Materi kuliah pai semester ii
-
Upload
mawadah-warohmah -
Category
Documents
-
view
1.795 -
download
2
Transcript of Materi kuliah pai semester ii
Penetapan Sifat ‘Uluw Dan
Istiwa` Allah Ta’ala
Disusun Oleh :
MAWADAH WAROHMAH
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA
2013
PENETAPAN SIFAT ‘ULUW DAN ISTIWA` ALLAH TA’ALA
Bagian dari kesempurnaan aqidah seorang Muslim adalah
mempercayai dan mengimani apa-apa yang diturunkan Allah Ta’ala
dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Salah satu perkara pokok dalam masalah
aqidah islam yang telah menjadi kontroversial sejak dulu hingga
sekarang adalah sifat ‘Uluw dan Istiwa’ Allah Ta’ala. Mulai dari
kelompok Jahmiyah di zaman dulu, sampai kelompok-kelompok lain
zaman sekarang yang tak jauh beda keyakinan mereka dalam
mengingkari sifat Allah Ta’ala ini. Maka dalam kesempatan ini akan
kita bahas sekilas tentang masalah ini.
I. Definisi ‘Uluw, Istiwa’ dan ‘Arsy
A. ‘Uluw
Secara bahasa kata ‘Uluw ( (ع*ل*و ) berasal dari kata عال, أي علو كل شيء
.Yang artinya meninggikan atau menaikkan sesuatu . و علوه, أي أرفعه
Dan ‘uluw berarti yang tinggi.
Sedangkan secara istilah syar’i, ‘Uluw terdiri dari tiga segi, yaitu:
1. ‘Uluw ad-Dzat : yaitu, ‘Uluw (Ketinggian) Dzat Allah Ta’ala atas segala
makhluk-Nya, dan sifat ini bersifat umum. Juga sifat ‘Uluw Allah Ta’ala,
yaitu Istiwa’-Nya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, dan ini secara khusus.
Dan inilah istilah yang dimaksudkan disini.
2. ‘Uluw al-Qadr wa al-Manzilah : yaitu, Allah Ta’ala Yang Maha
Mempunyai Kemampuan atas segala sesuatu, dan mempunyai
kedudukan yang Maha Tinnggi atas segala sesuatu yang tidak ada satu
makhluk pun yang dapat menyamai-Nya.
3. ‘Uluw al-Qahr : yaitu, Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa atas sekalian
hamba-Nya dan Makhluk-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang ada di
langit dan bumi ini, melainkan dengan Kuasa-Nya. Sebagaimana
firman-Nya,
ار* ه= د* الAق? Eو?احAو? الل=ه* ال ان?ه* ه* بAح? س*
“Maha Suci Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”
(QS. Az-Zumar: 4)
B. Istiwa’
Secara bahasa, Istiwa’ berasal dari kata Istawa ( استوى ), yang
memiliki empat arti yang kesemuanya bersumber dari salaf, yaitu: ,عال
استقر و ارتفع, و صعد, Dan keempat arti ini memiliki satu makna . و
yaitu naik/menuju ke atas. Kecuali yang merupakan tambahan استقر
yang artinya menetap di atas. Sedangkan secara istilah dalam tafsiran
kata Istawa yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagaimana riwayat
dari Abu al-‘Aliyah ar-Royahiy dan Mujahid bin Jubair dalam menafsiri
lafadz ( ) : Yaitu .( إستوى ارتفع و tinggi dan naik”. Dan Allah“ ( عال
Ta’ala mempunyai sifat Istiwa’. Allah Ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya
setelah menciptakan langit dan bumi ini. Sebagaimana yang
ditegaskan dalam firman-Nya,
ت?و?ى ع?ل?ى AUUث*م= اس Xام =UUي? ت=ةE أ EUUي سEض? ف Aر? Aاأل او?اتE و? م? =UUق? الس ?UUل ب=ك*م* الل=ه* ال=ذEي خ? إEن= ر?
Eش Aع?رAال
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS.
Al-A’raf: 54, Yunus: 3)
Akan tetapi bukan berarti sebelum Allah Ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy-
Nya sebelum diciptakan seluruh makhluk Allah tidak Maha Tinggi. Allah
adalah Dzat Yang Maha tinggi sebelum dan sesudah diciptakannya
makhluk.[5]
C. ‘Arsy.
Pengertian ‘Arsy secara bahasa adalah : singgasana raja. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala,
hيمEع?ظ hش Aا ع?ر ل?ه? و?
“…serta mempunyai singgasana yang besar”. (QS. An-Naml: 23)
Eش Aع?رAع?ل?ى ال EهAي ?ب?و? ع? أ ف? ر? و?
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana”. (QS.
Yusuf: 100)
Sedangkan pengertian ‘Arsy Allah Ta’ala yang Dia beristiwa’ di atasnya
adalah: Singgasana yang sangat agung yang mempunyai penyangga-
penyangga. ‘Arsy juga sebagai atap dari surga firdaus, bahkan atap
seluruh makhluk. ‘Arsy adalah tempat yang paling tinggi, paling luas,
paling besar, dan yang tidak ada yang mengetahui kadarnya secara
pasti kecuali Allah I.[6] ‘Arsy ibarat kubah bagi alam semesta yang
Allah memerintahkan sebagian malaikat untuk menjunjung ‘Arsy-Nya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
hي?ةEان ئEذX ث?م? مA ي?وAم? ه* وAق? بoك? ف? ش? ر? Aل* ع?رEم Aي?ح ا و? ائEه? ج? Aرل?ك* ع?ل?ى أ? الAم? و?
“Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada
hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas
(kepala) mereka.” (QS. Al-Haqqoh: 17)
D. Perbedaan antara ‘Uluw dan Istiwa’.
Perbedaan antara dua sifat ini terdiri dari tiga segi, yaitu :
1. ‘Uluw adalah sifat Allah Ta’ala yang berarti Maha Tinggi di atas seluruh
makhluk-Nya secara umum dan keseluruhan. Sedangkan Istiwa’ adalah
sifat khusus Allah Ta’ala, yaitu Allah beristiwa’ di atas Arsy-Nya.
2. ‘Uluw adalah sifat dzatiyah. Sedangkan Istiwa’ adalah sifat fi’liyah
ikhtiyariyah. Yaitu Allah berkehendak mengerjakannya sesuai
kehendak-Nya.
3. ‘Uluw adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil naqli dari Al-
Qur’an dan As-Sunnah, dan juga dapat dicerna oleh akal dan fitrah
manusia. Sedangkan Istiwa’ adalah sifat Allah Ta’ala yang dijelaskan
hanya oleh dalil naqli, yaitu wahyu dari Allah Ta’ala, baik dalam Al-
Qur’an maupun As-Sunnah.
II. Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah I berada di atas.
Sangat banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahihah
yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy, di atas langit, di
atas seluruh makhluk-Nya. Demikian banyaknya dalil itu sehingga tidak
terhitung jumlahnya. Imam al-Alusi menjelaskan di dalam tafsirnya,
“Dan engkau mengetahui bahwa mazhab Salaf menetapkan ketinggian
Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan oleh Imam At-Thahawi dan yang
selainnya, mereka berdalil dengan sekitar 1000 dalil”. Karena demikian
banyaknya dalil tersebut, tidak mungkin dapat dikemukakan semua.
Pada tulisan ini hanya sedikit dalil yang dapat dikemukakan. Kami
kutipkan beberapa yang diambil dari kitab Al-Intishor serta beberapa
keterangan dari kitab-kitab lain.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an.
Dalil-dalil tentang ketinggian Dzat Allah di atas ‘Arsy, di atas langit, di
atas seluruh makhluk-Nya terbagi dalam berbagai sudut pendalilan.
Pada tiap sudut pendalilan terdapat banyak dalil. Sudut-sudut
pendalilan tersebut di antaranya:
Penjelasan tentang Ketinggian (al-‘Uluw) Allah Ta’ala secara mutlak di
atas makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
و? الAع?لEيr الAع?ظEيم* و?ه*
“Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung” (QS. Al-Baqarah: 255)
و? الAع?لEيr الAك?بEير* و?ه*
“Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. Saba’: 28)
Penjelasan tentang Ketinggian (al-Fauqiyyah) Allah Ta’ala di atas
seluruh makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
ون? ر* ا ي*ؤAم? ع?ل*ون? م? Aي?ف مA و? Eه EقAو مA مEنA ف? ب=ه* ون? ر? اف* ي?خ?
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan
melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-
Nahl: 50)
ب?ادEه Eق? عAو ر* ف? Eاه و? الAق? و?ه*
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-
An’am: 18)
Penjelasan bahwa Allah I berada di atas langit. Sebagaimana firman-
Nya:
ور* إEذ?ا هEي? ت?م* ض? ف? Aر? Aك*م* األEف? ب EسAي?خ Aأ?ن Eاء م? نAت*مA م?نA فEي الس= Eم? ?أ أ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit
bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga
dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk: 16)
Perlu dipahami dalam bahasa Arab bahwa lafadz tidak في hanya
berarti di ‘dalam’, tapi juga bisa bermakna ‘di atas’. Hal ini
sebagaimana penggunaan lafadz tersebut dalam ayat:
Xر ه* Aب?ع?ة? أ?ش Aر? ضE أ Aر
? Aي األEوا ف يح* Eف?س
“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di atas bumi selama empat
bulan…”(QS. At-Taubah: 2)
Penjelasan bahwa Al-Qur’an ‘diturunkan’ dari Allah Ta’ala. Ini jelas
menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berada di atas, sehingga Dia
menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dari-Nya. Dan tidaklah
diucapkan kata ‘diturunkan’ kecuali berasal dari yang di atas.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, di antaranya:
EيمEك ت?نAزEيل* الAكEت?ابE مEن? الل=هE الAع?زEيزE الAح?
“Kitab (Al-Quran ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana” (QS. Az-Zumar: 1).
Eيم Eح انE الر= م? Aح ت?نAزEيلh مEن? الر=
“(AlQur’an) diturunkan dari Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.” (QS. Fusshilaat: 2)
Xيد Eم كEيمX ح? ت?نAزEيلh مEنA ح?
“(Al Qur’an) diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”
(QS. Fusshilat: 42).
Penjelasan tentang adanya sesuatu yang naik menuju Allah Ta’ala.
Lafaz “naik” yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan al-Hadits bisa
berupa al-‘Uruuj atau as-Shu’uud. Sebagaimana firman-Nya:
EهAل?يE وح* إ rالر ال?ئEك?ة* و? ج* الAم? ع?ارEجE * ت?عAر* مEن? الل=هE ذEي الAم?
“(yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik.
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya”(QS. Al-
Ma’aarij: 3-4)
ع*ه* ف? Aح* ي?رEال الAع?م?ل* الص= ع?د* الAك?لEم* الط=يoب* و? Aي?ص EهAل?يE إ
“Kepada-Nyalah naik ucapan yang baik dan amal soleh dinaikkannya”
(QS. Fathir: 10)
Penjelasan bahwa Allah Ta’ala ber-istiwa’ di atas ‘Arsy. Lafaz istiwa’
diikuti dengan penghubung sehingga على bermaknaAl-Qur’an di 7
tempat. Di antaranya yaitu: ‘tinggi di atas’ ‘Arsy. Sebagaimana yang
disebutkan di dalam
ت?و?ى Aاس Eش Aع?رAم?ن* ع?ل?ى ال Aح الر=
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy”
(QS. Thoha: 5)
Eش Aع?رAت?و?ى ع?ل?ى ال Aث*م= اس Xي=ام? ت=ةE أ Eي سEض? ف Aر? Aو?األ Eاو?ات م? ل?ق? الس= و? ال=ذEي خ? ه*
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy” (QS. Al-Hadid: 4)
Dalil-dalil dari As-Sunnah
Ketinggian Allah Ta’ala di atas langit juga ditegaskan dalam banyak
sekali hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir
(persetujuan). Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
بEي تA غ?ض? ب?ق? تEيA س? م? Aح هE إEن= ر? Eش Aق? ع?رAو نAد?ه* ف? Eق? ك?ت?ب? عAل ا ق?ض?ى الAخ? إEن= الله? ل?م=
Sesungguhnya Allah tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di
sisi-Nya di atas ‘arsy: “Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.”
Dan juga sabda Nabi r :
Eاء م? يAن* م?نA فيE الس= Eن?ا أ?م? أ نEيA و? Aن*و م?Aأ?ال? ت?أ
Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang
di atas langit.[10]
Dan telah tetap pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengangkat tangannyake atas langit pada saat khutbah di Arafah
ketika mereka mengatakan,
“Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan
serta menasehati.” Di saat itu beliau r menjawab, “Ya Allah
saksikanlah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menetapkan sifat ini
untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya:
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata :
امX، ث*م= =UUي? ت=ةE أ Eي سEا ف م? ا ب?يAن?ه* م? يAن? و? Eض ر?اAأل? او?اتE و? م? ل?ق? الس= ة?، إEن= الله? خ? يAر? ر? ?ب?ا ه* ي?ا أ
Eش Aع?رAت?و?ى ع?ل?ى ال Aاس
“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan
bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari,
kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”
ع?ى Aت?ر hي?ة Eار ك?ان?تA لEيA ج? : …و? ال? ل?مEيo رضي الله عنه ق? rالس Eك?م ي?ة? بAنE الAح? Eع?او ع?نA م*
Xاة ?UUشEذ?ه?ب? ب Aد ?UUق EبAئoذUUالEذ?ا بEإ ?UUف ,XمAت* ذ?ات? ي?وAاط=ل?ع انEي?ةE ف? و= الAج? دX و? ب?ل? أ*ح* Eق AيEا ل غ?ن?م�
ك=ة�, ?Uا ص ك?كAت*ه? ?Uص AيoنEل?ك , وAن? ف* ?UUسAا ي?أ ف* ك?م? , آس? لh مEنA ب?نEيA آد?م? ج* ?ن?ا ر? أ ا, و? ه? Eغ?ن?م AنEم
, ك? ع?ل?ي= EUUع?ظ=م? ذ?ل وAل? اللهE صUUلى اللUUه عليUUه و سUUلم عليUUه و سUUلم ف? س* ?ت?يAت* ر? أ ف?
?يAن? اللUUه*؟ ا: أ ?UUال? ل?ه ?UUق ا, ف? ?UUهEب AيEنEتAائ : ال? ?UUا؟ ق ?UUه ال? أ*عAتEق* وAل? اللUUهE, أ?ف? *UUس : ي?ا ر? لAت* ق*
ا ?UUه AقEتAأ?ع : ف? ال? ?UUق ,EهUUل* اللAو *UUس ?نAت? ر? : أ Aال?ت ?UUا؟ ق ?UUن? : م?نA أ ال? ?UUق ,Eاء م? : فEيA الس= Aال?ت ق?
hن?ة EمAؤ ا م* Eن=ه? إ ف?
Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…
Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai
pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat
dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor
serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani
Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga
saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya
berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?”
Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas
langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”.
Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia
seorang wanita mukminah”.
Dan masih banyak lagi hadit-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menerangkan dan menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa
Allah Ta’ala mempunyai sifat beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya yang tidak
mungkin kami tuliskan seluruhnya.
Dalil-dalil dari Ijma’ (kesepakatan ulama)
v Imam al-Auza’i berkata, “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat
mengatakan, Allah berada di atas ‘arsy-Nya. Dan kami semua
mengimani sifat-sifat yang dijelaskan dalam as-Sunnah.”
v Imam Abdullah Ibnu Mubarak berkata, “Kami mengetahui Rabb
kami, Dia bersemayam di atas ‘arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan
kami tidak mengatakan sebagaimana kaum Jahmiyah yang
mengatakan bahwa Allah ada di sini (beliau menunjuk ke bumi).”
v Imamul Aimmah Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata,
من لم يقر بأن الله على عرشه استوى فوق سUUبع سUUمواته بUUائن من خلقUUه
فهو كافر يستتاب فإن تاب وإال ضUربت عنقUه وألقي على مزبلUة لئال يتUأذى
بريحته أهل القبلة وأهل الذمة
“Barang siapa yang tidak menetapkan bahwa Allah Ta’ala beristiwa’ di
atas ‘Arsy-Nya, di atas langit ke tujuh dan terpisah dari makhluk-Nya,
maka dia telah kafir. Jika dia bertaubat maka diterima taubatnya. Jika
tidak bertaubat maka dipukul tengkuknya (dibunuh) kemudian dibuang
ke tempat sampah agar bau busuknya tidak membahayakan ahli kiblat
dan ahli dzimmah.”
v Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah an Ushul ad-
Diyanah menceritakan aqidahnya: “Dan bahwasanya Allah di atas arsy-
Nya sebagaimana firman-Nya: ‘Ar-Rahman tinggi di atas arsy’”.
Beliau juga memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang
keberadaan Allah di atas ‘Arsy. Di antara perkataan beliau:
“Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a,
mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah
tinggi di atas ‘Arsy dan ‘Arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak
berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya
ke arah ‘Arsy”.
“Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa
Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah
berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini
menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.”
Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini,
semua ini telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab
mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas masalah ini
dalam kitab tersendiri seperi Imam Dzahabi dalam bukunya al-‘Uluw lil
Aliyyil Azhim.
Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah
mengatakan –setelah menyebutkan 18 segi dalil–, “Dan jenis-jenis
dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis
kurang lebih seribu dalil. Oleh karena itu, kepada para penentang
masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Tapi sungguh
sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya dengan jawaban
yang benar.”
Maka, seharusnya orang yang mempunyai akal yang sehat dan tidak
mengikuti hawa nafsunya, akan mengakui hal ini. Terlebih setelah jelas
dengan berbagai dalil-dalil shahih.
III. Allah I berada di atas ‘Arsy berlepas dari makhluk-Nya tanpa
kaifiyyah.
Allah Ta’ala baa’in (terlepas) dari makhluk-Nya dengan artian
bahwa, Allah Ta’ala terpisah dari makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun
dari makhluk-Nya yang terdapat pada Dzat-Nya dan sebaliknya. Lafadz
baa’in min kholqihi belum dikenal pada masa sahabat. Adapun ulama’
salaf mereka meletakkan lafadz ini untuk membantah paham al-
khaluliyah. Paham ini berkeyakinan bahwa ada masanya dimana Dzat
Allah Ta’ala menyatu dengan manusia.
Juga paham Al-Mu’atthilah yang menetapkan bahwa Allah Ta’ala
beristiwa’ di atas ‘Asry. Akan tetapi mereka mengartiakan istiwa’ disini
dengan istila’( ( استيالء . Atau mereka meyakini yang tahu makna
istiwa’ hanyalah Allah, lalu merka melimpahkan sepenuhnya pada
Allah Ta’ala.Oleh karenanya ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah
menjadikan lafadz ini sebagai kaidah dalam masalah Istiwa’. Sangat
banyak perkataan para ulama yang menegaskan masalah ini
sebagaimana yang tercantum di atas. Dan perkataan lain mereka di
antaranya: Imam Ishaq bin Rohawaih ketika ditanya tentang firman
Allah Ta’ala surat Al-Mujadilah ayat 7, “Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” Beliau berkata,
“Dimanapun engkau berada, maka Allah Ta’ala lebih dekat kepadamu
dari pada urat lehermu, dia berlepas dari makhluk-Nya.” Kemudian
beliau menyebutkan perkataan Imam Ibnul Mubarok “Dia berada di
atas ‘Arsy-Nya dan berlepas dari makhluk-Nya”. Suatu ketika Imam
Ahmad ditanya, “Apakah Allah I berada di atas langit ke tujuh di atas
‘Arsy-Nya, berlepas dari makhluk-Nya. Lalu Kekuasaan dan Ilmu-Nya di
setiap tempat?” Imam Ahmad berkata, “Ya, Dia berada di atas ‘Arsy,
dan tidak ada sesuatupun yang terlepas dari ilmu-Nya”. Dan beberapa
keterangan lainnya dari ulama’-ulama’ Ahlus sunnah wal Jama’ah
berkenaan dengan ini.
Sifat Tinggi dan Istiwa’ Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya wajib kita
imani. Sedangkan kaifiyyahnya (bagaimananya) tidak dapat dijangkau
oleh akal pikiran manusia. Karena hanya Allah sendirilah yang
mengetahuinya. Manusia tidak dapat mengetahui hakikat dari Dzat
Allah, maka juga tidak dapat mengetahui kaifiyyah sifat Allah Ta’ala.
Banyak sekali atsar yang melarang kita bertanya tentang kaifiyyah
Allah Ta’ala. di antaranya kisah Imam Malik ketika ditanya oleh
seseorang tentang kaifiyyah (bagaimana) Allah Ta’ala beristiwa’ di atas
‘Arsy. Maka seketika Imam Malik marah, kepalanya tertunduk,
wajahnya memerah, dan keluar keringat, lalu berkata perkataan yang
sudah tak asing lagi,
ؤ?ال* rو? الس , hبEو?اج EهEان* ب , و? اAالEيAم? hلAو عAق* Aلك?يAف* غ?يAر* م? , و? ا hلAو ه* Aر* م?جAاء* غ?ي تEو? AسEالAا ”
“ hع?ةAدEه* بAع?ن
“Istiwa’ itu tidak majhul (diketahui), dan kaif (bagaimananya) tidak
ma’qul (tidak dapat dicerna akal), sedangkan iman kepadanya (istiwa’)
adalah wajib, dan bertanya tentangnya (kaifiyyah) adalah bid’ah
Maksud dari Al-Istiwa’ ghairu majhul, yaitu ghairu majhul makna fil
lughoh (arti bahasanya sudah tidak asing lagi). Dengan artian bahwa
lafadz Istiwa’ tidak asing lagi artinya adalah: tinggi, naik, dan menetap.
Maksud kaifiyyah ghoiru ma’qul, yaitu bagaimana bentuk, cara, dan
gambaran Allah beristiwa’ tidak dapat diketahui akal manusia.
Sedangkan Allah tidak memberikan khabar tentang hal itu, maka
kewajiban kita adalah diam dan tidak bertanya tentang kaifiyyah
istiwa’ Allah Ta’ala. Kaifiyyah tentang sifat Allah Ta’ala tidak diketahui
oleh akal karena tiga hal, yaitu:
1. Allah Ta’ala mengkhabarkan tentang Istiwa’, tapi tidak mengkhabarkan
tentang kaifiyyahnya.
2. Jika kita tidak mengetahui kaifiyyah Dzat Allah Ta’ala, maka kita juga
tidak akan tahu kaifiyyah tentang sifat-Nya.
3. Kita tidak dapat mengetahui kaifiyyah sesuatu kecuali dengan
tiga hal, yaitu: menyaksikan secara langsung sesuatu tersebut,
menyaksikan yang semisal dengannya, atau melalui khabar yang
benar akan hal tersebut. Maksud as-su’alu ‘anhu bid’ah, yaitu bertanya
tentang kaifiyyah istiwa’ Allah Ta’ala adalah suatu bid’ah karena tiga
hal, yaitu:
1. Bahwasanya tidak ada contoh dari sahabat y bahwa merka bertanya
tentang hal itu. Padahal mereka adalah orang-orang yang gigih dalam
menuntut ilmu tentang Rabb mereka. Padahal jika mereka mau
bertannya, di sisi mereka ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Penyebutan bid’ah sesuai dengan orang-orang yang terlalu dalam
menceburkan diri dalam menggali tentang Allah Ta’ala dan sifat-Nya.
Mereka juga disebut ahlul bid’ah.
3. Bahwasannya tidak ada jalan lagi untuk mengetahui dan menjawab
tentang kaifiyyah Allah dan sifat-Nya.
1. V. Kedudukan orang yang tidak mengakui Istiwa’ Allah I di atas ‘Arsy.
Ada beberapa perkataan ulama’ tentang orang-orang maupun
kelompok yang tidak mengakui dan mepercayai sifat Istiwa’ Allah
Ta’ala, atau Ketinggian-Nya. Di antaranya yaitu:
- Perkataan Abu Hanifah. Riwayat dari Syaikhul Islam Abu Ismail Al-
Anshori dalam kitabnya Al-Faruq, dengan sanad sampai Abi Muthi’ Al-
Balkhi: bahwasanya Abu Hanifah ditannya tentang orang yang
mengatakan, “Aku tidak tahu Rabb-ku di atas langit atau di bumi.”
Maka Abu Hanifah menjawab, “Dia telah kafir” lalu menyebutkan
firman Allah surat Thoha ayat 5.
- Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimiy berkata, “Di dalam hadits
Rasulullah r ini (hadits ketika haji wada’ di Arafah di atas) merupakan
dalil bahwa seseorang yang tidak mengetahui bahwa Allah Ta’ala di
atas langit, bukan di bumi, maka dia bukan orang mukmin.”
- Imamul Aimmah Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata,
“Barang siapa yang tidak menetapkan bahwa Allah I beristiwa’ di atas
‘Arsy-Nya, di atas langit ke tujuh dan terpisah dari makhluk-Nya, maka
dia telah kafir. Jika dia bertaubat maka diterima taubatnya. Jika tidak
bertaubat maka dipukul tengkuknya (dibunuh) kemudian dibuang ke
tempat sampah agar bau busuknya tidak membahayakan ahli kiblat
dan ahli dzimmah.”
Adapun kesimpulan hukum orang seperti ini, maka perlu dirinci
bagaimana bentuk pengingkarannya, apakah dengan tahrif, ta’thil,
tamtsil, tasybih, takyif, dan semacamnya. Maka hukum orang tersebut
berkaitan erat dengan hal-hal tadi.
Makna Syahadatain
Makna syahadat la ilaha illallah adalah meyakini bahwa tidak
ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Allah, konsisten dengan
pengakuan itu dan mengamalkannya. La ilaha menolak keberhakan
untuk diibadahi pada diri selain Allah, siapapun orangnya. Sedangkan
illallah merupakan penetapan bahwa yang berhak diibadahi hanyalah
Allah. Sehingga makna kalimat ini adalah la ma’buda haqqun illallah
atau tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Sehingga keliru
apabila la ilaha illallah diartikan tidak ada sesembahan/tuhan selain
Allah, karena ada yang kurang. Harus disertakan kata ‘yang benar’
Karena pada kenyataannya sesembahan selain Allah itu banyak. Dan
kalau pemaknaan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ itu dibenarkan
maka itu artinya semua peribadahan orang kepada apapun disebut
beribadah kepada Allah, dan tentu saja ini adalah kebatilan yang
sangat jelas.
Kalimat syahadat ini telah mengalami penyimpangan penafsiran di
antaranya adalah :
Pemaknaan la ilaha illalah dengan ‘la ma’buda illallah’ tidak ada
sesembahan selain Allah, hal ini jelas salahnya karena yang disembah
oleh orang tidak hanya Allah namun beraneka ragam
Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la khaliqa illallah’ tidak ada pencipta
selain Allah. Makna ini hanya bagian kecil dari kandungan la ilaha
illallah dan bukan maksud utamanya. Sebab makna ini hanya
menetapkan tauhid rububiyah dan itu belumlah cukup.
Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la hakimiyata illallah’ tidak ada
hukum kecuali hukum Allah, maka inipun hanya sebagian kecil
maknanya bukan tujuan utama dan tidak mencukupi.
Sehingga penafsiran-penafsiran di atas adalah keliru. Hal ini perlu
diingatkan karena kekeliruan semacam ini telah tersebar melalui
sebagian buku yang beredar di antara kaum muslimin. Sehingga
penafsiran yang benar adalah sebagaimana yang sudah dijelaskan
yaitu : ‘la ma’buda haqqun illallah’ tidak ada sesembahan yang benar
selain Allah
Makna Muhammad Rasulullah
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 46
Sedangkan makna syahadat anna Muhammadar rasulullah adalah
mengakui secara lahir dan batin bahwa beliau adalah hamba dan
utusan-Nya yang ditujukan kepada segenap umat manusia dan harus
disertai sikap tunduk melaksanakan syari’at beliau yaitu dengan
membenarkan sabdanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi
larangannya dan beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunannya.
Rukun dan Syarat Syahadat
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 46-48
La ilaha illallah terdiri dari dua rukun : nafi/penolakan, yaitu yang
terkandung di dalam la ilaha dan itsbat/penetapan, yaitu yang
terkandung dalam illallah. Maka dengan la ilaha dihapuslah segala
bentuk kesyirikan dan mengharuskan mengingkari segala sesembahan
selain Allah. Sedangkan dengan illallah maka ibadah hanya boleh
ditujukan kepada Allah dan harus tunduk melaksanakannya. Ayat-ayat
yang mengungkapkan dua rukun ini banyak, di antaranya adalah
firman Allah tentang ucapan Nabi Ibrahim (yang artinya),
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian,
selain (Allah) yang telah menciptakan diriku.” (QS. az-Zukhruf : 26).
Sedangkan rukun syahadat anna Muhammad rasulullah ada dua yaitu ;
pernyataan bahwa beliau adalah hamba Allah dan sebagai rasul-Nya.
Beliau adalah hamba, maka tidak boleh diibadahi dan diperlakukan
secara berlebihan. Dan beliau adalah rasul maka tidak boleh
didustakan ataupun diremehkan. Beliau membawa berita gembira dan
peringatan bagi seluruh umat manusia.
Syarat-syarat la ilaha illallah adalah :
Mengetahui maknanya, lawan dari bodoh
Meyakininya, lawan dari ragu-ragu
Menerimanya, lawan dari menolak
Tunduk kepadanya, lawan dari membangkang
Ikhlas dalam beribadah, lawan dari syirik
Jujur dalam mengucapkannya, lawan dari dusta
Mencintai isinya dan tidak membencinya
Syarat-syarat anna Muhammadar rasulullah adalah :
Mengakui risalahnya secara lahir dan batin
Mengucapkan dan mengakuinya dengan lisan
Mengikutinya, yaitu dengan mengamalkan kebenaran yang beliau bawa
dan meninggalkan kebatilan yang beliau larang
Membenarkan beritanya, baik yang terkait dengan perkara gaib di masa
silam atau masa depan
Mencintai beliau lebih dalam daripada kecintaan terhadap diri sendiri,
harta, anak, orang tua dan seluruh umat manusia
Menjunjung tinggi sabdanya di atas semua ucapan manusia dan
mengamalkan sunah/tuntunannya
Konsekuensi Syahadatain
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 50 dengan sedikit perubahan
dan penambahan
Konsekuensi syahadat la ilaha illallah adalah meninggalkan segala
bentuk peribadahan dan ketergantungan hati kepada selain Allah.
Selain itu ia juga melahirkan sikap mencintai orang yang bertauhid dan
membenci orang yang berbuat syirik. Sedangkan konsekuensi
syahadat Muhammad Rasulullah adalah menaati Nabi, membenarkan
sabdanya, meninggalkan larangannya, beramal dengan sunnahnya dan
meninggalkan bid’ah, serta mendahulukan ucapannya di atas ucapan
siapapun. Selain itu, ia juga melahirkan sikap mencintai orang-orang
yang taat dan setia dengan sunnahnya dan membenci orang-orang
yang durhaka dan menciptakan perkara-perkara baru dalam urusan
agama yang tidak ada tuntunannya.
Mengenal Nama dan Sifat Allah
Pembaca yang budiman, ilmu tentang mengenal Alloh dan Rosul-Nya
merupakan ilmu yang paling mulia. Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh
mengatakan, “Kemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan objek yang
dipelajarinya.” Dan tentunya, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan
yang paling mulia, paling agung dan paling utama adalah pengetahuan
tentang Alloh di mana tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah
kecuali Dia semata, Robb semesta alam. Ilmu Tentang Alloh Adalah
Pokok dari Segala Ilmu
Ilmu tentang Alloh adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka
barangsiapa mengenal Alloh, dia akan mengenal yang selain-Nya dan
barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya, niscaya dia akan lebih jahil
terhadap yang selainnya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan
janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh, lalu Alloh
menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (Al-Hasyr: 19).
Ketika seseorang lupa terhadap dirinya, dia pun tidak mengenal
hakikat dirinya dan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan)
bagi dirinya. Bahkan ia lupa dan lalai terhadap apa saja yang
merupakan sebab bagi kebaikan dan kemenangannya di dunia dan di
akhirat. Maka, jadilah dia seperti orang yang ditinggalkan dan
ditelantarkan, yang berstatus seperti binatang ternak yang dilepas dan
dibiarkan pergi sekehendaknya, bahkan mungkin saja binatang ternak
lebih mengetahui kepentingan dirinya daripadanya.Imam Ibnul Qoyyim
rohimahulloh berkata, “Manusia yang paling sempurna ibadahnya
adalah seorang yang beribadah kepada Alloh dengan semua nama dan
sifat-sifat Alloh yang diketahui oleh manusia”. Beliau juga berkata,
“Yang jelas, bahwa ilmu tentang Alloh adalah pangkal segala ilmu dan
sebagai pokok pengetahuan seorang hamba akan kebahagiaan,
kesempurnaan dan kemaslahatannya di dunia dan di akhirat.” (Miftaah
Daaris Sa’aadah).
Alloh telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-
Nya dengan memberitahukan nama-nama-Nya yang paling indah dan
sifat-sifat-Nya yang paling mulia. Semua itu disebutkan dalam Kitab-
Nya dan Sunnah Rosul-Nya. Bahkan kita jumpai, hampir pada setiap
ayat Alqur’an yang kita baca selalu berakhir dengan peringatan atau
penyebutan salah satu dari nama-nama Alloh atau salah satu dari sifat-
sifat-Nya. Sebagai contoh, firman Alloh yang artinya, “…Sesungguhnya
Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5) dan juga
firman-Nya yang artinya, “…Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (An-Nisaa’: 17). Hal ini semua disebabkan karena nama-
nama yang terbaik dan sifat-sifat yang mulia ini memiliki daya
pengaruh dan membekas dalam hati seorang yang mengetahui-Nya,
hingga ia selalu merasa terawasi oleh Alloh dalam segala aspek
kehidupannya. Dengan demikian, sempurnalah rasa malunya dari
bermaksiat kepada Alloh.
Yang Paling Takut Kepada Alloh Adalah yang Paling Mengenal Alloh.
Semakin tinggi pengetahuan seorang hamba kepada Robb-nya, maka
ia akan semakin takut kepada-Nya. Alloh berfirman, “Sesungguhnya
yang takut kepada Alloh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para
ulama.” (Faathir: 28). Orang yang paling mengenal dan paling
mengetahui Alloh adalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Oleh
karena itu, beliau senantiasa dalam keadaan takut dari perbuatan
durhaka terhadap Robb-nya, dan tentu kita telah mengetahui siapa
beliau. Karena Alloh telah memerintahkannya untuk mengatakan,
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar
(hari Kiamat), jika aku mendurhakai Robbku’.” (Al-An’aam: 15). Sebab,
ahli tauhid yang benar-benar mengenal Alloh memandang bahwa
kemaksiatan itu, meskipun kecil, ibarat sebuah gunung yang sangat
besar. Karena mereka mengetahui keagungan Dzat (Rabb) yang Maha
Esa serta Maha Kuasa dan mengenal hak-hak-Nya, oleh sebab itu,
mereka menjadi orang-orang yang paling takut kepada-Nya di antara
manusia.
Kebodohan Akan Keagungan Alloh Adalah Induk Kemaksiatan
Dari Abul ‘Aliyah, beliau pernah bercerita bahwa para Shahabat
Rosululloh mengatakan, “Setiap dosa yang dikerjakan seorang hamba,
penyebabnya adalah kejahilan.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir,
dengan sanad yang shahih). Imam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh
berkata, “Setiap pelaku kemaksiatan adalah seorang jahil dan setiap
orang yang takut kepada-Nya adalah seorang alim yang taat kepada
Alloh. Dia menjadi seorang yang jahil hanya karena kurangnya rasa
takut yang dimilikinya, kalau saja rasa takutnya kepada Alloh
sempurna, pastilah dia tidak akan bermaksiat kepada-Nya.”. Syirik
merupakan kemaksiatan yang terbesar di antara maksiat yang ada.
Tidaklah manusia berbuat syirik kecuali memang karena ia bodoh
dalam pengenalannya terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, ketika Nabi
Nuh ‘alaihis salaam mengajak kaumnya (kepada tauhid) lalu mereka
menolaknya, maka beliau pun mengetahui bahwa penolakan tersebut
disebabkan karena ketidaktahuan mereka akan kebesaran Alloh. Alloh
Ta’ala berfirman yang artinya, “Mengapa kamu tidak percaya akan
kebesaran Alloh?” (Nuuh: 13). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan
ayat ini, “Kalian tidak mengetahui keagungan atau kebesaran-Nya.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui beberapa jalan yang saling
menguatkan). Apa yang dikatakan di atas sangat beralasan, karena
seandainya manusia mengenal Alloh dengan sebenarnya, niscaya
mereka tidak terjerat dalam kesyirikan mempersekutukan Alloh
dengan sesuatu. Sebab, segala kebaikan berada di tangan-Nya, maka
bagaimana mungkin mereka bersandar kepada selain-Nya?
Nama Alloh Semuanya Husna
Nama-nama Alloh semuanya husnaa, maksudnya, mencapai puncak
kesempurnaannya. Karena nama-nama itu menunjukkkan kepada
pemilik nama yang mulia, yaitu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala dan juga
mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada cacat sedikit pun
ditinjau dari seluruh sisinya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya,
“Hanya milik Alloh-lah nama-nama yang husna.” (Al-A’roof: 18).
Kewajiban kita terhadap nama-nama Alloh ada tiga, yaitu beriman
dengan nama tersebut, beriman kepada makna (sifat) yang
ditunjukkan oleh nama tersebut dan beriman dengan segala pengaruh
yang berhubungan dengan nama tersebut. Maka, kita beriman bahwa
Alloh adalah Ar-Rohiim (Yang Maha Penyayang), memiliki sifat rahmah
(kasih sayang) yang meliputi segala sesuatu dan menyayangi semua
hamba-Nya.
Nama dan Sifat Alloh Tidak Dibatasi Dengan Bilangan Tertentu
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,
“Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi
nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau
yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau
turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu
ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, shahih). Tidak
ada seorang pun yang dapat membatasi dan mengetahui apa yang
masih menjadi rahasia Alloh dan menjadi perkara yang ghaib. Adapun
sabda beliau, “Sesungguhnya Alloh memiliki 99 nama, yaitu seratus
kurang satu. Barangsiapa yang menghafal dan faham maknanya,
niscaya masuk syurga.” (HR. Bukhari-Muslim) tidak menunjukkan
pembatasan nama-nama Alloh dengan bilangan sembilan puluh
sembilan. Makna yang benar adalah, sesungguhnya nama-nama Alloh
yang 99 itu, mempunyai keutamaan bahwa siapa saja yang menhafal
dan memahaminya akan masuk syurga. Demikianlah, semoga kita
benar-benar mengenal Alloh dengan sebenar-benar pengenalan dan
mengagungkan Alloh dengan sebenar-benar pengagungan sehingga
bisa menyelamatkan kita dari berbuat syirik kepada-Nya.
Prioritas Utama: Akhlaq Kepada Allah
Dari An Nawas bin Sam’an radhiyallahu anhu, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Kebajikan itu keluhuran akhlaq.
Hadits ini menunjukkan urgensi akhlak dalam agama ini, karena
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa seluruh
kebajikan terdapat dalam keluhuran akhlak. Dengan demikian, seorang
yang baik adalah seorang yang luhur akhlaknya. Imam Ibnu Rajab al
Hambali rahimahullah menjelaskan makna kata al birr (kebajikan) yang
terdapat dalam hadits di atas. Beliau berkata, Diantara makna al birr
adalah mengerjakan seluruh ketaatan, baik secara lahir maupun batin.
(Makna seperti ini) tertuang dalam firman Allah ta'ala:
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. MerekaiItulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa." (Al Baqarah: 177).
Dari penjelasan Ibnu Rajab dan teks ayat dalam surat Al
Baqarah tersebut, kita dapat memahami dengan jelas bahwa yang
dinamakan kebajikan (al birr) turut mencakup keimanan yang benar
terhadap Allah, mengerjakan perintah-Nya (dan tentunya
meninggalkan larangan-Nya), serta berbuat kebajikan terhadap
sesama makhluk Allah. Kita juga bisa menyatakan, – berdasarkan
hadits An Nawwas radhiallahu ‘anhu di atas-, bahwa seorang yang
beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, mengerjakan
perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan berbuat kebajikan terhadap
sesama adalah seorang yang berakhlak luhur, karena nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mendefinisikan al birr dengan keluhuran akhlak, dan
pada ayat 177 surat Al Baqarah di atas Allah menjabarkan berbagai
macam bentuk al birr.
Dengan kata lain, seorang yang berakhlak luhur adalah seorang
yang mampu berakhlak baik terhadap Allah ta’ala dan sesamanya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
Keluhuran akhlak itu terbagi dua. Pertama, akhlak yang baik
kepada Allah, yaitu meyakini bahwa segala amalan yang anda kerjakan
mesti (mengandung kekurangan/ketidaksempurnaan) sehingga
membutuhkan udzur (dari-Nya) dan segala sesuatu yang berasal dari-
Nya harus disyukuri. Dengan demikian, anda senantiasa bersyukur
kepada-Nya dan meminta maaf kepada-Nya serta berjalan kepada-Nya
sembari memperhatikan dan mengakui kekurangan diri dan amalan
anda. Kedua, akhlak yang baik terhadap sesama. kuncinya terdapat
dalam dua perkara, yaitu berbuat baik dan tidak mengganggu sesama
dalam bentuk perkataan dan perbuatan.
Terdapat persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa
makna keluhuran akhlak (akhlakul karimah) terbatas pada interaksi
sosial yang baik dengan sesama. Hal ini kurang tepat, karena
menyempitkan makna akhlakul karimah, silahkan anda lihat kembali
penjelasan di atas. Bahkan, terkadang terdapat selentingan perkataan
yang terkadang terucap dari seorang muslim, yang menurut kami
cukup fatal, seperti perkataan, “Si fulan yang non muslim itu lebih baik
daripada fulan yang muslim” atau ucapan semisal. Ucapan ini terlontar
tatkala melihat kekurangan akhlak pada saudaranya sesama muslim,
kemudian dia membandingkan saudaranya tersebut dengan seorang
kafir yang memiliki interaksi sosial yang baik dengan sesamanya.
Perkataan itu cukup fatal karena seorang muslim yang bertauhid
kepada Allah, betapa pun buruk akhlaknya, betapapun besar dosa
yang diperbuat, tetaplah lebih baik daripada seorang kafir, yang
berbuat syirik kepada Allah ta’ala. Hal ini mengingat dosa syirik
menduduki peringkat teratas dalam daftar dosa.
Seorang yang memiliki interaksi sosial yang baik terhadap
sesama, namun dia tidak menyembah Allah atau tidak
menauhidkannya dalam segala bentuk peribadatan yang dilakukannya,
maka dia masih dikategorikan sebagai seorang yang berahlak buruk.
Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan dia tidak merealisasikan
pondasi keluhuran akhlak, yaitu berakhlak yang baik kepada sang
Khalik yang telah mencurahkan berbagai nikmat kepada dirinya dan
seluruh makhluk. Dan bentuk akhlak yang baik kepada Allah adalah
dengan menauhidkan-Nya dalam segala peribadatan, karena tauhid
merupakan hak Allah kepada setiap hamba-Nya sebagaimana
dinyatakan dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu.
Hal ini pun dipertegas dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu. Beliau
bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, [Wahai
rasulullah! Ibnu Jud'an, dahulu di zaman jahiliyah, adalah seorang yang
senantiasa menyambung tali silaturahim dan memberi makan orang
miskin, apakah itu semua bermanfaat baginya kelak di akhirat? Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,
SينVالد Zو\مZ Sى ي Zت بV اغ\فSر\ لSى خZطSيئ Zا رjو\مZ Zقmل\ ي Zم\ ي qهm ل Sن \فZعmهm إ Zن Z ي ال
"Hal itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak pernah sedikit pun
mengucapkan, "Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat
kelak."
Ibnu Jud’an adalah seorang yang memiliki akhlak yang baik kepada
sesama manusia, meskipun demikian, keluhuran akhlaknya kepada
manusia tidak mampu menyelamatkannya dikarenakan dia tidak
menegakkan pondasi akhlak, yaitu akhlak yang baik kepada Allah
dengan beriman dan bertauhid kepada-Nya.
Telah disebutkan di atas bahwa bentuk akhlak yang baik kepada Allah
adalah dengan menauhidkan-Nya. Berdasarkan hal ini kita bisa
menyatakan bahwa seorang yang mempersekutukan Allah dalam
peribadatannya (berbuat syirik) adalah seorang yang berakhlak buruk,
meski dia dikenal sebagai pribadi yang baik kepada sesama.
Demikian pula, kita bisa menyatakan dengan lebih jelas lagi bahwa
seorang yang dikenal akan kebaikannya kepada sesama manusia, jika
dia berbuat syirik seperti memakai jimat, mendatangi dukun,
menyembelih untuk selain Allah mendatangi kuburan para wali untuk
meminta kepada mereka maka dia adalah seorang yang berakhlak
buruk.Maka, dari penjelasan di atas, kita bisa memahami perkataan
Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah berikut,
["Berbagai dosa (yang terdapat pada diri seorang), namun masih
dibarengi dengan tauhid yang benar itu masih lebih baik daripada
tauhid yang rusak meskipun tidak dibarengi dengan berbagai dosa."
Jangan dipahami bahwa beliau mengenyampingkan atau menganggap
ringan perbuatan dosa dengan perkataan tersebut. Namun, beliau
menerangkan bahwa perbaikan tauhid dengan menjauhi kesyirikan
merupakan proritas pertama yang harus diperhatikan oleh kita
sebelum menjauhi berbagai bentuk dosa lain yang tingkatannya
berada di bawah dosa syirik.
Imbas lain dari penyempitan makna akhlak sebagaimana dikemukakan
di atas adalah anggapan bahwa akhlak yang baik kepada manusia itu
lebih penting daripada tauhid. Akibatnya, rata-rata materi dakwah para
da’i adalah berkutat pada upaya menyeru manusia untuk berbuat baik
pada sesamanya dan menomorduakan dakwah tauhid, kalau tidak mau
dikatakan bahwa mereka memang tidak pernah menyampaikan materi
tauhid kepada mad’u. Hal ini tidak lain disebabkan karena mereka
belum mengetahui definisi akhlak yang disebutkan oleh para ulama
seperti yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Rajab dan Ibnul Qayyim
rahimahumallah di atas. Sehingga, tatkala mereka membaca hadits-
hadits nabi seperti, “ Kebajikan itu keluhuran akhlaq “; “Tidak ada
amalan yang lebih berat apabila diletakkan di atas mizan daripada
akhlak yang baik.”; “Apa karunia terbaik yang diberikan kepada
hamba?, nabi menjawab. “Akhlak yang baik.”, mereka berkeyakinan
bahwa hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa berakhlak baik
kepada sesama lebih tinggi derajatnya daripada menauhidkan Allah
ta’ala secara mutlak.
Di akhir artikel ini, kami kembali mengingatkan bahwa akhlak yang
baik kepada Allah, itulah yang harus menjadi fokus perhatian dalam
pembenahan diri kita, dan yang menjadi fokus utama adalah
bagaimana kita berusaha membenahi tauhid kita kepada Allah. Jika
kita memiliki interaksi yang baik dengan-Nya, dengan menauhidkan-
Nya, mengerjakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, niscaya
Allah ta’ala akan memudahkan kita untuk berinteraksi yang baik (baca:
berakhlak yang baik) dengan sesama. Itulah makna yang kami pahami
dari sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
["Barangsiapa mencari ridha Allah meski dengan mengundang
kemurkaan manusia, niscaya Allah akan ridha kepadanya dan akan
membuat manusia juga ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang
mencari ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, niscaya
Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia turut murka
kepadanya."
Muamalah Allah Terhadapmu
Di dalam sebuah Hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala hanya merahmati hamba-
hambaNya yang pengasih.” (HR. Bukhari).
Bukankah perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan? Barang siapa
yang mengasihi makhluk, maka ia akan dikasihi al-Kholiq (pencipta),
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang
pengasih akan di kasihi Dzat yang Maha Pengasih, kasihilah yang di
bumi, maka yang di langit akan mengasihimu.” (HR. Tirmidzi)
Balasan suatu perbuatan sesuai dengan perbuatan tersebut. Allah
ta’ala bermuamalah dengan hamba sesuai muamalah hamba terhadap
sesamanya, maka bermuamalah-lah dengan hamba Allah ta’ala
dengan muamalah yang mana engkau mengharapkan Allah ta’ala
bermuamalah seperti itu terhadapmu.Allah ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
mereka maka sesungguhnya Allah ta’ala Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. at-Taghobun: 14). firman Allah ta’ala: “Dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu
tidak ingin jika Allah ta’ala mengampunimu.” (QS. an-Nuur: 22)
Hendaklah engkau senantiasa meringankan beban orang lain supaya
Allah ta’ala meringankan bebanmu.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Barang siapa yang menolong kesusahan orang muslim, maka Allah
ta’ala akan menolongnya dari kesusahan pada hari kiamat.” (HR.
Bukhari). Beliau juga bersabda: “Barang siapa yang menyelamatkan
orang dari kesusahan, maka Allah ta’ala akan menyelamatkannya dari
kesusahan pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Tolonglah orang yang membutuhkan pertolongan, maka kamu akan
ditolong Allah ta’ala.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah ta’ala menolong seorang hamba selagi hamba tersebut
menolong sesamanya.” Beliau juga bersabda: “Barang siapa menolong
saudaranya yang membutuhkan maka Allah ta’ala akan
menolongnya.” (HR. Muslim)
Jadilah engkau orang yang mempermudah kesulitan orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang mempermudah kesulitan orang lain, maka
Allah ta’ala akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat.” (HR.
Muslim). Beliau juga bersabda: “Terdapat pada umat sebelum mu
seorang pedagang yang sering memberi pinjaman kepada orang lain,
jika dia melihat si peminjam dalam kesulitan dia berkata kepada anak-
anaknya: ‘Maafkan dia (jangan ditagih hutangnya) mudah-mudahan
Allah ta’ala mengampuni kita’, maka Allah ta’ala pun
mengampuninya.” (HR. Bukhari)
Berlemah-lembutlah terhadap hamba Allah ta’ala maka kamu akan
termasuk orang yang didoakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Ya Allah, barang siapa yang berlemah-lembut terhadap umatku maka
berlemah-lembutlah terhadapnya, dan barang siapa yang mempersulit
umatku maka persulitlah ia.” (HR. Ahmad)
Beliau juga bersabda:
“Sesungguhnya Allah ta’ala adalah Dzat yang maha lemah lembut
mencintai kelembutan dan memberi pada kelembutan suatu kebaikan
yang tidak pernah diberikan pada kekerasan.” (HR. Muslim)
Beliau juga bersabda:
“Barang siapa yang tidak memiliki kelembutan maka ia kehilangan
suatu kebaikan.” (HR. Muslim)
Tutupilah kejelekan (aib) orang lain maka Allah ta’ala akan menutupi
kejelekan (aib) mu.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang menutupi kejelekan (aib) seorang muslim maka
Allah ta’ala akan menutupi kejelekan (aib) nya.” (HR. Muslim)
Beliau juga bersabda:
“Barang siapa yang menutupi aurat (aib) saudaranya (muslim) maka
Allah ta’ala akan menutupi aurat (aib) nya pada hari kiamat.” (HR. Ibnu
Majah)
Pandanglah sedikit kesalahan saudaramu, maka Allah ta’ala akan
memandang sedikit pula kesalahan mu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang memandang sedikit kesalahan seorang muslim
maka Allah ta’ala akan memandang sedikit kesalahannya.” (HR. Abu
Dawud)
Berilah makan faqir miskin, maka Allah ta’ala akan memberimu makan
pula. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi makan mukmin
yang lapar, maka Allah ta’ala akan memberinya makan dari buah-
buahan Surga.” (HR. Tirmidzi)
Berilah minum orang yang kehausan, maka Allah ta’ala akan
memberimu minum pula.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi minum mukmin
lainnya yang kehausan, maka Allah ta’ala akan memberinya minum
pada hari kiamat dari khamar murni yang dilak (tempatnya).” (HR.
Tirmidzi)
Berilah pakaian kepada kaum muslimin maka Allah ta’ala akan
memberimu pakaian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi pakaian orang yang
telanjang maka Allah ta’ala akan memberinya pakaian hijau dari
surga.” (HR. Tirmidzi)
Muamalah (hubungan) Allah ta’ala terhadapmu sebagaimana
hubunganmu terhadap hamba-Nya, maka pilihlah muamalah yang kau
sukai yang mana Allah ta’ala akan me-muamalahimu dengannya, dan
pergaulilah hamba-hamba-Nya dengan (pilihanmu) itu maka kamu
akan mendapat ganjarannya. Jauhilah menyakiti sesama (Jika kamu
melakukannya) maka Allah ta’ala akan menyiksamu. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah ta’ala akan menyiksa orang-orang yang
menyakiti manusia.” (HR. Muslim)
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan
pengikut-pengikutnya mereka menimpa kepadamu siksaan yang
seberat-beratnya.” (QS. al-Baqarah: 49)
“Dan pada hari terjadinya kiamat dikatakan kepada malaikat,
‘masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat pedih.”
(QS. Ghofir: 46)
Jauhilah menyusahkan hamba-hamba Allah ta’ala (Jika kamu
melakukannya), maka engkau akan terkena doa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam: “Ya Allah, barang siapa yang mengurus perkara umatku lalu
mempersulit mereka maka persulitlah dia dan barang siapa yang
mempermudah mereka maka permudahkanlah dia.” (HR. Muslim)
Janganlah engkau mencari-cari kesalahan kaum muslimin. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang senantiasa mencari kesalahan seorang muslim,
maka Allah ta’ala akan senantiasa mencari kesalahannya pula,
sehingga akan terbuka kesalahannya meskipun (tersembunyi) di dalam
mulut unta (kendaraan) nya.” (HR. Tirmidzi)
Beliau juga bersabda:
“Barang siapa yang membuka aib saudaranya maka Allah ta’ala akan
membuka aibnya sampai diperlihatkan kepada keluarganya.” (HR. Ibnu
Majah)
Janganlah engkau berhati batu (tidak punya belas kasihan). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang tidak menaruh belas kasihan terhadap sesamanya,
maka Allah ta’ala tidak akan mengasihinya.” (HR. Muslim)
Beliau juga bersabda: “Tidaklah dicabut rasa belas kasihan itu kecuali
dari hati orang-orang yang celaka.” (HR. Tirmidzi)
Apapun muamalah yang engkau suguhkan terhadap manusia, maka
kamu akan mendapatkan balasan yang sama di sisi Allah ta’ala. Ibnul
Qoyyim berkata: “Sesungguhnya Allah ta’ala adalah Dzat yang Maha
mulia, mencintai yang mulia dari hamba-hamba-Nya. Dia adalah Dzat
yang Maha Mengetahui, mencintai orang-orang yang berilmu. Dia
adalah Dzat yang Maha Kuasa, mencintai yang gagah berani. Dia
adalah Dzat yang Maha Indah, mencintai keindahan. Dia adalah Dzat
yang Maha Pengasih, mencintai orang yang pengasih. Dia adalah Dzat
yang Maha Menutupi, mencintai orang yang menutupi aib hamba-
hamba-Nya. Maha Pemaaf, mencintai yang memaafkan hamba-hamba-
Nya. Maha Pengampun, mencintai yang suka mengampuni hamba-Nya.
Maha lemah lembut, mencintai yang lemah lembut dari hamba-hamba-
Nya serta membenci yang keras perangainya. Dia adalah Dzat yang
Maha Penyantun, mencintai sifat penyantun. Dzat yang Melimpahkan
kebaikan, mencintai perbuatan baik serta pelakunya. Dzat yang Maha
Adil, mencintai keadilan. Dzat yang Menerima uzur, mencintai orang
yang menerima uzur hamba-hamba-Nya. membalas hamba sesuai
dengan ada atau tidak adanya sifat-sifat tersebut pada diri seorang
hamba… maka (sesungguhnya) muamalah Allah ta’ala terhadap
hambanya sesuai dengan muamalah hamba terhadap sesamanya…
berbuatlah semaumu maka Allah ta’ala akan membalasmu sesuai
dengan perbuatanmu terhadap-Nya dan terhadap hamba-hamba-Nya.
Maka hendaklah engkau senantiasa memberikan manfaat kepada
hamba-hamba Allah ta’ala sebagaimana yang telah disabdakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa yang mampu memberikan kemanfaatan kepada
saudaranya hendaklah ia lakukan.” (HR. Muslim)
Berbuat baiklah terhadap mereka, karena sesungguhnya Allah ta’ala
mencintai hamba yang berbuat baik. jadilah engkau orang yang
senantiasa mempermudah urusan hamba Allah ta’ala serta berlemah-
lembut terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Diharamkan masuk Neraka setiap orang yang pemudah,
lemah lembut, dekat dengan manusia.” (HR. Ahmad)
Maafkanlah mereka, mudah-mudahan Allah ta’ala mengampuni dosa-
dosamu, sesungguhnya Allah ta’ala tidak akan menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang berbuat baik.
Keutamaan Taubat
Hakikat taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari
bermaksiat kepada-Nya kepada ketaatan kepada-Nya. Taubat ada dua
macam: taubat mutlak dan taubat muqayyad (terikat). Taubat mutlak
ialah bertaubat dari segala perbuatan dosa. Sedangkan taubat
muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa tertentu yang pernah
dilakukan. Syarat-syarat taubat meliputi: beragama Islam, berniat
ikhlas, mengakui dosa, menyesali dosa, meninggalkan perbuatan dosa,
bertekad untuk tidak mengulanginya, mengembalikan hak orang yang
dizalimi, bertaubat sebelum nyawa berada di tenggorokan atau
matahari terbit dari arah barat. Taubat adalah kewajiban seluruh kaum
beriman, bukan kewajiban orang yang baru saja berbuat dosa. Karena
Allah berfirman,
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman
supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31) (lihat Syarh Ushul min
Ilmil Ushul Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah, tentang pembahasan isi
khutbatul hajah).
Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.
Allah menyifati diri-Nya di dalam Al Quran bahwa Dia Maha pengampun
lagi Maha Penyayang hampir mendekati 100 kali. Allah berjanji
mengaruniakan nikmat taubat kepada hamba-hambaNya di dalam
sekian banyak ayat yang mulia. Allah ta’ala berfirman:
“Allah menginginkan untuk menerima taubat kalian, sedangkan orang-
orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian
menyimpang dengan sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 27)
Allah ta’ala juga berfirman:
“Dan seandainya bukan karena keutamaan dari Allah kepada kalian
dan kasih sayang-Nya (niscaya kalian akan binasa). Dan sesungguhnya
Allah Maha penerima taubat lagi Maha bijaksana.” (QS. An Nuur: 10)
Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas ampunannya.” (QS. An Najm:
32)
Allah ta’ala berfirman,
“Rahmat-Ku amat luas meliputi segala sesuatu.” (QS. Al A’raaf: 156)
Oleh Karenanya, Saudaraku yang Tercinta, Pintu taubat ada di
hadapanmu terbuka lebar, ia menanti kedatanganmu… Jalan orang-
orang yang bertaubat telah dihamparkan. Ia merindukan pijakan
kakimu… Maka ketuklah pintunya dan tempuhlah jalannya. Mintalah
taufik dan pertolongan kepada Tuhanmu… Bersungguh-sungguhlah
dalam menaklukkan dirimu, paksalah ia untuk tunduk dan taat kepada
Tuhannya. Dan apabila engkau telah benar-benar bertaubat kepada
Tuhanmu kemudian sesudah itu engkau terjatuh lagi di dalam maksiat,
sehingga memupus taubatmu yang terdahulu, janganlah malu untuk
memperbaharui taubatmu untuk kesekian kalinya. Selama maksiat itu
masih berulang padamu maka teruslah bertaubat. Allah ta’ala
berfirman:
“Karena sesungguhnya Dia Maha mengampuni kesalahan hamba-
hamba yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.” (QS. Al Israa’: 25)
Allah ta’ala juga berfirman:
“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap
diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah
Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka kembalilah
kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya
azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS.
Az Zumar: 53-54)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Seandainya
kalian berbuat dosa sehingga tumpukan dosa itu setinggi langit
kemudian kalian benar-benar bertaubat, niscaya Allah akan menerima
taubat kalian.” (Shahih Ibnu Majah). Maka di manakah orang-orang
yang bertaubat dan menyesali dosanya? Di manakah orang-orang yang
kembali taat dan merasa takut siksa? Di manakah orang-orang yang
ruku’ dan sujud?
Berbagai Keutamaan Taubat
Pada hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase
persinggahan iman. Setiap insan selalu membutuhkannya dalam
menjalani setiap tahapan kehidupan. Maka orang yang benar-benar
berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai sahabat dekat
dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan
orang yang binasa adalah yang menelantarkan dan mencampakkan
taubat di belakang punggungnya. Beberapa di antara keutamaan
taubat ialah:
Pertama: Taubat adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah ‘azza wa
jalla. Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan
mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri.” (QS. Al Baqarah:
222)
Kedua: Taubat merupakan sebab keberuntungan. Allah ta’ala
berfirman:
“Dan bertaubatlah kepada Allah wahai semua orang yang beriman,
supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
Ketiga: Taubat menjadi sebab diterimanya amal-amal hamba dan
turunnya ampunan atas kesalahan-kesalahannya. Allah ta’ala
berfirman:
“Dialah Allah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan Maha
mengampuni berbagai kesalahan.” (QS. Asy Syuura: 25)
Allah ta’ala juga berfirman
“Dan barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh maka
sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.” (QS. Al Furqaan: 71)
artinya taubatnya diterima
Keempat: Taubat merupakan sebab masuk surga dan keselamatan dari
siksa neraka. Allah ta’ala berfirman:
“Maka sesudah mereka (nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, niscaya
mereka itu akan dilemparkan ke dalam kebinasaan. Kecuali orang-
orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal
saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam
surga dan mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam:
59, 60)
Kelima: Taubat adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.
Allah ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat
sesudahnya dan beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
Maha Pengampun dan Penyayang.” (QS. Al A’raaf: 153)
Keenam: Taubat merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan
berbagai kebaikan. Allah ta’ala berfirman:
“Dan barang siapa yang melakukan dosa-dosa itu niscaya dia akan
menemui pembalasannya. Akan dilipatgandakan siksa mereka pada
hari kiamat dan mereka akan kekal di dalamnya dalam keadaan
terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman serta
beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang digantikan oleh
Allah keburukan-keburukan mereka menjadi berbagai kebaikan. Dan
Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al Furqaan: 68-70)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat
dari suatu dosa sebagaimana orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu
Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Ketujuh: Taubat menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.
Allah ta’ala berfirman:
“Apabila kalian bertaubat maka sesungguhnya hal itu baik bagi kalian.”
(QS. At Taubah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
“Maka apabila mereka bertaubat niscaya itu menjadi kebaikan bagi
mereka.” (QS. At Taubah: 74)
Kedelapan: Taubat adalah sebab untuk menggapai keimanan dan
pahala yang besar. Allah ta’ala berfirman:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang
teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk
Allah mereka itulah yang akan bersama dengan kaum beriman dan
Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman pahala yang amat
besar.” (QS. An Nisaa’: 146)
Kesembilan: Taubat merupakan sebab turunnya barakah dari atas
langit serta bertambahnya kekuatan. Allah ta’ala berfirman:
“Wahai kaumku, minta ampunlah kepada Tuhan kalian kemudian
bertaubatlah kepada-Nya niscaya akan dikirimkan kepada kalian awan
dengan membawa air hujan yang lebat dan akan diberikan kekuatan
tambahan kepada kalian, dan janganlah kalian berpaling menjadi
orang yang berbuat dosa.” (QS. Huud: 52)
Kesepuluh: Keutamaan taubat yang lain adalah menjadi sebab
malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat. Hal ini sebagaimana
difirmankan Allah ta’ala:
“Para malaikat yang membawa ‘Arsy dan malaikat lain di sekelilingnya
senantiasa bertasbih dengan memuji Tuhan mereka, mereka beriman
kepada-Nya dan memintakan ampunan bagi orang-orang yang
beriman. Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu maha luas meliputi segala
sesuatu, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-
Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka.” (QS. Ghafir: 7)
Kesebelas: Keutamaan taubat yang lain adalah ia termasuk ketaatan
kepada kehendak Allah ‘azza wa jalla. Hal ini sebagaimana difirmankan
Allah ta’ala: “Dan Allah menghendaki untuk menerima taubat kalian.”
(QS. An Nisaa’: 27). Maka orang yang bertaubat berarti dia adalah
orang yang telah melakukan perkara yang disenangi Allah dan diridhai-
Nya.
Kedua belas: Keutamaan taubat yang lain adalah Allah bergembira
dengan sebab hal itu. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sungguh Allah lebih
bergembira dengan sebab taubat seorang hamba-Nya ketika ia mau
bertaubat kepada-Nya daripada kegembiraan seseorang dari kalian
yang menaiki hewan tunggangannya di padang luas lalu hewan itu
terlepas dan membawa pergi bekal makanan dan minumannya
sehingga ia pun berputus asa lalu mendatangi sebatang pohon dan
bersandar di bawah naungannya dalam keadaan berputus asa akibat
kehilangan hewan tersebut, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hewan
itu sudah kembali berada di sisinya maka diambilnya tali kekangnya
kemudian mengucapkan karena saking gembiranya, ‘Ya Allah,
Engkaulah hambaku dan akulah tuhanmu’, dia salah berucap karena
terlalu gembira.” (HR. Muslim)
Ketiga belas: Taubat juga menjadi sebab hati menjadi bersinar dan
bercahaya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat dosa maka di dalam
hatinya ditorehkan sebuah titik hitam. Apabila dia meninggalkannya
dan beristighfar serta bertaubat maka kembali bersih hatinya. Dan jika
dia mengulanginya maka titik hitam itu akan ditambahkan padanya
sampai menjadi pekat, itulah raan yang disebutkan Allah ta’ala,:
“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah raan yang menyelimuti hati mereka
akibat apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Muthaffifin: 14) (HR.
Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan Al Albani)
Oleh karena itu, saudaraku yang kucintai. Sudah sepantasnya setiap
orang yang berakal untuk bersegera menggapai keutamaan dan
memetik buah memikat yang dihasilkan oleh ketulusan taubat itu…,
Saudaraku:
Tunaikanlah taubat yang diharapkan Ilahi
demi kepentinganmu sendiri
Sebelum datangnya kematian dan lisan terkunci
Segera lakukan taubat dan tundukkanlah jiwa
Inilah harta simpanan bagi hamba yang kembali taat dan baik amalnya
Tingkatan Jihad Melawan Syaitan
Syarat Agar Taubat Diterima
Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun
manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan
dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia
yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada
Alloh dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang
diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah
agar taubat seorang hamba itu diterima?
Syarat Taubat Diterima. Agar taubat seseorang itu diterima,
maka dia harus memenuhi tiga hal yaitu: (1) Menyesal, (2) Berhenti
dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya. Taubat
tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang
dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan
bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi
bahwa ia akan terus menerus melakukannya. Akankah kita percaya
bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia dengan ridho masih
terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia membangun
tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat serta tidak main-
main. Bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan syarat yang
keempat, yaitu tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. sehingga
kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa
taubatnya tidak benar. Akan tetapi sebagian besar para ulama tidak
mensyaratkan hal ini.
Tunaikan Hak Anak Adam yang Terzholimi. Jika dosa tersebut
berkaitan dengan hak anak Adam, maka ada satu hal lagi yang harus
ia lakukan, yakni dia harus meminta maaf kepada saudaranya yang
bersangkutan, seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau
mengganti suatu barang yang telah dia rusakkan atau curi dan
sebagainya. Namun apabila dosa tersebut berkaitan dengan ghibah
(menggunjing), qodzaf (menuduh telah berzina) atau yang semisalnya,
yang apabila saudara kita tadi belum mengetahuinya (bahwa dia telah
dighibah atau dituduh), maka cukuplah bagi orang telah melakukannya
tersebut untuk bertaubat kepada Alloh, mengungkapkan kebaikan-
kebaikan saudaranya tadi serta senantiasa mendoakan kebaikan dan
memintakan ampun untuk mereka. Sebab dikhawatirkan apabila orang
tersebut diharuskan untuk berterus terang kepada saudaranya yang
telah ia ghibah atau tuduh justru dapat menimbulkan peselisihan dan
perpecahan diantara keduanya.
Nikmat Dibukanya Pintu Taubat
Apabila Alloh menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka
Alloh bukakan pintu taubat baginya. Sehingga ia benar-benar
menyesali kesalahannya, merasa hina dan rendah serta sangat
membutuhkan ampunan Alloh. Dan keburukan yang pernah ia lakukan
itu merupakan sebab dari rahmat Alloh baginya. Sampai-sampai setan
akan berkata, “Duhai, seandainya aku dahulu membiarkannya. Andai
dulu aku tidak menjerumuskannya kedalam dosa sampai ia bertaubat
dan mendapatkan rahmat Alloh.” Diriwayatkan bahwa seorang salaf
berkata, “Sesungguhnya seorang hamba bisa jadi berbuat suatu dosa,
tetapi dosa tersebut menyebabkannya masuk surga.” Orang-orang
bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Dia
berbuat suatu dosa, lalu dosa itu senantiasa terpampang di
hadapannya. Dia khawatir, takut, menangis, menyesal dan merasa
malu kepada Robbnya, menundukkan kepala di hadapan-Nya dengan
hati yang khusyu’. Maka dosa tersebut menjadi sebab kebahagiaan
dan keberuntungan orang itu, sehingga dosa tersebut lebih bermanfaat
baginya daripada ketaatan yang banyak.”
Buah dari Tawakkal
Buah dari tawakkal kepada Allah Ta’ala amatlah banyak. Yang
paling utama adalah “Allah akan mencukupi segala urusan orang yang
bertawakkal. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)
Barangsiapa yang menyandarkan urusannya pada Allah, hanya
menyandarkan kepada Allah semata, ia pun mengakui bahwa tidak ada
yang bisa mendatangkan kebaikan dan menghilangkan bahaya selain
Allah, maka sebagaimana dalam ayat dikatakan, “Allah-lah yang akan
mencukupinya.” Yaitu Allah menyelamatkannya dari berbagai bahaya.
Karena yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan. Ketika
seseorang bertawakkal pada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal,
Allah pun membalasnya dengan mencukupinya, yaitu memudahkan
urusannya. Allah yang akan memudahkan urusannya dan tidak
menyandarkan pada selain-Nya. Inilah sebesar-besarnya buah
tawakkal. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu.” (QS. Al Anfal:
64)“Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya
cukuplah Allah (yang akan mencukupimu). Dialah yang
memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.”
(QS. Al Anfal: 62)
Jadi buah yang paling utama dari tawakkal pada Allah adalah
Allah akan memberi kecukupan pada orang yang bertawakkal pada-
Nya. Oleh karenanya, Allah berfirman mengenai keadaan Nabi Nuh
‘alaihis salam, di mana beliau berkata pada kaumnya:
“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan
peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-
lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian
janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap
diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus:
71)
Allah berfirman mengenai Nabi Hud ‘alaihis salam:
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan,
dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya
terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu.
Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang
memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang
lurus.” (QS. Hud: 54-56)
Allah berfirman mengenai Nabi Syu’aib alaihis salam,
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.
Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku
kembali.” (QS. Hud: 88)
Allah berfirman mengenai Nabinya –Muhammad- ‘alaihish sholaatu was
salaam:
“Katakanlah: “Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu
Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa
memberi tangguh (kepada-ku)”. Sesungguhnya Pelindungku ialah yang
telah menurunkan Al kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang
yang shaleh. Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah
sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.”
(QS. Al A’rof: 195-197)
Dari penjelasan di atas, Allah subhanahu wa ta’ala
menceritakan mengenai para rasul-Nya yang mulia di mana mereka
tidak mendapatkan bahaya dari kaum dan sesembahan kaum mereka.
Apa kuncinya? Karena mereka bertawakkal pada Allah. Siapa saja yang
bertawakkal pada Allah, pasti Allah akan mencukupinya.
Buah tawakkal yang kedua, buah tawakkal yang lain adalah
mendapatkan cinta Allah. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya.” (QS. Ali Imron: 159)
Barangsiapa yang benar-benar bertawakkal pada Allah, maka Allah
akan mencintainya. Jika Allah telah mencintainya, maka ia akan
merasakan kebahagiaan di dunia dan akhirat, ia akan menjadi orang-
orang yang dicintai di sisi-Nya dan menjadi wali-Nya.
Buah tawakkal yang ketiga, orang yang bertawakkal akan
mudah mengerjakan hal yang bermanfaat tanpa ada rasa takut dan
gentar kecuali pada Allah. Contohnya, orang yang berjihad di medan
perang melawan orang-orang kafir, mereka melakukan hal ini karena
mereka tawakkal pada Allah. Usaha mereka dengan tawakkal inilah
yang mendatangkan keberanian dan kekuatan saat itu. Musuh-musuh
dan kesulitan di hadapan mereka dianggap ringan berkat tawakkal.
Mereka akhirnya jika toh mati, akan merasakan mati di jalan Allah.
Merekalah yang mendapatkan syahid di jalan Allah. Ini semua karena
sebab tawakkal. Buah tawakkal yang keempat, seseorang akan
bersemangat dalam mencari rizki, mencari ilmu dan melakukan segala
sesuatu yang bermanfaat. Itulah yang namanya orang yang
bertawakkal, ia punya semangat dalam melakukan hal-hal bermanfaat
semacam ini. Karena ia tahu bahwa Allah akan bersama dan menolong
setiap orang yang bertawakkal. Akhirnya ia pun bersamangat ketika
dalam perkara agama dan dunianya yang bermanfaat, ia jadinya tidak
bermalas-malasan.
Kita dapat menyaksikan bahwa para sahabat radhiyallahu
‘anhum, merekalah orang yang paling bersemangat. Mereka benar-
benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Sampai-sampai karena sifat
ini yang mereka miliki, mereka bisa menaklukan berbagai negeri di
ujung timur dan barat melalui jihad mereka. Mereka pun membuka hati
melalui dakwah mereka di jalan Allah. Ini semua bisa terwujud karena
mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Allah Ta’ala
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya,
yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al
Maidah: 54). Mereka sama sekali tidak takut pada celaan orang yang
mencela ketika mereka berjuang di jalan Allah. Bisa demikian karena
mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Mereka
benar-benar menyandarkan dirinya pada Allah dan mereka tidak
berpaling pada yang lain, baik ketika itu manusia ridho atau pun tidak.
Yang senantiasa mereka cari adalah ridho Allah. Dalam hadits
disebutkan:
“Barangsiapa yang mencari ridho Allah dan awalnya manusia murka
(tidak suka), maka Allah akan ridho padanya dan membuat manusia
pun akan ridho padanya. Sedangkan barangsiapa yang mencari ridho
manusia dan membuat Allah murka, maka Allah akan murka padanya
dan akan membuat manusia pun murka.”
Bersandar pada Allah dan tawakkal pada-Nya serta menyerahkan
segala urusan pada Allah Ta’ala, itulah yang menjadi asas tauhid, asas
amal dan asas kebaikan. Bahkan Allah menjadi tawakkal ini syarat
keimanan. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu
benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23)
Pelajaran Penting
Ada pelajaran penting yang mesti diperhatikan dalam
memahami arti tawakkal. Tawakkal harus terkumpul dalamnya dua
syarat yaitu: (1) menyandarkan hati pada Allah, dan (2) melakukan
usaha (sebab). Sehingga tidak benar jika orang hanya berusaha namun
tidak menyandarkan hatinya pada Allah karena segala sesuatu di
tangan Allah. Dan tidak tepat pula jika seseorang hanya bersandar
pada Allah, namun tidak ada usaha yang ia lakukan. Ada sebuah kisah
yang bisa jadi pelajaran. ‘Umar bin Khottob pernah melihat sekelompok
orang yang ngaku-ngaku sebagai orang yang bertawakkal, namun
mereka tidak melakukan usaha apa-apa. ‘Umar bertanya pada mereka,
“Siapa kalian?” “Kami adalah mutawakkiluun, orang yang
bertawakkal”, jawab mereka. ‘Umar lantas menjawab, “Tidak. Kalian
adalah muta-akkalun (artinya, orang yang hanya menanti diberi
makan).” Yaitu mereka itu sebenarnya hanyalah orang yang hanya
butuh pada uluran tangan orang lain dan bukan orang yang
bertawakkal. Karena orang yang bertawakkal harusnya melakukan
usaha.
‘Umar bin Al Khottob pun pernah mengatakan,“Kalian telah
mengetahui bahwa langit sama sekali tidak menurunkan hujan emas
atau hujan perak.” Ini beliau katakan untuk mengingkari orang yang
hanya duduk untuk ibadah namun tidak punya untuk meraih rizki.
Mereka sebenarnya orang-orang pemalas yang butuh ularan tangan
orang lain. Lantas ‘Umar pun menghardik mereka. Lalu mengatakan
perkataan di atas. Demikian penjelasan singkat mengenai buah
tawakkal yang kami sarikan dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan
hafizhohullah (Ulama besar di Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia, anggota
Al Lajnah Ad Daimah) dalam kumpulan risalahnya.
Ikhlas dan syukur.
Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan
terus bersabar menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai,
kadang kita malah lupa daratan dan melupakan Yang Di Atas yang
telah memberikan berbagai kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat
ketika kita telah mencapai hasil yang kita idam-idamkan? Itulah yang
sedikit akan kami kupas dalam tulisan sederhana ini.
Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya
Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat.
Nikmat adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini
harus diakui bahwa semuanya berasal dari Allah Ta’ala dan jangan
berlaku angkuh dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata
atau ia memang pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman
Allah Ta’ala,
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa
malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat:
49). Atau pada ayat lainnya, “Dan apabila Kami memberikan nikmat
kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia
ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)
Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan
atau kejelekan. Ia akan selalu berdo’a pada Allah agar diberikan
kekayaan, harta, anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-
cari. Dirinya tidak bisa merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika
sudah diberi lebih pun, dirinya akan selalu menambah lebih. Ketika ia
ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia pun putus asa. Namun
lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah itu? Bagaimana
jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai dari
bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai
menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia
memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam
firman Allah Ta’ala:
“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami
sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah
hakku.”(QS. Fushshilat: 50)
Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan
kesuksesan yang ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah.
Bahkan ia pun khawatir jangan-jangan ini adalah istidroj (cobaan yang
akan membuat ia semakin larut dalam kemaksiatan yang ia terjang).
Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa musibah pada harta dan anak
keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah agar lepas
dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.
Ucapkanlah “Tahmid”
Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat
tersebut dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini
adalah sesuatu yang diperintahkan sebagaimana firman Allah
Ta’ala:“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:“Membicarakan
nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya
merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al
Jaami’ no. 3014).
Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia
memperoleh anak di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau
pun memperbanyak syukur pada Allah sebagaimana do’a beliau ketika
itu,“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di
hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar
Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39). Para
ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan
dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di
pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah
bagi Allah).”
Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan
tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia
menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan
bukan karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah
melakukannya dengan sombong, maka ini adalah suatu hal yang
tercela.
Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di
atas yaitu mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan
menyebut-nyebutnya dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan
yang satu ini yaitu nikmat tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam
ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat. Contohnya adalah jika
Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut
dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur’an, jangan
sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di
tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga.
Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan
lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar
lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan
badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat
lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang
diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk maksiat,
maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur.Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu
Hazim mengatakan:.“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk
mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”Mukhollad bin Al
Husain mengatakan:“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3
rukun syukur: mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati),
membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan
menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah
(dengan anggota badan).Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah
mengatakan:“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam
hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota
badan.”
Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri
Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini
telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
berbagai haditsnya. Ibnu Az Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia
mengatakan “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh
dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua
semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan
lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan
tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.”
(HR. Bukhari no. 6438)
Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar
adalah selalu bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri
walaupun itu sedikit. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia
tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad,
4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)
Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur
Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena
keutamaan orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.” (QS. Ali Imron: 145) “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-
Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (QS. Ibrahim: 7)
Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai
bersyukur pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang
engkau beri.
Mana Bukti Cintamu pada Nabi?
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-
orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya
untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya
berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara
tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti
diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan
memberikan kepahaman.
Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-
isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal
yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya
dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai
daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka
tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”
Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan
tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan
pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman:“Nabi itu (hendaknya) lebih
utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al
Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak
ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan
keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa
tersebut selalu mengajak pada keburukan.” Oleh karena itu, kecintaan
pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri
sendiri.‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin
Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah,
sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap
diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata:
”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum
sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu
sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau
(Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar,
(imanmu telah sempurna).”
Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :
Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai. Semakin
sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya
kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah
manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq,
kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau adalah begitu
perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada
umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-
Nya:”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika
seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara
faedah tersebut adalah: Mendapatkan manisnya iman, Dari Anas
radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:“Tiga
perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman
yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya;
mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada
kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.”
Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhiratDari Anas
bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai
Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang
telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut
menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari
tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah.
Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Kalau begitu) engkau akan
bersama dengan orang yang engkau cintai.” Dalam riwayat lain, Anas
mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana
rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang
yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar.
Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada
mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”
Akan memperoleh kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang tidaklah beriman (dengan
sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya
serta manusia seluruhnya.”
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa
pun. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang
terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari
Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu
Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.” Di antara
bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz
yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam
Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa
saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena
perkataan yang lainnya.”
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam.Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya
yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang
dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan
akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman:”Demi bintang ketika
terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Di
antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah
memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling
mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau
terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan
salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut
di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta berpegang pada petunjuknya. Allah Ta’ala
berfirman:“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31). Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah
membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian.
Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah
sesat .”
Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam. Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’
(mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi
orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya
syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.
An-Nisa’: 65) Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang
yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan,
bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di
antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada
dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”
Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Membela
dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah
satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman: “(Juga)
bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan
dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan
keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka
itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8). Di antara contoh
pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti
diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami
kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah,
aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat
dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.”
Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai
Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku
mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu
berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik
berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman
tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan
kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun
yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang
mengenalinya dari jari telunjuknya.”
Adab Membaca Al-Quran
Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung
kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan
memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh
perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan
dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat
dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari
oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an.
Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik
kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
(HR. Bukhari)
Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu
memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan
kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:
1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan
tenang. Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam
keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam
keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang
membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan
mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu
yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)
2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat
menghayati ayat yang dibaca. Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang
membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak
memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan).
Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari
semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah
memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an
setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang
dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit,
mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.
3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena
sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan
perasaan. Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya
yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil
menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun
demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura
menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.
4. Membaguskan suara ketika membacanya. Sebagaimana sabda
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan
suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain
dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-
Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca
Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj
hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari
ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-
lenggokkan suara di luar kemampuannya.
5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah. Alloh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-
Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-
godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98). Membaca Al-
Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak
perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat
yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.
Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya
setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah
satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak
boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-
Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.
MARAJI”:
Majmu’ Fatawa,
As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat,
Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh, 1/266, Asy
Syamilah
Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh, 1/266, Asy
Syamilah
Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7/459,
Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/7,
Darul Jail, 1973
Mukhtashor Minhajil Qoshidin