Manajemen Kasus (Repaired)

35
MANAJEMEN KASUS KEJANG DEMAM KOMPLEKS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Di RSUD Kabupaten Sragen oleh : Nurul Huda 07711086 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSUD SRAGEN FAKULTAS KEDOKTERAN

description

mankas

Transcript of Manajemen Kasus (Repaired)

Page 1: Manajemen Kasus (Repaired)

MANAJEMEN KASUS

KEJANG DEMAM KOMPLEKS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti

Program Pendidikan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Di RSUD Kabupaten Sragen

oleh :

Nurul Huda

07711086

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD SRAGEN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2012

Page 2: Manajemen Kasus (Repaired)

BAB I STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien

Nama : An. J

Usia : 10 Bulan

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Widodaren RT 05/02,

Ngawi

Agama : Islam

Nama Ibu : Ny. P

Usia : 27 Tahun

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Widodaren RT 05/02,

Ngawi

Nama Ayah : Tn. A (Alm)

1.2. Anamnesis

Dilakukan alloanamnesis pada ibu pasien.

1.2.1. Keluhan Utama : demam, kejang

1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dari IGD pada pukul 04.30 dengan keluhan demam sejak 2

HSMRS. Orang tua pasien mengeluhkan anak kembung sejak 1 HSMRS.

Keluhan batuk, pilek, dan BAB cair disangkal. BAK normal dan nafsu makan

baik. Pada pukul 03.00 pasien kejang, tangan kanan mengepal dan mulut perot

selama 5 menit. Pada pukul 06.00 pasien kejang pada tangan dan mulut. Anak

memiliki riwayat kejang demam sejak usia 4 bulan.

1.2.3. Riwayat Kelahiran

Ibu P1A0, usia saat hamil 26 tahun dengan usia kehamilan 42 minggu.

Melahirkan dengan tindakan SC atas indikasi post term, pacuan gagal dan ibu

tidak adekuat mengejan. Berat bayi lahir 3450 gram.

Page 3: Manajemen Kasus (Repaired)

1.2.4. Riwayat perkembangan

Dengan menggunakan denver II development test perkembangan personal

social, adaptif-motorik halus, bahasa dan motorik kasar An. J sesuai dengan

usianya.

1.2.5. Riwayat pemberian makan

Sejak lahir anak diberikan susu formula karena ibu tidak bisa menyusui post

operasi. Sejak usia 4 bulan anak sudah mendapat makanan pendamping ASI.

1.2.6. Riwayat imunisasi

Dari ibu pasien didapatkan keterangan bahwa anak mendapatkan imunisasi

lengkap dan sesuai jadwal.

1.2.7. Riwayat penyakit dahulu

Pasien memiliki riwayat rawat inap di RS Ngawi pada usia 4 bulan karena

kejang demam, demam muncul setelah imunisasi. Pada usia 7 bulan pasien

menjalani rawat inap di RS Sarila karena kejang demam dan batuk pilek.

1.2.8. Riwayat keluarga

Ibu pasien memiliki riwayat kejang demam saat berusia 2 tahun.

1.2.9. Silsilah keturunan

I

II

IIIAn.J

Page 4: Manajemen Kasus (Repaired)

1.3. Pemeriksaan Fisik

1.3.1. Keadaan Umum: lemah

1.3.2. Kesadaran : kompos mentis

1.3.3. Status Gizi

Keterangan : Berat badan : 9,5 kg

Panjang badan : 70 cm

Berat Badan menurut Umur = 9,5−9,5

10,6−9,5=0 → Gizi Baik

Panjang Badan menurut Umur = 70−73,673,6−71

=−1,384 → Normal

Berat badan menurut Panjang Badan = 9,5−8,8

10,1−8,8 ,=1,3 → Normal

1.3.4. Tanda vital

Nadi : 96 kali/menit

Nafas : 44 kali/menit

Suhu : 38,3 C/̊ aksila

1.3.5. Kepala dan Leher

Lingkar kepala: 47,5 cm, mata cowong(-), konjungtiva anemis(-), sclera ikterik(-),

nafas cuping hidung(-), bibir sianosis(-), pembesaran limfonodi leher(-).

1.3.6. Toraks

Inspeksi : dinding dada simetris, gerakan nafas simetris, retraksi dinding dada

(-), iktus kordis terlihat kuat angkat

Palpasi : ketinggalan gerak (-)

Perkusi : sonor pada lapang paru

Auskultasi : BJ I dan II regular, bising jantung (-), vesikuler +/+, ronki (-)

Page 5: Manajemen Kasus (Repaired)

1.3.7. Abdomen

Inspeksi : simetris, abdomen lebih tinggi dari toraks, distensi (+)

Auskultasi : peristaltic (+) 8 kali/menit

Palpasi : supel

Perkusi : timpani di empat kuadran abdomen

1.3.8. Ekstremitas : dbn

1.3.9. Meningeal Sign

Kaku kuduk (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-), perasat kernig (-)

1.4. Pemeriksaan Darah Rutin

Table 1. Hasil pemeriksaan darahCBC HASIL LIMIT KETERANGAN

WBC (uL) 15.100 4.500 – 14.500 ↑

Neutrofil (uL) 9.380 1.500 – 7.000 ↓

Limfosit (uL) 4.150 1.000 – 3.700 ↑

Monosit (uL) 1.200 0 ↑

Eosinofil (uL) 167 0 ↑

Basofil (uL) 167 0 ↑

RBC (uL) 4.770.000 4.000.000 – 4.200.000 ↑

Hemoglobin (g/dL) 12,4 11,5 – 15,5 Normal

Hematokrit (%) 35,8 35 – 45 Normal

MCV (fL) 75,2 80 - 99 ↓

MCH (pg) 26,1 27 – 31 ↓

MCHC g/dL 34,7 33 – 37 Normal

RDW (%) 11,9 9 – 13 Normal

PLT (uL) 253.000 150.000 – 450.000 Normal

MPV (fL) 5,03 7,2 – 11,1 ↓

Page 6: Manajemen Kasus (Repaired)

DIFFERENTIAL

Neutrofil (%N) 62,2 40 – 70 Normal

Limfosit (%L) 27,6 19 – 48 Normal

Monosit (%M) 7,96 1 – 6 ↑

Eosinofil (%E) 1,11 0 – 5 Normal

Basofil (%B) 1,11 0 – 1 Normal

1.5. Diagnosis

Kejang Demam Kompleks

1.6. Terapi

Infus KAEN 1B 10 tpm makro

Inj amoxan 500 mg/12 jam

Inj piracetam 250mg/8 jam

Inj ikapen 40mg/12 jam

Inj norages 200mg/8 jam

Page 7: Manajemen Kasus (Repaired)

1.7. Perjalanan Penyakit

Tanggal Perjalanan penyakit Terapi

DPH I

S :demam (+), kejang (+), mual muntah (-), kembung (+), BAB & BAK normal, batuk pilek (-), makan & minum baik

O :KU = lemahKesadaran = compos mentisSuhu = 38,3 ICNadi = 120 kali/menitNafas = 60 kali/menitAbdomen : distensi(+), peristaltic 8

kali/menitA:KDK

-inf KA EN 1B 10 tpm makro-inj amoxan 200mg/12jam-inj ikapen 40 mg/12jam-inj norages 200mg/8jam

DPH II

S:demam (+), kejang (-), kembung (-), mual muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB & BAK normal

O:KU = baikKesadaran = compos mentisSuhu = 39,6 ̊ CNadi = 84 kali/menitNafas = 32 kali/menit

A: KDK

-inf KA EN 1B 10 tpm makro-inj amoxan 200mg/12jam-inj ikapen 40 mg/12jam-inj norages 200mg/8jam

DPH III

S:demam (-), kejang (-), kembung (-), mual muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB & BAK normal

O:KU = baikKesadaran = compos mentisSuhu = 37,2 ̊ CNadi = 84 kali/menitNafas = 30 kali/menit

A: KDK

-inf KA EN 1B 10 tpm makro-inj amoxan 200mg/12jam-inj ikapen 40 mg/12jam-inj norages 200mg/8jam

DPH IV

S:demam (-), kejang (-), kembung (-), mual muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB & BAK normal

O:KU = baikKesadaran = compos mentisSuhu = 36,8 ̊ CNadi = 78 kali/menitNafas = 34 kali/menit

A: KDK

-inf KA EN 1B 10 tpm makro-inj amoxan 200mg/12jam-inj ikapen 40 mg/12jam-inj norages 200mg/8jam

Page 8: Manajemen Kasus (Repaired)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.8. Definisi

Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai

mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik

serebral yang berlebihan.(Betz & Sowden, 2002)

Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang

suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memory yang bersifat sementara

(Hudak & Gallo, 1996)

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai

dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya

infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di intracranial (Seki & Hara, 1993)

Jadi dapat disimpulkan kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang

menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral

yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.

1.9. Faktor resiko

Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah

demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari

mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,

perubahan keseimbangan caira dan elektrolit (Dewanto et al, 2009) .

Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu:

demam, usia, dan riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat

pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), factor

perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir)

dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).

Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang demam

dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat kejang.

Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4) lamanya

Page 9: Manajemen Kasus (Repaired)

demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (1)

adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3)

riwayat epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam (IDAI,2009)

1.10. Etiologi

Menurut Sequeira (2010) kejang demam lebih sering disebabkan karena

infeksi virus daripada bakteri, selain itu kejang demam juga dapat disebabkan oleh

demam setelah imunisasi, khususnya dengan vaksin DTP (karena komponen

pertusis) dan vaksin MMR (karena komponen campak). Hal ini lebih lazim terjadi

pada mereka dengan riwayat pribadi atau keluarga konvulsi (Behrman et al,

1999).

Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang

menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling

sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis

media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih

(Soetomenggolo,2000).

1.11. Klasifikasi

Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana

(KDS) dan kejang demam komplek (KDK). Perbedaan kejang demam sederhana

dan komplek dapat dilihat pada berikut:

Table 2. table perbedaan KDS dan KDK

No Klinis KDS KDK

1 Durasi < 15 menit > 15 menit

2 Tipe kejang Umum Umum/fokal

3 Berulang dalam 1 episode 1 kali > 1 kali

4 Deficit neurologis - -/+

1.12.

Page 10: Manajemen Kasus (Repaired)

1.13. Patofisiologi

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi

pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari

membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium

maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas

muatan listrik.

Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan

listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron

tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.

Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.

Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial

intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat

potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membrane ini

akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane

ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+ dan Ca+

+. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan

mengakibatkan menurunnya potensial membrane. Penurunan potensial membran

ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat,

sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah,

perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion

Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.

Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon

lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang

tetap (firing level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat

secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi.

Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan

perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah

selesai, maka permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara

Page 11: Manajemen Kasus (Repaired)

Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme

pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen (Behrman

et al, 2000).

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori (Gradnner, 1995 & Behrman,

2000):

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,

misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada

kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan

hipomagnesemia.

c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan

neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.

Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan

kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, dimperkirakan

bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan

demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan

lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan

ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan

menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf

meningkat (Gradnner, 1995 & Budiarto, 1998).

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,

jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan

menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah.

Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,

hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini

akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak

(Budiarto, 1998)

Page 12: Manajemen Kasus (Repaired)

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut (Berg,

1993):

a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum

matang/immatur.

b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan

gangguan permiabilitas membran sel.

c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2

yang akan merusak neuron.

d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan

kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran

ion-ion keluar masuk sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umunya tidak akan

meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)

biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya

kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat

(disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan

selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di

atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia

dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron (Gradnner, 1995 &

Budiarto, 1998).

Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh

sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut

neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang

yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak

menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang

yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak dengan

ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari

kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih

sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam

penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.

Page 13: Manajemen Kasus (Repaired)

Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam

lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam

penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan

tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama ( lebih

dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan

oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,

hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerob, hipotensi

arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin

meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan

metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab

hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan

hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang

mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus

temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat

menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang

spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan

anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (IKA FK UI, 2002).

1.14. Manifestasi klinis

Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik

atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang

berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa

detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.

Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang

berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti

oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih

sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24 jam

ditemukan pada 16% paisen (Soetomenggolo, 2000).

Page 14: Manajemen Kasus (Repaired)

Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya

berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang

menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode

mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15

menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang

memerlukan pengamatan menyeluruh (Behrman, 2000).

1.15. Diagnosis

Criteria diagnosis KDS menurut AAP (2008) adalah sebagai berikut: (1) usia

6 bulan sampai 5 tahun; (2) kejang berlangsung kurang dari 15 menit; (3) non-

fokal, kejang umum, melibatkan seluruh anggota badan; (4) tidak ada gangguan

metabolik berat; (5) kejang tunggal dalalm 24 jam; (6) tidak ada bukti infeksi

intrakranial; (7) riwayat kejang tanpa demam atau diagnosis neurologis lainnya;

(8) demam (≥ 38 ̊C) sebelum kejang.

Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang

demam antara lain:

1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis

ke arah kejang demam, seperti (Dewanto et al, 2009):

a. Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu

sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab

demam diluar susunan saraf pusat.

b. Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti

genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan

kejang pertama disertai suhu dibawah 39° C.

c. Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang

adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam

dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif

normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa

kejang demam komlpeks.

Page 15: Manajemen Kasus (Repaired)

2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah

(Dewanto et al, 2009):

a. Suhu tubuh mencapai 39°C.

b. Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.

c. Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan

mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang

tergantung pada jenis kejang.

d. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.

e. Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.

3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi

maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik

neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang

abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi,

kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan

aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang

demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG

juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi

di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).

1.1. Penatalaksanaan

1.1.1. Pengobatan fase akut

Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua

pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila muntah

untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin.

Pengisapan lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksiegen, kalau perlu

dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan darah,

pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan

kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama

dengan pemberian secara intravena atau intrarektal (Soetomenggolo, 2000).

Page 16: Manajemen Kasus (Repaired)

Penilaian klinis lengkap tentang jenis kejang, penyebab, faktor yang

mempercepat dan penyakit secara bersamaan harus dilakukan dan direncanankan

manajemen yang sesuai. Tujuan pengobatan adalah mengendalikan kejang untuk

meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi

a. Manajemen saat anak demam

Lepaskan pakaian.

Tubuh anak diposisikan miring atau kepala menghadap ke salah satu sisi

karena saat muntah dapat terjadi aspirasi.

Diazepam rektal adalah obat pilihan, menghasilkan konsentrasi efektif

antikonvulsan dalam darah dalam waktu sepuluh menit. Dosis: 0,5 mg/kg

BB.

Page 17: Manajemen Kasus (Repaired)

Ulangi dosis yang sama jika kejang tidak terkontrol dalam 30 menit

Hal ini dapat diulang setelah 30 menit jika kejang tidak terkontrol.

Parasetamol 12-15 mg/kgBB/dosis 4-6 jam.

b. Pencegahan kejang demam

Mengobati demam dengan antipiretik tidak mencegah kejang demam

diazepam oral direkomendasikan sebagai metode yang efektif dan aman

mengurangi risiko kambuhnya kejang demam. Pada awal demam,

diazepam 0,3 mg/kg/8 jam diberikan 2-3 hari.

Berikut ini table dosis diazepam yang di berikan :

UsiaDosis IV (infuse)

(0,2 mg/kg)

Dosis per rectal

( 0.5 mg/kg )

< 1 tahun 1-2 mg 2.5 – 5 mg

1 – 5 tahun 3 mg 7.5 mg

5-10 tahun 5 mg 10 mg

>10 tahun 5-10 mg 10 – 15 mg

Fenitoin merupakan obat antikonvulsan non-sedatif. Fenitoin mempengaruhi

beberapa efek fisiologis. Obat ini mengubah konduktan Na+, K+, dan Ca++,

potensial membrane, dan konsentrasi asam amino dan neurotransmitter

norepinefrin, asetilkolin, dan asam γ-aminobutirat [GABA] (Katzung, 1997).

Benzodiazepine merupakan hipnotik-sedatif yang terikat pada saluran molekul

klorida yang fungsinya sebagai GABAA tetapi bukan pada tempat pengikatan

GABAA sendiri. Kebanyakan hipnotik-sedatif sanggup menghambat

perkembangan dan penyebaran aktivitas epileptiformis dalam susunan saraf pusat

(Katzung, 1997).

1.1.2. Mencari dan Mengobati Penyebab

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.

Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada

Page 18: Manajemen Kasus (Repaired)

kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama.

Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal

harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada

pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu

dilakukan utuk mencari penyebab (Soetomenggolo, 2000).

1.1.3. Pengobatan Profilaksis

Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan

pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang

demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang menetap

(cacat).

1.2. Komplikasi

Komplikasi yang paling umum dari kejang demam, adalah adanya kejang

demam berulang. Sekitar 33% anak akan mengalami kejang berulang jika mereka

demam kembali. Resiko terulangnya kejang demam akan lebih tinggi jika:

1. Pada kejang yang pertama, anak hanya mengalami demam yang tidak terlalu

tinggi.

2. Jarak waktu antara mulainya demam dengan kejang yang sempit.

3. Ada faktor turunan dari ayah-ibunya.

Namun begitu, faktor terbesar adanya kejang demam berulang ini adalah usia.

Semakin muda usia anak saat mengalami kejang demam, akan semakin besar

kemungkinan mengalami kejang berulang.

1.3. Prognosis

Menurut Short et al (2002) terdapat kemungkinan berulangnya kejang apabila

terjadi demam lagi. Resikonya secara keseluruhan kira-kira 40-50%. Angka

kejadian berulangnya kejang meningkat apabila mula timbulnya kurang dari usia

19 bulan, riwayat kejang dalam keluarga positif, terdapat kelainan neurologis

Page 19: Manajemen Kasus (Repaired)

(meskipun minimal), kejang awal gambarannya unilateral, kejang berhenti lebih

dari 30 menit atau berulang karena penyakit yang sama.

Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka

kematian hanya 0,64 % - 0,75 %.21 Sebagian besar penderita kejang demam

sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7% 9

Empat persen penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan

tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi (Verity et al, 1998)

Page 20: Manajemen Kasus (Repaired)

BAB III PEMBAHASAN

An.J, usia 10 bulan dengan keluhan demam dan kejang sebanyak dua kali,

tangan mengepal dan mulut perot. Anak memiliki riwayat kejang demam sejak

usia 4 bulan. Ibu riwayat kejang demam.

Dari pemeriksaann fisik didapatkan keadaan umum lemah, compos mentis,

dan hipertermi. Pemeriksaan meningeal sign negative. Pada pemeriksaan darah

didapatkan Angka Leukosit (AL) meningkat, yang menunjukkan adanya infeksi

sedangkan pemeriksaan EEG dan pungsi lumbal tidak dilakukan. Dari data di

atas, diagnosis kejang demam kompleks dapat ditegakkan.

Pada pasien ini diberikan terapi Ikaphen (Fenitoin Natrium) yang merupakan

obat antikonvulsan non-sedatif. Fenitoin merupakan obat yang paling efektif

untuk kejang parsial dan tonik-klonik umum(Katzung, 1999).

Kerja utama dari fenitoin adalah pada cortex motorik dimana penyebaran dari

akivitas serangan dihambat.Mungkin dengan meningkatkan aliran natrium keluar

dari saraf, fenitoin cenderung untuk menstabilkan ambang terhadap

hipereksitabilitas yang disebabkan oleh rangsang yangberlebihan atau perubahan

lingkungan yang dapat mengurangi gradien natrium membran.

Piracetam adalah obat nootropic. Zat aktif piracetam adalah 2-okso-1-pirolidin

asetamida. Piracetam bekerja pada dua level, yaitu neural dan vascular. Piracetam

pada lever neural berkaitan dengan polar phospholipid membrane, memperbaiki

fluiditas membran sel, memperbaiki neurotransmisi, menstimulasi adenylate

kinase yang mengkatalisa konversi ADP menjadi ATP, sedangkan pada level

vascular piracetam meningkatkan deformabilitas eritrosit, maka aliran darah otak

meningkat, mengurangi hiper-agregasi platelet, memperbaiki mikrosirkulasi.