Mangrove
-
Upload
natazsa-puri-gracia -
Category
Documents
-
view
39 -
download
14
description
Transcript of Mangrove
-
34
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1. ANALISA
4.1.1. Kondisi Kawasan Mangrove di Pesisir Pantai Timur Kabupaten
Serdang Bedagai
Kawasan mangrove di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai tersebar di
lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan, Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk
Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalipah. Dari keseluruhan kawasan
mangrove seluas 3.691,6 hektar yang berada di wilayah Kabupaten Serdang
Bedagai, maka kondisi kawasan mangrove tersebut saat ini, seluas 919,89
hektar (24,8%) termasuk masih dalam kondisi baik. Sebagian lain dari kawasan
mangrove tersebut telah mengalami kerusakan dengan tingkatan yang berbeda.
Wilayah seluas 576,49 hektar (15,6%) termasuk dalam kategori rusak sedang
dan seluas 2.204,22 (59,6%) berada dalam kondisi rusak berat.
Dari hasil studi literatur dan cross check pengamatan di lapangan
diidentifikasi 9 (Sembilan) jenis mangrove yang ada dikawasan mangrove
Kabupaten Serdang Bedagai, yaitu jenis: nipah (Nypa fruticans), api-api
(Avicennia marina, Avicennia lanata), perepat (Sonneratia alba), Tanjang
(Bruguiera cylindrical), Bakau (Rhizophora apiculata), Waru (Hibiscus tiliaceus),
Truntun (Lumnitzera littorea), Buta-buta (Excoecaria agallocha) dan Lenggade.
Yang paling banyak dijumpai di lokasi kajian adalah mangrove jenis api-api
(Avicennia marina, Avicennia lanata) dan jenis Bakau (Rhizophora apiculata).
-
35
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Gambar 4.1. Kondisi Kawasan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber: Hasil Survey Lapangan
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar
yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata
tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat
(Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih
tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini. Di
bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui
campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.) dan
lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui
nipah (Nypa fruticans) maupun pidada (Sonneratia caseolaris). Pada bagian
yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan kayu buta-buta (Excoecaria
agallocha) maupun truntun (Lumnitzera littorea).
-
36
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
4.1.2. Kondisi Spatial Biofisik Mangrove
Informasi utama tentang kondisi spasial biofisik wilayah diekstraksi dari
data indera jarak jauh/citra satelit, di antaranya adalah jenis penutupan lahan
(land cover), keberadaan dan posisi lokasi, luasan dan tingkat kerapatan
vegetasi. Berdasarkan hasil olahan data dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis, diketahui bahwa jenis peruntukan lahan di kawasan pesisir Kabupaten
Serdang Bedagai terdistribusi ke berbagai jenis peruntukkan, baik ekosistem
mangrove maupun non ekosistem mangrove. Selain untuk kegiatan pemukiman,
berbagai kegiatan budidaya terdapat di kawasan ini, seperti budidaya pertanian
lahan basah, budidaya perkebunan, budidaya perikanan, dan sebagian lahan
yang tidak produktif.
Jenis penutupan lahan berupa vegetasi non kayu, masih terlihat rapat di
wilayah Kecamatan Perbaungan dan dan Pantai Cermin. Sedangkan untuk jenis
penutupan lahan berupa lahan terbuka hijau seperti pertanian, perkebunan dan
lainnya hampir merata di seluruh bagian wilayah yang menjadi lokasi penelitian
ini.
Gambar 4.2. Kondisi Spasial Kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Hasil Citra Ikonos
-
37
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
4.1.3. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai
Pada umumnya masyarakat pesisir memiliki mata pencaharian yang
saling bertumpang tindih. Umumnya tingkat pendidikan masyarakat pesisir ini
masih rendah dengan taraf ekonomi yang juga tergolong rendah. Sebagian besar
masyarakat sekitar mangrove di sepanjang pantai timur Kabupaten Serdang
Bedagai menggantungkan kehidupannya sebagai nelayan. Pada umumnya
masyarakat pesisir memanfaatkan sumberdaya alam yang ada disekitar mereka
untuk membuat tempat-tempat mereka bermukim.
Namun seringkali kondisi ini dieksploitasi oleh pihak-pihak lain untuk
kepentingan pihak tertentu. Hal ini disebabkan tingkat pemahaman, sumber daya
manusia maupun perekonomian yang tergolong rendah. Seperti dalam
pembukaan tambak, dulunya (sekitar era tahun 1970 s/d 1980) kawasan tersebut
merupakan kawasan vegetasi mangrove yang pada saat itu merupakan tegakan
tumbuhan dalam bentuk pohon. Pada saat itu masyarakat memang sudah mulai
melakukan perambahan hutang mangrove untuk dimanfaatkan kayunya sebagai
kayu bakar, namun perambahan yang dilakukan tidak sampai merusak pohon,
apalagi lahan hutan mangrove. Kemudian kondisi ini berubah sekitar tahun 1982,
dimana pada saat itu komoditi udang jenis Tiger merupakan komoditi yang
menjadi primadona pada saat itu. Kegiatan budidaya udang jenis Tiger
tersebut tumbuh menjamur di sekitar kawasan tersebut ditandai dengan
pembuatan tambak-tambak di sekitar kawasan.
Pembuatan tambak-tambak tersebut pada awalnya dilakukan oleh
beberapa kelompok masyarakat dalam skala yang kecil, yang terdiri dari usaha
rumah tangga petani atau beberapa kelompok masyarakat. Keinginan
masyarakat pada saat itu muncul adalah karena faktor keuntungan yang lumayan
menggiurkan dengan harga pemasaran pada saat itu. Pada saat panen tiba,
dalam satu hektar lahan tambak bisa menghasilkan 5 ton udang. Waktu
dibutuhkan untuk memelihara udang jenis Tiger ini adalah selama empat bulan,
sedangkan dalam waktu satu tahun masyarakat petani tambak bisa melakukan
penanaman bibit sebanyak dua kali, jadi bisa dibayangkan keuntungan
masyarakat petani di kawasan tersebut pada saat itu, wajar apabila keinginan
masyarakat sangat besar untuk melakukan usaha budidaya udang.
-
38
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Ketidakwajarannya adalah mereka memanfaatkan lahan yang seharusnya tidak
dibenarkan untuk usaha budidaya tersebut, karena memang kawasan tempat
mereka melakukan usaha budidaya tersebut adalah kawasan lindung. Kondisi ini
terjadi adalah karena ketidakpahaman masyarakat akan pentingnya keberadaan
jalur hijau dalam hal ini hutan mangrove.
Gambar 4.3 Gambaran Umum Kondisi Masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber: Hasil Survey Lapangan
-
39
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
4.2. PEMBAHASAN
4.2.1. Potensi Pemanfaatan Mangrove Saat Ini
Masyarakat sekitar mangrove di sepanjang pantai timur Kabupaten
Serdang Bedagai sejak lama telah memanfaatkan berbagai potensi mangrove
yang ada di sekitar mereka. Pada umumnya mereka memanfaatkan mangrove
untuk mendapatkan potensi ekonominya. Pemanfaatan tersebut umumnya
berupa mencarai kayu bakar dari hutan mangrove, membuat atap rumah,
mencari kepiting dan kepah serta membuka tambak ikan.
Pemanfaatan mangrove dilakukan oleh masyarakat tersebut sebagai
pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan. Pemanfaatannya dilakukan secara
sederhana dan masih bersifat tradisional. Hal ini terkait dengan rata-rata tingkat
pendidikan masyarakat yang masih rendah dan menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan kurang maksimalnya pemanfaatan mangrove dengan cara yang
lebih baik lagi
Pemanfaatan Kayu Bakar
Pemanfaatan dari hutan mangrove yang paling dominan dilakukan
masyarakat adalah mengumpulkan kayu bakar. Pemanfaatan kayu bakar ini
banyak dilakukan masyarakat dengan cara pengerjaannya yang relatif mudah,
yaitu menggunakan peralatan sederhan seperti parang maupun kapak.
Umumnya kayu bakar yang diambil adalah jenis kayu yang sudah tua atau mati.
Tujuannya adalah untuk menjaga keberlangsungan tanaman muda dan juga
mempermudah pengerjaan. Yang paling sering dimanfaatkan untuk kayu bakar
adalah mangrove yang berjenis Bakau (Rhizophora apiculata) karena mudah
terbakar.
-
40
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Gambar 4.4 Pemanfaatan Kayu Bakar dari Hutan Mangrove
Sumber: Hasil Survey Lapangan
Pemanfaatan Nipah untuk atap rumah
Pemanfaatan nipah yang dijadikan sebagai atap rumah merupakan
bentuk pemanfaatan lain yang dilakukan masyarakat sekitar hutan mangrove.
Daun nipah yang diambil dari hutan kemudian dipotong dengan ukuran yang
disesuaikan. Selanjutnya daun nipah tersebut dijalin dan digabungkan dengan
yang lainnya dan dengan menggunakan batang daun nipah tersebut sebagai
penopang/penahan daun itu kemudian dirajut agar kuat. Atap daun nipah ini
dapat bertahan sekitar 1 (satu) tahun. Pembuatan atap dari jenis nipah ini dapat
dilihat seperti pada gambar 4.5..
Gambar 4.5. Kerajinan daun Nipah
Sumber: Hasil Survey Lapangan
-
41
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Tambak
Tambak yang dikelola masyarakat berada disekitar mangrove.
Pembuatan tambak-tambak tersebut pada awalnya dilakukan oleh beberapa
kelompok masyarakat dalam skala kecil yang terdiri dari usaha rumah tangga
petani atau beberapa kelompok masyarakat. Keinginan masyarakat itu muncul
karena faktor keuntungan yang lumayan menggiurkan karena pemasaran jenis
udang tiger yang cukup tinggi. Pemanfaatan tambak udang cukup menjanjikan,
hanya saja memerlukan modal yang cukup besar dan ketelatenan dari
pengusaha tambak. Namun dalam pengelolaannya perlu tetap memperhatikan
lingkungan sehingga tidak sampai menyebabkan kerusakan mangrove, serta
menjaga kelestarian dengan mengkombinasikan tanaman di dalam tambak
(Sylvofishery).
Gambar 4.6 Pola Empang Parit (Sylvofishery)
Sumber: Hasil Survey Lapangan
Kepiting dan Kepah
Kepiting dan kepah merupakan salah satu hasil hutan non kayu dari
sekitar mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Cara penangkapan
kepiting yang dilakukan masyarakat masih sangat tradisional dengan
menggunakan galah yang dipasangi kait untuk mengeluarkan kepiting dari
lubangnya. Sedangkan untuk kepah, dilakukan dengan cara mengumpulkannya
begitu saja. Namun belakangan masyarakat sekitar mangrove mulai kesulitan
mencari kepiting dan kepah karena sulit di dapat. Hal ini disebabkan kondisi fisik
-
42
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
mangrove yang rusak sehingga kepiting dan kepah tidak berkembang biak
dengan baik lagi. (tempat pemijahan tidak ada lagi).
Gambar 4.7 Kepiting dan Kepah
Sumber: Hasil penelusuran internet
Kerajinan makanan
Sebagian masyarakat yang berada di sekitar mangrove memanfaatkan
dan mengelola mangrove dalam bentuk berbagai kerajinan makanan. Beberapa
jenis mangrove dapat dikembangkan dan dikelola menjadi bahan makanan yang
dikonversi ke dalam aneka makanan ringan dengan rasa yang baik, diantaranya
adalah:
Kerupuk Jeruju. Bahan kerupuk jeruju ini berasal dari jenis
mangrove jeruju. Dalam proses pembuatannya daun jeruju tersebut di
blender bersama dengan campuran tepung, pengharum serta bahan-
bahan lain pembuatan makanan. Selanjutnya hasil campuran tadi
dicetak untuk di kelola/dimasak menjadi makanan kering serta
dikemas dalam bentuk kemasan yang rapi dan menarik. Kerupuk
jeruju sebagai salah bentuk kerajinan makanan yang dimanfaatkan
dari mangrove dapat di lihat seperti pada gambar 4.8 berikut ini.
-
43
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Gambar 4.8. Kerupuk Jeruju
Sumber: Hasil Survey Lapangan
Dodol Api-api. Bahan dodol api-api ini berasal dari jenis mangrove
api-api (Avicennia). Dalam proses pembuatannya dengan
memanfaatkan buah dari Avicennia sebagai bahan utama. Hanya saja
dodol api-api tersebut masih memiliki kelemahan, yakni tidak tahan
lama dan cepat berjamur. Pembuatannya masih bergantung pada
pesanan/permintaan.
Selai Perepat dan Sirup. Bahan pembuatan selai prepat dan sirup ini
berasal dari jenis mangrove perepat (Sonneratia alba). Proses
pembuatannya dengan memanfaatkan buah dari Sonneratia alba
untuk dikelola menjadi selai maupun sirup.
-
44
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Gambar 4.9. Selai Perepat
Sumber: Hasil Survey Lapangan
4.2.2. Strategi Pengelolaan Potensi Mangrove
Aspek industri rumah tangga. Mangrove memiliki beberapa
keterkaitan bagi kebutuhan manusia baik sebagai penyedia bahan
pangan, sandang, kesehatan dan juga lingkungan maupun sebagai
penghasil bahan baku industri dan sebagainya. Hal ini senada dengan
(Nugroho dkk, 1991) bahwa secara ekonomis hutan mangrove
merupakan penyedia bahan bakar dan bahan baku industi. Beberapa
jenis mangrove dapat digunakan sebagai bahan baku industri rumah
tangga seperti atap dari daun nipah serta berbagai aneka makanan.
Tanaman Bruguiera bisa dibuat menjadi makanan padat. Sedangkan
jenis Sonneratia bisa dibuat makanan cair atau minuman. Buah ini
dapat diolah menjadi sirup, dodol, kerupuk, jenang dan klepon dan
tumbuhan ini adalah satu-satunya jenis tanaman di dunia yang
buahnya mengandung yodium.
Potensi yang dimiliki mangrove itu perlu dikembangkan dengan
menjaga kelestarian jenis tumbuhan mangrove yang dapat
-
45
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bentuk industri kerajinan rumah
tangga menjadi lebih bernilai ekonomi melalui kerjasama dengan
pihak terkait/stakeholder (dinas perindustrian, kelompok pengrajin dan
lain-lain) melalui pemberian pelatihan-pelatihan ketrampilan, bantuan
modal serta informasi pemasaran.
Aspek perikanan. Secara umum fauna hutan mangrove membentuk
pencampuran antara dua kelompok, yaitu kelompok fauna
daratan/terrestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon
mangrove yang terdiri atas insekta, ular primate dan burung. Dan
yang kedua adalah kelompok fauna perairan/akuatik, yaitu yang hidup
di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang (menempati
substrak keras/akar dan batang pohon mangrove) dan kepiting dan
kerang (menempati substrak lunak/lumpur). Hasil penelitian yang
pernah dilakukan dengan memanfaatkan tambak tidak produktif di
Delta Mahakam menunjukkan perlakuan tambak dan kelas ukuran
berpengaruh terhadap pertumbuhan morfometrik (panjang cangkang,
tinggi cangkang, tebal cangkang) dan biometrik (berat total).
Pertumbuhan morfometrik dan biometrik kerang lebih cepat dan lebih
baik pada tambak Rhizophora sp dari tambak tanpa vegetasi.
Kelangsungan hidup kerang pada Rhizophora sp 100 %, sedangkan
tambak tanpa vegetasi 90,12 %. Parameter lingkungan seperti suhu,
oksigen terlarut, salinitas dan pH masih mendukung bagi
perkembangan kerang kepah.
-
46
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Gambar 4.10.
Diagram ilustrasi penyebaran fauna di habitat ekosistem mangrove
Sumber : Irwanto,Keanekaragaman Fauna dan Habitat Mangrove, 2006
Keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas
perikanan pada perairan bebas. Dalam mengakomodasi kebutuhan
lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola
dengan model silvofishery atau empang parit yang dikaitkan dengan
program rehabilitasi pantai dan pesisir.
Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan
mangrove, semula, empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 m
yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove,
sehingga keluasannya mencapai 10-15% dari total area garapan.
Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir
kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup (Wirdarmodjo dan
Hamzah, 1984; Perum Perhutani Jawa Barat, 1984). Sejak tahun
1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20 % areal
untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk hutan dengan pasang surut
bebas.
Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng
dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-
/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995).
-
47
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Dalam membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai,
Sulawesi Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan
relatif lebih baik daripada pola empang parit, baik dalam hal
produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan
hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada masing-
masing pola (Sumedi dan Mulyadhi, 1996). Selisih pertumbuhan
mutlaknya hanya 9,6 g sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Poedjirahajoe (2000) yang
mengemukakan bahwa justru pola empang parit menghasilkan
bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 kg lebih berat
dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua
sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani
petambak. Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove
dengan sistem ini cukup besar. Data dari KPH Purwakarta
menunjukkan bahwa dari luas areal mangrove seluas 14.535 ha dapat
melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam kegiatan silvofoshery
(Perhutani Purwakarta, 2005). Data dari Badan Litbang Pertanian
(1986) dalam Anwar (2005) menggambarkan bahwa kontribusi dari
usaha budidaya tambak dengan luas total 208.000 ha dapat
menghasilkan 129.279 ton ikan dan udang yang apabila ditaksir,
nilainya melebihi dari Rp 138 milyar. Kegiatan ini pun dilaporkan
dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 117.034 KK yang sudah
barang tentu dapat memberikan penghasilan yang lebih baik bagi
petani kecil. Dalam hal ini perlu adanya transformasi pengetahuan
kepada masyarakat sekitar kawasan mangrove Kabupaten Serdang
Bedagai untuk dapat menerapkan pola silvofishery melalui dinas
terkait dalam ini dinas perikanan dan kelautan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan
mangrove.
-
48
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Aspek pariwisata dan pendidikan
Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan
obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di
peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa
hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan
langsung dari alam. Pantai Timur Pesisir Kabupaten Serdang
Bedagai dengan areal mangrove seluas 3.691,6 ha memiliki peluang
untuk dijadikan areal wisata mangrove.
Dari keseluruhan kawasan mangrove seluas 3.691,6 hektar yang
berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai dengan kondisi
kawasan mangrove seluas 919,89 hektar (24,8%) termasuk masih
dalam kondisi baik, 576,49 hektar (15,6%) termasuk dalam kategori
rusak sedang dan seluas 2.204,22 (59,6%) berada dalam kondisi
rusak berat masih memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata
mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung
bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu
menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan
menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti
membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi
pemandu wisata.
Dengan mengangkat konsep pariwisata mangrove serdang bedagai
dalam bentuk EMT (Ekowisata dan Mangrove Track) diharapkan
kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata mangrove di
sumatera utara yang dapat memberikan pendapatan langsung bagi
pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu
menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan
menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti
membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi
pemandu wisata. Juga memberikan nilai edukasi terhadap
pengunjung tentang keberadaan dan arti penting dari mangrove dan
-
49
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
habitat yang tersedia di kawasan mangrove itu. Serta menjadi pusat
kajian/penelitian dan informasi tentang mangrove dan ekosistemnya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya dukungan sarana dan
prasarana yang memadai dari dinas terkait, seperti penyediaan
sarana dan prasarana transportasi (jalan wisata) dan air bersih oleh
dinas tata ruang dan permukiman serta manajemen pengelolaan dan
promosi oleh dinas pariwisata kabupaten serdang bedagai.
Aspek kehutanan/lingkungan. Gunawan dan Anwar (2005)
menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan
pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan
hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih
bermangrove (silvofishery). Saat ini sedang diteliti, di mana
kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan,
atau pun ikan). Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya
melaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor
penyakit malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring
dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini
mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria
dengan makin terbukanya areal-areal pertambakan perikanan. Hal
tersebut di atas mengindikasikan peranan penting mangrove terhadap
lingkungan. Chairil Anwar dan Hendra Gunawan, 2007
mengungkapkan peranan ekologis mangrove diantaranya berkaitan
dengan :
A. Mangrove dan Tsunami
Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik
sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan
dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin,
penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat
yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung,
dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya
bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang
-
50
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir
tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa
pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai.
Dilaporkan bahwa pada wilayah yang memiliki mangrove dan
hutan pantai yang relatif baik, cenderung kurang terkena dampak
dari gelombang tsunami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30
pohon/100 m dengan diameter batang 15 cm dapat meredam
sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko,
2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m
di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang
sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan
mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al., 2002).
Hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian
model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun
bakau (Rhizophora spp.) memantulkan, meneruskan, dan
menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam
perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut.
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di
sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang tsunami
yang menerjang pantai. Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda
dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi mangrove,
terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan
cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.
B. Mangrove dan Sedimentasi
Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari
sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Erosi di pantai
Marunda, Jakarta yang tidak bermangrove selama dua bulan
mencapai 2 m, sementara yang berbakau hanya 1 m (Sediadi,
1991). Dalam kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di
hutan mangrove, Anwar (1998) dengan mengambil lokasi
-
51
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
penelitian di Suwung Bali dan Gili Sulat Lombok,
menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m/th atau
setara dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia alba); 9,0 kg/m/th
atau 6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6,0 kg/m /th atau
4,3 mm/th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m/th atau 6,0 mm/th
(mangrove campuran). Dengan demikian, rata-rata akumulasi
tanah pada mangrove Suwung 12,6 kg/m/th atau 9 mm/th, sedang
mangrove Gili Sulat 8,5 kg/m/th atau 6,0 mm/th. Data lain
menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya pengendapan
tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/th atas kehadiran
mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna
mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di
kemudian hari.
C. Mangrove dan Siklus Hara
Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan. Dari
banyak penelitian menunjukkan gugur daun mangrove
memberikan sumbangan unsur hara bagi flora dan fauna yang
hidup di derah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran
hara dalam ekosistem mangrove. Salah satunya Sukardjo (1995)
menyatakan hasil pengamatan guguran serasahnya sebesar
13,08 ton/ha/th, yang setara dengan penyumbangan 2 kg P/ha/th
dan 148 kg N/ha/th.
D. Mangrove dan Intrusi Air Laut
Mangrove juga mampu dalam menekan laju intrusi air laut ke arah
daratan. Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air
sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa
kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah Pemalang dan Jepara
dengan kondisi mangrove-nya yang relatif baik, masih tergolong
baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa
Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km.
-
52
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
E. Mangrove dan Keanekaragaman Hayati
Mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis
satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup
tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna
akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok
terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung
(Nirarita et al., 1996). Selain itu hutan mangrove berperan sebagai
habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti pecuk ular
(Anhinga anhinga melanogaster), bintayung (Freagata andrew-si),
kuntul perak kecil (Egretta garzetta), kowak merah (Nycticorax
caledonicus), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), ibis hitam
(Plegadis falcinellus), bangau hitam (Ciconia episcopus), burung
duit (Vanellus indicus), trinil tutul (Tringa guitifer), blekek asia
(Limnodromus semipalmatus), gegajahan besar (Numenius
arquata), dan trulek lidi (Himantopus himantopus) (Sutedja dan
Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, kuntul
perak (E. intermedia), kuntul putih besar (E. alba), bluwok (Ibis
cinereus), dan cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari
makan di dekat hutan mangrove (Whitten et al., 1988).
Menyimak peran penting ekologis mangrove, perlu upaya untuk
menjaga kelestarian serta memperbaiki (replanting) mangrove yang
telah rusak maupun yang beralih fungsi tanpa memiliki izin dari
pemerintah. Dan mengembangkan jenis mangrove serta
memanfaatkannya secara selektif dan sistem tebang pilih terhadap
nilai ekonomis yang dimilikinya. Dalam hal ini dibutuhkan sinergitas
dinas kehutanan dan perkebunan dengan dinas kelautan dan
perikanan serta lembaga kemasyarakatan dalam Gerakan Menanam
Sejuta Mangrove (Gematama) yaitu dengan mengajak partisipasi
masyarakat untuk melakukan penanaman sejuta mangrove yang
difasilitasi oleh para stakeholder di atas.
-
53
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Gambar 4.11. Penanaman Mangrove
Sumber: Hasil penelusuran internet
4.2.3. Pemanfaatan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan.
Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan
mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat
(tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka
biota perairan, tempat berlindung dan berkembang biak berbagai jenis burung,
mamalia, reptil maupun serangga serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan
fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar,
arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), penghasil keperluan
industry (bahan baku kertas/pulp, tekstil, penyamak kulit, pewarna), dan
penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kepah serta sebagai pariwisata,
penelitian dan pendidikan (Santoso dan H.W. Arifin, 1998).
4.2.3.1. Perikanan
Perikanan pada umumnya merupakan sumber daya ekonomi yang
paling utama di kawasan mangrove. Secara umum terlihat bahwa tambak yang
ada di kawasan mangrove Kabupaten Serdang Bedagai menggunakan tambak
intensif. Dimana pada tambak intensif semua tumbuhan mangrove dibersihkan,
tumbuhan mangrove hanya disisakan ditepian tambak khususnya yang
berbatasan dengan sungai untuk mencegah abrasi. Sementara apabila
-
54
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
menggunakan sistem empang parit, luasan tambak dan luasan vegetasi
mangrove yang disisakan relatif sama (Hartina, 1996) sehingga tetap
memungkinkan tumbuhnya vegetasi mangrove. Pengelolaan tambak dengan
sistem empang parit merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ekosistem
mangrove yang ramah lingkungan. Teknik pengelolaan tambak empang parit
dapat dijadikan sebagai alternatif pengelolaan tambak di kawasan mangrove.
Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung usaha pertambakan.
Setyawan dan Kusmono (2006) menyebutkan vegetasi mangrove yang subur
dapat mencegah erosi, menjaga area dari banjir, badai dan bencana alam lain
sehingga tidak diperlukan biaya tinggi untuk membangun infrastruktur tambak.
Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai sumber daya perikanan pantai, yakni
sebagai tempat pemijahan ikan-ikan sehingga jumlahnya dapat berkembang biak
secara alami dan dalam jumlah yang mencukupi.
Gambar 4.12. Pola Empang Parit (Sylvofishery)
Sumber: Hasil survey lapangan
4.2.3.2. Bahan Pakan Ternak
Pakan ternak dari tumbuhan mangrove umumnya mencakup daun atau
raning Rhizophora, Soneratia, Avicennia serta jensi rumput-rumputan
(Gramineae). Hal ini dilakukan di Pantai Utara maupun Pantai Selatan Pulau
Jawa. Pemanfaatan tumbuhan mangrove untuk pakan ternak tidak ditemukan
disepanjang kawasan mangrove Kabupaten Serdang Bedagai. Tampaknya
orientasi masyarakat dalam pemanfaatan mangrove lebih kepada pemanfaatan
kayu bakar dan pengolahan nipah. Dengan tetap menjaga kelestarian mangrove,
-
55
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
maka pengolahan mangrove dalam pengembangan pakan ternak menjadi suatu
peluang bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan mangrove.
4.2.3.3. Obat-obatan
Kandungan bioaktif yang dimiliki tumbuhan mangrove banyak digunakan
untuk bahan obat-obatan yang meliputi anti-helmintik, anti mikrobia, antivirus,
anti jamur, kanker, tumor, diare, pendarahan, analgestik, inflamasi, disinfektan,
serta antioksidan dan astringen. Selain itu juga dapat digunakan sebagai racun
yang meliputi moluskisida, insektisida, racun ikan dan spermisida
(Bandaranayake, 1998 dalam Setyawan dan Kusmono, 2006).
Pemanfaatan tumbuhan mangrove yang ada di kawasan mangrove
Kabupaten Serdang Bedagai khususnya sebagai bahan obat-obatan masih
belum terlihat sama sekali. Hanya terbatas pada hal-hal yang sifatnya spontan
dan individual, terbatas pada orang-orang yang mengetahui manfaatnya saja.
Padahal potensi yang dimiliki tumbuhan mangrove sebagai bahan obat-obatan
cukup menjanjikan, dimana kandungan metabolit sekunder tumbuhan mangrove
yang sudah mulai banyak terungkap. Tumbuhan ini kaya akan steroid, triterpen,
saponin, flavonoid, alkaloid dan tannin yang banyak digunakan sebagai bahan
obat-obatan (Bandaranvake, 1995 dalam Setyawan dan Kusmono, 2006).
Apabila dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik, maka hal ini dapat
menjadikan masyarakat di sekitar kawasan mangrove yang ada menjadi
penyuplai bahan baku dengan tetap memperhatikan keberadaannya dan juga
memberikan perlindungan mangrove untuk menjaga keberlangsungannya.
Salah satu pemanfaatan mangrove yang sedang dilakukan di desa
Nagalawan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai adalah
meracik dan membuat Teh Hijau Mangrove yang terbuat dari daun Jeruju (yang
sedang dikembangkan oleh Yayasan Akar Rumput Laut - Yogyakarta) yang
berfungsi sebagai anti radang dan peluruh dahak (ekspekrotan) dan pembesih
darah, radang hati, obat gondok, sesak nafas, nyeri lambung dan kanker hati.
Bijinya dapat digunakan untuk obat bisul dan obat cacing serta luka gigitan ular.
-
56
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Gambar 4.13. Teh Hijau Mangrove
Sumber: Hasil survey lapangan
4.2.3.4.Bahan baku industri
Mangrove dengan berbagai jenis tumbuhan yang dimilikinya juga
memiliki potensi sebagai bahan baku industri. Walsh, 1997 berpendapat bahwa
pneumatofora Sonneratia alba dapat digunakan untuk sol sepatu. Sedangkan
mangrove jenis Rhizophora dapat digunakan untuk pulp. Menurut Field (dalam
Setyawan dan Kusmono, 2006) jenis tumbuhan mangrove lainnya memiliki
potensi sebagai bahan baku industry, seperti pheumatofora Bruguiera sexangula
yang dapat menghasilkan parfum dan rempah-rempah, ekstrak Excoecaria
agallocha untuk afrodisiak, ekstrak Avcennia spp untuk sabun, ekstrak Bruguiera
sexangula untuk lem. Tumbuhan mangrove juga dikenal sebagai sumber utama
tannin untuk bahan pewarna dan penyamak dalam dunia industri.
Pemanfaatan tumbuhan mangrove yang ada di kawasan mangrove
Kabupaten Serdang Bedagai khususnya sebagai bahan baku industri masih
belum terlihat sama sekali. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya informasi yang
diperoleh masyarakat atau belum adanya industri pengolahan di daerah tersebut.
Pemanfaatan jenis mangrove yang bisa diolah sebagai bahan baku industri
menjadi suatu peluang yang diperoleh masyarakat sebagai penyuplai bahan
baku industri. Pengembangan potensi ini diharapkan dapat menjadi salah satu
bagian dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
-
57
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
4.2.3.5.Pariwisata dan pendidikan
Pemanfaatan kawasan mangrove sebagai lokasi wisata sejak lama telah
dikembangkan. Dengan beragam jenis yang dimilikinya, hutan mangrove dapat
dimanfaatkan sebagai pariwisata alam yang berwawasan lingkungan dan
pendidikan. Pemanfaatan kawasan mangrove untuk pariwisata dikawasan
mangrove yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai belum terlihat. Hal ini bisa
jadi disebabkan sarana maupun prasarana yang belum memadai. Namun
pembangunan pariwisata juga tidak akan maksimal kalau hanya menunggu
peran dari pemerintah saja. Semua pihak baik pemerintah, masyarakat maupun
stakeholder lainnya dan pihak pengelola harus saling mengambil peran masing-
masing agar pembangunan pariwisata dapat terwujud dengan baik. Sebab
pariwisata juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain sebagai pariwisata terbuka yang bersifat alami, kawasan
mangrove juga dapat menjadi lokasi pendidikan konservasi, baik dari pelajar,
mahasiswa yang melakukan penelitian maupun masyarakat umum lainnya
dengan memanfaatkan dan mengembangkan konsep EMT (Ekowisata dan
Mangrove Track).
-
58
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
F A U N A M A N G R O V E
Rencana Pengembangan Konsep Ecowisata Mangrove Track (EMT) di Kawasan Mangrove Desa Nagawalan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai
Mangrove Track
Anjungan
Area Parkir
Kantor & Pusat Kajian
Aula
Musholla Toilet
Restaurant Pondok Wisata
Pondok Wisata
Outbond
Gapura
Ekowisata
Gambar 4.14. Site Plant Skenario Pengembangan Ekowisata dan Mangrove Track
Sumber: Rencana
-
59
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
4.2.3.6. Lingkungan
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem
mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar
pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam
pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu)
maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang
dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi
dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang
terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi
(Santoso, 2000).
Tumbuhan mangrove mampu beradaptasi terhadap kadar oksigen yang
rendah, salinitas yang tinggi, tanah yang kurang stabil dan pasang surut. Adaptasi
pohon mangrove terhadap kondisi lingkungan ini diwujudkan dalam bentuk
perakaran istimewa yang berfungsi sebagai akar nafas (Pneumatofora) serta
penunjang tegaknya pohon. Selain itu tumbuhan mangrove ini juga berfungsi
sebagai pagar depan dalam mencegah abrasi dan intrusi air laut.
Gambar 4.15. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Pantai
Sumber: Hasil survey lapangan
-
60
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
4.2.4. Pengembangan Potensi Tumbuhan Mangrove
4.2.4.1. Nipah (Nypa Fruticans)
Nipah secara umum dimanfaatkan oleh masyarakat dengan cara yang
sangat sederhana,yakni dimanfaatkan dalam pembuatan atap rumah. Menurut
Sihite,2005 bahwa penduduk asli di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(masyarakat suku Sough, Kuri dan Warnesa) memanfaatkan nipah mulai dari akar,
daun hingga buahnya. Pemanfaatan vegetasi nipah di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni seperti pada tabel 4.1. berikut .
Tabel 4.1. Pemanfaatan Nipah
Pemanfaatan Nipah (Nypa fruticans)
Bagian tanaman Tujuan Pemanfaatan Cara Pemanfaatan
Buah Nipah Tangkai daun Malai Akar
Bahan makanan Bahan makanan Bahan minuman Obat-obatan
Buah dari Nipah yang masih muda dan segar dibelah. Air dan daging dimakan dan diminum dengan rasa seperti buah kelapa muda. Tangkai daun dipotong kecil, dikuliti, diasapi di atas tungku api, setelah kering di bakar. Abunya diambil dan disimpan dalam media bambu sebagai pengganti garam dapur Malai dipotong, kemudian disadap untuk menghasilkan nira (dalam bahasa lokal disebut bobo, sejenis minuman lokal/tradisional Akar dibakar dan arangnya diletakkan pada gigi yang sakit
-
61
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Anak daun dan tangkai daun Daun
Sumber energi Perlengkapan perahu tradisional
Anak daun maupun tangkai daun yang telah kering diambil selanjutnya dibakar Bahan baku pembuatan atap perahu yang dapat bertahan 3 s/d 5 tahun
Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005; Asmuruf, 2001; Leftungun, 2004 (Sihite, 2005)
Garam Nipah. Pemanfaatan lain dari nipah dapat dilihat pada kelompok
masyarakat Desa Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten
Pontianak Kalimantan Barat (Santoso, 2005). Selain manfaat yang
sudah ada, masyarakat Batu Ampar mencari manfaat lain dari nipah
sebagai potensi ekonomi sebagai tambahan sumber pendapatan.
Bahan yang digunakan adalah pelepah nipah yang sudah tua, biasanya
pelepah yang sudah diambil daunnya, dan jika dipotong daging
pelepahnya berwarna kemerahan (semakin kemerahan kadar garamnya
semakin tinggi). Pada prinsipnya proses pembuatan garam nipah ini
adalah proses pencucian atau pemisahan kadar garam yang terkandung
dalam pelepah nipah. Proses pembuatannya yaitu:
Bahan baku berupa pelepah nipah yang sudah tua sesuai
kebutuhan
Pelepah tersebut kemudian dibakar sampai menjadi abu.
Selanjutnya abu tersebut diayak untuk memisahkan antara abu
nipah dan abu kayu bakar.
Proses selanjutnya adalah proses pencucian. Setelah diperoleh
abu nipah kemudian disiram oleh air sampai abu tersebut larut.
Selanjutnya larutan tersebut disaring untuk diambil airnya saja.
Proses pencucian dihentikan jika abu nipah sudah tidak asin lagi.
-
62
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Setelah air saringan diperoleh, selanjutnya air tersebut
dipanaskan di atas perapian, sampai airnya menguap dan
diperoleh kristal garam. (Santoso, 2005)
Gula Nipah. Pengolahan gula nipah dilakukan oleh masyarakat di Desa
Ujung Manik, Kecamatan Kawung Anten Kabupaten Cilacap. Pengolahan
ini diawali dengan pemberian pelatihan yang dilakukan Dinas
Perindustrian Kabupaten Cilacap (Santoso, 2005).
Teknik pengolahan gula nipah yakni:
Permbersihan, dilakukan untuk menghindari peretakan dari sinar
matahari pada tandan siap deres. Memukul tandan yang siap
untuk di deres guna memperlancar keluarnya air dati tandan.
Penderesan, diawali dengan pembersihan dan penyiraman
tandan, kemudian pemotongan tandan mulai dari bagian bawah.
Selanjutnya air nipah ditampung dengan menggunakan wadah
atau kantong plastik yang diikatkan.
Pemasakan, setelah air nipah terkumpul kemudian di masak
dalam kuali tanpa campuran apapun. Pemasakan dilakukan terus-
menerus dan digodok dengan sendok hingga membentuk gula.
Pendinginan, setelah dilakukan pemasakan maka proses
selanjutnya adalah pencetakan pada cetakan bamboo,
selanjutnya didinginkan selama 1 jam.
Anyaman Nipah. Selain dibuat menjadi garam dan gula, nipah juga
dapat dimanfaatkan untuk membuat berbagai anyaman (kerajinan
tangan) seperti yang banyak ditemukan dipasaran. Berbagai bentuk
kerajinan anyaman dapat dibuat dengan menggunakan nipah tersebut
berdasarkan kreatifitas dan kemampuan yang dimiliki. Adapun bahan
untuk pembuatan anyamana nipah adalah:
-
63
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Lidi (batang daun nipah) yang umumnya sudah cukup umur, tidak
tua dan tidak terlalu muda. Batang daun nipah diambil sesuai
dengan kebutuhan.
Cara pembuatan dikerjakan seperti layaknya bahan dari rotan
yang biasanya dibuat keranjang, alas periuk, tempat pena, sapu
lidi, bakul kecil dan berbagai bentuk lainnya (Santoso, 2005).
Manisan buah nipah. Pemanfaatan nipah untuk bahan makanan dibuat
dari buah nipah yang masih muda (agak matang). Setelah buah nipah
dipetik dan dikupas kulitnya lalu direndam selama 3 (tiga) hari dengan air
masak ditambah kayu manis dan cengkeh untuk bahan pengawet dan
aroma, kemudian dimasak dengan air gula. Selain jadi manisan, juga
dapat dicampur dengan hidangan es sirup (Santoso, 2005).
Es buah nipah. Di Malaysia (Negeri Perak, Taiping), buah nipah
dimanfaatkan sebagai bahan baku minuman es buah nipah dan
tergolong menu special. Prosesnya hamper sama dengan pembuatan
manisan buah nipah yaitu buah niah muda dikupas dan daging buahnya
dipergunakan sebagai bahan utama es buah nipah (Santoso, 2005).
Kolak buah nipah. Di Pantai TImur Sumatera Utara, tepatnya daerah
Langkat, pada bulan puasa masyarakat memanfaatkan buah nipah muda
sebagai bahan baku makanan kolak. Proses pembuatannya cukup
mudah, buah nipah muda dikupas dan diambil dagingnya saja.
Selanjutnya siap untuk dimasak ke dalam adonan kolak seperti air, gula
dan santan (Santoso, 2005).
-
64
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
4.2.4.2. Api api (Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia officinalis)
Umumnya api-api sebagai salah satu jenis mangrove masih dimanfaatkan
untuk keperluan kayu bakar saja. Jika ditilik lebih jauh lagi ternyata api-api
mempunyai manfaat lain seperti halnya di daerah lain yang dimanfaatkan
masyarakat sekitar.
Pakan ternak. Di daerah Maluku dan Papua, ternak seperti halnya
kambing diberi pakan dedaunan api-api muda. Caranya cukup mudah
dengan mengumpulkan daun dari jenis api-api yang masih muda,
kemudian dijadikan sebagai pakan ternak. Pakan berupa dedaunan api-
api ini member keuntungan karena relative mudah didapati di sekitar
arela mangrove (Kusmana dkk, 2008).
Bahan makanan. Buah api-api juga dapat dijadikan bahan makanan,
namun harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Sebab di dalam
buah api-api ini mempunya kandungan toxic yang cukup berbahaya jika
dikonsumsi. Jenis tanaman api-api yang telah diketahui dimanfaatkan
sebagai sumber bahan makanan adalah Avicennia marina dan Avicennia
officinalis. Hal ini dikaji pada saat Lomba Masak Makanan Berbahan
Baku Mangrove di Muara Gembong, Bogor (Santoso, 2005).
Setelah buah ini diolah baru dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk
pembuatan makanan seperti: donat api-api, bubur sumsum api-api, tusuk
sate birayo, dadar birayo, talam asin api-api, dawet api-api, wajit api-api,
putri malu api-api, putri ayu api-api, kue bugis api-api, bola manis api-api,
biji salak api-api, gemblong api-api, puding api-api, lumpia api-api, wijen
api-api, bolu buah api-api, agar-agar buah api-api, onde-onde, keripik
manis asin api-api dan lain sebainya.
4.2.4.3. Perepat (Sonneratia alba)
Jenis perepat ini buahnya dapat dimanfaatkan dan selanjutnya diolah
sebagai bahan makanan. Pengolahan buah perepat ini ditunjukkan kelompok
masyarakat pada saat Lomba Masak Makanan Berbahan Baku Mangrove di Muara
-
65
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Gembong, Bogor (Santoso, 2005). Sifat buah tidak beracun dan dapat langsung
dimakan. Buah yang sudah tua merupakan bahan baku makanan dan tidak
memerlukan perlakuan atau langsung dapat dimasak menjadi aneka makanan dan
minuman. Buah perepat dapat diolah menjadi sirup pidada, jus, wajit, dodol maupun
permen buah pidada.
Gambar 4.16. Sirup Mangrove
Sumber: Hasil penelusuran internet
4.2.4.4. Tanjang (Bruguiera sexangula dan Bruguiera cylindrica)
Bahan makanan. Tanaman tanjang telah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai bahan makanan. Pemanfaatan yang bisa dilakukan
adalah pengupasan kulit buah tanjang, buah dipecah (agar cepat lunak
bila dimasak), lalu dimasak dengan air sampai benar-benar masak. Air
bekas masak dibuang ditempat aman karena mengandung toxic, lalu
direndam 2-3 hari. Selanjutnya buah tanjang dapat langsung dimasak
atau buah setelah direndam dapat dikeringkan apabila diperlukan dalam
jangka waktu yang lama (Santoso, 2005).
Obat-obatan. Penggunaan tanjang selain untuk bahan makanan juga
bisa dijadikan sebagai bahan obat-obatan. Akar serta daun dari tanjang
dapat dipergunakan untuk mengatasi kulit yang terbakar. Obat ini bisa
-
66
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
dijadikan sebagai pertolongan bagi korban kebakaran. Buah dari tanjang
juga diyakini bisa mengobati penyakit herpes (Noor, 2006).
4.2.4.5. Bakau (Rhizopora apiculata)
Bahan makanan. Masyarakat Kecamatan Kajang, Kabupaten
Bulukumba Sulawesi Selatan sejak lama telah mengenal penggunaan
buah tanaman bakau untuk kebutuhan pangan. Bahan yang
dipergunakan sebagai bahan baku adalah buah yang telah masak/tua.
Proses memasak buah dimulai dengan mengupas kulit bagian luar dan
selanjutnya kulit bagian dalam dikupas untuk selanjutnya direndam 2-3
hari. Kemudian kulit bagian dalam tersebut dipergunakan sebagai
campuran makanan/sayur ikan (Santoso, 2005).
Sumber energi dan tiang rumah. Masyarakat papua, khususnya
penduduk asli di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
memanfaatkan kayu dari Rhizophora untuk keperluan kayu bakar dan
juga tiang rumah. Kayu dari jenis Rhizophora diyakini mempunyai tekstur
yang kuat untuk menyangga rumah penduduk (Sihite, 2005).
Obat-obatan. Air hasil rebusan kayu Rhizophora dapat dipergunakan
sebagai obat pelangsing, anti mencret dan anti muntah. Cacahan
kayunya bilamana ditempelkan pada luka yang baru dapat menghentikan
pendarahan. Daun muda yang masih segar juga bisa dikunyah sebagai
homeostatic dan anti septik (Dephut, 1997).
4.2.4.6. Waru (Hibiscus tiliaceus) peralatan/perlengkapan, obat-obatan,
Peralatan/perlengkapan. Penggunaan tradisional dari jenis waru
(Hibiscus tiliaceus) di bagian Timur Indonesia (Maluku dan Papua) paling
dominan adalah untuk keperluan peralatan. Batang kering digunakan
sebagai pengapung pada jala ikan. Kemudian kulit batang yang agak
berserat dapat dijadikan sebagai tali pengikat dan bahkan bisa dijadikan
simpul dalam pembuatan perangkap (Kusmana dkk, 2008).
-
67
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
Obat-obatan. Bagian tanaman waru yang dipergunakan untuk dijadikan
obat adalah bunga. Bunga segar direbus dengan susu segar dan
digunakan ketika dingin untuk membersihkan infeksi pada lubang telinga
(Dephut, 1997).
4.2.4.7. Truntun (Lumnitzera littorea)
Peralatan/perlengkapan. Masyarakat Indonesia Timur, khususnya
Maluku dan Papua memanfaatkan truntun sebagai bahan peralatan.
Kayu yang dihasilkan oleh tanaman ini bisa dijadikan sebagai kayu bakar,
tiang, pagar, balok penyangga, tiang untuk perangkap ikan dan kayu
pembuatan sampan (Kusmana dkk, 2008).
Bahan bangunan. Kulit dan kayu dari truntun dikenal kuat dan tahan
terhadap air. Dengan penampilan yang menarik dan memiliki wangi
seperti mawar, maka kayunya sangat cocok dijadikan sebagai bahan
pembuatan lemari dan furnitur lainnya. Akan tetapi permasalahan yang
sering dijumpai adalah kayu truntun berukuran besar jarang ditemui
(Noor, 2006).
4.2.4.8. Buta-buta (Excoecaria agallocha)
Obat-obatan. Pada beberapa daerah akar dari buta-buta dapat
dipergunakan untuk mengobati sakit gigi. Akarnya terlebih dahulu dibakar
dan kemudian ditumbuk, selanjutnya dimasukkan ke dalam gigi yang
berlubang. Getah dari buta-buta juga bisa dijadikan sebagai racun untuk
membunuh ikan, akan tetapi juga berbahaya apabila mengenai mata
Karena dapat menyebabkan kebutaan. Kayu tidak bisa dijadikan sebagai
kayu bakar karena baunya tidak sedap untuk makanan (Noor, 2006).
Untuk beberapa daerah tertentu, rebusan daun buta-buta juga bisa
dipergunakan sebagai obat-obatan. Hasil rebusan diyakini bisa
menyembuhkan sariawan pada bayi. Caranya, daun buta-buta yang tidak
-
68
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
terlalu tua dan tidak terlalu muda direndam beberapa saat, lalu diberikan
pada bayi. (Kusmana dkk, 2008).
4.2.4.9. Lenggade (Bruguiera parviflora)
Bahan makanan. Kulit kayu dari lenggade dapat dipergunakan sebagai
penyedap rasa ataupun bumum bagi ikan mentah. Penggunaannya
relative mudah, kulit kayu lenggade dikupas dari batangnya kemudian
dicampurkan pada ikan mentah. Kulit kayu lenggade yang tidak berbau
dan dapat menjadi bumbu menjadikan kulit kayu ini bisa menambah cita
rasa makanan (Kusmana dkk, 2008).
Sumber energi. Pada beberapa daerah kayu lenggade dipergunakan
sebagai kayu bakar. Hal ini pada dasarnya dikarenakan ukuran kayu
yang relative kecil, sehingga jenis ini jarang dipergunakan untuk
keperluan lain (Noor, 2006).