generalisasi pengetahuan;

c. Menyeleksi bahan, problema/ tugas-tugas;

d. Membantu dan memperjelas tugas/ problema yang dihadapi siswa serta

peranan masing-masing siswa;

e. Mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;

f. Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan;

g. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;

h. Membantu siswa dengan informasi/ data jika diperlukan oleh siswa;

i. Memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang

mengarahkan dan mengidentifikasi masalah;

j. Memicu terjadinya interaksi antarsiswa ;

k. Membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.

Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model Discovery

Learning di kelas secara rinci.

a. Langkah Persiapan

1) Menentukan tujuan pembelajaran.

2) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat,

gaya belajar, dan sebagainya).

3) Memilih materi pelajaran.

4) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif

(dari contoh-contoh generalisasi).

5) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh,

ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk siswa.

6) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari

yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke

simbolik.

7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa

b. Langkah Pelaksanaan

Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning

di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan

belajar mengajar secara umum berikut ini.

1) Stimulation (Stimulasi/ Pemberian Stimulus )

Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang

menimbulkan keraguannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi

generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat

memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran

membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan

pemecahan masalah.

Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi

interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam

mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulasi dengan

menggunakan teknik bertanya yang bersifat “HOTS” ( High order thinking

skill ) yaitu dengan mengajukan pertanyaan tingkat tinggi yang dapat

mendorong siswa pada kondisi internal untuk bereksplorasi. Dengan demikian,

seorang guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberikan stimulus

kepada siswa dengan tujuan mengaktifkan siswa dalam mengeksplorasi

konsep materi .

2) Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)

Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi

kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda

masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih

dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan

masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut permasalahan yang dipilih itu

selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni

pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang

diajukan. Memberikan kesempatan kepaada siswa untuk mengidentifikasi dan

menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang

berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan

suatu masalah.

3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Ketika eksplorasi berlangsung, guru juga memberi kesempatan kepada

siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk

membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Tahap ini

berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya

hipotesis. Dengan demikian, siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan

(collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati

objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan

sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk

menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi,

dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah

dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.

4) Data Processing (Pengolahan Data)

Menurut Syah (2004: 244) bahwa pengolahan data merupakan

kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh siswa baik melalui

wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informasi hasil

bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak,

diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu

serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002: 22).

Data processing disebut juga dengan pengodean/ kategorisasi yang

berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi

tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/

penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis

5) Verification (Pembuktian)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk

membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan

temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244).

Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan

dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-

contoh yang dijumpai dalam kehidupannya.

Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada,

pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek,

apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)

Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah

kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua

kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi

(Syah, 2004: 244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-

prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus

memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan

siswa atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari

pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi

dari pengalaman-pengalaman itu.

6. Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual

Pendekatan pembelajaran yang mengaitkan materi yang sedang dipelajari

dengan situasi dunia nyata yang dekat dengan kehidupan siswa dinamakan

pendekatan pembelajaran kontekstual. Hal ini sejalan dengan pendapat Muslich

(2007:41) yang menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep

belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan

situasi dunia yang nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka

sehari-hari.

Dengan demikian, keterlibatan siswa secara aktif selama pembelajaran

dengan menerapkan pendekatan kontekstual sangat penting. Sanjaya (2006)

menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan

pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh

untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan

situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya

dalam kehidupan mereka. Keterkaitan antara konsep yang dipelajari dengan

konteks dunia nyata sangat penting untuk dibangun sehingga materi ajar akan

tertanam lama dalam benak siswa. Sutardi dan Sudirjo (2007:95) menyatakan

bahwa pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru

mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan

mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Nurhadi (2002) mengatakan bahwa pendekatan kontekstual merupakan

konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang

diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat

hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam

kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (dalam Hernawan,

2010: 124). Dengan demikian, pada pembelajaran kontekstual sangat penting

untuk dibangun hubungan antara pengetahuan yang dimiliki siswa dengan

penerapannya dalam kehidupan keseharian mereka. Pendapat serupa disampaikan

oleh Hernawan (2010: 124) yang menjelaskan bahwa melalui pendekatan

kontekstual, mengajar bukan transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa

dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari

kehidupan nyata, akan tetapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa

untuk mencari kemampuan untuk bisa hidup (life skill) dari apa yang

dipelajarinya. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah lebih

dekat dengan lingkungan masyarakat (bukan dekat dari segi fisik), akan tetapi

secara fungsional apa yang dipelajari di sekolah senantiasa bersentuhan dengan

situasi dan permasalahan kehidupan yang terjadi di lingkungannya (keluarga dan

masyarakat).

Menurut Muslich (2007: 42), pembelajaran dengan pendekatan

kontekstual mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang

diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata

atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah

(learning in real life setting).

b. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan

tugas-tugas yang bermakna (meaningfull learning).

c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna

kepada siswa (learning by doing).

d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi saling

mengoreksi antar teman (learning in a group).

e. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan,

bekerjasama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara

mendalam (learning to know each other deeply).

f. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan

kerja sama (learning to ask, to inquiry, to work together).

Selain karakteristik di atas, Muslich (2009: 43) mengatakan bahwa

pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh komponen utama,

yaitu (1) constructivism (konstruktivisme, membangun, membentuk); (2)

questioning (bertanya); (3) inquiry (menyelidiki, menemukan); (4) learning

community (masyarakat belajar); (5) modelling (pemodelan); (6) reflection

(refleksi atau umpan balik); dan (7) authentic assessment (penilaian yang

sebenarnya). Ketujuh komponen pembelajaran dengan pendekatan kontekstual

menurut Muslich tersebut selanjutnya dijabarkan sebagai berikut:

a. Konstruktivisme, yang menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara

aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengalaman terdahulu dan dari

pengalaman belajar yang bermakna.

b. Bertanya (Questioning) yaitu upaya guru yang bisa mendorong siswa untuk

mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi,

sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa.

c. Menemukan (Inquiry) yang diawali dari pengamatan terhadap fenomena,

dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan

yang diperoleh sendiri oleh siswa.

d. Masyarakat belajar (Learning Community) yang menyarankan bahwa hasil

belajar sebaiknya diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.

e. Pemodelan (Modelling) yang menyarankan bahwa pembelajaran dan

keterampilan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru siswa.

f. Refleksi (Reflection) yang merupakan perenungan kembali atas pengetahuan

yang baru dipelajari.

g. Penilaian autentik yang merupakan proses pengumpulan berbagi data yang bisa

memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman

bealajar siswa.

Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan

pendekatan kontekstual. Adapun tentang keunggulan pendekatan kontekstual

disebutkan oleh Sutardi & Sudirjo (2007: 96) yaitu:

a. Real world learning (belajar dunia nyata), dimana materi pembelajaran

dikaitkan dengan situasi nyata siswa.

b. Mengutamakan pengalaman nyata, dimana pembelajaran yang terjadi dalam

hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya atau realita.

c. Berpikir tingkat tinggi, sebagai proses dari diskoveri, pemecahan masalah, dan

inkuiri. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil

mengingat sejumlah fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri merupakan

realisasi prinsip inkuiri pada pendekatan kontekstual.

d. Berpusat pada siswa, merupakan hakikat kontekstual yang menekankan kepada

proses keterlibatan siswa. Dengan kata lain, proses pengalaman secara

langsung siswa mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran melalui

prinsip konstruktivisme pada pendekatan kontekstual.

e. Kontekstual menuntut siswa aktif, kritis, kreatif sehingga pengetahuan lebih

bermakna dalam kehidupan sebab dekat dengan kehidupan nyata. Karena itu,

kegiatannya bukan mengajar melainkan belajar, perubahan perilaku terjadi atas

siswa melalui pemaknaan pengetahuan yang diperolehnya melalui pengalaman

belajarnya sendiri.

Lebih jauh lagi Sutardi dan Sudirjo (2007: 97) mengemukakan kelemahan

pendekatan kontektual sebagai berikut.

a. Bagi guru kelas, guru harus memiliki kemampuan memahami secara mendalam

dan komprehensif tentang: 1) konsep pendekatan kontekstual; 2) prinsip-

prinsip pendekatan kontekstual; 3) potensi perbedaan individual siswa di kelas;

4) sarana, media, alat bantu dan kelengkapan pembelajaran.

b. Bagi siswa diperlukan inisiatif, kreativitas dalam belajar, memiliki

pengetahuan awal yang memadai, tuntutan perubahan sikap dalam menghadapi

persoalan, dan siswa harus memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi dalam

menyelesaikan tugas-tugas.

Pendekatan pembelajaran kontekstual secara operasional

diimplementasikan melalui model pembelajarannya yang telah dikaji secara

ilmiah oleh para ahli pada pendekatan kontektual. Terdapat beberapa model

pembelajaran yang diturunkan dari pendekatan kontekstual misalnya model

REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transfering), POE

(Predict, Observe, Explain), dll. Model pembelajaran apapun yang diturunkan dari

pendekatan kontekstual tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip pendekatan

kontekstual. Misalnya model REACT yang terdiri dari langkah-langkah sebagai

berikut.

a. Relating

Pada tahap ini, guru menghubungkan konsep yang akan dipelajari dengan

pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam konteks kehidupan nyata atau

pengalaman nyata.

b. Experiencing

Pada tahap ini, siswa melakukan kegiatan eksplorasi, eksperimen, dan

penyelidikan serta dimotivasi dengan menggunakan berbagai metode dan media

pembelajaran. Selanjutnya, guru menjelaskan konsep-konsep terkait materi yang

akan atau sedang dipelajari.

c. Applying

Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk menerapkan berbagai

konsep, prinsip, atau prosedur tertentu yang telah mereka temukan sendiri pada

tahap experiencing dalam kehidupannya baik di dalam maupun di luar kelas.

d. Cooperating

Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk melakukan kerjasama

dengan siswa lain dengan cara berdiskusi untuk saling menguatkan konsep,

prinsip atau prosedur tertentu terkait proses dan hasil aplikasinya pada tahap

Applying.

e. Transfering

Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk menerapkan kembali

konsep, prinsip, atau prosedur tertentu yang telah mengalami penguatan pada

tahap cooperating pada materi lainnya yang masih terkait dengan materi yang

telah dipelajari atau pada kehidupannya sehari-hari.

7. Pembelajaran dengan Pendekatan Kooperatif

Menurut Holubec (dalam Nurhadi, 2003: 59), “Pengajaran kooperatif

memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok siswa untuk

bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan

belajar”. Pembelajaran kooperatif memiliki ciri utama yaitu adanya kerjasama

antar siswa. Dengan kata lain, pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran

yang secara sadar menciptakan interaksi yang saling mencerdaskan sehingga

sumber belajar bukan hanya guru dan buku ajar tetapi juga sesama siswa. Menurut

Abdurrahman (dalam Nurhadi, 2003: 60) menyatakan bahwa pembelajaran

kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan

interaksi yang silih asah (saling mencerdaskan), silih asih (saling menyayangi),

dan silih asuh (saling tenggang rasa) antar sesama siswa sebagai latihan hidup dari

dalam masyarakat nyata.

Salah satu ciri pembelajaran kooperatif adalah kemampuan siswa untuk

bekerja sama dalam kelompok kecil yang heterogen (Suyitno, 2004: 9). Masing-

masing anggota dalam kelompok memiliki tugas yang setara. Dengan demikian,

pembelajaran kooperatif terjadi jika adanya aktivitas siswa untuk bekerja sama

dalam membahas materi/pertanyaan agar dapat mencari dan menemukan jawaban

dari materi yang dibahas oleh siswa. Menurut Arends (1997: 111), pembelajaran

yang menggunakan model kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi

belajar.

b. kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan

rendah.

c. jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin

yang berbeda-beda.

d. penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu.

Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem pembelajaran yang di

dalamnya terdapat prinsip-prinsip yang saling terkait. Menurut Abdurrahman

(Nurhadi, 2003: 60), bahwa berbagai prinsip dalam pembelajaran kooperatif

adalah:

a. Saling ketergantungan positif

Guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling

membutuhkan. Hubungan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan

positif. Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui: Saling

ketergantungan pencapaian tujuan, saling ketergantungan bahan atau sumber,

saling ketergantungan dalam menyelesaikan tugas, peran, saling

ketergantungan hadiah.

b. Interaksi tatap muka

Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok dapat saling

bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan

guru, tetapi juga dengan sesama siswa.

c. Tanggung jawab individual

Penilaian kelompok yang didasarkan atas rata-rata penguasaan semua anggota

kelompok secara individual disebut dengan tanggung jawab individual.

d. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi

Keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, berani

mempertahankan pikiran logis, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman,

tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang

bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan

tetapi secara sengaja diajarkan.

Model pembelajaran kooperatif yang telah ditemukan oleh para ahli pada

umumnya dilaksanakan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan perlengkapan pembelajaran.

b. Menyampaikan informasi.

c. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok- kelompok belajar.

d. Membantu siswa belajar dan bekerja dalam kelompok.

e. Evaluasi atau memberikan umpan balik.

f. Memberikan penghargaan.

Model pembelajaran kooperatif yang telah ditemukan oleh para ahli

banyak ragam atau tipenya antara lain: 1) Jigsaw, 2) Student Team Achievment

Division (STAD) , 3) Team Game Tournament (TGT), dll. Salah satu contoh

model pembelajaran kooperatif adalah model Jigsaw yang telah dikaji secara

ilmiah oleh Aronson, Blaney, Stephen, Sikes dan Snapp (1978) yang dikenal

dengan model tim ahli dan terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

a. Siswa dikelompokkan kedalam beberapa kelompok yang disebut kelompok

asal

b. Setiap orang dalam kelompok diberi bagian materi yang berbeda

c. Setiap orang dalam kelompok diberi bagian materi yang ditugaskan

d. Anggota dari kelompok yang berbeda yang telah mempelajari bagian materi

/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru yang disebut kelompok ahli

untuk mendiskusikan bagian materi mereka

e. Setelah selesai diskusi sebagai kelompok ahli, setiap anggota kembali ke

kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu kelompok mereka tentang

bagian materi yang mereka kuasai dan anggota lainnya mendengarkan dengan

sungguh-sungguh

f. Setiap kelompok ahli mempresentasikan hasil diskusi tentang bagian materi

yang mereka kuasai

g. Guru bersama siswa menyimpulkan materi secara umum

h. Guru menutup pembelajaran

Berikut merupakan beberapa tipe dari model pembelajaran kooperatif yang

telah dikaji secara ilmiah oleh penemunya.

a. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Make a Match

Adapun langkah-langkah yang harus dilaksanakan guru dalam memulai

pembelajaran menggunakan tipe make a match adalah sebagai berikut :

1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang

cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu

jawaban. Kartu-kartu ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga kartu

menarik perhatian siswa. Kita dapat menggunakan gambar kartun, atau gambar

dari majalah, internet atau sumber lain sebagai materi. Guru dapat juga

menyiapkan tulisan-tulisan dalam kartu yang dirancang sedemikian rupa

sehingga mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh siswa. Bahasa yang

digunakan harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Secara standar, kita

dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika materi ada

kaitannya dengan gambar, bagan, skema, dibuat sedemikian rupa jelas. Materi

dapat juga dibuat dalam bentuk pertanyaan atau soal, yang berkaitan dengan

tuntutan SK atau KD yang telah ditentukan.

2) Setiap siswa mendapat satu kartu. Sebelum kartu dibagikan kita harus

mengelompokkan siswa dalam dua kelompok yaitu yang memegang kartu

permasalahan atau materi dan yang memegang kartu jawaban. Setiap kelompok

ini dikelompokan lagi sesuai dengan kemampuan dan tingkat kesulitan masalah

yang dihadapi. Siswa yang berkemampuan tinggi akan dibagi kartu dengan

tingkatan kognitif yang lebih tinggi, demikian juga sebaliknya. Pembagian

kartu harus dibuat secara acak tetapi teratur sesuai dengan tingkatan masing-

masing.

3) Setiap siswa memikirkan jawaban/ soal dari kartu yang dipegang.

Pada saat kartu dibagikan, beri mereka waktu antara 10 menit sampai dengan

15 menit untuk memikiran permasalahan dan jawaban masing-masing dari

kartu yang mereka pegang. Mereka dapat mendiskusikannya dengan anggota

kelompok sesama pemegang kartu, mencarinya di buku, internet, peta, globe,

kamus, catatan atau sumber belajar lain yang digunakan pada saat itu. Berikan

kesempatan agar semua dapat memikirkan soal dan jawaban pada setiap

permasalahan yang ada.

4) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan

kartunya (soal jawaban). Setelah persoalan dipecahkan, siswa saling mencari

pasangan. Agar tidak terjadi kekacauan, dapat dicari secara bergiliran dengan

memberikan kesempatan satu persatu kepada siswa untuk membacakan soal

atau permasalahan/ materi, setelah itu dapat mencari pasangan masing-masing.

Waktu pencarian diberikan waktu misalkan ada 10 persoalan maka poin

diberikan 10 s/d 1. Siswa yang menemukan pasangan pada 1 menit pertama

diberi skor 10, pada 2 menit pertama diberi skor 9, pada 3 menit pertama

diberikan skor 8 dan seterusnya. Sampai dengan 10 menit terakhir. Atau dapat

juga setiap pasangan yang menemukan pasangan diberi skor 1.

5) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi

poin. Poin dapat diberikan sesuai dengan teknik di atas, dengan memberikan

skor secara bertingkat atau dengan memberikan skor 1 dan 0, siswa yang dapat

menemukan pasangan sesuai dengan waktu yang diberikan diberi skor 1 dan

yang tidak berhasil menemukan jawaban diberi skor 0.

6) Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang

berbeda dari sebelumnya. Selanjutnya, kartu dikocok dan diberikan secara acak

sesuai dengan tingkatan kemampuan masing-masing. Kembali diberi

kesempatan dalam kelompok, jika anggotanya lebih dari 1 orang. Kemudian

kembali ke langkah 4 dan demikian seterusnya, lakukan secara berulang

sampai waktu pembelajaran selesai. Siapa saja yang menjadi juara berilah

mereka apresiasi, agar di lain kesempatan lebih baik. Berilah motivasi bagi

yang belum berhasil.

7) Kesimpulan/ penutup. Setelah selesai buatlah kesimpulan secara bersama-

sama.

b. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Snowball Throwing

Menurut Suprijono (2009:128 ) dan Saminanto (2010:37 ), langkah –

langkah pembelajaran Snowball Throwing adalah sebagai berikut:

1) Guru menyampaikan materi yang akan disajikan, dan Kompetensi dasar yang

ingin dicapai.

2) Guru membentuk siswa berkelompok, lalu memanggil masing-masing ketua

kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi.

3) Masing – masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya, kemudian

menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada teman- temannya.

4) Kemudian masing – masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk

menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah di

jelaskan oleh ketua kelompok.

5) Kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan

dilemparkan dari siswa ke siswa yang lainnya selama kurang lebih 5 menit.

6) Setelah siswa dapat satu bola berate mendapat satu pertanyaan maka siswa

tersebut harus menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas yang berbentuk

bola tersebut secara bergantian.

7) Evaluasi

8) Penutup

c. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Snowballing

Hamid (2013) menjelaskan prosedur atau langkah-langkah pembelajaran

dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe snowballing ini sebagai

berikut:

1) Kemukakan sebuah masalah

2) Mintalah setiap siswa untuk berpendapat

3) Setelah semua menjawab, minta kembali kepada siswa untuk berpasangan

(setiap pasangan terdiri atas dua orang). Satu sama lain saling bertukar jawaban

dan membahasnya.

4) Apabila setiap pasangan selesai membahas, mintalah tiap-tiap pasangan itu

untuk mendiskusikannya dengan pasangan yang lain. Demikian seterusnya

sampai terbentuk dua kelompok besar dalam satu kelas.

5) Setelah terbentuk dua kelompok besar, mintalah kepada kedua kelompok itu

untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka.

d. Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT)

NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1) Pengarahan

2) Pembentukan kelompok heterogen

3) Pemberian nomor untuk setiap siswa

4) Pemberian persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk

tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiap siswa dengan nomor

sama mendapat tugas yang sama)

5) Pelaksanaan kerja kelompok

6) Presentasi kelompok dengan nomor siswa yang sama sesuai tugas masing-

masing sehingga terjadi diskusi kelas

7) Pelaksanaan kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa

8) Pengumuman hasil kuis

9) Pemberian reward

e. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share

Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan langkah-langkah

sebagai berikut:

1) Guru menyajikan materi klasikal

2) Guru memberikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan

cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs)

3) Presentasi kelompok (share)

4) Pelaksanaan kuis individual dan membuat skor perkembangan tiap siswa

5) Pengumuman hasil kuis dan pemberian reward.

f. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation

Model koperatif tipe GI terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai

berikut:

1) Pengarahan

2) Pembentukan kelompok heterogen dengan orientasi tugas

3) Perencanaan pelaksanaan investigasi

4) Pelaksanaan investigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur

tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis

dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah)

5) Pengolahan data dan penyajian data hasil investigasi

6) Pelaksanaan presentasi

7) Pelaksanaan kuis individual dan pembuatan skor perkembangan siswa

8) Pengumuman hasil kuis dan pemberian reward.

g. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Creative Problem Solving

Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan

pemecahan masalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Pembentukan kelompok heterogen

2) Memunculkan fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya

jawab lisan

3) Identifikasi permasalahan dan memilih fokus secara kelompok

4) Mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi

5) Presentasi dan diskusi kelompok

6) Pemberian reward

h. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Talk Write

Model pembelajaran ini terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai

berikut:

1) Pengelompokan secara heterogen

2) Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak,

mengkritisi, dan memikirkan alternatif solusi) secara berkelompok

3) Hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi dan diskusi kelompok

4) Kemudian membuat laporan hasil diskusi

5) Pemberian reward.

i. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay-Two Stray

Pembelajaran model ini terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai

berikut:

1) Pengarahan

2) Pembentukan kelompok heterogen

3) Pelaksanaan kerja kelompok

4) Dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di

kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain kemudian dua

siswa yang bertamu kembali ke kelompok asal

5) Pelaksanaan kerja kelompok untukmenyempurnakan hasil kerja

6) Presentasi kelompok

7) Pemberian reward.

j. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tornament (TGT)

Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas

tiap kelompok bisa sama bisa berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap

kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan

dinamika kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar

kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi

permainan yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, santun, dan

ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok

sehingga terjadi diskusi kelas.

Model pembelajaran ini terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai

berikut:

1) Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok

materi dan \mekanisme kegiatan

2) Siapkan meja turnamen secukupnya, misalnya 10 meja dan untuk tiap meja

ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja ke-1 diisi oleh siswa

dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-10

ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang

duduk pada meja tertentu adalah hasil kesepakatan kelompok

3) Selanjutnya adalah pelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal

yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu

tertentu (misal 3 menit). Siswa bisa mengerjakan lebih dari satu soal dan

hasilnya diperiksa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap

individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja turnamen

sesuai dengan skor yang diperolehnya diberikan sebutan (gelar) superior, very

good, good, medium

4) Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat

dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan

sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama,

begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar

yang sama

5) Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual,

berikan penghargaan kelompok dan individual.

k. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualy

Model ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan Bantuan Individual

dalam Kelompok (Bidak) dengan karateristik bahwa tanggung jawab belajar

adalah pada siswa. Oleh karena itu, siswa harus membangun pengetahuan tidak

menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan

bukan imposisi-intruksi. Model pembelajaran ini terdiri dari langkah-langkah

pembelajaran sebagai berikut (Slavin, 1985):

1) Buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul

2) Siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok

secara individual

3) Saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi

4) Penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.

l. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Role Playing

Model pembelajaran ini terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai

berikut:

1) Guru menyiapkan skenario pembelajaran

2) Guru menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario tersebut

3) Pembentukan kelompok siswa

4) Penyampaian kompetensi

5) Guru menunjuk siswa untuk melakonkan skenario yang telah dipelajarinya

6) Kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon

7) Presentasi hasil kerja kelompok

8) Kesimpulan dan refleksi

m. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC

Model pembelajaran ini diinisiasi oleh Steven dan Slavin (1995). CIRC

terdiri dari empat kata yaitu Cooperative Integrated Reading Composition dengan

langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:

1) Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang yang secara heterogen

2) Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran

3) Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan

memberi tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas

4) Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok

5) Guru membuat kesimpulan bersama

6) Penutup.

8. Pembelajaran dengan Pendekatan Kuantum

Pendekatan kuantum atau disebut juga dengan Quantum Teaching and

Learning merupakan cara pandang masyarakat belajar bahwa belajar itu harus

berenergi dan membangkitkan motovasi atau energi positif siswa untuk

berinteraksi dengan guru, siswa lain dan sumber belajar. Segala metode, strategi,

model dan juga termasuk segala hal yang dilakukan yang meliputi interaksi antara

guru dan siswa, kurikulum, dan lain sebagainya yang ada dalam pembelajaran

dibangun atas dasar prinsip “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan

Dunia Mereka ke Dunia Kita”.

Pendekatan pembelajaran kuantum memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai

berikut:

a. Segalanya Berbicara

Segalanya dari berbagai komponen yang ada dalam lingkungan

pembelajaran siswa memiliki makna. Setiap komponen yang terlibat dalam proses

pembelajaran yang dilakukan oleh siswa, segalanya memberikan pesan belajar

kepada mereka. Dimulai dari hal yang terkecil hingga yang paling dominan, dari

mulai kertas dan alat tulis yang digunakan oleh siswa hingga siswa dan bahasa

tubuh guru itu sendiri memberikan kontribusi yang aktif pada motivasi dan daya

juang belajar yang dimiliki siswa sehingga semua komponen yang ada dalam

pembelajaran itu seakan-akan berbicara dan pembelajaranpun akhirnya menjadi

hidup.

Dalam pembelajaran dengan pendekatan kuantum, setiap pengalaman

belajar semuanya dikondisikan untuk dapat memberikan pesan belajar yang baik

pada siswa. Setiap perlakuan yang diberikan oleh guru pada siswa dan seluruh

komponen belajar dalam lingkungan pembelajaran baik dari media belajar,

sumber belajar, dan suasana lingkungan belajar, seluruhnya memberikan kesan

positif dan non-diskriminatif terhadap siswa.

b. Segalanya Bertujuan

Pada hakikatnya belajar merupakan suatu proses menuju perubahan yang

diharapkan dari seorang individu. Untuk pencapaian perubahan tersebut tentunya

suatu proses perubahan seseorang memiliki tujuan. Begitulah halnya dalam

belajar, karena belajar merupakan suatu proses perubahan seseorang yang

memiliki tujuan agar dapat menjadi akhir yang terukur pada dirinya bahwa fase

perubahan yang telah dilaluinya itu berhasil ataukah tidak dalam proses belajar

tersebut.

Tujuan dalam proses belajar tentu bukanlah suatu akhir dari aktivitas

belajar yang sedang dilakukan. Tujuan dalam proses belajar merupakan suatu

tahapan seseorang untuk membantu dirinya dalam menentukan jalan hidupnya

untuk mencapai standar kehidupan atau akademik yang lebih tinggi. Sebab pada

hakikatnya, pendidikan dalam arti luas adalah hidup, artinya proses belajar dalam

suatu pendidikan itu akan terus berjalan selama dia masih hidup. Itu berarti belajar

yang dilakukanpun terus menerus akan selalu memiliki tujuan untuk mengarahkan

proses belajarnya agar menjadi tetap terarah.

Jadi, dalam pembelajaran dengan pendekatan kuantum, pembelajaran

harus memiliki tujuan. Tujuan dapat dibuat bersama antara guru dengan siswa.

Setiap pengalaman-pengalaman belajar yang diberikan dan dipelajari oleh siswa

seluruhnya memilki makna dan tujuan yang jelas untuk dapat mengaktualisasikan

dirinya pada masa yang akan datang di lingkungan masyarakat (learning to live

together).

c. Pengalaman Sebelum Pemberian Nama

Proses belajar yang paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami

terlebih dahulu informasi yang diajarkan sebelum mengetahui nama dari informasi

yang sedang mereka pelajari itu. Otak menerima dan memproses suatu informasi

dengan cara yang berbeda-beda, daya tahan yang berbeda, dan hasil menangkap

informasi yang berbeda pula. De Porter, dkk. (2008:7) mengatakan bahwa otak

kita berkembang pesat dengan adanya rangsangan yang kompleks, yang akan

menggerakkan rasa ingin tahu. Cara-cara pendidikan tradisional pada zaman dulu

menunjukkan bahwa cara belajar lebih cenderung pada proses transfering

knowledge yang berfokus lebih pada teacher centered.

Pembelajaran dengan pendekatan kuantum menekankan pada suatu proses

pembelajaran yang memfasilitasi rasa ingin tahu siswa untuk mencari dan

menemukan sendiri konsep dari apa yang sedang mereka pelajari. Oleh sebab itu,

pembelajarn dilaksanakan dengan proses pemberian pengalaman secara langsung

kepada siswa sebelum mereka menemukan sendiri konsep dari materi yang

sedang mereka pelajari.

d. Akui Setiap Usaha

Belajar merupakan suatu proses yang mengandung resiko dan tantangan.

Dalam proses belajar, seseorang digiring untuk berani melangkah keluar dari zona

nyamannya mereka sehingga sangat patut sekali apabila kita memberikan

pengakuan terhadap usaha belajar yang telah dilakukan oleh siswa. Selain itu akan

memberikan dampak yang baik pada siswa karena kemampuan mereka menjadi

meningkat, proses pembelajaran akan jauh lebih mudah dan menyenangkan. Guru

sebaiknya tidak tergesa-gesa memberikan penilaian terhadap hasil karya atau hasil

berpikir siswa, melainkan setiap penilaian dilakukan dengan cara mengklarifikasi

hasil karya siswa misalnya dengan bertanya maksud dan tujuannya kemudian

dilanjutkan dengan memberikan penghargaan atas segala usaha siswa sebagai

bentuk penguatan.

e. Jika Layak Dipelajari Maka Layak Pula Dirayakan

Siswa tidak ubahnya seperti para pemain sepak bola yang sedang beradu

laga di sebuah lapangan sepak bola. Mereka juga merupakan para pemain atau

aktor nyata yang ada dalam suatu lingkungan pembelajaran yang sedang

melangkah maju meninggalkan zona nyamannya untuk mendapatkan kesuksesan

yang jauh lebih tinggi dan akan memberikan kenyamanan yang jauh lebih besar

dari sebelumnya. Sama halnya seperti para pemain kejuaraan apapun, setelah

mereka berhasil menyelesaikan setiap langkah untuk menuju kemenangan yang

besar, maka perayaan selalu diadakan untuk menambah dorongan mencapai

langkah-langkah yang selanjutnya. Seperti pemain sepak bola yang habis

membobol gawang lawan dengan mencetak gol, ia akan berlari kegirangan dengan

berjoged-joged, berteriak sambal menunjukka raut wajah yang bahagia, disertai

dengan sorak gembira dari teman-temannya yang menghampiri sambal memeluk

dan mengangkat tubuhnya. Itu semua dilakukan karena mereka yakin bahwa itu

dapat menambah dan mendorong semangat mereka agar keberhasilan tersebut

dapat dilakukan dan terulang kembali. Oleh sebab itu, sebagai seorang guru,

penting adanya suatu perayaan bagi setiap keberhasilan yang telah dilakukan.

Agar keberhasilan tersebut dapat terulang kembali, karena suatu perayaan dapat

menjadi dorongan yang istimewa bagi siswa agar berusaha lebih giat dari

sebelumnya. Perayaan menjadi salah satu prinsip dasar dari pelaksanaan

pembelajaran dengan pendekatan kuantum, perayaan ini dilakukan untuk

menciptakan suasana yang menyenangkan dan berenergi di kelas. Perayaan-

perayaan ini dapat dilakukan berupa bentuk pemberian tepuk tangan, kejutan,

bahasa tubuh, pujian, pentikan jari, pengakuan, dan lain sebagainya yang

memberikan kesan positif bagi siswa.

Model pembelajaran yang diturunkan dari pendekatan kuantum ini banyak

ragamnya di antaranya Model TANDUR, KUASAI, AMBAK, dll. Model

pembelajaran tersebut merupakan serangkaian langkah atau sintaks yang telah

dikaji secara ilmiah oleh penemunya. Setiap langkah dalam model-model

pembelajaran kuantum tersebut tidak terlepas dari keterlaksanaan prinsip-prinsip

pada pendekatan kuantum di atas. Salah satu model pembelajaran kuantum yang

paling familiar adalah model TANDUR yang telah dikaji secara ilmiah oleh Bobbi

De Porter yang merupakan singkatan dari Tumbuhkan, Alami, Namai,

Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan. Setiap kata dalam TANDUR tersebut

merupakan aktivitas pembelajaran siswa yang harus dilaksanakan secara terurut.

Tahap keempat yaitu Demonstrasikan merupakan penciri bahwa struktur materi

pembelajaran yang hendak dikuasai siswa melalui model TANDUR ini adalah

pengetahuan prosedural berupa prosedur tertentu. Menurut hierarkinya, ketika

guru akan menyampaikan pengetahuan prosedural kepada siswa secara bermakna

maka harus dimulai dari pengetahuan faktual berupa fakta dan pengetahuan

konseptual berupa konsep dan prinsip.

1) Tumbuhkan

Pada tahap ini, guru harus menumbuhkan minat belajar siswa misalnya

melalui pengondisian siswa secara fisik dan psikis untuk mengikuti pembelajaran

dan memotivasi siswa secara kontekstual tentang materi pembelajaran yang akan

dipelajarinya. Hal ini dilakukan sebagai upaya membangkitkan kelas agar

memiliki energi yang cukup untuk persiapan menuju kegiatan inti pembelajaran.

Misalnya ketika guru akan mengajarkan materi tentang Cara Mencuci Tangan,

maka guru harus memulainya misalnya dengan menceritakan atau menayangkan

video tentang banyaknya anak-anak yang sakit perut setelah makan dengan

menggunakan tangan yang tidak dibersihkan terlebih dahulu, sehingga tumbuh

motivasi dari diri siswa untuk mencuci tangan sebelum makan.

2) Alami

Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk melakukan prosedur

tertentu sesuai dengan hasil belajar siswa dari pengalamannya tanpa penjelasan

terlebih dahulu dari guru. Misalnya, setelah siswa termotivasi untuk mencuci

tangan sebelum makan, guru selanjutnya menugaskan siswa untuk mencuci

tangan dengan caranya masing-masing.

3) Namai

Pada tahap ini, guru menyampaikan konsep-konsep yang terkait dengan

materi pembelajaran yang akan dipelajari, misalnya menyampaikan konsep

tentang mencuci, tangan, bersih, sabun, dll.

4) Demonstrasikan

Pada tahap ini, guru mendemonstrasikan prosedur tertentu sesuai dengan

materi pembelajaran yang hendak dikuasai siswa, misalnya mendemonstrasikan

prosedur atau cara mencuci tangan dengan benar sehingga dapat menjadi contoh

bagi siswa.

5) Ulangi

Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk mengulangi prosedur

tertentu sesuai dengan demonstrasi yang telah dilakukan sehingga mereka

menyadari kesalahan-kesalahannya pada saat melakukan prosedur tersebut pada

tahap Alami. Misalnya, setelah siswa mengamati demonstrasi yang telah

dilakukan oleh guru tentang cara mencuci tangan, selanjutnya siswa mengulangi

kembali mencuci tangan sesuai dengan prosedur yang telah didemonstrasikan.

6) Rayakan

Pada tahap ini, siswa telah mendapatkan pengetahuan berupa prosedur

tertentu misalnya siswa telah mampu mencuci tangan dengan benar, selanjutnya

guru bersama siswa merayakan keberhasilan siswa untuk memberikan penguatan

atau motivasi bagi siswa untuk selalu mencuci tangan dengan benar.

9. Pembelajaran Berbasis Aktivitas

Pembelajaran berbasis aktivitas merupakan proses belajar yang melibatkan

proses fisik dan mental siswa melalui kegiatan mengamati, menanya, menduga,

mencoba, mengeksplorasi, mengukur, menyimpulkan, mengomunikasikan, dll.

dengan tujuan:

a. Meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran

b. Meningkatkan interaksi sosial antara siswa dengan lingkungan sekitarnya

c. Mendorong siswa untuk dapat menemukan dan menyelidiki sendiri konsep

yang dipejari agar mudah diingat

d. Membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling berbagi

informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-ide siswa lain

e. Melatih siswa belajar berpikir analitis dan mencoba memecahkan masalah

yang dihadapi sendiri

Pembelajaran berbasis aktivitas dapat dilaksanakan dengan efektif jika

prinsip-prinsipnya terlaksana dengan baik. Prinsip-prinsip pembelajaran berbasis

aktivitas terdiri dari:

a. Somatis yaitu siswa mengalami aktivitas fisik yang memungkinkan siswa

berinteraksi dengan siswa lain secara berpasangan atau kelompok. Kegiatan ini

ditandai dengan adanya pergerakan fisik dari satu tempat ke tempat lain baik di

dalam maupun di luar kelas.

b. Auditori yaitu siswa dimungkinkan untuk mendengar secara aktif dari berbagai

sumber informasi. Pada kegiatan ini, siswa secara aktif mendengarkan

penjelasan materi atau informasi dari berbagai sumber belajar.

c. Visual yaitu siswa dimungkinkan untuk melakukan pengamatan gambar atau

lingkungan sekitar. Pada kegiatan ini, siswa memahami teks berbentuk tulisan,

gambar, bagan, grafik, dan bentuk lainnya baik dua atau tiga dimensi.

d. Intelektual yaitu siswa dimungkinkan untuk melakukan proses berpikir. Pada

kegiatan ini siswa melakukan pencarian informasi dari berbagai sumber untuk

meningkatkan pemahamannya.

Manfaat pembelajaran berbasis aktivitas bagi siswa adalah sebagai berikut:

a. Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan

kemampuan untuk menemukan hasil akhir.

b. Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses

menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat.

c. Siswa menemukan sendiri konsep, prinsip atau teori yang dapat menimbulkan

rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi

sehingga minat belajarnya meningkat.

d. Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih

mampu mentransfer pengetahuannya kepada berbagai konteks.

e. Kegiatan ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar mandiri dan bertanggung

jawab.

Pembelajaran berbasis aktivitas memiliki karakteristik umum dalam

pelaksanaan pembelajaran oleh guru baik di dalam maupun di luar kelas.

Karakteristik pembelajaran berbasis aktivitas terdiri dari:

a. Interaktif dan inspiratif

b. Menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif

c. Kontekstual dan kolaboratif

d. Memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian

siswa

e. Sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan perkembangan fisik serta

psikologis siswa