Manajemen Alergi Susu Sapi

24
MANAJEMEN ALERGI SUSU SAPI Definisi Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantai oleh IgE, walaupun demikian ASS dapat diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan antara keduanya. 1 Angka Kejadian Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1.5%, sedangkan sisanya adalah tipe non IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalag gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0,1-1%) yang bermanifestasi klinis berat. 2 Klasifikasi Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi: a. IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala klinis timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam) setelah mengonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis: urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare,

Transcript of Manajemen Alergi Susu Sapi

Page 1: Manajemen Alergi Susu Sapi

MANAJEMEN ALERGI SUSU SAPI

Definisi

Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai

secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi biasanya dikaitkan dengan

reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantai oleh IgE, walaupun demikian ASS dapat

diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan

antara keduanya.1

Angka Kejadian

Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih

mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian besar reaksi

alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1.5%, sedangkan sisanya adalah tipe

non IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalag gejala klinis yang ringan sampai sedang,

hanya sedikit (0,1-1%) yang bermanifestasi klinis berat.2

Klasifikasi

Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi:

a. IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala klinis

timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam) setelah mengonsumsi

protein susu sapi. Manifestasi klinis: urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis atopik,

muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan anafilaksis. Dapat

dibuktikan dengan kadar IgE susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau uji RAST).3

b. Non-IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE, tetapi

diperantarai oleh IgG dan IgM. Gejala klinis timbul lebih lambat (1-3 jam) setelah

mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis: allergic eosinophilic gastroenteropathy,

kolik, enterokolitis, proktokolitis, anemia, dan gagal tumbuh.4

Page 2: Manajemen Alergi Susu Sapi

Patofisiologi

ALERGI SUSU MEDIASI IgE

Alergi susu mediasi IgE terjadi ketika organisme gagal untuk mendapatkan daya

tahan (toleransi) terhadap alergen makanan. Alergen makanan utama pada anak-anak ialah

panas, asam, dan protease yang stabil, glikoprotein yang water soluble dengan ukuran 10-70

kd. Contohnya yaitu protein dalam susu (kasein), kacang (vicilin), dan telur (ovumucoid) dan

protein transfer lemak yang tidak spesifik yang ditemukan pada buah apel (Mald 3).5,6

Ketika antigen makanan dicerna, makanan diproses dalam usus dimana terdapat

banyak mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam, sel epitel dan asam) dan proteksi

imunologis. Hilangnya pelindung seperti keadaan netralisasi pH lambung dapat membuat

alergi. Serupa seperti pada bayi dimana pelindung-pelindung usus (aktivitas enzim dan

produksi IgA) masih belum matang sehingga meningkatkan prevalensi alergi makanan pada

masa bayi.3

Antigen presenting cells (APC), khususnya sel epitel usus dan sel dendritik, dan sel T

memiliki peran utama pada daya tahan oral melalui ekspresi IL-10 dan IL-4. Bakteri

komensal usus juga mempengaruhi respon imun mukosa. Daya tahan dibentuk dalam 24 jam

pertama setelah lahir dan memproduksi molekul imunomudulator yang memiliki efek

bermanfaat dalam pembentukan imun respon. Studi saat ini telah menunjukan bahwa

ketidakseimbangan komposisi dari bakteri mikrobiota menjadi faktor utama terjadinya alergi,

asma atau inflammatory bowel disease.5

Alergi yang dimediasi IgE dimulai dari sensitisasi. Alergen dicerna, diinternalisasi

dan diekspresikan pada permukaan APC. APC berinteraksi dengan limfosit T dan

menghasilkan transformasi dari limfosit B menjadi sel sekretori antibodi. Setelah dibentuk

dan dilepaskan ke sirkulasi, IgE mengikat, melalui bagian Fc, ke reseptor sel mast yang

memiliki afinitas yang tinggi, meninggalkan reseptor spesifik alergen mereka yang ada untuk

berinteraksi dengan alergen di masa depan suatu saat nanti.6

Page 3: Manajemen Alergi Susu Sapi

ALERGI TANPA MEDIASI IgE

Reaksi yang diperantarai oleh non-IgE dapat disebabkan oleh banyak faktor, yang

melibatkan kompleks imun antibodi IgA atau IgG, atau yang dikenal dengan hipersensitivitas

tipe III, dan stimulasi langsung sel T oleh antigen protein susu, atau yang dikenal dengan

hipersensitivitas tipe IV. Interaksi ini lalu menyebabkan pelepasan sitokin dan produksi

antibodi meningkat, sehingga terjadi rantai reaksi inflamasi.6

Proses alergi yang dibentuk tanpa dimediasi oleh IgE kurang begitu dimengerti

namun fase pengenalan antigen awal kemungkinan adalah sama, dan merangsang reaksi

inflamasi utama melalui mediasi sel T dan eosinofil, meliputi aktivasi sitokin-sitokin yang

berbeda seperti IL-5.6

Hubungan yang terbentuk dari sejumlah sel mast/antibodi IgE yang berikatan dengan

basophil yang cukup oleh alergen merangsang proses intra-seluler, hal ini menyebabkan

degranulasi sel, dengan pelepasan histamin dan mediator peradangan lainnya.5,6

Reaksi hipersensitivitas tipe III

Antibodi (IgG atau IgM) bereaksi dengan antigen yang berlebih, diikuti perlekatan

komplemen, dengan akibat respon keradangan lokal. Reaksi berlangsung dalam beberapa jam

sesudah pemaparan antigen. Dikemukakan reseptor Fc untuk imunoglobulin dan bukannya

komplemen yang penting dalam kerusakan jaringan. Reaksi gastrointestinal dapat terjadi 6

jam setelah pemaparan berupa muntah, diare dan kolik, serta peningkatan lokal dari IgM dan

sel plasma IgA. Dalam jangka 24 jam berikutnya akan terlihat sembab lokal, reaksi endotel,

penebalan membran dasar, penimbunan serat kolagen dan infiltrasi lekosit polimorf. Terjadi

pula peningkatan lokal IgG dan C3 di dalam jaringan ikat subepitelial yang menunjukkan

adanya reaksi kompleks imun. Pada tahap ini mulai terlihat kerusakan enterosit yaitu

mikrovili yang menjadi tidak teratur, peningkatan lisosom dan pembengkakan mitokondrial.

Selain penimbunan lokal, kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan

imunoglobulin (IgG dan IgE) terlihat pula dalam serum penderita alergi makanan (Mac

Donald dalam Pitono, 2003)3

Page 4: Manajemen Alergi Susu Sapi

Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Delayed type hypersensitivity reaction=DTH)

DTH mencerminkan fenomena imunitas dengan perantaraan sel CMI (cell-mediated

immunity). DTH merupakan mekanisme imunologik yang paling jelas perannya terhadap

kerusakan mukosa usus yang berat. DTH adalah reaksi yang ditimbulkan oleh antigen dengan

limfosit T spesifik terhadap antigen tersebut dikenal sebagai sel DTH (Pitono S dkk, 2003,

Siti Boedina Kresna, 1996) Antigen menembus mukosa usus melalui Plaques Peyeri,

ditangkap sel APC, sel dendritik atau makrofag. Selanjutnya disajikan pada sel T yang

mengikat MHC II, akan memacu Th1 menghasilkan IFN-γ. Sel akan bermigrasi pada lamina

propria yang juga memacu Th1 lebih banyak dan menghasilkan IFN-γ. IFN-γ ini

menyebabkan keradangan dan kerusakan mukosa usus. Sitokin lainnya adalah TNF-α dan IL-

1β yang akan menghasilkan berbagai metaloproteinase yang merusak mukosa (Mowatt, 1994

dalam Pitono, 2003)4

MANIFESTASI KLINIS

Alergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang terjadi setelah

meminum susu. (11) Manifestasi paling berbahaya dari reaksi mediasi IgE akibat alergi susu

ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast, pelepasan mediator inflamasi mempengaruhi

berbagai sistem organ. (5) Gejala yang dapat timbul ialah pruritus, urtikaria, angio-edema,

muntah, diare, nyeri perut, sulit bernapas, sesak, hipotensi, pingsan, dan syok. (11),(5) Gejala

pada kulit merupakan gejala paling sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat

muncul tanpa adanya manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset munculnya

gejala dari reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi namun mayoritas reaksi

muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama setelah terpapar.

Diantara gejala-gejala akibat alergi makanan, seringkali terdapat dermatitis atopi.

Memang, telah diketahui bahwa 30% anak-anak yang menderita dermatitis atopi yang sedang

sampai berat memiliki hubungan dengan alergi makanan yang memperparah eksema.

Makanan yang berpengaruh ialah susu sapi, dengan ditemukannya IgE spesifik pada

kebanyakan pasien.3

Page 5: Manajemen Alergi Susu Sapi

Tidak ada gejala CMPA yang patognomonik (kondisi patologis ; menunjukkan gejala

atau keluhan) untuk diagnosis CMPA. Variasi gejala klinis meliputi; pada gastrointestinal

mencapai 50-60%, kulit 50-60%, saluran nafas 20-30%. Gejala dapat ringan, sedang sampai

berat yang dapat mengancam jiwa seperti anafilaksis, udem laring, asma berat. Diagnosis

banding CMPA antara lain kelainan metabolisme, kelainan anatomis, penyakit celiac,

enteropati, insufisiensi pankreatik (cystic fibrosis), reaksi non-imunologi terhadap makanan

seperti malabsorpsi fruktose, intoleransi laktosa.2

Perlu mendapat perhatian adanya gejala klinik yang mirip, misalnya refluks

gastroesofagus (GER) pada CMPA yang dapat terjadi pada 15-21%. CMPA juga dapat terjadi

kolik infantil. Demikian juga hubungan antara CMPA dengan gejala dermatitis atopi.

Semakin berat dermatitis, semakin muda anak maka sangat mungkin ada kaitan antara CMPA

dengan dermatitis atopi.5

CMPA dapat bersamaan dengan alergi makanan lain seperti telur, ikan, kacang,

sehingga pada saat diagnosis, perlu dipertimbangkan untuk melakukan eliminasi bahan-bahan

makanan tersebut (Vandenplas, 1997).

Organ target CMPA meliputi: kulit, saluran cerna, saluran nafas, sistim kardio

vaskuler, mata. Gejala klinik pada kulit berupa eczema, rash, urticaria, swelling, dryness.

Gejala pada saluran cerna dimulai dari mulut; gatal atau udema pada bibir, mulut,

lidah, faring. Gejala klinik lainnya berupa mual, muntah. Sakit perut di daerah ulu hati selama

dan setelah minum CM, kembung, konstipasi, nyeri perut, diare, rectal bleeding, anemia

defisiensi besi, berak berdarah dan berlendir, diare kronik, gangguan pertumbuhan. Muntah

maupun diare kronik dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang, maupun diare akut

berat.4

Gejala di saluran nafas berupa batuk, rhinitis, wheezing, reaksi alergi yang berat dapat

menyebabkan; asma berat, edema laring akut, dermatitis atopi disertai eksudasi, anafilaksis.

Page 6: Manajemen Alergi Susu Sapi

Tabel 1 Onset reaksi cepat dan lambat alergi susu sapi pada anak-anak.

Reaksi cepat Reaksi Lambat

· Anafilaksis

· Urtikaria akut

· Akut angioedema

· Sesak

· Rhinitis

· Batuk kering

· Muntah

· Edema laryngeal

· Asma akut dengan stres pernapasan

· Dermatitis atopi

· Diare kronis, diare berdarah, anemia

defisiensi besi, konstipasi, muntah

kronis, kolik

· Terganggunya pertumbuhan

· Enteropati dengan kehilangan protein

dengan hipoalbuminemia

· sindrom enterokolitis

· Esofagogastroenteropati eosinofilik yang

diketahui dari biopsi

Sumber :. Guideline for the diagnosis and the management cow’s milk protein allergy in infants.

Alergi Susu Sapi Gastrointestinal

Mekanisme dasar yang mengarah pada alergi belum diketahui dengan baik. Berbagai

faktor, yag berhubungan dengan pasien (faktor genetik, flora usus) dan yang tidak

berhubungan (seperti waktu, dosis, frekuensi eksposure alergen) yang saling berinteraksi

dengan patogenesis penyakit. Alergi gastrointestinal, kebanyakan pasien mengalami reaksi

hipersensitivitas tipe IV dengan respon yang abnormal dari limfosit TH2. Produk ini

meningkatkan jumlah mediator inflamasi, seperti IL-4 dan IL-5, seperti kemokin, yang

menyebabkan aktivasi eosinofil. Pada beberapa pasien, alergi campuran dari mediasi IgE dan

non IgE dapat terjadi dan tes diagnostik harus dilakukan untuk kedua jenis alergi tersebut.

Pasien dengan alergi susu gastrointestinal dapat muncul dengan berbagai macam

gejala, berdasarkan lokalisasi dari inflamasi (Tabel 2)

Gastroenteropathies Eosinofilik

Gastroenteropathies eosinofilik didefinisikan infiltrasi eosinofil pada dinding usus.

Terdapat 3 (tiga) bentuk keadaan klinis yang dijelaskan: kolitis yang diinduksi susu,

oesophagitis eosinofilik dan enterocolitis yang diinduksi protein makanan. Prevalensi

kelainan-kelainan tersebut semakin meningkat. Diagnosis banding dari eosinofilia usus

sangat luas dan meliputi inflamatory bowel disease, infeksi parasit, sindrom hipereosinofilia

Page 7: Manajemen Alergi Susu Sapi

dan hipersensitivitas obat. Tidak ada tes diagnostik yang patognomonis dan diagnosis alergi

eosinofilia gastroenterologi harus berdasarkan keadaan klinis, tes kulit, biopsi dan/atau oral

food challenges. (5)

Colitis Akibat Makanan dan Susu Sapi (Food and cow’s milk colitis)

Alergi susu sapi merupakan salah satu penyebab yang umum dari terjadinya

kehilangan darah kronis dan anemia pada masa neonatal, dengan darah samar atau

perdarahan rectum pada feses dan diare, meskipun begitu diare berdarah yang masif jarang

terjadi. (8) Pendarahan rektal merupakan gejala yang mengkhawatirkan tetapi pada umumnya

jinak dan self limiting tetapi dapat dikaitkan dengan alergi susu pada sekitar 20% kasus. Bayi

yang terkena dapat timbul dengan pendarahan anus yang terisolasi dengan mengeluarkan

lendir pada jam pertama kehidupan, dapat melalui dalam rahim, atau sebelum 3 sampai 6

bulan pertama kehidupan tetapi biasanya tetap dalam kondisi umum yang sangat baik. Biopsi

rektal menunjukkan peradangan eosinofilik yang khas dengan erosi epitel, microabscess atau

fibrosis. Gejala diakibatkan oleh protein susu sapi yang terkandung dalam susu formula atau

ASI, dan setengah dari pasien ini didiagnosis ketika menggunakan ASI eksklusif. (5)

Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga dapat bereaksi

terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang. Kemajuan klinis biasanya sangat

baik seiring dengan perbaikan gejala dalam waktu lima hari setelah diet bebas susu sapi bagi

ibu. Bila diet pada ibu mengalami kegagalan, diet bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini

biasanya sembuh dalam beberapa bulan, sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukan

antara 6 dan 12 bulan. (5)

Oesofagitis Eosinofilik (Eosinophilic oesophagitis)

Penyakit ini baru diidentifikasi dalam 15 tahun terakhir dan studi menunjukkan

prevalensi yang semakin meningkat. Penyakit ini terutama mempengaruhi orang-orang

berusia dekade kedua atau ketiga, tetapi semakin banyak pula dilaporkan dalam literatur-

literatur pediatrik. Penyakit ini didefinisikan dengan terjadinya suatu infiltrasi eosinofil pada

esofagus, dan terkait dengan gejala refluks yang resisten terhadap terapi proton pump

inhibitor (PPI). (5)

Page 8: Manajemen Alergi Susu Sapi

Pasien biasanya mengeluhkan gejala sakit seperti ketidaknyamanan, disfagia dan

cenderung untuk menghindari makan makanan berserat atau kering. Gejala pada anak-anak

biasanya tidak khas, seperti sakit perut, muntah atau regurgitasi dan anoreksia, atau

kegagalan pertumbuhan. Endoskopi dapat menampilkan berbagai gambaran dari area normal

sampai putih atau merah merata dengan beberapa striktur esofagus, dengan aspek

tracheiformis yang khas. (5)

Biopsi menunjukkan infiltrasi padat dari dinding oleh eosinofil (> 15-20/ Lapang

pandang). Esofagitis ini dapat sipersulit oleh adanya stenosis esofagus dan impaksi makanan.

Eosinofilik esofagitis biasanya disebabkan oleh alergi makanan dengan campuran mediasi

IgE dan non IgE, khususnya pada anak-anak dan remaja. (5)

Identifikasi alergen harus dikoordinasikan dengan spesialis karena dapat melibatkan

berbagai antigen. Diet bebas unsur asam amino atau formula semi-unsurnya dapat

menyebabkan perbaikan gejala sebanyak 30-70% pada pasien ini. Namun demikian,

penggunaan steroid topikal atau sistemik sering dibutuhkan, terutama jika makanan penyebab

tidak dapat diidentifikasi secara jelas atau jika peradangan sudah berlangsung lama. (5)

Enterokolitis yang Diinduksi Protein Makanan (Food protein-induced enterocolitis)

Alergi ini dapat muncul dengan gejala yang luar biasa seperti muntah terus menerus

dan/atau diare lendir berdarah yang dapat membuat lemas dan syok hipovolemik. Gejala

dapat muncul seringkali 2 (dua) jam setelah makan atau minum. Anak-anak dengan gejala-

gejala ini seringkali menjadi suspek terjadinya sepsis. Jumlah hitung darah selama fase akut

adalah leukositosis yang dipenuhi oleh sel-sel muda (neutrofil non segmen). Mekanismenya

belum jelas namun diketahui dipengaruhi oleh reaksi mediasi IgE dan non IgE. Biopsi kolon

memperlihatkan abses kripta dengan infiltrasi inflamasi yang difus. Alergi ini dapat juga

disebabkan oleh protein pada makanan daripada susu, seperti halnya reaksi terhadap kedelai,

ikan, nasi, kentang dan ayam. (5)

Riwayat dari eneterocolitis yang diinduksi susu biasanya membaik setelah usia 2-3

tahun, namun perubahan penyakitnya dapat lebih panjang pada pasien dengan enterokolitis

yang diinduksi protein padat. Pasien dengan manifestasi klinis yang tidak jelas harus

dilakukan tes diagnostik menggunakan endoskopi dan biopsi yang bertujuan untuk

menghilangkan diagnosis penyakit eosinofilik. (5)

Page 9: Manajemen Alergi Susu Sapi

Tabel 2 Alergi makanan mediasi non IgE

Alergi Pada

Usus

Mediasi

Non IgE

atau

Campuran

Gejala-

Gejala

Komplikasi Tes

Diagnostik

Evolusi Penatalaksanaan

Kolitis

Makanan Dan

Susu

Perdarahan

rectum dengan

pengeluaran

lendir pada bayi

Anemia Eliminasi diet

untuk ibu atau

hydrolyzed milk

(bayi yang tidak

diberi ASI),

biopsy kolon jika

resisten terhadap

kultur feses

Resolusi

dalam 6-12

bulan

Diet eliminasi diikuti

tes pemberian ulang

setelah 6 bulan

Esofagus

Eosinofilik

Regurgitasi,

refluks,

anoreksia, disfagi

atau menolak

makanan,

muntah, nyeri

lambung

Kegagalan

pertumbuhan,

kehilangan berat

badan, striktur

esofagus

Endoskopi,

biopsy, tes

kutaneus dan

epikutaneus, diet

asam amino dan

tes provokasi oral

Terus

menerus

ada

Diet eliminasi,

steroid sistemik atau

topical (ditelan)

Food Protein-

Induced

Enterocolitis

Syndrome

(FPIES)

Muntah terus-

menerus dan/atau

diare 2-4 jam

setelah

makan/minum

Leukositosis, syok

hipovolemik,

asidosis metabolic,

hipotensi

Riwayat sugestif,

tes epikutaneus

dan/atau tes

provokasi oral

Resolusi

dalam 2-5

tahun

Diet eliminasi diikuti

tes pemberian ulang

Food Protein

Induced

Enteropathy

Gejala insidious,

abdominal

discomfort,

disfagia,

kehilangan berat

badan, muntah,

diare

Hipereosinofilia,

hematemesis/rectal

bleeding, anemia

defisiensi besi,

hipoalbuminemia,

kegagalan

pertumbuhan

Endoskopi,

biopsy, tes skin

prick’s dan

epikutaneus, tes

provokasi oral

Resolusi

dalam 1-2

tahun

Diet eliminasi

Sumber : Food allergy review. J Pediatr Gastroenterol Nutr

Page 10: Manajemen Alergi Susu Sapi

DIAGNOSIS

Diagnosis ASS ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan

penunjang.

Anamnesis

· Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum sususapi/ makanan yang mengandung susu

sapi.

· Jumlah susu yang diminum/makanan mengandung susu sapi.

· Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan, dan

alergi obat pada keluarga (orang tua, saudara, kakek, nenek dari orang tua), dan pasien

sendiri.

· Gejala klinis pada kulit seperti urtikaria, dermatitis atopik, ras.

· Saluran napas: batuk berulang terutama pada malam hari, setelah latihan asma, rinitis alergi

· Saluran cerna, muntah, diare, kolik dan obstipasi.3

Pemeriksaan fisis

Pada kulit tampak kekeringan kulit, urtikaria,

dermatitis atopik

allergic shiner’s, Siemen grease, geographic tongue, mukosa hidung pucat, dan

mengi.3

Pemeriksaan Penunjang

I. IgE spesifik

a. Uji tusuk kulit (Skin prick test )

Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 1 minggu sebelum --

pemeriksaan

Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung (jika --

didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil).

Batasan usia terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan.

Page 11: Manajemen Alergi Susu Sapi

Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai duga --

positif < 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berarti alergi susu sapi yang

diperantarai IgE dapat disingkirkan karena nilai duga negatif sebesar > 95%.6

b. IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)

Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit, tidak

didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk kulit

dengan uji IgE RAST

Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan karena adanya lesi

kulit yang luas di daerah pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum

obat antihistamin.5

Kadar serum IgE spesifik antibodi untuk susu sapi dinyatakan positif jika > 5

kIU/L pada anak usia ≤ 2 tahun dan >15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun. Hasil uji

ini mempunyai nilai duga positif <53% dan nilai duga negatif 95%, sensitivitas

57% dan spesifitas 94%.3,4

c. Uji eliminasi dan provokasi

Double Blind Placcebo Contolled Food Chalange (DBPFC’s) merupakan uji baku

emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat

alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji RAST. Uji ini memerlukan waktu dan

biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah dilakukan eliminasi diet selama 2-4 minggu,

maka sebaiknya dilanjutkan dengan memberikan formula dengan bahan dasar susu sapi (uji

provokasi). Uji provokasi dilakukan dibawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah

sakit dengan fasilitas resusitasi yang lengkap. Pada uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan

mengurangi reaksi akut berat pada saat uji provokasi.4

Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul kembali, maka

diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi dinyatakan negatif bila tidak timbul

gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi dan setelah satu minggu kemudian, maka bayi

tersebut diperbolehkan minum formula susu sapi. Meskipun demikian, orang tua dianjurkan

untuk tetap mengawasi kemungkinan terjadinya reaksi tipe lambat yang bisa terjadi beberapa

hari setelah uji provokasi.3

Page 12: Manajemen Alergi Susu Sapi

d. Pemeriksaan darah pada tinja

Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata kadang sulit untuk

dinilai secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan seperti chromiun-

51 labelled erythrocites pada feses dan reaksi orthotolidin mempunyai sensitivitas dan

spesifitas yang lebih baik dibanding uji guaiac/benzidin. Uji guaiac hasilnya dipengaruhi oleh

berbagai substrat non-hemoglobin sehingga memberikan sensitivitas yang rendah (30-70%),

spesivitas (88-98%) dengan nilai duga positif palsu yang tinggi.

TATA LAKSANA

1. Untuk bayi dengan ASI eksklusif :

• Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu

selama 2-4 minggu.

• Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein

susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi.

Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan

diagnosis lain.

• Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI dapat

diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada

makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan.

Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala

tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba

diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali

selama 6 bulan dan seterusnya.

• Bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat melanjutkan

pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi dan produk turunannya

pada makanan sehari-hari. ASI tetap merupakan pilihan terbaik pada bayi dengan

alergi susu sapi. Suplementasi kalsium perlu dipertimbangkan pada ibu menyusui

yang membatasi protein susu sapi dan produk turunannya.3,4

2. Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula :

Page 13: Manajemen Alergi Susu Sapi

Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan mengganti

susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat ekstensif

(untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula asam

amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan selama 2-4

minggu.

Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu

sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi. Bila

gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain.

Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu formula

berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat ekstensif (untuk kelompok

dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula asam amino (untuk

kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini dilakukan

sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji

provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah

toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka

eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.

Pilihan utama susu formula pada bayi dengan alergi susu sapi adalah susu

hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu yang tidak menimbulkan reaksi alergi

pada 90% bayi/anak dengan diagnosis alergi susu sapi bila dilakukan uji klinis

tersamar ganda dengan interval kepercayaan 95%. Susu tersebut mempunyai peptida

dengan berat molekul < 1500 kDa. Susu yang memenuhi kriteria tersebut ialah susu

terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam amino. Sedangkan susu terhidrolisat

parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan bukan merupakan pilihan untuk terapi

alergi susu sapi.

Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang dianjurkan pada --alergi

susu sapi dengan gejala klinis ringan atau sedang. Pada alergi susu sapi berat yang

Page 14: Manajemen Alergi Susu Sapi

tidak membaik dengan susu formula terhidrolisat ekstensif maka perlu diberikan susu

formula asam amino.

Eliminasi diet menggunakan formula susu-- terhidrolisat ekstensif atau formula asam

amino diberikan sampai usia bayi 9 atau 12 bulan, atau paling tidak selama 6 bulan.

Setelah itu uji provokasi diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti

anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul

kembali maka eliminasi diet dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.4

Medikamentosa

Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang terjadi.6

Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan generasi kedua dapat

digunakan dalam penanganan alergi. Antihistamin H1 generasi 2 bisa digunakan pada

anak mulai umur 6 bulan.

Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau dengan alergi

makanan yang berhubungan dengan reaksi alergi yang berat, epinefrin harus

dipersiapkan.4

PENCEGAHAN

Seperti juga tindakan pencegahan alergi secara umum, maka tindakan pencegahn ASS ini

dilakukan dalam 3 tahap yaitu.

1. Pencegahan primer

Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Saat penghindaran dilakukan sejak pranatal

pada janin dari keluarga yang mempunyai bakat atopik. Penghindaran susu sapi berupa

pemberian susu sapi hipoalergenik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis secara parsial, supaya

dapat merangsang timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari karena masih mengandung

sedikit partikel susu sapi, misalnya dengan merangsang timbulnya IgG blocking agent.

Tindakan pencegahan ini juga dilakukan terhadap makanan hiperalergenik lain serta

penghindaran asap rokok.

2. Pencegahan sekunder

Page 15: Manajemen Alergi Susu Sapi

Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi penyakit alergi.

Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum atau darah

talipusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia 0 sampai 3 tahun.

Penghindaran susu sapi dengan cara pemberian susu sapi non alergenik, yaitu susu sapi yang

dihidrolisis sempurna, atau pengganti susu sapi misalnya susu kedele supaya tidak terjadi

sensitisasi lebih lanjut hingga terjadi manifestasi penyakit alergi. Selain itu juga disertai

tindakan lain misalnya imunomodulator, Th1- immunoajuvants, probiotik serta penghindaran

asap rokok. Tindakan ini bertujuan mengurangi dominasi sel limfosit Th2, diharapkan dapat

terjadi dalam waktu 6 bulan.5

3.Pencegahan tertier

Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi

penyakit alergi yang masih dini misalnya dermatitis atopik atau rinitis tetapi belum

menunjukkan gejala alergi yang lebih berat misalnya asma. Saat tindakan yang optimal

adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. Penghindaran juga dengan pemberian susu sapi

yang dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi, serta tindakan lain pemberian obat

pencegahan misalnya setirizin, imunoterapi, imunomodulator serta penghindaran asap rokok.3

PROGNOSIS

Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi 45-55%

pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% pada tahun ketiga. Namun,

terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50% terutama pada jenis:

telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal dan alergi inhalan meningkat 50-80% sebelum

pubertas.

PENUTUP

Page 16: Manajemen Alergi Susu Sapi

Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan

sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan keterlibatan mekanisme

sistem imun, yang disebabkan oleh kandungan protein di dalam susu sapi. Alergi susu sapi

seringkali diduga terjadi pada pasien, disertai banyak gejala klnis. Sindrom klinis yang terjadi

sebagai akibat alergi pada susu dapat bermacam-macam, meskipun demikian dapat diketahui

dengan baik. Penatalaksanaan alergi dapat dilakukan kepada bayi maupun juga kepada ibu

yang memberikan ASI-nya. Dan pencegahan saat ini sudah dapat dilakukan semenjak masih

dalam kandungan.