Mas Gagah Perwira Pratama

4
Mas Gagah Perwira Pratama By: Eri Muriyan /FIB UB 2013 Mas Gagah Perwira Pratama, akrab dipanggil Mas Gagah. Sosok ideal segaimana disebut sebagai mahasiswa UI, cerdas, periang, mandiri, moderat, dan ganteng. Semua orang menyukainya, semua orang yang pernah melihatnya. Tak terkecuali kakek-nenek, adik-kakak, orang tua, dan tetangga dari teman-teman dekat Gita Ayu Pratiwi, adik Mas Gagah. Cerpen Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) awalnya ditulis sebagai tugas kuliah Sastra Populer tahun 1992 di Fakultas Sastra, UI. Helvy Tiana Rosa, mengaku menulis cerpen remaja itu sebab tahun 1992 belum ada cerpen dengan nuansa Islam yang kental. Kalaupun ada prosa bernuansa Islam, misal karya Hamka atau Ahmad Tohari, itu lebih ditujukan kepada peminat sastra secara umum, bukan khusus kepada remaja. KMGP pertama kali dimuat di majalah Anninda, September 1993. Terbit sebagai kumcer dengan 11 kisah lainnya yang juga pernah dimuat dalam majalah yang sama, tahun 1997. Oleh Pustaka Anninda, kumcer KMGP berhasil terjual 10.000 eksemplar dalam waktu seminggu sebelum turun cetak. Kumcer yang saya miliki ini adalah salah satu dari terbitan pertamanya. Cerita tentang Mas Gagah berakhir pada kematian. Mas Gagah mengalami kecelakaan sepulang dari mengisi pengajian di luar kota. Mas Gagah yang pergi meninggalkan Gita untuk selamanya itu adalah Mas Gagah yang sudah berbulan-bulan berubah. Berubah menjadi rajin shalat tepat waktu dan berjamaah di masjid, suka ngomong agama, suka ngaji, juga baca buku-buku Islam. Berubah menjadi

description

Mas Gagah Perwira Pratama

Transcript of Mas Gagah Perwira Pratama

Mas Gagah Perwira Pratama

By: Eri Muriyan /FIB UB 2013

Mas Gagah Perwira Pratama, akrab dipanggil Mas Gagah. Sosok ideal segaimana disebut sebagai mahasiswa UI, cerdas, periang, mandiri, moderat, dan ganteng. Semua orang menyukainya, semua orang yang pernah melihatnya. Tak terkecuali kakek-nenek, adik-kakak, orang tua, dan tetangga dari teman-teman dekat Gita Ayu Pratiwi, adik Mas Gagah.

Cerpen Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) awalnya ditulis sebagai tugas kuliah Sastra Populer tahun 1992 di Fakultas Sastra, UI. Helvy Tiana Rosa, mengaku menulis cerpen remaja itu sebab tahun 1992 belum ada cerpen dengan nuansa Islam yang kental. Kalaupun ada prosa bernuansa Islam, misal karya Hamka atau Ahmad Tohari, itu lebih ditujukan kepada peminat sastra secara umum, bukan khusus kepada remaja.

KMGP pertama kali dimuat di majalah Anninda, September 1993. Terbit sebagai kumcer dengan 11 kisah lainnya yang juga pernah dimuat dalam majalah yang sama, tahun 1997. Oleh Pustaka Anninda, kumcer KMGP berhasil terjual 10.000 eksemplar dalam waktu seminggu sebelum turun cetak. Kumcer yang saya miliki ini adalah salah satu dari terbitan pertamanya.

Cerita tentang Mas Gagah berakhir pada kematian. Mas Gagah mengalami kecelakaan sepulang dari mengisi pengajian di luar kota. Mas Gagah yang pergi meninggalkan Gita untuk selamanya itu adalah Mas Gagah yang sudah berbulan-bulan berubah. Berubah menjadi rajin shalat tepat waktu dan berjamaah di masjid, suka ngomong agama, suka ngaji, juga baca buku-buku Islam. Berubah menjadi pendiam/kalem, ogah bercanda dan tertawa terbahak-bahak bersama perempuan, ogah bersentuhan dengan lawan jenis. Berubah dari lelaki keren, menjadi lelaki alim.

Perpisahan antara Mas Gagah dan Gita memang merupakan sebuah kesedihan. Namun di balik itu, adalah nilai moral yang berseberangan dengan kesedihan; bahagia atau keikhlasan. Setidaknya kebahagiaan/keikhlasan itu walau tidak diceritakan secara langsung dalam cerita, pembaca sendirilah yang merengkuhnya. Kenapa? Gita, dalam pergulatan batin yang tidak terlalu bagus (atau memang tidak bagus) diungkap dalam cerita, dari perempuan tomboi tak berjilbab menjadi berjilbab, berpakaian anggun, mendapat hidayah, meski Mas Gagah hanya sempat melihat jilbab Gita sekejab jelang kepergiannya. Juga kondisi kepergian Mas Gagah yang meninggalkan keluarga dengan keadaan shalih apalagi sedang mengajarkan ilmu.

11 cerita lain dalam kumcer ini semua bercerita tentang keterpisahan. 3 cerpen dengan tokoh meninggal dunia, meninggal yang sekaligus berarti syahid. Lainnya berpisah sebab tokoh ditinggal pergi sebab keadaan yang mengharuskan pergi atau pun tokoh yang memilih memutuskan untuk pergi sebab itu pilihan kuat dalam dirinya. Narasi keterpisahan seringkali berarti kemarahan dan ketidakterimaan. Namun pada keduabelas cerpen dalam kumcer ini, keterpisahan yang memang selalu berdimensi kesedihan, tidak begitu, kondisi yang sangat tidak mengenakkan pun, bisa berbuah keikhlasan, lega, haru, dan diliputi harapan baik. Syahid, bekal iman, idealisme, dan ukhuwah atau rasa bersaudara. Hanya satu cerpen yang bernada menggugat, berjudul Diary Saliha, cerita seorang anak yang berharap saudara seimannya menolongnya di saat ia membutuhkan. Saya tidak jago menganalisis, tulisan ini hanya sekelebat pikiran. Bila ingin nikmati, sila lahab sendiri.

Karya sastra yang juga berfungsi sebagai rekaman budaya masa diaman ia ditulis, dalam kumcer KMGP ini agaknya memang jelas. Penulis yang berada dengan satu jalur gerakan Tarbiyah di tahun-tahun itu, terasa pikiran dan perasaan yang ia tuangkan dalam karya-karyanya ini. Kepedulian terhadap Palestina, Bosnia, dan negeri-negeri muslim lain misal. Menarik sekali.

Karya-karya Helvy Tiana Rosa memang dikenal sarat nuansa Islam. Karenanya ia dikenal pula sebagai pelopor fiksi Islami. Karya sastra remaja bernuansa Islam memang menjamur di tahun-tahun itu, terutama setelah Forum Lingkar Pena ia dirikan di tahun 1997. Tahun 1970-1990, adalah tahun gerakan Tarbiyah di Indonesia menggeliat. Helvy, bukan kader partai yang lahir dari gerakan itu, ia hanya simpatisan, sebgaimana ia akui dalam buku Bukan Negeri Dongen, sebuah buku yang menceritakan kisah-kisah aktivis dalam partai dakwah. Kritikan bahkan cibiran dari sisi berlawanan yang sering menyebut Helvy sebagai pendakwah alih-alih sastrawan, juga ejekan kepada FLP yang disebut lebih mirip lembaga dakwah daripada lembaga sastra, bagi saya memang dilematis. Mereka yang berseberangan sebenarnya, seringkali juga mungkin patut disebut lebih mirip provokator berselubung kental ideologi mereka sendiri daripada sastrawan. Karya-karya yang terlampau dijejali nilai-nilai dalam benak penulis memang menjengkelkan, apalagi bila penulis menuangkannya secara bernafsu dan bertebaran. Pendakwah dan provokator di antara sastrawan bagi saya memang mirip-mirip. Kritik memang budaya penting dalam sastra. Namun takut berkarya sebab keduanya, atau abai pada keduanya juga tidak bagus.

Saya belum melihat film KMGP, sepertinya memang tidak ingin melihat. Lebih tertarik miliki KMGP versi cetak noveletnya. Sebagaimana saya sedang tertarik dengan kumcer-kumcer, akhir-akhir ini.