Manajemen Trauma Kepala
-
Upload
luhur-anggoro-sulistio -
Category
Documents
-
view
12 -
download
0
Transcript of Manajemen Trauma Kepala
I. PENDAHULUAN
Statistik dari negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa cedera
kepala mencakup 26% dan jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan
seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang kurang
lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut cedera kapitis. Di
luar medan peperangan lebih adri 50% dari cedera kapitis terjadi kaena kecelakaan
lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena
kecelakaan antara 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit.
Dan mereka yang dimasukkan dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam
satu hari dan 35 % meninggal dalam satu minggu dalam perawatan.(1)
Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat cedera
kapitis, maka 50% ternyata disebabkan oleh cedera secara langsung dan 50% yang
tersisa disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait
secara tidak langsung pada cedera. (2)
Cedera kepala baik terbuka maupun tertutup dapat mengganggu fungsi otak,
yang pada akhirnya mungkin dapat menyebabkan kematian atau meninggalkan
kecacatan. (1,2)
Berbagai macam akibat dari cedera kepala telah dikenal, misalnya komosio
serebri, kontusio serebri, perdarahan epidura, perdarahan subdura, perdarahan
intraserebral dan laserasi serebri. Dengan isitilah komosio dan kontusio masalah
gangguan kesadaran, sedangkan bentuk-bentuk perdarahan menyangkutkan masalah
massa yang pada penanganannya nanti bila memang diperlukan akan melibatkan ahli
bedah saraf. (1,2,3,4,5)
Dalam kaitannya dengan gangguan kesadaran ini, telah dikenal istilah-istilah
somnolen, sopor, koma dan sebagainya yang kesemuanya tadi adalah merupakan
penilaian yang bersifat kualitatif, sehingga masih memungkinkan terjadinya
perbedaan penilaian antara pemeriksa yang satu dengan yang lain. (2)
Dengan adanya Glasgow Coma Scale sebagai pengukur derajat gangguan
kesadaran yang telah dipakai sejak 20 tahun yang lalu dan bersifat kuantitatif, maka
penilaian gangguan kesadaran menjadi lebih obyektif. Dalam manajemen cedera
1
kepala, penilaian gangguan kesadaran dengan Glasgow Coma Scale ini memegang
peran utama. (2)
Untuk keperluan klinis, berdasarkan skala ini cedera kepala dibedakan
menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat yang penanganannya akan diuraikan
secara singkat dalam makalah ini. (2)
Tujuan penulisan referat ini adalah supaya dapat memberikan gambaran
akibat cedera kepala dan cara penatalaksanaannya.
II. CEDERA KEPALA DAN AKIBATNYA
Pada tempat tamparan bisa terjadi (1) :
1. Fraktur linier
2. Fraktur stelatum
3. Fraktur impresi ataupun tidak terdapat apa-apa. Hanya edema atau perdarahan
subkutan saja.
Akibat cedera kapitis dengan berbagai macam memungkinkan pada “impact” si
penderita bisa (4)
1. Pingsan sejenak lalu sadar kembali dan tidak menunjukkan kelainan apapun.
2. Pingsan beberapa jam, kemudian menunjukkan gejala-gejala “organic brain
syndrom” untuk sementara waktu atau
3. Pingsan lama, lalu sadar namun menunjukkan defisit neurologik, bahkan
4. Kematian.
Secara umum, cedera kepala mudah dibedakan menjadi cedera terbuka dan
tertutup. Untuk jenis yang tertutup, dapat disertai atau tidak disertai “impact”.
Sebagai akibat dari cedera tersebut otak dapat mengalami cedera, yang secara klinis
dibedakan menjadi (2) :
A. Cedera otak primer
B. Cedera otak sekunder
2
A. Cedera Otak Primer (2)
Dengan istilah primer diartikan bahwa cedera yang ada benar-benar timbul pada
saat terjadinya cedera.
Termasuk dalam kelompok ini adalah :
1. Cedera Otak Fokal
2. Cedera Otak Difus.
1. Cedera Otak Fokal
Pada cedera otak fokal ini, secara makroskopis terlihat adanya lesi
fokal yaitu :
a. Perdarahan Epidura Akut
b. Perdarahan Subdura Akut
c. Kontusi dan Perdarahan Intraserebral
a. Perdarahan Epidura Akut
Hematom terdapat di luar durameter, kebanyakan di daerah temporal
dan temporo-parietal, sebagai akibat dari pecahnya vasa meningea
media, dimana pada 2/3 kasus berasal dari arteri dan 1/3 kasus lainnya
berasal dari vena. Kadang-kadang juga berasal dari sinus venous
terutama di daerah parieto-oksipital dan daerah fossa posterior.
Meskipun perdarahan epidura ini relatif jarang terjadi (0,5 % dari
keseluruhan cedera kepala dan 9 % dari cedera kepala yang disertai
koma), tetapi bila ada dan segera dilakukan tindakan operasi,
prognosisnya sangat baik. Angka mortalitas dari perdarahan epidura
adalah 0 % bila penderita sadar, 9 % bila “obtunded” dan 20 % bila
penderita sudah dalam keadaan koma. (2)
Ciri khas pada hematom epidural adalah terdapatnya interval bebas
antara saat terjadainya cedera dan tanda pertama yang berlangsung
beberapa menit sampai beberapa jam. (1)
Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu
pupil ipsilateral melebar (lateralisasi). (1)
b. Perdarahan Subdura Akut
3
Jenis perdarahan ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan
perdarahan epidura.
Didapatkan pada 30 % kasus cedera kepala berat oleh karena pecahnya
“bridging vein”.
Perdarahan ini dapat disertai atau tanpa disertai adanya fraktur tulang
kepala.
Oleh karena letak hematom di bawah durameter maka jaringan otak di
bawahnya biasanya juga mengalami kerusakan, sehingga prognosisnya
lebih jelek bila dibandingkan dengan perdarahan epidura. (2)
Oleh karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain,
maka dibandingkan dari hematom epidural, prognosisnya lebih jelek
secara klinis sukar dibedakan dengan hematom epidural yang
berkembang lambat. Hematom subdural akut dan kronik memberi
gambaran klinis suatu proses desak ruang yang progresif sehingga tidak
jarang dianggap sebagai neoplasma atau demensia. (1)
c. Kontusi dan Perdarahan Intraserebral
Sering terjadi di lobis frontalis dan lobus temporalis meskipun juga
dapat terjadi di serebelum dan batang otak. Pada pemeriksaan CT-scan
akan terlihat gambaran “salt-and-pepper” yaitu adanya bercak-bercak
hiperdens pada daerah hipodens (daerah udemateus).
2. Cedera Otak Difuss
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara mikroskopis
tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi
neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau
penurunan kesadaran bahkan sampai koma.
Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan
disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang tak oleh massa
yang mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung
pada batang otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah
4
membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari
derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa
disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung
pada banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan.
Percobaan di laboratorium membuktikan bahwa benturan langsung (impact)
bukan merupakan syarat untuk terjadinya cedera difus ini, tetapi justru
proses ekselerasi-deselerasilah yang lebih banyak menyebabkan kerusakan
difus pada akson. Bukti-bukti yang terakhir menunjukkan bahwa nodus
Renvier sebagai bagian yang paling rawan pada struktur akson akan
mengalami regangan (stretching) dan puntiran (twisting) pada setiap proses
ekselerasi-deselerasi. Keadaan ini selanjutnya akan diikuti beberapa proses
toksik yang pada akhirnya menyebabkan masuknya ion Ca secara
berlebihan. Kerusakan ini bersifat reversibel selama akson mampu
mengatasi influk ion Ca yang berlebihan ini. Regangan yang berlebihan juga
akan merusak sitoskeleton dan mengganggu transport yang bersifat menetap
yang pada akhirnya menyebabkan transport pada akson berhenti total. Pada
pemeriksaan patologi anatomis lesi ini akan terlihat sebagai “axonal
retraction ball” yang tampak sesudah 12-72 jam.
Pada keadaan yang berat proses ekselerasi dan deselerasi juga menyebabkan
kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak
gambaran bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari
subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak serta edema di daerah
yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya terlihat kerusakan
yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-
bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah “tissue tear
hemorrages”. (1)
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya
dapat berupa (4,6) :
1. Konkusi ringan
5
Pada keadaan ini didapatkan adanya gangguan fungsi neurologis yang
sifatnya sementara misalnya amnesia, sedang penderita tetap sadar.
Karena ringannya gambaran klinis yang ada, meskipun banyak terjadi,
kerapkali luput dari perhatian. Yang paling ringan berujud bingung
(“confuse”) sedang pada yang lebih berat berujud bingung dengan
amnesia retrograd maupun amnesia post-cederatika.
2. Konkusi klasik
Pada keadaan ini bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, yang
akan membaik kembali dalam waktu kurang dari 6 jam.
Sebagian besar kasus tidak memberikan gejala sisa kecuali hanya
berupa amnesia yang berkaitan dengan cederanya, meskipun ada juga
yang disertai defisit neurologik yang sangat ringan.
3. Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI)
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari
6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal
baik berupa massa maupun daerah yang iskhemik.
Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson
sehingga dipakai istilah cedera akson difus.
Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :
a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa
disertai defisit neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup
lama sampai permanen. Jenis ini relatif jarang ditemukan.
b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai
gangguan fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak
ditemui, terdapat pada 45 % dari semua kasus DAI. Dengan terapi
agresif angka kematiannya adalah 20 %.
c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai
disfungsi batang otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti.
Angka kematiannya mencapai 57 % dan menyebabkan cacat
neurologis yang berat.
6
B. Cedera Otak Sekunder (2)
Dengan istilah sekunder diartikan bahwa cedera yang ada, terjadi setelah cedera
berlangsung, jadi merupakan akibat dari adanya cedera otak primer. Cedera otak
sekunder dapat timbul setiap saat, jadi ada yang datangnya awal, tetapi juga
dapat timbul beberapa waktu kemudian setelah cedera. Sebagai contoh tekanan
intrakranial yang meninggi dapat terjadi segera sesudah ada perdarahan subdura,
tetapi dapat pula timbul belakangan yaitu setelah terbentuk edema (“swelling”).
Dari penelitian Graham dkk 1978 terbukti bahwa otopsi dari 151 kasus cedera
kepala yang sebelumnya telah mendapat penanganan secara modern dan intensif,
ternyata lebih dari 80 % menunjukkan adanya gambaran iskhemi. Iskhemik ini
dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti terlihat pada tabel berikut ini :
SYSTEMIC INTRACRANIAL
Hypoxaemia
Arterial hypotension
Hypercarbia
Pyrexia
Hyponatremia
Anemia
Diffuse intravascular coagulopathy
Haematoma (EDH, SDH, ICH)
Brain swelling/oedema
Intracranial hypertension
Cerebral vasospasm intracranial infection
Epilepsy
Oleh karena cedera otak primer merupakan keadaan yang sudah terjadi, dalam
penatalaksanaannya nantinya tidak ada tindakan lain kecuali hanya mengatasi.
Sebaliknya untuk cedera otak sekunder karena ini merupakan komplikasi dari
cedera otak primer maka harus diusahakan pencegahannya.
III. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA SECARA KLINIS (2)
Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-scan masih
jarang, maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak,
khususnya jenis tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow
Coma Scale + GCS) dikelompokkkan menjadi :
1. Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I)
GCS : 13-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah.
2. Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II)
GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal.
Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah sederhana.
7
3. Cedera kepala berat.
GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan
fungsi batang otak.
Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini
dilakukan sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa
defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain.
Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran,
dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.
Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon
motorik (= M) dan respon verbal (= V).
Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga
dapat dilakukan dimana saja oleh siapa saja.
Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Eye opening (E)
Spontaneous
To call
To pain
None
Motor response (M)
Obeys commands
Localizes pain
Normal flexion (withdrawal)
Abnorma flexion (decoraticate)
Extension (decerebrate)
None (flaccid)
Verbal respons (V)
Oriented
Confused conversation
Inappropriate words
Incomprehensible sounds
None
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1* GCS sum score = (E + M + V); best possible score = 15; worst possible score = 3
8
IV. TATA LAKSANA (1,2,3,5,6)
Sudah disinggung di depan bahwa penatalaksanaan cedera kepala pada garis
besarnya ditujukan pada 2 masalah pokok yaitu :
1. Mengatasi cedera otak primer
2. Mencegah terjadinya komplikasi berupa cedera otak sekunder.
Berdasarkan gambaran klinisnya seperti yang telah diuraikan di atas, maka
penatalaksanaannya adalah sebagai berikut :
A. Penatalaksanaan cedera kepala ringan
1. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan kemungkinan adanya cedera
sistemik.
2. Pemeriksaan neurologis.
3. Pemeriksaan darah untuk menentukan kadar alkohol, pemeriksaan urine.
4. Pemeriksaan x-foto kepala, untuk mengatahui
a. Ada tidaknya fraktur (linear, depresi)
b. Ada tidaknya fraktur facialis
c. Ada tidaknya pergeseran letak kelenjar pinealis (yang telah mengalami
perkapuran)
d. Permukaan udara-cairan dalam sinus
e. Ada tidaknya pneumosefalus
f. Ada tidaknya benda asing
Perlu diketahui bahwa fraktur pada kalvaria didapatkan tiga kali lebih
banyak daripada fraktur dasar tengkorak.
Fraktur dasar tengkorak sendiri jarang sekali terlihat pada foto polosnya,
sehingga diagnosisnya ditegakkan berdasarkan tanda-tanda yang ada berupa
hematom pada mata, rhinorrhea, otorrea, hemotimpanum.
5. Pemeriksaan x-foto vertebra servikal dan lain-lain bila memang diperlukan.
6. Pemeriksaan CT-scan
Idealnya dilakukan pada semua pasien.
Bila pada pemeriksaan awal tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan
ulang beberapa jam kemudian adakalanya nampak gambaran suatu massa.
9
Tergantung pada hasil pemeriksaan yang didapat, pasien dengan cedera
kepala ringan dapat dipulangkan atau dapat pula dianjurkan untuk dirawat di
rumah sakit.
Indikasi perawatan antara lain bila (1,2) :
1. Ada amnesia post-cederatika yang berlangsung lebih dari 1 jam.
2. Ada riwayat kehilangan kesadaran.
3. Ada fraktur kepala
4. Ada otorrhoea atau rhinorrhoea
5. Ada kelainan pada pemeriksaan CT-scan-nya.
Kepala pasien yang dapat dipulangkan, diberikan suatu lembaran
peringatan (“warning sheet”), yang didalamnya tercantum sejumlah gejala dan
tanda yang bila sewaktu-waktu nanti timbul hendaknya yang bersangkutan
segera kembali ke dokter atau ke rumah sakit.
Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah :
1. Ada mual dan muntah
2. Timbul sakit kepala yang hebat
3. Bila timbul kejang
4. Bila nadi sangat lambat atau sangat cepat
5. Bila keluar darah atau cairan dari hidung atau telinga.
B. Penatalaksanaan cedera kepala sedang
Pasien dengan cedera kepala sedang meskipun masih dapat mengikuti/menuruti
perintah, dapat dengan cepat masuk ke dalam yang lebih berat yaitu derajat III.
Oleh karena itu dalam penanganannya harus dipikirkan kemungkinan tersebut.
Urutan pemeriksaannya adalah seperti pada cedera kepala ringan, hanya saja
pemeriksaan CT-scan di sini harus dikerjakan sesegera mungkin.
Meskipun pada pemeriksaan CT-scan tidak ditemukan adanya kelainan, pasien
harus tetap dirawat untuk keperluan observasi.
Pengobatan medikamentosa :
1. Decardon (deksametason) : bolus 10 mg i.v, disusul 4 mg tiap 6 jam.
2. Antikonvulsan : bolus 500 mg i.v. dalam 10 menit disusul
dengan 100 mg tiap 8 jam selama 1 tahun
C. Penatalaksanaan cedera kepala berat
10
Pada pasien ini penatalaksanaannya dibagi dalam 7 tahapan yaitu :
A. Stabilisasi Kardiopulmoner
Yang perlu diketahui disini adalah :
a. Pada pasien dikerjakan intubasi (Pemasangan “endotracheal tube”) dan
jika perlu dikerjakan trakheotomi, kemudian dilakukan hiperventialsi
sampai pCO2 = 25-30 mmHg, untuk menurunkan tekanan intra kranial.
b. Dijaga agar jangan sampai terjadi hipotensi. Hipoksia dan hipotensi
merupakan keadaan yang sangat membahayakan otak. Hipotensi sendiri
sebenarnya bukan bersumber pada otak (kecuali pada stadium terminale
dimana batang otak terganggu), melainkan berasal dari sebab lain yaitu
dari adanya perdarahan, baik perdarahan yang nampak maupun yang
tidak nampak (lihat tabel 3). Pemberian transfusi harus segera
dilakukan bila Hb kurang dari 10 (Ht = 30).
Penyebab lain adalah mungkin karena adanya gangguan medula spinalis
(dengan tetraplegi atau paraplegi), kontusi jantung, tamponade dan
pneummothorax.
c. Pemasangan catheter.
Pada pasien dipasang Foley catheter dan “nasogastric-tube” (double
lumen plastic catheter).
d. Pemeriksaan radiologik : servikal, thoraks, kepala, abdomen, pelvis,
ekstremitas.
B. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan ini meliputi :
a. Kepala/leher
b. Thorax
c. Abdomen : cedera limpa, hepar, ginjal
d. Pelvis : perdarahan
e. Vertebra : cedera servikal biasanya menyertai cedera kepala.
C. Pemeriksaan neurologik
11
Termasuk dalam pemeriksaan ini adalah pemeriksaan :
a. GCS
b. Refleks pupil
Tanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil
dan refleks cahaya melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic
adalah miosis bilateral.
c. Gerak bola mata :
- Oculocephalic (“doll’s eyes”)
- Oculovestibular (Calorics)
d. Pemeriksaan motorik
e. Pemeriksaan sensorik
D. Penatalaksanaan cedera-cedera yang lain
E. Penentuan terapi
Tujuan :
1. Mencegah naiknya tekanan intrakranial.
Dapat memberikan :
a. Deksametasone (masih kontroversial)
b. Mannitol
2. Mencegah terjadinya bangkitan kejang
Dapat diberikan : Phenytoin.
F. Prosedur diagnostik
Termasuk dalam hal ini adalah pemeriksaan :
a. Ventrikulografi
b. Arteriografi
c. CT-Scan
G. Penentuan perlu tidaknya tindakan bedah saraf
Bila terdapat “midline shift” sebesar 5 mm atau lebih, perlu tindakan bedah
saraf.(2)
12
Dengan tanpa melupakan sifat otak yang kurang menguntungkan dan
mengacu kepada tindakan operasi, maka kita dapat menentukan indikasi
pertolongan bedah pada kasus cedera kapitis. (6)
Cedera tertutup
1. Fraktur impresi
2. Perdarahan epidural
3. Perdarahan subdural
4. Perdarahan intraserebral
5. Operasi dekompresi misal kontusio berat atau edema.
Cedera terbuka
1. Perlukaan kranioserebral
2. Liquorhoea
3. Pneumoencephalik
4. Corpus alienum
5. Luka tembak
V. RINGKASAN
Telah dibicarakan akibat cedera kepala terhadap otak, yang dibedakan
menjadi cedera otak primer dan sekunder.
Penanganan penderita dengan cedera kepala pada garis besarnya adalah sebagai
berikut :
1. Tentukan ada tidaknya cedera otak primer yang memerlukan tindakan bedah
saraf.
Untuk keperluan ini pemeriksaan CT-Scan merupakan pemeriksaan pilihan.
2. Penderita cedera kepala yang tidak memerlukan tindakan bedah saraf dan juga
yang telah menjalani pembedahan harus dijaga agar tidak timbul komplikasi
berupa cedera otak sekunder yang berdasarkan penelitian Graham dkk.
disebabkan oleh faktor iskhemik.
Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan iskhemi otak tersebut telah
dilampirkan dalam masalah ini.
3. Pengobatan medikamentosa yang dianjurkan adalah Mannitol, sedangkan
kortikosteroid masih kontroversial.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. M. Nurjanto, Manajemen Cedera Kepala, dalam Kedaruratan Neurologi, Kumpulan Makalah Utama Temu Regional Neurologi XI Jateng dan DIY, Yogyakarta, 1994, hal. 1-11.
2. R. Sjamsuhidayat, Wim de Jong, Cedera Kepala, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 1997.
3. R. Cambell Connoly, Cedera Kapitis
4. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Cedera Kapitis dalam Buku Ajar Neurologi Klinis Dasar, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1978.
5. Sabiston, Penatalaksanaan Orang Cedera Akut Cedera Kapitis dan Medula Spinalis, Buku Ajar Bedah, Bagian pertama, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 1995.
6. R.M. Padmo Santojo, Daryo Sumitro, Tindakan Bedah Saraf Cedera Kepala, Bagian Bedah Saraf FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, 1999.
14