makalah tengtang jarimah khudud.docx

33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah swt melalui dalil naqli. Dalam hubungannya dengan hukuman had, maka hak Allah mempunyai pengertian bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang mewakili negara. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qadzaf), minum minuman keras, mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan pemberontakan (al- Bagyu).Untuk lebih jelasnya mengenai jarimah hudud, akan kami paparkan dalam makalah ini. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan, terdapat beberapa rumusan masalah diantaranya : 1. Apa yang di maksud dengan Jarimah Zina? 2. Apa yang di maksud dengan Jarimah Qadzaf? 3. Apa yang di maksud dengan Jarimah Meminum Khamar? 4. Apa yang di maksud dengan Jarimah Sariqah (Pencurian)? 5. Apa yang di maksud dengan Jarimah Merompak? 6. Apa yang di maksud dengan Jarimah Riddah (Murtad)? C. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas kelompok fiqh jinayah, juga untuk menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan diatas. 1. Untuk mengetahui mengenai jarimah zina.

Transcript of makalah tengtang jarimah khudud.docx

Page 1: makalah tengtang jarimah khudud.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman

yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah

swt melalui dalil naqli.

Dalam hubungannya dengan hukuman had, maka hak Allah mempunyai pengertian

bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi

korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang mewakili negara.

Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina

(qadzaf), minum minuman keras, mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan

pemberontakan (al-Bagyu).Untuk lebih jelasnya mengenai jarimah hudud, akan kami

paparkan dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan, terdapat beberapa rumusan masalah

diantaranya :

1.      Apa yang di maksud dengan Jarimah Zina?

2.      Apa yang di maksud dengan Jarimah Qadzaf?

3.      Apa yang di maksud dengan Jarimah Meminum Khamar?

4.      Apa yang di maksud dengan Jarimah Sariqah (Pencurian)?

5.      Apa yang di maksud dengan Jarimah Merompak?

6.      Apa yang di maksud dengan Jarimah Riddah (Murtad)?

C.    Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas kelompok

fiqh jinayah, juga untuk menjawab rumusan masalah yang  telah disebutkan diatas.

1.      Untuk mengetahui mengenai jarimah zina.

2.      Untuk mengetahui mengenai jarimah qadzaf.

3.      Untuk mengetahui mengenai jarimah meminum khamar.

4.      Untuk mengetahui mengenai jarimah sariqah (pencurian).

5.      Untuk mnegetahui mengenai jarimah merompak.

6.      Untuk mengetahui mengenai jarimah riddah (murtad).

Page 2: makalah tengtang jarimah khudud.docx

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Jarimah Zina

1.             Pengertian Zina

Ulama malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wa-thi-nya seorang laki-laki

mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan sengaja. Ulama

Syafi’iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukan zakar ke dalam faraj yang haran

dengan tidak subhat dan secara naluri memuaskan hawa nafsu.

Konsep tentang tindak pidana perzinaan menurut hukum Islam jauh berbeda dnegan sistem

hukum barat, karena dalam hukum Islam , setiap dalam hubungan seksual yang diharamkan

itulah zina, baik yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga maupun yang belum

berkeluarga asal ia tergolong orang mukallaf, meskipun dilakukan dengan rela sama rela, jadi

tetap merupakan tindak pidana.

Konsep syariat ini adalah untuk mencegah menyebarluasnya pencabulan dan

kerusakan akhlak serta menumbuhkan bahwa perzinaan itu tidak hanya mengorbankan

kepentingan perorangan , tetapi lebih-lebih kepentingan masyarakat.

Kerusakan moral yang melanda dunia barat menurut para ahli justru karena

diperbolehkanya perzinaan bila dilakukan oleh orang dewasa yang dilakukan dengan rela

sama rela, sehingga banyak lelaki yang berpaling dari rumah tangga yang bahagia. Hal ini

sudah tentu membuatnya orang yang tidak bertanggung jawab sebab kebutuhan seksualnya

dapat terpenuhi melalui hubungan seksual dengan setiap wanita yang bukan dengan istrianya

asal rela sama rela.

Dengan demikian , jelas bahwa masalah perzinaan tidak hanya menyinggung hak

perorangan, melainkan juga menyinggung hak masyarakat.

2.             Sanksi Zina

. سبيل لهن الله عرقدجعل ا و خذ عن ا و حذ عنى وا جلدماءةو   حذ لبكر با البكر

) بن دة عبا عن رواهمسلم رة لحجا با والر ئت ما جلد لثيب با والتيب سنة نفى

                               السامن)

“terimalah dariku! Terimalah dariku! Terimalah dariku! Allah telah memberi jalan kepada

mereka (wanita-wanita yang berzina itu).Bujangan yang berzina dengan bujanag dijilid

seratus kali dan diasingkan selama setahun. Dan janda (orang yang telah kawin) yang berzina

dengan janda dijilid seratus kali dan di rajam dengan batu” (HR Muslim dari ‘Ubadah bin

Shamit)

Berdasarkan hadis di atas bila seseorang jejaka dan seorang perawan berzina , maka

sanksinya adalah seratus kali dijilid dan dibuang selama setahun. Untuk hukuman jilid para

ulama sepakat untuk dilaksanakan, sedangkan untuk hukuman buang adalah hak Ulil

Amri.Adapun hukuman rajam menurut Fathi Bahansi adalah sanksi bersifat siyasah

Page 3: makalah tengtang jarimah khudud.docx

syah’iyah.Jadi diserahkan kepada kebijakan Ulil Amri untuk menerapkanya atau tidak

melaksanakanya tergantung kepada kemaslahatan.Sedangkan menurut Imam Malik, Imam

Syafii dan Imam Ahmad wajib dilaksanakan keduanya.

Hukuman bagi tsayyib (orang yang sudah menikah) adalah rajam artinya hukuman

mati dengan dilempari batu.Meskipun ada segolongan Azariqah dan Khawarij berpendapat

bahwa hukuman tsayyib adalah seratus kali jilid, karena menurut mereka hadis ini tidak

sampai ke mutawatir.

Adapun alasan para ulama yang menganggap cukup dengan dirajam bagi tsayyib

adalah karena rasulullah merajam Maiz dan Ghamidiyah dan merajam seorang Yahudi dan

tidak ada nash yang menyatakan bahwa beliau menjilid terlebih dahulu. Disamping itu

berdasarkan prinsip bahwa hukuman yang berat itu menyerap hukuman yang ringan ini

dipegah oleh jumhur.

Adapun hukuman bagi homo seks, lesbian, onani, menggauli binatang, dan mengguli

mayat, para ulama berbeda pendapat sesuai dengan perbedaan mereka mengenai apakah

perbuatan itu zina ataukah bukan.

3.             Alat bukti zina

a.       Saksi

Disepakati oleh para ulama bahwa zina itu tidak dapat diterapkan kecuali dengan

empat orang saksi berdasarkan firman Allah SWT:

منكم بعة ار عليعن ا و فاستشعد

                        “… hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikanya)

(QS an-Nisa ; 15)

      Syarat-syarat saksi

Baligh

Berakal

Al-hihzhu

Dapat bicara

Bisa melihat

Adil

Islam

b.      Pengakuan

Jarimah zina dapat ditetapkan dengan pengakuan.Imam Abu Hanifah dan Imam

Ahmad mensyaratkan pengakuan ini harus empat kali.Karena diqiyaskan kepada empat orang

saksi.Jika wanita atau lelaki itu sudah mengaku marak rajamlah.

Perlu diketahui bahwa pengakuan itu “suatu bukti yang tebatas untuk diri orang yang

mengaku saja”.Jadi bila seseorang telah mengaku zina dengan seorang wanita dan pengakuan

diperiksa sebagaimana dijelaskan diatas maka pengakuan hanya berlaku bagi dirinya.Artinya

bila wanita itu tidak mengakuinya, maka hanya dia yang wajib kena hukuman.

Page 4: makalah tengtang jarimah khudud.docx

c.       Qarinah / Tanda-tanda / Indikasi-indikasi

Qarinah yang dianggap sebagai barang bukti perzinaan yang sah adalah jelas

kehamilanya wanita yang tidak bersuami. Qarinah yang berupa kehamilan ini ditetapkan oleh

sahabat nabi, seperti Umar yang berkata “bahwa saksi zina wajib dikenakan atas setiap

pelaku zina bila ada pembuktian atau hamil mengaku.”

     Kehamilan wanita yang tidak bersuami bukanlah suatu Qarinah yang pasti, artinya

memberikan kemungkinan lain bahwa kehamilan bukan hasil dari zina. Para ulama memberi

contoh seperti hamil diperkosa atau kesalahan dalam persetubuhan.

4.             Pelaksanaan hukuman zina

Pelaksanaan hukuman zina pada zaman Nabi SAW bila si terhukum itu adalah orang

laki-laki sambil berdiri dipegang dan diikat.Alat yang digunakan untuk menjilid adalah

cambuk yang berukuran sedang. Cambukan itu tidak boleh melukai kulit dan mengeluarkan

darah, serta tidak boleh mencambuk muka., faraj, dada, kepala dan perut. Jadi cambukan itu

diarahkan ke punggung. Adapun bila terhukum itu adalah seorang wanita , maka hukuman

yang dilaksankan wanita dalam keadaan duduk . dan bila si wanita yang akan dijatuhi

hukuman itu sedang hamil. Maka para ulama sepakat bahwa hukumanya harus ditangguhkan

sampai melahirkan. Dan bila anaknya tidak ada yang menyusui maka harus tunggu sampai

anaknya  lepas menyusui.

B.     Menuduh Zina (Qadzaf)

       Dalam hukum Islam , menuduh zina itu ada dua macam , yakni menuduh zina yang

diancam dengan had dan menuduh zina yang diancam dengan ta’zir. Suatu perkataan bisa

dianggap sebagai tuduhan bilamana tidak sesuai dengan kenyataanya.Suatu prinsip fiqih

jinayah bahwa barang siapa menuduh dengan sesuatu yang haram, maka wajib atasnya

membuktikan tuduhan itu. Apabila ia tidak dapat membuktikan tuduhanya itu maka ia wajib

dikenakan hukuman.

Adapun kepada orang yang menghina orang lain dan yang bersangkutan tidak rela ,

maka ia tidak dituntut untuk membuktikan penhinaanya, sebab sudah jelas penghinaanya itu

tidak dapat dibenarkan.

1.             Unsur-unsur jarimah Qadzaf

-          Menuduh zina atau mengingkari nasab

-          Orang yang dituduh itu muhsan

-          Ada itikad jahat.

Menuduh homoseks menurut Imam Malik, Imam As-Syafi’I dan Imam Ahmad sama

dengan menuduh zina sedangkan menurut Imam Abu Hanifah sanksinya adalah ta’zir.

Perbedaan ini kembali kepada perbedaan mereka mengenai homoseks itu zina ataukah bukan.

Namun menurut Imam Abu Hanifah sebab mengqiyaskan homoseks kepada zina itu dapat

menimbulkan shubhat dan had itu tertolak apabila ada syubat.

Page 5: makalah tengtang jarimah khudud.docx

Untuk menuduh zina tidak disyaratkan menggunakan kata-kata tuduhan dengan

membenarkan tuduhan. Contoh A kepada B “ibumu pezina” kemudian C berkata “itu benar”

maka A dan C adalah sama-sama penuduh zina. Namun demikian, dalam tuduhan disyaratkan

sasaranya atau orang yang dituduhnya itu harus jelas.

Disyaratkan bagi yang dituduh itu muhsan, baik laki-laki maupun perempuan. Para

fuqaha menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muhshan dan ghafilat itu adalah muslim

yang merdeka, dan terpelihara kehormatanya atau memelihara kebersihan diri (iffah).

Tidak disyaratkan juga orang yang menuduh itu diucapkan dihadapan umum, bisa saja terjadi

bukan didepan umum. Prinsip ini berdasarkan kepada perhatian hukum islam terhadap

kehormatan manusia yang tidak tergantung kepada tempat. Jadi, kehormatan manusia itu

harus dipelihara di segala tempat.Keharaman suatu maksiat itu karena zatnya bukan karena

tempatnya.Disamping itu keharaman qadzaf itu dimaksudkan untuk memelihara kehormatan

manusia.

2.             Alat Bukti Qadzaf

a.       Persaksian. Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa kemungkinan,

yaitu:

Memungkiri tuduhan itu dengan mengajukan persaksian itu cukup satu orang laki

laki atau perempuan.

Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini

cukup dua orang laki-laki dan dua orang perempuan.

Membuktikan bahwa kebenaran tuduhanya secara penuh dengan mengajuukan

empat orang saksi.

Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhanya maka suami yang

menuduh itu dapat dikenakan sumpah li’an

b.      Pengakuan. Yakni si penuduh mengakui telah melakukan tuduhan zina kepada seseorang.

c.       Menurut Imam As-syafi tuduhan itu dapat dilakukan dengan sumpah.

3.             Sanksi Qadzaf

Dalam qadzaf ada hukuman pokok yaitu jilid dan hukuman tambahan yaitu tidak

ditermanya persaksian.Jumlah jilid adalah 80x tidak dapat dikurangi maupun ditambah. Bila

ia bertobat , menurut Imam Abu Hanifah tetap tidak dapat diterima. Sedangkan menurut

Imam Malik, Imam As-Syafi’I dan Imam Ahmad dapat diterima  kesaksianya kembali

apabila telah bertobat.

Disamping itu, menurut Imam Maliki bila seseorang melakukan qadzaf dan minum

khamr, maka sanksinya cukup satu kali, yaitu delapan puluh kali jilid. Karena baik qadzaf

maupun minum khamr sama-sama diancam dengan delapan puluh kali jilid, dan karena saksi

kedua tindak pidana ini memiliki tujuan yang sama.

4.             Hapusnya Hukuman Qadzaf

Sanksi qadzaf dapat dihapus karena beberapa hal, diantaranya :

Page 6: makalah tengtang jarimah khudud.docx

a.       Bahwa saksi menarik persaksianya yang telah semula mengatakan bahwa seseorang yang

menuduh zina

b.      Bila yang dituduh membenarkan tuduhan penuduh.

C.    Jarimah Minum-minuman keras (Asyrih)

Syariat Islam telah mengharamkan khamr sejak 14 abad yang lalu dan hal ini

berkaitan dengan penghargaan Islam terhadap akal manusia yang merupakan anugrah Allah

yang harus dipelihara secara baik-baik dan sekarang mulai orang non-muslim menyadari

akan manfaat diharamkanya khamr setelah terbukti bahwa khamr dan sebgaimana

penyalahgunaan narkoba dan miras membawa madharat bagi bangsa.

Al-quran diturunkan kepada masyratkat jahiliah yang memiliki kebiasaan minum

khamr, mabuk-mabukan dan untuk mengubah kondisi yang demikian ditempuh dengan cara

bertahap:

a.       Dinyatakan bahwa dosa khamr dan judi itu mengandung dosa besar meskipun

mengandung manfaat bagi manusia, akan tetapi madharatnya lebih besar daripada

manfaatnya. (Al-Baqarah – 219)

b.      Dinyatakan bahwa tidak boleh melaksanakan shalat dala keadaan mabuk (Annisa – 43)

c.       Tegas-tegas dinyatakan bahwa khamr itu salah satu perbuatan setan dan karenaya harus

dijauhi (Al-Maidah – 90)

1.             Unsur-unsur Jarimah dalam minum Khamr

Ada dua unsur dalam jarimah minum khamr, yaitu minum-minuman yang

memabukan dan ada itikad jahat.

Yang dimaksud dengan minum adalah memasukan minuman yang memabukan ke

mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan

makanan lain yang halal.

Yang dimaksud dengan itikad jahat adalah sudah tahu bahwa minuman yang

memabukan itu haram tetapi tetap diminum juga. Oleh karena itu, tidak dikenai sanksi

seseorang minum minuman khamr atau minuman lain yang memabukan sedangkan ia tidak

tahu bahwa yang diminum itu adalah minuman yang memabukan atau tidak tahu bahwa

minuman itu haram.

2.             Sanksi Minum Khamr

Menurut Imam abu Hanifah dan Imam Malik sanksi minum khamr itu delapan puluh

kali jilid. Sedangak munurut Imam Syafi’I adalah empat puluh kali jilid, meskipun ia

kemudian menambah sampai delapan puluh kali jilid bila imam menghendakinya .Jadi empat

puluh selebihnya bagi Imam Syafi’I adalah Ta’zir.

Bila seseorang berkali-kali minum dan beberapa kali pula mabuk, namun belum

pernah dijatuhi hukuman maka, hukumanya sama dengan sekali dengan minum khamr dan

Page 7: makalah tengtang jarimah khudud.docx

sekali mabuk. Dalam kasus ini ada kemungkinan diterapkan at-tadakhul, dengan ketentuan

sebagai berikut.

-          Bila minum dan mabuk beberapa kali maka hukumanya adalah satu kali.

-          Beberapa kali minum dan hanya sekali mabuk adalah hukumanya satu kali.

-          Dikalangan mahzab Hanafi, Maliki, dan Hmabali, bila seseorang mabuk, lalu sesudah

sadar membunuh orang lain serta tidak mendapat pemaafan dari keluarga korban, maka

hukuman baginya hanya satu yaitu hukman mati (qishash).

3.             Alat bukti minum khamr

Alat bukti dalam minum khamr adalah persaksian.Jumlah sanksinya adalah dua orang

laki-laki dengan syarat seperti telah dikemukakan. Menurut Imam abu Hanifah dan Abu

Yusuf, saksi harus mencium bau minuman yang memabukan itu keudian menyaksikanya.

Alat bukti yang kedua adalah pengakuan  minum dan pengakuan ini cukup sekali diucapkan.

Alat bukti yang ketiga adalah bau mulut. Menurut Imam Maliki , bau mulut dengan minuman

yang memabukan dapat dianggap sebagai bukti bahwa yang bersangkutan minum khamr,

meskipun ulama yang lain tidak mengakui sebagai alat bukti.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mabuk dianggap sebagai alat bukti khamr,

sedangkan Imam Syafi’I tidak menganggap demikian, karena mabuk memberi banyak

kemungkinan terutama dipaksa atau terbaksa. Menurut Imam Malik, muntah juga dapat

dianggap sebagai bukti minum khamr.

4.             Hapusnya hukuman Minuman Khamr

Hukuman had bagi peminum khamr dapat dihapus, apabila:

-          Para saksi menarik persaksianya, apabila tidak ada bukti lain.

-          Pelaku menarik kembali pengakuanya, karena tidak ada bukti yang menguatkanya.

Masalah minuman khamr dan minuman yang memabukan yang mengandung la-kohol

pada akhir-akhir ini memang sudah dirasakan kemadlaratanya baik di dunia Islam maupun di

dunia pada umumnya.Cara mengendalikan dan mengawasinya bermacam-macam yang

penting adalah. Upaya pemerintah , kesadaran hukum masyarakat dan para pelaksana

dilapangan memiliki kesatuan langkah dan tujuan, di dalam menanggulangi minuman yang

memabukan ini.

D.    Pencurian (Sariqah)

1.             Definisi

Pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil harta orang lain dengan

sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga barang

tersebut. Disamping itu, definisi tersebut mengeluarkan pengambilan harta orang lain secara

terang-terangan dari kategori pencurian, seperti pencopet yang mengambil barang secara

terang-terangan  dan membawanya lari. Begitulah kesepakatan fuqaha.

Page 8: makalah tengtang jarimah khudud.docx

Sedangkan pencurian menurut syara’ adalah pengambilan oleh seorang mukallaf yang

baligh dan berakal terhadap harta milik orang lain dengan diam-diam, apabila barang tersebut

mencapai nisab (batas minimal), dari tempat simpanannya, tanpa ada syubhat dalam barang

yang diambil tersebut.

Pencurian dalam syariat islam ada 2 macam, yaitu sebagai berikut:

1)      Pencurian yang hukumannya had

2)      Pencurian yang hukumannya ta’zir

Pencurian yang hukumannya dengan had terbagi dalam 2 bagian, yaitu

1)      Pencurian ringan (assirqatush shura). Menerut Abdul Qadir Audah, pencurian ringan

adalah mengambil hartaa milik orang lain dengan cara diam-diam atau sembunyi

sembunyi.

2)      Pencurian berat (assirqatul qubra). Menurut Abdul Qadir Audah didefinisikan sebagai

berikut: mengambil harta milik orang laindengan cara kekerasan.

Perbedaan antara pencurian ringan dan pencurian berat adalah bahwa dalam pencurian

ringan, pengambilan harta itu dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik dan tanpa

persetujuannya.Sedangkan pencurian berat, pengambilan tersebut dilakukan dengan

sepengetahuan pemilik harta tetapi tanpa kerelaannya, disamping terdapat unsur kekerasan.

Dalam istilah lain pencurian berat ini disebut jarimah hirobah atau perampokan, dan secara

khusus akan disebutkan dalam bab yang tersendiri.

2.             Dasar Sanksi Hukum bagi Pencuri

Allah berfirman di dalam Alquran Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut.

Artinya: Laki-laki yang jmencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya

(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Selain dasar hukum yang bersumber dari Alquran yang di ungkapkan di atas, juga dapat di

lihat hadis Nabi Muhammad saw. Di antaranya sebagai berikut.

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. yang artinya: “ Sesungguhnya kaum quraisy merasa bingung

dengan masalah seorang wanita dari kabilah Makhzumiah yang telah mencuri. Mereka

berkata: siapakah yang akan memberitahu masalah ini kepada Rasulullah saw.? Dengan

serentak mereka menjawab: kami rasa hanya Usamah saja yang berani memberi tahunya,

karena dia adalah kekasih Rasulullah saw. Maka Usamah pun pergi untuk memberi tahu

Page 9: makalah tengtang jarimah khudud.docx

kepada Rasulullah saw., lalu Rasulullah Saw bersabda: Jadi maksud kamu semua ialah

untuk memohon syafaat terhadap salah satu dari hukum Allah? Kemudian Baginda berdiri

dan menjawab: Wahai manusia! Sesungguhnya yang menyebabkan binasa umat-umat

sebelum dari kamu ialah, apabila mereka mendapati ada orang mulia yang mencuri, mereka

membiarkannya. Akan tetapi apabila mereka dapati orang yang lemah diantara mereka yang

mencuri, mereka akan menjatuhkan hukuman ke atasnya. Demi Allah, sekiranya Sayyidatina

Fatimah binti Muhammad yang mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.”.

Diriwayatkandari Abu Hurairah ra.Katanya : Rasullah saw. Bersabda: Allah melaknat

seorang pencuri yang mencuri telur sehingga di potong tangannya, kemudian dia mencuri

tali lalu di potong tangannya.

3.             Syarat Hukum Potong Tangan bagi Pencuri

Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Alhadis yang secara tegas mengungkapkan bahwa sanksi

hukum terhadap pelanggaran pidana pencurian, yaitu potong tangan dengan syarat sebagai

berikut:

1)      Nilai harta yang dicuri jumlahnya mencapai satu nishab, yaitu kadar harta tertentu yang

ditetapkan sesuai dengan undang-undang.

2)      Barang curian itu dapat diperjualbelikan.

3)      Barang dan / uang yang dicuri bukan milik baitul mal.

4)      Pencuri usianya sudah dewasa.

5)      Perbuatan dilakukan atas kehendaknya bukan atas paksaan orang lain.

6)      Tidak dalam kondisi dilanda kemiskinan.

7)      Pencuri melakukan prbuatannya bukan karena untuk memenuhi kebutuhan pokok.

8)      Korban pencurian bukan orang tua, dan bukan pula keluarga dekatnya(muhrim)

9)      Pencuri bukan pembantu korbannya. Jika pembantu rumah tangga mncuri perhiasan.

10)  Ketentuan potong tangan, yaitu sebelah kiri. Jika ia masih melakukan untuk yang kedua

kalinya maka yang harus dipotong adalah kaki kanannya. Jika ia masih melakukan untuk

yang ketiga kali maka yang harus dipotong adalah tangan kanannya. Jiak ia masih

melakukan untuk yang ke empat kalinya maka yang harus dipotong adalah kaki kirinya.

Jika ia masih melakukan untuk yang kelima kalinya maka harus dijatuhkan hukuman

mati.

4.             Syarat Barang yang dicuri

Dalam kaitan dengan barang yang dicuri, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk

bisa dikenakan hukum potong tangan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1)      Barang yang dicuri harus berupa mal mutaqawwim.

 yakni barang yang dianggap bernilai menurut syara’. Barang-barang yang tidak

bernilai menurut pandangan syara’ karena zatnya haram, seperti bangkai, babi, minuman

keras dan sejenisnya, tidak termasuk mal mutaqawwim, dan orang yang mencurinya tidak

dikenai hukuman.

Page 10: makalah tengtang jarimah khudud.docx

2)      Barang tersebut harus barang yang bergerak.

Suatu benda dianggap sebagai benda bergerak apabila benda tersebut bisa

dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Ini tidak berarti benda itu benda bergerak

menurut tabiatnya, melainkan cukup apabila benda itu dipindahkan oleh pelaku atau oleh

orang lain.

3)      Barang tersebut tersimpan di tempat simpanannya.

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa salah stuu syarat untuk dikenakannya hukuman

had bagi pencuri adalah bahwa barang yang dicuri harus tersimpan ditempat simpanannya.

Sedangkan Zhahiriyah dan sekelompok ahli hadis tetap memberlakukan hukuman had

walaupun pencurian bukan dari tempat simpanannya apabila barang yang dicuri  mencapai

nishab pencurian.

4)      Barang tersebut mencapai nishab pencurian.

Tindak pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi pelakunya apabila barang

yang dicuri mencapai nishab pencurian. Ketentuan ini didasarkan kepada hadis Rasulullah

saw. Yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah, bahwa

Rasulullah saw. Bersabda:

Artinya; “Tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam pencurian seperempat dinar ke atas”

Selain hadis tersebut terdapat pula hadis lain yang isinya sama, yaitu hadis riwayat Imam

Bukhari dengan redaksi sebagi berikut:

Artinya: “Tangan pencuri dipotong dalam pencurian seperempat dinar ke atas”

5)      Harta tersebut milik orang lain

Untuk terwujudnya tindak pidana pencurian yang pelakunya dapat dikenai hukuman

had, disyaratkan barang yang dicuri itu merupakan hak milik orang lain. Demikian pula

halnya orang yang mencuri tidak dikenai hukuman had apabila terdapat syubhat

(ketidakjelasan) dalam barang yang dicuri. Dalam hal ini pelaku hanya dikenai hukuman

ta’zir. Contohnya seperti pencurian yang[3]dilakukan oleh orang tua terhadap harta

anaknya.Dalam kasus seperti ini orang tua dianggap memiliki bagian dalam harta anaknya,

sehingga terdapat syubhat dalam hak milik. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi yang

diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir bahwa Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya:

“Engkau dan hartamu milik ayahmu.”

Demikian pula halnya dengan orang yang tidak dikenai hukuman had apabila ia

mencuri harta yang dimiliki bersama-sama dengan orang yang menjadi korban, karena hal itu

juga dipandang sebagai syubhat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam

Syafi’i, Imam Ahmad dan golongan Syi’ah. Akan tetapi, menurut Imam Malik, dalam kasus

pencurian harta milik bersama, pencuri tetap dikenai hukuman had apabila pengambilannya

itu mencapai nishab pencurian yang jumlahnya lebih besar dari hak miliknya.[6]

6)      Adanya niat yang melawan hukum

Page 11: makalah tengtang jarimah khudud.docx

Unsur ini terpenuhi apabila pelaku pencurian mengambil suatu barang padahal ia tahu

bahwa barang tersebut bukan miliknya, dan karenanya haram untuk diambil. Disamping itu

untuk terpenuhinya unsur ini disyaratkan pengambilan tersebut dilaksanakan dengan maksud

untuk memiliki barang yang dicuri.

Demikian pula halnya pelaku pencurian tidak dikenai hukuman apabila pencurian

tersebut dilakukan karena terpaksa (darurat) atau dipaksa orang lain. Hal ini sesuai dengan

firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 163, yang artinya: “..... Tetapi barang siapa dalam

keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)

melampui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun  lagi

Maha Penyayang.”

6.             Kadar atau Batas Pencurian yang dikenai Hukuman dalam Fiqh Jianayah

  Mengenai batas yang menyebabkan dijatuhkannya hukum potong tangan, terjadi

perbedaan di antara ulama. Hal tersebut disebabkan keumuman ayat 83 surat Al-Maidah. Di

antara ulama ada yang meniadakan nishab pencurian, artinya sedikit atau banyak sama-sama

dihukum potong tangan. Seperti halnya Dawud al-Zahiri, Hasan al-Bashari dan Khawarij,

adapun hadis-hadis yang menjelaskan tentang batasan nishab adalah dha’if, hal ini

berdasarkan atas kemutlakan Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 38 yang artinya: “Laki-laki

yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)

pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah

Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Dan Hadis dari Abu Hurairah r.a. yang artinya: “Rasulullah Saw. Bersabda: Allah

melaknat seorang yang mencuri yang mencuri telur kemudian dipotong tangan nya dan yang

mencuri tali kemudian dipotong tangannya”. (Muttafaq ‘Alaih). Menurutnya hadis tersebut

tidak menunjukkan ketiadaan nishab dalam pencurian, melainkan menunjukkan tentang

kehinaan seorang pencuri.

Adapun Jumhur Fuqaha mensyaratkan adanya Nisab (batas tertentu) sehingga

seorang pencuri dapat dikenai hukum potong tangan.Namun ini pun terdapat perbedaan

tentang batasan atau nisab terebut. Yang dijadikan dasar hukum bahwa syarat harta yang

dicuri itu sampai nisabnya adalah beberapa sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:

Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW, sesungguhnya beliau telah menolong (tangan

pencuri) pada pencurian perisai seharga tiga dirham.(H.R. alBukhari). Dari Aisyah, bersabda

Nabi SAW, dipotong tangan (pencuri yang mencuri) pada seperempat dinar atau lebih. (H.R.

al Bukhari).

Dari Nabi bersabda SAW bersabda: Tidak dikenakan sanksi potong tangan pencuri,

pada pencurian yang kurang seharga perisai, lalu Aisyah bertanya, beberapa harga perisai?

Lalu beliau menjawab seperempat dinar atau lebih. (H.R. al Bukhari).

Berdasarkan beberapa hadis yang penulis kemukakan di atas, maka menurut

kesepakatan mazahib al Arba’ah, bahwa merupakan salah satu syarat untuk dilaksanakannya

Page 12: makalah tengtang jarimah khudud.docx

sanksi potong tangan adalah harta yang dicuri harta itu harus sampai nisabnya.Jumhur Ulama

telah sepakat adanya nisab pencurian.Tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan

kadarnya. Menurut Imam Syafi’i kadarnyaadalah seperempat dinar atau lebih sebagaimana

disinyalir olehnya di dalam kitab Al Um: Siapa yang ingin memotongnya, maka kadarnya

harus sampai seperempat dinar atau lebih.

 Jika yang dicuri itu bukan emas atau perak, maka menurut Imam Malik kadarnya

diukur kepada harga perak yaitu tiga  dirham. Sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Rusyd: Imam

Malik berkata dalam perkataannya yang masyhur “Ditentukan dengan beberapa dirham

bukan dengan seperempat dinar. Sedangkan menurut Imam Syafi’i kadarnya ditentukan

dengan harga dinar, sebab harga dinar pada waktu itu menjadi ukuran, sebagaimana ia

berkata: Pencuri tidak dipotong (tangannya), sehingga ia mencuri sama dengan seperempat

dinar paling sedikit. Adapun Ulama Hanabilah menetapkan seperempat dinar atau lebih,

sebagaimana telah disinyalir oleh Ibnu Qudamah: Dan menurut kami adalah sebagaimana

sabda Nabi SAW: tidak divonis, potong tangan kecuali pada seperempat dinar atau lebih.

Apabila barang yang dicurinya tidak mencapai Nishab, maka tidak ada hukum potong tangan,

akan tetapi diganti dengan hukum Ta’zir.

E.     Merompak (Hirabah)

1.             Definisi Merompak

Hirabah yaitu sekelompok manusia yang membuat keonaran, pertumpahan darah,

merampas harta, merampas kehormatan, merampas tatanan serta membuat kekacauan di

muka bumi.Orang-orang seperti ini bisa masuk kategori perampok dan

penyamun. Hirabah juga dapat disebut dengan qath’u thariq. Pada dewasa

ini hirabah disamakan dengan perampokan, penteroran, penyamunan, pembegalan dan istilah-

istilah lainnya. Pada dasarnya hirabah merupakan sebuah tindak pidana yang mengambil

harta orang lain dangan cara memaksa yang disertai kekerasan dan secara terang-terangan

baik diperkotaan maupun pedesaan, baik ditempat yang sepi maupun ramai, asalkan tidak

mengambil di dalam rumah si korban. Karena pada intinya hirabah sangat berbeda dengan

tindak pidana pencurian, baik dari segi unsur khususnya maupun dari segi lainnya.

Di dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pencurian adalah mengambil hak

milik orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh pemiliknya,

sedangkan perampokan adalah mengambil hak milik orang lain dengan cara terang-terangan

dan terkadang disertai dengan sebuah kekerasan. Jadi, seseorang yang keluar rumah dengan

niat merampok (mengambil harta orang lain) dengan menggunakan senjata dan disertai

dengan gesekan fisik, maka orang tersebut sudah bisa dikatakanmuharibun (pelaku tindak

pidana hirabah). Al-Qur’an sebagai salah satu sumber hukum Islam telah menjelaskan

dengan tegas terkait dengan sanksi atau hukuman bagi para pelaku tindak pidana hirabah ini,

hal ini dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah ayat 33 yang artinya:

Page 13: makalah tengtang jarimah khudud.docx

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya

dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh, atau disalib, atau

dipotong tangan dan kakinya secara selang-seling, atau dibuang dari negeri (tempat

kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di

akhirat mereka akanmemperoleh siksaan yang sangat pedih”.

 Berdasarkan ayat ini bahwa sudah jelas bagi pelaku tindak

pidanahirabah hukumannya dalah dibunuh, disalib, dpotong tangan dan kakinya secara

bertimbal balik, atau diasingkan dari tempat tinggalnya. Dari keempat hukuman ini Imam

dapat memilih hukuman manakah yang akan diberikan kepada pelaku sesuai dengan

perbuatan yang telah dilakukannya, dengan cara mendahulukan hak-hak yang

menyangkutnterhadap manusia, seperti mengganti rugi harta yang telah dirampas, setelah itu

baru hak-hak yang berhubungan dengan Allah yaitu hukuman had tersebut.

Hukuman juga harus sesuai dengan kemaslahatan umum agar tidak merugikan pada

orang-orang yang berada disekitarnya. Namun, berbeda dengan jarimah hudud yang

lainnya, jarimah hirabah mendapatkan pengecualian (hapusnya hukuman) dalam

hukumannya apabila sang pelaku tindak pidana bertaubat sebelum dia tertangkap oleh

penguasa atau pemerintah, dalam artian pelaku tindak pidana menyerahkan diri kepada

penguasa dengan cara taubat yang benar dan mengakui atas semua kesalahannya.

Hal ini berdasarkan Q.S. al-Maidah ayat 34. Hanya hukuman jarimahhirabahlah  yang

mendapat pengecualian hukuman, sementara jarimahyang lainnya tidak ada,

padahal jarimah hirabah bisa dikatakan sebagaijarimah yang sangat besar karena selain

memerangi Allah dan Rasul-Nya, juga merusak ketertiban umum dan menghilangkan rasa

aman masyarakat yang sudah menjadi hak dari setiap individu.

2.             Dasar Sanksi Hukum Bagi Pelaku Perompakan

Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 33-34 yaitu sebagai berikut :

Artinya:

(33) “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-

Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau

dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat

kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di

akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”

Page 14: makalah tengtang jarimah khudud.docx

(34)“Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai

(menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.”

[414] Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi

Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.

3.             Hukuman kepada para perompak

Hukuman yang dijatuhkan ke atas perompak adalah mengikut kesalahan yang

dilakukan yaitu:

1)   Dihukumkan takzir dengan dipenjara atau sebagainya jika ia hanya menakut-nakuti

orang saja, tanpa melakukan pembunuhan dan tidak mengambil harta yang

menyebabkan si pengambil dihukum dengan hukuman potong tangan.

2)      Dihukum mati jika melakukan pembunuhan dengan sengaja dan tidak mengambil harta.

3)      Dipotong tangan kanan dan kaki kiri jika ia mengambil harta sekurang-kurangnya ¼

dinar dan tidak melakukan pembunuhan dan dipotong tangan kiri dan kaki kanan jika ia

melakukannya lagi.

4)      Dihukum bunuh dan mayatnya digantungkan tiga hari jika ia melakukan pembunuhan

dengan sengaja dan mengambil harta sekurang-kurangnya ¼ dinar.

Perompak yang bertaubat sebelum tertangkap, maka gugur daripadanya hukuman

yang khusus untuk perampok. Adapun hukuman mengenai qishashkerana membunuh dan

pengambilan harta tidak gugur dengan bertaubat

4.             Pengecualian Hukuman Terhadap Tindak Pidana   Hirabah

Hukuman yang ada dalam tindak pidana hirabah dapat terhapus karena sebab-sebab

yang menghapuskannya, hal ini sudah dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah ayat 34, yang artinya:

“Kecuali orang-orang yang bertaubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai

(menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang”.

Di dalam ayat ini terdapat pengecualian bagi mereka yang insyaf dan bertaubat

kepada Allah sebelum tertangkap.Dia bertobat dengan sebenar-benarnya taubat, tidak

bercampur lagi dengan gerombolan penjahat itu dan menarik diri dari kelompoknya serta

betul-betul diaTubatan Nasuha. Tentu saja bukti taubat itu harus ditunjukkannya, yaitu

dengan menyerahkan diri kepada yang berkuasa, mengakui kesalahannya dan mulai

memperbaiki hidup.Maka hukuman-hukuman itu bolehlah tidak dilakukan lagi terhadap

dirinya, setelah Hakim menyelidiki bahwa telah benar taubatnya, baik taubat sendiri maupun

dengan semuanya.Jika Hakim melihat dan menimbang bahwa taubat mereka telah benar,

maka hukum tidak dijatuhkan lagi kepada mereka.Tetapi harta benda orang yang telah

mereka rusak dan rampas harus dan wajib diganti. 

Page 15: makalah tengtang jarimah khudud.docx

F.     MURTAD (Riddah)

1.             Definisi Murtad (Jarimah Riddah)

Yang dimaksudkan dengan murtad ialah kembalinya orang Islam yang berakal dan

dewasa kepada kafir dengan kehendak sendiri tanpa paksaan baik lelaki ataupun perempuan

atau kembali menjadi kafir setelah Islam.Murtad adalah merupakan dosa besar yang

menghapuskan amal-amal soleh sebelumnya dan di akhirat akandi balas dengan azab yang

pedih.

2.             Dasar Hukum Jarimah Riddah

Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 217 :

Artinya :“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam

kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka

Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah : 217)

3.             Akibat dari Murtad :

Jika orang Islam bertindak murtad, maka akan berlakulah perubahan-perubahan di

dalam muamalat harian diantaranya adalah sebagai berikut :

1)      Putus hubungan suami isteri.

2)      Putus hak mewarisi harta kerabat-kerabat muslimnya.

3)      Digugurkan hak menjadi wali terhadap orang lain dan kerabat-kerabat yang muslim.

4)      Jenazahnya haram di shalatkan dan haram di kubur pada tanah perkuburan orang-orang

Islam.

4.      Hukuman Bagi yang Murtad

Murtad boleh terjadi dengan pengakuan yang jelas dari seseorang atau dengan

perbuatan yang boleh diperlihatkan, apabila ini terjadi pemerintah hendaklah membicarakan

hal ini dengan sejelas-sejelasnya.Kewajipan pemerintah di dalam urusan ini sangat penting

sebelum hukuman dibuat.

Oleh karena itu, penukaran agama dari Islam kepada kafir perlu diberi kawalan yang

ketat dan rapi, maka menurut undang-undang Islam hukuman yang wajib dijatuhkan ke atas

orang yang murtad ialah dibunuh.

Rasulullah s.a.w bersabda:

Page 16: makalah tengtang jarimah khudud.docx

Artinya: “Barangsiapa menukar agamanya maka bunuhlah ia.”

(Bukhari dan Muslim)

G.    Pemberontakan (Al-baghyu)

1.             Pengertian

Pemberontakan atau Al-Bagyu menurut arti bahasa adalah mencari atau menuntut

sesuatu. Pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu

yang tidak halal, baik karena dosa maupun kezaliman. Hal ini sebagaimana yang disebutkan

dalam firman Allah SWT dalam surat Al-A’araf ayat 33:

Katakanlah:“Tuhanku hanya mengharamkan prbuatan yang keji, baik yang tanp[ak maupun

yang tersembunyi, dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar....“.

(QS. Al-A’araf:33)

Sedangkan Al-Bagyu dalam pengertian  istilahnya terdapat berbagai definisi yang

dikemukakan oleh Ulama’ mazhab yang redaksinya berbeda-beda.

a.      pendapat Malikiyah

pemberontakan adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang

kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara

menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (Ta’wil). Dari pengertian tersebut,

Malikiyah mengartikan bagyu (pemberontakan) sebagai berikut

Pemberontak adalah sekelompok kaum muslimin yangb bereberanga dengan Al-Imam Al-

A’azham (kepala negara) atau wakilnya. Dengan menolak hak dan kewajiban atau bermaksud

menggulingkannya.

b.      pendapat Hanafiyah

      pemberontakan adalah keluar dari kekuatan Imam (kepala Negara) yang benar (sah)

dengan cara yang tidak benar.

c.      pendapat Syafi’iyah dan Hanbaliyah

pemberontakan adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan pemimpin yang

ditaati, dari kepatuhan  kepada kepala negara (Imam), dengan menggunakan alasan (Ta’wil)

yang tidak benar.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para Ulama’ tersebut , terlihat adanya

perbedaan yang menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam

Jarimah  pemberontakan, tetapi tidak dalam unsur prinsipil. Apabila diambil intisari dari

definisi-definisi tersebuit, dapat dikemukakan bahwa pemberontakan adalah pembangkangan

terhadap kepala negara (Imam) dengan menggunakan kekuatan berdssarkan argumentasi atau

alasan (Ta’wil).

2.             Unsur-unsur Jarimah Al-Bagyu (pemberontakan)

Page 17: makalah tengtang jarimah khudud.docx

Dari definisi yang telah dikemukakan tadi, dapat kita simpulkan bahwa unsur-unsur

jarimah pemberontakan itu ada tiga yaitu:

1.Pembangkangan terhadap Kepala Negara

2.Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan

3.Adanya niat yang melawan hukum (Al-Qasd Al-Jinaiy)

Adapun pembahasannya secara rinci sebagai berikut       :

1.      Pembangkangan terhadap kepala Negara (Imam)

Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan disyaratkan harus ada upaya

pembangkangan terhadap kepala Negara. Pengertian membangkang adalah menentang kepala

Negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan

kewajiban sebagai warga negara. Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah

yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang

ditetapkan untuk kepentingan perorangan(individu).

Akan tetapi berdasarkan kesepakatan fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah

yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan

merupakan suatu kewajiban. Hal ini disebabkan  karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali di

dalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemksiatan. Oleh karena itu apabila seorang imam

(kepala Negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada

kewajiban bagi siapapun untuk menaati apa yang di perintahkannya.

Adapun orang yang yang keluar dari Imam (kepala Negara) tanpa argumentasi dan

tanpa kekuatan, dianngap sebagai perampok, bukan pemberontak. Pendapat ini dikemukakan

oleh Hanafiyah dan Imam Ahmad . demikian pula orang yang keluar dengan di sertai

argumentasi, tetapi tanpa kekuatan, menurut pendpat yang rajih(kuat) di kalangan mazhab

Hanbali, tidak termasuk pemberontakan. Akan tetapi menurut sebagian Fuqaha Hanbillah,

orang yang keluar dari Imam disertai dengan argumentasi meskipun tanpa kekuatan termasuk

pemberontak.

2.      Pembangkan dilakukan dengan kekuatan

Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai pemberontakan, disyaratkan harus

disertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila disertai dengan penggunaan

kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberopntakan, jadi apabila baru sebatas ide

maka belum dikategorikan sebagai pemberontakan.

Pemberontakan menurut imam malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad dimulai sejak

digunakannya kekuatan secara nyata maka pembangkangan itu belum di anggap sebagai

pemberontakan, dan mereka di perlakukan sebagai orang yang adil (tidak bersalah). Apabila

baru dalam penghimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka belum dianggap sebagai

pemberontakan, melainkan hanya di kategorikan Ta’zir. Akan tetapi menurut Imam Abi

Hanifah, pemberontakan itu sudah di mulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun

kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap imam, buka

Page 18: makalah tengtang jarimah khudud.docx

menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Kalau situasinya sudah demikian,

justru malah lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya.

3.      Adanya niat Yang Melawan Hukum

Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan adanya niat yang

melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur itu terpenuhi apabila seseorang

bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak menaatinya. Apabila

tidak ad maksud untuk keluar dari imam, atau tidak ada maksud untu kmenggunakan

kekuatan maka perbuatan pembangkang itu belum dikata gorikan sebagai pemberontakan.

Untuk bisa diaggap keluar dari imam, disaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencupot

(menggulingkan) imam, Atau tidakmenaatinya, atau menolak untuk menlaksanakan

kewajiban yang di bebankan oleh syara’. Denagn demikian , apabila niat atau tujuan

pembanggangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak di anggap sebagai

pemberontak. Apabila seorang pembanggang melakukan jarimah-jarimah sebelum

mughalabah (penggunaan kekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka disini tidak

di perlukan adanya niat untuk pemberontak. Karena dalam hal ini iya tidak di hukum sebagai

pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.

3.             Sanksi jarimah Al-Baghyu

Pertanggung jawaban tindak pidan pemberontakan, baik pidn maupun perdata,

berbeda-beda sesuai  dengan kondisi tindak pidananya. Pertanggung jawaban sebelum

Mughabalah dan sesudahnya berbeda dengan pertanggung jawaban atas tindakan pada saat

terjadinya Mughabalah (penggunaan kekuatan).

1.      Pertanggung jawaban sebelum Mughabalah dan sesudahnya

Orang yang melakukan pemberontakan dibebani pertanggung jawaban atas semua

tindak pidana yang dilkukannya sebelum sebelum Mughabalah (pertempuran), baik perdata

maupun pidana, sebagai jarimah biasa. Demikian pula halnya jarimah yang terjadi setelah

selesainya Mughalabah (pertempuran) . apabila sebelum terjadinya pemberontakan itu ia

membunuh orang, ia dikenankan hukuman Qishas. Jika ia melakukan pencurian maka ia di

hukum sebagai pencuri, yaitu potong tangan apabila syarat-syaratnya terpenuhi. Apabila ia

merampas harta milik orang lain maka ia diwajibkan mengganti kerugian. Jadi, dalam hal ini

ia tidak di hukum sebagai pemberontak, meskipun tujuan akhirya pemberontakan.

2.      Pertanggung jawaban atas perbuatan pada saat Mughabalah

Tindak pidana yang terjadi pada saat-saat terjadinya pemberontakan dan pertempuran

ada dua macam yaitu:

a.       Yang berkaitan langsung denag pemberontakan

Tindak pidana yang berkaitan langsug dengan pemberontakan, seperti merusak jembatan,

membom gudang amunisi, gedung-gedung pemerintahan, membunuh para pejabat atau

menawannya, semuanya itu tidak dihukum dengan hukuman untuk jarimah biasa, melainkan

dengan hukuman dengan jarimah pemberontakan, yaitu hukuman mati apabila tidak ada

Page 19: makalah tengtang jarimah khudud.docx

pengampunan (Amnesti). Caranya degan melakukan penumpasan yang bertujuan untuk

menghentikan pemberontakannya dan melumpuhkannya. Apabila mereka telah menyerah dan

meletakan senjatanya, penumpasan harus di hentikan dan mereka di jamin keselamatan dan

jiwanya. Tindakan selanjutnya, pemerintah (Ulil Amri) boleh mengampuni mereka atau

menghukum mereka dengan hukuman ta’zir atas pemberontakan mereka, bukan Karena

jarimah atau perbuatan yang mereka lakukan pada saat terjadinya pemberontakan. Dengan

demikian, hukuman yang di jatuhkan atas para pemberontak setelah mereka dilumpuhkan dan

ditangkap adalah hukuman ta’zir.

Hukuman untuk tindakan pemberontakan dalam situasi perang adalah di perangi atau

di tumpas, dengan segala akibat yang timbul, seperti pembunuhan, penukaan, dan

pemotongan anggota badan. Hanya saja dalam pernyataan ny, perag atau penumpasan tidak

bisa di aggap sebagai hukuman, melainkan suatu upaya represif guna mencegah dan melindas

pemberontak, serta mengembalikan nya kepada siakp taat dan patuh kepada pemerintah yang

sah. Andaikata mereka itu merupakan hukuman maka tentunya di bolehkan membunuh

pemberontak setelah mereka di salahkan dalam pertempuran, karena hukuman merupakan

balasan atas apa yang di lakukan oleh mereka. Akan tetapi, ulamak telah sepakat bahwa

apabila situasi perang telah selesai maka pertempuran dan pembunuhan harus dihentikan dan

pemberontak harus dijamin keselamatan nya, karena pemberontakan itulah yang

menyebabkan ia kehilngan jaminan keselamatannya.

b.      Yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan

Adapun tindak pidana yang terjadi pada saat berkecamuknya pertempuran tetapi tidak

berkaitan dengan pemberontakan. Seperti minum minuman keras, zina atau pemerkosaan, di

anggap sebagi jarimah biasa, dan pelaku perbuatan tersebut dihukum dengan hukum hudut

sesuai dengan jarimah yang di laukuan nya.dengan demikian, apabila pada saat

berkecamuknya pertempuran seorang anggota pemberontak memperkosa seorang gadis dan

ia ghair muhshan maka ia dikenakan hukuman jilid (dera) seratus kali di tambah dengan

pengasingan.

Adapun pertaggug jawaban perdata bagi para pemberontak tidak ada jika merusak dan

menghancurkan aset-aset negara yang di anggap oleh mereka perlu dihancurkan, demi

kelancaran serangan dan upaya pemberontakan, misalnya harta kekayaan indipidu maka

mereka tetap dibebani pertaggung jawaban perdata. Dengan demikian, barang yang di ambil

harus dikembalikan dan yang di hancurkan harus di ganti. Pendapat ini di kemukakan oleh

imam abu hanifah, dan pendapat yang soheh di kalangan mazhab syafi’i. Namun, dikalangan

mazhap syafi’i ada yang berpendapat bahwa pemberontak harus bertanggug jawab atas

semua barang yang di hancurkan nya, baik ada kaitan nya dengan pemberontakan atu tidak,

karena hal itu mereka lakukan dengan melawan hukum.

Page 20: makalah tengtang jarimah khudud.docx

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dalam Jarimah, pembagiannya dibagi menjadi tiga yaitu: jarimah hudud, jarimah

qishash – diyat, dan jarimah ta’zir. Jarimah Hudud yaitu jarimah yang diancam dengan

hukuman had. Had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak

Allah. Jarimah Hudud meliputi: Jarimah al-hudud adalah tindak kejahatan yang menjadikan

pelakunya dikenakan sanksi had.

Macam- Macam tindakan yang tindakan yang tergolong kedalam jarimah hudud ialah:

Zina, Qadzaf, Meminum Khamr, Pencurian, Hirabah, Riddah dan Albaghyu

(pemberontakan). Dasar hukum yang melandasi pemidanaan dalam suatu tindak pidana

Page 21: makalah tengtang jarimah khudud.docx

adalah Al-Quran Surat Alhujuarat:9, Al-uqubat (Hukum Pidana), Hudud dan Ta’dzirat.

Tujuan dilakukannya pemidanaan: pencegahan serta Perbaikan dan Pendidikan.

B.      Saran

Demikianlah makalah ini penyusun buat, adapun substansi yang terkandung

didalamnya semoga akan menjadi suatu bahan acuan bagi setiap orang dalam melaksanakan

tindakannya dimuka bumi ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat karena pembahasan

dari makalah ini sangatlah berguna bagi siapapun terlebih bagi setiap manusia yang berada

dibumi ini agar senantiasa beribadah dan taat dalam menjalankan ajaran Allah SWT.

Apabila di dalam makalah ini terdapat suatu hal baik itu perkataan, penulisan ataupun

hal – hal lain yang menuju kearah kesesatan mohon kiranya agar makalah ini dapat dikoreksi,

karena sebagai manusia biasa tentunya penyusun pasti banyak melakukan kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA

http://wilmafitriana.blogspot.com/2014/10/makalah-jarimah-hudud.html