Manifesto edisi 3

16
Salam Redaksi Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel dan opini melalui [email protected] untuk rubrik Resolusi dan Dialektika (Max 750 kata). Redaksi tidak bertangggungjawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit. Penanggung Jawab Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia (YIPCI) - Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Dewan Redaksi Andreas Jonathan, Ph. D. Cand, Ayi Yunus, M. Ag, Riston Batuara, S. Pd Pemimpin Redaksi Betriq Kindy Arrazy Sekretaris Redaksi Laelatul Badriyah Redaktur Bahasa Ngarjito Ardi Setyanto Redaktur Pelaksana Ahmad Shalahuddin Mansur Staf Redaksi Sontiar J. S. Marpaung, S. Pd, Adrianus Venda Pratama Putra, Hammad Mutawakkil Hibatillah, Nurfadilah, Swito Gaius Agustinus Silalahi Rancang Grafis Arya Zendi Sirkulasi dan Distribusi Tony Priyandaru Kontributor Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Se-Indonesia MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 Indonesian Consortium For Religious Studies DEMI terciptanya masyarakat yang berkualitas, pendidikan adalah jalur utama yang harus diprioritaskan. Sehingga tidak berlebihan bila maju-mundurnya sebuah peradaban manu- sia di sebuah negara ditentukan oleh kualitas pendidikan yang bermutu, yang kemudian mencerminkan identitas dari bangsa yang bermartabat. Pendidikan sudah seharusnya lahir dari sebuah keteladanan yang baik. Keteladanan harus bermula dari kehadiran seorang sosok atau figur seperti guru dan orangtua sangat- lah penting. Sehingga perkembangan anak atau peserta didik dapat tumbuh dengan baik. Maka, keteladanan figur tentunya tidak dimulai dengan peran instruktif yang otoriter. Na- mun, perlu upaya untuk mengajak partisipasi anak untuk berfikir dan berdialog tentang apa yang sedang dirasakan dan diinginkan. Artinya, hubungan yang mendidik dan yang dididik tidak hanya sebatas tugas. Tapi lebih kepada tanggung jawab untuk melahirkan generasi muda yang menjadi cikal bakal seorang pemimpin di masa mendatang.

Transcript of Manifesto edisi 3

Page 1: Manifesto edisi 3

Salam Redaksi

Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel dan opini melalui [email protected] untuk rubrik Resolusi dan Dialektika (Max 750 kata). Redaksi tidak bertangggungjawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit.

Penanggung Jawab Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia (YIPCI) - Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS),

Dewan Redaksi Andreas Jonathan, Ph. D. Cand, Ayi Yunus, M. Ag, Riston Batuara, S. Pd Pemimpin Redaksi Betriq Kindy Arrazy Sekretaris Redaksi Laelatul Badriyah

Redaktur Bahasa Ngarjito Ardi Setyanto Redaktur Pelaksana Ahmad Shalahuddin Mansur Staf Redaksi Sontiar J. S. Marpaung, S. Pd, Adrianus Venda Pratama Putra, Hammad Mutawakkil Hibatillah,

Nurfadilah, Swito Gaius Agustinus Silalahi Rancang Grafis Arya Zendi Sirkulasi dan Distribusi Tony Priyandaru

Kontributor Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Se-Indonesia

M A N I F E S T O | E D I S I I I I | N O V E M B E R 2 0 1 4

Indonesian Consortium For Religious Studies

DEMI terciptanya masyarakat yang berkualitas, pendidikan adalah jalur utama yang harus diprioritaskan. Sehingga tidak berlebihan bila maju-mundurnya sebuah peradaban manu-sia di sebuah negara ditentukan oleh kualitas pendidikan yang bermutu, yang kemudian mencerminkan identitas dari bangsa yang bermartabat.

Pendidikan sudah seharusnya lahir dari sebuah keteladanan yang baik. Keteladanan harus bermula dari kehadiran seorang sosok atau figur seperti guru dan orangtua sangat-lah penting. Sehingga perkembangan anak atau peserta didik dapat tumbuh dengan baik. Maka, keteladanan figur tentunya tidak dimulai dengan peran instruktif yang otoriter. Na-mun, perlu upaya untuk mengajak partisipasi anak untuk berfikir dan berdialog tentang apa yang sedang dirasakan dan diinginkan. Artinya, hubungan yang mendidik dan yang dididik tidak hanya sebatas tugas. Tapi lebih kepada tanggung jawab untuk melahirkan generasi muda yang menjadi cikal bakal seorang pemimpin di masa mendatang.

Page 2: Manifesto edisi 3

2 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014

Melahirkan Agen Perdamaian Melalui Pendidikan

Oleh: Oktavianus Jeffrey Budiarto*

APA yang salah dalam pendidikan kita? Se-hingga sebelumnya dihebohkan kasus keke-rasan di SD Perwari Bukittinggi, Sumatera Barat. Aksi kekerasan tersebut direkam da-lam bentuk video dan diunggah ke Youtube. Video itu mempertontonkan seorang bocah berseragam SD yang dianiaya oleh lima te-mannya di ruang kelas. Sekolah yang seha-rusnya menjadi tempat pembentukan karak-ter justru bak tempat pembantaian.

Situasi PendidikanBila menilik sistem pendidikan di Indo-

nesia, satu hal yang selalu kontroversial ialah adanya ujian nasional (UN). Sebagai tolak ukur pemetaan kualitas kemampuan akade-mik di setiap daerah UN jelas cukup efektif. Problematikanya, bilamana UN menjadi alat ukur penentu kelulusan. Maka, para siswa dipaksa ikut bimbingan belajar, drilling lati-han soal dan aneka try out. Orientasi siswa kemudian diarahkan kepada sukses lulus uji-an nasional. Ruang untuk tumbuh kembang karakter anak menjadi kian terdesak.

Pun, tak ada sekolah yang mau reputasinya tercoreng karena tidak mampu meluluskan siswa 100%. Beragam cara pun dihalalkan mulai dari bocoran kunci jawaban hingga adanya oknum guru yang membantu siswa mengerjakan soal. Bayangkan betapa ironisnya, pembusukan karakter ternyata dimulai dari dunia pendidikan.

Rasanya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih tepat disebut sebagai Ke-menterian Persekolahan. Karena kesannya yang diurusi hanya di lingkup sekolah dan segala sesuatu yang sifatnya teknis. Orang di-arahkan untuk mengejar angka tinggi dan ija-zah. Pendidikan sejatinya tidak terbatas pada tembok ruang kelas dan gerbang sekolah saja! Mengutip Driyarkara, pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia.

Pendidikan KarakterSekolah tidak perlu menambah pelajaran

misalnya pelajaran pendidikan karakter. Selain membuat anak lebih lama di sekolah sehingga mengurangi waktu kebersamaan dengan kelu-arga juga membuat esensi pendidikan karakter seolah berdiri di luar pelajaran yang lain. Se-bab sesungguhnya setiap pelajaran di sekolah haruslah mengandung nilai-nilai luhur seperti keadilan, toleransi, kerja sama, bela rasa, keju-juran dan lain sebagainya.

Meskipun tidak eksplisit, pelajaran semisal matematika tidaklah hampa nilai. Bagaimana misalnya mengajarkan bahwa 10 + 10 = 20 bisa dimaknai sebagai konsep kesetiaan dan inte-gritas pada ilmu. Karena jelas dalam ilmu ma-tematika selalu berbicara tentang hasil-hasil kesepakatan yang menjadi kaidah keilmuan. Mengatakan bahwa 10 + 10 = 17 maka guru perlu memberikan koreksi disertai pemaham-an yakni perilaku koruptif karena menging-

Page 3: Manifesto edisi 3

MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 3

RESOluSI

kari kesepakatan yang telah berlaku. Kegiatan pembelajaran seperti diskusi kelompok juga bisa dijadikan sarana latihan menghormati orang lain yang berbeda pendapat.

Pelajaran Agama sebagai Ruang DialogSelama ini pelajaran agama tampak

terjebak dalam penyeragaman penilaian teknis layaknya pelajaran eksak. Seorang guru agama lalu mau tidak mau juga ikut mengajak siswa belajar yang pada akhirnya bermuara pada keterampilan mengerjakan soal saja. Padahal akhlak dan iman seseorang tidak bisa diletakkan pada selembar kertas.

Maksud saya pelajaran agama hendaknya menjadi ruang perjumpaan antar iman. Sis-wa perlu belajar berdialog sejak dini. Dengan begitu mereka dapat mengenal dan kemudian tidak asing dengan perbedaan. Derasnya arus informasi yang membawa pandangan keliru tentang suatu ajaran agama dapat ditangkal karena adanya kesempatan untuk saling me-ngonfirmasi sehingga prasangka tidak mu-dah berkembang.

Head on, heart on, hand onPendidikan hendaknya memusatkan

pada kepala (kognitif), hati (afeksi) dan tangan (psikomotorik). Selama ini yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia adalah ketimpangan. Ranah kognitif (kepala) terlalu ditekan sedemikan rupa sehingga mereduksi makna pendidikan menjadi urusan latihan mengerjakan soal belaka. Menurut Paolo Freire, pendidikan bukanlah transfer ilmu tetapi bagaimana siswa dapat mengembangkan ilmu berdasarkan kapasitas dirinya. Sayang sekali kalau guru hanya menerapkan model ceramah dan latihan soal. Bila setiap pelajaran dapat menerapkan problem based learning,

sebetulnya memberikan manfaat yang besar bagi siswa. Pembelajaran yang mendorong rasa penasaran siswa untuk selalu ingin mencari tahu. Hal ini akan mendorong munculnya pengetahuan demi pengetahuan yang baru. Maka, cara berpikir kritis siswa akan terbentuk dengan sendirinya. Siswa pun terlatih menjadi problem solver ketimbang problem maker.

Pada ranah afeksi, kemampuan berem-pati juga hendaknya senantiasa diperhati-kan. Ini mengandaikan adanya interaksi so-sial yang kuat. Setiap sekolah yang memiliki program live in mengindikasikan sekolah itu punya perhatian khusus pada pengem-bangan soft skill siswanya. Pengalaman live in memiliki daya ubah yang luar biasa. Siswa yang notabene “orang kota” tinggal bersama penduduk desa yang bermata pencaharian sebagai petani. Situasi yang kontras sema-cam ini menempatkan siswa sebagai subjek untuk mengolah kepekaan sosialnya. Belajar dari kesederhanaan hidup orang lain dapat menumbuhkan kebijaksanaan. Bisa pula live in lintas iman, dimana seorang siswa tinggal bersama di lingkungan dengan keyakinan yang berbeda. Akan ada banyak kesan positif karena adanya perjumpaan yang bermakna.

Kasus kekerasan yang marak terjadi tidak boleh terulang. Tangan harus dididik untuk membantu sesama, bukan malah membuat yang lain menderita. Siswa harus dididik untuk berbela rasa. Dengan keseimbangan antara kepala, hati dan tangan semoga pendidikan di Indonesia akan melahirkan generasi muda yang dapat menjadi agen perdamaian yang memiliki sikap kritis, hati yang berbela rasa dan tangan yang selalu berkarya.

*) Kepala Sekolah SMA Tumbuh/Dosen FH Universitas Janabadra

Page 4: Manifesto edisi 3

4 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014

Terenggutnya Pendidikan KeluargaOleh: Nur Sholikhin*

SEKOLAH bukanlah pengganti orangtua, melainkan pembantu mereka. Ini berarti bahwa sekolah harus menentukan kebijakan bertindak setelah mendengarkan orangtua, Pater Drost (1998).

Kenyataan berbeda, itulah yang kita temui dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan formal dalam hal ini adalah se-kolah, saat ini mulai merenggut pendidikan keluarga. Keluarga yang pertama mengajar-kan anak pengetahuan tentang Tuhannya, bagaimana cara berhubungan dengan orang lain, kewajiban yang harus dilaksanakan dan larangan yang harus dijauhi. Kini mereka direnggut haknya oleh sekolah.

Sekolah seolah-olah sanggup untuk me-wujudkan manusia yang seutuhnya. Melalui Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), kita dapat mengetahui betapa banyaknya tanggu-ng jawab sekolah dalam mendidik anak. Mu-lai dari hal agama, kepribadian, kemandirian hingga menjadi orang yang berkontribusi di dalam masyarakat.

Tanggung jawab untuk mendidik anak secara penuh pada dasarnya adalah orangtua. Mulai ia bisa menghirup nafas hingga dapat berkontribusi di masyarakat. Orangtua menjadi pendidik utama harus yang diutamakan. Men-jadi ironis, ketika orangtua dengan sepenuhnya menyerahkan pendidikan ke sekolah. Mem-berikan tanggung jawab yang penuh terhadap sekolah untuk mendidik anak-anaknya.

Paradigma seperti itu harus sedikit demi sedikit harus dihilangkan. Sekolah pada ha-kikatnya tidak memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendidik anak. Mendidik adalah proses memberikan ajaran kepada anak. Memberikan teladan, membimbing, dan membiasakan anak untuk berbuat dalam kegiatan sehari-hari. Hal inilah yang menye-babkan pendidikan keluarga amat penting dalam perkembangan anak. Anak lebih ban-yak hidup bersama orangtua dari pada gu-runya. Guru dalam sekolah hanya bisa mem-berikan teori-teori, namun orangtualah yang harus mempraktikkan segala hal pendidikan kepada anak.

Keluarga dan PerdamaianDalam era saat ini, seolah-olah orangtua

sudah memasrahkan kewajibannya kepada sekolah. Sehingga ketika anaknya melanggar etika, orangtua tak segan memarahi dan ber-kata “Apakah itu yang diajari di sekolah?” Ini membuktikan bahwa orangtua tidak peduli lagi dengan pendidikan anaknya.

Kebanyakan orangtua mengharapkan, jika anaknya disekolahkan mereka akan menjadi manusia yang beretika, bermoral, memiliki ilmu pengetahuan dan mempunyai wawasan yang banyak terkait keagamaan. Hal ini banyak terjadi di masyarakat pedesaan. Orangtua pada sibuk dengan kerjaan ma sing-masing. Sehingga ikhwal mendidik anaknya

Page 5: Manifesto edisi 3

MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 5

DIAlEkTIkA

banyak yang terlupakan. Orangtua hanya bisa memarahi anaknya jika tidak tepat dengan apa yang sesuai dengan keinginannya.

Apa yang menjadi kebutuhan di sekolah dan apa yang menjadi perintah di sekolah yang diperuntukkan kepada anaknya akan mereka penuhi walaupun tidak tahu itu ke-butuhan anaknya ataupun tidak. Realitas ini sungguh ironi jika terus menerus dibiarkan. Pendidikan anak akan terombang-amb-ing, tak jelas siapa yang mendidik. Sekolah pada hakikatnya hanyalah pembantu, jika orangtua menyerahkan ikhwal pendidikan secara penuh terhadap sekolah ini akan memperburuk pribadi anak.

Anak hanya mengikuti sana-sini, tidak tahu kepada siapa mereka dididik. Sekolah lebih banyak mengajar daripada mendidik. Mengajar berarti mentransfer ilmu penge-tahuan dan keterampilan tertentu. Masalah penanaman moral dan karakter, sekolah ti-dak mempunyai peranan penting. Karena kegiatan di sekolah lebih dominan penana-man kecerdasan kognitif, sedangkan kecer-dasan afektif dan psikomotorik lebih banyak dipengaruhi oleh orangtua. Oleh karenanya, orangtua sangat berperan penting bagi pen-didikan anaknya. Ialah yang menjadi tulang punggung utama bagi pendidikan anaknya. Kalau ingin menjadikan anakmu sukses, di-diklah terlebih.dahulu dengan baik.

Pendidikan keluarga merupakan awal dari pencipta perdamaian. Dari sini seorang anak akan dikasih pelajaran kasih sayang. Bagaimana cara menghormati, menghargai dan menyayangi orang lain. Orangtua dalam mengajar pasti didasari dengan rasa keikh-lasan dan kasih sayang. Ia ikhlas mendidik anaknya, tanpa mengharapkan imbalan.

Berbeda dengan sekolah, kadang seorang guru mengajar karena tuntutan gaji dan ke-butuhan. Sehingga ia mendidik kadang ha-nya seperlunya, dan tidak memperhatikan siswanya dengan penuh kejelian. Apalagi seorang guru harus memenuhi administrasi yang teramat banyak, hal ini menyebabkan ia tidak memperhatikan siswanya.

Orangtua harus mulai menyadari bahwa ia adalah pendidik sejati. Orangtua sebagai agen utama dalam perannya sebagai pendidik manusia, bukan mesin. Tetapi, orangtua juga harus membuka pikiran, dalam mendidik anak harus menjunjung rasa saling menghormati bagi sesama manusia. Ketika ia beragama Islam, orangtua harus menanamkan rasa kasih sayang kepada sesama pemeluk agama yang lain. Begitu pun sebaliknya.

*) Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Prodi Pendi-dikan Bahasa Arab 2011/Pemimpin Umum LPM Paradigma

Page 6: Manifesto edisi 3

6 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014

BUKU “Al Islam Wan Nashraniyah Fi Indo-nesia” merupakan kumpulan tulisan yang menangkap permasalahan intoleransi di In-donesia, terutama tentang konfrontasi dak-wah Kristen yang secara serampangan, yang ditulis Muhammad Natsir. Buku ini sebagian besar menanggapi masalah-masalah aktual di zamannya dengan cara pandang yang intelek-tual. Pada titik inilah, Natsir menggabungkan antara aktivisme dan intelektualisme dengan karya kompilasinya

Prolog buku ini membahas tentang peristiwa penindasan manusia atas manusia lainnya yang terjadi di antara umat Kristen di tanah Eropa, tepat untuk menggambarkan kondisi revolusi Prancis dengan Katholik dengan peran pendeta-pendeta ortodoksnya. Revolusi ini mengakibatkan resistensi di kalangan kelompok Protestan. Sehingga tak bisa dipungkiri sentimen anti-Katholik semakin menyebar. Akibatnya, gereja Katholik dirobohkan dan tanahnya dijual secara sepihak untuk memperbaiki keuangan negara. Selain itu, pendeta-pendetanya dipaksa untuk beristri, tanpa mengindahkan ajarannya.

Keyakinan terhadap agama semakin han-cur, ilmu pengetahuan semakin berkembang. Sebuah alasan besar tentang tumbuhnya ma-terialisme barat yang semakin tidak mempe-dulikan hak-hak bangsa lain. Semakin ber-lomba memperbanyak senjata dan meriam,

Oleh: Betriq Kindy Arrazy

untuk kemudian mencari kelompok yang dianggapnya berbahaya. Hingga Perang Du-nia meletus dan memakan miliaran jiwa yang tidak berdosa akibat perilaku yang rakus de-ngan kekuasaan.

Situasi ini semakin diperjelas oleh per-nyataan Dr. Boetzelaer yang mendongeng tentang agama Islam yang semakin kacau akibat Perang Dunia. Atas tindakan tersebut, Natsir membalasnya dengan menarik kon-teks maju-mundurnya sebuah agama adalah dilihat dari jumlah jamaah gereja yang sema-kin menurun akibat Perang Dunia. Sebalik-nya, masjid-masjid Islam semakin dipenuhi jamaahnya. Sekaligus menegaskan, Islam melarang sifat-sifat maksiat dan melawan syi-ar manusia saling membunuh satu sama lain.

Kompromi Natsir Melawan KristenisasiTitik klimaks pemikiran politik Islam

Muhammad Natsir dimulai sejak menebalkan sikap oposannya yang semakin jelas terlihat, kala Natsir lebih memilih berpisah di jajaran Kabinet bersama Soekarno. Kemudian berlan-jut mendirikan Majalah Pembela Islam yang secara terang-terangan melawan otoritarian-isme terhadap Islam dengan tulisannya yang pedas, dengan ciri khas memakai nama sa-maran. Hingga tidak lama kemudian Soekar-no yang masih setia dengan ide Nasakomnya tumbang akibat revolusi militer. Saat transisi

Benteng Terakhir Islam Indonesia yang Toleran

Page 7: Manifesto edisi 3

MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 7

REFlEkSI

menuju pemerintah orde baru, sekaligus jalan lapang melakukan reset terhadap kelompok G30S sampai ke akar-akarnya. Menjadikan masyarakat Indonesia mengalami kemiskinan dan kekosongan religius, akibat traumatis ber-kepanjangan tentang pembantaian manusia atas manusia lainnya. Faktor ini yang meng-akibatkan mulusnya ekspansi agama Kristen dengan missionarisnya. Mulai dari bagi-bagi beras gratis, penawaran pekerjaan, perbaikan rumah, pelayanan kesehatan, kursus latihan gratis dan kegiatan lainnya.

Natsir protes kepada pemerintah tentang maraknya upaya Kristenisasi atau de-Islam-isir, yang mengakibatkan berpuluh-puluh ribu umat Islam berpindah agama secara tidak wajar dan eksesif. Natsir berpendapat jiwa Kristus yang begitu murni membawa kasih jangan dipakai untuk tujuan yang tidak murni dan ikhlas. Maka Kristenisasi berubah menjadi peaceful aggression, suatu penye-rangan bersemboyan damai. Intervensi keya-kinan inilah yang kemudian menurut Natsir tidak sesuai dengan prinsip sila pertama pada Pancasila sebagai platform bangsa.

Natsir tidak berhenti mengkritik pastur Kristen ortodoks dengan misi besar yang di-embannya, begitu juga umat Muslim yang memilih jalan kekerasan untuk menghenti-kan kelompok misionaris. Pemerintah pusat hingga daerah dibuat tidak berkutik dengan kekacauan ini.

Kondisi semakin genting, Natsir menga-jukan tiga saran untuk tiga pihak. Pertama, Golongan Kristen tanpa mengurangi hak dakwah mereka untuk “membawa perkabar-an injil sampai ke ujung dunia” supaya me-nahan diri dari maksud dan tujuannya dari program Kristenisasi itu.

Kedua, Orang Islam pun harus dapat me-nahan diri, jangan cepat-cepat untuk melaku-kan tindakan fisik. Tapi ini hanya bisa, apa-bila orang Kristen pun dapat menahan diri.

Ketiga, Sementara itu pun pemerintah ha-rus bertindak cepat dalam hal pihak Kristen telah tidak mematuhi larangan-larangan pe-merintah, agar pada orang Islam tidak timbul perasaan tidak berdaya, seolah-olah mereka tidak mendapat perlindungan dan jaminan hukum terhadap rong-rongan pihak lain.

Modus Vivendi disarankannya untuk perbaikan moral rakyat Indonesia dan kemu-dian menjadi upaya konsolidasi Islam-Kris-ten untuk mendakwahkan masing-masing agamanya secara etis ke masyarakat yang masih dihinggapi paham atheisme dan ani-misme.

Terlepas dari itu semua, titik tolak dari masalah penyebaran agama kita masing-masing di Indonesia ini, jelaskah kedudukan kita umat Islam di satu pihak dan umat Kris-ten di pihak lain. Kedua pihak sama-sama ya-kin, bahwa tewas dalam melakukan tugas suci masing-masing adalah menjadi martir atau syahid, dan ganjarannya adalah surga. Atas kondisi tersebut Muhammad Natsir berpidato:

“Kalau ini titik tolak kita berfikir, maka sebenarnya antara kedua pihak (antara umat Islam dan Kristen) sudah selesai. Apalagi ka-lau kedua-duanya sudah sama-sama rela berlomba-lomba masuk surga melalui syahid. Tapi masalahnya bukan demikian, bagaimana nasib negara kita ini. Negara Republik Indone-sia yang kita proklamirkan bersama dan kita cintai ini, kalau sudah begitu!”

Buku Islam dan Kristen di Indonesia

Page 8: Manifesto edisi 3

8 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014

Politik Keberagaman: Upaya Resolusi Konflik Agama di IndonesiaOleh: Laelatul Badriyah

INDONESIA dikaruniai kekayaan kebera-gaman budaya, sosial dan agama oleh Sang Pencipta. Keberagaman sebagai sebuah ke-niscayaan menjadi sesuatu yang harus kita jaga dan pelihara. Namun, perbedaan inter-pretasi dalam Islam memicu konflik berke-panjangan di kalangan masyarakat Islam. Belajar pada kasus kekerasan yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia, khususnya Qadian, Munawar dalam bukunya Candy’s Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama di Indonesia menawarkan sebuah konsep politik kerukunan umat beragama. Selain itu, Munawar pun ingin melihat bagaima-na pengaruh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap lahirnya kekerasan sistemik pada tingkat grass root.

Buku ini lahir dari hasil penelitian kajian pustaka terhadap pelbagai upaya yang telah dilakukan seiring upaya resolutif untuk menurunkan ketegangan masyarakat Islam akibat kehadiran JAI. Munawar memaparkan secara kronologis sejarah perjalanan dan perkembangan Ahmadiyah sejak awal mula masuknya ke Indonesia pada tahun 1925 sampai sekarang. Dalam kurun waktu 85 tahun konfigurasi konflik terus bergulir.

Menurut Munawar, ada tiga pola konflik yang menimpa jemaat Ahmadiyah. Pertama singular violence. Konflik yang terjadi pada awal mula kedatangan Ahmadiyah sampai pada tahun 1945. Ini disebabkan karena Ah-

madiyah mampu menarik simpatisan para elit Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto, Djoyosugito, dan beberapa tokoh intelektual Muhammadiyah termasuk Irfan Dahlan put-ra KH Ahmad Dahlan melalui tafsir dan para mubaligh yang rasional. Masuknya elit pun-cak dari organisasi masyarakat menyebabkan lahirnya perpecahan dalam tubuh organisasi tertentu. Semakin gencarnya elit organisasi yang menjadi simpatisan Ahmadiyah menye-babkan terbukanya konflik organisasional de-ngan Ahmadiyah. Konflik semakin menguat

Judul :Candy’sBowl:PolitikKerukunanUmatBeragamadiIndonesia

Penulis :MunawarAhmadPenerbit :SukaPress,YogyakartaCetakan :1,Desember2013Tebal :352halaman

Page 9: Manifesto edisi 3

MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 9

PuSTAkA

setelah ada kekuatan dari ulama senior untuk melakukan serangan terhadap Ahmadiyah seperti dari Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Rasyid Ridha dari Mesir. Dengan kata lain konflik ini lahir karena ketakutan para elit agama terhadap sikap ekspansif dari Ah-madiyah merebut umat yang mereka miliki.

Kedua, collective violence. Konflik pasca 1970 ini dipicu oleh keterlibatan MUI pada tahun 1980 yang mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah organisasi di luar Islam dan sesat. Kemudian fatwa ini dikukuhkan kembali pada tahun 2005 karena Ahmadiyah dianggap semakin meresahkan masyarakat. “Keputusan Fatwa MUI Nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang Aliran Ahmadiyah Sesat.” Fatwa ini yang kemudian menjadi legitimasi segala bentuk tindakan diskriminasi dan intimidasi terhadap Ahmadiyah. Tahun 2005, tercatat sebanyak 12 kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiyah di pelbagai daerah.

Ketiga, structural violence. Gerakan keke-rasan struktural bagi Ahmadiyah terjadi sejak dikeluarkannya SKB 3 Menteri tentang pela-rangan Ahmadiyah di Indonesia. Tercatat 15 kekerasan menimpa Jemaat Ahmadiyah pada tahun 2010-2011 (hlm 261-286).

Melihat keberpihakan pemerintah, Mu-nawar menegaskan bahwa sebenarnya nega-ra tidak diperkenankan untuk memihak ni-lai-nilai suatu agama, sehingga setiap agama didorong untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan ajaran agama masing-masing, termasuk tumbuh dan berkembangnya orga-nisasi Ahmadiyah (hlm 293).

Politik keberagaman merupakan partisi-pasi pemerintah dalam mengembangkan po-

litik berbasis pada kebutuhan dan keinginan dari warganya. Politik ini merupakan mani-festasi lain semangat demokrasi. Pemerintah seharusnya menjadi pemelihara dan penye-dia tatanan masyarakat yang kuat berbasis pada harmoni. Serta memelihara keragaman ide dan ekspresi masyarakat dalam kehidup-an berbangsa dan bernegara.

Beberapa negara maju telah melaku-kan eksperimen bagaimana membuat mo-del-model kerukanan beragama, diantarnya Sekularisme, Melting Pot, Salad Bowl, dan Agonisme. Agonisme atau candy’s bowl se-bagai salah satu model kehidupan beragama yang ditawarkan oleh Munawar merupakan teori politik yang mengembangkan pelbagai potensi positif yang mungkin ada di dalam suatu konflik. Agonisme lebih berupaya se-bagai kanalisasi atas pelbagai potensi konflik yang positif membawa pada keharmonisan. Sehingga melahirkan pemahaman yang se-imbang terhadap pelbagai potensi masyara-kat dan menempatkan mereka pada keadaan yang selalu memiliki nilai-nilai positif ber-sanding dengan potensi destruktif.

Secara ilustrasi politik agonisme menghendaki kehidupan sosial yang plural seperti wadah permen (candy’s bowl) di mana semua warna permen tetap eksis, tetapi mereka ada dalam ruang yang melindungi dan menjamin kehidupan merdeka dari seluruh elemen tanpa direduksi oleh nilai-nilai ideologis di luar dirinya.

Terakhir, di luar banyaknya kesalahan teknis penulisan, buku ini akan sangat ber-manfaat untuk para pengamat, mahasiswa atau pemerhati dispute resolution, juga bagi para pemangku kebijakan negara ini.

Page 10: Manifesto edisi 3

10 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014

Mengubah Stereotip tentang PerbedaanOleh: Vera Yunita Sihombing*

SELAMA mengikuti acara Peace Camp yang diselenggarakan pada 14 - 16 November 2014 di Madura sangat menyenangkan bagi saya. Sebenarnya, ada rasa ragu untuk mengikuti acara tersebut karena bukan hanya umat Kris-tiani saja yang ikut, tetapi umat Muslim juga. Saya takut akan terjadi suatu hal yang membu-at adanya bentrokan antara umat Kristiani dan Muslim. Tetapi saya tetap memutuskan ikut. Ketika acara sudah di mulai, saya berkenalan dengan teman yang berasal dari umat Muslim. Memang selama kuliah di Trunojoyo Madura saya banyak teman yang Muslim, akan tetapi dalam acara ini saya merasa canggung untuk berkomunikasi dengan mereka.

Selain dari UTM, peserta yang hadir berasal dari UNAIR, UNMER, UMM, dan sebagainya. Etnis yang ada juga beragam ya-itu dari Batak, China, Jawa, Ambon, Dayak, hingga Madura. Selama acara tersebut saya dan teman-teman bersama-sama belajar ten-tang materi 12 nilai perdamaian, membedah kesamaan isi Alkitab dan Al Quran, bagaima-na menerima diri sendiri, serta bagaimana cara menghilangkan prasangka buruk terha-dap umat Muslim begitu juga sebaliknya.

Setiap sesi selalu ada permainan dan hikmah yang saya peroleh, mengajarkan kita untuk tidak menggunakan kekerasan dalam mencapai suatu tujuan. Kekerasan membuat kita terluka, bahkan merugikan orang lain juga. Lebih baik kita mengambil jalan tengah yaitu dengan cara damai agar permasalahan

dapat terselesaikan. Di acara Peace Camp ter-sebut perlahan-lahan Tuhan memberi saya petunjuk agar stereotip saya terhadap umat Muslim bukan lagi prasangka buruk.

Sesi morning devotion dan sharing ma-lam, membantu saya untuk lebih lagi mema-hami bagaimana umat Muslim itu dan saling berbagi pengalaman pribadi baik suka mau-pun duka, begitu juga sebaliknya. Ketika se-mua terungkapkan, maka umat Kristiani dan umat Muslim saling meminta maaf agar tidak ada lagi prasangka buruk. Karena tidak baik memperdebatkan agama masing-masing. Se-tiap pemeluk agama apapun akan berusaha menganggap agamanya yang paling benar dan menempatkannya secara eksklusif. Jadi, kita juga harus menghormati agama lain. Per-bedaan itu ada untuk dihormati dan setiap perbedaan itu unik.

Sesi yang paling sukai adalah saat me-nyampaikan kesan dan pesan untuk teman dan juga untuk acara Peace Camp. Acara ini membuat iman saya lebih bertumbuh dan berkembang serta menambah wawasan saya. Mari menjalin persaudaraan yang lebih erat walaupun kita berbeda. Semoga setelah ini, teman-teman bisa membangun perdamaian antarsesama. Terima kasih untuk semua yang ikut berpartisipasi dalam acara ini. Jika ada tutur kata yang salah saya mohon maaf.

*) Mahasiswi Universitas Trunojoyo Madu-ra, FISIB, Prodi Ilmu Komunikasi 2013

Page 11: Manifesto edisi 3

MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 11

PENgAlAMAN

SAYA mengetahui informasi tentang Peace Camp melalui poster yang tertempel di kam-pus. Saya langsung tertarik dan menindak-lanjuti dengan membuat sebuah esai tentang refleksi kegelisahan saya tentang permasalah-an peran pemuda dalam keragaman agama di Indonesia. Tidak disangka, nama saya lolos seleksi sebagai salah satu peserta di kegiatan yang diselenggarakan oleh Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC).

Beberapa teman menyarankan untuk ti-dak ikut, alasannya karena berpotensi ada pen-dangkalan iman. Namun, dosen dan orangtua yang sempat saya mintakan pertimbangan mengizinkan saya untuk mengikutinya.

Kegiatan ini secara keseluruhan meng-ajarkan hal tentang 12 nilai perdamaian. Sebelumnya tidak pernah aku dapatkan, walaupun ada beberapa nilai yang sudah di-ajarkan di rumah oleh orangtua. Dari situlah saya mulai berkenalan dengan teman teman baru, sekaligus mencoba menghafal karakter masing-masing.

Di pagi hari, sebelum sarapan kami belajar mengkaji kitab Taurat, Injil dan Al-Quran tentang perdamaian diri dan perdamaian dengan sesama. Kami juga diberi script tentang esensi ajaran Islam dan Kristen. Jujur saja, selama pembahasan 12 nilai perdamaian, banyak sekali prasangka dalam diri saya. Mulai dari ormas yang ”radikal”, label kafir pada orang Nasrani. Baru tersadarkan, di luar sana isu agama masih sangat sensitif dan berbeda dari apa yang saya

pikirkan. Di keluargaku, agama adalah hal yang wajar dan kami bisa mendiskusikannya setiap saat tanpa menimbulkan konflik.

Selama 3 hari 2 malam yang paling berbe-kas adalah ketika sesi makan dan materi. Disi-tulah saya pertama kali melihat teman-teman Muslim dan Nasrani memimpin doa secara bergantian dengan cara masing-masing. Saat itulah saya merasakan kenyamanan.

Pada sesi malam, hal yang menyenangkan kami bisa berdiskusi tentang pengalaman spiritual kami masing-masing, dengan didampingi oleh fasilitator. Kebetulan kelompokku dibimbing oleh kak Artha yang orangnya baik dan banyak memberi masukan. Di saat itulah saya berani membuka siapa diriku kepada teman-temanku dan mereka aku apa adanya. Di sisi lain, saya merasa imanku semakin kuat dan damai.

Menjelang perpisahan, para peserta sa-ling memaafkan, sekaligus memiliki tang-gung jawab untuk menyebarkan 12 nilai per-damaian di masing-masing regional. Setelah itu, saya mendapat progres baru yaitu 1 hari 1 juz dan membaca Taurat serta Injil sebanyak 1 surat dimulai dari kejadian. Pada akhirnya saya bisa berbagi kepada sesama, serta meya-kini apa yang saya lakukan adalah nilai keba-ikan di mata Tuhanku.

*) Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Solo, Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Prodi Pendidikan Sosiologi An-tropologi 2012

Sebuah Penghormatan dalam DoaOleh: Febri Yudho Maharantya*

Page 12: Manifesto edisi 3

12 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014

Oleh: Laelatul Badriyah

YIPC Semarakkan Hari Perdamaian Internasional

DI tengah merebaknya kasus intole-ransi di Yogyakarta, YIPC, salah satu komunitas yang tergabung dalam Ali-ansi Pemuda dan Mahasiswa Cinta Damai (APMCD) memperingati Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada tanggal 21 September lalu di ka-wasan titik nol kilometer Yogyakarta.

APMCD sendiri merupakan kumpulan dari komunitas Simpul Iman Community (SIM-C), Jaringan Gusdurian, Senat Mahasiswa (Sema) Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalija-ga, Komisi Pemuda Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman, dan Omah Pirukun.

Peserta aksi melakukan beragam cara un-tuk mempromosikan perdamaian. Diantara-nya dengan berorasi, membaca puisi, menga-jak masyarakat sekitar untuk membubuhkan tanda tangan, membagikan stiker perdamai-an, dan mempromosikan slogan-slogan per-damaian di kawasan lampu merah.

Betriq Kindy Arrazy, sebagai Koordina-tor Umum mengatakan bahwa tujuan dari acara ini adalah ingin menyampaikan kepada masyarakat tentang pentingnya situasi dan kondisi damai yang dapat menciptakan se-buah tatanan sosial yang adil, makmur, dan sejahtera. “Saya berharap perdamaian inter-nasional ini dapat memberikan kesadaran kolektif, membumi dan kontributif. Semoga masyarakat dapat mengaplikasikan nilai-nilai

perdamaian seperti menghilangkan prasang-ka, bersikap jujur dan terbuka,” ujarnya.

Selain itu, Momentum ini pun sebagai ajang untuk mengingat bahwa Indonesia ada karena keberagaman. “Keragaman ada untuk menciptakan perdamaian,” papar Tata Khoir-iyah, aktivis Jaringan Gusdurian.

Saskya, anggota YIPC Semarang menga-ku sangat senang bisa ikut mempromosikan perdamaian di kota ini. “Damai adalah hak setiap orang,” jelasnya sembari tersenyum.

“Di samping mempromosikan hari per-damaian internasional, Aksi Damai ini pun secara tidak langsung ikut mempromosikan kembali slogan Yogyakarta berhati nyaman di saat banyaknya kasus intoleransi yang terjadi di masyarakat,” ungkap Riston, pegiat YIPC Yogyakarta.

PesertaaksiAPMCDmelakukanorasidamaidititiknolkilometer.

Page 13: Manifesto edisi 3

MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 13

DIAlOg

Pemuda Bersama Mengawal PerdamaianOleh: Laelatul Badriyah

BALAI Pertemuan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman dipenuhi puluhan maha-siswa pada bulan Oktober lalu. Bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, Aliansi Pe-muda dan Mahasiswa Cinta Damai (AMP-CD) bekerja sama dengan Lembaga Analisis Wacana Keislaman dan Nasionalisme (LA-WAN) menggelar acara Jagongan Perdamai-an. Acara ini bertajuk “Saatnya Kaum Muda Bersatu Menjaga Perdamaian Indonesia.” (28/10/2014)

Tujuan diselenggarakannya acara ini ada-lah mengajak komunitas-komunitas pemuda di Yogyakarta untuk peduli terhadap perda-maian. “Kami ingin mengajak teman-teman pemuda duduk bersama dan membincang-kan persoalan perdamaian. Karena masih banyak pemuda yang acuh terhadap isu ini,” terang Kindy, selaku Ketua APMCD kepada Manifesto.

Dalam acara ini, Alissa Wahid ha-dir sebagai pembicara. Berulang kali ia menyampaikan bahwa pemuda adalah simbol perlawanan. Pemuda melawan kemapanan. “Tidak ada perjuang-an yang dimulai dari orang tua, anak muda harus berani,” jelasnya.

Selain itu, putri Gus Dur ini pun menyampaikan pentingnya menegak-kan keadilan di tengah masyarakat. Tanpa adanya keadilan, menurutnya perdamaian hanya menjadi ilusi.

Betriq Kindy Arrazy, pembicara yang me-wakili kaum pemuda menyampaikan bahwa para proklamator dulu adalah para pemuda yang pada masanya merasa tidak nyaman dan memiliki pemikiran yang progresif. “Pemuda memegang peranan sentral untuk mema-jukan negara ini,” ujar lelaki berperawakan jangkung ini.

Sementara itu, Pendeta Indrianto menilai bahwa masih banyak masyarakat dan bebera-pa lembaga keagamaan yang menolak untuk ikut bergabung mewujudkan perdamaian. Keadaan ini harus kita lawan bersama. “Wa-laupun perlawanan tidak harus dengan keke-rasan,” kata Pendeta berkacamata ini.

Ia pun mengkritik keadaan masyarakat Yogyakarta sudah mulai kehilangan kearifan lokal seperti gotong royong dan sikap ramah tamah.

Parapembicaramenyampaikanmateritentangreaktulisa-siperanpemuda.

Page 14: Manifesto edisi 3

14 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014

ALIANSI Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) DIY mengadakan ke-giatan bertema “Pendokumentasian, Penelitian, dan Penulisan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Wila-yah Gunung Kidul”. Kegiatan ini di-selenggarakan pada 10-12 November 2014, di Pondok Shakuntala, Gunung Kidul. Turut mengundang tokoh aga-ma, pemuda, dan aktivis.

Dwi Rusjiyati, Koordinator ANB-TI DIY, sekaligus penyelenggara kegiatan me-ngatakan situasi kebebasan beragama di DIY dalam kurun waktu 2000-2014 mengalami peningkatan. Selain itu, kasus intoleransi yang menimpa kaum minoritas belum memi-liki kesadaran untuk mendokumentasikan, karena kapasitas SDM yang belum mumpuni. Ini yang menurutnya menghambat proses advokasi. “Saya harapkan seluruh peserta untuk berjejaring, sekaligus membentuk tim pendokementasian di Gunung Kidul,” harap wanita yang kerap dipanggil Agnes ini.

Dalam peristiwa konflik terbangun relasi antara korban dan pelaku memiliki kecende-rungan yang dekat sebagai keluarga, teman dan lain sebagainya. Faktor ini yang kemudian semakin mempermudah untuk mengidenti-fikasi akar konflik di sekitar masyarakat. “Se-tiap kejadian perlu untuk didokumentasikan untuk merawat ingatan dan mempermudah proses penyelidikan,” ujar Samsul Alam Agus.

Menurut Samsul Alam Agus yang aktif

di Sobat Kebebasan Beragama dan Berkeya-kinan (KBB) Jakarta, pelaku atau aktor kon-flik terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, aktor intelektual yang memiliki peran memikirkan strategi konfontasi. Kedua, aktor pemodal yang memiliki peran sebagai penyokong lo-gistik dalam bentuk materi dan barang. Ke-tiga, aktor lapangan yang memiliki peran sebagai eksekutor. “Resiko pemantauan oleh pembela HAM ada diskriminasi sampai pem-bunuhan,” terang Alam.

Sumiati, salah seorang peserta dari Forum Komunikasi Difabel Gunung Kidul (FKDG), menerangkan, pada tahun 2013 Gunung Ki-dul diresmikan sebagai kota inklusi. Kriteria disebut kota inklusi meliputi persamaan hak, fasilitas, dan pelayanan penunjang. Namun, menurutnya sampai kini masih terjadi diskri-minasi, terutama pelecehan perempuan difa-bel. “Saya ingin melakukan upaya pemantauan isu-isu difabel sebagai warga negara yang aktif dan partisipatif,” harap Sumiati di akhir acara.

SamsulAlamAgusberbicaratentangpengalamannyamengadvokasikasusintoleransi.

Membangun Kesadaran Pentingnya Mendokumentasian KonflikOleh: Betriq Kindy Arrazy

Page 15: Manifesto edisi 3

MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 15

PERBINcANgAN

Oleh: Betriq Kindy Arrazy

PRODI Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menerbitkan, sekaligus mensosialisasikan modul tentang promosi perdamaian dan transformasi konflik yang diperuntukan pemuda. Modul ini merupakan bagian dari proyek “Young Leader Cross-religi-on Joint Council on Promoting Peace and Conf-lict Transformation throught Local Wisdom an ICT” yang didukung langsung oleh Berghof Foundation, Berlin, Jerman. Kegiatan ini ber-langsung di Hotel Savitta Inn, Sleman, Jumat (28/11/2014).

Kemudian dilanjutkan dengan diskusi dengan format focus group discusion (FGD). Diskusi ini diarahkan langsung oleh Zaki Habibi selaku moderator. Dalam pemaparan-nya, Zaki menjelaskan tujuan diskusi ini ada-lah untuk mempertemukan organisasi dan komunitas pemuda yang memiliki konsen-trasi di bidang lintas-iman dan kearifan lokal. Selain itu, ia berharap agar organisasi dan ko-

munitas yang diundang untuk membangun potensi untuk mewujudkan perdamaian di masing-masing daerahnya.

Memasuki sesi diskusi yang diawali oleh Steve Gaspersz, salah seorang peneliti yang tu-rut menghimpun data dan temuan dalam mo-dul tersebut, menyampaikan tentang dampak konflik di Ambon. Menurut Gaspersz yang juga berasal Ambon, setelah konflik Ambon terjadi, para veteran konflik berbondong-bon-dong melakukan transmigrasi ke kota Jakarta sebagai preman untuk kepentingan pengusaha dan partai politik tertentu. Selain itu, pemuda yang melakukan provokator perdamaian dibu-nuh. “Di Ambon tidak ada ruang publik yang mengakomodasi energi pemuda di bidang seni dan kreativitas,” ujar pria yang masih aktif se-bagai mahasiswa ICRS tersebut.

Salah seorang peserta berasal dari Ku-dus, Sugi Hariyadi memberikan komentar tentang kondisi masyarakat Indonesia yang

membutuhkan rasa aman. Sela-in itu, Sugi mengibaratkan agama adalah api, bila digunakan secara positif akan menjadi obor yang menerangi, namun bila digunakan secara negatif akan digunakan un-tuk bakar-bakaran. “Konflik bisa diperjuangkan melalui jalur politik tanpa mempolitisir. Artinya jangan mendramatisasi politik konflik,” usulnya.

Optimalisasi Peran Pemuda dalam Transformasi Konflik

Parapesertayangsebagianbesarpemudatampakantusiasmengikutijalannyafocus group discusion diHotelSavitaInn.

Page 16: Manifesto edisi 3

16 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014

PENDAPAT

cElOTEh

Konsep pendidikan perdamaian, dua termayangsepertinyadihadapkandemigoalsebuahperdamaian.Apasetiappesertadidiksaatinidianggapgagalmembawakedamaian?Sekali-gusmendapatkanpelajaranhitam-putih?

Idealnya,pendidikantidakhanyasebatasmengampanyekan/mengajak pada perda-maian. Namun,mampumembangun situasidan kondisi lingkungan sosial yang kondusifpula demi terwujudnya goal tersebut. Se-mangatnya haruslah berdasarkan nilai-nilaihumanisme universal. Tidak sebatas padatoleransi,yanghanyamemahamiperbedaansaja.Namunjugamenjunjungtingginilai-nilaipluralisme. Apalagi jika dihadapkan oleh ke-beragamanbangsadansukudiIndonesiaini.

Agung HidayatIlmuKomunikasi2011UniversitasGadjahMada,Yogyakarta

Pendidikansaatinisudahbanyakyangmu-laimenghapustotalunsurSARA.Karenajikahalinidibiarkansedikitsaja,dampaknyabisajadi fatal. Isu SARA adalah persoalan yangteramatsensitifterpicunyakonflik.

Entahdi Indonesia sudahadausahaun-tuk merealisasikan hal seperti ini di duniapendidikan atau belum. Jelas, hal semacaminimerupakantanggungjawabbersama.Pan-casila,sertakalimatyangadadisesobekkaindi cengkeraman burung garuda itu, bukan-lah rekayasa atau basa-basi para pendahuluuntuk formalitas belaka.Melainkanmenjadipeganganganberbangsauntukmenjagaper-damaianditengahpluralitasmasyarakat.

Mohammad PanduIlmuAl-QurandanTafsirHadis2012UINSunanKalijaga,Yogyakarta

+ Semua yang kita lakukan harus atas nama agama.

- Termasukkorupsikitabsuci.

+ Penyebutan nama Tuhan: OM = Hindu, Bapa = Kristen.

- Kalaujadisatukeluargadong?

+ Presiden itu harus dikritik.- Kalau tidak bisa ngritik buat presiden

tandingan.

+ Kita harus jadi pemuda antikorupsi.- Datangsajatelat.Itukorupsiwaktu.

+ Mahasiswa adalah agent of change - Tapikadangmahasiswaadalahagent of

change(ng).