Makalah Tps Tpa Regional Payakumbuh Fix

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Buangan padat atau sampah adalah segala sesuatu yang tidak diinginkan keberadaannya oleh manusia pada waktu tertentu. Pada awalnya sampah tidaklah menjadi masalah bagi manusia dan lingkungan karena sampah yang dibuang ke tanah masih dapat diolah sendiri oleh alam, sebab jumlah manusia yang membuang sampah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dari luas area tanah penerimanya. Selain itu sampah yang dihasilkan pun masih banyak yang bersifat dapat membusuk (Tchobanoglous, 1993). Sampah menurut SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan didefenisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri atas zat organik dan zat anorganik yang tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak mengganggu lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah umumnya dalam bentuk sisa makanan (sampah dapur), daun-daunan, ranting, karton/kertas, plastik, kain bekas, kaleng-kaleng, debu sisa penyapuan dan sebagainya. 2.1.1 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan

Transcript of Makalah Tps Tpa Regional Payakumbuh Fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Buangan padat atau sampah adalah segala sesuatu yang tidak diinginkan keberadaannya oleh manusia pada waktu tertentu. Pada awalnya sampah tidaklah menjadi masalah bagi manusia dan lingkungan karena sampah yang dibuang ke tanah masih dapat diolah sendiri oleh alam, sebab jumlah manusia yang membuang sampah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dari luas area tanah penerimanya. Selain itu sampah yang dihasilkan pun masih banyak yang bersifat dapat membusuk (Tchobanoglous, 1993).

Sampah menurut SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan didefenisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri atas zat organik dan zat anorganik yang tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak mengganggu lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah umumnya dalam bentuk sisa makanan (sampah dapur), daun-daunan, ranting, karton/kertas, plastik, kain bekas, kaleng-kaleng, debu sisa penyapuan dan sebagainya.

2.1.1 Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik.

Selama ini masih banyak persepsi keliru tentang TPA yang lebih sering dianggap hanya merupakan tempat pembuangan sampah. Hal ini menyebabkan banyak Pemerintah Daerah masih merasa saying untuk mengalokasikan pendanaan bagi penyediaan fasilitas di TPA yang dirasakan kurang prioritas dibanding dengan pembangunan sektor lainnya .

Pembuangan sampah mengenal beberapa metoda dalam pelaksanaannya yaitu:

1. Open Dumping Open dumping atau pembuangan terbuka merupakan cara pembuangan sederhana dimana sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi; dibiarkan terbuka tanpa pengamanan dan ditinggalkan setelah lokasi tersebut penuh. Masih ada Pemda yang menerapkan cara ini karena alasan keterbatasan sumber daya (manusia, dana, dll).

Cara ini tidak direkomendasikan lagi mengingat banyaknya potensi pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkannya seperti:

a. Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus, dll;

b. Polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan;

c. Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul;

d. Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor.

2. Control Landfill Metoda ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA.

Di Indonesia, metode control landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota sedang dan kecil. Untuk dapat melaksanakan metoda ini diperlukan penyediaan beberapa fasilitas diantaranya:

a. Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan;

b. Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan;

c. Pos pengendalian operasional;

d. Fasilitas pengendalian gas metan;

e. Alat berat.

3. Sanitary Landfill Metode ini merupakan metode standar yang dipakai secara internsional dimana penutupan sampah dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan yang timbul dapat diminimalkan. Namun demikian diperlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup mahal bagi penerapan metode ini sehingga sampai saat ini baru dianjurkan untuk kota besar dan metropolitan.

Besarnya potensi yang dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan maka pemilihan lokasi TPA harus dilakukan dengan seksama dan hati-hati. Hal ini ditunjukkan dengan persyaratan lokasi TPA yang tercantum dalam SNI tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah; yang diantaranya dalam kriteria regional dicantumkan:

a. Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, daerah rawan longsor, rawan gempa, dll);

b. Bukan daerah rawan hidrogeologis yaitu daerah dengan kondisi kedalaman air tanah kurang dari 3 meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat dengan sumber air (dalam hal tidak terpenuhi harus dilakukan masukan teknologi);

c. Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan lebih dari 20%);

d. Bukan daerah rawan terhadap kegiatan penerbangan di Bandara (jarak minimal 1,5 3 km);

e. Bukan daerah/kawasan yang dilindungi.

Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang meliputi:

1. Prasarana Jalan Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA. Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi.

Konstruksi jalan TPA cukup beragam disesuaikan dengan kondisi setempat sehingga dikenal jalan TPA dengan konstruksi:

a. Hotmix;

b. Beton;

c. Aspal;

d. Kayu.

Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan:

a. Jalan masuk/akses; yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang telah tersedia;

b. Jalan penghubung; yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lain dalam wilayah TPA;

c. Jalan operasi/kerja; yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju titik pembongkaran sampah.

Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya jalan penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja/operasi.

2. Prasarana Drainase Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah. Seperti diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang dihasilkan. Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah akan semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan yang pada gilirannya akan memperkecil kebutuhan unit pengolahannya.

Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air hujan dari luar TPA agar tidak masuk ke dalam area timbunan sampah. Drainase penahan ini umumnya dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain itu, untuk lahan yang telah ditutup tanah, drainase TPA juga dapat berfungsi sebagai penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan sampah tersebut. Untuk itu permukaan tanah penutup harus dijaga kemiringannya mengarah pada saluran drainase.

3. Fasilitas Penerimaan Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang datang, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah. Pada umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA. Pada TPA besar dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50 ton/hari maka dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan ketepatan pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos tersebut sekaligus sebagai kantor TPA sederhana dimana kegiatan administrasi ringan dapat dijalankan.

4. Lapisan Kedap Air Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang terbentuk di dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Untuk itu lapisan ini harus dibentuk di seluruh permukaan dalam TPA baik dasar maupun dinding.

Bila tersedia di tempat, tanah lempung setebal + 50 cm merupakan alternatif yang baik sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak dimungkinkan, dapat diganti dengan lapisan sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya yang relatif tinggi.

5. Fasilitas Pengamanan Gas Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida dan metan dengan komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang sangat sedikit jumlahnya. Kedua gas tersebut memiliki potensi besar dalam proses pemanasan global terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer. Untuk itu perlu dipasang pipa-pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi tanah penutup TPA. Tanah penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan global.

6. Fasilitas Pengamanan Lindi Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan baik.

Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas pengumpul lindi yang dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran pengumpul maupun pengaturan kemiringan dasar TPA; sehingga lindi secara otomatis begitu mencapai dasar TPA akan bergerak sesuai kemiringan yang ada mengarah pada titik pengumpulan yang disediakan.

Tempat pengumpulan lindi umumnya berupa kolam penampung yang ukurannya dihitung berdasarkan debit lindi dan kemampuan unit pengolahannya. Aliran lindi ke dan dari kolam pengumpul secara gravitasi sangat menguntungkan; namun bila topografi TPA tidak memungkinkan, dapat dilakukan dengan cara pemompaan.

Pengolahan lindi dapat menerapkan beberapa metode diantaranya: penguapan/evaporasi terutama untuk daerah dengan kondisi iklim kering, sirkulasi lindi ke dalam timbunan TPA untuk menurunkan baik kuantitas maupun kualitas pencemarnya, atau pengolahan biologis seperti halnya pengolahan air limbah.

7. Alat Berat Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer, excavator dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam operasionalnya.

Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan pemadatan tetapi kurang dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat efisien dalam operasi penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah. Sementara loader sangat efisien dalam pemindahan baik tanah maupun sampah tetapi kurang dalam kemampuan pemadatan.

Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau excavator, sementara TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis alat berat tersebut.

8. Penghijauan Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya adalah: peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau dan lalat yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu mempertimbangkan letak dan jarak kegiatan masyarakat di sekitarnya (permukiman, jalan raya, dll).9. Fasilitas Penunjang Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian TPA yang baik diantaranya: pemadam kebakaran, mesin pengasap (mist blower), kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain.

2.1.2 TPA Regional Payakumbuh

Payakumbuh merupakan salah satu daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Sumatera Barat. Inovasi dalam bidang sanitasi, pengelolaan sampah, pasar tradisional sehat, pembinaan pedagang kaki lima, dan drainase perkotaan mengantarkan kota ini meraih penghargaan Inovasi Managemen Perkotaan (IMP) pada 2012, Indonesia Green Regional Award (IGRA), Kota Sehat Wistara, dan sederet pengharaan lainnya.

Secara geografis wilayah Kota Payakumbuh terletak antara 0 10' sampai 0 17' LS dan 100 sampai 100 42' BT dengan luas wilayah 80,43 km2 dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

a. Batas Utara: Kabupaten 50 Kota

b. Batas Selatan: Kabupaten 50 Kota

c. Batas Timur: Kabupaten 50 Kota

d. Batas Barat: Kabupaten 50 Kota

Beranjak dari persoalan limbah, Pemko Payakumbuh membidik persoalan sampah. Bagaimanapun, sampah yang tidak terurus dengan baik, akan berdampak terhadap kualitas air dan resapan air. Maka langkah awal yang dilakukan Pemko Payakumbuh adalah menangani sampah pasar tradisional di tengah kota. Sampah-sampah itu, baik sampah basah maupun sampah kering, dipilah dengan melibatkan pedagang. Sampah-sampah basah yang berpotensi menjadi pupuk, dikirim ke pabrik pupuk organik yang dibangun di kawasan Pasar Ibuah. Setelah menjadi pupuk, sampah organik tadi kepada petani dengan harga murah, tapi tetap mendatangkan pendapatan buat daerah. Sampah kering atau sampah anorganik yang gagal didaur ulang karena keterbatasan teknologi, tetap dikumpulkan oleh pedagang atau petugas kebersihan Payakumbuh. Setelah terkumpul, sampah kering tadi dijual kepada para pedagang barang bekas yang diorganisir secara resmi oleh pemerintah kota. Tidak berhenti sampai di situ, Pemko Payakumbuh yang menerapkan menerapkan sistemreuse,reduce, danrecycle(3R) dalam pengelolaan sampah, membangun bank sampah di sekolah-sekolah. Hasilnya, bukan hanya sampah di lingkungan sekolah yang terkumpul. Siswa-siswi terdidik pula menjaga kebaikan alam dan punya semangat kewirausahaan yang sudah lama menjadi karakter masyarakat Minangkabau.

Pemko Payakumbuh menyediakan lahan kosong yang berada jauh dari pemukiman penduduk, untuk dijadikan sebagai TPAS. Lahan kosong itu berada Kelurahan Kapalokoto, Nagari Auakuniang, Kecamatan Payakumbuh Selatan, tidak jauh dari lokasi TPAS Ampangan. Setelah lahan tersedia, Pemko Payakumbuh memancing Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk peduli terhadap persoalan sampah perkotaan. Hasilnya, melalui sebuah konsep yang dinamakan dengan regional managemen atau kerjasama antar daerah, Payakumbuh berhasil membangun sebuah Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPA Regional). Sesuai namanya, TPA Regional itu tidak hanya dijadikan tempat pembuangan sampah dari Kota Tapi Payakumbuh. Tetapi juga menampung sampah dari kabupaten/kota lain di Sumatera Barat, yakni Kota Bukitinggi, Kota Padangpanjang, Kota Sawahlunto, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanahdatar. Sama dengan sampah pasar, sampah di TPA Regional Payakumbuh juga dipisah. Sampah basah, dijadikan sebagai pupuk organik dan dijual dengan harga miring kepada petani.

Untuk mengoperasionalkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah regional di kelurahan Kapolo Koto, Kecamatan Payakumbuh Selatan, kini pemko Payakumbuh tengah menunggu turunnya kebijakan pemerintah provinsi Sumbar berkait pengelolaannya dan tanggung jawab kota dan kabupaten lain yang ikut memanfaatkan. Sesuai rencana, TPA regional Payakumbuh, akan menampung sampah-sampah dari Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Limapuluh Kota, Kota Padangpanjang, Kota Bukittinggi, selain sampah dalam daerah Kota Payakumbuh sendiri. Keenam daerah dengan difasilitasi pemprov, sudah membuat perjanjian kerjasama antar daerah, sesuai dengan payung hukum yang ada.

TPA regional itu berluaskan lebih kurang 8 hektar. Dibangun dengan dana APBN sebesar Rp 22 miliar. Selain itu, yang juga termasuk pikiran pemko adalah tentang jalan masuk menuju ke lokasi TPA sepanjang kurang lebih 2 kilometer. Mengingat pekerjaan pembanguan jalan itu sangat berat, maka pembangunannya diharapkan juga tak lepas dari tanggung jawab pemrov Sumbar karena memakan biaya tinggi sehingga tak mampu didanai oleh APBD kota ini.

Selain persoalan jalan menuju TPA regional yang belum terjawab, kendala lain yang berpotensi menghadang, di antaranya eselonering UPTD TPA regional tersebut. Dengan bobot kerja TPA regional yang cukup berat, maka penanganannya butuh tenaga profesional, dan pejabat yang ditunjuk harus memahami benar bidang yang dipercayakan.

BAB IIIPEMBAHASAN3.1 Identifikasi TPA Regional PayakumbuhTPA (Tempat Pembuangan Akhir) Regional Payakumbuh terletak di Kelurahan Kapalo Koto, Kecamatan Payakumbuh Selatan. Awalnya TPA Regional ini direncanakan akan dibangun di Baso, Kabupaten Agam. Akan tetapi lokasi ini tidak layak secara teknis sehingga dipindahkan ke Payakumbuh dengan lahan seluas 8 Ha dari 17 Ha lahan dari Pemerintahan Kota Payakumbuh yang sudah direncanakan untuk lahan TPA. Pengoperasian TPA Regional ini mulai dilakukan sejak Januari 2013. Sebelumnya pengoperasian TPA telah dilakukan oleh Pemerintahan Kota Payakumbuh, akan tetapi tidak sesuai dngan prosedur karena kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM).

Pembangunan TPA Regional ini dilaksanakan mulai tahun 2009 hingga 2011 dengan bantuan dana dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Periode desain TPA ini yaitu 20 tahun dengan melakukan proses pemilahan sampah terlebih dahulu. Akan tetapi, sampah yang masuk ke TPA masih belum dipilah. Direncanakan pada tahun 2014 akan ditambah unit pemilahan sampah yaitu alat conveyor dan penambahan jumlah pegawai. Hingga saat ini, jumlah pegawai TPA Regional ini berjumlah 13 orang, termasuk security. Mengacu kepada UU no 18 tahun 2008, yaitu setiap pemerintahan kota/ kabupaten dilarang untuk melakukan sistem pemrosesan sampah secara open dumping, sehingga TPA Regional Payakumbuh melakukan sistem operasional sanitary landfill dengan penimbunan setiap hari.Akan tetapi, pada saat kunjungan lapangan alat pengurug sedang dalam perbaikan dan sampah yang ada dibiarkan terbuka.

TPA Regional ini direncanakan akan melayani lima kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Barat, meliputi Kota Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kota Bukitinggi, Kota Padang Panjang, Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar. Akan tetapi hingga saat ini sampah yang masuk ke TPA Regional hanya berasal dari Kota Payakumbuh dan Bukittnggi sebanyak 80 truk/ hari. Hal ini disebabkan belum ditandatanganinya kontrak dengan kabupaten/kota yang lain terkait masalah dana.3.2 Kondisi Eksisting TPA Regional Payakumbuh

3.2.1 Sketsa Area Siteplan

Gambar 3.1 Denah siteplan TPA Regional Payakumbuh

3.2.2 Timbulan SampahSampah yang dihasilkan terdiri dari berbagai jenis sampah, seperti sambah makanan, sampah dapur dan lainnya dengan total sampah yang masuk adalah 80 truk/ hari dengan volume kecil dari 800 m3 karena baru Kota Payakumbuh dan Bukittinggi yang menandandatangani program kerjasama ini. Sampah yang masuk belum dipilah antara organik dan anorganik karena masih belum ada alat pemilahan. Direncanakan tahun 2014 akan ditambah unit conveyor yang membantu proses pemilhan sampah dengan melakukan penamabahan pegawai.3.2 Kondisi Eksisting TPA Regional Payakumbuh3.2.1 Operasional TPATPA regional Payakumbuh ini melayani 5 kabupaten kota yaitu Tanah Datar, Bukuttinggi, Agam, Payakumbuh, Padang Panjang dan Lima Puluh Kota. Akan tetapi terkait dengan permasalahan retibusi dan kontrak perjanjian yang belum jelas maka pelayanan TPA ini hanya mencakup Bukittinggi dan Payakumbuh sekarang ini. TPA Regional ini beroperasi selama 24 jam dengan menerima sampah sebanayk 80 truk/hari. Sampah yang masuk akan ditimbang terlebih dahulu, kemudian sampah dibawa ke landfill untuk di buang. Setelah itu truk yang kosong kembali ditimbang untuk mengetahui berat truk sehingga dapat dihitung berat sampah yang masuk. Kemudian sampah akan diurug setiap hari dengan menggunakan tanah yang berasal dari bukit khusus sebagai penutup lahan. Terdapat 13 orang pekerja, termasuk security di TPA ini. Pekerja diberi atribut lengkap sehingga dapat membedakanya dengan tamu atau orang lain. Masyarakat yang akan mengambil lindi diwajibkan untk melapor di pos jaga yang berada di pintu masuk TPA.

Gambar 3.2 Bagan Alur Sampah TPA Regional Payakumbuh3.2.2 Konstruksi TPA

Pembangunan TPA regional Payakmbuh ini meliputi beberapa material seperti beton, bata, pasir pada pembangunan gedung-gedung di sekitar TPA serta tempat dilakukannya penimbangan dan penyimpanan alat-alat berat untuk operasional. Selain itu pada landfill digunakan lapisan geomembran yang dikenal dengan Flexible Membrane Liner (FML). Jenis liner ini dibuat dari bermacam-macam material plastik termasuk polyvinyl chloride (PVC) dan high density polyethylene (HDPE). Jenis liner ini tahan terhadap sejumlah besar bahan kimia dan kedap air (impermeable). Di Ohio, HDPE geomembran harus memiliki ketebalan minimimal 15 mm untuk landfill sampah kota. Geomembran dan geokomposit digunakan sebagai lapisan penghalang untuk mencegah masuknya lindi ke dalam air tanah.

Salah satu jenis geomembran yang banyak digunakan adalah Carbofol. Carbofol merupakan jenis geomembran yang terbuat dari HDPE dan diproduksi dengan beragam ketebalan lapisan, yaitu 1,5 mm 3 mm. Carbofol biasanya digunakan sebagai pelapis dasar untuk melindungi air tanah dari kontaminasi pencemar.

Untuk melindungi air tanah biasanya digunakan Carbofol dengan ketebalan 1,5 mm bahkan lebih tipis lagi. Carbofol ini tahan lama, dan tahan terhadap zat-zat kimia serta radiasi sinar UV. Jenis Carbofol dengan permukaan seperti kaca memiliki kelebihan karena dapat memperlihatkan kebocoran yang terjadi sehingga dapat dilakukan perbaikan dengan segera. Selain itu Carbofol juga mudah, cepat, dan efisien dalam pemasangan.

3.2.3 Instalasi Pengolahan Lindi TPA

Instalasi pengolahan air lindi di TPA regional Payakumbuh ini meliputi kolam pengumpul (Equalisasi), anaerobik, maturasi dan wetland. 1. Kolam Pengumpul

Kolam pengumpul pada IPL ini berguna untuk menampung air lindi yang berasal dari landfill agar diolah selanjutnya di IPL. Sehingga meminimalisasi terjadinya pencemaran langsung air lindi pada badan air.

2. Kolan anaerobik

Pengolahan dengan sistem anaerobik dilakukan pada kondisi tanpa kehadiran oksigen atau dengan kondisi oksigen dapat diabaikan. Sistem pengolahan anaerob menghasilkan produk akhir berupa CO2 dan CH4, penguraian secara anaerob dapat mereduksi BOD 50-90% (Winarto, 1986).

Dalam proses ini dapat terbentuk H2S, NH3, dan CH4 yang menyebabkan bau busuk. Proses anaerobik berjalan lebih lambat daripada proses aerob, karena pada proses anaerob terbentuk senyawa antar lain asam asetat atau asam lemak, sedangkan pada proses aerob bahan organik terurai sempurna menjadi CO2 dan H2O.

3. Kolam maturasi (Aerobic)

Fungsi utama kolam maturasi adalah untuk merombak sludge disamping itu juga untuk menentukan kualitas effluen pada tingkat akhir. Kolam maturasi seluruhnya bersifat aerob dan dapat dipertahankan sampai kedalaman 3 meter. Pada dua seri kolam maturasi masing-masing mempunyai kisaran waktu 7 hari. Waktu tersebut dibutuhkan untuk menurunkan BOD menjadi 25% .4. Kolam wet land

Constructed wetland merupakan suatu rawa buatan yang di buat untuk mengolah air limbah domestik, untuk aliran air hujan dan mengolah lindi (leachate) atau sebagai tempat hidup habitat liar lainnya.

Di TPA ini pada kolam wetland di masukkan/ ditanam eceng gondok yang bekerja untuk mengurangi zat-zat pencemar yang ada. Pengolahan lindi terjadi ketika air lindi melewati akar tanaman, kemudian air lindi akan diserap oleh akar tanaman dengan bantuan bakteri

Gambar 3.3 Denah Instalasi Pengolahan Lindi TPA Regional Payakumbuh

3.3 Permasalahan di TPA Regional Payakumbuh

3.3.1 Aspek teknis operasionalPada TPA Regional Payakumbuh ini terdapat beberapa permasalah dalam pengoperasiannya sehingga keberlangsungan pengelolaan samaph di TPA ini terhambat. Adapun masalah yang dihadapi saat ini yaitu kurangnya peralatan-peralatan yang sangat dibutuhkan dalam pengoperasian TPA ini. Ada beberapa peralatan yang saat ini masih rusak bahkan belum dimiliki oleh TPA Regional Payakumbuh ini, peralatan ini meliputi:

1. Alat pemilah (conveyor)Alat pemilah ini masih belum ada di TPA Regional Payakumbuh, sehingga sampah yang masuk ke TPA sama sekali belum dipilah dan masih tercampur antara sampah organik dan sampah anorganik bahkan dengan limbah B3.

2. Alat pengeruk tanah

Alat pengeruk sampah di TPA Regional Payakumbuh ini saat ini sedang rusak sehingga operasi di TPA ini yang seharusnya sampah ditimbun setiap hari, untuk saat ini sampah dibiarkan saja sebab kerusakan alat ini.

3. Alat pengolah kompos

Pada TPA Regional Payakumbuh ini belum terdapat alat pengolah kompos sehingga belum dilakukan proses komposting.

Selain masalah di atas ada beberapa masalah teknis lain yang terdapat di TPA ini yaitu masalah mengenai pengolahan air lindi dan gas metan. Di TPA Regional Payakumbuh ini pengolahan air lindi sudah dilkukan namun belum optimal sebab kolam lindi yang terdapat di TPA ini hanya berjumlah 4 dimana outlet yang dihasilkan sewaktu-waktu masih melebihi ambang batas yang ditentukan. Selain itu, untuk pengolahan gas metan belum ada dilakukan penglahan di TPA Regional Payakumbuh ini, sehingga gas metan masih dibakar dan dibiarkan lepas ke udara bebas.

3.3.2 Aspek Non Teknis

1. Aspek Pembiayaan

Salah satu permasalahan yang paling besar di TPA ini adalah dalam pembiayaan, dimana dalam pengoperasian TPA ini memerlukan biaya yang cukup tinggi sehingga operasional TPA ini terganggu karena kekurangan biaya.2. Aspek Pemerintah

Dalam pengoperasian TPA ini tidak terlepas juga dengan peranan lembaga terkait demi kelancaran pelaksanaan dari TPA itu sendiri. TPA Regional Payakumbuh ini melayani 5 daerah, namun masih ada beberapa daerah yang belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat dalam penganan sampah sehingga sampah yang ada di daerah tersebut belum terdistribusi ke TPA ini.3. Aspek Peran Serta Masyarakat

Untuk peran masyarakat itu sendiri jika dilihat dari jumlah sampah yang masuk ke TPA ini, dapat disimpulkan bahwa masyarakat kurang berperan aktif dalam pengelolaan sampah ini, hal tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat tidak melakukan pemilahan terlebih dahulu di sumber untuk mereduksi jumlah sampah yang masuk ke TPA, sehingga sampah yang masuk ke TPA masih tercampur.

3.3.3 Rekomendasi Perbaikan

Berdasarkan permasalah di atas maka dapat diberikan beberapa rekomendasi untuk perbaikan pengoperasian di TPA Regional Payakumbuh, antara lain:

1. Melakukan perbaikan pada peralatan yang rusak dan mengusahakan semaksimal mungkin untuk menambah peralatan yang dianggap berperan penting dalam pengoperasian sampah di TPA Regional Payakumbuh ini;2. Menerapkan teknologi yang dapat memanfaatkan gas metan menjadi energi;3. Melakukan perbaikan atau penambahan kolam lindi agar effluent yang dihasilkan tidak menimbulkan dampak besar bagi lingkungan;4. Melakukan penelitian secara berkala mengenai effluent yang dihasilkan;5. Untuk pemerintah dan lembaga terkait agar dapat mendukung kelancaran dari pengoperasian TPA Regional Payakumbuh ini;6. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah sehingga jumlah sampah yang masuk ke TPA berkurang.BAB IVPENUTUP4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah:

1. TPA Regional Payakumbuh terletak di Keluarahan Kapalo Koto, Kecamatan Payakumbuh Selatan dengan luas 8 Ha dari 17 Ha yang telah disediakan Pemko Payakumbuh untuk lahan TPA, melayani Kota Payakumbuh, Bukttinggi, Padang Panjang. Kabupaten Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Kota, tetapi sampah yang baru masuk yaitu dari Kota Payakumbuh dan Bukittinggi;

2. TPA Regional Payakumbuh didesain untuk 20 tahun dengan sistem operasional sanitary landfill dengan tanah penutup berasal dari bukit yang secara khusus digunakan sebagai tanah urug; Sumber dana pembangunan TPA berasal dari APBN dan APBD

3. Sistem sanitary landfill yang dilakukan di TPA Regional yaitu penimbunan sampah setiap hari dengan tanah urug setebal 1 m, akan tetapi pada saat kunjungan lapangan tidak dilakukan penutupan sampah karena alat pengurug sampah sedang dalam perbaikan;4. Pengolahan lindi sampah dilakukan dengan menggunakan kolam pengolahan yaitu kolam pengumpulan, anaerobik, maturasi dan wet land, kemudian effluentnya di alirkan ke badan sungai yang melewati irigasi untuk persawahan;5. Permasalahan yang sedang di hadapi TPA Regional Payakumbuh yaituditinjau dari aspek teknis dan non teknis seperti rusaknya alat pengurug, kolam pengolahan lindi, tidak jalannya beberapa peralatan sesuai prosedur, pembiayaan dan lainnya.4.2 Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan makalah ini adalah:

1. Pemerintah kota/ kabupaten terkait sebaiknya segera menyelesaikan permasalahan yang membuat operasional TPA Regional tidak berjalan sesuai rencana,2. Pengelola TPA segera memperbaiki kekurangan baik dari aspek teknis maupun non teknis;

3. Masyarakat sekitar diharapkan dapat menjaga TPA sehingga operasional TPA dapat berjalan sesuai periode desain;

4. Masyarakat kota/ kabupaten yang terlibat diharapkan dapat berperan aktif dalam pemilahan sampah sebelum diangkut ke TPA;

5. Sebagai mahasiswa Teknik Lingkungan diharapkan mampu memberikan solusi atau alternatif pengolahan lindi sebelum dibuang ke badan sungai agar tidak mencemari lingkungan.

MAKALAHTEKNIK PENGOLAHAN SAMPAHKUNJUNGAN LAPANGAN TPA REGIONAL PAYAKUMBUHOLEH:KELOMPOK 1

ANGGOTA:

DHARMA WANGSA

0810941007MURSYIDA FADHIL

1110941005

NANDA ELIN JUNAIDI

1110942005REVITA MIZALIA

1110942007

VIVIE JUNIKA DAMID

1110942019

MUTIARA FAJAR

1110942029

TIARA WAHYUNI

1110942031

SHABRINA YUNITA SARI

1110942039

REGINA MARDATILLAH

1110942045

DOSEN

SLAMET RAHARJO, Dr. ENG

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK-UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2013