Married Preparedness
-
Upload
taqwa-ninda -
Category
Documents
-
view
219 -
download
5
description
Transcript of Married Preparedness
-
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam menjalani kehidupan, seorang manusia memiliki kodrat-kodrat yang
harus dijalaninya. Kodrat tersebut antara lain lahir, menikah dan meninggal dunia.
Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia dibekali dorongan untuk
menarik perhatian lawan jenisnya guna mencari pasangan hidupnya. Manusia mulai
mencari pasangannya diawali dari masa pubertas yaitu suatu masa awal ketertarikan
dengan lawan jenis yang berawal dari usia sekitar 12,5 14,5 tahun pada perempuan
dan 14 16,5 tahun pada laki-laki (Hurlock, 1980). Masa berikutnya adalah masa
pacaran dan diakhiri dengan masa pernikahan.
Menurut teori perkembangan, masa usia menikah adalah saat usia dewasa awal
yaitu 20-40 tahun (Papalia, Olds & Feldmann, 1998) atau usia 18-40 tahun (Hurlock,
1980). Dengan kata lain, masa dewasa awal merupakan masa dimana seorang
individu mulai mengemban tugas untuk menikah dan membina keluarga. Hal ini
sejalan dengan pendapat dari Havighurst (dalam Hurlock, 1990) yang menyatakan
bahwa tugas perkembangan yang menjadi karakteristik masa dewasa awal adalah
mulai memilih pasangan hidup dan mulai bekerja. Hurlock (1990) menambahkan
bahwa masa dewasa awal merupakan masa bermasalah karena pada masa dewasa
awal banyak masalah yang ditimbulkan oleh penyesuaian diri terhadap hal-hal yang
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
berkaitan dengan persiapan pernikahan dan juga karir. Artinya, karir dan persiapan
menuju kehidupan pernikahan adalah dua tugas penting yang hadir di waktu yang
bersamaan.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa selain menikah dan membina
kehidupan berkeluarga, tugas perkembangan lainnya yang dihadapi oleh individu
dewasa awal adalah bekerja dan berkarir. Hal ini berarti bahwa semua individu
dewasa awal dituntut untuk bekerja, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena
itu tidaklah mengherankan bila hampir sebagian besar individu dewasa awal
berkecimpung dalam dunia kerja, baik laki-laki maupun wanita.
Abad 21 dicirikan dengan persaingan di dunia kerja dan peluang tersebut
sangat terbuka bagi para wanita (Bhatnagar & Rajadhyaksha, 2001). Hal ini
dipengaruhi oleh semakin tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para
wanita. Pendidikan dipergunakan sebagai salah satu ukuran dari tingkat kemampuan
sumber daya manusia yang menjadi bekal dalam memasuki lapangan pekerjaan
(dalam Indikator Sosial Wanita Indonesia, 1999). Seiring dengan tingginya tingkat
pendidikan dewasa ini, banyak wanita usia dewasa awal memasuki dunia
profesionalisme dengan bekerja. Peran pendidikan terhadap aspirasi untuk bekerja
ditambahkan Papalia, Olds & Feldman (1998) dengan menyatakan bahwa individu
yang berpendidikan tinggi jarang menjadi pengangguran dibandingkan berpendidikan
rendah.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
Banyaknya wanita yang bekerja setelah mereka menyelesaikan pendidikan
tingginya, membawa akibat bagi tugas perkembangan lain. Semakin tinggi tingkat
pendidikan yang dijalani, semakin berambisi pula para wanita untuk menjadi pekerja.
Hal ini meningkatkan komitmen terhadap karir dan penundaan terhadap pernikahan
(Betz, 1993; Spain & Bianchi, 1996). Namun demikian, Bridges (1997) mengatakan
meskipun banyak wanita bekerja yang menunda untuk menikah, mereka tetap
memiliki keinginan untuk membuat suatu komitmen pernikahan dalam hidup.
Bagi wanita, bekerja merupakan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri.
Bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya sendiri dengan cara
yang kreatif dan produktif untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan
kebanggaan terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya tersebut mendapatkan
penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui bekerja, wanita berusaha
menemukan arti dan identitas dirinya, dan pencapaian tersebut mendatangkan rasa
percaya diri dan kebahagiaan (Rini, 2002).
Disamping kebutuhan aktualisasi diri, wanita bekerja di luar rumah
diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka (Rini, 2002).
Kebutuhan finansial ini berkaitan dengan kesiapan sosial ekonomi sebelum
memasuki pernikahan (Walgito, 2000). Hal ini diperkuat oleh Smock (2003) bahwa
faktor sosial ekonomi menjadi faktor yang diharapkan wanita dalam pernikahan.
White & Rogers (2000) mengatakan bahwa wanita yang telah bekerja sebelum
menikah biasanya akan terus melanjutkan bekerja setelah ia menikah karena
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
kontribusi wanita dalam hal pendapatan keluarga menjadi hal penting yang dapat
meningkatkan keutuhan rumah tangga.
Fenomena yang berkembang di masyarakat banyak wanita bekerja yang belum
menikah merasa ragu dan bimbang tentang kesuksesan mereka memasuki kehidupan
berumah tangga. Kecenderungan yang terjadi adalah penundaan pernikahan.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas muncul suatu fenomena yang patut untuk
dipertanyakan yaitu bagaimanakah kesiapan menikah wanita dewasa awal yang
bekerja? Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kesiapan mereka untuk
menikah ?
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Kesiapan Menikah
1. Pengertian Kesiapan Menikah
Sebelum diuraikan mengenai pengertian kesiapan menikah, terlebih dahulu
diuraikan pengertian dari pernikahan itu sendiri.
Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang
didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang,
pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga merupakan
awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan jenis
serta lahirnya anak-anak (Papalia, Olds, & Feldman, 1998).
Duvall & Miller (1985) menyatakan bahwa pernikahan adalah hubungan
antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat, yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas
masing-masing sebagai suami dan sebagai isteri.
Pernikahan menurut Dariyo (2003) adalah ikatan kudus antara pasangan dari
seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah
memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus (holy
relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan seorang wanita
telah diakui secara sah dalam hukum agama.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
Kesiapan menurut Chaplin (1989) adalah tingkat perkembangan dari
kematangan atau kedewasaan yang menguntungkan untuk mempraktekkan sesuatu.
Sementara itu Corsini (2002) menyatakan bahwa kesiapan adalah berkembang
atau mempersiapkan diri dalam belajar dan memperoleh beberapa tugas
perkembangan atau keahlian khusus berdasarkan perkembangan fisik, sosial dan
intelektual.
Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1
tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah
adalah kesediaan individu untuk mempersiapkan diri membentuk suatu ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga dan rumah tangga yang kekal yang diakui secara agama, hukum dan
masyarakat.
2. Kriteria Kesiapan Menikah
Kesiapan menikah merupakan hal yang sangat penting agar tugas-tugas
perkembangan dalam pernikahan dapat terpenuhi.
Kesiapan menikah tidak dipandang dari usia individu yang akan menikah
(Duvall & Miller, 1985). Usia individu dalam menikah bervariasi disebabkan oleh
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
banyak hal, antara lain (1) Pencapaian pendidikan; (2) Perbedaan individu; (3)
Perubahan keadaan sosial ekonomi.
Menurut Rapaport (dalam Duvall & Miller, 1985), seseorang dinyatakan siap
untuk menikah apabila memenuhi kriteria :
a. Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.
b. Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak.
c. Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan
seksual.
d. Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.
e. Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain.
f. Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.
g. Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan
harapan.
h. Bersedia berbagi rencana dengan orang lain.
i. Bersedia menerima keterbatasan orang lain.
j. Realistik terhadap karakteristik orang lain
k. Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang
berhubungan dengan ekonomi.
l. Bersedia menjadi suami atau isteri yang bertanggung jawab.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah
Walgito (2000) mengatakan bahwa kesiapan untuk memasuki dunia
perkawinan dipengaruhi oleh :
a. Faktor fisiologis
Faktor fisiologis ini berkaitan dengan 3 hal yaitu segi kesehatan, keturunan
dan sexual fitness.
1) Kesehatan, bahwa keadaan kesehatan seseorang dalam hubungannya
dengan perkawianan merupakan satu faktor penting dan merupakan faktor
esensial dalam perkawinan.
2) Keturunan, masalah keturunan ini juga merupakan persoalan dalam
perkawinan, karena dalam perkawinan pasangan suami isteri
menginginkan keturunan yang baik oleh karena itu masalah keturunan ini
menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.
3) Sexual Fitness, terkait dengan apakah individu dapat melakukan
hubungan seksual secara wajar atau tidak.
b. Faktor sosial ekonomi
Faktor ini merupakan faktor yang perlu mendapat pertimbangan dalam
perkawinan, sekalipun ada sementara pihak yang memandang hal ini
bukanlah merupakan suatu faktor yang mutlak, namun perlu
dipertimbangkan sebelum menikah.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
c. Faktor agama dan kepercayaan
Dalam pernikahan faktor agama atau kepercayaan hendaknya menjadi
perhatian pasangan. Sebaiknya pasangan memiliki agama yang sama.
Dengan kesamaan agama maka akan meminimalkan munculnya
perbedaan yang terkait dengan agama tersebut.
d. Faktor psikologis
Kedewasaan dalam sisi psikologis merupakan faktor yang dituntut dalam
perkawinan. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah kematangan
emosi, toleransi atau kesiapan untuk berkorban, sikap saling pengertian,
saling mengerti akan kebutuhan masing-masing pihak, dapat saling
memberi dan menerima kasih sayang, sikap saling mempercayai, adanya
keterbukaan dalam komunikasi, kesiapan diri untuk lepas dari orang tua
untuk hidup mandiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor
yang dapat mempengaruhi kesiapan seorang individu untuk menikah. Faktor-faktor
tersebut yaitu fisiologis, sosial ekonomi, agama dan kepercayaan serta psikologis.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
B Dewasa Awal
1. Pengertian Dewasa Awal
Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang
berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi
dewasa. Oleh karena itu orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan
orang dewasa lainnya (Hurlock,1990).
Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan tanggung
jawabnya tentu makin bertambah besar. Ia tak lagi harus bergantung secara ekonomis,
sosiologis maupun psikologis pada orang tuanya (Dariyo, 2003).
Hurlock (1990) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18
tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis
yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Sementara itu, Dariyo (2003)
mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa muda (young
adulthood) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.
Vaillant (dalam Papalia,dkk 1998) membagi tiga masa dewasa awal yaitu
masa pembentukan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukan dimulai
pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri
dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan
persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30 40 tahun) merupakan masa konsolidasi
karir dan memperkuat ikatan perkawinan, sedangkan masa transisi (sekitar usia 40
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
tahun) merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi
terhadap hal yang telah diperoleh.
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu
yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam
masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai
posisi puncak dan berusia antara 20 hingga 40 tahun.
2. Karakteristik Masa Dewasa Awal
Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tersendiri. Seperti
halnya tahap perkembangan lain, masa dewasa awal ditandai dengan berbagai
karakteristik khas. Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara fisik, seorang dewasa
muda (young adulthood) menampilkan profil yang sempurna dalam arti bahwa
pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak.
Mereka memiliki daya tahan dan taraf kesehatan yang prima sehingga dalam
melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatif, kreatif, energik, cepat dan proaktif.
Dalam perkembangan psikososial masa dewasa awal terdapat krisis intimacy
versus isolation (Erikson, dalam Papalia, dkk. 1998). Pada masa dewasa awal inilah
individu membuat komitmen personal yang dalam dengan orang lain, yakni dengan
membentuk keluarga. Apabila individu dewasa awal tidak mampu melakukannya,
maka akan merasa kesepian dan krisis keterasingan (isolation).
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
Vaillant (dalam Papalia, dkk. 1998) mengatakan bahwa masa dewasa awal ini
merupakan masa adaptasi dengan kehidupan. Sekitar usia dua puluhan hingga tiga
puluh individu dewasa awal mulai membangun apa yang ada pada dirinya, mencapai
kemandirian, menikah, mempunyai anak, dan membangun persahabatan yang erat.
Vaillant (dalam Papalia, Olds & Feldman, 1998) mengidentifikasi empat karakter dari
masa dewasa awal sebagai mekanisme adaptasi yaitu menjadi matang, tidak matang,
psikosis dan neurosis. Individu yang matang, secara fisik dan mental lebih sehat,
lebih bahagia, dan lebih puas dalam kehidupan pribadi dan pekerjaannya.
Sementara itu Havighurst (dalam Hurlock, 1990) menjelaskan beberapa tugas
perkembangan pada masa dewasa awal, diantaranya mulai bekerja, memilih
pasangan, belajar hidup dengan pasangan dan mulai membina keluarga.
Sejalan dengan pendapat tokoh-tokoh psikologi di atas dapat disimpulkan
bahwa karakteristik masa dewasa awal yaitu masa yang ditandai dengan
perkembangan fisik yang optimal, masa membangun hubungan baru dan membentuk
komitmen pernikahan serta mulai bekerja.
C Wanita Bekerja
1 Pengertian Wanita Bekerja
Tingginya tingkat pendidikan dewasa ini membuat banyak wanita usia dewasa
awal memasuki dunia profesionalisme dengan bekerja. Abad 21 juga dicirikan
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
dengan persaingan di dunia kerja dan peluang tersebut sangat terbuka bagi para
wanita (Bhatnagar & Rajadhyaksha, 2001).
Corsini (2002) mengartikan bekerja dalam berbagai kajian psikologi mengacu
pada tingkah laku manusia yang memiliki tujuan, disiplin dan terstruktur dalam tugas
dan waktu, memerlukan kemampuan fisik dan mental serta lebih merupakan suatu
kewajiban daripada tindakan yang sukarela.
Suryadi (dalam Anoraga, 2001) mengartikan wanita bekerja sebagai wanita
yang bekerja untuk menghasilkan uang atau lebih cenderung pada pemanfaatan
kemampuan jiwa atau karena adanya suatu peraturan sehingga memperoleh kemajuan
dan perkembangan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain.
Dari Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wanita bekerja adalah wanita
yang melakukan kegiatan dengan tujuan tertentu, penuh disiplin dan terstruktur dalam
tugas dan waktu untuk menghasilkan uang dan pemanfaatan kemampuan jiwa.
2. Faktor-Faktor yang Mendorong Wanita Bekerja
Rini (2002) mengemukakan beberapa faktor yang mendorong wanita bekerja
di luar rumah, yaitu :
a. Kebutuhan Finansial
Faktor ekonomi umumnya menjadi alasan seorang wanita bekerja karena
dengan penghasilan yang diperoleh, dapat dipenuhi kebutuhan sehari-hari
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
b. Kebutuhan Relasional
Kebutuhan sosial dan relasional merupakan kebutuhan akan penerimaan
sosial, identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja.
c. Kebutuhan Aktualisasi diri
Bekerja merupakan salah satu jalan untuk mengaktualisasika diri, sesuai
dengan pendapat Maslow (dalam Rini 2002) bahwa salah satu kebutuhan
bagi manusia adalah kebutuhan aktualisasi diri. Dengan bekerja, seseorang
dapat berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri,
mengembangkan diri dengan orang lain, membagikan ilmu dan
pengalaman, menghasilkan sesuatu, mendapatkan penghargaan,
penerimaan dan prestasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong
wanita bekerja yaitu kebutuhan finansial, kebutuhan relasional, dan kebutuhan
aktualisasi diri.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
BAB III
PENUTUP
Masa dewasa awal merupakan masa dimana seorang individu mulai
mengemban tugas untuk menikah dan membina keluarga. Namun disisi lain juga
dituntut untuk bekerja dan berkarir. Kondisi yang demikian berlaku untuk laki-laki
dan wanita. Hal tersebut menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita memiliki
kewajiban yang sama untuk bekerja.
Ada banyak alasan yang mendorong seorang wanita bekerja di luar rumah,
salah satunya yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Bekerja memberikan
kesempatan kepada seorang wanita untuk mengekspresikan dirinya sendiri dengan
cara yang kreatif dan produktif guna menghasilkan sesuatu yang mendatangkan
kebanggaan terhadap diri sendiri. Kebanggan tesebut terutama terwujud jika
prestasinya tersebut mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui
bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya. Bila wanita berhasil
menemukan arti dan identitas dirinya maka akan tmbul rasa percaya diri dan
kebahagiaan pada dirinya.
Selain didorong oleh kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, alasan lain
yang mendorong wanita bekerja di luar rumah adalah untuk memenuhi kebutuhan
finansial. Kebutuhan finansial ini berkaitan dengan kesiapan sosial ekonomi sebelum
memasuki pernikahan (Walgito, 2000). Hal ini diperkuat oleh Smock (2003) bahwa
faktor sosial ekonomi menjadi faktor yang diharapkan wanita dalam pernikahan.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
White & Rogers (2000) mengatakan bahwa wanita yang telah bekerja sebelum
menikah biasanya akan terus melanjutkan bekerja setelah ia menikah karena
kontribusi wanita dalam hal pendapatan keluarga menjadi hal penting yang dapat
meningkatkan keutuhan rumah tangga.
Hal lain yang turut mendukung kesempatan wanita mendapatkan pekerjaan
adalah semakin tingginya tingkat pendidikan yang mampu dan bisa diraih oleh
seorang wanita terutama di Indonesia. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan
yang dimiliki membuat peluang wanita untuk bisa mendapatkan pekerjaan dengan
level dan gaji yang lebih tinggi lebih terbuka lebar. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan bila banyak wanita masa kini yang menduduki level manajerial di
berbagai perusahaan.
Kondisi dimana wanita memiliki peluang untuk bisa bersaing di pasar kerja
lokal, nasional maupun internasional membuat mereka mampu mendapatkan
penghasilan yang memuaskan. Hal ini membuat mereka cukup mapan secara
ekonomi. Dengan demikian seharusnya mereka menjadi lebih siap untuk bisa
memasuki jenjang pernikahan karena tidak lagi dibebani oleh masalah financial.
Namun fenomena yang terjadi belakangan ini justru sebaliknya. Meskipun wanita
bekerja secara umum telah mapan secara ekonomi, sebagian dari mereka masih
merasa tidak siap untuk menikah dan yang terjadi adalah penundaan pernikahan.
Adanya ketakutan menghadapi krisis pernikahan dan berujung perceraian
merupakan hal/kondisi yang membuat wanita bekerja ragu tentang kesiapan menikah
mereka. Ditambah lagi maraknya perceraian yang dipublikasikan di media massa saat
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
ini sehingga perceraian dianggap menjadi fenomena biasa (Mengapa Takut
Menikah, 2002).
Menurut Walgito (2003), terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
kesiapan seseorang memasuki dunia pernikahan.
Salah satu penyebab wanita bekerja memutuskan untuk menunda pernikahan
adalah keraguan dapat berbagi secara mental dan emosional dengan pasangan.
Ketidaksiapan menikah yang dimiliki wanita bekerja termanifestasi dengan adanya
ketakutan menghadapi krisis perkawinan serta ragu tentang kemampuan mereka
berbagi secara emosional dengan pasangannya kelak (Kuntowati, 2003).
Duvall (1993) mengatakan bahwa salah satu hal yang harus dipersiapkan
sebelum memasuki jenjang pernikahan adalah kemampuan menguasai diri secara
emosional. Kemampuan menguasai diri secara emosional ini menurut Walgito (2000)
berkaitan dengan kesiapan psikologis dalam memasuki pernikahan yaitu memiliki
kematangan emosi. Lebih lanjut Walgito (2000) menyatakan apabila individu telah
matang emosinya dan telah mampu mengendalikan emosinya, maka individu akan
berpikir secara obyektif sehingga dapat melihat permasalahan yang terjadi dalam
kehidupan khususnya kehidupan rumah tangga secara baik dan obyektif pula. Hal ini
diperkuat oleh Larson (2000) bahwa kematangan emosi sangat berperan dalam
mengurangi konflik baik pada pasangan yang sedang menjalin hubungan intim
maupun mengurangi tingkat perceraian pada pasangan suami istri.
Selain masalah kematangan emosi dan kesiapan psikologis, kondisi kesehatan
seorang individu juga turut mempengaruhi kesiapannya untuk memasuki jenjang
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
pernikahan. Individu yang merasa dirinya kurang/tidak memiliki kondisi kesehatan
yang prima cenderung untuk ragu melangkah menuju jenjang pernikahan. Misalnya,
individu dengan status kesehatan yang buruk, memiliki beberapa riwayat penyakit
degeneratif seperti diabetes melitus, cenderung merasa takut untuk menikah dengan
individu lain.
Masalah keturunan juga merupakan persoalan dalam perkawinan, karena
dalam perkawinan pasangan suami isteri menginginkan keturunan yang baik oleh
karena itu masalah keturunan ini menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.
Individu wanita yang merasa kurang subur atau berasal dari keturunan yang memiliki
riwayat sulit memiliki keturunan, cenderung lebih merasa takut untuk menikah
dibanding dengan wanita yang berasal dari keluarga yang subur. Atau, wanita yang
merasa tidak siap untuk memiliki anak/keturunan juga cenderung takut untuk
mengikat komitmen dalam ikatan perkawinan.
Hal lain yang juga turut mempengaruhi kesiapan menikah pada seorang
individu adalah Sexual Fitness, terkait dengan apakah individu dapat melakukan
hubungan seksual secara wajar atau tidak. Individu yang memiliki masalah seksual
seperti disfungsi ereksi (pada pria) dan vaginismus (pada wanita) cenderung lebih
merasa kurang siap untuk mengikat tali perkawinan dengan individu lainnya.
Dalam pernikahan faktor agama atau kepercayaan juga hendaknya menjadi
perhatian pasangan. Sebaiknya pasangan memiliki agama yang sama. Dengan
kesamaan agama maka akan meminimalkan munculnya perbedaan yang terkait
dengan agama tersebut.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
Dengan memperhatikan segala faktor-faktor tersebut di atas, individu
khususnya para wanita bekerja, diharapkan mampu mengatasi ketidaksiapannya
untuk menikah. Untuk mengethaui apakah anda telah siap menikah atau tidak, ada
beberapa kriteria yang perlu diperhatikan :
1. Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.
2. Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak.
3. Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual.
4. Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.
5. Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain.
6. Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.
7. Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan.
8. Bersedia berbagi rencana dengan orang lain.
9. Bersedia menerima keterbatasan orang lain.
10. Realistik terhadap karakteristik orang lain
11. Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang
berhubungan dengan ekonomi.
12. Bersedia menjadi suami atau isteri yang bertanggung jawab.
Pada akhirnya dipahami bahwa pernikahan yang mendasari pembentukan
suatu keluarga dapat diumpamakan sebagai suatu perjalanan panjang yang penuh
kebahagiaan dan memuaskan apabila dipersiapkan secara matang, sebaliknya dapat
menyebabkan distress dan tekanan batin jika tidak dipersiapkan dengan matang
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
(Gunarsa, 2002). Kesiapan menikah dapat membuat suatu dunia yang berbeda dan
dapat memberikan lebih banyak kebahagiaan bagi pasangan yang menikah (Silliman
dalam Rahmi, 2003). Individu yang memiliki kematangan emosi akan memiliki
kesiapan menikah yang lebih baik, artinya mereka mampu mengatasi perubahan-
perubahan dan beradaptasi setelah memasuki pernikahan.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, P. (2001). Psikologi kerja. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Betz, N. (1993). Womenscareer development, psychology of women : A Handbook of Issues and Theories. Wetsport CT : Greenwood.
Bhatnagar, D., & Rajadyaksha, U. (2001). Attitudes toward work and family roles
and their implication for career growth of women. Sex Roles : A Journal of Research. [On-line serial] Available FTP: findarticles.com /p/articles/mi_m2294/is_2001_oct/ai_85176435/pg_6.
Bridges, J.S. (1997). College females perception of adult rolesand occupational fields of women, Sex Roles : A Journal of Research [On-line] Available FTP: findarticles.com/ p/articles/ mi_m2334/ is_1987_jun/ ai_8512425/ pg_15.
Chaplin, J.P. (1989). Kamus lengkap psikologi. Jakarta : Rajawali Press. Corsini. (2002). The dictionary of psychology London : Macmillan. Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama. Duvall, E.M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development, (9th Ed)
NY. Harper & Row Publishers. Hurlock, E.B. (1990). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga. Indikator Sosial Wanita Indonesia. (1999). Badan Pusat Statistik. Jakarta : BPS. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman R.D. (1998). Human development (7th Ed).
USA. Mc.Graw Hill Companies. Rini, J.F. (2002). Wanita bekerja. [On-line] Available FTP: e-psikologi.com . Smock, P. (2003). Income and education linked to marriage plans-relationship.
psychology today. [On-line] Available FTP:findarticles.com/p/articles/ mi_m1175/is_2_36/ai_100736606.
Spain, D., & Bianchi, S.M. (1996). Balancing act: motherhood, marriage, and
employment among american women. New York : Russel Sage Foundation.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
Walgito, B (2000). Psikologi sosial suatu pengantar. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
White, L. & Rogers, S.J. (2000). Economic circumstances and family outcomes : A
review of the 1990s. Journal of Marriage and The Family [On-line] Available FTP: ask.com.
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberi kemudahan dalam menyelesaikan makalah ini sehingga dapat
diselesaikan di tengah aktivitas yang tiada hentinya. Makalah ini ditulis dengan
tujuan memenuhi persyaratan pengurusan fungsional sebagai staf pengajar di
Universitas Sumatera Utara. Selain itu, penulis juga berharap agar tulisan ini dapat
memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi banyak pihak terutama para wanita
dewasa awal yang bekerja sehubungan dengan kesiapan merek untuk menikah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan memiliki
banyak kekurangan. Oleh karenanya penulis mengharapkan masukan dari para
pembaca demi penyempurnaan makalah ini. Dalam kesempatan ini, penulis juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Ketua Program Studi Psikologi
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
mengabdikan diri di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada suami dan anak-anak tercinta yang telah
menyemangati hingga makalah ini dapat diselesaikan. Kepada rekan-rekan sejawat di
PS Psikologi USU yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat
bermanfaat bagi pengembangan diri dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih.
Ucapan terima kasih yang mendalam untuk Pak Iskandar yang senantiasa
mengingatkan dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan makalah ini.
Medan, 21 September 2006
Ika Sari Dewi, S.Psi
NIP. 132 307 62
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . .....i
DAFTAR ISI .......ii
BAB I PENDAHULUAN ...........1
BAB II LANDASAN TEORI .............5
A. Kesiapan Menikah .......................................... .......................................5
1. Pengertian Kesiapan Menikah ...........................................................5
2. Kriteria Kesiapan Menikah ...............................................................6
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah ....................8
B. Dewasa Awal ........................................................................................10
1. Pengertian Dewasa Awal ...................................................10
2. Karakteristik Masa Dewasa Awal ..................................11
C. Wanita Bekerja .............................................................................12
1. Pengertian Wanita Bekerja .............................................................12
2. Faktor-faktor yang Mendorong Wanita Bekerja ............................13
BAB III. PENUTUP ....................................15
DAFTAR PUSTAKA
Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository 2006
A. Kesiapan Menikah1. Pengertian Kesiapan Menikah2. Kriteria Kesiapan Menikah3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah2. Karakteristik Masa Dewasa Awal