Makassar.docx

8
Makassar -Selama ini eksplorasi minyak dan gas bumi (migas) masih terpusat di kawasan barat Indonesia. Padahal kawasan timur Indonesia menyimpan potensi migas yang besar, namun belum dieksplorasi. "Selama ini, hampir 90% produksi minyak dan gas bumi Indonesia bersumber dari Kawasan Barat Indonesia. Padahal potensi minyak dan gas bumi di kawasan Timur Indonesia juga sangat besar, tapi belum dieksplorasi," jelas Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral R Sukhyar dalam Lokakarya 'Mempercepat Cadangan Migas di Kawasan Timur Indonesia' di hotel Grand Clarion, Makassar, Selasa (4/12/12). Menurut Sukhyar, hingga saat ini baru empat blok yang dieksplorasi di kawasan timur, yakni blok Tangguh dan Salawati di Papua, blok Masela di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, dan blok Donggi Sonoro di Selat Makassar, Sulawesi Tengah. Keempat blok itu, umumnya mengandung cadangan gas bumi yang cukup banyak, terkecuali blok Salawati, yang juga berisi minyak. Selain empat blok tersebut, masih ada sekitar 100 blok lain yang diprediksi memiliki cadangan minyak dan gas bumi, di kawasan Timur Indonesia. Tapi belum dieksplorasi, lantaran terkendala infrastruktur dan kondisi lokasi yang sulit. Blok-blok itu, dominan berisi gas. Kawasan Timur Indonesia memang lebih banyak memiliki kandungan gas, karena kawasan itu memiliki banyak bebatuan tua. "Kendala utama yang dihadapi di kawasan Timur Indonesia adalah, masih minimnya infrastruktur dan topografi daerah. Rata-rata lokasi blok minyak dan gas bumi, berada di pegunungan atau laut dalam, sehingga membutuhkan infrastruktur dan teknologi tinggi," tambah Sukhyar. Sementara menurut Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari menyebutkan, eksplorasi cadangan minyak dan gas bumi di kawasan Timur Indonesia harus dipercepat. Alasannya, cadangan minyak dan gas bumi Indonesia saat ini, makin menipis. cadangan minyak tersisa 3,9 miloar barrel atau hanya cukup untuk 12 tahun ke depan, sementara cadangan gas mencapai 104 Trillion Cubic Feet (CTF) atau cukup untuk 40 tahun ke depan.Next

description

Makassar.docx

Transcript of Makassar.docx

Makassar -Selama ini eksplorasi minyak dan gas bumi (migas) masih terpusat di kawasan barat Indonesia. Padahal kawasan timur Indonesia menyimpan potensi migas yang besar, namun belum dieksplorasi.

"Selama ini, hampir 90% produksi minyak dan gas bumi Indonesia bersumber dari Kawasan Barat Indonesia. Padahal potensi minyak dan gas bumi di kawasan Timur Indonesia juga sangat besar, tapi belum dieksplorasi," jelas Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral R Sukhyar dalam Lokakarya 'Mempercepat Cadangan Migas di Kawasan Timur Indonesia' di hotel Grand Clarion, Makassar, Selasa (4/12/12).

Menurut Sukhyar, hingga saat ini baru empat blok yang dieksplorasi di kawasan timur, yakni blok Tangguh dan Salawati di Papua, blok Masela di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, dan blok Donggi Sonoro di Selat Makassar, Sulawesi Tengah. Keempat blok itu, umumnya mengandung cadangan gas bumi yang cukup banyak, terkecuali blok Salawati, yang juga berisi minyak.

Selain empat blok tersebut, masih ada sekitar 100 blok lain yang diprediksi memiliki cadangan minyak dan gas bumi, di kawasan Timur Indonesia. Tapi belum dieksplorasi, lantaran terkendala infrastruktur dan kondisi lokasi yang sulit. Blok-blok itu, dominan berisi gas. Kawasan Timur Indonesia memang lebih banyak memiliki kandungan gas, karena kawasan itu memiliki banyak bebatuan tua.

"Kendala utama yang dihadapi di kawasan Timur Indonesia adalah, masih minimnya infrastruktur dan topografi daerah. Rata-rata lokasi blok minyak dan gas bumi, berada di pegunungan atau laut dalam, sehingga membutuhkan infrastruktur dan teknologi tinggi," tambah Sukhyar.

Sementara menurut Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari menyebutkan, eksplorasi cadangan minyak dan gas bumi di kawasan Timur Indonesia harus dipercepat.

Alasannya, cadangan minyak dan gas bumi Indonesia saat ini, makin menipis. cadangan minyak tersisa 3,9 miloar barrel atau hanya cukup untuk 12 tahun ke depan, sementara cadangan gas mencapai 104 Trillion Cubic Feet (CTF) atau cukup untuk 40 tahun ke depan.Next12 December, 2013 // 0 Comments

MigasReview, Jakarta Meski eksplorasi minyak dan gas (migas) di Indonesia bagian timur, yang kebanyakan di laut dalam, membutuhkan biaya sangat besar dan beberapa kali terbukti gagal sehingga menghanguskan investasi, bukan berarti kegiatan di kawasan ini sia-sia. Kegiatan tersebut tetap positif karena kawasan ini menyimpan potensi yang sangat besar.Menurut data Satuan Kerja Khusus Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), selama 2009-2013, sebanyak 12 kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) migas asing merugi hingga US$ 1,9 miliar akibat kegagalan mengeksplorasi 16 blok di laut dalam Indonesia. Di antara KKKS yang gagal itu adalah Exxon Mobil Corp., Statoil ASA, ConocoPhillips, Talisman Energy Inc., Marathon Oil Corp., Tately NV, Japan Petroleum Exploration Co., CNOOC Ltd., Hess Corp., Niko Resources Ltd. dan Murphy Oil Corp.Menurut Deputi Perencanaan SKK Migas Aussie Gautama, data eksplorasi di wilayah Indonesia Timur selama rentang waktu itu menunjukkan, dari 25 sumur yang dibor, hasilnya adalah 15 sumur kering, empat sumur dengan hidrokarbon yang tidak bernilai ekonomis, tiga sumur tidak mencapai target karena keterbatasan peralatan teknis, dan tiga sumur lapangan asap di Blok Kasuari, Papua Barat.Namun eksplorasi di kawasan Indonesia bagian timur masih positif. Mari kita hitung. Dengan asumsi bahwa penemuan lapangan asap telah membuktikan gas in place sebesar 2 Tcf. Maka, dengan RF 70 persen, cadangan terbukti dapat diperkirakan sebesar 1,4 Tcf. Harga 1 Bcf gas sebesar US$10 juta, maka nilai 1,4Tcf adalah US$ 14 miliar. Bandingkan dengan biaya investasinya yang hanya US$1,9 miliar itu, paparnya dalam seminar bertajuk Eksplorasi Migas di Indonesia belum lama ini.Lebih jauh, Aussie menjelaskan pendapatan yang diterima para kontraktor. Dia mencontohkan, Genting Oil yang melakukan pengeboran di tiga sumur tersebut membutuhkan dana US$ 200 juta. Kalau bagi hasil gas 70-30, maka dari US$ 14 miliar, bagian kontraktor adalah US$ 4,2 miliar. Jadi hitungan sederhananya, modal US$ 200 juta bisa menghasilkan US$ 4,2 miliar, terang Aussie.Untuk itu, kata Aussie, pemerintah harus didorong untuk menghilangkan sikap enggan rugi. Pasalnya, industri hulu migas memang industri yang bersifat high risk namun high return.Eksplorasi migas memang berisiko dan risiko itu harus kita ambil, tegas Aussie.Kini, eksplorasi tengah dilakukan di Selat Makassar. Hingga saat ini, Aussie mengakui eksplorasi di selat itu masih mengecewakan dengan belum ditemukannya cadangan hidrokarbon yang komersial. Namun, hasil dari sumur-sumur yang dibor di Selat Makassar juga memberikan pemahaman yang lebih lengkap mengenai potensi hidrokarbon di kawasan tersebut. Pemahaman yang dimaksud antara lain adalah beberapa tipe play telah diuji, demikian pula sejumlah konfigurasi geologi dengan hasil yang beragam. Salah satunya adalah adanya sistem pembentukan hidrokarbon yang efektif, di mana akumulasi yang ekonomis masih harus ditemukan.Dengan masih banyaknya lahan potensial di Indonesia yang belum tereksplorasi, maka seharusnya masalah anggaran tidak menjadi kendala utama.Pemerintah seakan tidak mau rugi karena memang eksplorasi belum tentu menghasilkan. Kadang dari sepuluh sumur yang dibor, tidak ada satupun yang ada minyak atau gasnya. Tapi, meski tidak ada minyaknya, itu bukan kerugian. Tetap ada keuntungan karena jika tidak kita bor, mana tahu di situ ada atau tidak sumber minyak dan gas, tukas Aussie.Jangan Cuma Kampanye NegatifDirektur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, selama ini pemerintah lebih banyak berkampanye negatif soal eksplorasi migas.Dibilang, kita bukan negara yang kaya minyak, bahwa asing sudah mau mengambil risiko, beberapa tahun mengebor, hasilnya cuma sekian persen, mereka rugi sekian miliar dolar. Tapi pemerintah tidak menyebutkan bahwa meskipun rugi, potensi untungnya juga besar. Harusnya pararel, kata Marwan dalam sebuah diskusi terbatas beberapa waktu lalu.Untuk itu, kata dia, pemerintah juga harus mau melakukan eksplorasi dan tidak hanya menyerahkan pada asing.Siap tidak pemerintah kehilangan investasi jika hanya menemukan dry hole? Harusnya siap. Kalau orang lain bisa melakukan, kenapa kita tidak? kritik Marwan.Bagi Pertamina, kegagalan menemukan minyak membuat BUMN itu harus lebih berhati-hati.Komisaris Utama Pertamina Sugiharto mengatakan, di awal 2013, pihaknya me-write off US$ 140 juta lebih akibat mengebor dry hole di Karama, Selat Makassar, bersama dengan BUMN Norwegia StatOil.Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa tingginya risiko itu membuat Pertamina menjadi lebih berhati-hati.Ada sesuatu yang harus diperhatikan bahwa the sky is not the limit. Jadi, kami harus prudent dalam menyisihkan dana untuk eksplorasi. Meski wilayah kerja Pertamina cukup banyak, namun risikonya juga sangat tinggi. Konon perbandingannya 8:1. Setiap 8 sumur yang dibor, hanya 1 yang mungkin berhasil, kata Sugiharto beberapa waktu lalu.Namun menurut Dirgo W Purbo, strategic advisor di Centre for the Study of Intelligence and Counter Intelligence (CSISI) sekaligus dosen di Universitas Pertahanan (Unhan), success ratio di Indonesia adalah 4:1.Dari empat sumur yang dibor, yang berhasil satu. Itu kondisi alam. Itu sudah menjadi perhitungan umum dan assesment geologi. Makanya , dalam satu program pengeboran itu ada empat dengan harapan ada ketemu satu. Di Indonesia, potensinya masih besar, terbukti ada wilayah kerja 260 lebih, meski yang berproduksi hanya sekitar 25-an dan menghasilan 830 ribu barel per hari, kata Dirgo yang pernah beberapa kali bekerja di perusahaan migas asing.Toh, kata Marwan, perusahaan-perusahaan yang melakukan eksplorasi itu tetap survive karena tingkat keberhasilan lebih tinggi daripada kegagalan. (nuansa aphrodita pertiwi/cundoko aprilianto)- See more at: http://migasreview.com/eksplorasi-di-indonesia-timur-mahal-tapi-positif.html#sthash.udTIaCgI.dpufKonsen Saya Terhadap TambangFreeportBanyak yang menilai, bahwaproblemterbesar tambang Freeport (gambar dari sini)adalah soal royalti kepada Negara yang terlampau kecil: hanya 1%. Itu untuk emas yang katanya produk ikutan. Untuk hasil tembaga, Freeport memberikanroyaltisekitar3% angka yang sebetulnya juga mengenaskan. Setidaknya angka 3% inilah yang direstui undang-undang pertambangan. Memang, angka 1% atau 3% itu di luar pajak, khususnya pajak penghasilan, yang rata-rata sebesar 35%. Tetapi di sini pajak tak layak diperhitungkan, mengingat setiap pelaku usaha yang tidak memanfaatkan kekayaan Negara pun, bayar pajak penghasilan.Tanpa perlu mengkajinya secara mendalam, angka-angka itujelas tidak adil bagi Negara dan rakyat selaku pemangku kepentingan. Sebagai pembanding, di negara-negara lain, untuk tambang emas, rata-rata royalti bagi negara di atas 5%. Belum lagi jika dibandingkan dengan minyak dan gas bumi.Dalam tambang minyak atau gas bumi, bagian Pemerintah sebesar 85% net, setelah kontraktor mendapatkan penggantian biaya operasi dan membayar pajak. Secara gross, bagian Pemerintah rata-rata 55 60%.Di samping itu, Pemerintah juga mengatur skema first tranche petroleum (FTP) untuk mengamankan bagian Negara,untuk mengantisipasi biaya operasi membengkak (di atas 100% pendapatan gross). FTP biasanya sebesar 10%. Kalau biaya-biaya tidak di-mark-up, posisi Negara cukup aman. Kalau biaya operasi dimanipulasi, ya wassalam juga. Tapi setidaknya, hitam di atas putih, PSC migas memberikan bagi hasil yang cukup fair.Di luar persoalan besaran royalti, sebetulnya problem yang lebih mendasar adalah soal kedaulatan Negara. Absurd? Tidak!Kedaulatan Negara tercermin dari posisinya sebagai pemilik sumberdaya alam, dalam hal ini emas dan tembaga. Konsekuensinya, hanya negara yang berhak memiliki emas dan tembaga yang ditambang dari bumi Papua itu. Negara punya hak untuk membawa kemana, mau dijadikan apa, serta menjual dengan harga berapa, atas emas dan tembaga itu. Negara secara mutlak memiliki mineral right dan mining right.Lantas Freeport, selaku kontraktor,dapat apa?Freeport berhak atas manfaat ekonomis dari investasi yang dia tanamkan. Dia berhak atas economic right. Gampangnya: Freeport berhak dapat upah dari Negara. Pertanyaan selanjutnya: Negara mau membayar Freeport pakai apa? Jika Negara punya duit, bayar upah itu pakai duit. Kalau Negara dianggap tidak mampu mengupah Freeport pakai duit, ya silakan pakai emas atau tembaga sebagai upah. Perhitungan keekonomian jelas harus dilakukan, agar Freeport selaku investor mendapat keuntungan ekonomis. Tetapi posisi Negara dalam hal ini jelas:sebagai pemilik. Tanpa bisa diganggu gugat.Prinsip kedaulatan Negara ini tercermin di dalam model PSC (Production Sharing Contract) yang berlaku pada sektor pertambangan minyak dan gas bumi. Di dalam PSC, Negara bertindak sebagai pemilik minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Karena itu, Negara berhak mengatur, mengawasi dan mengendalikan kegiatan operasional minyak dan gas bumi, termasuk ke mana dan dengan harga berapa minyak dan gas yang dihasilkan itu dijual. Untuk kontraktor, mereka mendapatkan upah berupa minyak atau gas bumi dalam bentuk bagi hasil produksi (production sharing).Lain halnya dengan Freeport. Negara nyaris tidak punya akses terhadap emas dan tembaga yang dihasilkan. Negara hanya dapat persenan alakadarnya. Negara tidak berhak mengatur ke mana emas dan tembaganya itu dilarikan, dijual ke mana dan dengan harga berapa.Pertanyaannya: mengapa tambang emas dan tembaga Papua, dan semua tambang lainnya dari perut bumi pertiwi, tidak menggunakan skema yang sama atau identik dengan PSC? Bukankah konstitusi tidak membedakannya?Di masa yang lalu,khusunya pada pada era revolusi kemerdekaan, mungkin hanya minyak dan gas bumi yang dianggap strategis bagi Negara, sedangkan komoditas tambang lainnya tidak. Karena itu, para pendiri republik dulu memisahkan antara model kontrak minyak dan gas bumi, dengan tambang umum lainnya, termasuk emas dan tembaga. Tetapi hari ini jelastidak.Emas, tembaga, batubara, bijih besi, timah, dan lain-lain, adalah kekayaan alam yang juga sifatnya strategis. Keberadaannya harus diolah secara benar, sehingga memberikan manfaatbagi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.Untuk itu, terhadap tambang emas dan tembaga Freeport ini, konsen saya sangatjelas: bongkar lagi model kontrak karya tambang Freeport di Papua. Ganti dengan model kontrak yang sesuai dengan konstitusi: dimana Negarasebagai pemilik sumberdaya alam,berhakatas emas dan tembaga yang dihasilkan. Selanjutnya berikan bagian Freeport sebagai upah bagi kontraktor secara layak. Tak ada lagi cerita Negara tidak punyak akses terhadap emas dan tembaga yang dihasilkan.Jadi, tidak sekedar re-negosiasi.Kenaikanangka royalti bagi Negara memang penting, tetapi tidak sepenting menguasai atau memiliki emas dan tembaga yang dihasilkan dari sana.Saya kira, hanya dengan cara inilah amanat konstitusi kita ditegakkan: bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.