Manifestasi Klinis Gangguan Konversi

2
 Manifestasi Klinis Gangguan Konversi Paralisis, buta, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling sering.  Gangguan konversi mungkin paling sering berhubungan dengan gangguan kepribadian  pasif-agresif, dependen, antisosial, dan histrionik. Gejala gangguan depresif d an kecemasan seringkali dapat menyertai gangguan konversi, dan pasien yang terke na berada dalam resiko untuk bunuh diri. Gejala Sensorik. Pada gangguan konversi, anestesia dan parestesia adalah gejala yang lazim ditemukan, khususnya anggota gerak. Semua modalitas sensorik dapat te rlibat dan distribusi gangguan biasanya tidak konsisten dengan yang ditemukan pa da penyakit neurologis perifer maupun sentral. Dengan demikian, klinisi dapat me lihat anestesia Stocking and-glove pada tangan atau kaki yang khas, atau hemianeste sia tubuh yang dimulai tepat di sepanjang garis tengah. Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ indera spesifik dan dapat menimb ulkan tuli, buta, serta penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejala ini dapat  unilateral atau bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensori k yang utuh. Pada kebutaan gangguan konversi, contohnya, pasien berjalan berkeli ling tanpa bertabrakan atau mencederai diri sendiri, pupilnya bereaksi terhadap cahaya, dan evoked potential korteks normal. Gejala Motorik. Gejala motorik meliputi gerakan abnormal, cara berjalan, kelemah an, dan paralisis. Tremor ritmikal yang jelas, gerakana koreiform, tic, dan sentak an dapat ditemukan. Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang memperhatikan  mereka. Satu gangguan gaya berjalan yang dapat ditemukan pada gangguan konversi  adalah astasia-abasia, yaitu gaya berjalan yang sangat ataksik dan sempoyongan yang disertai gerakan batang tubuh yang menyentak, iregular, kasar, dan gerakan lengan yang menggelepar dan bergelombang. Pasien dengan gejala tersebut jarang t erjatuh; jika jatuh, umumnya mereka tidak cedera. Gangguan motorik lainnya yang sering ditemukan adalah paralisis dan paresis yang  mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas, walaupun distribusi otot yang ter libat tidak sesuai dengan jaras saraf. Refleks tetap normal; pasien tidak mengal ami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah paralisis konversi yang berlang sung lama); temuan elektromiografi normal. Gejala Kejang. Kejang semu (pseudoseizure) adalah gejala lain gangguan konversi.  Klinisi mungkin akan merasa sulit membedakan kejang semu dengan kejang yang ses ungguhnya hanya dengan pengamatan klinis saja. Selain itu, kira-kira sepertiga p asien yang mengalami kejang semu juga memiliki gangguan epileptik. Menggigit lid ah, inkontinensia urin, dan cedera setelah terjatuh dapat terjadi pada kejang se mu walaupun gejala tersebut umumnya tidak ada. Refleks pupil dan batuk tetap ada  setelah kejang semu dan konsentrasi prolaktin pasien tidak mengalami peningkata n setelah kejang. Sumber: Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan & Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2010. h. 84-115.

Transcript of Manifestasi Klinis Gangguan Konversi

Page 1: Manifestasi Klinis Gangguan Konversi

7/21/2019 Manifestasi Klinis Gangguan Konversi

http://slidepdf.com/reader/full/manifestasi-klinis-gangguan-konversi 1/1

Manifestasi Klinis Gangguan KonversiParalisis, buta, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling sering. Gangguan konversi mungkin paling sering berhubungan dengan gangguan kepribadian pasif-agresif, dependen, antisosial, dan histrionik. Gejala gangguan depresif dan kecemasan seringkali dapat menyertai gangguan konversi, dan pasien yang terkena berada dalam resiko untuk bunuh diri.Gejala Sensorik. Pada gangguan konversi, anestesia dan parestesia adalah gejalayang lazim ditemukan, khususnya anggota gerak. Semua modalitas sensorik dapat terlibat dan distribusi gangguan biasanya tidak konsisten dengan yang ditemukan pada penyakit neurologis perifer maupun sentral. Dengan demikian, klinisi dapat melihat anestesia Stocking and-glove pada tangan atau kaki yang khas, atau hemianestesia tubuh yang dimulai tepat di sepanjang garis tengah.Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ indera spesifik dan dapat menimbulkan tuli, buta, serta penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejala ini dapat unilateral atau bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang utuh. Pada kebutaan gangguan konversi, contohnya, pasien berjalan berkeliling tanpa bertabrakan atau mencederai diri sendiri, pupilnya bereaksi terhadapcahaya, dan evoked potential korteks normal.Gejala Motorik. Gejala motorik meliputi gerakan abnormal, cara berjalan, kelemahan, dan paralisis. Tremor ritmikal yang jelas, gerakana koreiform, tic, dan sentakan dapat ditemukan. Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang memperhatikan mereka. Satu gangguan gaya berjalan yang dapat ditemukan pada gangguan konversi adalah astasia-abasia, yaitu gaya berjalan yang sangat ataksik dan sempoyonganyang disertai gerakan batang tubuh yang menyentak, iregular, kasar, dan gerakan

lengan yang menggelepar dan bergelombang. Pasien dengan gejala tersebut jarang terjatuh; jika jatuh, umumnya mereka tidak cedera.Gangguan motorik lainnya yang sering ditemukan adalah paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas, walaupun distribusi otot yang terlibat tidak sesuai dengan jaras saraf. Refleks tetap normal; pasien tidak mengalami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah paralisis konversi yang berlangsung lama); temuan elektromiografi normal.Gejala Kejang. Kejang semu (pseudoseizure) adalah gejala lain gangguan konversi. Klinisi mungkin akan merasa sulit membedakan kejang semu dengan kejang yang sesungguhnya hanya dengan pengamatan klinis saja. Selain itu, kira-kira sepertiga pasien yang mengalami kejang semu juga memiliki gangguan epileptik. Menggigit lidah, inkontinensia urin, dan cedera setelah terjatuh dapat terjadi pada kejang semu walaupun gejala tersebut umumnya tidak ada. Refleks pupil dan batuk tetap ada

 setelah kejang semu dan konsentrasi prolaktin pasien tidak mengalami peningkatan setelah kejang.

Sumber: Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan & Sadock Sinopsis Psikiatri IlmuPengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2010. h. 84-115.