Makalah Terasi
-
Upload
arif-nanda -
Category
Documents
-
view
2.618 -
download
351
Transcript of Makalah Terasi
FERMENTASI IKAN (TERASI)
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teknologi Pengolahan
Makanan dan Minuman
Disusun oleh:
Lucy Permata Dewi 240210110015
Syarah Virgina M 240210110016
Arif Nanda 240210110031
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIANJURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan dan hasil laut banyak dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan asam
amino. Awalnya hasil tangkapan ikan maupun hasil perairan lain dikonsumsi
manusia saat itu juga dengan cara pengolahan sederhana, namun dengan
bertambahnya kebutuhan maka manusia mencoba untuk menyimpan sebagian dari
bahan makanan untuk digunakan apabila diperlukan. Oleh karena ikan merupakan
bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) maka cara-cara pengolahan
dan pengawetan ikan mulai dikembangkan.
Salah satu pengawetan yang sering dilakukan adalah dengan cara
fermentasi. Fermentasi merupakan suatu proses penguraian secara biologis atau
semi biologis dari senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan
terkontrol. Bahan pangan yang difermentasi biasanya memiliki aroma dan tekstur
yang lebih baik, umur simpan yang lebih lama dan kebanyakan bahan pangan
hasil fermentasi dianggap aman.
Selama fermentasi berlangsung, protein ikan dihidrolisis menjadi asam-
asamn amino dan peptide, kemudian asam-asam amino akan terurai menjadi
komponen-komponen yang berperan dalam pembentukan citarasa. Bentuk akhir
produk fermentasi ikan bermacam-macam, dapat berupa ikan utuh, pasta maupun
cair. Beberapa produk fermentasi ikan yang banyak dikonsumsi misalnya terasi,
peda, kecap ikan, bekasam, bekasang dan lain-lain.
Terasi merupakan suatu bahan tambahan makanan yang biasanya dibuat dari
rebon (Acets sp) maupun ikan atau udang yang bernilai ekonomis rendah. Seperti
halnya produk fermentasi lainnya, terasi juga mempunyai aroma yang khas yang
ditimbulkan oleh adanya komponen volatile di dalamnya.
Sebagai seorang ahli teknologi pangan, diperlukan pemahaman mendalam
mengenai teknologi fermentasi komoditas ikan salah satunya adalah terasi
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai proses fermentasi terasi, perubahan-perubahan yang terjadi selama
fermentasi dan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan terasi
BAB II
TERASI
Terasi merupakan suatu bahan tambahan makanan yang biasanya dibuat dari
rebon (Acets sp) maupun ikan atau udang yang bernilai ekonomis rendah. Produk
ini biasanya berwarna coklat, abu-abu atau merah. Seperti halnya produk
fermentasi lainnya, terasi juga mempunyai aroma yang khas yang ditimbulkan
oleh adanya komponen volatile di dalamnya.
2.1 Proses Pengolahan Terasi
Bahan baku terasi adalah Udang atau ikan teri, Air, dan garam. Sedangkan
alat untuk pembuatan terasi adalah mesin penggiling ikan serta pembungkus dan
alat alat dapur. Untuk terasi ikan biasanya menggunakan ikan kecil - kecil dan
sejenisnya, yang harus dibuang kepalanya terlebih dahulu sebelum diproses lebih
lanjut.
Prinsip pengolahan terasi didasarkan pada proses penguraian daging udang
atau ikan oleh enzim pemecah protein yang ada dalam tubuh udang atau ikan itu
sendiri (Yunizal 1998). Proses ini terjadi dalam suasana beragam dan dalam
kondisi tertentu sehingga diperoleh terasi udang atau ikan dengan bau, aroma dan
rasa yang sangat spesifik.
Adapun jika akan membuat terasi udang maka rebon dapat digunakan.
Dalam pembuatan terasi, garam ini mempunyai manfaat ganda yaitu :
1. Sebagai pemantap cita rasa terasi.
2. Sebagai bahan pengawet (pada konsentrasi 20 % ; 2 ons per kg bahan
baku).
Gambar 1. Udang Segar (Bahan Baku Pembuatan Terasi)
Proses pembuatan terasi menurut Winarno et.al.(1973) dalam Rahayu et.al.
(1992) dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Bagan Proses Pembuatan Terasi
2.1.1 Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang berupa udang kita sortasi sesuai ukurannya dan dicuci
untuk menghilangkan kotoran, lendir, dan ditiriskan. Proses pencucian
menggunakan air sumur yang sudah ditaruh dalam wadah lalu kemudian udang
dimasukkan kedalam wadah untuk dicuci.
2.1.2 Penjemuran
Proses penjemuran dilakukan dibawah terik matahari, hingga setengah
kering dan dibolak-balik. Menurut Hadiwiyoto (1983), maksud dari penjemuran
ini tidak hanya untuk mengeringkan sama sekali tetapi cukup kira-kira setengah
kering saja supaya mudah untuk digiling atau ditumbuk.
.
Gambar 3. Proses Penjemuran Udang/ikan
2.1.3 Penggilingan dan Penumbukan
Pada proses ini udang dimasukkan kedalam alat penggiling untuk
menghaluskan udang. Proses penggilingan bahan terasi ini menggunakan mesin
penggiling yang terbuat dari baja, selain itu penggilingan digunakan untuk
mendapatkan hasil yang homogen dan menghemat tenaga dan waktu. Didalam
penumbukan ditambahkan garam, air dan pewarna dengan perbandingan 1 gayung
air dan 2 kg garam serta 1 sendok pewarna untuk 5 kwintal udang. Menurut
Afrianto dan liviawaty (2005) jumlah garam yang ditambahkan tergantung selera,
maksimal 30% dari berat total ikan atau udang agar terasi yang diproduksi tidak
terlalu asin.
Gambar 4. Proses Penjemuran Pasca Penggilingan
2.1.4 Fermentasi
Terasi yang sudah dibungkus lalu kita fermentasikan didalam ruang
khusus yang terdiri dari rak-rak tempat meletakkan adonan yang sudah dibungkus.
Proses fermentasi ini dimaksudkan untuk proses penguraian senyawa-senyawa
yang kompleks dari daging udang menjadi senyawa yang sederhana. Menurut
Afrianto dan liviawaty (1989) enzim yang berperan dalam proses fermentasi pada
produk perikanan terutama didominasi oleh enzim proteolitik yang mampu
menguraikan protein. Proses pemerahan (fermentasi) ini berlangsung 3-4 minggu
dan dilakukan pada suhu kamar, jika terdapat pada inkubator pemerahan dapat
dilakukan pada suhu 20-30oC yang merupakan suhu optimum untuk fermentasi
terasi (Anonymous, 2005)
2.1.5 Pencetakan dan Pembungkusan
Udang yang sudah ditumbuk dan dihaluskan dengan penggilingan dicetak
dengan cetakan lalu dibungkus dengan plastik atau dengan daun pisang agar
baunya khas.
Gambar 5. Terasi yang sedang mengalami fermentasi
2.1.6 Pengemasan
Setelah proses fermentasi terasi yang sudah jadi lalu dibungkus dengan
plastik dengan bantuan sealer dan siap untuk dipasarkan.
Gambar 6. Terasi siap kemas
2.2 Mikroba dalam terasi
Mikroba yang tumbuh selama fermentasi sangat mempengaruhi mutu hasil
produksi hasil fermentasi. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa mikroba
yang berperan dalam fermentasi terasi berbeda jenis dan jumlahnya. Menurut
Pedersen (1971), mikroba yang berperan dalam fermentasi terasi adalah bakteri
asam laktat, asam asetat, khamir dan jamur. Strain dari bakteri asam laktat adalah
leuconostoc mesenteroides, Pediococcus cereviceae, Lactobacillus plantarum,
dan Steptococcus faecalis. Sedangkan menurut perangin angina et al. (1981).
Khamir dan kapang tidak berperan selama fermentasi pembuatan terasi. Menurut
Vong dan Jackson (1977), diacu dalam marliana (1992), mikroba dalam terasi
berasal dari genus Bacillus, Sarcina, Staphylococcus, Clostridium.
Pada produk fermentasi ikan bergaram terdapat dua jenis mikroba yaitu
bakteri obligat halofilik dan bakteri halofilik. Bakteri obligat halofilik tumbuh
pada suhu 5-50oC dan tumbuh optimum pada suhu 35-40oC, pH Antara 6-10. Pada
konsentrasi garam yang tinggi menghasilkan gas H2S dan Indol dengan warna
koloni merah muda (Shewan and Hobbs, 1967 diacu dalam Sjafi,I 1988).
Menurut Rahayu (1989) Menduga bahwa pada terasi terdapat mikroba
jenis Micrococcus, Corynebachterium, Cytophaga, Bacillus, HaloBacterium, dan
Acinobacter. Menurut Sjafi,I (1988), yang bertanggung jawab atas pembentukan
cita rasa khas yag dihasilkan produk fermentasi adalah Staphylococcus sp. Saisthi
(1967), menemukan bahwa bakteri gram positif batang yang menghasilkan aroma
asam organik yang khas, gram negatif oval batang nonmotil yang memproduksi
bau khas daging yang merangsang, dan gram positif berbentuk batang panjang,
memproduksi aroma yang berasal dari degradasi asam amino.
2.3 Perubahan yang Terjadi dalam Pengolahan Terasi
Selama proses fermentasi, terasi mengalami perubahan-perubahan meliputi
hidrolisis protein, perubahan pH, perubahan warna, dan pembentukan cita rasa.
2.3.1 Hidrolisis Protein
Proses fermentasi dari substrat tidak diharapkan sempurna dalam
pembuatan bagoong (terasi) karena produk harus mengandung protein yang
terhidrolisis atau tahap hidrolisis. Protein dihidrolisis oleh enzim proteinase
ekstraseluler menjadi turunannya yaitu pepton, peptida dan asam amino.
Kandungan nitrogen pada cairan mula-mula rendah tapi setelah disimpan
beberapa hari, yaitu selama proses fermentasi menyebabkan terjadinya proses
hidrolisis protein sehingga kandungan nitrogen terlarut naik. Pada suhu fermentasi
yang tinggi 55ºC dapat mempercepat proses hidrolisis. Tetapi setelah 1 minggu
fermentasi kandungan protein terlarut dalam cairan lebih tinggi bila fermentasinya
dilakukan pada suhu 45ºC (Rahayu, 1988).
2.3.2 Perubahan pH
Campuran garam, rebon dan bahan lain pada awalnya mempunyai pH 6 dan
selama proses fermentasi pH terasi naik menjadi 6,5 dan pada tahap akhir turun
menjadi 4,5. Bila fermentasi dilanjutkan akan terjadi peningkatan pH dan
produksi ammonia.
2.3.3 Perubahan warna dan tekstur
Terasi yang dibuat dari udang memiliki warna khas coklat kemerahan.
Warna merah dipengaruhi oleh pigmen apstaxanthin pada cangkang udang.
Menurut Shahidi and Botta serta Suprapti dalam Rahmayati dkk (2014), warna
kemerahan pada terasi udang berasal dari pigmen astaxanthin pada cangkang
udang sehingga pigmen tersebut membentuk warna merah. Suzuki dalam
Rahmayati dkk (2014), berpendapat sebagian besar tubuh udang mengandung
astaxanthin. Kandungan astaxanthin dalam udang utuh beku sebesar 3,12 mg/ 100
g berat basah. Warna kecoklatan pada terasi udang disebabkan karena adanya
enzim polyphenoloxidase (PPO) pada tubuh udang yang dapat mempengaruhi
penggelapan warna pada terasi udang. Penambahan garam (NaCl) bertujuan untuk
menghambat kerja enzim bersebut. Menurut Ozdemir (1997) dan Garcia and
Barrett (2002), sodium klorida atau NaCl dapat menghambat kerja PPO sehingga
reaksi pencokelatan dapat dihalangi. Proses penghambatannya meningkat ketika
pH menurun.
Perubahan lain yang diharapkan selama fermentasi yang diharapkan
adalah liquid fiksi. Setelah proses penggaraman, cairan dari dalam ikan (udang)
terekstrak keluar. Penurunan kadar air ini akan membentuk tekstur yang
diinginkan. Nooryantini, et.al., (2010), menambahkan bahwa pembentukan
tekstur terasi ditentukan oleh penjemuran dan penumbukan.
2.3.4 Pembentukan Cita Rasa
Proses fermentasi akan menghasilkan cita rasa yang khas pada terasi. Aroma
khas pada terasi disebabkan oleh senyawa volatil yang dihasilkan oleh hidrolisis
protein selama fermentasi. Menurut Sjafi,I (1988), yang bertanggung jawab atas
pembentukan cita rasa khas yag dihasilkan produk fermentasi adalah
Staphylococcus sp. Saisthi (1967), menemukan bahwa bakteri gram positif batang
yang menghasilkan aroma asam organik yang khas, gram negatif oval batang
nonmotil yang memproduksi bau khas daging yang merangsang, dan gram positif
berbentuk batang panjang, memproduksi aroma yang berasal dari degradasi asam
amino.
Gambar 7. Tingkat asam glutamate Bebas (mg/100 g) dalam produk udang
fermentasi di berbagai Negara.
(Sumber: Hajep and Jinap, 2012)
Terasi sering digunakan sebagai bahan tambahan makanan untuk
memberikan rasa umami. Selama proses fermentasi , asam amino spesifik
disintesis dalam jumlah besar. Mikroorganisme yang dipilih dengan sumber
nitrogen dan karbohidrat, selama proses fermentasi terbentuk L- asam amino.
Salah satu senyawa glutamate yang merupakan pembentuk rasa umami
didapatkan dari 2-okso-glutarat (2-oxopentanedioic acid) oleh reduktif amonia
fiksasi yang menggunakan enzim dehidrogenase glutamat selama proses
fermentasi (Hajep and Jinap, 2012). Rasa umami produk fermentasi tergantung
pada konsentrasi glutamat didalamnya. Terasi mengandung asam glutamate
sebesar 1508 mg/ 100 g, yang dapat dilihat pada gambar 7.
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Terasi
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas terasi,
diantarnya bahan baku, penjemuran dan penggilingan, kualitas garam, konsentrasi
garam, suhu dan lama fermentasi, oksigen, dan kondisi penyimpanan.
2.4.1 Bahan Baku
Cita rasa terasi dipengaruhi oleh bahan baku yang dipergunakan. Cita rasa
terasi dari bahan baku rebon/udang akan berbeda dengan terasi dari bahan baku
ikan (Suprapti et, al., 2002). Kualitas dan penangan bahan baku juga dapat
menentukan kualitas terasi. Penangan yang kurang baik akan menyebabkan
kontaminasi mikroorganisme pembusuk.
2.4.2 Penjemuran dan Penggilingan
Penggilingan digunakan untuk menghomogenenkan semua bahan baku
yang digunakan dalam pembuatan terasi. Semakin baik proses penggilingan maka
bahan akan semakin homogen dan proses fermentasi akan berlangsung lebih
optimal dan terbentuk cita rasa yang baik. Penggilingan juga dapat memperkecil
ukuran bahan sehingga luas permukaan semakin besar, hal itu juga dapat
mempercepat proses fermentasi.
Penjemuran akan memudahkan proses penggilingan yang baik sehingga
penjemuran juga turut menentukan kualitas terasi. Nooryantini, et.al., (2010),
menambahkan bahwa pembentukan tekstur terasi ditentukan oleh penjemuran dan
penumbukan.
2.4.3 Kualitas garam
Kualitas garam yang digunakan dapat menentukan pembentukan flavour.
Bila menggunakan garam yang kurang murni menyebabkan pengerasan jaringan,
sehingga memperlambat penetrasi garam kedalam jaringan ikat (udang). Dengan
menggunakan garam murni bakteri halofil dapat tumbuh baik sehingga terbentuk
flavour yang enak.
2.4.4 Konsentrasi garam
Winarno dalam Christanti (2006) mengatakan bahwa penambahan garam
kurang dari 10% campuran akan mengalami fermentasi lebih lanjut menjadi busuk
atau rusak karena produksi ammonia dalam jumlah besar. Penelitian lain
menunjukkan penambahan garam memiliki pengaruh yang nyata terhadap nilai
organoleptik dan jumlah koloni bakteri terasi rebon. Semakin tinggi kadar garam
semakin tinggi nilai kenampakan dan tekstur, tetapi semakin rendah nilai Aw,
Total koloni bakteri S. aureus dan jumlah koloni bakteri Halofilik. Hasil
pengujian E. coli, Salmonella, V. cholera, menunjukkan hasil negatif. Produk
terasi yang terbaik yaitu produk yang ditambah garam 15% (Aristyan dkk,
20014).
Terasi udang dengan garam 2%; 8,5%; dan 15% memiliki nilai astaxanthin
berturut-turut 6,0 mg/100g, 4,5 mg/100g, dan 2,4 mg/100g. Berdasarkan nilai a*
dan b* dapat dihitung ohue dan diketahui terasi dengan garam 2% memiliki warna
merah kekuningan sedangkan terasi dengan garam 8,5% dan 15% memiliki warna
merah. Terasidenganpenambahangaram 15% merupakan terasi dengan
kenampakan terbaik (Rahmayati, 2014).
Terasi dengan konsentrasi garam 2% mengandung histamin 31,13 mg/100 g,
vitamin B12 31,44 mg/kg dan nitrogen bebas 1,78%. Terasidengan konsentrasi
garam 8,5% mengandung histamin 25,46 mg/100 g, vitamin B12 35,81 mg/kg dan
nitrogen bebas 2,29%. Terasi dengan konsentrasi garam 15% mengandung
histamin 22,85 mg/100 g, vitamin B12 36,18 mg/kg dan nitrogen bebas 2,70%.
Perbedaan kadar garam memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada
kandungan histamine dan vitamin B12. Kadar garam tidak berpengaruh pada
nitrogen bebas terasi ikan teri (Romawati dkk, 2014).
2.4.5 Suhu dan Lama Fermentasi
Suhu fermentasi sangat menentukan jenis mikroorganisme yang tumbuh
dominan selama fermentasi. Jika kondisi asam yang dikehendaki telah tercapai,
maka suhu dapat dinaikan untuk menghentikan fermentasi. Suhu yang optimum
untuk proses fermentasi sekitar 25 °C sampai 35 °C. Waktu fermentasi terasi yang
optimal adalah 3-4 minggu.
2.4.6 Oksigen
Fermentasi terasi berlangsung secara aerob yaitu pada awal fermentasi di
bagian permukaan, sedangkan bagian dalam bongkahan bahan akan bersifat
anaerob (Rahayu dalam Christanti, 2006). Kondisi tersebut diperoleh dengan
membungkus terasi dengan daun pisang selama fermentasi.
2.4.7 Kondisi Penyimpanan.
Terasi harus diberi kondisi penyimpanan yang baik, terutama dalam
pengemasan. Hasil penelitian Yamani (2006), didapatkan bahwa dari 15 sampel
terasi tanpa kemasan dipasar Karang Menjangan Surabaya menunjukkan 12
sampel (80%) terasi mengandung indeks MPN coliform melebihi batas
maksimum cemaran mikroba dalam makanan.
2.5 Karakteristik Terasi
Terasi adalah jenis penyedap masakan berbentuk padat dan berbau khas
yang merupakan hasil fermentasi udang, ikan atau campuran keduanya dengan
garam (Ganie, 2003 dikutip Romawati et.al. ,2014).
Terasi yang bermutu baik mempunyai kekhasan yang terletak pada cita rasa,
bau yang enak dan warnanya yang kemerahan. Mutu terasi ditentukan oleh
kenampakan, bau, warna, ada tidaknya serangga, ulat dan belatung. Karakteristik
organoleptik terasi rebon ditentukan oleh rebon yang digunakan. Semakin segar
dan seragam bahan baku maka akan didapat terasi yang mempunyai mutu yang
lebih tinggi.
Terasi yang disukai konsumen berwarna coklat kemerahan. Terasi udang
memiliki warna khas coklat kemerahan. Warna tersebut dipengaruhi oleh pigmen
astaxanthin pada cangkang udang. Menurut Shahidi et. al. (2006) dikutip
Rahmayati et. al. (2014). Kandungan astaxanthin dalam udang utuh beku sebesar
3,12 mg/ 100 g berat basah. Astaxanthin merupakan pigmen turunan dari
karotenoid yang membawa warna merah. Warna merah terasi udang rebon
terbentuk karena terlepasnya ikatan astaxanthin dari komponen lain di dalam
tubuh udang, sehingga membentuk astaxanthin bebas. Proses pelepasan tersebut
dibantu oleh enzim dari bakteri dan tubuh udang itu sendiri.
Menurut Badan Standardisasi Nasional (2009), terasi yang baik dan layak
untuk dikonsumsi adalah terasi yang tidak terdapat cemaran bakteri Salmonella
dan V. cholera, sedangkan cemaran E. coli < 3 MPN/g dan S. aureus harus < 1 x
103 koloni/gram. Dengan demikian bahan baku pembuatan terasi rebon layak
digunakan.
Menurut Badan Standardisasi Nasional (2006), nilai organoleptik minimal
untuk udang/rebon segar adalah 7. Ciri rebon tersebut mempunyai bentuk yang
masih utuh, kokoh, bau yang spesifik dan tekstur yang padat kompak.
Nilai organoleptik terasi rebon terdiri dari spesifikasi kenampakan, bau,
rasa, tekstur dan jamur. Spesifikasi kenampakan merupakan komponen utama
yang mempengaruhi penerimaan konsumen. Nilai rerata tingkat penerimaan
terhadap kenampakan terasi rebon dapat diterima oleh apabila memenuhi
persyaratan nilai minimum produk terasi menurut SNI yaitu 7,0. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar garam kenampakan dari
terasi semakin bagus, cemerlang dan bersih. Bau dan rasa khas terasi merupakan
salah satu daya tarik konsumen. Bau yang terbentuk pada terasi dipengaruhi oleh
adanya senyawa volatil pada terasi akibat proses fermentasi. Proses fermentasi
membentuk rasa lain yang unik dan berbeda dari bahan baku awal. Terasi yang
enak biasanya merupakan perpaduan antara rasa gurih dan manis (Aristyan et, al. ,
2014).
Kualitas terasi berupa aroma dan cita rasa dapat dipengaruhi oleh lamanya
waktu fermentasi. Semakin lama waktu fermentasi maka semakin tinggi kualitas
terasi tersebut. Selain itu cita rasa terasi dipengaruhi juga oleh bahan baku yang
dipergunakan. Cita rasa terasi dari bahan baku rebon/udang akan berbeda dengan
terasi dari bahan baku ikan (Suprapti et, al., 2002).
2.6 Kerusakan yang Terjadi Pada Terasi
Terdapat beberapa kerusakan yang dapat terjadi pada terasi yang
digolongkan ke dalam kerusakan fisik dan kerusakan mikrobiologis.
2.6.1 Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi pada terasi diantaranya penyimpangan
kenampakan, dan rasa. Warna terasi udang yang baik adalah kemerahan, namun
penyimpangan warna menjadi gelap dapat terjadi apabila konsentrasi garam yang
ditambahkan tidak cukup. Warna gelap disebabkan oleh aktivitas enzim
polyphenoloxidase (PPO). Menurut Ozdemir (1997) dan Garcia and Barrett
(2002) dalam Rahmayati et, al. (2014), sodium klorida atau NaCl dapat
menghambat kerja PPO sehingga reaksi pencokelatan dapat dihalangi. Terasi
berbentuk padat dan memiliki tekstur yang kompak, kerusakan bentuk bisa
disebabkan oleh benturan atau faktor mekanik lainnya. Penyimpangan rasa terjadi
apabila tumbuh mikroorganisme pembusuk atau terjadi pencemaran dengan bahan
lain.
2.6.2 Kerusakan Mikrobiologis
Kerusakan mikrobiologis terjadi apabila ada aktivitas mikroorganisme
pembusuk dan mikroorganisme pathogen. Hal ini dapat terjadi apabila konsentrasi
garam yang digunakan tidak mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme
yang tidak diinginkan atau terjadi kontaminasi pada saat penyimpanan terasi yang
tidak dikemas.
BAB III
KESIMPULAN
Terasi merupakan suatu bahan tambahan makanan yang biasanya dibuat dari
rebon (Acets sp) maupun ikan atau udang yang bernilai ekonomis rendah.
Mikroorganisme yang terlibat dalam proses fermentasi pembuatan terasi adalah
Lactobacillus plantarum, Staphylococcus sp, Staphylococcus sp. Perubahan yang
terjadi selama fermentasi terasi adalah meliputi hidrolisis protein, perubahan pH,
perubahan warna, dan pembentukan cita rasa. Kualitas terasi yang baik akan
didapat dengan memperhatikan faktor-faktor yang meliputi bahan baku,
penjemuran dan penggilingan, kualitas garam, konsentrasi garam, suhu dan lama
fermentasi, oksigen, dan kondisi penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
Aristyan, I., R. Ibrahim., dan L. Rianingsih. 2014. Pengaruh Perbedaan Kadar Garam Terhadap Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Terasi Rebon (Acets sp.). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Vol. 3 No. 2 Halaman 60-66.
Badan Standardisasi Nasional. 2009. Terasi Udang – Bagian 1: Spesifikasi SNI No. 2716.1-2009. Badan Standardisasi Nasional Indonesia (BSNI), Jakarta.
Christanti, A. D. 2006. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Halotoleran pada Terasi. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.
Damayanthy E, mudjajanto. 1993. Teknologi makanan. Dirjen pendidikan dasar dan menengah.direktorat pendidikan menengah kejuruan
Desroirer NW.1998.Teknologi Pangan.Penerjemah. UIpress, Jakarta.
Hajeb dan Jinap. 2012. Fermented Shrimp Products as Source of Umami in Southeast Asia. Journal Nutrition & Food Science. ISSN: 2155-9600.
Marliana. 1992. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Gula Merah dan Garam Terhadap Mutu Efisiensi Terasi Udang. Skripsi. Jurusan hasil perikanan IPB, Bogor.
Pederson cs. 1963. Processing by fermentation dalam handbook of food and agriculture, Newyork
Rahayu wp, 1992. Bahan pengajaran teknologi fermentasi produk perikanan. Bogor:pusat antar universitas pangan dan gizi, Institute Pertanian Bogor
Rahmayati, R., P. H. Riyadi., dan L. Rianingsih. 2014. Perbedaan Konsentrasi Garam terhadap Pembentukan Warna Terasi Udang Rebon (Acets sp.) Basah. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Vol. 3 No. 1 Halaman 108-117.
Romawati, M. D., W. F. Ma’ruf., dan Romadhon. 2014. Pengaruh Kadar Garam terhadap Kandungan Histamin, Vitamin B12 dan Nitrogen Bebas Terasi Ikan Teri (Stolephorus sp). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Vol. 3 No. 1 Halaman 80-88.
Saitshi p. 1967. Traditional fermented fish. Asean food jurnal
Sjafii a. 1988.Mutu Mikrobioloi Beberapa Ragam Peda. IPB, Bogor.
Winarno fg fardiaz. 1980. Pengantar teknologi pangan, Bandung
Yunizal. 1998. Pengolahan terasi udang. Warta penelitian dan pengebangan pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia.