Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

27
BAHAN KULIAH ANTROPOLOGI HUKUM I. HUKUM dan KEBUDAYAAN Seperti dipahami bersama bahwa ilmu-ilmu hukum mencakup normwissenschaften yang menyoroti hukum dari sudut normatif, dan tatsachenwissenschaften yang menelaah hukum sebagai perikelakuan yang merupakan kenyataan dalam masyarakat. Salah satu ilmu bantu hukum yang menyoroti hukum dari aspek perilaku adalah antropologi hukum. Dalam tataran normatif yang dipelajari adalah asas hukum dan kaedah hukum. Asas hukum merupakan nilai, dan nilai merupakan inti dari kebudayaan yang menjadi tinjauan utama dari antropologi. Dari sudut antropologi, kita akan mengetahui latar belakang dari kaedah/norma hukum atau asas hukum/nilai hukum. Sebenarnya pada kuliah AH kita akan langsung masuk ke materi AH, tetapi dengan pertimbangan peserta kuliah belum tentu pernah mengambil/mengikuti mata kuliah Antropologi Budaya (AB), karena mata kuliah AB merupakan mata kuliah pilihan. Dengan pertimbangan itu, maka pada awal kuliah dibuka dulu dengan hal-hal yang terkait antara kebudayaan dengan hukum, dengan memberikan pengertian kebudayaan, bentuk-bentuk kebudayaan, dan hubungan antara kebudayaan dengan hukum. Kebudayaan Kebudayaan menurut Prof.Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Antropologi I (1996:72) adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan

Transcript of Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

Page 1: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

BAHAN KULIAH ANTROPOLOGI HUKUM

I. HUKUM dan KEBUDAYAAN

Seperti dipahami bersama bahwa ilmu-ilmu hukum mencakup

normwissenschaften yang menyoroti hukum dari sudut normatif, dan

tatsachenwissenschaften yang menelaah hukum sebagai perikelakuan yang

merupakan kenyataan dalam masyarakat. Salah satu ilmu bantu hukum yang

menyoroti hukum dari aspek perilaku adalah antropologi hukum. Dalam tataran

normatif yang dipelajari adalah asas hukum dan kaedah hukum. Asas hukum

merupakan nilai, dan nilai merupakan inti dari kebudayaan yang menjadi tinjauan

utama dari antropologi. Dari sudut antropologi, kita akan mengetahui latar belakang

dari kaedah/norma hukum atau asas hukum/nilai hukum.

Sebenarnya pada kuliah AH kita akan langsung masuk ke materi AH, tetapi

dengan pertimbangan peserta kuliah belum tentu pernah mengambil/mengikuti mata

kuliah Antropologi Budaya (AB), karena mata kuliah AB merupakan mata kuliah

pilihan. Dengan pertimbangan itu, maka pada awal kuliah dibuka dulu dengan hal-hal

yang terkait antara kebudayaan dengan hukum, dengan memberikan pengertian

kebudayaan, bentuk-bentuk kebudayaan, dan hubungan antara kebudayaan dengan

hukum.

Kebudayaan

Kebudayaan menurut Prof.Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar

Antropologi I (1996:72) adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta

karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan

miliknya dengan belajar. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah

“kebudayaan”, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan

bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar (naluri, refleks, tindakan

akibat proses fisiologi, tindakan membabi-buta), sangat terbatas. Bahkan tindakan

yang bersifat naluri (makan, minum, berjalan) juga telah banyak dirombak oleh

manusia sehingga menjadi tindakan kebudayaan. Manusia makan pada waktu

tertentu dengan cara tertentu, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Demikian

juga cara berjalan, berbeda antara orang kebanyakan dengan cara berjalan prajurit

militer atau peragawati, inipun sebagai tindakan kebudayaan yang dibiasakan

dengan belajar.

Kebudayaan (culture), perlu dibedakan dengan peradaban (civilization).

Peradaban adalah istilah yang dipakai untuk menyebut bagian-bagian/unsur-unsur

dari kebudayaan yang sifatnya halus, maju dan indah, seperti kesenian, ilmu

Page 2: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

pengetahuan, adat sopan-santun dan pergaulan, kepandaian menulis, organisasi

bernegara dan lain-lain. Istilah peradaban juga sering dipakai untuk menyebut bagian

kebudayaan seperti teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa,

masyarakat kota yang maju dan kompleks.

Wujud Kebudayaan

Wujud kebudayaan, menurut Prof Koentjaraningrat (1996: 56) digambarkan

dalam 4 lingkaran konsentris yaitu :

1. Lingkaran inti adalah nilai-nilai budaya (sistem ideologis)

2. Lingkaran kedua dari dalam adalah sistem budaya (sistem gagasan)

3. Lingkaran ketiga adalah sistem sosial (sistem tingkah laku)

4. Lingkaran keempat adalah kebudayaan fisik (benda-benda fisik).

Contoh dari wujud konkret kebudayaan (lingkaran/wujud keempat) antara lain

bangunan-bangunan megah, benda-benda bergerak, dan semua benda hasil karya

manusia yang bersifat konkrit dan dapat diraba serta difoto. Wujud ketiga/sistem

tingkah laku, meliputi menari, berbicara, tingkah laku melakukan pekerjaan, semua

gerak-gerik dan dari hari ke hari, merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan

berdasarkan sistem sosial.Wujud ketiga ini masih bisa dipotret dan konkret.

Sedangkan wujud kedua/ sistem gagasan, tempatnya pada kepala tiap

individu warga kebudayaan. Wujud kedua ini bersifat abstrak, tak dapat difoto, dan

hanya dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah ia mempelajari melalui

wawancara atau dengan membaca apa yang dia tulis. Berikutnya wujud pertama/

sistem ideologis, adalah gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga

sejak usia dini, dan karenanya sukar diubah, disebut juga “nilai-nilai budaya” yang

menentukan sifat dan corak pikiran, cara berpikir serta tingkah laku manusia suatu

kebudayaan.

Hubungan Hukum Dengan Kebudayaan

Dalam AH, hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam

hidup bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dengan menjunjung tingi nilai-nilai

budaya tertentu. Nilai-nilai budaya, yang oleh orang dalam masyarakat tertentu harus

dijunjung tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga masyarakat lain. Nilai-nilai

budaya tercakup secara lebih konkret dalam norma-norma sosial, yang diajarkan

kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada

waktu melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi sosial.

Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma lain,

dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial yang semuanya lebih

mempermudah manusia mewujudkan perilaku yang sesuai dengan tuntutan

Page 3: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

masyarakatnya atau yang sesuai dengan gambaran ideal mengenai cara hidup yang

dianut dalam kelompoknya. Gambaran ideal atau desain hidup atau cetak biru, yang

merupakan kebudayaan dari masyarakat itu hendak dilestarikan melalui cara hidup

warga masyarakat, dan salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat

supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum.

Contoh untuk menjelaskan hubungan hukum dan kebudayaan akan diberikan

contoh mengenai hubungan kekerabatan dalam sistem kekerabatan di Bali. Menurut

kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan adalah suatu hal yang sangat penting.

Nilai utamanya adalah gagasan bahwa anak laki-laki diakui sebagai pengubung

dalam garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seseorang

mempertimbangkan garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat dikonstruksikan

(secara1 konseptual) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang

menghubungkan para laki-laki sebagai penghubung-penghubung garis keturunan.

Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial

lainnya dalam kaitan dengan pengaturan soal-soal yang berkenaan dengan

kekerabatan, seperti norma sosial bahwa seseorang istri harus mengikuti suami ke

tempat tinggal kerabat dari suaminya (patrilokal), norma sosial yang lain, harta dari

seorang ayah diwariskan pada anaknya yang laki-laki. Norma sosial ini semuanya

bergabung menjadi suau lembaga atau pranata sosial, yaitu pranata atau lembaga

keluarga. Pranata ini diikuti sebagai pedoman berlaku oleh semua anggota

masyarakat, bila ada anggota masyarakat tidak mengindahkan norma sosial itu,

maka ini berarti nilai budaya yang mendasarinya diingkari, dan jika pelanggaran itu

sering terjadi, maka nilai budaya yang mendasarinya, lama-lama akan memudar dan

terancam hilang.

Sebagian dari norma sosial itu kalau dilanggar akan memperoleh sanksi yang

konkret yang dikenakan oleh petugas hukum atau wakil-wakil rakyat yang diberi

wewenang untuk itu. Sebagai contoh, ada seorang istri di Bali tidak mau mengikuti

suami ke tempat tinggal kerabatnya, maka ia akan dikenakan sanksi yaitu diceraikan.

Jadi sebagian dari nilai-nilai budaya yang tercermin dalam norma sosial juga

dimasukkan ke dalam peraturan hukum, dan karena perlindungannya terjadi melalui

proses hukum, maka usaha mencegah pelanggarannya dengan sanksi hukum,

dibandingkan dengan norma sosial yang merupakan kebiasaan saja.

Page 4: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

II. PENGERTIAN ANTROPOLOGI HUKUM

Definisi Antroplogi Hukum

Menurut Prof. Dr. T.O. Ihromi (1984:24) Antropologi Hukum adalah cabang

dari antropologi budaya yang hendak memahami bagaimana masyarakat

mempertahankan nilai-nilai yang dijunjung tinggi melalui proses pengendalian sosial

yang salah satunya berbentuk hukum. Sedangkan Prof. Dr. Nyoman Nurjaya

(2008:47) melihat definisi AH dari dua sudut. Dari optik ilmu hukum, AH pada

dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya

pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Jika dilihat

dari sudut antropologi, AH adalah sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan

kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat.

Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal balik antara

hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan

masyarakat, bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau

bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau

sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Antroplogi

Hukum merupakan salah satu ilmu empiris atau ilmu perilaku yang menitik beratkan

pada pemahaman hukum dalam sudut pandang empiris/kenyataan yaitu ilmu

antropologi. Pemahaman terhadap suatu kenyataan dalam bahasa sosiologi disebut

verstehen, menjelaskan mengapa suatu perbuatan itu terjadi. Dikaitkan dengan

kajian hukum, maka yang dipahami adalah mengapa orang yang satu melakukan

tindakan yang berbeda dengan orang yang lain pada hal aturan yang berlaku bagi

orang-orang tersebut sama. Latar belakang inilah yang ingin dicari penjelasannya

dari kacamata antropologi hukum. Perspektif ini berbeda dengan perspektif hukum

yang menjustifikasi terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran atau

kejahatan.

Manfaat Mempelajari Antropologi Hukum

Para praktisi hukum seringkali ragu-ragu mengenai apakah ada manfaat yang

dapat diambil dari AH. Mereka berkilah bahwa telaah AH akan memperdalam

pemahaman mengenai proses pengendalian sosial, latar belakang budaya dari

hukum, tetapi hasilnya tidak dapat langsung digunakan. Hal itu memang benar,

karena fungsinya lebih besar pencegahan atau preventif daripada represif, dengan

mengetahui latar belakang budaya dari suatu masyarakat dalam pengendalian

sosial akan dengan mudah mengendalikan masyarakat yang kurang atau tidak tahu

Page 5: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

hukum negara. Jadi manfaat mempelajari AH adalah untuk mengetahui gambaran

bekerjanya hukum sebagai pengendali sosial yang dilatar-belakangi oleh budaya.

Ruang Lingkup Antropologi Hukum

Ruang lingkup antropologi hukum dapat dijelaskan dengan membandingkan

dengan ilmu-ilmu yang dekat dengannya, yaitu dengan hukum adat dan sosiologi

hukum. Ada ahli antropologi yang menyamakan hukum adat dengan antropologi

hukum. Pendapat ini tidaklah salah karena pokok perhatian kedua ilmu ini bukan

pada masyarakat yang sudah maju seperti di Barat, tetapi pada masyarakat

sederhana dimana kehidupan hukum dan budayanya belum kompleks. Selain itu

kedua-duanya mempelajari gejala sosial. Bahkan hari lahirnya hukum adat yaitu 3

Oktober 1901 ketika van Vollenhoven menyampaikan kuliah inaugurasinya di

Universitas Leiden, oleh ahli antropologi hukum John Griffiths disebut juga lahirnya

Antropologi Hukum.

G.J.Resink, guru besar FHUI, seperti dikutip Prof. T.O. Ihromi, mengatakan

dalam banyak hal sebenarnya pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang

sekarang digunakan dalam AH, juga telah menjadi tradisi dalam ilmu hukum adat.

Bahkan sudah jauh-jauh hari Ter Haar menggunakan istilah etnologi hukum,

sehingga dapatlah diterima bahwa bidang yang ditelaah oleh AH dengan hukum

adat, untuk bagian besar banyak persamaannya. Bahan-bahan hukum adat dapat

dimanfaatkan dalam pengembangan AH di Indonesia, demikian sebaliknya metode-

metode penelitian dalam AH juga dapat bermanfaat bagi hukum adat itu sendiri.

Perbedaannya, dalam hukum adat yang diutamakan adalah identifikasi dari

adat yang mempunyai konsekuensi hukum. Sedangkan Antropologi Hukum,

disamping mempelajari norma hukum juga ditelaah berbagai jenis pedoman perilaku

serta hubungan di antara aneka norma itu dengan nilai-nilai budaya yang dianut

dalam suatu masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa wawasan AH lebih luas karena

tidak hanya memperhatikan hukum di Indonesia, tetapi juga bersifat komparatif

sehingga hukum ditinjau sebagai gejala yang bersifat lintas budaya.

Perbedaaan antara antropologi hukum dengan hukum adat dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

Tabel 1

Perbedaan Antropologi Hukum dengan Hukum Adat

No Item Antroplogi Hukum Hukum Adat

1 Obyek Perilaku manusia Norma hukum di luar UU

2 Pendekatan Holistik Yuridis normatif

3 Sifat Penelitian Penelitian lapangan Studi pustaka & dokumen

Page 6: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

4 Norma Kenyataan Dikehendaki

Dari tabel diatas terlihat bahwa obyek AH adalah perilaku hukum dari

manusia, sedangkan sasarannya adalah norma-norma hukum yang dipakai oleh

anggota masyarakat. Selanjutnya pendekatan yang dipakai AH adalah holistik, dari

kata whole, artinya dalam mempelajari sesuatu akan dilihat secara keseluruhan.

Meminjam teori sistem, hukum hanyalah entitas sub sistem yang dipengaruhi dan

mempengaruhi oleh sub-sub sistem yang lain, misalnya sub sistem ekonomi, sub

sistem politik, sub sistem sosial dan lain sebagainya. Kemudian dilihat dari sifat

penelitian, pada AH lebih menitik-beratkan pada penelitian lapangan (field research)

dari pada studi pustaka. Sebaliknya hukum adat, lebih mengutamakan studi pustaka

dan dokumen dari pada penelitian lapangan.

Untuk melihat ruang lingkup AH, juga akan diperlihatkan perbedaannya

dengan Sosiologi Hukum (SH), karena ilmu yang disebut terakhir ini juga

mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan AH. Ada yang mengatakan antara

AH dan SH adalah seperti dua sisi mata uang logam, bisa dibedakan tetapi tidak

dapat dipisahkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2

Perbedaan Antropologi Hukum dengan Sosiologi Hukum

No Item Antropologi Hukum Sosiologi Hukum

1 Obyek Hukum bukan Barat,

tidak tertulis

Hukum Barat/ yang

telah dipengaruhi, hk

tertulis

2 Subyek Masyarakat sederhana Masyarakat

maju/modern

3 Perspektif Budaya Sosial

4 Penelitian Kualitatif, studi kasus Kuantitatif, Sampel

Perbedaan di atas adalah perbedaan pada awalnya, dalam

perkembangannya sudah mengalami perubahan, bahkan sulit untuk dibedakan,

misalnya obyek dan subyek sudah bercampur mulai dari masyarakat sederhana

sampai masyarakat maju/modern. Hal-hal yang masih bisa dibedakan adalah

menyangkut perspektif dan metode penelitian yang masing-masing mempunyai ciri

khas.

Page 7: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

Pendekatan Antropologi Hukum

Berbicara mengenai pendekatan, adalah berbicara bagaimana cara suatu

ilmu pengetahuan mendekati obyek/sasaran kajiannya. Pendekatan AH setidaknya

ada tiga yaitu, holistik, empiris, dan komparatif. Pendekatan holistik artinya, AH

melihat gejala sosial yang ada dengan kacamata menyeluruh, dari berbagai sudut

pandang, tidak stereotip, yaitu hukum dipandang bukan hanya hukum secara an

sich, tetapi dilihat dari sudut pandang dan kaitan fungsinya dengan yang lain,

misalnya ekonomi, politik, sosial, agama dan lain sebagainya.

Sebagai ilmu perilaku/empiris, AH lebih menitik-beratkan pada kenyataan-

kenyataan hukum yang nampak dalam situasi atau peristiwa hukum (law in actions)

tidak hukum dalam peraturan perundangan tertulis (law in book). Dalam arti lain, AH

sebagai ilmu empiris mempunyai konsekuensi bahwa teorinya harus didukung oleh

fakta yang relevan atau setidaknya terwakili secara representatif. Mengikuti

pendekatan sejarah, maka metode komparatif dapat dilakukan dengan cara

penelitian sinkronis (generalizing approach) maupun penelitian diakronis (descriptive

approach). Dalam penelitian sinkronis, mencari prinsip persamaan diantara berbagai

kebudayaan. Sedangkan metode komparatif yang diakronis, meneliti suatu

masyarakat tertentu dari waktu ke waktu atau perkembangan suatu masyarakat

tertentu.

III. PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI HUKUM

Awal pemikiran antroplogis tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang

dilakukan oleh kalangan ahli antropologi, bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal

kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine

yang bertajuk The Ancient Law yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia

dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi

teori evolusionistik mengenai masyarakat dan hukum. Secara umum tema

kajian/teori-teori AH dapat dikelompokkan dalam 3 fase, yaitu Fase Evolusionisme,

Fase Fungsionalisme, Fase Pluralisme.

Fase Evolusionisme (1861-1926)

Tema-tema kajian yang dominan pada fase evolusionisme/awal

perkembangan AH adalah berkisar pada eksistensi hukum. Perspektif pada fase ini

adalah adanya anggapan hukum berevolusi/berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakatnya. Studi evolusionistik AH dimulai oleh Sir Henry Maine

Page 8: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

dalam bukunya The Ancient Law (1861), yang mengatakan bahwa perkembangan

hukum menyesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya, yang dimulai dari

masyarakat purba, masyarakat suku, dan masyarakat wilayah bersama.

Menurut Maine, pada masyarakat purba, masyarakatnya masih disibukkan

dengan urusan makanan dan melangsungkan keturunan, sehingga dikatakan pada

waktu itu belum ada hukum. Kemudian masyarakat suku menyadari bahwa mereka

berasal dari keturunan yang sama. Kesadaran ini membentuk ikatan hubungan darah

yang disebut masyarakat suku (tribal society). Pada masyarakat suku ini, kata Maine

pada dasarnya masih belum ada hukum, tetapi dikatakan ada hukum jika hukum

tersebut berlaku secara kontinyu bukan secara insidental.

Kemudian masyarakat suku timbul kesadaran baru bahwa suku-suku yang

ada bertempat tinggal pada teritorial bersama, sehingga terbentuk masyarakat

wilayah bersama. Pada masyarakat ini sudah terbentuk pemerintahan baik monarki

maupun republik. Perkembangan hukum pada masyarakat ini dibedakan menjadi

dua, masyarakat wilayah bersama yang statis (diluar Eropa dan Amerika Utara)

hukumnya masih sederhana, sedangkan pada masyarakat wilayah bersama yang

dinamis, bentuk hukumnya sudah kompleks dan modern.

Tokoh kedua pada fase evolusionisme adalah J.J. Bachofen dengan bukunya

Das Mutterecht (terbit 1861). Menurut Bachofen perkembangan masyarakat dimulai

dari Gemeinschaft menuju masyarakat gesselschaft. Masyarakat Gemeinschaft

adalah suatu masyarakat yang masih menjunjung tinggi semangat kesersamaan,

kekeluargaan, gotong-royong dalam kehidupannya. Pada masyarakat ini bentuk

hukumnya mengikuti masyarakatnya, artinya hukum yang terbentuk masih

mengutamakan hal-hal yang sifatnya komunal. Kemudian pada masyarakat

gesselschaft adalah suatu masyarakat yang sudah menggunakan rasionalisme,

individualisme, dan ekonomis dalam kehidupannya. Demikian pula hukum yang

terbentuk pada masyarakat ini menempatkan kepentingan pribadi, rasionalitas dan

ekonomis di atas kepentingan bersama.

Fase Fungsionalisme (awal abad ke-20)

Selanjutnya pada fase fungsionalisme ini, terjadi perdebatan apa itu hukum,

apakah hukum ada pada semua masyarakat, dari para peminat AH. Dimulai dari

A.R. Radcliffe Brown yang mengatakan hukum adalah suatu sistem pengendalian

sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu

bangunan negara. Alasannya, hanya dalam suatu organisasi sosial seperti negara

terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dan lain-lain

sebagai pranata neara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial

dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang

Page 9: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu negara tidak mempunyai hukum.

Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut

diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara

otomatis-spontan (automatic spontaneus submission to tradition).

Pendapat Brown ini, yang mengatakan bahwa hukum tidak semata-mata

terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu negara, tetapi hukum sebagai

sarana pengendalian sosial terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam

masyarakat sederhana, dikritik oleh Bronislaw Malinowski dalam bukunya Crime and

Punishment in Savage Society yang terbit tahun 1926menurut Malinowski juga bukan

ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis, tetapi hukum harus

diberi pengertian luas, yaitu sebagai suatu sistem pengendalian sosial (legal order

system) yang didasarkan pada prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan

publisitas (principle of publicity) yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan

masyarakat.

Pendapat Malinowski ini memperoleh komentar dan kritik dari Paul

Bohannan (Law and Warfare, Studies in the Anthopology of Conflict, 1967:45-49)

yang mengatakan sebagai berikut:

1. Mekanisme resiprositas dan publisitas sebagai kriteria untukmengatur hak dan

kewajiban dalamkehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan

hukum, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang digunakan

masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.

2. Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan,

atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan

kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan yang mencerminkan tingkah laku

yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan

kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku

dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadang kala kebiasaan bisa

sama dan sesuai dengan hukum, tetapi bisa juga bertentangan dengan norma-

norma hukum.

Oleh karena itu Bohannan mengajukan definisi hukum sebagai seperangkat

kewajiban yang dipandang sebagai hak warga masyarakat dan kewajiban bagi

warga masyarakat yang lain, yang telah dilembagakan ulang menjadi institusi hukum

untuk mencapai tujuan agar kehidupan masyarakat dapat berfungsi dan teratur.

Karena itu, dikatakan bahwa resiprositas berada pada basis kebiasaan, tetapi

kebiasaan yang telah dilembagakan sebagai norma hukum melalui tahapan yang

disebut double institutionalization of norm atau pelembagaan kembali norma.

Page 10: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

Selanjutnya, Leopold Pospisil (Anthopology of Law, A Comparative Study,

1971: 39-35) juga mengkritik Malinowski bahwa pengertian hukumnya terlalu luas,

sehingga hukum yang dimaksudkan juga dimaksudkan juga mencakup pengertian

kebiasaan-kebiasaan, bahkan semua bentuk kewajiban-kewajiban yang

berhubungan dengan aspek religi dan juga kewajiban-kewajiban yang bersifat moral

dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu Pospisil mengajukan definisi hukum sebagai

suatu aktivitas kebudayaan yang berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial.

Untuk membedakan peraturan hukum dengan noram-norma lain, yang sama-sama

mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial, maka peraturan hukum

dicirikan mempunyai 4 atribut (attributes of law) yaitu :

1. Atribut kekuasaan/otoritas (attribute of authority), adalah keputusan-keputusan

dari pemegang otoritas untuk menyelesaikan sengketa.

2. Atribut penerapan secara universal (attribute of intention of universal aplication)

artinya keputusan-keputusan pemegang otoritas juga akan diaplikasikan

terhadap peristiwa-peristiwa yang sama secara universal.

3. Atribut obligasio (attribute of obligation) berarti keputusan pemegang otoritas

tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak

untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai

kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama.

4. Atribut sanksi (attribute of sanction) keputusan-keputusan dari pihak pemegang

otoritas tersebut juga disertai penjatuhan sanksi.

Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata

berdasarkan atribut otoritas, juga diperkenalkan oleh Ter Haar dengan teorinya teori

Keputusan (beslissingenleer/ decision theory) yang mendefinisikan hukum sebagai

keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus sengketa dan non sengketa

Fase Pluralisme Hukum (1940-sekarang)

Fase ini terbagi menjadi sub-sub fase antara lain: 1) Fase antropologi hukum

penyelesaian sengketa (1940-1950-an); 2). Fase pluralisme hukum penyelesaian

sengketa dan non sengketa (1960- 1970-an); 3). Fase pluralisme hukum pengelolaan

sumber daya alam, lingkungan hidup dan lain-lain (1990- sekarang).

Pada fase AH penyelesaian sengketa, teori-teori evolusionisme dan

fungsionalisme mulai ditinggalkan dan bergeser ke arah untuk memahami

mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement) dalam

masyarakat. Metode penelitian juga sudah berganti dari studi pustaka/dokumen

menjadi studi lapangan (fields research). Karya klasik dari Karl Llewellyn dan E.A.

Hoebel bertajuk The Cheyenne Way (1941) merupakan hasil studi lapangan

Page 11: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

kolaborasi dari seorang sarjana hukum (Llewellyn) dengan ahli antropologi (Hoebel)

dalam masyarakat Indian Cheyenne di AS. Kemudian Hoebel mempublikasikan hasil

studinya dengan judul The Law of Primitive Man (1954), disusul karya Gluckman

mengenai hukum orang Barotse dan lozi di Afrika, juga karya Bohannan mengenai

hukum orang Tiv, dan Gulliver mengenai hukum orang Arusha dan Ndenduli, serta

karya Pospisil tentang hukum orang Kapauku di Papua. Pada fase ini, kajian yang

menonjol adalah penemuan hukum dengan menelusuri kasus sengketa. Pada masa

itu, untuk menemukan hukum pada masyarakat yang belum mengenal tulisan dipakai

metode 3 jalan raya hukum yaitu :

1. Metode ideologis, adalah cara penemuan hukum dengan mencari aturan atau

norma yang dipersepsikan sebagai hukum/pedoman perilaku.

2. Metode deskriftif, ialah cara penemuan hukum dengan mengamati perilaku

anggota masyarakat untuk diabstraksikan menjadi hukum.

3. Metode kasus sengketa, adalah cara penemuan hukum dengan mengikuti,

mengamati dan menelaah kasus yang telah atau sedang terjadi di masyarakat.

Menurut Hoebel, metode pertama dan kedua mempunyai kelemahan yaitu

pada metode pertama kita hanya mendapatkan aturan yang belum tentu

dipraktekkan dalam kasus yang sedang dihadapi. Sedangkan pada metode kedua,

perilaku yang muncul belum tentu menunjukkan keadaan yang sebenarnya, jika

sedang menghadapi sengketa. Oleh karena itu, metode ketiga sangat cocok dan

komplit, karena di dalamnya kita dapat menemukan apa yang ditemukan dalam

metode pertama dan kedua. Selain itu metode ini dipandang lebih ilmiah karena

menerapkan metode induktif (dari khusus ke umum).

Dalam kepustakaan sosiologi sengketa disebut dengan konflik. Pengertian

konflik adalah fenomena sosial yang bersifat semesta (universal) dan melekat

(inherent) dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu konflik tidak perlu dilihat

sebagai gejala patologis yang bersumber dari tingkah-laku devian/abnormal, karena

setiap komunitas masyarakat mempunyai kapasitas untuk menciptakan norma-

norma dan mekanisme-mekanisme tersendiri untuk menyelesaikan konflik-konflik

yang muncul dalam pergaulan sosial warga masyarakat.

Dalam perspektif antropologi hukum, fenomena konflik mempunyai makna

ganda yaitu makna negatif dan makna positif. Makna negatif, konflik menimbulkan

disintegrasi suatu kehidupan sosial dan melemahkan kohesi sosial atau

menimbulkan kerusakan suatu sistem hubungan sosial dalam masyarakat. Makna

positif, konflik dapat mempertahankan integrasi sosial, memperkokoh ikatan sosial,

memberi kontribusi untuk mengembalikan keseimbangan hubungan sosial antar

Page 12: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

individu atau kelompok. Makna positif akan terwujud jika pihak-pihak yang terlibat

konflik secara bersama-sama dapat mengelola, mengendalikan, dan menyelesaikan

konflik yang dihadapi secara dewasa, bijak, damai, dengan atau tanpa mengundang

kehadiran pihak ketiga (Gluckman, 1956).

Secara umum dikatakan bahwa terjadinya konflik dalam masyarakat

bersumber dari persoalan-persoalan sebagai berikut:

1. Penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam (natural resources

control and distribution)

2. Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelomok masyarakat (terittoriality

expantion)

3. Kegiatan ekonomi masyarakat (economic activities); dan

4. Kepadatan penduduk (density of population).

Dalam persepktif AH, konflik yang terjadi dalam masyarakat paling tidak dapat

dikategorisasi menjadi 3 macam, yaitu :

1. Konflik kepentingan (conflict of interests)

2. Konflik nilai-nilai (conflict of values)

3. Konflik norma (conflict of norms).

Nader dan Todd (1978) menyatakan bahwa pada dasarnya konflik-konflik

yang terjadi di masyarakat melalui tahapan-tahapan konflik sebagai berikut :

1. Pra konflik, adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang, bersifat

monadik

2. Konflik, adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui adanya

perasaan tidak puas tersebut, bersifat diadik.

3. Sengketa, adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum

atau melibatkan pihak ketiga, bersifat triadik atau publik.

Sedangkan model-model penyelesaian konflik yang dikenal dalam

masyarakat sederhana maupun modern adalah sebagai berikut :

1. Membiarkan saja (lumping it), salah satu pihak tidak menanggapi keluhan,

gugatan, tuntutan pihak lain atau mengabaikan konflik yang terjadi dengan pihak

lain

2. Menghindar (avoidance), salah satu pihak menghindari konflik karena tidak

berdaya atau untuk menjaga hubungan dengan pihak lain.

3. Kekerasan (coersion), penyelesaian dengan mengandalkan kekuatan fisik dan

kekerasan, seperti melakukan tindakan hukum sendiri (self-helf atau

eigenrichting) atau bentuk perang antar suku (warfare)

4. Negosiasi, melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang berkonflik

Page 13: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

5. Mediasi, melalui kesepakatan antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak ketiga

(mediator dalam penyelesaian konflik, walau hanya berfungsi sebatas perantara

(go-between) yang bersifat pasif, karena inisiatif untuk mengambil keputusan

tetap didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik

6. Arbitrase, melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut

arbitrator sebagai wasit yang memberi keputusan dan keputusan tersebut harus

ditaati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkonflik

7. Ajudikasi, melalui institusi pengadilan yang keputusannya mengikat para pihak.

Sistem nilai, norma, politik, ekonomi, dan keyakinan sangat mempengaruhi

pilihan bentuk institusi dan model-model penyelesaian konflik dalam masyarakat.

Institusi penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat paling tidak ada 2

macam , yaitu:

1. Institusi tradisional (folk institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang

masih sederhana dan subsisten, di mana relasi antar individu, hubungan

kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka maksud penyelesaian sengketa

adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis dalam masyarakat.

2. Institusi negara (state institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang sudah

kompleks dan modern, di mana relasi sosial lebih bersifat individualistik,

berorientasi pada ekonomi pasar, maka maksud penyelesaian sengketa dengan

mengacu pada hukum negara yang legalistik.

Daniel S.Lev, Indonesianis dari Amerika Serikat (1972) pernah melakukan

penelitian mengenai budaya hukum penyelesaian sengketa masyarakat pedesaan di

Jawa dan Bali menyimpulkan sebagai berikut :

1. Dalam kehidupan sosial sebagai besar masyarakat Indonesia cenderung untuk

menghindari konflik dengan siapapun, karena nilai-nilai pergaulan sosial yang

dianut lebih bersifat personal, komunal, mengutamakan solidaritas, dan

bernuansa magis. Oleh karena itu jika terjadi konflik, cenderung diselesaikan

melalui prosedur kompromi, konsiliasi, mengutamakan pendekatan personal dan

kekerabatan.

2. Konflik antar individu sedapat mungkin dihindari, dan kalaupun harus terjadi

cenderung ditutupi dengan gaya yang halus, tidak merusak hubungan/pergaulan

sosial, tidak menjatuhkan martabat/derajat pihak yang diajak konflik

3. Fokus penyelesaian konflik bukan pada penerapan peraturan hukum, tetapi lebih

pada upaya pelenyapan konflik yang menjadi sumber ketegangan sosial.

4. Makna penyelesaian konflik bukan pada persoalan kalah-menang (win-lose

solution), tetapi menjadi kewajiban para pihak untuk menghentikan perselisihan

dan meniadakan ketegangan sosial yang telah terjadi. Oleh karen itu yang

Page 14: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

diutamakan bukan penyelesaian substansi konflik tetapi lebih pada prosedur

penyelesaian konflik.

5. Para pihak yang berkonflik lebih melihat pihak ketiga (petugas hukum) dari pada

peraturan-peraturan hukum yang mengatur penyelesaian sengketanya. Oleh

karena itu petugas hukum ditaati masyarakat bukan karena alasan yang

berkaitan dengan masalah kepatuhan masyarakat terhadap hukum.

Pada Fase Pluralisme Hukum Penyelesaian Sengketa dan Non Sengketa,

tema kajian pluralisme hukum pada awalnya difokuskan pada fenomena

kemajemukan cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat melalui mekanisme

dan institusi tradisional yang dikenali masyarakat setempat (folk institution of dispute

settlement). Kemudian tema-tema studi pluralisme model penyelesaian sengketa

mulai diarahkan untuk memahami mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa

selain menurut hukum yang diberlakukan pemerintah kolonial di negeri jajahannya,

juga menurut hukum positif yang berlaku di negara-negara merdeka

Kemudian sejak tahun 1970-an tema studi AH secara sistematis difokuskan

pada korelasi antar institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional dalam

masyarakat menurut hukum rakyat (folk law) dan menurut institusi penyelesaian

sengketa menurut hukum negara (state law). Karya-karya Nader dan Todd, van

Rouveroy van Nieuwaal, serta suami-istri Franz dan Keebet von Benda Beckmann

mewakili masa itu. Nader dan Todd (1978) sebagai hasil riset dari Berkeley Village

Law Project, memfokuskan kajiannya pada proses-proses, mekanisme-mekanisme,

institusi-institusi penyelesaian sengketa yang dikenali dalam komunitas-komunitas

masyarakat tradisional maupun masyarakat modern di sepuluh negara di dunia.

Kemudian Nieuwaal melakukan riset tentang mekanisme penyelesaian sengketa

dalam kehidupan orang Togo di Afrika. Selanjutnya Franz von Benda Beckmann

(1979) dan Keebet von Benda Beckmann (1984) memberi pemahaman tentang

proses,mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa mengenai harta warisan di

kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan pengadilan negeri di

Sumatera Barat. Karya Sally Falk Moore (1978) mulai meninggalkan tema pluralisme

hukum penyelesaian sengketa berganti tema pluralisme hukum di luar penyelesaian

sengketa, dengan penelitiannya tentang persoalan agraria pada suku Chagga di

Tanzania (Afrika), mekanisme dalam proses produksi di satu pabrik garment terkenal

di Amerika Serikat. Selain itu pada tahun 1970-an kajian AH menggunakan

pendekatan sejarah untuk menjelaskan keberadaan, relasi dan interaksi institusi

hukum negara dengan hukum rakyat dalam penyelesaian sengketa, seperti yang

dilakukan Keebet von Benda Beckmann dalam karyanya yang sudah diterjemahkan

Page 15: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

dalam bahasa Indonesia, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan Nagari dan

Pengadilan Negeri di Minangkabau (2000).

Berikutnya kajian pluralisme hukum dalam berbagai hal mengemuka sejak

1970-an. Pluralisme hukum menurut Griffiths (1986:1) didefinisikan sebagai situasi

dimana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu

bidang kehidupan sosial yang sama. Sedangkan Hooker (1975:3) menjelaskan

pluralisme hukum sebagai situasi dimana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi

dalam satu kehidupan sosial. Sementara itu Franz von Benda Beckmann

mengartikan pluralisme hukum sebagai suatu kondisi dimana lebih dari satu sistem

hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan

hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat.

Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum

dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi

sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki

pemberlakuan hukum negara sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga

masyarakat, dengan mengabaikan eksistensi sistem-sistem hukum yang lain, seperti

hukum agama, hukum kebiasaan, dan semua bentuk mekanisme-mekanisme

pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat.

Jadi ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan

budaya dalam masyarakat. Oleh karena itu pemberlakuan sentralisme hukum dalam

suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya

merupakan sebuah kemustahilan.

Menurut Griffiths, pluralisme hukum pada dasarnya dibedakan menjadi dua

macam, yaitu pluralisme hukum yang kuat dan pluralisme hukum yang lemah.

Pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism) mengacu pada fakta adanya

kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang

sama kedudukannya, sehingga tidak ada hirarki yang menunjukkan hukum yang satu

lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Sedangkan pluralisme hukum yang

lemah, merupakan bentuk lain daripada sentralisme hukum, karena walaupun hukum

negara mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap

dipandang sebagai superior, sementara sistem hukum yang lain bersifat inferior.

Contoh konsep pluralisme hukum yang lemah, adalah interaksi sistem hukum

pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat dan hukum agama yang

berlangsung di negara-negara jajahan.

Setelah munculnya teori Semi Autonomous Social Field dari Sally Falk Moore

(1978), maka Griifths mengadopsi teori Moore, sehingga hukum yang dimaksud

dalam konsep pluralisme menjadi tidakt terbatas pada sistem hukum negara, hukum

Page 16: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem

normatif yang berupa mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation).

Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada

interaksi dan ko-eksitensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya

norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat.

Pada tahun 1970-an tema studi-studi AH cenderung lebih diarahkan untuk

memberi pemahaman mengenai fungsi dan peran hukum dalam fenomena

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti ditunjukkan karya

bersama Joop Spiertz dan Melanie G.Wiber (eds) yang bertajuk The Role of Law in

Natural Resources Management (1996). Kecenderungan lainnya, pada April 2002

The Commission on Folk Law and Legal Pluralism menyelenggarakan the XIII-th

International Congress and Symposium di Chiang Mai, Thailand dengan tajuk Legal

Pluralism and Unofficial Law in Social, Economic and Political Development.

Selanjutnya perkembangan terakhir pada bulan Juni 2006 lalu di Universitas

Indonesia, Jakarta The Commisionon Folk Law dan Legal Pluralism kembali

menyelenggarakan Kongres dan Simposium Internasional dengan tema Law, Power

and Culture: Transnational, National and Local Process in the Contex of Legal

Pluralism. Pada Kongres ini selain berfokus pada kemajemukan pengelolaan dan

hak penguasaan masyarakat adat atas sumber daya alam, juga dibahas topik kajian

hukum ber-perspektif jender, agama dan kemajemukan hukum, regulasi hak asasi

manusia, perlindungan HKI, masalah jaminan sosial, KDRT, trafficking (perdagangan

manusia), hak atas kesehatan reproduksi, sampai aspek penanggulangan bencana

alam.

IV. TEORI-TEORI ANTROPOLOGI HUKUM

Teori Forum Shopping-Shopping Forum dari Keebet von Benda Beckmann

(2000: 64-65) merupakan hasil penelitiannya di Sumatera Barat yang berlangsung

bulan Juni 1974 – September 1975. Teori ini dibangun dari fakta persengketaan

harta warisan kolam Batu Panjang yang diklaim oleh dua kaum yang berbeda. Dari

fakta-fakta penelitian itu, Keebet membangun sebuah teori yang di-analogkan dari

istilah hukum perdata internasional, yaitu Forum Shopping-Shopping Forum. Forum

Shopping berarti orang-orang yang bersengketa dapat memilih lembaga dan

mendasarkan pilihannya pada hasil akhir apakah yang diharapkan dari sengketa

tersebut. Sedangkan Shopping Forum berarti pihak pengadilan, baik pengadilan adat

ditingkat masyarakat maupun di pengadilan pemerintah terlibat memanipulasi

sengketa yang diharapkan dapat memberikan keuntungan politik atau malah

Page 17: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

menolak sengketa yang mereka (hakim) kawatirkan akan mengancam kepentingan

mereka.

Dikaitkan dengan kondisi sekarang ini, pada Forum Shopping, para pihak

yang bersengketa bebas memilih model penyelesaian sengketa apakah melalui jalur

di luar pengadilan (ADR) ataukah di pengadilan sesuai dengan hasil akhir yang

diharapkan. Sedangkan Shopping Forum, pihak lembaga penegak hukum (polisi,

jaksa,hakim, juga advokat) mempunyai kekuasaan apakah akan meneruskan

perkara yang diajukan kepadanya ataukah dipeti-eskan/deponeer/SKPP/ SP3 sesuai

dengan hasil akhir yang diharapkan.

Teori berikutnya dari Marc Galanter (dalam Ihromi,1993) yang bertajuk

Justice in Many Rooms. Pada masa itu terjadi dua pandangan yang berbeda tentang

hukum, di satu sisi dilihat dalam kacamata sentralisme hukum, sedangkan yang lain

melihatnya dari dimensi pluralisme hukum. Galanter melihat bahwa pada dimensi

sentralisme terdapat kelemahan-kelemahan, seolah-olah keadilan itu produk

eksklusif dari lembaga yang mendapat wewenang yuridis dari negara. Dengan

demikian ada gerak sentripetal dari masyarakat untuk menyelesaikan perkaranya,

artinya satu-satunya cara untuk mencari keadilan hanya ditemukan di temukan di

lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah. Akibatnya terjadi banyak

penumpukan perkara (terutama di MA) sehingga membutuhkan waktu yang panjang,

tenaga dan biaya yang berlebih.

Di Amerika Serikat, dengan menunjuk studi S.Macaulay, bahwa banyak

sengketa yang menurut peraturan atau perjanjian bisa diajukan ke pengadilan,

ternyata banyak yang dibiarkan berlalu, dielakkan, dibatalkan, atau diselesaikan

sendiri melalui jalur ADR (Alternative Dispute Resolution). Melihat kenyataan yang

demikian, Marc Galanter berpendapat bahwa setiap komunitas biasanya mempunyai

self regulation termasuk dalam penyelesaian sengketa yang tejadi diantara mereka.

Hingga akhirnya, Marc Galanter mencetuskan teori Justice in Many Rooms yang

mengatakan bahwa keadilan itu dapat ditemukan diberbagai tempat, tidak hanya di

lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah.

Aplikasi teori Galanter di Indonesia yang bernuansa pluralistik dapat kita

temukan, misalnya negosiasi, mediasi, arbitrase baik sengketa tentang rumah

tangga, di tempat kerja, perdagangan dan lain sebagainya. Contoh konkritnya

lembaga bipartit dan tripartit untuk sengketa perburuhan, mediasi kasus pencemaran

sungai Tapak di Semarang dan sungai Asahan di Sumatera Utara untuk sengketa

lingkungan, peran orang tua/sesepuh untuk perkara rumah tangga dan masih banyak

lagi. Bahkan sejak tahun 1999 pemerintah telah memberikan wadah dengan

Page 18: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

dikeluarkannya Undang Undang No.30 tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian

Sengketa dan Arbitrase.

Selanjutnya teori Semi Autonomous Social Fields (dalam Ihromi, 1993) yang

merupakan hasil penelitiannya di bidang agraria di Tanzania, tepatnya pada suku

Chagga. Latar belakang munculnya teori ini bermula dari adanya dikotomi tentang

hukum, dari Roscoe Pound dan Cochrane. Ahli sosiologi hukum Roscoe Pound

berpendapat bahwa hukum itu berfungsi sebagai alat untuk merubah/merekayasa

masyarakat (law as a tool of social engeneering), artinya dengan pemberlakuan

hukum dari pemerintah maka perilaku masyarakat dapat diarahkan sesuai dengan

hukum tersebut (perubahan sosial). Sebaliknya Cochrane mengemukakan bahwa

masyarakatlah yag menentukan hukum, bukan masyarakat yang diarahkan oleh

hukum dari pemerintah.

Dengan bekal pendapat yang kontradiktif tersebut, Moore ingin

membuktikannya dengan melakukan penelitian pada Suku Chagga di Tanzania yang

sedang diberlakukan UU Agraria yang baru yang intinya tidak ada lagi tanah milik

pribadi tetapi semua tanah milik negara, setiap warganegara hanya mempunyai hak

menggarap. Ternyata penerapan UU tersebut oleh pemerintah Tanzania yang

sosialis, tidak mencapai hasil yang diharapkan. Orang-orang yang dulunya tuan

tanah, dan sekarang tanahnya diambil oleh negara dan kemudian diberi tanah

garapan yang luasnya sama dengan lainnya, ternyata secara terselubung tetap

menjadi “tuan tanah”, karena jika ada orang yang dulunya tidak punya tanah

kemudian dengan UU baru dia dapat tanah, tidak dapat menggarap tanah tersebut

karena tidak punya biaya. Kemudian yang terjadi, secara diam-diam tanahnya dijual

sedikit kepada “tuan tanah” untuk memperoleh uang. Sehingga yang terjadi keadaan

kembali seperti sebelum adanya UU Agraria, yang tuan tanah kembali jadi tuan

tanah, yang miskin tetap miskin.

Akhirnya muncul satu teori dari Semi Autonomous Social Fileds dari Sally

Falk Moore yang mengatakan bahwa dalam suatu bidang kehidupan sosial secara

internal dapat membangkitkan aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, sistem-sistem,

tetapi di lain pihak juga rentan menjadi sasaran dari aturan-aturan dan kekuatan-

kekuatan lain yang berasal dari eksternal yang mengitarinya.

Teori terakhir dari Michel Lipsky yang bertajuk Street Level Bureaucracy

(dalam Masinambouw, 2000:168) berpendapat bahwa para birokrat tingkat bawah

yang langsung berhadapan dengan masyarakat mengamban dua tugas sekaligus:

1). sebagai pelaksana peraturan/kebijakan; 2). dalam diri mereka melekat diskresi

(kebijaksanaan). Teori Steet Level Bureaucracy mengatakan bahwa ada

kecenderungan birokrat tingkat bawah untuk melakukan diskresi yang

Page 19: Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP

menguntungkan dirinya sendiri. Berbagai contoh di Indonesia, adalah pungutan-

pungutan liar untuk mengurus KTP, SIM, Paspor, perijinan, sertifikat tanah, bahkan

termasuk pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain.