Manajemen Pemeliharaan Vaname

40
i MANAJEMEN PEMELIHARAAN UDANG VANAME Oleh : Abidin Nur DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA Diperbanyak Oleh: PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2011

description

Salah satu faktor penting dalam mendukung ketiga hal tersebut di atas adalah penyediaan nutrisi. Nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk kelangsungan usaha budidaya hewan akuatik. Penggunaan pakan yang efisien dalam suatu usaha budidaya sangat penting oleh karena pakan merupakan faktor produksi yang paling mahal. Oleh karena itu, upaya perbaikan komposisi nutrisi dan perbaikan efisiensi penggunaan pakan perlu dilakukan guna meningkatan produksi hasil budidaya dan mengurangi biaya pengadaan pakan, serta meminimalkan produksi limbah pada media budidaya. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan pemahanan tentang nutrisi dan kebutuhan nutrien dari kultivan, teknologi pembuatan pakan, serta kemampuan dalam pengelolaan pakan untuk setiap tipe budidaya dari kultivan tertentu.Salah satu prinsip yang perlu diketahui dalam penerapan pakan untuk kepentingan budidaya adalah program pemberian pakan secara efektif (effective feeding program). Hal ini memerlukan pengetahuan tentang kebutuhan nutrien dari kultivan yang akan dipelihara, kebiasan dan tingkah laku makan, serta kemampuan kultivan dalam mencerna dan menggunakan nutrien esensial yang diberikan.

Transcript of Manajemen Pemeliharaan Vaname

Page 1: Manajemen Pemeliharaan Vaname

i

i

MANAJEMEN PEMELIHARAAN UDANG VANAME

Oleh :

Abidin Nur

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA

Diperbanyak Oleh:

PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

2011

Page 2: Manajemen Pemeliharaan Vaname

ii

ii

SAMBUTAN

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya sehingga Materi Pemantauan Kualitas Tanah dan Air ini dapat diselesaikan.

Materi Manajemen Pemeliharaan Udang Vaname ini disusun agar dapat menjadi bahan acuan atau petunjuk untuk masyarakat perikanan khususnya pembudidaya udang vaname yang mempunyai masalah dalam menangani permasalah tentang pemeliharaan dan pembesaran udang yang dapat mempengaruhi produksi perikanan.

Materi ini menguraikan Manajemen Pemeliharaan Udang Vaname. Kami berusaha untuk menampilkan yang terbaik dan berharap bahwa informasi dalam Materi ini dapat bermanfaat bagi pembudidaya ikan dan udang khususnya dan dunia perikanan pada umumnya.

Penghargaan setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Materi ini sehingga dapat diselesaikan.

Kami menyadari bahwa Materi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan sumbangan kritik serta saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kemajuan dunia perikanan yang lebih baik.

Jakarta, November 2011

Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

.

Page 3: Manajemen Pemeliharaan Vaname

iii

iii

DAFTAR ISI

SAMBUTAN ………….…………………………..……………………………..…………..

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………………

DAFTAR TABEL …………………….………………………………………………………

I. PENDAHULUAN

1.1. Pakan dalam Akuakultur ............................................................................. 1.2. Pakan dan Lingkungan ................................................................................. 1.3. Pendekatan Sistem Budidaya yang Berkelanjutan ......................................

II. PENGELOLAAN PAKAN

2.1. Prosentase Pakan ........................................................................................ 2.2. Frekuensi Pemberian Pakan ....................................................................... 2.3. Rasio Konversi Pakan ................................................................................. 2.4. Attraktabilitas dan Palatabilitas .................................................................... 2.5. Penyimpanan Pakan .................................................................................... III. PENGELOLAAN PAKAN DAN LINGKUNGAN

3.1. Akumulasi Nutrien & Bahan Organik di Dasar Tambak ............................... 3.2. Budget Nutrien dan Padatan (solid) di Tambak ........................................... 3.3. Alternatif Solusi Pengelolaan Limbah ............................................................ 3.4. Perbaikan Formulasi dan Pengelolaan Pakan ............................................. 3.5. Perbaikan Proses- N di Tambak .................................................................. 3.6. Perbaikan Desain dan Manajemen Limbah di Tambak ................................. 3.7. Aplikasi Probiotik dan Feed Additive ............................................................ DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................

ii

iii

iv

v

2 4 5

9 11 11 11 12

15 17 26 26 29 31 31 33

Page 4: Manajemen Pemeliharaan Vaname

iv

iv

DAFTAR GAMBAR

1. Pengelolaan budidaya udang intensif dan interaksi kualitas air ............................... 2. Budget nutrien dan total padatan di tambak ............................................................ 3. Budget nitrogen (N) di tambak ................................................................................. 4. Model ekskresi –N .................................................................................................... 5. Budget posfor di tambak ............................................................................................ 6. Skema aktivasi suspensi di tambak ...........................................................................

14 18 23 25 26 30

Page 5: Manajemen Pemeliharaan Vaname

v

v

DAFTAR TABEL

1. Persentase pakan yang diberikan berdasarkan berat udang .................................. 2. Estimasi karbon, nitrogen dan posfor ...................................................................... 3. Konsentrasi komponen kimia pada dasar tambak dan kolom air ............................ 4. Komposisi pakan ...................................................................................................... 5. Kebutuhan protein dalam pakan pada berbagai jenis udang .................................... 6. Jumlah nutrien yang terbuang sebagai hasil dari pergantian air tambak ..................

10 16 17 21 22 24

Page 6: Manajemen Pemeliharaan Vaname

1

I. PENDAHULUAN

Peningkatan produksi perikanan budidaya secara global rata-rata mecapai

8,9% per tahun sejak tahun 1970. Bila dibandingkan dengan sektor perikanan

tangkap dan peternakan dalam kurun waktu yang sama masing-masing hanya

mencapai 1,2 dan 2,8 % per tahun. Namun demikian, dalam lima dekade

mendatang, maka produksi budidaya harus bertumbuh hingga lima kali lipat untuk

mensuplai kebutuhan populasi. Perkembangan ini harus mengatasi tiga hal pokok

(Avnimelech 2009) sebagai berikut :

a. Memproduksi banyak ikan tanpa meningkatkan penggunaan sumberdaya

alam (tanah dan air) secara nyata

b. Membangun sistem budidaya yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan

c. Membangun sistem budidaya dengan rasio cost/benefit secara rasional guna

mendukung kelangsungan budidaya secara ekonomis dan sosial.

Salah satu faktor penting dalam mendukung ketiga hal tersebut di atas adalah

penyediaan nutrisi. Nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk

kelangsungan usaha budidaya hewan akuatik. Penggunaan pakan yang efisien

dalam suatu usaha budidaya sangat penting oleh karena pakan merupakan faktor

produksi yang paling mahal. Oleh karena itu, upaya perbaikan komposisi nutrisi dan

perbaikan efisiensi penggunaan pakan perlu dilakukan guna meningkatan produksi

hasil budidaya dan mengurangi biaya pengadaan pakan, serta meminimalkan

produksi limbah pada media budidaya. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan

pemahanan tentang nutrisi dan kebutuhan nutrien dari kultivan, teknologi pembuatan

pakan, serta kemampuan dalam pengelolaan pakan untuk setiap tipe budidaya dari

kultivan tertentu.

Page 7: Manajemen Pemeliharaan Vaname

2

1.1. Pakan dalam Akuakultur

Seperti pada organisme lainnya, hewan akuatik memerlukan nutrien esensial

untuk proses pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian jaringan yang telah

rusak, pengaturan beberapa fungsi tubuh, serta untuk mempertahankan kondisi

kesehatan. Seiring dengan usaha intensifikasi budidaya, maka ketergantungan pada

sediaan pakan alami semakin berkurang dan sebaliknya suplai energi semakin

banyak ditentukan oleh pakan buatan yang diberikan. Dalam hal ini diperlukan pakan

dengan kadar nutrisi yang seimbang serta pemberian yang cukup untuk mendukung

pertumbuhan yang optimal dan pada akhirnya untuk peningkatan pendapatan hasil

usaha budidaya. Sebaliknya penggunaan pakan yang tidak bermutu berdampak

pada respon pertumbuhan yang rendah, mudah terserang penyakit, serta dapat

menyebabkan kematian. Oleh karena itu, perpaduan antara penggunaan pakan

berkualitas tinggi serta tingkat pengelolaan yang lebih baik telah terbukti

memperbaiki efisiensi penggunaan pakan, penurunan biaya pengadaan pakan, serta

mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

Salah satu prinsip yang perlu diketahui dalam penerapan pakan untuk

kepentingan budidaya adalah program pemberian pakan secara efektif (effective

feeding program). Hal ini memerlukan pengetahuan tentang kebutuhan nutrien dari

kultivan yang akan dipelihara, kebiasan dan tingkah laku makan, serta kemampuan

kultivan dalam mencerna dan menggunakan nutrien esensial yang diberikan.

Pakan yang diberikan harus mampu menyediakan nutrien yang dibutuhkan

oleh kultivan seperti protein dan asam amino esensial, lemak dan asam lemak,

energi, vitamin, dan mineral. Dengan demikian, kualitas pakan pada akhirnya

ditentukan oleh tingkat nutrien yang tersedia bagi kultivan. Hal ini penting oleh

karena baik ikan maupun udang memerlukan pakan semata hanya untuk memenuhi

Page 8: Manajemen Pemeliharaan Vaname

3

kebutuhan energi, sehingga nilai energi dari suatu pakan turut menetukan tingkat

efisiensnya.

Kebutuhan nutrien untuk spesies tertentu perlu diketahui. Sebagai contoh,

kebutuhan protein dari ikan omnivor seperti bandeng, atau ikan herbivor seperti pada

tilapia umumnya lebih rendah dibandingkan dengan ikan karnivor seperti pada

kakap, kerapu dan snapper. Setiap ikan juga berbeda mengenai kebutuhan asam

lemak esensial. Bandeng membutuhkan asam lemak dari kelompok n-3, sementara

ikan kakap dan udang windu membutuhkan asam lemak dari kelompok n-3 dan n-6.

Sebaliknya pada ikan tilapia membutuhkan asam lemak n-6. Dengan demikian,

dalam memformulasikan suatu pakan hendaknya didasarkan pada kebutuhan dan

tingkat nutrien esensial yang diperlukan dari kultivan tertentu.

Di bidang pengembangan pakan, upaya perbaikan kualitas bahan baku dan

pengurangan biaya pengadaan pakan, serta perbaikan pengelolaan pakan di tingkat

petani terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi

penggunaan pakan bagi kultivan yang dipelihara. Selama pembuatan pakan perlu

diperhatikan untuk tetap mempertahankan komposisi nutrien dan sekaligus

mengeleminir zat anti-nutrisi. Pengawasan terhadap kualitas pakan dimulai dari

pemilihan bahan baku hingga proses produksi dan penyimpanan, dan terakhir pada

pengguna di lapangan juga perlu dilakukan.

Disamping itu, pengelolaan pakan harus dilakukan sebaik mungkin dengan

memperhatikan apa, berapa banyak, kapan, berapa kali, dan dimana ikan/udang

diberi pakan. Penerapan feeding regime hendaknya disesuaikan dengan tingkah laku

ikan, serta siklus alat pencernakan guna memaksimalkan penggunaan pakan.

Disamping itu, upaya mengurangi limbah pakan tidak hanya berpengaruh terhadap

biaya produksi tetapi juga berdampak pada terpeliharanya lingkungan budidaya.

Page 9: Manajemen Pemeliharaan Vaname

4

1.2. Pakan dan Lingkungan

Usaha budidaya berkembang dengan pesat mulai dari sistem ekstensif hingga

sistem intensif. Perkembangan ini telah menimbulkan masalah terutama dalam hal

usaha budidaya yang berkelanjutan. Nutrien yang tersedia dalam pakan, sebagaian

besar dapat menjadi polutan pada lingkungan budidaya, seperti nitrogen, fosfor,

bahan organik, dan hidrogen sulfida. Semakin tinggi padat tebar membawa

konsekuensi pada peningkatan limbah metabolik yang dihasilkan. Di sisi lain limbah

metabolik tersebut akan terakumulasi dalam media budidaya dan pada gilirannya

menjadi zat racun yang menghambat pertumbuhan bahkan dapat mematikan

organisme yang dipelihara.

Limbah hasil budidaya dapat berupa : (a) bahan padatan, terutama berupa

sisa pakan, kotoran ikan (feces), serta koloni bakteri; (b) bahan terlarut, seperti

amoniak, urea, karbondioksida, fosfor dan hidrogen sulfida. Limbah ini akan

meningkat seiring dengan konversi pakan yang rendah. Pada kondisi ini diperlukan

penyesuaian jumlah pakan untuk mencegah terjadinya penumpukan sisa pakan yang

dapat meningkatkan polusi baik pada media budidaya, hamparan sekitar media

peliharaan, dan sekaligus pada daerah perairan pantai (coastal zone).

Penerapan pakan yang ramah lingkungan merupakan suatu keharusan

sebagai upaya untuk berbudidaya yang berkelanjutan. Hal ini dapat ditempuh

dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

Pakan diformulasi dengan komposisi nutrien yang seimbang (well-

balanced diet) seperti ketersediaan asam amino yang cukup, protein : energi

rasio yang seimbang, sehingga -N banyak yang terasimilasi dalam tubuh

dan sedikit -N yang diekskresikan oleh ikan;

Page 10: Manajemen Pemeliharaan Vaname

5

Total fosfor dalam pakan hendaknya disesuaikan dengan organisme yang

akan dipelihara. Bahan baku yang memiliki ketersediaan fosfor yang tinggi

lebih baik digunakan;

Gunakan bahan yang memiliki kecernaan tinggi guna mengurangi limbah

organik dari pakan;

Perbaikan stabilitas pakan melalui penggunaan binder yang efisien serta

teknologi pembuatan pakan yang baik;

Penggunaan sumber protein alternatif selain tepung ikan perlu pengkajian

lebih lanjut;

Hindari penggunaan bahan baku asing (exotic feedstuff) yang kemungkinan

mengandung zat yang dapat menghambat pertumbuhan, kecuali ada

metode tertentu untuk mendeteksi dan menghilangkan zat tersebut dalam

pakan.

1.3 Pendekatan Sistem Budidaya yang Berkelanjutan

Dalam hal usaha budidaya yang berkelanjutan, maka dari sisi nutrisi dan

teknologi pakan terdapat beberapa issu penting, yaitu :

a. Diperlukan adanya upaya untuk mengurangi biaya pakan

Pakan merupakan faktor produksi terbesar dari suatu usaha budidaya, dan

ketersedian pakan yang ekonomis (cost-effective feed) masih menjadi kendala

utama. Oleh karena itu, formula pakan harus dibuat sedemikian rupa sehingga

menjadi sesuatu yang murah, seperti mengurangi ketergantungan bahan baku

impor dengan memanfaatkan ketersediaan bahan baku lokal.

Page 11: Manajemen Pemeliharaan Vaname

6

b. Alternatif penggunaan bahan pengganti tepung ikan

Dalam pembuatan pakan, tepung ikan merupakan bahan yang paling banyak

digunakan. Peningkatan produksi hasil budidaya yang diikuti dengan penurunan

produksi tepung ikan, diperlukan adanya alternatif pengganti sumber protein

tersebut. Harga tepung ikan semakin mahal dan ketersediaan semakin langka

sebagai akibat dari kebutuhan tepung ikan meningkat serta kompetisi dengan

produksi sektor pakan lain. Di negara-negara Asia misalnya, kebutuhan produk

perikanan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk

yang pada gilirannya ketersediaan tepung ikan semakin menurun.

Untuk beberapa spesies akuakultur, penggunaan bahan nabati dan limbah hasil

pengolahan (by-product) sebaiknya digunakan untuk menghasilkan pakan yang

murah. Beberapa diantaranya menjadi sumber bahan baku potensial oleh karena

kadar protein yang tinggi serta kandungan abu yang rendah seperti pada tepung

daging. Demikian pula halnya dengan bahan baku berupa biji-bijian dan kacang-

kacangan. Penerapan bioteknologi memungkinkan untuk memperoleh bahan

baku dengan kadar nutrisi yang cukup baik.

c. Penggunaan pakan supplemen

Pakan komersial disamping lebih mahal, juga mengandung nutrien yang melebihi

dari apa yang dibutuhkan oleh ikan. Pakan tersebut diformulasikan tanpa

mempertimbangkan padat tebar serta ketersediaan pakan alami di tambak.

Konsep penggunaan pakan tambahan berarti masih terdapat ketergantungan

terhadap sediaan pakan yang tumbuh secara alami di tambak atau kolam untuk

mensuplai sebagian nutrien yang diperlukan oleh kultivan. Produktivitas alami

dari suatu media budidaya semakin penting, dan pemahaman lebih jauh di bidang

ini dapat membantu terciptanya sistem pemberian pakan yang efisien.

d. Integrasi antara pakan, pengelolaan pakan dan kesadaran lingkungan

Page 12: Manajemen Pemeliharaan Vaname

7

Sisa pakan dan hasil metabolik lainnya merupakan sumber polutan utama pada

suatu sistem produksi budidaya. Oleh karena itu, pakan yang dibuat hendaknya

ramah lingkungan (environment-friendly). Komposisi nutrisi, keseimbangan

nutrien, tingkat kecernaan, dan kestabilan pakan merupakan faktor yang dapat

berpengaruh terhadap kualitas air media budidaya.

Page 13: Manajemen Pemeliharaan Vaname

8

II. PENGELOLAAN PAKAN

Pakan merupakan salah satu aspek penting dalam setiap aktivitas budidaya

akuatik. Pakan merupakan faktor produksi terbesar dan mencapa 50% atau lebih

dari total biaya operasional, sehingga perlu dikelola dengan baik agar dapat

digunakan secara efisien bagi kultivan. Program pemberian pakan yang baik sangat

diperlukan untuk memperoleh hasil maksimal dalam kegiatan budidaya udang

maupun ikan.

Beberapa hal penting perlu diperhatikan selama pemberian pakan pada hewan

budidaya, antara lain :

1. Pakan berkualitas merupakan hasil formulasi dengan menyediakan nutrien

sesuai dengan kebutuhan kultivan yang akan dipelihara, diproduksi dengan

kualitas baik dimana nutrien yang ada dapat tercerna secara maksimal;

2. Gunakan pakan yang attraktif, palatabilitas tinggi, serta size/ukuran yang

sesuai dengan hewan yang dipelihara;

3. Pertahankan kualitas pakan melalui penyimpanan dan penangan yang baik

dan benar;

4. Berikan pakan pada kultivan dengan jumlah dan frekuensi yang tepat sesuai

dengan jumlah dan ukuran populasi;

5. Distribusikan pakan secara merata pada media budidaya (tambak, kolam

dsb) sehingga semua udang mempunyai kesempatan yang sama untuk

memperoleh pakan;

6. Lakukan pngaturan pakan berdasarkan kualitas air dan nafsu makan udang.

Page 14: Manajemen Pemeliharaan Vaname

9

2.1 Prosentase Pakan (Feeding rate)

Pakan yang diberikan selama periode budidaya berlangsung sangat sulit

untuk dikontrol secara tepat baik jumlah maupun waktu. Oleh karena itu pengaturan

jumlah pakan senantiasa dilakukan sesuai dengan tingkat nafsu makan,

pertumbuhan dan mortalitas udang. Jika pakan diberikan terlalu sedikit dapat

berakibat pertumbuhan lambat, bahkan memicu kanibalisme terutama pada

pemeliharaan dengan kepadatan tinggi. Demikian pula sebaliknya, pemberian pakan

berlebih dapat menimbulkan masalah. Selain sebagai limbah, sisa pakan dapat

menyebabkan penurunan mutu air di tambak.

Seberapa besar jumlah pakan yang dikonsumsi oleh udang dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu : jenis pakan, ukuran udang, suhu air, padat tebar, cuaca,

kualitas air dan status kesehatan udang itu sendiri. Faktor-faktor tersebut perlu

diperhatikan guna memaksimalkan penggunaan pakan bagi kultivan.

Suhu misalnya, mempunyai efek nyata terhadap konsumsi pakan dan

pertumbuhan. Pada udang vannamei, konsumsi pakan mencapai optimal pada suhu

27-31 C. Suhu di atas atau di bawah kisaran tersebut menyebabkan konsumsi pakan

menurun. Akiyama dan Chwang (1989) merekomendasikan persentase pakan

berdasarkan berat udang (Tabel 1) sebagai berikut.

Page 15: Manajemen Pemeliharaan Vaname

10

Tabel 1.

Persentase pakan yang diberikan berdasarkan berat udang.

Ukuran udang (g) Sebagai Pakan Tambahan Sebagai Pakan Lengkap

0-3 10%-4% 15%-8%

3-15 4%-2,5% 8%-4%

15-40 2,5%-2% 4%-2%

Untuk menghitung jumlah pakan harian yang diberikan pada kultivan adalah dengan

mengalikan total biomas udang dengan persentase pakan sesuai dengan berat

udang seperti tercantum pada Tabel di atas.

Total biomas = jumlah populasi udang x berat individu rata-rata

Penentuan berat individu diupayakan seakurat mungkin untuk menghindari

kesalahan dalam penentuan jumlah pakan harian. Hal ini dilakukan dengan

melakukan sampling pertumbuhan tiap 10-14 hari sekali. Jumlah sampel minimal 30

ekor. Tetapi jika variasi ukuran terlalu besar, maka jumlah sampel ditingkatkan dua

kali lipat. Untuk hasil yang lebih baik seharusnya udang ditimbang satu per satu.

Sebagai alat bantu untuk memonitor respon pakan dapat digunakan anco.

Jumlah anco sekitar 4-6 buah yang dipasang pada sisi tambak. Jumlah pakan yang

dimasukkan ke dalam anco sebanyak 1,5-2% dari jumlah pakan yang akan

diberikan. Sejumlah pakan tersebut harus habis dalam waktu 1-1,5 jam (udang

ukuran besar) dan 2 jam untuk udang berukuran kurang dari 4 gram. Jika pakan di

anco habis dalam waktu lebih singkat, maka jumlah pakan berikutnya dapat

ditingkatkan hingga 5%. Demikian pula sebaliknya, jika dalam waktu 1-2 jam pakan

belum habis, maka diputuskan untuk mengurangi jumlah pakan pada pemberian

berikutnya.

Page 16: Manajemen Pemeliharaan Vaname

11

2.2 Frekuensi Pemberian Pakan

Frekuensi pakan ditentukan berdasarkan tingkat kestabilan pakan dalam air

dan laju konsumsi pakan oleh udang. Pemberian pakan lebih sering dapat

memperbaiki rasio konversi pakan, serta mengurangi jumlah nutrien yang hilang

(leaching). Pada stadia benih, frekuensi pakan lebih sering oleh karena laju

metabolisme pada saat itu sangat tinggi. Idealnya, udang stadia post larva diberi

pakan setiap 2-3 jam sekali (12-8 kali sehari). Seiring dengan pertumbuhan udang di

tambak, maka frekuensi pakan dapat dikurangi dan umumnya maksimum 6 kali

selama 24 jam.

2.3 Rasio Konversi Pakan (FCR)

FCR merupakan salah satu indikator seberapa jauh pakan yang diberikan

dapat dimanfaatkan oleh udang untuk mendukung pertumbuhan dan sintasan. FCR

menggambarkan jumlah pakan yang diperlukan untuk menaikkan 1 kg berat udang.

Semakin rendah nilai FCR, maka pakan digunakan semakin efisien. Umumnya nilai

FCR kurng dari 2 masih dinyatakan baik. FCR yang tinggi kemungkinan disebabkn

oleh beberapa faktor, seperti : over feeding, defisiensi nutrien tertentu, kualitas air

yang buruk. Faktor-faktor tersebut perlu terus dimonitor, sehingga program

pemberian pakan lebih efisien.

2.4 Attraktabilitas dan Palatabilitas

Formulasi pakan dengan nutrisi seimbang akan sia-sia jika tidak dapat

dikonsumsi oleh udang. Attraktabilitas dan palatabilitas (cita rasa) pakan menjadi

penting untuk setiap pakan yang dihasilkan. Pada saat pakan diberikan, attraktan

(asam amino) dari pakan lepas ke air dan dideteksi oleh kemoreceptor yang

menyebar di seluruh tubuh udang. Udang makan atas dasar penciuman dan bukan

penglihatan, sehingga pakan harus mengandung attraktan yang baik sehingga

Page 17: Manajemen Pemeliharaan Vaname

12

mudah dikenali oleh udang. Pada saat udang mulai mengambil pakan, palatabilitas

(cita rasa) menjadi penting dan menentukan apakah pakan yang diberikan ditelan

atau tidak. Attraktan umumnya berasal dari bahan-bahan hewani (tepung ikan,

tepung udang, tepung cumi dsb) dan sudah tersedia dalam pakan. Namun dalam

prakteknya, nafsu makan udang sering dipacu dengan menambahkan attraktan dari

luar seperti penggunaan silase ikan, silase biomas artemia dan sebagainya.

2.5 Penyimpanan Pakan

Salah aspek penting dalam pengolaan pakan adalah aspek penyimpanan.

Pakan termasuk produk yang mudah rusak, sehingga perlu disimpan dan ditangani

dengan baik untuk menghindari terjadinya hilangnya nutrien tertentu, terjadinya bau

tengik, dan tumbuhnya jamur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama

penyimpanan pakan adalah sebagai berikut :

1. Pakan harus disimpan ditempat yang kering, dingin dan berventilasi

2. Pakan disimpan di atas rak papan dan jangan simpan di atas lantai secara

langsung

3. Pakan harus terhindar dari sinar matahari langsung

4. Pakan jangan disimpan lebih dari tiga bulan

5. Pakan yang sudah rusak jangan digunakan.

Page 18: Manajemen Pemeliharaan Vaname

13

III. PENGELOLAAN PAKAN DAN LINGKUNGAN

Budidaya udang merupakan salah satu industri besar (Rosenberry, 1999

dalam Burford dan Williams, 2001) dengan tingkat produksi sekitar 30 % dari total

suplai udang dunia (Browdy, 1998). Tingginya produksi tersebut adalah sebagai

konsekuensi dari padat tebar tinggi yang didukung oleh pemberian pakan buatan

dalam pemenuhan kebutuhan energi. Oleh karenanya tidak mengherankan pada

tahun 1990an, 75 % produksi udang dunia menggunakan pakan buatan dan sejak itu

pakan menjadi faktor produksi terbesar. Terlebih lagi dengan kecenderungan

peningkatan produksi udang hasil budidaya, maka kebutuhan pakan pun juga pasti

meningkat. Briggs et. al., (2004) laju pertumbuhan tahunan dari hasil budidaya udang

mencapai 6,8 % antara tahun 1999-2000 dan mengalami penurunan sekitar 0,9%

selama tahun 2002. Hal ini dipicu oleh penurunan mutu lingkungan budidaya dan

terjadinya serangan penyakit.

Terkait dengan lingkungan pemeliharaan, air dan sedimen tambak keduanya

saling berinteraksi secara terus menenus dan mempengaruhi lingkungan budidaya

(Gambar 1). Sedimen tambak selanjutnya dapat dipilah menjadi dua bagian besar

yaitu dasar dan pematang tambak serta akumulasi sedimen (sludge yang terkumpul

selama pemeliharaan). Sedimen ini bersumber dari sisa pakan, feses, aliran air

masuk, plankton yang mati, serta erosi. Komponen tersebut perlu dikelola dengan

baik sehingga tidak menimbulkan residu bahan organik yang berlebihan atau pada

tingkat yang dapat merusak lingkungan budidaya. Avnimelech et al., (2004),

akumulasi bahan organik yang berlebih menjadi pemicu kondisi lingkungan yang

anaerob, tingginya kebutuhan oksigen di sedimen, terjadinya penurunan mutu

lingkungan yang pada akhirnya berdampak pada respon pertumbuhan kultivan yang

rendah.

Page 19: Manajemen Pemeliharaan Vaname

14

Di Thailand misalnya, sistem budidaya udang intensif pada mulanya dilakukan

dengan padat tebar tinggi (50-100 ekor/m2); produksi tinggi (6-12 ton/ha/MT), FCR

tinggi (1.8->2.0), serta sistem pergantian air yang lebih banyak (5-10% per hari

hingga panen). Pengelolaan air dilakukan dengan cara kombinasi antara

penggantian air baru dan pengelolaan fitoplankton melalui pengamatan warna air.

Bahkan pergantian air sangat sering terutama pada separuh waktu pemeliharaan

terakhir.

Gambar 1.Pengelolaan budidaya udang intensif dan interaksi kualitas air

(Smith dan Briggs, 1998)

Akumulasi sedimen mulai disadari semakin besar pengaruhnya terhadap

aktivitas budidaya, sehingga perlu pengelolaan sebelum siklus berikutnya

berlangsung.. Dari beberapa pengalaman, diketahui bahwa jika sedimen yang

menumpuk tidak dipindahkan atau dihilangkan dari dasar tambak, akan berakibat

fatal pada kualitas air terutama pada awal pemeliharaan. Akan tetapi cara ini tidak

berlangsung lama seiring dengan kenyataan bahwa daerah pantai dan estuarin telah

Page 20: Manajemen Pemeliharaan Vaname

15

mengalami kerusakan atau penurunan mutu air, sehingga aktivitas budidaya

dilakukan dengan sistem pergantian air yang terbatas atau sedikit. Hal ini dilakukan

dengan alasan bahwa sistem pergantian air secara langsung menjadi pemicu

serangan penyakit. Terbukti bahwa penyakit viral seperti yellowhead melalui

perantaraan air, sedangkan whitespot melalui perantaraan krustase yang masuk

pada saat pergantian air dilakukan.

Terlepas dari keberadaan patogen atau carrier, penciptaan kondisi lingkungan

prima dalam budidaya perlu dilakukan. Faktor-faktor terkait dengan masalah tersebut

perlu diidentifikasi guna pengelolaan lingkungan budidaya yang lebih baik. Salah

satu diantaranya yang sangat penting adalah keberadaan pakan buatan dan

implikasinya bagi media budidaya selama pemeliharaan. Hal ini didasarkan pada

beberapa hal seperti : (1) pakan merupakan faktor produksi yang cukup mahal pada

sistem budidaya semi intensif dan intensif (Posadas, 1988 dalam Millamena dan

Trino, 1997); dan (2) pakan merupakan input terbesar yang dapat mempengaruhi

akumulasi bahan organik di sedimen dan kualitas air tambak (Boyd, 1993) sehingga

potensi sebagai sumber polutan jika tidak dikelolah dengan baik akibat kandungan N

dan P yang tinggi (Jackson et al., 2003).

3.1 Akumulasi Nutrien dan Bahan Organik di Dasar Tambak

Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan

berkisar 5-40% (Tabel 2). Dari data yang ada diketahui bahwa rerata nutrien yang

dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29 % nitrogen, dan

16 % posfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari banyaknya fraksi

karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan rendahnya retensi

nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%) dan posfor

(80%) terakumulasi di dasar tambak.

Page 21: Manajemen Pemeliharaan Vaname

16

Tabel 2.

Estimasi karbon, nitrogen dan posfor dalam tubuh ikan dan udang yang dinyatakan

dalam persentase total budget nutrien (nutrien yang ditambahkan dalam bentuk

pakan dan pupuk)a. (Avnimelech dan Ritvo, 2003).

a input organik karbon melalui produktivitas primer tidak diperhitungkan

b Kalkulasi didasarkan pada jumlah C, N, dan P pada saat panen (FCR)

c 17% pada padat tebar rendah (1 Pl/m2) dan 34,6% untuk penebaran 30

Pl/m2

Komponen organik pada akumulasi sedimen merupakan campuran antara

kandungan organik tanah dasar dan material berupa detritus. Detritus merupakan

komponen sedimen yang bersumber dari plankton, feses udang dan sisa pakan.

Dengan demikian, karakter dari akumulasi sedimen sangat ditentukan oleh intensitas

budidaya yang diterapkan, kandungan organik tanah dasar, dan penerapan sistem

pergantian air.

Secara umum, masalah yang dihadapi pada tanah dasar dan akumulasi

sedimen tambak adalah akumulasi bahan organik yang berlebih dan pada akhirnya

Page 22: Manajemen Pemeliharaan Vaname

17

akan melepaskan amoniak dan senyawa sulfur organik. Bahkan pada kondisi bahan

organik sangat tinggi dan tanah asam dapat berupa hidrogen sulfida. Dengan

demikian, untuk siklus pemeliharaan berikutnya (terutama sistem semi intensif dan

intensif), pembersihan sedimen sangat diperlukan. Jika tidak, maka sedimen ini akan

melepaskan bahan organik yang cenderung menstimulasi perkembangan

fitoplankton secara pesat terutama pada bulan pertama pemeliharaan. Avnimelech

dan Ritvo (2003) menyatakan bahwa jumlah nutrien untuk setiap 1 cm lapisan dasar

tambak setara dengan 10 kali lipat atau lebih untuk kedalaman tambak 1 meter

(Tabel 3).

Tabel 3.

Konsentrasi komponen kimia pada dasar tambak dan kolom air (Avnimelech dan

Ritvo, 2003).

Komponen Unit Kisaran konsentrasi

Air tambak Dasar tambak

Berat Kering % 10-3-10-1 20-80

Bahan organik Mg/kg 10-100 10.000-200.000

Total N Mg/kg 1-10 1000-20.000

Total N-amonia Ppm 0.1-10 1-1000

Total P Ppm 0.01-1 1000-20.000

3.2 Budget Nutrien dan Padatan (solid) di Tambak

Sebuah contoh kasus tentang budget nutrien dan padatan di tambak melalui

studi yang telah dilakukan oleh Briggs dan Smith (1994 dalam Smith dan Briggs,

1998) pada tambak dengan tekstur liat. Budget ditentukan berdasarkan bahan

padatan, partikel bahan organik, nitrogen dan posfor (Gambar 2). Dalam studinya,

digunakan tiga jenis tambak yaitu : tambak umur satu tahun, dua tahun dengan

Page 23: Manajemen Pemeliharaan Vaname

18

kepadatan tebar berkisar 50-60ekor/m2, serta tambak umur satu tahun dengan padat

tebar tinggi (80-100 ekor/m2).

Hal mendasar yang penting dipahami dari Gambar 2 di bawah ini adalah nilai

prosentase yang ditampilkan bukan menjadi ukuran akan tetapi yang tidak kalah

pentingnya adalah proporsi jumlah dari setiap fungsi (aliran air masuk, pupuk, kapur,

pakan dsb). Kondisi demikian dapat menjadi acuan dalam pengelolaan lingkungan

budidaya udang.

Gambar 2. Budget nutrien dan total padatan di tambak (Smith dan Briggs,

1998).

Pada Gambar 2 diketahui bahwa erosi tambak merupakan sumber terbesar

baik bahan padatan (88-93%) maupun bahan organik (40-60%) di tambak. Demikian

pula halnya dengan komponen pakan memberikan kontribusi bahan organik yang

cukup signifikan (31-50%) meskipun kontribusi padatan relatif kecil (4-7%) terhadap

Page 24: Manajemen Pemeliharaan Vaname

19

lingkungan budidaya. Ini penting oleh karena pakan juga menjadi indikator tentang

kontribusi kotoran yang dihasilkan oleh udang.

Pada tambak sistem ekstensif, aliran air masuk (influent water) merupakan

sumber sedimen terbesar, namun demikian pada sistem intensif kontribusinya hanya

berkisar 2-3 %. Sedangkan kontribusi bahan organik dari aliran air masuk cukup

signifikan (7-13%), tetapi tetap lebih rendah bila dibandingkan dengan komponen

pakan dan erosi tambak.

Tambak merupakan media sedimentasi yang cukup efektif sehingga

akumulasi sedimen di tambak dapat mencapai 91-94%. Sekitar 58-70% dari

sedimen tersebut akan mengendap sebagai bahan organik di dasar tambak.

Pergantian air secara rutin akan menghasilkan 4% bahan padatan yang terbuang

dan 3 % pada saat panen. Bahan padatan yang terbuang tersebut mengandung

bahan organik masing-masing 13 dan 9%. Sebaliknya pada udang itu sendiri,

kontribusi padatan dan bahan organik sangat sedikit yaitu masing-masing sebesar

0.7% dan 6.1%.

Data tersebut di atas menunjukkan bahwa faktor penting dalam budget nutrien

dan padatan pada suatu tambak adalah karakter tanah tambak. Pada tanah

mangrove, kandungan organik dapat mencapai 2-3 kali lipat dari tanah liat (contoh :

tanah sawah). Sebaliknya, pada tanah berpasir kandungan organiknya sangat

sedikit. Tanah yang demikian, seringkali dijumpai bahwa penumbuhan awal

fitoplankton sangat sulit bahkan seringkali dijumpai adanya kematian massal. Pada

tanah berpasir, kondisi terberat adalah rembesan yang tinggi menyebabkan bahan

organik akan masuk ke dalam matrix tanah dimana dekomposisi anaerob dapat

terjadi. Setelah satu atau dua siklus musim tanam, gagal produksi dapat terjadi

sebagai akibat dari kemunduran mutu dasar tambak.

Seperti diketahui bahwa pakan merupakan sumber organik terbesar kedua

setelah erosi dasar tambak. Pakan tersebut sangat potensial untuk menimbulkan

Page 25: Manajemen Pemeliharaan Vaname

20

masalah jika tidak dikelolah dengan baik. Hal ini disebabkan oleh karena aktivitas

budidaya banyak bergantung pada ketersediaan pakan tambahan. Namun ironisnya,

jumlah pakan yang diberikan untuk mendukung petumbuhan kultivan hanya sedikit

yang terasimilasikan (Tabel 4). Dari sejumlah pakan yang diberikan, hanya 18-27%

nitrogen dan 6-11% carbon yang dapat diasimilasikan dalam tubuh udang. Artinya,

terdapat sejumlah nitrogen dan carbon yang dapat menjadi limbah nutrien. Sebagian

dari padanya dapat dikonversi menjadi biomas plankton, menguap ke udara atau

tertahan di sedimen.

Nitrogen tersedia dalam pakan dalam jumlah yang cukup tinggi, oleh karena

kebutuhan protein bagi udang cukup tinggi yaitu sekitar 27-60% (Tabel 5). Namun

demikian, sebagian besar (78 %) hanya terbuang ke tambak atau sedikit yang

terasimilasi dalam tubuh udang (Gambar 3) sehingga menjadi bahan pupuk yang

sangat mahal untuk menstimulasi pertumbuhan plankton dan berbagai komunitas

mikrobial. Burford dan Williams (2001), rendahnya retensi nitrogen dalam bentuk

biomass udang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : formulasi

kurang optimal dan kualitas bahan baku, kelebihan pakan, serta rendahnya stabilitas

pakan di air.

Page 26: Manajemen Pemeliharaan Vaname

21

Tabel 4.

Komposisi pakan, assimilasi nutrien dan jumlah yang hilang ke lingkungan (Smith

dan Stewart, 1996 dalam Smith dan Briggs, 1998).

Nutrien Proksimat analisis (%BK) Komposisi

(g/kg BK)

Assimilasi pada FCR

1.65-2.40a

Pakan Udang (g/kg

assimilasi)

% non-

Assimilasi

Protein

Lemak

Abu

Serat

Karbohidrat

Berat

kering

Nitrogen

Posfor

Carbon

45,4±2,6

6,1±0,5

12,8±0,8

3,1±0,4

23,0±2,4

90,3±1,1

7,08±0,59

1,34±0,20

43,16±1,71

54,2±2,5

4,9±0,5

19,3±0,8

2,3±0,2

19,3±1,5

24,6±1,2

11,50±0,18

1,19±0,15

41,2±1,3

454

61

128

31

23

-

70,8

13,4

43,16

61,2-89,4

5,5-8,1

21,8-31,9

2,6-3,8

21,8-31,9

-

13,0-19,0

1,3-2,0

46,5-67,9

80,3-86,5

86,7-90,9

75,1-83,0

87,8-91,6

86,2-90,5

-

73,2-81,6

85,3-90,0

84,3-89,2

a(1 kg pakan kering pada FCR 1,65-2,40 menghasilkan 113-165 g kering udang)

Page 27: Manajemen Pemeliharaan Vaname

22

Tabel 5.

Kebutuhan protein dalam pakan pada berbagai jenis udang (Lim and Akiyama, 1995,

Guillaume 1997 dalam Tacon 2002).

Species Kebutuhan protein (%)

Penaeus japonicus

P. brasiliensis

P. monodon

P. aztecus

P. merguensis

P. indicus

P. setiferus

P. stylirostris

P. penicillatus

P. cailorniensis

P. kerathurus

P. vannamei

P. duorarum

Metapeneus monoceros

M. macleayi

40-60

45-55

35-50

29-51

34-50

40-43

28-32

30-35

22-27

>44

>40

>30

30

55

27

Lingkungan pemeliharaan (seperti salinitas) juga merupakan salah satu faktor

yang berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan pakan. Shiau (1998) melaporkan

bahwa udang windu yang dipelihara pada salinitas yang lebih rendah menunjukan

eksresi amoniak yang lebih besar dari pada yang dipelihara pada salinitas yang lebih

tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya penggunaan protein sebagai sumber energi-

Page 28: Manajemen Pemeliharaan Vaname

23

bukan lemak pada media pemeliharaan berkadar garam rendah. Sedangkan

nitrogen yang dihasilkan dari erosi tambak (konstributor bahan padatan terbesar di

tambak) hanya sekitar 16%. Sumber -N lainnya adalah dari aliran air masuk (4%)

dan pemupukan, curah hujan, post larvae sejumlah sejumlah 2%. Jumlah N yang

mengendap di dasar tambak (24%), udang yang dipanen (18%), dan air buangan

(27%). Selebihnya (30% N) diasumsikan lepas ke atmosfir sebagai N2 atau amonia.

Tingginya kandungan N hasil buangan akan berdampak pada badan air lainnya

(receiving water). Hal ini akan berlangsung secara cepat seiring dengan

meningkatnya jumlah buangan limbah ke lingkungan dan mengakibatkan terjadinya

penurunan mutu air (Martin et al., 1998).

Gambar 3. Budget nitrogen (N) di tambak (Smith dan Briggs, 1998).

Pada budidaya dengan sistem terbuka (open system), pergantian air tidak

menghasilkan buangan –N yang signifikan (17%) (Tabel 12). Artinya, unsur N tetap

tersedia dan terakumulasi seiring dengan meningkatnya jumlah pakan yang

diberikan. Keterlambatan dalam pergantian air akan menimbulkan masalah seperti

blooming fitoplankton dan pada akhirnya mengakibatkan stres pada udang.

Page 29: Manajemen Pemeliharaan Vaname

24

Tabel 6.

Jumlah nutrien yang terbuang sebagai hasil dari pergantian air tambak (Smith dan

Briggs, 1998).

Adapun bentuk –N dari suatu proses budidaya dengan pemberian pakan

buatan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada dasarnya ada tiga sumber–N terlarut

sebagai hasil dari proses pemberian pakan, yaitu : ekskresi insang, leaching dari

pakan, dan leaching dari feses. Bentuk –N dari pakan berupa amina-amina primer

terlarut (dissolved primary amines, DPA, 23%), sedang –N yang dihasilkan dari

proses leaching pada feces terdapat dalam bentuk urea.

Page 30: Manajemen Pemeliharaan Vaname

25

Gambar 4. Model ekskresi –N (mmol m-2 d-1) dari insang, pakan, dan feses

udang dalam kolom air tambak (assumsi biomass 500 g/m2, pemberian pakan

4 x sehari, suhu air 28 C, dan asumsi sisa pakan 10%; Burford dan Williams,

2001).

Urea ini dapat digunakan oleh komunitas mikroba tambak secara cepat,

sedangkan organik –N terlarut yang dihasilkan dari proses leaching pakan kurang

efektif dimanfaatkan oleh bakteria dan hanya terakumulasi di dasar tambak.Baik

pakan maupun feses keduanya secara signifikan berpengaruh terhadap kualitas air

tambak khususnya dalam mengakumulasi DON (Dissolved organik N) dan stimulasi

pertumbuhan mikrobia. Oleh karenanya, sebagai upaya untuk mengurangi buangan

limbah dari tambak perlu dihindari adanya over feeding dan berupaya meningkatkan

retensi nutrien dalam tubuh ikan dan udang. Selain kandungan –N, pakan

merupakan sumber posfor terbesar di tambak (Gambar 5). Dari gambar tersebut

diketahui bahwa kebanyakan posfor terakumulasi di tambak, sehingga sekali lagi

sangat penting untuk mengolah limbah dasar tambak baik selama pemeliharaan

maupun setelah pemeliharaan berlangsung.

Page 31: Manajemen Pemeliharaan Vaname

26

3.3 Alternatif Solusi Pengelolaan Limbah pada Sedimen Tambak

Burford et al., (2001) dalam Jackson et al., (2003) menjelaskan bahwa ada tiga

faktor yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan limbah nitrogen

di tambak, yaitu :

1. Perbaikan formulasi dan pengelolaan pakan

2. Perbaikan proses nitrogen di tambak

3. Perbaikan sistem desain dan manajemen limbah di tambak

Gambar 5. Budget posfor di tambak (Smith dan Briggs, 1998).

3.4 Perbaikan Formulasi dan Pengelolaan Pakan

Formulasi pakan dibuat melalui penggunaan berbagai bahan baku guna

menghasilkan nutrien dan energi yang sesuai bagi kultivan yang dipelihara. Jumlah

dan jenis bahan yang digunakan disesuaikan dengan jumlah nutrien yang

dikandungnya. Namun demikian faktor berupa kecernaan bahan dan harga turut

menentukan dalam pembuatan suatu ransum atau formula pakan. Pakan udang

khususnya, memerlukan protein yang cukup tinggi dalam pakannya. Hal ini berarti

bahwa kandungan N dalam pakan cukup tinggi seperti dijelaskan sebelumnya.

Peningkatan kecernaan pakan dan retensi/asimilasi dalam tubuh udang perlu

dilakukan. Jika tidak, sumber N tersebut akan lepas ke lingkungan dan pada

Page 32: Manajemen Pemeliharaan Vaname

27

akhirnya berpegaruh terhadap mutu air tambak. Oleh karenanya, sebelum membuat

suatu formulasi, faktor kandungan nutrien dan tingkat kecernaan bahan sangat

diperlukan. Pada kenyataannya, bahan hewani memiliki tingkat kecernaan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan bahan nabati. Tidak mengherankan jika dalam

pembuatan pakan udang penggunaan bahan hewani banyak digunakan seperti

tepung ikan, tepung kepala udang, tepung cumi, dsb. Disamping itu, faktor lain

adalah bahan hewani memiliki profil asam amino yang lengkap serta mengandung

zat attraktan (Tacon, 1993).

Ketergantungan terhadap penggunaan tepung ikan dalam suatu formulasi

pakan cukup tinggi (Lim, 1994), bahkan sebagai sumber protein hewani, kontribusi

protein lebih dominan yaitu sekitar 60% (Goddard, 1996). Hal ini menyebabkan

penggunaan tepung ikan menjadi issu penting saat ini oleh karena kelangkaan

sumberdaya serta kompetisi penggunaan dengan sektor lain seperti peternakan.

Terkait dengan masalah tersebut, kajian formulasi untuk beberapa species diarahkan

pada pencarian bahan baku pengganti tepung ikan. Upaya ini tidak hanya

dimaksudkan untuk mengatasi kelangkaan sumberdaya, tetapi sekaligus

menciptakan pakan dengan harga murah (sumber protein cukup mahal) serta ramah

lingkungan.

Penggunaan growth enhancer (GE) dalam pakan banyak diaplikasikan

dengan tujuan meningkatkan asimilasi nutrien dalam tubuh ikan maupun udang.

Sebagai contoh adalah penggunaan cumi-cumi, hidrolisis udang kecil (krill) dan

beberapa jenis ikan. Hasil percobaan (Cordova-Murueta, et al., 2003) menunjukkan

bahwa penggunaan ketiga sumber GH tersebut dalam pakan udang menunjukkan

respon pertumbuhan yang baik meskipun dalam jumlah relatif sedikit.

Aspek lain adalah pengelolaan pakan secara umum terutama yang terkait

dengan jumlah dan frekuensi pemberian. Jumlah pakan harian yang diberikan

meningkat seiring dengan bertambahnya lama pemeliharaan. Faktor terpenting

Page 33: Manajemen Pemeliharaan Vaname

28

dalam hal ini adalah estimasi biomass harian dan laju pertumbuhan (SGR) seperti

ditunjukkan pada formula berikut ini :

Wt = Wo x (1 + SGR/100)t .................... (1)

SGR = ln(Wt/Wo)/t x 100 .................... (2)

JPt = Wt x F ...................................... (3)

dimana :

Wt = Biomass pada hari ke-t (g)

Wo = Biomass awal (hari ke-0; g)

SGR = Laju pertumbuhan spesifik (%/h)

JPt = Jumlah pakan pada hari ke-t (g)

F = Prosentase pemberian pakan (%)

t = Lama pemeliharaan (hari)

Nilai SGR dapat diketahui melalui pertumbuhan udang secara normal yang

diamati secara periodik. Setelah penentuan jumlah pakan harian, masalah berikut

adalah berapa kali pakan diaplikasikan. Frekuensi pemberian pakan dimaksudkan

untuk mengoptimalkan penggunaan pakan bagi udang. Pakan memiliki kestabilan

yang terbatas dalam air, sehingga dalam waktu relatif singkat diharapkan dikonsumsi

oleh udang. Pakan yang terlalu lama di dasar tambak, selain dapat melepaskan

nutrien tertentu (leaching), juga mudah hancur sehingga sulit untuk ditangkap oleh

udang. Suatu percobaan telah dilakukan oleh Smith et. al., (2002) dengan simulasi

pemeliharaan udang (berat awal 5,6 g/ekor) di bak kapasitas 2500 liter. Ada empat

perlakuan frekuensi pemberian pakan, yaitu : 3; 4; 5; dan 6 kali sehari. Dari hasil

percobaan dilaporkan bahwa frekuensi pemberian pakan lebih dari 3 kali sehari tidak

menguntungkan selama pakan itu memiliki kandungan nutrisi yang cukup serta

kestabilan dalam air yang tinggi. Dalam percobaan ini, lama pakan dalam air untuk

Page 34: Manajemen Pemeliharaan Vaname

29

semua perlakuan adalah sama yaitu 12 jam. Kajian ini perlu verifikasi di lapangan,

mengingat aplikasi pakan di tambak seringkali diberikan dengan frekuensi lebih dari

tiga kali sehari.

3.5 Perbaikan Proses- N di Tambak

Penggunaan bakteri remedian sudah umum digunakan guna mengurangi

kadar amonia, bahan organik dan selanjutnya memperbaiki akumulasi sedimen di

tambak. Disamping itu, penambahan sumber karbon (gula, molases, dsb) umum

digunakan dengan maksud untuk merubah komoditas bakteri di tambak sehingga

meningkatkan aktivitas bakteri heterotropik yang berperan untuk mereduksi amoniak.

Namun demikian, yang menjadi masalah adalah dalam bentuk apa amonia direduksi

dan apakah berlangsung lama? (Smith dan Briggs, 1998). Liu dan Han (2004) telah

melakukan kajian pengolahan limbah hasil pemeliharaan larva udang. Dari hasil

percobaan diketahui bahwa penambahan bakteri remedian (Bacillus subtilis) dan

nutrin berupa glukosa dan atau posfat sangat signifikan terhadap penurunan kadar

bahan organik terlarut (DOM) dan total amonia nitrogen (TAN).

Strategi lain yang dapat dilakukan guna mengurangi inorganik N di tambak

adalah dengan cara manipulasi C/N rasio melalui penambahan materi yang

mengandung carbon (carbonaceus material). Pada prinsipnya, penambahan sumber

karbon di sedimen adalah sebagai sumber makanan bakteri guna menghasilkan

energi bagi pertumbuhannya. Selama proses pertumbuhan, berarti terjadi

pembentukan sel-sel baru dalam bentuk protein seperti ditunjukkan dalam diagram

berikut (Avnimelech, 1999) :

Aktivasi suspensi di tambak (Gambar 6) merupakan salah satu alternatif untuk

menjadi biofilter. Hal ini telah berkembang pada budidaya ikan nila. Prinsip yang

sama digunakan pada budidaya udang intensif di Belize. Metode ini didasarkan pada

kenyataan bahwa pada budidaya sistem intensif aerasi dan pencampuran air terjadi

Page 35: Manajemen Pemeliharaan Vaname

30

terus menerus, sebagai bagian integral dari operasional budidaya. Proses

pencampuran dan pengaerasian merupakan wujud sebagaian besar dari sistem

produksi berbasis bioteknologi. Dengan aktivasi suspensi ini terjadi populasi bakteri

yang sangat padat pada kondisi optimal, dan selanjutnya digunakan untuk mengolah

limbah dan menjamin terciptanya kondisi budidaya yang aman bagi ikan, skaligus

mendaur ulang pakan dalam sistem budidaya.

Gambar 6. Skema aktivasi suspensi di tambak. Pemeliharan dan pengelolaan

limbah berlangsung dalam wadah yang sama (Avnimelech, 2000).

Organik C CO 2 energi assimilasi C dalam sel-sel mikrobial

Untuk sistesa protoplasma mikrobial secara optimal memerlukan C/N rasio

sebesar 10 : 1 (Worne, 1992). Rasio ini terkait erat dengan komposisi karbon dan

nitrogen masing-masing sebesar 50% dan 10 % berat kering dengan efisiensi

assimilasi karbon sekitar 5-10% (Boyd,1995). Hari et al., (2004) telah melakukan

percobaan pembesaran udang (P. monodon) skala laboratoris dan skala massal di

Page 36: Manajemen Pemeliharaan Vaname

31

tambak tentang pengaruh penambahan sumber karbon. Hasil percobaan

menunjukkan bahwa penambahan karbohidrat (tepung tapioka) secara signifikan

menurunkan TAN dan meningkatkan populasi bakteri heterotropik baik di kolom air

maupun di sedimen. Kajian selanjutnya (Avnimelech, 1999) memformulasikan secara

detail bahwa untuk mengimmobilisasi 1 kg TAN diperlukan 20 kg karbon.

3.6 Perbaikan Desain dan Manajemen Limbah di Tambak

Baik teori, eksperimen secara laboratoris dan data lapangan menunjukkan

bahwa kondisi dasar tambak sangat penting dalam mendukung keberhasilan

produksi udang. Hal mendasar dalam hal ini adalah bagaimana meminimalkan

penutupan dasar tambak oleh sludge. Ada dua cara secara simultan untuk

mengontrol sedimen di tambak, yaitu : (1) aerator: yang mengarahkan limbah organik

pada daerah atau zona tertentu di dasar tambak sehingga bagian tambak lainnya

tetap bersih dari akumulasi sedimen; dan (2) adanya daerah untuk menangkap

sediment di dasar tambak. Terlepas dari cara tersebut, (Avnimelech dan Ritvo, 2003)

menjelaskan bahwa hal penting dan umum dilakukan unuk perbaikan kondisi dasar

tambak adalah melalui perlakuan tanah dasar antar siklus pemeliharaan, baik

dengan pengeringan atau dengan mengangkat lapisan sedimen. Lebih lanjut Boyd

dan Pippopinyo (1994), kadar air dan pH optimum untuk proses respirasi dasar

tambak adalah masing-masing 12-20% dan 7,5-8,0.

3.7 Aplikasi Probiotik dan Feed Additive

Alasan penggunaan probiotik (Poernomo, 2004) adalah sebagai berikut :

Dalam budidaya udang intensif ( kepadatan tebar ( 30 - 40 PL/m2 untuk udang

windu atau 80-100 PL/m2 udang vanamei, penimbunan kotoran (faeces udang,

sisa pakan dan bangkai plankton) didasar cukup cepat selama pembesaran

udang ( 2,5 - >3,0 kg TS/kg udang) .

Page 37: Manajemen Pemeliharaan Vaname

32

Kotoran ini walaupun di bersihkan setiap hari masih banyak tertimbun didalam

tambak.

Dalam waktu pembesaran udang selama minimum 4 bulan terjadi proses

pembusukan terutama dalam kondisi anaerob yang menghasilkan gas beracun (

H2S, NH3, NO2, dll ) yang sangat bahaya bagi udang yang dipelihara. Udang

bisa stress dan lebih peka terhadap penyakit dengan dampak akhir kegagalan

budidaya.

Air sumber banyak terkontaminasi dengan virus dan bakteri pathogen.

Pengaruh negatif dari hasil pembusukan kotoran ( bahan organik ) tersebut dapat

diantisipasi dengan penggunaan ProBiotik secara tepat ( jenis dan cara aplikasi ).

Penggunaan ProBiotik dapat meningkatkan mutu dan kesehatan lingkungan dan

bahan pangan.

Salah satu faktor kunci dalam memilih jenis probiotik yang digunakan adalah

probiotik tersebut sudah mendapatkan legalitas melalui pengujian secara saintifik.

Hal ini penting oleh karena sekarang ini jenis probiotik yang beredar di pasaran

sangat banyak sehingga selektifitas sangat diperlukan untuk efisiensi faktor produksi.

Hal yang sama juga berlaku pada aplikasi jenis dan jumlah feed additive.

Perlu disadari bahwa udang memiliki pola makan yang berbeda dibandingkan

dengan ikan. Sistem makan dengan menggigit makanan secara sedikit demi sedikit

memungkinkan adanya pelepasan nutrien (termasuk feed additive yang

ditambahkan) ke dalam media budidaya. Dengan demikian karakteristik bahan

additive harus diketahui.

Page 38: Manajemen Pemeliharaan Vaname

33

DAFTAR PUSTAKA

Avnimelech, Y., 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture 176, 227-235.

Avnimelech, Y., 2000. Nitrogen control and protein recycling : Activated suspension ponds. Global Aquaculture Advocate, April :23-24

Avnimelech, Y ., and G. Ritvo., 2003. Shrimp and fish pond soiln: processes and management. Aquaculture 220,549-567.

Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-xxx

Borlongan, I.G, and Coloso, R.M. 1993. Requirements of Milkfish ( Chanos chanos Forsskal ) Juveniles for Essential Amino Acids. J. Nutr.123:125-132.

Boyd, C.E., 1993. Shrimp pond bottom soil and sediment management. Proceeding of the special session on shrimp farming. Wyban, J (ed). World Aquac. Soc.43-58.

Boyd, C. E., S. Pippopinto., 1994. Factors affecting respiration in dry pond soils. Aquaculture 120,283-293

Boyd, C. E., 1995. Bottom soils, sediment, and pond aquaculture. Chapman & Hall.

Briggs, M., Funge-Smith, S., Subasinghe, R., Phillips, M. 2004. Introduction and movement of Penaeus vannamei and P. stilyrostris in Asia and Pasific. FAO, RAP Publication 2004/10. Regional officer for Asia and Pasific, Bangkok.

Browdy, 1998. Recent developments in penaeid broodstock and seed production technologies: improving the outlook for superior captive stocks. Aquaculture 164,3-21.

Burford, M. A., K.C. Williams, 2001. The fate of nitrogenous waste from shrimp feeding. Aquaculture 198, 79-93.

Coloso, R.M., Murrillo-Gurrea, D.N., Borlongan, I.G, and Catacutan, M.R. 1999. Sulphur Amino Acid Requirement of Juvenile Asian seabass Lates calcarifer. J. Appl. Icthyol.15(2)54-58.

Cordova-Murueta, J.H., F.L.,G-Carreno., 2002. Nutrive value of squid and hyrolyzed protein supplement in shrimp feed. Aquaculture 210, 371-384.

Page 39: Manajemen Pemeliharaan Vaname

34

Cuzon, G., A. Lawrence., G. Gaxiola., C. Rosas., J. Guillaume. 2004. Nutrition of Litopenaeus vannamei reared in tanks or in ponds. Aquaculture 235 : 513-551.

Goddard, S., 1996. Feed management in intensive aquaculture. Chapman and Hall, New York.

Feed Development Section. 1994. Feeds and Feeding of Milkfish, Nile Tilapia, Asian Seabass, and Tiger Shrimp. SEAFDEC Aquaculture Department, Tigbauan Iloilo Philippines.97 p.

Gonzales-Felix, M., and M. Perez-Valazquez, 2002. Current status of lipid nutrition of Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei. In : Cruz-Suarez, L.E., Ricque-Marie, D., Tapia-Salazar, M., Gaxiola-Cortes, M.G., Simoes, N (eds). Advances en Nutricion Acuicola VI. Memorias del VI Simposium Internacional de Nutricion Acuicola. 3 al 6 de Septiembre del 2002. Cancun, Quintana Roo, Mexoco.

Hari , B., B. M. Kurup., J. T. Varghese., J. W. Schrama, M.C.J. Verdegem, 2004. Effects of carbohydrate addition on production in extensive shrimp culture systems. Aquaculture, 241:179-194.

Jackson, C., N. Preston., P. J. Thompson., and M. Burford., 2003. Nitrogen budget and effluent nitrogen components at an intensive shrimp farm. Aquaculture 218, 397-411.

Kureshy, N and D.A. Davis. 2002. Protein requirement for maintanance and maximum weight gain for the Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. Aquaculture 204 : 125-143.

Lim, C., 1994. Future considerations in fish nutrition research. In: Feed for small-scale aquaculture (Santiago et al., eds.). SEAFDEC-aQD, Iloilo, Philippines.

Liu, F., W. Han., 2004. Reuse strategy of wastewater in prawn nursery by microbial remediation. Aquaculture 230, 281-296.

Martin, J.L.M., Y. Veran., O. Guelorget., and D. Pham., 1998. Shrimp rearing : stocking density, growth, impact on sediment, waste output and their relationships in rearing ponds. Aquaculture 164, 135-149.

Millamena, O.M., Bautista-Teruel M.N., and Kanazawa, A. 1996. Valine Requirements of Juvenile Marine Shrimp, Penaeus monodon Fabricius). Aquac. Nutr (2)3:129-132.

Page 40: Manajemen Pemeliharaan Vaname

35

Millamena, O. M., A. T. Trino., 1997. Low-cost feed for Penaeus monodon reared in tanks, under semi-intensive and intensive conditions in brackishwater pond. Aquaculture 154, 69-78.

National Research Council.1983. Nutrient Requirements of Warmwater Fishes and Shellfishes. Washington DC. Academy Press.102 p.

Santiago, C.B.,and Lovell, R.T.1988. Amino Acid Requirements for Growth of Nile Tilapia. J. Nutr 118:1540-1546.

Shiau, S.Y., 1998. Nutrient requirement of penaeid shrimps. Aquaculture 164, 77-93.

Smith, S. J. F., and M. R. P. Briggs, 1998. Nutrient budget in intensive shrimp ponds: implications for sustainability. Aquaculture 164, 117-133.

Smith, D. M., M. A. Burford., S. J. Tabrett., S. J. Irvin., and L. Ward., 2002. The effect of feeding frequency on water quality and growth of the black tiger shrimp (Penaeus monodon). Aquaculture 207, 125-136.

Tacon, A.G.J., 1993. Feed ingredient for warmwater fish : Fish meal and processed feedstuffs. FO-UN, Rome.

Tacon, A. G. J., 2002. Thematic Review of Feed and Feed management Practices in Shrimp Aquaculture. Report prepared under the World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for Public Discussion. Publised by the Consortium.

Thakur, D.P., C. K. Lin, 2003. Water quality and budget nutrient in closed shrimp (Penaeus monodon) culture systems. Aqua. Engeneering, 27:159-176.

Worne, H., 1992. Introduction to microbial biotechnology including hazardous waste treatment. Hazardous Materials Control Resources Institute, USA.