manajemen konflik
description
Transcript of manajemen konflik
BAB 12
MANAGEMENT CONFLICT, POWER & POLITICS
Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya
selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Demikian pula
ketika suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif
selalu menjadi kambing hitam.
Para manajer bergantung kepada keterampilan berkomunikasi mereka
dalam memperoleh informasi yang diperlukan dalam proses perumusan
keputusan, demikian pula untuk mensosialisasikan hasil keputusan tersebut
kepada pihak-pihak lain. Riset membuktikan bahwa manajer menghabiskan
waktu sebanyak 80 persen dari total waktu kerjanya untuk interaksi verbal
dengan orang lain.
Keterampilan memproses informasi yang dituntut dari seorang manajer
termasuk kemampuan untuk mengirim dan menerima informasi ketika bertindak
sebagai monitor, juru bicara (speakesperson), maupun penyusun strategi. Sudah
menjadi tuntutan alam dalam posisi dan kewajiban sebagai manajer untuk selalu
dihadapkan pada konflik. Salah satu titik penting dari tugas seorang manajer
dalam melaksanakan komunikasi yang efektif di dalam organisasi bisnis yang
ditanganinya adalah memastikan bahwa arti yang dimaksud dalam instruksi
yang diberikan akan sama dengan arti yang diterima oleh penerima instruksi
demikian pula sebaliknya (the intended meaning of the same). Hal ini harus
menjadi tujuan seorang manajer dalam semua komunikasi yang dilakukannya.
Dalam hal me-manage bawahannya, manajer selalu dihadapkan pada
penentuan tuntuan pekerjaan dari setiap jabatan yang dipegang dan ditangani
oleh bawahannya (role expectaties) dan konflik dapat menimbulkan ketegangan
yang akan berefleksi buruk kepada sikap kerja dan perilaku individual. Manajer
yang baik akan berusaha untuk meminimalisasi konsekuensi negatif ini dengan
cara membuka dan mempertahankan komunikasi dua arah yang efektif kepada
setiap anggota bawahannya. Disinilah manajer dituntut untuk memenuhi sisi lain
dari ketrampilan interpersonalnya, yaitu kemampuan untuk menangani dan
menyelesaikan konflik.
I. Pengertin Konflik
Konflik menurut Robbins adalah suatu proses yang dimulai bila satu pihak
merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif atau akan
segera memengaruhi secara negatif pihak lain. Sedangkan Alabeness dalam
Nimran mengartikan konflik sebagai kondisi yang dipersepsikan ada di antara
pihak-pihak atau lebih merasakan adanya ketidaksesuaian antara tujuan dan
peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan pihak lain. Dari kedua
definisi ini dapat disimpulkan bahwa konflik itu adalah proses yang dinamis dan
keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang
mengalami dan merasakannya. Jadi jika sesuatu keadaan tidak dirasakan
sebagai konflik maka pada dasarnya konflik itu tidak ada.
II. Hakekat konflik
Pada hakekatnya konflik merupakan suatu pertarungan menang-kalah
antar kelompok atau perorangan yang berbeda kepentingannya satu sama lain
dalam organisasi. Atau dengan kata lain, konflik adalah segala macam interaksi
pertentangan atau antogonistik antara dua atau lebih pihak. Pertentangan
kepentingan ini berbeda dalam intensitasnya tergantung pada sarana yang
dipakai. Masing-masing ingin membela nilai-nilai yang telah menganggap
mereka benar, dan memaksa pihak lain untuk mengakui nilai-nilai tersebut baik
secara halus maupun keras.
Menurut Garreth konflik sangat berguna bagi organisasi karena setelah
terjadinya konflik organisasi akan dibawa menuju pada pembelajaran dan
perubahan. Gambar diagramhal 394
III. Pandangan Tentang Konflik
Terdapat tiga pandangan tentang konflik, yaitu:
1. Pandangan tradisional, menyatakan bahwa konflik harus dihindari
karena akan menimbulkan kerugian, aliran ini juga memandang konflik
sebagai sesuatu yang sangat buruk, tidak menguntungkan dalam
organisasi. Oleh karena itu konflik harus dicegah dan dihindari sebisa
mungkin dengan mencari akar permasalahan.
2. Pandangan hubungan manusia. Pandangan behaviorial (yang
berhubungan dengan tingkah laku) ini menyatakan bahwa konflik
merupakan sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak terelakan dalam setiap
kelompok manusia. Konflik tidak selalu buruk karena memiliki potensi
kekuatan yang positif di dalam menentukan kinerja kelompok, yang oleh
karena itu konflik harus dikelola dengan baik.
3. Pandangan interaksionis. Yang menyatakan bahwa konflik bukan
sekedar sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga
mutlak perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif. Oleh
karena itu konflik harus diciptakan. Pandangan ini didasari keyakinan
bahwa organisasi yang tenang, harmonis, damai ini justru akan membuat
organisasi itu menjadi statis, stagnan dan tidak inovativ. Dampaknya
dalam kinerja organisasi menjadi rendah.
IV. Proses Konflik
Proses konflik (conflict process) menurut Robbins dapat dipahami sebagai
sebuah proses yang terdiri atas lima tahapan, yaitu : dlm slide hanya gambar
hal 176 Robbins
1. Tahap I, Potensi pertentangan atau ketidakselarasan, yaitu tahap
munculnya kondisi-kondisi yang menciptakan peluang bagi pecahnya
konflik. Kondisi-kondisi tersebut dapat dipadatkan dalam tiga katagori
umum yaitu :
a. Komunikasi
Komunikasi dapat menjadi sumber konflik diakibatkan
kesulitan semantik, kesalahpahaman dan “kegaduhan”. Kasi
contoh
b. Struktur
Konflik dapat bersifat struktural, hal ini mencakup variabel-
variabel seperti ukuran, kadar spesialisasi dalam tugas yang
diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan yurisdiksi,
keserasian antar anggota dan tujuan, gaya kepemimpinan, sistem
imbalan dan kadar ketergantungan dalam kelompok. Kasi contoh
c. Variabel-variabel pribadi
Potensi konflik lainnya dapat meliputi kepribadian, emosi,
dan nilai-nilai. Kasi contoh
2. Tahap II, Kognitif dan personalia, yaitu tahap dimana isu-isu konflik
biasanya didefinisikan dan pada gilirannya akan menentukan jalan
panjang menuju akhir penyelesaian konflik. Sebagai contoh, emosi yang
negatif dapat menyebabkan peremehan persoalan, menurunnya tingkat
kepercayaan dan interpretasi negatif atas perilaku pihak lain. Sebaliknya,
perasaan positif dapat meningkatkan kemampuan untuk melihat potensi
hubungan diantara elemen-elemen suatu masalah, memandang secara
lebih luas suatu situasi dan mengembangkan berbagai solusi yang lebih
inovatif.
Konflik disyaratkan adanya persepsi dengan kata lain bahwa tidak berarti
konflik itu personalisasi. Selanjutnya konflik pada tingkatan perasaan yaitu
ketika orang mulai terlibat secara emosional. Kasi contoh
3. Tahap III, Maksud, yaitu keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu.
Menurut Robbins maksud (intention), mengintervensi antar persepsi serta
emosi orang dan perilaku luaran mereka. Banyak konflik muncul karena
salah-satu pihak salah dalam memahami maksud pihak lain. Dengan
menggunakan dua dimensi yaitu pertama, sifat kooperatif (kadar sampai
mana salah-satu pihak berusaha memuaskan kepentingan pihak lain).
Kedua, sifat tegas (kadar sampai mana salah-satu pihak berupaya
memperjuangkan kepentingannya sendiri).
Adapun lima maksud penanganan konflik berhasil diidentifikasikan, yaitu
sebagai berikut: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), bekerja sama
(tegas dan kooporatif), menghindar (tidak tegas dan tidak kooperatif),
akomodatif (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromis (tengah-tengah
antara tegas dan kooperatif). Kasi contoh
4. Tahap IV, Perilaku, meliputi pernyataan aksi dan reaksi yang dibuat oleh
pihak-pihak yang berkonflik. Dengan demikian dalam konflik dibutuhkan
teknik-teknik manajemen konflik sehingga mendorong konflik mencapai
tingkat konflik yang diinginkan. Kasi contoh
5. Tahap V, Akibat, jalinan aksi reaksi antara pihak yang berkonflik
menghasilkan konsekuensi. Akibat atau konsekuensi ini bisa bersifat
fungsional, dalam arti konflik tersebut menghasilkan kinerja kelompok,
atau juga bersifat disfungsional karena justru menghambat kinerja
kelompok.
Menurut Louis R. Pondy terdpat lima proses konflik, yaitu dimulai dari:
Tahap I, Laten Conflict (konflik laten) yaitu tahap munculnya faktor-faktor
yang menjadi penyebab konflik dalam organisasi. Bentuk-bentuk dasar
dari situasi ini seperti:
Saling ketergantung kerja (interdependence) terjadi bila dua atau lebih kelompok organisasi tergantung satu dengan yang lainnya untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka. Potensi konflik pada keadaan ini sangat tinggi. Saling ketergantungan dikelompokan dalam: (1) saling ketergantungan yang dikelompokan, tidak memerlukan adanya interaksi diantara kelompok sebab setiap kelompok, bertindak secara terpisah. Potensi konflik pada bentuk saling ketergantungan yang dikelompokan relatif rendah, dan manajemen dapat mengandalkan pada peraturan dan prosedur standar yang dikembangkan dikantor pusat untuk koordinasi. (2) Saling ketergantungan berurutan, memerlukan satu kelompok sebelum kelompok lain menyelesaikan tugasnya. (3) saling ketergantungan timbal balik, yaitu memerlukan hasil dari tiap kelompok untuk dijadikan masukan bagi kelompok lain dalam organisasi.
Perbedaan tujuan dan prioritas, sebagai bagian dari unit organisasi yang lebih khusus mereka sering mengembangkan tujuan yang berlainan. Perbedaan tujuan konflik bisa terjadi ketika kelompok-kelompok berinteraksi.
Faktor birokrasi. Perbedaan status, biasanya beberapa standar perbedaan status,
dibandingkan standar yang mutlak ditemukan di dalam organisasi. Hasilnya beberapa hierarki status. Konflik mengenai status relatif kelompok yang berbeda adalah umum dan memengaruhi persepsi. Misalnya, konflik status sering dihasilkan oleh pola kerja, dimana kelompok memulai pekerjaan dan dimana kelompok bereaksi.
Sumber daya yang terbatas, bila suumber daya harus dibagikan, ketergantungan bersama meningkat. Kelompok-kelompok berupaya untuk mengurangi tekanan pada dirinya dengan memperoleh pengandialian atas pasokan sumber yang kritis, jadi mengurangi ketidak pastian dalam memperoleh pasokan ini dan perlu adanya usaha dari kelompok untuk meningkatkan sumber daya. Yang sering terjadi pada situasi dengan sumber daya yang terbatas adalah persaingan kalah-menang yang dapat menimbulkan konflik atau kelompok menolok untuk bekerjasama.
Tahap II, Perceived Conflict (konflik yang dipersepsikan), pada tahap ini
salah satu pihak memandang pihak lain sebagai penghambat atau
mengacam pencapaian tujuannya.
Tahap III, Felt Conflict (konflik yang dirasakan), pada tahap ini konflik
tidak sekedar dipandang ada, akan tetapi benar-benar sudah dirasakan.
Tahap IV, Manifest Conflict (konflik yang dimanifestasikan), pada tahap
ini perilaku tertentu sebagai indikator konflik sudah mulai ditunjukan,
seperti adanya sabotase, agresi terbuka, konfrontasi, rendahnya
kinerja,dll.
Tahap V, Conflict Aftermath, jika konflik benar-benar diselesaikan maka
hal itu akan meningkatkan hubungan para anggota organisasi. Hanya jika
penyelesaian tidak tepat maka akan dapat menimbulkan konflik baru.
V. Mengatasi Konflik antar kelompok dengan cara
perundingan/negosiasi
Metode yang banyak dipakai tetapi sering tidak dikenal dalam mengatasi
konflik antar kelompok adalah proses perundingan. Jika dilakukan dengan efektif,
proses negosiasi dapat menyebabkan kelanjutan kerjasama untuk mencapai
tujuan bersama dan usaha kerjasama untuk mencapai nilai-nilai tidak terdapat
sebelumnya. Negosiasi adalah sebuah proses di mana dua pihak atau lebih
melakukakan pertukaran barang atau jasa untuk menyepakati nilai tukarnya.
Dalam negosiasi ada proses tawar-menawar yakni tawar-menawar distributive
dan tawar menawar integratif.
Distributive adalah negosiasi yang berusaha membagi sumber daya yang
jumlahnya tetap; situasi menang-kalah. Integratif adalah negosiasi yang
didasarkan pada asumsi bahwa ada satu penyelsaian atau lebih yang dapat
menciptakan solusi menang-kalah atau saling menguntungkan. Kasi contoh
dari kedua tawar-menawar ini: distributif dan integratif.
VI. Proses Negosiasi
Menurut Robbins proses negosiasi terdiri atas lima tahap, yaitu :
a. Persiapan dan perencanaan
Dalam bagian ini harus memprediksi alternatif terbaik untuk kesepakatan
negosiasi (BATNA). Alternatif inilah yang tebaik bagi sebuah kesepakatan
negosiasi; nilai terendah yang dapat diterima bagi seorang individu untuk
sebuah kesepakatan negosiasi.
b. Penentuan aturan dasar
Anda mulai menentukan aturan-aturan dan prosedur dasar dengan pihak
lain untuk negosiasi itu sendiri. Misalnya: siapa yang melakukan
perundingan, dimana perundingan berlangsung, persoalan yang akan
dinegosiasikan, dll.
c. Klarifikasi dan justifikasi
Inilah titik dimana anda perlu memberikan segala dokumentasi kepada
pihak lain, yang kiranya dapat membantu mendukung posisi anda.
d. Tawar-menawar dan penyelasaian
Hal ini dilakukan dalam rangka mencari suatu kesepakatan sehingga perlu
dibuat oleh kedua belah pihak.
e. Penutupan dan implementasi
Dalam hal ini kita mengformalkan kesepakatan yang telah dibuat serta
menyusun prosedur yang diperlukan untuk implementasi dan pengawasan
pelaksanaan.
Kalo perlu ks contoh.
VII. Isu-Isu dalam Negosiasi
Ada empat isu kontemporer dan negosiasi, yaitu :
1. Peran suara hati dan sifat kepribadian dalam negosiasi
Hasil penilaian terhadap hubungan kepribadian - negosiasi menunjukkan
bahwa memiliki keterkaitan. Contoh : para perunding yang menyenangkan
sering gagal total ketika harus mlakukan tawar-menawar distributive.
Selain dari itu ego yang besar juga dapat mempengaruhi negosiasi.
2. Perbedaan gender dalam negosiasi
Stereotip populer mengatakan bahwa kaum perempuan lebih koopratif
dan menyenangkan dalam negosiasi daripada kaum laki-laki.
3. Perbedaan kultur dalam negosiasi
Gaya organisasi beragam antar satu kultur dengan kultur lain. Misalnya:
orang Prancis menyukai konflik sehingga mereka butuh waktu lama untuk
negosiasi. Orang Cina suka mengulur-ulur perundingan. Orang Amerika
dikenal karena ketidaksabaran mereka.
4. Negosiasi pihak ketiga
Ada empat peran pokok pihak ketiga, yaitu:
a. Mediator : pihak ketiga yang bersikap netral yang mengfasilitasi
negosiasi solusi dengan menggunakan penalaran dan persuasi,
menyodorkan alternatif dan semacamnya.
b. Arbitrator : pihak ketiga yang memiliki wewenang untuk menentukan
kespakatan.
c. Konsiliator : pihak ketiga yang dipercaya untuk membangun relasi
komunikasi informal antara perunding dan lawannya.
d. Konsultan : pihak ketiga yang terlatih dan tidak berpihak yang brupaya
mengfasilitasi pemecahan masalah melalui komunikasi analisis dengan
dibantu oleh pengetahuan mereka mengenai manajemen konflik.
BAB 13
KEKUASAAN dan POLITIK
A. KEKUASAAN
I. Arti kekuasan
Kekuasaan adalah bagian yang mengisi jalinan kehidupan organisasi.
Manajer pada organisasi baik publik ataupun swasta memperoleh dan
menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan, dan banyak kasus untuk
memperkuat posisinya sendiri. Keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam
menggunakan dan bereaksi pada kekuasaan sangat ditentukan oleh
pengertiannya tentang kekuasaan, mengetahui bagaimana dan kapan
menggunakannya, dan dapat mengantisipasi kemungkinan akibat-akibatnya.
Meskipun dalam bidang perilaku organisasi, kekuasaan memiliki definisi yang
sangat beragam dari semua yang ada dan jarang mempunyai sebuah definisi
yang disepakati bersama. Chester Benard, mendefinisikan kekuasaan dalam
konteks “otoritas informal,” dan banyak sosiologi organisasi mendefinisikan
otoritas sebagai “legitimasi kekuasaan.” Untuk itu perbedaan antara konsep
perlu dijelaskan untuk memahami kekuasaan dengan baik.
Menurut Robbins kekuasaan mengacu pada kemampuan yang dimiliki A
untuk mempngaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan keinginan A.
Barangkali aspek terpenting dari kekuasaan adalah bahwa hal ini merupakan
fungsi ketergantungan. Semakin besar ketergantungan B pada A, semakin besar
pula kekuasaan A dalam hubungan tersebut. Sedangkan menurut Garreth
kekuasaan adalah legitimasi oleh hukum dan dasar budaya darimana organisasi
itu bersumber, hal itu adalah sumber kekuasaan dalam suatu organisasi.
II. Membandingkan antara kepemimpinan dan kekuasaan
Kekuasaan tidak mengsyaratkan kesesuaian tujuan, hanya
ketergantungan. Sebaliknya kepemimpinan mengsyaratkan keserasian
antara tujuan pemimpin dan mereka yang dipimpin. Kepemimpinan
berfokus pada pengaruh ke bawah kepada para pengikut, meminimalkan
pola-pola pengaruh ke samping dan ke atas sedangkan kekuasaan tidak
demikian. Kekuasaan cenderung mencakup bidang yang lebih luas dan
terfokus pada taktik-taktik untuk memperoleh kepatuhan dari anak buah.
III. Landasan kekuasaan
Kekuasaan berasal dari kelompok umum - formal dan pribadi – dan
selanjutnya memecahkan masing-masing menjadi beberapa kategori yang
lebih spesifik.
Kekuasaan formal didasarkan pada posisi seorang individu dalam sebuah
organisasi. Kekuasaan formal mencakup tiga hal, yaitu:
a. Kekuasaan koersif yakni kekuasaan yang bergantung pada rasa takut.
Kekuasaan ini diakibatkan karena rasa takut terhadap akibat-akibat
negatif yang mungkin terjadi jika ia tidak patuh.
b. Kekuasaan imbalan yakni kepatuhan yang dicapai berdasarkan
kemampuan memberikan imbalan yang dipandang bernilai oleh orang
lain.
c. Kekuasaan legitimasi. Sumber kekuasaan yang diidentifikasi oleh
Frence dan Reven, berakar dari nilai yang terinternalisasi dari orang
lain yang memberikan hak legitimasi kepada agen untuk
mempengaruhi mereka. Kekuasaan legitimasi hampir serupa dengan
otoritas dan berhubungan dekat dengan kekuasaan penghargaan dan
koersif karena orang dengan legitimasi juga berada dalam posisi
memberi penghargaan dan menghukum. Perbedaaannya, legitimasi
tidak tergantung dengan orang pada hubungan dengan orang lain,
tetapi lebih kepada posisi atau peran yang dimiliki seeseorang.
Kekuasaan legitimasi berasal dari tiga sumber utama. Pertama, nilai
budaya yang kuat dari masyaraakat, organisasi atau kelompok
menentukan apa itu legitimasi. Kedua, orang dapat memperoleh
legitimasi dari struktur sosial yang diterima. Ketiga, kekuasaan
legitimasi muncul dari tujuan sebagai agen, representatif, atau
kelompok yang berkuasa.
Selanjutnya John French dan Bertram Reven juga mendefinisikan dan
menganalisa jenis kekuasaan klasik, dan mnambahkan 3 jenis kekuasaan, yang
merupakan kekuasaan pribadi, yakni :
a. Kekuasaan penghargaan. Sumber kekusaan ini didasarkan pada
kemampuan orang untuk mengontrol sumber daya dan memberi
penghargaan pada orang lain. Dalam konteks organisasi, manajer
mempunyai penghargaan potensial, seperti keunikan haji, promosi dan
penghargaan yang tersedia untuk mereka. Dalam pembelajaran operant,
dalam hal ini bahwa manajer mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan
dorongan yang positif. Dalam konteks motivasi harapan, hal ini berarti
orang mempunyai kekuasaan untuk menyediakan valensi positif dan
orang lain menilai kemampuan tersebut.
b. Kekuasaan rujukan atau referen. Jenis kekuasaan ini berasal dari syarat
sebagian orang untuk dikenal agen yang memegang kekuasaan. Misalnya,
manajer dengan kekuasaan referen harus menarik (kharismatik).
c. Kekuasaan keahlian. Sumber kekuasaan keahlian didasarkan pada
seberapa orang mempunyai atribut pengetahuan dan keahlian untuk
memegang kekuasaan. Kekuasaan keahlian lebih tergantung pada hal ini
yaitu semua sumber kekuasaan tergantung pada persepsi individu.
IV. Hal-hal yang menyebabkan ketergantungan dalam kekuasaan
Ketergantungan akan meningkat bila sumber-sumber daya yang anda
kendalikan itu penting, langka dan tak tergantikan.
a. Nilai penting, jika tak seorangpun menginginkan yang anda miliki maka
ketergantungan pada anda tidak akan tercipta. Untuk itu hal-hal yang
anda kontrol haruslah hal-hal yang dianggap penting.
b. Kelangkaan; jika sesuatu itu berjumlah banyak kepemilikan atasnya
tidak akan meningkatkan derajat kekuasaan anda. Satu sumber daya
harus bisa dilihat sebagai sesuatu yang langka guna menciptakan
ketergantungan.
c. Keadaan yang tak tergantikan; semakin sedikit pengganti yang
tersedia bagi suatu sumber daya, semakin besar kekuasaan yang
diberikan oleh kontrol atas sumber daya tersebut.
Kasi contoh masing-masing hal-hal di atas
V. Pendekatan Kotigensi Pada kekuasaan
Seperti dalam area perilaku dan manajemen organisasi, muncul
pendekatan kontigensi pada kekuasaan. Misalnya, Pfreffren secara sederhana
menyatakan bahwa kekuasaan muncul dari tempat yang “tepat.” Dia
mendefinisikan tempat atau posisi yang tepat dalam organisasi di mana manajer
harus:
1. Mengontrol sumber daya seperti anggaran, fasilitias fisik, dan posisi yang
dapat digunakan untuk memperkuat hubungan dan dukungan.
2. Mengontrol akses informasi yang ekstensif – mengenai aktifitas organisasi,
preferensi atau penilaian pada orang lain, apa yang terjadi, dan mengenai
siapa yang melakukannya
3. Otoritas formal
Terdapat beberapa dukungan penelitian untuk observasi tersebut, dan
juga terdapat beberapa penemuan penelitian yang menghasilkan
kesimpulan kontigensi seperti berikut ini:
a. Semakin besar profesional dari anggota kelompok, semakin besar
kekuatan relatif yang dimiliki kekuasaan referen dalam
mempengaruhi anggota.
b. Semakin kecil usaha dan minat anggota berkedudukan tinggi untuk
mengaloksikan tugas, semakin mungkin anggota berkedudukan rendah
untuk memperoleh kekuasaan yang relevan dengan tugas ini.
VI. Taktik kekuasaan
Adalah cara individu untuk menerjemahkan landasan kekuasaan ke dalam
tindakan-tindakan tertentu. Ada sembilan taktik, yaitu sebagai berikut:
1. Legitimasi, mengandalkan posisi kewenangan seseorang atau
menekankan bahwa sebuah permintaan selaras dengan kebijakan atau
ketentuan organisasi.
2. Persuasi rasional, menyajikan argumen-argumen yang logis, dan
berbagai bukti faktual untuk memperlihatkan bahwa sebuah
permintaan itu masuk akal.
3. Seruan inspirasional, mengembangkan komitmen, emosional dengan
cara mneyerukan nilai-nilai, kebutuhan, harapan dan aspirasi sebuah
sasaran.
4. Konsultasi, meningkatkan motivasi dan dukungan dari pihak yang
menjadi sasaran dengan cara melibatkannya dalam memutuskan
bagaimana rencana atau perubahan akan dijalankan.
5. Tukar pendapat, memberikan imbalan kepada target atau sasaran
berupa uang atau penghargaan lain sebagai ganti karena mau menaati
suatu permintaan.
6. Seruan pribadi, meminta kepatuhan berdasarkan persahabatan atau
kesetiaan.
7. Mneyenangkan orang lain, menggunakan rayuan, pujian atau perilaku
bersahabat sebelum membuat permintaan.
8. Tekanan, menggunakan peringatan, tuntutan tegas dan ancaman.
9. Koalisi, meminta bantuan orang lain untuk membujuk sasaran atau
menggunakan dukungan orang lain sebagai alasan agar sisa saran
setuju.
Koalisi merupakan suatu klompok informal yang diikat oleh satu isu
perjuangan yang sama.
VII. Perspektif Politik Kekuasaan dalam Organisasi
Pencetus teori organisasi klasik menggambarkan organisasi sebagai
struktur rasional yang otoritasnya diikuti oleh rantai perintah dimana manajer
melegitimasi kekuasaan. Beberapa area yang relevan – pada tingkat tertentu –
apakah sebuah organisasi lebih politis daripada rasional. Area-area tesebut
adalah:
1. Sumber daya. Ada hubungan langsung antara muatan politik, dan
sebebrapa kritis dan seberapa langka sumber daya. Politik juga akan
berkembang bila ada infus dari sumber daya baru yang “tidak diklaim.”
2. Keputusan. Keputusan yang ambigu, keputusan yang tanpa persetujuan,
dan keputusan strategis jangka panjang yang tidak jelas menimbulkan
keputusan politik, bukannya keputusan rutin.
3. Tujuan. Bila semakin ambigu dan kompleks, tujuan akan semakin bersifat
politis.
4. Teknologi dan lingkungan eksternal. Pada umumnya, bila teknologi
internal organisasi semakin kompleks, politik semakin meningkat.
5. Perubahan. Reorganisasi atau perkembangan organisasi (OD) yang
terencana bahkan perubahan yang tidak terencana membawa kekuatan
eksternal yang akan mendukung manuver politik.
Sudah diimplikasikan sebelumnya bahwa beberapa organisasi dan
beberapa sub unit di dalamnya akan lebih politis. Sebagian besar organisasi
pada masa kini memenuhi persyaratan untuk menjadi organisasi dengan tingkat
politik yang tinggi, yakni dengan mereka yang memimiliki sumber daya yang
terbatas; terjadi peningkatan teknologi yang kompleks, dan mengalami
perubahan drastis. Situasi semacam ini membuat organisasi menjadi semakin
politis, dan permainan kekuasaan semakin meningkat.
B. POLITIK
I. Definisi Politik
Perilaku politik didefinisikan sebagai aktifitas yang dianggap sebagai bagian
dari peran formal seseorang di dalam organisasi tetapi yang mempengaruhi
atau berusaha mempengaruhi, distribusi keuntungan dan kerugian dalam
organisasi. Hal ini merupakan upaya untuk mempengaruhi tujuan, kriteria
atau prses-proses yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
Politik adalah sebuah kenyataan hidup dalam organisasi. Perilaku politik
yang sah dalam organisasi adalah politik dalam keseharian yang normal,
sedangkan perilaku politik yang menyempang dari aturan main yang
ditentukan merupakan perilaku politik yang tidak sah.
II. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku politik
a. Faktor individu
Para peneliti mengidentifikasi sifat-sifat kepribadian tertentu,
kebutuhan dan beberapa faktor lain yang dapat dikaitkan
dengan perilaku politik seseorang.
b. Faktor organisasi
Kegiatan politik kiranya lebih merupakan fungsi karakteristik
organisasi ketimbang fungsi variabel perbedaan individu.
Kasi contohnya
Tabel hal 152 Robbins
III. Tanggapan terhadap politik dalam organisasi
Dalam pembahasan sebelumnya pada bab ini mengenai faftor-faktor yang
berkontribusi pada perilaku politik, kita melihat hasil-hasil yang
menguntungkan bagi mereka yang berhasil dalam perilaku politiknya.
Tetapi bagi sebagian besar orang – yang keterampilan berpolitiknya biasa-
biasa saja atau tidak mau bermain politik – hasilnya cenderung negatif.
Orang kadangkala memandang politik sebagai peluang sehingga ia
berperilaku defensif. Yakni prilaku reaktif dan protektif untuk
menghindari aksi, disalahkan atau prubahan. Tabel hal 157.
Selain itu dalam konteks politik kesan yang bagus mungkin bisa
mempengaruhi distribusi keuntungan untuk kepentingan mereka sendiri.
Proses yang digunakan para individu untuk mengendalikan kesan yang
dibentuk orang lain terhadap diri mereka disebut pengelolaan atau
manajemen kesan (impression management). Pengelolaan atau manajemen
kesan adalah proses yang dengannya individu-individu berupaya
mnegendalikan kesan yang dibentuk orang lain terhadap diri mereka.
IV. Taktik dalam bermain politik
Untuk mengerti komponen politik dalam kehidupan berorganisasi, kita harus
mencermati taktik dan strategi politik yang digunakan oleh tiap tiap individu
dan sub unit untuk meningkatkan peluang mereka memenangkan
permainan politik. Setiap individu dan sub unit dapat menggunakan
berbagai taktik politik untuk mendapatkan kekuatan dalam meraih tujuan
mereka.
1. Meningkatkan kemutlakan.
Seorang politisi menjalankan taktik agar individu atau sub unit dapat
meningkatkan kemutlakan untuk mengembangkan organisasi.
Kemutlakan dapat diraih dengan meningkatkan ketidaktergantikanan.
2. Meningkatkan ketidaktergantikanan.
Tingkah laku seorang manajer menentukan ketidaktergantikanan
mereka. Mereka perlu mengembangkan kemampuan berorganisasi,
seperti seseorang dengan kemampuan komputer yang dapat
menyelesaikan suatu persoalan manajer-manajer lainnya. Seorang
politikus perlu meningkatkan kemampuan khusus di bidangnya,
misalnya perdagangan internasional, pengendalian polusi, atau dalam
bidang kesehatan dan keselamatan.
3. Meningkatkan keterpusatan
Manajer menggunakan kemampuan lebih diri mereka sebagai pusat dari
organisasi. Mereka dapat dengan sengaja menerima tanggung jawab
yang membawa mereka dalam hubungan dengan beberapa fungsi atau
beberapa manajer lainnya untuk meningkatkan reputasi pribadi atau
fungsi mereka.
4. Bergabung dengan manajer yang kuat
Langkah lainnya untuk mendapatkan kekuasaan adalah menempatkan
diri dalam manajerial yang berkuasa untuk memuluskan jalan menuju
puncak.
5. Membangun dan mengatur koalisi
Membentuk suatu koalisi dengan perbedaan ketertarikan, stakeholder
individu-individu dan sub unit di sekitar isu utama merupakan taktik
politik yang dapat dipakai oleh seorang manajer untuk menyelsaikan
konflik sesuai dengan keinginannya.
6. Mempengaruhi pengambilan keputusan
Merupakan taktik politik yang paling penting untuk meningkatkan dan
menggunakan kekuasaan dalam mempengaruhi pengambilan
keputusan.
7. Mengendalikan agenda
Di sini manajer dan koalisi bekerja sama dalam pengontrolan komite
sehingga mereka dapat mengontrol agenda atau bisnis dari komite
tersebut.
8. Membawa ahli dari luar
Ketika terjadi masalah utama, seperti misalnya manajer puncak
merencanakan untuk melakukan perubahan atau restruktur organisasi,
semua manajer dan koalisi harus bekerja keras untuk mendapatkan
keuntungan dan keberlangsungan hidup politik mereka. Untuk itu
mereka harus belajar taktik politik dari pengalaman sendiri mereka (di
manapun pengalaman itu mereka ambil) sebagai bagian dari
kemampuan politik untuk bertahan dalam suatu organisasi.
Ada bermacam-macam strategi politik untuk mendapatkan kekuasaan
dalam organisasi. Tabel 1.5 memberikan catatan strategis yang representatif.
Riset juga dilakukan dalam taktik politik. Yulk dan Falbe menemukan taktik atau
pengaruh politik yang bisa ditemukan dalam organisasi masa kini. Taktik
tersebut dapat di lihat dalam tabel 1.6. Yulk dan rekan-rekan menemukan bahwa
konsultasi dan taktik persuasi rasional paling sering digunakan, dan menjadi
lebih efektif lagi seiring dengan kehadiran yang inspirasional. Beberapa pencetus
organisasi modern lebih mempercayai pendekatan analitis strategis dari pda
yang ada pada tabel 1.5 dan 1.6, dan mereka lebih tergantung kepada konsep
ketidakpastian dalam strategi politik kekusaan mereka.
Tabel. 1.5 Strategi Politik untuk Mendapatkan Kekuasaan dalam Organisasi
Menerima nasehat Mempertahankann kemampuan manuverMengembangkan keterbatasan komunikasiMenunjukan kepercayaan diriMengontrol akses terhadap informasi dan manusia Membuat aktivitas sentral yang tidak bisa
digantikan Membentuk hubungan sponsor-protegeMenstimulasi kompetisi antarkaryawan ambisiusMenetralkan pihak oposisi yang berpotensi Membuat strategi pemindahanMengubah yang tidak berkomitmen menjadi berkomitmenMembentuk koalisi yang menguntungkanMengembangkan keahlianMembentuk orng yang ahli dibidangnyaMengusahakan imbalan balik Riset data untuk mendukung cara pandang seseorang Melarang komuniksi dengan tujuan tidak baikMenghindari perselisihan yang tidak berguna
Tabel 1.6. Taktik Politik melalui Riset
Taktik KeteranganTaktik tekanan
Menggunakan tuntutan, ancaman, atau itimidasi untuk memastikan Anda tunduk pada permintaan atau mendukung proposal
Daya tarik tingkat atas
Mempengaruhi Anda dengan mengatakn bahwa proposal telah disetujui manajemen atas agar Anda dapat memenuhi tuntutan
Taktik pertukaran
Membuat janji implisit atau eskplisit yang menyatakan bahwa Anda akan menerima penghhargaan atau keuntuungan nyata jika anda mampu memenuhi tuntutan dan mendukung proposal, atau menginginkan Anda kepada perjanjin awal untuk saling memberi bantuan
Taktik koalisi Mencari bantuan orang lain untuk meyakinkan Anda agar Anda mau melakukannya, atau menggunakan pengaruh orang lain sebaggai argumen supaya Anda menyetujuinya
Persesai rasional
Memakai argumen logis dan bukti faktual untuk meyakinkan Anda bahwa proposal dan permintaan tersebut berjalan dengan baik dan berhasil mencapai tujuan tugas
Daya tarik inspirasional
Membuat permintaan yang emosional atau proposal yang menimbulkan antusiasme yang dapat menampilkan nilai-nilai dan idelaisme Anda, atau meningkatkan kepercayaan diri Anda bahwa Anda dapat melakukannya
Taktik konsultasi
Menggunakan partisipasi Anda dalam membuat suatu keputusan atau perencanaan bagaimana mengimplementasikan kebijaksanaan, strategi, atau perrubahan
Salah satu dari strategi komprehensif dan relevan bagi manajer moder,
dicetus oleh DuBrin. Pengamat pada strategi DuBrin dan strategi lainnya
memberi padangan penting terhadap kekuasaan dan politik modern.
1. Mempertahankan aliansi dengan orang-orang berkuasa, seperti yang
ditekankan sebelumnya, formasi koalisi (aliansi) penting bagi akuisi
kekuasaan dalam organisasi.
2. Kawan atau lawan
3. Memisahkan dan memerintah, strategi politik dan militer yang sudah
sangt dikenal ini juga dapat diaplikasikan dalam akuisisi kekuasaan
organisasi modern. Contoh; seorang kepala keaungan berusaha bisa
memicu konflik antara bagian penjualan dan produksi dengan harapan
agar mendapat anggaran yang lebih dari anggaran terbatas presiden
perusahaan tersebut.
4. Manipulasi informasi yang dikelompokan, pentingnya mendapatkan dan
menyebarkan informasi. Anggota organisasi, dengan taktik politik yang
tajam dn cermat, mengtrol informasi demi mendapatkan kekuasaan.
5. Melakukan pertunjukan kilat, strategi ini berurusan dengan memberikan
penampilan terbaik dalam proeyek atau tugas pekerjaan secepat mungkin
agar mendapat perhatian.
6. Mengumpulkan dan menggunakan IOU, orang yang mencari kekuasaan
akan memberi banyak bantuan kepeda orang lain dengan harapan orang
tersebut akan behutang budi kepadanya dan akan membalas ketiak
diminta.
7. Menghindari keterlibatan dengan tegas (Fabianisme), Strategi ini lambat
dan mudah-lebih mendekati pendekatan evolusioner daripada
revolusioner, misalnya si pencari kekuasaan dengan berlahan tapi pasti
menyusup dan memperoleh kepercayaan dan kerjasama dengan orang
lain.
8. Menyerang dan menyalahkan orang lain, taktik politis ini membuat orang
lain “terlihat buruk” agar si pencari kekuasaan “terlihat lebih baik.”
Menyerang dan manyalahakan orang lain adalah upaya untuk
menghindari tanggung jawab.
9. Maju satu langkah dalam satu waktu, Strategi ini mengambil langkah
dalam satu waktu, bukan memasakan diri mengerjakan seluruh proyek
besar atau upaya reorganisasi.
10.Menunggu saat terjadinya krisis, Strategi ini merupakan kebalikan dari
“tidak ada kabar baik” sehingga kabar buruk mendapat perhatian.
11.Menerima nasehat dengan hati-hati, Strategi politis ini lebih
menitikberatkan pada mempertahakan kekuasaan daripada
memperolehnya.
12.Waspada terhadap ketergantungan sumber daya alam, Subunit dan
individu yang paling berkuasa adalah mereka yang berkontribusi dengan
sumber daya yang bernilai. Mengontrol sumber daya depertemen atau
orang lain membutuhkan bergaining power. Semua taktik politis ini adalah
bagian dari suatu permainan dan pertempuran dalam organisasi.
Daftar Pustaka
Donnelly, Ivancevich, Gibson, 1996. Organisasi, Edisi kedelapan jildi 1, Jakarta:
Banarupa Aksara
Jones R, Garet, 2007. Organizasional Theory: Tex and Cases, Firth Edition.,
Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.
Luthan F. Organizasional Behavior, Eight Edition,.New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.
Sophiah, 2008. Perilaku Organisasi, Jakarta: Yayasan Andi