Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

30
7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 1/30 MAKALAH SEMINAR TUBERKULOSIS TUBERKULOSIS PADA PENDERITA HIV Disusun oleh: Reiva Wisharilla MD 0906639865  Samuel Raymond RW 0906639915 Wahyu Permatasari 0906639972 Yohanes Edwin Budiman 0906508541 Modul Praktik Klinik Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia November 2012 

Transcript of Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

Page 1: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 1/30

MAKALAH SEMINAR TUBERKULOSIS

TUBERKULOSIS PADA PENDERITA HIV

Disusun oleh:

Reiva Wisharilla MD 0906639865 

Samuel Raymond RW 0906639915

Wahyu Permatasari 0906639972

Yohanes Edwin Budiman 0906508541

Modul Praktik Klinik Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

November 2012 

Page 2: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 2/30

BAB I

PENDAHULUAN

AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) merupakan masalah global yang penting

dan merupakan masalah yang sangat kompleks. Dewasa ini dunia telah mengalami suatu

 pandemi virus HIV ( Human Immunodeficiency Virus)  sebagai penyebab AIDS. Penyakit

HIV/AIDS sampai sekarang masih ditakuti karena sangat mematikan. HIV/AIDS menyebabkan

 berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara,

krisis ekonomi, pendidikan dan kemanusiaan.

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak

 Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV

Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit menular yang endemis di

Indonesia. Tahun 1940 sampai 1970an ditemukan berbagai obat TB sehingga angka TB

diberbagai negara Eropa dan Amerika menurun dengan amat tajam dari waktu ke waktu, tetapi

 belakangan tampak fenomena baru dan penurunan yang tajam ini tidak terjadi. Beberapa faktor

 jelas berperan dalam perlambatan penurunan TB ini seperti perpindahan penduduk, pengungsi

akibat perang, kemiskinan dan infeksi HIV.1,2

Antara TB dan HIV mempunyai hubungan yang kuat karena dengan infeksi HIV maka

angka penyakit TB mengalami peningkatan lagi. Tuberkulosis paru merupakan infeksi

oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV. Infeksi HIV merupakan faktor resiko

untuk berkembangnya TB melalui mekanisme berupa reaktivasi infeksi laten, progresiviti yang

cepat pada infeksi primer atau reinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis).1

Page 3: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 3/30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi dan permasalahan ko-infeksi TB pada HIV

Menurut data UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) yaitu badan WHO dunia yang

menanggulangi permasalahan AIDS memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 24

 juta orang di dunia sejak tahun 1981 dan menjadikannya sebagai suatu destruksi pandemik yang

terbesar dalam sejarah manusia.3

Sampai saat ini, benua Afrika masih menjadi region terbanyak dengan penduduk yang

terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan fakta epidemiologi HIV/AIDS di Afrika Selatan menurut

UNAIDS pada tahun 2008 ini, bahwa sekitar 5,7 juta (64%) orang yang telah menjadi ODHA

(Orang Dengan HIV AIDS), dengan rata-rata prevalensi usia 15-49 tahun sekitar 5,4 juta orang,

3,2 juta diantaranya termasuk wanita 15 tahun keatas, 280.000 anak-anak usia 0-14 tahun dan

telah tercatat 350.000 pengidap HIV AIDS yang meninggal. Kemudian disusul Asia Tenggara

yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan, sehingga menyebabkan kematian lebih dari 500.000

anak.4

Statistik kasus yang dilaporkan oleh Ditjen PPM & PL Depkes RI, sampai dengan

September 2009 secara kumulatif jumlah kasus yang dilaporkan adalah 18442 di 32 Provinsi.

Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun, disusul

kelompok umur 30-39 tahun dan kelompok umur 40-49 tahun.5

Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat HIV paling nyata di Afrika namun angka

morbiditas dan mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling banyak di Asia Tenggara. Situasi

di Asia berpotensi untuk menyebabkan peningkatan koinfeksi ini karena beberapa alasan yaitu

karena prevalensi TB laten di Asia lebih tinggi dibandingkan Afrika (40-45% di Asia dan 30% di

Afrika), persentase jumlah populasi penduduk yang tinggal di lingkungan kumuh lebih besar di

Asia sehingga mempermudah penularan serta prevalensi TB dengan resistensi obat yang lebih

 besar pada daerah Asia Tenggara akibat program pengobatan TB yang tidak efektif. WHO

memperkirakan akan adanya peningkatan yang dramatis infeksi HIV di Asia pada dekade

 berikut.

Kasus koinfeksi TB-HIV terjadi sebanyak 24% - 45% kasus TB pada infeksi HIV

asimptomatik dan sebanyak 70 % pada pasien dengan AIDS, dengan bentuk terbanyak adalah

Page 4: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 4/30

TB ekstrapulmoner termasuk limfadenitis, bakteremia, penyakit sistem saraf pusat (tuberkuloma,

meningitis TB). Tingginya angka kejadian TB pada penderita HIV dengan uji tuberkulin positif

dan berpotensi terjadi TB aktif maka perlu diadakan strategi terapi pencegahan TB yang optimal

dan sebaiknya mendapat prioritas tinggi pada pasien HIV.

Menurut data dari WHO tahun 2008, TB merupakan penyebab utama kematian terkait HIV

di seluruh Dunia. Di beberapa negara dengan prevalensi HIV yang lebih tinggi, hingga 80% dari

orang uji TB positif HIV. Sekitar 30% dari orang yang terinfeksi HIV diperkirakan memiliki

infeksi laten TB. Pada tahun 2008, ada sebuah perkiraan 1,4 juta kasus baru TB di antara orang

dengan infeksi HIV dan TB menyumbang 23% dari kematian terkait AIDS.

2.2 HIV/AIDS

A. Definisi

HIV ( Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem

kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari

sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit

yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit.

Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah

 putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh

manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.

Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang

terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus

 bisa sampai Nol)6 

AIDS adalah singkatan dari  Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti

kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi

virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar

seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh

ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media

hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa

 pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat

Page 5: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 5/30

virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi

oportunistik

B. Etiologi

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang

termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana

lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.

Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper

lymphosit  dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.

Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim

transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)6,7

 

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai

lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi.

Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di

seluruh dunia adalah grup HIV-17

Struktur HIV :

Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut „envelope‟ dan di bagian dalam

terdapat sebuah inti (CORE).

1.  Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti

 bola. Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul lemak

yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus yang

 baru terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.

Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan

(rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini

disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN

(gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur

dalam envelope virus. 3

2.  Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang

 berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus

lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing

memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang

Page 6: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 6/30

diperlukan untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env,

misalnya mengkode protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk

gp 120 dan gp 41, yang merupakan komponen env.3 buah gen pengatur, tat, rev dan nef

dan 3 gen tambahan, vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk

memproduksi protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat

turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya

menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein

yang dikode oleh vpu berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang

diinfeksi. Inti HIV juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein

nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam

siklus hidup virus, yaitu : REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan

PROTASE. Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan

envelope1 

Gambar 1: struktur virus HIV-1

C. Cara Penularan

1. Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun

Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini

 berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap

 pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada

 pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering

Page 7: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 7/30

 berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko

tinggi terinfeksi virus HIV.

1.1. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita

AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.

Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi

 penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari

seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis

dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.

1.2. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada

 promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria

maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual

2.1 Transmisi Parenral

2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang

telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang

menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga

terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan

terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

2.1.2. Darah/Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat

sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat

sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko

tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

2.2. Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko

sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.

Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

Page 8: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 8/30

TABEL 1. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan faktor resiko

dilapor s/d Desember 2010

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik

melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain

itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV

Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik

Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan

udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.

Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak

akan menyebabkan seseorang tertular.

2. Memakai milik penderita

Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja

 penderita HIV/AIDS tidak akan menular.

3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

D. Patofisiologi

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical,

horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan

diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak

langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu

mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat

dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala

Faktor Resiko  AIDS 

Heteroseksual/HeterosexuaL  12717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724

Transfusi Darah/Blood Transfusion 48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628

Tak Diketahui/Unknown 772

Page 9: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 9/30

dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot,

mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut.

Pada vase ini terjadi penurunan CD 4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan

meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu.

Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load   secara perlahan cenderung terus meningkat.

Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan dalam waktu beberapa

tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum

akhirnya jatuh ke stadium AIDS1.

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target

HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp

120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada permukaan

limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan‟s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk

masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor

lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran

HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran,

seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam

sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS

(ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk

mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse

transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran DNA yang disebut sebagai

 provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara

enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan

transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten.

Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh

inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga

menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR ( Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen

tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi

replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari

mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan

tersebut, yang paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus

DNA.

Page 10: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 10/30

  Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi

sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami translasi

menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti

 beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host,

kemudian polipeptida dipecah oleh enzim  protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti

virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk

virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel

target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-10

11 

virus baru.

Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari

waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4

melalui beberapa mekanisme1 :

1.  Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya

 penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi

dengan nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.

2.  Syncytia formation,  yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan

limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi

3.  Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan

disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.

4.  Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk

mengeliminasi sel yang terinfeksi1.

5.  Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor CD4

Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui

apoptosis.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-

CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih

rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga

 pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan

resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi

sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi

sekundernya.

Page 11: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 11/30

E. Perkembangan klinis

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang

dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan

 pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan

gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih

lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan.

 Namun, pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang

lain. Fase ini disebut  “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang

terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.

 Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.

Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang

 berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan

ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan

 pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer.

Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk

 pasien yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke  fase asimtomatik. 

Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun,

kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik

virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi

virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode

laten walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten5.

Pada  fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah

turun di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala

ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah

mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

F. Manifestasi klinis

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor

dan infeksi oportunistik :

1. Manifestadi tumor diantaranya;

Page 12: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 12/30

a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi

kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi

 pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.

b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan

kurang lebih 1 tahun.

2. Manifestasi Oportunistik diantaranya

2.1. Manifestasi pada Paru-paru

2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-

 paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan

demam.

2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat

menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30%

 penderita AIDS.

2.1.3. Mycobacterium Avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke

organ lain diluar paru.

2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal

Berkurangnya nafsu makan, diare khronis, penurunan berat badan lebih 10% per bulan.

3. Manifestasi Neurologis

Manifestasi Neurologis timbul pada sekitar 10% kasus AIDS. Biasanya manifestasi ini timbul

 pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang biasa terjadi adalah ensefalitis, meningitis,

demensia, mielopati dan neuropari perifer.

G. Pemeriksaan HIV

Skrining HIV

Terdapat banyak pendapat mengenai populasi yang sebaiknya mendapatkan skrining HIV. The

U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) merekomendasikan skrining HIV bagi semua

Page 13: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 13/30

remaja dan orang dewasa dengan faktor risiko HIV, dan wanita hamil. The Centers for Disease

Control and Prevention (CDC) merekomendasikan skrining pada pasien semau pasien di instansi

kesehatan, kecuali pasien tersebut menolak; serta bagi semua orang dengan faktor risiko tinggi

HIV, harus diskrining minimal setahun sekali.7

Modalitas skrining yang banyak digunakan yaitu ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent

assay) dengan sensitivitas tinggi. Kebanyakan ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi HIV-1

tipe M, N, O, serta HIV-2. Hasil ELISA yang positif sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan

konfirmasi yaitu Western Blot. Kriteria diagnostik spesifik yang dihasilkan dari pemeriksaan

tersebut termasuk positif, negatif, maupun indeterminate. Pemeriksaan terhadap HIV-2 juga

sebaiknya dilakukan pada semua pasien di daerah endemik HIV-2, atau memiliki hasil

indeterminate dari HIV-1.8

 Hitung Sel T CD4+

Pemeriksaan ini adalah indikator yang cukup dapat diandalkan untuk mengetahui risiko terkena

infeksi oportunistik. Jumlah normal CD4 berkisar antara 500-2000 sel/μL. Setelah serokonversi,

CD4 biasanya berada dalam jumlah rendah (rata-rata 700 sel/μL). Di Amerika, definisi AIDS

adalah CD4 <200 sel/μL, karena tingginya risiko infeksi oportunistik pada level ini. Pada anak

usia di bawah 5 tahun, persentase CD4 lebih bermakna daripada hitung absolutnya. Persentase

<25% adalah indikasi memulai terapi.9

Viral Load (VL)

VL pada darah perifer biasanya dipakai sebagai penanda alternatif untuk mengetahui laju

replikasi virus. Disebut alternatif, karena kebanyakan replikasi viral terjadi pada nodus limfatik,

daripada darah perifer. Tes ini dapat menyajikan data berupa amplifikasi RNA viral

menggunakan nucleic acid sequence-based   amplification (NASBA), atau reverse-transcription

 polymerase chain reaction  (RT-PCR). Akan tetapi, pemeriksaan VL kuantitatif tidak bisa

digunakan sebagai alat diagnosis, karena kemungkinan adanya positif palsu. Biasanya, VL

 berkaitan dengan laju progresi menjadi AIDS, walaupun kemampuan prediktabilitasnya masih

lebih inferior dari CD4. Dari literature, diketahui bahwa pasien dengan VL >30.000/μL memiliki

kemungkinan meninggal karena AIDS lebih tinggi daripada pasien terinfeksi HIV dengan VL

tidak terdeteksi.

Page 14: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 14/30

Dengan terapi ART (anti-retroviral) yang adekuat, VL dapat ditekan hingga mencapai tingkat

tidak terdeteksi (<20-75 kopi/ μL). Pada tingkatan ini, biasanya jumlah CD4 meningkat, dan

risiko infeksi oportunistik berkurang. Virologic Failure (VF) didefinisikan sebagai jumlah VL

yang secara persisten mencapai angka >200 kopi/ μL, walaupun sudah mendapatkan regimen

terapi yang adekuat.10

 Pemeriksaan HIV Sekunder

Kultur virus dapat digunakan pada pemeriksaan resistensi obat secara fenotipik, walaupun

sensitivitasnya berkurang seiring dengan menurunnya VL. Selain itu, pemeriksaan ini sangat

mahal. PCR untuk deteksi DNA proviral juga dapat dilakukan; namun hanya terbatas pada bayi

 baru lahir, karena populasi ini tidak bisa dites dengan pemeriksaan serologis (oleh karena adanya

antibodi maternal yang persisten hingga 9 bulan atau lebih). Sementara pemeriksaan genotipe

DNA/RNA virus digunakan untuk mengetahui mutasi dan membantu memilih terapi.

Temuan Histologis

Pemeriksaan PA dapat memberikan gambaran infeksi HIV atau AIDS, misalnya penampakan

nodus limfa yang mengalami kerusakan, hiperplasia, sel T multinuklear raksasa (khas pada HIV

ensefalopati), mikrogliosis, serta hilangnya gambaran folikuler dendritik yang normal.

Mikroskop elektron dapat menunjukkan keberadaan virion di dalam fagosom makrofaga.

 Pemeriksaan Infeksi Oportunistik

Pemeriksaan ko-infeksi oportunistik di bawah ini sebaiknya dilakukan dengan segera pada

 pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV.11

a.  PPD ( purified protein derivative) pada  skin test untuk TB/tuberkulosis, dilanjutkan

dengan foto toraks.

 b.  Cytomegalovirus (CMV) dengan tes serologi. Keberadaan IgG anti-CMV

mengindikasikan pasien yang pernah terpajan CMV. Lanjutkan dengan pemeriksaan

oftalmologi untuk mengevaluasi retinitis CMV pada hasil tes CD4 yang rendah.

c.  Sifilis dengan RPR (rapid plasma reagent). Hasil positif sebaiknya dilanjutkan dengan

 pungsi lumbal, terutama jika terdapat gejala neurologis.

Page 15: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 15/30

d.  Tes amplifikasi cepat untuk infeksi gonokokus dan klamidia. Pemeriksaan panggul

dilakukan pada wanita, untuk menyingkrkan kemungkinan trikomoniasis.

e.  Serologi hepatitis A, B, dan C dilakukan pada pasien untuk menentukan kebutuhan akan

vaksinasi dan mengevaluasi infeksi kronik. Pemeriksaan krusial lainnya adalah tes fungsi

liver.

f.  Antibodi anti-toksoplasma diukur untuk mengetahui kejadian toksoplasmosis, karena

 pada imunosupresi, reinfeksi dapat terjadi sewaktu-waktu. Pasien dengan infeksi

toksoplasma sebelumnya memerlukan profilaksis apabila CD4 berada dalam jumlah

<100/ µL.

g.  Pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya untuk mengetahui adanya diare, angiomatosis

 basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal,  pelvic inflammatory disease 

(PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia oral

(EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster.

 Pemeriksaan lainnya

Pemeriksaan lainnya, yaitu BUN, kreatinin serum, serta urinalisis lengkap, dilakukan untuk

mengetahui nefropati yang terasosiasi HIV. Skrining kimiawi serum dan obat-obatan dilakukan

untuk menyingkirkan etiologi metabolit atau infeksius lainnya.12

 Klasifikasi Hasil Pemeriksaan

CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi kategori sebagai berikut:

a.  Kategori A adalah infeksi HIV asimtomatik, tanpa adanya riwayat gejala maupun keadaan

AIDS.

 b.  Kategori B adalah terdapatnya gejala-gejala yang terkait HIV; termasuk: diare,

angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal,  pelvic inflammatory

disease  (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia

oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster.

c.  Kategori C adalah infeksi HIV dengan AIDS.

d.  Kategori A1, B1, dan C1 yaitu CD4 >500/ µL.

e.  Kategori A2, B2, dan C2 yaitu CD4 200-400/ µL.

f.  Kategori A3, B3, dan C3 yaitu CD4 <200/ µL.

Page 16: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 16/30

H. Tatalaksana HIV

 Agen Antiretroviral (ARV)13

Terapi Antiretroviral/ARV merupakan bagian dari  Integrated Management of Adolescence and

 Adult Illness (IMAI). Selain sebagai tatalaksana, saat ini terapi ARV juga dianggap sebagai suatu

 bentuk pencegahan.Terapi ARV yang baik pada ODHA akan menurunkan penyebaran HIV

hingga 92%.

 Pemilihan Terapi Antiretroviral 13,14

Terapi antiretroviral, sebaiknya, diberikan dalam bentuk kombinasi dan dipantau secara ketat

untuk mengevaluasi kemajuan terapi, munculnya efek samping, dan kemungkinan timbulnya

resistensi. Untuk memulai terapi ARV, perhatikan apakah pasien telah memenuhi syarat berikut

ini:

a. Jika tidak tersedia tes CD4, maka penentuan mulai terapi didasari oleh pemantauan klinis.

Stadium klinis tatalaksana HIV/AIDS dirangkum dalam tabel berikut.

Stadium 1a. Tidak ada gejala

 b. Limfadenopati generalisata persisten

Stadium 2

a. Penurunan berat badan <10% yang tidak diketahui penyebabnya

 b. ISPA berulang

c. Herpes zosterd. Keilitis angularis

e. Ulkus mulut berulang

f. Ruam papul yang gatal di kulit (PPE /Papular Pruritic Eruption)

g. Dermatitis seboroik

h. Infeksi jamur pada kuku

Stadium 3

a. Penurunan BB >10% yang tidak diketahui penyebabnya

 b. Diare kronis >1 bulan

c. Demam menetap idiopatik

d. Kandidiasis mulut menetap

e. Oral Hairy Leukoplakia

f. TB paru

g. Infeksi bakteri berat (pneumonia, empiema, meningitis, infeksi

Page 17: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 17/30

tulang/sendi, bakteremia, dll)

h. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, gingitivis atau periodontitis

i. Anemia idiopatik (<8 g/dL), neutropenia (<0,5x109/L)

 j. Trombositopenia kronik (<50x109/L)

Stadium 4

a. Sindrom wasting

 b. Pneumonia berulang

c. Infeksi HSV

d. Kandidiasis esofageal

e. TB ekstra-paru

f. Kaposi-Sarkoma

g. Infeksi CMV

h. Toksoplasmosis CNS

i. Ensefalopati HIV

 j. Infeksi kriptokokus ekstrapulmoner

k. Infeksi mycobacteria non-tuberkulosis

l. Leukoensefalopati multipel yang progresif

m. Kriptosporidiosis kronis

n. Isosporiasis kronis

o. Mikosis diseminata p. Septikemia yang berulang

q. Limfoma

r. Kankr serviks invasif

s. Leishmaniasis diseminata

t. Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatik

 b. Jika tersedia pemeriksaan CD4, lakukan:

1)  Mulai terapi ARV pada semua pasien HIV dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3  tanpa

memandang stadium klinis.

2)  Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien HIV dengan TB aktif, ibu hamil, dan

koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

c. Saat memulai terapi ARV pada ODHA dewasa:

Target Populasi Stadium Klinis Jumlah Sel CD4 Rekomendasi

Page 18: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 18/30

ODHA dewasa 1 dan 2 >350 sel/mm 

Belum mulai terapi.

Monitor gejala klinis

dan jumlah CD4

selama 12 bulan

<350 sel/mm 

Mulai terapi

3 dan 4 CD4 berapapun Mulai terapi

Ko-infeksi TB Apapun CD4 berapapun Mulai terapi

Ko-infeksi Hepatitis B

kronik aktif

Apapun CD4 berapapun Mulai terapi

Ibu hamil Apapun CD4 berapapun Mulai terapi

Infeksi oportunistik 4: Leukoensefalopati,

Kaposi, CMV,

Mikrosporidiosis,

Kriptosporidiosis

CD4 berapapun Mulai terapi ARV

langsung setelah

 penegakan diagnosis

infeksi

4: TB, PCP, MAC,

Kriptokokosis

CD4 berapapun Mulai terapi ARV 2

minggu setelah

antibiotik

Obat Antiretroviral 13,15

Obat antiretrovirus dapat dibagi menjadi lima golongan: 

1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)

UncoatingPenetration

Early protein synthesis

Nucleic acid synthesis

Late protein synthesis and processing

Packaging and assembly

adsorption

amantadine

purine or pyrimidine

analogs

Viral release

protease

inhibitors

Neuraminidase

inhibitors

Enfuvirtide

Page 19: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 19/30

 Reverse transcriptase (RT) merupakan pengubah RNA virus menadi DNA proviral

sebelum bergabung dengan kromosom hospes. NRTI merupakan suatu penghambat RT.

Oleh karena RT bekerja pada awal infeksi, NRTI juga bekerja pada tahap awal replikasi

virus HIV sehingga obat ini akan menghambat infeksi akut pada sel yang rentan, tetapi

hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV.

Obat NRTI akan jauh lebih efektif jika sehingga lebih efektif jika diberikan dalam

kombinasi dengan 3 atau 4 obat lainnya. Komplikasi utama golongan obat ini adalah

asidosis laktat dan hepatomegali berat dengan steanosis. Contoh obat golongan ini yaitu

zidovudin, didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, emtrisitabin, abakavir.

Zidovudin menghambat enzim RT HIV, setelah gugus azitomidin (AZT) pada zidovudin

mengalami fosforilasi untuk berikatan ke ujung rantai 3‟ virus dan menghambat rekasi

transkripsi terbalik. Monoterapi dengan zidovudin direkomendasikan sebagai profilaksis

transmisi HIV dari ibu ke anak. Semua obat lainnya di golongan ini bekerja pada HIV

RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

2. NtRTI (Nucleotide reverse Transcriptase Inhibitor)

Tenofovir disoproksil fumarat merupakan NtRTI pertama untuk terapi infeksi HIV-1.

Bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai

DNA virus. Obat ini digunakan dalam kombinasi dengan obat antiretrovirus lainnya.

Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilasi intraselular untuk menjadi

 bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap fosforilasi saja. Dengan ini, reaksi obat

menjadi lebih cepat dan konversinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna.

Contoh obat golongan ini adalah Tenofovir disoproksil. Kebanyakan digunakan untuk

infeksi HIV dalam kombinasi dengan efavirenz, tidak boleh dalam kombinasi dengan

lamivudin dan abakavir.

3. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)

Page 20: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 20/30

Merupakan penghambat enzim RT dengan cara berikatan di tempat yang dekat dengan

tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi situs aktif enzim. NNRTI

tidak   mengalami fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif, seperti NRTI dan NtRTI.

Golongan obat ini hanya efektif terhadap HIV-1,. Seluruh senyawa NNRTI

dimetabolisme oleh P450 sehingga memiliki kecenderungan untuk berinteraksi dengan

obat lain.

Contoh obat golongan ini adalah nevirapin, delavirdin, efavirenz. Cara kerjanya adalah

 pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT. Obat ini sering dipakai

dengan kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI dan NtRTI. 

4. PI ( Protease Inhibitor )

Golongan PI bekerja dengan berikatan dengan situs aktif HIV-protease secara reversibel.

HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan pelepasan poliprotein virus.

Hal ini menyebabkan terhambatnya pelepasan polipeptida prekursor virus oleh enzim

 protease, sehingga menghambat maturasi virus. Oleh karena itu, sel akan menghasilkan

 partikel virus yang imatur dan tidak virulen.

Resistensi terhadap PI, pada umumnya, terjadi akibat akumulasi mutasi gen protease.

Pada mulanya, terjadi resistensi tingkat rendah, namun berujung pada resistensi berat

yang menyebabkan resistensi silang dengan PI lainnya. 

Semua golongan PI dapat mengakibatkan efek samping gastrointestinal, seperti mual,

muntah, diare, dan paraestesia; serta intoleransi glukosa, diabetes, hiperkolestrolemia,

dan hipertrigliseridemia. Karena semua HIV-PI merupakan substrat dan inhibitor

sitokrom P450 yang banyak dipakai obat lain, interaksi sangat umum terjadi. Contoh

obat golongan ini ialah sakuinavir, ritonavir, indinavir, nelfinavir, amprenavir, lopinavir,

atazanavir.

Page 21: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 21/30

Sakuinavir bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease. Sedangkan semua obat

lainnya selain Sakuinavir merupakan HIV  protease peptidomimetic inhibitor .

Penggunaan obat ini adalah dikombinasikan dengan sesame PI atau bersama NRTI.

5. Viral Entry Inhibitor  

Obat seperti Enfuvitid bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Selain

enfuvirtid, bisiklam sedang dalam studi klinis saat ini. Golongan obat ini berkerja

dengan cara menghambat masuknya HIV ke sel melalui reseptor CXCR4. Enfuvirtid

 berikatan dengan bagian HR1 ( first heptad-repeat ) pada subunit gp41 envelope 

glikoprotein virus serta menghambat terjadinya perubahan konformasi yang dibutuhkan

fusi virus ke membran sel. Efek sampingnya adalah Pada umumnya, reaksi lokal seperti

nyeri, eritema, pruritus, iritasi, dan nodul/kista. Pernah dilaporkan adanya eosinofilia

dan pneumonia bakterial. Isolat kliniss yang resisten terhadap NRTI, NNRTI, atau PI

tetap peka terhadap enfuvirtid.

 Pemilihan Regimen Terapi14,15

Pemilihan regimen terapi tergantung pada efikasi virologis, toksisitas, biaya, frekuensi dosis dan

kepatuhan, potensi interaksi obat, hasil tes resistensi, dan kondisi komorbid. Terapi antiretroviral

tunggal atau kombinasi dua obat tidak direkomendasikan karena sangat potensial terjadi

resistensi obat. Pada pasien dengan diare, tidak usah khawatir jika diare masih persisten setelah

tatalaksana ARV sudah adekuat, karena keadaan ini umum diujumpai. Berikan tatalaksana diare

yang sama dengan tatalaksana non-ODHA.

Kombinasi dua NRTI dengan PI sangat kuat dan lama kemampuannya untuk menekan replikasi

virus. Kombinasi dua NRTI dengan satu NNRTI juga bagus untuk menekan virus serta

meningkatkan perbaikan imunologis. Kombinasi seperti ini juga sangat dianjurkan WHO untuk

negara dengan sumber daya kurang (limited resource) seperti di Indonesia.

Regimen ART yang diusulkan untuk Indonesia menurut Depkes RI tahun 2003 adalah:

A + B

A B

Page 22: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 22/30

 Nevirapine Zidovudin + Didanosin

 Nelfinavir Zidovudin + Lamivudin

Didanosin + Stavudin

Didanosin + Lamivudin

Sementara guideline DHHS 2011 memberikan standar regimen ARV sebagai berikut:

  Efavirenz/tenofovir/emtricitabine (EFV/TDF/FTC)

  Ritonavir-boosted atazanavir + tenofovir/emtricitabine (ATV/r + TDF/FTC)

  Ritonavir-boosted darunavir + tenofovir/emtricitabine (DRV/r + TDF/FTC)

  Raltegravir + tenofovir/emtricitabine

 Regimen Lini Pertama. Yang digunakan untuk ODHA yang belum mendapat terapi ARV

sebelumnya (treatment-naïve) ialah:

Populasi Target Rekomendasi Catatan

Dewasa dan Remaja

AZT/Zidovudin atau TDF/

Tenofovir + 3TC/Lamivudin

atau FTC/Emtrisitabin +

EFV/Evafirenz atau

 NVP/Nevirapin

Gunakan fixed dose

Ibu Hamil AZT + 3TC + EFV atau NVPEFV tidak boleh pada

trimester pertama.

Koinfeksi HIV/TBAZT atau TDF + 3TC atau

FTC + EFV

Mulai ARV setelah 6 minggu

terapi TB.

Koinfeksi HIV/HBVTDF + 3TC atau FTC + EFV

atau NVP

Diperlukan 2 terapi ARV yang

memiliki aktivitas anti-HBV

 Regimen Lini Ke-2. Rekomendasi Regimen lini 2 adalah 2 NRTI + boosted-PI (bPI). Regimen

lini kedua yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia dan disediakan secara gratis oleh

 pemerintah ialah TDF/AZT + 3TC + Lopinavir/Ritonavir (LPV/RTV).

Sebelum beranjak dari lini pertama ke lini kedua, perbaikan kepatuhan harus dilakukan terlebih

dahulu, barulah setelah itu cek ulang VL dan kriteria lainnya.

Page 23: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 23/30

Gagal Terapi ARV 1,14,15

Apabila setelah memulai terapi 6 bulan dengan kepatuhan yang tinggi dan tidak terjadi respon

terapi yang diharapkan, maka perlu dicurigai kemungkinan Gagal Terapi. Gagal terapi

menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis, imunologis, dan virologis. Jumlah virus (viral

load/VL) yang menetap di atas 5000 kopi/ml dapat mengkonfirmasi gagal terapi. Bila

 pemeriksaan VL tidak tersedia, gunakan kriteria imunologis untuk menentukan gagal terapi

secara klinis.

Kegagalan

TerapiKriteria Keterangan

Kegagalan

klinis

a. Terapi ARV telah berjalan selama

minimal 6 bulan.

 b. Kepatuhan pasien: 80%<N<95%

c. Ada interaksi obat yang menyebabkan

 penurunan kadar ARV darah

d. PPE atau Prurigo timbul kembali

e. Penurunan Hb >1g/dL

Selalu evaluasi kemungkinan

adanya interaksi obat.

Kriteria yang harus ada adalah (a),

(b), dan (c).

Kegagalan

imunologis

a. Penurunan CD4 kembali seperti awal

sebelum pengobatan

ATAU

 b. Penurunan sebesar 50% dari nilai CD4

tertinggi yang pernah dicapai

ATAU

c. Jumlah CD4 tetap < 100 sel/mm3 setelah

satu tahun pengobatan dengan ARV

WHO menyatakan bahwa jumlah

CD4 bukan merupakan prediktor

yang baik dalam menentukankegagalan pengobatan. Sekitar 8-

40% pasien yang memiliki

kegagalan imunologis, terbukti

masih dalam kondisi virological

 suppression dan tidak memerlukan

 perpindahan ke lini ke-2.

Kriteria (a) hanya bisa dipakai jika

ada data mengenai kriteria (b).

Kegagalan

virologis

a. Pasien telah terapi ARV minimal 6 bulan

 b. Pemeriksaan VL diulang setelah 4-8

minggu

c. VL >5000 kopi/ml

VL dapat digunakan sebagai

 prediktor kepatuhan minum obat.

VL diharapkan menjadi

undetectable (<50 kopi/ml) dalam

Page 24: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 24/30

waktu 6 bulan pengobatan.

 Profilaksis Infeksi Oportunistik 16

Profilaksis diberikan terutama jika pasien masuk ke kategori 3. Jika pasien berada dalam kategori

2 dan terus membaik (jumlah CD4-nya), maka pemberian profilaksis boleh dihentikan.

  Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX; Bactrim) untuk  Pneumocystisjiroveci dan

toksoplasma 

  Azitromsin atau klaritromisin mingguan untuk Mycobacterium avium 

 Pengobatan Infeksi Oportunistik 17

Pengobatan infeksi oportunistik sebaiknya langsung ditargetkan pada etiologi infeksinya. Jika

keadaan tidak memungkinkan, sebenarnya mengingkatkan jumlah CD4 dan mengurangi VL

sudah dapat menghilangkan risiko maupun komorbiditas infeksi oportunistik secara signifikan.

Khusus untuk TB, studi HAART menunjukkan bahwa risiko TB pada pasien tanpa trapi ARV

adalah sebanyak 2 kali lipat dari pasien yang telah mendapat ARV.

2.3 TB-HIV

1. Epidemiologi

Pasien HIV memiliki kemungkinan 20-37 kali lipat akan memiliki TB dibandingkan denganorang yang tidak memiliki infeksi HIV. TB adalah salah satu penyebab utama kematian pada

 pasien HIV secara global. Dari 1,7 juta orang yang meninggal karena TB tahun 2009, 400.000 di

antaranya adalah pasien HIV. Dari 9,4 juta kasus TB yang baru ditemukan tahun 2009, 1,2 juta

di antaranya adalah pasien HIV. Semakin tinggi prevalensi HIV di suatu daerah, semakin tinggi

 juga prevalensi koinfeksi HIV-TB pada penderita HIV di daerah tersebut.18

 

Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi

TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh pasien TB sebagai

 bagian dari penatalaksanaan rutin.19,20

  Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah,

konseling dan pemeriksaaan HIV hanya diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan

tanda-tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko

Page 25: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 25/30

tinggi terpajan HIV. Tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru

tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya :

a.  ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV

 b.  hasil pengobatan OAT tidak memuaskan

c.  MDR TB/TB kronik

2. Diagnosis

Diagnosis TB pada pasien dengan level CD4 yang sudah diketahui. Pemeriksaan minimal yang

 perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto

toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4. Gambaran penderita TB-HIV dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Infeksi dini (CD4>200/mm3) Infeksi lanjut (CD4<200/mm3)

Dahak mikroskopis Sering positif Sering negatif

TB ekstraparu Jarang Umum/banyak

Mikobakterimia Tidak ada Ada

Tuberkulin Positif Negatif

Foto toraks Reaktivasi Tb, kavitas di puncak Tipikal primer TB

milier/interstisial

Adenopati hilus/mediastinum Tidak ada Ada

Efusi pleura Tidak ada Ada

Tabel Manifestasi Klinis TB pada pasien HIV19

 

Terdapat perbedaan manifestasi klinis antara pasien TB-HIV dengan infeksi HIV dini dan infeksi

lanjut. Oleh karena itu, dibutuhkan pula pendekatan klinis yang berbeda untuk mendiagnosisnya.

Selain itu, apabila dibandingkan dengan pasien TB non-HIV, hasil BTA lebih sering negatif, foto

 polos lebih sering atipikal, dan TB lebih sering ekstraparu. Hal ini diakibatkan oleh sistem imun

Page 26: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 26/30

yang sudah terganggu sehingga reaksi imun terhadap TB berbeda dari orang biasa. Oleh karena

itu, penting untuk mengetahui karakteristik TB-HIV ini.

Diagnosis HIV pada pasien TB

Apabila seorang pasien sudah didiagnosis menderita TB, maka terdapat juga gambaran klinis

 penderita HIV, seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Riwayat faktor risiko Tanda Gejala

PMS Penurunan berat badan (>10kg

atau >20% berat badan semula)

Scar pada herpes zoster

Herpes zoster Diare (>1 bulan) Sarkoma Kaposi

Pneumonia (rekurens/tidak) Nyeri retrosternal saat menelan

(candidiasis esofageal)

Candidiasis oral

Infeksi bakteri yang parah Sensasi terbakar pada kaki

(neuropati sensori perifer)

Limfadenopati generalisata

simteris

TB yang baru ditatalaksana Ulkus genital persisten

Tabel Gambaran klinis infeksi HIV19

 

3. Tatalaksana

Untuk daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi dan dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV,

konseling dan pemeriksaan HIV sangat diperlukan untuk seluruh kasus TB sebagai bagian dari

 penatalaksanaan rutin. Daerah dengan prevalensi yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV

diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan gejala HIV atau dengan riwayat risiko tinggi

terpajan HIV.20

 

Terapi dengan Anti Retro Viral (ARV) dapat menurunkan laju sampai sebesar 90% pada tingkat

individu dan sebesar 60% pada tingkat populasi, selain itu mampu menurunkan rekurensi TB

sebesar 50%. Prinsip pengobatan OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan pengobatan

TB tanpa HIV/AIDS, yaitu kombinasi beberapa jenis obat dengan dosis dan waktu yang tepat.

Pasien TB-HIV yang tidak mendapatkan respon pengobatan, harus dipikirkan adanya resistensi

atau malabsorbsi obat sehingga dosis yang diterima tidak cukup untuk terapi. Strategi WHO

Konsep The Three I‟s untuk TB/HIV20

 

Page 27: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 27/30

1.  IPT ( Isoniazid Preventif Treatment ) jika ada indikasi

2.  ICF ( Intensified Case Finding ) untuk menemukan kasus TB aktif

3.  IC ( Infection Control ) untuk mencegah dan pengendalian infeksi TB di tempat pelayanan

kesehatan

Tabel Obat ARV20,21

 

 No. Jenis Obat Dosis

A. Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor (NRTI)

1. Abakavir (ABC) 300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari

2. Didanosin (ddI) 250 mg 1x/hari (BB<60 kg)

3. Lamivudin (3TC) 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari

4. Stavudin (d4T) 40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60 kg)

5. Zidovudin (ZDV atau AZT) 300 mg 2x/hari

B. Nukleotida

1. Tenofir (TDF) 300 mg 1x/hari

C. Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor‟s (NNRTI) 

1. Efavirenz (EFV) 600 mg 1x/hari

2. Nevirapine (NVP) 200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200 mg 2x/hari

D. Protease Inhibitor

1. Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg/100 mg 2x/hari

2. Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg 2x/hari

3. Nelfinavir (NFV) 1250 mg 2x/hari

4. Saquinavir/ritonavir

(SQV/r)

1000 mg/100 mg 2x/hari atau 1600 mg/200 mg 1 x/hari

5. Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100 mg. Larutan oral 400 mg/5 ml

** Ritonavir dipakai sebagai booster untuk PI lainnya

Pada pemeriksaan HIV penderita TB yang memberikan hasil positif, rekomendasi penggunaan

terapi ARV adalah: 20,21

 

1.  Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi. Secepatnya 2

minggu dan tidak lebih dari 8 minggu, berapapun jumlah CD4.

Page 28: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 28/30

2.  Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV selama dalam

terapi TB. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir dan nevirapin. Obat yang dapat

digunakan AZT atau TDF + 3TC + EFV. Setelah OAT selesai, EFV dapat diganti dengan

 NVP.

Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-infeksi TB-HIV,

 potensi menurunkan transmisi bila semua pasien HIV memulai terapi ARV lebih cepat,

meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan kekambuhan TB.

Tabel 2. Panduan Pengobatan ARV pada ODHA yang kemudian muncul TB aktif 20,21

 

Pilihan

Obat

Panduan Pengobatan ARV

pada waktu TB terdiagnosis

Pilihan obat ARV

Lini pertama 2NRTI+EFV Teruskan dengan 2 NRTI+EFV

2NRTI+NVP Ganti dengan 2 NRTI+EFV atau tetap

teruskan 2 NRTI+NVP. Tripel NRTI

dapat digunakan bila EFV dan NVP tidak

dapat digunakan.

Lini kedua 2 NRTI+PI/r Dianjurkan menggunakan OAT tanpa

rifampisin. Jika rifampisin perludigunakan maka gunakan LPV/r dengan

dosis 800 mg/200 mg 2x/hari. Perlu

evaluasi fungsi hati ketat

Page 29: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 29/30

DAFTAR PUSTAKA

1.  Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders.

In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors.

 Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th

  ed. The United States of America:

McGraw-Hill

2.  Ditjen PP & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2009

3.  Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI 2002.

4.  UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary.

Geneva. 2010.

5.  Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds.  Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

6.  Djuanda A., Penyakit Kelamin AIDS (Aqcuired Immuno Deficincy Syndrome) Dalam Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke-4. Jakarta : Fakultas kedokteran Universitas Indonesia

: 2005

7.  U.S. Preventive Services Task Force. Screening for HIV. Available at

http://www.uspreventiveservicestaskforce.org/uspstf/uspshivi.htm. Accessed June 16, 2011.

8.  [Guideline] Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Hopkins R Jr, Owens DK. Screening for HIV

in health care settings: a guidance statement from the American College of Physicians and

HIV Medicine Association. Ann Intern Med . Jan 20 2009;150(2):125-31.

9.  Hull MW, Rollet K, Odueyungbo A, Saeed S, Potter M, Cox J, et al. Factors Associated

With Discordance Between Absolute CD4 Cell Count and CD4 Cell Percentage in Patients

Coinfected With HIV and Hepatitis C Virus. Clin Infect Dis. Jun 2012;54(12):1798-1805

10. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of

antiretroviral agents in HIV-1-infected adults and adolescents. Department of Health and

Human Services. January 10, 2011; 1-174. Accessed June 16, 2011. Available at

http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/ AdultandAdolescentGL.pdf . 

11. Hoffmann CJ, Brown TT. Thyroid function abnormalities in HIV-infected patients. Clin

 Infect Dis. Aug 15 2007;45(4):488-94.

Page 30: Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

7/22/2019 Makalah+Seminar+Tuberkulosis Penting

http://slidepdf.com/reader/full/makalahseminartuberkulosis-penting 30/30

12.  Lee PL, Yiannoutsos CT, Ernst T, Chang L, Marra CM, Jarvik JG, et al. A multi-center 1H

MRS study of the AIDS dementia complex: validation and preliminary analysis.  J Magn

 Reson Imaging . Jun 2003;17(6):625-33.

13. Louisa M, Setiabudy R. Antivirus. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth,

editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 1995.

14. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa dan Remaja.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.

15. Konsorsium Upaya Kesehatan Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran:

Tatalaksana HIV/AIDS. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.

16. Spector SA, McKinley GF, Lalezari JP, Samo T, Andruczk R, Follansbee S, et al. Oral

ganciclovir for the prevention of cytomegalovirus disease in persons with AIDS. Roche

Cooperative Oral Ganciclovir Study Group. N Engl J Med . Jun 6 1996;334(23):1491-7.

17. Impact of antiretroviral therapy on tuberculosis incidence among HIV-positive patients in

high-income countries. Clin Infect Dis. May 2012;54(9):1364-72.

18. WHO. The Three I's for HIV/TB. Diunduh dari

http://www.who.int/hiv/topics/tb/3is/en/index.html tanggal 7 November 2012 jam 20.00

19. International Standard for Tuberculosis Care.

20. PDPI. Tuberculosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011

21. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi

HIV dan Terapi Retroviral pada Orang Dewasa. 2011